Makalah ini ditulis dan judul sengaja di-edit sesuai kebutuhan sebagai bantahan terhadap para ghulat “salafy” ekstrem. Sumber makalah ini dapat merujuk ke situs www.alinshof.com. Dialihkan ke Word oleh Tim Pembela Kehormatan Ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah (tpku@hushmail.com)
Wahdah Islamiyah - Bantahan Kepada Salafy Ekstrem Bagian V
1. Wahdah Islamiyah –
Bantahan Kepada
“Salafy” Ekstrem
Bagian V
Tim Pembela Kehormatan Ulama
1/14/2010
Makalah ini ditulis dan judul sengaja di-edit sesuai kebutuhan sebagai bantahan terhadap
para ghulat “salafy” ekstrem. Sumber makalah ini dapat merujuk ke situs
www.alinshof.com. Dialihkan ke Word oleh Tim Pembela Kehormatan Ulama Ahlu
Sunnah wal Jama’ah (tpku@hushmail.com)
2. JUDUL ASLI : SILSILAH PEMBELAAN PARA ULAMA DAN DU'AT
(Bagian V)
3. Akh sofyan khalid mengatakan :
Kedua : Muwazanah (Menyebutkan penyimpangan seseorang
bersamaan dengan kebaikannya)
Adapun tentang keharusan muwazanah, terkadang dalam ceramah asatidzah
Wahdah Islamiyah tidak dengan terang-terangan mengatakan keharusan
muwazanah, seperti dengan mengistilahkan tawazun, atau dengan ungkapan
Ust. Yusron dalam salah satu kaset ceramahnya, ketika ia menjelaskan firman
Allah -Ta’ala- tentang adanya Ahli Kitab yang berkhianat dan ada pula yang
amanah. Di situ Ust. Yusron mengatakan, “Ayat ini merupakan dalil, terserah
mau dinamakan muwazanah atau apa[1]”.
Dalam kaset berjudul Muhasabah, Ust. Yusron mengatakan, “Kalau hanya
perkara muwazanah ini yang menjadi sebab permusuhan Wahdah Islamiyah
dengan Salafy, maka kami siap meninggalkan muwazanah, tapi tidak dalam
prakteknya”. Saya kutip secara makna, silahkan merujuk langsung ke kaset-
kaset tersebut.
Secara tersirat ia mengharuskan muwazanah dengan istilah apapun. Ini
membantah persangkaan sebagian orang bahwa asatidzah Wahdah Islamiyah
tidak mengharuskan muwazanah. Ini dikuatkan oleh perkataan Hasan Bugis
yang diterjemahkan oleh Ust. Rahmat Abdurrahman, Lc ketika dauroh di
Kalimantan dan telah dibantah oleh Al-Ustadz Abu Karimah Askari –jazahullahu
khoiron-.
Tanggapan :
Ikhwah fillah, kami tidak ingin berspekulasi tentang maksud yang
diharapkan al-akh Sofyan Khalid dalam poin ini, utamanya kutipan terhadap
ucapan Ust. Muhammad Yusran Anshor, Lc mantan gurunya sendiri. Namun
sebagai amanah ilmiyah, kami harus melakukan klarifikasi langsung terhadap
sang empunya qaul, dan tidak asal mereka-reka apa di balik perkataan
seseorang, sebagaimana dilakukan akh-Sofyan terhadap perkataan Ust. Bahrun
Nida, Lc yang juga mantan gurunya sendiri. Namun yang kami khawatirkan
adalah, jika al-akh Sofyan kemudian mengeluarkan sebuah kesimpulan prematur
dari apa yang ia dengar tersebut.
Adapun maksud Ust. Muhammad Yusron Anshar, Lc –hafidzahulloh-,
tidak lebih hanya seputar "perbedaan dalam penggunaan sebuah istilah".
Dimana jika hanya karena istilah muwazanah yang menjadi benang merah
perselisihan, maka kita tidak segan-segan menanggalkan istilah tersebut, dan
tidak mengapa kemudian dinamakan dengan istilah-istilah lain, karena
substansinya tidak beda. Dan realitanya memang demikian, kendati kita
berusaha menampik. Sebab hal ini banyak sekali tersirat dalam al-Qur'an dan
as-Sunnah serta perkataan ulama ahlu sunnah, dalam perkara penerapan
4. "manhaj muwazanah", seperti yang akan kami nukilkan dalam tulisan ini.
Anehnya, al-akh Sofyan dan kelompoknya begitu gigih memerangi muwazanah,
namun dia sendiri yang terjebak dalam "muwazanah". Dan ini merupakan bukti,
bahwa sebenarnya muwazanah merupakan perkara badihy (alamiyah
aksiomatik) dimana seseorang tidak dapat terlepas darinya, kendati dengan
sekuat tenaga berusaha membohongi fitrahnya.
Perlu kami tegaskan, bahwa dalam tataran aplikasi manhaj muwazanah ini, kami
memiliki koridor nyata sesuai apa yang dipraktekkan oleh para ulama Ahlu
Sunnah wal Jama'ah. Terdapat kaidah-kaidah yang jelas, agar dalam aplikasi
manhaj tersebut tidak serampangan sebagaimana tudingan kelompok "salafy",
demikian pula dalam hal penolakannya agar tidak semrawut dan "sapurata"
seperti manhaj kelompok "salafy", yang hanya menilik seseorang berdasar
kesalahan dan kekeliruannya. Dan kalau mau jujur, sebenarnya ini pula yang
diakui sendiri oleh al-akh Sofyan dan kelompok "salafy" berkenaan dengan
manhaj muwazanah kami.
Maka dapat kami katakan di sini sebagai mabda' bagi manhaj muwazanah
Wahdah Islamiyah:
Pertama: Perlu dipahami perbedaan dalam hal taqwim (meluruskan) seseorang
atau jama'ah tertentu, dengan bantahan dan tahdzir (memberi peringatan agar
orang lain berhati-hati) dari seseorang atau suatu jama'ah yang menyelisihi
manhaj yang haq.
Dalam persoalan taqwim, maka tidak syak lagi, dibutuhkan bahkan wajib
bersikap muwazanah antara kebaikan dan keburukan yang ada padanya. Sebab,
dalam hal ini, posisi orang yang hendak meluruskan itu ibarat seorang qadhi
yang harus melihat perkaranya dari segala sisi, agar melahirkan keputusan yang
adil. Makanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Jika duduk di
hadapanmu dua orang yang berseteru, maka jangan engkau putuskan perkara
hingga engkau menyimak dari pihak lain sebagaimana engkau dengarkan dari
pihak pertama, sebab yang demikian lebih pantas agar jelas bagimu keputusan".
Adapun dalam perkara tahdzir, maka tidak disyaratkan muwazanah padanya,
yakni tidak disyaratkan penyebutan kebaikan padanya. Sebab maksud di sini
adalah membantah penyimpangan dan bukan taqwim. Dan inilah yang
diisyaratkan oleh Hadits Fathimah binti Qais saat minta nasehat pada Nabi
shallallahu alaihi wasallam tentang perihal dua laki-laki yang hendak
melamarnya: "Adapun Abu Jahm, ia tidak pernah menurunkan tongkatnya dari
pundaknya, sedangkan Mu'awiyah ia adalah seorang yang miskin dan tidak
memiliki harta".
Namun dalam kedua kasus di atas, tetap diwajibkan untuk berjalan di atas
koridor manhaj ilmi dalam membantah dan meluruskan, dan bukan atas hawa
nafsu dan tendensi pribadi.
5. Dalam Fatwanya tgl 16/12/1416, al-Allamah as-Syaikh Faqihul Ashr
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menyatakan: "….jika seorang hendak
berkata tentang seseorang, jika maksudnya adalah taqwim, maka harus
menyebutkan kebaikan dan keburukannya, lalu mengeluarkan hukum sesuai
dengan kondisinya. Jika ternyata kebaikannya lebih dominan maka hendaklah
dipuji (atas kebaikannya), namun jika sebaliknya, yakni keburukannya lebih
banyak, maka ia dipuji (disebut) atas keburukannya. Adapun jika yang diinginkan
adalah membantah bid'ah-nya, maka tidak ada tempat untuk menyebutkan
kebaikan-kebaikannya. Sebab, dengan menyebut kebaikan-kebaikannya pada
saat membantah akan menyebabkan (kekuatan) bantahan lemah dan tidak
diterima. Olehnya, dalam masalah ini harus diperinci…".
Kedua: Masalah membantah Ahli Bid'ah. Sebagian orang menyangka bahwa
pijakan manhaj muwazanah antara kebaikan dan keburukan, berarti bersikap
diam terhadap kesalahan, pujian bagi ahli bid'ah, bersikap lembut pada mereka
melalui penyebutan kebaikan-kebaikan serta memuliakan mereka di hadapan
manusia. Tudingan ini jelas sangat keliru dan bukan pada tempatnya. Sebab
membantah kesalahan dari siapa pun, dan dalam persoalan apapun merupakan
tuntutan syar'i. Bahkan dikategorikan sebagai satu cabang dari sekian cabang-
cabang jihad.
Akan tetapi, dalam masalah ini, dibutuhkan fikih seorang alim. Yakni hendaknya
kita dapat membedakan antara tiga macam manusia yang terjebak dalam
perbuatan bid'ah.
1. Kelompok yang terjebak dalam bid'ah lantaran hawa nafsu dan
syahwat. Dimana mereka menyembunyikan kebenaran,
menyimpangkan nash-nash dan mencampuradukkan kebenaran
dan keadilan. Dalam kelompok inilah pemuka-pemuka firqah sesat
dari kalangan Rafidhah, Jahmiyah, Bathiniyah dan selain mereka
berada. Mereka ini-lah yang oleh Ahlu Sunnah disebut sebagai
Ahlul Ahwa'.
2. Mereka yang terjerembab dalam bid'ah karena kejahilan, tidak
bersungguh-sungguh menuntut dalil, serta muqashshir dalam ruju'
terhadap para ulama. Ini banyak dialami oleh penuntut ilmu yang
masih baru, dan hanya membeo kepada orang yang mereka ikuti
(taqlid), dimana mereka tidak menimba ilmu dari sumbernya yang
masih asli. Maka untuk kelompok ini, wajib dinasehati dan
dijelaskan pada mereka agar mengetahui kadar dirinya.
3. Golongan ulama al-mujtahidin yang memiliki kesanggupan untuk
berijtihad, serta telah mencurahkan segala potensi agar sampai
pada kebenaran, akan tetapi mereka keliru dan jatuh dalam
perkara bid'ah. Maka golongan ini, insyaAllah akan mendapat satu
pahala (pahala ijtihad) dan tidak boleh merendahkan apalagi
merusak kedudukan mereka. Namun tetapi tidak boleh mentolerir
kesalahan mereka, dan dibantah dengan cara yang baik berasas
6. akan mahabbah serta doa semoga Allah Ta'ala memaafkan
ketergelinciran mereka itu, seperti Imam al-Baihaqi, Imam Ibnu
Asakir, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Izzuddin bin Abdis
Salam, Imam an-Nawawi dan selain mereka -rahimahumullahu
jami'an-.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata: "Banyak dari
kalangan mujtahid salaf dan khalaf, yang kadang berkata dan berbuat
bid'ah, namun mereka tidak mengetahui bahwa ia (perbuatan dan
perkataan itu) termasuk bid'ah, boleh jadi lantaran hadits dhaif yang
mereka sangka shahih, atau ayat-ayat yang mereka pahami tidak
sebagaimana mestinya atau karena suatu pendapat yang mereka
keluarkan dalam satu masalah padahal ada nash-nash namun belum
sampai pada mereka. Jika ia seorang yang bertakwa pada Rabb-nya,
maka tergolong dalam firman Allah Ta'ala: "Wahai Tuhan kami, jangan
Engkau siksa kami karena kami lupa atau karena salah". (Qs: al-Baqarah :
286), dan dalam as-Shahih dinyatakan, bahwa Allah Ta'ala berfirman:
"Sungguh telah Aku lakukan (ampuni engkau)".
Dalam kesempatan lain, beliau –rahimahullah- berkata: Tidak semua yang
menyelisihi ssuatu dari perkara aqidah akan binasa. Sebab, boleh jadi ia
seorang mujtahid yang terjatuh dalam kesalahan, dan kesalahan tersebut
diampuni. Atau tidak sampai padanya ilmu apa yang sapat ia jadikan
sebagai hujjah, atau ia termasuk yang memiliki banyak kebaikan, dimana
karena kebaikan-kebaikannya itu Allah Ta'ala kemudian mengampuni
kesalahannya".
Ikhwah fillah, dari sini jelas bagi kita akan mabda' manhaj tawazun yang
kami aplikasikan selama ini. Bahwasanya, dalam perkara meluruskan seseorang
dan memberi nasehat padanya, dibutuhkan sikap tawazun atau muwazanah
antara kebaikan dan keburukan pada diri seseorang atau jama'ah yang
dinasehati. Adapun dalam urusan tahdzir serta bantahan bagi para penyelisih,
manhaj ahli sunnah amat jelas yakni tidak menyebutkan kebaikan-kebaikan
mereka. Olehnya, alhamdulillah, sikap tegas kami kepada agama Syi'ah, JIL,
Ahmadiyah dan selainnya yang jelas menyimpang dan berbahaya bagi agama
begitu nampak. Tidak berlaku muwazanah bagi mereka sama sekali. Dan dalam
kondisi inilah berlaku aqwal salaf yang menunjukkan sikap keras dan tidak ada
adanya penyebutan kebaikan bagi ahli bid'ah. Olehnya, apakah antum pernah
menyaksikan kami kala membantah kelompok-kelompok sesat tersebut, lantas
menyebutkan pula kebaikan-kebaikan mereka ?? kalla, dan ini dikarenakan telah
jelas bagi kami, bahwa mereka adalah kelompok Ahli Bid'ah yang jelas
menyimpang.
Adapun selain mereka, dari golongan yang terjebak dalam kesalahan atau bid'ah
lantaran kejahilan, dan tidak karena hawa nafsu dan syahwat, maka tentu saja
yang bermanfaat bagi mereka adalah nasehat yang baik serta dakwah bil
7. hikmah. Bukan dengan kekerasan dan menuding hidung mereka, apalagi
mencemarkan kehormatan dan harga diri mereka.
Sedangkan jika yang terjatuh dalam kesalahan tersebut adalah para ulama dan
orang-orang yang terkenal akan ilmu, maka sudah tentu manhaj kami
sebagaimana manhaj para ulama salaf dalam menyikapi mereka –para ulama
dan mujtahid- yang terjebak dalam kesalahan atau perbuatan bid'ah. Tidak
lantas merubuhkan kehormatan dan mencederai harga diri mereka, wal'iyadzu
billah.
Dan perlu kami singgung di sini, bahwa jika kita menilik milis-milis internet milik
kelompok "salafy" yang anti manhaj muwazanah, rata-rata mereka datang
memaparkan fatwa-fatwa dari Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh al-Allamah
Muhammad bin Shalin al-Utsaimin, Syaikh al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin
al-Albani, dan selain mereka. Padahal, dan inilah kebiasaan kawan-kawan
"salafy", fatwa tesebut lahir dari sebuah pertanyaan umum, yang kemudian
seenaknya ditanzil pada orang-orang tertentu dari kalangan ulama dan du'at.
Misalnya, dengan mengajukan pertanyaan: "Ya Syaikh, apa pendapat anda
tentang seorang yang memuji dan memuliakan ahli bid'ah dan menyebut-nyebut
kebaikan mereka dengan alasan muwazanah dan inshof ?? Maka dapat
dipastikan, dan tidak ada keraguan lagi para Masyaikh Kibar tersebut akan
menjawab: "Perkara ini tidak boleh !!". Dan ini merupakan perkataan yang haq,
tidak ada keraguan padanya. Namun celakanya, kemudian fatwa ini ditanzil
bukan pada tempatnya, untuk mendiskreditkan para ulama dan du'at serta
merubuhkan manhaj inshof dan mu'adalah (muwazanah) secara mutlak.
Buktinya, fatwa-fatwa ulama mu'tabar tersebut di atas lantas mereka –kelompok
"salafy"- ditathbiq (terapkan) untuk menuding dan mendiskreditkan Syaikh Dr.
Safar al-Hawali, Syaikh Dr. Salman al-Audah, Syaikh Dr. 'Aid al-Qarni, Syaikh
Abdur Rahman Abdul Khaliq dan selainnya, padahal sang empunya fatwa hidup
sezaman dengan mereka, berhubungan baik dan bahkan memberi tazkiyah
kepada mereka yang dituding menyimpang karena menerapkan manhaj
muwazanah. Dan ini merupakan sesuatu yang sangat mengherankan, sekaligus
tuduhan secara tidak langsung terhadap para ulama kibar yang fatwanya dipakai
seenaknya, bahwa mereka tidak konsekwen terhadap fatwanya, atau berfatwa
tanpa ilmu atau tidak tahu dalam mentanzil fatwa mereka tersebut, maadzallah !
Dan yang tak kalah aneh lagi, kelompok "salafy" ini mencomot fatwa-fatwa dari
para ulama kibar tersebut, lalu mengambil contoh aplikasi fatwa itu dari Syaikh
panutan mereka dan bukan dari sang empunya fatwa sendiri. Dan inilah
sebenarnya buah dari manhaj kritik mereka yang banyak melahirkan
tanaqudhaat (pertentangan-pertentangan), silahkan lihat tulisan kami yang
berjudul "Fenomena "salafy" dan Manhaj Kritik Terhadap Orang Lain".
Olehnya, sebagai penegas dari manhaj muwazanah dalam menilai orang lain,
serta peringatan bagi kelompok "salafy" yang menafikannya secara mutlak dan
8. menuduh manhaj muwazanah sebagai manhaj Ahli Bid'ah, maka kami akan
memaparkan dalil-dalil dari al-Qur'an, as-Sunnah serta perkataan para ulama
Ahli Sunnah yang mu'tabar berkaitan dengan masalah ini.
Pertama: Dari ayat-ayat al-Qur'an
Tatkala menyebutkan ahlul kitab, Allah menyinggung pula sebagian sifat
mereka yang baik. Allah Ta'ala berfirman: "Di antara ahli kitab ada orang yang
jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya
kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan
kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu
menagihnya". (Qs: Ali Imran : 75).
Dan kita pun maklum, pujian Allah dalam ayat ini bukan berarti pembenaran bagi
kekufuran mereka, namun hanya menyebutkan –mengabarkan- sebagian sifat
mereka yang baik. Ibnu Abbas –radiallahu anhuma- berkata: "Seorang pernah
menitipkan sebanyak dua ribu dua ratus uqiyyah (1 uqiyyah 28 gram) emas
kepada Abdullah bin Salam, lalu ia menunaikan (mengembalikan) amanah itu,
maka karenanya Allah memuji ia, lalu seseorang juga menitipkan sebanyak satu
dinar kepada Fanhash bin Azura', dan ia menghianatinya".
Demikian pula perkataan ratu Saba' saat menerima surat dari Nabi Sulaiman
'alaihis salam, : "Dia berkata (Ratu Saba) "sesungguhnya raja-raja jika memasuki
satu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya
yang mulia menjadi hina; dan demikian pulalah yang mereka perbuat". (Qs: an-
Naml : 34).
Perhatikan potongan ayat yang digaris bawahi. Para mufassirun sepakat,
bahwa ia adalah perkataan Allah Ta'ala yang membenarkan ucapan ratu Saba,
yang waktu itu belum menyatakan tunduk pada agama Sulaiman alaihis salam
dan beriman kepada Allah Ta'ala.
Dan uslub semacam ini banyak dijumpai dalam Al-Qur'an saat Allah
Ta'ala memberi penilaian pada masalah-masalah tertentu. Contohnya dalam
penyebutan hukum Khamar dan judi, Allah Ta'ala berfirman: "Mereka bertanya
kepadamu tentang khomar dan judi. Katakanlah : "pada keduanya itu terdapat
dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih
besar dari manfaatnya"..(Qs: al-Baqarah : 219).
Juga firman Allah Ta'ala: "dan janganlah kebencianmu terhadap satu
kaum membuat kalian tidak berlaku adil, berlau adillah karena keadilah lebih
dekat dengan ketaqwaan..". (al-Maidah : 6).
Berkenaan dengan ayat ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata: "(Allah Ta'ala) mencegah orang-orang beriman (jangan sampai) karena
kebencian mereka terhadap orang-orang kafir, menjadikan mereka berlaku tidak
9. adil (terhadap mereka). Maka bagaimana jika kebencian itu terarah kepada
orang fasik atau ahli bid'ah lantaran ta'wil dari kalangan orang beriman?! Sudah
barang tentu, ia lebih utama akan kewajiban atasnya agar tidak terbawa
kebencian (yang menghalangi) untuk berlaku adil terhadap orang beriman,
sekalipun orang itu berlaku zalim".
Dan masih banyak lagi, namun kami cukupkan dengan apa yang kami sebut
diatas.
Kedua: Dari as-Sunnah.
Hadits Hatib bin Abi Balta’ah radhiallahu anhu ketika ia melakukan
kesalahan fatal, membocorkan rahasia Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam pada peristiwa penaklukan kota Makkah. Sampai-sampai
Umar bin Khattab radhiallahu anhu minta izin kepada Rasulullah
memenggal lehernya, karena menganggapnya telah munafiq.
Namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mencegah Umar,
dan memberi maaf pada Hatib lantaran kebaikannya lebih dominan
ketimbang kesalahan yang ia lakukan, melalui sabdanya: "Sungguh
ia ikut serta dalam perang badar, apakah engkau tahu wahai
Umar!, sungguh Allah Ta'ala telah menilik orang-orang yang ikut
perang badr, lalu berfirman: "Kerjakanlah apa yang kalian mau,
sungguh Aku telah mengampuni kalian".
Dalam hadits fitan, seperti diriwayatkan Imam Bukhari dari
Hudzaifah radhiallahu anhu, ketika ia bertanya pada Nabi
shallallahu alaihi wasallam: " Apakah setelah keburukan itu ada
kebaikan, ya Rasulallah?", Beliau menjawab: "Benar, namun di
dalamnya ada asap…" Dalam keterangan ini, beliau menyebutkan
kebaikan, kendati padanya ada keburukan.
Bahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah
membenarkan ucapan Iblis -'alaihi la'natullah- yang nyata
merupakan musuh bagi kita, sebagaimana dalam kisah Abu
Hurairah –radhiallahu anhu- yang didatangi Iblis tiga malam
berturut-turut dan mengajarkan padanya –khasiat- ayat kursi.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lalu berkata padanya: "Ia
(Iblis) telah jujur padamu, walaupun ia adalah pendusta besar".
Ketiga: Perkataan Ulama Ahlu Sunnah wal Jama'ah, dari kalangan salaf dan
khalaf.
Imam Sa'id bin Musayyab –rahimahullah- berkata: "Tidak ada
seorang pun dari ulama yang mulia dan utama, melainkan ia
memiliki aib. Namun diantara manusia ada yang keburukannya
tidak pantas disebutkan, sebab siapa yang kebaikannya lebih
banyak daripada keburukannya, maka kebaikan itu menutupi
keburukannya".
10. Imam Ibnu Sirin –rahimahullah- berkata: "Merupakan bentuk
kedzaliman atas saudaramu, engkau menyebut keburukannya
melebihi yang engkau ketahui, lalu menyembunyikan kebaikannya".
Imam Sufyan At-Tsauri rahimahullah berkata: "Ketika menyebutkan
orang-orang sholeh, Allah Ta'ala akan menurunkan rahmat-Nya.
Dan barangsiapa yang tidak mengetahui keutamaan mereka,
kecuali sebagian aib mereka lantaran hasad, ketergelinciran,
ta'asshub, dan syahwat, maka diharamkan untuk menggibahi serta
keluar dari koridor sebenarnya".
Imam Asy-Syafi'i –rahimahullah- berkata: "Jika pada diri seseorang
ada kebaikan yang lebih dominan, maka kita harus bersikap adil
padanya, Namun bila keburukannya lebih banyak, maka dia-lah
yang mujarroh (tercela)".
Perkataan Imam Ahmad Bin Hanbal –rahimahullah-. Abdullah al-
Humaidy meriwayatkan kisahnya bersama Imam Ahmad dan Imam
Syafi'i rahimahumullah. "Suatu hari ia dan Imam Ahmad
mendatangi majelis Imam Syafi'i. Setelah majelis Imam Syafi'i
selesai, Imam Ahmad bertanya pada Abdullah tentang Imam
Syafi'i. Beliau (al-Humaidy) berkata : Maka saya pun lantas
mencari-cari kesalahan Imam Syafi'i –sebab pada diriku ada
kecemburuan terhadap suku quraisy-. Lantas Imam Ahmad berkata
kepadaku: "Anda tidak ridha jika seorang dari suku quraisy (Imam
Syafi'i) memiliki ilmu dan penjelasan seperti ini..?, telah lewat
seratus masalah, kemudian beliau keliru pada lima atau sepuluh
darinya, tinggalkan kekeliruannya dan ambillah apa yang benar".
Berkata Imam Abu Hatim rahimahullah: "Aku menyampaikan pada
Imam Ahmad sebagian ahlu Hadits Kufah yang meminum nabidz
(sejenis minuman keras). Beliau kemudian menjawab : "Ini adalah
ketergelinciran mereka, dan kita tidak menggugurkan 'adalah
mereka lantaran kesalahan tersebut".
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata saat memberi
penilaian pada para ahlu tasawwuf : "Yang benar, mereka adalah
orang-orang yang berusaha beribadah kepada Allah, sebagaimana
orang-orang yang berusaha ta'at kepada Allah. Diantara mereka
ada yang lebih dekat (dengan Allah) karena ibadah mereka, ada
pula yang pertengahan, mereka juga termasuk golongan kanan.
Dan pada kedua golongan tersebut, ada yang berijtihad dan keliru
dalam ijtihad, ada yang melakukan perbuatan dosa dimana Allah
mengampuni dosa mereka atau tidak, dan ada juga yang mengikuti
golongan mereka, yang telah dzolim terhadap diri sendiri serta
berdosa kepada Allah Ta'ala".
Beliau juga berkata tentang mereka (ahli tasawuf) : "Adapun yang
mengikuti "permainan ini" -yang dilakukan orang-orang sufi- yang
disebabkan takwil dari golongan orang-orang jujur, ikhlas, dan baik, maka
telah terhapus dengan kebaikan mereka, begitu pula keburukan dan
11. kesalahan lainnya yang lahir karena hasil ijtihad, dan ini adalah jalan
orang-orang sholeh dari umat ini dalam menyikapi kekeliruan dan
kesalahan mereka".
Beliau -rahimahullah- berkata pula: "Barangsiapa meniti jalan keadilan
maka ia akan memuliakan orang yang berhak dimuliakan, cinta dan loyal
padanya, serta memberikan pada setiap yang memiliki hak, hak-hak
mereka dan kecintaan manusia, ... dia mengetahui, bahwa setiap orang
memiliki kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan, hingga ia dipuji
sekaligus dicela, mendapatkan balasan kebaikan atau hukuman, serta
dicintai dari satu sisi dan dibenci pada sisi lain. Dan ini adalah manhaj
Ahlus Sunnah yang menyelisihi Khawarij dan Mu'tazilah dan yang semisal
mereka".
Beliau -rahimahullah- juga pernah berkata : "Banyak keadaan terkumpul
pada satu perbuatan atau seseorang itu dua perkara –yakni kebaikan dan
kesalahan- dimana celaan, larangan, dan hukuman kadang di arahkan
pada apa yang dikandung pada salah satu dari kedua perkara tersebut
(kesalahan), namun tidak boleh mengabaikan apa yang dikandung oleh
perkara lain (kebaikan). Sebagaimana pujian, perintah, dan balasan
kebaikan didapatkan dari salah satu dari kedua perkara tersebut
(kebaikan), namun tidak boleh mengabaikan apa yang dikandung oleh
perkara lain (keburukan). Terkadang, seseorang dipuji karena
meninggalkan sebagian perbuatan dosa berupa bid'ah dan asusila. Akan
tetapi, sekalipun demikian kadang tercabut apa yang dipuji oleh selainnya
meskipun dia tetap melakukan sebagian perbuatan baik yang sesuai
dengan sunnah. Maka inilah metode muwazanah dan keadilan.
Barangsiapa yang menapakinya, maka ia telah menegakkan keadilan
yang Allah Ta'ala turunkan padanya Kitab dan mizan ".
Imam Adz-Dzahabi –rahimahullah-, kala menyebutkan biografi
Qotadah rahimahulloh, beliau berkata: "Semoga Allah berkenan
memaafkannya dan orang-orang yang terjatuh dalam bid'ah
semisalnya. Dimana niat mereka mengagungkan Allah,
menyucikan-Nya, dan upaya mengerahkan potensinya, dan Allah
adalah Hakim yang Maha adil serta Maha lembut terhadap hamba-
hamba-Nya. Tak ada yang berhak mempertanyakan apa yang Dia
lakukan. Kemudian jika kebaikan seorang ulama kibar lebih
banyak, juga dikenal dengan kerjakerasnya dalam
memperjuangkan kebenaran, dengan keluasan ilmu, kecerdasan,
kebaikan, sifat waro', (ketaqwaan) dan ittiba'nya terhadap sunnah,
maka ketergelincirannya itu termaafkan dan tidak pantas kita
memasukkannya dalam golongan kaum sesat yang membuat kita
lupa dan lalai akan kebaikan-kebaikannya. Yah, kita tidaklah
mengikuti bid'ah dan kesalahannya, dan kita pun berharap baginya
taubat dari yang demikian".
12. Beliau –rahimahullah- berkata pula: "Secara umum seorang dipuji karena
memiliki banyak keutamaan, bukan dengan mengubur kebaikan-kebaikan
mereka hanya karena disebabkan sebuah ketergelinciran, dan semoga ia
kembali dan menyadari kekeliruannya".
Beliau –rahimahullah- juga berkata ketika menyebutkan biografi Imam Al-
Maruzy rahimahullah : "Seandainya setiap kesalahan ijtihad seorang
ulama dalam sebuah masalah –padahal telah diampuni baginya-, lantas
kita membid'ahkannya, maka tak seorangpun diantara kita yang selamat,
tidak pula Ibnu Nasr, Ibnu Mandah dan yang lebih senior dari
keduanya...dan hanya Allah yang Maha pemberi petunjuk pada jalan yang
lurus, dan Ialah yang maha Pemurah dan kepadaNya kita berlindung dari
hawa nafsu serta sifat yang kasar".
Ketika menyebutkan biografi Ibnu Khuzaimah, beliau rahimahullah berkata
: "Seandainya setiap orang yang keliru dalam ijtihadnya -yang dilandasi
niat dan semangat mengikuti al-haq- menjadi sebab kita mencela serta
membid'ahkannya, maka amat sedikit diantara ulama yang selamat dari
kita. Semoga Allah merahmati kita sekalian dengan nikmat dan kemulian-
Nya".
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah, dalam menegaskan 'manhaj
muwazanah' beliau berkata : "Dan diantara kaidah pokok dan
hikmah dalam agama kita, siapa yang memiliki banyak kebaikan
dan mempunyai pengaruh besar dalam Islam, maka hukumnya
berbeda dengan selainnya, dan menjadi sebab kesalahannya
termaafkan. Sesungguhnya kemaksiatan adalah sesuatu yang
kotor, namun jika jumlah air mencapai qullatain (dua kullah) maka
tak ada yang membuatnya najis, berbeda dengan air yang
jumlahnya sedikit, sebagaimana perkataan Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam kepada Umar radhiallahu anhu : "Dan apa yang
engkau tahu wahai Umar, sesungguhnya Allah telah menilik hati
ahlu Badr –yang ikut serta perang Badr- seraya berfirman:
Lakukanlah apa yang kalian inginkan, sungguh Aku telah
mengampuni kalian". Dan ini pula yang menjadi penghalang beliau
membunuh sebagian diantara kaum muslimin di zamannya,
padahal ia berhak untuk dibunuh, dimana beliau mengabarkan,
bahwa mereka telah ikut dalam perang Badr. Dan hal ini
menunjukkan, pada hakikatnya syarat mereka untuk dibunuh telah
terpenuhi, namun terhalangi dengan jasa mereka yang sangat
besar. Intinya adalah ketergelinciran mereka tertutupi oleh
kebaikan-kebaikannya. Ketika Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam memerintahkan sahabat bersedekah, serta merta
Utsman radhiallahu 'anhu bersedekah dengan jumlah yang sangat
banyak. Beliau lantas bersabda: "Tidak ada lagi sesuatu (amalan)
yang membahayakan Utsman setelah hari ini". Demikian pula
13. sabda beliau kala menyaksikan Thalhah naik ke sebuah batu
dengan punggungnya, "Sungguh syurga telah wajib bagi Tholhah".
Begitu juga dengan Kalimullah Musa 'alaihis salam yang melemparkan
"alwah" yang diberikan Allah hingga pecah, bahkan beliau pernah
menampar Malaikat Maut yang menjadi sebab rusaknya mata sang
malaikat, dan juga 'pengaduan' beliau dalam peristiwa isra' dan mi'raj:
"Seorang pemuda (Rasulullah) yang diutus setelahku namun ummatnya
lebih banyak yang masuk syurga dari ummatku", beliau juga pernah
menarik janggut saudaranya Harun seorang Nabi, namun semua itu
tidaklah mengurangi kedudukannya di sisi Allah Ta'ala dan Allah
mencintai serta memuliakannya, lantaran perseteruan Musa dengan
musuhnya, ditambah kesabarannya di jalan Allah yang begitu besar,
tidaklah ternodai oleh pelanggaran-pelanggaran beliau tersebut dan
sedikitpun tidak menurunkan derajat beliau di sisi Allah.
Dan hal ini merupakan perkara aksiomatik di kalangan manusia, bahwa
siapa yang memiliki ribuan kebaikan, menjadi sebab satu atau dua
keburukannya termaafkan. Bahkan terkadang kebaikan dan
keburukannya berseteru, yang kemudian keburukannya akan terkalahkan
dengan banyaknya kebaikan, sebagaimana perkataan seorang penyair :
Jika sang kekasih melakukan sebuah kesalahan
maka ribuan kebaikannya akan datang sebagai penolong
dan syair yang lain menyatakan:
jika sebuah kekeliruan muncul darinya
maka betapa banyak kebaikan yang tersembunyikan
Dan kelak pada hari kiamat, Allah akan menimbang kebaikan dan
keburukan seorang hamba, maka yang paling banyak itulah yang
berpengaruh. Olehnya hendaknya seseorang memperbanyak amalan
kebaikan yang akan menjadi sebab ia mendapatkan kecintaan dan
keridhoan Tuhannya, hingga ketergelinciran yang mungkin dilakukan
disebabkan tabi'at dasarnya akan terampuni disisi-Nya".
Beliau rahimahullah juga berkata: "Siapa yang memiliki ilmu syar'i dan
pengetahuan akan realita pasti mengetahui, bahwa seorang yang mulia,
memiliki jasa dan kebaikan serta kedudukan di mata Islam dan kaum
muslimin, yang pada dirinya lahir kesalahan dan ketergelinciran, maka hal
itu akan termaafkan. Bahkan ia mendapat pahala karena ijtihadnya.
Olehnya, tidak pantas untuk mengungkit-ungkit perkara itu, dan tidak
14. boleh kemudian merusak kedudukan, keilmuan, dan kemuliaannya di hati
manusia".
Dalam kesempatan lain beliau rahimahullah berkata : "Seandainya setiap
yang bersalah serta merta ditinggalkan dan dilupakan kebaikan-
kebaikannnya, maka akan rusak seluruh cabang disiplin ilmu, hukum, dan
akan rusak pula rambu-rambu serta kode etiknya".
Beliau rahimahullah juga berkata: "Sungguh amalan-amalan akan
memberikan syafa'at dan pertolongan pada pemiliknya –di hadapan Allah-
pada hari kiamat. Karenanya, siapa yang kebaikannya mengalahkan
keburukannya, maka ia akan beruntung, tidak diadzab dan keburukannya
itu tertutupi dengan kebaikannya".
Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata: "Orang yang
inshof (adil) itu, adalah yang memaafkan kesalahan orang lain yang
sedikit lantaran kebaikannya yang banyak".
Syaikh al-Mujaddid Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah
berkata: "Jika sebuah permasalahan belum jelas, tidak halal bagi
kalian mengingkari orang yang berfatwa atau yang mengamalkan
masalah tersebut, hingga kalian mengetahui kekeliruannya.
Bahkan yang wajib adalah diam. Dan jika kalian telah yakin –akan
kekeliruannya-, maka jelaskanlah, namun jangan kalian lupakan
semua kebaikannya disebabkan karena satu masalah atau seratus
atau dua ratus, sebab saya tidaklah meng-klaim 'al-'ishmah' (bebas
dari kesalahan).”
Al-Allamah asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa'dy rahimahullah
berkata: "Seandainya orang-orang yang jatuh dalam kesalahan itu
tidak memiliki udzur dan takwil –yang baik- sekalipun, maka bukan
termasuk kebenaran dan keadilan jika dilupakan kebaikan-
kebaikan serta terhapus hak-hak mereka atas kita lantaran
masalah sepele, seperti kebiasaan pelaku kezaliman dan
permusuhan. Sebab sikap ini mendatangkan mafsadah dan
kerusakan yang besar. Adakah ulama yang tidak pernah salah.?!,
dan adakah hakim yang tidak pernah keliru..?!
Fadhilatus Syaikh al-Allamah Abdullah bin Aziz bin Baz
rahimahullah berkata: "Merupakan satu kewajiban melakukan
klarifikasi jika seorang alim atau da'i terjatuh dalam kesalahan
dalam satu urusan, lalu diberi peringatan (teguran) tanpa
menjatuhkan haknya pada apa yang ia benar padanya, bahkan
wajib bagi kita untuk adil dan inshof … Dan tidak pantas bagi orang
berakal meninggalkan kebenaran yang diucapkan seorang alim
atau da'i hanya lantaran keliruan dalam sebuah permasalahan.
Kebenaran lebih diutamakan dari segalanya, jika ia memiliki
kebaikan dan kebathilan. Dimana kebaikannya diambil dan
keburukannya ditinggalkan … kita tidak boleh menutup mata
15. terhadap hak da'i secara keseluruhan, akan tetapi justru kita harus
berterima kasih pada kebenaran yang ia sampaikan, dan kita
menasehatinya dalam ketergelinciran yang ia jatuh di dalamnya".
Al-Allamah Faqihul Ashr asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh al-
Utsaimin rahimahullah, pernah ditanya: "Apa pendapat anda yang
mulia, jika ada seorang yang hendak memberi penilaian pada
orang lain, apakah disebutkan kebaikan dan keburukannya atau
cukup dengan menyebutkan keburukannya saja?
Beliau rahimahullah menjawab: "Ini merupakan bentuk kedzoliman, sebab
Allah Ta'ala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, hendaknya kamu
menjadi orang-orang yang senantiasa menegakkan (kebenaran) karena
Alloh, menjadi saksi-saksi yang adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu pada satu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil,
berlaku adillah karena sesungguhnya itu lebih dekat dengan
ketaqwaan."(Al-Maidah, ayat:8) . Dalam ayat ini, Allah Ta'ala mencegah
kita dari berlaku tidak berlaku adil kendati kita benci pada satu kaum,
bahkan kita diperintahkan berlaku adil.
Dan sungguh Allah telah membenarkan kebenaran yang berasal dari
orang-orang musyrik, demikian pula dari kaum Yahudi. Allah Ta'ala
berfirman : "jika mereka melakukan perbuatan yang keji maka mereka
berkata kami telah mendapatkan bapak-bapak kami melakukan hal
tersebut dan Allahlah yang memerintahkan kami untuk melakukannya".
Adapun jawabannya : "katakanlah Allah tidak memerintahkan pada
perbuatan keji" . Jadi Allah menolak perkataan mereka "dan Allah-lah
yang memerintahkan kami untuk melakukannya". karena itu adalah
kebathilan, namun Allah mendiamkan pada perkataan mereka, " kami
telah mendapatkan bapak-bapak kami melakukan hal tersebut”. Sebab itu
merupakan sebuah kebenaran.
Demikian pula saat seorang ulama kaum Yahudi datang menemui
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan berkata: "Kami mendapatkan
dalam kitab Taurat, sesungguhnya Allah menciptakan langit pada sebuah
jari, begitu juga dengan bumi pada sebuah jari, ....maka Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam tertawa sebagai bentuk pembenaran akan
perkataannya, kemudian membaca Firman Allah: "Mereka tidak
memberikan Allah pengagungan yang sebenarnya…" Jadi Allah mengakui
perkataan mereka yang benar, kendati mereka adalah itu yahudi,.
Olehnya, wajib bagi yang hendak memberi penilaian pada orang lain,
untuk memberi penilaian sempurna jika hal itu dibutuhkan dengan
menyebut kebaikan dan keburukannya. Jika ia seorang yang dikenal
semangat memberi nasehat pada kaum Muslimin, maka ia diberikan
udzur atas kesalahan dan kekeliruannya, sebagai contoh kita melihat
Imam Ibnu Hajr dan Imam Nawawi dan selain keduanya, dimana mereka
16. memiliki kekeliruan dalam masalah aqidah, namun kita telah mengetahui
–jasa mereka-, bahkan kekeliruan mereka tersebut adalah merupakan
buah dari ijtihad".
Beliau rahimahullah juga berkata ketika membedakan antara masalah
"membantah orang yang menyelisihi dengan penyebutan biografi serta
menilai seseorang": "Jika seorang berbicara tentang individu, maka itu
tidak terlepas dari beberapa kemungkinan. kadang ia ingin memberi
penilain, maka dalam hal ini wajib disebut kebaikan dan keburukannya,
lalu memberi hukum sesuai dengan keadaan yang tepat. Jika
kebaikannya lebih dominan, maka kita memujinya, dan jika sebaliknya
maka kita menyebutkan keburukannya. Adapun jika ingin membantah
kebid'ahannya, maka tidak perlu menyebut kebaikannya, karena hal itu
akan menjadi sebab ia (bantahan) menjadi lemah dan tidak diterima oleh
orang lain".
Fadhilatus Syaikh Al-Allamah Abdullah bin Jibrin rahimahulloh,
berkata tentang Sayyid Qutb dan Hasan Al-Banna rahimahumallah:
"Sungguh keduanya adalah termasuk jajaran ulama kaum
muslimin, dan termasuk du'at. Keduanya telah memberi manfaat
dan hidayah lewat dakwah mereka, memiliki usaha-usaha yang kita
tidak dapat ingkari. Karena itulah Syaikh bin Baz rahimahullah
memberi syafa'at pada Sayyid Qutb kala beliau dijatuhi vonis
hukuman mati, kendati syafa'at beliau diabaikan oleh presiden
Jamal Abdun Nashir –'alaihi minallohi ma yastahiq-. Dan ketika
keduanya meninggal dunia, maka keduanya disebut sebagai
syahid, sebab dibunuh dengan cara dzolim. Keduanya dipuji oleh
khalayak umum dan orang-orang khusus lalu disebarkan lewat
surat kabar dan majalah tanpa ada pengingkaran. Kemudian para
ulama menerima hasil karya mereka berdua, dan buah tangan
mereka tersebut memberikan manfaat begitu besar dan tidak ada
yang mengingkarinya sejak lebih 20 tahun yang lalu. Dan jika
keduanya ternyata keliru dalam sebagian masalah disebabkan
penakwilan, maka derajatnya tidak sampai pada kekufuran, karena
ulama-ulama terdahulu seperti Imam Nawawi, Imam As-Suyuthi,
Ibnul Jauzi, Ibnu 'Athiyah, Al-Khatthaby, Al-Qasthalany dan selain
mereka pun mengalami hal serupa. Dan saya telah menelaah apa
yang ditulis oleh Syaikh Rabi' Al-Madkhali dalam membantah
Sayyid Qutb, dan saya mendapati judulnya tidak sesuai
dengan hakikat yang ada, olehnya, Syaikh Bakr Abu Zaid pun
kemudian membantah beliau..
Begitu pula beliau (Syaikh Rabi') telah menyerang Syaikh Abdur Rahman
Abdul Khaliq dan menganggap perkataanya sesat menyesatkan. Padahal
beliau telah bersama Syaikh Rabi' dalam kurun waktu yang lama.
Demikianlah sebagaimana perkataan penyair :
17. Mata yang ridho dari setiap aib akan menjadi buta
dan mata yang murka senantiasa menampakkan keburukan.
Pembaca budiman, kami mohon maaf akan kepanjangan nukilan di atas.
Padahal kami belum menyebutkan secara khusus penerapan manhaj
muwazanah para ahli hadits (ulama al-Jarh wa at-Ta'dil) yang begitu banyak
berserakan dalam kitab-kitab al-Jarh wa at-Ta'dil. Dan InsyaAllah pada
kesempatan lain kami akan ketengahkan aqwal mereka sebagai jawaban
terhadap syubhat yang dihembuskan kelompok "salafy", bahwa tidak ada manhaj
muwazanah di kalangan ahli hadits, dengan memaparkan contoh-contoh yang
memang hanya berisi jarh. Sayangnya, contoh-contoh yang dikemukakan itu
adalah perkataan ulama ahli hadits khusus yang dibidikkan pada perawi-perawi
pendusta dan yang ditinggalkan haditsnya, dan bukan penilaian –kritik- rawi
secara umum. Sebab merupakan perkara maklum, bahwa siapa yang tertuduh
bahkan terbukti berdusta dalam satu hadits saja, maka seluruh riwayatnya
tertolak, olehnya tidak ada faidah menyebut kebaikan-kebaikannya, karena
secara umum riwayat-riwayatnya rusak, dan hukum dibangun berdasarkan
sesuatu yang ghalib (dominan). Juga perlu kami tegaskan, bahwa tidak ada satu
kitab yang berkaitan dengan al-Jarh wa at-Ta'dil, hingga yang benar-benar
khusus membahas perawi-perawi "tercela" seperti kitab al-Majruuhin karya Ibnu
Hibban, melainkan tetap berjalan di atas manhaj muwazanah dengan tetap
menyebut kebaikan yang ada pada perawi-perawi hadits, jika untuk tujuan
taqwim dan ta'rif.
Ala kulli hal, semua ini agar kelompok "salafy" yang menafikan secara
mutlak manhaj muwazanah serta menudingnya sebagai manhaj ahli bid'ah
sadar, bahwa ternyata begitu banyak para ulama Ahlu Sunnah yang menyerukan
manhaj tersebut. Dan bahwasanya muwazanah merupakan perkara fitrah yang
seorang pun tidak dapat terlepas darinya, kendati lisannya begitu fasih menolak
dan menafikannya.
Dan perlu pula kami singgung di sini, sebuah kaidah aksiomatik yang
sebenarnya telah kami isyaratkan dalam artikel kami, "Hati-Hati Banyak
Mengkritik", bahwa hukum asal kehormatan dan harga diri seorang muslim
adalah haram (untuk dicemarkan) untuk alasan apa-pun, sebab ia termasuk
kezaliman. Dan tidak boleh keluar dari hukum asal ini melainkan dengan dalil
dan hujjah yang kuat pula (minimal menyamai kekuatan hukum asal tersebut).
Karenanya, jika hujjah atau dalil yang ada pada kita masih dibangun di atas
dugaan dan bukan di atas keyakinan, apalagi masih terdapat perbedaan
pandangan ulama pada dalil kita itu, maka ia belum dapat dijadikan sebagai dalil
keluar dari hukum asal itu. Dan ini sejalan dengan kaidah yang diterima oleh
umum, bahwa "al-Yaqin La Yazulu bis-Syak" (Keyakinan tidak dapat
dihilangkan dengan keraguan).
18. Dari sini jelas bagi kami, bahwa hujjah kelompok "salafy" menghalalkan
kehormatan para ulama dan du'at belum sampai pada derajat "yakin" yang dapat
mengangkat hukum asal kehormatan seorang muslim, apalagi seorang ulama
dan du'at yang berjasa bagi Islam. Disamping karena kebanyakannya dibangun
atas prasangka bahkan tuduhan, juga lantaran pendapat Kibarul Ulama mu'tabar
yang memuji atau minimal mendiamkan masalah ini, jauh lebih banyak.Dan
kalau tokh mereka terjatuh dalam kekeliruan atau perbuatan bid'ah, maka
mereka-pun belum sampai pada derajat golongan pertama (yang terjatuh dalam
bid'ah) lantaran hawa nafsu dan syahwat. Minimal mereka berada pada
kelompok kedua, jika tidak dikatakan sebagai kelompok ketiga, yang wajib
diluruskan dan diberi nasehat secara hikmah, disamping tidak menutup mata
atas kebaikan dan jasa mereka terhadap perjuangan agama ini.
Yang menjadi masalah, kelompok "salafy" begitu getol memaksa orang
lain termasuk kami untuk ikut bersama fikrah mereka menuding para ulama dan
du'at. Sedang bagi yang menolak, akan dituding balik sebagai pembela ahli
bid'ah atau kesesatan. Dan berlakulah kaidah mereka yang sering kami ulangi,
"In Lam Takun Ma'i fa Anta 'Aduwwun Li", (jika anda tidak bersama saya, maka
anda adalah musuh bagiku). Padahal, alhamdulillah, sekali lagi, bahwa kami
memiliki manhaj yang jelas. Bukan asal-asalan dalam mendudukkan perkataan
para ulama lalu mentanzilnya secara membabi buta. Intinya, kami tidak
serampangan dalam menetapkan manhaj Muwazanah, sebagaimana antum
serampangan dalam menafikan muwazanah serta menuduh para pengusungnya
sebagai ahli bid'ah.
Semoga Allah Ta'ala merahmati seorang yang tahu akan kadar dirinya.
Lalu mendudukkan pada posisi sebenarnya, dan tidak melampaui batas tersebut.
Olehnya sebagai penutup sekaligus nasehat bagi kita, khususnya mereka yang
tergesa memposisikan diri setaraf para imam jarh wa ta'dil lalu menimbang orang
lain secara zalim, padahal dirinya belum ada apa-apanya, kami hadiahkan
sebuah kisah dari Ahmad bin Ali bin al-Aabar rahimahullah, beliau berkata: "Aku
menyaksikan di Ahwaz seorang pemuda yang masih tipis kumisnya, dan Aku
menduga bahwa ia telah membeli buku-buku yang berisi kumpulan fatwa. Orang-
orang lalu menyebut nama-nama ahli hadits, kemudian ia (pemuda itu) berkata:
"Mereka tidak ada apa-apanya, mereka tidak menyamai sesuatu-pun". Maka aku
berkata padanya: "Shalat pun engkau belum benar !". Ia bertanya: "Aku?". "Iya",
jawabku. Aku lalu bertanya padanya: "Apa yang engkau hafal dari Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam, kala engkau memulai shalat, dan mengangkat kedua
tangan?". Pemuda itu diam. Aku bertanya lagi: "Apa yang engkau hapalkan dari
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tentang engkau meletakkan kedua tangan
di atas kedua lutut?". Ia tetap diam. Aku bertanya kembali: "Apa yang engkau
hapal dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, jika engkau sujud?" Ia pun
masih tetap diam. Maka aku-pun berseru padanya: "Mengapa engkau tidak
menjawab? Bukankah sudah aku katakan bahwa engkau masih belum shalat
dengan benar. Yang pantas dikatakan padamu adalah engkau shalat subuh dua
rakaat dan dhuhur empat rakaat. Tetapilah apa yang merupakan kebaikan
19. bagimu, ketimbang engkau menyebut-nyebut para ahli hadits. Sebab engkau
belum memiliki apa-apa dan belum baik dalam sesuatu". Wallahul musta'an.
Bersambung InsyaAllah.
[1] . Lihat Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du'at, Bag. III.
[2] . Sebab ternyata kelompok "salafy" amat sangat trauma dengan istilah
muwazanah ini, lalu kemudian menjadikannya sebagai ikon da'wah mereka,
yakni muharabatul muwazanah (perang terhadap manhaj muwazanah).
Celakanya lagi, justru mereka menjadikan manhaj muwazanah (berlaku adil,
pertengahan dan sebagainya) sebagai manhaj ahli bid'ah dan bukan manhaj
ahlu Sunnah !.
[3] . Berkaitan dengan Manhaj Muwazanah, kami akan bahas dalam tulisan
tersendiri InsyaAllah, sebab tidak mungkin dimuat dalam poin bantahan ini.
Olehnya, kami tegaskan, bahwa karena tulisan ini hanya dalam rangka
membantah syubhat, maka kami hanya paparkan hal-hal yang dirasa penting
dari manhaj muwazanah tersebut.
[4] . Sebagaimana pada artikel terbarunya yang merupakan jawaban dari "silsilah
Pembelaan Para Ulama dan Du'at" (Bagian I). InsyaAllah kami akan paparkan
masalah ini dalam bantahan kami terhadap artikel tersebut. Dan Alhamdulillah,
tulisan sudah kami siapkan, dan akan diposting setelah "Silsilah Pembelaan
Para Ulama dan Du'at" ini kelar, insyaAllahu Ta'ala.
[5] . Kami mengatakan di sini sebagai perkara badihi (aksiomatik) yang tidak
mungkin ditolak oleh fitrah, sebab manusia itu, bahkan antum sendiri (kalau
masih jujur terhadap diri sendiri) pun tidak ridha jika hanya dikata-katai dengan
sederet kesalahan-kesalahan lalu dilupakan dari kebaikan dan andil yang telah
dilakukan dalam kehidupan ini. Kalau antum masih berkelit dan mengingkari
juga, silahkan tanya lubuk hati antum yang paling dalam, itu pun jika hati kita
masih bisa digunakan sebagai tempat bertanya!! Imam al-Qurthubi
rahimahullah berkata kala menulil perkataan Imam Qatadah: "Bersikap adillah
hai anak Adam, sebagaimana engkau suka jika orang lain bersikap adil
kepadamu. Dan timbanglah (dengan adil) sebagaimana engkau suka orang lain
menimbang untukmu (dirimu). Sungguh keadilan itu adalah untuk kebaikan
manusia".(Lihat: al-Jami' Li Ahkam al-Qur'an, XVII/154, program al-Maktabah al-
Syamilah).
Dan jangan sampai kita seperti yang disindir oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya:
"(yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka
minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain,
mereka mengurangi". (Qs. Al-Muthaffifin : 2-3). Yah, jangan sampai kita hanya
menuntut orang lain berlaku adil pada diri kita (dengan tidak melupakan kebaikan
saat menyebut kesalahan), namun terhadap orang lain kita berlaku curang dan
tidak adil. Padahal apa yang kita rasakan saat dizalimi, begitu pula yang
dirasakan oleh saudara-saudara seiman kita saat terzalimi.
20. [6] . Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- bahkan menyerupakan
mereka dengan lalat, sebagaimana perkataan beliau dalam Minhaj as-Sunnah
an-Nabawiyah VI/150: "….dan yang perlu engkau ketahui, bahwasanya orang
yang jahil itu seperti lalat yang hanya hinggap di tempat sakit (kotor) dan tidak
pada tempat sehat dan selamat. Adapun orang yang berakal, maka ia akan
menimbang segala perkara (dari setiap sisinya) ini dan itu".
Berkata Muhaqqiq kitab Raf'u al-Malaam 'an Aimmah al-A'lam, Syaikh Ali bin
Nayif al-Syuhud: "Akan tetapi yang manjadi masalah pada sebagian manusia,
yang hilang pada dirinya sikap inshof dan adil, kala berhubungan dengan kabar
dan kisah (para ulama), pada dirinya terdapat penyakit (hasad) terhadap ulama
yang ia baca biografinya. Olehnya, ia membacanya hanya untuk tujuan mengais-
ngais kesalahan dan kekeliruan serta melupakan kebaikan-kebaikannya. Orang
ini, sebagaimana disifatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ibarat lalat yang
tidak hinggap kecuali hanya pada luka (tempat kotor). Dan jelas ini menyelisihi
manhaj al-Qur'an, sebagaiman digariskan oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya:
"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan". (Qs: al-Maidah : 8). Juga firman-Nya: "Dan janganlah
kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat,
hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan
adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar
kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku
adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. yang demikian
itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat". (Qs: al-An'am : 152). Kami
mohon kepada Allah Ta'ala sifat adil dan inshof pada diri-diri kami, dan saudara-
saudara serta musuh yang menyelisihi…". (Lihat: Raf'u al-Malaam 'an Aimmah
al-A'lam, h. 300 Program al-Maktabah al-Syamilah. Vol. 3.3).
Subhanallah, hingga seperti ini ungkapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –
rahimahullah- bagi orang yang kerjanya hanya mengendus-endus kesalahan
orang lain, lalu melupakan kebaikan yang ada pada diri mereka. Kendati orang
yang mereka endus kesalahannya itu seorang ulama ahlu sunnah atau mereka
yang telah menanamkan jasa bagi perjuangan Islam ini. Yah, seperti lalat. Yang
hanya tahu tempat kotor dan mangabaikan tenpat bersih yang jauh lebih baik
baginya. Olehnya ambillah pelajaran darinya..!.
[7] . Kalau pembaca sekalian ingin bukti, silahkan lihat catatan kaki no 20 pada
artikel terbaru Sofyan (bagian I) sebagai jawaban terhadap "Silsilah Pembelaan
para Ulama dan Du'at". InsyaAllah ulasan akan catatan kaki ini akan kami
paparkan dalam bantahan kami. Namun sebagai muqaddimah, memang betul
apa yang dikatakan oleh pembuat catatan kaki itu (yakni Ust. Abdul Qadir),
bahwa kami menegakkan hajr terhadap Syi'ah, JIL dan Ahmadiyah. Kecuali satu
hal, kami tidak pernah meng-hajr para salafiyyun di mana pun mereka berada.
21. Sebab mereka adalah saudara-saudara kami yang bersama berjuang
menegakkan al-haq, kendati mereka telah melampaui batas atas kami. Adapun
kaum JIL, Syi'ah, Ahmadiyah, maka manhaj kami jelas, tidak ada "muwazanah"
bagi mereka.
[8] . Hadits Hasan, riwayat Abu Daud (no 3582) dan at-Tirmidzi (no 1331).
[9] . HR. Muslim (no 1480).
[10] . Lihat: Majmu' al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, XIX/192.
[11] . Ibid, III/146.
[12] . Seperti riwayat-riwayat dari kaum salaf yang diketengahkan oleh al-akh
Sofyan Khalid dalam muqaddimah artikelnya, "Mengapa Saya Keluar dari
Wahdah Islamiyah", diantaranya:
1. “Dua orang dari kalangan pengikut hawa nafsu mendatangi Ibnu Sirin
seraya berkata, "Wahai Abu Bakr, bolehkah kami menyampaikan satu
hadits kepadamu?". Beliau menjawab, "Tidak. Keduanya berkata lagi :
Kalau begitu kami bacakan satu ayat Al-Qur’an kepadamu?" Beliau
menjawab, "Tidak, kalian pergi dari sini atau saya yang pergi". Lalu
keduanya pun keluar. Sebagian orang berkata, "Wahai Abu Bakr,
mengapa engkau tidak mau mereka membacakan ayat Al-Qur’an
kepadamu?" Beliau menjawab, "Sungguh saya khawatir mereka bacakan
kepadaku satu ayat lalu mereka selewengkan maknanya sehingga
tertanam dalam hatiku”. [R. Ad Darimy (1/120/no. 397)]
2. Sallam -rahimahullah- berkata, "Seorang pengikut kesesatan berkata
kepada Ayyub, “Saya ingin bertanya kepadamu tentang satu kalimat?"
Maka Ayyub segera berpaling dan berkata, “Tidak, meski setengah
kalimat, meski setengah kalimat" Beliau mengisyaratkan jarinya”. [R. Ibnu
Baththoh dalam Al-Ibanah (2/447 no. 402), Al-Lalaka'iy dalam Syarh Ushul
Al-I'tiqod (1/143/no. 291), Abdullah bin Ahmad dalam As Sunnah
(1/138/no. 101), dan Ad Darimy dalam Sunan-nya (1/121 no. 398)].
3. Al Fudlail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Jauhilah olehmu duduk dengan
orang yang dapat merusak hatimu (aqidahmu) dan janganlah engkau
duduk bersama pengekor hawa nafsu (ahli bid’ah) karena sungguh saya
khawatir kamu terkena murka Allah”. [R. Ibnu Baththoh dalam Al-Ibanah
(2/462-463 no. 451-452), dan Al-Lalaka'iy dalam Syarhul Ushul (262)].
. Lihat: Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, I/408. Program al-Maktabah al-Syamilah, vol. 3.3.
[14] . Lihat: al-Istoqomah, II/247-248.
22. [15] . Lihat Shahih al-Bukhari, I/422, dan II/612.
[16] . HR. Bukhari, IV/396, 398. Al-Hafidz Ibnu Hajr al-Asqalani –rahimahullah-
berkata: Artinya, Ia (setan) telah jujur kepadamu dalam perkataan ini, kendati
kebiasaannya selalu berdusta. Dan ungkapan ini seperti perkataan mereka
(ulama), kadang kala pendusta itu juga berkata jujur". (Lihat: Fath al-Bari, IX/65,
hadits no: 5009).
[17] . Hal ini sebagai penegas bagi sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
"Setiap anak Adam pasti melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang
bersalah, adalah yang segera bertaubat". (HR. Ahmad III/198, Ibnu Majah no.
4251, at-Tirmidzi no. 2499, dengan sanad hasan).
Apalagi, jika kezaliman tersebut terkait dengan harga diri dan kehormatan kaum
muslimin secara umum dan ulama serta du'at secara khusus. Ibnu Daqieq al-Ied
berkata: "Kehormatan kaum muslimin itu (ibarat) jurang dari sekian jurang-jurang
neraka, dimana berdiri di bibir jurang tersebut dua golongan manusia, para ahli
hadits dan hakim". (Lihat: al-Iqtirah fi Bayan al-Ishtilah, h. 344). Subhanallah,
kalau para ahli hadits dan hakim saja dikategorikan sebagai golongan yang
berdiri di bibir jurang neraka di mana mereka hampir saja terjatuh di dalamnya
karena berhubungan banyak dengan kehormatan dan harga diri kaum muslimin,
maka bagaimana dengan mereka yang jahil dan tidak termasuk dalam satu dari
kedua golongan tersebut?!.
[18] . Al-Kifayah, h. 102.
[19] . Dan merupakan perkara maklum dalam agama, bahwa kezaliman dalam
bentuk apa-pun diharamkan oleh Allah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersama: "Hati-hatilah dari berlaku zalim, sebab kezaliman adalah kegelapan
pada hari kiamat". (HR. Muslim, no. 2578).
[20] . Al-Jami' li Akhlaq al-Rawy, II/202
[21] . Jami' bayan al-ilmi wa fadhlih, II/162
[22] . Lihat: Al-Bidayah wa an-Nihayah, IX/250.
[23] . Adabus Syafi'i wa Manaqibuhu, h. 44. Lihat pula: Hilyah al-Auliya', IX/69.
[24] . Al-Musawwadah, h. 265.
[25] . Majmu' Fatawa, XI/18
[26] . Al-Istiqomah, I/279
[27] . Minhaj Sunnah, IV/543
23. [28] . Majmu' Fatawa, X/365-366
[29] . Siyar a'lam an-Nubala, V/297
[30] . Ibid, XVI/285.
[31] . Ibid, XIV/40
[32] . Ucapan ini mengandung hikmah yang sangat dalam. Bahwa tidak seorang
alim pun di dunia ini yang luput dari salah dan alpa, termasuk para ulama dan
panutan kelompok "salafy". Namun yang membedakan manhaj kami dan
kelompok "salafy" ini, bahwa kami tidak pernah menanamkan kelancangan pada
murid-murid kami dalam perkara ikut-ikutan mengendus-endus kesalahan para
ulama dan du'at, termasuk mencari-cari kekeliruan ulama dan Syaikh panutan
kelompok "salafy", alhamdulillah. Kendati antara mereka dan ulama-ulama lain
yang sepantaran terjadi "pertikaian" yang saling menjatuhkan satu sama yang
lainnya. Sebab kami yakin, bahwa kehormatan dan harga diri mereka begitu
agung dalam syari'at ini. Dan apa yang mereka lakukan tersebut tidak lain adalah
demi kepentingan Islam dan kaum muslimin, kendati kami sadar bahwa tidak
seluruh niat baik itu terealisasi dengan cara dan metode yang baik pula.
[33] . Ibid, XIV/374
[34] . Lihat: al-Fawaaid, h. 195
[35] . I'laam al-Muwaqqi'ien, III/283.
[36] . Madarij as-Salikin, II/39.
[37] . Lihat: al-Qawa'id, h. 3.
[38] . Tarikh Najd, II/169
[39] . Ar-Riyadh an-Nadzirah wal Hadaiqh An-Nayyirah Az-Zahiroh, h. 96.
[40] . Majallah al-Ishlah, 28/12/1413.
[41] . Majallah Al-Muslimun, edisi 4730.
[42] . Rekaman kaset tertanggal 16-12-1416 H
[43] . Lihat: www.islamgold.com.
[44] . Semoga Allah memberi hidayah pada situs www.cahayasalaf.co.cc milik
"salafiyyun" Muna, (situs yang hanya mengumpulkan ma habba wa dabba dari
24. tulisan-tulisan kelompok "salafy" yang berserakan di dunia maya) yang berusaha
menjawab artikel kami ini dengan hanya mengutip terjemahan tulisan Dr. Ibrahim
ar-Ruhaili. Akan tetapi, sebagaimana perkataan pepatah, jauh panggang dari
api, atau sederhananya, tidak ada sangkutan antara yang membantah dan yang
di bantah sama sekali. Dalam artikel kami tidak ada larangan untuk memberi
kritik, namun yang menjadi sorotan kami adalah perkara "berlebihan" dalam
kritik, hilangnya sikap wara', serta penegasan akan besarnya kedudukan harga
diri seorang muslim dalam syari'at Islam agar kita tidak serampangan dalam
memberi kritik. Olehnya kami tidak berselera menjawab, sebab tidak ada yang
perlu untuk dijawab. Ala kulli hal, kami ucapkan jazakumullahu khairan atas
tanggapan dan kesedian antum menelaah artikel kami, semoga bermanfaat dan
dapat membuka mata hati kita. [45] . Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata: "Kezaliman itu diharamkan dalam segala keadaan, tidak halal
seseorang menzalimi orang lain, kendati ia seorang kafir !!". (Majmu' al-Fatawa,
XIX/44).
Kalau antum masih ragu juga, kami persembahkan sebuah riwayat dalam
Musnad Imam Ahmad, III/367, dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma, ia
berkata: "Allah Ta'ala memberi harta rampasan Khaibar kepada Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam, lalu Nabi pun tetap mengizinkan mereka (penduduk
Khaibar) menempati negerinya seperti semula, serta menjadikan antara beliau
dan mereka (perjanjian bagi hasil). Beliau kemudian mengutus Abdullah bin
Rawahah radhiallahu anhu untuk menetapkan perkiraan (pembagian hasil bumi)
atas mereka, seraya berkata: "Wahai sekalian kaum Yahudi, kalian adalah
makhluk yang paling saya benci, kalian benyak membunuh nabi-nabi Allah, dan
berdusta atas nama Allah. Maka tidaklah kebencianku terhadap kalian ini
menyeretku berlaku zalaim atas kalian. Aku telah menetapkan atas kalian
(pembagian) dua puluh ribu wasaq dari buah kurma. Jika kalian mau maka itu
untuk (kebaikan) kalian, namun jika tidak maka itu untukku. Maka mereka pun
berkata: "Dengan inilah tegak langit dan bumi. Kami menerima dan keluarlah dari
negeri kami".
Subhanallah, jika kezaliman terhadap seorang yang kafir saja di haramkan,
maka bagaimana jika ia seorang mukmin yang beriman kepada Allah Ta'ala,
apalagi seorang ulama yang telah menghabiskan umur dan potensinya dalam
thalabul ilmi, mengerahkan kemampuan mengeluarkan hukum syar'i dari dalil-
dalil, serta berjuang di barisan terdepan membela harga diri dan kehormatan
agama Allah Ta'ala dari makar musuh !?.
[46] . Yang menjadi masalah mendasar pada kelompok "salafy" ini, sikap tertutup
dan ekslusif terhadap pendapat dan nasehat orang lain. Hingga jangan heran
kalau mereka mentahdzir (baca: mem-protek) murid-murid mereka untuk tidak
membaca atau menelaah apa saja yang datang dari luar dengan alasan jangan
sampai terpengaruh syubhat. Seolah merekalah yang paling bersih dan benar,
sedang pendapat atau nasehat orang lain dikategorikan sebagai syubhat.
Demikian pula dalam hal tamassuk pada perkataan dan pendapat para Masyaikh
25. panutan mereka. Kendati berseberangan dengan pendapat mayoritas atau
ulama Kibar, tetap saja diperjuangkan dan dimenangkan. Olehnya, Ibnul Qoyyim
al-Jauziyyah rahimahullah berkata: "Mengambil pendapat-pendapat seseorang
dan mendudukkannya seperti nash-nash syara', lalu tidak melirik pada pendapat
lain, bahkan tidak pula kepada nash-nash syara' kecuali jika sesuai dengan
pendapatnya, maka hal ini, demi Allah, merupakan kesepakatan umat akan
keharamannya dalam agama Allah Ta'ala. Dan tidak nampak fenomena ini
dalam tubuh umat melainkan setelah berlalunya qurun waktu mufadhalah (yakni
zaman sahabat, tabi'in dan tabiut tabi'in)". (Lihat: I'lam al-Muwaqqien, II/236).
Hal ini telah dituangkan dalam salah satu poin naskah Aqidah dan Manhaj
Wahdah Islamiyah sebagai berikut: "Kami berkeyakinan bahwa diantara ciri-
ciri Ahl al-Haq adalah sikap inshaf (adil) terhadap orang yang berselisih
paham dengannya, dengan tidak mengurangi sesuatu dari hak-haknya dan
tidak menuduhnya dengan sesuatu yang tidak ada padanya, atau berkata
yang tidak benar tentangnya. Adapun penyebutan kebaikan-kebaikannya
kepada khalayak ramai ketika memberikan peringatan tentangnya (tahdzir),
maka dikembalikan kepada pertimbangan mashlahat tentang hal itu. Maka
dalam hal ini, ulama Ahl al-Sunnah perlu disebutkan kebaikan-kebaikannya,
agar mereka tidak dianggap rendah dalam pandangan orang banyak.
Sementara Ahl al-Bid'ah tidak disebutkan kebaikan-kebaikannya agar orang
banyak tidak tertipu dengan mereka.”
. Lihat: al-Kifayah, h. 19-20.