Dokumen tersebut membahas pengembangan perangkat lunak diagnosa penyakit diabetes melitus tipe 2 berbasis teknik klasifikasi data. Perangkat lunak ini dapat membantu dokter dalam proses diagnosis dengan cara menganalisis data rekam medis pasien untuk menemukan pola dan mengeluarkan rules diagnosis. Algoritma C4.5 digunakan untuk membangun model klasifikasi berupa pohon keputusan yang mampu memprediksi diagnosis penyakit dengan tingkat akurasi 95
1. ISBN 978-602-98295-0-1
PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK DIAGNOSA PENYAKIT
DIABETES MELLITUS TIPE II BERBASIS TEKNIK KLASIFIKASI DATA
Rodiyatul FS1, Bayu Adhi Tama2, Megah Mulya3
1,2,3
Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Sriwijaya
1
rodiyatulfs@yahoo.co.id, 2bayu@unsri.ac.id, 3megahmulya@unsri.ac.id
ABSTRACT
Type-2 of Diabetes Mellitus (Type II DM) is the most common type of diabetes
whose patient about 90-95% of all diabetes population. Early Detection of Type II
DM from various risk factors is a way to prevent the complication that causes
mortality. Developing software for diagnosis Type II DM could be utilized as an
alternative and would enhance medical care for the increasing number of patients.
In this paper, the classification technique of data mining with C4.5 algorithm
classifier is employed to acquire valuable information and extract pattern from
medical record data. This pattern is used as knowledge base in medical diagnosis
process. It absolutely helps doctors and other clinicians for making decision
through early detection of Type II DM.
Keywords. data mining, Type II DM, diagnosis, software
PENDAHULUAN
Saat ini penyakit Diabetes Mellitus (DM) Tipe II telah menjadi salah satu
penyakit kronik yang paling sering diderita di Indonesia. Berdasarkan survei,
diperkirakan pada tahun 2020 akan ada 178 juta penduduk berusia diatas 20
tahun memiliki prevelansi terkena DM, suatu jumlah yang besar untuk dapat
ditangani sendiri oleh para ahli DM [4]. Tingginya angka-angka statistik diatas,
tentunya patut diantisipasi oleh pihak penyedia layanan kesehatan seperti rumah
sakit untuk mencegah timbulnya ledakan pasien DM.
Pada zaman modern ini, banyak rumah sakit telah mengimplementasikan
teknologi informasi untuk meningkatkan pelayanan medis dan mengatur data
warehouse Ketersediaan instrumentasi dan informatika medis modern (telemedis)
seperti adanya suatu perangkat lunak untuk menunjang keputusan seorang dokter
dalam mendiagnosa suatu penyakit sangat dibutuhkan. Teknologi data mining
hadir sebagai solusi nyata bagi para pengambil keputusan seperti dokter dalam
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1188
2. ISBN 978-602-98295-0-1
memprediksi pasien yang beresiko terkena terkena penyakit DM Tipe II. Dengan
menerapkan teknik klasifikasi data mining, dapat ditemukan informasi yang
berharga pada sekumpulan data yang berukuran besar.
TEKNIK KLASIFIKASI DATA MINING
Klasifikasi adalah proses penemuan pola atau fungsi yang menjelaskan dan
membedakan konsep atau kelas data dengan tujuan untuk dapat memprediksi
kelas dari suatu objek yang labelnya tidak diketahui[3]. Konsep klasifikasi dengan
pengawasan (supervised classification) adalah untuk membangun sebuah model
dari data yang telah diketahui, atau sering disebut sebagai classifier. Model atau
fungsi ini kemudian dapat digunakan untuk memetakan data didalam suatu basis
data kepada suatu atribut target, selanjutnya dapat memperkirakan suatu kelas
dari data yang baru
Tiap rekord berisi banyak atribut dimana masing-masing atribut memiliki satu
dari beberapa kemungkinan nilai. Di dalam klasifikasi diberikan sejumlah rekord
yang dinamakan sekumpulan data latih yang terdiri dari beberapa atribut, dimana
salah satu atribut menunjukkan kelas untuk rekord.
ALGORITMA KLASIFIKASI DATA MINING
Pada paper ini digunakan algoritma klasifikasi C4.5 yang melakukan
pemilihan atribut terbaik berdasarkan informasi gain. Atribut dengan informasi
gain tertinggi akan dipilih untuk membuat keputusan. Informasi gain merupakan
selisih antara kebutuhan informasi awal (yang hanya bergantung pada jumlah dan
proporsi tiap kelas di dalam D) dan kebutuhan informasi baru (yang diperoleh
setelah melakukan partisi terhadap atribut A). Untuk menghitung gain, digunakan
rumus :
Gain (A) = Info (D) - InfoA (D)
Informasi yg dibutuhkan untuk mengklasifikasi sebuah rekord di D diberikan
dengan rumus berikut.
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1189
3. ISBN 978-602-98295-0-1
m
Info (D)
i 1
pi Log2 (pi)
Informasi yg dibutuhkan untuk mengklasifikasi sebuah rekord di D diberikan
dengan rumus berikut berdasarkan hasil partisi di A.
v
| Dj |
Info A (D) | D | x Info (D )
j 1
j
Psedeucode algoritma C4.5 untuk membangun pohon keputusan adalah
sebagai berikut [7] :
1. Cek Sekumpulan Data Latih
2. Pada masing-masing attribut a, hitung informasi gain
3. Ubah a terbaik ( dengan informasi gain tertinggi) menjadi akar
4. Buat simpul keputusan yang berakar dari a terbaik
5. Ulangi proses untuk masing-masing cabang dengan memilih a terbaik
berikutnya dan jadikan anak dibawah simpul keputusan terakhir.
ANALISIS
1. Data Preparation
Data utama yang digunakan pada penelitian ini berupa sekumpulan data
rekam medis pasien rawat inap RSMH Palembang untuk penyakit Diabetes
Mellitus Tipe 2 sepanjang tahun 2008 yang berjumlah 435 instances.
2. Pembangkitan dan Pengujian Model Klasifikasi
Sebelum pembangkitkan model klasifikasi berupa 39 rules, dibentuk sebuah
pohon keputusan menggunakan algoritma C4.5. Untuk menguji tingkat akurasi
model klasifikasi digunakan pengujian kualitatif dengan mewawancara dua dokter
untuk mengetahui seberapa besar user-acceptance terhadap model klasifikasi.
Dari hasil penilaian, didapatkan 34 rules yang sesuai dengan standar penegakan
diagnosa WHO dan PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia). Disamping
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1190
4. ISBN 978-602-98295-0-1
itu, dilakukan juga pengujian kuantitatif dengan menggunakan metode confusion
matrix yang menghasilkan tingkat akurasi model sebesar 95,63%.
3. Hasil dan Pembahasan
Hasil implementasi perangkat lunak dapat dilihat pada beberapa tampilan
berikut :
Gambar 4.1 Form Pembangkitan Model Pohon
Berdasarkan hasil pembangkitan model klasifikasi, maka dapat dilihat bahwa
plasmainsulin memiliki gain ratio yang paling tinggi, oleh karena itu atribut ini
paling berpengaruh terhadap penyakit diabetes mellitus tipe II
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1191
5. ISBN 978-602-98295-0-1
Gambar 4.2 Form Pembangkitan Model Klasifikasi
Gambar 4.3 Form Pengujian Model Klasifikasi
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1192
6. ISBN 978-602-98295-0-1
Gambar 4.4 Form Proses Diagnosa
KESIMPULAN DAN SARAN
Melalui teknik klasifikasi data mining yang digunakan, paper ini telah berhasil
mengumpulkan dan menganalisa data rekam medis pasien diabetes mellitus tipe
II, dan menghasilkan beberapa rules yang dapat digunakan pihak rumah sakit
dalam pengambilan keputusan di bidang kesehatan, khususnya dalam
mendiagnosa penyakit diabetes mellitus tipe II.
Kuantitas training data yang digunakan sebaiknya ditambah untuk mengekstrak
kemungkinan munculnya tambahan informasi bernilai lainnya. Disamping itu,
sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan dengan membandingkan algoritma
klasifikasi yang lain pada proses pembangkitan model klasifikasi sehingga
dihasilkan performance yang lebih baik.
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1193
7. ISBN 978-602-98295-0-1
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association. 2004. Diagnosis and Classification of Diabetes
Mellitus. American Journal of Diabetes Care. 27. S5-S10
Bramer, Max. Principles of Data Mining, Springer-Verlag London Limited, 2007.
Han, J., et al. Data Mining: Concepts and Techniques 2nd Edition, Morgan
Kaufmann Publisher, 2006.
Indah. 2009. [Online] Tersedia: www.indahmuhariani.com/index.php /2009/02/01. [
diakses terakhir tanggal 10 Februari 2009]
Larose, D.T. 2005. Discovering Knowledge in Data : An Introduction to Data
Mining. John Wiley & Sons, Inc, New Jersey.
Palaniappan, S. and R.Awang. 2008. Intelligent Heart Disease Prediction System
Using Data Mining Techniques. International Journal of Computer Sciences
and Network security. 8 (8), 343-350.
Quinlan.2009.C4.5 Algorithm. [Online] Tersedia : http://en.wikipedia.org/wiki
/C4.5_algorithm. [10 Februari 2009]
Witten, Ian H. And Eibe Frank. Data Mining: Practical Machine Learning Tools and
Techniques 2nd Edition, Morgan Kaufmann Publisher, 2005.
World Health Organization. 2002. Laboratory Diagnosis and Monitoring of
Diabetes Mellitus. WHO Publication, Switzerland.
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1194
8. ISBN 978-602-98295-0-1
PENGALAMAN MANTAN PENGGUNA DALAM PENYALAHGUNAAN
NAPZA SUNTIK DI KOTA PALEMBANG
( Studi Fenomenologi )
Budi Santoso
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Palembang
Email : sant.budi75@yahoo.com
ABSTRACT
Drugs injects abuse is abnormal behavior that trespass norm in community.
Drugs injects also trigger main problem to individual, family, community and
countries. Until now drugs injects abuse tend to difficult to stopped. Many
prevention of effort and eradiction of drugs haved conducted, but drugs injects
abuse still increase, reffered to in case in Palembang. This studi was aimed to
provide dept understanding and meaning of former user‘s experience in drugs
injects abuse in Palembang. This study was descriptive phenomenology design
with purposive sampling in depth interview and fieldnote for data collecting. Result
of interview was recorded in tape recorder, then transcribed and analyzed with
Collaizi‘s method. The resulth of study identified 9 themes as spesific goal is :
reason to use drugs injects to classification reason in first time and to continues
use drugs injects; drugs injects use of respon is individual respon and parent
respon; perception related to impact efect andmore value, negative impact,
meaning in use, meaning after recovered, the aother support. This study
conclution that drugs injects abuse have to prevent and early treatment. The nurse
specialist community as proffesional in health rule in primary, secondary, and
tertier of prevent to drugs injects abuse.
Keyword : former user‘s, drugs injects, phenomenology
PENDAHULUAN
Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif lainnya (NAPZA) secara luas
diketahui sebagai salah satu ancaman paling mengkhawatirkan bagi masyarakat,
khususnya generasi muda di lebih 100 negara di dunia ( Asian Harm Reduction
Network (AHRN, 2001). Berbagai survei menunjukan bahwa NAPZA merupakan
ancaman bagi kelompok usia muda dan produktif (Badan Narkotika Nasional
(BNN), 2006). Penyalahgunaan NAPZA tidak hanya menimbulkan penyimpangan
perilaku yang menyalahi norma yang berlaku di masyarakat, namun juga memicu
masalah utama yang memberi efek negatif terhadap fungsi organ tubuh (Syarief,
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1195
9. ISBN 978-602-98295-0-1
2008). Menurut Banks dan Waller (1983, dalam Hawari, 2001) penyalahgunaan
NAPZA mengakibatkan komplikasi medik berupa gangguan pernafasan yaitu
edema paru dan gangguan lever. Walaupun bahaya penyalahgunaan NAPZA
sudah sering disosialisasikan, namun masih banyak masyarakat yang tidak
mempedulikannya, sehingga jumlah pengguna NAPZA terus meningkat.
Jumlah penyalahguna NAPZA, terutama penyalahguna NAPZA suntik
mengalami peningkatan yang fantasitis. Berdasarkan survei di 10 kota besar di
Indonesia terhadap penyalahguna NAPZA di masyarakat dengan responden
berjumlah 956 orang didapatkan bahwa 56% atau sekitar 572 responden
merupakan penyalahguna NAPZA suntik (BNN, 2007). Kecenderungan
peningkatan jumlah penyalahguna NAPZA dari tahun ke tahun dengan berbagai
jenis dan cara, termasuk melalui suntikan. Berdasarkan data AHRN (2003), jumlah
IDU (Injection Drug User) di Indonesia diperkirakan sekitar 30.000 hingga 40.000
orang pada tahun 1997, dan pada tahun menyebutkan bahwa sejak tahun 2002
sampai November 2008, penderita HIV/AIDS berjumlah 401 orang, 20 %
diantaranya penyalahguna NAPZA suntik. Hal ini mengindikasikan bahwa
penyalahguna NAPZA suntik merupakan penyumbang terbesar penularan
HIV/AIDS.
Besarnya angka di atas menunjukkan tingginya epidemi HIV di kalangan
IDU yang perlu mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan. Peneliti
memandang penyalahguna NAPZA suntik sebagai kelompok yang mempunyai
risiko tinggi untuk mengalami berbagai masalah kesehatan baik fisik maupun
psikologis, khususnya terinfeksi HIV/AIDS. Masalah kelompok ini tidak hanya
berdampak pada kelompok itu sendiri, tetapi juga pada masyarakat di sekitarnya
(Husaini, 2006). Masalah ini merupakan ancaman yang serius bagi masa depan
penyalahguna NAPZA dan membahayakan bagi kelangsungan hidup bangsa dan
negara.
Perawat komunitas sebagai bagian dari profesi kesehatan, memiliki
tanggung jawab untuk berperan aktif dalam meningkatkan perilaku hidup sehat
masyarakat. Perawat komunitas memiliki peran untuk membantu komunitas
penyalahguna NAPZA suntik untuk secara bertahap berhenti mengkonsumsi
NAPZA secara total melalui usaha-usaha promosi kesehatan. Pender, Murdaug
dan Parsons (2002) menyebutkan bahwa perawat komunitas dalam menyusun
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1196
10. ISBN 978-602-98295-0-1
program anti NAPZA perlu memperhatikan respon-respon individu terhadap
situasi sosial yang melingkupinya seperti pergaulan bebas, gaya hidup, dan
peraturan pemerintah tentang program penanggulangan NAPZA. Namun belum
banyak tereksplorasi perilaku tersebut dalam perspektif keperawatan komunitas,
sehingga upaya antisipasi dirasakan belum optimal.
Peneliti akan berupaya untuk memahami dan memaknai gambaran
pengalaman mantan pengguna dalam penyalahgunaan NAPZA suntik
menggunakan pendekatan fenomenologi deskriptif. Penelitian bertujuan untuk
mendapatkan gambaran mengenai arti dan makna pengalaman mantan
pengguna dalam penyalahgunaan NAPZA suntik di kota Palembang. Peneliti
mengidentifikasi alasan menggunakan NAPZA suntik, respon yang timbul setelah
menggunakan NAPZA suntik, persepsi terkait efek samping dan bahaya NAPZA
suntik, makna menggunakan NAPZA suntik, dan dukungan dari pihak terkait.
METODE PENELITIAN
Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah fenomenologi deskriptif.
Tiga langkah dalam proses fenomenologi deskriptif, yaitu intuiting, analyzing dan
describing seperti yang diungkapkan oleh Spiegelberg (1975 dalam Streubert &
Carpenter,1999). Metode yang digunakan adalah metode Collaizi yang memiliki 9
tahap (1978, dalam Streubert & Carpenter,1999).
Populasi penelitian yang diteliti adalah mantan pengguna NAPZA suntik di
kota Palembang. Pengambilan sampel pada penelitian ini dengan menggunakan
teknik purposive sampling yang merupakan pemilihan secara sadar oleh peneliti
terhadap subjek/elemen tertentu untuk dimasukkan dalam penelitian. Penelitian ini
tersaturasi pada partisipan ke-7 dimana tidak ada lagi kategori atau tema yang
didapatkan.
HASIL
Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 7 mantan pengguna yang berada
di kota Palembang. Keseluruhan partisipan adalah laki-laki dengan rentang usia
antara 19 sampai dengan 34 tahun dan bertempat tinggal di Kota Palembang.
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1197
11. ISBN 978-602-98295-0-1
Tingkat pendidikan partisipan bervariasi dari sekolah menengah umum sampai
sarjana. Tiga partisipan berstatus menikah dan empat orang lainnya masih lajang.
Status pekerjaan ada yang belum bekerja dan bekerja di sektor swasta. Usia
pertama kali menyalahgunakan NAPZA bervariasi dari mulai usia 13 sampai 17
tahun. Jenis NAPZA yang pertama disalahgunakan 4 partisipan jenis ganja, 2
partisipan jenis putaw dan 1 partisipan jenis ineks. Lama mengggunakan NAPZA
suntik bervariasi dari mulai 2 bulan sampai 10 tahun.
Penelitian ini menghaslkan 9 tema sesuai tujuan khusus yaitu : alasan
menggunakan NAPZA suntik tergambar dalam dua tema yaitu alasan pertamakali
menggunakan dan alasan tetap menggunakan; respon yang timbul setelah
menggunakan NAPZA suntik teridentifikasi dalam dua tema yaitu respon personal
dan respon orang tua; persepsi terkait efek samping dan bahaya NAPZA suntik
tergambar dalam dua tema yaitu mempunyai nilai lebih dan.mempunyai dampak
buruk; makna yang tergali dari partisipan yaitu makna selama menggunakan dan
makna setelah sembuh; dan harapan terhadap dukungan pihak terkait
memunculkan tema dukungan terhadap kepolisian, petugas kesehatan dan
pemerinah daerah.
PEMBAHASAN
Alasan pertama kali menggunakan NAPZA suntik yang teridentifikasi yaitu
alasan utama dan alasan penunjang. Alasan utama bersumber dari lingkungan
sekolah yaitu pengaruh teman. Lingkungan sekolah merupakan tempat
bertemunya partisipan dengan teman sebayanya, sehingga pengaruh teman
menimbulkan keinginan individu bukan pengguna mengikuti ajakan teman untuk
menggunakan NAPZA suntik. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian
Tasman (2005) bahwa lingkungan teman sebaya sangat berpengaruh terhadap
risiko penyalahgunaan NAPZA. Hasil penelitian ini juga memperkuat hasil
penelitian Hawari (1990) dan Martono (2008) yang menyebutkan bahwa faktor
penyebab remaja menyalahgunakan NAPZA adalah akibat pengaruh/bujukan
teman (peer group) atau berteman dengan penyalahguna NAPZA serta adanya
tekanan atau ancaman dari teman. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Joewana
(2005) bahwa kebutuhan akan pergaulan dengan teman sebaya mendorong
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1198
12. ISBN 978-602-98295-0-1
remaja untuk dapat diterima sepenuhnya dalam kelompoknya. NAPZA dapat
meningkatkan atau mempermudah interaksi remaja dengan kelompok sebayanya
(vehicle of social interaction).
Alasan tetap menggunakan NAPZA suntik yang teridentifikasi pada
penelitian ini adalah aksesibilitas obat, coba-coba, masalah keluarga, dan
ekonomis. Alasan aksesibilitas obat yaitu kemudahan akses terhadap obat dan
informasi. Kemudahan akses terjadi karena kurangnya pengawasan yang selektif,
dengan membiarkan NAPZA beredar dilingkungan masyarakat, khususnya
lingkungan sekolah ditambah kemudahan mengakses informasi juga menjadi
alasan partisipan mengunakan NAPZA. Hal ini sesuai dengan pendapat Martono
(2006) dan Hikmat (2008) bahwa lingkungan sekolah seperti sekolah terletak
dekat tempat hiburan, pembinaan dari sekolah yang kurang maksimal seperti
kurang disiplin, sekolah yang kurang memberi kesempatan pada siswa untuk
mengembangkan diri secara kreatif dan positif merupakan faktor penyebab remaja
menyalahgunakan NAPZA.
Respon personal yang ditemukan adalah pengetahun tentang NAPZA,
perubahan yang terjadi, upaya mengatasi, kambuh, faktor pendukung berhenti
dan nilai NAPZA. Respon pengetahuan tentang NAPZA yaitu ketidaktahuan
tentang manfaat, bahaya dan risiko penyalahgunaan NAPZA. Pada proses awal
penyalahgunaan NAPZA suntik hampir semua partisipan tidak mengetahui
manfaat, bahaya dan risikonya. Hal ini disebabkan karena keterbatasan informasi
tentang NAPZA suntik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rahayuwati (2006)
tentang pengetahuan dan sikap tentang hubungan narkoba dengan kejadian
HIV/AIDS (studi kualitatif pada SMP di Bandung ) yang menyebutkan bahwa
hampir semua responden tidak mempunyai informasi yang memadai tentang
narkoba. Respon orang tua yang teridentifikasi yaitu perasaan. Perasaan
emosional meliputi kecewa, terpukul dan syok. Hal ini sesuai dengan pendapat
Hikmat (2008) bahwa orang tua akan merasa malu, merasa bersalah, sedih,
marah, dan putus asa karena memiliki anak sebagai pengguna NAPZA.
Persepsi efek samping yang dirasakan mantan pengguna adalah
mempunyai nilai lebih yaitu perasaan, ekonomis dan proses kerja obat. Efek
samping terhadap perasaan yaitu meningkatkan kenyamanan fisik dan pikiran. Hal
ini sesuai dengan pendapat Joewana (2005) yang menyatakan NAPZA suntik
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1199
13. ISBN 978-602-98295-0-1
jenis heroin (putaw) banyak dikonsumsi dengan alasan untuk dinikmati atau untuk
mengatasi perasaan yang tidak enak ( ketegangan, kecemasan dan kesedihan).
Keberadaan efek samping yang dirasakan saat menggunakan NAPZA suntik baik
sedikit maupun banyak, menyebabkan individu akan terus menggunakan NAPZA
suntik. Hal ini sesuai dengan teori Health Belief Model dari Becker (1977, dalam
Pender, Murdaug, & Parsons, 2002) yang menyebutkan bahwa adanya persepsi
efek samping yang menguntungkan akan mendorong individu untuk terus
mempertahankan suatu perilaku tertentu. Selain meningkatkan kenyamanan fisik
dan pikiran, NAPZA juga mempunyai efek samping ekonomis dan proses kerja
obat lebih cepat.
Persepsi bahaya yang dirasakan oleh mantan pengguna adalah
mempunyai dampak buruk terhadap kesehatan fisik yaitu menularkan penyakit
HIV/AIDS dan Hepatitis. Studi ini menemukan dua partisipan yang sudah terinfeksi
HIV. Hal ini sesuai dengan pernyataan Martono (2006) menyebutkan bahwa
dampak penyalahgunaan NAPZA yang paling membahayakan adalah terinfeksi
HIV/AIDS akibat penggunaan jarum suntik tidak steril dan bergantian. Hal ini
didukung oleh pendapat Costigan (1999) bahwa dampak buruk terhadap masalah
kesehatan akibat penggunaan NAPZA suntik dalam jangka panjang adalah
pembuluh darah mengempis, abses, tetanus, hepatitis B dan C, jantung, paru,
sembelit dan ditingkat komunitas terjadi epidemi HIV.
Makna menyakitkan yang teridentifikasi yaitu perasaan sedih, sakit hati,
hancur dan susah. Studi ini mengungkap hampir semua partisipan mengatakan
bahwa sampai detik ini masih banyak masyarakat memandang seorang pengguna
atau mantan pengguna NAPZA dengan pandangan yang negatif, memperlakukan
pengguna dan mantan pengguna dengan tidak manusiawi. Seorang partisipan
mengatakan bahwa seorang terlibat menyalahgunakan NAPZA itu harus dilihat
apa alasannya, apa latar belakangnya, sehingga tidak membuat kesimpulan
bahwa seorang pengguna itu semuanya sama. Hal ini sesuai dengan pendapat
Joewana (2005) secara sosiokultural, penggunaan zat psikoaktif dipandang
sebagai suatu fenomena kultural, penggunaan zat psikoaktif dapat dipandang
sebagai suatu perilaku yang normal atau perilaku yang menyimpang, bergantung
siapa yang menggunakan, jenis zat yang digunakan, banyaknya (sampai
intoksikasi atau tidak) dan dalam setting apa.
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1200
14. ISBN 978-602-98295-0-1
Makna setelah sembuh yang teridentifikasi yaitu mempengaruhi sikap,
pengetahuan terhadap NAPZA, sebagai petunjuk dan mempunyai cita – cita.
Sikap lebih manusiawi dan berempati dalam bekerja merupakan makna yang
tersirat dalam diri partisipan, sehingga partisipan akan berbuat dan bertindak lebih
baik dari sebelumnya. Makna pengetahuan terhadap NAPZA tentang efek
samping dan bahayanya merupakan suatu proses belajar pada taraf intelektual
(cognitive learning), informasi yang didapatkan merupakan modal dasar bagi
partisipan untuk memberkan informasi lebih baik lagi. Selain itu makna sebagai
petunjuk merupakan sarana meningkatkan keimanan bagi partisipan.
Dukungan pihak kepolisian yaitu target dan upaya yang dilakukan harus
tepat target dan upaya. Hal ini sejalan dengan tugas pihak kepolisian yang bekerja
sama dengan BNN dalam melaksanakan tugasnya menggunakan strategi
kerjasama internasional, meningkatkan peran serta masyarakat dan penegakan
hukum dengan mengembangkan pelayanan terapi dan rehabilitasi serta
menggalakkan komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat.
Dukungan terhadap petugas kesehatan yaitu pelayanan yang profesional
dan metode pengobatan yang variatif. Mantan pengguna berdasarkan
pengalamannya ingin diberikan pelayanan yang optimal dengan tidak membeda-
bedakan atau mendiskriminasikan pengguna NAPZA dengan pasien lainnya. Hal
ini memang sesuai dengan sumpah profesi seorang petugas kesehatan
khususnya tenaga keperawatan bahwa dalam memberikan pelayanan kepada
pasien tidak membeda-bedakan pangkat, kedudukan dan golongan. Fakta dari
beberapa partisipan masih mengeluhkan pelayanan yang diberikan oleh petugas
kesehatan, apalagi pelayanan kepada mantan pengguna NAPZA.
Dukungan dari pemerintah yaitu segi fasilitas agar lebih care dan ada
alternatif, Mantan pengguna mempunyai harapan tehadap pemerintah agar
mengembangkan program penanggulangan penyalahgunaan NAPZA dengan
berbagai program alternatif, fasilitas yang lengkap sehingga pengguna yang
mempunyai keinginan berhenti mempunyai pilihan untuk pengobatannya. Hal ini
sesuai dengan Inpres No.3 tahun 2002 dan Keppres No.17 tahun 2002 tentang
tugas BNN yaitu mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam
penyusunan kebijakan dan pelaksanaannya dibidang pencegahan, ketersediaan
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1201
15. ISBN 978-602-98295-0-1
dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika,
prekusor dan zat adiktif lainnya.
KESIMPULAN
Penelitian ini mengungkap alasan mantan pengguna tetap menggunakan NAPZA
suntik didasarkan oleh rasa ingin tahu, informasi yang menantang dan tidak
lengkap dan kebutuhan terhadap NAPZA. Alasan menggunakan NAPZA suntik
mencerminkan kuatnya pengaruh teman sebaya terhadap pembentukan persepsi
pengguna terhadap NAPZA suntik. Selain itu dukungan petugas kesehatan yaitu
pelayanan yang profesional dan variatif dengan pelayanan yang optimal dengan
tidak membeda-bedakan atau mendiskriminasikan pengguna NAPZA dengan
pasien lainnya. Dukungan pemerintah daerah terhadap fasilitas agar lebih care
dan ada alternatif, pemerintah harus menyediakan fasilitas yang lengkap sehingga
pengguna yang mempunyai keinginan berhenti mempunyai pilihan untuk
pengobatannya.
SARAN
Saran untuk pengambil kebijakan yaitu perlunya media promosi yang dapat
memberikan informasi lengkap dan dapat dipahami oleh masyarakat khususnya
remaja, misalnya informasi penyalahgunaan NAPZA disertai dengan gambar
akibat penyalahgunaan NAPZA tersebut. Untuk pelayanan keperawatan perlu
peningkatan kompetensi perawat komunitas dalam penyusunan program
pencegahan dan penanggulangan NAPZA melalui pendidikan dan pelatihan
tentang teknik penyusunan program keperawatan komunitas.
Penelitian lebih lanjut yaitu studi fenomenologi pengalaman mantan
pengguna NAPZA selama menjalani proses rehabilitasi,studi fenomenologi
pengalaman mantan pengguna dalam upaya berhenti menyalahgunakan NAPZA
suntik, Untuk membandingkan dengan hasil penelitian ini perlu juga diteliti lebih
lanjut dengan metode dan partisipan yang berbeda, misalnya partisipan
perempuan.
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1202
16. ISBN 978-602-98295-0-1
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, R.D. (2005). Voicing Concern " Tobacco, Alcohol and Drugs of Abuse ".
Malaysia : Universitas Sains Malaysia.
AHRN/WHO. (2001). Survey Penyalahgunaan NAPZA di Indonesia. Jakarta :
AHRN.
AHRN/WHO. (2003). Buku Panduan untuk Pencegahan HIV yang Efektif Diantara
Pengguna NAPZA. Jakarta : AHRN.
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. (2002). Kebijakan dan Strategi
Badan Narkotika Nasional dalam Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba. Jakarta: BNN.
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. (2006). Hasil Survei
penyalahgunaan NAPZA pada kelompok pelajar dan mahasiswa di Indonesia
tahun 2006. Jakarta: Puslitbang dan Info Lakhar BNN.
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. (2008). Survey Ekonomi akibat
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba di Indonesia. Jakarta:
Puslitbang dan Info Lakhar BNN
Badan Narkotika Kota Palembang. (2008). Laporan Tahunan Badan Narkotika
Kota Palembang Tahun 2008. Palembang : BNK.
Creswell, J.W. (1998). Qualitative Inquiri and Research design : choosing among
(5th Ed.), United Status America (USA): Sage Publication Inc.
Costigan G,.(1999). NAPZA dan Epidemi HIV di Indonesia. Jakarta : UNAIDS
Danielson, C.B, et al. (1993). Families, Health and Illness: Perspective and Coping
Intervention. St. Louis: Mosby Year Book.
Deany, P.,(2000). HIV and Injecting Drug User : A new Challenge to Sustainable
Human Development, http://www.who.int/HIV-AIDS/HIV-IDU/html. diperoleh
tanggal 7 Februari 2009.
Depkes RI (2001). Data Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Jakarta. AHRN Indonesia.
Depkes RI (2001). Buku Pedoman Praktis Bagi Petugas Kesehatan Mengenai
Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif lainnya (NAPZA).
Jakarta.
Depkes (2005) Kebijakan dan Program Pencegahan & Penanggulangan NAPZA.
Jakarta
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1203
17. ISBN 978-602-98295-0-1
Dinas Kesehatan Kota Palembang (2008). Laporan Tahunan Dinas Kesehatan
Kota Palembang Tahun 2008, Palembang.
Friedman, et al. (2003). Family Nursing: Research, Theory and Practice. (Fifth
Edition). New Jersey: Prentice Hall.
Hawari, Dadang. (1991). Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Hawari, Dadang. (2000). Terapi (Detoksifikasi) dan Rehabilitasi (Pesantren)
Mutakhir (Sistem Terpadu) Pasien "NAZA" (Narkotika, Alkohol, dan Zat
Adiktif lainnya). Jakarta. UI-Press
Hawari, Dadang. (2001). Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA, Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Hawari, Dadang.(2002). Penyalahgunaan NAZA. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Helvie.C.O.(1998). Advanced Practice Nursing in The Community, Sage
Publications Thousand Oaks London. New Delhi
Hikmat (2008). Generasi Muda : Awas Narkoba. Bandung : Alphabeta
Hitchcock,JE., Scubert, PE., & Thomas, SA (1999). Community Health Nursing :
Caring in action. USA : Delmar Publisher
Husaini, A.(2006). Rokok : Pintu Gerbang Narkoba. Jakarta : Pustaka Iman
Jangkar.net. (2003). Lokakarya Penanggulangan HIV/AIDS pada Kelompok
Penyalahguna Narkoba Suntik bagi Kepolisian. diakses dari http :// www.
Jangkar.net/workshop / detailrep.asp? = TOR Police & view, tanggal 1 April
2009
Joewana, Satya. (2005). Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penggunaan Zat
Psikoaktif (Penyalahgunaan NAPZA/Narkoba). Jakarta: EGC
Kamil, Oktavery. (2004). Pencegahan HIV/AIDS pada Kelompok Pengguna
Narkoba Suntik. Tesis.FISIP-UI (Tidak Dipublikasikan).
Komisi Penanggulangan AIDS. (2007). ODHA dan Pelayanan Kesehatan Dasar.
Jakarta. UNAIDS
Martono, L.J., (2006). Pencegahan dan Penanggulangan Narkoba di Sekolah.
Jakarta : PT. Rosda Karya
Mc.Murray, A. (2003). Community Health and Wellness : a Sociological approach.
Toronto : Mosby
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1204
18. ISBN 978-602-98295-0-1
Moleong, L.J., ( 2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya
Patton. (1990). Qualitative Evalution and Research Methods. Newbury Park,CA:
Sage
Pender, N.J, Murdaug, C.L., & Parsons, M.A. (2002). Health promotion in nursing
practice. 4th ed. Upper Saddle River: Prentice Hall
Poerwandari, E.K. (1998) Pendekatan Kualitatif Dalam Penelitian Psikologi. .
Jakarta : LPSP3. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Poerwandari, E.K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku
Manusia. Jakarta : LPSP3. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Polit,D.F., Beck, C.T., & Hungler,B.P. (2001). Essensial of Nursing Research:
Methods, Appraisal and Utilization. St.Louis: Mosby Year Book Inc.
Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (PPK UI). (2002) Hasil Studi
Kualitatif pada Kelompok IDU Wanita di Jakarta,Surabaya dan Bandung.
Jakarta
Riehman, Karas (1996). Injecting Drug Use and AIDS in Developing Countries :
Determinant and Issues for Policy Consideration, paper prepared for The
Policy Research Report on AIDS and Development, World Bank, Policy
Research Departement.
Sarasvita, et al. (2000). Napza dan Kita : Laporan Rapid Assesment and
Response On Injection Drug Users. Tim Jakarta ; 61 hlm
Spiegelberg, H. (1978). The Phenomenological Movement: a Historical
Introduction. The Hague: Matinus Nijhoff.
Streubert, H.J.& Carpenter,D.R. (1999). Qualitative Research in Nursing :
Advancing the Humanistic Imperative. Philadelphia : Lippincott
Syarief, Fatimah. (2008). Bahaya Narkoba di Kalangan Pemuda. Jakarta
Tasman (2005). Hubungan Lingkungan Eksternal Remaja dengan Risiko
Penyalahgunaan NAPZA pada siswa di SMA/SMK kec. Beji Depok : Thesis
Program Magister Ilmu Keperawatan FIK-UI : tidak dipublikasikan
UNAIDS/ WHO (2003), AIDS Epidemisc Update, UNAIDS ; 39 hlm
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1205
19. ISBN 978-602-98295-0-1
HUBUNGAN KARAKTERISTIK PEKERJA, PENGGUNAAN APD DAN LAMA
KERJA DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA PEKERJA DI STASIUN
PENGISIAN BAHAN BAKAR UMUM (SPBU) PALEMBANG TAHUN 2009
Nurhayati Ramli 1), Diah Navianti 1), M.Ihsan Tarmizi 1), Ummi kaltsum 2)
1)
Dosen Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes kementrian kesehatan Palembang
2)
. Staf Laboratorium klinik Prodia Palembang
ABSTRAK
Timah hitam atau lebih dikenal dengan sebutan timbal biasa digunakan
sebagai campuran bahan bakar bensin yang dijual hampir di setiap Stasiun
Pompa Bensin Umum (SPBU) di Palembang. Sebagian besar kendaraan
bermotor di Palembang masih menggunakan bensin bertimbal. Bensin bertimbal
ini merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan kejadian anemia
khususnya bagi pekerja SPBU yang telah bekerja dalam jangka waktu yang lama.
Anemia yang merupakan salah satu gejala keracunan timbal terjadi akibat
penurunan sintesis globin walaupun tak tampak adanya penurunan kadar zat besi
pada serum. Anemia ringan yang terjadi disertai dengan sedikit peningkatan kadar
ALA (Amino Levulinic Acid) urine. Anemia biasanya terjadi pada orang yang
terpapar timbal dalam jangka waktu lama. Misalnya pada penduduk yang tinggal
di sekitar industri yang menggunakan bahan tersebut dan para pekerja.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik yaitu untuk mengetahui
hubungan karakteristik pekerja, penggunaan APD dan lama kerja dengan kejadian
anemia pada pekerja di Stasiun Pompa Bensin Umum (SPBU) Palembang tahun
2009. Teknik pengambilan 96 sampel ini dilakukan secara cluster random
sampling. Kemudian sampel tersebut diperiksa kadar hemoglobinnya di
laboratorium klinik dengan menggunakan alat spektrofotometer.
Analisis data penelitian ini menggunakan uji Chi Square dan uji T
independent dengan bantuan perangkat lunak software computer.
Hasil didapat kadar Hb rata rata adalah 15.69 gr % dengan kadar Hb
terendah 10.10 gr% dan kadar Hb tertinggi 27.40 gr%. Status Hb anemia 31 orang
(31.6%), status Hb normal 41 orang (41.8%) dan status Hb polisitemia adalah
sebanyak 26 orang (26.5 %). Hasil uji lebih lanjut didapat tidak ada hubungan
antara jenis kelamin dengan status hemoglobin (p = 0.351), Tidak ada hubungan
antara lama kerja dengan status hemoglobin ( p = 0.545). Dan Ada hubungan
antara penggunaan APD dengan status hemoglobin pekerja SPBU ( p = 0.020 ).
Disarankan adanya upaya managemen pencegahan timbulnya penyakit akibat
kerja pada pekerja SPBU dengan menggunakan alat pelindung diri yang sesuia,
adanya penyuluhan mengenai bahaya lingkungan kerja dan penyuluhan tentang
gizi terhadap pekerja di SPBU.
Kata Kunci : Anemia, Pekerja
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1206
20. ISBN 978-602-98295-0-1
PENDAHULUAN
Di Indonesia, prevalensi anemia bervariasi yaitu 50-70 % pada wanita
hamil, 30-40% pada wanita dewasa, 30 - 40 % pada balita, 25 - 30 % pada anak
sekolah, 20 - 30% pekerja berpenghasilan rendah (Husaini, 1989).(1)
Salah satu faktor penyebab anemia adalah gaya hidup yang kurang sehat,
kurang asupan zat yang dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin seperti zat
besi, folat, dan vitamin B12. Ada penyebab anemia yang lain yaitu timah hitam. (2)
Timah hitam secara umum dikenal dengan sebutan timbal, biasa digunakan
sebagai campuran bahan bakar bensin. Fungsinya selain meningkatkan daya
pelumasan, juga meningkatkan efisiensi pembakaran sehingga kinerja kendaraan
bermotor
meningkat. Bahan kimia ini bersama bensin dibakar dalam mesin. Sisanya 70%
keluar bersama emisi gas buang hasil pembakaran. Berdasarkan data tahun
2004, beberapa kota besar misalnya Palembang masih menggunakan bensin
bertimbal dengan kadar 0,199 gr/L. (3,5)
Timbal lebih tersebar luas dibanding kebanyakan logam toksik lainnya.
Kadarnya di lingkungan meningkat karena penambangan, peleburan,
pembersihan, dan berbagai penggunaannya dalam industri. (4)
WHO menyatakan tidak ada ambang batas paparan timbal di udara karena
sifatnya logam berat dan toksik. Kadar Pb dalam darah manusia yang tidak
terpapar oleh Pb adalah sekitar 10-25 µg/100 ml. Konsentrasi Pb dalam darah
pada kadar 40-50 µg/100 ml mampu menghambat hemoglobin yang pada
akhirnya merusak hemoglobin darah.(3)
Mukono (1991) meneliti status kesehatan dan kadar Pb Blood (Pb-B)
karyawan SPBU (Stasiun Pompa Bensin Umum) di Jawa Timur dan menemukan
bahwa pemeriksaan darah lengkap pada karyawan SPBU dengan penjualan
bensin kurang dari 8 ribu liter per hari lebih baik dari karyawan SPBU yang
menjual bensin lebih dari 10 ribu liter per hari. Didapatkan pula bahwa rerata
kadar Pb-B karyawan SPBU sebesar 77,59 µg/100 ml.(6)
Suwandi (1995) menemukan bahwa kadar Pb udara di daerah terpapar
pada malam hari adalah 0,0299 mg/ml, yang besarnya sepuluh kali lipat kadar Pb
di daerah tidak terpapar pada malam hari 0,0028 mg/ml. Sedangkan rerata kadar
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1207
21. ISBN 978-602-98295-0-1
Pb Blood (Pb-B) di daerah terpapar adalah 170,44 µg/100 ml, yang besarnya tiga
kali lipat kadar Pb di daerah tidak terpapar 45,43 µg/100 ml. Juga ditemukan
semakin tinggi kadar Pb-B semakin rendah kadar hemoglobin-nya.(6)
Aminah (2006) melakukan penelitian kadar Pb dan Hb dalam darah
karyawan sampling dan non sampling di BBTKL PPM (Balai Besar Teknik
Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular) Surabaya, dimana
karyawan sampling memiliki rata-rata kadar Pb darah 7,08 g/L dengan rata-rata
kadar Hb darah 14,42 g/dL. Sedangkan semua karyawan non sampling memiliki
kadar Pb darah 0 g/L dengan rata-rata kadar Hb 13,34 g/dL (sebagian besar
karyawan non sampling berjenis kelamin wanita).(7)
Kaltsum (2008) melakukan penelitian kadar Hb pada pekerja SPBU didapat
rata rata kadar Hb 15.68 gr%. Kejadian anemia pada pekerja SPBU sebanyak 31
orang (32.3%)
Dampak yang ditimbulkan oleh timbal adalah dapat meracuni sistem
pembentukkan sel darah merah sehingga menimbulkan gangguan pembentukkan
sel darah merah, mempengaruhi sistem saraf, dan intelegensia pertumbuhan
anak-anak (IQ). Gejala keracunan timbal ini biasanya mual, sakit di perut, dan
anemia. Keracunan timbal kronik secara terus menerus makin meningkat dalam
jaringan yang akan menyebabkan kelumpuhan serta perubahan hematologik serta
leukemia.(3)
Anemia yang merupakan salah satu gejala keracunan timbal terjadi akibat
penurunan sintesis globin walaupun tak tampak adanya penurunan kadar zat besi
pada serum. Anemia ringan yang terjadi disertai dengan sedikit peningkatan kadar
ALA (Amino Levulinic Acid) urine. Anemia biasanya terjadi pada orang yang
terpapar timbal dalam jangka waktu lama. Misalnya pada penduduk yang tinggal
di sekitar industri yang menggunakan bahan tersebut dan para pekerja. (6)
Dalam hal ini yang menjadi objek penelitian adalah para pekerja di Stasiun Pompa
Bensin Umum (SPBU). Para pekerja SPBU tersebut rentan terkena anemia
dikarenakan keadaan lingkungan kerja mereka yang secara langsung
terpapar timbal dari bensin. Selain itu juga ditunjang dari faktor ekonomi yang
rendah serta kurangnya asupan gizi bagi pekerja tersebut.
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1208
22. ISBN 978-602-98295-0-1
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi status kesehatan pada pekerja di
lingkungan yang terpapar timbal diantaranya jenis kelamin, umur, lama kerja, dan
penggunaan alat pelindung diri (APD). (3,7)
Rumusan masalah penelitian ini adalah masih ditemukannya kejadian
Anemia pada pekerja berpenghasilan rendah, salah satunya adalah pekerja
SPBU.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan karakteristik
pekerja, penggunaan APD, dan lama kerja dengan kejadian anemia pada pekerja
di stasiun pompa bensin umum (SPBU) Palembang tahun 2009.
METODA PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian secara cross sectional ini di lakukan di 18 SPBU yang terpilih menjadi
subyek penelitian. Cara pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah rancangan stratified random sampling.
Jumlah Sampel
Besar sampel penelitian yang ditetapkan, dihitung dengan menggunakan rumus
Lemeshow et al. (1997) sebagai berikut :
Z21-ά/2 .p (1 – P)
n=
d2
Perhitungan sampel :
(1,96)2 . 0.30 (1 – 0.30)
n = --------------------------------
(0,1)2
n = 81 pekerja dibulatkan menjadi 96 pekerja SPBU
Pengumpulan data
Jenis data yang dikumpulkan dan cara pengumpulan data adalah :
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1209
23. ISBN 978-602-98295-0-1
1. Data primer, meliputi data :
Data karakteristik responden, lama kerja, penggunaan APD
diperoleh melalui wawancara lansung terhadap responden dengan
menggunakan alat bantu kuesioner dan observasi langsung.
Data kadar Hb diperoleh melalui pemeriksaan darah untuk
menentukan kadar Hb dengan menggunakan metode
cyanmethemoglobin.
2. Data Skunder, meliputi data :
Jumlah SPBU dan lokasi SPBU yang diperoleh dari Hiswanamigas
Plaju.
Pengolahan data dan cara analisis Data
Pengolahan Data
Hasil pengukuran Hb responden dengan metode cyanmethemoglobin
dibandingkan dengan standar rujukan cyanmethemoglobin , kemudian
dibuat menjadi dua katagori yaitu Kadar Hb < rujukan dan kadar Hb ≥
Rujukan.
Seluruh data akan diolah dengan menggunakan software komputer .
Analisis Data
Analisa Univariat
Analisa ini digunakan untuk mendiskripsikan variabel bebas dan
variabel terikat guna mendapatkan gambaran atau karakteristik
responden dengan membuat tabel distribusi frekuensi.
Analisa Bivariat
Analisa ini dilakukan dengan membuat tabel silang antara masing-
masing variabel bebas terhadap variabel terikat guna memperoleh
gambaran variabel bebas mana yang diduga ada hubungan dengan
kejadian Anemia pada pekerja di SPBU kota palembang. Uji statistik
yang digunakan dalam analisis ini adalah Chi square dan uji t
independent.
HASIL PENELITIAN
Kadar Hemoglobin (Hb) pekerja SPBU
Hasil analis didapat distribusi statistic kadar Hb pekerja SPBU
adalah sebagai berikut
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1210
24. ISBN 978-602-98295-0-1
Tabel. 4.1. Distribusi statistik kadar Hb pekerja SPBU
di Kota Palembang tahun 2009
Variabel Mean
Median SD Min - Maks 95 % CI
Kadar Hb 15.69 3.31 10.10 – 27.4 15.03 –
15.45 16.36
Hasil analisis didapatkan rata rata kadar Hb adalah 15.69 gr % ( 95% CI :
15.03 – 16.36), Median 15.45gr % dengan standar deviasi 3.31 gr % . Kadar
Hb terendah 10.10 gr % dan kadar Hb tertinggi 27.4 gr %. Dari hasil estimasi
interval dapat disimpulkan bahwa 95 % diyakini bahwa rata rata kadar Hb
antara 15.03 gr % sampai 16.36 gr %.
Status Hemoglobin (Hb) pekerja SPBU
Hasil analisis didapat distribusi frekuensi kadar Hb pekerja SPBU
adalah sebagai berikut
Tabel. 4.2. Distribusi frekuensi Status Hb pekerja SPBU
di Kota Palembang tahun 2009
Status Hb Jumlah Persentase
Anemia 31 31.6
Normal 41 41.8
Polisitemia 26 26.5
Jumlah 98 100
Distribusi status Hb pekerja SPBU hampir merata, yaitu status anemia
sebanyak 31 orang (31.6 %), status Hb normal 41 orang (41.8 %) dan Status
Hb polisitemia sebanyak 26 orang (26.5 %).
Status Hemoglobin (Hb) pekerja SPBU
Hasil analisis didapat distribusi frekuensi kadar Hb pekerja SPBU adalah
sebagai berikut
Tabel. 4.2. Distribusi frekuensi Status Hb pekerja SPBU
di Kota Palembang tahun 2009
Status Hb Jumlah Persentase
Normal 41 41.8
Tidak Normal 57 58.2
Jumlah 98 100
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1211
25. ISBN 978-602-98295-0-1
Distribusi status Hb pekerja SPBU hampir merata, yaitu status Hb yang normal
sebanyak 41 orang (41.8 %), dan status Hb yang tak normal 57 orang (58.2
%).
Jenis Kelamin pekerja SPBU
Hasil analisis didapat distribusi frekuensi jenis kelamin pekerja SPBU adalah
sebagai berikut
Tabel. 4.2. Distribusi frekuensi Jenis kelamin pekerja SPBU
di Kota Palembang tahun 2009
Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Laki laki 74 75.5
Perempuan 24 24.5
Jumlah 98 100
Distribusi jenis kelamin pekerja SPBU yaitu laki laki sebanyak 74 orang
(75.5%), dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 24 orang (24.5 %).
Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Hasil analisis didapat distribusi frekuensi penggunaan APD pekerja
SPBU adalah sebagai berikut
Tabel. 4.2. Distribusi frekuensi Penggunaan APD pekerja SPBU
di Kota Palembang tahun 2009
APD Jumlah Persentase
Sesuai 7 7.1
Tidak Sesuai 91 92.9
Jumlah 98 100
Distribusi Penggunaan APD pekerja SPBU yaitu Penggunaan APD yang
sesuai sebanyak 7 orang (7.1%), dan yang menggunakan tidak sesuai
sebanyak 91 orang (92.9 %).
Lama Kerja Pekerja SPBU
Hasil analis didapat distribusi statistic lama kerja pekerja SPBU adalah sebagai
berikut
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1212
26. ISBN 978-602-98295-0-1
Tabel. 4.1. Distribusi statistik Lama kerja pekerja SPBU
di Kota Palembang tahun 2009
Variabel Mean
Median SD Min - Maks 95 % CI
Lama kerja 5.45 5.93 1 – 30 4.26 – 6.64
3.00
Hasil analisis didapatkan rata rata lama kerja adalah 5.45 tahun ( 95% CI :
4.26 – 6.64), Median 3.00 tahun dengan standar deviasi 5.93 tahun . Lama
kerja terendah adalah 1 tahun dan lama kerja tertinggi 30 tahun. Dari hasil
estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95 % diyakini bahwa rata rata lama
kerja antara 4.26 tahun sampai 6.64 tahun.
Lama kerja Pekerja SPBU
Hasil analisis didapat distribusi frekuensi lama kerja pekerja SPBU
adalah sebagai berikut
Tabel. 4.2. Distribusi frekuensi Lama kerja pekerja SPBU
di Kota Palembang tahun 2009
Lama kerja Jumlah Persentase
3 tahun 56 57.1
> 3 tahun 42 42.9
Jumlah 98 100
Distribusi lama kerja pekerja SPBU yaitu 3 tahun sebanyak 56 orang (57.1
%), dan lama kerja > 3 tahun sebanyak 42 orang ( 42.9 %).
Umur pekerja SPBU
Hasil analis didapat distribusi statistic umur pekerja SPBU adalah sebagai
berikut
Tabel. 4.1. Distribusi statistik Umur pekerja SPBU
di Kota Palembang tahun 2009
Variabel Mean
Median SD Min - Maks 95 % CI
Umur 28.31 7.30 18 - 54 26.84 –
27.50 29.77
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1213
27. ISBN 978-602-98295-0-1
Hasil analisis didapatkan rata rata umur pekerja adalah 28.31 tahun ( 95% CI :
26.84 – 29.77), Median 27.50 tahun dengan standar deviasi 7.30 tahun . Umur
pekerja termuda adalah 18 tahun dan umur pekerja tertua adalah 54 tahun.
Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95 % diyakini bahwa rata
rata umur pekerja antara 26.84 tahun sampai 29.77 tahun.
Hubungan karakteristik pekerja dengan status hemoglobin pekerja SPBU
1. Jenis Kelamin dengan status hemoglobin
Tabel. 4.9.1. Distribusi responden menurut jenis kelamin
dan status hemoglobin pekerja SPBU
Status Hemoglobin
Jenis Normal Tidak Total OR P value
kelamin normal 95 % CI
n % n % N %
Laki laki 29 39.2 45 60.8 74 100 0.6
(0.25 – 0.351
Perempu 12 50.0 12 50.0 24 100 1.63
an
Jumlah 41 41.8 57 58.2 98 100
Hasil analisis hubungan antara jenis kelamin dengan status hemoglobin pekerja
SPBU didapat bahwa ada sebanyak 45 pekerja (60.8 %) dari 74 orang pekerja
yang ber jenis kelamin laki laki memiliki status hemoglobin tidak normal.
Sedangkan diantara pekerja yang berjenis kelamin perempuan ada 12 pekerja
(50.0%) yang mempunyai status hemoglobin yang tidak normal. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p = 0.351, maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang
signifikan antara jenis kelamin dengan status hemoglobin pekerja SPBU di kota
Palembang.
2. Umur dengan status hemoglobin
Tabel.4.9.1. Distribusi rata rata umur responden menurut status hemoglobin
Pekerja SPBU di kota Palembang
Variabel Mean SD SE P value N
Status Hb
- Normal 27.56 8.24 1.29 0.395 41
- Tidak 28.84 6.58 0.87 57
normal
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1214
28. ISBN 978-602-98295-0-1
Rata rata umur pekerja yang mempunyai status Hb normal adalah 27.56 tahun
dengan standar deviasi 8.24 tahun. Sedangkan untuk pekerja yang status Hb nya
tidak normal, rata rata umurnya adalah 28.84 tahun dengan standar deviasi 6.58
tahun.
Hasil uji didapat p = 0.395, berarti pada alpha 5 % terlihat tidak ada perbedaan
yang signifikan rata rata umur pekerja antara pekerja yang status Hb nya normal
dengan pekerja yang status Hbnya tidak normal.
Hubungan Penggunaan APD dengan status Hemoglobin pekerja SPBU
Tabel. 4.10. Distribusi responden menurut Penggunaan APD
dan status hemoglobin pekerja SPBU
Status Hemoglobin
Pengguna Normal Tidak Total OR P value
an APD normal 95 % CI
n % n % N %
Sesuai 6 85.7 1 14.3 7 100 9.60
(1.11-83.1) 0.020
Tidak 35 38.5 56 61.5 91 100
sesuai
Jumlah 41 41.8 57 58.2 98 100
Hasil analisis hubungan antara penggunaan APD dengan status hemoglobin
pekerja SPBU didapat bahwa ada sebanyak 1 pekerja (14.3 %) dari 7 orang
pekerja yang menggunakan APD sesuai memiliki status hemoglobin tidak normal.
Sedangkan diantara pekerja yang menggunakan APD tidak sesuai ada 56 pekerja
(61.5%) yang mempunyai status hemoglobin yang tidak normal. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p = 0.020, maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan
antara penggunaan APD dengan status hemoglobin pekerja SPBU di kota
Palembang.
Dari hasil analisis diperoleh nilai OR = 9.60 (95%CI : 1.11 – 83.1), artinya pekerja
yang menggunakan APD yang tidak sesuai memiliki peluang 9.60 kali mempunyai
status hemoglobin tidak normal dibanding pekerja yang menggunakan APD yang
sesuai.
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1215
29. ISBN 978-602-98295-0-1
Hubungan lama kerja dengan status hemoglobin pekerja SPBU
Tabel.4.9.1. Distribusi rata rata lama kerja responden menurut status hemoglobin
Pekerja SPBU di kota Palembang
Variabel Mean SD SE P value N
Status Hb
- Normal 5.024 5.42 0.85 0.545 41
- Tidak 5.76 6.29 0.83 57
normal
Rata rata lama kerja pekerja yang mempunyai status Hb normal adalah 5.04
tahun dengan standar deviasi 5.42 tahun. Sedangkan untuk pekerja yang status
Hb nya tidak normal, rata rata lama kerjanya adalah 5.76 tahun dengan standar
deviasi 6.29 tahun.
Hasil uji didapat p = 0.545, berarti pada alpha 5 % terlihat tidak ada perbedaan
yang signifikan rata rata lama kerja pekerja antara pekerja yang status Hb nya
normal dengan pekerja yang status Hbnya tidak normal.
PEMBAHASAN
A. Kadar Hemoglobin (Hb) pekerja SPBU
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada 98 pekerja di SPBU
Palembang tahun 2009 didapatkan rata-rata kadar hemoglobin pekerja SPBU
adalah 15.69 gr/dL, dengan kadar hemoglobin terendah 10.10 gr/dL dan
tertinggi 27.4 gr/dL.
Hasil kadar hemoglobin yang didapat memiliki kadar yang sangat jauh.
dimana terdapat 2 perbedaan hasil yang rendah dan sangat tinggi. Tingginya
kadar hemoglobin ini dapat disebabkan banyak faktor, yaitu karena kadar
oksigen di dalam udara terlalu rendah dan waktu pengambilan sample. Jika
kadar oksigen di udara rendah, maka jaringan mungkin menerima terlalu
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1216
30. ISBN 978-602-98295-0-1
sedikit oksigen. Waktu pengambilan sampel pada penelitian ini beraneka
ragam. Mulai dari pagi, siang, dan sore hari.
Waktu pengambilan sampel di siang hari juga mempengaruhi tingginya
hasil kadar hemoglobin, dimana pekerja yang diambil sampelnya dalam kondisi
yang tidak begitu baik. Kondisi yang tidak baik disini adalah pekerja di siang
hari tepatnya sekitar pukul 11.00-14.00 melakukan pergantian shift. Pada saat
pergantian shift, mereka belum mengkonsumsi makan siang dan kurangnya
minum, ditambah dengan keadaan lingkungan yang panas. Terlihat pula
kelelahan mereka bekerja dikarenakan aktifitas padat seharian yang banyak
mengeluarkan tenaga sehingga pekerja juga sangat kurang mengkonsumsi air
putih dan terjadi dehidrasi secara mikro di dalam tubuh..
Penyebab lain tingginya kadar hemoglobin juga dapat dilihat pada saat
pemeriksaan di laboratorium. Hasil pemeriksaan kadar hemoglobin penelitian
pada hari pertama umumnya seimbang, tetapi pada hari kedua hasilnya
terdapat ketidakseimbangan. Hal ini bisa dikarenakan standar hemoglobin
yang dibaca berulang-ulang sehingga tutup standar sering terbuka. Jika
standar menguap dapat mempengaruhi hasil kadar hemoglobin menjadi tinggi
dari hasil yang sebenarnya.
B. Status Hemoglobin (HB) pekerja SPBU
Distribusi frekuensi status Hb pada pekerja di SPBU Palembang tahun
2009 diperoleh hasil pekerja yang status Hb nya anemia sebanyak 31 orang
(31,6%).
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1217
31. ISBN 978-602-98295-0-1
Hasil ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan penelitian Husaini (1989)
bahwa di Indonesia prevalensi anemia pada pekerja berpenghasilan rendah
sebanyak 20-30% (Nyoman M, 2004)
Anemia yang terjadi pada pekerja SPBU dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Faktor utama diduga dari paparan timbal pada bensin dalam
jangka waktu yang lama. Menurut penelitian di lapangan pada saat
pengambilan sampel, umumnya pekerja yang anemia telah memiliki dampak
dari pekerjaan sebelumnya seperti ada beberapa pekerja SPBU tersebut yang
sebelumnya telah bekerja di SPBU juga. Sedangkan faktor lain dapat berasal
dari rendahnya faktor ekonomi serta kurangnya asupan gizi bagi pekerja
tersebut.
Gangguan kesehatan seperti anemia dapat berpengaruh pada
produktifitas kaum pekerja SPBU dimana daya tahan fisik pekerja terkendala
karena rendahnya kadar hemoglobin dalam darah. Akibatnya para pekerja
tidak dapat bekerja dengan optimal misalnya saja para pekerja sering izin tidak
dapat bekerja dikarenakan sakit. Anemia merupakan penyakit yang bukan
sepele karena jangka panjang dapat mengakibatkan kerusakan syaraf, fungsi
otak, serangan jantung bahkan kematian.
(http://portalcbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx/.)
Selain timbal, di dalam bensin juga ada zat kimia lain yang berbahaya
yaitu benzena. Data menunjukkan adanya insiden terjadinya anemia aplastik
akibat inhalasi benzene di eropa dan Israel sebanyak dua kasus per 1 juta
populasi setiap tahunnya. Di Thailand dan Cina angka kejadiannya sebanyak
lima hingga tujuh orang per 1 juta populasi per tahunnya ( Kasper, Braunwald,
faunci et al, 2004).
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1218
32. ISBN 978-602-98295-0-1
Pemajanan zat kimia terhadap pekerja beserta lingkungan kerjanya
secara terus-menerus akan merupakan beban fisik dan psikologis bagi tenaga
kerja yang akhirnya menyebabkan penyakit akibat kerja. Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor Per. 01/Men/1981 mengenai kewajiban melapor penyakit
akibat kerja, mengatur bahwa terdapat 30 jenis penyakit akibat kerja yang
berhubungan dengan bahan kimia termasuk benzena. Salah satu bahaya dari
benzen adalah leukemia, dimana tanda-tanda awal dari leukemia adalah
anemia.(Lu, Frank. 1995).
Selain itu dari hasil analisis didapat adanya kejadian polisitemia
sebanyak 26 orang (26.5%). Polisitemia adalah keadaan dimana terjadi
peningkatan jumlah sel darah merah akibat pembentukan sel darah merah
yang berlebihan oleh sumsum tulang. Polisitemia terjadi akibat kekurangan
kadar oksigen, dehidrasi dan pada beberapa kasus yang berkaitan dengan
neoplasma. (Brown A B, 1975)
C. Hubungan Karakteristik responden dengan status Hemoglobin pekerja
SPBU
Dari hasil uji didapat bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin
dengan status hemoglobin.
Hasil ini bertolak belakang dengan penelitian sebelumnya Aminah
(2006) di Surabaya bahwa perempuan lebih rentan terkena anemia yang
disebabkan oleh keracunan timbal daripada laki-laki. Beberapa penelitian
(Husaini dkk) melaporkan dikalangan tenaga kerja wanita 30-40% menderita
anemia, dan hasil studi di Tangerang tahun 1999 menunjukan prevalensi
anemia pada pekerja wanita 69%.(Aminah, 2006 dan Depkes, 1999).
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1219
33. ISBN 978-602-98295-0-1
Menurut teorinya, perempuan lebih berisiko terkena anemia daripada
laki-laki. Disamping dari pengaruh hormon akibat menstruasi dan kehamilan,
banyak perempuan yang melakukan diet tidak sehat seperti minum obat-obat
pelangsing yang mempunyai efek samping yang buruk serta mengurangi
mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin. Aktifitas perempuan juga
lebih banyak dibanding laki-laki karena selain bekerja di luar rumah,
perempuan juga mengurus rumah tangga.(Wahyuni, sri, 2007)
Distribusi jenis kelamin pada pekerja SPBU di kota Palembang didapat
bahwa Jumlah pekerja berjenis kelamin perempuan sangat sedikit yaitu 24
orang (24,5%) dari 98 orang pekerja. Dengan proporsi ini maka hubungan
antara jenis kelamin dengan status hemoglobin tidak terdeteksi karena jenis
kelamin mendekati homogen.
Hasil uji juga di dapat tidak ada hubungan antara umur dengan status
hemoglobin. Hal ini bertolak belakang dengan teori dari buku kasper,
braunwald, fauci et al (2004) yang menyatakan bahwa distribusi umur biasanya
biphasik, yang artinya puncak kejadiannya pada remaja dan puncak kedua
pada orang lanjut usia.
Distribusi umur pada pekerja di SPBU kota palembang, umur rata rata
28.31 tahun. Umur termuda 18 dan umur tertua 54 tahun. Dari distribusi ini,
terlihat bahwa rentang usia sangat jauh berbeda dan jumlah usia tua sangat
sedikit. Sehingga data cukup homogen di usia produktif. Dengan homogennya
umur pekerja ini maka tidak didapat hubungan antara umur dengan status
hemoglobin.
D. Hubungan Lama kerja dengan status hemoglobin pekerja SPBU
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1220
34. ISBN 978-602-98295-0-1
Dari hasil uji didapat bahwa tidak ada hubungan antara lama kerja
dengan status hemoglobin pekerja SPBU.
Hal ini bertentangan dengan penelitian sebelumnya Aminah (2006) di
Surabaya yang menyatakan bahwa lebih lama seseorang bekerja dalam
lingkungan yang terpapar timbal akan lebih besar kemungkinan keracunan.
Berdasarkan teorinya, semakin lama seseorang bekerja dalam
lingkungan yang terpapar timbal maka semakin besar terkena keracunan
karena dalam jangka waktu yang lama konsentrasi timbal berlebih akan
terakumulasi dalam darah. Namun demikian, tidak hanya lama kerja yang
merupakan faktor penyebab anemia dari keracunan timbal, tetapi masih
banyak faktor lainnya diantaranya status gizi yang buruk, dan kesejahteraan
pekerja SPBU.
(Aminah, 2007 dan http://portalcbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx/.).
Distribusi lama kerja di dapat, rata rata lama kerja 5.45 tahun.
Sedangkan lama kerja terendah adalah 1 tahun dan lama kerja tertinggi adalah
30 tahun. Dari distribusi ini terlihat begitu lebar jarak rentang lama kerja antara
sesama pekerja. Dan sebagian besar pekerja mempunyai lama kerja antara
4.26 tahun sampai 6.64 tahun. Dari data ini, maka dapat disimpulkan bahwa
proses keterpaparan pekerja oleh bahan bahan toksik di dalam bensin
mendekati homogen antara sesama pekerja.
E. Hubungan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dengan status
hemoglobin
Hasil analisis didapat Ada hubungan antara penggunaan APD dengan
status hemoglobin pekerja SPBU di kota Palembang.
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1221
35. ISBN 978-602-98295-0-1
Dari pengamatan di lapangan, didapatkan 91 orang pekerja SPBU
(92.9%) tidak menggunakan alat pelindung diri yang sesuai sedangkan hanya
7 orang (7.1%) yang menggunakan alat pelindung diri yang sesuai. Hasil ini
hampir sama dengan penelitian Aminah (2006) di Surabaya dimana seluruh
karyawan 100% tidak menggunakan alat pelindung diri.
Penyebab utamanya adalah tidak tersedianya alat pelindung diri yang
sesuai di SPBU tersebut diantaranya sepatu, sarung tangan, dan masker.
Walaupun ada beberapa SPBU yang menyediakan fasilitas tersebut, tetapi
para pekerja tidak menggunakannya dengan baik. Tidak diketahui alasannya
secara pasti tetapi hal tersebut juga merupakan kesalahan dari pihak atasan
karena tidak adanya tindakan tegas bagi para pekerja yang tidak
menggunakan alat pelindung diri yang sesuai.
Alat pelindung diri sangat penting digunakan pada pekerja SPBU.
Lingkungan kerja yang terpapar timbal dari bensin dapat mengakibatkan
gangguan kesehatan bagi pekerja SPBU tersebut. Pentingnya alat pelindung
diri terutama masker mengingat dimana timbal dapat masuk ke dalam tubuh
85% melalui pernapasan, 14% melalui pencernaan, dan 1% melalui
kulit.(KPBB, 1999)
Keracunan melalui mulut kemudian masuk ke dalam pencernaan akan
menimbulkan tanda-tanda seperti muntah, denyut nadi cepat, hilang
kesadaran, kehilangan kestabilan, dan koma. Keracunan melalui kulit
merupakan iritan kuat yang dapat menimbulkan bercak merah dan terbakar
serta menghilangkan lemak pada lapisan keratin yang menyebabkan kulit
kering serta bersisik. Pada keracunan melalui pernapasan, tanda-tanda
utamanya ialah perasaan mengantuk, pusing, sakit kepala, vertigo, dan
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1222
36. ISBN 978-602-98295-0-1
kehilangan kesadaran. Keracunan ini berpengaruh terhadap sel sel
hemopoetik darah tepi dan sumsum tulang.(Wisaksono, 2004).
KESIMPULAN
1. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan status hemoglobin
pekerja SPBU di kota Palembang tahun 2009
2. Tidak ada hubungan antara lama kerja dengan status hemoglobin pekerja
SPBU di kota Palembang tahun 2009
3. Ada hubungan antara penggunaan alat pelindung diri (APD) dengan status
hemoglobin pekerja SPBU di kota Palembang tahun 2009.
SARAN
1. Pemilik SPBU diharapkan memberikan fasilitas alat pelindung diri yang
sesuai untuk pekerja SPBU guna mencegah timbulnya gangguan
kesehatan seperti anemia atau penyakit akibat kerja lain nya.
2. Pekerja SPBU diharapkan mengkonsumsi gizi yang seimbang setiap
harinya.
3. Perlu adanya penyuluhan bagi pekerja SPBU oleh petugas kesehatan
mengenai bahaya lingkungan kerja, khususnya dampak timbal dan benzen
bagi kesehatan.
4. Kepada peneliti lain, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut antara lain:
a. Pemeriksaan penunjang lain seperti pemeriksaan hitung jumlah
eritrosit, retikulosit, dan pemeriksaan sediaan hapus darah.
b. Dilakukan pemeriksaan seperti di atas tetapi dengan objek penelitian
yang berbeda misalnya pada pedagang asongan, anak-anak
jalanan, sopir angkutan umum, dan polisi lalu lintas yang terpapar
timbal dari gas buang kendaraan.
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1223
37. ISBN 978-602-98295-0-1
DAFTAR PUSTAKA
Murtiyasa, Nyoman. 2004. Faktor Resiko Kejadian Anemia pada Pekerja
Wanita. (http://adln.lib.unair.ac.id/go.php/. Diakses 7 Januari 2008).
Anonim. 2006. Anemia.
(http://portalcbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx/. Diakses 7 Januari
2008).
Komite Penghapusan Bensin Bertimbal. 1999. Analisis Dampak Pemakaian
Bensin Bertimbal dan Kesehatan.
(http://www.kpbb.org/makalah-ind/. Diakses 29 September 2007).
Komite Penghapusan Bensin Bertimbal. 2005. Pengujian Kadar Pb pada
Bensin Premium TT.
(http://www.kpbb.org/makalah_ing/LeadPhaseOutRevised.pdf.
Diakses 7 Januari 2008).
Lu, Frank C. 1995. Toksikologi Dasar. Edisi Kedua. Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta.
Sudarmaji, J. Mukono, Corie I.P. 2006. Toksikologi Logam Berat B3 dan
Dampaknya Terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol.2
No.2.
(http://www.journal.unair.ac.id/login/journal/filer/KESLING-2-2-03.pdf.
Diakses
29 September 2007).
Aminah, Noery. 2006. Perbandingan Kadar Pb, Hb, Fungsi Hati, Fungsi
Ginjal. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol.2 No.2.
(http://www.journal.unair.ac.id/login/jurnal/filer/KESLING-2-2-01.pdf.
Diakses 3 Oktober 2007).
Depkes RI Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan. 1989. Hematologi. Jakarta.
Hadiat, dkk. 2004. Kamus Sains. Balai Pustaka, Jakarta.
De Maeyer, E.M. 1993. Pencegahan Dan Pengawasan Anemia Defisiensi Besi.
Widya Medika, Jakarta.
Sitompul, Johan Intan. 1983. Patohematologi. Penerbit Medipress, Jakarta.
Wahyuni, Sri. 2007. Anemia dan Wanita.
(http://www.medanbisnisonline.com/rubrik.php. Diakses 4 Juli 2008).
Notoatmodjo, Soekidjo. 1996. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Penerbit Rineka
Cipta, Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1224
38. ISBN 978-602-98295-0-1
Firdaus, Lutfi. Bensin.
(http://www.chem-is-try.org/?sect=fokus&ext=17. Diakses 7 Januari 2008).
Sartono, Drs. 2002. Racun dan Keracunan. Widya Medika, Jakarta.
Polar, Heryando. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Penerbit
Rineka Cipta, Jakarta.
dr U Syamsudin, dr F D Suyatna. 1978. Keracunan Pb.
(http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/10KeracunanPb013.pdf/. Diakses 7 Januari
2008).
Komite Penghapusan Bensin Bertimbal. 1999. Kebijakan Energi Bersih melalui
Penghapusan Bensin Bertimbal (Pb).
(http://www.kpbb.org/makalah_ind/Kebijakan%20Energi%20Bersih%20Melalui%2
0Penghapusan%20Bensin%20Bertimbel.pdf. Diakses 7 Januari 2008).
Azwar, A. 1988. Pengantar Epidemiologi Edisi Pertama. PT.Bina Rupa
Aksara, Jakarta.
Imamkhasani, Soemarto. 1990. Keselamatan Kerja dalam Laboratorium Kimia.
Penerbit PT.Gramedia, Jakarta.
Martin, David W.JR dkk. 1992. Biokimia Harper Edisi 20. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Kresno, Siti Boedina. 1988. Pengantar Hematologi dan Imunohematologi.1988.
Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Wisaksono, Satmoko. 2004. Resiko Pemajanan Benzen terhadap Pekerja dan
Cara Pemantauan Biologis. Jakarta.
Gandasoebrata, R. 2004. Penuntun Laboratorium Klnik. Dian Rakyat, Jakarta.
Tjokronegoro, Arjatmo dkk. 1992. Pemeriksaan Laboratorium Hematologi
Sederhana. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Notoatmojo, Soekidjo. 1993. Dasar-dasar Metodelogi Penelitian Kesehatan.
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Widman K.F. 1995. Tinjauan klinis atas hasil Pemeriksaan Laboratorium. Ed 9
UI.Jakarta
Brown Barbara. 1975. Principles and Procedure. Lea & Febiger. Philadelphia
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1225
39. ISBN 978-602-98295-0-1
ANALISIS FAKTOR RESIKO PENULARAN HIV/AIDS DI KOTA MEDAN
Erledis Simanjuntak
Mahasiswa tugas belajar pada Program Doktor Ilmu-Ilmu Lingkungan Di PPS
Unsri Palembang
ABSTRAK
HIV/AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan Global. Di seluruh
negara saat ini sedang terancam dengan penyebaran virus yang mematikan ini.
Tidak hanya di negara maju, tetapi juga di negara sedang berkembang seperti
Indonesia, termasuk di Kota Medan.Berbagai faktor resiko penyebab HIV/AIDS,
seperti: hubungan sex bebas (beresiko), pemakaian jarum suntik narkoba,
penularan melalui transfusi darah, dan transmisi dari ibu ke anak. Di samping itu
faktor karakteristik juga berperan terhadap resiko penularan HIV/AIDS, seperti
umur, jenis, pekerjaan, dan pendidikan.Desain penelitian ini Kasus Kontrol,
dengan 230 sampel (115:115). Data diambil dari pasien HIV/AIDS dan Kontrol
yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan tahun
2010, yang berdomisili di Kota Medan. Dilakukan Analisis Deskriptif, Bivariat (Uji
Chi-Square), dan Multivariat (Uji Regressi Logistik), dengan Program SPSS For
Windos 17. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan pada
tingkat kepercayaan 95 % pada variabel : Pemakai jarum suntik narkoba
(P=0,000), Hubungan sex bebas (P=0,000), Kelompok umur 15 – 24 tahun, 25-
34 tahun, 35-44 tahun (P=0,000), jenis kelamin Laki-laki (P=0,000), Tidak bekerja,
Wiraswasta, Pegawai Swasta (P= 0,000), Pendidikan SD, SLTP (P=0,000), SLTA
(P=0,001). Uji Multivariat menunjukkan faktor resiko yang dominan terhadap
penularan HIV/AIDS di Kota Medan adalah: Pemakaian jarum suntik narkoba
(OR=66,551), hubungan sex bebas (OR=25,419), Pendidikan (OR=2,653),
Pekerjaan (OR= 2,288).
Kata Kunci : Kesehatan, Faktor Resiko HIV/AIDS, Kasus Kontrol.
PENDAHULUAN
Kasus HIV/ AIDS dewasa ini telah mengalami peningkatan jumlah secara
cepat dari tahun – ketahun. Menurut data yang ada, sampai dengan 30 Juni 2010
secara komulatif kasus AIDS yang dilaporkan sejak tahun1978 sejumlah 21.770
kasus dari 32 provinsi dan 300 Kabupaten. Kasus terbanyak diperoleh di DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Papua, Bali, Jawa tengah, Kalimantan Barat,
Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Barat. Rate tertinggi
berada di Provinsi Papua (14,34 kali) dari angka Nasional. Rasio Kasus AIDS
antara laki-laki dengan perempuan adalah 3:1.
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1226
40. ISBN 978-602-98295-0-1
Sedangkan kasus HIV positf sampai dengan 30 Juni 2010 sejak dilaporkan
tahun1978 secara komulatif = 44.292. Daerah yang paling banyak terjadi kasus
HIV positf adalah DKI Jakarta (9,804 kasus), Jawa Timur (5.973 kasus), Jawa
Barat (3.798 kasus), Sumatera Utara (3.391 kasus), Papua (2,947 kasus), Bali
(2,505 Kasus). Jumlah ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS yang masih dalam
pengobatan Anti Retro Virus tertinggi di DKI Jakarta (7.242 Kasus), Jawa Barat
(2.001), Jawa Timur (1.517 Kasus), Bali (984 Kasus), Papua (685 Kasus), Jawa
Tengah (575 Kasus), Sumatera Utara (575 Kasus), Kalimantan Barat (463 Kasus),
Kepulauan Riau (426 kasus), Sulawesi Selatan (343 Kasus) (Depkes RI, 2010).
Beberapa faktor resiko penularan hiv/aids adalah melalui hubungan
seksual, melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercampur virus
hiv, melalui jarum suntik yang tidak steril, transplantasi organ pengidap hiv dan
penularan dari ibu ke anaknya saat di kandungan (Nursalam , 2007).
Hingga saat ini belum ada data yang akurat tentang jumlah kasus, dan
faktor risiko yang mempengaruhi berkembangnya penularan HIV diberbagai
wilayah di indonesia, termasuk di Kota Medan. Oleh sebab itu perlu dilakukan
penelitian tentang ― Analisis Faktor Resiko HIV/AIDS Di Kota Medan―. Dengan
diketahuinya faktor resiko penularan HIV/AIDS secara jelas, diharapkan dapat
menjadi masukan terhadap pemerintah untuk membuat perioritas program
penanggulangan HIV/ AIDS secara tepat, efektif sesuai dengan sumber daya
yang ada.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Haji Adam
Malik Medan.W aktu penelitian selama enam bulan (Mei - September tahun 2010).
Desain penelitian ini adalah studi kasus kontrol (case control study). Sampel
dalam penelitian terdiri dari dua kelompok yaitu satu kelompok kasus (penderita
HIV/AIDS), dan satu kelompok kontrol (bukan penderita HIV/AIDS) yang
berdomisili di Kota Medan. Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan
rumus (Murti, 1996., Sudigdo, 2002) sebagai berikut:
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1227
41. ISBN 978-602-98295-0-1
2
z z PQ
n 2
p 1
2
R
p
1 R
Q 1 p
Keterangan :
R = Perkiraan Odds Ratio = 2., = 0,05., Z=1,64., = 0,10., Z= 1,28
2
1,64 2 1
1,28. .
n 2 3 3
2 1
3 2
2
0,82 0,89
n
0,16
n= 115 (jumlah sampel dalam adalah 230, terdiri dari 115 kasus, dan 115
Kontrol). Pengambilan sampel dilakukan secara porposif. dengan menggunakan
Angket, berupa kuesioner yang diisi langsung oleh responden.
Bahan yang dianalisis dalam penelitian ini berupa Data Primer Primer yang
dikumpulkan dengan menggunakan Angket. Data dianalisis secara Deskriptif,
Analisis Bivariat (Uji Chi-Square), dilakukan perhitungan terhadap Odds Ratio
(OR), dengan Confident Interval 95%. Analisis terhadap Odds Ratio dilakukan
dengan membandingkan Odds pada kelompok kasus dengan Odds pada
kelompok Kontrol (Sudigdo,2002). Selanjutnya dilakukan Analisis Multivariat (Uji
Regressi Logistik), melalui Program SPSS For W indos 17 dengan metode
Stepwise (Hastono,2001).
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1228
42. ISBN 978-602-98295-0-1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel .1.
Distribusi Gambaran Karakteristik Sampel Kasus HIV/AIDS dan Kontrol Di Kota
Medan Tahun 2010.
No Variabel Kasus Kontrol Total
n % n % n %
1 Umur : 15-24 Tahun 15 13,0 13 11,3 28 12,2
25-34 Tahun 63 54,8 15 13,0 78 33,9
35-44 Tahun 27 23,5 32 27,8 59 25,7
45- 64 Tahun 10 8,7 55 47,8 65 28,3
Jumlah 115 100 115 100 230 100
2 Jenis Kelamin: Laki-laki 96 83,5 70 60,9 166 72,2
Perempuan 19 16,5 45 39,1 64 27,8
Jumlah 115 100 115 100 230 100
3 Pekerjaan: Tidak Bekerja 51 44,3 20 17,4 71 30,9
Wiraswasta 43 37,4 27 23,5 70 30,4
Pegawai 20 17,4 26 22,6 46 20,0
Swasta
PNS 1 0,9 42 36,5 43 18,7
Jumlah 115 100 115 100 230 100
4 Pendidikan: SD 9 7,8 2 1,7 11 4,8
SLTP 39 33,9 25 21,7 64 27,8
SLTA 65 56,5 70 60,9 135 58,7
PT/Akademi 2 1,7 18 15,7 20 8,7
Jumlah 115 100 115 100 230 100
1. Umur.
Hasil penelitian pada Tabel.3.1. Menunjukkan bahwa proporsi kasus
HIV/AIDS ditemukan tertinggi pada Umur 25-34 tahun (54,8%), 35-44 tahun
(23,5%). Hasil uji Bivariat (Tabel. 3.3.) Menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan antara umur dan HIV/AIDS (p=0,000), dan jika dilihat dari nilai OR, maka
dapat disimpulkan bahwa Usia yang paling beresiko terhadap HIV/AIDS adalah
umur 25-34 tahun (OR=23,100), Usia 15-24 tahun (OR=6,346), 35-44 Tahun
(OR=4,641).
Usia remaja, dan usia produktif sangat beresiko terhadap penularan
HIV/AIDS. Infeksi HIV/AIDS sebagian besar (>80%) diderita oleh kelompok usia
produktif (15-49 tahun) (Wandoyo, 2007). Banyak faktor yang menyebabkan
tingginya kasus HIV/AIDS pada kelompok usia remaja, usia produktif . Menurut
Tanjung (2004), remaja sangat rentan dengan HIV/AIDS, oleh karena usia remaja
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1229
43. ISBN 978-602-98295-0-1
identik dengan semangat bergelora, terjadi peningkatan libido. Selain itu resiko ini
disebabkan faktor lingkungan remaja.
Tabel.2. Resiko Kejadian HIV/AIDS Pada Sampel Menurut Umur dan Jenis
Kelamin Di Kota Medan Tahun 2010.
No Variabel Kasus Kontrol χ² OR
N % n % (Nilai P) (CI 95%)
1 Umur :
15-24 Tahun 15 60,0 13 19,1 14,519 6,346
45- 64 Tahun 10 40,0 55 80,9 (0,000) (2,326-
Jumlah 25 100 68 100 17,299).
25-34 Tahun 63 86,3 15 21,4 60,656 23,100
45- 64 Tahun 10 13,7 55 78,6 (0,000) (6,600 -
Jumlah 73 100 70 100 55,586)
35-44 Tahun 27 73,0 32 36,8 13,633 4,641
45- 64 Tahun 10 27,0 55 63,2 (0,000) (1,991-10,818)
Jumlah 37 100 87 100
2 Jenis 14,635 3,248
Kelamin: (0,000) (1,750-6,028).
Laki-laki 96 83,5 70 60,9
Perempuan 19 16,5 45 39,1
Jumlah 115 100 115 100
2. Jenis Kelamin.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah kasus HIV/AIDS lebih
tinggi pada laki-laki sejumlah (83,5%), dibanding dengan perempuan sejumlah
(16,5). Resiko laki-laki menderita HIV/AIDS jika dilihat dari nilai OR adalah 3,248
kali lebih tinggi dari perempuan (Tabel.2). Hal ini sejalan dengan data prevalensi
HIV/AIDS tahun 2003, dari 22 provinsi yang telah ada kasus HIV di Indonesia
diperoleh data bahwa penyebaran HIV/AIDS berdasarkan Gender, laki-laki 57,71
%, dan perempuan 42,29 % (Notoadmojo,2007). Menurut Depkes RI (2010),
Rasio Kasus AIDS antara laki-laki dengan perempuan adalah 3:1. Menurut
Wandoyo (2007) bahwa infeksi HIV sebagian besar (>80%) diderita oleh kelompok
usia produktif (15-49 Tahun), terutama laki-laki. Akan tetapi jumlah penderita
wanita cenderung meningkat. Resiko AIDS yang tertinggi pada pria homoseks,
mungkin sekali kerena seringnya hubungan seksual dengan pasangan yang
berbeda-beda. ( Noor , 1997).
a. Pekerjaan
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1230
44. ISBN 978-602-98295-0-1
Tabel.1. Memperlihatkan Proporsi Sampel yang tidak bekerja pada
kelompok Kasus HIV/AIDS (44,3%), wiraswasta (37,4%). PNS (0,9%). Hasil Uji
Bivariat (Tabel.3.)memperlihatkan Ada hubungan yang signifikan antara jenis
pekerjaan dengan HIV/AIDS P < 0,005. Bila dilihat dari besarnya nilai OR maka
Sampel yang tidak bekerja mempunyai resiko tertinggi untuk kemungkinan
menderita HIV/AIDS (OR=107,100), selanjutnya bekerja sebagai wiraswasta
(OR=66,889), Pegawai Swasta (OR=32,308 ). Muninjaya (1999), menyebutkan
bahwa HIV ditularkan oleh para Traveler (turis, nelayan asing), kepada kelompok
Pekerja Sex Komersial, kemudian menyebar kepada para pelanggan yang
menggunakan jasa meraka.
b. Pendidikan
Tabel.3. Resiko Kejadian HIV/AIDS Pada Sampel Menurut Pekerjaan dan
Pendidikan Di Kota Medan Tahun 2010.
No Variabel Kasus Kontrol χ² OR
N % n % (Nilai P) (CI 95%)
1 Pekerjaan :
A Tidak 51 98,1 20 32,3 52,152 107,100
Bekerja (0,000) (13,795-
PNS 1 1,9 42 67,7 831,499)
Jumlah 52 100 62 100
B Wiraswasta 43 97,7 27 39,1 39,135 66,889
PNS 1 2,3 42 60,9 (0,000) (8,691-514,786)
Jumlah 44 100 69 100
C Pegawai 20 95,2 26 38,2 20,878 32,308
Swasta (0,000) (4,089-255,282)
PNS 1 4,8 42 61,8
Jumlah 21 100 68 100
2 Pendidikan:
A SD 9 81,8 2 10,0 15,989 40,500
PT/Akademi 2 18,2 18 90,0 (0,000) (4,876-336,401)
Jumlah 11 100 20 100
B SLTP 39 95,1 25 58,1 15,824 14,040
PT/Akademi 2 4,9 18 41,9 (0,000) (2,996-65,804)
Jumlah 41 100 43 100
C SLTA 65 97,0 70 79,5 10,330 8,357
PT/Akademi 2 3,0 18 20,5 (0,001) (1,866-37,431)
Jumlah 67 100 88 100
Ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dan HIV/AIDS (p < 0,05). Nilai
OR tertinggi pada sampel (Tabel.3.) berpendidikan SD (nilai OR = 40,500,),
Sampel berpendidikan SLTP (OR =14,040), berpendidikan SLTA (OR =8,357).
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1231
45. ISBN 978-602-98295-0-1
Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin rendah pendidikan
sampel, maka semakin tinggi resiko menderita HIV/AIDS.
Dalam masyarakat dimana taraf kecerdasan masih rendah, masyarakat
belum berpartisipasi dalam pencegahan penyakit dan baru mencari pemecahan
persoalan bila masalah sudah nyata (Entjang, 2002). tingkat pendidikan individu
dan masyarakat dapat berpengaruh terhadap penerimaan pendidikan kesehatan
Herawani (2002), bahwa. Oleh sebab itu sosialisai (komunikasi, informasi dan
edukasi,pencegahan HIV/AIDS harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan
masyarakat.
c. Hubungan Sex Bebas
Hasil penelitian Pada Tabel.4. Memperlihatkan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara hubungan sex bebas dengan HIV/AIDS (P=0,000). Resiko
sampel yang melakukan hubungan sex bebas 9,966 lebih tinggi menderita
HIV/AIDS dibandingkan dengan Sampel yang tidak melakukan hubungan sex
bebas. Menurut data yang diperoleh dari Depkes RI (2010), cara penularan
terbanyak HIV/AIDS melalui hubungan heterosexual (51,3%). Dengan semakin
banyaknya perilaku hubungan sex bebas, tempat pelacuran, serta kemiskinan
moral sangat berpotensi menularkan HIV. Adanya kebiasaan berganti-ganti
pasangan dan melakukan anal sex menyebabkan rentan tertular HIV (Duarsa,
2007). Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari hubungan sex
beresiko, setia pada pasangan suami/istri.
Tabel.4. Resiko Kejadian HIV/AIDS Pada Sampel Menurut Cara Penularan Di
Kota Medan Tahun 2010.
No Variabel Kasus Kontrol χ² OR
N % N % (Nilai P) (CI 95%)
1 Hubungan Sex
Bebas:
Ya 56 48,7 10 8,7 44,963 9,966
Tidak 59 51,3 105 91,3 (0,000) (4,733-20,985)
Jumlah 115 100 115 100
2 Pemakaian Jarum
Suntik Narkoba:
Ya 62 53,9 6 5,2 65,476 21,252
Tidak 53 46,1 109 94,8 (0,000) (8,641 -52,268)
Jumlah 115 100 115 100
3 Transfusi Darah
Ya 2 1,7 7 6,1 2,891 0,273
Tidak 113 98,3 108 93,9 (0,089) (0,055-1,344)
Jumlah 115 100 115 100
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1232
46. ISBN 978-602-98295-0-1
3.6. Pemakaian Jarum Suntik Narkoba
Ada hubungan pemakaian jarum suntik narkoba, dengan HIV/AIDS (P=
0,000). Sampel Pemakai Jarum suntik narkoba kemungkinan 21,252 kali lebih
tinggi menderita HIV/AIDS dibandingkan dengan sampel yang tidak menggunakan
Jarum suntik narkoba. Resiko penggunaan jarum suntik tidak steril/pemakaian
bersama pengguna narkoba sekitar 0,5 – 1 % dan terdapat 5-10 % dari total
kasus sedunia. Depkes RI (2010) melaporkan cara penularan HIV/AIDS melalui
Pengguna Narkoba Suntik/Panasun (39,6%).
Di negara - negara Amerika Latin dilaporkan 7.215 kasus AIDS melanda
kaum muda berusia 20-49 tahun yang sebagian besar adalah kaum homoseksual
dan pengguna obat-obat suntik (Wandoyo, 2007). Di beberapa negara sekitar 50
% lebih pengguna narkotik dengan jarum suntik hidup dengan HIV/AIDS. Sekitar
50-70 % pengguna narkotik suntik (penasun), telah terinfeksi HIV (Tanjung,
2004).
Remaja memerlukan perhatian, bimbingan dan pembinaan terhadap
seluruh aspek kehidupan mereka, baik secara bio, psiko, social, budaya, dan
Spiritual.
3.7. Melalui Transfusi Barah
Hasil Analisis Bivariat hubungan transfusi darah dengan HIV/AIDS
diperoleh nilai p > 0,05 atau nilai p = (0,089), artinya tidak ada hubungan yang
bermakna antara transfusi darah dengan HIV/AIDS pada sampel. Hal ini
kemungkinan karena penyediaan produk darah yang diberikan kepada sampel
telah diperiksa oleh Palang Merah Indonesia, dan bebas HIV.
Berdasarkan Hasil akhir Uji Multivariat, diperohasil bahwa ada 4 variabel
faktor resiko yang dominan terhadap kejadian HIV/AIDS pada sampel di Kota
Medan Yaitu : Pemakaian jarum suntik narkoba, hubungan sex bebas, pendidikan,
dan pekerjaan.
3.8. Kesimpulan
Faktor resiko yang berhubungan secara signifikan (CI:(95%) terhadap
kejadia HIV/AIDS pada sampel di Kota Medan Adalah: Pemakai jarum suntik
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1233
47. ISBN 978-602-98295-0-1
narkoba, Hubungan sex bebas, Kelompok umur 15 – 24 tahun, 25-34 tahun, 35-
44 tahun, jenis kelamin Laki-laki, sampel yang tidak Tidak bekerja mempunyai
resiko lebih tinggi disbanding sampel yang bekerja, resiko pada sampel dengan
pendidikan yang lebih rendah menjadi HIV/AIDS lebih tingggi dibanding dengan
sampel berpendidikan tinggi.
Faktor resiko yang dominan terhadap penularan HIV/AIDS di Kota
Medan adalah: Pemakai jarum suntik narkoba, hubungan sex bebas, Pendidikan,
dan Pekerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI, Dirjen P2M dan PL:2009 Statistik Umum HIV/AIDS di Indonesia.
http//www./LP3Y.org/Content/AIDS/Sti.html.
Depkes RI, Dirjen P2M dan PL:2010. Kasus HIV/AIDS di Indonesia sampai
September 2010. http//www.Puskom Depkes @mail.com.
Duarsa, W . 2007. Infeksi Menular Seksual, Balai Penerbit Fk-Ui.Jakarta.Entjang,
Indan., 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat, PT.Citra Adiya Bakti,
Bandung.Hastono, S.P., 2001. Modul Analisis Data . Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Irianto, K. 2000. Gizi Dan Pola Hidup Sehat., Penerbit Yrama W idya. Jakarta.
Muninjawa, G. 1999. Aids Di Indonesia Masalah Dan Kebijakan
Penanggulangannya. Penerbit Buku Kedokteran Egc. Jakarta.
Murti, B. 1997. Prinsip Dan Metode Riset Epidemiologi., Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Noor,N.N., 1997. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Penerbit Rineka
Cipta. Jakarta
Notoadmodjo, S., 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu Seni., Penerbit Rineka Cipta.
Jakarta.
Nursalam, M., 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi Hiv/Aids.
Penerbit Salemba Medika. Jakarta.
Sudigdo, S. 2002. Dasar-Dasar Metode Penelitian Klinis. Edisi Kedua. Jakarta.
Wadoyo, G.2007. Awas Hiv-Aids. Penerbit Dinamika Media. Jakarta.
Tanjung, M., 2004. Kenali Kejahatan Narkoba Hiv-Aids. Lembaga Terpadu
Pemasyarakatan Anti Narkoba. Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1234
48. ISBN 978-602-98295-0-1
REFINERY PRODUCED WASTEWATER TREATMENT BY PVDF COMPOSITE
HOLLOW FIBER ULTRAFILTRATION
Erna Yuliwatia,b
a
Advanced Membrane Technology Research Centre Universiti Teknologi Malaysia
b
Universitas Bina Darma
ABSTRACT
The aim of this study is to investigate the effect of surface- modified of
PVDF membranes by adding the hydrophilic additives for refinery produced
wastewater treatment. This paper presents the results of a research on direct
clean water treatment using hollow fiber ultrafiltration equipment. The source of
water is the synthetic refinery wastewater with mixed liquor suspended solids
(MLSS) concentration of 3 g/l. All experiments were conducted at 25 oC and using
vacuum pump. The data were collected during a period of 72 h. The
morphological and performance tests were conducted on PVDF ultrafiltration
membranes prepared from different additives concentrations. The cross- sectional
area of the hollow fiber membranes was observed using a field emission scanning
electron microscope (FESEM). The surface wettability of porous membranes was
determined by measurement of contact angle. Mean pore size and surface
porosity were calculated based on the permeate flux. The results also indicated
that the PVDF composite membranes with lower additives concentration loading
possessed smaller mean pore size, more apertures inside the membranes with
enhanced membrane hydrophilicity. The flux and rejection of refinery wastewater
using PVDF composite membranes achieved were improved and the system is
ready for field employment.
INTRODUCTION
Waterborne outbreaks of enteric diseases are a major public health concern,
yet monitoring and identifying the disease-causing microorganism from water
samples remain difficult. Produced water is by far the largest contaminated stream
resulting from thermal heavy oil recovery operations and its treatment and reuse is
essential for the sustainability of oil sands processing [1]. Organic contaminants in
produced waters are toxic and corrosive leading to environmental and operational
problems. From an environmental sustainability and perspective, it is necessary to
recycle produced water and thus it must undergo proper treatment in order to
avoid potentially negative impacts on drinking water supplies and aquatic
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010 1235