Kegiatan monitoring resistensi obat HIV dan AIDS di Indonesia meliputi survey ambang batas untuk melihat
prevalensi resistensi primer, survey monitoring untuk melihat efektivitas pengobatan ARV, dan indikator
kewaspadaan dini untuk melihat indikator di setiap tempat pelayanan ARV. Kegiatan ini bertujuan untuk
memantau dampak pengobatan massal HIV dan AIDS serta mengoptimalkan program pengendalian.
3. JURNAL PENGENDALIAN PENYAKIT
DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN
Desember 2012
ISSN 2089 – 290X
Penerbit
Direktorat Jenderal PP dan PL, Kementerian Kesehatan RI
DEWAN REDAKSI
Penasihat Direktur Jenderal PP dan PL
Sekretaris Ditjen PP dan PL
Penanggung Jawab Kepala Bagian Hukormas
Redaktur Sri Handini, SH, M.Kes, MH
dr. Ita Dahlia, MH.Kes
dr. Ramadona Triadi
Dyah Prabaningrum, SKM
DR. Lukman Hakim
Editor Dr. Toni Wandra, M.Kes, Ph.D
DR. Hari Santoso, M.Epid
Dr. Suwito, SKM, M.Kes
Desain Grafis/Fotografer Putri Kusumawardhani, ST
Eriana Sitompul
Bukhari Iskandar, SKM
Sekretariat Dr. Grace Ginting, MARS
Mugi Wahidin, SKM
Hilwati, SKM, M.Kes
Risma, SKM
Dewi Nurul Triastuti, SKM
Ahmad Abdul Hay, SKM
Siti Djubaidah
Murniaty, SE
Aditya Pratama, Si.Kom
Indah Nuraprilyanti, SKM
Alamat
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560
Telepon/Faks: (021) 4223451
e-mail : hoh.pppl@yahoo.com, website: www.pppl.depkes.go.id
facebook: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan
iii
4. Kata Pengantar
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena Jurnal Pengendalian
Penyakit dan Pengendalian Lingkungan Tahun 2012 telah dapat disusun dan
diterbitkan. Jurnal ini disusun untuk memenuhi kebutuhan pembaca dalam
pengembangan
ilmu
pengetahuan
di
bidang
kesehatan
khususnya
pengendalian penyakit, baik yang menular maupun tidak menular serta
penyehatan lingkungan di Indonesia.
Jurnal ini disajikan dengan materi-materi yang pernah dilakukan kajian atau
survei dari Unit Satuan Kerja di lingkungan Direktorat Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan, dengan tujuan dapat membantu pembaca
mengetahui perkembangan terbaru tentang program pengendalian penyakit
dan penyehatan lingkungan.
Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam menyelesaikan jurnal ini dan kepada seluruh
pembaca jurnal atas kesediaan untuk memberikan saran dan kritik dalam
penyempurnaan jurnal ini.
Akhir kata, semoga jurnal ini dapat memberikan motivasi dan dorongan, serta
bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta,
Desember 2012
iv
5. Daftar Isi
Halaman
Hasil Kegiatan Monitoring Resistensi Obat HIV dan AIDS di
Indonesia ………………………………………………………………………..
1-4
Model Harmonisasi Surveilans Epidemiologi dan Virologi Influenza
(H5N1 dan Influenza) di Jakarta Timur, Tahun 2011 – 2012
.....................................................................................
5-9
Hubungan Perilaku dan Faktor Lingkungan dengan Kejadian
Malaria di Sangkulirang, Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur ....
10-13
Status Resistensi Nyamuk Anopheles di Wilayah Kalimantan dan
Sulawesi …………………………………………………………………………
14-16
Contact Investigation pada Anak yang Tinggal Serumah dengan
Penderita Tuberkulosis di Yogyakarta ……………………………………
17-20
Perilaku Nyamuk Anopheles di Kabupaten Lampung Selatan,
Provinsi Lampung ……………………………………………………………..
21-26
Implementasi Public Private Mix Program DOTS pada Dokter
Praktik Swasta dalam Pengendalian Tuberkulosis di Kabupaten
Malang, Provinsi Jawa Timur, Tahun 2011 …..………………………….
27-29
Hasil Kajian Peningkatan Deteksi Kasus Tuberkulosis di Daerah
Sulit Dijangkau di Provinsi Maluku ..……………………………………….
30-32
Kajian Pengembangan Pengendalian Penyakit Tiroid di Kota
Kendari, Semarang, Tarakan, Kabupaten Gorontalo, dan
Kabupaten Gianyar, Tahun 2011 .....................................................
33-35
Entomological Inoculation Rate (EIR) Wilayah Perkebunan di
Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, Tahun 2008 dan 2009 .
36-39
Pengolahan Limbah Medis Padat Rumah Sakit di Indonesia, Tahun
2009 – 2012 .....................................................................................
40-43
Proses Pengelolaan Air Limbah di BBTKLPP Jakarta ......................
44-46
v
6. Hasil Kegiatan Monitoring Resistensi Obat HIV dan AIDS di Indonesia
1
2
2
2
3
3
Tri Yunis Miko W , Fera Ibrahim , Budiman Bela , Andi Yasmon , Siti Nadia Tarmizi , Naning Nugrahini , Victoria
3
3
4
4
4
Indrawati , Rachma Febriana , Oscar Martin Barreneche , Sri Pandam Pulungsih , Janto G.Lingga , Martha
4
4
Akila , Fetty Wijayanti
1
2
Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Departemen Mikrobiologi,
4
3
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Subdit AIDS dan PMS Direktorat Jenderal PP dan PL, WHO
Indonesia
Abstrak. Indonesia merupakan negara berkembang yang memilliki Triple Burden of Diseases, dimana pada saat
ini Indonesia memiliki masalah kesehatan baik masalah penyakit menular, tidak menular dan penyakit-penyakit
baru muncul (new emerging diseases). Salah satu masalah penyakit menular di Indonesia adalah penyakit HIV
dan AIDS. Penyakit ini meningkat dengan cepat sejak ditemukan kasus pertama kali pada tahun 1980. Hingga
Juni tahun 2012, jumlah penderitanya telah mencapai 86.762 kasus HIV dan 29.421 kasus AIDS. Dengan
peningkatan yang cepat tersebut, maka pada tahun 2004 Indonesia telah melaksanakan pengobatan massal
terhadap penderita HIV dan AIDS . Dimulai dengan menunjuk beberapa rumah sakit sebagai tempat pelayanan
pengobatan Anti Retro Viral (ARV), hingga sekarang jumlah tempat pelayanan ARV tersebut telah berjumlah 323
Rumah Sakit, terdiri dari 238 RS Rujukan PDP (induk) dan 85 satelit. Oleh karena itu untuk memonitor dampak
pengobatan massal yang sudah semakin meluas, maka pada tahun 2008 Kementerian Kesehatan membentuk
Tim Nasional HIV Drug Resistances dengan beranggotakan para ahli, WHO, dan subdit AIDS dan PMS.
Kata Kunci: Monitoring, Obat, HIV dan AIDS.
Koresponden: Dr. Tri Yunis Miko Wahyono, MSc
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia. Telp. 0818177817; 02178849031;
7863474 Faks. 02178849032
Email:triyunis@yahoo.com
PENDAHULUAN
Sesuai dengan rekomendasi World Health
Organization (WHO) pemantauan resistensi
obat HIV dan AIDS (selanjutnya disebut
resistensi obat HIV) di Indonesia terdiri dari
tiga kegiatan yaitu: (1) Survey ambang batas
(HIV DR threshold survey) yang bertujuan
untuk melihat prevelensi resistensi primer
pada orang yang baru terkena HIV; (2) Survey
monitoring (HIV DR monitoring survey) yang
bertujuan untuk melihat efektivitas pengobatan
ARV; dan (3) Indikator kewaspadaan dini
(Early Warning Indicators/EWIs monitoring)
yang bertujuan untuk melihat indikator
kewaspadaan dini (Indikator EWI1-EWI6) di
setiap tempat pelayanan ARV. Selain itu untuk
mendukung monitoring resistensi obat HIV
tersebut juga (4) dikembangkan laboratorium
untuk pemeriksaan resistensi obat HIV
(genotyping test).
Tujuan penelitian ini untuk memantau
resistensi obat HIV di Indonesia
BAHAN DAN CARA
Threshold Survey
Threshold survey pertama kali diadakan di
Jakarta. Tujuan dari survei ambang ini adalah
(1) Untuk melihat estimasi prevalensi dari
transmisi resistensi obat ARV di Jakarta; dan
(2) Untuk mengevaluasi prosedur survei ini
untuk digunakan pada threshold survey
selanjutnya di daerah yang berbeda.
Desain studi penelitian ini adalah cross
sectional dengan menggunakan data dan
spesimen darah untuk genotyping test dari
masing-masing sampel. Populasi pada survei
ini
adalah
pengguna
jarum
suntik
(penasun/IDUs) yang berumur 21 tahun ke
bawah yang belum menunjukan gejala AIDS
(HIV asimptomatik) dan belum mendapat Anti
Retroviral Treatment/ART (ART-naive).
Berdasarkan
perhitungan
binomial
sequential sampling, dibutuhkan jumlah
sampel minimal sebanyak 47 sampel, tetapi
untuk antisipasi non respons rate, maka
jumlah sampel ditambah menjadi 70 sampel.
Prevalensi transmisi resistensi primer HIV
DR pada survei ini berdasarkan teknik
sampling tersebut. Selanjutnya diklasifikasikan
menjadi tiga kategori, yaitu: (1) Low
prevalence, bila tingkat transmisi resistensi
primer <5%; (2) High prevalence (≥15%); dan
(3) Moderate prevalence: (5%-15%).
Threshold
survey
pertama
telah
dilaksanakan pada bulan April 2006 sampai
September 2007 di lima pilot site, yaitu
Pokdisus RSCM, RSK Dharmais, RS
Fatmawati, Kios Atma Jaya, dan Pamardi Siwi.
Pemeriksaan genotyping test ini dilakukan
secara duplo di dua laboratorium, yaitu di
laboraturium rujukan WHO di St. Vincent
(Australia) dan di laboratorium
1
7. Mikrobiologi UI. Pemeriksaan genotyping di
Mikrobiologi
UI
dimaksudkan
untuk
memperoleh akreditasi sebagai laboratorium
untuk pemeriksaan genotipik AIDS dengan
teknik in-house.
Monitoring Survey
Monitoring survey HIV DR adalah survei
yang dilakukan untuk melihat efektivitas ARV
selama pengobatan ARV disuatu tempat
pelayanan ARV. Tujuan monitoring survei
adalah: (1) Untuk melihat estimasi proporsi
populasi
yang
menerima
ART
dan
hubungannya dengan pencegahan resistensi
obat ARV (efektivitas ARV); (2) Untuk
mengidentifikasi mutasi spesifik resistensi obat
ARV dan pola mutasi pada populasi yang tidak
menerima obat ARV lini pertama; (3) Untuk
melihat hubungan antara faktor program
dengan pencegahan resistensi obat HIV; dan
(4)
Sebagai
bahan
evaluasi
dalam
mengoptimalkan fungsi program ART di
tempat pelayanan ARV.
Monitoring survey ini merupakan suatu
studi penelitian ini dengan desain kohort.
Populasi pada survei ini adalah pasien yang
berusia 15 tahun ke atas dan baru memulai
ART yang akan diikuti selama 12 bulan
pertama. Jumlah sampel minimal untuk
penelitian ini adalah 96 sampel dan ditambah
dengan perkiraan sampel yang meninggal dan
transfer-out, maka jumlah sampel keseluruhan
yang diambil sebanyak 110-130 sampel.
Dari monitoring survei ini resistensi obat
dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori
yaitu: (1) HIVDR prevention, apabila supresi
RNA HIV <1000 copies/ml; (2) Possible
HIVDR, apabila viral load terdeteksi tetapi
mutasi resistensi HIV tidak terdeteksi atau
sampel loss of follow up atau sample berhenti
menggunakan ART; dan (3) HIV DR, apabila
terdeteksi setidaknya satu resistensi mayor
yang sesuai dengan standar genotyping
resistensi obat HIV dari WHO.
Monitoring survey HIV DR pertama kali
dilaksanakan pada bulan September 2008
sampai Januari 2010 di RSPI Sulianti Saroso.
Pemeriksaan genotyping test pada survei ini
dilakukan di laboratorium rujukan WHO di
Burnet Institute, Australia. Selain itu,
genotyping test juga dilakukan di Laboratorium
mikrobiologi FK UI.
Jumlah sampel baseline pada survey ini
sebanyak 110 sampel dan sampel endline
sebanyak 76 sampel.
Early Warning Indicators (EWIs)
Early Warning Indicators (EWIs) bertujuan
untuk mengevaluasi program ART yang telah
dilaksanakan di Indonesia.
Kegiatan
EWIs
dilakukan
dengan
mengukur enam indikator yang dilihat dari
pencatatan dan pelaporan yang ada di rumah
sakit. Keenam indikator tersebut adalah: (1)
Persentase pasien yang mendapatkan resep
obat ARV sesuai dengan standar nasional; (2)
Persentase gagal follow up setelah 12 bulan
menggunakan ARV; (3) Persentase pasien
yang tetap menggunakan ARV lini pertama
selama 12 bulan sejak memulai ART; (4)
Persentase pasien yang mengambil obat ARV
tepat waktu; (5) Persentase pasien yang
memenuhi jadwal kunjungan untuk mengambil
ARV, dan (6) Keberlangsungan suplai obat
ARV.
Kegiatan Early Warning Indicators (EWIs)
2009 dilaksanakan pada empat pilot site yang
telah terpilih yaitu RSK Dharmais, RSPI
Sulianti Saroso, RSKO Cibubur, dan RSPAD
Gatot Soebroto. Pemilihan keempat site
tersebut dilakukan oleh Subdit AIDS dan PMS
dengan asistensi konsultan dari WHO HQ dan
WHO. Pelaksanaan kegiatan ini akan
dilaksanakan pada masing-masing site.
Untuk input data indikator EWIs dilakukan
oleh staf pencatatan pelaporan dan farmasi
pada layanan yang terpilih. Sedangkan untuk
analisis data dilakukan oleh tim HIVDR.
Setelah pilot di 4 site di Jakarta,
selanjutnya dilakukan EWIs monitoring di 16
RS di 6 Propinsi pada tahun 2011. Rumah
sakit yang melaksanakan EWIs 2011 tersebut
adalah RSK Dharmais, RSPAD Gatot
Soebroto, RSPI Sulianti Saroso, RSKO
Cibubur, RS Hasan Sadikin, RS dr. Kariadi,
RS Sardjito, RS dr. Soetomo, RS Karang
Tembok, RS Ramelan, RS Sanglah, RS
Buleleng, RS Wangaya, RS Badung, RS
Sanjiwani, dan RSTabanan. Dari 16 rumah
sakit tersebut hanya 12 rumah sakit yang
memberikan data lengkap untuk 6 indikator
EWI.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Threshold Survey
Hasil genotyping tes dari St. Vincent
diterima pada bulan Oktober 2007. Hasil dari
genotyping tersebut menunjukkan bahwa
tingkat transmisi resistensi primer ARV di
Indonesia di kalangan pengguna jarum suntik
kurang dari 5% (low prevalence). Oleh karena
tingkat resistensi di Indonesia masih berada
dalam kategori low prevalence, maka
2
8. threshold survey akan diadakan setiap 2 tahun
sekali.
Monitoring Survey
Hasil pemeriksaan dari Burnet Institute
pada monitoring survey di RSPI Sulianti
Saroso menunjukkan bahwa tingkat resistensi
yang didapatkan 25% (9.2% HIV DR dan
15.8% possible resistance) atau tingkat
efektivitas ARV masih 75%. Hal itu
menunjukkan bahwa pengobatan ARV lini
pertama masih efektif digunakan.
Early Warning Indicators (EWIs)
Hasil pilot EWIs tahun 2010 (data tahun
2008) menunjukkan hasil bahwa masih ada
layanan yang menggunakan rejimen obat tidak
sesuai dengan standar nasional.
Kemudian angka gagal follow-up juga
masih tinggi yaitu di atas 20%. Selain itu
angka ketepatan waktu untuk pengambilan
obat dan konsultasi klinik juga masih rendah.
Untuk ketersediaan suplai obat, masih ada
layanan yang mengalami kekurangan obat
pada tahun tersebut.
ada lagi layanan yang kekurangan stok obat.
Kemudian, angka gagal follow-up juga sudah
mulai menurun. Akan tetapi angka ketepatan
waktu mengambil obat masih belum
memenuhi target yang ada (lihat tabel 2).
Tabel 2. Hasil monitoring EWIs di 12 sites
pada 6 propinsi, tahun 2011
EWI
1
EWI 2
EWI 3
EWI 4
EWI 5
2
<20%
>70%
>90%
>80%
100%
RS B
RS C
Sample
size
3
RS D
Sample
size
RS E
Sample
size
5
RS F
Sample
size
6
100%
6
Target
EWIs
RS G
Sample
size
Hospital
A
98%
19%
94%
36%
66%
92%
Sample
size
125
125
125
74
70
12
months
100%
24%
100%
49%
67%
2
3
4
EWI
5
EWI
6
100%
Sample
size
4
EWI 1
EWI
<20%
>70%
>90%
>80%
100%
100%
0%
55.24%
42%
92%
100%
110
110
110
145
145
12
bulan
100%
0%
75%
13%
72%
100%
57
57
57
75
75
12
bulan
100%
1%
81.25%
43%
91%
100%
100
100
100
100
100
12
bulan
100%
2%
75.76%
41%
88%
100%
75
75
75
100
100
12
bulan
100%
0%
98.33%
36%
70%
100%
120
120
120
155
155
12
bulan
100%
23%
16.47%
25%
77%
100%
100
100
100
100
100
12
bulan
100%
30%
53.80%
35%
94%
100%
231
231
231
151
151
12
bulan
100%
0%
75.00%
83%
83%
100%
10
10
10
6
6
12
bulan
100%
3%
90.83%
24%
90%
100%
120
120
120
160
160
12
bulan
100%
4%
85.19%
42%
92%
92%
35
35
35
13
12
12
bulan
100%
19%
48.57%
83%
91%
100%
36
36
36
23
23
12
bulan
100%
8%
68.97%
48%
100%
92%
32
32
32
27
27
12
bulan
Target
EWIs
Tabel 1. Hasil monitoring EWIs di 4 pilot sites
di Jakarta, tahun 2008
EWI
EWI
1
No.
EWI
100%
Hospital
B
7
RS I
Sample
size
8
RS J
Sample
size
Sample
size
Hospital
C
Sample
size
Hospital
D
87
87
87
45
45
12
months
100%
29%
100%
33%
67%
92%
30
30
30
9
9
12
months
9
Sample
size
10
RS N
Sample
size
100%
31%
98%
15%
86%
100%
11
Sample
size
RS L
62
62
62
13
13
12
months
Pada pemantauan EWIs selanjutnya pada
tahun 2011 (data tahun 2009), dapat terlihat
bahwa
sudah
seluruh
layanan
ART
memberikan rejimen obat sesuai dengan
standar nasional yang ada dan sudah tidak
RS O
Sample
size
12
RS P
Sample
size
3
9. Pengembangan kapasitas laboratorium FK
UI
Untuk menunjang kegiatan HIV Drug
Resistance di Indonesia, maka perlu ada
laboratorium
yang
dapat
melakukan
pemeriksaan
HIV
Drug
Resistance
(genotyping test). Berdasarkan penilaian,
maka laboratorium mikrobiologi FK UI terpilih
sebagai laboratorium yang akan dijadikan
rujukan untuk pemeriksaan HIV Drug
Resistance.
Pemilihan tersebut didasarkan bahwa
laboratorium sudah memiliki BSL2 dan BSL 3
serta
memiliki
pengalaman
melakukan
genotyping test dan memiliki sumber daya
manusia yang memiliki kapasitas dalam
pemeriksaan tersebut.
Saat ini Laboratorium FK UI masih dalam
tahap proses akreditasi untuk genotyping
resistensi obat HIV. Akreditasi tersebut didapat
apabila pihak laboratorium FK UI sudah
mampu melakukan genotyping test secara
rutin minimal 100 sampel setiap tahunnya.
Laboratorium ini telah mendapatkan
sertifikasi proficiensy test yang dilakukan oleh
jaringan laboratorium regional (Resnet) yang
menunjukkan bahwa laboratorium mikrobiologi
FK UI telah dianggap mampu melakukan
genotyping test dengan baik (proficient).
WHO, 2010. HIV Drug Resistance Early
Warning Indicators to monitor HIV Drug
Resistance prevention at antiretroviral
treatment sites, Genewa.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan
hasil
tiga
kegiatan
pemantauan resistensi obat HIV yang sudah
dilaksanakan di Indonesia, menunjukan hasil
bahwa pengobatan ARV di Indonesia masih
efektif. Walaupun seperti itu, faktor-faktor
pemicu resistensi di Indonesia harus selalu
dipantau setiap tahunnya untuk mencegah
terjadinya resistensi obat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Kesehatan RI, 2012. Laporan
Perkembangan HIV-AIDS di Indonesia.
Jakarta.
WHO,
2006. Protocol for evaluation of
transmitted HIV drug resistance using
specimens from HIV, Genewa
WHO, 2009. Protokol for Surveys to Monitor
HIV Drug Resistance Prevention and
Associated Factors in Sentinel Antiretroviral
Treatment Sites, Geneva.
4
10. Model Harmonisasi Surveilans Epidemiologi dan Virologi Influenza
(H5N1 dan Influenza Lainnya) di Jakarta Timur, Tahun 2011-2012
1
1
1
1
1
1
Rita Kusriastuti , Misriyah , Regina T Sidjabat , Sinurtina Sihombing , Chita Septiawati , Romadona Triada ,
1
1
2
3
3
3
Anjar Kusnawardani , Puji Sulistyarini , Vivi Setiawati , Amalya , Yekti Praptiningsih , Gina Samaan
1
2
Direktorat PPBB, Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
3
Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Badan Litbangkes. CDC Atlanta
Abstrak. Situasi epidemiologi serta pola musiman influenza di Indonesia belum banyak diketahui. Di Indonesia,
penyakit influenza kurang mendapat perhatian karena dianggap penyakit ringan dan tidak membahayakan.
Namun sejak tahun 2005, yaitu saat ditemukannya kasus H5N1 pada manusia di Indonesia, masyarakat maupun
pemerinta mulai menaruh perhatian pada penyakit ini. Berbagai upaya dilakukan termasuk upaya untuk
mengetahui faktor risiko, gejala klinis dan pola musiman dan besaran masalah influenza khususnya H5N1. Salah
satunya adalah dengan dilaksanakannya Harmonisasi Surveilans Epidemiologi dan Virologi Influenza di wilayah
Jakarta Timur yang bertujuan untuk mengetahui epidemilogi influenza H5N1dan influenza subtipe lainnya.
Surveilans ini dilaksanakan sejak Agustus 2011, dilaksanakan di 4 puskesmas untuk menjaring pasien yang
mengalami gejala ILI (Influenza Like Illness) dengan panas lebih dari 38°C dengan batuk dan atau sakit
tenggorok dan 6 rumah sakit untuk menjaring pasien yang mengalami gejala SARI (Severe Acute Respiratory
Infection) dengan panas lebih dari 38°C atau ada riwayat panas, disertai batuk atau sakit tenggorok dan
memerlukan perawatan di rumah sakit. Setiap hari puskesmas mengindentifikasi kasus ILI dan rumah sakit
mengindentifikasi SARI, selanjutnya pasien diambil usap hidung dan tenggorokan untuk diperiksa dengan RTPCR di Labkesda Provinsi DKI Jakarta. Analisa dilakukan untuk melihat proporsi, kecenderungan penyakit serta
jenis virus yang beredar.Sejak Agustus 2011 hingga Juli 2012, terdapat 3.096 kasus ILI yang ditemukan di
puskesmas dan 38% diantaranya positif influenza. Pada rumah sakit ditemukan 1.641 kasus SARI dan 17%
diantaranya positif influenza. Jenis virus influenza A (H1N1pdm 2009) merupakan subtipe virus yang paling
banyak ditemukan pada akhir tahun 2011. Sedangkan influenza (H3) mendominasi pada awal tahun 2012, tetapi
kemudian Influenza B banyak ditemukan sejak bulan Maret 2012 hingga Juli 2012. Hal ini ditemukan baik pada
kasus ILI maupun pada kasus SARI.Virus influenza merupakan virus yang biasa beredar di masyarakat kita, hal
ini dapat dilihat dari adanya 38% kasus ILI di puskesmas yang positif influenza. Disamping itu, influenza juga
terdapat pada pasien-pasien dengan penyakit pernapasan berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Hal
ini dapat dilihat dari 17% pasien SARI adalah positif influenza. Berbagai jenis influenza musiman seperti
influenza A H1N1 2009, H3N2, dan influenza B beredar dengan pola yang berbeda dari waktu ke waktu.
Kata Kunci : Virologi, Influenza
Koresponden: drh. Misriyah, Telp.081310971683
Faks.
021-4266270,
Email:
misriyahimut@yahoo.com
PENDAHULUAN
Ancaman terhadap potensi terjadinya
pandemi yang disebabkan oleh penyebaran
virus highly pathogenic Avian Influenza
A(H5N1) telah menjadi perhatian dunia. Virus
H5N1 pertama kali diketahui menginfeksi
manusia pada waktu terjadi Kejadian Luar
Biasa (KLB) di Hongkong pada tahun 1997,
namun
tidak ada laporan secara regular
hingga akhir tahun 2003 {Kung, 2007 #2165}.
Infeksi pada manusia diketahui berhubungan
dengan penyebaran yang luas infeksi virus
influenza A (H5N1) pada unggas di wilayah
Asia, Afrika dan Timur Tengah, termasuk juga
pada unggas liar {World Health Organization,
2005 #2627;Yee, 2009 #3251}. Beberapa
negara
telah
menyusun
rencana
kesiapsiagaan menghadapi pandemi dan
membangun sistim surveilans epidemiologi
yang
merupakan
faktor
kunci
dalam
menghadapi atau mengantisipasi serta
merespon kemungkinan terjadinya pandemi.
Di Indonesia virus Avian Influenza pertama kali
ditemukan pada unggas bulan Agustus tahun
2003 di Kabupaten Pekalongan, Propinsi Jawa
Tengah dan Kabupaten Tangerang, Propinsi
Banten {Kandun, 2006 #2047}. Selanjutnya
terjadi penyebaran dan perluasan penularan
infeksi pada unggas ke berbagai wilayah di
Indonesia.
Pemerintah
melalui
Menteri
Pertanian menyatakan terjadinya KLB/Wabah
Avian Influenza pada unggas pada tanggal 25
Januari 2004. Kasus pada manusia pertama
kali diawali laporan adanya sinyal klaster
pneumonia pada 1 keluarga (bapak dan anak)
dari Rumah Sakit di Kabupaten Tangerang
pada akhir Juni 2005 {Kandun, 2006 #2047}.
5
11. Berbagai upaya telah dilakukan untuk
deteksi dini dan respon cepat mengantisipasi
terjadinya penyebaran Avian Influenza di
Indonesia, diantaranya melalui Surveilans
Sentinel Kewaspadaan Dini dan Kejadian Luar
Biasa (SKD KLB/EWARS), Sistem Surveilans
Influenza
Like
Illnes
(ILI)
berbasis
epidemiologi, Surveilans ILI berbasis Virologi
dan Surveilans Sentinel Severe Acute
Respiratory Infection (SARI) dan Surveilans
Sentinel Pneumonia di Puskesmas dan
Rumah Sakit. Berbagai kegiatan Surveilans
tersebut baik epidemiologi maupun virologi
yang dilakukan oleh Badan Litbangkes
maupun oleh Ditjen PP dan PL belum
terintegrasi dan harmonisasi dalam sistem
manajemen datanya sehingga pemanfaatan
informasinya belum optimal. Oleh karena itu
proses harmonisasi dan integrasi surveilans
ILI berbasis Epidemiologi dan Virologi yang
sedang dalam proses perlu dilanjutkan dan
segera terwujud modelnya.
Mencermati situasi di lapangan dimana
salah satunya di Jakarta Timur merupakan
daerah yang tergolong berisiko tinggi
penularan virus A(H5N1) serta kenyataan
bahwa sejak tahun 2005 ditemukan 12 kasus
A(H5N1) di wilayah Jakarta Timur. Tingginya
risiko penularan virus A(H5N1) di wilayah
Jakarta
Timur
karena
wilayah
yang
berpopulasi sekitar 2,6 juta penduduk tersebut
mempunyai tempat pengumpul ayam yang
cukup banyak, dan juga merupakan wilayah
pintu masuk pengiriman unggas yang datang
dari wilayah timur dan tengah pulau Jawa. Dari
182 tempat penampungan unggas di Jakarta
terdapat 114 (62,6%) berada di Jakarta Timur
sedangkan dari 1.175 tempat pemotongan
unggas terdapat 926 (78,8%) juga berada di
Jakarta Timur. Jumlah pasar tradisional di
Jakarta Timur ada 314 pasar (36,5%) dari 859
pasar tradisional yang ada di Jakarta. Infeksi
terbanyak pada peternak unggas halaman
rumah dan masyarakat umum yang terpapar
pencemaran lingkungan infeksi H5N1.
Untuk mewujudkan harmonisasi dan
integrasi survelans ILI, SARI, Pneumonia yang
sudah berjalan dalam rangka deteksi dini
respon cepat sebagai antisipasi kemungkinan
terjadinya Pandemi Influenza dimasa datang
perlu di lakukan kegiatan uji percontohan
lapangan Model Harmonisasi Surveilans
Epidemiologi dan Virologi Influenza (H5N1
dan Influenza Lainnya) Berbasis Sentinel di
Jakarta Timur.
Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan
gambaran epidemiologi dan virologi influenza
(H5N1 dan Influenza lainnya) melalui
surveilans berbasis sentinel di Jakarta Timur.
Secara khusus diantaranya kegiatan ini untuk
mengetahui:
1. Proporsi subtipe H5N1 dan influenza
subtipe lainnya di puskesmas dan rumah
sakit.
2. Model
sentinel
surveilans
terpadu
epidemiologi dan virologi.
BAHAN DAN CARA
Dalam
kegiatan
Model Harmonisasi
Surveilans Epidemiologi dan Virologi Influenza
(H5N1 dan Influenza Lainnya) Berbasis
Sentinel di Jakarta Timur melibatkan 4
Puskesmas dan 6 Rumah Sakit. Kegiatan ini
menggunakan dua metode yaitu Surveilans
Influenza-Like Illnes (ILI) dan Surveilans
Severe Acute Respiratory Infection (SARI).
Surveilans Influenza-Like Illness (ILI)
Kegiatan surveilans ILI dilaksanakan di 4
Puskesmas Kecamatan. Definisi kasus ILI
yang digunakan adalah demam dengan suhu
≥ 38⁰C DAN batuk atau sakit tenggorokan.
Surveilans Severe Acute Respiratory
Infection (SARI)
Kegiatan Surveilans SARI dilaksanakan di
6 Rumah Sakit. Definisi kasus SARI yang
digunakan adalah:
Untuk pasien rawat inap berusia >5 tahun
Demam mendadak (dalam 7 hari terakhir)
dengan suhu > 38⁰ C atau ada riwayat
panas (subyektif) DAN
Batuk atau sakit tenggorokan DAN
Memerlukan perawatan di Rumah Sakit
Untuk pasien rawat inap berusia <5 tahun
Batuk atau sesak nafas
DAN mempunyai frekuensi nafas:
o >60 kali/menit untuk bayi <2 bulan
o >50 kali/menit untuk bayi 2-12 bulan
o >40 kali/menit untuk anak 1-5 tahun
DAN memerlukan perawatan di Rumah
Sakit
ATAU
Batuk atau sesak nafas
DAN sekurang-kurangnya satu dari gejala
berikut:
o Tarikan dinding dada atau stridor
o Kejang
o Kesadaran Menurun
o Tidak bisa minum atau menyusu
o Muntah
DAN memerlukan perawatan di Rumah
Sakit
Proses Surveilans
6
12. Proses identifikasi pasien ILI dilakukan
selama lima hari kerja dalam seminggu
terhadap semua kunjungan Puskesmas.
Proses identifikasi pasien SARI dilakukan
setiap hari, selama tujuh hari kerja dalam
seminggu, terhadap seluruh pasien rawat inap
yang memenuhi definisi kasus SARI. Sebelum
melakukan kegiatan pasien diberi penjelasan
tentang maksud, tujuan dan manfaat survei ini
serta menandatangani informed consent.
Kegiatan ini menggunakan formulir quisioner
yang ditanyakan kepada pasien sesuai kriteria
ILI dan SARI. Setelah itu pasien diambil
spesimen hidung dan tenggorok. Spesimen
tersebut disimpan sementara di lemari
pendingin sentinel dan akan diambil oleh kurir
keesokan harinya. Kurir mengantarkan
spesimen ke laboratorium yang ditunjuk.
Laboratorium mengerjakan spesimen dan
memberikan hasilnya kepada data manager
dalam 1-2 hari. Data manager akan mengentry
formulir quisioner dan hasil laboratorium ke
dalam website khusus. Website dapat dilihat
oleh masing-masing sentinel yang terlibat.
Laboratorium
Uji real time RT-PCR dilakukan terhadap
semua spesimen ILI dan SARI {World Health
Organization, 2002 #2580}. Untuk spesimen
ILI, uji rt RT-PCR dilakukan di Laboratorium
Kesehatan Daerah Provinsi DKI Jakarta.
Sedangkan untuk spesimen SARI, uji rt RTPCR dilakukan di Laboratorium RS. Sulianti
Saroso. Dalam menjaga hasil yang baik maka
dilakukan
Quality
Control
(QC)oleh
laboratorium rujukan nasional yaitu Pusat
Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan
(BTDK). Pemeriksaan QC oleh BTDK
dilakukan sebanyak 10% dari total spesimen.
Pelaporan Online
Data yang dikumpulkan dari setiap site
sentinel dilaporkan secara online melalui
website khusus surveilans influenza Jakarta
Timur, termasuk hasil uji laboratorium.
Data Analisis
Kegiatan ini bersifat surveilans aktif untuk
mencari besaran kasus influenza yang terjadi
di wilayah Jakarta Timur dengan melibatkan 6
Rumah Sakit dan 4 Puskesmas. Beberapa
proses kegiatan dilakukan untuk menjaga
kualitas data seperti yang terlihat pada Tabel
1.
Tabel 1. Proses Kualitas Data Dalam Sistem
Surveilans
Proses dalam
sistem
Harian
Hasil
laboratorium
Entri data
Catur
wulan
Tahunan
√
Verifikasi data
Bulanan
√
√
Monitoring
√
Supervisi
√
√
Analisis data
Monitoring
logistik
√
√
Entri data baik hasil kuesioner maupun
laboratorium dilakukan setiap hari dan
ditampilkan ke dalam website. Selain itu
verifikasi data apabila terdapat entri data yang
kurang dari sentinel oleh data manager.
Monitoring dan supervisi (monev) dilakukan
setiap bulan oleh tim gabungan dari Subdit
Pengendalian Zoonosis dan CDC. Selama
monev tim mendiskusikan tentang kendala
yang dihadapi setiap sentinel baik dari
penjaringan
pasien,
pengambilan
dan
penyimpanan spesimen. Monev juga dilakukan
terhadap entri data kuesioner ke website oleh
sentinel serta persediaan logistik agar tidak
terjadi stockout. Dengan adanya monev
diharapkan apabila terdapat kendala dalam
pelaksanaan kegiatan dapat segera mendapat
solusi.
Setiap sentinel juga membuat laporan
bulanan tentang logistik dan jumlah pasien
yang dikirim ke Subdit Pengendalian Zoonosis.
Melalui laporan tersebut dapat terlihat jumlah
logistik yang ada di sentinel sehingga tidak
terjadi stockout.
HASIL KEGIATAN
Surveilans SARI
Sejak Agustus 2011, dari total 55.033
pasien rawat inap, 3% (n=1.641) diantaranya
teridentifikasi sebagai kasus SARI. Dari total
1.583 spesimen SARI yang diuji RT-PCR, 17%
(n=268) adalah kasus SARI positif influenza.
Grafik 1. menunjukkan bahwa pada minggu
ke-22 tahun 2012, proporsi kasus SARI yang
positif influenza adalah 5%. Hal ini merupakan
penurunan jika dibandingkan minggu-minggu
sebelumnya.
7
13. ditemukan pada akhir tahun 2011. Influenza
A(H3) mendominasi pada awal tahun 2012,
tetapi kemudian influenza B banyak ditemukan
sejak bulan Maret tahun 2012 sampai dengan
sekarang. Dalam kurun waktu minggu ke-19
sampai dengan minggu ke-21 tahun 2012,
tidak ditemukan adanya influenza A pada
kasus ILI. Kemudian, pada minggu ke-22
tahun 2012, hanya satu kasus ILI yang
teridentifikasi
dengan
virus influenza A
(H1N1pdm2009).
Pada minggu ke-22 tahun 2012, proporsi
kasus ILI yang positif influenza terlihat
menurun jika dibandingkan dengan mingguminggu sebelumnya. Pada minggu tersebut,
hanya 11% kasus ILI yang positif influenza.
Virus influenza A merupakan jenis virus yang
paling banyak ditemukan pada kasus SARI
yang positif influenza (Grafik 2). Berdasarkan
subtipe,
influenza
A(H1N1pdm2009)
merupakan subtipe virus yang paling banyak
ditemukan pada akhir tahun 2011. Influenza
A(H3) mendominasi pada awal tahun 2012,
tetapi kemudian influenza B mendominasi
sejak Maret, 2012 sampai sekarang. Pada
periode minggu ke-13 dan minggu ke-22 tahun
2012, virus influenza A tidak ditemukan pada
kasus SARI yang positif influenza.
Surveilans ILI
Sejak Agustus 2011, dari total 147,692
kunjungan
Puskesmas,
2%
(n=3,096)
diantaranyateridentifikasi sebagai kasus ILI.
Dari total 3,039 spesimen ILI yang diuji, 38%
(n=1,142) diantaranya positif influenza (Grafik
3).
Berbagai macam tipe dan sub-tipe virus
influenza terdeteksi sejak awal kegiatan
surveilans dilaksanakan (Grafik 4).
Influenza A(H1N1pdm2009) merupakan
subtipe virus influenza yang paling banyak
KESIMPULAN DAN SARAN
Kegiatan Model Harmonisasi Surveilans
Epidemiologi dan Virologi Influenza di Jakarta
Timur merupakan salah satu kegiatan
surveilans
aktif
yang
menggabungkan
epidemiologi dan virologi dalam penjaringan
influenza. Melihat hasil proporsi ILI sebanyak
38% dan SARI sebanyak 17% kasus influenza
di Jakarta Timur terbilang tinggi. Bila dilihat
dari surveilans pada kegiatan ini khususnya
kasus SARI di rumah sakit yang cukup
banyak,
menunjukan
bahwa
influenza
merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang penting dan memerlukan
monitoring secara berkala. Untuk itu
diperlukan kebijakan pemerintah dalam
melakukan kegiatan tersebut secara rutin.
Selama setahun kegiatan ini dilaksanakan
belum ditemukan kasus konfirmasi flu burung.
Hal ini menunjukan bahwa kasus flu burung
jarang terjadi atau kasus Avian Influenza (AI)
pada unggas mengalami penurunan. Selain itu
Virus H5N1 sampai saat ini sulit menular dari
unggas ke manusia. Untuk itu penting kiranya
apabila kegiatan ini dapat dilanjutkan secara
terus menerus untuk mendapatkan gambaran
influenza secara umum dan flu burung pada
khususnya. Selain itu koordinasi lintas sektor
seperti Kementerian Pertanian perlu kiranya
ditingkatkan untuk melihat kasus pada unggas
baik di peternakan unggas maupun unggas
yang dipelihara masyarakat. Hasil proporsi ILI
lebih banyak dari proporsi SARI dikarenakan
kasus ringan lebih banyak dibandingkan
dengan kasus yang berat/dirawat, ini sesuai
dengan epidemiologi influenza pada umumnya
{Wright, 1977 #3062;Wu, 2010 #2877;Yang,
2011 #2620}. Pada hasil terlihat perbedaan
jenis subtipe virus yang beredar pada waktu
tertentu, merupakan pola jenis virus yang
8
14. menjadi tren pada masanya. Sampai saat ini
pola virus yang beredar pada hasil kegiatan ini
dapat dikatakan hampir sama dengan pola
virus dinegara lain seperti negara tetangga
Singapura {World Health Organization, 2012
#4315}.
Dalam kegiatan ini yang dapat diambil
sebagai suatu keberhasilan adalah adanya
proses yang baik dalam monitoring, supervisi.
Selain itu juga terdapat umpan balik dari setiap
sentinel. Hal ini yang membuat petugas di
sentinel tetap berkomitmen kuat untuk
melaksanakan kegiatan surveilans ini. Dengan
demikian kualitas data yang dihasilkan
menjadi baik sehingga dapat digunakan
menjadi salah satu faktor dalam menentukan
kebijakan. Monitoring secara teratur baik
secara pelaksanaan SOP teknis maupun data
entri di setiap sentinel yang terlibat. Analisa
data yang secara regular dilakukan membuat
input data menjadi lengkap. Selain itu tidak
lupa adalah umpan balik dari setiap sentinel
yang terlibat membuat kesulitan dan hambatan
dapat diselesaikan dengan cepat.
Yang L, Ma S, Chen PY, He JF, Chan KP, et
al., 2011. Influenza associated mortality in
the subtropics and tropics: Results from
three Asian cities. Vaccine 29: 8909-8914.
World Health Organization, 2012. FluID - a
global influenza epidemiological data
sharing platform. Geneva.
DAFTAR PUSTAKA
Kung NY, Morris RS, Perkins NR, Sims LD,
Ellis TM, et al., 2002 Risk for infection with
highly pathogenic influenza A virus (H5N1)
in chickens, Hong Kong. Emerg Infect Dis
13: 412-418.
World Health Organization (2005) Global
Influenza Surveillance and Response
System (GISRS) Geneva.
Yee KS, Carpenter TE, Cardona CJ, 2009.
Epidemiology of H5N1 avian influenza.
Comp Immunol Microbiol Infect Dis 32:
325-340.
Kandun IN, Wibisono H, Sedyaningsih ER,
Yusharmen, Hadisoedarsuno W, et al.,
2006. Three Indonesian clusters of H5N1
virus infection in 2005. N Engl J Med 355:
2186-2194.
World Health Organization, 2002. WHO
manual on animal influenza diagnosis and
surveillance. Geneva.
Wright PF, Ross KB, Thompson J, Karzon
DT,1977. Influenza A infections in young
children. Primary natural infection and
protective efficacy of live-vaccine-induced
or naturally acquired immunity. N Engl J
Med 296: 829-834.
Wu JT, Ma ES, Lee CK, Chu DK, Ho PL, et al.
2010. The infection attack rate and
severity of 2009 pandemic H1N1 influenza
in Hong Kong. Clin Infect Dis 51: 11841191.
9
15. Hubungan Perilaku dan Faktor Lingkungan dengan Kejadian Malaria di
Sangkulirang, Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur
Andiek Ochman, M. Gustiansyah, Mur Prasetyaningrum, Adi Wijaya, Sumadi, Kariadi Alwan Zaki Nozomi.
Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Samarinda
Abstrak. Penyakit malaria sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan umum yang utama di seluruh
dunia termasuk Indonesia. Berdasarkan hasil laporan penemuan dan pengobatan penderita malaria di Kaltim,
jumlah kasus penyakit malaria di Kabupaten Kutai Timur mencapai 432 kasus sepanjang 2010. Kantor
Kesehatan Pelabuhan Samarinda yang meliputi wilayah kerja di Sangkulirang Kutai Timur juga berhadapan
dengan permasalahan malaria. Mengingat angka kasus penyakit malaria tersebut maka sangatlah perlu untuk
dilakukan suatu kajian tentang malaria di wilayah Sangkulirang khususnya di wilayah pesisir pelabuhan
Sangkulirang. Tujuan kegiatan ini untuk mengetahui gambaran umum karakteristik penderita malaria yang
berhubungan dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Sangkulirang, dan secara khusus
mengetahui hubungan perilaku dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Sangkulirang, Mengetahui
hubungan faktor lingkungan dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Sangkulirang. Kegiatan
dilakukan dengan observasi lapangan dan pengumpulan data responden. Tehnik pengumpulan data dilakukan
dengan wawancara dan observasi lapangan melalui kuesioner yang telah dibuat sebelumnya dimana kuesioner
mengkategorikan analisa berdasarkan tingkat pengetahuan, perilaku dan hasil observasi lapangan. Dari hasil
RDT 8 0rang positif malaria merupakan sampel kasus dan 52 orang dengan hasil RDT negatif dijadikan sampel
kontrol. Seluruh kasus berjenis kelamin laki-laki dengan usia produktif sebnayak 87.5%, sedangkan 1 kasus
berusia di atas 45 tahun (12.5%). Seluruh kasus berpendidikan rendah yaitu tamat SD dan SMP. Mereka yang
hidup dan bekerja di dalam hutan, dan sering keluar malam tanpa pelindung badan/baju serta memiliki kandang
dan ternak di sekitar rumah menjadi faktor yang meningkatkan kejadian malaria.
Kata Kunci : Malaria, Perilaku, Sangkulirang.
Koresponden: Andiek Ochman, SKM, M.Kes,
Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Samarinda.
Telp. 081229669937 Faks. 0541-742564, Email:
andieachman@yahoo.co.id
PENDAHULUAN
Malaria adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh parasit Plasmodium yang
hidup dan berkembang biak dalam sel darah
merah manusia dan secara alami ditularkan
melalui gigitan nyamuk Anopheles betina.
Penyakit malaria sampai saat ini ternyata
masih menjadi masalah kesehatan umum
yang utama di seluruh dunia, terutama di
negara-negara
berkembang,
seperti
negaranegara Amerika Latin, Afrika subSahara, Asia Selatan, sebagian Asia Timur
(terutama Cina), dan Asia Tenggara, termasuk
Indonesia.
Dalam buku The World Malaria Report
2005, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),
dijelaskan bahwa walaupun berbagai upaya
telah dilakukan, hingga tahun 2005 yang lalu,
malaria masih menjadi masalah kesehatan
utama di 107 negara di dunia. Penyakit ini
menyerang sedikitnya 350-500 juta orang
setiap tahunnya dan bertanggung jawab
terhadap kematian sekitar 1-3 juta orang
setiap tahunnya, atau 1 kematian setiap 30
detik. Diperkirakan masih sekitar 3,2 milyar
orang hidup didaerah endemis malaria.
Malaria juga bertanggung jawab secara
ekonomis
terhadap
kehilangan
12%
pendapatan nasional negara-negara yang
endemis malaria. Semua ini terjadi karena
berkaitan dengan Global Environmental
Change (GEC) atau perubahan lingkungan
global. Istilah lain yang lebih dikenal adalah
Climate Change (perubahan iklim) akibat
Global Warming (pemanasan global).
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) Depkes 2001, di Indonesia
setiap tahunnya terdapat sekitar 25 juta
penderita malaria klinis yang mengakibatkan
38.000 orang meninggal dunia atau 8-11
orang per 100.000 penduduk. Sementara itu di
beberapa rumah sakit dilaporkan bahwa Case
Fatality Rate (CFR) malaria berat berkisar 1050 %.1 Dari 576 kabupaten/kota yang ada di
Indonesia, 424 kabupaten/kota merupakan
daerah endemis malaria. Sekitar 50%
masyarakat Indonesia masih tinggal didaerah
endemis.United Nation Development Program
(UNDP,2004) juga mengklaim bahwa akibat
malaria, Indonesia sedikitnya mengalami
kerugian ekonomi sebesar US $ 56,6
juta/tahun atau lima ratus enam puluh enam
milyar rupiah.
10
16. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan
Provinsi Kalimantan Timur selama tahun 2010,
bahwa hasil laporan
penemuan dan
pengobatan penderita malaria telah dilakukan
di 14 kabupaten/kota di Kaltim dimana jumlah
penderita tertinggi yaitu di Kabupaten Paser
mencapai 3,260 penderita, sementara yang
terendah adalah Kota Tarakan hanya 40
penderita. Pemprov Kaltim khususnya Dinas
Kesehatan terus berupaya agar penyakit
malaria bisa diberantas dengan tuntas, bahkan
para SDM juga terus ditingkatkan, misalnya
memberikan pelatihan kepada petugas
Puskesmas terkait dalam penanganan dan
pencegahan penyakit malaria. Kepala Dinas
Kesehatan Propinsi Kalimantan Timur, Syafak
Hanung mengatakan “ Di Kaltim, jumlah dan
presentasi kasus klinis dengan ditandai
demam yang diperiksa mikroskopis terhadap
total jumlah perkiraan kasus klinis, kabupaten
Malinau menempati urutan terbanyak disusul
oleh Kabupaten Paser, Kutai Barat, Bulungan,
Tana Tidung, Balikpapan, Nunukan, Tarakan,
Bontang, Berau, Samarinda, Kutai Timur,
Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara”,
ujarnya dalam acara Sosialisasi Kebijakan
Pemerintah di Bidang Kesehatan.
Berdasarkan hasil laporan penemuan dan
pengobatan penderita malaria di Kaltim, yang
tertinggi penderintanya adalah Kabupaten
Paser sebanyak (3,260), Nunukan (3,077),
Berau (3,010), Kutim (2,851), Kubar (2,661),
PPU (2,383), Bulungan (1,781), Malinau
(1,411), Kutai Kartanegara (322), Tanah
Tidung (273), Samarinda (154), Bontang (71),
Balikpapan (67) dan Kota Tarakan (40).
Jumlah kasus penyakit malaria di
Kabupaten Kutai Timur mencapai 432 kasus
sepanjang 2010. Data itu diperoleh dari hasil
pendataan di 135 desa yang menjadi endemi
penyakit malaria. “ Bahkan sekitar 70 persen
penduduk Kutai Timur berisiko terhadap
penularan penyakit malaria," Menurut Kepala
Dinas Kesehatan Kutai Timur, Marthin Luther.
Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan
Timur mengatakan kepada wartawan di selasela rehat acara Sosialisasi Kebijakan
Pemerintah Bidang Kesehatan bahwa, "Tiga
kabupaten yang masuk "merah" penyebaran
malaria adalah Penajam Paser Utara (PPU),
Bulungan, dan Kutai Timur (Kutim)."
Kantor Kesehatan Pelabuhan Samarinda
merupakan salah satu UPT di lingkungan
Kementerian Kesehatan RI yang berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Dijen
PP & PL yang wilayah kerjanya meliputi
area/lingkungan pelabuhan dan sekitarnya
yang diatur oleh perundang-undangan yang
berlaku dan salah mempunyai tugas pokok
yang salah satunya yaitu melaksanakan
pencegahan penyakit potensial wabah di
wilayah kerjanya dimana salah satunya yaitu
penyakit malaria.
Dalam hal pengendalian penyakit malaria,
KKP sangat berperan penting dimana KKP
peranan Kantor kesehatan pelabuhan dalam
penanganan malaria ini sangat dibutuhkan
untuk mencegah penularan malaria antar
daerah. Hal ini dapat dilakukan dengan
meningkatkan kewaspadaan jika terdapat
penumpang yang berasal dari daerah yang
endemis malaria. KKP sebagai salah satu
komponen
dinamisator
upaya-upaya
manajemen pemberantasan penyakit secara
terpadu dalam satu wilayah kabupaten/kota
maka KKP Samarinda bertanggung jawab
dalam upaya pengendalian penyakit malaria.
Kantor Kesehatan Pelabuhan kelas II
samarinda adalah salah satu KKP yang
berada di Propinsi Kalimantan Timur dan
memiliki 5 wilayah kerja yang salah satunya
yaitu wilayah kerja Sangkulirang di Kutai
Timur. Berdasarkan data surveilans 10
penyakit terbesar yang dilakukan petugas KKP
di wilker Sangkulirang yang bekerjasama
dengan puskesmas Sangkulirang pada tahun
2010 didapatkan hasil 155 kasus malaria
tanpa pemeriksaan laboratorium dan 69 kasus
malaria dengan pemeriksaan laboratorium.
Mengingat angka kasus penyakit malaria
tersebut maka sangatlah perlu untuk dilakukan
suatu kajian tentang malaria di wilayah
Sangkulirang khususnya di wilayah pesisir
pelabuhan Sangkulirang.
Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui
gambaran umum karakteristik penderita
malaria yang berhubungan dengan kejadian
malaria
di
wilayah
kerja
Puskesmas
Sangkulirang dan mengetahui hubungan
perilaku dan faktor lingkungan dengan
kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas
Sangkulirang
BAHAN DAN CARA
Kegiatan dilakukan di wilayah kerja
Sangkulirang, Kutai Timur dari bulan Juni s/d
Agustus 2011. Kegiatan dilakukan dengan
observasi lapangan dan pengumpulan data
responden yaitu pasien yang datang ke
Puskesmas Sangkulirang untuk berobat
dengan gejala menyerupai malaria. Dari hasil
pengumpulan data diperoleh responden
sebanyak 60 orang yang kemudian dijadikan
sampel penelitian. Tehnik pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara dan observasi
lapangan melalui kuesioner yang telah dibuat
11
17. sebelumnya
dimana
kuesioner
mengkategorikan analisa berdasarkan tingkat
pengetahuan, perilaku dan hasil observasi
lapangan.
Tidak
2
25
39
75
41
68,3
Pakai kelambu
Ya
2
25
39
75
41
68,3
Tidak
6
75
13
25
13
0,01
0,11
0,09
4,52
0,00
0,037
0,4
0,44
0,019
0,784
0,002
19
31,7
Keluar malam
Ya
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil RDT 8 0rang positif malaria
merupakan sampel kasus dan 52 orang
dengan hasil RDT negatif dijadikan sampel
kontrol. Dari hasil analisis data diperoleh hasil
sebagai berikut :
5
62,5
14
26,9
19
31,7
Tidak
3
37,5
38
73,1
41
68,3
Pakai obat nyamuk
Ya
3
37,5
49
94,2
52
86,7
Tidak
5
62,5
3
5,8
8
13,3
Pakai kawat kasa
Ya
Tabel I. Distribusi Responden berdasarkan
jenis kelamin di Sangkulirang, Kutai Timur
Tahun 2011
Kasus
Laki-laki
8
100
Perempuan
0
Total
8
%
Total
36
69
44
0
16
31
69,2
40
66,7
Tidak
4
50
16
30,8
20
33,3
Keberadaan pepohonan
100
52
100
60
Ya
8
100
29
55,8
37
61.7
0
0
23
44,2
23
38,3
16
Responden
Kasus
%
Kontrol
%
Total
≤ 45
7
87,5
1
1,93
8
> 45
1
12,5
51
98,07
52
Total
8
100
52
100
60
Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan
Tingkat Pendidikan di Sangkulirang, Kutai
Timur Tahun 2011
Jenis
pendidikan Kasus %
Responden
Total
Kontrol %
SD
7
87,5
7
13,5
14
SMP
1
12,5
28
53,8
29
SMA
0
0
16
30,8
16
Akademi
0
0
1
1,9
1
Total
8
100
52
100
60
Tabel 4. Analisis Bivariat Tahun 2011
Responden
Varia
bel
36
Keberadaan kandang
Ya
Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan
Usia di Sangkulirang, Kutai Timur Tahun 2011
Usia
50
Tidak
Responden
%
Kontrol
Jenis
Kelamin
4
Kasus
%
Kont
rol
%
Pakai baju keluar malam
Ya
2
25
12
Tidak
Total
%
P Value
23,1
14
23,3
1
6
75
40
76,9
46
75
13
25
19
31,7
1,11
76,7
Masuk hutan
Ya
6
OR
0,01
9
7
87,5
14
26,9
21
35,0
Tidak
1
12,5
38
73,1
39
65
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Karakteristik responden yang menjadi
kasus semuanya laki-laki berusia kurang
dari 45 tahun berpendidikan SD serta tidak
mengetahui penyebab dan gejala malaria.
2. Variabel perilaku yang berhubungan
dengan
kejadian
malaria
adalah
kebiasaan masuk hutan dengan p value
0,01 dan OR 9. Variabel penggunaan
kelambu, dan penggunaan obat
anti
nyamuk merupakan variabel protektif
dengan p value < 0,05 dan OR < 1.
3. Variabel lingkungan yang berhubungan
dengan
kejadian
malaria
adalah
keberadaan pepohonan di sekitar rumah,
dan keberadaan kandang ternak serta
pemakian kawat kasa.
Saran
1. Sebaiknya
masyarakat
pada
saat
melakukan kegiatan di hutan mengenakan
pakaian yang tertutup untuk menghindari
gigitan nyamuk dan membersihkan
lingkungan sekitar rumah dari semak
belukar yang berpotensi menjadi tempat
istirahat nyamuk
2. Sebaiknya
masyarakat
Menjaga
kebersihan kandang ternak
3. Sebaiknya masyarakat Menggunakan
kelambu waktu tidur terutama pada malam
hari
4. Sebaiknya masyarakat Memakai obat anti
nyamuk waktu tidur pada malam hari
5. Sebaiknya
petugas
melakukan
Penyuluhan ke masyarakat melalui
12
18. kegiatan-kegiatan yang ada di masyarakat
seperti pengajian, arisan-arisan, posyandu
tentang penyakit malaria dan upaya
pencegahannya.
6. Sebaiknya petugas Pemeriksaan sediaan
darah tebal secara berkala kepada
mereka yang berisiko terkena malaria,
untuk mendeteksi secara dini kasus
penularan malaria
7. Sebaiknya petugas Perlindungan kepada
karyawan yang bekerja di hutan dengan
penggunaan APD berupa repelent,
wearpack, sarung tangan, dan sepatu
safety
8. Sebaiknya petugas Profilaksis malaria
pada pendatang yang bekerja di sekitar
hutan
DAFTAR PUSTAKA
Depkes
RI,
1999.
Petunjuk
Teknis
Pemberantasan Penyakit Malaria, Jakarta :
Ditjen PPM-PL
:file:///E:/SKRIPSI/jurnal/Demam
typoid.htm, diakses 23 Februari 2011
PosKota
Kaltim,
26
April
2011:
http://www.poskotakaltim.com/berita/read/1
1772-2010-penderita-malaria-capai-21-361orang.html , diakses pada 05 Mei 2011
Pendekatan
epidemiologi
faktor
resiko
penyakit :http://id.shvoong.com/medicineand-health/epidemiology-publichealth/2090636-pendekatan-epidemiologifaktor-risiko-penyakit/#ixzz1Lzw9pdvG,
diakses 05 Mei 2011
7 Januari 2011 - Posted by yantigobel |
Uncategorized
|
Arsunan
Arsin,
Epidemiologi Penyakit Malaria, Fatmah
Afrianty Gobel, FKM UMI Makassar
Pengaruh Perilaku Penderita Terhadap Angka
Kesakitan Malaria Di Kabupaten Rokan
Hilir, 2009. Afridah Advisors: Prof. Drs.
Subhilhar, MA, PhD; Drs. Zulkifli Lubis, MA
Departemen Kesehatan RI, 1999. Modul
Pemberantasan Vektor, Jakarta : Dit.
P2B2, Ditjen PPM-PL
Departemen Kesehatan RI, 1999. Modul
Manajemen
Pemberantasan
Penyakit
Malaria, Jakarta : Dit. P2B2, Ditjen PPMPL
Departemen Kesehatan RI, 2007. Pedoman
Sistem
Kewaspadaan
dini
Dan
Penanggulangan Kejadian Luar biasa
Malaria (SKD KLB). Jakarta : Dit. P2B2,
Ditjen PP-PL
Departemen Kesehatan RI, 2007. Pedoman
Sistem Surveilans Malaria. Jakarta: Dit.
P2B2, Ditjen PP-PL
Departemen Kesehatan RI, 2007. Pedoman
Promosi Gebrak Malaria. Jakarta : Dit.
P2B2, Ditjen PP-PL
Haryanto.1999.
MALARIA
epidemiologi,
patogenesis,
manifestasi
klinis
dan
penanganan. Jakarta: EGC
Depkes RI, 1995. Malaria, Jakarta : Dirjen
Pencegahan & Pemberantasan Penyakit
Menular & Lingkungan Pemukiman
Jeppry Kurniawan,2008.
Analisis Faktor
Risiko Lingkungan Dan Perilaku Penduduk
Terhadap Kejadian Malaria Di Kabupaten
asmat
Tahun
2008,
Jakarta
13
19. Status Resistensi Nyamuk Anopheles di Wilayah Kalimantan dan Sulawesi
1
Rita Kusriastuti , Suwito
1
2
Direktorat PPBB Ditjen PPPL, Kemenkes, Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Jakarta
Abstract. Indonesia is commited toward elimination of malaria. Vector control is an important activities in the
elimination of malaria. There are many ways in controling malaria mosquitos such as indoor residual spraying,
larvasiding as well as environmental management. The failures of vector control one among other is caused by
Anopheles resistant due to uncontrolled used of insecticide. The objective of the study is to detect resistant status
of Anopheles mosquitoes. Samples of Anopheles was collected in Kalimantan and Sulawesi in the year 2011.
The resistant test used WHO sucebtibility kit and impregnated paper. The results shown that Deltamethrin and
Permethrin insecticide was resistant and tolerant in areas of study Kalimantan and Sulawesi. The finding from
this study can be used by malaria program manager in provinces or districts level to make a decision for rotation
of insecticide used.
Keywords: Malaria, resistant, Anopheles, Kalimantan and Sulawesi
Koresponden: dr. Rita Kusriastuti, M.Sc. Direktorat
PPBB, Ditjen PP dan PL Telp.0816872633, Email:
ritakus@yahoo.com
PENDAHULUAN
Nyamuk (genus) Anopheles adalah vektor
malaria di dunia. Di Indonesia dari 456 jenis
nyamuk, 80 di antaranya adalah Anopheles
spp., dan 26 di antaranya adalah vektor
malaria. Pemerintah melalui Direktorat PPBB
Kementrian Kesehatan, telah melakukan
upaya preventif dalam pengendalian malaria,
salah satunya melalui pengendalian vektor.
Ada berbagai cara dalam pengendalian vektor
yang harus dilaksanakan secara terintegrasi
yang dikenal dengan istilah integrated vector
management (IVM).
Berbagai masalah dalam pengendalian
vektor, seperti teknik yang digunakan,
kemampuan petugas penyemprot, jenis
insektisida,
jangka
waktu
penggunaan
insektisida, resistensi terhadap insektisida dan
lain-lain. Di antara berbagai persoalan di atas
ada satu hal yang tidak bisa dihindari yaitu
timbulnya
resistensi
vektor
terhadap
insektisida.
Pemakaian
insektisida
di
Indonesia sebagian besar dilakukan oleh
bidang pertanian, hanya sebagian kecil (tidak
lebih dari 10%) oleh bidang kesehatan. Status
resistensi serangga (vektor) dipicu karena
pemakaian insektisida yang rutin dengan jenis
yang sama, bahkan penggunaan dosis yang
tidak tepat (dosis rendah) akan menyebabkan
resistensi dalam waktu yang relatif singkat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
status resistensi nyamuk Anopheles sp.
terhadap insektisida, yang dapat digunakan
sebagai data dasar penyusunan program
pengendalian vektor di Indonesia.
BAHAN DAN CARA
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di 10 Provinsi wilayah
Kalimantan dan Sulawesi, pada bulan JanuariDesember 2011.
Gambar 1. Lokasi Penelitian
Sampel Nyamuk
Sampel nyamuk Anopheles sp. diambil dari
10 Provinsi, yaitu Kalimantan Selatan; Desa
Santuun dan Uwie, Kalimanten Tengah; Desa
Pujon dan Desa Tapen, Kalimantan Timur;
Desa Sungai Nyamuk dan Tanjung Aru, Baru
Kalimantan Barat; Desa Emparu dan Mangat,
Sulawesi Tengah; Desa Manimbaya dan
Ketong, Sulawesi Tenggara; Desa Aneka
Marga dan Marga Jaya, Sulawesi Barat; Desa
Tapandulu dan Sumare, Sulawesi Utara; Desa
Ranoketang Tua dan Kilometer Tiga,
Gorontalo; Desa Tunggulo dan Desa
Yosonegoro, Sulawesi Selatan; Desa Ela Ela
dan Caile.
Bahan Insektisida
Bahan yang digunakan adalah kertas
impragnated yang mengandung insektisida
jenis Deltamethrin 0,05%, Permethrin 0,75%,
Lamdacyhalothrin 0,05%, Etofenprox 0,5%,
Bendiocarb 0,1%, Fenitrothion 1%, Malathion
5% dan DDT 4%.
14
20. Proses Uji
Nyamuk Anopheles diambil dari lapangan
dalam bentuk larva instar 3-4. Nyamuk
dipelihara hingga umur 3-4 hari. Sebelum
dilakukan uji, nyamuk diberi makan air gula.
Uji dilakukan menggunakan suscebtibility test
kit dan kertas impragnated paper dengan
Standar WHO. Suhu dan kelembaban tempat
uji dijaga sesuai dengan kondisi alam, tidak
melebihi ±1 SD dari rentang minimummaksimum.
Analisis
Analisis
status
resistensi
nyamuk
berdasarkan ketentuan WHO (1975), dengan
masakontak 60 menit selama pengamatan 24
jam, sebagai berikut : 1) kematian < 80 %
(resisten), 2) kematian antara 80% - 97%
(toleran) dan 3) kematian antara 98% - 100%
(rentan). Apabila terjadi kematian nyamuk
kontrol 5-20% maka status resistensi dikoreksi
dengan rumus Abbot, dan apabila kematian
nyamuk kontrol lebih dari 20% maka dilakukan
uji ulang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengujian di Kalimantan menunjukkan
bahwa dua jenis insektisida yang perlu
mendapatkan perhatian, yaitu Deltamethrin
0,05% dan Permethrin 0,75%. Hal ini
dikarenakan di Kalimantan Selatan nyamuk
Anopheles sp. telah toleran terhadap
insektisida jenis Deltamethrin 0,05% dan
Permethrin 0, 75%. Bahkan kondisi lebih berat
terjadi di Kalimantan Barat nyamuk Anopheles
sp. telah resisten terhadap insektisida jenis
Deltamethrin 0.05% (Gambar 2). Sementara
itu, Anopheles sp. tetap rentan terhadap
Lamdacyhalothrin 0,05%, Etofenprox 0,5%,
Bendiocarb 0,1%, Fenitrothion 1%, Malathion
5% dan DDT 4%.
Seperti halnya di wilayah Kalimantan, nyamuk
Anopheles sp. di wilayah Sulawesi juga telah
toleran terhadap insektisida jenis Deltamethrin
0,05% dan Permethrin 0,75%, yaitu di
Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi
Selatan (Gambar 3).
Gambar 2. Status Resistensi Anopheles di
Wilayah Kalimantan
Gambar 3. Status Resistensi Anopheles di
Wilayah Sulawesi
Nyamuk dengan status toleran terhadap
insektisida artinya nyamuk yang kontak
dengan insektisida kematiannya kisaran 8097%, dengan kata lain nyamuk dapat bertahan
hidup mencapai hingga 20%. Adapun nyamuk
dengan status resisten berarti kematian
nyamuk yang kontak dengan insektisida
maksimal hanya 80%, di atas 20% nyamuk
tetap hidup. Di Indonesia, di daerah dengan
kasus tinggi malaria ditemukan 6-8%
Anopheles mengandung sporozoit (Suwito,
2010). Artinya, jika status toleran diabaikan
dan insektisida tetap diaplikasikan berarti akan
tetap terdapat 1-2% nyamuk infektif di alam
dan berpotensi menginfeksi. Kondisi tersebut
lebih berbahaya jika status nyamuk sudah
resisten, maka apabila insektisida resisten
tetap digunakan berarti nyamuk di alam akan
tetap mengandung sporozoit hingga 8%.
Resistensi
adalah
berkembangnya
kemampuan toleransi suatu spesies serangga
terhadap dosis toksik insektisida yang
mematikan sebagian besar populasi (WHO,
2003). Definisi tersebut membatasi bahwa
serangga dikatakan resisten apabila telah
mempunyai daya toleran terhadap insektisida.
Lebih lanjut, WHO (2003) menyatakan bahwa
aplikasi insektisida digunakan apabila nyamuk
rentan, dan perlu ditinjau ulang (rotasi) apabila
nyamuk telah toleran, serta harus dihentikan
apabila nyamuk resisten. Oleh karena itu
pemakaian insektisida di Indonesia jenis
Deltamethrin 0,05% dan Permethrin 0,75%
harus segera dirotasi dengan jenis lain yang
masih rentan dan dapat membunuh minimal
98% nyamuk target.
15
21. Secara teori, resistensi nyamuk terhadap
insektisida dapat dijelaskan karena faktor
genetik, faktor biologis dan faktor operasional
(IRAC, 2006). Secara umum semua mahluk
hidup mempunyai kemampuan genetik
membentuk enzim yang dapat menetralisir
paparan insektisida, termasuk nyamuk.
Namun, faktor biologis dan faktor operasional
lebih banyak memicu timbulnya resistensi
pada nyamuk.
Secara biologis nyamuk mempunyai
kecepatan regenerasi yang tinggi, hanya
dalam waktu tidak lebih dari dua minggu
nyamuk
dapat
menghasilkan
generasi
berikutnya.
Pada
tekanan
pemaparan
insektisida kemampuan regenerasi yang tinggi
menyebabkan nyamuk cepat menurunkan
generasi
resisten.
Faktor
operasional
insektisida juga memegang peran penting
meliputi cara aplikasi, frekuensi, dosis dan
lama pemakaian. Aplikasi insektisida pertanian
di sawah sebagian insektisida jatuh ke air,
pada saat di air kepekatan insektisida
berkurang (dosis menjadi lebih rendah). Air
sawah merupakan habitat potensial larva
Anopheles spp., kontak insektisida pertanian
dosis rendah dengan larva nyamuk di sawah
dapat digunakan sebagai hipotesis (dugaan
rasional) untuk menyatakan sebagai pemicu
timbulnya
resistensi
nyamuk.
Faktor
operasional lain yang patut diduga adalah
pemakaian insektisida rumah tangga dan
insektisida
program
(kesehatan)
yang
monoton dan terus menerus. Pada kondisi
tekanan (pemaparan) tinggi yang terus
menerus akan mempercepat terjadinya
populasi resisten dibandingkan dengan kondisi
lingkungan yang mempunyai tekanan rendah.
DAFTAR PUSTAKA
[IRAC]
Insecticide
Resistance
Action
Committee,
2006.
Prevention
and
Management of Insecticide Resistance in
Vectors and Pests of Public Health
Importance. Geneva.
Suwito, 2010. Entomological inoculation rate
(EIR) Anopheles spp. di Kabupaten
Lampung Selatan dan Pesawaran Provinsi
Lampung. (Bagian dari Disertasi). Bogor :
IPB.
[WHO] World Health Organization, 1975.
Manual on practical entomology in malaria
part II. Geneva.
[WHO] World Health Organization, 2003.
Malaria Entomology and Vector Control.
Geneva.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan pada penelitian ini bahwa
insektisida jenis Deltamethrin dan Permethrin
telah resisten terhadap nyamuk Anopheles
spp. di daerah sampel, namun hal ini dapat
digeneralisir telah terjadi di Kabupaten wilayah
sampel.
Saran kepada para pengelola program
malaria untuk memberi masukan kepada
Kepala Dinas Kesehatan segera membuat
kebijakan merotasi dengan jenis lain yang
masih rentan seperti Lamdacyhalothrin,
Etofenprox,
Bendiocarb,
Fenitrothion,
Malathion dan DDT. Melakukan kegiatan
pemantauan resistensi insektisida secara rutin
dan berkelanjutan di daerah-daerah lainya.
16
22. Contact Investigation pada Anak yang Tinggal Serumah dengan
Penderita Tuberkulosis di Yogyakarta
1
2
3
Rina Triasih , Setyorini Hestu Lestari , Ning Rintiswati , Endang Sri Rahayu
1
4
2
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakarta, Dinas Kesehatan Provinsi
3
4
DIY, Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UGM, Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, DIY.
Abstrak. Contact investigation merupakan salah satu cara yang potensial untuk meningkatkan penemuan
kasus dan mencegah timbulnya sakit TB. Anak yang tinggal serumah dengan penderita TB yang infeksius
berisiko tinggi untuk terinfeksi atau sakit TB. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui prevalensi sakit TB
dan infeksi laten TB pada anak-anak yang kontak erat dengan penderita TB paru dewasa; dan 2) Mengetahui
faktor risiko infeksi laten TB pada anak yang kontak erat dengan penderita TB paru dewasa. Penelitian ini
merupakan penelitian cross sectional yang dilakukan di Kota Yogyakarta, dari bulan Mei sampai dengan
November 2011. Kasus indeks adalah pasien TB paru dewasa yang diobati di 18 Puskesmas, dua Balai
Pengobatan Paru dan tiga Rumah Sakit di kota Yogyakarta. Anak umur kurang dari 15 tahun yang kontak erat
dengan kasus indeks diikutsertakan dalam penelitian ini. Sejumlah 215 anak dari 117 penderita TB paru dewasa
diikut sertakan dalam penelitian ini. Sebagian besar sumber penularan (77%) adalah penderita TB dengan BTA
positif dan merupakan orang tua dari anak kontak serumah (59%). Hasil pemeriksaan di antara anak-anak
kontak serumah menunjukkan bahwa 13 anak (6%) sakit TB, 81 anak (38%) dengan infeksi laten TB dan 121
anak (56%) tidak mempunyai bukti infeksi maupun sakit TB. Faktor risiko terjadinya infeksi laten TB dianalisis
terhadap 81 anak dengan infeksi laten TB dan 121 anak tanpa bukti infeksi atau sakit TB. Beberapa faktor terkait
karakteristik anak dan sumber penularan serta kedekatan anak dengan sumber penularan dianalisis dengan
regresi logistik. Hasil analisis menunjukkan bahwa risiko terjadinya infeksi laten TB meningkat jika sumber
penularan dengan BTA positif (OR: 2,8; 95% CI 1,2-6,6). Contact investigation bermanfaat
untuk
mengidentifikasi anak-anak dengan infeksi laten TB atau dengan sakit TB. Sumber penularan dengan BTA
positif merupakan faktor risiko terjadinya infeksi laten TB.
Kata Kunci : Contact Investigation, Tuberkulosis Paru, Yogyakarta
Koresponden: Rina Triasih, Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran UGM/RS Dr. Sardjito
Yogyakarta
Telp. 081392764269
PENDAHULUAN
Contact investigation merupakan salah satu
cara yang potensial untuk meningkatkan
penemuan kasus dan mencegah timbulnya
sakit TB. Anak-anak, khususnya yang berumur
di bawah lima tahun (balita), merupakan
prioritas sasaran pada contact investigation
karena apabila terinfeksi, kelompok umur ini
mempunyai risiko tertinggi untuk berkembang
menjadi sakit TB. Contact investigation yang
diikuti tata laksana yang adekuat sangat
berpotensi untuk menurunkan angka kesakitan
dan kematian akibat TB pada anak, yang
masih merupakan masalah di negara endemis
TB, seperti di Indonesia. Di samping itu,
dengan contact investigation, anak-anak
dengan infeksi laten TB yang dapat berpotensi
sebagai
sumber
penularan
di
masa
dewasanya, dapat diidentifikasi dan diberikan
terapi profilaksis yang adekuat. (Marais et al,
2004)
Indonesia saat ini menduduki peringkat
kelima dari 22 negara dengan jumlah
penderita TB terbanyak di dunia. Menurut
WHO’s Global Tuberculosis Control Report
2009, terdapat kira-kira 528.063 kasus TB
baru dengan insidensi 102 kasus baru BTA
positif per 100.000 populasi pada tahun 2007.
Pencapaian CDR telah meningkat dalam 6
tahun terakhir, dari 30% pada 2002 menjadi
68% pada tahun 2007. Dengan jumlah kasus
TB yang besar di Indonesia, anak-anak
Indonesia berisiko tinggi terinfeksi atau
menderita sakit TB. Untuk itu perlu diketahui
outcome anak-anak yang kontak erat dengan
penderita TB paru dewasa. Perlu diketahui
pula faktor risiko infeksi laten TB pada anak
yang tinggal serumah dengan penderita TB
paru dewasa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
prevalensi dan faktor risiko infeksi laten TB
pada anak-anak yang kontak erat dengan
penderita TB paru dewasa.
17
23. Faktor risiko
BAHAN DAN CARA
Penelitian ini merupakan penelitian cross
sectional yang dilakukan di Kota Yogyakarta.
Kasus indeks adalah pasien TB paru dewasa
yang diobati di 18 Puskesmas, 2 Balai
Pengobatan Paru dan 3 Rumah Sakit di kota
Yogyakarta. Anak yang kontak erat dengan
kasus indeks diikutkan dalam penelitian jika
berumur kurang dari 15 tahun, jarak tempat
tinggal dengan RS. Sardjito kurang dari 20 km,
dan mendapatkan informed consent tertulis
dari orang tua/wali. Anak-anak yang pernah
atau sedang dalam terapi TB tidak diikutkan
dalam penelitian ini. Semua anak yang
memenuhi inklusi dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, Rontgan dada dan uji
tuberkulin. Anak-anak yang menunjukkan
gejala TB dilakukan pemeriksaan BTA dan
kultur
sputum.
Penelitian
ini
telah
mendapatkan persetujuan etik dari Komite Etik
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejumlah 215 anak dari 117 penderita TB
paru dewasa diikutsertakan dalam penelitian
ini. Karakteristik subyek penelitian dan sumber
penularan, ditampilkan masing-masing pada
Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik kontak, kasus indeks
dan kondisi lingkungan di Yogyakarta Tahun
2011
tidak ada bukti infeksi/sakit TB
N = 118
infeksi laten TB
N = 81
sakit TB
N = 16
Karakteristik kontak
Median umur, bulan (IQ range)
Balita
74 (33;120)
52 (44,1%)
88 (39; 131)
32 (39,5%)
56 (28; 121)
8 (50%)
74 (34; 128)
92 (43%)
jenis kelamin perempuan
53 (44,9%)
49 (60,5%)
10 (62,5%)
112 (52,1%)
Vaksinasi BCG, n (%)
Skar BCG (+)
Hubungan dengan sumber penularan, n (%)
Anak
Cucu
Saudara kandung
Keponakan
Lain-lain
Uji tuberkulin positif
111 (94,1%)
92 (78,6%)
77 (95,1%)
69 (85,2%)
15 (93,75%)
13 (81,3%)
203 (94,4%)
174 (81%)
71 (60,7%)
20 (17,1%)
0
17 (14,5%)
9 (7,7%)
0
47 (58%)
14 (17,3%)
3 (3,7%)
11 (13,6%)
6 (7,4%)
81 (100%)
9 (56,3%)
2 (12,5%)
2 (12,5%)
3 (18,7%)
0
11 (68,8%)
127 (59%)
36 (17%)
5 (2%)
31 (14%)
15 (7%)
92 (42,8%)
71 (60,2%)
25 (21,2%)
38 (46,9%)
17 (21,0%)
9 (56,3%)
6 (37,5%)
32 (27,1%)
2 (1,7%)
33 (28%(
21 (17,8%)
30 (25,4%)
11 (12,6%)
2 (2,5%)
21 (25,9%)
9 (11,1%)
38 (46,9%)
3 (18,8%)
0
5 (31,2%)
3 (18,8%)
5 (31,2%)
5,5 (4; 8)
61 (51,7%)
52 (44,1%)
6 (5;8)
44 (54,3%)
45 (55,6%)
5 (4;7)
6 (37,5%)
8 (50%)
Karakteristik sumber penularan
jenis kelamin laki-laki
Hubungan: ibu dari kontak
BTA sputum
negatif
scanty
positif 1
positif 2
positif 3
kondisi lingkungan dan kedekatan
Median jumlah penghuni rumah (IQ range)
Jumlah penghuni rumah > 6
Tidur sekamar dengan sumber penularan
total
N = 215
6 (4;8)
111 (51,6%)
105 (48,8%)
Tabel 2.Faktor risiko infeksi laten TB di
Yogyakarta Tahun 2011
OR
95% CI
1,6
0,9 – 2,8
0,8
0,5 – 1,5
1,7
0,8 – 3,6
1,7
0,9 – 2,9
1,0
0,5 – 1,9
0,9
0,5 – 1,7
2,8
1,2 – 6,6
Tidur sekamar
1,6
0,9 – 2,8
Jumlah orang serumah > 6
1,3
0,7 – 2,3
Karakteristik anak serumah
-
Jenis kelamin
perempuan
Umur kurang dari 5
tahun
Tidak ada skar BCG
Karakteristik sumber penularan
-
Jenis kelamin
perempuan
Hubungan: ibu
Hubungan: orang tua
BTA positif
Uji tuberkulin positif didapatkan pada 92
(42,8%) anak. Hasil pemeriksaan selanjutnya
menunjukkan bahwa 13 anak (6%) menderita
TB, 81 anak (38%) dengan infeksi laten TB
dan 121 anak (56%) tidak mempunyai bukti
infeksi maupun sakit TB. Faktor risiko
terjadinya infeksi laten TB dianalisis terhadap
81 anak dengan infeksi laten TB sebagai
kelompok kasus dan 121 anak tanpa bukti
infeksi atau sakit TB sebagai kelompok
kontrol. Hasil analisis menunjukkan bahwa
risiko terjadinya infeksi laten TB meningkat jika
sumber penularan dengan BTA positif (Tabel
2).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
sekitar sepertiga anak yang tinggal serumah
dengan penderita TB paru dewasa mengalami
infeksi laten TB dan 6% anak menderita sakit
TB. Hasil ini kurang lebih sama seperti yang
dilaporkan sebelumya pada meta-analisis,
pada semua kelompok umur, 4,5% kontak
serumah menderita sakit TB dan 51,4%
mengalami infeksi laten TB. Pada anak balita,
sakit TB terjadi pada 8,5% anak dan infeksi
laten TB pada 30,4% (Morrison et al, 2008).
Beberapa penelitian di Afrika melaporkan 1445% anak kontak serumah menderita infeksi
laten TB dan 23%-34% menderita sakit TB.
(Beyers et al, 1997; Sinfield et al, 2006).
Proporsi infeksi laten TB dilaporkan lebih tinggi
di Asia (30-70%), tetapi kejadian sakit TB-nya
lebih rendah (3-16.4%) daripada yang
dilaporkan di Afrika (Nguyen et al, 2009;
Iskandar et al. 2008).
Secara umum
risiko terinfeksi TB
tergantung pada kondisi anak, virulensi
kuman, keparahan penyakit penderita TB
sebagai sumber infeksi, kedekatan anak
18
24. dengan sumber infeksi dan kepadatan hunian
rumah. Pada penelitian ini didapatkan bahwa
risiko terinfeksi TB meningkat pada anak yang
kontak serumah dengan penderita TB BTA
positif dengan OR 2,8 (95% CI 1,2 -6,6) . Hal
ini sesuai dengan penelitian sebelumya yang
menunjukkan bahwa risiko terinfeksi TB lebih
tinggi pada anak yang kontak dengan
penderita TB dengan BTA positif dibandingkan
BTA negative (Gessner et al, 1998; Mark et
al, 2000; Singh et al, 2005). Beberapa
penelitian melaporkan bahwa semakin tinggi
derajat kepositifan BTA, semakin infeksius
sumber infeksi tersebut. (Gessner et al, 1998;
Nguyen et al, 2009; Sinfield et al, 2006;
Tornee et al,
2004) Hal ini dikarenakan
derajat BTA sesuai dengan jumlah kuman TB
di dalam sputum.
Lienhardt et al melaporkan bahwa risiko
terinfeksi lebih tinggi jika penderita TB adalah
orang tua atau saudara kandung. Beberapa
penelitian yang lain menunjukkan risiko infeksi
TB meningkat bila sumber penularannya
wanita dan semakin meningkat bila sumber
penularannya ibu atau nenek. (Espinal et al,
2000; Kenyon et al, 2002; Sinfield et al, 2006;
Tornee et al, 2004).
Hasil penelitian kami
tidak menunjukkan adanya risiko tersebut.
Risiko terinfeksi TB juga meningkat sesuai
dengan kedekatan anak dengan sumber
penularan dan kondisi lingkungan rumah.
Anak yang tidur sekamar atau satu tempat
tidur dengan penderita TB dan rumah yang
padat penghuninya merupakan faktor risiko
infeksi TB. (Lienhardt et al, 2003a; Lienhardt
et al, 2003b; Lin et al, 2008; Rathi et al,
2002) Rumah yang padat penghuninya tidak
hanya meningkatkan risiko transmisi, tetapi
secara teori dianggap dapat menimbulkan
stress psikis penghuni yang dapat dapat
menurunkan sistem imun. (Stokols, 1972)
Namun
demikian,
penelitian-penelitian
sebelumnya menunjukkan hasil yang tidak
konsisten. (Lienhardt et al, 2003a; Lockman
et al, 1999; Saiman et al, 2001; Sinfield et al,
2006; Teixeira et al, 2001; Tornee et al,
2004) Hasil penelitian kami juga tidak
menunjukkan bukti adanya peningkatan risiko
infeksi dengan tidur sekamar dan jumlah
penghuni rumah lebih dari 6 orang.
KESIMPULAN DAN SARAN
Contact investigation merupakan kegiatan
yang penting untuk mengidentifikasi anakanak dengan infeksi laten TB dan untuk
meningkatkan penemuan kasus. Sebaiknya
diprioritaskan pada anak yang tinggal serumah
dengan penderita TB BTA positif.
DAFTAR PUSTAKA
Beyers, N., Gie, R.P., Schaaf, H.S., Van, Z.S.,
Talent, J.M., Nel, E.D., & Donald, P.R.,
1997. A prospective evaluation of children
under the age of 5 years living in the same
household as adults with recently
diagnosed
pulmonary
tuberculosis.
Int.J.Tuberc.Lung Dis; 1: 38-43.
Espinal, M.A., Perez, E.N., Baez, J.,
Henriquez, L., Fernandez, K., Lopez, M.,
Olivo, P., & Reingold, A.L., 2000.
Infectiousness
of
Mycobacterium
tuberculosis in HIV-1-infected patients with
tuberculosis: a prospective study. Lancet;
355: 275-280.
Gessner, B.D., Weiss, N.S., & Nolan, C.M.,
1998. Risk factors for pediatric tuberculosis
infection and disease after household
exposure to adult index cases in Alaska. J
Pediatr; 132: 509-513.
Kenyon, T.A., Creek, T., Laserson, K.,
Makhoa, M., Chimidza, N., Mwasekaga, M.,
Tappero, J., Lockman, S., Moeti, T., &
Binkin, N., 2002. Risk factors for
transmission
of
Mycobacterium
tuberculosis from HIV-infected tuberculosis
patients, Botswana. Int.J.Tuberc.Lung Dis.;
6: 843-850.
Lienhardt, C., Fielding, K., Sillah, J., Tunkara,
A., Donkor, S., Manneh, K., Warndorff, D.,
McAdam, K.P., & Bennett, S., 2003a. Risk
Factors for Tuberculosis Infection in SubSaharan Africa: A Contact Study in The
Gambia. Am.J.Respir.Crit.Care Med.; 168:
448-455.
Lienhardt, C., Sillah, J., Fielding, K., Bennett,
S., Donkor, S., Warndorff, D., McAdam, K.,
& Manneh, K., 2003b. Risk Factors for
Tuberculosis Infection in Children in
Contact With Infectious Tuberculosis Cases
in The Gambia, West Africa. Pediatrics;
111: 608.
Lin, X., Chongsuvivatwong, V., Lin, L., Geater,
A., & Lijuan, R., 2008. Dose-response
relationship between treatment delay of
smear-positive tuberculosis patients and
intra-household transmission: a crosssectional study. Trans R Soc Trop Med
Hyg; 102: 797-804.
Lockman, S., Tappero, J.W., Kenyon, T.A.,
Rumisha, D., Huebner, R.E., & Binkin, N.J.,
1999. Tuberculin reactivity in a pediatric
population with high BCG vaccination
coverage. Int J Tuberc Lung Dis; 3: 23-30.
Marais, B.J., Gie, R.P., Schaaf, H.S.,
Hesseling, A.C., Obihara, C.C., Nelson,
L.J., Enarson, D.A., Donald, P.R., &
19
25. Beyers,
N.,
2004.
The
clinical
epidemiology of childhood pulmonary
tuberculosis: A critical review of literature
from
the
pre-chemotherapy
era.
Int.J.Tuberc.Lung Dis.; 8: 278-285.
Mark, S.M., Taylor, Z., Qualls, N.L.,
Shresta_Kuwahara, R.J., Wilce, M., &
Nguyen, C.H., 2000. Outcomes of Contact
Investigations of Infectious Tuberculosis
Patients. Am.J.Respir.Crit.Care Med.; 162:
2033-2038.
Morrison, J., Pai, M., & Hopewell, P.C., 2008.
Tuberculosis and latent tuberculosis
infection in close contacts of people with
pulmonary tuberculosis in low-income and
middle-income countries: a systematic
review and meta-analysis. Lancet Infect
Dis; 8: 359-368.
Nguyen, T.H., Odermatt, P., Slesak, G., &
Barennes, H, 2009. Risk of latent
tuberculosis infection in children living in
households with tuberculosis patients: a
cross sectional survey in remote northern
Lao People's Democratic Republic. BMC
Infectious Diseases; 9: 96.
Rathi, S.K., Akhtar, S., Rahbar, M.H., & Azam,
S.I., 2000. Prevalence and risk factors
associated with tuberculin skin test
positivity among household contacts of
smear-positive pulmonary tuberculosis
cases
in
Umerkot,
Pakistan.
Int.J.Tuberc.Lung Dis.; 6: 851-857.
Saiman, L., Gabriel, P.S., Vargas, M.P.,
Schulte, J., Kenyon, T., & Onorato, I., 2001.
Risk Factors for Latent Tuberculosis
Infection Among Children in New York City.
Pediatrics; 107: 999.
Sinfield, R., Nyirenda, M., Haves, S.,
Molyneux, E.M., & Graham, S.M., 2006.
Risk factors for TB infection and disease in
young childhood contacts in Malawi. Ann
Trop Paed: Int Child Health; 26: 205-213.
Singh, M., Mynak, M.L., Kumar, L., Mathew,
J.L., & Jindal, S.K., 2005. Prevalence and
risk factors for transmission of infection
among children in household contact with
adults having pulmonary tuberculosis.
[Article]. Arch Dis Child; 90: 624-628.
Stokols, D., 1972. A Social-Psychological
Model of Human Crowding Phenomena.
Journal of the American Institute of
Planners; 38: 72-83.
Teixeira, L., Perkins, M.D., Johnson, J.L.,
Keller, R., Palaci, M., do, V.D., V, Canedo
Rocha, L.M., Debanne, S., Talbot, E., &
Dietze, R., 2001. Infection and disease
among household contacts of patients with
multidrug-resistant
tuberculosis.
Int.J.Tuberc.Lung Dis.; 5: 321-328.
Tornee, S., Kaewkungwal, J., Fungladda, W.,
Silachamroon, U., Akarasewi, P., &
Sunakorn, P, 2004. Risk factors for
tuberculosis infection among household
contacts in Bangkok, Thailand. Southeast
Asian J Trop Med Public Health; 35: 375383.
20
26. Perilaku Nyamuk Anopheles di Kabupaten Lampung Selatan,
Provinsi Lampung
Suwito
Sub direktorat Pengendalian Vektor, Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Abstract. Malaria is one of a public health problem in Indonesia, causing morbidity and mortality as well as
outbreak in remote areas. South Lampung was medium malaria areas, with annual parasite incidence in 2009
was12,48
0
00 .
Vector control remains the most effective measure to prevent malaria transmission. The
understanding of behavior vector species is very important to formulate vector control strategies. The study of
Anopheles mosquito in South Lampung and Pesawaran Districts were carried out on August 2009 to September
2010. Anopheline species were collected by human landing and resting collections to study population dynamics
and biting activities. Twelve species were found, there were 11 species at Rajabasa and 10 species at
Padangcermin, e.g. A. sundaicus, A. barbirostris, A. annularis, A. minimus, A. kochi, A. aconitus, A. tessellatus,
A. vagus, A. subpictus, A. indefinitus, A. maculatus and A. hyrcanus group. The A. sundaicus was the
predominant species in both study areas. The population density of A. sundaicus was fluctuated every month,
and the peak occurred on November at Rajabasa and on Desember at Padangcermin. The biting activities of A.
sundaicus was fluctuated every hour, and the peak occurred at 03.00-04.00 AM at Rajabasa, and 02.00-03.00
AM at Padangcermin, the outdoor man hour density (MHD) higher than indoor.
Keyword : Anopheles, behavior and South Lampung
Koresponden: DR. Suwito, SKM, M.Kes, Sub
direktorat Pengendalian Vektor, Direktorat PPBB,
Ditjen PP dan PL, Telp.081379729578
PENDAHULUAN
Lampung Selatan merupakan daerah
endemis malaria dengan angka AMI tahun
0 (Dinkes
2009 sebesar 12,48
Prov.
00
Lampung 2010). Pengendalian malaria
dengan upaya memutuskan mata rantai
penularan, yang melibatkan vektor, masih
efektif untuk dilaksanakan. Setiap spesies
Anopheles mempunyai daerah penyebaran
geografi, habitat perkembangbiakan dan
ekosistem yang khusus (Sukowati 2008). Oleh
karena itu pemahaman perilaku nyamuk
Anopheles penting dipelajari sebagai dasar
pengendalian vektor malaria.
Pemahaman tentang perilaku vektor sangat
penting sebagai dasar pengendalian vektor.
Infomasi mengenai perilaku vektor meletakan
telur (habitat perkembangbiakan) dan perilaku
menghisap
darah
merupakan
dasar
pengendalian vektor malaria, mengingat
sifatnya yang local specific areas, dapat
berbeda antara satu daerah dengan daerah
lainnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
perilaku nyamuk Anopheles spp., meliputi
perilaku menghisap darah dan perilaku
istirahat.
BAHAN DAN CARA
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Lampung Selatan
yang merupakan wilayah kategori kasus
malaria sedang (medium case incidence/MCI)
di Indonesia, tepatnya di dua kecamatan
dengan status kasus malaria tinggi (high
incidence
area/HIA),
yaitu
Kecamatan
Rajabasa dan Padangcermin. (Gambar 1).
Gambar 1. Lokasi Penelitian, (A) Wilayah
Kecamatan
Rajabasa,
(B)
Wilayah,
Kecamatan Padangcermin
Penangkapan Nyamuk Anopheles Malam
Hari
Penangkapan
nyamuk
malam
hari
menggunakan
metode
human
landing
collection (HLC), dari jam 18.00-06.00.
Penangkapan nyamuk dilakukan pada tiga
21
27. rumah, masing-masing di luar dan di dalam
rumah.
Waktu
penangkapan
nyamuk
dilakukan 45 menit untuk setiap jam, per
malam. Kegiatan dilaksanakan selama satu
tahun, mulai dari Agustus 2009 sampai
dengan September 2010, dengan frekuensi
penangkapan empat malam per bulan.
Identifikasi nyamuk menggunakan kunci
identifikasi dari O’Connor dan Soepanto
(1999).
Penangkapan Nyamuk Anopheles Pagi Hari
Penangkapan nyamuk pagi hari bertujuan
untuk mengetahui tempat nyamuk beristirahat.
Penangkapan nyamuk pagi hari dilaksanakan
oleh empat orang, masing-masing dua orang
di luar dan di dalam rumah. Penangkapan
nyamuk dilakukan pada jam 06.00-09.00, tiap
bulannya selama empat hari, selama satu
tahun, mulai Agustus 2009 sampai dengan
September 2010.
Analisis Data
Nyamuk Anopheles spp. yang hinggap di
badan per orang per jam dihitung berdasarkan
nilai man hour density (MHD), sedangkan
nyamuk Anopheles spp. hinggap di badan per
orang per malam dihitung berdasarkan nilai
man biting rate (MBR). Nilai MHD dihitung
berdasarkan jumlah nyamuk yang hinggap di
badan per jam dibagi dengan jumlah
penangkap dikali waktu penangkapan (dalam
jam). Adapun nilai MBR dihitung berdasarkan
jumlah nyamuk yang hinggap di badan per
malam dibagi jumlah penangkap dikali waktu
penangkapan (WHO 2003).
Fluktuasi MHD ditampilkan bentuk grafik
selama 12 jam (18.00-06.00), di dalam dan di
luar rumah. Adapun fluktuasi MBR dirataratakan tiap bulannya dan ditampil bentuk
grafik selama satu tahun, di dalam dan di luar
rumah. Hasil penangkapan nyamuk per bulan
hampir
seluruhnya
mendapatkan
A.
sundaicus, maka fluktuasi MBR satu tahun
adalah MBR A. sundaicus.
Perilaku Anopheles spp. menghisap darah
dihitung persentasenya di luar dan di dalam
rumah. Kebiasaan Anopheles spp. beristirahat
ditampilkan
tempatnya
dan
dihitung
persentase tempat beristirahat di luar dan di
dalam rumah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kepadatan Spesies Anopheles
Nyamuk Anopheles yang berkontak dengan
manusia di Kecamatan Rajabasa sebanyak 10
spesies, yaitu A. sundaicus, A. vagus, A.
tessellatus, A. aconitus, A. subpictus, A.
annularis, A. kochi, A. minimus, A. barbirostris
dan A. maculatus. Nyamuk A. sundaicus
merupakan spesies dominan, sebagaimana
ditunjukkan oleh rata-rata angka hinggap di
badan (MBR) sebesar 32,29 per orang per
malam, melebihi spesies lainnya (Gambar 2).
Di wilayah Kecamatan Padangcermin terdapat
delapan spesies Anopheles yang berkontak
dengan manusia, yaitu A. sundaicus, A.
subpictus, A. barbirostris, A. kochi, A.
aconitus, A. tessellatus, A. vagus dan A.
hyrcanus group. Nyamuk A. sundaicus juga
merupakan spesies dominan, dengan rata-rata
angka hinggap di badan (MBR) sebesar 54,26
per orang per malam, melebihi spesies lainnya
(Gambar 3).
Gambar 2. Rata-rata Spesies Anopheles
Hinggap di Badan Per Orang Per Malam
(MBR) di Kecamatan Rajabasa, Lampung
Selatan
Gambar 3. Rata-rata Spesies Anopheles
Hinggap di Badan Per Orang Per Malam
(MBR) di
Kecamatan Padangcermin,
Lampung Selatan
Perilaku A. sundaicus Menghisap Darah
Jumlah A. sundaicus hinggap di badan per
orang per jam (MHD) dirata-ratakan selama
satu tahun, hasilnya menunjukkan A.
sundaicus di Kecamatan Rajabasa, hinggap di
badan sepanjang malam, dengan puncak
aktivitas pukul 03.00-04.00. MHD di luar
rumah selalu lebih tinggi dibandingkan dengan
di dalam rumah, sepanjang malam mulai dari
pukul 18.00-06.00 (Gambar 4). Seperti halnya
di Kecamatan Rajabasa, di Kecamatan
22
28. Padangcermin A. sundaicus hinggap di badan
sepanjang malam, mulai pukul 18.00-06.00,
mencapai puncaknya pada pukul 02.00-03.00.
Nyamuk A. sundaicus hinggap di badan lebih
banyak di luar rumah dibandingkan dengan di
dalam rumah, sepanjang malam (Gambar 5).
Gambar 4. Nyamuk A. sundaicus Hinggap di
Badan Per Orang Per Jam (MHD) di
Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan
6
5
MHD
4
3
2
1
0
18-19 19-20 20-21 21-22 22-23 23-24 24-01 01-02 02-03 03-04 04-05 05-06
1.77
1.4
1.31
1.76
2.32
2.72
3.51
3.89
4.05
5.23
3.47
1.89
MHD di dalam rumah 1.55
1.01
0.95
1.28
1.83
2.19
3.02
3.31
3.45
4.37
2.8
1.21
1.66
1.21
1.13
1.52
2.08
2.46
3.27
3.60
3.75
4.80
3.14
1.55
MHD di luar rumah
MHD Rata-rata
Jam pengamatan
Gambar 5. Nyamuk A. sundaicus Hinggap di
Badan Per Orang Per Jam (MHD) di
Kecamatan Padangcermin, Lampung Selatan
8.00
MHD
6.00
4.00
2.00
0.00
18-19 19-20 20-21 21-22 22-23 23-24 24-01 01-02 02-03 03-04 04-05 05-06
4.09 3.22
2.91 3.44 4.56 5.43
6.64 6.71 6.97 6.21
4.43 3.08
MHD di dalam rumah 3.66 2.71
2.31 2.76 3.78 4.48
5.21 5.49 5.69 4.99
3.33 2.12
3.88 2.97
2.61 3.10 4.17 4.96
5.93 6.10 6.33 5.60
sepanjang malam mulai pukul 18.00-06.00,
kepadatan di luar lebih tinggi dibandingkan di
dalam rumah. Hal ini berarti potensi penularan
malaria di Rajabasa dan Padangcermin
berlangsung sepanjang malam, baik di luar
maupun di dalam rumah, dengan puncak
transmisi Plasmodium pukul 03.00-04.00 di
Rajabasa
dan
pukul
02.00-03.00
di
Padangcermin, transmisi Plasmodium ke
tubuh manusia lebih banyak terjadi di luar
rumah dinbandingkan di dalam rumah.
Nyamuk A. sundaicus hinggap di badan per
orang per malam (MBR) dirata-ratakan per
bulan. Hasilnya menunjukkan A. sundaicus
hinggap di badan sepanjang bulan, baik di
Kecamatan Rajabasa maupun Padangcermin.
MBR tertinggi pada bulan November di
Kecamatan Rajabasa dan bulan Desember di
Kecamatan Padangcermin. MBR A. sundaicus
lebih tinggi di luar rumah dibandingkan di
dalam rumah, baik di Kecamatan Rajabasa
maupun Padangcermin (Gambar 6 dan
Gambar 7).
Nyamuk A. sundaicus merupakan vektor
dominan di Kecamatan Rajabasa dan
Padangcermin. Jumlah vektor yang meningkat
akan meningkatkan akan meningkatkan kasus
(Rozendal 1997), maka Gambar 6 dan
Gambar 7 memberikan prediksi bahwa kasus
malaria akan meningkat pada bulan November
di Rajabasa dan Desember di Padangcermin,
dengan anggapan daya tahan tubuh
masyarakat stabil setiap bulan.
3.88 2.60
MHD di luar rumah
MHD Rata-rata
Jam pengamatan
Nyamuk A. sundaicus banyak ditemukan di
daerah pantai dengan puncak aktivitas tengah
malam hingga dini hari. Sukowati dan Shinta
(2009) melaporkan A. sundaicus merupakan
spesies dominan di daerah pantai Purwodadi
Kabupaten Purworejo Jawa Tengah, hinggap
di badan sepanjang malam, dengan puncak
aktivitas pukul 02.00-03.00, sementara itu di
Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang
Jawa Barat puncak aktivitas A. sundaicus di
luar rumah pukul 01.00-02.00 dan di dalam
rumah pukul 24.00-01.00 (Mardiana et al.
2007), sedangkan di Pulau Nicobar India A.
sundaicus dilaporkan aktif pada malam hari
pukul 20.00-03.00 (Dusfour et al. 2004). Rosa
et al. (2010) melaporkan di daerah pantai
Sukamaju Kota Bandar Lampung, Anopheles
spp. menghisap darah sepanjang malam
dengan puncak aktivitas pukul 24.00 di luar
rumah dan 23.00 di dalam rumah.
Di
Kecamatan
Rajabasa
dan
Padangcermin A. sundaicus hinggap di badan
Gambar 6. Nyamuk A. sundaicus Hinggap di
Badan Per Orang Per Malam (MBR) di
Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan
Gambar 7.Nyamuk A. sundaicus Hinggap di
Badan Per Orang Per Malam (MBR) di
Kecamatan Padangcermin, Lampung Selatan
23
29. Jumlah nyamuk yang meningkat pada
bulan November-Desember berkaitan dengan
pola musim. Pada musim hujan jumlah dan
luas perairan sebagai habitat larva A.
sundaicus meningkat. Tambak terbengkalai
pada musim hujan bertambah luasannya dari
25,6 Ha menjadi 30,6 Ha. Bak terbengkalai
yang sebelumnya kering menjadi berisi air,
rawa-rawa yang sebelumnya kadar garamnya
sangat tinggi menjadi lebih payau, kobakan
dan kubangan menjadi lebih banyak. Tipe
perairan tersebut merupakan habitat utama A.
sundaicus.
Perilaku Nyamuk Anopheles Beristirahat
Hasil penangkapan nyamuk Anopheles
beristirahat pada pagi hari pukul 06.00-09.00,
di Kecamatan Rajabasa dan Padangcermin
mendapatkan empat spesies yang sama, yaitu
A. sundaicus, A. annularis, A. vagus dan A.
barbirostris. Nyamuk Anopheles spp. baik di
Rajabasa maupun Padangcermin dapat
beristirahat baik di dalam dan di luar rumah
(Tabel 1 dan Tabel 2). Di Kecamatan
Rajabasa, nyamuk A. sundaicus beristirahat di
luar rumah didapatkan di rerumputan, ujung
atap rumah dan tumpukan kayu, di dalam
rumah beristirahat di jaring yang digantung,
kelambu, pakaian digantung, dinding dalam
rumah dan rak rak sepatu. Nyamuk A.
annularis
hanya
ditemukan
hinggap
beristirahat di dinding luar rumah. Nyamuk A.
vagus di luar rumah beristirahat di dinding
kandang, daun pisang kering, tumpukan kayu
dan semak kering, di dalam rumah beristirahat
di atap rumah bagian dalam dan dinding
dalam rumah. Nyamuk A. barbirostris hanya
ditemukan beristirahat di luar rumah di
rerumputan sekitar rumah (Tabel 1). Di
Kecamatan
Padangcermin,
nyamuk
A.
sundaicus di luar rumah beristirahat di
rerumputan dan dinding luar rumah, di dalam
rumah beristirahat di jaring yang digantung,
kelambu, pakaian yang digantung, dinding
dalam rumah dan sapu lidi. Nyamuk A.
annularis di luar rumah beristirahat di dinding
luar rumah, di dalam rumah beristirahat di
tumpukan kayu kering dan dinding dalam
rumah. Nyamuk A. vagus hanya ditemukan
beristirahat di dalam rumah di kelambu,
pakaian menggantung, dinding rumah bagian
dalam. Nyamuk A. barbirostris di luar rumah
beristirahat pada rerumputan di sekitar rumah
dan tambak, di dalam rumah di pakaian kotor
yang digantung di dapur (Tabel 2).
Nyamuk Anopheles pada umumnya dapat
beristirahat baik di luar maupun di dalam
rumah. Nyamuk A. maculatus dan A.
balabacensis di Kokap Kabupaten Kulonprogo
DIY beristirahat di luar rumah, di semaksemak dan tebing parit (Mahmud 2002).
Nyamuk A. aconitus di Loano Kabupaten
Purworejo Jawa Tengah di dalam rumah
beristirahat di kamar tidur dan ruang tamu,
sedangkan di luar rumah banyak beristirahat
pada lubang-lubang buatan (Riyanti 2002).
Mahande et al. (2007) melaporkan di Moshi
bagia utara Tanzania Nyamuk A. arabiensis
lebih banyak beristirahat di luar rumah sebesar
80,7% dibandingkan A. gambiae sebesar
59,7% dan Culex spp. sebesar 60,8%.
Tabel 1. Tempat Anopheles spp. Beristirahat
Pagi Hari di Kecamatan Rajabasa, Lampung
Selatan Tahun 2010
Tempat beristirahat
Spesies
Anopheles
Di luar rumah
Di dalam
rumah
A.
sundaicus
Rerumputan
pinggiran tambak,
pinggiran atap
bagian luar,
tumpukan kayu
Gantungan
jaring,
kelambu,
pakaian
mengantung,
dinding rumah,
rak sepatu
A.
annularis
Dinding rumah
bagian luar
Tidak
ditemukan
A.
vagus
Dinding kandang,
daun pisang
kering, tumpukan
kayu, semak
kering
Atap rumah
bagian dalam,
dinding rumah
A.
barbirostris
Rerumputan di
sekitar
permukiman
Tidak
ditemukan
Tabel 2. Tempat Anopheles spp. Beristirahat
Pagi Hari di Kecamatan Padangcermin,
Lampung Selatan, Tahun 2010
Spesies
Anopheles
A. sundaicus
Tempat beristirahat
di luar rumah
Rerumputan
pinggiran
tambak dan
rumah, dinding
di dalam rumah
Gantungan jaring,
kelambu, pakaian
mengantung,
dinding rumah
24
30. A. barbirostris
Tumpukan kayu
kering di dapur,
dinding rumah
Kelambu, pakaian
menggantung,
dinding rumah
bagian dalam
Rerumputan di
sekitar
permukiman
dan tambak
Pakaian kotor yang
digantung di dapur
Tabel 3. Tempat Anopheles spp. Beristirahat
di Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan,
Tahun 2010
4,53
100
Tabel 4. Tempat Anopheles spp. Beristirahat
di Kecamatan Padangcermin, Lampung
Selatan Tahun 2010
No
Rata-rata Anopheles spp. beristirahat pagi
hari
di
Kecamatan
Rajabasa
dan
Padangcermin lebih banyak ditemukan di
dalam rumah dibandingkan di luar rumah. Di
Kecamatan Rajabasa Anopheles spp. di dalam
rumah lebih banyak beristirahat di kelambu
(33,74%) dan dinding dalam rumah (32,1%),
selebihnya pakaian menggantung (16,87%),
jaring menggantung (10,29%), atap luar rumah
(4,53%) dan rak sepatu (2,47%). Di
Kecamatan Padangcermin Anopheles spp. di
dalam rumah beristirahat pagi hari lebih
banyak ditemukan di dinding (32,55%) dan
kelambu
(30,5%),
selebihnya
pakaian
menggantung (15,25%), tumpukan kayu
(13,32%) dan sapu lidi (9,38%) (Tabel 3 dan
Tabel 4).
2,47
Jumlah
A. vagus
Dinding luar
rumah
10,29
- Atap rumah
bagian dalam, sapu
lidi
Tidak ditemukan
A. annularis
- Jaring menggantung
- Rak sepatu
luar rumah
1
Tempat Anopheles
Beristirahat
Persen
Luar Rumah
- Rumput
44,34
- Dinding luar rumah
55,66
Jumlah
2
100
Dalam Rumah
- Kelambu
30,5
- Pakaian menggantung
15,25
- Dinding dalam rumah
32,55
- Sapu lidi
9,38
- Tumpukan kayu
12,32
Jumlah
100
KESIMPULAN DAN SARAN
No
1
Tempat Anopheles Beristirahat
Persen
Luar Rumah
- Rumput
- Pinggir atap luar
- Dinding luar rumah
17,86
17,14
18,57
- Dinding kandang
- Tumpukan kayu
7,86
- Daun pisang kering
7,14
- Semak kering
6,43
Jumlah
2
25
100
Kesimpulan
Nyamuk A. sundaicus ditemukan sebagai
spesies terbanyak, dan populasi A. sundaicus
aktif sepanjang malam dengan puncak
aktivitas pada jam 03.00-04.00 di Rajabasa
dan pada jam 02.00-03.00 di Padangcermin,
kepadatan tertinggi pada bulan November di
Rajabasa dan pada bulan Desember di
Padangcermin. Nyamuk Anopheles spp.
beristirahat di dalam dan di luar rumah,
sebagian besar ditemukan beristirahat di
dinding dalam dan luar rumah, serta di
kelambu.
Dalam Rumah
- Kelambu
33,74
- Pakaian menggantung
16,87
- Dinding dalam rumah
Saran
Membentuk juru malaria desa (JMD) sebagai
jembatan informasi antara Pemda dan
masyarakat.
Menggiatkan
pengendalian
Anopheles dan malaria melalui indoor residual
spray (IRS) dan penggunaan kelambu
insektisida.
32,1
25
31. DAFTAR PUSTAKA
Bonne-Wepster J, Swellengrebel NH. 1953.
The anopheline mosquitoes of the IndoAustrialian region. Amsterdam. 734 hal.
Bruce-Chwatt LJ. 1985. Essential Malariology.
Second Edition. Lodon : Oxford, Alden
Press. 452 hal.
Clements AN. 1999. Mosquitoes Vol. 2,
Sensory Reception and Behaviour. New
York : CABI Publising. 740 hal.
Clinster
AW.
2008.
Sensitiveness
of
mosquitoes in the water. Bull. Environ. Hlth.
Amer. 89 (3) 283-296.
[Dinkes Prop. Lampung] Dinas Kesehatan
Propinsi Lampung. Laporan Penemuan
Penderita Malaria. 2010. Bandarlampung,
Lampung.
Dusfour I, Harbach RE, Manguin S. 2004.
Bionomics and systematics of the oriental
Anopheles sundaicus complex in relation to
malaria transmission an vector control. Am.
J. Trop. Med. Hyg. 71 (4) : 518-524.
Machault V, Gadiaga L, Vignolles C, Jarjaval
F, Bouzid S, Sokhna C, Lacaux J, Trape J,
Rogier C, Pagès F. 2009. Highly focused
anopheline breeding sites and malaria
transmission in Dakar. Malar. J. 8 : 138
Mahande A, Mosha F, Mahande J, Kweka E.
2007. Feeding and resting behavior of
malaria vector, Anopheles arabiensis with
reference to zooprophylaxis. Malar J. 6 :
100.
Mahmud. 2002. Studi Perilaku Beristirahat
Nyamuk
Anopheles
maculatus
dan
Anopheles balabacensis (Baisas) di Desa
Hargotirto Kecamatan Kokap Kabupaten
Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta.
(Tesis). Bogor : IPB.
Mardiana, Sukowati S, Wigati RA. 2007.
Beberapa
aspek
perilaku
nyamuk
Anopheles sundaicus di Kecamatan Sumur
Kabupaten Pandeglang. J. Ekol. Kes. 6 (3)
: 621-627.
O’connor CT, Soepanto A. 1999. Kunci
Bergambar untuk Anopheles Betina dari
Indonesia. Jakarta : Ditjen P2M&PL,
Depkes RI. 40 hal.
Reisen WK, Eldridge BE, Scott TW, Gutierrez
A, Takahashi R, Lorenzen K, DeBenedictis
J, Boyce K, Swartzell R. 2002. Comparison
of dry ice-baited centers for disease control
and new jersey light traps for measuring
mosquito abudance in California. J. Amer.
Mosq. Cont. Assoc. 18 (3): 158-163.
Reid JA. 1968. Anopheline mosquitoes of
Malaya and Borneo Goverment of
Malaysia. Malaysia.
Risdiyanto I, Marpaung F, Wibowo A. 2009.
Penyusunan
model
spasial
prediksi
lingkungan sebaran malaria (Anopheles
sp.). Bogor : FMIPA, IPB.
Risch SJ, Andow D, Altieri MA. 1983.
Agroecosystem diversity and pest control :
Data, tentative conclusions, and new
research directions. Bull. Environ. Entomol.
Soc. Amer. 12 (3) : 625-629.
Riyanti F. 2002. Studi perilaku beristirahat
nyamuk Anopheles di Desa Sedayu
Kedamatan Loano Kabupaten Purworejo
Jawa Tengah. [Tesis]. Bogor : IPB.
Rosa E, Setyaningrum E, Murwani S, Halim I.
2009. Identifikasi dan aktivitas menggigit
nyamuk vektor malaria di daerah pantai
Puri
Gading
Kelurahan
Sukamaju
Kecamatan Teluk Betung Barat Bandar
Lampung. Laporan Penelitian. Bandar
Lampung : FMIPA, Universitas Lampung.
Russell PF, West LS. Manwell RD,
MacDonals G. 1963. Practical Malariology.
London : Oxpord University Press. 750 hal.
Sukowati, S. 2008. Masalah keragaman
spesies
vektor
malaria
dan
cara
pengendalianya
di
Indonesia.
Orasi
Pengukuhan Profesor Riset Bidang Biologi
Lingkungan. Jakarta : Badan Litbangkes,
Depkes R.I.
Sukowati
S,
Shinta.
2009.
Habitat
perkembangbiakan dan aktivitas menggigit
nyamuk
Anopheles
sundaicus
dan
Anopheles subpictus di Purworejo, Jawa
Tengah. J. Ekol. Kes. 8 (1) : 915-925.
[WHO] World Health Organization. 2003.
Malaria Entomology and Vector Control
Trial Edition. Genewa. 107 hal.
26
32. Implementasi Public Private Mix Program DOTS pada Dokter Praktik Swasta
dalam Pengendalian Tuberkulosis di Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur,
Tahun 2011
1
1
1
2
3
Tety Rachmawati , Muji Sulistyowati , Chatarina U.W , Setya Budiono , Tri Awignami A , Tadjudin Noor
1
2
3
3
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, Dinas
Kesehatan Kabupaten Malang
Abstrak. Public Private Mix (PPM) merupakan suatu model untuk lebih meningkatkan kualitas dalam pelayanan
dan pengendalian Tuberkulosis (TB). Banyak praktisi swasta yang terlibat dalam program TB selain rumah sakit
yaitu dokter praktik swasta (DPS), klinik, bidan, dan sebagainya. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa penderita TB tidak hanya menggunakan pelayanan kesehatan di puskesmas namun juga praktisi dokter
umum. Upaya implementasi PPM program DOTS (Directly Observed Treatment Short course) pada DPS di
propinsi Jawa Timur belum berjalan optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model PPM program
DOTS pada DPS dalam upaya peningkatan penemuan BTA positip. Hasil penelitian hampir separo responden
belum pernah mendapat sosialisasi tentang DOTS, namun responden siap berpartipasi dalam implementasi
DOTS. Keinginan untuk berpartisipasi terlepas dari faktor eksternal dan organisasi profesi. Walaupun begitu
pengetahuan sebagian besar responden tentang tuberkulosis baik. Peran DPS dalam program DOTS tergambar
dari pendapat responden mengenai peran yang akan dilakukan dalam komponen DOTS. Didapatkan 100%
responden berkomitmen untuk mengimplementasikan model PPM-DOTS dengan tetap berkoordinasi dengan
puskesmas dan dinas kesehatan. Perlu sosialisasi intensif tentang model PPM dan strategi DOTS dengan
melibatkan organisasi profesi. Pertemuan intensif lanjutan perlu diadakan untuk mengimplementasikan sesegera
mungkin model PPM-DOTS yang memungkinkan di Kabupaten Malang, Propinsi JawaTimur.
Kata Kunci : public-private mix, DOTS, dokter praktik swasta, tuberkulosis.
Koresponden:
Muji
Sulistyowati,
Fakultas
Kesehatan Masyarakat UNAIR, Telp. 08123269986
PENDAHULUAN
Public-Private Mix (PPM) merupakan satu
model dalam bentuk pelibatan semua fasilitas
layanan kesehatan dalam melakukan layanan
pasien TB dan program pengendalian TB.
PPM meliputi beberapa bentuk kolaborasi
antara lain pemerintah – swasta (seperti
kerjasama
dengan
DPS),
kolaborasi
pemerintah - pemerintah (seperti program TB
dengan RS pemerintah, fasyankes lapas) dan
kolaborasi swasta - swasta (seperti LSM, RS
swasta dengan DPS).
Public-Private Mix terdiri dari berbagai
strategi yang dapat mengembangkan jejaring
(partnerships) dalam pelaksanaan program TB
secara lokal dan nasional, yang akan
bermanfaat bagi pasien TB, masyarakat,
petugas, dan peningkatan derajat kesehatan
nasional (WHO, 2006).
Data di Dinas Kesehatan Propinsi Jawa
Timur menyatakan bahwa Propinsi Jawa
Timur mulai mengimplementasikan Directly
Observered Treatment Shortcourse (DOTS)
pada seluruh kabupaten dalam tahun 2000,
pencapaian cakupan Puskesmas 100%.
Sementara tahun 2003 propinsi JawaTimur
melaporkan bahwa 41,179 suspek TB paru,
hanya 11.533 BTA baru tercatat kasus positip
sehingga CDR yang dicapai 28%. Sampai
dengan tahun 2007 CDR propinsi Jawa Timur
sudah mencapai 58%. Banyak faktor yang
melatar belakangi rendahnya CDR, khususnya
juga dalam pengelolaan penanganan pasien
TB.
Terdapat banyak praktisi swasta yang
dapat terlibat dalam program TB selain rumah
sakit yaitu dokter praktik swasta, klinik, bidan,
dan sebagainya. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa penderita TB tidak hanya
menggunakan pelayanan kesehatan di
puskesmas namun juga praktisi dokter umum.
Berdasarkan
hasil
penelitian
tersebut
menunjukkan bahwa keterlibatan dokter
praktik swasta dalam program DOTS dapat
memberikan kontribusi dalam meningkatkan
Case Detection Rate (CDR) dalam rangka
pengendalian TB.
Penelitian ini bertujuan mengembangkan
model Public Private Mix (PPM) program
DOTS pada dokter praktik swasta dalam
upaya peningkatan penemuan BTA positip di
kabupaten Malang, JawaTimur.
BAHAN DAN CARA
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap.
Tahap I adalah penelitian deskriptif dengan
need assesment pada dokter praktik swasta
27