Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Kearifan Lokal Kudus
1. Nama : Nor Hidayati
NIM : 1111016100067
Pendidikan Biologi 2B
Kearifan Lokal di Kota Kudus
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom)
dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti
setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local
wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
1. Kearifan Lokal Masyarakat Kudus Kulon dalam tradisi Perawatan Rumah Pencu
Keberadaan rumah tradisional di Kudus memiliki keberagaman, yaitu rumah Pencu dan
rumah Payon (rumah Payon Limasan Maligi Gajah dan rumah Payon Kampung).
Persebaran rumah Pencu yang terdapat di Kudus tersebar di wilayah Kudus Kulon dan Kudus
Wetan. Di Kudus Kulon kondisi eksisting rumah Pencu sekarang ini masih bisa dijumpai dengan
jumlah yang cukup banyak jika dibandingkan dengan kondisi eksisting rumah Pencu di daerah
Kudus Wetan. Adanya perbedaan jumlah yang sangat signifikan tersebut sangat erat kaitannya
dengan perkembangan lingkungan dan tata ruang dikedua wilayah tersebut. Di Kudus Kulon
kondisi lingkungannya relatif tidak banyak mengalami perubahan dari tahun ke tahun,
sedangkan di Kudus Wetan perubahan lingkungannya begitu pesat.
Rumah Pencu merupakan salah satu bagian dari hasil budaya materi yang berasal dari
masyarakat Kudus pada masa lalu. Identitas mengenai tingkat budaya masyarakatnya tercermin
melalui arsitektur, ragam hias serta konsepsi yang melatarbelakangi rumah tersebut.
Masyarakat Kudus memiliki cara tersendiri dalam merawat rumah tinggalnya yang berupa
rumah kayu tersebut dari beberapa generasi yang lampau. Kearifan lokal tersebut terihat dari
bagaimana masyarakat Kudus mengkonservasi rumah Pencu yang berbahan utama kayu dengan
ramuan tradisional dari leluhur mereka.
Pada rumah tradisional Kudus khususnya rumah Pencu, perawatan terhadap komponen
bangunan yang sebagian besar terbuat dari bahan kayu sangat diperhatikan. Terdapat beberap
tahapan dalam prosesi perawatan dalam rumah tradsional tersebut. Sedangkan dalam
masyarakat Kudus Kulon telah terdapat sebuah profesi yang memang khusus dalam
penanganan perawatan rumah kayu dan ukir.
Proses perawatan rumah Pencu ataupun rumah tradisional pada dasarnya memiliki
kesamaan. Proses perawatan rumah Pencu dilakukan oleh masyarakat pemiliknya sendiri
dengan cara tradisional dan turun-temurun dari generasi ke generasi. Proses perawatan rumah
tersebut menggunakan beberapa ramuan tradisional yang biasa terdapat di lingkungan sekitar
rumah atau wilayah Kudus Kulon. Beberapa ramuan yang dipergunakan dalam perawatan
2. rumah Pencu adalah rendaman pelepah pisang atau lebih dikenal dengan sebutan air pelepah
pohon pisang dan tembakau (APT), air merang, dan air rendaman cengkeh (ARC).
Proses perendaman ramuan tersebut berbeda-beda waktunya dan yang paling singkat
adalah rendaman air merang dan air pelepah daun pisang-tembakau yang rata-rata memakan
waktu sekitar 7 hari, sedangkan rendaman air cengkeh lebih dari 7 hari. Proses pencucian
rumah berlangsung bisa berlangsung 2 bulan atau lebih, hal ini disebakna oleh tingkat
kemampuan ekonomis setiap pemiliki rumah dalam memperkerjakan ahli perawatan rumah
Pencu. Menurut bapak Sariyon, salah satu orang yang berprofesi dalam merawat atau mencuci
rumah tradional Kudus atau rumah Pencu, hanya orang-orang tertentulah yang bisa mencuci
rumah Pencunya, dan biasanya setiap tahun berlangsung dua kali proses pencuciaannya.
Penggunaan ramuan tersebut terbukti efisien dan efektif mampu mengawetkan kayu jati, bahan
dasar Rumah Adat Kudus, dari serangan rayap (termite) dan sekaligus meningkatkan pamor dan
permukaan kayu menjadi lebih bersih, karena ramuan APT dan ARC dioleskan berulang-ulang ke
permukaan dan komponen-komponen bangunan kayu jati.
2. Kearifan Lokal Buka Luwur
Buka luwur merupakan upacara penggantian kain klambu penutup makam yang berlangsung
tiap tahun. Upacara buka luwur diawali dengan penglepasan luwur lama dan dilanjutkan
dengan pemasangan luwur yang baru. Upacara ini dirangkai dengan pengajian umum dan tahlil
bersama.
• Buka luwur Sunan Kudus dilaksanakan setiap tanggal 10 Syuro ( 10 Muharram )
• Buka luwur Sunan Muria dilaksanakan setiap tanggal 16 Syuro
Ribuan meter luwur yang menutupi makam diganti dengan luwur baru hasil sumbangan
masyarakat. Luwur lama dibagi secara gratis kepada warga sekitar, bahkan di Makam
Mutamakin, luwur dilelang kepada pengunjung hingga mencapai nilai puluhan juta. Luwur
paling keramat dan mempunyai nilai jual tinggi adalah yang berada di bagian nisan yang bagian
kepala.
Luwur yang hanya sebuah kain mori pada gilirannya mempunyai makna mistis di kalangan
masyarakat karena ada alunan doa dan berkah yang melekat di dalamnya. Warga melihat benda
metafisis untuk menggapai yang metafisis. Kepercayaan warga demikian sama halnya dengan
animisme maupun dinamisme, hanya saja dipisahkan oleh muatan ilahiah pada umat muslim
kekinian.
Buka luwur dalam tradisi makam-makam keramat dilakukan satu tahun sekali seperti halnya
merayakan ulang tahun. Setiap makam mempunyai tanggal yang menjadi acuan. Sehingga
masyarakat bisa menyiapkan diri untuk terjun sebagai relawan atau donator acara.
Dimensi sosial yang muncul dari buka luwur adalah adanya kebersamaan dan
kesetiakawanan yang saat ini jarang ada. Buka luwur bisa dikategorikan sebagai pesta rakyat,
karena antusias masyarakat yang mengikuti serta panitia acara. Dalam sebuah acara setidaknya
3. melibatkan ratusan masyarakat yang turun tanpa dikomando dan dibayar dengan upah rupiah.
Karena mereka akan cukup jika ada hasil sajian kuliner yang bisa dibawa pulang sebagai bagian
dari ngalap berkah, serta sepotong kain luwur yang selalu disimpan untuk kepentingan pribadi.
Panitia buka luwur menerima sumbangan tidak dibatasi dari masyarakat muslim saja, warga
nonmuslim pun ikut ambil alih. Panita bahkan tidak membatasi jumlah sumbangan yang
diberikan, karena buka luwur adalah hajat masyarakat, maka besar kecilnya kegiatan
tergantung pada masyarakat. Panitia buka luwur Makam Sunan Kudus, misalnya, tidak
membuat proposal atau permohonan bantuan kepada pihak luar. Besar atau kecil acara tidak
memengaruhi kekhidmatan buka luwur. Semua berjalan apa adanya sesuai dengan tradisi dan
tidak dibuat-buat. Makna dan kekhusyuan menjadi taruhan.
Modal sosial yang terkuak melalui kebersamaan dan sikap saling tolong menolong
merupakan aset besar dalam kehidupan bermasyarakat. Sebuah bangunan sosial yang akan
menjadikan cerahnya masa depan kemanusiaan. Anggota masyarakat yang jauh berada
dipersatukan oleh even agama untuk sekadar datang berziarah hingga ikut menyukseskan
acara. Jiwa yang mempunyai kesamaan visi dan misi bertemu dan membangun jalinan
kemanusiaan untuk menggapai sebuah maqam ilahiah. Sehingga buka luwu menjadikan amat
berkesan dan meninggalkan keakraban sosial.
Anak muda ataupun anak-anak yang mengikuti buka luwur akan dikenalkan dengan tradisi
masyarakat yang menuduhkan perawatan terhadap jalinan pesaudaraan. Meski terkadang di
benak anak-anak baru sebatas perayaan agama, tetapi saat menginjak dewasa kemudian tua,
akan terbersit memory purba dimana persaudaraan terjalin.
Tantangan memertahankan makna dan hikmah dari sebuah tradisi kuno yang berlangsung di
zaman modern adalah gempuran pemahaman ekonomi. Dalam kaca mata industri pariwisata
dan ekonomi masyarakat tradisi tersebut adalah objek penggalian keuntungan.
Dampak positif buka luwur dalam industri pariwisata sangat besar. Puluhan ribu orang dari
berbagai penjuru Indonesia mengkhususkan diri datang. Wisatawan di lokasi makam keramat
justru menemukan puncak wisatawan. Secara tak langsung denyut ekonomi lokal sekitar
makam terangkat.
Buka luwur kemudian menjadi tradisi yang hidup berkat gairah masyarakat untuk menjaga
kearifan lokal dan nilai di dalamnya. Timbal baliknya buka luwur pun menghidupi warga.
Sehingga terjadi hubungan mutualisme yang menghantarkan tradisi terus berjalan.
Daya kekuatan pemersatu dari buka luwur merupakan modal sosial bagi keberlangsungan
tatanan masyarakat yang saling memerhatikan. John Field dalam bukunya Modal Sosial (2010)
memerlihatkan bahwa dalam masyarakat modern modal sosial telah runtuh tergantikan dengan
dominasi individualism semata. Jikapun modal sosial tetap ada, hanya menjadi alat memeroleh
kekuasaan atau fasilitas nyaman sekolompok orang melalui lobi-lobi tertentu. Maka kembali
pada adat tradisi lokal yang sarat kearifan adalah tawaran yang mencerahkan.
4. Tak harus larut dalam buka luwur sebagai bentuk tunggal, membumikan sikap saling peduli
bisa diciptakan dalam ruang privat ataupun publik secara berbarengan. Buka luwur
menawarkan keterkaitan sosial lintas batas.
3. Kearifan Lokal Kupatan dan Syawalan
Di setiap perayaan hari raya Lebaran, dimana umat muslim selesai menjalankan puasa
selama satu bulan penuh, kita dapat menemukan ketupat hampir di setiap rumah yang
merayakannya. Makanan yang terbuat dari beras dan dimasak dalam balutan daun kelapa ini
memang identik dengan lebaran. Dengan sajian pendamping sayur opor, ketupat selalu
menghiasi meja-meja pada perayaan idul fitri.
Kiblat papat lima pancer ini, dapat juga diartikan sebagai empat macam nafsu manusia, yaitu
amarah, yakni nafsu emosional ; aluamah atau nafsu untuk memuaskan rasa lapar ; supiah
adalah nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah dan mutmainah, nafsu untuk memaksa diri.
Keempat nafsu ini yang ditaklukkan orang selama berpuasa. Jadi, dengan memakan ketupat
orang disimbolkan sudah mampu menaklukkan keempat nafsu tersebut. Tradisi syawalan yang
dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu, kini dilestarikan oleh organisasi-organisasi Islam,
maupun instansi pemerintah dan swasta dengan istilah halal bihalal. Menariknya, peserta halal
bihalal, tidak hanya umat Islam, tetapi seluruh warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama,
suku, ras dan golongan.
Tradisi itu bukan lagi milik umat Islam dan masyarakat Jawa saja, tetapi menjadi milik
segenap bangsa Indonesia. Tradisi ini juga kaya dengan kearifan dan kesalehan yang relevan
dengan konteks kekinian. Ia bisa diartikan sebagai hubungan antarmanusia untuk saling
berinteraksi melalui aktivitas yang tidak dilarang, plus mengandung sesuatu yang baik dan
menyenangkan. Maka, berhalal bihalal, mestinya tidak semata-mata dengan memaafkan
melalui perantara lisan atau kartu ucapan selamat saja, tetapi harus diikuti perbuatan yang baik
dan menyenangkan bagi orang lain khususnya yang diajak berhalal bihalal.
Syawalan juga merekatkan persatuan dan kesatuan, dan mendorong orang untuk jujur.
Adanya kerelaan untuk saling memaafkan, sudah membuktikan mencairnya individualitas,
strata sosial, egoisme, sektarian dan sebagainya. Orang juga dituntut untuk jujur, mau
mengakui kesalahan dan lantas meminta maaf. Kejujuran dan kerelaan hati untuk memaafkan
ini, merupakan terapi psikologis yang sangat ampuh bagi setiap orang. Pasalnya, dengan lepas
dan hilangnya dosa-dosa, orang akan merasa damai, tenang dan tentram.
Pada akhirnya, dalam masyarakat yang kian terkepung aneka kepentingan primordial atau
kepentingan yang mengatasnamakan apa pun yang eksploitatif dan tiranik, penuh konflik
kepentingan bahkan sampai pertikaian atau perang, Idul Fitri dengan tradisi syawalannya,
diharapkan mampu menghadirkan kesejukan, keharmonisan, dan obat-obat kemanusiaan
lainnya.
Tradisi kupatan berasal dari jaman para wali yang juga menyebarluaskan agama islam di
wilayah Jawa. Kalau melihat dari katanya, kupatan sendiri berasal dari kata kupat yang dalam
bahasa jawa bermakna “ngaku lepat” atau mengaku salah. Sebenarnya tradisi ini pada masa
5. dulu dilaksanakan pada hari ke-37 atau sesudah puasa yang ke-36. Kupatan dilaksanakan di
berbagai daerah antara lain di Bulusan Desa Hadipolo (Kec. Jekulo), Desa Kesambi (Kec.
Mejobo), Sendang Jodo Desa Purworejo (Kec. Bae).
4. Kearifan Lokal Dandangan
Dandangan yaitu tradisi menyambut datangnya Bulan Ramadhan / bulan puasa yang
dilaksanakan di sekitar Menara Kudus. Puncak acara adalah pada malam 1 Ramadhan.
Masyarakat berkumpul di sekitar Masjid Menara Kudus untuk mendengarkan pengumuman dan
bedug yang dipukul bertalu-talu sebagai tanda dimulainya ibadah puasa keesokan harinya.
Banyaknya masyarakat yang berkumpul tersebut dimanfaatkan para pedagang kecil dan mainan
anak-anak untuk menjajakan dagangannya.
5. Kearifan Lokal Ampyang Maulid
Ampyang merupakan salah satu acara tradisional yang bertujuan untuk memperingati hari
kelahiran Nabi besarMuhammad SAW. Ampyang dilaksanakan di Desa Loram Kulon.Berdasaran
cerita, ampyang adalah sejenis krupuk bentuk bulat dan beraneka warna yang dijadikan hiasan
tempat makan dari bambu ( didalamnya terdapat nasi dan lauk pauk ) diusung ke Masjid Wali At
Taqwa Loram Kulon.
6. Kearifan Lokal Sewu Kupat
Sewu Kupat merupakan tradisi masyarakat Desa Colo untuk memperingati Hari Raya Idul
Fitri. Pelaksanaan tradisi setelah 1 minggu hari raya idul fitri. Kegiatan ini diadakan atas dasar
rasa syukur masyarakat Colo yang telah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa.
7. Kearifan Lokal Resik-Resik Sendang dan Nyiwer Desa
Desa Wonosoco berbatasan dengan sebelah timur Pati dan Grobogan ( selatan ). Selain
alamnya yang indah desa di Kecamatan Undaan ( 22 km selatan Kota Kudus ). Prosesi ritual adat
resik-resik sendang digelar warga Desa Wonosoco dengan mengarak hasil bumi keliling
kampung menuju sendang. Dilakukan setahun sekali yakni satu bulan jelang Ramadan digelar
prosesi resik-resik sendang pada Sendang Dewot dan Sendang Gading, yang airnya tidak pernah
habis. Warga menggantungkan air sendang untuk minum, masak dan mandi. Oleh Pemerintah
Kabupaten acara ini ditingkatkan dengan melibatkan pemerintah dan tokoh masyarakat,
bekerja sama dengan seniman di Kudus dan Sakapanduwisata. Banyak potensi wisata yang bisa
dikembangkan yaitu bisa digunakan untuk lokasi bumi perkemahan, wanawisata. Disini juga
terdapat pertunjukan wayang klithik dimana dalang harus memiliki garis keturunan dari dalang
sebelumnya. Disebut wayang klithik, karena suara yang ditimbulkan bunyinya klithik-klithik.
Sumber :
http://www.arupadhatu.or.id/artikel/budaya/124-kearifan-lokal-masyarakat-kudus-kulon-dalam-
tradisi-perawatan-rumah-pencu.html