SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  921
Télécharger pour lire hors ligne
ISBN 978-602-98295-0-1



         ISOLASI BAKTERI ASAM LAKTAT PENDEGRDASI SIANIDA
                        DARI CAIRAN RUMEN

 (ISOLATION OF CYANIDE DEGRADATION LACTIC ACID BACTERIA FROM
                         RUMEN FLUID)


                        A.Fariani, A. Abrar, & Mudrikah
       Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian,Universitas Sriwijaya


                                   ABSTRACT

        A study was conducted to isolate lactic acid bacteria that decrease cyanide
from rumen fluid of cattle. This research was done in two stages, first stage
enrichment medium and second stage lactic acid bacteria were isolated by
culturing the rumen fluid in de Mann, Rogosa, Sharpe (MRS) medium with
Hungate methods. This research was held on Agust 2010 in Animal Feed and
Nutrition Laboratory, Faculty of Agriculture Sriwijaya University. Data were
analized using descriptives method. Nine isolated lactic acid bacteria were found
in this research. The results showed that, the nine isolates of lactic acid bacteria
could decrease cyanide and survive in medium containing cyanide. Lactic acid
bacteria that highest decrease (83,3%) cyanide lactic acid bacteria a gram
negative and catalase negative.

Keywords: lactid acid bacteria, Cyanide ,hunggate methods



                                 PENDAHULUAN

      Pencernaan merupakan proses perubahan yang bersifat mekanis dan kimia
yang terjadi dalam saluran pencernaan sampai zat-zat makanan dapat
dimanfaatkan oleh tubuh. Perubahan tersebut dapat berupa penghalusan pakan
menjadi partikel yang lebih kecil atau penguraian senyawa kompleks menjadi
senyawa yang lebih sederhana (Lubis, 1992).        Pola sistem pencernaan pada
hewan umumnya sama dengan manusia, yaitu terdiri atas mulut, faring, esofagus,
lambung, dan usus. Namun demikian, struktur alat pencernaan kadang-kadang
berbeda antara hewan yang satu dengan hewan yang lain. Proses pencernaan
ternak ruminansia terjadi secara mekanis yang terjadi di dalam mulut, pencernaan
secara fermentatif yang terjadi didalam rumen dan pencernaan secara enzimatis
yang terjadi di abomasum.


Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                   1
ISBN 978-602-98295-0-1



           Kelebihan sistem pencernaan ruminansia dibanding dengan sistem
pencernaan ternak lain antara lain dapat mencerna serat kasar dan dapat
berperan sebagai sistem pertahanan tubuh dari zat-zat antinutrisi yang terkandung
dalam pakan. Hal ini karena dalam rumen terdapat bermilyaran mikrobia yang
berperan dalam proses pencernaan tersebut. Mikroba rumen berperan sebagai
pertahanan tubuh terhadap serangan-serangan toksik antinutrisi yang dihasilkan
dalam proses pencernaan. Pell et al (2003) menyatakan bahwa proses adaptasi
mikroorganisme merupakan salah satu bentuk pertahanan tubuh dari ternak itu
sendiri.
       Mikrobia yang terdapat dalam rumen terdiri dari mikroflora (bakteria),
mikrofauna (protozoa), fungi dan bacteriophages. Bakteri-bakteri yang berperan
dalam proses fermentasi membentuk asetat, propionat, butirat, CO 2 dan H2.
Spesies bakteri metanogenik akan menggunakan CO2, H2 dan format untuk
membentuk gas metana. Beberapa spesies memproduksi amonia dan asam
lemak terbang berantai cabang dari asam-asam amino tertentu dan beberapa
mikroba mengeluarkan urease untuk memecah urea sehingga menjadi amonia
dan CO2 (Arora, 1995). Hasil fermentasi dalam rumen akan membantu proses
pencernaan makanan menjadi lebih mudah diserap zat-zat nutrisinya di
abomasum.       Saluran   pencernaan   manusia   ataupun   hewan    diperkirakan
                                         12
mengandung mikroflora normal sampai 10 bakteri per gram isi saluran cerna dan
setidak-tidaknya terdiri atas 500 spesies yang sebagian besar merupakan bakteri
asam laktat (Suardana et al., 2007).
       Bakteri asam laktat termasuk mikroorganisme yang aman jika ditambahkan
dalam pangan karena sifatnya tidak toksik dan tidak menghasilkan toksin, maka
disebut food grade microorganism atau dikenal sebagai mikroorganisme yang
Generally Recognized As Safe (GRAS) yaitu mikroorganisme yang tidak beresiko
terhadap kesehatan, bahkan beberapa jenis bakteri tersebut berguna bagi
kesehatan. Bakteri ini dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas higiene dan
keamanan pangan melalui penghambatan secara alami terhadap mikroflora
berbahaya yang bersifat patogen. Bakteri ini dapat berfungsi sebagai pengawet
makanan      karena   mampu    memproduksi    asam   organik,   menurunkan    pH
lingkungannya dan mengeksresikan senyawa yang mampu menghambat

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                2
ISBN 978-602-98295-0-1



mikroorganisme patogen seperti H2O2, diasetil, CO, asetaldehid, d-isomer asam
asam amino dan bakteriosin (Kusmiati dan Malik, 2002). Menurut Sandi et al
(2008) penambahan enzim cairan rumen dan bakteri Leuconostoc mesenteroides
pada silase berbahan baku singkong mampu menurunkan kandungan serat kasar
dan sianida pada umbi, serta meningkatkan protein pada KDUO (kulit+daun+umbi
+onggok).
      Isolasi bakteri pernah dilakukan Ali (2008) yang mengisolasi bakteri asam
laktat penghasil antimikroba, digunakan isolat bakteri asam laktat murni yang
diperoleh dari isolat saluran pencernaan hewan ternak.          Setelah dilakukan
konfrontasi isolat dan bakteri, menunjukkan bahwa bakteri Salmonella sp. yang
sensitif terhadap isolat dibandingkan dengan bakteri uji yang lain. Penelitian yang
sama juga pernah dilakukan oleh Suardana et al (2007) yang mengisolasi dan
mengidentifikasi bakteri asam laktat penghasil antimikroba asal cairan rumen sapi
Bali yang nantinya berpotensi untuk dipakai sebagai biopreservatif. Selain itu,
isolasi mikroba rumen yang mampu mendegradasi sianida dari cairan rumen
domba yang telah teradaptasi dengan sianida yang menunjukkan kemiripan
Megasphaera elsdenii juga pernah dilakukan Abrar (2001). Pada penelitian ini
akan diisolasi bakteri asam laktat pendegradasi sianida dari cairan rumen
sehingga dapat diketahui kemampuannya dalam mendegradasi sianida, yang
diharapkan dapat dimanfaatkan untuk mengatasi antinutrisi kandungan sianida
pada pakan ternak.


                             MATERI DAN METODE


1. Cairan Rumen
      Cairan rumen sebagai sumber inokulum untuk isolasi bakteri asam laktat
yang diharapkan mampu mendegradasi sianida diambil dari peternak sapi di
daerah Indralaya Utara, Kabupaten Ogan Ilir Propinsi Sumatera Selatan.


2. Media Kultur Bakteri
      Media kultur yang digunakan adalah MRS Broth, Nutrient Agar (NA), KSCN
(Kalium thiosianat), dan Na2CO3. Komposisi media kultur yang digunakan untuk
pengayaan adalah MRS Broth, KSCN dan Aquadest. Komposisi media kultur
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                     3
ISBN 978-602-98295-0-1



untuk penanaman kultur bakteri adalah MRS Broth, KSCN, Nutrient Agar (NA),
Na2CO3 dan Aquadest 100 ml. Pengayaan media dan isolasi bakteri asam laktat
menggunakan metode hunggate. Untuk menghitung populasi bakteri, digunakan
metode pencacah koloni bakteri yang hidup.          Prinsip perhitungannya adalah
cairan rumen diencerkan secara serial dengan media pengencer lalu dibiakkan
dalam tabung Hungate.        (Ogimoto & Omai, 1980). Pengukuran Konsentrasi
Sianida     dengan metode APHA (1985). Pengamatan morfologi bakteri yang
diamati adalah bentuk bakteri (bulat, batang dan spiral). Selain itu juga dilakukan
uji katalase.


                            HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Jumlah Bakteri Asam Laktat yang Tumbuh
       Proses seleksi bakteri asam laktat dilakukan melalui tahapan seleksi media
yang mengandung sianida. Bakteri asam laktat diperoleh dari mikroba rumen yang
ditumbuhkan pada media selektif yang telah dicampur dengan KSCN (Kalium
Tiosianat). Kusmiati dan Malik (2002) melaporkan bahwa media MRS (de Mann,
Rogosa, Sharpe)        merupakan media terbaik untuk mempengaruhi aktivitas
bakteriosin Leuconostoc mesenteroides Pbacl. Pada penelitian ini media MRS
Broth ditambah dengan KSCN yang berfungsi sebagai media selektif.            Media
selektif berguna untuk menyeleksi mikroba berdasarkan ketersediaan nutrisinya.
Hanya mikroba yang mampu hidup dalam media yang mengandung KSCN yang
dapat bertahan hidup. Proses seleksi bakteri asam laktat perlu dilakukan karena
dalam rumen terdiri dari berjuta-juta bakteri rumen.     Pada proses ini, mikroba
ditumbuhkan pada MRS Broth yang telah ditambah dengan KSCN, kemudian
dilakukan pengenceran 10-6 untuk menghitung jumlah koloni yang tumbuh setelah
24 jam.     Hal ini dilakukan 3 kali hingga diperoleh koloni bakteri. elama proses
seleksi, media ditambah dengan Na2CO3 agar media tidak terlalu asam. Metode
yang digunakan adalah metode hungate, yaitu media ditumbuhkan dalam tabung
reaksi yang telah ditutup dengan pentil karet dan dalam suasana anaerob.
          Hasil seleksi bakteri asam laktat diketahui berdasarkan jumlah koloni yang
tumbuh pada media.         Bakteri yang tumbuh memiliki beberapa kemungkinan,
 antara lain bakteri yang tumbuh adalah bakteri yang mampu mendegradasi
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                      4
ISBN 978-602-98295-0-1



sianida. Dhillon dan Shivaraman (2001) melaporkan bahwa ada mikroba yang
mampu mendegradasi sianida.     Menurut Fallon (1992), degradasi sianida dapat
terjadi dalam kondisi anaerob dengan produk fermentasinya yaitu asam format
dan amonia. Sianogenesis dalam rumen juga tergantung pH rumen (Majak et al,
1990). Produksi sianida dalam rumen akan tinggi jika pH rumen lebih dari 6.
Pada penelitian ini, pH media yang digunakan untuk pertumbuhan bakteri adalah
6-7.    Mikroba selulotik dalam rumen memerlukan pH 6,8 – 7,0 untuk
pertumbuhannya. Abrar (2001) melaporkan bahwa cairan rumen domba yang
telah teradaptasi dengan daun singkong (sianida) memiliki mikroba yang mampu
mendegradasi sianida, hasil identifikasi isolat menunjukkan kemiripan dengan
bakteri Megasphaera elsdenii. Proses adaptasi pada penelitian ini adalah setiap
media yang digunakan mengandung sianida dengan konsentrasi yang selalu
sama. Kemungkinan kedua, bakteri yang tumbuh tidak mampu mendegradasi
sianida, namun mampu beradaptasi dengan sianida dalam rumen.


Tabel 3. Jumlah koloni yang tumbuh
                          Jumlah Koloni ( n x 106
                Isolat    cfu/ml)
                RB11      7
                RB 21     10
                RB 22     8
                RB 32     28
                RB 42     17
                RB 71     1
                RB 72     1
                RB 81     4
                RB 82     2


       Pertumbuhan bakteri asam laktat berbeda-beda pada setiap isolat pada
waktu 24 jam pada 9 isolat bakteri. Menurut Wallace dan Newbold (1989), rumen
merupakan tempat hidup mikroba dengan suhu, pH, kelembapan yang relatif
konstan serta    kondisi anaerob yang mampu menunjang pertumbuhan dan
perkembangan mikroba. Jumlah koloni yang paling banyak pada isolat RB 32
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                        5
ISBN 978-602-98295-0-1



dengan jumlah koloni 28 x 106 cfu/ml dengan bentuk morfologi yang bulat dan
yang paling sedikit pada koloni RB 71 dan RB 71 yang berjumlah 1x10 6 cfu/ml
dengan bentuk morfologi bulat (Tabel 3).


B. Pengujiaan Aktivitas Penurunan Sianida
      Pengujian konsentrasi sianida dilakukan untuk mengetahui besarnya
kandungan sianida pada media selektif MRS sebelum dan sesudah diberi cairan
rumen. Pengujian menunjukkan terjadinya penurunan sianida dari semua isolat
yang diuji. Masing-masing sebesar 81,66 % (RB 11), 81,0 % (RB 21), 77,29%
(RB22), 79,81% (RB32), 80,86% (RB 42), 76,36% (RB 71), 77,53% (RB 72), 83,3
% (RB 81) dan 73,1% (RB 82).     Terjadi penurunan sianida diketahui dari selisih
antara konsentasi sianida kontrol dan isolat yang diuji. Penurunan kandungan
sianida tertinggi pada sampel RB 81 sebesar 83,3 % dan yang terendah pada RB
82 sebesar 73,1 % . Berdasarkan penelitian Abrar (2001), penurunan sianida
pada isolat-isolat yang diuji sebesar 45,34 %, 71,0 % dan 76,5 %. Hal tersebut
menunjukkan adanya mikroba yang mampu menurunkan kandungan sianida.
Laju penurunan konsentrasi sianida pada setiap isolat juga berbeda (gambar 2)
yaitu 0,30 ppm/jam (RB 11), 0,31 ppm/jam (RB 21), 0,37 ppm/jam




Gambar 1. Grafik Penurunan sianida pada isolat


(RB 22), 0,33 ppm/jam (RB 32), 0,31 ppm/jam (RB 42), 0,38 ppm/jam (RB 71),
0,37 ppm/jam(RB 72), 0,27 ppm/jam (RB 81), dan 0,44 ppm/jam (RB 82).




Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                6
ISBN 978-602-98295-0-1




      Gambar 2. Laju penurunan sianida (ppm/jam) isolat


C. Karakterisasi Bakteri Asam Laktat
        Berdasarkan foto mikroskop olesan isolat diketahui morfologi isolat-isolat
tersebut adalah bulat dan batang, sifat pewarnaan gram positif dan negatif serta
uji katalase negatif. Cullimore (2000) menyatakan bahwa bakteri yang memiliki
bentuk kokus dan pewarnaan gram positif, katalase negatif serta fakultatif
anaerobik dari famili Streptococcaeae terdiri dari 3 genus yaitu Streptococcus sp.,
Leuconostoc dan Pediococus.
Hasil pengamatan morfologi bakteri dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini.
Tabel.4. Pengamatan morfologi bakteri asam laktat dan uji katalase
   Isolat                Bentuk morfologi       Pewarnaan            Uji Katalase
                                                gram
   RB 11                 Bulat, mixed culture   Positif              -
   RB 21                 bulat                  Positif              -
   RB22                  bulat                  Positif              -
   RB 32                 Bulat                  Positif              -
   RB 42                 Bulat, batang          Positif              -
   RB 71                 Bulat                  Positif              -
   RB 72                 Bulat                  Positif              -
   RB 81                 Bulat, batang          Negatif              -
   RB 82                 Bulat, batang          Negatif              -


      Menurut Cullimore (2000), bakteri gram positif yang mempunyai katalase
dan motil negatif ada 2 yaitu famili Lactobacillus dan Erysipelotrix. Lactobacillus
memiliki sel yang berbentuk panjang, batang               silinder       (kadang-kadang
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                       7
ISBN 978-602-98295-0-1



melengkung) sedang yang lainnya pendek dan sering berbentuk batang bulat.
Selnya juga sering membentuk rantai. Walaupun termasuk kedalam bakteri gram
positif dan bipolar (gram positif dan negatif).
       Berdasarkan uji pewarnaan gram, isolat-isolat merupakan gram positif dan
negatif. Menurut Fardiaz (1989), dalam pewarnaan gram sel-sel yang tidak dapat
melepaskan warna akan tetap berwarna kristal violet yaitu biru-ungu disebut
bakteri gram positif, sedangkan sel-sel yang dapat melepaskan kristal violet dan
mengikat safranin sehingga berwarna kemerahan disebut bakteri gram negatif.
Prinsip pewarnaan gram adalah kemampuan dinding sel mengikat zat warna
dasar setelah pencucian dengan alkohol. Pada bakteri gram positif mengandung
peptidoglikan lebih banyak dan lemak lebih sedikit dibanding dengan gram negatif.
       Produk fermentasi dari Streptococcus, Leuconostoc, dan Pediococcus
adalah laktat dan asetat/etanol. Afrianto et al. (2006) melaporkan bahwa bakteri
asam laktat mampu memproduksi asam laktat sebagai produk akhir perombakan
karbohidrat, hidrogen peroksida, dan bakteriosin. Desmazeud (1996) menyatakan
bahwa peran utama bakteri asam laktat dalam           pengasaman bahan mentah
dengan memproduksi sebagian besar asam laktat, sebagian kecil asam asetat,
etanol, dan CO2.
       Uji katalase dilakukan untuk mengetahui aktivitas katalase pada isolat.
Umumnya bakteri memproduksi enzim katalase yang dapat memecah H 2O2
menjadi H2O dan O2 (Hadioetomo, 1993). Hasil uji katalase menunjukkan bahwa
semua isolat adalah katalase negatif.       Bakteri yang termasuk katalase negatif
adalah Streptococcus, Leuconostoc, Lactobacillus dan Clostridium. Bakteri
katalase negatif tidak menghasilkan gelembung-gelembung. Hal ini berarti H2O2
yang diberikan tidak dipecah oleh bakteri katalase negatif.       Bakteri katalase
negatif tidak memiliki enzim katalase yang menguraikan H2O2. Mekanisme enzim
katalase memecah H2O2 yaitu saat melakukan respirasi, bakteri menghasilkan
berbagai macam komponen salah satunya H2O2. Bakteri yang memiliki
kemampuan memecah H2O2 dengan enzim katalase maka segera membentuk
suatu sistem pertahanan dari toksik H2O2 yang dihasilkannya sendiri. Bakteri
katalase positif akan memecah H2O2 menjadi H2O dan O2 dimana parameter yang
menunjukkan adanya aktivitas katalase tersebut adalah adanya gelembung-


Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                 8
ISBN 978-602-98295-0-1



gelembung oksigen seperti pada percobaan yang telah dilakukan. Dengan enzim
katalase, H2O2 diurai dengan reaksi sebagai berikut:

             2H2O2              2H2O + O2


                            KESIMPULAN DAN SARAN
       Kesimpulan penelitian ini adalah mikroba rumen yang mampu bertahan hidup
 pada    media    yang   mengandung      sianida   serta   mempunyai    kemampuan
 mendegradasi sianida adalah Bakteri Asam Laktat. Bakteri asam laktat yang
 mempunyai kemampuan mendegradasi sianida tertinggi (83,3 %) adalah bakteri
 asam laktat gram negatif dan katalase negatif.
        Disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan guna mengidentifikasi
jenis-jenis bakteri asam laktat yang mampu mendegradasi sianida dan
mengetahui aktivitas ekstraseluler/enzim bakteri asam laktat yang mempunyai
kemampuan degradasi sianida serta dampaknya bila ditambahkan pada
fermentasi bahan pakan ternak. Selain itu, perlu juga dilakukan penelitian untuk
mengetahui kemampuan bakteri           asam laktat yang sudah terisolasi dalam
mendegradasi sianida bila diinokulasikan langsung ke dalam saluran pencernaan
ruminansia
                                DAFTAR PUSTAKA
Abrar, A. 2001. Eksplorasi mikroba rumen pendegradasi sianida. Tesis. Program
     Pascasarjana,Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Afrianto, E., E. Liviawaty. & I. Rostini. 2006. Pemanfaatan limbah sayuran untuk
      memproduksi biomasa Lactobacillus plantarum sebagai bahan edible coating
      dalam meningkatkan masa simpan ikan segar dan olahan. Laporan Akhir.
      Unpad.

Ali,    I.     2008.     Isolasi  bakteri    asam      laktat  penghasil antimikroba.
       http://iqbalali.com/2008/03/30/isolasi-bakteri-asam-laktat-penghasil-
       antimikroba/. [ 21 Mei 2010 ]

Arora, S. P. 1995. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Gadjah Mada
     University Press, Yogyakarta

Cullimore, R.D. 200. Practical Atlas For Bacterial Identification. Lewis Publisher.
      United States of America



Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                    9
ISBN 978-602-98295-0-1



Desmazeaud, M. 1996. Lactic Acid Bacteria in Food: Use and Safety.Cahiers
    Agricultures. 5 (5), 331-342.

Dhillon, J.K & N. Shivaraman. 2001. Biodegradation of cynide compounds by a
      Pseudomonas spesies (S1). Can. J. Microbial., 45 : 201 – 208.

Fallon, R. D. 1992. Evidence of a hydrolitic route for anaerob cynide degradation.
     Appl. Environ. Microbial., 58 (() : 3163-3164

Hadioetomo, R.S. 1993. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek teknik dan Prosedur
     dasar Laboraturium, Laboraturium Mikrobiologi fakultas matematika dan Ilmu
     pengetahuan Alam IPB. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Lubis, D.A. 1992. Ilmu Makanan Ternak. Cetakan ke-2. PT. Pembangunan,
       Jakarta.
Kusmiati & Malik, A. 2002. Aktivitas bakteriosin dari bakteri Leuconostoc
      Mesenteroides Pbac1 pada berbagai media. Makara, kesehatan, vol. 6, no.
      1,     juni   2002.      http://journal.ui.ac.id/upload/artikel/NEW_Aktivitas-
      Kusmiati_Convert.pdf. [ 26 Juni 2010 ]

Fardiaz, S. 1989. Penuntun Praktek Mikrobiolog Pangan. Jurusan Teknologi
     Pangan dan Gizi fakulyas Teknologi pertanian. IPB Press. Bogor.

Majak, W., R. E. McDiarmid., J.W. Hall., & K.J. Cheng. 1990. Factors that
    determine rate of cyanogenesis in bovine ruminal fluid in vitro. J. Anim. Sci.,
    68 : 1648-1655

Ogimoto, K & Omai. 1980. Atlas of         Rumen Microbiology.      Japan Scientific
    Societies Press. Tokyo.

Pell, A. N., T.K. Woolsten, K. E.Nelson & P. Schofreld. 2003. Tanins: Biological
      activity and bacterial tolerance. J. Animal Scinece. Cornell Universary. USA.

Sandi, S. E. B. Laconi,. A. Sudarman,. K. G. Wiryawan. & D. Mangundjaja. 2008.
    Kualitas nutrisi silase berbahan baku singkong yang diberi enzim cairan
    rumen sapi dan Leuconostoc mesenteroides Media Peternakan, April 2010,
    hlm. 25-30 ISSN 0126-0472 Vol. 33 No. 1

Suardana, I.W., I. N. Suarsana., I. N. Sujaya & K.G. Wiryawan. 2007. Isolasi dan
    identifikasi bakteri asam laktat dari cairan rumen sapi bali sebagai kandidat
    biopreservatif. Jurnal Veteriner Desember 2007 Vol. 8 No. 4 : 155 – 159

Winugroho, M., M. Sabrani, P. Punorbowo, Y. Widiawati & A. Thalib. 1993. Non-
     genetic approach for selecting rumen fluid contain specific microorganisms
     (balitnak method). Ilmu dan peternakan 6(2) : 5-9 Pusat penelitian dan
     Pengembangan Peternakan . Bogor.

Wallace R. J & C.J. Newbold. 1989. Probiotics for Ruminants. In Probiotics the
Scientific Basis. Edited by R Fuller. Chapman & Hall.
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                             10
ISBN 978-602-98295-0-1



  EVALUASI FRAKSI SERAT KASAR AMPAS TEH YANG DIAMONIASI
             DENGAN DOSIS UREA YANG BERBEDA

       (The evaluation of crude fibre fraction of ammoniated tea waste
                            with various urea dosage)


                Armina Fariani, Manurung, N.B dan Arfan Abrar
       Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya




                                    ABSTRACT


      The aim of this research was to study the effect of various urea dosage of
ammoniation tea waste to its crude fibre fraction. This research was held on
animal feed and nutrition, agriculture faculty, Sriwijaya University from May to June
2010. Completely randomizd design with 3 treatments and 4 replication were used
on this study. Treatments were; control (K0), K1 (tea waste ammoniated with
1,5% urea) and K2 (tea waste ammoniated with 3% urea). The all parameters
were analyzed by Goering and Van Soest Methods (1982). Observed parameters
were Neutral Detergent Fibre (NDF), Acid Detergent Fibre (ADF), hemicellulose,
celullose, lignin. The result shows that 3% urea ammoniation were significantly
affect all parameters excep hemmicellulose. Tea waste ammoniation on 3% urea
gives NDF, ADF, celullose and lignin value ; 14,11%, 4,69%, 33,34% and 1,6%,
respectively hemmicelullose were 9,47%.


Key words : Fibre fraction, Waste tea ammoniation and urea


                                  PENDAHULUAN


      Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki potensi wilayah
pengembangan ternak. Keterbatasan penyediaan hijauan yang berkualitas
menjadi kendala dalam pengembangan peternakan. Sistem pemberian pakan
pada peternakan ruminansia yang hanya bertumpu pada hijauan menyebabkan

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                   11
ISBN 978-602-98295-0-1



kebutuhan hidup pokok ternak belum dapat terpenuhi dan mengakibatkan
produksi ternak rendah.     Untuk mengatasinya, maka perlu diberikan pakan
alternatif yang dapat memenuhi kebutuhan ternak tanpa harus menimbulkan suatu
kelainan pada ternak yang mengkonsumsinya serta dapat tersedia secara
berkesinambungan.
      Menurut Anonymous (1998), limbah pertanian selalu dikaitkan dengan
harga yang murah dan berkualitas rendah. Padahal limbah pertanian memiliki
potensi yang baik sebagai pakan. Pemanfaatan limbah pertanian sebagai bahan
pakan perlu memperhatikan hal-hal berikut sebelum dipergunakan seperti
ketersediaan, kontinuitas pengadaan, kandungan gizi, kemungkinan adanya faktor
pembatas seperti zat racun atau zat anti nutrisi serta perlu tidaknya bahan
tersebut diolah sebelum dapat digunakan sebagai pakan ternak.
      Selain limbah pertanian, hasil ikutan pengolahan pangan dapat juga
dimanfaatkan sebagai sumber pakan, salah satu contohnya adalah ampas teh.
Ampas teh merupakan hasil sampingan terbesar dalam industri pengolahan teh
botol dan bisa dimanfaatkan sebagai bahan pakan alternatif untuk ternak karena
produksinya yang cukup tinggi.
      Teh dengan nama latin adalah Camellia sinensis yang masih termasuk
keluarga Camilia, pada umumnya tumbuh di daerah yang beriklim tropis dengan
ketinggian antara 200 sampai dengan 2000 meter di atas permukaan laut dengan
cuaca antara 14 sampai dengan 25 oC (PT Sinar Sosro, 2003). Teh merupakan
sumber alami kafein, teofilin dan antioksidan dengan kadar lemak, karbohidrat
atau protein mendekati nol persen.
      Ampas teh merupakan hasil ikutan atau limbah dari pembuatan minuman
teh yang meliputi proses pelayuan, penggulungan, fermentasi dan pengeringan
dan mengandung zat makanan yang tidak kalah dengan bahan pakan lainnya
(Istirahayu, 1993). Menurut Ensminger et al. (1990), kandungan nutrisi dari ampas
teh antara lain 43,87 BK; 27,42% PK; 20,39% SK; 3,26% LK; 44,20 % Beta-N;
4,76% Abu; 1,14% Ca, 0,25% P; dan 66,71% TDN, sehingga diketahui bahwa
permasalahan yang terdapat dalam ampas teh umumnya memiliki kandungan
serat kasar yang tinggi yang terdapat lignin yang erat kaitannya dengan selulosa.
      Potensi ampas teh di wilayah Sumatera Selatan bisa dikatakan sangat
prospektif karena wilayah Sumatera Selatan cukup dikenal dengan produksi
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                      12
ISBN 978-602-98295-0-1



perkebunannya. Dalam 1 ha kebun teh akan menghasilkan 2.371 ton per pucuk
daun teh per tahun untuk diolah, dari hasil olahan tersebut sekitar 30 % akan
menghasilkan ampas (limbah) teh yang diperkirakan sekitar 1.659 ton per tahun.
      Ampas teh merupakan hasil sampingan terbesar dalam industri pengolahan
teh botol dan bisa dimanfaatkan sebagai bahan pakan alternatif untuk ternak
karena produksinya yang cukup tinggi. Ampas teh umumnya memiliki kandungan
serat kasar yang tinggi yang terdapat lignin yang erat kaitannya dengan selulosa.
Penyebab dari rendahnya kecernaan adalah terdapat lignin. Lignin tidak dapat
dicerna dalam rumen atau dalam pencernaan dan lignin juga mengandung silikat.
Silikat dan lignin ini bagaikan kaca pelapis, yang melapisi zat-zat yang berguna
dan bernilai energi tinggi seperti protein, selulosa, hemiselulosa. Untuk itu
pemanfaatan ampas teh ini dapat dilakukan terlebih dahulu mengalami proses
amoniasi dapat menggunakan urea sebagai bahan kimia agar biayanya murah
serta untuk menghindari polusi.
      Amoniasi adalah suatu proses pemotongan ikatan rantai panjang dari
glukosa   (selulosa   dan   hemiselulosa)   dan   membebaskan     selulosa   dan
hemiselulosa agar dapat dimanfaatkan oleh tubuh ternak. Kandungan tannin yang
tinggi pada ampas teh menunjukkan bahwa ikatan serat kasar antara lignin dan
selulosa tidak kuat. Kandungan tanin berkorelasi negatif dengan lignin sehingga
dosis amoniasi diduga dapat diturunkan dari biasanya yaitu 3%. Maka dari itu,
dalam kesempatan ini saya akan melakukan penelitian untuk menganalisa fraksi
serat kasar yang terdapat dalam ampas teh dengan perlakuan amoniasi yang
menggunakan urea dengan dosis yang berbeda.
      Athoillah (2006) dalam penelitiannya melaporkan bahwa adanya interaksi
antara faktor aras urea dan lama pemeraman berpengaruh terhadap peningkatan
kadar protein kasar dan TDN serta penurunan kadar serat kasar. Perlakuan
dengan hasil terbaik diperoleh pada lama pemeraman 4 minggu dengan aras urea
8%.
      Berdasarkan hal-hal tersebut ampas teh dapat dijadikan pakan ternak akan
tetapi miskin akan nutrisi dan sulit di cerna oleh ternak. Untuk itu pemanfaatan
ampas teh ini dapat dilakukan terlebih dahulu mengalami proses amoniasi dapat
menggunakan urea sebagai bahan kimia agar biayanya murah serta untuk
menghindari polusi. Pada penelitian ini akan dilakukan analisa fraksi serat kas
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                              13
ISBN 978-602-98295-0-1



yang terdapat dalam ampas teh dengan perlakuan amoniasi yang menggunakan
urea dengan dosis yang berbeda.


                            BAHAN DAN METODE


      Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai bulan Juni di Laboratorium
Nutrisi dan Makanan Ternak Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Sriwijaya.
      Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ampas teh, urea,
larutan NDS, ADS, H2SO4 72 %, aseton, aquadest.
      Ampas teh terlebih dahulu dikering anginkan hingga kandungan air dalam
ampas teh 70%. Kemudian ampas teh ditimbang sebanyak 400 g untuk setiap
perlakuan dan ulangan. Setelah itu ampas teh yang telah tersedia disemprotkan
urea dengan dosis urea yang telah ditentukan . Setelah itu dimasukkan ke dalam
kantong plastik yang kemudian diisolasi hingga keadaan anaerob dan diinkubasi
selama 21 hari. Setelah itu ampas teh yang telah diamoniasi dihaluskan dengan
mortar dan sampel siap untuk dianalisa dengan menggunakan metode Van Soest.


                         HASIL DAN PEMBAHASAN


Neutral Detergent Fiber (NDF)
      Neutral Detergent Fiber (NDF) adalah gambaran dari dinding sel tanaman
yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. NDF merupakan bagian serat
yang tidak larut dalam detergent netral dan juga merupakan komponen serat yang
tidak dapat larut dalam matrik dinding sel tanaman (Van Soest, 1982), kandungan
NDF sangat berpengaruh terhadap kemampuan ternak ruminansia untuk
mengkonsumsi pakan.
      Hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi urea
memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap kandungan NDF ampas teh.
Rataan nilai NDF analisa di laboratorium menyatakan bahwa rataan NDF terendah
terdapat pada perlakuan amoniasi dengan konsentrasi 3% (K2) yaitu sebesar
14,11%, sedangkan rataan tertinggi terdapat pada kontrol (K0) yaitu sebesar
46,98%.
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                             14
ISBN 978-602-98295-0-1



                                Rataan NDF ampas teh masing-masing perlakuan dapat dilihat pada
gambar 1 berikut :
                        50,00      46,98
                        45,00
 Nilai Rataan NDF (%)




                        40,00
                        35,00
                        30,00                     26,62
                        25,00
                        20,00
                                                                      14,11
                        15,00
                        10,00
                         5,00
                         0,00
                                  KONTROL   Amoniasi Urea 1,5%   Amoniasi Urea 3%
                                                Perlakuan



                                Gambar 1. Nilai Rataan Kandungan NDF Ampas Teh


                                Pada penelitian ini nilai NDF yang semakin rendah menyatakan bahwa
proses amoniasi yang berjalan dengan baik terdapat pada amoniasi dengan
konsentrasi 3%.
                                Gambar di atas menjelaska bahwa amoniasi dengan dosis urea 3% telah
memberikan pengaruh terhadap perombakan struktur dinding sel pada ampas teh,
sehingga kandungan nilai NDF yang dihasilkan menjadi rendah. Penurunan nilai
NDF dari perlakuan urea 3% menunjukkan bahwa proses amoniasi telah berjalan
dengan lebih baik. Hal tersebut dapat diamati secara visual bahwa ampas teh
amoniasi 3% memiliki struktur yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan
lainnya.
                                Kandungan NDF ampas teh pada perlakuan amoniasi dengan konsentrasi
3% memiliki nilai yang baik yaitu 14,11%. Hal ini sejalan dengan pendapat Van
Soest (1982), kandungan NDF berkaitan dengan daya kecernaan, dimana
semakin rendahnya kandungan NDF maka semakin baik daya kecernaannya.
                                Nurcahyani et al. (2006) melaporkan nilai NDF ampas teh yang
difermentasi dengan aspergillus niger memiliki nilai NDF 52,6%. Ini berarti proses
amoniasi pada penelitian ini lebih baik karena memiliki nilai NDF yang lebih kecil
(14,11%).
                                Kandungan NDF sangat berpengaruh terhadap kemampuan ternak
ruminansia untuk mengkonsumsi pakan sehingga semakin tinggi nilai NDF maka
kecernaan pakan tersebut akan semakin rendah. Menurut Bell (1997) bahwa nilai
NDF dapat digunakan sebagai penduga kecernaan bahan pakan.

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                                         15
ISBN 978-602-98295-0-1



Acid Detergent Fiber (ADF)
                         Acid Detergent Fiber (ADF) adalah dinding sel terutama tersusun dari dua jenis
sarat yaitu yang larut dalam detergent asam yaitu hemiselulosa dengan sedikit
protein dinding sel, dan yang tidak larut dalam detergent asam yakni lignoselulosa.
                             Hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa perlakuan dosis urea
memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap kandungan ADF ampas teh. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kandungan ADF terendah terdapat pada perlakuan
amoniasi dengan konsentrasi 3% (K2) yaitu sebesar 4,69%, sedangkan nilai
tertinggi terdapat pada kontrol (K0) yaitu sebesar 32,32%.
                             Rataan ADF pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada gambar 2
dibawah ini :
                        35    32,32

                        30
 Nilai Rataan ADF (%)




                        25

                        20
                                             13,89
                        15

                        10
                                                                  4,69
                        5

                        0
                             KONTROL   Amoniasi Urea 1,5%   Amoniasi Urea 3%
                                          Perlakuan



                             Gambar 2. Nilai Rataan Kandungan ADF Ampas Teh


                             Hal ini menunjukkan bahwa nilai ADF yang rendah terjadi pada proses
amoniasi dengan konsentrasi 3% sekaligus menyatakan bahwa perlakuan
amoniasi berjalan sesuai yang diinginkan. Nurcahyani et al (2006), melaporkan
nilai ADF ampas teh yang difermentasi dengan aspergillus niger memiliki nilai
43,56%. Ini berarti proses amoniasi pada penelitian ini lebih baik karena memiliki
nilai ADF yang lebih kecil (4,69%). Nilai ADF berkaitan dengan kandungan energi,
dimana semakin tinggi nilai ADF maka semakin rendah kandungan energi
tercernanya. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ADF adalah selulosa dan
lignin. Proses amoniasi di harapakan dapat merenggangkan ikatan antara lignin
dengan selulosa ternyata tidak berjalan optimal ketika ampas teh diamoniasi
dengan penambahan urea 1,5% sehinga hanya sedikit selulosa yang terlarut,
sedangkan pengunaan dosis urea 3% dalam mengamoniasi ampas teh dapat
menurunkan kandungan ADF.
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                                     16
ISBN 978-602-98295-0-1



Hemiselulosa
                                  Hasil       analisa     keragaman                   menunjukkan   bahwa   perlakuan   dosis   urea
memberikan pengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap kandungan hemiselulosa
ampas teh. Hasil analisa laboratorium pada penelitian ini menunjukkan bahwa
kandungan hemiselulosa terendah terdapat pada perlakuan amoniasi 3% (K2)
yaitu sebesar 9,42%, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada kontrol (K0) yaitu
14,66%.
                                      Rataan hemiselulosa pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada
gambar 3 berikut di bawah ini :

                                 16       14,66
 Nilai Rataan Hemiselulosa (%)




                                 14                       12,73
                                 12
                                                                               9,42
                                 10
                                 8
                                 6
                                 4
                                 2
                                 0
                                       KONTROL      Amoniasi Urea 1,5%   Amoniasi Urea 3%
                                                       Perlakuan



                                      Gambar 3. Nilai Rataan Hemiselulosa Ampas Teh


                                      Nurcahyani et al (2006), melaporkan nilai hemiselulosa ampas teh yang
difermentasi dengan aspergillus niger memiliki nilai 8,70%. Ini berarti proses
amoniasi pada penelitian tidak lebih baik karena diduga hemiselulosa terlarut
dalam alkali pada proses amoniasi.
                                      Hemiselulosa sama dengan selulosa tetapi hanya saja secara parsial dapat
dicerna di dalm rumen (Anonim, 2006). Hemiselulosa mudah larut dalam alkali
tetapi sukar larut dalam enzim. Enzim hemiselulosa yang dihasilkan oleh
mikroorganisme rumen akan menghidrolisa hemiselulosa dengan hasil akhir asam
lemak terbang, sehingga hemiselulosa mudah dimanfaatkan oleh mikroorganisme
rumen (Tilman et al,. 1983).


Selulosa
                                  Selulosa merupakan senyawa organik yang terdapat pada dinding sel bersama
lignin berperan dalam mengokohkan struktur tumbuhan memiliki sifat struktur
kristalin dan amorf serta tahan terhadap hidrolisis.
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                                                                   17
ISBN 978-602-98295-0-1



                                  Hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa perlakuan dosis urea
memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap kandungan selulosa ampas teh.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan selulosa terendah terdapat pada
perlakuan amoniasi dengan konsentrasi 1,5% (K1) yaitu sebesar 12,43%,
sedangkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan perlakuan amoniasi dengan
konsentrasi 3% (K2) yaitu sebesar 33,34%.
                                  Nilai rataan selulosa pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada
gambar 4 di bawah ini :

                             40
                             35                                       33,34
 Nilai Rataan Selulosa (%)




                             30
                             25
                             20
                             15     13,4          12,43
                             10
                             5
                             0
                                  KONTROL   Amoniasi Urea 1,5%   Amoniasi Urea 3%
                                                Perlakuan



                                  Gambar 4. Nilai Rataan Selulosa Ampas Teh


                                  Nurcahyani et al (2006), melaporkan nilai selulosa ampas teh yang
difermentasi dengan aspergillus niger memiliki nilai 33,54%. Ini berarti proses
amoniasi pada penelitian ini lebih baik karena memiliki nilai selulosa yang lebih
kecil (33,34%). Selulosa merupakan karbohidrat utama yang disintesis oleh
tanaman dan menempati hampir 60% komponen penyusun struktur tanaman
(Salma dan Gunarto, 1999).
                                  Pada penelitian ini selulosa tertinggi terdapat pada perlakuan amoniasi
dengan konsentrasi 3%, sehingga diduga proses amoniasi telah berhasil
melepaskan ikatan lignin pada selulosa sehingga nilai selulosa menjadi lebih
besar.


Lignin
                              Lignin merupakan bagian dinding sel tanaman yang tidak dapat dicerna dan
dapat mengurangi kecernaan fraksi tanaman lainnya. Tingginya kadar lingnin
secara langsung akan menurunkan daya cerna serat (Van Soest, 1982).

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                                         18
ISBN 978-602-98295-0-1



                                Hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa perlakuan dosis urea
memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap kandungan lignin ampas teh.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan lignin terendah terdapat pada
perlakuan amoniasi dengan konsentrasi 3% (K2) yaitu sebesar 1,6%, sedangkan
nilai tertinggi terdapat pada perlakuan amoniasi dengan konsentrasi 1,5% (K1)
yaitu sebesar 4,84%.
                                Rataan lignin pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada gambar 5
berikut di bawah ini :
                           6
                                                 4,84
                           5
 Nilai Rataan Lignin (%)




                                  4,06
                           4

                           3

                           2                                          1,6

                           1

                           0
                                 KONTROL   Amoniasi Urea 1,5%   Amoniasi Urea 3%
                                               Perlakuan



                                Gambar 4. Nilai Rataan Lignin Ampas Teh


                                Nurcahyani at al (2006), melaporkan nilai lignin ampas teh yang
difermentasi dengan aspergillus niger memiliki nilai 8,41%. Ini berarti proses
amoniasi pada penelitian ini lebih baik karena memiliki nilai lignin yang lebih kecil
(1,6%).
                                Penurunan kandungan lignin pada perlakuan amoniasi dengan dosis urea
3% telah dapat merenggangkan ikatan lignin karena pada penelitian ini ikatan
lignin dipengaruhi oleh amoniasi dengan dosis urea 3%.
                               Lignin adalah penghambat kecernaan dinding sel tanaman, semakin banyak
lignin yang terdapat dalam dinding sel maka koefisien cerna hijauan tersebut
semakin rendah (Mc Donald et al., 1988). Menurut Tilman et al., (1991)
melaporkan bahwa kadar lignin tanaman dapat bertambah seiring dengan
bertambahnya umur tanaman sehingga daya cerna semakin rendah dengan
bertambahnya lignifikasi.
                               Kandungan lignin dalam bahan pakan mempunyai korelasi negatif dengan
kecernaan dinding sel (NDF) dan bahan organik karena lignin tidak dapat
didegradasi dalam pencernaan ruminansia (Reeves, 1985). Lignin selain tidak
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                                        19
ISBN 978-602-98295-0-1



dapat dimanfaatkan oleh ternak juga merupakan indeks negatif bagi mutu suatu
bahan pakan, karena ikatannya dengan selulosa dan hemiselulosa membatasi
kecernaan dan mengurangi energi bagi ternak.


                         KESIMPULAN DAN SARAN


      Dari hasil penelitian dapat disimpulkan amoniasi dengan konsentrasi 3%
memberikan pengaruh yang sangat baik terhadap kandungan NDF (14,11%), ADF
(4,69%), selulosa (33,34%) , dan lignin (1,6%), namun tidak berpengaruh terhadap
kandungan hemiselulosa (9,42%).
      Untuk mengetahui kecernaan ampas teh amoniasi perlu dilakukan uji lanjut
kecernaan ampas teh amoniasi secara in-sacco dan in-vivo.


                             DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 1998. Untung rugi menggunakan pakan alternatif. Infovet, Edisi 058,
     Hal. 20-22.

Anonimus. 2008. Metode Pengelolaan Limbah Untuk Pakan Ternak. (Mei 2008).

Athoillah. 2006. Kajian Aras Urea dan Lama Peneraman yang Berbeda terhadap
       Kandungan Protein Kasat, Serat Kasar dan Total Digestible Nutrients
       Ampas Sagu Amoniasi. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas
       Diponegoro Semarang. Semarang.

Bell, B. 1997. Forage and Feed Analysis. Agriculture and Rural Representative.
       Ontario. Minstry of Agriculture food and Rural Affairs.
Chucrh, D.C. 1976. Digestive Physiology. In : Volume I Digestive Physiology and
       Ruminant. Published by D.C. Church. Distributed by O & B Books, 1215
       Kline Place Corvalis. Oregon 97330. USA.

Ensminger, M.E., J.E. Olfield and W.W. Hiennemann. 1990. Feed and Nutrition 2nd
     Ed. The Ensminger Publishing Company. California.

Istirahayu, D.N. 1993. Pengaruh Penggunaan Ampas Teh Dalam Ransum
       Terhadap Persentase Karkas, Giblet, Limpa, dan Lemak Abdominal
       Broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Mc Donalds. 1982. The Biochemistry of Silage. John Wiley and Son. LPD.
     Chichester.



Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                              20
ISBN 978-602-98295-0-1



Nurcahyani et al. 2006. Utilitas Ampas Teh Yang Difermentasi Dengan Aspergillus
      niger di Dalam Rumen. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas
      Diponegoro. Semarang.

PT.   Sinar Sosro. 2003. Sejarah dan Perkembangan Teh                      Sosro.
      http://www.sosro.com/sejarah/perkembangan [15 Desember 2004].

Reeves, J.P. 1985. Lignin Composition and In vitro Digestibility of Feed. J. Anim.
     Sci. 60: 316-322.

Tilman, A. D., H. Hatardi., S. Reksihadiprodjo., S. Prawirokusumo dan
      Lebdososoekodjo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada
      University Press. Yogyakarta.

Tilman, A.D., Hartadi, R. Soedomo, P. Soeharto, dan S. Lebdosokorjo. 1998. Ilmu
      Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Van Soest, P. J. 1964. Symposium on nutrition and forage and pastures: new
     chemical procedures for evaluating forages. J. Animal Sci. 23:838.

Van Soest, P.J. 1982. Nutritional Ecology of the Ruminant : Ruminant Metabolism,
     Nutritional Stategies the Cellulolytic Fermentation and the Camisthy of
     Forages and Palm Fiber. Cornell University O & B Books Inc. USA.




Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                21
ISBN 978-602-98295-0-1



 EVALUASI SERANGAN HAMA UTAMA PADA BEBERAPA VARIETAS PADI
 DI DESA PULUNG KENCANA, KABUPATEN TULANG BAWANG, LAMPUNG


                 Dewi Rumbaina Mustikawati dan Nina Mulyanti
                  Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung


                                    ABSTRACT

       Evaluation of the main pests attack in several varieties of rice in Pulung
Kencana Village, Tulang Bawang Regency, Lampung. This research aimed at
evaluating resistance of several varieties of rice against several pests in Tulang
Bawang Lampung. The research was carried out in the land of the irrigation
paddy-field to DS 2007 (April-July). Used Randomized block design, 7 treatments
of the variety of rice, with 5 replications. The varieties of this rice were: Mekongga,
Kalimas, Sintanur, Batang Piaman, Intani II, Bernas Prima, and Silugonggo.
Observation of the pest was carried out when the crop was 4 weeks and 8 weeks
old after planted. Results of the research showed that during the age crop 4 weeks
that attacked was the caseworm (Nymphula depunctalis) revolved between 0 -
2.28%, and the stem borer (Scirpophaga sp.) revolved between 0.34 - 2.47%.
When the crop was 8 weeks old, the pest that was found was brown planthopper
(Nilaparvata lugens) with the revolving population between 0 – 4.81 the tail. The
level of the attack of the three pests in seven varieties of rice that was observed
was still being under economic threshold.

Key words: Rice, the variety, the pest.

                                  PENDAHULUAN
       Di   Indonesia,   padi   merupakan      makanan     pokok    yang    mewarnai
perekonomian di pedesaan. Karena posisinya yang sangat strategis dalam
ketahanan pangan nasional, kekurangan penyediaan beras akan berdampak
secara sosial, ekonomi, dan bahkan politik. Hal ini mendorong pemerintah untuk
memberikan prioritas tinggi kepada upaya peningkatan produksi komoditas
strategis ini. Akan tetapi laju produksi padi dalam dekade terakhir telah melandai
dan bahkan pada tahun-tahun tertentu cenderung menurun. Pelandaian produksi
disebabkan antara lain oleh ketidak mampuan varietas unggul yang ada untuk
berproduksi lebih tinggi karena sempitnya keragaman genetik yang dimiliki dan
adanya serangan hama dan penyakit. Hama dan penyakit padi merupakan salah
satu cekaman biotik yang mengurangi potensi hasil sehingga produksi tidak stabil.



Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                     22
ISBN 978-602-98295-0-1



      Keragaman genetik plasma nutfah tanaman pangan merupakan modal
utama untuk pembentukan atau perbaikan varietas unggul yang dikehendaki.
Varietas unggul ternyata belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sifat yang
selalu berubah seperti sifat ketahanan hama dan penyakit. Tingkat ketahanan
varietas tergantung kepada genotype dan stadia pertumbuhan tanaman serta
perilaku makan serangga hama (Prasadja, et all., 1993).

      Saat ini penggunaan varietas tahan hama masih menjadi antisipasi terbaik
dalam penanggulangan hama. Varietas tahan hama (VTH) memiliki peranan yang
penting dalam pengendalian hama terpadu (PHT), karena tidak hanya mudah
diadaptasi petani tetapi secara ekonomis juga dapat mengurangi biaya
pengendalian. Disamping itu dari segi ekologi, VTH juga menawarkan berbagai
keuntungan seperti: sifatnya yang kumulatif, aditif, kompatibel dengan komponen
PHT lainnya dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan (Kogan, 1975 dan
Smith, 1989 dalam Mustikawati, 2001).

      Varietas-varietas unggul padi yang telah dilepas perlu dievaluasi untuk
mengetahui responnya terhadap pengaruh biotik seperti ketahanan terhadap
hama. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi serangan hama utama pada
beberapa varietas padi di Desa Pulung Kencana, Kabupaten Tulang Bawang,
Lampung.


                             BAHAN DAN METODE


      Penelitian dilakukan di lahan sawah irigasi pada MK 2007 (April-Juli) di
Desa Pulung Kencana, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, menggunakan
Rancangan Acak Kelompok dengan 7 perlakuan varietas padi, dengan 5 ulangan.
Varietas padi yang digunakan adalah: Mekongga, Kalimas, Sintanur, Batang
Piaman, Intani II, Bernas Prima, dan Silugonggo. Luas petak penelitian 2,0 m x 3,6
m. Jarak tanam 10 x 20 x 40 cm (jejer legowo 4 : 1). Tanaman dipupuk dengan
250 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl + 2 ton pupuk kandang per hektar.
Pengamatan hama dilakukan saat tanaman berumur 4 minggu dan 8 minggu
setelah tanam. Parameter yang diamati adalah serangan hama putih (Nymphula


Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                23
ISBN 978-602-98295-0-1



depunctalis), hama penggerek batang (Scirpophaga sp.), dan wereng coklat
(Nilaparvata lugens).


                           HASIL DAN PEMBAHASAN


         Data hasil pengamatan dapat dilihat dalam Tabel 1. Saat tanaman berumur
4 minggu, hama yang menyerang adalah hama putih (Nymphula depunctalis), dan
penggerek batang (Scirpophaga sp.) yang sering disebut sundep. Gejala
serangan hama sundep, pucuk tanaman layu, kering berwarna kemerahan dan
mudah dicabut. Gejala serangan hama putih terlihat pada daun berwarna putih,
jaringan daun dimakan ulat dan yang tertinggal hanya epidermisnya. Serangan
hama putih berkisar antara 0 – 2,28%. Serangan hama putih tertinggi pada
varietas Silugonggo (2,28%), kemudian pada varietas Kalimas (2,18%), Intani II
(1,93%), dan Bernas Prima (1,82%) yang antar semuanya tidak berbeda nyata
kecuali dengan varietas Batang Piaman, Sintanur dan Mekongga. Sedangkan
pada varietas Mekongga dan Sintanur tidak ada serangan hama putih.
         Serangan penggerek batang berkisar antara 0,34 - 2,47%. Serangan
penggerek batang yang tertinggi pada varietas Bernas Prima (2,47%) dan yang
terendah pada varietas Sintanur (0,34%). Bernas Prima berbeda nyata dengan
varietas lainnya kecuali dengan Kalimas (1,74%). Varietas Kalimas tidak berbeda
nyata dengan Mekongga (1,28%) dan Intani II (1,18%), sedangkan dengan
Silugonggo (0,55%), Batang Piaman (0,58%) dan Sintanur (0,34%) berbeda
nyata.
         Saat tanaman berumur 8 minggu, hama yang ditemukan adalah wereng
coklat. Populasi wereng coklat yang menyerang berkisar antara 0 – 4,81 ekor.
Populasi wereng coklat yang tertinggi pada varietas Kalimas berbeda nyata
dengan varietas lainnya. Sedangkan varietas lainnya satu sama lain tidak berbeda
nyata.




Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                              24
ISBN 978-602-98295-0-1




Tabel 1. Keragaan serangan hama pada beberapa varietas padi.

Varietas         Serangan      Hama Serangan          Populasi Wereng
                 putih              Penggerek         Coklat (ekor)
                  (%)               Batang (%)
1. Mekongga      0,00 c             1,28 bc             0,27 b
2. Kalimas       2,18 a             1,74 ab             4,81 a
3. Sintanur      0,00 c             0,34 d              0,09 b
4. Batang        1,10 b             0,58 cd             0,81 b
        Piaman   1,93 a             1,18 bc             0,00 b
5. Intani II     1,82 a             2,47 a              0,30 b
6. Bernas        2,28 a             0,55 cd             0,00 b
        Prima
7. Silugonggo
KK (%)            17,41             48,21               45,99
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama
             tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT.


       Tingkat serangan ketiga hama tersebut semuanya masih dibawah ambang
ekonomi. Tingkat ambang ekonomi hama putih (Nymphula depunctalis) adalah
lebih dari 25 % daun rusak atau 10 daun rusak per rumpun (Anonimous, 2003).
Ambang ekonomi penggerek batang adalah 10% rumpun terserang atau 4
kelompok telur per rumpun (pada fase bunting). Ambang ekonomi wereng coklat
adalah 5 ekor pada saat tanaman berumur dibawah 40 HST, atau lebih dari 20
ekor pada saat tanaman berumur diatas 40 HST (Anonimous, 2007). Beberapa
varietas padi yang diamati memang memiliki sifat antara lain tahan terhadap
wereng coklat, seperti varietas Mekongga agak tahan terhadap wereng coklat
biotipe 2 dan3, varietas Kalimas agak tahan terhadap wereng coklat biotipe 3,
sedangkan varietas Sintanur dan Silugonggo tahan tahan terhadap wereng coklat
biotipe 1 dan 2 (Suprihatno, et all., 2006).



                                   KESIMPULAN


       Saat tanaman umur 4 minggu hama yang menyerang adalah hama putih
(Nymphula depunctalis) berkisar antara 0 – 2,28%, dan penggerek batang
(Scirpophaga sp.) berkisar antara 0,34 – 2,47%. Saat tanaman berumur 8 minggu,

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                            25
ISBN 978-602-98295-0-1



hama yang ditemukan adalah wereng coklat (Nilaparvata lugens) dengan populasi
berkisar antara 0 – 4,81 ekor. Tingkat serangan ketiga hama tersebut pada tujuh
varietas padi yang diamati masih dibawah ambang ekonomi.



                             DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2003. Buku Saku Masalah lapang, hama penyakit hara pada padi.
        Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Anonimous. 2007. Pedoman Umum. Produksi Benih Sumber Padi. Badan Litbang
        Pertanian. 37 hal.
Mustikawati, D. R. 2001. Stabilitas Ketahanan Beberapa Galur Kedelai Terhadap
         Srangan Hama. Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 7(1). Hal: 87-92.

Prasadja, I., Bahagiawati A.H., dan Toto Djuwarso. 1993. Pengendalian hama
          tanaman pangan dengan varietas tahan. Pemantapan Penelitian Hama
          Tanaman Pangan. Hal: 57 – 67. Risalah Lokakarya. Balittan Sukarami,
          4-7 Maret 1993.
Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Baehaki, N. Widiarta, A. Setyono, S.D.
        Indrasari, O.S. Lesmana dan H. Sembiring. 2006. Deskripsi Varietas Padi.
        Badan Litbang Pertanian. Balitpa. 78 hal.




Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                              26
ISBN 978-602-98295-0-1



   TINGKAT STRES DAN KELANGSUNGAN HIDUPPASCALARVA UDANG
    VANAME(LITOPENAEUS VANNAMEI) SELAMA MASA PENURUNAN
   SALINITAS RENDAH DENGAN PENAMBAHAN NATRIUM DAN KALIUM

(STRESS LEVELS AND SURVIVAL RATE OF WHITE SHRIMP PASCALARVAE
   (LITOPENAEUS VANNAMEI) DURING OF LOWERING SALINITY WITH
              ADDITION OF SODIUM AND POTASSIUM)

      Ferdinand Hukama Taqwa, D. Jubaedah, M. Syaifudin, O.Saputra
   Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya


                                   ABSTRACT

         The purpose of this research was to know the best ratio of sodium and
potassium ions in low salinity (0,5 ppt) which can lowering stress levels and
maintain survival rate of white shrimp pascalarvae during acclimatization of
lowering salinity with addition of sodium and potassium ions in fresh water to mix
with sea water 20 ppt. The research has been done in August 2010 at Fishery‟s
Laboratory Aquaculture Program, Agricultural Faculty, Sriwijaya University,
Indralaya. This research was arranged in a Factorial Completely Randomized
Design (3 levels of sodium and potassium addition, each 25, 50 and 75 ppm) with
9 treatments; A (25 ppm Na+ : 25 ppm K+), B (25 ppm Na+ : 50 ppm K+), C (25
ppm Na+ : 75 ppm K+), D (50 ppm Na+ : 25 ppm K+), E (50 ppm Na+ : 50 ppm K+),
F (50 ppm Na+ : 75 ppm K+), G (75 ppm Na+ : 25 ppm K+), H (75 ppm Na+ : 50
ppm K+), I (75 ppm Na+ : 75 ppm K+) and 3 replication. The results of this research
showed that addition of sodium 75 ppm and potassium 50 ppm (treatment H) in
fresh water to lowering salinity during acclimatization of 96 hours (4 days) can
lowering stress levels (blood glucose level 158,08 mg /dl and the level of oxygen
consumption 0,45 mg O2/g/h). So it can maintain optimum survival rate of white
shrimp pascalarvae. Water quality during acclimatization (temperature 26 – 29oC,
pH 7,3 – 7,6, dissolved oxygen 5,44 – 7,48 mg/l, ammonia 0,176 – 0,252 mg/l)
stilled in range appropriate to survival rate of white shrimp pascalarvae.
Keyword : ions addition, stress, survival rate, sodium, potassium, acclimatization,
                low salinity, white shrimp pascalarvae


                                 PENDAHULUAN
      Pemerintah secara resmi melepas udang vaname sebagai varietas unggul
pada tanggal 12 Juli 2001 melalui SK Menteri KP No. 41/2001 setelah melalui
serangkaian penelitian dan kajian (Haliman dan Adijaya, 2007). Udang vaname
dapat hidup pada kisaran salinitas lebar (euryhaline), akan tetapi apabila tidak ada
masa aklimatisasi maka kelangsungan hidup yang dihasilkan akan rendah. Hana


Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                  27
ISBN 978-602-98295-0-1



(2007), menyatakan bahwa kelangsungan hidup yang dihasilkan selama
aklimatisasi 96 jam hanya mencapai 48,33% tanpa adanya penambahan ion.
      Provinsi Sumatera Selatan mempunyai potensi yang baik untuk budidaya
udang vaname, akan tetapi di beberapa daerah yang jauh dari laut mempunyai
salinitas perairan rendah. Upaya yang harus dilakukan supaya budidaya udang
vaname dapat dilakukan di Sumatera Selatan adalah dengan menggunakan bibit
udang vaname yang siap tebar dan tahan terhadap salinitas rendah. Maka dari itu,
dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu guna menekan mortalitas sehingga
kelangsungan hidup yang didapat relatif tinggi. Hasil penelitian Taqwa et al.,
(2008) menunjukkan bahwa penambahan mineral kalium sebanyak 25 ppm
selama aklimatisasi penurunan salinitas untuk pascalarva udang vaname hingga 2
ppt selama 96 jam menghasilkan kelangsungan hidup hingga 97%.
      Metode aklimatisasi lain yang dapat dilakukan yaitu berupa rasio
penambahan natrium dan kalium selama masa penurunan salinitas. Penambahan
kedua mineral tersebut akan mempengaruhi aktifitas enzim Na +K+ATPase dan
mekanisme osmoregulasi udang yang semakin meningkat dengan adanya
fluktuasi salinitas, sehingga akan menghasilkan benih yang lebih tahan terhadap
salinitas yang lebih rendah. Penambahan mineral kalium sebanyak 25 ppm
selama aklimatisasi penurunan salinitas untuk pascalarva udang vaname hingga 2
ppt selama 96 jam dapat menurunkan tingkat stres (Taqwa et al., 2008). Namun
penambahan kalium yang bersamaan dengan natrium perlu diteliti lebih lanjut
guna mengetahui efek terhadap penurunan tingkat stres pada media bersalinitas
rendah sehingga dapat mempertahankan kelangsungan hidup udang vaname.
Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan rasio penambahan ion natrium dan
kalium terbaik di media bersalinitas rendah yang dapat menurunkan tingkat stres
dan mempertahankan kelangsungan hidup pascalarva udang vaname selama
masa aklimatisasi penurunan salinitas dari 20 ppt hingga 0,5 ppt.
                             BAHAN DAN METODE
      Penelitian   telah   dilaksanakan   di   Laboratorium   Budidaya   Perairan,
Universitas Sriwijaya, Indralaya. Bahan dan alat yang digunakan meliputi PL 15
udang vaname, pakan alami Artemia salina, pellet udang komersil (crumble), air
laut 20 ppt, air tawar, natrium karbonat (Na2CO3), dan kalium karbonat (K2CO3).
Wadah berupa 27 unit akuarium berukuran 50 x 40 x 35 cm yang dilengkapi
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                      28
ISBN 978-602-98295-0-1



sistem     pengaturan    penurunan      salinitas,   suhu   dan   oksigen.   Penelitan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan 3 taraf perlakuan
penambahan ion natrium (25, 50 dan 75 ppm) dan 3 taraf penambahan ion kalium
(25, 50 dan 75 ppm) ke air tawar pengencer, dengan ulangan unit perlakuan
sebanyak 3 kali. Skema instalasi pengenceran salinitas selengkapnya disajikan
pada Gambar 1.
         Pelaksanaan penelitian dimulai dari adaptasi awal berupa pemeliharaan
PL10 hingga PL15 udang vaname di laboratorium. Tahap berikutnya merupakan inti
penelitian yaitu saat PL15 hingga PL19, hewan uji diaklimatisasikan ke media
pemeliharaan melalui pengenceran secara gradual dan kontinyu dari salinitas 25
ppt hingga 0,5 ppt selama 4 hari (96 jam) dengan air tawar yang telah ditambah
natrium dan kalium sesuai taraf yang diterapkan. Parameter penelitian yang
diamati meliputi kelangsungan hidup pascalarva, kadar glukosa darah, tingkat
konsumsi oksigen dan fisika kimia media aklimatisasi. Data kelangsungan hidup
dan kadar glukosa darah pascalarva udang vaname diuji statistik dengan analisis
ragam dan apabila terdapat perbedaan yang nyata antar nilai tengah maka diuji
lanjut Duncan pada taraf 95%, sedangkan data tingkat konsumsi oksigen dan
fisika kimia air dianalisis secara deskriptif.




Gambar 1. Perangkat aklimatisasi penurunan salinitas dengan penambahan
         Na2CO3 dan K2CO3 pada air tawar pengencer


Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                    29
ISBN 978-602-98295-0-1



                           HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kelangsungan Hidup
      Tingkat kelangsungan hidup pascalarva udang vaname pada setiap
perlakuan dengan rasio penambahan Na+ dan K+ selama 96 jam disajikan pada
Tabel 1. Kelangsungan hidup PL19 udang vaname setelah proses aklimatisasi ke
media air bersalinitas 0,5 ppt masih dalam kisaran yang tinggi. Rata-rata nilai
kelangsungan hidup tertinggi pada perlakuan C yaitu          98,67% sedangkan
terendah pada perlakuan perlakuan D, F dan I yaitu sebesar 96,67%. Pada
penelitian ini nilai kelangsungan hidup yang diperoleh selama 96 jam masa
aklimatisasi dengan penambahan natrium dan kalium dari salinitas 20 ppt menjadi
0,5 ppt lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Hana (2007), yang hanya
mencapai 48,33% tanpa adanya penambahan ion apapun selama masa
aklimatisasi 96 jam. Sedangkan penambahan mineral kalium sebanyak 25 ppm
selama aklimatisasi penurunan salinitas untuk pascalarva udang vaname hingga 2
ppt selama 96 jam pada percobaan Taqwa et al., (2008) menghasilkan
kelangsungan hidup 97%. Berdasarkan analisis ragam data kelangsungan hidup
menunjukkan bahwa diantara perlakuan dengan rasio penambahan Na + dan K+
yang berbeda tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat kelangsungan
hidup PL19 udang vaname.

Tabel 1. Rerata kelangsungan hidup pascalarva udang vaname pada setiap
         perlakuan dengan penambahan rasio Na+ dan K+ selama 96 jam

Perlakuan                            Rerata Kelangsungan
(rasio penambahan Na+ : K+) (ppm)    Hidup (%)
A (25 : 25)                          98,33a
B (25 : 50)                          97,67 a
C (25 : 75)                          98,67 a
D (50 : 25)                          96,67 a
E (50 : 50)                          97,67 a
F (50 : 75)                          96,67 a
G (75 : 25)                          97,33 a
H (75 : 50)                          98,00 a
I (75 : 75)                          96,67 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang sama pada kolom
            yang sama menunjukan tidak terdapat pengaruh yang nyata pada
            selang kepercayaan 95%


Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                               30
ISBN 978-602-98295-0-1



     Burton (1995) dan Pillard et al., (2002) dalam Tantulo dan Fotedar (2006)
menyatakan bahwa aktifitas Na+K+ATPase bertanggung jawab menjaga gradien
Na+ interseluler dan kestabilan membran sel. Nilai rasio Na+/K+ dalam media air
sangat mempengaruhi proses fisiologis udang vaname, hal tersebut dikarenakan
kandungan mineral natrium dan kalium dalam air tawar sangat rendah, sedangkan
pada air laut sangat tinggi. Dersjant-Li et al (2001), menyatakan nilai rasio Na+/K+
yang terkandung di air berhubungan dengan energi yang dibutuhkan untuk
menjaga keseimbangan antara natrium dan kalium yang sesuai di cairan
intraseluler dan ekstraseluler, agar proses fisiologis dapat berjalan dengan baik.
Zhu et al (2006), menambahkan bahwa rasio optimum Na+/K+ media 30 ppt antara
34,1 hingga 119,3 dapat meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup.
      Komposisi ion dalam media pemeliharaan merupakan faktor yang sangat
menentukan kehidupan udang. Kisaran rasio Na+/K+ yang rendah (2,89 – 7,11)
pada penelitian ini disebabkan karena perbedaan media yang digunakan dimana
dalam penelitian ini menggunakan pengenceran air laut dengan air tawar,
sedangkan yang sering digunakan dalam penelitian lain berupa air laut buatan
(artificial sea water) dan air tawar bersalinitas rendah dengan penambahan garam
krosok sehingga terdapat perbedaan kandungan natrium dan kalium dalam
masing-masing media. Kandungan natrium dan kalium dalam media air dapat
meminimalkan energi yang dikeluarkan untuk mengatur kosentrasi natrium dan
kalium dalam hemolim sehingga dapat meningkatkan kelangsungan hidup
pascalarva udang vaname sebesar 96,67 – 98,67%.
B. Kadar Glukosa Darah
      Kadar glukosa darah pascalarva udang vaname pada akhir aklimatisasi
disajikan dalam Tabel 2.
      Kadar glukosa darah tertinggi setelah masa aklimatisasi 96 jam dengan
rasio penambahan natrium dan kalium yang berbeda pada akhir pengamatan
ditemukan pada perlakuan I sebesar 182,35 mg/dl dan terendah pada perlakuan H
yaitu 158,08 mg/dl. Berdasarkan analisa ragam data kadar glukosa darah terlihat
bahwa dengan rasio penambahan kalium pada media bersalinitas rendah
memberikan pengaruh nyata pada kadar glukosa darah PL 19 udang vaname.
Berdasarkan uji pengaruh tunggal faktor kalium bahwa dengan penambahan
kalium sebesar 50 ppm dapat mengurangi tingkat stres pascalarva udang vaname
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                            31
ISBN 978-602-98295-0-1



yang paling baik, sehingga perlakuan H merupakan rasio penambahan natrium
dan kalium yang terbaik untuk menurunkan tingkat stres pascalarva udang
vaname. Sebaliknya, pada perlakuan I sebesar 182,35 mg/dl berbeda nyata lebih
tinggi dari masing-masing perlakuan.


Tabel 2. Nilai kadar glukosa darah pascalarva udang vaname pada akhir
         aklimatisasi
Perlakuan                              Kadar Glukosa Darah
(rasio penambahan Na+ : K+) (ppm)      (mg/dl)
H (75 : 50)                                        158,08 a
E (50 : 50)                                       160,83 ab
B (25 : 50)                                       161,08 ab
F (50 : 75)                                      164,60 abc
G (75 : 25)                                      166,86 abcd
D (50 : 25)                                      170,21 abcd
A (25 : 25)                                      176,44 bcd
C (25 : 75)                                       179,00 cd
I (75 : 75)                                        182,35 d
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada
          kolom yang sama menunjukan adanya pengaruh yang nyata pada
          selang kepercayaan 95%

       Pada awal pemeliharaan rata-rata kadar glukosa darah PL15 udang vaname
adalah 132,28 mg/dl. Terdapat kenaikan kadar glukosa darah selama masa
aklimatisasi 96 jam. Diduga PL19 udang vaname mengalami stres ketika masa
aklimatisasi dari 20 ppt hingga 0,5 ppt. Ketika pascalarva udang vaname
mengalami perubahan salinitas maka tubuh akan merespon dengan cara
mensekresikan hormon kortisol dan katekolamin yang mengontrol tubuh untuk
mengatasi stres (Barthon et al., 1980). Pada golongan udang jika kadar glukosa
hemolim melebihi 150 mg/dl mengindikasikan udang tersebut stres dan
membutuhkan sumber energi yang lebih tinggi untuk proses moulting maupun
mekanisme dalam mempertahankan glukosa dalam hemolim (Cuzon et al., 2004).




Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                            32
ISBN 978-602-98295-0-1



C. Tingkat Konsumsi Oksigen
       Tingkat konsumsi oksigen juga merupakan salah satu indikator stres. Nilai
tingkat konsumsi oksigen disajikan dalam Tabel 3.
       Tingkat konsumsi oksigen dipengaruhi oleh jumlah oksigen terlarut dalam
air. Salah satu yang mempengaruhi oksigen terlarut adalah salinitas, semakin
tinggi salinitas maka oksigen terlarut semakin rendah. Tingkat konsumsi oksigen
yang tergolong tinggi terdapat pada perlakuan A, B, C (0,55 - 0,57 mg O2/g/jam),
tergolong sedang adalah perlakuan D, E, F (0,51 - 0,53 mg O2/g/jam), tergolong
rendah pada perlakuan G, H, I (0,43 - 0,47 mg O2/g/jam). Hal ini dapat diartikan
bahwa semakin tinggi penambahan kalium pada taraf penambahan natrium yang
sama maka akan cendrung menurunkan tingkat konsumsi oksigen.

Tabel 3. Tingkat konsumsi oksigen selama masa aklimatisasi

Perlakuan                              Tingkat Konsumsi Oksigen
(rasio penambahan Na+ : K+) (ppm)      (mg O2/g/jam)
A (25 : 25)                            0,57
B (25 : 50)                            0,54
C (25 : 75)                            0,55
D (50 : 25)                            0,53
E (50 : 50)                            0,51
F (50 : 75)                            0,52
G (75 : 25)                            0,47
H (75 : 50)                            0,45
I (75 : 75)                            0,43


       Tingkat konsumsi oksigen dapat digunakan untuk mengetahui laju
metabolisme udang. Mantel dan Farmer (1983) menyatakan bahwa proses
penyerapan oksigen dari media ke dalam tubuh udang dipengaruhi antara lain
oleh   salinitas. Penurunan   salinitas secara      bertahap   dapat menstabilkan
kandungan oksigen terlarut dalam air. Hal tersebut didukung oleh Vernberg (1983)
dalam Hukom (2007), apabila salinitas diturunkan secara bertahap maka tingkat
konsumsi oksigen akan naik pada 2-3 jam pertama, lalu kemudian akan turun
kembali pada saat biota akuatik sudah dapat beradaptasi.
D. Kualitas Air
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                33
ISBN 978-602-98295-0-1



       Data hasil pengukuran parameter fisika kimia media aklimatisasi untuk
setiap perlakuan disajikan pada Tabel 4. Suhu selama masa aklimatisasi bekisar
26–29oC.      Wardoyo   (1997)   menyatakan    bahwa    suhu      air    optimal    bagi
perkembangan hidup udang vaname adalah berkisar dari 25-30oC. Pada kisaran
suhu tersebut oksigen tergolong tinggi sehingga nafsu makan udang tinggi. Hal
tersebut dapat terlihat dari pengamatan selama masa aklimatisasi udang vaname
aktif dalam merespon makanan yang diberikan. Derajat keasaman (pH) selama
aklimatisasi masih dalam kisaran toleransi untuk kehidupan pascalarva udang
vaname yaitu 7,3-7,6. Nilai pH yang ideal untuk udang berkisar dari 6,8–9,
sedangkan pH air dengan kisaran antara 4,5–6 dan 9,8–11 dapat menyebabkan
terganggunya metabolisme udang (Wardoyo, 1997).
Tabel 4. Data kisaran fisika kimia air selama masa aklimatisasi

Perlakuan   Parameter
(rasio
                                                                                   K+
penambaha Suhu Salinitas          pH       DO        Amonia             Na+
                                                                                   (ppm
n Na+ : K+) (oC)   (ppt)          (unit)   (mg/l)    (mg/l)             (ppm)
                                                                                   )
(ppm)
                                  7,3-     5,52-
A (25 : 25)     26-29   0,5-20                       0,176-0,144 144,75            24,59
                                  7,6      7,48
                                  7,4-     5,36-
B (25 : 50)     26-30   0,5-20                       0,176-0,228 138,66            37,99
                                  7,6      7,35
                                  7,3-     5,08-
C (25 : 75)     26-30   0,5-20                       0,176-0,132 179,10            49,37
                                  7,6      7,35
                                  7,3-     5,23-
D (50 : 25)     26-29   0,5-20                       0,176-0,242 156,93            23,56
                                  7,6      7,48
                                  7,3-     5,32-
E (50 : 50)     26-29   0,5-20                       0,176-0,204 156,54            39,75
                                  7,6      7,44
                                  7,4-     5,36-
F (50 : 75)     26-30   0,5-20                       0,176-0,182 153,69            53,20
                                  7,6      7,54
                                  7,3-     5,31-
G (75 : 25)     26-30   0,5-20                       0,176-0,156 168,47            23,71
                                  7,6      7,40
                                  7,3-     5,44-
H (75 : 50)     26-29   0,5-20                       0,176-0,252 199,57            38,61
                                  7,6      7,48
                                  7,3-     5,63-
I (75 : 75)     26-29   0,5-20                       0,176-0,216 176,50            49,34
                                  7,6      7,46

       Oksigen terlarut pada masa aklimatisasi yaitu 5,08–7,35 mg/l. Raharjo et
al., (2003) menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut pada tambak yang
baik untuk budidaya udang vaname adalah 3,5–7,5 mg/l. Pada saat masa


Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                       34
ISBN 978-602-98295-0-1



aklimatisasi menggunakan instalasi aerasi, sehingga kadar oksigen terlarut selalu
berada pada kondisi optimum.
        Kadar amonia yang diperoleh selama masa aklimatisasi 96 jam berkisar
antara 0,176-0,252 mg/l. Kisaran amonia tersebut tergolong cukup tinggi, namun
masih dalam batas toleransi bagi kehidupan udang vaname karena ditunjang oleh
nilai pH yang berada pada kisaran toleransi. Buwono (1993) dalam Suwoyo (2009)
menyatakan bahwa kadar amonia yang tinggi akan bersifat racun apabila pH air
tinggi. Menurut Wardoyo dan Djokosetiyanto (1988) dalam Hana (2007) bahwa
kandungan amonia yang aman bagi udang yaitu kurang dari 0,5 mg/l.
        Kadar ion natrium pada media aklimatisasi 0,5 ppt adalah antara 138,66–
199,57 ppm, sedangkan kadar ion kalium berkisar antara 23,56–53,20 ppm.
Kisaran ion natrium dan kalium dalam media walaupun dalam kisaran yang
rendah, namun telah dapat menurunkan tingkat stres pascalarva udang vaname
sehingga dapat mempertahankan kelangsungan hidup PL 19 udang vaname.
Menurut Effendi (2003), bahwa kandungan natrium pada air tawar sebesar 2–100
ppm sedangkan kalium sebesar 0,2–10 ppm.
                                  KESIMPULAN
Kesimpulan yang diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Rasio penambahan natrium dan kalium pada air tawar pengencer selama
     masa aklimatisasi 96 jam tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat
     kelangsungan hidup pascalarva udang vaname.
2. Kadar glukosa darah pada PL19 udang vaname lebih banyak dipengaruhi faktor
     tunggal dari kalium. Penambahan sebanyak 50 ppm ion kalium adalah terbaik
     untuk menurunkan tingkat stres.
3.   Penambahan natrium sebesar 75 ppm dan kalium 50 ppm pada air tawar
     pengencer selama masa aklimatisasi 96 jam dapat menurunkan tingkat stres
     dan mempertahankan kelangsungan hidup pascalarva udang vaname yang
     terbaik.

                               DAFTAR PUSTAKA
Barthon, B.S., R.E. Peter and C.R. Paulencu. 1980. Plasma cortisol levels of
     fingerIing rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) at rest and subjected to
     handling, confinement, transport, and stocking. Can. 1. Fish. Aquat. Sci.,
     37:805 - 811.

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                               35
ISBN 978-602-98295-0-1



Cuzon, G., A. Lawrence, G. Gaxiol, C. Rosa and J. Guillaume. 2004. Nutrition of
     Litopenaeus vannamei reared in tanks or in ponds. Aquaculture 235:513-
     551.
Dersjant-Li, Wu., S., M.W.A. Verstegen, J.W. Schrama, J.A.J Verreth. 2001. The
      impact of changing dietary Na/K ratios on growth and nutrient utilisation in
      juvenile African catfish, Clarias gariepinus. Aquaculture 198:293–305.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
      Lingkungan Perairan. Jurusan MSP FKIP IPB. Bogor.
Haliman, R. W., dan D. Adijaya S. 2007. Udang Vannamei. Penebar Swadaya.
     Jakarta.
Hana, G. C. 2007. Respon udang vaname (Litopenaeus vanname) terhadap
     media bersalinitas rendah. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya
     Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.
Hukom, V. 2007. Pengaruh salinitas dan kesadahan terhadap tingkat
    kelangsungan hidup, tingkat konsumsi oksigen dan osmolaritas udang
    vaname (Litopenaeus vannamei). Skripsi. Program Studi Teknologi dan
    Manajemen Akuakultur. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan
    dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mantel, L.H. and L.L. Farmer. 1983. Osmotic and ionic regulation. In:Mantel, L.H.
     (Ed.), The Biology of Crustacea, Volume 5, Internal Anatomy and
     Physiological Regulation. Academic Press, New York, USA. pp 54–162.
Raharjo, S., P. Sukitno E. Subiyanto, D. Adiwijaya, dan SUBDIT. 2003. Budidaya
     udang vaname (Litopenaeus vanamei) sistem resirkulasi tertutup.
     Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan
     Budidaya. Direktorat Pembudidayaan. Jakarta.
Suwoyo, H.S. 2009. Tingkat konsumsi oksigen sedimen pada dasar tambak
    intensif udang vaname (Litopenaeus vannamei). Tesis. Sekolah
    Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tantulo, U and R. Fotedar. 2006. Comparison of growth, osmoregulatory capacity,
     ionic regulation and organosiomatic indices of lack tiger prawn (Penaeus
     monodon Fabricus, 1798) juveniles reared in potassium fortified inland
     saline water and ocean water at different salinities. Aquaculture 258:594-
     605.
Taqwa, F.H., D. Djokosetiyanto, R. Affandi. 2008. Pengaruh penambahan kalium
    pada masa adaptasi penurunan salinitas terhadap performa pascalarva
    udang vaname (Litopenaeus vannamei). Jurnal Riset Akuakultur. Vol.3 ISSN
    1907-6754.
Wardoyo, S.T.H. 1997. Pengelolaan Kualitas Air Tambak Udang. Makalah pada
    Pelatihan Manajemen Tambak Udang dan Hatchery. Fakultas Pertanian.
    Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Zhu, C., S. Dong, F. Wang, H. Zhang. 2006. Effects of seawater potassium
     concentration on the dietary potassium requirement of Litopenaeus
     vannamei. Aquaculture 258:543-550.

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                36
ISBN 978-602-98295-0-1



 PERBEDAAN TEKNIK PENGGILINGAN PADI TERHADAP KARAKTERISTIK
                         MUTU BERAS
              (Studi Kasus di Provinsi Jawa Timur)


                   Jumali, I.P Wardana dan Ade Ruskandar
                 Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi
                   Jl. Raya IX, Sukamandi Subang, Jawa Barat


                                     ABSTRAK

Perbedaan Teknik Penggilingan Padi Terhadap Karakteristik Mutu Beras (Studi
Kasus di Provinsi Jawa Timur).                  Jumali, I.P.Wardana dan Ade
Ruskandar.Penelitian bertujuan untuk mempelajari                   keragaman teknik
penggilingan padi terhadap karakteristik mutu beras . Penelitian dilaksanakan
dengan cara survei dan diikuti oleh pengambilan contoh beras. Survei dengan
mewawancarai responden yang mewakili responden penggilingan sekaligus
pedagang beras di Kabupaten Kediri, Lamongan dan Bangkalan Propinsi Jawa
Timur. Beras kemudian dianalisa mutunya di laboratorium. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar responden (> 90%) mengeringkan gabah
basah dengan cara dijemur, hanya 10% (di Kediri) yang menggunakan mesin
pengering (box dryer). Tebal hamparan gabah pada lantai jemur antara 5 – 7 cm,
sedangkan pada mesin pengering sekitar 40 – 50 cm. Kadar air gabah kering
giling yang dihasilkan pada kedua cara pengeringan tersebut kurang dari 14%
aman untuk disimpan dalam jangka waktu 1 tahun. Semua responden
penggilingan padi di Lamongan dan Kediri menggunakan teknik penggilingan
multiple phase, sedangkan di Bangkalan hampir semua penggilingan padi
menggunakan teknik penggilingan single phase. Jenis beras yang ada di
penggilingan padi di tiga kabupaten relatif sama, yaitu beras berukuran panjang
dan berbentuk ramping dengan tingkat kepulenen sedang hingga pulen. Jenis
beras yang dimaksud adalah IR64 dan Ciherang. Khusus di Kabupaten
Bangkalan, beras dengan tekstur nasi pera (IR36) masih cukup banyak
ditemukan. Rata-rata kadar beras kepala contoh beras di tingkat penggilingan padi
di Kabupaten Lamongan, Kediri dan Bangkalan berturut-turut sebesar 81,6%;
76,8%; dan 65,3%, sedangkan rata-rata kadar beras patah dilokasi yang sama
berturut-turut 17,3%; 20,4% dan 30,2%. Penggunaan mesin penggilingan padi
satu tingkat (single phase) di Bangkalan menyebabkan beras giling yang
dihasilkan berkadar butir patah relatif lebih tinggi. Beras giling yang dijual di pasar
tradisional dan pasar swalayan di Bangkalan sebagian besar berasal dari P. Jawa.
Hal ini menyebabkan mutu beras di tingkat pedagang di tiga lokasi penelitian
relatif sama. Rata-rata kadar amilosa beras giling yang diperoleh dari penggilingan
padi di Lamongan, Kediri, dan Bangkalan berturut-turut sebesar 22,1%; 21,1%
dan 26,1%. Rata-rata kadar protein contoh beras giling dari responden
penggilingan padi di ketiga lokasi penelitian berkisar antara 8,1% - 8,9%.
Sementara itu nilai konsistensi gel beras giling yang dihasilkan oleh responden
penggilingan padi berkisar antara 57 mm – 61 mm.
Kata kunci :Penggilingan padi, karakteristik mutu beras

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                     37
ISBN 978-602-98295-0-1



                                PENDAHULUAN

Usaha peningkatan produksi padi secara berkelanjutan       oleh petani di daerah
melalui program pengelolaan usaha tani padi terpadu dan diharapkan dapat
meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), Beberapa hal penting yang dapat
ditempuh diantaranya produksi gabah dan beras bermutu tinggi, perluasan areal
tanam, peningkatan pendapatan petani, perluasan lapangan kerja dan lain
sebagainya (Djamaluddin, dkk. 1999). Berkembangnya suatu varietas padi di
suatu wilayah dipengaruhi oleh ciri dan karakteristik agroekosistem, kesesuaian
hasil, rendemen giling gabah, preferensi petani, minat pedagang maupun
konsumen (Sumarno, 1999).

      Hasil penelitian di propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah (Wibowo, dkk.
2004) menunjukkan bahwa        penggilingan padi dan pedagang beras memiliki
preferensi terhadap karakter fisik dan jenis beras yang sama, yaitu beras
berukuran panjang, ramping yang identik dengan jenis IR-64. Konsumen dengan
tingkat sosial ekonomi tinggi menyukai beras berbentuk ramping maupun yang
berbentuk agak bulat, Beras lokal umumnya berbentuk agak bulat dan kualitasnya
bagus meskipun harganya relatif mahal, Dilihat dari karakter fisikokimianya, beras
yang ada dan disukai oleh konsumen di dua propinsi tersebut tidak berbeda.
Semua konsumen menghendaki beras           pulen dengan tekstur nasi      sedang,
berdasarkan kelas mutu, beras yang paling banyak dikonsumsi di kedua propinsi
ini ternyata termasuk dalam golongan kelas mutu IV menurut standar beras giling
Standar Nasional Indonesia (SNI) (Wibowo et al, 2004).
      Di Indonesia, standar mutu beras giling dicantumkan dalam SNI, No, 01-
6128-1999. Standar mutu tersebut dimaksudkan untuk acuan dalam perdagangan
dan pengadaan beras di dalam negeri. Manfaat lain dari dari standar mutu beras
adalah digunakan sebagai pembinaan perbaikan mutu beras di tingkat petani dan
tingkat penggilingan. Namun kenyataannya standar tersebut belum berlaku efektif,
Masyarakat belum menyadari pentingnya standar mutu beras. Mutu beras
umumnya masih ditentukan berdasarkan sifat fisik ataupun penampilan beras.
      Ditinjau dari aspek mutu, ternyata pemberlakuan standar atau kelas mutu
khususnya beras di pasaran masih belum dapat diterapkan mengingat masih
banyak kendala mulai dari tingkat pra panen, pasca panen, penggilingan padi,

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                38
ISBN 978-602-98295-0-1



penentuan kelas mutu serta sertifikasi mutu oleh lembaga yang berwenang.
Faktor sosial ekonomi masyarakat dan pemahaman tentang standar mutu beras
itu sendiri diduga juga merupakan faktor yang menghambat penerapan standar
secara permanen di tingkat pasar maupun konsumen.
      Gabah bermutu baik dihasilkan melalui penerapan teknologi yang tepat
mulai dari tahap budidaya, penanganan pasca panen dan pengolahan . Gabah
yang bermutu baik menghasilkan beras dengan rendemen giling tinggi dan mutu
beras yang baik pula, Peningkatan mutu beras juga akan meningkatkan nilai jual
(Suherman, 1999).
      Mutu beras      mencakup karakter mutu fisik, mutu tanak dan mutu
fisikokimia. Sifat mutu fisik mencakup bentuk dan ukuran, derajat sosoh/tingkat
keputihan, persentase beras kepala, pecah dan menir, butir kuning, rusak dan
kapur serta kebersihan beras. Sifat mutu tanak dipengaruhi oleh sifat penyerapan
dan pemanjangan biji serta organoleptik, Sedangkan sifat mutu fisikokimia
ditentukan oleh kadar amilosa, protein, suhu gelatinisasi dan konsistensi gel
(Juliano, 1974). Di tingkat pasar, kriteria mutu yang dimaksud adalah lebih
sederhana, Komponen mutu tersebut antara lain (1) kadar air beras, (2)
persentase beras kepala, pecah dan menir, (3) persentase kotoran/benda asing
dan (4) rasa nasi/kepulenan (Suherman, 2001).
      Konsumen beras pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga
kelompok yaitu kelompok bawah, sedang/menengah dan atas. Masing-masing
kelompok konsumen tersebut memiliki preferensi sendiri-sendiri dalam memilih
mutu beras. Untuk kelompok bawah mutu beras tidak menjadi masalah asal
harganya cukup murah. Kelompok menengah merupakan konsumen yang cukup
besar menghendaki mutu beras yang memperhatikan kenampakan putih, persen
butir kepala tinggi, rasa nasi pulen dan harganya terjangkau. Konsumen beras
termasuk kelompok atas menghendaki persen beras kepala 100%, kenampakan
putih bersih, mengkilat, rasa nasi pulen serta beraroma wangi, sedangkan harga
tidak menjadi masalah.
      Tujuan penelitian adalah mempelajari perbedaan teknik penggilingan padi
terhadap karakteristik mutu beras di tingkat penggilingan di Propinsi Jawa Timur.
Penelitian juga mempelajari kontribusi komponen mutu beras terhadap harga jual
beras Lokasi penelitian di Propinsi Jawa Timur karena merupakan salah satu
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                         39
ISBN 978-602-98295-0-1



sentra produksi beras nasional, disamping itu propinsi ini sebagai pusat industri
dan perdagangan khususnya untuk Indonesia Bagian Timur.


                               BAHAN DAN METODE


Contoh beras diperoleh dari 20 penggilingan padi yang ada di Provinsi Jawa
Timur, masing-masing Kediri, Lamongan dan Bangkalan pada bulan September
2005. Penggilingan yang dipilih adalah yang melaksanakan transaksi penjualan
bukan penjual jasa penggilingan. Pengambilan contoh disertai dengan wawancara
untuk mendapatkan informasi tambahan yang dianggap relevan dengan tujuan
penelitian. Kadar air, derajat sosoh, persentase beras kepala, beras pecah, menir,
butir merah, butir kuning- rusak, butir mengapur dan butir gabah dianalisa dengan
metode/cara uji SNI No, 01-6128-1999 (Anonim, 1999). Atribut mutu beras giling
yang terdapat di dalam SNI No, 01-6128-1999           dipergunakan sebagai acuan
untuk   mengevaluasi    mutu    beras.   Penampilan    beras   dievaluasi   dengan
menentukan nilai derajat putih, tingkat kebeningan/transparansi dan derajat sosoh
(milling degree) yang diukur dengan alat Milling Meter. Sebelum digunakan, alat
dikalibrasi dengan serbuk BaSO4          yang mempunyai nilai derajat putih,
transparansi dan derajat giling berturut-turut sebesar 85,7%, 4,07% dan 199%.
Kadar amilosa dianalisa dengan metode Iod dan intensitas warna biru yang
terbentuk diukur dengan spektrofotometer (Juliano, 1974). Data disajikan dalam
bentuk nilai rata-rata. Uji beda rata-rata ditentukan dengan cara Duncan multiple
range test (DMRT). Regresi linear berganda dihitung untuk menentukan hubungan
antara harga dengan sifat beras. Data diolah dengan bantuan perangkat lunak
SPSS 10.




Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                 40
ISBN 978-602-98295-0-1



                                     HASIL


Tabel 2.Keragaan penggilingan padi di Kabupaten Kediri, Lamongan
         dan Bangkalan Provinsi Jawa Timur (%)
Tahapan Proses Kediri           Lamongan      Bangkalan
                  ( n = 20 )    ( n = 20 )    ( n = 20 )
1. Penjemuran     90            100           100
 a. Tebal gabah
    3 – 5 cm      100           100           100
     > 5 cm       0             0             0
 b. Pembalikan
    1 – 2 kali    10            0             30
      > 2 kali    90            100           70
 c. Kadar air
    < 14%         100           100           80
    > 14%         0             0             20
2. Pembersihan
Gabah
a. Dilaksanakn    100           100           60
b.          Tidak 0             0             40
dilaksanakan

3. Tempering      100          100           100
4. Penggilingan
a. Pecah Kulit
   1 – 2 kali     0            0             80
     > 2 kali     100          100           20
b. Pengayakan
BPK
   Dilaksanakan   100          100           20
   Tidak          0            0             80
dilaksanakan
c. Penyosohan
  1 – 2 kali      0            0             80
    > 2 kali      100          100           20
d. Pengayakan
BG
   Dilaksanakan   80           85            10
   Tidak          20           15            90
dilaksanakan
e. Pengkabutan
  Dilaksanakan    20           30            0
  Tidak           80           70            100
dilaksanakan
f. Penambahan     20           20            0
aroma


Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                          41
ISBN 978-602-98295-0-1



Tabel 3. Mutu giling contoh beras dari penggilingan padi di Kabupaten Kediri,
Lamongan dan Bangkalan , Jawa Timur
               Kediri         Lamongan          Bangkalan
Komponen       (n = 20)       (n = 20)          (n =20)
mutu
Kadar air (%)  11,29a         12,53a            11,15a
B. kepala (%) 76,79b          81,57ª            61,42a
B. patah (%)   20,42b         17,31c            28,65a
Menir (%)      1,75b          1,12b             4,22a
Btr,           0,27a          0,57ª             0,25a
Hijau/kapur
Kuning/rusak   1,31a          0,33b             0,61b
Kotoran (%)    0,02b          0,02b             1,1a
Keterangan :Di dalam satu baris, angka yang diikuti huruf yang sama
menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (α 5%).


Tabel 4.Mutu fisik dan kadar amilosa beras giling tingkat penggilingan
        padi di Kediri, Lamongan dan Bangkalan
Komponen              Kediri       Lamongan         Bangkalan
                      (n = 20)     (n = 20)         (n = 20)
Derajat putih (%) 37,76b           39,23a           35,86c
Kebeningan (%)          2,37a        2,80a            1,26b
Milling degree (%) 82,56b          92,31a           77,16c
Panjang (mm)          7,0a         7,0a               6,44a
Lebar (mm)              2,16a       2,15a            1,96b
Kadar      amilosa 21,1b           22,1b            26,2a
(%)
 Keterangan : Di dalam satu baris angka yang diikuti oleh huruf yang sama
                menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (α 5%)


                                PEMBAHASAN
Keragaan Teknik Penggilingan Padi
      Keragaan teknik penggilingan padi di Kabupaten Kediri, Lamongan dan
Bangkalan Provinsi Jawa Timur disajikan pada Tabel 2. Data pada Tabel 2
menunjukkan hampir semua responden pemilik penggilingan padi yang ditemui
menyatakan mengeringkan gabah basah dengan cara penjemuran (sun drying).
Hanya 10% responden di Kabupaten Kediri yang menyatakan mengeringkan
gabah basah dengan mesin pengering (mechanical drying) baik pada musim
kemarau maupun musim penghujan.
      Alas penjemuran yang digunakan bermacam-macam, namun hampir
sebagian besar responden yang ditemui menyatakan menjemur gabah basah
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                             42
ISBN 978-602-98295-0-1



(GKP) di atas lantai jemur. Tebal hamparan gabah kering panen (GKP) di atas
lantai jemur bervariasi antara 3 – 5 cm tergantung intensitas sinar matahari. Selain
ditentukan tebal hamparan, kecepatan penjemuran ditentukan juga oleh frekuensi
pembalikan gabah. Frekuensi pembalikan gabah bervariasi di Kabupaten Kediri,
Lamongan dan Bangkalan. Persentase responden yang menyatakan membalik
gabah lebih dari dua kali selama penjemuran berturut-turut sebesar 90%, 100%
dan 70%.     Kadar air gabah kering giling yang dipersyaratkan BULOG untuk
penyimpanan sebesar maksimal 14%. Data pada Tabel 2 menunjukkan dari segi
kadar air, semua responden yang ditemui di Kabupaten Kediri dan Bangkalan
menyatakan gabah kering giling (GKG) hasil penjemuran kurang dari 14%.
Pengukuran kadar air gabah dilaksanakan secara kualitatif yaitu dengan cara
digigit atau digites( Jawa).
       Setelah gabah menjadi kering gabah selanjutnya dibersihkan dari kotoran
yang ada antara lain potongan jerami, daun dan ranting kering serta kerikil.
Semua responden penggilingan padi yang ditemui di Kabupaten Kediri dan
Lamongan menyatakan membersihkan gabah kering giling terlebih dahulu
sebelum dimasukkan dalam karung plastik. Sedangkan di Kabupaten Bangkalan
hanya 60% responden saja yang menyatakan
Membersihkan gabah kering giling sebelum dikarungi, sisanya menyatakan tidak
membersihkan gabah kering.
       Gabah kering giling biasanya tidak langsung diproses menjadi beras giling,
tetapi disimpan sementara waktu agar kadar air merata diseluruh butiran gabah.
Proses ini dikenal dengan istilah tempering. Apabila gabah kering giling langsung
diperoses, maka dikawatirkan banyak gabah yang menjadi pecah saat
penggilingan. Akibat lebih lanjut akan menghasilkan beras dengan butir patah
relatif tinggi. Semua responden di Kabupaten Kediri, Lamongan dan Bangkalan
menyatakan melaksanakan proses tempering gabah kering giling terlebih dahulu
sebelum proses penggilingan.
       Setelah proses tempering selesai, tahapan selanjutnya gabah dipisahkan
kulitnya hingga diperoleh beras pecah kulit (BPK) dan sekam. Proses pengulitan
gabah (husker) menggunakan roll karet (rubber roll) dengan frekuensi pecah kulit
yang berbeda-beda tergantung mutu dan pasar beras yang dituju. Tahapan
proses pecah kulit yang digunakan umumnya lebih dari satu kali. Semua
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                    43
ISBN 978-602-98295-0-1



responden penggilingan padi yang ditemui di Kabupaten Kediri dan Lamongan
menyatakan memproses gabah kering giling menjadi beras pecah kulit (BPK)
dengan frekuensi lebih dari 2 kali. Sedangkan di Kabupaten Bangkalan sekitar
80% responden yang ditemui menyatakan memproses gabah kering giling
menjadi beras pecah kulit dengan sekali tahap pengulitan (Tabel 2). Proses
pengayakan beras pecah kulit bertujuan untuk memisahkan beras dari gabah
yang tidak terkelupas.
      Gabah pecah kulit yang sudah diayak selanjutnya dimasukkan ke dalam
mesin penyosoh hingga diperoleh beras giling (BG). Teknik penyosohan beras
pecah kulit menjadi beras giling ada dua macam yaitu secara friksi dan abrasive.
Penyosohan secara friksi menggunakan silinder besi baja menghasilkan beras
giling berwarna putih dan bening seperti kaca. Sedangkan secara abrasive beras
pecah kulit dikikis menggunakan batu gerinda. Beras yang dihasilkan dari proses
ini berwarna putih tapi tidak bening (trasnsparan). Semua responden pemilik
penggilingan padi di Kabupaten Kediri dan Lamongan menyatakan menyosoh
beras pecah kulit dengan metode friksi dan frekuensi penyosohan yang digunakan
lebih dari dua kali. Hal ini disebabkan agar beras giling yang dihasilkan berwarna
putih bening dan bermutu baik. Sehingga dapat diterima oleh konsumen
(pedagang beras). Sedangkan di Kabupaten Bangkalan sebanyak 80% responden
pemilik penggilingan padi menyosoh beras pecah kulit hanya sekali. Beras giling
yang dihasilkan berwarna kurang putih bening, sehingga mutunya relatif rendah
dibandingkan dengan di kabupaten lainnya. Penggunaan mesin penggilingan satu
tingkat (single phase) yang banyak digunakan di Kabupaten Bangkalan diduga
menjadi penyebab rendahnya mutu beras giling yang dihasilkan.               Pada
penggilingan single phase, mesin pengupas kulit gabah dan mesin penyosoh
berada pada mesin yang sama.
      Pengayakan beras giling bertujuan memisahkan beras patah dan menir
sehingga didapatkan beras giling dengan persentase butir kepala yang lebih
tinggi. Perlakuan ini dapat meningkatkan mutu beras, yang akhirnya berpengaruh
terhadap harga jual beras. Responden penggilingan padi di Kediri, Lamongan dan
Bangkalan yang menyatakan memisahkan beras giling dari beras patah dan menir
berturut-turut sebesar 80%, 85% dan 10%.


Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010                                44
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan
4. sesi pangan

Contenu connexe

Tendances

Media reagen (pembuatan media ssa)
Media reagen (pembuatan media ssa)Media reagen (pembuatan media ssa)
Media reagen (pembuatan media ssa)Tom Pratomo
 
Pembuatan Media Agar
Pembuatan Media AgarPembuatan Media Agar
Pembuatan Media Agardinmaul
 
Pembuatan medium nutrient cair
Pembuatan medium nutrient cairPembuatan medium nutrient cair
Pembuatan medium nutrient cairTidar University
 
Laporan Mikrobiologi - Teknik Pembuatan Medium
Laporan Mikrobiologi -  Teknik Pembuatan MediumLaporan Mikrobiologi -  Teknik Pembuatan Medium
Laporan Mikrobiologi - Teknik Pembuatan MediumRukmana Suharta
 
ITP UNS SEMESTER 2 Mikum acara 5 Pengecatan Sederhana Sel Khamir
ITP UNS SEMESTER 2 Mikum acara 5 Pengecatan Sederhana Sel KhamirITP UNS SEMESTER 2 Mikum acara 5 Pengecatan Sederhana Sel Khamir
ITP UNS SEMESTER 2 Mikum acara 5 Pengecatan Sederhana Sel KhamirFransiska Puteri
 
Praktek Pembuatan Potato Dextrose Agar (PDA)
Praktek Pembuatan Potato Dextrose Agar (PDA)Praktek Pembuatan Potato Dextrose Agar (PDA)
Praktek Pembuatan Potato Dextrose Agar (PDA)Putri Nadhilah
 
Aktifitas bakteri saccharomyces cerevisiae fermentasi roti dan bir
Aktifitas bakteri saccharomyces cerevisiae fermentasi roti dan birAktifitas bakteri saccharomyces cerevisiae fermentasi roti dan bir
Aktifitas bakteri saccharomyces cerevisiae fermentasi roti dan birسوجي النحلة
 
Skrining mikroba potensial 2010
Skrining mikroba potensial 2010Skrining mikroba potensial 2010
Skrining mikroba potensial 2010f' yagami
 
Mengoptimalkan peran mikroba dalam akuakultur
Mengoptimalkan peran mikroba dalam akuakulturMengoptimalkan peran mikroba dalam akuakultur
Mengoptimalkan peran mikroba dalam akuakulturIbnu Sahidhir
 
Laporan mikrobiologi teknik pembuatan media
Laporan mikrobiologi teknik pembuatan mediaLaporan mikrobiologi teknik pembuatan media
Laporan mikrobiologi teknik pembuatan mediamalkasfchanell
 
Biokimia Akuakultur II. Kualitas Air dan Metabolisme
Biokimia Akuakultur II. Kualitas Air dan Metabolisme Biokimia Akuakultur II. Kualitas Air dan Metabolisme
Biokimia Akuakultur II. Kualitas Air dan Metabolisme Ibnu Sahidhir
 
Perifiton booster dan udang
Perifiton booster dan udang Perifiton booster dan udang
Perifiton booster dan udang Ibnu Sahidhir
 
Terjemahan Jurnal
Terjemahan JurnalTerjemahan Jurnal
Terjemahan Jurnalyulina096
 
Buku peengetahuan bahan makanan ternak
Buku peengetahuan bahan makanan ternakBuku peengetahuan bahan makanan ternak
Buku peengetahuan bahan makanan ternakRiswansyah Yusup
 

Tendances (20)

Media reagen (pembuatan media ssa)
Media reagen (pembuatan media ssa)Media reagen (pembuatan media ssa)
Media reagen (pembuatan media ssa)
 
Bofar ppt 1
Bofar ppt 1Bofar ppt 1
Bofar ppt 1
 
Pembuatan Media Agar
Pembuatan Media AgarPembuatan Media Agar
Pembuatan Media Agar
 
Pembuatan medium nutrient cair
Pembuatan medium nutrient cairPembuatan medium nutrient cair
Pembuatan medium nutrient cair
 
Aseptik jamur
Aseptik jamurAseptik jamur
Aseptik jamur
 
Laporan Mikrobiologi - Teknik Pembuatan Medium
Laporan Mikrobiologi -  Teknik Pembuatan MediumLaporan Mikrobiologi -  Teknik Pembuatan Medium
Laporan Mikrobiologi - Teknik Pembuatan Medium
 
Jurnal Teknologi Pertanian
Jurnal Teknologi PertanianJurnal Teknologi Pertanian
Jurnal Teknologi Pertanian
 
ITP UNS SEMESTER 2 Mikum acara 5 Pengecatan Sederhana Sel Khamir
ITP UNS SEMESTER 2 Mikum acara 5 Pengecatan Sederhana Sel KhamirITP UNS SEMESTER 2 Mikum acara 5 Pengecatan Sederhana Sel Khamir
ITP UNS SEMESTER 2 Mikum acara 5 Pengecatan Sederhana Sel Khamir
 
Praktek Pembuatan Potato Dextrose Agar (PDA)
Praktek Pembuatan Potato Dextrose Agar (PDA)Praktek Pembuatan Potato Dextrose Agar (PDA)
Praktek Pembuatan Potato Dextrose Agar (PDA)
 
Aktifitas bakteri saccharomyces cerevisiae fermentasi roti dan bir
Aktifitas bakteri saccharomyces cerevisiae fermentasi roti dan birAktifitas bakteri saccharomyces cerevisiae fermentasi roti dan bir
Aktifitas bakteri saccharomyces cerevisiae fermentasi roti dan bir
 
Skrining mikroba potensial 2010
Skrining mikroba potensial 2010Skrining mikroba potensial 2010
Skrining mikroba potensial 2010
 
Mengoptimalkan peran mikroba dalam akuakultur
Mengoptimalkan peran mikroba dalam akuakulturMengoptimalkan peran mikroba dalam akuakultur
Mengoptimalkan peran mikroba dalam akuakultur
 
Laporan praktikum isolasi
Laporan praktikum isolasiLaporan praktikum isolasi
Laporan praktikum isolasi
 
Laporan mikrobiologi teknik pembuatan media
Laporan mikrobiologi teknik pembuatan mediaLaporan mikrobiologi teknik pembuatan media
Laporan mikrobiologi teknik pembuatan media
 
Biokimia Akuakultur II. Kualitas Air dan Metabolisme
Biokimia Akuakultur II. Kualitas Air dan Metabolisme Biokimia Akuakultur II. Kualitas Air dan Metabolisme
Biokimia Akuakultur II. Kualitas Air dan Metabolisme
 
Perifiton booster dan udang
Perifiton booster dan udang Perifiton booster dan udang
Perifiton booster dan udang
 
Terjemahan Jurnal
Terjemahan JurnalTerjemahan Jurnal
Terjemahan Jurnal
 
Buku peengetahuan bahan makanan ternak
Buku peengetahuan bahan makanan ternakBuku peengetahuan bahan makanan ternak
Buku peengetahuan bahan makanan ternak
 
Bioteknologi tape
Bioteknologi tapeBioteknologi tape
Bioteknologi tape
 
3 rofiq1
3 rofiq13 rofiq1
3 rofiq1
 

Similaire à 4. sesi pangan

In vivo evaluation on synbiotic effect of fermented rice bran by probiotic la...
In vivo evaluation on synbiotic effect of fermented rice bran by probiotic la...In vivo evaluation on synbiotic effect of fermented rice bran by probiotic la...
In vivo evaluation on synbiotic effect of fermented rice bran by probiotic la...Mochamad Nurcholis
 
Peran dan Pemanfaatan Kapang dalam Bidang Pangan_Kelompok 3.pdf
Peran dan Pemanfaatan Kapang dalam Bidang Pangan_Kelompok 3.pdfPeran dan Pemanfaatan Kapang dalam Bidang Pangan_Kelompok 3.pdf
Peran dan Pemanfaatan Kapang dalam Bidang Pangan_Kelompok 3.pdfNurRohmahTriaRomadho
 
PRICILA AQUILLA BIFEL (METOPEN).pptx
PRICILA AQUILLA BIFEL (METOPEN).pptxPRICILA AQUILLA BIFEL (METOPEN).pptx
PRICILA AQUILLA BIFEL (METOPEN).pptxRissaBifel1
 
Cara membuat ragi tape
Cara membuat ragi tapeCara membuat ragi tape
Cara membuat ragi tapehasan ckp
 
Lap teknik laboratorium
Lap teknik laboratoriumLap teknik laboratorium
Lap teknik laboratoriumunsri.ac.id
 
ANALISIS PEMBUATAN PUPUK ORGANIK CAIR (POC) DARI YAKULT DAN AIR BERAS
ANALISIS PEMBUATAN PUPUK ORGANIK CAIR (POC) DARI YAKULT DAN AIR BERASANALISIS PEMBUATAN PUPUK ORGANIK CAIR (POC) DARI YAKULT DAN AIR BERAS
ANALISIS PEMBUATAN PUPUK ORGANIK CAIR (POC) DARI YAKULT DAN AIR BERASnursyifatiara
 
Andrew hidayat 183278-id-viabilitas-lactobacillus-plantarum-1-yan
 Andrew hidayat   183278-id-viabilitas-lactobacillus-plantarum-1-yan Andrew hidayat   183278-id-viabilitas-lactobacillus-plantarum-1-yan
Andrew hidayat 183278-id-viabilitas-lactobacillus-plantarum-1-yanAndrew Hidayat
 
Aktivitas antioksidan antosianin_beras_k
Aktivitas antioksidan antosianin_beras_kAktivitas antioksidan antosianin_beras_k
Aktivitas antioksidan antosianin_beras_kHellna Tehubijuluw
 
Kelompok 05_PPT_Peranan Mikroorganisme dalam Pembuatan Makanan Fermentasi.pdf
Kelompok 05_PPT_Peranan Mikroorganisme dalam Pembuatan Makanan Fermentasi.pdfKelompok 05_PPT_Peranan Mikroorganisme dalam Pembuatan Makanan Fermentasi.pdf
Kelompok 05_PPT_Peranan Mikroorganisme dalam Pembuatan Makanan Fermentasi.pdfnahdi1
 
Pengantar Bioteknologi_Teknologi Fermentasi, Manfaat dan Aplikasinya.pptx
Pengantar Bioteknologi_Teknologi Fermentasi, Manfaat dan Aplikasinya.pptxPengantar Bioteknologi_Teknologi Fermentasi, Manfaat dan Aplikasinya.pptx
Pengantar Bioteknologi_Teknologi Fermentasi, Manfaat dan Aplikasinya.pptxAnnaHeirina1
 
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI PEREDUKSI SULFAT PADA AREA PERTAMBANGAN BATU...
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI PEREDUKSI SULFAT PADA AREA PERTAMBANGAN BATU...ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI PEREDUKSI SULFAT PADA AREA PERTAMBANGAN BATU...
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI PEREDUKSI SULFAT PADA AREA PERTAMBANGAN BATU...Repository Ipb
 
Mt lasut 2003-cyanide-seaurchin-ekoton
Mt lasut 2003-cyanide-seaurchin-ekotonMt lasut 2003-cyanide-seaurchin-ekoton
Mt lasut 2003-cyanide-seaurchin-ekotonMarkus T Lasut
 
Bab 6 bioteknologi kls 9i
Bab 6 bioteknologi kls 9iBab 6 bioteknologi kls 9i
Bab 6 bioteknologi kls 9iNining Mtsnkra
 

Similaire à 4. sesi pangan (20)

In vivo evaluation on synbiotic effect of fermented rice bran by probiotic la...
In vivo evaluation on synbiotic effect of fermented rice bran by probiotic la...In vivo evaluation on synbiotic effect of fermented rice bran by probiotic la...
In vivo evaluation on synbiotic effect of fermented rice bran by probiotic la...
 
Peran dan Pemanfaatan Kapang dalam Bidang Pangan_Kelompok 3.pdf
Peran dan Pemanfaatan Kapang dalam Bidang Pangan_Kelompok 3.pdfPeran dan Pemanfaatan Kapang dalam Bidang Pangan_Kelompok 3.pdf
Peran dan Pemanfaatan Kapang dalam Bidang Pangan_Kelompok 3.pdf
 
PRICILA AQUILLA BIFEL (METOPEN).pptx
PRICILA AQUILLA BIFEL (METOPEN).pptxPRICILA AQUILLA BIFEL (METOPEN).pptx
PRICILA AQUILLA BIFEL (METOPEN).pptx
 
Cara membuat ragi tape
Cara membuat ragi tapeCara membuat ragi tape
Cara membuat ragi tape
 
Lap teknik laboratorium
Lap teknik laboratoriumLap teknik laboratorium
Lap teknik laboratorium
 
ANALISIS PEMBUATAN PUPUK ORGANIK CAIR (POC) DARI YAKULT DAN AIR BERAS
ANALISIS PEMBUATAN PUPUK ORGANIK CAIR (POC) DARI YAKULT DAN AIR BERASANALISIS PEMBUATAN PUPUK ORGANIK CAIR (POC) DARI YAKULT DAN AIR BERAS
ANALISIS PEMBUATAN PUPUK ORGANIK CAIR (POC) DARI YAKULT DAN AIR BERAS
 
bioteknologi
bioteknologibioteknologi
bioteknologi
 
Pr mikro
Pr mikroPr mikro
Pr mikro
 
PPT TUGAS BIOTEKNOLOGI PEMBUATAN PRODUK TAPE UBI KAYU.pptx
PPT TUGAS BIOTEKNOLOGI PEMBUATAN PRODUK TAPE UBI KAYU.pptxPPT TUGAS BIOTEKNOLOGI PEMBUATAN PRODUK TAPE UBI KAYU.pptx
PPT TUGAS BIOTEKNOLOGI PEMBUATAN PRODUK TAPE UBI KAYU.pptx
 
Andrew hidayat 183278-id-viabilitas-lactobacillus-plantarum-1-yan
 Andrew hidayat   183278-id-viabilitas-lactobacillus-plantarum-1-yan Andrew hidayat   183278-id-viabilitas-lactobacillus-plantarum-1-yan
Andrew hidayat 183278-id-viabilitas-lactobacillus-plantarum-1-yan
 
Mikroba rumen ruminansia
Mikroba rumen ruminansiaMikroba rumen ruminansia
Mikroba rumen ruminansia
 
K_INT_MIKROBA RUMEN.pptx
K_INT_MIKROBA RUMEN.pptxK_INT_MIKROBA RUMEN.pptx
K_INT_MIKROBA RUMEN.pptx
 
Aktivitas antioksidan antosianin_beras_k
Aktivitas antioksidan antosianin_beras_kAktivitas antioksidan antosianin_beras_k
Aktivitas antioksidan antosianin_beras_k
 
Kelompok 05_PPT_Peranan Mikroorganisme dalam Pembuatan Makanan Fermentasi.pdf
Kelompok 05_PPT_Peranan Mikroorganisme dalam Pembuatan Makanan Fermentasi.pdfKelompok 05_PPT_Peranan Mikroorganisme dalam Pembuatan Makanan Fermentasi.pdf
Kelompok 05_PPT_Peranan Mikroorganisme dalam Pembuatan Makanan Fermentasi.pdf
 
Pengantar Bioteknologi_Teknologi Fermentasi, Manfaat dan Aplikasinya.pptx
Pengantar Bioteknologi_Teknologi Fermentasi, Manfaat dan Aplikasinya.pptxPengantar Bioteknologi_Teknologi Fermentasi, Manfaat dan Aplikasinya.pptx
Pengantar Bioteknologi_Teknologi Fermentasi, Manfaat dan Aplikasinya.pptx
 
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI PEREDUKSI SULFAT PADA AREA PERTAMBANGAN BATU...
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI PEREDUKSI SULFAT PADA AREA PERTAMBANGAN BATU...ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI PEREDUKSI SULFAT PADA AREA PERTAMBANGAN BATU...
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI PEREDUKSI SULFAT PADA AREA PERTAMBANGAN BATU...
 
Mt lasut 2003-cyanide-seaurchin-ekoton
Mt lasut 2003-cyanide-seaurchin-ekotonMt lasut 2003-cyanide-seaurchin-ekoton
Mt lasut 2003-cyanide-seaurchin-ekoton
 
PPT Interaktif Bakteri
PPT Interaktif BakteriPPT Interaktif Bakteri
PPT Interaktif Bakteri
 
Mikro kel 1
Mikro kel 1Mikro kel 1
Mikro kel 1
 
Bab 6 bioteknologi kls 9i
Bab 6 bioteknologi kls 9iBab 6 bioteknologi kls 9i
Bab 6 bioteknologi kls 9i
 

Plus de Henny Wijaya

Peran balitbangnov ipkm
Peran balitbangnov ipkmPeran balitbangnov ipkm
Peran balitbangnov ipkmHenny Wijaya
 
5. sesi ekonomi dan kemiskinan
5. sesi  ekonomi dan kemiskinan5. sesi  ekonomi dan kemiskinan
5. sesi ekonomi dan kemiskinanHenny Wijaya
 
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obatHenny Wijaya
 
7. sesi otonomi daerah
7. sesi otonomi daerah7. sesi otonomi daerah
7. sesi otonomi daerahHenny Wijaya
 
8. rumusan seminar
8. rumusan seminar8. rumusan seminar
8. rumusan seminarHenny Wijaya
 
9. rumusan diskusi
9. rumusan diskusi9. rumusan diskusi
9. rumusan diskusiHenny Wijaya
 
8. rumusan seminar
8. rumusan seminar8. rumusan seminar
8. rumusan seminarHenny Wijaya
 
11. alamat pemakalah
11. alamat pemakalah11. alamat pemakalah
11. alamat pemakalahHenny Wijaya
 

Plus de Henny Wijaya (14)

Peran balitbangnov ipkm
Peran balitbangnov ipkmPeran balitbangnov ipkm
Peran balitbangnov ipkm
 
2. daftar isi
2. daftar isi2. daftar isi
2. daftar isi
 
1.cover prosiding
1.cover prosiding1.cover prosiding
1.cover prosiding
 
2. daftar isi
2. daftar isi2. daftar isi
2. daftar isi
 
5. sesi ekonomi dan kemiskinan
5. sesi  ekonomi dan kemiskinan5. sesi  ekonomi dan kemiskinan
5. sesi ekonomi dan kemiskinan
 
6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat6. sesi kesehatan dan obat
6. sesi kesehatan dan obat
 
7. sesi otonomi daerah
7. sesi otonomi daerah7. sesi otonomi daerah
7. sesi otonomi daerah
 
8. rumusan seminar
8. rumusan seminar8. rumusan seminar
8. rumusan seminar
 
Asosiasi
AsosiasiAsosiasi
Asosiasi
 
9. rumusan diskusi
9. rumusan diskusi9. rumusan diskusi
9. rumusan diskusi
 
8. rumusan seminar
8. rumusan seminar8. rumusan seminar
8. rumusan seminar
 
11. alamat pemakalah
11. alamat pemakalah11. alamat pemakalah
11. alamat pemakalah
 
2. daftar isi
2. daftar isi2. daftar isi
2. daftar isi
 
1.cover prosiding
1.cover prosiding1.cover prosiding
1.cover prosiding
 

4. sesi pangan

  • 1. ISBN 978-602-98295-0-1 ISOLASI BAKTERI ASAM LAKTAT PENDEGRDASI SIANIDA DARI CAIRAN RUMEN (ISOLATION OF CYANIDE DEGRADATION LACTIC ACID BACTERIA FROM RUMEN FLUID) A.Fariani, A. Abrar, & Mudrikah Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian,Universitas Sriwijaya ABSTRACT A study was conducted to isolate lactic acid bacteria that decrease cyanide from rumen fluid of cattle. This research was done in two stages, first stage enrichment medium and second stage lactic acid bacteria were isolated by culturing the rumen fluid in de Mann, Rogosa, Sharpe (MRS) medium with Hungate methods. This research was held on Agust 2010 in Animal Feed and Nutrition Laboratory, Faculty of Agriculture Sriwijaya University. Data were analized using descriptives method. Nine isolated lactic acid bacteria were found in this research. The results showed that, the nine isolates of lactic acid bacteria could decrease cyanide and survive in medium containing cyanide. Lactic acid bacteria that highest decrease (83,3%) cyanide lactic acid bacteria a gram negative and catalase negative. Keywords: lactid acid bacteria, Cyanide ,hunggate methods PENDAHULUAN Pencernaan merupakan proses perubahan yang bersifat mekanis dan kimia yang terjadi dalam saluran pencernaan sampai zat-zat makanan dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Perubahan tersebut dapat berupa penghalusan pakan menjadi partikel yang lebih kecil atau penguraian senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana (Lubis, 1992). Pola sistem pencernaan pada hewan umumnya sama dengan manusia, yaitu terdiri atas mulut, faring, esofagus, lambung, dan usus. Namun demikian, struktur alat pencernaan kadang-kadang berbeda antara hewan yang satu dengan hewan yang lain. Proses pencernaan ternak ruminansia terjadi secara mekanis yang terjadi di dalam mulut, pencernaan secara fermentatif yang terjadi didalam rumen dan pencernaan secara enzimatis yang terjadi di abomasum. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1
  • 2. ISBN 978-602-98295-0-1 Kelebihan sistem pencernaan ruminansia dibanding dengan sistem pencernaan ternak lain antara lain dapat mencerna serat kasar dan dapat berperan sebagai sistem pertahanan tubuh dari zat-zat antinutrisi yang terkandung dalam pakan. Hal ini karena dalam rumen terdapat bermilyaran mikrobia yang berperan dalam proses pencernaan tersebut. Mikroba rumen berperan sebagai pertahanan tubuh terhadap serangan-serangan toksik antinutrisi yang dihasilkan dalam proses pencernaan. Pell et al (2003) menyatakan bahwa proses adaptasi mikroorganisme merupakan salah satu bentuk pertahanan tubuh dari ternak itu sendiri. Mikrobia yang terdapat dalam rumen terdiri dari mikroflora (bakteria), mikrofauna (protozoa), fungi dan bacteriophages. Bakteri-bakteri yang berperan dalam proses fermentasi membentuk asetat, propionat, butirat, CO 2 dan H2. Spesies bakteri metanogenik akan menggunakan CO2, H2 dan format untuk membentuk gas metana. Beberapa spesies memproduksi amonia dan asam lemak terbang berantai cabang dari asam-asam amino tertentu dan beberapa mikroba mengeluarkan urease untuk memecah urea sehingga menjadi amonia dan CO2 (Arora, 1995). Hasil fermentasi dalam rumen akan membantu proses pencernaan makanan menjadi lebih mudah diserap zat-zat nutrisinya di abomasum. Saluran pencernaan manusia ataupun hewan diperkirakan 12 mengandung mikroflora normal sampai 10 bakteri per gram isi saluran cerna dan setidak-tidaknya terdiri atas 500 spesies yang sebagian besar merupakan bakteri asam laktat (Suardana et al., 2007). Bakteri asam laktat termasuk mikroorganisme yang aman jika ditambahkan dalam pangan karena sifatnya tidak toksik dan tidak menghasilkan toksin, maka disebut food grade microorganism atau dikenal sebagai mikroorganisme yang Generally Recognized As Safe (GRAS) yaitu mikroorganisme yang tidak beresiko terhadap kesehatan, bahkan beberapa jenis bakteri tersebut berguna bagi kesehatan. Bakteri ini dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas higiene dan keamanan pangan melalui penghambatan secara alami terhadap mikroflora berbahaya yang bersifat patogen. Bakteri ini dapat berfungsi sebagai pengawet makanan karena mampu memproduksi asam organik, menurunkan pH lingkungannya dan mengeksresikan senyawa yang mampu menghambat Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 2
  • 3. ISBN 978-602-98295-0-1 mikroorganisme patogen seperti H2O2, diasetil, CO, asetaldehid, d-isomer asam asam amino dan bakteriosin (Kusmiati dan Malik, 2002). Menurut Sandi et al (2008) penambahan enzim cairan rumen dan bakteri Leuconostoc mesenteroides pada silase berbahan baku singkong mampu menurunkan kandungan serat kasar dan sianida pada umbi, serta meningkatkan protein pada KDUO (kulit+daun+umbi +onggok). Isolasi bakteri pernah dilakukan Ali (2008) yang mengisolasi bakteri asam laktat penghasil antimikroba, digunakan isolat bakteri asam laktat murni yang diperoleh dari isolat saluran pencernaan hewan ternak. Setelah dilakukan konfrontasi isolat dan bakteri, menunjukkan bahwa bakteri Salmonella sp. yang sensitif terhadap isolat dibandingkan dengan bakteri uji yang lain. Penelitian yang sama juga pernah dilakukan oleh Suardana et al (2007) yang mengisolasi dan mengidentifikasi bakteri asam laktat penghasil antimikroba asal cairan rumen sapi Bali yang nantinya berpotensi untuk dipakai sebagai biopreservatif. Selain itu, isolasi mikroba rumen yang mampu mendegradasi sianida dari cairan rumen domba yang telah teradaptasi dengan sianida yang menunjukkan kemiripan Megasphaera elsdenii juga pernah dilakukan Abrar (2001). Pada penelitian ini akan diisolasi bakteri asam laktat pendegradasi sianida dari cairan rumen sehingga dapat diketahui kemampuannya dalam mendegradasi sianida, yang diharapkan dapat dimanfaatkan untuk mengatasi antinutrisi kandungan sianida pada pakan ternak. MATERI DAN METODE 1. Cairan Rumen Cairan rumen sebagai sumber inokulum untuk isolasi bakteri asam laktat yang diharapkan mampu mendegradasi sianida diambil dari peternak sapi di daerah Indralaya Utara, Kabupaten Ogan Ilir Propinsi Sumatera Selatan. 2. Media Kultur Bakteri Media kultur yang digunakan adalah MRS Broth, Nutrient Agar (NA), KSCN (Kalium thiosianat), dan Na2CO3. Komposisi media kultur yang digunakan untuk pengayaan adalah MRS Broth, KSCN dan Aquadest. Komposisi media kultur Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 3
  • 4. ISBN 978-602-98295-0-1 untuk penanaman kultur bakteri adalah MRS Broth, KSCN, Nutrient Agar (NA), Na2CO3 dan Aquadest 100 ml. Pengayaan media dan isolasi bakteri asam laktat menggunakan metode hunggate. Untuk menghitung populasi bakteri, digunakan metode pencacah koloni bakteri yang hidup. Prinsip perhitungannya adalah cairan rumen diencerkan secara serial dengan media pengencer lalu dibiakkan dalam tabung Hungate. (Ogimoto & Omai, 1980). Pengukuran Konsentrasi Sianida dengan metode APHA (1985). Pengamatan morfologi bakteri yang diamati adalah bentuk bakteri (bulat, batang dan spiral). Selain itu juga dilakukan uji katalase. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Jumlah Bakteri Asam Laktat yang Tumbuh Proses seleksi bakteri asam laktat dilakukan melalui tahapan seleksi media yang mengandung sianida. Bakteri asam laktat diperoleh dari mikroba rumen yang ditumbuhkan pada media selektif yang telah dicampur dengan KSCN (Kalium Tiosianat). Kusmiati dan Malik (2002) melaporkan bahwa media MRS (de Mann, Rogosa, Sharpe) merupakan media terbaik untuk mempengaruhi aktivitas bakteriosin Leuconostoc mesenteroides Pbacl. Pada penelitian ini media MRS Broth ditambah dengan KSCN yang berfungsi sebagai media selektif. Media selektif berguna untuk menyeleksi mikroba berdasarkan ketersediaan nutrisinya. Hanya mikroba yang mampu hidup dalam media yang mengandung KSCN yang dapat bertahan hidup. Proses seleksi bakteri asam laktat perlu dilakukan karena dalam rumen terdiri dari berjuta-juta bakteri rumen. Pada proses ini, mikroba ditumbuhkan pada MRS Broth yang telah ditambah dengan KSCN, kemudian dilakukan pengenceran 10-6 untuk menghitung jumlah koloni yang tumbuh setelah 24 jam. Hal ini dilakukan 3 kali hingga diperoleh koloni bakteri. elama proses seleksi, media ditambah dengan Na2CO3 agar media tidak terlalu asam. Metode yang digunakan adalah metode hungate, yaitu media ditumbuhkan dalam tabung reaksi yang telah ditutup dengan pentil karet dan dalam suasana anaerob. Hasil seleksi bakteri asam laktat diketahui berdasarkan jumlah koloni yang tumbuh pada media. Bakteri yang tumbuh memiliki beberapa kemungkinan, antara lain bakteri yang tumbuh adalah bakteri yang mampu mendegradasi Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 4
  • 5. ISBN 978-602-98295-0-1 sianida. Dhillon dan Shivaraman (2001) melaporkan bahwa ada mikroba yang mampu mendegradasi sianida. Menurut Fallon (1992), degradasi sianida dapat terjadi dalam kondisi anaerob dengan produk fermentasinya yaitu asam format dan amonia. Sianogenesis dalam rumen juga tergantung pH rumen (Majak et al, 1990). Produksi sianida dalam rumen akan tinggi jika pH rumen lebih dari 6. Pada penelitian ini, pH media yang digunakan untuk pertumbuhan bakteri adalah 6-7. Mikroba selulotik dalam rumen memerlukan pH 6,8 – 7,0 untuk pertumbuhannya. Abrar (2001) melaporkan bahwa cairan rumen domba yang telah teradaptasi dengan daun singkong (sianida) memiliki mikroba yang mampu mendegradasi sianida, hasil identifikasi isolat menunjukkan kemiripan dengan bakteri Megasphaera elsdenii. Proses adaptasi pada penelitian ini adalah setiap media yang digunakan mengandung sianida dengan konsentrasi yang selalu sama. Kemungkinan kedua, bakteri yang tumbuh tidak mampu mendegradasi sianida, namun mampu beradaptasi dengan sianida dalam rumen. Tabel 3. Jumlah koloni yang tumbuh Jumlah Koloni ( n x 106 Isolat cfu/ml) RB11 7 RB 21 10 RB 22 8 RB 32 28 RB 42 17 RB 71 1 RB 72 1 RB 81 4 RB 82 2 Pertumbuhan bakteri asam laktat berbeda-beda pada setiap isolat pada waktu 24 jam pada 9 isolat bakteri. Menurut Wallace dan Newbold (1989), rumen merupakan tempat hidup mikroba dengan suhu, pH, kelembapan yang relatif konstan serta kondisi anaerob yang mampu menunjang pertumbuhan dan perkembangan mikroba. Jumlah koloni yang paling banyak pada isolat RB 32 Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 5
  • 6. ISBN 978-602-98295-0-1 dengan jumlah koloni 28 x 106 cfu/ml dengan bentuk morfologi yang bulat dan yang paling sedikit pada koloni RB 71 dan RB 71 yang berjumlah 1x10 6 cfu/ml dengan bentuk morfologi bulat (Tabel 3). B. Pengujiaan Aktivitas Penurunan Sianida Pengujian konsentrasi sianida dilakukan untuk mengetahui besarnya kandungan sianida pada media selektif MRS sebelum dan sesudah diberi cairan rumen. Pengujian menunjukkan terjadinya penurunan sianida dari semua isolat yang diuji. Masing-masing sebesar 81,66 % (RB 11), 81,0 % (RB 21), 77,29% (RB22), 79,81% (RB32), 80,86% (RB 42), 76,36% (RB 71), 77,53% (RB 72), 83,3 % (RB 81) dan 73,1% (RB 82). Terjadi penurunan sianida diketahui dari selisih antara konsentasi sianida kontrol dan isolat yang diuji. Penurunan kandungan sianida tertinggi pada sampel RB 81 sebesar 83,3 % dan yang terendah pada RB 82 sebesar 73,1 % . Berdasarkan penelitian Abrar (2001), penurunan sianida pada isolat-isolat yang diuji sebesar 45,34 %, 71,0 % dan 76,5 %. Hal tersebut menunjukkan adanya mikroba yang mampu menurunkan kandungan sianida. Laju penurunan konsentrasi sianida pada setiap isolat juga berbeda (gambar 2) yaitu 0,30 ppm/jam (RB 11), 0,31 ppm/jam (RB 21), 0,37 ppm/jam Gambar 1. Grafik Penurunan sianida pada isolat (RB 22), 0,33 ppm/jam (RB 32), 0,31 ppm/jam (RB 42), 0,38 ppm/jam (RB 71), 0,37 ppm/jam(RB 72), 0,27 ppm/jam (RB 81), dan 0,44 ppm/jam (RB 82). Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 6
  • 7. ISBN 978-602-98295-0-1 Gambar 2. Laju penurunan sianida (ppm/jam) isolat C. Karakterisasi Bakteri Asam Laktat Berdasarkan foto mikroskop olesan isolat diketahui morfologi isolat-isolat tersebut adalah bulat dan batang, sifat pewarnaan gram positif dan negatif serta uji katalase negatif. Cullimore (2000) menyatakan bahwa bakteri yang memiliki bentuk kokus dan pewarnaan gram positif, katalase negatif serta fakultatif anaerobik dari famili Streptococcaeae terdiri dari 3 genus yaitu Streptococcus sp., Leuconostoc dan Pediococus. Hasil pengamatan morfologi bakteri dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini. Tabel.4. Pengamatan morfologi bakteri asam laktat dan uji katalase Isolat Bentuk morfologi Pewarnaan Uji Katalase gram RB 11 Bulat, mixed culture Positif - RB 21 bulat Positif - RB22 bulat Positif - RB 32 Bulat Positif - RB 42 Bulat, batang Positif - RB 71 Bulat Positif - RB 72 Bulat Positif - RB 81 Bulat, batang Negatif - RB 82 Bulat, batang Negatif - Menurut Cullimore (2000), bakteri gram positif yang mempunyai katalase dan motil negatif ada 2 yaitu famili Lactobacillus dan Erysipelotrix. Lactobacillus memiliki sel yang berbentuk panjang, batang silinder (kadang-kadang Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 7
  • 8. ISBN 978-602-98295-0-1 melengkung) sedang yang lainnya pendek dan sering berbentuk batang bulat. Selnya juga sering membentuk rantai. Walaupun termasuk kedalam bakteri gram positif dan bipolar (gram positif dan negatif). Berdasarkan uji pewarnaan gram, isolat-isolat merupakan gram positif dan negatif. Menurut Fardiaz (1989), dalam pewarnaan gram sel-sel yang tidak dapat melepaskan warna akan tetap berwarna kristal violet yaitu biru-ungu disebut bakteri gram positif, sedangkan sel-sel yang dapat melepaskan kristal violet dan mengikat safranin sehingga berwarna kemerahan disebut bakteri gram negatif. Prinsip pewarnaan gram adalah kemampuan dinding sel mengikat zat warna dasar setelah pencucian dengan alkohol. Pada bakteri gram positif mengandung peptidoglikan lebih banyak dan lemak lebih sedikit dibanding dengan gram negatif. Produk fermentasi dari Streptococcus, Leuconostoc, dan Pediococcus adalah laktat dan asetat/etanol. Afrianto et al. (2006) melaporkan bahwa bakteri asam laktat mampu memproduksi asam laktat sebagai produk akhir perombakan karbohidrat, hidrogen peroksida, dan bakteriosin. Desmazeud (1996) menyatakan bahwa peran utama bakteri asam laktat dalam pengasaman bahan mentah dengan memproduksi sebagian besar asam laktat, sebagian kecil asam asetat, etanol, dan CO2. Uji katalase dilakukan untuk mengetahui aktivitas katalase pada isolat. Umumnya bakteri memproduksi enzim katalase yang dapat memecah H 2O2 menjadi H2O dan O2 (Hadioetomo, 1993). Hasil uji katalase menunjukkan bahwa semua isolat adalah katalase negatif. Bakteri yang termasuk katalase negatif adalah Streptococcus, Leuconostoc, Lactobacillus dan Clostridium. Bakteri katalase negatif tidak menghasilkan gelembung-gelembung. Hal ini berarti H2O2 yang diberikan tidak dipecah oleh bakteri katalase negatif. Bakteri katalase negatif tidak memiliki enzim katalase yang menguraikan H2O2. Mekanisme enzim katalase memecah H2O2 yaitu saat melakukan respirasi, bakteri menghasilkan berbagai macam komponen salah satunya H2O2. Bakteri yang memiliki kemampuan memecah H2O2 dengan enzim katalase maka segera membentuk suatu sistem pertahanan dari toksik H2O2 yang dihasilkannya sendiri. Bakteri katalase positif akan memecah H2O2 menjadi H2O dan O2 dimana parameter yang menunjukkan adanya aktivitas katalase tersebut adalah adanya gelembung- Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 8
  • 9. ISBN 978-602-98295-0-1 gelembung oksigen seperti pada percobaan yang telah dilakukan. Dengan enzim katalase, H2O2 diurai dengan reaksi sebagai berikut: 2H2O2 2H2O + O2 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan penelitian ini adalah mikroba rumen yang mampu bertahan hidup pada media yang mengandung sianida serta mempunyai kemampuan mendegradasi sianida adalah Bakteri Asam Laktat. Bakteri asam laktat yang mempunyai kemampuan mendegradasi sianida tertinggi (83,3 %) adalah bakteri asam laktat gram negatif dan katalase negatif. Disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan guna mengidentifikasi jenis-jenis bakteri asam laktat yang mampu mendegradasi sianida dan mengetahui aktivitas ekstraseluler/enzim bakteri asam laktat yang mempunyai kemampuan degradasi sianida serta dampaknya bila ditambahkan pada fermentasi bahan pakan ternak. Selain itu, perlu juga dilakukan penelitian untuk mengetahui kemampuan bakteri asam laktat yang sudah terisolasi dalam mendegradasi sianida bila diinokulasikan langsung ke dalam saluran pencernaan ruminansia DAFTAR PUSTAKA Abrar, A. 2001. Eksplorasi mikroba rumen pendegradasi sianida. Tesis. Program Pascasarjana,Institut Pertanian Bogor, Bogor. Afrianto, E., E. Liviawaty. & I. Rostini. 2006. Pemanfaatan limbah sayuran untuk memproduksi biomasa Lactobacillus plantarum sebagai bahan edible coating dalam meningkatkan masa simpan ikan segar dan olahan. Laporan Akhir. Unpad. Ali, I. 2008. Isolasi bakteri asam laktat penghasil antimikroba. http://iqbalali.com/2008/03/30/isolasi-bakteri-asam-laktat-penghasil- antimikroba/. [ 21 Mei 2010 ] Arora, S. P. 1995. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Cullimore, R.D. 200. Practical Atlas For Bacterial Identification. Lewis Publisher. United States of America Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 9
  • 10. ISBN 978-602-98295-0-1 Desmazeaud, M. 1996. Lactic Acid Bacteria in Food: Use and Safety.Cahiers Agricultures. 5 (5), 331-342. Dhillon, J.K & N. Shivaraman. 2001. Biodegradation of cynide compounds by a Pseudomonas spesies (S1). Can. J. Microbial., 45 : 201 – 208. Fallon, R. D. 1992. Evidence of a hydrolitic route for anaerob cynide degradation. Appl. Environ. Microbial., 58 (() : 3163-3164 Hadioetomo, R.S. 1993. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek teknik dan Prosedur dasar Laboraturium, Laboraturium Mikrobiologi fakultas matematika dan Ilmu pengetahuan Alam IPB. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Lubis, D.A. 1992. Ilmu Makanan Ternak. Cetakan ke-2. PT. Pembangunan, Jakarta. Kusmiati & Malik, A. 2002. Aktivitas bakteriosin dari bakteri Leuconostoc Mesenteroides Pbac1 pada berbagai media. Makara, kesehatan, vol. 6, no. 1, juni 2002. http://journal.ui.ac.id/upload/artikel/NEW_Aktivitas- Kusmiati_Convert.pdf. [ 26 Juni 2010 ] Fardiaz, S. 1989. Penuntun Praktek Mikrobiolog Pangan. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi fakulyas Teknologi pertanian. IPB Press. Bogor. Majak, W., R. E. McDiarmid., J.W. Hall., & K.J. Cheng. 1990. Factors that determine rate of cyanogenesis in bovine ruminal fluid in vitro. J. Anim. Sci., 68 : 1648-1655 Ogimoto, K & Omai. 1980. Atlas of Rumen Microbiology. Japan Scientific Societies Press. Tokyo. Pell, A. N., T.K. Woolsten, K. E.Nelson & P. Schofreld. 2003. Tanins: Biological activity and bacterial tolerance. J. Animal Scinece. Cornell Universary. USA. Sandi, S. E. B. Laconi,. A. Sudarman,. K. G. Wiryawan. & D. Mangundjaja. 2008. Kualitas nutrisi silase berbahan baku singkong yang diberi enzim cairan rumen sapi dan Leuconostoc mesenteroides Media Peternakan, April 2010, hlm. 25-30 ISSN 0126-0472 Vol. 33 No. 1 Suardana, I.W., I. N. Suarsana., I. N. Sujaya & K.G. Wiryawan. 2007. Isolasi dan identifikasi bakteri asam laktat dari cairan rumen sapi bali sebagai kandidat biopreservatif. Jurnal Veteriner Desember 2007 Vol. 8 No. 4 : 155 – 159 Winugroho, M., M. Sabrani, P. Punorbowo, Y. Widiawati & A. Thalib. 1993. Non- genetic approach for selecting rumen fluid contain specific microorganisms (balitnak method). Ilmu dan peternakan 6(2) : 5-9 Pusat penelitian dan Pengembangan Peternakan . Bogor. Wallace R. J & C.J. Newbold. 1989. Probiotics for Ruminants. In Probiotics the Scientific Basis. Edited by R Fuller. Chapman & Hall. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 10
  • 11. ISBN 978-602-98295-0-1 EVALUASI FRAKSI SERAT KASAR AMPAS TEH YANG DIAMONIASI DENGAN DOSIS UREA YANG BERBEDA (The evaluation of crude fibre fraction of ammoniated tea waste with various urea dosage) Armina Fariani, Manurung, N.B dan Arfan Abrar Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya ABSTRACT The aim of this research was to study the effect of various urea dosage of ammoniation tea waste to its crude fibre fraction. This research was held on animal feed and nutrition, agriculture faculty, Sriwijaya University from May to June 2010. Completely randomizd design with 3 treatments and 4 replication were used on this study. Treatments were; control (K0), K1 (tea waste ammoniated with 1,5% urea) and K2 (tea waste ammoniated with 3% urea). The all parameters were analyzed by Goering and Van Soest Methods (1982). Observed parameters were Neutral Detergent Fibre (NDF), Acid Detergent Fibre (ADF), hemicellulose, celullose, lignin. The result shows that 3% urea ammoniation were significantly affect all parameters excep hemmicellulose. Tea waste ammoniation on 3% urea gives NDF, ADF, celullose and lignin value ; 14,11%, 4,69%, 33,34% and 1,6%, respectively hemmicelullose were 9,47%. Key words : Fibre fraction, Waste tea ammoniation and urea PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki potensi wilayah pengembangan ternak. Keterbatasan penyediaan hijauan yang berkualitas menjadi kendala dalam pengembangan peternakan. Sistem pemberian pakan pada peternakan ruminansia yang hanya bertumpu pada hijauan menyebabkan Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 11
  • 12. ISBN 978-602-98295-0-1 kebutuhan hidup pokok ternak belum dapat terpenuhi dan mengakibatkan produksi ternak rendah. Untuk mengatasinya, maka perlu diberikan pakan alternatif yang dapat memenuhi kebutuhan ternak tanpa harus menimbulkan suatu kelainan pada ternak yang mengkonsumsinya serta dapat tersedia secara berkesinambungan. Menurut Anonymous (1998), limbah pertanian selalu dikaitkan dengan harga yang murah dan berkualitas rendah. Padahal limbah pertanian memiliki potensi yang baik sebagai pakan. Pemanfaatan limbah pertanian sebagai bahan pakan perlu memperhatikan hal-hal berikut sebelum dipergunakan seperti ketersediaan, kontinuitas pengadaan, kandungan gizi, kemungkinan adanya faktor pembatas seperti zat racun atau zat anti nutrisi serta perlu tidaknya bahan tersebut diolah sebelum dapat digunakan sebagai pakan ternak. Selain limbah pertanian, hasil ikutan pengolahan pangan dapat juga dimanfaatkan sebagai sumber pakan, salah satu contohnya adalah ampas teh. Ampas teh merupakan hasil sampingan terbesar dalam industri pengolahan teh botol dan bisa dimanfaatkan sebagai bahan pakan alternatif untuk ternak karena produksinya yang cukup tinggi. Teh dengan nama latin adalah Camellia sinensis yang masih termasuk keluarga Camilia, pada umumnya tumbuh di daerah yang beriklim tropis dengan ketinggian antara 200 sampai dengan 2000 meter di atas permukaan laut dengan cuaca antara 14 sampai dengan 25 oC (PT Sinar Sosro, 2003). Teh merupakan sumber alami kafein, teofilin dan antioksidan dengan kadar lemak, karbohidrat atau protein mendekati nol persen. Ampas teh merupakan hasil ikutan atau limbah dari pembuatan minuman teh yang meliputi proses pelayuan, penggulungan, fermentasi dan pengeringan dan mengandung zat makanan yang tidak kalah dengan bahan pakan lainnya (Istirahayu, 1993). Menurut Ensminger et al. (1990), kandungan nutrisi dari ampas teh antara lain 43,87 BK; 27,42% PK; 20,39% SK; 3,26% LK; 44,20 % Beta-N; 4,76% Abu; 1,14% Ca, 0,25% P; dan 66,71% TDN, sehingga diketahui bahwa permasalahan yang terdapat dalam ampas teh umumnya memiliki kandungan serat kasar yang tinggi yang terdapat lignin yang erat kaitannya dengan selulosa. Potensi ampas teh di wilayah Sumatera Selatan bisa dikatakan sangat prospektif karena wilayah Sumatera Selatan cukup dikenal dengan produksi Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 12
  • 13. ISBN 978-602-98295-0-1 perkebunannya. Dalam 1 ha kebun teh akan menghasilkan 2.371 ton per pucuk daun teh per tahun untuk diolah, dari hasil olahan tersebut sekitar 30 % akan menghasilkan ampas (limbah) teh yang diperkirakan sekitar 1.659 ton per tahun. Ampas teh merupakan hasil sampingan terbesar dalam industri pengolahan teh botol dan bisa dimanfaatkan sebagai bahan pakan alternatif untuk ternak karena produksinya yang cukup tinggi. Ampas teh umumnya memiliki kandungan serat kasar yang tinggi yang terdapat lignin yang erat kaitannya dengan selulosa. Penyebab dari rendahnya kecernaan adalah terdapat lignin. Lignin tidak dapat dicerna dalam rumen atau dalam pencernaan dan lignin juga mengandung silikat. Silikat dan lignin ini bagaikan kaca pelapis, yang melapisi zat-zat yang berguna dan bernilai energi tinggi seperti protein, selulosa, hemiselulosa. Untuk itu pemanfaatan ampas teh ini dapat dilakukan terlebih dahulu mengalami proses amoniasi dapat menggunakan urea sebagai bahan kimia agar biayanya murah serta untuk menghindari polusi. Amoniasi adalah suatu proses pemotongan ikatan rantai panjang dari glukosa (selulosa dan hemiselulosa) dan membebaskan selulosa dan hemiselulosa agar dapat dimanfaatkan oleh tubuh ternak. Kandungan tannin yang tinggi pada ampas teh menunjukkan bahwa ikatan serat kasar antara lignin dan selulosa tidak kuat. Kandungan tanin berkorelasi negatif dengan lignin sehingga dosis amoniasi diduga dapat diturunkan dari biasanya yaitu 3%. Maka dari itu, dalam kesempatan ini saya akan melakukan penelitian untuk menganalisa fraksi serat kasar yang terdapat dalam ampas teh dengan perlakuan amoniasi yang menggunakan urea dengan dosis yang berbeda. Athoillah (2006) dalam penelitiannya melaporkan bahwa adanya interaksi antara faktor aras urea dan lama pemeraman berpengaruh terhadap peningkatan kadar protein kasar dan TDN serta penurunan kadar serat kasar. Perlakuan dengan hasil terbaik diperoleh pada lama pemeraman 4 minggu dengan aras urea 8%. Berdasarkan hal-hal tersebut ampas teh dapat dijadikan pakan ternak akan tetapi miskin akan nutrisi dan sulit di cerna oleh ternak. Untuk itu pemanfaatan ampas teh ini dapat dilakukan terlebih dahulu mengalami proses amoniasi dapat menggunakan urea sebagai bahan kimia agar biayanya murah serta untuk menghindari polusi. Pada penelitian ini akan dilakukan analisa fraksi serat kas Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 13
  • 14. ISBN 978-602-98295-0-1 yang terdapat dalam ampas teh dengan perlakuan amoniasi yang menggunakan urea dengan dosis yang berbeda. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai bulan Juni di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ampas teh, urea, larutan NDS, ADS, H2SO4 72 %, aseton, aquadest. Ampas teh terlebih dahulu dikering anginkan hingga kandungan air dalam ampas teh 70%. Kemudian ampas teh ditimbang sebanyak 400 g untuk setiap perlakuan dan ulangan. Setelah itu ampas teh yang telah tersedia disemprotkan urea dengan dosis urea yang telah ditentukan . Setelah itu dimasukkan ke dalam kantong plastik yang kemudian diisolasi hingga keadaan anaerob dan diinkubasi selama 21 hari. Setelah itu ampas teh yang telah diamoniasi dihaluskan dengan mortar dan sampel siap untuk dianalisa dengan menggunakan metode Van Soest. HASIL DAN PEMBAHASAN Neutral Detergent Fiber (NDF) Neutral Detergent Fiber (NDF) adalah gambaran dari dinding sel tanaman yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. NDF merupakan bagian serat yang tidak larut dalam detergent netral dan juga merupakan komponen serat yang tidak dapat larut dalam matrik dinding sel tanaman (Van Soest, 1982), kandungan NDF sangat berpengaruh terhadap kemampuan ternak ruminansia untuk mengkonsumsi pakan. Hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi urea memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap kandungan NDF ampas teh. Rataan nilai NDF analisa di laboratorium menyatakan bahwa rataan NDF terendah terdapat pada perlakuan amoniasi dengan konsentrasi 3% (K2) yaitu sebesar 14,11%, sedangkan rataan tertinggi terdapat pada kontrol (K0) yaitu sebesar 46,98%. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 14
  • 15. ISBN 978-602-98295-0-1 Rataan NDF ampas teh masing-masing perlakuan dapat dilihat pada gambar 1 berikut : 50,00 46,98 45,00 Nilai Rataan NDF (%) 40,00 35,00 30,00 26,62 25,00 20,00 14,11 15,00 10,00 5,00 0,00 KONTROL Amoniasi Urea 1,5% Amoniasi Urea 3% Perlakuan Gambar 1. Nilai Rataan Kandungan NDF Ampas Teh Pada penelitian ini nilai NDF yang semakin rendah menyatakan bahwa proses amoniasi yang berjalan dengan baik terdapat pada amoniasi dengan konsentrasi 3%. Gambar di atas menjelaska bahwa amoniasi dengan dosis urea 3% telah memberikan pengaruh terhadap perombakan struktur dinding sel pada ampas teh, sehingga kandungan nilai NDF yang dihasilkan menjadi rendah. Penurunan nilai NDF dari perlakuan urea 3% menunjukkan bahwa proses amoniasi telah berjalan dengan lebih baik. Hal tersebut dapat diamati secara visual bahwa ampas teh amoniasi 3% memiliki struktur yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Kandungan NDF ampas teh pada perlakuan amoniasi dengan konsentrasi 3% memiliki nilai yang baik yaitu 14,11%. Hal ini sejalan dengan pendapat Van Soest (1982), kandungan NDF berkaitan dengan daya kecernaan, dimana semakin rendahnya kandungan NDF maka semakin baik daya kecernaannya. Nurcahyani et al. (2006) melaporkan nilai NDF ampas teh yang difermentasi dengan aspergillus niger memiliki nilai NDF 52,6%. Ini berarti proses amoniasi pada penelitian ini lebih baik karena memiliki nilai NDF yang lebih kecil (14,11%). Kandungan NDF sangat berpengaruh terhadap kemampuan ternak ruminansia untuk mengkonsumsi pakan sehingga semakin tinggi nilai NDF maka kecernaan pakan tersebut akan semakin rendah. Menurut Bell (1997) bahwa nilai NDF dapat digunakan sebagai penduga kecernaan bahan pakan. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 15
  • 16. ISBN 978-602-98295-0-1 Acid Detergent Fiber (ADF) Acid Detergent Fiber (ADF) adalah dinding sel terutama tersusun dari dua jenis sarat yaitu yang larut dalam detergent asam yaitu hemiselulosa dengan sedikit protein dinding sel, dan yang tidak larut dalam detergent asam yakni lignoselulosa. Hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa perlakuan dosis urea memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap kandungan ADF ampas teh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan ADF terendah terdapat pada perlakuan amoniasi dengan konsentrasi 3% (K2) yaitu sebesar 4,69%, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada kontrol (K0) yaitu sebesar 32,32%. Rataan ADF pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada gambar 2 dibawah ini : 35 32,32 30 Nilai Rataan ADF (%) 25 20 13,89 15 10 4,69 5 0 KONTROL Amoniasi Urea 1,5% Amoniasi Urea 3% Perlakuan Gambar 2. Nilai Rataan Kandungan ADF Ampas Teh Hal ini menunjukkan bahwa nilai ADF yang rendah terjadi pada proses amoniasi dengan konsentrasi 3% sekaligus menyatakan bahwa perlakuan amoniasi berjalan sesuai yang diinginkan. Nurcahyani et al (2006), melaporkan nilai ADF ampas teh yang difermentasi dengan aspergillus niger memiliki nilai 43,56%. Ini berarti proses amoniasi pada penelitian ini lebih baik karena memiliki nilai ADF yang lebih kecil (4,69%). Nilai ADF berkaitan dengan kandungan energi, dimana semakin tinggi nilai ADF maka semakin rendah kandungan energi tercernanya. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ADF adalah selulosa dan lignin. Proses amoniasi di harapakan dapat merenggangkan ikatan antara lignin dengan selulosa ternyata tidak berjalan optimal ketika ampas teh diamoniasi dengan penambahan urea 1,5% sehinga hanya sedikit selulosa yang terlarut, sedangkan pengunaan dosis urea 3% dalam mengamoniasi ampas teh dapat menurunkan kandungan ADF. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 16
  • 17. ISBN 978-602-98295-0-1 Hemiselulosa Hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa perlakuan dosis urea memberikan pengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap kandungan hemiselulosa ampas teh. Hasil analisa laboratorium pada penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan hemiselulosa terendah terdapat pada perlakuan amoniasi 3% (K2) yaitu sebesar 9,42%, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada kontrol (K0) yaitu 14,66%. Rataan hemiselulosa pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada gambar 3 berikut di bawah ini : 16 14,66 Nilai Rataan Hemiselulosa (%) 14 12,73 12 9,42 10 8 6 4 2 0 KONTROL Amoniasi Urea 1,5% Amoniasi Urea 3% Perlakuan Gambar 3. Nilai Rataan Hemiselulosa Ampas Teh Nurcahyani et al (2006), melaporkan nilai hemiselulosa ampas teh yang difermentasi dengan aspergillus niger memiliki nilai 8,70%. Ini berarti proses amoniasi pada penelitian tidak lebih baik karena diduga hemiselulosa terlarut dalam alkali pada proses amoniasi. Hemiselulosa sama dengan selulosa tetapi hanya saja secara parsial dapat dicerna di dalm rumen (Anonim, 2006). Hemiselulosa mudah larut dalam alkali tetapi sukar larut dalam enzim. Enzim hemiselulosa yang dihasilkan oleh mikroorganisme rumen akan menghidrolisa hemiselulosa dengan hasil akhir asam lemak terbang, sehingga hemiselulosa mudah dimanfaatkan oleh mikroorganisme rumen (Tilman et al,. 1983). Selulosa Selulosa merupakan senyawa organik yang terdapat pada dinding sel bersama lignin berperan dalam mengokohkan struktur tumbuhan memiliki sifat struktur kristalin dan amorf serta tahan terhadap hidrolisis. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 17
  • 18. ISBN 978-602-98295-0-1 Hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa perlakuan dosis urea memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap kandungan selulosa ampas teh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan selulosa terendah terdapat pada perlakuan amoniasi dengan konsentrasi 1,5% (K1) yaitu sebesar 12,43%, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan perlakuan amoniasi dengan konsentrasi 3% (K2) yaitu sebesar 33,34%. Nilai rataan selulosa pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada gambar 4 di bawah ini : 40 35 33,34 Nilai Rataan Selulosa (%) 30 25 20 15 13,4 12,43 10 5 0 KONTROL Amoniasi Urea 1,5% Amoniasi Urea 3% Perlakuan Gambar 4. Nilai Rataan Selulosa Ampas Teh Nurcahyani et al (2006), melaporkan nilai selulosa ampas teh yang difermentasi dengan aspergillus niger memiliki nilai 33,54%. Ini berarti proses amoniasi pada penelitian ini lebih baik karena memiliki nilai selulosa yang lebih kecil (33,34%). Selulosa merupakan karbohidrat utama yang disintesis oleh tanaman dan menempati hampir 60% komponen penyusun struktur tanaman (Salma dan Gunarto, 1999). Pada penelitian ini selulosa tertinggi terdapat pada perlakuan amoniasi dengan konsentrasi 3%, sehingga diduga proses amoniasi telah berhasil melepaskan ikatan lignin pada selulosa sehingga nilai selulosa menjadi lebih besar. Lignin Lignin merupakan bagian dinding sel tanaman yang tidak dapat dicerna dan dapat mengurangi kecernaan fraksi tanaman lainnya. Tingginya kadar lingnin secara langsung akan menurunkan daya cerna serat (Van Soest, 1982). Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 18
  • 19. ISBN 978-602-98295-0-1 Hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa perlakuan dosis urea memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap kandungan lignin ampas teh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan lignin terendah terdapat pada perlakuan amoniasi dengan konsentrasi 3% (K2) yaitu sebesar 1,6%, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan amoniasi dengan konsentrasi 1,5% (K1) yaitu sebesar 4,84%. Rataan lignin pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada gambar 5 berikut di bawah ini : 6 4,84 5 Nilai Rataan Lignin (%) 4,06 4 3 2 1,6 1 0 KONTROL Amoniasi Urea 1,5% Amoniasi Urea 3% Perlakuan Gambar 4. Nilai Rataan Lignin Ampas Teh Nurcahyani at al (2006), melaporkan nilai lignin ampas teh yang difermentasi dengan aspergillus niger memiliki nilai 8,41%. Ini berarti proses amoniasi pada penelitian ini lebih baik karena memiliki nilai lignin yang lebih kecil (1,6%). Penurunan kandungan lignin pada perlakuan amoniasi dengan dosis urea 3% telah dapat merenggangkan ikatan lignin karena pada penelitian ini ikatan lignin dipengaruhi oleh amoniasi dengan dosis urea 3%. Lignin adalah penghambat kecernaan dinding sel tanaman, semakin banyak lignin yang terdapat dalam dinding sel maka koefisien cerna hijauan tersebut semakin rendah (Mc Donald et al., 1988). Menurut Tilman et al., (1991) melaporkan bahwa kadar lignin tanaman dapat bertambah seiring dengan bertambahnya umur tanaman sehingga daya cerna semakin rendah dengan bertambahnya lignifikasi. Kandungan lignin dalam bahan pakan mempunyai korelasi negatif dengan kecernaan dinding sel (NDF) dan bahan organik karena lignin tidak dapat didegradasi dalam pencernaan ruminansia (Reeves, 1985). Lignin selain tidak Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 19
  • 20. ISBN 978-602-98295-0-1 dapat dimanfaatkan oleh ternak juga merupakan indeks negatif bagi mutu suatu bahan pakan, karena ikatannya dengan selulosa dan hemiselulosa membatasi kecernaan dan mengurangi energi bagi ternak. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan amoniasi dengan konsentrasi 3% memberikan pengaruh yang sangat baik terhadap kandungan NDF (14,11%), ADF (4,69%), selulosa (33,34%) , dan lignin (1,6%), namun tidak berpengaruh terhadap kandungan hemiselulosa (9,42%). Untuk mengetahui kecernaan ampas teh amoniasi perlu dilakukan uji lanjut kecernaan ampas teh amoniasi secara in-sacco dan in-vivo. DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 1998. Untung rugi menggunakan pakan alternatif. Infovet, Edisi 058, Hal. 20-22. Anonimus. 2008. Metode Pengelolaan Limbah Untuk Pakan Ternak. (Mei 2008). Athoillah. 2006. Kajian Aras Urea dan Lama Peneraman yang Berbeda terhadap Kandungan Protein Kasat, Serat Kasar dan Total Digestible Nutrients Ampas Sagu Amoniasi. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang. Semarang. Bell, B. 1997. Forage and Feed Analysis. Agriculture and Rural Representative. Ontario. Minstry of Agriculture food and Rural Affairs. Chucrh, D.C. 1976. Digestive Physiology. In : Volume I Digestive Physiology and Ruminant. Published by D.C. Church. Distributed by O & B Books, 1215 Kline Place Corvalis. Oregon 97330. USA. Ensminger, M.E., J.E. Olfield and W.W. Hiennemann. 1990. Feed and Nutrition 2nd Ed. The Ensminger Publishing Company. California. Istirahayu, D.N. 1993. Pengaruh Penggunaan Ampas Teh Dalam Ransum Terhadap Persentase Karkas, Giblet, Limpa, dan Lemak Abdominal Broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mc Donalds. 1982. The Biochemistry of Silage. John Wiley and Son. LPD. Chichester. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 20
  • 21. ISBN 978-602-98295-0-1 Nurcahyani et al. 2006. Utilitas Ampas Teh Yang Difermentasi Dengan Aspergillus niger di Dalam Rumen. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro. Semarang. PT. Sinar Sosro. 2003. Sejarah dan Perkembangan Teh Sosro. http://www.sosro.com/sejarah/perkembangan [15 Desember 2004]. Reeves, J.P. 1985. Lignin Composition and In vitro Digestibility of Feed. J. Anim. Sci. 60: 316-322. Tilman, A. D., H. Hatardi., S. Reksihadiprodjo., S. Prawirokusumo dan Lebdososoekodjo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Tilman, A.D., Hartadi, R. Soedomo, P. Soeharto, dan S. Lebdosokorjo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Van Soest, P. J. 1964. Symposium on nutrition and forage and pastures: new chemical procedures for evaluating forages. J. Animal Sci. 23:838. Van Soest, P.J. 1982. Nutritional Ecology of the Ruminant : Ruminant Metabolism, Nutritional Stategies the Cellulolytic Fermentation and the Camisthy of Forages and Palm Fiber. Cornell University O & B Books Inc. USA. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 21
  • 22. ISBN 978-602-98295-0-1 EVALUASI SERANGAN HAMA UTAMA PADA BEBERAPA VARIETAS PADI DI DESA PULUNG KENCANA, KABUPATEN TULANG BAWANG, LAMPUNG Dewi Rumbaina Mustikawati dan Nina Mulyanti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung ABSTRACT Evaluation of the main pests attack in several varieties of rice in Pulung Kencana Village, Tulang Bawang Regency, Lampung. This research aimed at evaluating resistance of several varieties of rice against several pests in Tulang Bawang Lampung. The research was carried out in the land of the irrigation paddy-field to DS 2007 (April-July). Used Randomized block design, 7 treatments of the variety of rice, with 5 replications. The varieties of this rice were: Mekongga, Kalimas, Sintanur, Batang Piaman, Intani II, Bernas Prima, and Silugonggo. Observation of the pest was carried out when the crop was 4 weeks and 8 weeks old after planted. Results of the research showed that during the age crop 4 weeks that attacked was the caseworm (Nymphula depunctalis) revolved between 0 - 2.28%, and the stem borer (Scirpophaga sp.) revolved between 0.34 - 2.47%. When the crop was 8 weeks old, the pest that was found was brown planthopper (Nilaparvata lugens) with the revolving population between 0 – 4.81 the tail. The level of the attack of the three pests in seven varieties of rice that was observed was still being under economic threshold. Key words: Rice, the variety, the pest. PENDAHULUAN Di Indonesia, padi merupakan makanan pokok yang mewarnai perekonomian di pedesaan. Karena posisinya yang sangat strategis dalam ketahanan pangan nasional, kekurangan penyediaan beras akan berdampak secara sosial, ekonomi, dan bahkan politik. Hal ini mendorong pemerintah untuk memberikan prioritas tinggi kepada upaya peningkatan produksi komoditas strategis ini. Akan tetapi laju produksi padi dalam dekade terakhir telah melandai dan bahkan pada tahun-tahun tertentu cenderung menurun. Pelandaian produksi disebabkan antara lain oleh ketidak mampuan varietas unggul yang ada untuk berproduksi lebih tinggi karena sempitnya keragaman genetik yang dimiliki dan adanya serangan hama dan penyakit. Hama dan penyakit padi merupakan salah satu cekaman biotik yang mengurangi potensi hasil sehingga produksi tidak stabil. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 22
  • 23. ISBN 978-602-98295-0-1 Keragaman genetik plasma nutfah tanaman pangan merupakan modal utama untuk pembentukan atau perbaikan varietas unggul yang dikehendaki. Varietas unggul ternyata belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sifat yang selalu berubah seperti sifat ketahanan hama dan penyakit. Tingkat ketahanan varietas tergantung kepada genotype dan stadia pertumbuhan tanaman serta perilaku makan serangga hama (Prasadja, et all., 1993). Saat ini penggunaan varietas tahan hama masih menjadi antisipasi terbaik dalam penanggulangan hama. Varietas tahan hama (VTH) memiliki peranan yang penting dalam pengendalian hama terpadu (PHT), karena tidak hanya mudah diadaptasi petani tetapi secara ekonomis juga dapat mengurangi biaya pengendalian. Disamping itu dari segi ekologi, VTH juga menawarkan berbagai keuntungan seperti: sifatnya yang kumulatif, aditif, kompatibel dengan komponen PHT lainnya dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan (Kogan, 1975 dan Smith, 1989 dalam Mustikawati, 2001). Varietas-varietas unggul padi yang telah dilepas perlu dievaluasi untuk mengetahui responnya terhadap pengaruh biotik seperti ketahanan terhadap hama. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi serangan hama utama pada beberapa varietas padi di Desa Pulung Kencana, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di lahan sawah irigasi pada MK 2007 (April-Juli) di Desa Pulung Kencana, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 7 perlakuan varietas padi, dengan 5 ulangan. Varietas padi yang digunakan adalah: Mekongga, Kalimas, Sintanur, Batang Piaman, Intani II, Bernas Prima, dan Silugonggo. Luas petak penelitian 2,0 m x 3,6 m. Jarak tanam 10 x 20 x 40 cm (jejer legowo 4 : 1). Tanaman dipupuk dengan 250 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl + 2 ton pupuk kandang per hektar. Pengamatan hama dilakukan saat tanaman berumur 4 minggu dan 8 minggu setelah tanam. Parameter yang diamati adalah serangan hama putih (Nymphula Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 23
  • 24. ISBN 978-602-98295-0-1 depunctalis), hama penggerek batang (Scirpophaga sp.), dan wereng coklat (Nilaparvata lugens). HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil pengamatan dapat dilihat dalam Tabel 1. Saat tanaman berumur 4 minggu, hama yang menyerang adalah hama putih (Nymphula depunctalis), dan penggerek batang (Scirpophaga sp.) yang sering disebut sundep. Gejala serangan hama sundep, pucuk tanaman layu, kering berwarna kemerahan dan mudah dicabut. Gejala serangan hama putih terlihat pada daun berwarna putih, jaringan daun dimakan ulat dan yang tertinggal hanya epidermisnya. Serangan hama putih berkisar antara 0 – 2,28%. Serangan hama putih tertinggi pada varietas Silugonggo (2,28%), kemudian pada varietas Kalimas (2,18%), Intani II (1,93%), dan Bernas Prima (1,82%) yang antar semuanya tidak berbeda nyata kecuali dengan varietas Batang Piaman, Sintanur dan Mekongga. Sedangkan pada varietas Mekongga dan Sintanur tidak ada serangan hama putih. Serangan penggerek batang berkisar antara 0,34 - 2,47%. Serangan penggerek batang yang tertinggi pada varietas Bernas Prima (2,47%) dan yang terendah pada varietas Sintanur (0,34%). Bernas Prima berbeda nyata dengan varietas lainnya kecuali dengan Kalimas (1,74%). Varietas Kalimas tidak berbeda nyata dengan Mekongga (1,28%) dan Intani II (1,18%), sedangkan dengan Silugonggo (0,55%), Batang Piaman (0,58%) dan Sintanur (0,34%) berbeda nyata. Saat tanaman berumur 8 minggu, hama yang ditemukan adalah wereng coklat. Populasi wereng coklat yang menyerang berkisar antara 0 – 4,81 ekor. Populasi wereng coklat yang tertinggi pada varietas Kalimas berbeda nyata dengan varietas lainnya. Sedangkan varietas lainnya satu sama lain tidak berbeda nyata. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 24
  • 25. ISBN 978-602-98295-0-1 Tabel 1. Keragaan serangan hama pada beberapa varietas padi. Varietas Serangan Hama Serangan Populasi Wereng putih Penggerek Coklat (ekor) (%) Batang (%) 1. Mekongga 0,00 c 1,28 bc 0,27 b 2. Kalimas 2,18 a 1,74 ab 4,81 a 3. Sintanur 0,00 c 0,34 d 0,09 b 4. Batang 1,10 b 0,58 cd 0,81 b Piaman 1,93 a 1,18 bc 0,00 b 5. Intani II 1,82 a 2,47 a 0,30 b 6. Bernas 2,28 a 0,55 cd 0,00 b Prima 7. Silugonggo KK (%) 17,41 48,21 45,99 Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT. Tingkat serangan ketiga hama tersebut semuanya masih dibawah ambang ekonomi. Tingkat ambang ekonomi hama putih (Nymphula depunctalis) adalah lebih dari 25 % daun rusak atau 10 daun rusak per rumpun (Anonimous, 2003). Ambang ekonomi penggerek batang adalah 10% rumpun terserang atau 4 kelompok telur per rumpun (pada fase bunting). Ambang ekonomi wereng coklat adalah 5 ekor pada saat tanaman berumur dibawah 40 HST, atau lebih dari 20 ekor pada saat tanaman berumur diatas 40 HST (Anonimous, 2007). Beberapa varietas padi yang diamati memang memiliki sifat antara lain tahan terhadap wereng coklat, seperti varietas Mekongga agak tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan3, varietas Kalimas agak tahan terhadap wereng coklat biotipe 3, sedangkan varietas Sintanur dan Silugonggo tahan tahan terhadap wereng coklat biotipe 1 dan 2 (Suprihatno, et all., 2006). KESIMPULAN Saat tanaman umur 4 minggu hama yang menyerang adalah hama putih (Nymphula depunctalis) berkisar antara 0 – 2,28%, dan penggerek batang (Scirpophaga sp.) berkisar antara 0,34 – 2,47%. Saat tanaman berumur 8 minggu, Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 25
  • 26. ISBN 978-602-98295-0-1 hama yang ditemukan adalah wereng coklat (Nilaparvata lugens) dengan populasi berkisar antara 0 – 4,81 ekor. Tingkat serangan ketiga hama tersebut pada tujuh varietas padi yang diamati masih dibawah ambang ekonomi. DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2003. Buku Saku Masalah lapang, hama penyakit hara pada padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Anonimous. 2007. Pedoman Umum. Produksi Benih Sumber Padi. Badan Litbang Pertanian. 37 hal. Mustikawati, D. R. 2001. Stabilitas Ketahanan Beberapa Galur Kedelai Terhadap Srangan Hama. Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 7(1). Hal: 87-92. Prasadja, I., Bahagiawati A.H., dan Toto Djuwarso. 1993. Pengendalian hama tanaman pangan dengan varietas tahan. Pemantapan Penelitian Hama Tanaman Pangan. Hal: 57 – 67. Risalah Lokakarya. Balittan Sukarami, 4-7 Maret 1993. Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Baehaki, N. Widiarta, A. Setyono, S.D. Indrasari, O.S. Lesmana dan H. Sembiring. 2006. Deskripsi Varietas Padi. Badan Litbang Pertanian. Balitpa. 78 hal. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 26
  • 27. ISBN 978-602-98295-0-1 TINGKAT STRES DAN KELANGSUNGAN HIDUPPASCALARVA UDANG VANAME(LITOPENAEUS VANNAMEI) SELAMA MASA PENURUNAN SALINITAS RENDAH DENGAN PENAMBAHAN NATRIUM DAN KALIUM (STRESS LEVELS AND SURVIVAL RATE OF WHITE SHRIMP PASCALARVAE (LITOPENAEUS VANNAMEI) DURING OF LOWERING SALINITY WITH ADDITION OF SODIUM AND POTASSIUM) Ferdinand Hukama Taqwa, D. Jubaedah, M. Syaifudin, O.Saputra Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya ABSTRACT The purpose of this research was to know the best ratio of sodium and potassium ions in low salinity (0,5 ppt) which can lowering stress levels and maintain survival rate of white shrimp pascalarvae during acclimatization of lowering salinity with addition of sodium and potassium ions in fresh water to mix with sea water 20 ppt. The research has been done in August 2010 at Fishery‟s Laboratory Aquaculture Program, Agricultural Faculty, Sriwijaya University, Indralaya. This research was arranged in a Factorial Completely Randomized Design (3 levels of sodium and potassium addition, each 25, 50 and 75 ppm) with 9 treatments; A (25 ppm Na+ : 25 ppm K+), B (25 ppm Na+ : 50 ppm K+), C (25 ppm Na+ : 75 ppm K+), D (50 ppm Na+ : 25 ppm K+), E (50 ppm Na+ : 50 ppm K+), F (50 ppm Na+ : 75 ppm K+), G (75 ppm Na+ : 25 ppm K+), H (75 ppm Na+ : 50 ppm K+), I (75 ppm Na+ : 75 ppm K+) and 3 replication. The results of this research showed that addition of sodium 75 ppm and potassium 50 ppm (treatment H) in fresh water to lowering salinity during acclimatization of 96 hours (4 days) can lowering stress levels (blood glucose level 158,08 mg /dl and the level of oxygen consumption 0,45 mg O2/g/h). So it can maintain optimum survival rate of white shrimp pascalarvae. Water quality during acclimatization (temperature 26 – 29oC, pH 7,3 – 7,6, dissolved oxygen 5,44 – 7,48 mg/l, ammonia 0,176 – 0,252 mg/l) stilled in range appropriate to survival rate of white shrimp pascalarvae. Keyword : ions addition, stress, survival rate, sodium, potassium, acclimatization, low salinity, white shrimp pascalarvae PENDAHULUAN Pemerintah secara resmi melepas udang vaname sebagai varietas unggul pada tanggal 12 Juli 2001 melalui SK Menteri KP No. 41/2001 setelah melalui serangkaian penelitian dan kajian (Haliman dan Adijaya, 2007). Udang vaname dapat hidup pada kisaran salinitas lebar (euryhaline), akan tetapi apabila tidak ada masa aklimatisasi maka kelangsungan hidup yang dihasilkan akan rendah. Hana Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 27
  • 28. ISBN 978-602-98295-0-1 (2007), menyatakan bahwa kelangsungan hidup yang dihasilkan selama aklimatisasi 96 jam hanya mencapai 48,33% tanpa adanya penambahan ion. Provinsi Sumatera Selatan mempunyai potensi yang baik untuk budidaya udang vaname, akan tetapi di beberapa daerah yang jauh dari laut mempunyai salinitas perairan rendah. Upaya yang harus dilakukan supaya budidaya udang vaname dapat dilakukan di Sumatera Selatan adalah dengan menggunakan bibit udang vaname yang siap tebar dan tahan terhadap salinitas rendah. Maka dari itu, dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu guna menekan mortalitas sehingga kelangsungan hidup yang didapat relatif tinggi. Hasil penelitian Taqwa et al., (2008) menunjukkan bahwa penambahan mineral kalium sebanyak 25 ppm selama aklimatisasi penurunan salinitas untuk pascalarva udang vaname hingga 2 ppt selama 96 jam menghasilkan kelangsungan hidup hingga 97%. Metode aklimatisasi lain yang dapat dilakukan yaitu berupa rasio penambahan natrium dan kalium selama masa penurunan salinitas. Penambahan kedua mineral tersebut akan mempengaruhi aktifitas enzim Na +K+ATPase dan mekanisme osmoregulasi udang yang semakin meningkat dengan adanya fluktuasi salinitas, sehingga akan menghasilkan benih yang lebih tahan terhadap salinitas yang lebih rendah. Penambahan mineral kalium sebanyak 25 ppm selama aklimatisasi penurunan salinitas untuk pascalarva udang vaname hingga 2 ppt selama 96 jam dapat menurunkan tingkat stres (Taqwa et al., 2008). Namun penambahan kalium yang bersamaan dengan natrium perlu diteliti lebih lanjut guna mengetahui efek terhadap penurunan tingkat stres pada media bersalinitas rendah sehingga dapat mempertahankan kelangsungan hidup udang vaname. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan rasio penambahan ion natrium dan kalium terbaik di media bersalinitas rendah yang dapat menurunkan tingkat stres dan mempertahankan kelangsungan hidup pascalarva udang vaname selama masa aklimatisasi penurunan salinitas dari 20 ppt hingga 0,5 ppt. BAHAN DAN METODE Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Budidaya Perairan, Universitas Sriwijaya, Indralaya. Bahan dan alat yang digunakan meliputi PL 15 udang vaname, pakan alami Artemia salina, pellet udang komersil (crumble), air laut 20 ppt, air tawar, natrium karbonat (Na2CO3), dan kalium karbonat (K2CO3). Wadah berupa 27 unit akuarium berukuran 50 x 40 x 35 cm yang dilengkapi Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 28
  • 29. ISBN 978-602-98295-0-1 sistem pengaturan penurunan salinitas, suhu dan oksigen. Penelitan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan 3 taraf perlakuan penambahan ion natrium (25, 50 dan 75 ppm) dan 3 taraf penambahan ion kalium (25, 50 dan 75 ppm) ke air tawar pengencer, dengan ulangan unit perlakuan sebanyak 3 kali. Skema instalasi pengenceran salinitas selengkapnya disajikan pada Gambar 1. Pelaksanaan penelitian dimulai dari adaptasi awal berupa pemeliharaan PL10 hingga PL15 udang vaname di laboratorium. Tahap berikutnya merupakan inti penelitian yaitu saat PL15 hingga PL19, hewan uji diaklimatisasikan ke media pemeliharaan melalui pengenceran secara gradual dan kontinyu dari salinitas 25 ppt hingga 0,5 ppt selama 4 hari (96 jam) dengan air tawar yang telah ditambah natrium dan kalium sesuai taraf yang diterapkan. Parameter penelitian yang diamati meliputi kelangsungan hidup pascalarva, kadar glukosa darah, tingkat konsumsi oksigen dan fisika kimia media aklimatisasi. Data kelangsungan hidup dan kadar glukosa darah pascalarva udang vaname diuji statistik dengan analisis ragam dan apabila terdapat perbedaan yang nyata antar nilai tengah maka diuji lanjut Duncan pada taraf 95%, sedangkan data tingkat konsumsi oksigen dan fisika kimia air dianalisis secara deskriptif. Gambar 1. Perangkat aklimatisasi penurunan salinitas dengan penambahan Na2CO3 dan K2CO3 pada air tawar pengencer Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 29
  • 30. ISBN 978-602-98295-0-1 HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup pascalarva udang vaname pada setiap perlakuan dengan rasio penambahan Na+ dan K+ selama 96 jam disajikan pada Tabel 1. Kelangsungan hidup PL19 udang vaname setelah proses aklimatisasi ke media air bersalinitas 0,5 ppt masih dalam kisaran yang tinggi. Rata-rata nilai kelangsungan hidup tertinggi pada perlakuan C yaitu 98,67% sedangkan terendah pada perlakuan perlakuan D, F dan I yaitu sebesar 96,67%. Pada penelitian ini nilai kelangsungan hidup yang diperoleh selama 96 jam masa aklimatisasi dengan penambahan natrium dan kalium dari salinitas 20 ppt menjadi 0,5 ppt lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Hana (2007), yang hanya mencapai 48,33% tanpa adanya penambahan ion apapun selama masa aklimatisasi 96 jam. Sedangkan penambahan mineral kalium sebanyak 25 ppm selama aklimatisasi penurunan salinitas untuk pascalarva udang vaname hingga 2 ppt selama 96 jam pada percobaan Taqwa et al., (2008) menghasilkan kelangsungan hidup 97%. Berdasarkan analisis ragam data kelangsungan hidup menunjukkan bahwa diantara perlakuan dengan rasio penambahan Na + dan K+ yang berbeda tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup PL19 udang vaname. Tabel 1. Rerata kelangsungan hidup pascalarva udang vaname pada setiap perlakuan dengan penambahan rasio Na+ dan K+ selama 96 jam Perlakuan Rerata Kelangsungan (rasio penambahan Na+ : K+) (ppm) Hidup (%) A (25 : 25) 98,33a B (25 : 50) 97,67 a C (25 : 75) 98,67 a D (50 : 25) 96,67 a E (50 : 50) 97,67 a F (50 : 75) 96,67 a G (75 : 25) 97,33 a H (75 : 50) 98,00 a I (75 : 75) 96,67 a Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak terdapat pengaruh yang nyata pada selang kepercayaan 95% Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 30
  • 31. ISBN 978-602-98295-0-1 Burton (1995) dan Pillard et al., (2002) dalam Tantulo dan Fotedar (2006) menyatakan bahwa aktifitas Na+K+ATPase bertanggung jawab menjaga gradien Na+ interseluler dan kestabilan membran sel. Nilai rasio Na+/K+ dalam media air sangat mempengaruhi proses fisiologis udang vaname, hal tersebut dikarenakan kandungan mineral natrium dan kalium dalam air tawar sangat rendah, sedangkan pada air laut sangat tinggi. Dersjant-Li et al (2001), menyatakan nilai rasio Na+/K+ yang terkandung di air berhubungan dengan energi yang dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan antara natrium dan kalium yang sesuai di cairan intraseluler dan ekstraseluler, agar proses fisiologis dapat berjalan dengan baik. Zhu et al (2006), menambahkan bahwa rasio optimum Na+/K+ media 30 ppt antara 34,1 hingga 119,3 dapat meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Komposisi ion dalam media pemeliharaan merupakan faktor yang sangat menentukan kehidupan udang. Kisaran rasio Na+/K+ yang rendah (2,89 – 7,11) pada penelitian ini disebabkan karena perbedaan media yang digunakan dimana dalam penelitian ini menggunakan pengenceran air laut dengan air tawar, sedangkan yang sering digunakan dalam penelitian lain berupa air laut buatan (artificial sea water) dan air tawar bersalinitas rendah dengan penambahan garam krosok sehingga terdapat perbedaan kandungan natrium dan kalium dalam masing-masing media. Kandungan natrium dan kalium dalam media air dapat meminimalkan energi yang dikeluarkan untuk mengatur kosentrasi natrium dan kalium dalam hemolim sehingga dapat meningkatkan kelangsungan hidup pascalarva udang vaname sebesar 96,67 – 98,67%. B. Kadar Glukosa Darah Kadar glukosa darah pascalarva udang vaname pada akhir aklimatisasi disajikan dalam Tabel 2. Kadar glukosa darah tertinggi setelah masa aklimatisasi 96 jam dengan rasio penambahan natrium dan kalium yang berbeda pada akhir pengamatan ditemukan pada perlakuan I sebesar 182,35 mg/dl dan terendah pada perlakuan H yaitu 158,08 mg/dl. Berdasarkan analisa ragam data kadar glukosa darah terlihat bahwa dengan rasio penambahan kalium pada media bersalinitas rendah memberikan pengaruh nyata pada kadar glukosa darah PL 19 udang vaname. Berdasarkan uji pengaruh tunggal faktor kalium bahwa dengan penambahan kalium sebesar 50 ppm dapat mengurangi tingkat stres pascalarva udang vaname Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 31
  • 32. ISBN 978-602-98295-0-1 yang paling baik, sehingga perlakuan H merupakan rasio penambahan natrium dan kalium yang terbaik untuk menurunkan tingkat stres pascalarva udang vaname. Sebaliknya, pada perlakuan I sebesar 182,35 mg/dl berbeda nyata lebih tinggi dari masing-masing perlakuan. Tabel 2. Nilai kadar glukosa darah pascalarva udang vaname pada akhir aklimatisasi Perlakuan Kadar Glukosa Darah (rasio penambahan Na+ : K+) (ppm) (mg/dl) H (75 : 50) 158,08 a E (50 : 50) 160,83 ab B (25 : 50) 161,08 ab F (50 : 75) 164,60 abc G (75 : 25) 166,86 abcd D (50 : 25) 170,21 abcd A (25 : 25) 176,44 bcd C (25 : 75) 179,00 cd I (75 : 75) 182,35 d Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan adanya pengaruh yang nyata pada selang kepercayaan 95% Pada awal pemeliharaan rata-rata kadar glukosa darah PL15 udang vaname adalah 132,28 mg/dl. Terdapat kenaikan kadar glukosa darah selama masa aklimatisasi 96 jam. Diduga PL19 udang vaname mengalami stres ketika masa aklimatisasi dari 20 ppt hingga 0,5 ppt. Ketika pascalarva udang vaname mengalami perubahan salinitas maka tubuh akan merespon dengan cara mensekresikan hormon kortisol dan katekolamin yang mengontrol tubuh untuk mengatasi stres (Barthon et al., 1980). Pada golongan udang jika kadar glukosa hemolim melebihi 150 mg/dl mengindikasikan udang tersebut stres dan membutuhkan sumber energi yang lebih tinggi untuk proses moulting maupun mekanisme dalam mempertahankan glukosa dalam hemolim (Cuzon et al., 2004). Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 32
  • 33. ISBN 978-602-98295-0-1 C. Tingkat Konsumsi Oksigen Tingkat konsumsi oksigen juga merupakan salah satu indikator stres. Nilai tingkat konsumsi oksigen disajikan dalam Tabel 3. Tingkat konsumsi oksigen dipengaruhi oleh jumlah oksigen terlarut dalam air. Salah satu yang mempengaruhi oksigen terlarut adalah salinitas, semakin tinggi salinitas maka oksigen terlarut semakin rendah. Tingkat konsumsi oksigen yang tergolong tinggi terdapat pada perlakuan A, B, C (0,55 - 0,57 mg O2/g/jam), tergolong sedang adalah perlakuan D, E, F (0,51 - 0,53 mg O2/g/jam), tergolong rendah pada perlakuan G, H, I (0,43 - 0,47 mg O2/g/jam). Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi penambahan kalium pada taraf penambahan natrium yang sama maka akan cendrung menurunkan tingkat konsumsi oksigen. Tabel 3. Tingkat konsumsi oksigen selama masa aklimatisasi Perlakuan Tingkat Konsumsi Oksigen (rasio penambahan Na+ : K+) (ppm) (mg O2/g/jam) A (25 : 25) 0,57 B (25 : 50) 0,54 C (25 : 75) 0,55 D (50 : 25) 0,53 E (50 : 50) 0,51 F (50 : 75) 0,52 G (75 : 25) 0,47 H (75 : 50) 0,45 I (75 : 75) 0,43 Tingkat konsumsi oksigen dapat digunakan untuk mengetahui laju metabolisme udang. Mantel dan Farmer (1983) menyatakan bahwa proses penyerapan oksigen dari media ke dalam tubuh udang dipengaruhi antara lain oleh salinitas. Penurunan salinitas secara bertahap dapat menstabilkan kandungan oksigen terlarut dalam air. Hal tersebut didukung oleh Vernberg (1983) dalam Hukom (2007), apabila salinitas diturunkan secara bertahap maka tingkat konsumsi oksigen akan naik pada 2-3 jam pertama, lalu kemudian akan turun kembali pada saat biota akuatik sudah dapat beradaptasi. D. Kualitas Air Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 33
  • 34. ISBN 978-602-98295-0-1 Data hasil pengukuran parameter fisika kimia media aklimatisasi untuk setiap perlakuan disajikan pada Tabel 4. Suhu selama masa aklimatisasi bekisar 26–29oC. Wardoyo (1997) menyatakan bahwa suhu air optimal bagi perkembangan hidup udang vaname adalah berkisar dari 25-30oC. Pada kisaran suhu tersebut oksigen tergolong tinggi sehingga nafsu makan udang tinggi. Hal tersebut dapat terlihat dari pengamatan selama masa aklimatisasi udang vaname aktif dalam merespon makanan yang diberikan. Derajat keasaman (pH) selama aklimatisasi masih dalam kisaran toleransi untuk kehidupan pascalarva udang vaname yaitu 7,3-7,6. Nilai pH yang ideal untuk udang berkisar dari 6,8–9, sedangkan pH air dengan kisaran antara 4,5–6 dan 9,8–11 dapat menyebabkan terganggunya metabolisme udang (Wardoyo, 1997). Tabel 4. Data kisaran fisika kimia air selama masa aklimatisasi Perlakuan Parameter (rasio K+ penambaha Suhu Salinitas pH DO Amonia Na+ (ppm n Na+ : K+) (oC) (ppt) (unit) (mg/l) (mg/l) (ppm) ) (ppm) 7,3- 5,52- A (25 : 25) 26-29 0,5-20 0,176-0,144 144,75 24,59 7,6 7,48 7,4- 5,36- B (25 : 50) 26-30 0,5-20 0,176-0,228 138,66 37,99 7,6 7,35 7,3- 5,08- C (25 : 75) 26-30 0,5-20 0,176-0,132 179,10 49,37 7,6 7,35 7,3- 5,23- D (50 : 25) 26-29 0,5-20 0,176-0,242 156,93 23,56 7,6 7,48 7,3- 5,32- E (50 : 50) 26-29 0,5-20 0,176-0,204 156,54 39,75 7,6 7,44 7,4- 5,36- F (50 : 75) 26-30 0,5-20 0,176-0,182 153,69 53,20 7,6 7,54 7,3- 5,31- G (75 : 25) 26-30 0,5-20 0,176-0,156 168,47 23,71 7,6 7,40 7,3- 5,44- H (75 : 50) 26-29 0,5-20 0,176-0,252 199,57 38,61 7,6 7,48 7,3- 5,63- I (75 : 75) 26-29 0,5-20 0,176-0,216 176,50 49,34 7,6 7,46 Oksigen terlarut pada masa aklimatisasi yaitu 5,08–7,35 mg/l. Raharjo et al., (2003) menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut pada tambak yang baik untuk budidaya udang vaname adalah 3,5–7,5 mg/l. Pada saat masa Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 34
  • 35. ISBN 978-602-98295-0-1 aklimatisasi menggunakan instalasi aerasi, sehingga kadar oksigen terlarut selalu berada pada kondisi optimum. Kadar amonia yang diperoleh selama masa aklimatisasi 96 jam berkisar antara 0,176-0,252 mg/l. Kisaran amonia tersebut tergolong cukup tinggi, namun masih dalam batas toleransi bagi kehidupan udang vaname karena ditunjang oleh nilai pH yang berada pada kisaran toleransi. Buwono (1993) dalam Suwoyo (2009) menyatakan bahwa kadar amonia yang tinggi akan bersifat racun apabila pH air tinggi. Menurut Wardoyo dan Djokosetiyanto (1988) dalam Hana (2007) bahwa kandungan amonia yang aman bagi udang yaitu kurang dari 0,5 mg/l. Kadar ion natrium pada media aklimatisasi 0,5 ppt adalah antara 138,66– 199,57 ppm, sedangkan kadar ion kalium berkisar antara 23,56–53,20 ppm. Kisaran ion natrium dan kalium dalam media walaupun dalam kisaran yang rendah, namun telah dapat menurunkan tingkat stres pascalarva udang vaname sehingga dapat mempertahankan kelangsungan hidup PL 19 udang vaname. Menurut Effendi (2003), bahwa kandungan natrium pada air tawar sebesar 2–100 ppm sedangkan kalium sebesar 0,2–10 ppm. KESIMPULAN Kesimpulan yang diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Rasio penambahan natrium dan kalium pada air tawar pengencer selama masa aklimatisasi 96 jam tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup pascalarva udang vaname. 2. Kadar glukosa darah pada PL19 udang vaname lebih banyak dipengaruhi faktor tunggal dari kalium. Penambahan sebanyak 50 ppm ion kalium adalah terbaik untuk menurunkan tingkat stres. 3. Penambahan natrium sebesar 75 ppm dan kalium 50 ppm pada air tawar pengencer selama masa aklimatisasi 96 jam dapat menurunkan tingkat stres dan mempertahankan kelangsungan hidup pascalarva udang vaname yang terbaik. DAFTAR PUSTAKA Barthon, B.S., R.E. Peter and C.R. Paulencu. 1980. Plasma cortisol levels of fingerIing rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) at rest and subjected to handling, confinement, transport, and stocking. Can. 1. Fish. Aquat. Sci., 37:805 - 811. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 35
  • 36. ISBN 978-602-98295-0-1 Cuzon, G., A. Lawrence, G. Gaxiol, C. Rosa and J. Guillaume. 2004. Nutrition of Litopenaeus vannamei reared in tanks or in ponds. Aquaculture 235:513- 551. Dersjant-Li, Wu., S., M.W.A. Verstegen, J.W. Schrama, J.A.J Verreth. 2001. The impact of changing dietary Na/K ratios on growth and nutrient utilisation in juvenile African catfish, Clarias gariepinus. Aquaculture 198:293–305. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Jurusan MSP FKIP IPB. Bogor. Haliman, R. W., dan D. Adijaya S. 2007. Udang Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarta. Hana, G. C. 2007. Respon udang vaname (Litopenaeus vanname) terhadap media bersalinitas rendah. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. Hukom, V. 2007. Pengaruh salinitas dan kesadahan terhadap tingkat kelangsungan hidup, tingkat konsumsi oksigen dan osmolaritas udang vaname (Litopenaeus vannamei). Skripsi. Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mantel, L.H. and L.L. Farmer. 1983. Osmotic and ionic regulation. In:Mantel, L.H. (Ed.), The Biology of Crustacea, Volume 5, Internal Anatomy and Physiological Regulation. Academic Press, New York, USA. pp 54–162. Raharjo, S., P. Sukitno E. Subiyanto, D. Adiwijaya, dan SUBDIT. 2003. Budidaya udang vaname (Litopenaeus vanamei) sistem resirkulasi tertutup. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Direktorat Pembudidayaan. Jakarta. Suwoyo, H.S. 2009. Tingkat konsumsi oksigen sedimen pada dasar tambak intensif udang vaname (Litopenaeus vannamei). Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tantulo, U and R. Fotedar. 2006. Comparison of growth, osmoregulatory capacity, ionic regulation and organosiomatic indices of lack tiger prawn (Penaeus monodon Fabricus, 1798) juveniles reared in potassium fortified inland saline water and ocean water at different salinities. Aquaculture 258:594- 605. Taqwa, F.H., D. Djokosetiyanto, R. Affandi. 2008. Pengaruh penambahan kalium pada masa adaptasi penurunan salinitas terhadap performa pascalarva udang vaname (Litopenaeus vannamei). Jurnal Riset Akuakultur. Vol.3 ISSN 1907-6754. Wardoyo, S.T.H. 1997. Pengelolaan Kualitas Air Tambak Udang. Makalah pada Pelatihan Manajemen Tambak Udang dan Hatchery. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Zhu, C., S. Dong, F. Wang, H. Zhang. 2006. Effects of seawater potassium concentration on the dietary potassium requirement of Litopenaeus vannamei. Aquaculture 258:543-550. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 36
  • 37. ISBN 978-602-98295-0-1 PERBEDAAN TEKNIK PENGGILINGAN PADI TERHADAP KARAKTERISTIK MUTU BERAS (Studi Kasus di Provinsi Jawa Timur) Jumali, I.P Wardana dan Ade Ruskandar Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi Jl. Raya IX, Sukamandi Subang, Jawa Barat ABSTRAK Perbedaan Teknik Penggilingan Padi Terhadap Karakteristik Mutu Beras (Studi Kasus di Provinsi Jawa Timur). Jumali, I.P.Wardana dan Ade Ruskandar.Penelitian bertujuan untuk mempelajari keragaman teknik penggilingan padi terhadap karakteristik mutu beras . Penelitian dilaksanakan dengan cara survei dan diikuti oleh pengambilan contoh beras. Survei dengan mewawancarai responden yang mewakili responden penggilingan sekaligus pedagang beras di Kabupaten Kediri, Lamongan dan Bangkalan Propinsi Jawa Timur. Beras kemudian dianalisa mutunya di laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden (> 90%) mengeringkan gabah basah dengan cara dijemur, hanya 10% (di Kediri) yang menggunakan mesin pengering (box dryer). Tebal hamparan gabah pada lantai jemur antara 5 – 7 cm, sedangkan pada mesin pengering sekitar 40 – 50 cm. Kadar air gabah kering giling yang dihasilkan pada kedua cara pengeringan tersebut kurang dari 14% aman untuk disimpan dalam jangka waktu 1 tahun. Semua responden penggilingan padi di Lamongan dan Kediri menggunakan teknik penggilingan multiple phase, sedangkan di Bangkalan hampir semua penggilingan padi menggunakan teknik penggilingan single phase. Jenis beras yang ada di penggilingan padi di tiga kabupaten relatif sama, yaitu beras berukuran panjang dan berbentuk ramping dengan tingkat kepulenen sedang hingga pulen. Jenis beras yang dimaksud adalah IR64 dan Ciherang. Khusus di Kabupaten Bangkalan, beras dengan tekstur nasi pera (IR36) masih cukup banyak ditemukan. Rata-rata kadar beras kepala contoh beras di tingkat penggilingan padi di Kabupaten Lamongan, Kediri dan Bangkalan berturut-turut sebesar 81,6%; 76,8%; dan 65,3%, sedangkan rata-rata kadar beras patah dilokasi yang sama berturut-turut 17,3%; 20,4% dan 30,2%. Penggunaan mesin penggilingan padi satu tingkat (single phase) di Bangkalan menyebabkan beras giling yang dihasilkan berkadar butir patah relatif lebih tinggi. Beras giling yang dijual di pasar tradisional dan pasar swalayan di Bangkalan sebagian besar berasal dari P. Jawa. Hal ini menyebabkan mutu beras di tingkat pedagang di tiga lokasi penelitian relatif sama. Rata-rata kadar amilosa beras giling yang diperoleh dari penggilingan padi di Lamongan, Kediri, dan Bangkalan berturut-turut sebesar 22,1%; 21,1% dan 26,1%. Rata-rata kadar protein contoh beras giling dari responden penggilingan padi di ketiga lokasi penelitian berkisar antara 8,1% - 8,9%. Sementara itu nilai konsistensi gel beras giling yang dihasilkan oleh responden penggilingan padi berkisar antara 57 mm – 61 mm. Kata kunci :Penggilingan padi, karakteristik mutu beras Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 37
  • 38. ISBN 978-602-98295-0-1 PENDAHULUAN Usaha peningkatan produksi padi secara berkelanjutan oleh petani di daerah melalui program pengelolaan usaha tani padi terpadu dan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), Beberapa hal penting yang dapat ditempuh diantaranya produksi gabah dan beras bermutu tinggi, perluasan areal tanam, peningkatan pendapatan petani, perluasan lapangan kerja dan lain sebagainya (Djamaluddin, dkk. 1999). Berkembangnya suatu varietas padi di suatu wilayah dipengaruhi oleh ciri dan karakteristik agroekosistem, kesesuaian hasil, rendemen giling gabah, preferensi petani, minat pedagang maupun konsumen (Sumarno, 1999). Hasil penelitian di propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah (Wibowo, dkk. 2004) menunjukkan bahwa penggilingan padi dan pedagang beras memiliki preferensi terhadap karakter fisik dan jenis beras yang sama, yaitu beras berukuran panjang, ramping yang identik dengan jenis IR-64. Konsumen dengan tingkat sosial ekonomi tinggi menyukai beras berbentuk ramping maupun yang berbentuk agak bulat, Beras lokal umumnya berbentuk agak bulat dan kualitasnya bagus meskipun harganya relatif mahal, Dilihat dari karakter fisikokimianya, beras yang ada dan disukai oleh konsumen di dua propinsi tersebut tidak berbeda. Semua konsumen menghendaki beras pulen dengan tekstur nasi sedang, berdasarkan kelas mutu, beras yang paling banyak dikonsumsi di kedua propinsi ini ternyata termasuk dalam golongan kelas mutu IV menurut standar beras giling Standar Nasional Indonesia (SNI) (Wibowo et al, 2004). Di Indonesia, standar mutu beras giling dicantumkan dalam SNI, No, 01- 6128-1999. Standar mutu tersebut dimaksudkan untuk acuan dalam perdagangan dan pengadaan beras di dalam negeri. Manfaat lain dari dari standar mutu beras adalah digunakan sebagai pembinaan perbaikan mutu beras di tingkat petani dan tingkat penggilingan. Namun kenyataannya standar tersebut belum berlaku efektif, Masyarakat belum menyadari pentingnya standar mutu beras. Mutu beras umumnya masih ditentukan berdasarkan sifat fisik ataupun penampilan beras. Ditinjau dari aspek mutu, ternyata pemberlakuan standar atau kelas mutu khususnya beras di pasaran masih belum dapat diterapkan mengingat masih banyak kendala mulai dari tingkat pra panen, pasca panen, penggilingan padi, Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 38
  • 39. ISBN 978-602-98295-0-1 penentuan kelas mutu serta sertifikasi mutu oleh lembaga yang berwenang. Faktor sosial ekonomi masyarakat dan pemahaman tentang standar mutu beras itu sendiri diduga juga merupakan faktor yang menghambat penerapan standar secara permanen di tingkat pasar maupun konsumen. Gabah bermutu baik dihasilkan melalui penerapan teknologi yang tepat mulai dari tahap budidaya, penanganan pasca panen dan pengolahan . Gabah yang bermutu baik menghasilkan beras dengan rendemen giling tinggi dan mutu beras yang baik pula, Peningkatan mutu beras juga akan meningkatkan nilai jual (Suherman, 1999). Mutu beras mencakup karakter mutu fisik, mutu tanak dan mutu fisikokimia. Sifat mutu fisik mencakup bentuk dan ukuran, derajat sosoh/tingkat keputihan, persentase beras kepala, pecah dan menir, butir kuning, rusak dan kapur serta kebersihan beras. Sifat mutu tanak dipengaruhi oleh sifat penyerapan dan pemanjangan biji serta organoleptik, Sedangkan sifat mutu fisikokimia ditentukan oleh kadar amilosa, protein, suhu gelatinisasi dan konsistensi gel (Juliano, 1974). Di tingkat pasar, kriteria mutu yang dimaksud adalah lebih sederhana, Komponen mutu tersebut antara lain (1) kadar air beras, (2) persentase beras kepala, pecah dan menir, (3) persentase kotoran/benda asing dan (4) rasa nasi/kepulenan (Suherman, 2001). Konsumen beras pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu kelompok bawah, sedang/menengah dan atas. Masing-masing kelompok konsumen tersebut memiliki preferensi sendiri-sendiri dalam memilih mutu beras. Untuk kelompok bawah mutu beras tidak menjadi masalah asal harganya cukup murah. Kelompok menengah merupakan konsumen yang cukup besar menghendaki mutu beras yang memperhatikan kenampakan putih, persen butir kepala tinggi, rasa nasi pulen dan harganya terjangkau. Konsumen beras termasuk kelompok atas menghendaki persen beras kepala 100%, kenampakan putih bersih, mengkilat, rasa nasi pulen serta beraroma wangi, sedangkan harga tidak menjadi masalah. Tujuan penelitian adalah mempelajari perbedaan teknik penggilingan padi terhadap karakteristik mutu beras di tingkat penggilingan di Propinsi Jawa Timur. Penelitian juga mempelajari kontribusi komponen mutu beras terhadap harga jual beras Lokasi penelitian di Propinsi Jawa Timur karena merupakan salah satu Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 39
  • 40. ISBN 978-602-98295-0-1 sentra produksi beras nasional, disamping itu propinsi ini sebagai pusat industri dan perdagangan khususnya untuk Indonesia Bagian Timur. BAHAN DAN METODE Contoh beras diperoleh dari 20 penggilingan padi yang ada di Provinsi Jawa Timur, masing-masing Kediri, Lamongan dan Bangkalan pada bulan September 2005. Penggilingan yang dipilih adalah yang melaksanakan transaksi penjualan bukan penjual jasa penggilingan. Pengambilan contoh disertai dengan wawancara untuk mendapatkan informasi tambahan yang dianggap relevan dengan tujuan penelitian. Kadar air, derajat sosoh, persentase beras kepala, beras pecah, menir, butir merah, butir kuning- rusak, butir mengapur dan butir gabah dianalisa dengan metode/cara uji SNI No, 01-6128-1999 (Anonim, 1999). Atribut mutu beras giling yang terdapat di dalam SNI No, 01-6128-1999 dipergunakan sebagai acuan untuk mengevaluasi mutu beras. Penampilan beras dievaluasi dengan menentukan nilai derajat putih, tingkat kebeningan/transparansi dan derajat sosoh (milling degree) yang diukur dengan alat Milling Meter. Sebelum digunakan, alat dikalibrasi dengan serbuk BaSO4 yang mempunyai nilai derajat putih, transparansi dan derajat giling berturut-turut sebesar 85,7%, 4,07% dan 199%. Kadar amilosa dianalisa dengan metode Iod dan intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer (Juliano, 1974). Data disajikan dalam bentuk nilai rata-rata. Uji beda rata-rata ditentukan dengan cara Duncan multiple range test (DMRT). Regresi linear berganda dihitung untuk menentukan hubungan antara harga dengan sifat beras. Data diolah dengan bantuan perangkat lunak SPSS 10. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 40
  • 41. ISBN 978-602-98295-0-1 HASIL Tabel 2.Keragaan penggilingan padi di Kabupaten Kediri, Lamongan dan Bangkalan Provinsi Jawa Timur (%) Tahapan Proses Kediri Lamongan Bangkalan ( n = 20 ) ( n = 20 ) ( n = 20 ) 1. Penjemuran 90 100 100 a. Tebal gabah 3 – 5 cm 100 100 100 > 5 cm 0 0 0 b. Pembalikan 1 – 2 kali 10 0 30 > 2 kali 90 100 70 c. Kadar air < 14% 100 100 80 > 14% 0 0 20 2. Pembersihan Gabah a. Dilaksanakn 100 100 60 b. Tidak 0 0 40 dilaksanakan 3. Tempering 100 100 100 4. Penggilingan a. Pecah Kulit 1 – 2 kali 0 0 80 > 2 kali 100 100 20 b. Pengayakan BPK Dilaksanakan 100 100 20 Tidak 0 0 80 dilaksanakan c. Penyosohan 1 – 2 kali 0 0 80 > 2 kali 100 100 20 d. Pengayakan BG Dilaksanakan 80 85 10 Tidak 20 15 90 dilaksanakan e. Pengkabutan Dilaksanakan 20 30 0 Tidak 80 70 100 dilaksanakan f. Penambahan 20 20 0 aroma Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 41
  • 42. ISBN 978-602-98295-0-1 Tabel 3. Mutu giling contoh beras dari penggilingan padi di Kabupaten Kediri, Lamongan dan Bangkalan , Jawa Timur Kediri Lamongan Bangkalan Komponen (n = 20) (n = 20) (n =20) mutu Kadar air (%) 11,29a 12,53a 11,15a B. kepala (%) 76,79b 81,57ª 61,42a B. patah (%) 20,42b 17,31c 28,65a Menir (%) 1,75b 1,12b 4,22a Btr, 0,27a 0,57ª 0,25a Hijau/kapur Kuning/rusak 1,31a 0,33b 0,61b Kotoran (%) 0,02b 0,02b 1,1a Keterangan :Di dalam satu baris, angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (α 5%). Tabel 4.Mutu fisik dan kadar amilosa beras giling tingkat penggilingan padi di Kediri, Lamongan dan Bangkalan Komponen Kediri Lamongan Bangkalan (n = 20) (n = 20) (n = 20) Derajat putih (%) 37,76b 39,23a 35,86c Kebeningan (%) 2,37a 2,80a 1,26b Milling degree (%) 82,56b 92,31a 77,16c Panjang (mm) 7,0a 7,0a 6,44a Lebar (mm) 2,16a 2,15a 1,96b Kadar amilosa 21,1b 22,1b 26,2a (%) Keterangan : Di dalam satu baris angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (α 5%) PEMBAHASAN Keragaan Teknik Penggilingan Padi Keragaan teknik penggilingan padi di Kabupaten Kediri, Lamongan dan Bangkalan Provinsi Jawa Timur disajikan pada Tabel 2. Data pada Tabel 2 menunjukkan hampir semua responden pemilik penggilingan padi yang ditemui menyatakan mengeringkan gabah basah dengan cara penjemuran (sun drying). Hanya 10% responden di Kabupaten Kediri yang menyatakan mengeringkan gabah basah dengan mesin pengering (mechanical drying) baik pada musim kemarau maupun musim penghujan. Alas penjemuran yang digunakan bermacam-macam, namun hampir sebagian besar responden yang ditemui menyatakan menjemur gabah basah Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 42
  • 43. ISBN 978-602-98295-0-1 (GKP) di atas lantai jemur. Tebal hamparan gabah kering panen (GKP) di atas lantai jemur bervariasi antara 3 – 5 cm tergantung intensitas sinar matahari. Selain ditentukan tebal hamparan, kecepatan penjemuran ditentukan juga oleh frekuensi pembalikan gabah. Frekuensi pembalikan gabah bervariasi di Kabupaten Kediri, Lamongan dan Bangkalan. Persentase responden yang menyatakan membalik gabah lebih dari dua kali selama penjemuran berturut-turut sebesar 90%, 100% dan 70%. Kadar air gabah kering giling yang dipersyaratkan BULOG untuk penyimpanan sebesar maksimal 14%. Data pada Tabel 2 menunjukkan dari segi kadar air, semua responden yang ditemui di Kabupaten Kediri dan Bangkalan menyatakan gabah kering giling (GKG) hasil penjemuran kurang dari 14%. Pengukuran kadar air gabah dilaksanakan secara kualitatif yaitu dengan cara digigit atau digites( Jawa). Setelah gabah menjadi kering gabah selanjutnya dibersihkan dari kotoran yang ada antara lain potongan jerami, daun dan ranting kering serta kerikil. Semua responden penggilingan padi yang ditemui di Kabupaten Kediri dan Lamongan menyatakan membersihkan gabah kering giling terlebih dahulu sebelum dimasukkan dalam karung plastik. Sedangkan di Kabupaten Bangkalan hanya 60% responden saja yang menyatakan Membersihkan gabah kering giling sebelum dikarungi, sisanya menyatakan tidak membersihkan gabah kering. Gabah kering giling biasanya tidak langsung diproses menjadi beras giling, tetapi disimpan sementara waktu agar kadar air merata diseluruh butiran gabah. Proses ini dikenal dengan istilah tempering. Apabila gabah kering giling langsung diperoses, maka dikawatirkan banyak gabah yang menjadi pecah saat penggilingan. Akibat lebih lanjut akan menghasilkan beras dengan butir patah relatif tinggi. Semua responden di Kabupaten Kediri, Lamongan dan Bangkalan menyatakan melaksanakan proses tempering gabah kering giling terlebih dahulu sebelum proses penggilingan. Setelah proses tempering selesai, tahapan selanjutnya gabah dipisahkan kulitnya hingga diperoleh beras pecah kulit (BPK) dan sekam. Proses pengulitan gabah (husker) menggunakan roll karet (rubber roll) dengan frekuensi pecah kulit yang berbeda-beda tergantung mutu dan pasar beras yang dituju. Tahapan proses pecah kulit yang digunakan umumnya lebih dari satu kali. Semua Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 43
  • 44. ISBN 978-602-98295-0-1 responden penggilingan padi yang ditemui di Kabupaten Kediri dan Lamongan menyatakan memproses gabah kering giling menjadi beras pecah kulit (BPK) dengan frekuensi lebih dari 2 kali. Sedangkan di Kabupaten Bangkalan sekitar 80% responden yang ditemui menyatakan memproses gabah kering giling menjadi beras pecah kulit dengan sekali tahap pengulitan (Tabel 2). Proses pengayakan beras pecah kulit bertujuan untuk memisahkan beras dari gabah yang tidak terkelupas. Gabah pecah kulit yang sudah diayak selanjutnya dimasukkan ke dalam mesin penyosoh hingga diperoleh beras giling (BG). Teknik penyosohan beras pecah kulit menjadi beras giling ada dua macam yaitu secara friksi dan abrasive. Penyosohan secara friksi menggunakan silinder besi baja menghasilkan beras giling berwarna putih dan bening seperti kaca. Sedangkan secara abrasive beras pecah kulit dikikis menggunakan batu gerinda. Beras yang dihasilkan dari proses ini berwarna putih tapi tidak bening (trasnsparan). Semua responden pemilik penggilingan padi di Kabupaten Kediri dan Lamongan menyatakan menyosoh beras pecah kulit dengan metode friksi dan frekuensi penyosohan yang digunakan lebih dari dua kali. Hal ini disebabkan agar beras giling yang dihasilkan berwarna putih bening dan bermutu baik. Sehingga dapat diterima oleh konsumen (pedagang beras). Sedangkan di Kabupaten Bangkalan sebanyak 80% responden pemilik penggilingan padi menyosoh beras pecah kulit hanya sekali. Beras giling yang dihasilkan berwarna kurang putih bening, sehingga mutunya relatif rendah dibandingkan dengan di kabupaten lainnya. Penggunaan mesin penggilingan satu tingkat (single phase) yang banyak digunakan di Kabupaten Bangkalan diduga menjadi penyebab rendahnya mutu beras giling yang dihasilkan. Pada penggilingan single phase, mesin pengupas kulit gabah dan mesin penyosoh berada pada mesin yang sama. Pengayakan beras giling bertujuan memisahkan beras patah dan menir sehingga didapatkan beras giling dengan persentase butir kepala yang lebih tinggi. Perlakuan ini dapat meningkatkan mutu beras, yang akhirnya berpengaruh terhadap harga jual beras. Responden penggilingan padi di Kediri, Lamongan dan Bangkalan yang menyatakan memisahkan beras giling dari beras patah dan menir berturut-turut sebesar 80%, 85% dan 10%. Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 44