Proposal penelitian ini membahas perbandingan prestasi belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif-kolaboratif dengan model pembelajaran kontekstual. Tujuannya adalah mengetahui perbedaan hasil belajar siswa antara kedua model pembelajaran tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada guru tentang model mana yang lebih baik untuk meningkatkan prestasi belajar siswa.
contoh penulisan nomor skl pada surat kelulusan .pptx
PRESTASI BELAJAR
1. PERBANDINGAN PRESTASIBELAJARMATEMATIKA SISWAYANGMENGGUNAKAN MODEL
PEMBELAJARAN KOOPERATIF- KOLABORATIFDENGAN MODELPEMBELAJARAN
KONTEKSTUAL
Proposal Penelitian
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat tugas mata kuliah
Penelitian Pendidikan
oleh
Gevarian Alke Gozali
NIM 1307643
DEPARTEMEN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTASPENDIDIKAN MATEMATIKADAN ILMUPENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2015
2. A. Judul
Perbandingan prestasi belajar matematika siswa yang menggunakan model
pembelajaran kooperatif – kolaboratif dengan model pembelajaran kontekstual.
B. Latar Belakang Masalah
“Pendidikan” merupakan satu kata yang sudah tidak asing lagi, bukan hanya bagi
kalangan orang-orang yang secara langsung berkecimpung di dunia pendidikan saja akan
tetapi bagi masyarakat awam juga. Pendidikan termasuk salah satu hal yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia, setiap manusia memerlukan pendidikan karena
pendidikan pulalah yang menjadi salah satu faktor yang dapat membedakan manusia dari
makhluk lainnya. Berkaitan dengan hal ini, U. Tirtarahardja, dan La Sulo, (2005:1)
menyatakan bahwa “Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud
membantu peserta didik untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaannya.
Potensi kemanusiaan merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia.” Dan
menurut Sujana (dalam Ujang, 2006:82) ‘Pendidikan merupakan suatu upaya manusia
untuk memanusiakan manusia’. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan
merupakan hal yang sangat essensial bagi kehidupan manusia.
Pendidikan terdiri dari dua jenis yaitu pendidikan formal dan pendidikan non formal.
Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar
Nasional Pendidikan, tepatnya pada pasal 1 dinyatakan bahwa “… Pendidikan formal
adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur
pendidikan diluar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan
berjenjang…”.
Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan formal mempunyai tanggung jawab
untuk mendidik siswa. Untuk itu sekolah menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar
sebagai realisasi tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Berbagai mata pelajaranpun
diajarkan di sekolah, salah satunya adalah mata pelajaran matematika. “Matematika
bahkan merupakan mata pelajaran yang telah diberikan sejak Sekolah Dasar (SD)
dengan tujuan untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis,
sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama.” (Hernawati, 2007:13).
Kemudian berkaitan dengan pembelajaran matematika di sekolah, Ruseffendi
(dalam Sudrajat, 2004:2) menyatakan bahwa, ‘Guru hendaknya dapat menciptakan
kondisi pembelajaran yang dapat membentuk pribadi siswa sehingga mempunyai
3. keterampilan yang baik dalam bekerja sama, mempunyai keberanian dan keterandalan
dalam berkompetisi disamping mempunyai kemampuan matematika.’
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa siswa belajar secara pasif, hanya
menerima informasi dari guru.
Oleh karena itu, guru harus pandai-pandai memilih dan menerapakan model
pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa secara positif dan edukatif sehingga siswa
dapat berperan aktif dalam belajar.
Salah satu upaya agar siswa aktif belajar dan dapat berprestasi yaitu dengan cara
menerapkan model pembelajaran bermakna yang berpusat pada siswa (student centered)
diantaranya model pembelajaran kontukstual dan model pembelajaran kooperatif-
kolaboratif.
Ada beberapa paham, teori atau pendapat yang menjadi acuan pembelajaran
matematika yang kontekstual. Pada dasarnya pembelajaran matematika yang kontekstual
mengacu pada konstruktivisme. Slavi (1997 : 269) menyatakan bahwa belajar menurut
konstruktivisme adalah siswa sendiri yang harus aktif menemukan dan mentransfer atau
membangun pengetahuan yang akan menjadi miliknya. Dalam proses itu siswa
mengecek dan menyesuaikan pengetahuan baru yang dipelajari dengan pengetahuan atau
kerangka berpikir yang telah mereka miliki. Konstruktivisme beranggapan bahwa
mengajar bukan merupakan kegiatan memindahkan atau menstransfer pengetahuan dari
guru ke siswa. Peran guru dalam mengajar lebih sebagai mediator dan fasilitator.
Soprano (2001 :10 – 11) menyatakan pada intinya peranan fasilitator oleh guru itu dapat
dijabarkan dalam beberapa tugas, yaitu menyediakan pengalaman belajar yang
memungkinkan siswa mengambil tanggung jawab dalam kegiatan pembelajaran;
menyadiakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa
dan membantu siswa dalam mengekspresikan gagasan-gagasannya dan
mengkomunikasikan ide ilmiahnya; menyediakan sarana yang merangsang berpikir
siswa secara produktif; menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling
mendukung belajar siswa, termasuk menyamangati siswa; memonitor, mengevaluasi dan
menunjukan pemikiran siswa relevan (dapat jalan) atau tidak dan dapat digunakan atau
tidak untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan dengan yang dipelajari.
Selain kontruktivisme, pembelajaran matematika yang kontekstual juga mengacu
pada teori belajar bermakna yang tergolong pada aliran psikologi belajar kognitif.
Ausubel (dalam dahar, 1989 :110-112) menyatakan bahwa belajar dapat dikatagorikan
dalam dua dimensi yaitu berhubungan dengan cara pengetahuan (informasi, materi
4. pelajaran) disajikan kepada siswa dan cara mengaitkan pengetahuan itu pada stuktur
kognitif siswa yang telah ada atau dimiliki siswa. Menurut ausubel bermakna adalah
suatu proses mengaitkan pengetahuan baru pada pengetahuan relevan yang telah terdapat
dalam stuktur kognitif siswa.
Model pembelajaran yang berpusat pada siswa lainnya yaitu model pembelajaran
kooperatif-kolaboratif. Suderajat (2004) menyatakan bahwa pembelajaran yang baik
adalah pembelajaran yang berbasis komunitas. Karena siswa dapat belajar lebih baik dan
lebih banyak apabila mereka berinteraksi dengan sesama temannya. Kompetisi antar
siswa akan memperlambat belajar mereka, sebaliknya kerjasama kelompok akan
mempercepat belajar mereka.
Pola belajar kelompok dengan cara kerjasama (cooperative) antar siswa, selain dapat
mendorong tumbuhnya gagasan yang lebih bermutu guna meningkatkan kreatifitas
siswa, juga merupakan nilai sosial bangsa yang perlu dipertahankan.
Pembelajaran kooperatif-kolaboratif sangat baik untuk membentuk sikap
pertanggungjawaban sosial, dan mengurangi sifat ke-“aku”-an, serta memotivasi belajar
dan merningkatkan pengembangan kreativitas individu.
Jika banyak peneliti yang meneliti perbedaan salah satu model pembelajaran di atas
dengan model pembelajaran kontekstual, maka penulis berkeinginan untuk meneliti
apakah ada perbedaan prestasi siswa yang menggunakan model pembelajaran
kontekstual dengan model pembelajaran kooperatif-kolaboratif.
Melalui penelitian ini, diharapkan para pengajar (guru) lebih tahu dan paham metode
mana kiranya yang lebih baik digunakan untuk meningkatkan keaktifan belajar siswa dan
meningkatkan pretasi belajar siswa, tetapi tidak menutup kemungkinnan kedua metode
belajar ini digunakan secara bersamaan sehingga hasilnya lebih efektif.
Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis mengadakan penelitian tentang
“perbandingan prestasi belajar matematika siswa yang menggunakan model
pembelajaran kooperatif-kolaboratif dengan yang menggunakan model kontekstual”.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
“Apakah terdapat perbedaan prestasi belajar siswa antara siswa yang menggunakan
model pembelajaran kooperatif-kolaboratif dengan siswa yang menggunakan model
pembelajaran kontekstual?”
5. D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa antara siswa yang
menggunakan model pembelajaran kooperatif-kolaboratif dengan siswa yang
menggunakan model pembelajaran kontekstual.
E. Tinjauan Pustaka
1. Prestasi Belajar
Jika kita membicarakan mengenai belajar, tentu saja kita tidak akan terlepas dari
bagaimana hasil belajar itu sendiri, dan jika kita membicarakan mengenai hasil
belajar maka kita tidak akan pula terlepas dari membicarakan bagaimana prestasi
belajar. Apalagi jika hal ini dibahas dalam konteks belajar di lingkungan pendidikan
terutama di sekolah.
Untuk mengetahui hasil belajar para peserta didiknya, maka guru akan
mengukur hasil belajar para peserta didiknya tersebut dengan melakukan penilaian
terhadap hasil belajar mereka misalnya melalui tes, dapat berupa tes pada setiap
akhir pembelajaran, setelah selesai membahas satu pokok bahasan atau bab, atau
pula dapat berupa tes pada setiap akhir semester atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Ujian Akhir Semester (UAS). Kemudian setelah penilaian terhadap hasil
belajar ini selesai barulah dapat dilihat sejauhmana prestasi para peserta didik
tersebut. Bagaimana pula prestasi belajar para peserta didik ini jika dibandingkan
dengan peserta didik yang lain.
Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan prestasi belajar? Bagaimana
pengertian prestasi belajar menurut para ahli? Serta bagaimana pengertian prestasi
belajar matematika?
“Istilah prestasi berasal dari bahasa Belanda yaitu dari kata “prestatie”, dalam
bahasa Indonesia menjadi prestasi yang berarti hasil usaha” (A. Muhamad : 2008).
Kemudian M. Syah (dalam A. Muhamad : 2008) menjelaskan bahwa ‘Prestasi
belajar merupakan taraf keberhasilan murid atau santri dalam mempelajari materi
pelajaran di sekolah atau pondok pesantren dinyatakan dalam bentuk skor yang
diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu.’ Sedangkan
menurut A. Muhamad (2008):
6. Prestasi belajar adalah hasil yang dicapai dari suatu kegiatan atau usaha yang
dapat memberikan kepuasan emosional, dan dapat diukur dengan alat atau tes
tertentu. Dalam proses pendidikan prestasi dapat diartikan sebagai hasil dari proses
belajar mengajar yakni, penguasaan, perubahan emosional, atau perubahan tingkah
laku yang dapat diukur dengan tes tertentu.
Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 787) “Prestasi belajar
artinya penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata
pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan
oleh guru”. Lalu Menurut V. Altaria, “Prestasi belajar bisa diartikan sebagai
keberhasilan dalam belajar.” Dan Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(dalam E. M Ni’mah, 2007 : 24) mengartikan prestasi belajar sebagai ‘Hasil yang
telah diperoleh oleh siswa dalam mengikuti program pengajaran pada waktu tertentu
dalam bentuk nilai.’
Seperti halnya pengertian belajar, memang pengertian mengenai prestasi
belajarpun beraneka ragam. Namun demikian, dari beberapa pendapat yang
diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil belajar siswa
setelah mempelajari dan memahami materi pelajaran tertentu dalam waktu tertentu
yang dapat dinyatakan dalam bentuk skor setelah sebelumnya diukur terlebih dahulu
melalui suatu tes hasil belajar. Adapun prestasi belajar ini dapat menunjukkan
sejauhmana penguasaan keberhasilan siswa terhadap materi pelajaran tersebut.
Dengan catatan pelaksanaan tes hasil belajar dilakukan sejujur mungkin artinya
siswa mengerjakan semua soal-soal dalam tes atas dasar mengandalkan kemampuan
dirinya sendiri atau tidak dibantu oleh orang lain.
Prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor intern
dan faktor ekstern.
Faktor intern merupakan faktor-faktor yang berasal atau bersumber dari peserta
didik itu sendiri, sedangkan faktor ekstern merupakan faktor yang berasal atau
bersumber dari luar peserta didik. Faktor intern meliputi prasyarat belajar, yakni
pengetahuan yang sudah dimiliki oleh siswa sebelum mengikuti pelajaran
berikutnya, keterampilan belajar yang dimiliki oleh siswa yang meliputi cara-cara
yang berkaitan dengan mengikuti mata pelajaran, mengerjakan tugas, membaca
buku, belajar kelompok mempersiapkan ujian, menindaklanjuti hasil ujian dan
mencari sumber belajar, kondisi pribadi siswa yang meliputi kesehatan, kecerdasan,
sikap, cita-cita, dan hubungannya dengan orang lain. Faktor ekstern antara lain
7. meliputi proses belajar mengajar, sarana belajar yang dimiliki, lingkungan belajar,
dan kondisi sosial ekonomi keluarga (Usman, 1995: 12).
Kemudian dalam hubungannya dengan matematika prestasi belajar
matematika dapat diartikan sebagai tingkat penguasaan terhadap mata pelajaran
matematika yang dicapai siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar
matematika dalam waktu tertentu sesuai dengan tujuan yang ditetapkan dan dapat
dinyatakan dalam bentuk skor. Selain prestasi yang dicapai oleh siswa merupakan
gambaran hasil belajar siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar dalam kurun
waktu tertentu, hal ini juga merupakan interaksi antara beberapa faktor yang
mempengaruhi hasil prestasi belajar siswa tersebut.
8. 2. Model Pembelajaran Kooperatif-kolaboratif dan Model Pembela-jaran
kontekstual.
Menurut R. Widodo (2009) model pembelajaran dapat diartikan sebagai
“Kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematik dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan
berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pengajaran dan para guru dalam
merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar”. Sedangkan menurut
A. Suyitno (dalam Hernawati, 2007:22) ‘Model pembelajaran adalah suatu pola atau
langkah-langkah pembelajaran tertentu yang diterapkan agar tujuan atau kompetensi
dari hasil belajar yang diharapkan akan cepat dicapai dengan lebih efektif dan
efisien’.
Menurut Nn (2008) Istilah model pembelajaran mempunyai 4 ciri k-husus yang
tidak dipunyai oleh strategi atau metode pembelajaran, yaitu :
a. Rasional teoritis yang logis yang disusun oleh pendidik.
b. Tujuan pembelajaran yang akan dicapai
c. Langkah-langkah mengajar yang diperlukan agar model pembelajaran dapat
dilaksanakan secara optimal.
d. Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat dicapai.
Dalam pelaksanaannya dilapangan, model pembelajaran banyak jenisnya
beberapa diantaranya adalah model pembelajaran konvensional, model pembelajaran
berbasis pemecahan masalah, dan model pembelajaran kooperatif. Masing-masing
model pembelajaran tersebut tentu saja memiliki kelebihan dan kelemahan masing-
masing. Oleh karena itu, hal tersebut dapat diatasi dengan cara menerapkan model-
model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang diajarkan, maka dengan
demikian pencapaian tujuan pembelajaranpun diharapkan dapat diperoleh secara
maksimal.
Adapun dalam konteks ini yang akan dibahas hanya dua jenis model
pembelajaran saja yakni model pembelajaran kooperatif-kolaboratif dan model
pembelajaran kontekstual.
a. Model Pembelajaran Kooperatif-Kolaboratif
Motivasi yang mendasari model pembelajaran kooperatif-kolaboratif dalam
kegiatan belajar menurut sudrajat (2004:114), yaitu:
9. i. Mereka yang belajar dengan tujuan kompetensi dengan temannya untuk menjadi
yang terbaik.
ii. Mereka yang belajar secara perorangan (individual) untuk mencapai tujuan
mereka, tanpa menaruh perhatian pada temannya.
iii. Mereka yang belajar dengan kerja sama, karena mereka yang memi-liki
keinginan yang sama.
Kooperatif-kolaboratif dirancang untuk memfasilitasi tercapainya tujuan
pembelajaran melalui kerjasama dalam kelompok karena filsafat kolaborasi
merupakan interaksi dan gaya hidup personal yang setiap individu bertanggung
terhadap tindakan-tindakannya, termasuk pembelajaran dan menghargai kemampuan
kontribusi sejawatnya.
Kerjasama merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam kehidupan untuk
membina dan mengembangkan sikap sosial siswa (anak didik). Hal ini didasari
bahwa anak didik adalah sejenis mahluk homo socius, seperti diungkapkan
Djamarah dan Zain (2002), yaitu “mahluk yang berkecenderungan hidup bersama”.
Sudrajat (2004 : 122) menyatakan bahwa :
Pembelajaran kooperatif-kolaboratif sangat baik untuk membentuk sikap
bertanggung jawab sosial, dan mengurangi sifat ke”aku”an yang tinggi, disamping
meningkatkan motivasi belajar dan pengembangan kreativitas individu. Melalui
pembelajaran kooperatif-kolaboratif, siswa mampu mengkontruksi konsep-konsep
kunci keilmuan untuk dimiliki dan dikuasainya, dalam upaya memiliki kemampuan
dasar keilmuan.
Slavin (1995 : 71) menyatakan bahwa : “pembelajaran kooperatif adalah suatu
model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok
kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari tiga sampai lima orang, dengan
stuktur kelompok heterogen”.
Hal senada juga disampaikan oleh parker (dalam Heriyanto, 2000: 18) bahwa :
“Pembelajaran kooperatif adalah lingkungan pembelajaran kelas dimana siswa
bekerja bersama-sama dalam kelompok kecil yang heterogen”. Johnson dan Johnson
(dalam sudrajat 2004 :120) menyatakan, “Cooperativ-colaborativ learning
mendorong timbulnya ide baru solusi terhadap permasalahan dan higher level
10. reasoning, akhirnya menghasilkan perolehan yang lebih tinggi dan produtivitas
tinggi pula”.
Johnson dan Johnson (dalam lie 2004) menyatakan bahwa yang termasuk
dalam struktur pembelajaran kooperatif ada lima unsur yaitu :
i. Saling ketergantungan positif,
ii. Tanggung jawab individual,
iii. Interaksi personal,
iv. Keahlian kerja bersama, dan
v. Proses kelompok.
Sedangkan Goleman (2003 :324) menyatakan bahwa :
Kooperetif-kolaboratif atau bekerja bersama orang lain menuju sasaran bersama
dimana siswa yang mempunyai kecakapan ini dapat :
i. Mengembangkan pemusatan perhatian kepada tugas dengan perhatian kepada
hubungan.
ii. Kolaborasi, berbagai rencana, informasi, dan sumber daya.
iii. Mempromosikan iklim kerja sama yang bersahabat.
iv. Mendeteksi dan menimbulkan peluang-peluang untuk kolaborasi.
Dari pernyataan-pernyataan diatas, dapat penulis simpulkan bahwa model
pembelajaran kooperatif-kolaboratif merupakan suatu model pembelajaran guna
mengaktifkan siswa dengan cara membagi siswa ke dalam beberapa kelompok kecil
beranggotakan tiga sampai lima orang siswa dengan kemampuan heterogen, mereka
diberi tugas penyelesaian masalah (soal) matematika dengan dikerjakan dalam satu
tim yang bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama selama kegiatan pembelajaran
berlangsung.
Pola pembelajaran kooperatif-kolaboratif menurut Sudrajat (2004) memiliki
beberapa elemen, yaitu :
i. Saling ketergantungan yang positif ( positive independence)
Pembelajaran kooperatif-kolaboratif akan berhasil bila dalam kelompok belajar
mereka terdapat rasa saling percaya satu sama lain, mereka harus memantapkan
tekad “Sink or swim together”, tenggelam atau beranang bersama.
11. Ada dua pertanggungjawaban kelompok dalam proses belajar bersama yaitu
mempelajari bahan yang ditugaskan kepada kelompok, dan menjamin semua
anggota kelompok secara individu mempelajari bahan yang ditugaskan.
Ada beberapa cara untuk membangun saling ketergantungan positif, yaitu :
a) Menembuhkan perasaan siswa bahwa dirinya berada dalam kelom-pok, pencapai
tujuan terjadi bila semua anggota kelompok mencapai tujuan.
b) Mengusahakan agar semua anggota kelompok mendapatkan perole-han, hadiah
(reward) yang sama bila kelompok mereka berhasil tujuan.
c) Mengatur agar sikap siswa kelompok hanya mendapatkan sebagian dari
keseluruhan tugas kelompok, mereka dapat dinyatakan menyalesaikan tugas
sebelum mereka menyatukan perolehan mereka menjadi satu kesatuan tugas
yang utuh.
d) Setiap siswa diberi tugas dengan tugas-tugas atau peran yang saling mendukung,
saling melengkapi, dan saling terkait dengan siswa yang lain dalam kelompok,
peran-peran tersebut sangat penting bagi proses pembelajaran yang bermutu
(high quality learning).
ii. Interaksi yang saling mendorong (face to face promotive interation)
Interaksi promotif terjadi bila setiap siswa saling memberi dorongan atau
motivasi satu sama lain, dan saling memfasilitasi kegiatan atau saling memberi
bantuan untuk memenuhi tugas keseluruhan dalam upaya mencapai tujuan
kelompok.
iii. Pertanggungjawaban individual (personal responsilibity)
Pertanggungjawaban individual adalah kunci untuk menjamin semua anggota
diperkuat oleh kegiatan belajar bersama, jadi setelah mengikuti kegiatan belajar
bersama, anggota-anggota kelompok harus dapat menyelesaikan tugas yang sama.
Dari hasil pemberian tugas tersebut guru dapat mengukur berapa besar kontribusi
setiap pada kelompok.
iv. Keterampilan interaksi sosial
Tidak semua siswa memiliki keterampilan interaksi sosial seperti saling
mengenal dan saling mempercayai, mampu berkomunikasi secara akurat dan tidak
ambisius, saling menerima dan saling mendukung, serta mampu menyelesaikan
konflik secara kontruktivisme. Perhatian guru terhadap interaksi social ini akan
meningkatkan perolehan belajar mereka.
v. Pemprosesan kelompok (group prosessing)
12. Pemrosesan kelompok dapat didefinisikan dari tahapan kegiatan kelompok dan
kegiatan anggota kelompok. Siapakah diantara anggota kelompok yang sangat
membantu dan siapkah yang tidak membantu. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan efektifitas anggota dalam memberikan kontribusi terhadap kegiatan
kolaboratif untuk mencapai tujuan kelompok.
Sudrajat (2004 : 115) menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif-
kolaboratif terdiri dari beberapa pendekatan, yaitu :
a) Student Team Learning, kelompok belajar siswa.
b) Learning Together, belajar bersama.
c) Group Investigation, kelompok penelitian.
d) Structural Approach, pendekatan struktural.
e) Complex Instruction, pembelajaran yang kompleks.
f) Collaborative Approach, pendekatan kooperatif-kolaboratif.
Keenam pendekatan tersebut, memiliki atribut pembelajaran yang sama, yaitu :
a) Penugasan yang sama bagi semua anggota kelompok, dengan kegia-tan yang
sesuai untuk kerja sama kelompok.
b) Kelompok belajar dengan jumlah kecil yaitu diantara tiga sampai li-ma orang.
c) Adanya perilaku kerja sama (Cooperative Behavior).
d) Adanya saling ketergantungan antar mereka (Interdependence)
e) Adanya pertanggu jawaban individual (Individual Accountability and
Responsibility).
Kegiatan pembelajaran kooperatif-kolaboratif berserta komponen dan pola
pembelajaran yang telah disampaikan diatas disajikan dalam bentuk skema sebagai
berikut :
b. Model Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual bertujuan membekali siswa dengan pengetahuan yang
secara luwes dapat diterapkan dari suatu permasalahan ke permasalahan lain dan
dari satu konteks ke konteks lainnya. Pembelajaran kontekstual dapat dikatakan
sebagai sebuah pendekatan pembelajaran yang mengakui dan menunjukan kondisi
alamiah dari pengetahuan melalui hubungan didalam dan diluar ruang kelas, suatu
pendekatan pembelajaran kontekstual menjadikan pengalaman lebih relevan bagi
13. siswa mengembangkan pengetahuan yang akan mereka terapkan dalam
pembelajaran seumur hidup.
Pemanfaatan pembelajaran kontekstual akan membantu menciptakan ruang
kelas yang didalamnya siswa akan menjadi peserta aktif bukan hanya pengamat
yang pasif tetapi mereka bertanggung jawab terhadap belajarnya sehingga perolehan
belajarnya akan lebih bermakna.
Menurut arti kata kontekstual berasal dari bahasa inggris yaitu contextual yang
berarti tergantung, tercakup atau juga termasuk dan teaching berarti mengajar
sedangkan learning artinya ilmu pengetahuan, dan secara keseluruhan CTL berarti
pembelajaran yang dikaitkan dengan konteks dimana siswa itu berada.
CTL disebut model pembelajaran kontekstual karena konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia
nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota
masyarakat.
“Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan proses pembelajaran
yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar
dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari – hari (konteks
pribadi, sosial , dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan
yang dinamis dan fleksibel untuk mengkontruksi sendiri secara aktif
pemahamannya” (Bondono, 2008:1).
“Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran
yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat
menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi
kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan mereka” (Sanjaya, 2007:253).
Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus kita pahami, pertama CTL
menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya
proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses
belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima
pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.
Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi
yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan
dapat mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja
14. bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional, akan tetapi materi yang
dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah
dilupakan.
Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan,
artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang
dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai
perilakunya dalam kehidupan sehari – hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL
bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal
mereka dalam mengarungi kehidupan nyata.
Sehubungan dengan hal itu, terdapat lima karakteristik penting dalam proses
pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran kontekstual/CTL.
1) Dalam CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahu-an yang
sudah ada (activating knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak
terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan
yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki
keterkaitan satu sama lain.
2) Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka memper-oleh dan
menambah pengetahuan baru (acquairing knowledge). Pengetahuan baru itu
diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan
mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan detailnya.
3) Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya penge-tahuan
yang diperoleh bukan untuk dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakini,
misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan
yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu
dikembangkan.
4) Memperhatikan pengetahuan dan pengalaman (applying knowledge), artinya
pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan
dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa.
5) Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengem-bangan
pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan
penyempurnaan strategi.
Setiap siswa mempunyai gaya yang berbeda dalam belajar. Perbedaan yang
dimiliki siswa tersebut oleh Bobbi Deperter (1992) dinamakan sebagai unsur
modalitas belajar. Menurutnya ada tiga tipe gaya belajar siswa, yaitu tipe visual, tipe
15. auditorial, dan kinestetis. Tipe visual adalah gaya belajar dengan cara melihat,
artinya siswa akan lebih cepat belajar dengan cara menggunakan indra penglihatan.
Tipe auditorial adalah tipe belajar dengan cara menggunakan alat pendengarannya,
sedangkan tipe kinestetis adalah tipe belajar dengan cara bergerak, bekerja, dan
menyentuh.
Dalam pembelajaran kontekstual, setiap guru perlu memahami tipe belajar
dalam dunia siswa, artinya guru perlu menyesuaikan gaya mengajar terhadap belajar
siswa. Dalam proses pembelajaran konvensional, hal ini sering terlupakan sehingga
proses pembelajaran tak ubahnya sebagai proses pemaksaan kehendak, yang
menurut Paulo Freire sebagai sistem penindasan.
Sehubungan dengan itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan bagi
setiap guru manakala menggunakan pendekatan CTL:
1) Siswa dalam pembelajaran kontekstual dipandang sebagai individu yang sedang
berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat
perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya.
2) Setiap anak memiliki kecenderungan untuk belajar hal – hal yang ba-ru dan
penuh tantangan.
3) Belajar bagi siswa adalah proses mencari keterkaitan atau keterhubu-ngan antara
hal – hal yang baru dengan hal – hal yang sudah diketahui.
4) Belajar bagi anak adalah proses menyempurnakan skema yang telah ada
(asimilasi) atau proses pembentukan skema baru (akomodasi), dengan demikian
tugas guru adalah memfasilitasi (mempermudah) agar anak mampu melakukan
proses asimilasi dan proses akomodasi.
CTL sebagai suatu model pembelajaran memiliki 7 asas. Asas – asas ini yang
melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran CTL. Ketujuh asas ini adalah :
1) Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan
baru. Filsafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldawin dan
dikembangkan dan diperdalam oleh Jean Piaget menganggap bahwa
pengetahuan itu terbentuk bukan hanya dari objek semata, tetapi juga dari
16. kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap setiap objek yang
diamatinya.
2) Inkuiri
Asas kedua dalam pelaksanaan pembelajaran CTL adalah inkuiri. Artinya,
proses pembelajaran didasarkan pada pencairan dan penemuan melalui proses
berpikir secara sistematis.
Secara umum proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu :
a) Merumuskan masalah
b) Mengajukan hipotesis
c) Mengumpulkan data
d) Menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan
e) Membuat kesimpulan
3) Bertanya
Bertanya pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan.
Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu,
sedangkan menjawab pertanyaan mencermikan kemampuan seseorang dalam
berfikir. Dalam proses pembelajaran melalui CTL, guru tidak menyampaikan
informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan
sendiri. Karena itu peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyan –
pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan
setiap materi yang dipelajarinya.
Dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat
berguna untuk menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam penguasaan
materi pelajaran, membangkitkan motivasi siswa untuk belajar, merangsang
keingintahuan siswa terhadap sesuatu, memfokuskan siswa pada suatu sesuatu
yang diinginkan, dan membimbing siswa untuk menemukan atau
menyimpulkan sesuatu.
4) Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep masyarakat belajar dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran
diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Kerja sama itu dapat dilakukan
dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok belajar secara formal maupun
dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah.
5) Pemodelan (Modeling)
17. Yang dimaksud dengan asas modeling adalah proses pembelajaran dengan
meragakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa.
6) Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang
dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian – kejadian atau peristiwa
pembelajaran yang telah dilaluinya. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar
itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan
menjadi bagian dari pengetahuan yang dimilikinya.
7) Penilaian Nyata (authentic Assessment)
Penilaian nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan
informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini
diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar – benar belajar atau tidak,
apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap
perkembangan baik intelektual maupun mental siswa.
F. Hipotesis
Dalam penelitian ini penulis mengajukan hipotesis “terdapat perbedaan prestasi
belajar siswa antara siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif-
kolaboratif dengan siswa yang menggunakan model pembelajaran kontekstual”
G. Metode Penelitian
1. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi variabel penelitian adalah prestasi belajar
siswa sebagai variabel terikat, sedangkan model pembelajaran kontekstual model
pembelajaran kooperatif-kolaboratif sebagai variabel bebas.
2. Desain Penelitian
Dalam penelitian ini sampel terdiri dari dua kelompok yang akan diambil secara
acak (random). Adapun sampel yang dimaksud adalah yang pertama kelompok yang
dijadikan sebagai kelompok eksperimen yaitu yang diberikan model pembelajaran
kooperatif-kolaboratif sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok kontrol
yang diberikan model pembelajaran kontekstual.
Sebelum pembelajaran dilaksanakan, kedua kelompok masing-masing diberikan
tes awal (pretest). Tes ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal siswa di
kedua kelas tersebut, apakah kemampuan awal kelas kontrol dan kelas eksperimen
18. sama ataukah berbeda. Kemudian, setelah kemampuan awal kedua kelas diketahui,
baru proses pembelajaran dimulai. Untuk kelas eksperimen diberikan model
pembelajaran kooperatif-kolaboratif sedangkan untuk kelas kontrol diberikan model
pembelajaran kontekstual. Setelah pelaksanaan pembelajaran seluruhnya
dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah dibuat, maka langkah selanjutnya
adalah melakukan tes akhir (posttest). Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah
terdapat perbedaan prestasi belajar siswa antara kelas eksperimen yang diberikan
model pembelajaran three step interview dengan kelas kontrol yang diberikan model
pembelajaran konvensional.
Berdasarkan uraian diatas maka desain penelitian ini menurut Arikunto (dalam
Sudrajat: 2004) dapat digambarkan sebaai berikut:
E O1 X O2
R
K O1 O2
Keterangan:
E = Kelas Eksperimen
K = Kelas Kontrol
X = Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Three Step Intervi-ew
O1 = Tes Awal
O1 = Tes akhir
R = Pemilihan Kelompok Secara Random
3. Definisi Operasional
Prestasi belajar siswa merupakan tingkat keberhasilan siswa dalam memahami
suatu materi tertentu setelah mempelajari materi tersebut. Prestasi belajar dapat
dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh setelah melakukan tes hasil belajar.
Tes hasil belajar ini dapat benar-benar menunjukkan prestasi siswa jika dilakukan
dengan jujur, artinya siswa mengisi soal-soal tes tanpa bantuan dari orang lain akan
tetapi hanya mengandalkan kemampuannya sendiri.
Kemudian model pembelajaran kontekstual adalah suatu model pembelajaran
yang berpusat pada guru, artinya guru lebih aktif menjelaskan sedangkan murid
hanya mendengarkan dan mencatat penjelasan guru tersebut. Model pembelajaran
ini biasanya sering menggunakan metode ekspositori ataupun ceramah. Adapun
model pembelajaran three step interview adalah suatu model pembelajaran
kooperatif yang dikembangkan oleh Kagan, dalam pembelajaran ini terdapat tiga
19. langkah wawancara yang dilakukan oleh siswa, yaitu 1. siswa pertama sebagai
pewawancara mewawancarai siswa kedua sebagai narasumber, 2. bertukar peran, 3.
bergabung dengan satu pasangan lain dan saling berbagi mengenai hasil wawancara
mereka.
4. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini instrumen pengumpulan data yang akan digunakan adalah
tes. Adapun tes yang akan digunakan merupakan tes berupa essay. Menurut Nana
Sudjana (2001:35):
Tes sebagai alat penilaian adalah pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada
siswa untuk medapat jawaban dari siswa dalam bentuk lisan (tes lisan), dalam
bentuk tulisan (tes tulisan), atau dalam bentuk perbuatan (tes tindakan). Tes pada
umumnya digunakan untuk menilai dan mengukur hasil belajar siswa, terutama hasil
belajar kognitif berkenaan dengan penguasaan bahan pengajaran sesuai dengan
tujuan pendidikan dan pengajaran. Sungguhpun demikian, dalam batas tertentu tes
dapat pula digunakan untuk mengukur atau menilai hasil belajar bidang afektif dan
psikomotoris.
Adapun soal tes yang diberikan baik untuk tes awal maupun untuk tes akhir
adalah sama. Sebelum soal ini diberikan kepada siswa sebelumnya soal ini akan
dikonsultasikan dahulu dengan dosen pembimbing, kemudian diuji dahulu validitas,
reliabilitas, daya pembeda serta indeks kesukaran soal baik secara keseluruhan
maupun untuk tiap butir soal.
“Validitas adalah ketetapan alat penilaian terhadap konsep yang dinilai sehingga
betul-betul menilai apa yang seharusnya dinilai” (Sudjana, 2001: 12).
Untuk menentukan koefisien validitas ada 3 macam cara yaitu :
a) Korelasi product moment menggunakan simpangan
b) Korelasi product moment menggunakan angka kasar (raw score)
c) Korelasi metode rank (rank method correlations)
Untuk menentukan validitas, baik validitas soal maupun validitas tiap butir soal
dalam penelitian ini akan menggunakan cara angka kasar (raw score). Rumus yang
digunakan adalah sebagai berikut :
))()()((
))((
2222
yynxxn
yxxyn
rxy
Kriteria validitas :
20. 0,80 < rxy ≤ 1,00 : validitas sangat baik
0,60 < rxy ≤ 0,80 : validitas baik
0,40 < rxy ≤ 0,60 : validitas sedang
0,20 < rxy ≤ 0,40 : validitas kurang
0,00 < rxy ≤ 0,20 : validitas sangat kurang
rxy ≤ 0,00 : tidak valid
“Reliabilitas alat penilaian adalah ketetapan atau keajegan alat tersebut dalam
menilai apa ang dinilainya. Artinya kapanpun alat penilaian tersebut digunakan akan
memberikan hasil yang relatif sama” (Sudjana, 2001: 16).
Untuk mengukur reliabilitas soal maka yang akan digunakan adalah rumus
alpha, yaitu:
t
i
s
s
n
n
r 2
2
11 1
1
Keterangan:
n = banyaknya butir soal
si
2 = jumlah variansi skor setiap item
st
2 = variansi total
Kriteria reliabilitas :
0,80 < r11 ≤ 1,00 : reliabilitas sangat tinggi
0,60 < r11 ≤ 0,80 : reliabilitas tinggi
0,40 < r11 ≤ 0,60 : reliabilitas sedang
0,20 < r11 ≤ 0,40 : reliabilitas rendah
r11 ≤ 0,20 : reliabilitas sangat rendah
Daya Pembeda (DP) butir soal adalah “seberapa jauh kemampuan butir soal
tersebut mampu membedakan antara siswa yang dapat menjawab butir soal tersebut
dengan benar dengan siswa yang menjawab butir soal tersebut tapi jawabannya
salah” (Moersetyo: 2009).
Rumus yang digunakan adalah :
𝑫𝑷 =
𝑱𝑩𝑨 − 𝑱𝑩𝑩
𝑱𝑺𝑨
𝒂𝒕𝒂𝒖 𝑫𝑷 =
𝑱𝑩𝑨 − 𝑱𝑩𝑩
𝑱𝑺𝑩
Keterangan:
JBA = Jumlah siswa kelompok atas yang menjawab soal benar
JBB = Jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab soal benar
JSA = Jumlah siswa kelompok atas
21. JSB = Jumlah siswa kelompok bawah
Kriteria:
0,70 < DP ≤ 1,00 : sangat baik
0,60 < DP ≤ 0,70 : baik
0,40 < DP ≤ 0,60 : cukup
0,20 < DP ≤ 0,40 : jelek
DP ≤ 0,20 : sangat jelek
Untuk mengukur Indeks Kesukaran (IK) digunakan rumus:
𝑰𝑲 =
𝑱𝑩𝑨 + 𝑱𝑩𝑩
𝑱𝑺𝑨 + 𝑱𝑺𝑩
𝒂𝒕𝒂𝒖 𝑰𝑲 =
𝑱𝑩𝑨 + 𝑱𝑩𝑩
𝟐 𝑱𝑺𝑨
𝒂𝒕𝒂𝒖 𝑰𝑲 =
𝑱𝑩𝑨 + 𝑱𝑩𝑩
𝟐 𝑱𝑺𝑩
Kriteria:
IK = 1 : sangat mudah
0,70 < IK ≤ 1,00 : mudah
0,30 < IK ≤ 0,70 : sedang
0,00 < IK ≤ 0,30 : sukar
IK ≤ 0,00 : terlalu sukar
Adapun untuk menguji validitas, reliabilitas, indeks kesukaran, dan daya
pembeda soal, dilakukan dengan memberikan soal ini untuk dikerjakan oleh kelas
lain yang sudah mempelajari materi pelajaran yang akan diberikan kepada kelas
kontrol dan eksperimen. Jika soal yang dibuat telah memenuhi kriteria soal yang
baik maka soal baru dapat diujikan kepada kelas kontrol maupun kelas eksperimen.
5. Teknik Analisis Data
Dalam penganalisisan data yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan,
maka pertama adalah menguji normalitas data hasil pretest. Pengujian normalitas
data ini diperlukan untuk menentukan jenis statistik apa yang nantinya akan dipakai
untuk menguji hipotesis apakah kemampuan awal siswa kelas kontrol sama dengan
kemampuan awal siswa kelas eksperimen. Untuk menguji normalitas data baik
untuk kelas eksperimen maupun kelas kontrol dalam penelitian ini menggunakan uji
chi kuadrat. Hal ini dilakukan karena data hasil penelitian akan disajikan dalam
bentuk data interval.
Setelah dilakukan pengujian, jika baik data untuk kelas kontrol maupun kelas
eksperimen sama-sama normal maka langkah selanjutnya adalah dengan
22. menerapkan uji statistik parametrik Karena dalam penelitian ini data merupakan
sampel independent, yaitu “sampel yang bebas atau tidak saling mempengaruhi
diartikan sebagai dua buah sampel dengan subjek yang berbeda, mengalami dua
perlakuan atau pengukuran yang berbeda, seperti subjek A mendapat perlakuan I dan
subjek B mendapat perlakuan II. (R. Sundayana, 2009:36)” maka uji statistik
parametrik yang selanjutnya dilakukan adalah uji t independent. Namun, jika salah
satu data atau keduanya tidak berdistribusi normal maka langkah pengujian
berikutnya adalah pengujian dengan menggunakan statistik non parametrik dalam
hal ini dengan menggunakan uji Mann Whitney. Baik Uji Mann Whitney maupun
uji t independent bertujuan untuk menguji hipotesis yaitu apakah kemamuan awal
siswa kelas kontrol sama dengan kemampuan awal siswa kelas eksperimen? Namun
sebelum menguji dengan uji t harus diuji dahulu homogenitas variansinya, jika data
berdistribusi normal dan kedua variansi homogen maka dilanjutkan dengan uji t tapi
jika data berdistribusi normal dan kedua variansi tidak homogen maka dilanjutkan
dengan uji t’.
Jika kemampuan awal siswa kelas kontrol ternyata tidak sama dengan
kemampuan awal siswa kelas eksperimen, maka harus dilakukan uji Gain setelah
hasil post test diperoleh. Gain adalah selisih antara nilai post test dengan pretest.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
a) tentukan gain kelas eksperimen
b) tentukan gain kelas kontrol.
c) buat distribusi frekuensi gain masing-maing kelas. Kemudian uji nor-malitasnya.
d) jika ternyata keduanya berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan tes
homogenitas.
e) jika kedua variansinya homogen dilanjutkan dengan uji t.
f) jika salah satu atau kedua distribusi tersebut tidak normal, maka di-gunakan
statistik nonparametrik, yaitu: Mann Whitney.
g) jika kedua distribusi tersebut normal tapi tidak homogen, maka dilan-jutkan
dengan tes t’.
Kemudian setelah diketahui kemampuan awal siswa kedua kelas, maka apabila
proses pembelajaran telah selesai dilakukan dan hasil postest telah diperoleh,
selanjutnya untuk menguji hasil postest juga dilakukan hal yang sama. Adapun
hipotesis yang diuji pada hasil postest yaitu hipotesis yang diajukan penulis pada
penelitian ini.
23. 6. Rumus Yang Akan Digunakan
a. Rumus Chi Kuadrat
Langkah-langkah uji chi kuadrat adalah sebagai berikut :
1) Menetukan nilai rata-rata dan simpangan bakunya.
2) Mengurutkan data dari yang terkecil ke yang terbesar.
3) Mengubah data diskrit (data mentah) menjadi data interval dengan cara
membuat tabel normalitas data sebagai berikut
4) Menetukan nilai chi kuadrat hitung.
Ei
Eifi 2
2 )(
5) Menentukan nilai chikuadrat tabel: )3()1(
22
ktabel dengan k=
banyaknya kelas interval.
6) Krtiteria pengujian: jika
22
tabelhitung
maka data beristribusi nor-mal.
Keterangan:
fi = frekuensi (banyaknya data)
Ei = (luas Zi) x ( fi )
b. Rumus Uji Homogenitas
Langkah-langkah uji homogenitas :
1) menentukan nilai Fhitung dengan rumus :
2
2
hitung
kecil)baku(
besar)baku(
kecilvarians
besarvar
F
simpangan
simpanganians
2) menetukan nilai F tabel dengan rumus :
1)-keciln varian1/-besarn varian( dkdkFFtabel
3) Kriteria Uji
Jika Fhitung < Ftabel dengan maka varians homogen.
c. Rumus Uji t
Langkah-langkah uji t:
1) Merumuskan hipotesis, baik Ho maupun Ha.
2) Menghitung nilai thitung 21
21
21
nn
nn
Sgab
xx
24. 2
)1()1(
21
2
22
2
11
nn
snsn
Sgabungan
3) Menentukan nilai ttabel = )2( 21 nndkt
4) Kriteria pengujian hipotesis:
Jika : - ttabel ≤ thitung ≤ ttabel maka Ho diterima.
d. Rumus Uji t’
Langkah-langkah uji t’:
1) Merumuskan hipotesis, baik Ho maupun Ha.
2) Menghitung nilai t’hitung
2
2
2
1
2
1
21
n
s
n
s
xx
3) Kriteria pengujian hipotesis 21
2211
21
2211
'
ww
twtw
t
ww
twtw
, de-ngan
1)-(n;1)-(n;; 2211
2
2
2
2
1
2
1
1 tttt
n
s
w
n
s
w
e. Rumus Uji Mann Whitney
Langkah-langkah uji t’:
1) Merumuskan hipotesis, baik Ho maupun Ha.
2) Menghitung nilai U dan U’. Adapun rumus nilai U dan U’ ada-lah:
UnnU
dan
R
nn
nnU
))(('
2
)1(
21
1
11
21
keterangan:
n1 = jumlah data kelompok pertama
n2 = jumlah data kelompok kedua
R = jumlah ranking kelompok
3) Menghitung rata-rata nilai kedua kelompok dengan rumus
))((
2
1
21 nnU
25. 4) Menentukan nilai T, dengan rumus 12
3
tt
T
, t adalah jum-lah nilai
yang sama.
5) Menghitung deviasi standar gabungan, dengan rumus:
T
NN
NN
nn
12)1(
3
21
6) menghitung transformasi Z dengan rumus:
U
Z
, dengan U yang digunakan adalah yang paling kecil diantara U
dan U’
H. Prosedur Penelitian
1. Tahap Persiapan
a. Pengkajian masalah beserta latar belakang
b. Membuat proposal penelitian
c. Menentukan materi ajar
d. Menyusun instrumen penelitian
e. Pengujian instrumen penelitian
f. Membuat RPP, LKS, jurnal harian, angket, dan lembar observasi
g. Membuat perizinan untuk penelitian
2. Tahap Pelaksanaan
a. Pemilihan sampel penelitian sebanyak dua kelas yang disesuaikan de-ngan
materi penelitian dan waktu pelaksanaan penelitian
b. Pelaksanaan pretest kemampuan berpikir kritis matematis untuk ke-dua kelas.
c. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran dengan mengimplementasikan model
kooperatif-kolaboratif dan model pembelajaran kontekstual
d. Pelaksanaan postest untuk kedua kelas
e. Pemberian angket untuk kedua kelas
3. Tahap Pengumpulan dan Analisis Data
a. Pengumpulan data hasil penelitian
b. Pengolahan data hasil penelitian
c. Analisis data hasil penelitian
d. Penyimpulan data hasil penelitian