SlideShare a Scribd company logo
1 of 286
Download to read offline
Mencari
Asal-usul
Kitab Suci
(The Bible Came from Arabia)




 Dr. Kamal Salibi




           1985
Tulisan ini diambil dari ‘Pustaka Online Media ISNET’ (media.isnet.org) tanpa seijin dari pengelola situs tersebut. Tulisan ini juga pernah diterbitkan oleh: Penerbit Pustaka Litera AntarNusa
— Bogor, entah tahun berapa? Oleh karena itu, apabila pengelola dan penerbit merasa keberatan dengan digitalisasi tulisan ini, bisa melayangkan keberatan ke alamat: idul.choliq@atheist.
com. Dengan segala hormat, kami akan segera menyedia-sempatkan waktu guna menanggapi dengan segera dan mencukupi.

Gambar sampul muka, diambil dari peta wilyah Jazirah Arabia yang ditampilkan oleh aplikasi Google® Earth v. 6.2 for Mac® OS X Lion®, sedangkan digitalisasi dengan menggunakan Adobe®
InDesign® CS6 for Mac® OS X. Typeface yang dipergunakan adalah: Myriad Pro, Adobe® Garamond Pro dan Minion Pro yang dibuat oleh Adobe® Systems Inc.


Besar harapan kami, digitalisasi tulisan ini bisa meningkatkan manfaatnya dan bagi para pembaca.... selamat membaca.
— ii —
Daftar Isi




 Kata Pengantar	    vii
 Pendahuluan	1
1 Dunia Yahudi Kuno	9
2 Masalah Metode	 35
3 Tanah Asir	 49
4 Mencari Gerar	    57
5 Non-Temuan di Palestina	 73
6 Bermula Dari Tehom	      91
7 Masalah Yordan	 101
8 Yudah Arabia	     119
       a. Wilayah Jizan	         131
       b. Wilayah Rijal Alma’	 132
       c. Wilayah Bahr dan Birk	 132
       d. Wilayah Muhayil	       133
       e. Wilayah Ballahmar-Ballasmar	 133
       f. Wilayah Bariq	133
       g. Wilayah Majaridah	 133
       h. Wilayah Qunfudhah	 134
       i. Wilayah Wadi Adam	 134
       j. Daerah pedalaman Lith yang lebih luas	 135

                                                       — iii —
k. Wilayah Taif	 136
          9 Yerusalem dan Kota Daud	139
         10 Israil dan Samaria	 157
         11 Rencana Perjalanan Ekspedisi Sheshonk	169
         12 Melchizedek: Petunjuk-petunjuk Pada Sebuah
         Panteon	183
         13 Orang-orang Ibrani Hutan Asir	 195
         14 Orang-orang Filistin Arabia	    203
         15 Tanah Harapan	 215
         16 Kunjungan Ke Eden	        225
         17 Nyanyian Dari Pegunungan Jizan	        233
          Epilog	245
          Lampiran 1. Bukti-bukti Onomastik Yang Berkenaan
         Dengan Keduabelas Suku Israil di Arabia Barat	
         249
          Cabang-cabang suku Yoseph (Yusuf ):	     252
          ‘Induk’ suku-suku Israil:	  253
          Lampiran 2: Peta-peta	      257
          Tentang Penulis	      269




— iv —
—v—
— vi —
Kata
                              Pengantar




K
      etika mula-mula saya mengira bahwa tempat asal
      Kitab Bibel itu Arabia Barat dan bukan Palestina, saya
      merasa memerlukan dukungan untuk memperdalam
penyelidikan ini, atau lebih tepat lagi untuk memberanikan
menulis sebuah buku tentang ini. Dukungan ini diberikan
oleh sejumlah teman dan rekan saya, dan saya bangga
menyatakan bahwa saya berutang budi kepada mereka. Di
antara mereka, Dr. Wolfgang Koehler dan Prof. Gernot
Rotter yang telah memberi kesempatan pertama kepada saya
untuk mengemukakan penemuan-penemuan saya yang awal
kepada para pendengar yang amat kritis di Deutche Orient
Institut di Beirut. Prof. Rotter jugalah yang membawa hasil
penelitian saya kepada penerbit-penerbit Jerman. Merekalah
yang kemudian mempersiapkan penerjemahan buku ini,
yang aslinya ditulis dalam bahasa Inggris, ke dalam beberapa
bahasa. Joseph Munro, Profesor Sastra Inggris di American
University of Beirut, banyak membantu saya sejak awal
berjalannya penyelidikan ini. Dia pula yang mempersiapkan
naskah saya untuk diterbitkan, serta melonggarkan jalan
pemikiran saya yang terkadang sangat ingin menonjolkan
           keilmuan. Ia pun memperlembut sifat tegas saya yang
           sering dogmatis dengan bentuk-bentuk perumpamaan.
           Rasa gembira karena penemuan ini memaksa saya untuk
           mengabaikan sikap berhati-hati.
                Sebagai pendatang baru dalam bidang studi Semit
           dan Keinjilan, dalam tahap-tahap awal penyelidikan ini
           saya mendapatkan bimbingan dari dua orang rekan saya,
           Ramzi Baalbaki, yang membantu saya dalam memperlancar
           bahasa Ibrani saya, dan William Ward, yang menyisihkan
           waktunya untuk memperkenalkan saya pada literatur bidang
           keilmuan yang relevan dan memperingatkan saya akan adanya
           ke sulitan-kesulitan yang akan saya hadapi. Yang seorang
           rekan lagi, yaitu Charles Abu Chaar, yang telah memberi
           pengarahan kepada saya dalam hal-hal yang berkenaan
           dengan kehidupan flora Arabia. Profesor Otto Jastrow dari
           the University of Erlangen, sangat berbaik hati terhadap
           saya dalam memberi dukungan dan pengarahan mengenai
           studi ini, dan secara khusus saya mengucapkan terima kasih
           kepadanya. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga
           saya tujukan kepada Volkhard Windfuhr dari Der Spiegel,
           atas perhatiannya yang besar terhadap buku saya ini, dari awal
           sampai akhir. Peta-peta di dalam buku ini digambar oleh
           Ahmad Shah Durranai, Dr. Elfried Soker dan Klaus Carstens,
           sedangkan naskah terakhir yang diketik dipersiapkan oleh
           Mufida Yacoub, Sayidah Ni’mah, Leila Salibi dan Margo
           Matta.
                Karena studi yang saya lakukan ini bersifat revolusioner,
           saya yakin segenap penasihat saya akan gembira mendengar
           bahwa saya membebaskan mereka dari segala tanggung
           jawab dan dari apa pun kesalahan serta kesalahpahaman yang
           didapati oleh para pembaca kritis. Meskipun demikian, saya
           menghargai dukungan mereka selama buku ini ditulis. Saya
           hanya dapat berharap antusiasme mereka yang tak kunjung
           padam itu telah diterjemahkan menjadi sebuah buku yang
           patut mendapatkan kerjasama yang begitu besar itu dari
           mereka.
                Akhirnya, saya harus berterima kasih kepada sumber-

— viii —
sumber informasi yang tercetak yang menjadi studi saya
ini sangat bergantung. Selain sebuah versi standar dari teks
konsonan Injil Ibrani, saya telah memanfaatkan katalog
nama-nama tempat Arabia yang diterbitkan oleh Sheikh
Hamad al-Jasir dari Riyad, Arab Saudi, yang berjudul Al-
Mu’jam al-Jiughrafi li’l-Bilad’l ‘Arbiyyah as-Sa’udiyyah (Riyad,
1977). Selain itu, saya telah memanfaatkan juga beberapa peta
Jazirah Arabia yang lain: ‘Atiq al-Baladi Mu’jam Ma’alim’l-
Hijaz (Taif, 1978). Muhammad al-’Aqili: Al-Almu’jam al-
Jiughrafi li’l-Bilad’l ‘Arabiyyah as-Sa’udiyyah; Muqata’at Jizan
(Riyad, 1979); ‘Ali ibn Salih as-Siluk az-Zahrani, Al-Mu’jam
al-Jiughrafi ...; Bilad Ghamid wa Zahran (Riyad, 1978);
Hamad al-Jasir, Mu’jam, Qaba’il’l-Mamlakah al ‘Arabiyyah
as-Sa’udiyyah (Riyad, 1981); ‘Atiq al-Baladi, Mu’jam Qaba’il’l-
Hijaz (Mekah, 1979). Karya-karya ahli ilmu bumi Arab klasik,
terutama Mu’jam’l-Buldan karya Yaqut dan Sifat Jazirat’l-
Arab karya al-Hamdani, juga membantu saya. Sebagian
besar sumber-sumber lain tempat saya mendapatkan segala
keterangan itu tertera dalam catatan teks.
     Guna membantu pembaca yang bukan spesialis, saya
telah, menyediakan beberapa catatan mengenai transliterasi
Ibrani dan Arab, dan mengenai perubahan bentuk konsonan
yang sering dijumpai antara kedua bahasa itu, yang terdapat
tepat sebelum kata pengantar ini.
     Beirut‚ 24 April 1985
     Kamal Salibi




                                                                   — ix —
—x—
Pendahuluan




S
     aya akan berbicara langsung mengenai pokok persoalan.
     Saya yakin bahwa saya telah mendapatkan suatu
     penemuan penting yang seharusnya akan dapat mengubah
pengertian kita tentang Bibel Ibrani, atau apa yang disebut
oleh kebanyakan orang sebagai Perjanjian Lama. Penemuan
ini berupa dugaan kuat bahwa Kitab Bibel itu berasal dari
Arabia Barat, dan bukan dari Palestina, seperti yang sampai
kini diduga oleh para ahli, berdasarkan pada perkiraan
geografis. Bukti yang saya dapati untuk menentang pernyataan
ini akan dibahas pada bab-bab yang berikut. Dugaan saya ini
didasarkan pada analisa linguistik dari nama-nama tempat
yang tertera di dalam Kitab Bibel, yang menurut pendapat
saya sampai sekarang terus menerus telah diterjemahkan
secara tidak benar. Prosedur ini secara teknis disebut analisa
onomastik, atau barangkali lebih tepat analisa toponimik. Saya
terus-terang mengakui bahwa penemuan ini masih bersifat
      teoritis, sebelum diperkuat oleh penyelidikan-penyelidikan
      arkeologis. Akan tetapi bukti-bukti yang saya dapati sangatlah
      besar sehingga hanya akan disangsikan oleh orang-orang kolot
      saja, dan saya yakin kesangsian itu pun akan lenyap setelah
      adanya dukungan selanjutnya oleh para ahli.
            Tidak mengherankan, dalam membuka jalan baru, jika
      saya melakukan beberapa kesalahan yang mungkin akan
      dijadikan kesempatan oleh para kritikus untuk menodai hasil-
      hasil penemuan saya ini. Tetapi saya yakin bahwa kesalahan
      itu tidak akan begitu besar sehingga dapat mempengaruhi
      hasil penemuan ini. Tidak diragukan lagi, banyak orang akan
      mengeluh bahwa referensi saya terhadap kepustakaan yang
      luas mengenai geografi Bibel Ibrani itu hanya sepintas saja.
      Jawaban yang akan saya berikan singkat saja, yaitu bahwa
      saya samasekali tidak setuju dengan apa yang telah tertulis
      dan merasa tidak perlu membebani para pembaca dengan
      sanggahan-sanggahan mengenai penemuan-penemuan yang
      lalu satu persatu. Sebenarnya saya khawatir juga bahwa daftar
      nama-nama tempat yang menjadi dasar pokok argumentasi
      buku ini akan menimbulkan kesulitan kepada pembaca
      yang tidak begitu biasa dengan transliterasi abjad Ibrani
      dan Arab. Sementara saya harapkan para spesialis akan ikut
      bersabar bersama saya, saya sarankan pembaca biasa melewati
      saja bagian-bagian itu, dan memusatkan perhatian pada
      kesimpulan yang telah saya usahakan seringkas dan sejelas
      mungkin, dengan harapan hal ini dapat saya kemukakan
      dengan sebaik-baiknya.
            Untuk membantu pembaca umum, beberapa
      pengetahuan dasar baik mengenai bahasa dalam Bibel Ibrani
      ataupun perbandingannya secara linguistik yang berhubungan
      dengan bahasa-bahasa Semit, barangkali masih diperlukan.
      Ringkasnya, Kitab Bibel Ibrani kanonik itu terdiri dari tiga
      puluh sembilan kitab yang dahulunya disusun dalam dua
      puluh empat buah gulungan. Lima kitab pertama, yaitu
      Pentateuch (atau Torah dalam bahasa Ibrani, yang berarti
      ‘pelajaran’) terdiri dari Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan,
      dan Ulangan. Selanjutnya, dua puluh satu kitab Kisah

—2—
para Rasul: empat karya bersejarah Yosua, Hakim-hakim,
Samuel (2 kitab), Raja-raja (2 kitab); kitab-kitab Tiga Rasul
utama Yesaya, Yeremia dan Yehezkiel; kemudian dua belas
kitab mengenai para nabi-nabi, yaitu: Hosea, Yoel, Amos,
Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai,
Zakharia dan Maleakhi. Dan akhirnya tiga belas kitab puisi-
puisi keagamaan dan kesusastraan mengenai kebijaksanaan,
Tulisan-tulisan, yang terdiri dari Mazmur, Amsal, Yob,
Kidung Agung, Rut, Ratapan, Pengkhotbah, Ester, Daniel,
Ezra, Nehemia dan Tawarikh (2 kitab). Kecuali bagian-bagian
Aramaik dari kitab Daniel (2:4b - 7:28) dan kitab Ezra (4:8
- 6:18), semua karangan orisinalnya yang sampai kepada kita
tertulis dalam bahasa Ibrani.
     Hal-hal yang bersangkutan dengan penanggalan dan
penyusunan kitab-kitab Bibel Ibrani itu terlalu rumit untuk
dibahas secara rinci, dan tidaklah penting dalam argumentasi
saya ini. Sejumlah kitab-kitab itu, misalnya, sudah dapat
dipastikan sebagai karya-karya baru yang disusun berdasarkan
naskah-naskah yang lebih tua, sehingga dapat diperkirakan
baru tersusun pada sekitar abad ke-4 S.M., setelah runtuhnya
kerajaan Israil kuno.
     Yang sudah pasti ialah bahwa bahasa Ibrani dalam Bibel
secara keseluruhan mempunyai bentuk bahasa sehari-hari,
tidak seperti halnya bahasa Ibrani yang dipakai oleh para
rabbi (pendeta Yahudi) yang berfungsi khusus sebagai bahasa
kesarjanaan. Dengan kata lain, naskah-naskah Bibel Ibrani
yang kita kenal telah ada sebelum abad ke-5 S.M., pada waktu
Kerajaan Israil kuno mengalami kehancurannya dan sewaktu
bahasa Ibrani dan berbagai bentuk bahasa Kanaan sudah tidak
dipakai lagi. Ini berarti kita dapat mempergunakan Bibel
Ibrani itu, paling tidak dalam penelitian ini, sebagai dokumen
yang berhubungan langsung dengan sejarah Israil, lepas dari
soal-soal penanggalan, komposisi, atau siapa penulisnya.
     Karena hampir seluruh argumentasi ini dititikberatkan
pada perkiraan saya bahwa Bibel Ibrani terus-menerus
diterjemahkan dengan tidak benar, maka patut diadakan
suatu pembetulan. Singkatnya, seperti yang akan saya
jelaskan secara lebih mendalam pada Bab 2, bahasa Ibrani

                                                                 —3—
itu tidak lagi dipergunakan sebagai bahasa sehari-hari pada
      sekitar abad ke-5 atau ke-6 S.M. Oleh sebab itu, jika ingin
      memahami Bibel Ibrani kita harus memilih satu di antara dua
      metode. Cara yang pertama ialah menerima saja terjemahan
      naskah-naskah yang diterjemahkan secara tradisional itu
      dalam bahasa Ibrani, atau menyelidiki bahasa-bahasa Semit
      yang masih berhubungan erat dengan bahasa Ibrani, seperti
      bahasa Arab dan bahasa Suryani. Bahasa Suryani merupakan
      peninggalan dari suatu bentuk bahasa Aram kuno. Saya
      tidak menggunakan penterjemahan secara tradisional dalam
      bahasa Ibrani, karena para ahli Yahudi yang menterjemahkan
      dan memberi bunyi vokal pada Bibel Ibrani antara abad
      ke-6 dan ke-10 M. itu tidak dapat berbahasa Ibrani secara
      lisan dan mungkin mendasarkan rekonstruksi mereka pada
      dugaan-dugaan saja. Jika memakai metode kedua, untuk
      menafsirkan bahasa Ibrani yang dipergunakan di dalam Bibel
      Ibrani, kita harus melakukannya berkenaan dengan fonologi
      dan morfologi perbandingan dari bahasa-bahasa Semit.
      Mengingat banyak pembaca yang belum terbiasa dengan
      hal-hal seperti ini, sekali lagi saya akan memberikan informasi
      dasar mengenai hal ini.
            Bahasa Semit pada umumnya dianggap sebagai anggota
      keluarga besar bahasa-bahasa Afro-Asia yang meliputi bahasa
      Mesir kuno dan bahasa Berber serta Hausa modern. Dari
      bahasa-bahasa ini, yang termasuk dalam cabang bahasa Semit
      ialah bahasa Akkadia (bahasa kuno Babilonia dan Asiria),
      bahasa Kanaan (bahasa Funisia kuno dan bahasa Ibrani kuno
      adalah suatu varian dari bahasa ini), bahasa Aram (bahasa
      Suryani) dan bahasa Arab. Salah satu ciri khas yang dimiliki
      bahasa-bahasa ini adalah sistem mendapatkan akar suatu kata
      yang biasanya terdiri dari tiga konsonan. Akar-akar kata ini
      biasanya dipahami sebagai kata kerja, dan ada seperangkat
      pola asal mula kata kerja ini yang telah membentuk kata kerja
      lain, dan juga kata benda dan kata sifat yang beraneka ragam.
      Ini melibatkan beberapa cara pemberian tanda vokal pada
      akar kata dengan menambahkan huruf-huruf hidup, dan
      juga penambahan satu atau lebih konsonan pada akar kata
      yang asli. Dalam kamus-kamus standar bahasa-bahasa Semit,

—4—
kita biasanya mencari akar kata tertentu, yang kemudian
diikuti oleh serangkaian kata jadian yang berasal dari akar
kata itu. Sejumlah akar kata yang sama terdapat di beberapa
bahasa Semit, dengan arti yang sama atau dengan arti yang
berdekatan. Kalau kita telah menguasai sebuah bahasa Semit,
akan lebih mudah mempelajari yang lain.
     Terkadang, sebuah akar kata yang ada pada dua atau
lebih bahasa Semit tidak mudah dikenali sebagai akar kata
yang sama oleh seseorang yang tidak berbahasa Semit sebagai
bahasa ibu. Ini disebabkan karena satu atau lebih konsonan
dalam akar kata itu dapat berubah dari satu bahasa ke bahasa
yang lain. Dalam bahasa Ibrani, contohnya, akar kata yang
berarti ‘mendiami’ adalah hsr, sedangkan dalam bahasa Arab
akar kata itu adalah hdr. Penjelasannya adalah bahwa pemakai
bahasa Semit secara naluriah mengenai hubungan fonologis
antara pelbagai konsonan, yang dapat ditukar tempatnya di
antara berbagai bahasa-bahasa Semit. Misalnya, ‘g’ di dalam
satu bahasa atau dialek (yang dapat diucapkan seperti huruf ‘g’
atau sebagai huruf ‘j’) dapat berubah menjadi huruf ‘q’ (qaf)
atau ‘g’ (ghayn) dalam bahasa atau dialek yang lain. Maka kata
Negeb dalam bahasa Ibrani (sebagai sebuah nama tempat)
berubah menjadi Naqab atau Nagab dalam bahasa Arab.
     Perubahan konsonan di antara bahasa-bahasa Semit ini
nampaknya mengikuti peraturan-peraturan tertentu, dan
untuk mudahnya saya telah tabulasikan perubahan-perubahan
tersebut dari bahasa Ibrani ke bahasa Arab di bagian tepat
sebelum Kata Pengantar buku ini. Ada pula masalah metatesis,
atau perubahan dalam penempatan konsonan-konsonan dalam
akar kata yang sama antara pelbagai bahasa Semit, misalnya
akar kata acb, dapat berubah menjadi cab atau bca. Metatesis
bukanlah suatu fenomena linguistik yang hanya ditemui
dalam bahasa-bahasa Semit. Kita dapat juga menjumpainya
dalam bahasa-bahasa yang lain , walaupun metatesis sangat
biasa terjadi di antara bahasa-bahasa Semit yang sama. Dalam
sebuah dialek Arab, contohnya, zwg (diucapkan zawj), yang
berarti ‘sepasang’ dapat berubah menjadi gwz (diucapkan
jawz), yang terakhir adalah bentuk yang biasa terdapat pada
dialek Libanon yang saya pakai.

                                                                  —5—
Sama pentingnya, kalau tidak lebih, untuk mengingat
      bahwa bahasa-bahasa Semit ditulis dalam bentuk konsonan
      tanpa huruf hidup. Namun, pada terjemahan-terjemahan
      Kitab Bibel dalam bahasa Inggris dan dalam bahasa-bahasa
      lainnya, nama-nama menurut Bibel itu dikemukakan dalam
      bentuk yang telah diberi huruf vokal, yang berasal dari
      penyuaraan kaum ‘Masoret’ atau dari tradisi Kitab Bibel
      Ibrani, yang seperti telah saya katakan, mungkin salah,
      sepanjang ahli-ahli Masoret itu perlu menyusun kembali
      bahasa Ibrani, yang sudah dipergunakan lagi secara umum.
      Agar membantu para pembaca, yang telah saya lakukan
      adalah memberikan baik kata Ibrani yang diberi vokal secara
      tradisional maupun yang belum diberi vokal, dan saya
      berusaha untuk menunjukkan bagaimana kata yang sama itu,
      jika diberi vokal dengan cara yang berbeda, dapat mempunyai
      arti selain yang telah ditentukan menurut tradisi kaum
      Masoret. Mengenai kata-kata — terutama nama-nama tempat
      yang berasal dari catatan-catatan kuno Mesir, mustahil untuk
      mengetahui bagaimana semua itu disuarakan. Maka dari
      itu, apa yang telah saya lakukan dalam contoh-contoh yang
      seperti itu adalah mengemukakannya dalam bentuk konsonan
      mereka dan juga membuat agar mereka dapat dibandingkan
      dengan bentuk-bentuk konsonan Ibrani. Seperti itu pula,
      jika saya mengutip kalimat-kalimat lengkap dari Bibel Ibrani,
      saya telah menuliskan kata-kata Ibrani yang tidak diberi vokal
      ke dalam bentuk Latin yang belum diberi tanda vokal pula.
      Ini agaknya tidak banyak membantu dalam pembacaannya,
      tetapi berkenaan dengan argumentasi saya, saya tidak melihat
      adanya alternatif lain yang lebih baik.
            Untuk meringkaskan: apa yang sama dalam
      perbendaharaan kata dari berbagai bahasa Semit adalah
      sejumlah besar akar kata konsonan dan bentuk-bentuk kata
      yang berasal dari situ; yang terakhir ini tidak mempunyai
      perbedaan yang besar antara satu bahasa dengan bahasa yang
      lain. Guna membandingkan kata-kata dalam berbagai bahasa
      Semit, kita perlu mengeja kata-kata itu hanya dalam bentuk
      konsonannya, kalau tidak demikian maka seluruh maknanya
      akan hilang. Maka dari itu saya harus memohon kepada

—6—
pembaca agar mereka bersabar jika terdapat perbandingan-
perbandingan seperti itu, dan agar mereka percaya bahwa
perbandingan-perbandingan ini dibuat menurut peraturan
yang pantas bagi ilmu bahasa perbandingan.
     Berpaling pada metodologi, karena alasan-alasan yang
kini telah jelas, saya mendasarkan studi saya ini pada teks
konsonan Bibel Ibrani, membanding-bandingkan sebutan
tertentu dengan nama-nama tempat di Arabia Barat guna
memberikan alternatif bagi penterjemah tradisional. Kita
tidak perlu membahasnya lebih jauh dari itu, karena
masalah-masalah yang seperti ini akan saya bahas dalam Bab
2. Namun, saya hanya ingin menambahkan bahwa selain
meneliti buku-buku dan peta-peta, saya telah pula melakukan
sebuah perjalanan ke Arabia Barat, yang saya yakin adalah
tanah asal Kitab Bibel, guna menjadi lebih akrab dengan
lokasi-lokasi utama yang disebutkan di dalam studi ini dan
secara langsung mengamati bagaimana pelbagai lokasi yang
telah saya sebutkan tadi itu berhubungan, baik secara geografis
maupun secara topografis.
     Di atas dasar-dasar inilah argumentasi buku saya ini
berdiri. Apakah saya berhasil atau tidak meyakinkan para ahli
Bibel Ibrani itu masih harus disangsikan dahulu. Yang dapat
saya katakan adalah bahwa saya yakin sepenuhnya atas hasil-
hasil penemuan yang dihasilkan oleh analisa toponimis saya,
dan saya menanti-nanti datangnya saat para arkeolog menggali
beberapa tempat peninggalan zaman purbakala yang telah
saya sebutkan, dan semoga menghasilkan bukti-bukti yang
lebih lanjut bahwa tanah asal Kitab Bibel Ibrani adalah Arabia,
Barat, bukan Palestina.




                                                                  —7—
—8—
1
                                        Dunia
                                       Yahudi
                                        Kuno




A
      sal mula penyelidikan ini datang secara tidak sengaja.
      Pada suatu hari saya menerima sebuah copy cetakan
      indeks ilmu bumi Arab Saudi, diterbitkan di Riyad
pada tahun 1977, dan ketika saya sedang memeriksanya
untuk nama-nama tempat yang tidak berasal dari bahasa Arab
yang terletak di Arabia Barat, ketika itulah saya menyadari
bahwa nama-nama tempat di Arabia Barat juga merupakan
nama-nama tempat yang tertera di dalam Kitab Perjanjian
Lama, atau yang saya sebut Bibel Ibrani. Pada mulanya
saya meragukan persamaan ini, tetapi setelah bukti-bukti
yang memperkuat itu terkumpul, saya merasa yakin bahwa
persamaan antara nama-nama itu bukanlah suatu kebetulan
belaka. Hampir semua nama tempat kuno yang saya dapati
di dalam Bibel berpusat pada daerah dengan panjang sekitar
600 kilometer dan selebar 200 kilometer, yang pada zaman
ini meliputi Asir (bahasa Arabnya ‘Asir) dan bagian selatan
Hijaz (al-Higaz). Semua koordinat tempat-tempat yang
disebutkan di dalam Kitab Bibel Ibrani dapat dicocokkan
dengan sebuah tempat di wilayah ini, suatu fakta yang sangat
penting, sedangkan belum ada bukti-bukti yang mencocokkan
koordinat-koordinat tersebut dengan lokasi tempat-tempat
         di Palestina, tempat yang diduga sebagai tanah asal Kitab
         Bibel. Saya tidak menemukan sekelompok nama tempat
         kuno, dalam bentuk Ibraninya yang masih asli di daerah-
         daerah lain di Timur Dekat. Saya merasa berkewajiban
         untuk memikirkan adanya sebuah kemungkinan yang sangat
         menakjubkan: yaitu bahwa Yudaisme bukan berasal dari
         Palestina, melainkan dari Arabia Barat, dan bahwa seluruh
         sejarah bangsa Israil kuno berlangsung di daerah ini, bukan di
         tempat lain.
              Sudah tentu, jika menganggap bahwa dugaan saya ini
         benar, bukan berarti bahwa tidak ada orang Yahudi yang
         tinggal menetap di Palestina pada zaman Bibel itu atau di
         negara lain di luar wilayah ini. Yang dimaksud ialah bahwa
         Kitab Bibel Ibrani itu pada dasarnya ialah suatu catatan
         mengenai sejarah pengalaman bangsa Yahudi di Arabia Barat.
         Sayangnya tidak ada catatan sejarah yang dapat menjelaskan
         bagaimana Yudaisme dapat didirikan di Palestina pada
         zaman dahulu itu. Tetapi kita dapat saja memberikan suatu
         perkiraan berdasarkan bukti-bukti yang ada.
              Di antara agama-agama Timur Dekat yang diketahui,
         agama Yahudi berada dalam golongan tersendiri; belum ada
         usaha-usaha yang berhasil menjelaskan asal usulnya dalam
         pengertian agama-agama kuno Mesopotamia, Suria atau
         Mesir, kecuali dalam tingkat bayangan mitos-mitos. Salah
         satu contoh yang demikian ini ialah kisah air bah, yang
         mungkin juga terdapat dalam kitab ‘Epik Gilgamesh’ dari
         mesopotamia kuno, dan mitos-mitos kuno lainnya, bahkan
         salah satu di antaranya berasal dari Cina. Walaupun dengan
         adanya contoh-contoh ini, kita tidak dapat memastikan
         asal-mulanya mitos-mitos ini serta apa yang dibawa dan
         dari siapa. Tetapi, seperti yang akan kita lihat dalam Bab
         12, sangat masuk di akal untuk mengandaikan bahwasanya
         asal mula agama Yahudi mungkin terbentuk karena adanya
         kecenderungan terhadap monoteisme di Asir kuno tempat
         sejumlah dewa-dewa gunung seperti Yahweh, El Sabaoth, El
         Shalom, El Shaddai, El Elyon dan yang lain entah bagaimana
         yang akhirnya diakui sebagai dewa tertinggi, mungkin

— 10 —
dengan adanya pembauran di antara suku-suku setempat.
Karena kemudian diadopsi oleh suku Israil, sebuah suku lokal,
monoteisme dasar Arabia Barat ini lambat-laun berkembang
menjadi sebuah agama dengan jalan pemikiran yang tinggi,
yang mempunyai sebuah kitab keagamaan tetap, yang
mengandung gagasan yang rumit tentang sifat ketuhanan dan
mempunyai tema kemasyarakatan dan etika tersendiri. Agama
itu dengan mudah menarik peminat-peminat dari luar daerah
asalnya, khususnya dari daerah-daerah yang telah mengenal
ketatasusilaan dan yang telah mempunyai tingkat pemikiran
yang cukup tinggi. Karena agama itu mempunyai kitab dan
dikembangkan oleh orang-orang yang dapat menulis dan
membaca, agama itu mudah untuk disebarluaskan.
     Bahasa yang dipakai dalam kitab-kitab Yahudi ini
biasanya disebut Ibrani, dan agaknya merupakan dialek sebuah
bahasa Semit yang dahulunya merupakan bahasa sehari-hari
yang dipakai di pelbagai daerah di Arabia Selatan, Barat dan
Suria (termasuk Palestina)1. Seseorang dapat menyimpulkan
hal ini melalui penyelidikan etimologis dan dari nama-
nama tempat di wilayah Timur Dekat, mempertimbangkan
pula distribusi geografis mereka. Karena memerlukan kata
yang lebih tepat, maka bahasa kuno ini kini disebut bahasa
Kanaan, menurut nama sebuah bangsa menurut Bibel yang
menggunakan bahasa ini.2
     Di samping bahasa Kanaan, ada satu lagi bahasa yang
dipakai di jazirah Arab dan Suria, bahasa ini adalah bahasa
Aram, diberi nama ini menurut nama bangsa Aram dari Bibel.
Tanpa memperdulikan siapa itu sebenarnya bangsa Kanaan
dan Aram, suatu topik yang akan saya bicarakan dalam Bab 4,3
      1	 Istilah 'Semit', dipakai untuk menggambarkan bangsa yang berhubungan
   dengan bangsa Ibrani dan bahasa-bahasa mereka, pertama kali diperkenalkan oleh A. L.
   Schlozer dalam tahun 1781. Istilah ini berasal dari kata Shem (sm) dalam Bibel, putra
   Nabi Nuh dan yang dianggap sebagai leluhur orang-orang Israil dan bangsa-bangsa lain
   menurut Bibel. Bibel Ibrani berbicara mengenai bangsa-bangsa keturunan Shem tanpa
   menggambarkan mereka sebagai orang-orang 'Semit'.
      2	 Bahasa tersebut mungkin disebut dengan nama ini pada masa silam. Sebuah
   sebutan Bibel, yaitu Yesaya 19:18, menyebutkan ‘bahasa Kanaan’ (spt kn’n), agaknya
   berarti bahasa Ibrani.
      3	 Kemudian akan ditunjukkan melalui analisa toponimis bahwa tanah Kanaan
   menurut Bibel terletak di sisi maritim Asir, bukan di Palestina dan pesisir Suria, seperti
   yang biasanya diduga. Mendasarkan hampir sebagian besar argumentasi mereka pada
   bukti-bukti dalam Bibel, yang ditafsirkan dengan salah, para ahli telah menganggap
   bahwa bangsa Aramaea (Aram) pada mulanya merupakan penghuni daerah Suria bagian
   utara di sebelah barat sungai Efrat. Namun, sebuah penelitian kembali atas bukti-

                                                                                                — 11 —
dapat dipastikan bahwa bahasa Kanaan (atau bahasa Ibrani)
         dan bahasa Aram pernah dalam waktu yang bersamaan
         digunakan oleh berbagai masyarakat Arab dari wilayah
         Barat, seperti halnya di Suria. Sebuah ayat pendek dari Kitab
         Bibel, jika dilihat kembali dari segi nama-nama tempat di
         Arabia Barat yang masih ada sejak dari zaman kuno, jelas
         mengungkapkan hal ini.
              Sebutan ini adalah Kejadian 31:47-49. Di sini dapat
         kita baca mengenai sebuah timbunan tanah yang disebut
         ‘timbunan batu’, didirikan untuk menjadi saksi atas
         persetujuan antara Yakub, seorang Yahudi, dengan paman
         dari pihak ibunya, seorang bangsa Aram dan ayah mertuanya,
         yaitu Laban. Laban menyebutnya ‘Yegar-sahadutha’ (dalam
         bahasa Aram adalah ygr shdwt’), tetapi Yakub menyebutnya
         ‘Galed’ (dalam bahasa Ibraninya gl’d) dan ‘Mizpah’ (Ibraninya
         hmsph), yang berarti menara penjagaan. Ketiga nama ini
         kini masih dipakai oleh tiga buah desa yang tidak begitu
         terkenal, yang letaknya berdekatan, di daerah maritim Asir,
         di kawasan Rijal Alma’ (Rigal Alma’), di sebelah barat Abha
         (Abha). Nama-namanya adalah: Far’at Al-Shahda (‘l shd’),
         yang berarti ‘Tuhan adalah saksi’ atau ‘Tuhan dari saksi’,
         dalam bahasa Arabnya pr’t atau pr’h, yang berarti bukit atau
         timbunan, sama artinya dengan kata Aram ygr; al-Ja’d (‘l-g’d),
         yang merupakan sebuah metatesis yang telah diarabkan dari
         kata gl’d; dan al-Madhaf (mdp; bandingkan dengan msph).
              Begitulah persamaan antara pemakai bahasa Kanaan
         dengan pemakai bahasa Aram di Arabia Barat menurut
            bukti menurut Bibel menunjukkan kepada kita bahwa yang disebut oleh Bibel Ibrani
            sebagai Aram (konsonan ‘rm) sebenarnya adalah Arabia Barat. Aram Naharim (‘rm
            nhrym, Kejadian 28:2 dan sebagainya), contohnya, jelas bukan Mesopotamia, tetapi
            merupakan Naharin (nhryn) kini di dekat Taif (al-Ta’if), di Hijaz bagian selatan.
            Maka dari itu, kita harus menyimpulkan bahwa Paddan-aram (pdn ‘rm, Kejadian
            28:2 dan sebagainya) adalah Dafinah (dpn) di dekatnya, di daerah sekitar Mekah,
            bukan Mesopotamia. Begitu pula beberapa nama yang lain yang oleh Bibel Ibrani
            diasosiasikan dengan Aram Beth-rehob, Aram Zobah dan bahkan Damaskus (Dha
            Misk di Arabia Barat, atau d msk, bandingkan dengan kata Ibrani dmsq) - mungkin
            kini dapat ditemui namanya di Hijaz dan Asir. Wadi Waram (wrm) juga memakai
            nama Aram kuno di sana. Kebetulan juga, Iram (‘rm, Qur’an 89:7) di dalam Qur’an,
            sebagai nama tempat, secara konsonan sama dengan Aram dalam Bibel, yang juga
            adalah ‘rm. Qur’an menghubungkan tempat ini dengan Dhat al-’Imad. Al-’Imad kini
            merupakan sebuah desa di dataran tinggi Zahran (Zahran), sebuah daerah di sebelah
            selatan Taif, dan di sini sebuah daerah Aram setempat bertahan sebagai desa Aryamah
            (‘rym). Terus-terang saja, kita tidak dapat mengatakan dengan pasti sampai seberapa
            jauh luas tanah di Arabia Barat menurut Bibel itu, tetapi tanah ini jelas mencakup
            daerah-daerah selatan Hijaz..

— 12 —
Bibel, sehingga menurut hemat saya orang-orang Israil
itu bingung dari kelompok mana mereka berasal. Walau
mereka menganggap sebagai bangsa Ibrani (lihat Bab 13),
tetapi menurut Ulangan 26:5 leluhur mereka adalah seorang
yang berasal dari suku Aram. Pertentangan ini telah lama
membingungkan para ahli, tetapi jika anggapan saya benar,
hal itu memang masuk akal.
     Kemungkinan besar awal tersebarnya agama Yahudi dari
tanah asalnya di Arabia Barat ke Palestina dan ke daerah-
daerah lain itu ialah dengan mengikuti jalur (route) kafilah
perdagangan antar Arabia. Pada zaman kuno, wilayah Asir di
Arabia Barat merupakan tempat pertemuan kafilah-kafilah
yang membawa barang-barang dagangan dari berbagai negara
di kawasan teluk Samudera Hindia seperti India, Arabia
Selatan serta Afrika Timur, dari satu arah, dan dari Persia-
Mesopotamia, dan negara-negara di Laut Tengah bagian
Timur, terutama Suria, Mesir dan dunia Aegea, dari arah yang
lain (lihat Peta 1).
     Palestina, yang terletak di sudut Selatan Suria, dekat
Mesir, merupakan ujung penghabisan dari jalur perdagangan
kuno Arabia Barat pertama yang bertolak menuju arah ini.
Penduduk Yahudi yang pertama mestinya adalah pedagang-
pedagang dan kafilah-kafilah dari Arabi Barat yang terlibat
dalam perdagangan ini. Penduduk baru ini kemudian dengan
mudah menarik penduduk lokal untuk memasuki agama
mereka, yang dalam hal kecanggihan intelektualnya jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan cara-cara pemujaan setempat dan
bahkan agama-agama tinggi kerajaan Mesir dan Mesopotamia.
Cara yang persis seperti inilah yang dipergunakan oleh
pedagang-pedagang Islam di berbagai tempat di Asia dan
Afrika Timur pada waktu-waktu yang kemudian. Mereka
menarik umat baru untuk memeluk agama Islam di mana
pun mereka singgah di antara penduduk itu yang memandang
agama Islam sebagai suatu agama yang lebih baik daripada
agama mereka sendiri.
     Bukan maksud saya untuk mengatakan bahwa orang-
orang Yahudi itulah yang merupakan penduduk pertama
Arabia Barat di Palestina. Mestinya bangsa Filistin yang

                                                               — 13 —
menurut Bibel (lihat Bab 14) dari Arabia Barat itulah yang
         terlebih dahulu menetap di daerah itu sebelum mereka,
         mengingat bahwa merekalah yang memberi nama kepada
         negara ini. Begitupun halnya dengan bangsa Kanaan dari
         Arabia Barat (lihat catatan 3) yang tampaknya telah ‘tersebar’
         (Kejadian 10:18) sejak dahulu, dan memberi nama pada
         tanah Kanaan (kn’n) yang terletak di sepanjang pantai Suria,
         di sebelah utara Palestina. Daerah ini disebut Phoenicia oleh
         bangsa Yunani (mengenai Faniqa atau ‘Phoenicia’ di Asir,
         lihat Bab 14 ). Bahwasanya Phoenicia sebenarnya disebut
         Kanaan oleh penduduknya dapat diketahui dari sekeping
         uang logam Yunani dari Beirut yang menceritakan dalam
         bahasa Funisia (Phoenicia), bahwa kota ini terletak ‘di
         Kanaan’ (b-kn’n), dan dalam bahasa Yunani bahwa kota ini
         terletak ‘di Phoenicia’.4 Menulis mengenai ‘bangsa Phoenicia’
         dan ‘bangsa Suria dari Palestina’ pada abad ke-5 S.M.,
         sejarawan Yunani Herodotus yakin bahwa mereka berasal dari
         Arabia Barat. Ia menulis tentang kedua bangsa itu: ‘Negara
         ini, menurut cerita mereka sendiri, dahulunya terletak di Laut
         Merah, tetapi dari sana mereka menyeberang dan menetapkan
         diri di pesisir Suria, dan di sana mereka masih menetap’
         (7:89; lihat juga ibid. 1:1).5
              Berapa pun umurnya perkampungan orang-orang
         dari Arabia Barat yang tertua di daerah pesisir Suria,6
         migrasi orang-orang Filistin dan Kanaan ke sana mestinya
         bertambah besar. Menurut kitab-kitab dalam Bibel Ibrani,
         kerajaan Israil sudah dipastikan berdiri di Arabia Barat, yang
         dihuni antara lain oleh bangsa Filistin dan Kanaan, antara
         akhir abad ke-11 dan awal abad ke-10 S.M., yang sebagian
               4	 Zellig S. Harris, A Grammar of the Phoenician Language (New Haven,
            Conn., 1936), halaman 7, catatan 29. Harris menyebutkan bukti-bukti selanjutnya
            yang menandakan bahwa bangsa Funisia (Phoenicia), di sepanjang pantai Suria dan di
            tempat-tempat lain, sebenarnya menyebut diri mereka bangsa Kanaan.
               5	 Bukti Herodotus mengenai hal ini, seperti mengenai hal-hal lain yang
            berkenaan dengan sejarah Timur Dekat kuno, biasanya tidak ditanggapi dan dianggap
            tidak berharga oleh para sejarawan dan para ahli purbakala modern di daerah itu.
            Tentunya mereka secara sombong memperlakukannya dengan demikian, karena
            bukti-bukti ini tidak cocok dengan anggapan-anggapan mereka yang sebagian besar
            berdasarkan pada penafsiran yang salah atas bahan-bahan geografis dan topografis
            Bibel Ibrani. Gagasan bahwa Laut Merah Herodotus bukanlah Laut Merah, melainkan
            Teluk Parsi tidak perlu dipercaya, karena hanya sedikit sekali bukti yang ada guna
            mendukungnya.
               6	 Herodotus (2:44) melaporkan, mengenai kekuasaan pendeta-pendeta kota
            Funisia Tyre pada zamannya, bahwa kota ini didirikan 2.300 tahun sebelumnya.

— 14 —
besar merugikan bangsa Filistin dan Kanaan. Karena patah
semangat dan berturut-turut dikalahkan oleh bangsa Israil,
maka orang-orang Filistin dan Kanaan ini kemungkinan
memperderas arus migrasi mereka ke daerah pesisir Suria pada
waktu yang sama. Di Palestina, nampaknya bangsa Filistin
menamakan perkampungan-perkampungan mereka (seperti
Gaza dan Askalon) menurut kota-kota di Arabia Barat yang
mereka tinggalkan. Dusun Bayt Dajan di Palestina (‘kuil’
dgn, atau ‘dagon’) di Palestina, dekat Jaffa, masih memakai
nama dewa agama yang mereka anut sewaktu di Arabia Barat
(lihat Bab 14). Di sebelah utara Palestina, bangsa Kanaan juga
memberi nama-nama yang berasal dari Arabia Barat kepada
perkampungan-perkampungan mereka - nama-nama seperti
Sur (Tyre), Sidon, Gebal (dalam bahasa Yunani = Byblos),
Arwad (dalam bahasa Yunani = Arados), atau Libanon.7 Pada
saat orang-orang Israil dari Arabia Barat (dan mungkin kaum
Yahudi dari Arabia Barat lainnya) memulai migrasi mereka
ke arah Utara untuk menetap di Palestina, yang tak dapat
ditentukan tahunnya, mereka juga memberikan nama-nama
yang berasal dari daerah mereka yang dahulu kepada tempat-
tempat pemukiman mereka atau kepada tempat-tempat
pemujaan penduduk setempat yang diambil alih oleh mereka
dan menggabungkannya dengan kuil-kuil Yahudi mereka. Di
antara yang paling kentara dan yang paling terkenal adalah:
Yerusalem (yrwslm, lihat Bab 9), Bethlehem (byt lhm, lihat
Bab 8), Hebron (hbrwn, lihat Bab 13? Carmel (krml),8 dan
       7	 Tyre menurut Bibel (bahasa Ibrani sr) bukanlah sebuah kota di tepi ‘laut’
   (bahasa Ibrani ym), tetapi apa yang kini merupakan oase utama Zur (zr), yang bernama
   Zur al-Wadi’ah, di wilayah Najran, berdiri di ujung daerah Yam (ym), berbatasan
   dengan gurun Arabia Tengah. ‘Kapal-kapal’-nya (bahasa Ibraninya ialah ‘wnywt)
   sebenarnya adalah kafilah-kafilah binatang beban (bahasa Arabnya ‘nyt, ‘kantung-
   kantung pelana’), dan tempat-tempat mereka berdagang dapat dikenali melalui nama-
   nama mereka di pelbagai bagian Arabia. Kitab Bibel berbicara mengenai Raja Hiram
   (hyrm) dari sr, atau ‘Tyre’; tidak ada raja kuno dengan nama ini yang diakui untuk kota
   Tyre di Libanon, karena nama Phoenicia Ahiram (hrm bukan hyrm) adalah seorang
   raja Byblos, yang merupakan tempat yang lain samasekali Gebal (gbl atau qbl) termasuk
   dalam nama-nama tempat yang sering dipakai di Arabia Barat, sebuah Gebal tertentu,
   dekat Tyre Bibel, adalah Al-Qabil (qbl), di wilayah Najran. Arwad di Arabia Barat kini
   adalah Riwad (rwd), di dataran tinggi Asir; Sidon dalam Bibel dibahas dalam Bab 4.
   Menurut para ahli Geografi Arab, Lubaynan (lbynn, tanpa vokal lbnn, atau ‘Libanon’)
   adalah nama dataran tinggi yang kini berada di tengah-tengah perbatasan antara Asir
   dan Yaman. Di kaki perbukitan pantai daerah ini, sebuah desa yang bernama Lubayni
   (lbyny) masih tetap ada. Pohon-pohon araz (cedar) Libanon yang tertulis dalam Bibel
   mestinya adalah tumbuhan jenever raksasa Lubaynan di Arabia Barat, dan salju Libanon
   yang dikatakan dalam Kitab itu, tidak disangkal lagi adalah salju setempat (lihat Bab 2).
       8	 Carmel di Arabia Barat adalah Kirmil (juga krml), yang disebutkan dalam

                                                                                               — 15 —
kemungkinan Galilee (glyl),9 Hermon (hrmwn)10 dan Yordan
         (h-yrdn, lihat Bab 7), semuanya membenarkan hal ini. Di
         kebanyakan tempat di dunia, pada suatu waktu, imigran-
         imigran yang rindu sering menamakan kota-kota, daerah-
         daerah, pegunungan, sungai-sungai, atau bahkan suatu negara
         atau pulau-pulau dengan nama-nama yang mereka bawa
         dari tanah yang mereka tinggalkan. Mengingat pada zaman
         dahulu bahasa yang dipergunakan di daerah Suria dan Arabia
         Barat adalah sama, kita tidak dapat meniadakan adanya
         kemungkinan besar bahwa beberapa tempat di kedua wilayah
         itu dahulunya mempunyai nama-nama yang sama, terutama
         jika berkenaan dengan ciri-ciri topografis, hidrologis atau
         ekologis tertentu, atau berkenaan dengan pemujaan terhadap
         dewa yang sama. Dalam corak kebudayaan tradisional, seperti
         dalam halnya bahasa, Suria dan Palestina tidak pernah jauh
         berbeda.
              Dalam setiap tahap, emigrasi dari Arabia Barat menuju
         Suria dan Palestina (dan mungkin juga daerah-daerah lain)
         didukung oleh faktor-faktor luar. Sebagai daerah yang kaya
         akan bahan baku alam, dan lagi pula sebagai daerah yang
         menguasai salah satu bandar perdagangan pada zaman kuno
         (lihat Bab 3), Arabia Barat sudah semestinya merupakan
         sebuah target untuk penjajahan ke kerajaan sejak masa
         lampau. Dalam Bab 11, akan dibuktikan, melalu bukti-
         bukti toponimik, bahwa ekspedisi yang dilakukan oleh raja
         Mesir Sheshonk I terhadap Yudah, pada akhir abad ke-
         10 S.M., seperti yang dikisahkan dalam Bibel Ibrani dan
         didukung oleh bukti-bukti dari catatan-catatan kuno Mesir,
         ditujukan kepada Arabia Barat, bukan terhadap Suria dan
         Palestina seperti yang sampai kini diperkirakan. Sebuah
            kamus geografi Arab Yaqut (4:448) sebagai sebuah punggung bukit pesisir di ujung
            selatan Asir, berbatasan dengan Yaman, sehingga terletak tepat di sebelah barat
            Libanon Arabia Barat (lihat Catatan 7). Ini menjelaskan mengapa Gunung Carmel
            kadang-kadang disebutkan sehubungan dengan Gunung Libanon dalam teks-teks
            Bibel, salah satu di antaranya yang tidak terduga adalah Yesaya 29:17, sb lbnwn
            l-krml, yang dianggap berarti ‘Libanon akan diubah menjadi ladang yang subur’, tetapi
            sebenarnya berarti ‘Libanon akan berubah (atau kembali) menjadi Carmel’.
                9	 Nama-nama tempat yang sepadan dengan kata Ibrani glyl (berarti ‘lerengan
            yang berteras-teras’) adalah biasa di dataran tinggi Arabia Barat. Salah satu di antaranya
            adalah Wadi Jalil (glyl) di Hijaz Selatan, di sebelah Tenggara Taif.
                10	 Hrmwn dalam Bibel (dalam metatesis dari hrmn atau hmrn) bertahan sebagai
            nama tidak kurang dari lima tempat di Hijaz bagian selatan dan Asir yang bernama
            Hamran atau Khamran.

— 16 —
penyelidikan yang dilakukan secara mendalam atas sebuah
lagi ekspedisi kerajaan Mesir yang disebut dalam Bibel Ibrani,
yaitu ekspedisi Raja Necho II pada akhir abad ke-7 S.M.,
mengungkapkan bahwa ekspedisi yang melibatkan seorang
Raja Yudah dan orang-orang Babilonia, juga diarahkan ke
Arabia Barat. Pertempuran Karchemis (krkmys, Tawarikh 2 -
35:20; Yesaya 10:9; Yeremia 46:2), antara pasukan Mesir dan
Babilonia, terjadi di dekat Taif, di sebelah Selatan Hijaz, di
tempat itu dua buah pedesaan yang berdekatan, Qarr (qr) dan
Qamashah (qms), masih berdiri.
      Dengan demikian, saya yakin ‘Karchemis’ yang tertulis
dalam Bibel itu bukanlah Kargamesa bangsa Hittit, yang
sekarang merupakan Jerablus di tepi sungai Furat (Efrat)
seperti yang sampai kini diperkirakan.11
      Ekspedisi-ekspedisi militer pertama kerajaan Mesir
sejak 2000 tahun S.M., yang selama ini diketahui sebagai
penyerangan terhadap Suria dan Palestina, jika kita teliti
kembali melalui catatan-catatan kuno Mesir dengan bantuan
nama-nama tempat dari Arabia Barat yang masih terdapat di
sana12, akan terlihat bahwa tindakan-tindakan militer itu lebih
       11	 Wadi Adam, yang bersumber di dataran tinggi mengalir ke arah Laut Merah,
   kadang-kadang disebut di dalam Bibel Ibrani sebagai nhr prt, yang membuatnya
   mudah dikelirukan dengan Furat (Efrat) Mesopotamia. Kebingungan ini diperbesar
   oleh deskripsi nhr prt sebagai h-nhr h-gdwl, ‘sungai besar’ dalam Kitab Bibel, dan Wadi
   Adam merupakan salah satu wadi yang mengalir ke laut yang terbesar di Arabia Barat.
   Sebenarnya nama menurut Bibel Wadi ini berasal dari nama desa yang kini adalah
   Firt (prt), di wilayah yang sama. Seperti halnya pertempuran Karchemis, pertempuran
   Karkara (atau lebih tepatnya Qarqara), yang dilakukan oleh bangsa Assyria melawan
   raja-raja Amat dan Imerisu dan sekutu mereka Gindibu’ dari Aribi dan Ahab dari Israil
   (Ahabu Sir’ila) di pertengahan abad kesembilan S.M., sebenarnya terjadi di Arabia
   Barat, bukan di sepanjang sungai Orontes di Suria seperti yang biasanya diduga. Amat,
   yang hingga kini dianggap merupakan sebuah referensi kepada Hamah di lembah
   Orontes, di utara Suria, sebenarnya kini adalah desa Amt (‘mt), dekat Taif, dan tidak
   jauh dari Karchemis dalam Bibel. Imerisu bukanlah Damaskus Suria, seperti yang
   diduga tanpa berdasarkan pada alasan apa pun. Di antara beberapa alternatif lainnya
   di Arabia Barat, diperkirakan Marasha (mrs), di dataran tinggi selatan Asir lah (wilayah
   Dhahran al-Janub, lihat Bab 3) yang paling besar kemungkinannya. Gindibu’ dari Aribi
   biasanya dianggap sebagai seorang kepala suku Arab dari gurun pasir Suria. Sebenarnya
   sebuah suku yang bernama Banu Jundub (gndb) masih menempati dataran tinggi Asir
   Tengah, dan Aribi mestinya kini merupakan ‘Arabah (‘rbh), sebuah desa di dataran
   tinggi tempat Banu Jundub masih dapat dijumpai. Karkara sendiri, dalam hal ini,
   mestinya adalah Qarqarah atau Qarqara (qrqr) masa ini, di pesisir Asir, di pedalaman
   Qunfudhah, di sebelah Selatan Lith. Ada tiga tempat lainnya yang bernama Qarqar
   (qrqr) juga di Arabia Barat, dan tidak satu pun yang terletak di wilayah Orontes di
   Suria. Jika ada kesangsian sehubungan dengan onomastics (ilmu asal kata dan nama)
   yang berkenaan dengan Pertempuran Karkara, seperti yang telah ditafsirkan secara
   geografis, lihat catatan-catatan dalam James B. Pritchard, ed., Ancient Near Eastern
   Texts Relating to the Old Testament (Princeton, 1969; dari sini disebut Pritchard), hal
   278-279.
       12	 Penterjemahan catatan-catatan Mesir (seperti catatan-catatan dalam Pritchard)

                                                                                              — 17 —
cenderung ditujukan kepada Arabia Barat. Sebagai bangsa
         kerajaan, orang-orang Mesir kuno benar-benar tertarik untuk
         menguasai Arabia Barat dan jalur-jalur perdagangannya,13
         seperti halnya bangsa Assyria dan Babilonia pada masa
         kejayaan mereka. Mestinya, setelah setiap penjajahan kerajaan
         atas tanah mereka, dari arah mana pun, sebuah gelombang
         migrasi baru bertolak dari Arabia Barat ke daerah-daerah
         seperti Palestina.
              Persis pada saat kerajaan Mesir menyudahi masa
         penghematan antara akhir abad ke-11 dan awal abad ke-10
         S.M., kerajaan Israil berdiri di bukit-bukit daerah pesisir
         Asir (lihat Bab 8-10), di bawah pimpinan Saul, kemudian
         dikembangkan oleh Daud dan mencapai puncak kejayaan
         dan kemakmurannya di bawah raja Sulaiman (Salomo).
         Andaikata Daud dan Sulaiman pada masa mereka benar-
         benar memimpin sebuah kerajaan Suria yang menguasai
         daerah strategis yang memisahkan Mesir dan Mesopotamia,
         seperti yang diduga (lihat 1 Raja-raja 4:21 dalam terjemahan
         standar mana pun), maka catatan-catatan Mesir dan
         Mesopotamia sudah semestinya paling tidak menyinggung
         nama-nama mereka, tetapi hal ini tidak terlihat. Sewaktu
         kerajaan Mesir bangkit kembali pada abad ke-10, intervensi
         baru yang dilakukannya di Arabia Barat menyebabkan
         terpecahnya kerajaan Israil menjadi dinasti ‘Yudah’ dan
         dinasti ‘Israil’ yang saling bersaingan (lihat Bab 10). Perang
         saudara antara Israil ini, yang berkobar pada dasawarsa
         terakhir abad itu, kemungkinan besar mengakibatkan migrasi
         secara besar-besaran yang pertama ke negara-negara lain,
         terutama Palestina. Penjajahan yang dilangsungkan oleh
         bangsa Mesopotamia atas Arabia Barat antara abad ke-9 dan
         ke-6 S.M., pertama-tama oleh bangsa Assyria dan kemudian
            membingungkan masalah ini dengan jalan mengenali secara tidak teliti nama-nama
            yang disebutkan dengan nama-nama tempat Palestina dan Suria yang telah diketahui,
            dan bukan menterjemahkan aslinya, seperti yang seharusnya dilakukan. Sama halnya
            (seperti dalam Pritchard) dengan catatan-catatan Mesopotamia dan yang lain-lain.
            Pencarian tempat-tempat yang dibicarakan harus dilakukan dengan bantuan catatan-
            catatan asli, bukan terjemahannya.
                13	 Bangsa Mesir juga tertarik untuk menggunakan kayu jenever Asir (bukan
            kayu jenis cemara (cedar) Libanon) sebagai bahan bangunan, dan guna membangun
            kapal-kapal mereka, karena kayu cemara (cedar) tidak begitu cocok untuk pekerjaan
            ini. Untuk melihat kebingungan antara cedar dan jenever, lihat sebutan-sebutan
            yang relevan dalam Alessandra Nibbi, Ancient Egypt and Some Eastern Neighbours
            (ParkRidge, N.J. 1981).

— 18 —
oleh orang-orang Babilonia (yang sudah merupakan bangsa
Neo-Babilonia), hanya memperbesar arus migrasi ini.
      Pada tahun 721 S.M. kerajaan ‘Israil’ di Arabia Barat itu
dihancurkan oleh Raja Assyria, Sargon II, yang menduduki
ibukotanya, yaitu Samaria, (smrwn, yang kini masih berdiri
dengan nama Shimran, lihat Bab 10) dan membawa
penduduk terkemukanya ke Persia sebagai tawanan.14
Kemudian, pada tahun 586 S.M., penguasa Babilonia,
Nebuchadnezzar, memusnahkan kerajaan ‘Yudah’ di Arabia
Barat dan membawa ribuan penduduknya kembali ke
Babilonia sebagai tawanan. Begitu besar hasrat orang-orang
Babilonia untuk menjaga kekuasaan mereka atas Arabia Barat
dan untuk mempertahankan tanah jajahan mereka itu dari
usaha-usaha perebutan kembali kekuasaan atas koloni itu
oleh kerajaan Mesir (seperti yang pernah dicoba oleh Necho
II, seperempat abad sebelumnya), sampai-sampai pengganti
Nebuchadnezzar, yaitu Nabodinus, memindahkan ibukotanya
dari Babilonia ke Teima (Tayma’) di Hijaz Utara dan seperti
yang kita ketahui, ia lebih lama menjalankan pemerintahannya
di daerah itu.
      Sampai pada waktu itu, kemungkinan kehadiran orang-
orang Yahudi di Palestina telah bersifat permanen. Keadaan
orang-orang Israil yang menyedihkan di Arabia Barat mungkin
mendatangkan harapan kaum Yahudi di sana akan hidup lebih
baik di koloni Yahudi yang baru - di ‘putri Zion’ dan ‘putri
Yerusalem’ (dengan kata lain, Zion dan Yerusalem baru di
Arabia Barat, lihat Bab 9) seperti halnya orang-orang Eropa
yang pada abad ke-17 dan ke-18 kecewa akan kehidupan
mereka di daratan Eropa, dan mengharapkan akan kehidupan
yang lebih baik di koloni mereka yang baru, yaitu Amerika.
Pengharapan orang-orang Eropa pada waktu itu dikemukakan
oleh Goethe dalam kalimat-kalimatnya yang sering dikutip:
        Amerika, engkau memiliki yang lebih baik
        Daripada yang dimiliki benua kami, yang lama.
    Jauh sebelumnya, mungkin orang-orang Yahudi di
Arabia Barat menyuarakan pengharapan yang serupa, pada
      14	 Perlu dicatat di sini bahwa para sejarawan Arab pada zaman permulaan Islam,
   yang karya-karya mereka mengabadikan tradisi-tradisi Arab yang berhak menerima
   perhatian serius, menegaskan bahwa Nebuchadnezzar adalah penakluk Arabia dan
   menceritakan kisah-kisah penaklukannya di sana.

                                                                                        — 19 —
suatu waktu antara abad ke-8 dan ke-5 S.M., membicarakan,
         barangkali, tentang dunia baru mereka di Palestina, seperti
         yang berikut ini:
                Dan engkau, wahai Menara Kawanan Domba,
                Hai Bukit putri Zion,
                Kepadamu akan datang
                Dan akan kembali pemerintahan
                Yang dahulu,
                Kerajaan putri Yerusalem.
                                                                                  (Mikha 4:9)15
             Dan juga dalam kata-kata ini:
                Putri gadis Zion
                Membencimu,16 memperolok-olokkan engkau
                Dan putri Yerusalem
                Menggeleng-gelengkan kepala di belakangmu
                Dan orang-orang yang terluput di antara kaum
                              Yudah
                Yaitu orang-orang yang tertinggal,
                Akan berakar ke bawah,
                Dan menghasilkan buah ke atas;
                Sebab dari Yerusalem akan keluar orang-orang
                              yang tertinggal,
                Dan dari Gunung Zion orang-orang yang
                              terluput;
                Semangat Penguasa Sabaoth,17 akan
                              melakukan hal ini.
                                    (Yesaya 37:22b, 31-32; juga 2 Raja-raja 19:21b, 30-31)
             Dan mungkin dalam ini pula:
                Bergembiralah, wahai putri Zion;
                Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai putri
                             Yerusalem
                Lihat, rajamu datang kepadamu;
                Ia jaya dan menang,
               15	 Dinilai melalui Mikha 1:1, ungkapan harapan di ‘putri Yerusalem’
            bertanggalkan abad kedelapan S.M. Sampai kini, ahli-ahli Bibel telah menganggap
            ungkapan-ungkapan puitis pada Zion dan Yerusalem, sehingga meniadakan keharusan
            adanya informasi bersejarah yang lebih jauh lagi.
               16	 Kata-kata itu ditujukan kepada Sennacherib, raja Assyria (704-681 S.M.).
               17	 Mengenai Sabaoth menurut Bibel sebagai kuil pemujaan Yahweh utama di
            dataran tinggi Asir (kini desa al-Sabayat, bandingkan dengan ‘lhy sb’wt atau yhwh
            sb’wt dalam bahasa Ibrani), lihat Bab 12.

— 20 —
Ia rendah hati dan mengendarai seekor keledai,
        Seekor keledai beban yang muda.18
                                                                           (Zakharia 9:9)
     Jika ada harapan yang tertinggal untuk mendirikan
kembali sebuah pemerintahan Israil yang mampu bertahan
seusainya penjajahan oleh bangsa-bangsa Assyria dan
Babilonia, maka harapan ini pudar secara tidak langsung
dengan munculnya kerajaan Persia, Achaemenes, pada
akhir abad ke-6 S.M. Pada tahun 538 S.M., bangsa Persia
menaklukkan Babilonia; dan pada tahun 525, mereka telah
mengalahkan Suria dan menduduki Mesir dan untuk pertama
kalinya mempersatukan semua negara yang terletak di
kawasan Timur Dekat kuno, di bawah sebuah pemerintahan
kekerajaan yang efisien. Kekuasaan bangsa Persia ini juga
kemudian meliputi hampir seluruh, bahkan mungkin semua,
daerah Semenanjung Arabia, tetapi aksi-aksi penjajahan
mereka di Utara sangat merugikan perdagangan kafilah
antar-Arabia yang merupakan aliran utama komunitas Israil
dan komunitas-komunitas kuno lainnya di Arabia Barat.
Jalan-jalan besar yang diawasi, dibuat oleh Achaemenes guna
menghubungkan Persia dan Mesopotamia dengan Mesir
melalui Suria, berakibatkan secara langsung tergesernya
jalur-jalur utama perdagangan menjauhi Arabia, hingga
menyebabkan kemacetan ekonomi wilayah Jazirah Arab
beserta jaringan perdagangannya. Pada awal abad berikutnya,
didirikannya sebuah terusan oleh orang-orang Persia guna
menghubungkan Laut Merah dengan sungai Nil, membantu
perdagangan maritim secara merugikan perdagangan kafilah
Arabia yang menuju ke arah sana. Akibat kesemuanya ini,
       18	 Karir kenabian Zakaria bertepatan dengan awal kekuasaan raja Achaemenid
   Darius I (522-486 S.M.), ini jelas diketahui dengan disebutnya Darius dan tahun-tahun
   kekuasaannya dalam teks ramalan-ramalan Zakaria. Karena Zakaria 9:13 berbicara
   mengenai ywn, yang dianggap sebagai suatu referensi pada Yunani (bahasa Yunani
   laones), bab ini dan bab-bab berikutnya dalam Zakaria dihubungkan oleh para kritikus
   dengan seorang penulis lain dari zaman yang lebih baru (akhir zaman Achaemenid
   atau awal zaman Hellenis). Sebenarnya, kata Ibrani ywn hanya dapat merupakan
   sebuah referensi pada Yunani dalam Daniel. Di tempat lain dalam Bibel Ibrani, kata
   ini berkenaan dengan apa yang kini adalah desa-desa Yanah (yn), dekat Taif, di sebelah
   selatan Hijaz. atau desa Waynah (wyn) di lereng barat Asir, di wilayah Bani Shahr.
   Zakaria tampaknya adalah salah seorang Israil yang kembali dari Persia atau Babilon
   ke Arabia Barat pada awal zaman Achaemenid (lihat teks). Kecewa dengan apa yang ia
   temukan di sana, mungkin menyebabkan ia mengalihkan perhatiannya dari Zion dan
   Yerusalem lama di Arabia Barat ke suatu impian sebuah Zion dan Yerusalem yang baru
   di Palestina yang lebih menguntungkan.

                                                                                            — 21 —
secara menyeluruh, berkenaan dengan Arabia Barat, mestinya
         sangat merusak.
              Agaknya bangsa Persia sama sekali tidak bersifat
         memusuhi kaum Yahudi; malah kita mengetahui bahwa
         mereka membela kaum itu. Maka dari itu, dengan
         mendapatkan izin dari pemerintah Persia, sekitar 40.000
         orang keturunan tawanan-tawanan Israil di Persia dan
         Mesopotamia kembali ke Arabia Barat dengan membawa
         perabot rumah tangga mereka, dengan tujuan untuk
         membangun kembali perkampungan mereka di sana.
         Tetapi malang bagi mereka, orang-orang Israil ini kecewa
         dengan apa yang mereka temukan di sana, di mana-mana
         sekeliling mereka terdapat kemiskinan dan kehancuran
         yang menyedihkan. Yang terjadi selanjutnya hanya dapat
         menurut perkiraan saja, karena sampai di sini Kitab Bibel
         Ibrani itu tidak melanjutkan lagi kisah-kisah yang bersejarah.
         Tetapi ada suatu hal yang dapat dipastikan, yaitu belum
         ada perkampungan Israil yang berhasil didirikan kembali
         di tanah asal mereka di Arabia Barat, meskipun agama
         Yahudi tetap ada di sana dan di Arabia Selatan, bahkan
         sampai kini. Sebagian besar orang-orang Israil yang kembali
         pada periode Achaemenid mestinya berhasil kembali ke
         Mesopotamia dan Suria, atau berpencar. Sejak saat itu sampai
         dengan dihancurkannya Yerusalem di Palestina oleh bangsa
         Rumawi pada tahun 70 M., arus utama sejarah kaum Yahudi
         terpusatkan di sekitar Palestina. Mengenai asal mulanya
         Yudaisme di Arabia Barat agaknya telah dilupakan.
              Kemungkinan besar terhapusnya kenangan mengenai
         sejarah mereka di Arabia Barat dalam jangka waktu yang
         relatif singkat — mungkin tak lebih dari dua atau tiga
         abad— disebabkan oleh adanya suatu perubahan bahasa,
         yang pada abad ke-6 S.M. telah menguasai Arabia, Suria
         dan Mesopotamia. Seperti kita ketahui, dialek-dialek bahasa
         Kanaan sebagai bahasa Bibel Ibrani, telah banyak dipakai
         di Arabia Barat dan Suria masa itu bersama-sama dengan
         dialek-dialek bahasa Aram. Kitab-kitab suci Yahudi, kecuali
         beberapa bagian kitab-kitab karangan nabi-nabi yang
         kemudian, ditulis dalam bahasa Ibrani, bukan bahasa Aram.

— 22 —
Tetapi, setelah kira-kira tahun 500 S.M., bahasa Kanaan
telah jarang dipergunakan, bahkan mungkin telah punah
di Arabia dan Suria; tergeser oleh ballasa Aram yang telah
menyebar sampai ke Mesopotamia. Di bawah Achaemenes
bahasa Aram bahasa resmi pemerintahan kerajaan Persia
dan menjadi lingua franca wilayah Timur Dekat. Pergantian
bahasa di kawasan ini terus berlanjut sampai pada abad-abad
berikutnya, yang sebegitu jauh sebagai logat bahasa Semit
yang mulai bersaing dengan bahasa Aram di berbagai kawasan
di Timur Dekat.19 Sampai pada abad-abad permulaan zaman
penyebaran agama Nasrani, bahasa Arab, yang pada mulanya
merupakan bahasa suku-suku penggembala padang pasir
Syro-Arabia, telah menggantikan bahasa Aram di sebagian
besar Arabia dan Suria serta Mesopotamia, dan pada abad
ke-7 atau ke-8 M. hanya tinggal beberapa tempat saja yang
masih memakai bahasa di daerah itu. Di Arabia Barat kedua
penggeseran bahasa itu dapat dilihat melalui beberapa nama
tempat, terutama kota kuno Zeboiim (sbym atau sbyym,
bentuk jamak sby, dalam bahasa Ibrani, yang berarti ‘gazelle’
(semacam kijang), tergantung pada penyuaraannya). Kota
Zeboiim, seperti yang akan dibahas pada Bab 4, menandakan
dua kota kembar di daerah pesisir Jizan (Gizan) di daerah
pantai sebelah Asir selatan. Kedua kota ini kini masih ada
dengan nama Sabya (sby) dan Al-Zabyah (zby). Sabya adalah
bentuk bahasa Aram yang telah ditambah akhiran. Sedangkan
Al-Zabyah adalah bentuk bahasa Arab dari kata yang sama
(sby) dengan kata sandang tertentu bahasa Arab yang telah
diberi akhiran. Dengan demikian itulah nama-nama tempat
itu menghentikan segala proses sejarah.
     Suatu hal yang sama pentingnya dengan kesimpulan yang
telah saya tarik mengenai identitas nama-nama tempat di
       19	 Pergeseran bahasa yang berturut-turut, yang mempengaruhi negara-negara
   di Timur Dekat yang mengelilingi gurun Suria-Arabia yang luas itu, mestinya
   berhubungan dengan serangkaian gelombang pendudukan oleh suku-suku pengembara
   dari gurun tengah di daerah-daerah tetap di sekelilingnya. Bahasa Kanaan, tampaknya,
   adalah bahasa populasi kesukuan dan tetap yang asli di dataran tinggi Barat di
   tepian gurun Suria-Arabia, di Suria, seperti halnya di Arabia. Penduduk baru gurun,
   sejak dahulu, memperkenalkan bahasa Aram di sana, dan juga di Mesopotamia.
   Perkampungan-perkampungan yang menyusul di daerah-daerah sama yang didirikan
   oleh berbagai suku gurun yang berbahasa Arab memperkenalkan bahasa Arab. Sebagai
   sebuah bentuk bahasa induk Semit, bahasa Kanaan, bahasa Aram dan bahasa Arab
   dapat dipandang sebagai bahasa-bahasa yang sama tuanya, walaupun secara linguistik
   bahasa Arab dipandang sebagai yang tertua di antara ketiganya.

                                                                                          — 23 —
Arabia Barat dan di negeri-negeri yang dijangkau Bibel ialah
         dengan punahnya bahasa Bibel Ibrani sebagai bahasa lisan
         maka pembacaan kitab-kitab suci Yahudi itu menjadi suatu
         problema. Bahasa Ibrani, seperti kebanyakan bahasa Semit,
         ditulis dalam bentuk konsonan dan harus diberi tanda-tanda
         vokal jika kita hendak memahaminya, seperti sudah saya
         sebutkan. Suatu kekecualian adalah bahasa Akkadia, yaitu
         bahasa Mesopotamia kuno, yang tulisan kuneiformnya ditulis
         menurut suku kata bukan menurut alfabet. Perlu diingatkan
         bahwa bahasa Ibrani kuno harus dimengerti terlebih dahulu
         sebelum diberi vokal menggunakan tanda-tanda vokal yang
         tepat dan dengan menggunakan konsonan-konsonan ganda.
         Oleh sebab itu, pada permulaan era Achaemenid orang-
         orang Yahudi Palestina dan Babilonia, karena mereka tidak
         mengetahui bagaimana tulisan-tulisan Ibrani itu seharusnya
         dibaca, tampaknya mereka mendasarkan penambahan-
         penambahan vokal terhadap tulisan-tulisan itu kepada bahasa
         Aram yang mereka pakai.20 Di dalam teks-teks yang mereka
         akui terdapat banyak nama tempat yang berhubungan
         dengan lokasi-lokasi di Arabia Barat yang asing bagi mereka.
         Terlebih lagi, di Arabia Barat sendiri, kaum Yahudi pada
         sekitar tahun 500 S.M. telah mengalami kemunduran,
         sehingga tidak ada lagi orang-orang yang cukup terpelajar
         di antara mereka untuk membenarkan sesama kaum Yahudi
         dari Palestina dan Babilonia dalam tafsiran geografis mereka.
         Pula, orang-orang Yahudi dari Arabia Barat ini hanya
         beragama Yahudi saja dan tidak merupakan kelompok etnis
         ataupun mempunyai pandangan politik orang-orang Israil;
         dan mereka tidak lagi berbahasa Ibrani kuno, dan dalam
         waktu yang singkat bahasa mereka berubah menjadi bahasa
         Arab. Sudah pasti orang-orang Yahudi di Arabia Barat masih
         mempunyai kenangan mengenai kehidupan mereka yang
         dahulu sebagai bangsa Israil;21 akan tetapi menjelang akhir era
                20	 Sebuah tanda dari ini (di samping bunyi-bunyi vokal) adalah pemakaian
            pelunakan dari k tidak bersuara dalam bahasa Aram, jika didahului oleh sebuah vokal,
            menjadi bunyi desahan h (dgn topi bawah) tidak bersuara, yang tidak pernah diakui
            kebenarannya oleh penyuaraan yang sebenarnya dari nama-nama tempat menurut
            Bibel di Arabia Barat yang bertahan, yang menempatkan h (dgn topi bawah) selalu
            merupakan suatu pengucapan alternatif dari bunyi desahan yang lain, yaitu h (dgn
            titik bawah).
                21	 Sejumlah suku Arabia Barat, yang kini bukan merupakan kaum Yahudi,
            menegaskan bahwa kemungkinan kecil mereka pada mulanya merupakan orang-orang

— 24 —
Achaemenid, hubungan mereka dengan kaum Yahudi lainnya
di luar Arabia tidak teratur dan mereka mengalami kesulitan
dalam menyampaikan secara efisien apa yang mereka ingat.
Pada waktu umat-umat Yahudi Palestina dan Babilonia
menetapkan bentuk-bentuk pembacaan Kitab Bibel Ibrani
dengan mempergunakan tanda-tanda vokal, yang dimulai
pada sekitar abad ke-16 M. (lihat Bab 2), telah lama orang
meninggalkan pemakaian bahasa Ibrani atau dialek-dialek
bahasa Kanaan lainnya, dan asal mula Yudaisme di Arabia pun
telah lama dilupakan.
     Faktor lain yang mungkin menyebabkan kaum Yahudi
melupakan sejarah mereka di Arabia Barat bersangkutan
dengan perkembangan politik di Arabia Barat dan juga di
Palestina setelah runtuhnya kerajaan Israil kuno. Di Arabia
Barat, kemunduran yang dialami kerajaan Achaemenid yang
sudah mulai terlihat pada tahun 400 S.M., mendorong
munculnya perkumpulan-perkumpulan politik baru, terutama
perkumpulan politik bangsa Minaean (Ma’in), di daerah
tempat kerajaan Israil pernah berjaya. Karena tersebar di
antara perkumpulan-perkumpulan politik baru ini, yang
beberapa di antaranya dibentuk secara politis sebagai kerajaan-
kerajaan, kaum-kaum Yahudi Arabia Barat kehilangan sifat
nasionalisme mereka. Perkembangan di Palestina agaknya
berbeda dengan yang terjadi di Arabia Barat. Sampai
pada tahun 330 S.M., penjajahan Alexander Agung telah
menghancurkan kerajaan Persia; setelah wafatnya Alexander
panglima-panglimanya mendirikan kerajaan-kerajaan baru di
daerah yang dahulunya merupakan wilayah-wilayah kekuasaan
kerajaan Achaemenid. Salah satu dari kerajaan Hellenis ini
adalah kerajaan Ptolemi dengan pusatnya di Mesir yang
beribukotakan Alexandria. Satu lagi kerajaan yang terbentuk
adalah kerajaan Seleucid, yang akhirnya berpusatkan di daerah
Suria dan ibukotanya di Antioch. Penguasaan atas Palestina
pada mulanya diperebutkan antara, kerajaan Ptolemi dan
Seleucid, dan akhirnya jatuh ke tangan kerajaan Seleucid;
   Yahudi, dan ada keyakinan setempat bahwa tanah Bibel para nabi terletak di sana.
   Adat dan pengetahuan kesukuan Arab mengingatkan bahwa kaum Yahudi menempati
   pegunungan Hijaz (sic) sewaktu bangsa Arab masih berada di gurun pasir, dan bahwa
   kaum Yahudi-lah yang pertama kali memelihara unta. Lihat Alois Musil, The Manners
   and Customs of the Rwala Bedouins (New York, 1928), hal. 329-330.

                                                                                       — 25 —
akan tetapi kerajaan Ptolemi tidak putus harapan dalam
         tekadnya untuk menguasai kembali atau mempengaruhi
         negara itu. Pada abad ke-2 S.M., orang-orang Yahudi
         Palestina mempergunakan kesempatan yang ada selagi adanya
         pertikaian atas tanah mereka, dan mereka mengadakan
         suatu pemberontakan (yang dimulai pada tahun 167 S.M.)
         dan berhasil memerdekakan negara mereka dari kekuasaan
         pemerintahan kerajaan Seleucid pada tahun 142 atau 141
         S.M. Para pemimpin pemberontakan ini, yang berasal
         dari perkumpulan kependetaan Hasmonia (Hasmonaean),
         mengambil alih kekuasaan atas Yerusalem Palestina; di
         tempat ini terdapat kuil yang pada waktu itu mungkin sudah
         dianggap kaum Yahudi sedunia sebagai tempat perlindungan
         yang tersuci. Dengan bergerak melalui serangkaian aksi-
         aksi militer yang sukses, orang-orang Hasmonia ini juga
         memperluas wilayah kekuasaan kaum Yahudi di Palestina,
         sehingga akhirnya tidak hanya seluruh negeri itu saja yang
         dikuasainya, bahkan juga bagian Selatan Galilee di Utara dan
         daerah perbukitan sebelah Timur sungai Yordan dan Laut
         Mati.
              Orang-orang Hasmonia ini, pada era mereka,
         menganggap diri mereka sebagai keturunan sah bangsa Israil
         kuno, dan kerajaan mereka bertahan sampai pada kedatangan
         bangsa Rumawi pada tahun 37 S.M., yang menyusun kembali
         daerah kekuasaan mereka sebagai ‘client-kingdomnya’
         kerajaan Rumawi dengan nama ‘Judaea’ yang artinya ‘tanah
         kaum Yahudi’, dengan Herod Agung (wafat pada tahun 4
         S.M.) sebagai raja. Herod ini kemudian memperbaiki kuil
         Yerusalem Palestina, yang kemudian dihancurkan oleh bangsa
         Rumawi sewaktu mereka merampok kota itu pada tahun
         70 M., dan mengakibatkan tersebarnya penduduk Judaea.
         Tak lama kemudian, bangsa Rumawi, di bawah pimpinan
         Hadrian, membangun kembali kota ini dan menamakannya
         Aelia Capitolina, nama Aelius diambil dari salah satu nama
         Hadrian. Akan tetapi ada pula kemungkinan bahwa nama
         ini adalah bentuk Semit dari nama Aelia, yang merupakan
         nama asli tempat ini sebelum diberi nama Yerusalem, untuk
         mengingatkan kembali pada kota Yerusalem di Arabia Barat.

— 26 —
Aelia, dalam bentuk Semit aslinya dapat berarti ‘benteng’
(bandingkan dengan kata ‘yl dalam bahasa Ibrani, yang
berarti kekuatan), walaupun ini belum dapat dipastikan.
Namun, yang dapat dipastikan adalah bahwa orang-orang
Arab pada zaman dahulu mengenal kota ini bukan dengan
nama Yerusalem, melainkan Iliya (‘yly’) sebelum mereka
memanggilnya ‘tempat suci’, Bayt al-Muqqadas, Bayt al-
Maqdis ataupun hanya al-Quds.
      Tanpa mempermasalahkan nama asli kota Yerusalem
Palestina, kota ini kemudian telah dikenal sebagai kota
Yerusalem Daud dan Sulaiman yang asli pada era Hasmonia
dan bahkan mungkin jauh sebelumnya. Sama halnya dengan
Palestina yang pada waktu yang sama telah dikenal sebagai
tanah asal Bibel Ibrani. Dan pada saat itu pun sudah ada
anggapan yang kuat bahwa lokasi-lokasi geografis dari cerita-
cerita bersejarah dalam Kitab Bibel sebagian besar hanya
mencakup bagian Utara dari daerah Timur Dekat, yaitu
Mesopotamia Suria dan Mesir, bukan Arabia Barat.
      Ada kemungkinan sebuah kerajaan Yahudi di Arabia
pada era orang-orang Hasmonia, yaitu kerajaan Himyar
di Yaman yang mengalami kemakmuran dari tahun 115
S.M. sampai abad ke-6 M. Dua orang raja Himyar terakhir
diketahui sebagai penganut-penganut agama Yahudi, tetapi
kesalahan mereka sampai kini belum dapat dijelaskan secara
meyakinkan. Tidak ada bukti-bukti bahwa mereka adalah
umat Yahudi, seperti apa yang dikatakan oleh tradisi kuno
Arab. Sejarawan Flavius Josephus, akan kita bicarakan nanti,
sadar akan adanya orang-orang Yahudi kuno di Arabia, tetapi
ia tidak memberi penjelasan mengenai hal ini. Orang-orang
Hasmonia mungkin sengaja menafsirkan kembali lokasi-
lokasi geografis dalam Bibel berkenaan dengan Palestina guna
mengesahkan status mereka sebagai orang Yahudi, jika status
mereka diragukan oleh para raja Yahudi Arabia di Himyar.
Tentu saja ini hanya merupakan sebuah dugaan saja, akan
tetapi berkenaan dengan argumentasi saya, hal ini sangat
mungkin terjadi.
      Apakah adanya sebuah kerajaan Yahudi di Yaman atau
tidak, bukanlah hal yang amat penting, tetapi dari kitab

                                                                — 27 —
Septuaginta, yaitu terjemahan kitab-kitab Yahudi ke dalam
         bahasa Yunani yang dibuat pada era kerajaan Yunani Kuno
         dan pada awal era kerajaan Rumawi, jelas terbukli bahwa
         pada zaman Hasmonia itu Arabia Barat tidak lagi dipandang
         sebagai tanah asal Kitab Bibel Ibrani. Ini jelas terlihat dalam
         bagaimana nama-nama topografis Arabia Barat seperti ksdym,
         nhrym, prt dan msrym, berubah masing-masing menjadi
         Kaldia (Chaldaean), Mesopotamia, Efrat dan Mesir.22 Lebih
         lagi, kita dapat mendapatkan bukti-bukti tambahan untuk
         memperkuat dugaan ini melalui gulungan-gulungan kertas
         dari Laut Mati (Dead Sea scrolls). Di sini kita menemukan
         suatu karya orang Aram yang mendetil dari sebuah tulisan di
         dalam Kitab Bibel yang menyebutkan nama-nama tempat di
         sebelah Utara daerah Timur Dekat.
               Karena begitu besar kesuksesan politik kaum Yahudi di
         Palestina, yang berlangsung selama 200 tahun, maka dalam
         waktu yang singkat saja telah terhapus semua kenangan
         mengenai tanah Arabia Barat sebagai tanah asal Israil.
         Josephus, dalam karyanya The Antiquities of the Jews —
         yang merupakan bangsanya sendiri— tidak lama setelah
         tahun 70 M., menganggap Palestina adalah tanah asal
         mereka, dan sejak waktu itu tidak ada yang menyimpang
         dari dugaan ini yang agaknya memang masuk akal. Berabad-
         abad kaum Yahudi dan Kristen yang berziarah mengikuti
         jejak pengembaraan para nabi dan nenek moyang Israil
         mereka melintasi tanah bagian Utara Timur Dekat, antara
         sungai Furat dan sungai Nil, dan mengenali lokasi-lokasi
         bersejarah menurut Bibel dengan kota-kota atau reruntuhan
         di Palestina. Saat ini arkeologi Bibel didasarkan pada daerah
         yang sama, dan para sejarawan masih melanjutkan penelitian
         mereka terhadap sejarah dunia Bibel pada zaman Bibel —
         yang bertentangan dengan sejarah kaum Yahudi, di Palestina
         dan bukan di Arabia Barat.
               Sebagai akibat, jika seseorang meneliti kembali
         kepustakaan yang telah dibuat oleh para sarjana dan ahli-
         ahli purbakala dalam 100 tahun belakangan ini, kita sadar
               22	 Mengenai nhrym dan prt, lihat di atas, Catatan 3 dan 11. Mengenai ksdym,
            lihat Bab 13. Walaupun msrym dalam Bibel kadang-kadang menunjukkan Mesir,
            lebih sering kata ini menandakan sebuah kota atau wilayah di Arabia Barat, di
            pedalaman Asir, lihat Bab 4, 13 dan 14.

— 28 —
akan adanya suatu ironi: beberapa teks Bibel Ibrani tetap
diperdebatkan, namun geografinya tidak diganggu gugat lagi.
Jadi kenyataannya, biarpun daerah Utara wilayah Timur
Dekat telah diselidiki dengan seksama oleh serangkaian
generasi ahli-ahli purbakala, dan setelah adanya penemuan,
penelitian dan penanggalan atas peninggalan-peninggalan dari
berbagai peradaban yang telah dilupakan, belum ada bukti
yang jelas yang diketemukan yang berhubungan langsung
dengan sejarah dunia Bibel.23 Lagi pula dari ribuan nama
tempat yang tertera dalam Kitab Bibel Ibrani, hanya beberapa
di antaranya yang secara linguistik dapat diidentifikasikan. Ini
sangatlah luar biasa, mengingat nama-nama tempat di sana,
seperti di seluruh Suria, selama sebagian besar zaman kuno
adalah dalam bentuk bahasa Kanaan dan Aram dan bukan
dalam bentuk bahasa Arab. Bahkan dalam beberapa kasus
tempat-tempat di Palestina memakai nama-nama menurut
Bibel, koordinat tempat-tempat tersebut menurut perhitungan
jarak atau letaknya pun tidak cocok dengan lokasi-lokasi di
Palestina. Sebuah kejadian yang patut diperhatikan berkenaan
dengan Beersheba di Palestina (lihat Bab 4), sebuah kota yang
namanya terkemuka di dalam kisah-kisah kitab Kejadian, dan
karena itu asal mula kota ini mestinya paling tidak dari akhir
Zaman Perunggu, tempat penggalian arkeologis menemukan
persis di tempat itu barang-barang kuno yang bertanggal
paling tidak dari akhir periode kerajaan Rumawi.
      Karena seluruh sejarah Timur Dekat kuno sebagian
besar diselidiki berhubungan dengan penelitian atas Bibel
Ibrani, maka sejarah ini sampai sekarang masih banyak
mengandung ketidakpastian, seperti halnya dengan ‘Ilmu
Pengetahuan Bibel’ modern. Catatan-catatan kuno Mesir dan
Mesopotamia, jika dibaca dengan bantuan teks-teks Kitab
Bibel yang kiasan-kiasan topografisnya dianggap berhubungan
dengan Palestina, Suria, Mesir atau Mesopotamia, telah secara
teliti disesuaikan dengan prasangka-prasangka para ahli sejarah
      23	 Pekerjaan para ahli purbakala Keinjilan di Palestina sebenarnya menjadi sasaran
   kecaman-kecaman keras. Menulis pada tahun 1965, Frederick V. Winnet mengatakan
   bahwa ‘fondasi dari beberapa gedung besar yang didirikan oleh para sarjana Perjanjian
   Lama baru-baru ini ... berada dalam keadaan yang buruk dan memerlukan reparasi
   yang ekstensif’. (Journal of Biblical Literature, 84 (1965); halaman 1-19). Pandangan
   Profesor Winnet didukung oleh beberapa ahli Keinjilan ternama lainnya seperti J.
   Maxwell Miller dan H.J. Franken.

                                                                                            — 29 —
Kitab Bibel. Cara yang sama seperti itu juga diterapkan
         dalam penterjemahan catatan-catatan kuno (seperti catatan-
         catatan kuno dari Ibla, di sebelah utara Suria), yang oleh
         para arkeolog masih ditemukan di negara-negara di Timur
         Dekat. Bangsa-bangsa kuno Timur Dekat seperti bangsa
         Filistin, bangsa Kanaan, bangsa Aram, bangsa Amorite,
         bangsa Horite, bangsa Hittit (berbeda dengan bangsa kuno
         dari Suria Utara dengan nama yang sama) dan bangsa-bangsa
         lainnya, tanpa adanya bukti-bukti yang kuat telah ditentukan
         secara geografis pada daerah-daerah yang bukan merupakan
         wilayah-wilayah mereka. Lebih lagi, sejumlah bangsa ini,
         yang namanya berasal dari teks-teks Bibel, di tentukan secara
         tidak benar sebagai pemakai bahasa-bahasa yang sebenarnya
         tidak mereka pakai, atau sebaliknya. Sarjana-sarjana modern
         tetap bersikeras, misalnya, bahwa bangsa Filistin dalam Bibel
         merupakan orang-orang laut ‘non-Semit’ yang misterius, dan
         hal ini sangatlah aneh mengingat bahwa nama-nama kepala
         suku dan bahwa dewa mereka, Dagon, (dgn, yang berarti
         ‘jagung, padi’) di dalam teks-teks Bibel adalah nama-nama
         ‘Semit’ (yang jelas merupakan nama-nama Ibrani).
               Walaupun banyak masalah seperti di atas yang masih
         kurang jelas dan masih dapat diperdebatkan, namun ada
         dua hal yang sudah dapat dipastikan. Pertama, belum
         diketemukan bukti-bukti mengenai asal mulanya orang-orang
         Iberani di Mesopotamia dan dugaan mengenai adanya migrasi
         orang-orang ini dari Mesopotamia menuju ke Palestina
         dengan jalan melewati Suria Utara. Kedua, sampai kini belum
         ada tanda-tanda yang ditemukan mengenai adanya tawanan
         orang-orang Israil di Mesir, walaupun pernah adanya dalam
         sejarah, suatu emigrasi besar-besaran orang-orang Israil dari
         Mesir.24 Kita juga dapat mencatat, secara sepintas, bahwa
                24	 Goshen (gsn), Pithon (ptm), dan Raamses (r’mss) yang disebut dalam kitab
            Kejadian dan kitab Keluaran sehubungan dengan menetapnya masyarakat Israil
            di tanah msrym belum pernah ditempatkan secara memuaskan di Mesir (lihat
            catatan dalam J. Simons, The Geographical annd Topographical Texts of the Old
            Testament... (Leiden, 1959; seterusnya disebut Simons), yang melakukan beberapa
            pengenalan percobaan). Ada dua kemungkinan untuk Goshen (Ghatan, gtn, dan
            Qashanin, qsnn, jamak dari qsn), sebuah Pithom (Al Futaymah, ptym, tanpa vokal
            ptm) dan sebuah Raamses (Masas, mss) masih dapat dijumpai di pedalaman Asir, di
            wilayah msrym Arabia Barat. R’ yang pertama dalam r’mss (Raamses) mungkin adalah
            nama seorang dewa. Dalam bentuk Ra’ atau Ra’i, r’ itu tampil sebagai bagian pertama
            dari sejumlah nama tempat Arabia Barat.

— 30 —
para ahli Bibel itu masih memperdebatkan masalah keluarnya
kaum Israil dari Mesir menuju ke Palestina melewati Sinai
yang belum terbukti secara memuaskan (mengenai hal ini,
lihat observasi terhadap Gunung Horeb, Bab 2).
     Dengan penemuan-penemuan yang telah saya dapati,
ini bukanlah suatu hal yang mengagetkan. Para ahli Bibel
telah mencari bukti-bukti di tempat yang salah. Mereka
menganggap geografi Bibel Ibrani benar dan meragukan
kebenarannya sebagai kitab sejarah. Menurut hemat saya, cara
yang lebih produktif ialah dengan membenarkan isi sejarah
Bibel Ibrani dan meragukan isi geografinya, seperti yang
telah saya lakukan pada halaman-halaman yang berikut. Di
antara golongan-golongan orang Timur Dekat, nampaknya
hanya kaum Israil saja yang mempunyai kesadaran tajam
akan sejarah, atau setidak-tidaknya merupakan satu-satunya
yang memahami dan menceritakan sejarah mereka secara
lengkap dan mudah dimengerti. Kitab-kitab suci mereka,
pada hakekatnya merupakan potret diri bersejarah yang
digambarkan secara jelas dan mendetil. Memang benar
bahwa kisah-kisah dalam kitab Kejadian lebih bersifat proto-
historikal daripada historikal, dan lebih merupakan catatan-
catatan tentang orang Israil dan anggapan mereka sebagai
bangsa itu daripada tentang asal mula mereka. Tapi tidaklah
mustahil bahwa leluhur Ibrani orang-orang Israil itu pada
suatu waktu berasal dari sebuah suku yang terperangkap dan
dipaksa kerja di suatu tempat yang bernama msrym — yang
mungkin bukan Mesir; kalau mereka mengadakan migrasi
besar-besaran dari tempat itu, di bawah seorang pemimpin
yang bernama Musa yang mengatur mereka dalam suatu
kelompok keagamaan dan memberi mereka hukum-hukum
yang harus diperhatikan oleh mereka; kalau mereka melintasi
sebuah tempat yang bernama h-yrdn — yang mungkin
bukan sungai Yordan— di bawah pimpinan seseorang yang
bernama Yosua, untuk menetap di suatu tempat dan di situ
mereka akhirnya mencapai suatu penguasaan politik atas
daerah itu; kalau mereka tinggal di sana untuk beberapa waktu
sebagai suatu konfederasi yang longgar dari suku-suku di
bawah pimpinan kepala-kepala suku yang disebut ‘Hakim-

                                                                — 31 —
hakim’, dan terus menerus berperang dengan suku-suku dan
         kelompok-kelompok lain yang tinggal di antara mereka,
         kalau mereka pada akhirnya tersusun secara politis menjadi
         sebuah ‘kerajaan’ di bawah pimpinan Saul; kalau kerajaan ini
         dikembangkan dan diberi suatu penyusunan dasar oleh Daud,
         yang selain seorang prajurit yang ulung juga merupakan
         seorang penyair, dan mencapai puncak kejayaannya di bawah
         Sulaiman anak Daud, seseorang yang terkenal akan kearifan
         dan kepandaiannya. Memang semestinya jika tidak ada orang
         yang meragukan bahwa seluruh sejarah Israil, setelah wafatnya
         Sulaiman, berjalan seperti yang tertulis dalam Kitab Bibel
         Ibrani. Tetapi jika kita menganggap bahwa segenap kejadian
         dalam sejarah ini berlangsung di Palestina, dan mempelajari
         Bibel menurut anggapan ini, maka akan timbul kebingungan
         dan sejumlah pertanyaan yang tak mampu terjawab akan tak
         terhitung lagi banyaknya. Kalau saja kita menggeser geografi
         dalam Bibel dari Palestina ke Arabia Barat, maka tidak banyak
         kesukaran yang akan tersisa. Kalau kita menimbang kembali
         catatan-catatan kuno Mesir, Babilonia dan Suria menurut
         konteks geografi ini, maka semuanya akan cocok pada tempat
         mereka. Panorama sejarah dalam Bibel Ibrani yang sendirinya
         menceritakan kisah lengkap sebuah bangsa Timur Dekat,
         menjadi petunjuk terhadap penyelesaian teka-teki rumit
         sejarah Timur Dekat kuno,25 dan bukan panorama sejarah itu
         sendiri yang merupakan sebuah teka teki yang rumit.
              Seluruh argumentasi dalam bab pengenalan ini berpusat
         pada dalil yang menyatakan bahwa tanah asal Israil dan tanah
         kelahiran Yudaisme adalah Arabia Barat, bukan Palestina.
         Dalam buku ini contoh teks-teks dari Kitab Bibel akan
         diuraikan dengan cara menyelidiki nama-nama tempat secara
         toponimis guna membuktikan kebenaran dalil ini — suatu
         fakta yang semoga sewaktu-waktu akan dapat diperkuat
         oleh penemuan-penemuan arkeologis pada lokasi-lokasi
         tersebut. Secara ideal, seluruh teks Bibel Ibrani seharusnya
                25	 Lain dari Bibel Ibrani, yang mengisahkan cerita lengkap kaum Israil kuno dari
            asal mulanya yang legendaris sampai pada abad ke-5 S.M., catatan-catatan bersejarah
            lainnya dari pelbagai negara di Timur Dekat hanya menceritakan potongan-potongan
            sejarah — daftar-daftar para raja, kisah-kisah ekspedisi militer tertentu, perjanjian-
            perjanjian perdamaian dan hal-hal yang seperti itu— dan tak pernah mengisahkan
            cerita-cerita lengkap mengenai suatu bangsa, negara atau kerajaan tertentu.

— 32 —
diuraikan dengan cara yang sama seperti di atas, akan tetapi
ini memerlukan jangka waktu yang sangat lama sekali.
Andaikata para pembaca bingung dengan apa yang dikatakan
oleh buku ini, perlu dijelaskan bahwa walaupun Bibel Ibrani
menceritakan sejarah orang-orang Israil kuno di Arabia Barat,
bukan berarti agama Yahudi tidak mempunyai dasarnya
di Palestina, karena sebenarnya dasarnya adalah di sana.
Kitab Bibel Ibrani yang ditulis di Arabia Barat lebih banyak
berkenaan dengan urusan-urusan kaum Israil di daerah itu,
dan bukan dengan kaum Yahudi di tempat-tempat lain.
     Seperti yang telah dikatakan tadi, ada petunjuk-petunjuk
dari Kitab Bibel mengenai tumbuhnya sebuah pemukiman
Yahudi yang kuat di Palestina yang dimulai pada sekitar abad
ke-10 S.M. Ada pula bukti-bukti yang berupa dokumentasi-
dokumentasi yang didapat dari luar Bibel Ibrani yang
membuktikan adanya orang-orang Yahudi di negara-negara
Timur Dekat — seperti daerah Utara Mesir26 — sejak
zaman kuno. Teks-teks kanonik Bibel Ibrani, yang mereka
membicarakan cukup mendetil tentang orang-orang Yahudi
di luar Arabia Barat, hanya melakukannya sehubungan
dengan penawanan orang-orang Israil oleh kerajaan Babilonia.
Rekonstruksi sejarah Yahudi yang mula-mula di Palestina
tidak mungkin didapat melalui teks-teks ini, ataupun melalui
catatan-catatan lain yang ada sampai sekarang.




      26	 Lihat terjemahan papirus-papirus Aram dari abad ke-5 S.M. yang berkenaan
   dengan masyarakat Yahudi Elephantine (nampaknya sebuah koloni militer dari zaman
   Achaemenid) dalam Pritchard, hal. 491-493, 548-549. Sejumlah papirus tersebut
   menyinggung masalah orang-orang Yahudi yang berbahasa Aram yang menetap di sana
   pada zaman purbakala. Yang menarik adalah bahwasanya papirus-papirus ini berbicara
   mengenai orang-orang Yahudi, bukan orang-orang Israil.

                                                                                        — 33 —
— 34 —
2
                                     Masalah
                                     Metode




D
      alam mempelajari sesuatu kita harus belajar melupakan;
      didalam bidang penyelidikan Kitab Bibel ini sangat
      mutlak. Karena bahasa yang dipakai dalam Bibel
Ibrani telah lama tidak dipergunakan lagi, beberapa waktu
setelah abad ke-6 atau ke-5 S.M., maka tidak mungkin kita
mengetahui pengucapan serta pemberian tanda vokal aslinya
seperti yang dipergunakan orang-orang dahulu itu. Kita pun
tidak mengetahui apa-apa tentang orthografi, tatabahasa,
sintaksis serta langgam suaranya. Perbendaharaan kata di
Kitab Bibel Ibrani yang kita ketahui sangat terbatas pada kata-
kata yang tertera dalam teks-teks Kitab Bibel itu.
     Memang benar, bahasa Ibrani para rabbi (pendeta
Yahudi) telah memperlengkapi kita dengan perbendaharaan
kata dari Bibel Ibrani yang sebagian didasarkan pada
perbendaharaan kata kuno Kitab Bibel dan sebagian lagi
dipinjam dari bahasa Aram dan bahasa-bahasa lain. Akan
tetapi kita harus mengingat bahwa bahasa Ibrani para rabbi
Yahudi itu bukanlah suatu bahasa lisan; bahasa ini merupakan
suatu bahasa kesarjanaan saja. Lagi pula, banyak kata di
dalam Kitab Bibel yang hanya timbul sekali atau dua kali
         saja sehingga arti kata-kata itu masih dapat diperdebatkan.1
         Oleh sebab itu, untuk membaca dan mengerti Bibel Ibrani
         kita harus melakukannya menurut tradisi para pendeta
         Yahudi atau dengan cara mempelajari bahasa-bahasa Semit
         lainnya yang masih dipakai. Saya telah memakai cara yang
         kedua, mendasarkan penafsiran saya pada bahasa Arab, dan
         dalam beberapa hal pada bahasa Suryani, yang merupakan
         bentuk modern bahasa Aram kuno. Pendeknya, saya telah
         memperlakukan bahasa Ibrani sebagai bahasa yang sebenarnya
         sudah tak dikenal lagi dan yang perlu diungkapkan kembali,
         bukan lagi sebagai bahasa yang teka-teki dasarnya telah
         dipecahkan.
               Berkat kejujuran kesarjanaan kaum Masoret atau
         tradisional Yahudi, teks-teks dalam bentuk konsonan Bibel
         Ibrani itu telah diturunkan kepada kita dari zaman kuno
         dalam keadaan yang hampir dalam keadaan utuh. Sayang,
         sarjana-sarjana modern jarang yang menghargai hal ini.
         Seringkali, bila mereka gagal dalam memahami sebuah
         kutipan dari Kitab Bibel, karena prasangka-prasangka
         terhadap konteks geografisnya, mereka dengan salah
         menganggap bahwa teks-teks itu telah diubah, seperti halnya
         seorang pekerja yang tidak terampil menyalahkan alat-
         alatnya. Memang benar, beberapa kitab dalam Bibel Ibrani
         itu merupakan kumpulan sumber naskah yang lebih tua dan
         yang telah disusun kembali. Ini tidak diragukan lagi. Tetapi
         mungkin saja berbagai kitab teks Bibel kanonik yang ada
         pada kita, telah dalam bentuknya yang sekarang ini sebelum
         runtuhnya kerajaan Israil, yaitu paling lambat pada abad ke-5
         atau ke-6 S.M. Dugaan ini timbul dengan adanya kenyataan
         bahwa Bibel Ibrani telah diterjemahkan secara keseluruhan
                1	 Slg dalam Bibel contohnya, yang timbul tidak kurang dari 18 kali dalam
            pelbagai teks Bibel, biasanya dianggap berarti ‘salju’, kecuali dalam Ayub 9:30, kata
            ini tidak jarang diterjemahkan sebagai bahan pembersih atau obat pemutih, mungkin
            sejenis tanaman (soapwort). Yang terakhir ini kemungkinan adalah konotasi dari slg
            dalam sebutan-sebutan Bibel yang lain, terutama dalam Mazmur 51:9. Dalam konteks
            ini, ‘Bersihkanlah aku dengan Hyssop, dan aku akan menjadi lebih putih dari salju
            (tkbsny w-m-slg ‘lbyn)’ mungkin seharusnya secara lebih tepat diterjemahkan menjadi:
            ‘Engkau akan membersihkan aku dengan hyssop, dan aku akan menjadi bersih; engkau
            akan memandikan aku, dan dari tanaman ‘soapwort’ aku akan menjadi putih’. Dua
            buah pembersih --pembersih hyssop dan akar-akar pencuci dari tanaman ‘soapwort’--
            jelas adalah apa yang dibicarakan baris ini. Mengenai tanaman ‘soapwort’ Arab, lihat di
            bawah.

— 36 —
ke dalam bahasa Aram (kitab-kitab Targum) pada zaman
Achaemenid, dan ke dalam bahasa Yunani (kitab Septuaginta)
pada awal periode Hellenis. Gulungan kertas Laut Mati,
yang telah begitu banyak menarik perhatian dalam dasawarsa
belakangan ini, jauh lebih muda dibandingkan dengan kedua
terjemahan itu. Oleh sebab itu gulungan kertas Laut Mati
mungkin dapat berguna dalam studi mengenai agama Yahudi
Palestina pada zaman Rumawi; akan tetapi tidak akan dapat
banyak menolong dalam pemecahan teka-teki Kitab Bibel
Ibrani.
     Kita kini mengetahui bahwa Bibel Ibrani yang mula-
mula ditulis dalam bentuk konsonan. Kemudian diberi
vokal, dengan mempergunakan tanda-tanda vokal khusus,
oleh kaum Masoret Palestina dan Babilonia antara abad
ke-6 dan ke-9 atau ke-10 tahun Masehi. Dengan kata lain,
mereka yang melakukan ini sebenarnya menyusun kembali
sebuah bahasa yang telah tidak dipergunakan lagi selama
seribu tahun atau lebih. Kaum Masoret ini apakah mereka
berbahasa Aram atau tidak, melakukan tugas mereka dengan
seluruh pengetahuan yang mereka miliki. Karena mereka
menghormati Bibel sebagai kitab suci, maka dapat dipastikan
bahwa mereka berhati-hati agar tidak mengubahnya, dan
membiarkan teks konsonannya seperti apa adanya, sekalipun
mereka menemukan sebuah kutipan yang menurut mereka
tidak masuk akal. Mereka hanya mencatat bilamana ada atau
sepertinya ada kejanggalan-kejanggalan dalam ejaan atau tata
bahasa, dan tampaknya tidak ada usaha-usaha yang disengaja
untuk membetulkan kejanggalan-kejanggalan itu. Ironisnya,
jika para ahli Bibel modern berhati-hati seperti halnya para
leluhur Masoret mereka, maka Ilmu Pengetahuan Bibel
modern tidak akan membingungkan seperti sekarang ini, dan
proses mempelajari yang sebenarnya bidang ini tidak perlu
begitu banyak melupakan apa yang telah diketahui.
     Teks-teks suci, pada umumnya, dipelihara dalam bentuk
aslinya oleh mereka yang taat dan setia dalam agama apa pun,
sehingga hampir tidak berubah. Diturunkan melalui tradisi,
seperti halnya teks-teks suci, nama-nama tempat juga jarang
berubah, paling tidak dalam struktur dasarnya, beberapa pun

                                                               — 37 —
lamanya proses penurunan ini berlangsung. Jarang sekali
         nama-nama itu diubah, akan tetapi jika ini terjadi, nama-
         nama tua itu tetap dikenang oleh masyarakat, dan lebih sering
         dipergunakan kembali pada suatu saat.
              Bertahannya nama-nama tempat inilah yang
         memungkinkan saya untuk melakukan suatu analisa
         toponimis, dan terkadang memberi lebih banyak informasi
         mengenai geografi Bibel Ibrani daripada yang dapat kita
         peroleh melalui arkeologi. Dalam hal-hal tertentu, studi
         mengenai nama-nama tempat dan arkeologi mempunyai
         tujuan yang sama kecuali dalam satu perbedaan yang penting.
         Kalau penemuan-penemuan arkeologis itu bisu, jika terdapat
         inskripsi-inskripsi apa pun adanya, maka nama-nama tempat
         dapat berbicara dengan jelas. Maksud saya, bukan hanya
         memberitahu kita apa sebenarnya nama-nama tempat itu,
         bagaimana diucapkan, apa arti dan dari bahasa atau jenis
         bahasa mana asalnya. Tanpa adanya inskripsi, penemuan-
         penemuan arkeologi sangatlah sulit untuk ditafsirkan, begitu
         sulitnya sampai-sampai pertengkaran di antara para arkeolog,
         mengenai arti sejarah suatu penemuan tertentu, seringkali
         memburuk menjadi permusuhan pribadi. Walaupun nama-
         nama tempat tidak memberikan informasi sebanyak yang
         dihasilkan oleh penggalian-penggalian arkeologis, namun apa
         yang diberikan paling tidak merupakan suatu kepastian yang
         relatif atau mutlak.
              Saya akan mengemukakan sebuah contoh. Kalau
         seseorang menemukan sekelompok nama-nama tempat di
         Arabia Barat yang berasal dari sebuah bahasa yang bentuk
         konsonannya sama dengan bahasa Yahudi yang dipakai
         dalam Bibel atau bahasa Aram yang dipakai dalam Bibel,
         maka orang itu dapat menyimpulkan bahwa bahasa-bahasa
         yang sama atau serupa dengan bahasa Aram atau Yahudi
         Bibel pernah dipergunakan di Arabia Barat, meskipun
         bahasa Arablah yang merupakan bahasa sehari-hari di sana
         selama 2000 tahun. Kalau dapat lebih jauh lagi dibuktikan
         bahwa nama-nama tempat menurut Bibel, apa pun asal
         linguistiknya, terdapat pula di Arabia Barat yang sampai
         kini masih ada, sedangkan hanya sedikit yang tertinggal

— 38 —
di Palestina, maka dapat dimaklumi jika kita bertanya:
apakah Bibel Ibrani lebih merupakan catatan mengenai
perkembangan sejarah di Arabia Barat daripada di Palestina?
     Dalam suatu usaha untuk menjawab pertanyaan itu,
strategi yang saya pergunakan pada halaman-halaman
berikutnya adalah dengan membandingkan sekelompok
nama-nama tempat Semit kuno, yang dalam Kitab Bibel
ditulis dalam ejaan Ibrani, dengan nama-nama tempat yang
benar-benar ada di Asir dan selatan Hijaz, yang oleh kamus-
kamus geografi Arab Saudi modern ditulis dalam ejaan Arab.
Kira-kira sudah 3000 tahun waktu yang memisahkan bentuk
Bibel itu dari nama-nama tempat ini dengan persamaannya
yang kini masih ada. Ini merupakan jangka waktu yang
sangat lama, lebih dari satu pergeseran bahasa yang mestinya
terjadi di daerah-daerah di Timur Dekat, apalagi dengan
adanya peralihan dialek-dialek pada setiap tahap. Maka dari
itu, bagi saya yang mengherankan adalah bukan kenyataan
bahwa nama-nama tempat menurut Bibel telah mengalami
perubahan; tetapi bahwasanya nama-nama itu tetap ada dalam
bentuk Arab yang mudah dikenali.
     Adalah wajar jika nama-nama tempat menurut Bibel di
Arabia Barat telah mengalami perubahan pada fonologi dan
morfologinya, setelah hampir 3000 tahun. Pada awal buku ini,
sebuah catatan yang berjudul ‘Perubahan bentuk Konsonan,
menunjukkan bagaimana konsonan-konsonan tertentu
dalam bahasa Ibrani dapat menjadi konsonan-konsonan
lain dalam bahasa Arab dan sebaliknya. Catatan yang sama
memperlihatkan pula seringnya terjadi metatesis (pindahnya
huruf-huruf konsonan dalam suatu kata) antara bahasa-bahasa
Semit dan bahkan antara dialek-dialek dalam bahasa yang
sama. Sebagai tambahan dari perubahan yang disebabkan oleh
peralihan-peralihan bahasa dan dialek-dialek ini, kita perlu
memperhatikan pula distorsi yang disebabkan oleh ditulisnya
nama-nama tempat tersebut dalam bahasa Ibrani Bibel dan
dalam bahasa Arab modern.
     Bahasa tulisan (dengan cara menggunakan huruf-huruf
abjad atau dengan cara lain) hanya dapat mengira-ngira saja
fonetik dari sebuah percakapan saja. Inilah sebabnya mengapa

                                                               — 39 —
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI
ASAL KITAB SUCI

More Related Content

Viewers also liked

Mempelajari alkitab 24april2016
Mempelajari alkitab  24april2016Mempelajari alkitab  24april2016
Mempelajari alkitab 24april2016Setia Wirawan
 
Apa itu teologi perjanjian lama
Apa itu teologi perjanjian lamaApa itu teologi perjanjian lama
Apa itu teologi perjanjian lamaKirenius Wadu
 
Mencari Asal Usul Kitab Suci
Mencari Asal Usul Kitab SuciMencari Asal Usul Kitab Suci
Mencari Asal Usul Kitab SuciFalaqie Nila
 
Musyawarah burung
Musyawarah burungMusyawarah burung
Musyawarah burungIdul Choliq
 
Titik temu islam kristen
Titik temu islam kristenTitik temu islam kristen
Titik temu islam kristenIdul Choliq
 
Pandangan islam terhadap kristen
Pandangan islam terhadap kristenPandangan islam terhadap kristen
Pandangan islam terhadap kristenKirenius Wadu
 
Islam, doktrin dan peradaban
Islam, doktrin dan peradabanIslam, doktrin dan peradaban
Islam, doktrin dan peradabanIdul Choliq
 
Pelajaran sekolah sabat ke 12 pembaharuan memulihkan hubungan-hubungan yang r...
Pelajaran sekolah sabat ke 12 pembaharuan memulihkan hubungan-hubungan yang r...Pelajaran sekolah sabat ke 12 pembaharuan memulihkan hubungan-hubungan yang r...
Pelajaran sekolah sabat ke 12 pembaharuan memulihkan hubungan-hubungan yang r...David Syahputra
 
2 q lesson 9 hari tuhan (zefanya)
2 q lesson 9   hari tuhan (zefanya)2 q lesson 9   hari tuhan (zefanya)
2 q lesson 9 hari tuhan (zefanya)David Syahputra
 
Seminar tentang dinosaurus dan alkitab
Seminar tentang dinosaurus dan alkitabSeminar tentang dinosaurus dan alkitab
Seminar tentang dinosaurus dan alkitabDavid Syahputra
 
Materi PMK Kota Jumat 24 April 2015 Sakitnya tuh di sini new
Materi PMK Kota Jumat 24 April 2015 Sakitnya tuh di sini newMateri PMK Kota Jumat 24 April 2015 Sakitnya tuh di sini new
Materi PMK Kota Jumat 24 April 2015 Sakitnya tuh di sini newBP PmkkotaKupang
 
Becoming The Next Sessi 2.Luka Batin
Becoming  The Next Sessi 2.Luka BatinBecoming  The Next Sessi 2.Luka Batin
Becoming The Next Sessi 2.Luka Batinrobby chandra
 
Seminar rohani diskusi alkitab mengapa allah memberi 4 injil
Seminar rohani diskusi alkitab mengapa allah memberi 4 injilSeminar rohani diskusi alkitab mengapa allah memberi 4 injil
Seminar rohani diskusi alkitab mengapa allah memberi 4 injilDavid Syahputra
 

Viewers also liked (20)

Mempelajari alkitab 24april2016
Mempelajari alkitab  24april2016Mempelajari alkitab  24april2016
Mempelajari alkitab 24april2016
 
Apa itu teologi perjanjian lama
Apa itu teologi perjanjian lamaApa itu teologi perjanjian lama
Apa itu teologi perjanjian lama
 
Bibliologia
BibliologiaBibliologia
Bibliologia
 
Mencari Asal Usul Kitab Suci
Mencari Asal Usul Kitab SuciMencari Asal Usul Kitab Suci
Mencari Asal Usul Kitab Suci
 
Musyawarah burung
Musyawarah burungMusyawarah burung
Musyawarah burung
 
Titik temu islam kristen
Titik temu islam kristenTitik temu islam kristen
Titik temu islam kristen
 
Pandangan islam terhadap kristen
Pandangan islam terhadap kristenPandangan islam terhadap kristen
Pandangan islam terhadap kristen
 
Islam, doktrin dan peradaban
Islam, doktrin dan peradabanIslam, doktrin dan peradaban
Islam, doktrin dan peradaban
 
Pelajaran sekolah sabat ke 12 pembaharuan memulihkan hubungan-hubungan yang r...
Pelajaran sekolah sabat ke 12 pembaharuan memulihkan hubungan-hubungan yang r...Pelajaran sekolah sabat ke 12 pembaharuan memulihkan hubungan-hubungan yang r...
Pelajaran sekolah sabat ke 12 pembaharuan memulihkan hubungan-hubungan yang r...
 
2 q lesson 9 hari tuhan (zefanya)
2 q lesson 9   hari tuhan (zefanya)2 q lesson 9   hari tuhan (zefanya)
2 q lesson 9 hari tuhan (zefanya)
 
Seminar tentang dinosaurus dan alkitab
Seminar tentang dinosaurus dan alkitabSeminar tentang dinosaurus dan alkitab
Seminar tentang dinosaurus dan alkitab
 
Materi PMK Kota Jumat 24 April 2015 Sakitnya tuh di sini new
Materi PMK Kota Jumat 24 April 2015 Sakitnya tuh di sini newMateri PMK Kota Jumat 24 April 2015 Sakitnya tuh di sini new
Materi PMK Kota Jumat 24 April 2015 Sakitnya tuh di sini new
 
Becoming The Next Sessi 2.Luka Batin
Becoming  The Next Sessi 2.Luka BatinBecoming  The Next Sessi 2.Luka Batin
Becoming The Next Sessi 2.Luka Batin
 
Sekolah teologi online alkitabiah
Sekolah teologi online alkitabiahSekolah teologi online alkitabiah
Sekolah teologi online alkitabiah
 
Jesus love u
Jesus love uJesus love u
Jesus love u
 
Anak berkebutuhan khusus
Anak berkebutuhan khususAnak berkebutuhan khusus
Anak berkebutuhan khusus
 
Sungguh amat baik
Sungguh amat baikSungguh amat baik
Sungguh amat baik
 
Seminar rohani diskusi alkitab mengapa allah memberi 4 injil
Seminar rohani diskusi alkitab mengapa allah memberi 4 injilSeminar rohani diskusi alkitab mengapa allah memberi 4 injil
Seminar rohani diskusi alkitab mengapa allah memberi 4 injil
 
Hidup Bersama Firman
Hidup Bersama FirmanHidup Bersama Firman
Hidup Bersama Firman
 
Luka Batin
Luka BatinLuka Batin
Luka Batin
 

Similar to ASAL KITAB SUCI

THE BIBLE CAME FROM ARABIA -- ASAL-USUL KITAB SUCI -- DR. KAMAL SALIBI
THE BIBLE CAME FROM ARABIA -- ASAL-USUL KITAB SUCI -- DR. KAMAL SALIBITHE BIBLE CAME FROM ARABIA -- ASAL-USUL KITAB SUCI -- DR. KAMAL SALIBI
THE BIBLE CAME FROM ARABIA -- ASAL-USUL KITAB SUCI -- DR. KAMAL SALIBIprimagraphology consulting
 
Ilmu pengetahuan masa d. abbasiah makalah hd
Ilmu pengetahuan masa d. abbasiah makalah hdIlmu pengetahuan masa d. abbasiah makalah hd
Ilmu pengetahuan masa d. abbasiah makalah hdIdris Miaus
 
Sejarah Penulisan Al-Qur'an.docx
Sejarah Penulisan Al-Qur'an.docxSejarah Penulisan Al-Qur'an.docx
Sejarah Penulisan Al-Qur'an.docxZukét Printing
 
Bahasa Al-Qur’an dan Studi Orientalis
Bahasa Al-Qur’an dan Studi OrientalisBahasa Al-Qur’an dan Studi Orientalis
Bahasa Al-Qur’an dan Studi OrientalisNofri Migo
 
Sejarah Penulisan Al-Qur'an.pdf
Sejarah Penulisan Al-Qur'an.pdfSejarah Penulisan Al-Qur'an.pdf
Sejarah Penulisan Al-Qur'an.pdfZukét Printing
 
Para Mufassirun dan Kitab Tafsir Terkenal
Para Mufassirun dan Kitab Tafsir TerkenalPara Mufassirun dan Kitab Tafsir Terkenal
Para Mufassirun dan Kitab Tafsir TerkenalRatih Aini
 
Tafsir ibnu-katsir-juz-1
Tafsir ibnu-katsir-juz-1Tafsir ibnu-katsir-juz-1
Tafsir ibnu-katsir-juz-1Eko Supriyo
 
Tafsir ibnu-katsir-juz-1
Tafsir ibnu-katsir-juz-1Tafsir ibnu-katsir-juz-1
Tafsir ibnu-katsir-juz-1Muhammad Idris
 
Tafsir ibnu katsir juz 1
Tafsir ibnu katsir juz 1Tafsir ibnu katsir juz 1
Tafsir ibnu katsir juz 1naufal ilyas
 
Bagi_Makalah_biografi_4_Imam_Mazhab.docx
Bagi_Makalah_biografi_4_Imam_Mazhab.docxBagi_Makalah_biografi_4_Imam_Mazhab.docx
Bagi_Makalah_biografi_4_Imam_Mazhab.docxKhoirulikhsanNurarif
 
Biografi imam al baghawi
Biografi imam al baghawiBiografi imam al baghawi
Biografi imam al baghawiSidqi Maulana
 
perkembangan Studi al qur'an
perkembangan Studi al qur'an perkembangan Studi al qur'an
perkembangan Studi al qur'an qoida malik
 
رواية امام ابو داود 6.9.2012
رواية امام ابو داود   6.9.2012رواية امام ابو داود   6.9.2012
رواية امام ابو داود 6.9.2012Angah Rahim
 
Al-Qur'an, Orientalisme dan Luxenberg
Al-Qur'an, Orientalisme dan Luxenberg Al-Qur'an, Orientalisme dan Luxenberg
Al-Qur'an, Orientalisme dan Luxenberg Syamsuddin Arif
 
Ibnu rusyd averrous (makalah)
Ibnu rusyd averrous (makalah)Ibnu rusyd averrous (makalah)
Ibnu rusyd averrous (makalah)arfa07
 

Similar to ASAL KITAB SUCI (20)

THE BIBLE CAME FROM ARABIA -- ASAL-USUL KITAB SUCI -- DR. KAMAL SALIBI
THE BIBLE CAME FROM ARABIA -- ASAL-USUL KITAB SUCI -- DR. KAMAL SALIBITHE BIBLE CAME FROM ARABIA -- ASAL-USUL KITAB SUCI -- DR. KAMAL SALIBI
THE BIBLE CAME FROM ARABIA -- ASAL-USUL KITAB SUCI -- DR. KAMAL SALIBI
 
Ilmu pengetahuan masa d. abbasiah makalah hd
Ilmu pengetahuan masa d. abbasiah makalah hdIlmu pengetahuan masa d. abbasiah makalah hd
Ilmu pengetahuan masa d. abbasiah makalah hd
 
Sejarah Penulisan Al-Qur'an.docx
Sejarah Penulisan Al-Qur'an.docxSejarah Penulisan Al-Qur'an.docx
Sejarah Penulisan Al-Qur'an.docx
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Bahasa Al-Qur’an dan Studi Orientalis
Bahasa Al-Qur’an dan Studi OrientalisBahasa Al-Qur’an dan Studi Orientalis
Bahasa Al-Qur’an dan Studi Orientalis
 
Sejarah Penulisan Al-Qur'an.pdf
Sejarah Penulisan Al-Qur'an.pdfSejarah Penulisan Al-Qur'an.pdf
Sejarah Penulisan Al-Qur'an.pdf
 
Agama
AgamaAgama
Agama
 
Para Mufassirun dan Kitab Tafsir Terkenal
Para Mufassirun dan Kitab Tafsir TerkenalPara Mufassirun dan Kitab Tafsir Terkenal
Para Mufassirun dan Kitab Tafsir Terkenal
 
Tafsir ibnu-katsir-juz-1
Tafsir ibnu-katsir-juz-1Tafsir ibnu-katsir-juz-1
Tafsir ibnu-katsir-juz-1
 
Tafsir ibnu-katsir-juz-1
Tafsir ibnu-katsir-juz-1Tafsir ibnu-katsir-juz-1
Tafsir ibnu-katsir-juz-1
 
Tafsir ibnu katsir juz 1
Tafsir ibnu katsir juz 1Tafsir ibnu katsir juz 1
Tafsir ibnu katsir juz 1
 
A.J. Wensink
A.J. WensinkA.J. Wensink
A.J. Wensink
 
biografi
biografibiografi
biografi
 
Bagi_Makalah_biografi_4_Imam_Mazhab.docx
Bagi_Makalah_biografi_4_Imam_Mazhab.docxBagi_Makalah_biografi_4_Imam_Mazhab.docx
Bagi_Makalah_biografi_4_Imam_Mazhab.docx
 
Biografi imam al baghawi
Biografi imam al baghawiBiografi imam al baghawi
Biografi imam al baghawi
 
perkembangan Studi al qur'an
perkembangan Studi al qur'an perkembangan Studi al qur'an
perkembangan Studi al qur'an
 
رواية امام ابو داود 6.9.2012
رواية امام ابو داود   6.9.2012رواية امام ابو داود   6.9.2012
رواية امام ابو داود 6.9.2012
 
Al-Qur'an, Orientalisme dan Luxenberg
Al-Qur'an, Orientalisme dan Luxenberg Al-Qur'an, Orientalisme dan Luxenberg
Al-Qur'an, Orientalisme dan Luxenberg
 
Ibnu rusyd averrous (makalah)
Ibnu rusyd averrous (makalah)Ibnu rusyd averrous (makalah)
Ibnu rusyd averrous (makalah)
 
A.J> Wensinck
A.J> WensinckA.J> Wensinck
A.J> Wensinck
 

Recently uploaded

KHOTBAH MINGGU 7 APRIL MENGEMBANGKAN KARUNIA TUHAN
KHOTBAH MINGGU 7 APRIL MENGEMBANGKAN KARUNIA TUHANKHOTBAH MINGGU 7 APRIL MENGEMBANGKAN KARUNIA TUHAN
KHOTBAH MINGGU 7 APRIL MENGEMBANGKAN KARUNIA TUHANGilbertFibriyantAdan
 
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 4
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 4Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 4
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 4Adam Hiola
 
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5Adam Hiola
 
Sosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptx
Sosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptxSosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptx
Sosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptxMarto Marbun
 
Materi akhlak jamaah haji dan Budaya Arab.pptx
Materi akhlak jamaah haji dan Budaya Arab.pptxMateri akhlak jamaah haji dan Budaya Arab.pptx
Materi akhlak jamaah haji dan Budaya Arab.pptxWahyuSolehudin1
 
PRAKTEK ADAB-ADAB JAMAAH HAJI DAN UMROH.pptx
PRAKTEK ADAB-ADAB JAMAAH HAJI DAN UMROH.pptxPRAKTEK ADAB-ADAB JAMAAH HAJI DAN UMROH.pptx
PRAKTEK ADAB-ADAB JAMAAH HAJI DAN UMROH.pptxSaeful Malik
 
PERAN FILSAFAT ILMU SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN.pptx
PERAN FILSAFAT ILMU SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN.pptxPERAN FILSAFAT ILMU SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN.pptx
PERAN FILSAFAT ILMU SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN.pptxAfifahNuri
 

Recently uploaded (7)

KHOTBAH MINGGU 7 APRIL MENGEMBANGKAN KARUNIA TUHAN
KHOTBAH MINGGU 7 APRIL MENGEMBANGKAN KARUNIA TUHANKHOTBAH MINGGU 7 APRIL MENGEMBANGKAN KARUNIA TUHAN
KHOTBAH MINGGU 7 APRIL MENGEMBANGKAN KARUNIA TUHAN
 
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 4
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 4Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 4
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 4
 
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
 
Sosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptx
Sosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptxSosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptx
Sosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptx
 
Materi akhlak jamaah haji dan Budaya Arab.pptx
Materi akhlak jamaah haji dan Budaya Arab.pptxMateri akhlak jamaah haji dan Budaya Arab.pptx
Materi akhlak jamaah haji dan Budaya Arab.pptx
 
PRAKTEK ADAB-ADAB JAMAAH HAJI DAN UMROH.pptx
PRAKTEK ADAB-ADAB JAMAAH HAJI DAN UMROH.pptxPRAKTEK ADAB-ADAB JAMAAH HAJI DAN UMROH.pptx
PRAKTEK ADAB-ADAB JAMAAH HAJI DAN UMROH.pptx
 
PERAN FILSAFAT ILMU SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN.pptx
PERAN FILSAFAT ILMU SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN.pptxPERAN FILSAFAT ILMU SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN.pptx
PERAN FILSAFAT ILMU SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN.pptx
 

ASAL KITAB SUCI

  • 1. Mencari Asal-usul Kitab Suci (The Bible Came from Arabia) Dr. Kamal Salibi 1985
  • 2.
  • 3. Tulisan ini diambil dari ‘Pustaka Online Media ISNET’ (media.isnet.org) tanpa seijin dari pengelola situs tersebut. Tulisan ini juga pernah diterbitkan oleh: Penerbit Pustaka Litera AntarNusa — Bogor, entah tahun berapa? Oleh karena itu, apabila pengelola dan penerbit merasa keberatan dengan digitalisasi tulisan ini, bisa melayangkan keberatan ke alamat: idul.choliq@atheist. com. Dengan segala hormat, kami akan segera menyedia-sempatkan waktu guna menanggapi dengan segera dan mencukupi. Gambar sampul muka, diambil dari peta wilyah Jazirah Arabia yang ditampilkan oleh aplikasi Google® Earth v. 6.2 for Mac® OS X Lion®, sedangkan digitalisasi dengan menggunakan Adobe® InDesign® CS6 for Mac® OS X. Typeface yang dipergunakan adalah: Myriad Pro, Adobe® Garamond Pro dan Minion Pro yang dibuat oleh Adobe® Systems Inc. Besar harapan kami, digitalisasi tulisan ini bisa meningkatkan manfaatnya dan bagi para pembaca.... selamat membaca.
  • 4.
  • 5.
  • 7. Daftar Isi Kata Pengantar vii Pendahuluan 1 1 Dunia Yahudi Kuno 9 2 Masalah Metode 35 3 Tanah Asir 49 4 Mencari Gerar 57 5 Non-Temuan di Palestina 73 6 Bermula Dari Tehom 91 7 Masalah Yordan 101 8 Yudah Arabia 119 a. Wilayah Jizan 131 b. Wilayah Rijal Alma’ 132 c. Wilayah Bahr dan Birk 132 d. Wilayah Muhayil 133 e. Wilayah Ballahmar-Ballasmar 133 f. Wilayah Bariq 133 g. Wilayah Majaridah 133 h. Wilayah Qunfudhah 134 i. Wilayah Wadi Adam 134 j. Daerah pedalaman Lith yang lebih luas 135 — iii —
  • 8. k. Wilayah Taif 136 9 Yerusalem dan Kota Daud 139 10 Israil dan Samaria 157 11 Rencana Perjalanan Ekspedisi Sheshonk 169 12 Melchizedek: Petunjuk-petunjuk Pada Sebuah Panteon 183 13 Orang-orang Ibrani Hutan Asir 195 14 Orang-orang Filistin Arabia 203 15 Tanah Harapan 215 16 Kunjungan Ke Eden 225 17 Nyanyian Dari Pegunungan Jizan 233 Epilog 245 Lampiran 1. Bukti-bukti Onomastik Yang Berkenaan Dengan Keduabelas Suku Israil di Arabia Barat 249 Cabang-cabang suku Yoseph (Yusuf ): 252 ‘Induk’ suku-suku Israil: 253 Lampiran 2: Peta-peta 257 Tentang Penulis 269 — iv —
  • 11. Kata Pengantar K etika mula-mula saya mengira bahwa tempat asal Kitab Bibel itu Arabia Barat dan bukan Palestina, saya merasa memerlukan dukungan untuk memperdalam penyelidikan ini, atau lebih tepat lagi untuk memberanikan menulis sebuah buku tentang ini. Dukungan ini diberikan oleh sejumlah teman dan rekan saya, dan saya bangga menyatakan bahwa saya berutang budi kepada mereka. Di antara mereka, Dr. Wolfgang Koehler dan Prof. Gernot Rotter yang telah memberi kesempatan pertama kepada saya untuk mengemukakan penemuan-penemuan saya yang awal kepada para pendengar yang amat kritis di Deutche Orient Institut di Beirut. Prof. Rotter jugalah yang membawa hasil penelitian saya kepada penerbit-penerbit Jerman. Merekalah yang kemudian mempersiapkan penerjemahan buku ini, yang aslinya ditulis dalam bahasa Inggris, ke dalam beberapa bahasa. Joseph Munro, Profesor Sastra Inggris di American University of Beirut, banyak membantu saya sejak awal berjalannya penyelidikan ini. Dia pula yang mempersiapkan naskah saya untuk diterbitkan, serta melonggarkan jalan
  • 12. pemikiran saya yang terkadang sangat ingin menonjolkan keilmuan. Ia pun memperlembut sifat tegas saya yang sering dogmatis dengan bentuk-bentuk perumpamaan. Rasa gembira karena penemuan ini memaksa saya untuk mengabaikan sikap berhati-hati. Sebagai pendatang baru dalam bidang studi Semit dan Keinjilan, dalam tahap-tahap awal penyelidikan ini saya mendapatkan bimbingan dari dua orang rekan saya, Ramzi Baalbaki, yang membantu saya dalam memperlancar bahasa Ibrani saya, dan William Ward, yang menyisihkan waktunya untuk memperkenalkan saya pada literatur bidang keilmuan yang relevan dan memperingatkan saya akan adanya ke sulitan-kesulitan yang akan saya hadapi. Yang seorang rekan lagi, yaitu Charles Abu Chaar, yang telah memberi pengarahan kepada saya dalam hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan flora Arabia. Profesor Otto Jastrow dari the University of Erlangen, sangat berbaik hati terhadap saya dalam memberi dukungan dan pengarahan mengenai studi ini, dan secara khusus saya mengucapkan terima kasih kepadanya. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya tujukan kepada Volkhard Windfuhr dari Der Spiegel, atas perhatiannya yang besar terhadap buku saya ini, dari awal sampai akhir. Peta-peta di dalam buku ini digambar oleh Ahmad Shah Durranai, Dr. Elfried Soker dan Klaus Carstens, sedangkan naskah terakhir yang diketik dipersiapkan oleh Mufida Yacoub, Sayidah Ni’mah, Leila Salibi dan Margo Matta. Karena studi yang saya lakukan ini bersifat revolusioner, saya yakin segenap penasihat saya akan gembira mendengar bahwa saya membebaskan mereka dari segala tanggung jawab dan dari apa pun kesalahan serta kesalahpahaman yang didapati oleh para pembaca kritis. Meskipun demikian, saya menghargai dukungan mereka selama buku ini ditulis. Saya hanya dapat berharap antusiasme mereka yang tak kunjung padam itu telah diterjemahkan menjadi sebuah buku yang patut mendapatkan kerjasama yang begitu besar itu dari mereka. Akhirnya, saya harus berterima kasih kepada sumber- — viii —
  • 13. sumber informasi yang tercetak yang menjadi studi saya ini sangat bergantung. Selain sebuah versi standar dari teks konsonan Injil Ibrani, saya telah memanfaatkan katalog nama-nama tempat Arabia yang diterbitkan oleh Sheikh Hamad al-Jasir dari Riyad, Arab Saudi, yang berjudul Al- Mu’jam al-Jiughrafi li’l-Bilad’l ‘Arbiyyah as-Sa’udiyyah (Riyad, 1977). Selain itu, saya telah memanfaatkan juga beberapa peta Jazirah Arabia yang lain: ‘Atiq al-Baladi Mu’jam Ma’alim’l- Hijaz (Taif, 1978). Muhammad al-’Aqili: Al-Almu’jam al- Jiughrafi li’l-Bilad’l ‘Arabiyyah as-Sa’udiyyah; Muqata’at Jizan (Riyad, 1979); ‘Ali ibn Salih as-Siluk az-Zahrani, Al-Mu’jam al-Jiughrafi ...; Bilad Ghamid wa Zahran (Riyad, 1978); Hamad al-Jasir, Mu’jam, Qaba’il’l-Mamlakah al ‘Arabiyyah as-Sa’udiyyah (Riyad, 1981); ‘Atiq al-Baladi, Mu’jam Qaba’il’l- Hijaz (Mekah, 1979). Karya-karya ahli ilmu bumi Arab klasik, terutama Mu’jam’l-Buldan karya Yaqut dan Sifat Jazirat’l- Arab karya al-Hamdani, juga membantu saya. Sebagian besar sumber-sumber lain tempat saya mendapatkan segala keterangan itu tertera dalam catatan teks. Guna membantu pembaca yang bukan spesialis, saya telah, menyediakan beberapa catatan mengenai transliterasi Ibrani dan Arab, dan mengenai perubahan bentuk konsonan yang sering dijumpai antara kedua bahasa itu, yang terdapat tepat sebelum kata pengantar ini. Beirut‚ 24 April 1985 Kamal Salibi — ix —
  • 15. Pendahuluan S aya akan berbicara langsung mengenai pokok persoalan. Saya yakin bahwa saya telah mendapatkan suatu penemuan penting yang seharusnya akan dapat mengubah pengertian kita tentang Bibel Ibrani, atau apa yang disebut oleh kebanyakan orang sebagai Perjanjian Lama. Penemuan ini berupa dugaan kuat bahwa Kitab Bibel itu berasal dari Arabia Barat, dan bukan dari Palestina, seperti yang sampai kini diduga oleh para ahli, berdasarkan pada perkiraan geografis. Bukti yang saya dapati untuk menentang pernyataan ini akan dibahas pada bab-bab yang berikut. Dugaan saya ini didasarkan pada analisa linguistik dari nama-nama tempat yang tertera di dalam Kitab Bibel, yang menurut pendapat saya sampai sekarang terus menerus telah diterjemahkan secara tidak benar. Prosedur ini secara teknis disebut analisa onomastik, atau barangkali lebih tepat analisa toponimik. Saya
  • 16. terus-terang mengakui bahwa penemuan ini masih bersifat teoritis, sebelum diperkuat oleh penyelidikan-penyelidikan arkeologis. Akan tetapi bukti-bukti yang saya dapati sangatlah besar sehingga hanya akan disangsikan oleh orang-orang kolot saja, dan saya yakin kesangsian itu pun akan lenyap setelah adanya dukungan selanjutnya oleh para ahli. Tidak mengherankan, dalam membuka jalan baru, jika saya melakukan beberapa kesalahan yang mungkin akan dijadikan kesempatan oleh para kritikus untuk menodai hasil- hasil penemuan saya ini. Tetapi saya yakin bahwa kesalahan itu tidak akan begitu besar sehingga dapat mempengaruhi hasil penemuan ini. Tidak diragukan lagi, banyak orang akan mengeluh bahwa referensi saya terhadap kepustakaan yang luas mengenai geografi Bibel Ibrani itu hanya sepintas saja. Jawaban yang akan saya berikan singkat saja, yaitu bahwa saya samasekali tidak setuju dengan apa yang telah tertulis dan merasa tidak perlu membebani para pembaca dengan sanggahan-sanggahan mengenai penemuan-penemuan yang lalu satu persatu. Sebenarnya saya khawatir juga bahwa daftar nama-nama tempat yang menjadi dasar pokok argumentasi buku ini akan menimbulkan kesulitan kepada pembaca yang tidak begitu biasa dengan transliterasi abjad Ibrani dan Arab. Sementara saya harapkan para spesialis akan ikut bersabar bersama saya, saya sarankan pembaca biasa melewati saja bagian-bagian itu, dan memusatkan perhatian pada kesimpulan yang telah saya usahakan seringkas dan sejelas mungkin, dengan harapan hal ini dapat saya kemukakan dengan sebaik-baiknya. Untuk membantu pembaca umum, beberapa pengetahuan dasar baik mengenai bahasa dalam Bibel Ibrani ataupun perbandingannya secara linguistik yang berhubungan dengan bahasa-bahasa Semit, barangkali masih diperlukan. Ringkasnya, Kitab Bibel Ibrani kanonik itu terdiri dari tiga puluh sembilan kitab yang dahulunya disusun dalam dua puluh empat buah gulungan. Lima kitab pertama, yaitu Pentateuch (atau Torah dalam bahasa Ibrani, yang berarti ‘pelajaran’) terdiri dari Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Selanjutnya, dua puluh satu kitab Kisah —2—
  • 17. para Rasul: empat karya bersejarah Yosua, Hakim-hakim, Samuel (2 kitab), Raja-raja (2 kitab); kitab-kitab Tiga Rasul utama Yesaya, Yeremia dan Yehezkiel; kemudian dua belas kitab mengenai para nabi-nabi, yaitu: Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakharia dan Maleakhi. Dan akhirnya tiga belas kitab puisi- puisi keagamaan dan kesusastraan mengenai kebijaksanaan, Tulisan-tulisan, yang terdiri dari Mazmur, Amsal, Yob, Kidung Agung, Rut, Ratapan, Pengkhotbah, Ester, Daniel, Ezra, Nehemia dan Tawarikh (2 kitab). Kecuali bagian-bagian Aramaik dari kitab Daniel (2:4b - 7:28) dan kitab Ezra (4:8 - 6:18), semua karangan orisinalnya yang sampai kepada kita tertulis dalam bahasa Ibrani. Hal-hal yang bersangkutan dengan penanggalan dan penyusunan kitab-kitab Bibel Ibrani itu terlalu rumit untuk dibahas secara rinci, dan tidaklah penting dalam argumentasi saya ini. Sejumlah kitab-kitab itu, misalnya, sudah dapat dipastikan sebagai karya-karya baru yang disusun berdasarkan naskah-naskah yang lebih tua, sehingga dapat diperkirakan baru tersusun pada sekitar abad ke-4 S.M., setelah runtuhnya kerajaan Israil kuno. Yang sudah pasti ialah bahwa bahasa Ibrani dalam Bibel secara keseluruhan mempunyai bentuk bahasa sehari-hari, tidak seperti halnya bahasa Ibrani yang dipakai oleh para rabbi (pendeta Yahudi) yang berfungsi khusus sebagai bahasa kesarjanaan. Dengan kata lain, naskah-naskah Bibel Ibrani yang kita kenal telah ada sebelum abad ke-5 S.M., pada waktu Kerajaan Israil kuno mengalami kehancurannya dan sewaktu bahasa Ibrani dan berbagai bentuk bahasa Kanaan sudah tidak dipakai lagi. Ini berarti kita dapat mempergunakan Bibel Ibrani itu, paling tidak dalam penelitian ini, sebagai dokumen yang berhubungan langsung dengan sejarah Israil, lepas dari soal-soal penanggalan, komposisi, atau siapa penulisnya. Karena hampir seluruh argumentasi ini dititikberatkan pada perkiraan saya bahwa Bibel Ibrani terus-menerus diterjemahkan dengan tidak benar, maka patut diadakan suatu pembetulan. Singkatnya, seperti yang akan saya jelaskan secara lebih mendalam pada Bab 2, bahasa Ibrani —3—
  • 18. itu tidak lagi dipergunakan sebagai bahasa sehari-hari pada sekitar abad ke-5 atau ke-6 S.M. Oleh sebab itu, jika ingin memahami Bibel Ibrani kita harus memilih satu di antara dua metode. Cara yang pertama ialah menerima saja terjemahan naskah-naskah yang diterjemahkan secara tradisional itu dalam bahasa Ibrani, atau menyelidiki bahasa-bahasa Semit yang masih berhubungan erat dengan bahasa Ibrani, seperti bahasa Arab dan bahasa Suryani. Bahasa Suryani merupakan peninggalan dari suatu bentuk bahasa Aram kuno. Saya tidak menggunakan penterjemahan secara tradisional dalam bahasa Ibrani, karena para ahli Yahudi yang menterjemahkan dan memberi bunyi vokal pada Bibel Ibrani antara abad ke-6 dan ke-10 M. itu tidak dapat berbahasa Ibrani secara lisan dan mungkin mendasarkan rekonstruksi mereka pada dugaan-dugaan saja. Jika memakai metode kedua, untuk menafsirkan bahasa Ibrani yang dipergunakan di dalam Bibel Ibrani, kita harus melakukannya berkenaan dengan fonologi dan morfologi perbandingan dari bahasa-bahasa Semit. Mengingat banyak pembaca yang belum terbiasa dengan hal-hal seperti ini, sekali lagi saya akan memberikan informasi dasar mengenai hal ini. Bahasa Semit pada umumnya dianggap sebagai anggota keluarga besar bahasa-bahasa Afro-Asia yang meliputi bahasa Mesir kuno dan bahasa Berber serta Hausa modern. Dari bahasa-bahasa ini, yang termasuk dalam cabang bahasa Semit ialah bahasa Akkadia (bahasa kuno Babilonia dan Asiria), bahasa Kanaan (bahasa Funisia kuno dan bahasa Ibrani kuno adalah suatu varian dari bahasa ini), bahasa Aram (bahasa Suryani) dan bahasa Arab. Salah satu ciri khas yang dimiliki bahasa-bahasa ini adalah sistem mendapatkan akar suatu kata yang biasanya terdiri dari tiga konsonan. Akar-akar kata ini biasanya dipahami sebagai kata kerja, dan ada seperangkat pola asal mula kata kerja ini yang telah membentuk kata kerja lain, dan juga kata benda dan kata sifat yang beraneka ragam. Ini melibatkan beberapa cara pemberian tanda vokal pada akar kata dengan menambahkan huruf-huruf hidup, dan juga penambahan satu atau lebih konsonan pada akar kata yang asli. Dalam kamus-kamus standar bahasa-bahasa Semit, —4—
  • 19. kita biasanya mencari akar kata tertentu, yang kemudian diikuti oleh serangkaian kata jadian yang berasal dari akar kata itu. Sejumlah akar kata yang sama terdapat di beberapa bahasa Semit, dengan arti yang sama atau dengan arti yang berdekatan. Kalau kita telah menguasai sebuah bahasa Semit, akan lebih mudah mempelajari yang lain. Terkadang, sebuah akar kata yang ada pada dua atau lebih bahasa Semit tidak mudah dikenali sebagai akar kata yang sama oleh seseorang yang tidak berbahasa Semit sebagai bahasa ibu. Ini disebabkan karena satu atau lebih konsonan dalam akar kata itu dapat berubah dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Dalam bahasa Ibrani, contohnya, akar kata yang berarti ‘mendiami’ adalah hsr, sedangkan dalam bahasa Arab akar kata itu adalah hdr. Penjelasannya adalah bahwa pemakai bahasa Semit secara naluriah mengenai hubungan fonologis antara pelbagai konsonan, yang dapat ditukar tempatnya di antara berbagai bahasa-bahasa Semit. Misalnya, ‘g’ di dalam satu bahasa atau dialek (yang dapat diucapkan seperti huruf ‘g’ atau sebagai huruf ‘j’) dapat berubah menjadi huruf ‘q’ (qaf) atau ‘g’ (ghayn) dalam bahasa atau dialek yang lain. Maka kata Negeb dalam bahasa Ibrani (sebagai sebuah nama tempat) berubah menjadi Naqab atau Nagab dalam bahasa Arab. Perubahan konsonan di antara bahasa-bahasa Semit ini nampaknya mengikuti peraturan-peraturan tertentu, dan untuk mudahnya saya telah tabulasikan perubahan-perubahan tersebut dari bahasa Ibrani ke bahasa Arab di bagian tepat sebelum Kata Pengantar buku ini. Ada pula masalah metatesis, atau perubahan dalam penempatan konsonan-konsonan dalam akar kata yang sama antara pelbagai bahasa Semit, misalnya akar kata acb, dapat berubah menjadi cab atau bca. Metatesis bukanlah suatu fenomena linguistik yang hanya ditemui dalam bahasa-bahasa Semit. Kita dapat juga menjumpainya dalam bahasa-bahasa yang lain , walaupun metatesis sangat biasa terjadi di antara bahasa-bahasa Semit yang sama. Dalam sebuah dialek Arab, contohnya, zwg (diucapkan zawj), yang berarti ‘sepasang’ dapat berubah menjadi gwz (diucapkan jawz), yang terakhir adalah bentuk yang biasa terdapat pada dialek Libanon yang saya pakai. —5—
  • 20. Sama pentingnya, kalau tidak lebih, untuk mengingat bahwa bahasa-bahasa Semit ditulis dalam bentuk konsonan tanpa huruf hidup. Namun, pada terjemahan-terjemahan Kitab Bibel dalam bahasa Inggris dan dalam bahasa-bahasa lainnya, nama-nama menurut Bibel itu dikemukakan dalam bentuk yang telah diberi huruf vokal, yang berasal dari penyuaraan kaum ‘Masoret’ atau dari tradisi Kitab Bibel Ibrani, yang seperti telah saya katakan, mungkin salah, sepanjang ahli-ahli Masoret itu perlu menyusun kembali bahasa Ibrani, yang sudah dipergunakan lagi secara umum. Agar membantu para pembaca, yang telah saya lakukan adalah memberikan baik kata Ibrani yang diberi vokal secara tradisional maupun yang belum diberi vokal, dan saya berusaha untuk menunjukkan bagaimana kata yang sama itu, jika diberi vokal dengan cara yang berbeda, dapat mempunyai arti selain yang telah ditentukan menurut tradisi kaum Masoret. Mengenai kata-kata — terutama nama-nama tempat yang berasal dari catatan-catatan kuno Mesir, mustahil untuk mengetahui bagaimana semua itu disuarakan. Maka dari itu, apa yang telah saya lakukan dalam contoh-contoh yang seperti itu adalah mengemukakannya dalam bentuk konsonan mereka dan juga membuat agar mereka dapat dibandingkan dengan bentuk-bentuk konsonan Ibrani. Seperti itu pula, jika saya mengutip kalimat-kalimat lengkap dari Bibel Ibrani, saya telah menuliskan kata-kata Ibrani yang tidak diberi vokal ke dalam bentuk Latin yang belum diberi tanda vokal pula. Ini agaknya tidak banyak membantu dalam pembacaannya, tetapi berkenaan dengan argumentasi saya, saya tidak melihat adanya alternatif lain yang lebih baik. Untuk meringkaskan: apa yang sama dalam perbendaharaan kata dari berbagai bahasa Semit adalah sejumlah besar akar kata konsonan dan bentuk-bentuk kata yang berasal dari situ; yang terakhir ini tidak mempunyai perbedaan yang besar antara satu bahasa dengan bahasa yang lain. Guna membandingkan kata-kata dalam berbagai bahasa Semit, kita perlu mengeja kata-kata itu hanya dalam bentuk konsonannya, kalau tidak demikian maka seluruh maknanya akan hilang. Maka dari itu saya harus memohon kepada —6—
  • 21. pembaca agar mereka bersabar jika terdapat perbandingan- perbandingan seperti itu, dan agar mereka percaya bahwa perbandingan-perbandingan ini dibuat menurut peraturan yang pantas bagi ilmu bahasa perbandingan. Berpaling pada metodologi, karena alasan-alasan yang kini telah jelas, saya mendasarkan studi saya ini pada teks konsonan Bibel Ibrani, membanding-bandingkan sebutan tertentu dengan nama-nama tempat di Arabia Barat guna memberikan alternatif bagi penterjemah tradisional. Kita tidak perlu membahasnya lebih jauh dari itu, karena masalah-masalah yang seperti ini akan saya bahas dalam Bab 2. Namun, saya hanya ingin menambahkan bahwa selain meneliti buku-buku dan peta-peta, saya telah pula melakukan sebuah perjalanan ke Arabia Barat, yang saya yakin adalah tanah asal Kitab Bibel, guna menjadi lebih akrab dengan lokasi-lokasi utama yang disebutkan di dalam studi ini dan secara langsung mengamati bagaimana pelbagai lokasi yang telah saya sebutkan tadi itu berhubungan, baik secara geografis maupun secara topografis. Di atas dasar-dasar inilah argumentasi buku saya ini berdiri. Apakah saya berhasil atau tidak meyakinkan para ahli Bibel Ibrani itu masih harus disangsikan dahulu. Yang dapat saya katakan adalah bahwa saya yakin sepenuhnya atas hasil- hasil penemuan yang dihasilkan oleh analisa toponimis saya, dan saya menanti-nanti datangnya saat para arkeolog menggali beberapa tempat peninggalan zaman purbakala yang telah saya sebutkan, dan semoga menghasilkan bukti-bukti yang lebih lanjut bahwa tanah asal Kitab Bibel Ibrani adalah Arabia, Barat, bukan Palestina. —7—
  • 23. 1 Dunia Yahudi Kuno A sal mula penyelidikan ini datang secara tidak sengaja. Pada suatu hari saya menerima sebuah copy cetakan indeks ilmu bumi Arab Saudi, diterbitkan di Riyad pada tahun 1977, dan ketika saya sedang memeriksanya untuk nama-nama tempat yang tidak berasal dari bahasa Arab yang terletak di Arabia Barat, ketika itulah saya menyadari bahwa nama-nama tempat di Arabia Barat juga merupakan nama-nama tempat yang tertera di dalam Kitab Perjanjian Lama, atau yang saya sebut Bibel Ibrani. Pada mulanya saya meragukan persamaan ini, tetapi setelah bukti-bukti yang memperkuat itu terkumpul, saya merasa yakin bahwa persamaan antara nama-nama itu bukanlah suatu kebetulan belaka. Hampir semua nama tempat kuno yang saya dapati di dalam Bibel berpusat pada daerah dengan panjang sekitar 600 kilometer dan selebar 200 kilometer, yang pada zaman ini meliputi Asir (bahasa Arabnya ‘Asir) dan bagian selatan Hijaz (al-Higaz). Semua koordinat tempat-tempat yang disebutkan di dalam Kitab Bibel Ibrani dapat dicocokkan dengan sebuah tempat di wilayah ini, suatu fakta yang sangat penting, sedangkan belum ada bukti-bukti yang mencocokkan
  • 24. koordinat-koordinat tersebut dengan lokasi tempat-tempat di Palestina, tempat yang diduga sebagai tanah asal Kitab Bibel. Saya tidak menemukan sekelompok nama tempat kuno, dalam bentuk Ibraninya yang masih asli di daerah- daerah lain di Timur Dekat. Saya merasa berkewajiban untuk memikirkan adanya sebuah kemungkinan yang sangat menakjubkan: yaitu bahwa Yudaisme bukan berasal dari Palestina, melainkan dari Arabia Barat, dan bahwa seluruh sejarah bangsa Israil kuno berlangsung di daerah ini, bukan di tempat lain. Sudah tentu, jika menganggap bahwa dugaan saya ini benar, bukan berarti bahwa tidak ada orang Yahudi yang tinggal menetap di Palestina pada zaman Bibel itu atau di negara lain di luar wilayah ini. Yang dimaksud ialah bahwa Kitab Bibel Ibrani itu pada dasarnya ialah suatu catatan mengenai sejarah pengalaman bangsa Yahudi di Arabia Barat. Sayangnya tidak ada catatan sejarah yang dapat menjelaskan bagaimana Yudaisme dapat didirikan di Palestina pada zaman dahulu itu. Tetapi kita dapat saja memberikan suatu perkiraan berdasarkan bukti-bukti yang ada. Di antara agama-agama Timur Dekat yang diketahui, agama Yahudi berada dalam golongan tersendiri; belum ada usaha-usaha yang berhasil menjelaskan asal usulnya dalam pengertian agama-agama kuno Mesopotamia, Suria atau Mesir, kecuali dalam tingkat bayangan mitos-mitos. Salah satu contoh yang demikian ini ialah kisah air bah, yang mungkin juga terdapat dalam kitab ‘Epik Gilgamesh’ dari mesopotamia kuno, dan mitos-mitos kuno lainnya, bahkan salah satu di antaranya berasal dari Cina. Walaupun dengan adanya contoh-contoh ini, kita tidak dapat memastikan asal-mulanya mitos-mitos ini serta apa yang dibawa dan dari siapa. Tetapi, seperti yang akan kita lihat dalam Bab 12, sangat masuk di akal untuk mengandaikan bahwasanya asal mula agama Yahudi mungkin terbentuk karena adanya kecenderungan terhadap monoteisme di Asir kuno tempat sejumlah dewa-dewa gunung seperti Yahweh, El Sabaoth, El Shalom, El Shaddai, El Elyon dan yang lain entah bagaimana yang akhirnya diakui sebagai dewa tertinggi, mungkin — 10 —
  • 25. dengan adanya pembauran di antara suku-suku setempat. Karena kemudian diadopsi oleh suku Israil, sebuah suku lokal, monoteisme dasar Arabia Barat ini lambat-laun berkembang menjadi sebuah agama dengan jalan pemikiran yang tinggi, yang mempunyai sebuah kitab keagamaan tetap, yang mengandung gagasan yang rumit tentang sifat ketuhanan dan mempunyai tema kemasyarakatan dan etika tersendiri. Agama itu dengan mudah menarik peminat-peminat dari luar daerah asalnya, khususnya dari daerah-daerah yang telah mengenal ketatasusilaan dan yang telah mempunyai tingkat pemikiran yang cukup tinggi. Karena agama itu mempunyai kitab dan dikembangkan oleh orang-orang yang dapat menulis dan membaca, agama itu mudah untuk disebarluaskan. Bahasa yang dipakai dalam kitab-kitab Yahudi ini biasanya disebut Ibrani, dan agaknya merupakan dialek sebuah bahasa Semit yang dahulunya merupakan bahasa sehari-hari yang dipakai di pelbagai daerah di Arabia Selatan, Barat dan Suria (termasuk Palestina)1. Seseorang dapat menyimpulkan hal ini melalui penyelidikan etimologis dan dari nama- nama tempat di wilayah Timur Dekat, mempertimbangkan pula distribusi geografis mereka. Karena memerlukan kata yang lebih tepat, maka bahasa kuno ini kini disebut bahasa Kanaan, menurut nama sebuah bangsa menurut Bibel yang menggunakan bahasa ini.2 Di samping bahasa Kanaan, ada satu lagi bahasa yang dipakai di jazirah Arab dan Suria, bahasa ini adalah bahasa Aram, diberi nama ini menurut nama bangsa Aram dari Bibel. Tanpa memperdulikan siapa itu sebenarnya bangsa Kanaan dan Aram, suatu topik yang akan saya bicarakan dalam Bab 4,3 1 Istilah 'Semit', dipakai untuk menggambarkan bangsa yang berhubungan dengan bangsa Ibrani dan bahasa-bahasa mereka, pertama kali diperkenalkan oleh A. L. Schlozer dalam tahun 1781. Istilah ini berasal dari kata Shem (sm) dalam Bibel, putra Nabi Nuh dan yang dianggap sebagai leluhur orang-orang Israil dan bangsa-bangsa lain menurut Bibel. Bibel Ibrani berbicara mengenai bangsa-bangsa keturunan Shem tanpa menggambarkan mereka sebagai orang-orang 'Semit'. 2 Bahasa tersebut mungkin disebut dengan nama ini pada masa silam. Sebuah sebutan Bibel, yaitu Yesaya 19:18, menyebutkan ‘bahasa Kanaan’ (spt kn’n), agaknya berarti bahasa Ibrani. 3 Kemudian akan ditunjukkan melalui analisa toponimis bahwa tanah Kanaan menurut Bibel terletak di sisi maritim Asir, bukan di Palestina dan pesisir Suria, seperti yang biasanya diduga. Mendasarkan hampir sebagian besar argumentasi mereka pada bukti-bukti dalam Bibel, yang ditafsirkan dengan salah, para ahli telah menganggap bahwa bangsa Aramaea (Aram) pada mulanya merupakan penghuni daerah Suria bagian utara di sebelah barat sungai Efrat. Namun, sebuah penelitian kembali atas bukti- — 11 —
  • 26. dapat dipastikan bahwa bahasa Kanaan (atau bahasa Ibrani) dan bahasa Aram pernah dalam waktu yang bersamaan digunakan oleh berbagai masyarakat Arab dari wilayah Barat, seperti halnya di Suria. Sebuah ayat pendek dari Kitab Bibel, jika dilihat kembali dari segi nama-nama tempat di Arabia Barat yang masih ada sejak dari zaman kuno, jelas mengungkapkan hal ini. Sebutan ini adalah Kejadian 31:47-49. Di sini dapat kita baca mengenai sebuah timbunan tanah yang disebut ‘timbunan batu’, didirikan untuk menjadi saksi atas persetujuan antara Yakub, seorang Yahudi, dengan paman dari pihak ibunya, seorang bangsa Aram dan ayah mertuanya, yaitu Laban. Laban menyebutnya ‘Yegar-sahadutha’ (dalam bahasa Aram adalah ygr shdwt’), tetapi Yakub menyebutnya ‘Galed’ (dalam bahasa Ibraninya gl’d) dan ‘Mizpah’ (Ibraninya hmsph), yang berarti menara penjagaan. Ketiga nama ini kini masih dipakai oleh tiga buah desa yang tidak begitu terkenal, yang letaknya berdekatan, di daerah maritim Asir, di kawasan Rijal Alma’ (Rigal Alma’), di sebelah barat Abha (Abha). Nama-namanya adalah: Far’at Al-Shahda (‘l shd’), yang berarti ‘Tuhan adalah saksi’ atau ‘Tuhan dari saksi’, dalam bahasa Arabnya pr’t atau pr’h, yang berarti bukit atau timbunan, sama artinya dengan kata Aram ygr; al-Ja’d (‘l-g’d), yang merupakan sebuah metatesis yang telah diarabkan dari kata gl’d; dan al-Madhaf (mdp; bandingkan dengan msph). Begitulah persamaan antara pemakai bahasa Kanaan dengan pemakai bahasa Aram di Arabia Barat menurut bukti menurut Bibel menunjukkan kepada kita bahwa yang disebut oleh Bibel Ibrani sebagai Aram (konsonan ‘rm) sebenarnya adalah Arabia Barat. Aram Naharim (‘rm nhrym, Kejadian 28:2 dan sebagainya), contohnya, jelas bukan Mesopotamia, tetapi merupakan Naharin (nhryn) kini di dekat Taif (al-Ta’if), di Hijaz bagian selatan. Maka dari itu, kita harus menyimpulkan bahwa Paddan-aram (pdn ‘rm, Kejadian 28:2 dan sebagainya) adalah Dafinah (dpn) di dekatnya, di daerah sekitar Mekah, bukan Mesopotamia. Begitu pula beberapa nama yang lain yang oleh Bibel Ibrani diasosiasikan dengan Aram Beth-rehob, Aram Zobah dan bahkan Damaskus (Dha Misk di Arabia Barat, atau d msk, bandingkan dengan kata Ibrani dmsq) - mungkin kini dapat ditemui namanya di Hijaz dan Asir. Wadi Waram (wrm) juga memakai nama Aram kuno di sana. Kebetulan juga, Iram (‘rm, Qur’an 89:7) di dalam Qur’an, sebagai nama tempat, secara konsonan sama dengan Aram dalam Bibel, yang juga adalah ‘rm. Qur’an menghubungkan tempat ini dengan Dhat al-’Imad. Al-’Imad kini merupakan sebuah desa di dataran tinggi Zahran (Zahran), sebuah daerah di sebelah selatan Taif, dan di sini sebuah daerah Aram setempat bertahan sebagai desa Aryamah (‘rym). Terus-terang saja, kita tidak dapat mengatakan dengan pasti sampai seberapa jauh luas tanah di Arabia Barat menurut Bibel itu, tetapi tanah ini jelas mencakup daerah-daerah selatan Hijaz.. — 12 —
  • 27. Bibel, sehingga menurut hemat saya orang-orang Israil itu bingung dari kelompok mana mereka berasal. Walau mereka menganggap sebagai bangsa Ibrani (lihat Bab 13), tetapi menurut Ulangan 26:5 leluhur mereka adalah seorang yang berasal dari suku Aram. Pertentangan ini telah lama membingungkan para ahli, tetapi jika anggapan saya benar, hal itu memang masuk akal. Kemungkinan besar awal tersebarnya agama Yahudi dari tanah asalnya di Arabia Barat ke Palestina dan ke daerah- daerah lain itu ialah dengan mengikuti jalur (route) kafilah perdagangan antar Arabia. Pada zaman kuno, wilayah Asir di Arabia Barat merupakan tempat pertemuan kafilah-kafilah yang membawa barang-barang dagangan dari berbagai negara di kawasan teluk Samudera Hindia seperti India, Arabia Selatan serta Afrika Timur, dari satu arah, dan dari Persia- Mesopotamia, dan negara-negara di Laut Tengah bagian Timur, terutama Suria, Mesir dan dunia Aegea, dari arah yang lain (lihat Peta 1). Palestina, yang terletak di sudut Selatan Suria, dekat Mesir, merupakan ujung penghabisan dari jalur perdagangan kuno Arabia Barat pertama yang bertolak menuju arah ini. Penduduk Yahudi yang pertama mestinya adalah pedagang- pedagang dan kafilah-kafilah dari Arabi Barat yang terlibat dalam perdagangan ini. Penduduk baru ini kemudian dengan mudah menarik penduduk lokal untuk memasuki agama mereka, yang dalam hal kecanggihan intelektualnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan cara-cara pemujaan setempat dan bahkan agama-agama tinggi kerajaan Mesir dan Mesopotamia. Cara yang persis seperti inilah yang dipergunakan oleh pedagang-pedagang Islam di berbagai tempat di Asia dan Afrika Timur pada waktu-waktu yang kemudian. Mereka menarik umat baru untuk memeluk agama Islam di mana pun mereka singgah di antara penduduk itu yang memandang agama Islam sebagai suatu agama yang lebih baik daripada agama mereka sendiri. Bukan maksud saya untuk mengatakan bahwa orang- orang Yahudi itulah yang merupakan penduduk pertama Arabia Barat di Palestina. Mestinya bangsa Filistin yang — 13 —
  • 28. menurut Bibel (lihat Bab 14) dari Arabia Barat itulah yang terlebih dahulu menetap di daerah itu sebelum mereka, mengingat bahwa merekalah yang memberi nama kepada negara ini. Begitupun halnya dengan bangsa Kanaan dari Arabia Barat (lihat catatan 3) yang tampaknya telah ‘tersebar’ (Kejadian 10:18) sejak dahulu, dan memberi nama pada tanah Kanaan (kn’n) yang terletak di sepanjang pantai Suria, di sebelah utara Palestina. Daerah ini disebut Phoenicia oleh bangsa Yunani (mengenai Faniqa atau ‘Phoenicia’ di Asir, lihat Bab 14 ). Bahwasanya Phoenicia sebenarnya disebut Kanaan oleh penduduknya dapat diketahui dari sekeping uang logam Yunani dari Beirut yang menceritakan dalam bahasa Funisia (Phoenicia), bahwa kota ini terletak ‘di Kanaan’ (b-kn’n), dan dalam bahasa Yunani bahwa kota ini terletak ‘di Phoenicia’.4 Menulis mengenai ‘bangsa Phoenicia’ dan ‘bangsa Suria dari Palestina’ pada abad ke-5 S.M., sejarawan Yunani Herodotus yakin bahwa mereka berasal dari Arabia Barat. Ia menulis tentang kedua bangsa itu: ‘Negara ini, menurut cerita mereka sendiri, dahulunya terletak di Laut Merah, tetapi dari sana mereka menyeberang dan menetapkan diri di pesisir Suria, dan di sana mereka masih menetap’ (7:89; lihat juga ibid. 1:1).5 Berapa pun umurnya perkampungan orang-orang dari Arabia Barat yang tertua di daerah pesisir Suria,6 migrasi orang-orang Filistin dan Kanaan ke sana mestinya bertambah besar. Menurut kitab-kitab dalam Bibel Ibrani, kerajaan Israil sudah dipastikan berdiri di Arabia Barat, yang dihuni antara lain oleh bangsa Filistin dan Kanaan, antara akhir abad ke-11 dan awal abad ke-10 S.M., yang sebagian 4 Zellig S. Harris, A Grammar of the Phoenician Language (New Haven, Conn., 1936), halaman 7, catatan 29. Harris menyebutkan bukti-bukti selanjutnya yang menandakan bahwa bangsa Funisia (Phoenicia), di sepanjang pantai Suria dan di tempat-tempat lain, sebenarnya menyebut diri mereka bangsa Kanaan. 5 Bukti Herodotus mengenai hal ini, seperti mengenai hal-hal lain yang berkenaan dengan sejarah Timur Dekat kuno, biasanya tidak ditanggapi dan dianggap tidak berharga oleh para sejarawan dan para ahli purbakala modern di daerah itu. Tentunya mereka secara sombong memperlakukannya dengan demikian, karena bukti-bukti ini tidak cocok dengan anggapan-anggapan mereka yang sebagian besar berdasarkan pada penafsiran yang salah atas bahan-bahan geografis dan topografis Bibel Ibrani. Gagasan bahwa Laut Merah Herodotus bukanlah Laut Merah, melainkan Teluk Parsi tidak perlu dipercaya, karena hanya sedikit sekali bukti yang ada guna mendukungnya. 6 Herodotus (2:44) melaporkan, mengenai kekuasaan pendeta-pendeta kota Funisia Tyre pada zamannya, bahwa kota ini didirikan 2.300 tahun sebelumnya. — 14 —
  • 29. besar merugikan bangsa Filistin dan Kanaan. Karena patah semangat dan berturut-turut dikalahkan oleh bangsa Israil, maka orang-orang Filistin dan Kanaan ini kemungkinan memperderas arus migrasi mereka ke daerah pesisir Suria pada waktu yang sama. Di Palestina, nampaknya bangsa Filistin menamakan perkampungan-perkampungan mereka (seperti Gaza dan Askalon) menurut kota-kota di Arabia Barat yang mereka tinggalkan. Dusun Bayt Dajan di Palestina (‘kuil’ dgn, atau ‘dagon’) di Palestina, dekat Jaffa, masih memakai nama dewa agama yang mereka anut sewaktu di Arabia Barat (lihat Bab 14). Di sebelah utara Palestina, bangsa Kanaan juga memberi nama-nama yang berasal dari Arabia Barat kepada perkampungan-perkampungan mereka - nama-nama seperti Sur (Tyre), Sidon, Gebal (dalam bahasa Yunani = Byblos), Arwad (dalam bahasa Yunani = Arados), atau Libanon.7 Pada saat orang-orang Israil dari Arabia Barat (dan mungkin kaum Yahudi dari Arabia Barat lainnya) memulai migrasi mereka ke arah Utara untuk menetap di Palestina, yang tak dapat ditentukan tahunnya, mereka juga memberikan nama-nama yang berasal dari daerah mereka yang dahulu kepada tempat- tempat pemukiman mereka atau kepada tempat-tempat pemujaan penduduk setempat yang diambil alih oleh mereka dan menggabungkannya dengan kuil-kuil Yahudi mereka. Di antara yang paling kentara dan yang paling terkenal adalah: Yerusalem (yrwslm, lihat Bab 9), Bethlehem (byt lhm, lihat Bab 8), Hebron (hbrwn, lihat Bab 13? Carmel (krml),8 dan 7 Tyre menurut Bibel (bahasa Ibrani sr) bukanlah sebuah kota di tepi ‘laut’ (bahasa Ibrani ym), tetapi apa yang kini merupakan oase utama Zur (zr), yang bernama Zur al-Wadi’ah, di wilayah Najran, berdiri di ujung daerah Yam (ym), berbatasan dengan gurun Arabia Tengah. ‘Kapal-kapal’-nya (bahasa Ibraninya ialah ‘wnywt) sebenarnya adalah kafilah-kafilah binatang beban (bahasa Arabnya ‘nyt, ‘kantung- kantung pelana’), dan tempat-tempat mereka berdagang dapat dikenali melalui nama- nama mereka di pelbagai bagian Arabia. Kitab Bibel berbicara mengenai Raja Hiram (hyrm) dari sr, atau ‘Tyre’; tidak ada raja kuno dengan nama ini yang diakui untuk kota Tyre di Libanon, karena nama Phoenicia Ahiram (hrm bukan hyrm) adalah seorang raja Byblos, yang merupakan tempat yang lain samasekali Gebal (gbl atau qbl) termasuk dalam nama-nama tempat yang sering dipakai di Arabia Barat, sebuah Gebal tertentu, dekat Tyre Bibel, adalah Al-Qabil (qbl), di wilayah Najran. Arwad di Arabia Barat kini adalah Riwad (rwd), di dataran tinggi Asir; Sidon dalam Bibel dibahas dalam Bab 4. Menurut para ahli Geografi Arab, Lubaynan (lbynn, tanpa vokal lbnn, atau ‘Libanon’) adalah nama dataran tinggi yang kini berada di tengah-tengah perbatasan antara Asir dan Yaman. Di kaki perbukitan pantai daerah ini, sebuah desa yang bernama Lubayni (lbyny) masih tetap ada. Pohon-pohon araz (cedar) Libanon yang tertulis dalam Bibel mestinya adalah tumbuhan jenever raksasa Lubaynan di Arabia Barat, dan salju Libanon yang dikatakan dalam Kitab itu, tidak disangkal lagi adalah salju setempat (lihat Bab 2). 8 Carmel di Arabia Barat adalah Kirmil (juga krml), yang disebutkan dalam — 15 —
  • 30. kemungkinan Galilee (glyl),9 Hermon (hrmwn)10 dan Yordan (h-yrdn, lihat Bab 7), semuanya membenarkan hal ini. Di kebanyakan tempat di dunia, pada suatu waktu, imigran- imigran yang rindu sering menamakan kota-kota, daerah- daerah, pegunungan, sungai-sungai, atau bahkan suatu negara atau pulau-pulau dengan nama-nama yang mereka bawa dari tanah yang mereka tinggalkan. Mengingat pada zaman dahulu bahasa yang dipergunakan di daerah Suria dan Arabia Barat adalah sama, kita tidak dapat meniadakan adanya kemungkinan besar bahwa beberapa tempat di kedua wilayah itu dahulunya mempunyai nama-nama yang sama, terutama jika berkenaan dengan ciri-ciri topografis, hidrologis atau ekologis tertentu, atau berkenaan dengan pemujaan terhadap dewa yang sama. Dalam corak kebudayaan tradisional, seperti dalam halnya bahasa, Suria dan Palestina tidak pernah jauh berbeda. Dalam setiap tahap, emigrasi dari Arabia Barat menuju Suria dan Palestina (dan mungkin juga daerah-daerah lain) didukung oleh faktor-faktor luar. Sebagai daerah yang kaya akan bahan baku alam, dan lagi pula sebagai daerah yang menguasai salah satu bandar perdagangan pada zaman kuno (lihat Bab 3), Arabia Barat sudah semestinya merupakan sebuah target untuk penjajahan ke kerajaan sejak masa lampau. Dalam Bab 11, akan dibuktikan, melalu bukti- bukti toponimik, bahwa ekspedisi yang dilakukan oleh raja Mesir Sheshonk I terhadap Yudah, pada akhir abad ke- 10 S.M., seperti yang dikisahkan dalam Bibel Ibrani dan didukung oleh bukti-bukti dari catatan-catatan kuno Mesir, ditujukan kepada Arabia Barat, bukan terhadap Suria dan Palestina seperti yang sampai kini diperkirakan. Sebuah kamus geografi Arab Yaqut (4:448) sebagai sebuah punggung bukit pesisir di ujung selatan Asir, berbatasan dengan Yaman, sehingga terletak tepat di sebelah barat Libanon Arabia Barat (lihat Catatan 7). Ini menjelaskan mengapa Gunung Carmel kadang-kadang disebutkan sehubungan dengan Gunung Libanon dalam teks-teks Bibel, salah satu di antaranya yang tidak terduga adalah Yesaya 29:17, sb lbnwn l-krml, yang dianggap berarti ‘Libanon akan diubah menjadi ladang yang subur’, tetapi sebenarnya berarti ‘Libanon akan berubah (atau kembali) menjadi Carmel’. 9 Nama-nama tempat yang sepadan dengan kata Ibrani glyl (berarti ‘lerengan yang berteras-teras’) adalah biasa di dataran tinggi Arabia Barat. Salah satu di antaranya adalah Wadi Jalil (glyl) di Hijaz Selatan, di sebelah Tenggara Taif. 10 Hrmwn dalam Bibel (dalam metatesis dari hrmn atau hmrn) bertahan sebagai nama tidak kurang dari lima tempat di Hijaz bagian selatan dan Asir yang bernama Hamran atau Khamran. — 16 —
  • 31. penyelidikan yang dilakukan secara mendalam atas sebuah lagi ekspedisi kerajaan Mesir yang disebut dalam Bibel Ibrani, yaitu ekspedisi Raja Necho II pada akhir abad ke-7 S.M., mengungkapkan bahwa ekspedisi yang melibatkan seorang Raja Yudah dan orang-orang Babilonia, juga diarahkan ke Arabia Barat. Pertempuran Karchemis (krkmys, Tawarikh 2 - 35:20; Yesaya 10:9; Yeremia 46:2), antara pasukan Mesir dan Babilonia, terjadi di dekat Taif, di sebelah Selatan Hijaz, di tempat itu dua buah pedesaan yang berdekatan, Qarr (qr) dan Qamashah (qms), masih berdiri. Dengan demikian, saya yakin ‘Karchemis’ yang tertulis dalam Bibel itu bukanlah Kargamesa bangsa Hittit, yang sekarang merupakan Jerablus di tepi sungai Furat (Efrat) seperti yang sampai kini diperkirakan.11 Ekspedisi-ekspedisi militer pertama kerajaan Mesir sejak 2000 tahun S.M., yang selama ini diketahui sebagai penyerangan terhadap Suria dan Palestina, jika kita teliti kembali melalui catatan-catatan kuno Mesir dengan bantuan nama-nama tempat dari Arabia Barat yang masih terdapat di sana12, akan terlihat bahwa tindakan-tindakan militer itu lebih 11 Wadi Adam, yang bersumber di dataran tinggi mengalir ke arah Laut Merah, kadang-kadang disebut di dalam Bibel Ibrani sebagai nhr prt, yang membuatnya mudah dikelirukan dengan Furat (Efrat) Mesopotamia. Kebingungan ini diperbesar oleh deskripsi nhr prt sebagai h-nhr h-gdwl, ‘sungai besar’ dalam Kitab Bibel, dan Wadi Adam merupakan salah satu wadi yang mengalir ke laut yang terbesar di Arabia Barat. Sebenarnya nama menurut Bibel Wadi ini berasal dari nama desa yang kini adalah Firt (prt), di wilayah yang sama. Seperti halnya pertempuran Karchemis, pertempuran Karkara (atau lebih tepatnya Qarqara), yang dilakukan oleh bangsa Assyria melawan raja-raja Amat dan Imerisu dan sekutu mereka Gindibu’ dari Aribi dan Ahab dari Israil (Ahabu Sir’ila) di pertengahan abad kesembilan S.M., sebenarnya terjadi di Arabia Barat, bukan di sepanjang sungai Orontes di Suria seperti yang biasanya diduga. Amat, yang hingga kini dianggap merupakan sebuah referensi kepada Hamah di lembah Orontes, di utara Suria, sebenarnya kini adalah desa Amt (‘mt), dekat Taif, dan tidak jauh dari Karchemis dalam Bibel. Imerisu bukanlah Damaskus Suria, seperti yang diduga tanpa berdasarkan pada alasan apa pun. Di antara beberapa alternatif lainnya di Arabia Barat, diperkirakan Marasha (mrs), di dataran tinggi selatan Asir lah (wilayah Dhahran al-Janub, lihat Bab 3) yang paling besar kemungkinannya. Gindibu’ dari Aribi biasanya dianggap sebagai seorang kepala suku Arab dari gurun pasir Suria. Sebenarnya sebuah suku yang bernama Banu Jundub (gndb) masih menempati dataran tinggi Asir Tengah, dan Aribi mestinya kini merupakan ‘Arabah (‘rbh), sebuah desa di dataran tinggi tempat Banu Jundub masih dapat dijumpai. Karkara sendiri, dalam hal ini, mestinya adalah Qarqarah atau Qarqara (qrqr) masa ini, di pesisir Asir, di pedalaman Qunfudhah, di sebelah Selatan Lith. Ada tiga tempat lainnya yang bernama Qarqar (qrqr) juga di Arabia Barat, dan tidak satu pun yang terletak di wilayah Orontes di Suria. Jika ada kesangsian sehubungan dengan onomastics (ilmu asal kata dan nama) yang berkenaan dengan Pertempuran Karkara, seperti yang telah ditafsirkan secara geografis, lihat catatan-catatan dalam James B. Pritchard, ed., Ancient Near Eastern Texts Relating to the Old Testament (Princeton, 1969; dari sini disebut Pritchard), hal 278-279. 12 Penterjemahan catatan-catatan Mesir (seperti catatan-catatan dalam Pritchard) — 17 —
  • 32. cenderung ditujukan kepada Arabia Barat. Sebagai bangsa kerajaan, orang-orang Mesir kuno benar-benar tertarik untuk menguasai Arabia Barat dan jalur-jalur perdagangannya,13 seperti halnya bangsa Assyria dan Babilonia pada masa kejayaan mereka. Mestinya, setelah setiap penjajahan kerajaan atas tanah mereka, dari arah mana pun, sebuah gelombang migrasi baru bertolak dari Arabia Barat ke daerah-daerah seperti Palestina. Persis pada saat kerajaan Mesir menyudahi masa penghematan antara akhir abad ke-11 dan awal abad ke-10 S.M., kerajaan Israil berdiri di bukit-bukit daerah pesisir Asir (lihat Bab 8-10), di bawah pimpinan Saul, kemudian dikembangkan oleh Daud dan mencapai puncak kejayaan dan kemakmurannya di bawah raja Sulaiman (Salomo). Andaikata Daud dan Sulaiman pada masa mereka benar- benar memimpin sebuah kerajaan Suria yang menguasai daerah strategis yang memisahkan Mesir dan Mesopotamia, seperti yang diduga (lihat 1 Raja-raja 4:21 dalam terjemahan standar mana pun), maka catatan-catatan Mesir dan Mesopotamia sudah semestinya paling tidak menyinggung nama-nama mereka, tetapi hal ini tidak terlihat. Sewaktu kerajaan Mesir bangkit kembali pada abad ke-10, intervensi baru yang dilakukannya di Arabia Barat menyebabkan terpecahnya kerajaan Israil menjadi dinasti ‘Yudah’ dan dinasti ‘Israil’ yang saling bersaingan (lihat Bab 10). Perang saudara antara Israil ini, yang berkobar pada dasawarsa terakhir abad itu, kemungkinan besar mengakibatkan migrasi secara besar-besaran yang pertama ke negara-negara lain, terutama Palestina. Penjajahan yang dilangsungkan oleh bangsa Mesopotamia atas Arabia Barat antara abad ke-9 dan ke-6 S.M., pertama-tama oleh bangsa Assyria dan kemudian membingungkan masalah ini dengan jalan mengenali secara tidak teliti nama-nama yang disebutkan dengan nama-nama tempat Palestina dan Suria yang telah diketahui, dan bukan menterjemahkan aslinya, seperti yang seharusnya dilakukan. Sama halnya (seperti dalam Pritchard) dengan catatan-catatan Mesopotamia dan yang lain-lain. Pencarian tempat-tempat yang dibicarakan harus dilakukan dengan bantuan catatan- catatan asli, bukan terjemahannya. 13 Bangsa Mesir juga tertarik untuk menggunakan kayu jenever Asir (bukan kayu jenis cemara (cedar) Libanon) sebagai bahan bangunan, dan guna membangun kapal-kapal mereka, karena kayu cemara (cedar) tidak begitu cocok untuk pekerjaan ini. Untuk melihat kebingungan antara cedar dan jenever, lihat sebutan-sebutan yang relevan dalam Alessandra Nibbi, Ancient Egypt and Some Eastern Neighbours (ParkRidge, N.J. 1981). — 18 —
  • 33. oleh orang-orang Babilonia (yang sudah merupakan bangsa Neo-Babilonia), hanya memperbesar arus migrasi ini. Pada tahun 721 S.M. kerajaan ‘Israil’ di Arabia Barat itu dihancurkan oleh Raja Assyria, Sargon II, yang menduduki ibukotanya, yaitu Samaria, (smrwn, yang kini masih berdiri dengan nama Shimran, lihat Bab 10) dan membawa penduduk terkemukanya ke Persia sebagai tawanan.14 Kemudian, pada tahun 586 S.M., penguasa Babilonia, Nebuchadnezzar, memusnahkan kerajaan ‘Yudah’ di Arabia Barat dan membawa ribuan penduduknya kembali ke Babilonia sebagai tawanan. Begitu besar hasrat orang-orang Babilonia untuk menjaga kekuasaan mereka atas Arabia Barat dan untuk mempertahankan tanah jajahan mereka itu dari usaha-usaha perebutan kembali kekuasaan atas koloni itu oleh kerajaan Mesir (seperti yang pernah dicoba oleh Necho II, seperempat abad sebelumnya), sampai-sampai pengganti Nebuchadnezzar, yaitu Nabodinus, memindahkan ibukotanya dari Babilonia ke Teima (Tayma’) di Hijaz Utara dan seperti yang kita ketahui, ia lebih lama menjalankan pemerintahannya di daerah itu. Sampai pada waktu itu, kemungkinan kehadiran orang- orang Yahudi di Palestina telah bersifat permanen. Keadaan orang-orang Israil yang menyedihkan di Arabia Barat mungkin mendatangkan harapan kaum Yahudi di sana akan hidup lebih baik di koloni Yahudi yang baru - di ‘putri Zion’ dan ‘putri Yerusalem’ (dengan kata lain, Zion dan Yerusalem baru di Arabia Barat, lihat Bab 9) seperti halnya orang-orang Eropa yang pada abad ke-17 dan ke-18 kecewa akan kehidupan mereka di daratan Eropa, dan mengharapkan akan kehidupan yang lebih baik di koloni mereka yang baru, yaitu Amerika. Pengharapan orang-orang Eropa pada waktu itu dikemukakan oleh Goethe dalam kalimat-kalimatnya yang sering dikutip: Amerika, engkau memiliki yang lebih baik Daripada yang dimiliki benua kami, yang lama. Jauh sebelumnya, mungkin orang-orang Yahudi di Arabia Barat menyuarakan pengharapan yang serupa, pada 14 Perlu dicatat di sini bahwa para sejarawan Arab pada zaman permulaan Islam, yang karya-karya mereka mengabadikan tradisi-tradisi Arab yang berhak menerima perhatian serius, menegaskan bahwa Nebuchadnezzar adalah penakluk Arabia dan menceritakan kisah-kisah penaklukannya di sana. — 19 —
  • 34. suatu waktu antara abad ke-8 dan ke-5 S.M., membicarakan, barangkali, tentang dunia baru mereka di Palestina, seperti yang berikut ini: Dan engkau, wahai Menara Kawanan Domba, Hai Bukit putri Zion, Kepadamu akan datang Dan akan kembali pemerintahan Yang dahulu, Kerajaan putri Yerusalem. (Mikha 4:9)15 Dan juga dalam kata-kata ini: Putri gadis Zion Membencimu,16 memperolok-olokkan engkau Dan putri Yerusalem Menggeleng-gelengkan kepala di belakangmu Dan orang-orang yang terluput di antara kaum Yudah Yaitu orang-orang yang tertinggal, Akan berakar ke bawah, Dan menghasilkan buah ke atas; Sebab dari Yerusalem akan keluar orang-orang yang tertinggal, Dan dari Gunung Zion orang-orang yang terluput; Semangat Penguasa Sabaoth,17 akan melakukan hal ini. (Yesaya 37:22b, 31-32; juga 2 Raja-raja 19:21b, 30-31) Dan mungkin dalam ini pula: Bergembiralah, wahai putri Zion; Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai putri Yerusalem Lihat, rajamu datang kepadamu; Ia jaya dan menang, 15 Dinilai melalui Mikha 1:1, ungkapan harapan di ‘putri Yerusalem’ bertanggalkan abad kedelapan S.M. Sampai kini, ahli-ahli Bibel telah menganggap ungkapan-ungkapan puitis pada Zion dan Yerusalem, sehingga meniadakan keharusan adanya informasi bersejarah yang lebih jauh lagi. 16 Kata-kata itu ditujukan kepada Sennacherib, raja Assyria (704-681 S.M.). 17 Mengenai Sabaoth menurut Bibel sebagai kuil pemujaan Yahweh utama di dataran tinggi Asir (kini desa al-Sabayat, bandingkan dengan ‘lhy sb’wt atau yhwh sb’wt dalam bahasa Ibrani), lihat Bab 12. — 20 —
  • 35. Ia rendah hati dan mengendarai seekor keledai, Seekor keledai beban yang muda.18 (Zakharia 9:9) Jika ada harapan yang tertinggal untuk mendirikan kembali sebuah pemerintahan Israil yang mampu bertahan seusainya penjajahan oleh bangsa-bangsa Assyria dan Babilonia, maka harapan ini pudar secara tidak langsung dengan munculnya kerajaan Persia, Achaemenes, pada akhir abad ke-6 S.M. Pada tahun 538 S.M., bangsa Persia menaklukkan Babilonia; dan pada tahun 525, mereka telah mengalahkan Suria dan menduduki Mesir dan untuk pertama kalinya mempersatukan semua negara yang terletak di kawasan Timur Dekat kuno, di bawah sebuah pemerintahan kekerajaan yang efisien. Kekuasaan bangsa Persia ini juga kemudian meliputi hampir seluruh, bahkan mungkin semua, daerah Semenanjung Arabia, tetapi aksi-aksi penjajahan mereka di Utara sangat merugikan perdagangan kafilah antar-Arabia yang merupakan aliran utama komunitas Israil dan komunitas-komunitas kuno lainnya di Arabia Barat. Jalan-jalan besar yang diawasi, dibuat oleh Achaemenes guna menghubungkan Persia dan Mesopotamia dengan Mesir melalui Suria, berakibatkan secara langsung tergesernya jalur-jalur utama perdagangan menjauhi Arabia, hingga menyebabkan kemacetan ekonomi wilayah Jazirah Arab beserta jaringan perdagangannya. Pada awal abad berikutnya, didirikannya sebuah terusan oleh orang-orang Persia guna menghubungkan Laut Merah dengan sungai Nil, membantu perdagangan maritim secara merugikan perdagangan kafilah Arabia yang menuju ke arah sana. Akibat kesemuanya ini, 18 Karir kenabian Zakaria bertepatan dengan awal kekuasaan raja Achaemenid Darius I (522-486 S.M.), ini jelas diketahui dengan disebutnya Darius dan tahun-tahun kekuasaannya dalam teks ramalan-ramalan Zakaria. Karena Zakaria 9:13 berbicara mengenai ywn, yang dianggap sebagai suatu referensi pada Yunani (bahasa Yunani laones), bab ini dan bab-bab berikutnya dalam Zakaria dihubungkan oleh para kritikus dengan seorang penulis lain dari zaman yang lebih baru (akhir zaman Achaemenid atau awal zaman Hellenis). Sebenarnya, kata Ibrani ywn hanya dapat merupakan sebuah referensi pada Yunani dalam Daniel. Di tempat lain dalam Bibel Ibrani, kata ini berkenaan dengan apa yang kini adalah desa-desa Yanah (yn), dekat Taif, di sebelah selatan Hijaz. atau desa Waynah (wyn) di lereng barat Asir, di wilayah Bani Shahr. Zakaria tampaknya adalah salah seorang Israil yang kembali dari Persia atau Babilon ke Arabia Barat pada awal zaman Achaemenid (lihat teks). Kecewa dengan apa yang ia temukan di sana, mungkin menyebabkan ia mengalihkan perhatiannya dari Zion dan Yerusalem lama di Arabia Barat ke suatu impian sebuah Zion dan Yerusalem yang baru di Palestina yang lebih menguntungkan. — 21 —
  • 36. secara menyeluruh, berkenaan dengan Arabia Barat, mestinya sangat merusak. Agaknya bangsa Persia sama sekali tidak bersifat memusuhi kaum Yahudi; malah kita mengetahui bahwa mereka membela kaum itu. Maka dari itu, dengan mendapatkan izin dari pemerintah Persia, sekitar 40.000 orang keturunan tawanan-tawanan Israil di Persia dan Mesopotamia kembali ke Arabia Barat dengan membawa perabot rumah tangga mereka, dengan tujuan untuk membangun kembali perkampungan mereka di sana. Tetapi malang bagi mereka, orang-orang Israil ini kecewa dengan apa yang mereka temukan di sana, di mana-mana sekeliling mereka terdapat kemiskinan dan kehancuran yang menyedihkan. Yang terjadi selanjutnya hanya dapat menurut perkiraan saja, karena sampai di sini Kitab Bibel Ibrani itu tidak melanjutkan lagi kisah-kisah yang bersejarah. Tetapi ada suatu hal yang dapat dipastikan, yaitu belum ada perkampungan Israil yang berhasil didirikan kembali di tanah asal mereka di Arabia Barat, meskipun agama Yahudi tetap ada di sana dan di Arabia Selatan, bahkan sampai kini. Sebagian besar orang-orang Israil yang kembali pada periode Achaemenid mestinya berhasil kembali ke Mesopotamia dan Suria, atau berpencar. Sejak saat itu sampai dengan dihancurkannya Yerusalem di Palestina oleh bangsa Rumawi pada tahun 70 M., arus utama sejarah kaum Yahudi terpusatkan di sekitar Palestina. Mengenai asal mulanya Yudaisme di Arabia Barat agaknya telah dilupakan. Kemungkinan besar terhapusnya kenangan mengenai sejarah mereka di Arabia Barat dalam jangka waktu yang relatif singkat — mungkin tak lebih dari dua atau tiga abad— disebabkan oleh adanya suatu perubahan bahasa, yang pada abad ke-6 S.M. telah menguasai Arabia, Suria dan Mesopotamia. Seperti kita ketahui, dialek-dialek bahasa Kanaan sebagai bahasa Bibel Ibrani, telah banyak dipakai di Arabia Barat dan Suria masa itu bersama-sama dengan dialek-dialek bahasa Aram. Kitab-kitab suci Yahudi, kecuali beberapa bagian kitab-kitab karangan nabi-nabi yang kemudian, ditulis dalam bahasa Ibrani, bukan bahasa Aram. — 22 —
  • 37. Tetapi, setelah kira-kira tahun 500 S.M., bahasa Kanaan telah jarang dipergunakan, bahkan mungkin telah punah di Arabia dan Suria; tergeser oleh ballasa Aram yang telah menyebar sampai ke Mesopotamia. Di bawah Achaemenes bahasa Aram bahasa resmi pemerintahan kerajaan Persia dan menjadi lingua franca wilayah Timur Dekat. Pergantian bahasa di kawasan ini terus berlanjut sampai pada abad-abad berikutnya, yang sebegitu jauh sebagai logat bahasa Semit yang mulai bersaing dengan bahasa Aram di berbagai kawasan di Timur Dekat.19 Sampai pada abad-abad permulaan zaman penyebaran agama Nasrani, bahasa Arab, yang pada mulanya merupakan bahasa suku-suku penggembala padang pasir Syro-Arabia, telah menggantikan bahasa Aram di sebagian besar Arabia dan Suria serta Mesopotamia, dan pada abad ke-7 atau ke-8 M. hanya tinggal beberapa tempat saja yang masih memakai bahasa di daerah itu. Di Arabia Barat kedua penggeseran bahasa itu dapat dilihat melalui beberapa nama tempat, terutama kota kuno Zeboiim (sbym atau sbyym, bentuk jamak sby, dalam bahasa Ibrani, yang berarti ‘gazelle’ (semacam kijang), tergantung pada penyuaraannya). Kota Zeboiim, seperti yang akan dibahas pada Bab 4, menandakan dua kota kembar di daerah pesisir Jizan (Gizan) di daerah pantai sebelah Asir selatan. Kedua kota ini kini masih ada dengan nama Sabya (sby) dan Al-Zabyah (zby). Sabya adalah bentuk bahasa Aram yang telah ditambah akhiran. Sedangkan Al-Zabyah adalah bentuk bahasa Arab dari kata yang sama (sby) dengan kata sandang tertentu bahasa Arab yang telah diberi akhiran. Dengan demikian itulah nama-nama tempat itu menghentikan segala proses sejarah. Suatu hal yang sama pentingnya dengan kesimpulan yang telah saya tarik mengenai identitas nama-nama tempat di 19 Pergeseran bahasa yang berturut-turut, yang mempengaruhi negara-negara di Timur Dekat yang mengelilingi gurun Suria-Arabia yang luas itu, mestinya berhubungan dengan serangkaian gelombang pendudukan oleh suku-suku pengembara dari gurun tengah di daerah-daerah tetap di sekelilingnya. Bahasa Kanaan, tampaknya, adalah bahasa populasi kesukuan dan tetap yang asli di dataran tinggi Barat di tepian gurun Suria-Arabia, di Suria, seperti halnya di Arabia. Penduduk baru gurun, sejak dahulu, memperkenalkan bahasa Aram di sana, dan juga di Mesopotamia. Perkampungan-perkampungan yang menyusul di daerah-daerah sama yang didirikan oleh berbagai suku gurun yang berbahasa Arab memperkenalkan bahasa Arab. Sebagai sebuah bentuk bahasa induk Semit, bahasa Kanaan, bahasa Aram dan bahasa Arab dapat dipandang sebagai bahasa-bahasa yang sama tuanya, walaupun secara linguistik bahasa Arab dipandang sebagai yang tertua di antara ketiganya. — 23 —
  • 38. Arabia Barat dan di negeri-negeri yang dijangkau Bibel ialah dengan punahnya bahasa Bibel Ibrani sebagai bahasa lisan maka pembacaan kitab-kitab suci Yahudi itu menjadi suatu problema. Bahasa Ibrani, seperti kebanyakan bahasa Semit, ditulis dalam bentuk konsonan dan harus diberi tanda-tanda vokal jika kita hendak memahaminya, seperti sudah saya sebutkan. Suatu kekecualian adalah bahasa Akkadia, yaitu bahasa Mesopotamia kuno, yang tulisan kuneiformnya ditulis menurut suku kata bukan menurut alfabet. Perlu diingatkan bahwa bahasa Ibrani kuno harus dimengerti terlebih dahulu sebelum diberi vokal menggunakan tanda-tanda vokal yang tepat dan dengan menggunakan konsonan-konsonan ganda. Oleh sebab itu, pada permulaan era Achaemenid orang- orang Yahudi Palestina dan Babilonia, karena mereka tidak mengetahui bagaimana tulisan-tulisan Ibrani itu seharusnya dibaca, tampaknya mereka mendasarkan penambahan- penambahan vokal terhadap tulisan-tulisan itu kepada bahasa Aram yang mereka pakai.20 Di dalam teks-teks yang mereka akui terdapat banyak nama tempat yang berhubungan dengan lokasi-lokasi di Arabia Barat yang asing bagi mereka. Terlebih lagi, di Arabia Barat sendiri, kaum Yahudi pada sekitar tahun 500 S.M. telah mengalami kemunduran, sehingga tidak ada lagi orang-orang yang cukup terpelajar di antara mereka untuk membenarkan sesama kaum Yahudi dari Palestina dan Babilonia dalam tafsiran geografis mereka. Pula, orang-orang Yahudi dari Arabia Barat ini hanya beragama Yahudi saja dan tidak merupakan kelompok etnis ataupun mempunyai pandangan politik orang-orang Israil; dan mereka tidak lagi berbahasa Ibrani kuno, dan dalam waktu yang singkat bahasa mereka berubah menjadi bahasa Arab. Sudah pasti orang-orang Yahudi di Arabia Barat masih mempunyai kenangan mengenai kehidupan mereka yang dahulu sebagai bangsa Israil;21 akan tetapi menjelang akhir era 20 Sebuah tanda dari ini (di samping bunyi-bunyi vokal) adalah pemakaian pelunakan dari k tidak bersuara dalam bahasa Aram, jika didahului oleh sebuah vokal, menjadi bunyi desahan h (dgn topi bawah) tidak bersuara, yang tidak pernah diakui kebenarannya oleh penyuaraan yang sebenarnya dari nama-nama tempat menurut Bibel di Arabia Barat yang bertahan, yang menempatkan h (dgn topi bawah) selalu merupakan suatu pengucapan alternatif dari bunyi desahan yang lain, yaitu h (dgn titik bawah). 21 Sejumlah suku Arabia Barat, yang kini bukan merupakan kaum Yahudi, menegaskan bahwa kemungkinan kecil mereka pada mulanya merupakan orang-orang — 24 —
  • 39. Achaemenid, hubungan mereka dengan kaum Yahudi lainnya di luar Arabia tidak teratur dan mereka mengalami kesulitan dalam menyampaikan secara efisien apa yang mereka ingat. Pada waktu umat-umat Yahudi Palestina dan Babilonia menetapkan bentuk-bentuk pembacaan Kitab Bibel Ibrani dengan mempergunakan tanda-tanda vokal, yang dimulai pada sekitar abad ke-16 M. (lihat Bab 2), telah lama orang meninggalkan pemakaian bahasa Ibrani atau dialek-dialek bahasa Kanaan lainnya, dan asal mula Yudaisme di Arabia pun telah lama dilupakan. Faktor lain yang mungkin menyebabkan kaum Yahudi melupakan sejarah mereka di Arabia Barat bersangkutan dengan perkembangan politik di Arabia Barat dan juga di Palestina setelah runtuhnya kerajaan Israil kuno. Di Arabia Barat, kemunduran yang dialami kerajaan Achaemenid yang sudah mulai terlihat pada tahun 400 S.M., mendorong munculnya perkumpulan-perkumpulan politik baru, terutama perkumpulan politik bangsa Minaean (Ma’in), di daerah tempat kerajaan Israil pernah berjaya. Karena tersebar di antara perkumpulan-perkumpulan politik baru ini, yang beberapa di antaranya dibentuk secara politis sebagai kerajaan- kerajaan, kaum-kaum Yahudi Arabia Barat kehilangan sifat nasionalisme mereka. Perkembangan di Palestina agaknya berbeda dengan yang terjadi di Arabia Barat. Sampai pada tahun 330 S.M., penjajahan Alexander Agung telah menghancurkan kerajaan Persia; setelah wafatnya Alexander panglima-panglimanya mendirikan kerajaan-kerajaan baru di daerah yang dahulunya merupakan wilayah-wilayah kekuasaan kerajaan Achaemenid. Salah satu dari kerajaan Hellenis ini adalah kerajaan Ptolemi dengan pusatnya di Mesir yang beribukotakan Alexandria. Satu lagi kerajaan yang terbentuk adalah kerajaan Seleucid, yang akhirnya berpusatkan di daerah Suria dan ibukotanya di Antioch. Penguasaan atas Palestina pada mulanya diperebutkan antara, kerajaan Ptolemi dan Seleucid, dan akhirnya jatuh ke tangan kerajaan Seleucid; Yahudi, dan ada keyakinan setempat bahwa tanah Bibel para nabi terletak di sana. Adat dan pengetahuan kesukuan Arab mengingatkan bahwa kaum Yahudi menempati pegunungan Hijaz (sic) sewaktu bangsa Arab masih berada di gurun pasir, dan bahwa kaum Yahudi-lah yang pertama kali memelihara unta. Lihat Alois Musil, The Manners and Customs of the Rwala Bedouins (New York, 1928), hal. 329-330. — 25 —
  • 40. akan tetapi kerajaan Ptolemi tidak putus harapan dalam tekadnya untuk menguasai kembali atau mempengaruhi negara itu. Pada abad ke-2 S.M., orang-orang Yahudi Palestina mempergunakan kesempatan yang ada selagi adanya pertikaian atas tanah mereka, dan mereka mengadakan suatu pemberontakan (yang dimulai pada tahun 167 S.M.) dan berhasil memerdekakan negara mereka dari kekuasaan pemerintahan kerajaan Seleucid pada tahun 142 atau 141 S.M. Para pemimpin pemberontakan ini, yang berasal dari perkumpulan kependetaan Hasmonia (Hasmonaean), mengambil alih kekuasaan atas Yerusalem Palestina; di tempat ini terdapat kuil yang pada waktu itu mungkin sudah dianggap kaum Yahudi sedunia sebagai tempat perlindungan yang tersuci. Dengan bergerak melalui serangkaian aksi- aksi militer yang sukses, orang-orang Hasmonia ini juga memperluas wilayah kekuasaan kaum Yahudi di Palestina, sehingga akhirnya tidak hanya seluruh negeri itu saja yang dikuasainya, bahkan juga bagian Selatan Galilee di Utara dan daerah perbukitan sebelah Timur sungai Yordan dan Laut Mati. Orang-orang Hasmonia ini, pada era mereka, menganggap diri mereka sebagai keturunan sah bangsa Israil kuno, dan kerajaan mereka bertahan sampai pada kedatangan bangsa Rumawi pada tahun 37 S.M., yang menyusun kembali daerah kekuasaan mereka sebagai ‘client-kingdomnya’ kerajaan Rumawi dengan nama ‘Judaea’ yang artinya ‘tanah kaum Yahudi’, dengan Herod Agung (wafat pada tahun 4 S.M.) sebagai raja. Herod ini kemudian memperbaiki kuil Yerusalem Palestina, yang kemudian dihancurkan oleh bangsa Rumawi sewaktu mereka merampok kota itu pada tahun 70 M., dan mengakibatkan tersebarnya penduduk Judaea. Tak lama kemudian, bangsa Rumawi, di bawah pimpinan Hadrian, membangun kembali kota ini dan menamakannya Aelia Capitolina, nama Aelius diambil dari salah satu nama Hadrian. Akan tetapi ada pula kemungkinan bahwa nama ini adalah bentuk Semit dari nama Aelia, yang merupakan nama asli tempat ini sebelum diberi nama Yerusalem, untuk mengingatkan kembali pada kota Yerusalem di Arabia Barat. — 26 —
  • 41. Aelia, dalam bentuk Semit aslinya dapat berarti ‘benteng’ (bandingkan dengan kata ‘yl dalam bahasa Ibrani, yang berarti kekuatan), walaupun ini belum dapat dipastikan. Namun, yang dapat dipastikan adalah bahwa orang-orang Arab pada zaman dahulu mengenal kota ini bukan dengan nama Yerusalem, melainkan Iliya (‘yly’) sebelum mereka memanggilnya ‘tempat suci’, Bayt al-Muqqadas, Bayt al- Maqdis ataupun hanya al-Quds. Tanpa mempermasalahkan nama asli kota Yerusalem Palestina, kota ini kemudian telah dikenal sebagai kota Yerusalem Daud dan Sulaiman yang asli pada era Hasmonia dan bahkan mungkin jauh sebelumnya. Sama halnya dengan Palestina yang pada waktu yang sama telah dikenal sebagai tanah asal Bibel Ibrani. Dan pada saat itu pun sudah ada anggapan yang kuat bahwa lokasi-lokasi geografis dari cerita- cerita bersejarah dalam Kitab Bibel sebagian besar hanya mencakup bagian Utara dari daerah Timur Dekat, yaitu Mesopotamia Suria dan Mesir, bukan Arabia Barat. Ada kemungkinan sebuah kerajaan Yahudi di Arabia pada era orang-orang Hasmonia, yaitu kerajaan Himyar di Yaman yang mengalami kemakmuran dari tahun 115 S.M. sampai abad ke-6 M. Dua orang raja Himyar terakhir diketahui sebagai penganut-penganut agama Yahudi, tetapi kesalahan mereka sampai kini belum dapat dijelaskan secara meyakinkan. Tidak ada bukti-bukti bahwa mereka adalah umat Yahudi, seperti apa yang dikatakan oleh tradisi kuno Arab. Sejarawan Flavius Josephus, akan kita bicarakan nanti, sadar akan adanya orang-orang Yahudi kuno di Arabia, tetapi ia tidak memberi penjelasan mengenai hal ini. Orang-orang Hasmonia mungkin sengaja menafsirkan kembali lokasi- lokasi geografis dalam Bibel berkenaan dengan Palestina guna mengesahkan status mereka sebagai orang Yahudi, jika status mereka diragukan oleh para raja Yahudi Arabia di Himyar. Tentu saja ini hanya merupakan sebuah dugaan saja, akan tetapi berkenaan dengan argumentasi saya, hal ini sangat mungkin terjadi. Apakah adanya sebuah kerajaan Yahudi di Yaman atau tidak, bukanlah hal yang amat penting, tetapi dari kitab — 27 —
  • 42. Septuaginta, yaitu terjemahan kitab-kitab Yahudi ke dalam bahasa Yunani yang dibuat pada era kerajaan Yunani Kuno dan pada awal era kerajaan Rumawi, jelas terbukli bahwa pada zaman Hasmonia itu Arabia Barat tidak lagi dipandang sebagai tanah asal Kitab Bibel Ibrani. Ini jelas terlihat dalam bagaimana nama-nama topografis Arabia Barat seperti ksdym, nhrym, prt dan msrym, berubah masing-masing menjadi Kaldia (Chaldaean), Mesopotamia, Efrat dan Mesir.22 Lebih lagi, kita dapat mendapatkan bukti-bukti tambahan untuk memperkuat dugaan ini melalui gulungan-gulungan kertas dari Laut Mati (Dead Sea scrolls). Di sini kita menemukan suatu karya orang Aram yang mendetil dari sebuah tulisan di dalam Kitab Bibel yang menyebutkan nama-nama tempat di sebelah Utara daerah Timur Dekat. Karena begitu besar kesuksesan politik kaum Yahudi di Palestina, yang berlangsung selama 200 tahun, maka dalam waktu yang singkat saja telah terhapus semua kenangan mengenai tanah Arabia Barat sebagai tanah asal Israil. Josephus, dalam karyanya The Antiquities of the Jews — yang merupakan bangsanya sendiri— tidak lama setelah tahun 70 M., menganggap Palestina adalah tanah asal mereka, dan sejak waktu itu tidak ada yang menyimpang dari dugaan ini yang agaknya memang masuk akal. Berabad- abad kaum Yahudi dan Kristen yang berziarah mengikuti jejak pengembaraan para nabi dan nenek moyang Israil mereka melintasi tanah bagian Utara Timur Dekat, antara sungai Furat dan sungai Nil, dan mengenali lokasi-lokasi bersejarah menurut Bibel dengan kota-kota atau reruntuhan di Palestina. Saat ini arkeologi Bibel didasarkan pada daerah yang sama, dan para sejarawan masih melanjutkan penelitian mereka terhadap sejarah dunia Bibel pada zaman Bibel — yang bertentangan dengan sejarah kaum Yahudi, di Palestina dan bukan di Arabia Barat. Sebagai akibat, jika seseorang meneliti kembali kepustakaan yang telah dibuat oleh para sarjana dan ahli- ahli purbakala dalam 100 tahun belakangan ini, kita sadar 22 Mengenai nhrym dan prt, lihat di atas, Catatan 3 dan 11. Mengenai ksdym, lihat Bab 13. Walaupun msrym dalam Bibel kadang-kadang menunjukkan Mesir, lebih sering kata ini menandakan sebuah kota atau wilayah di Arabia Barat, di pedalaman Asir, lihat Bab 4, 13 dan 14. — 28 —
  • 43. akan adanya suatu ironi: beberapa teks Bibel Ibrani tetap diperdebatkan, namun geografinya tidak diganggu gugat lagi. Jadi kenyataannya, biarpun daerah Utara wilayah Timur Dekat telah diselidiki dengan seksama oleh serangkaian generasi ahli-ahli purbakala, dan setelah adanya penemuan, penelitian dan penanggalan atas peninggalan-peninggalan dari berbagai peradaban yang telah dilupakan, belum ada bukti yang jelas yang diketemukan yang berhubungan langsung dengan sejarah dunia Bibel.23 Lagi pula dari ribuan nama tempat yang tertera dalam Kitab Bibel Ibrani, hanya beberapa di antaranya yang secara linguistik dapat diidentifikasikan. Ini sangatlah luar biasa, mengingat nama-nama tempat di sana, seperti di seluruh Suria, selama sebagian besar zaman kuno adalah dalam bentuk bahasa Kanaan dan Aram dan bukan dalam bentuk bahasa Arab. Bahkan dalam beberapa kasus tempat-tempat di Palestina memakai nama-nama menurut Bibel, koordinat tempat-tempat tersebut menurut perhitungan jarak atau letaknya pun tidak cocok dengan lokasi-lokasi di Palestina. Sebuah kejadian yang patut diperhatikan berkenaan dengan Beersheba di Palestina (lihat Bab 4), sebuah kota yang namanya terkemuka di dalam kisah-kisah kitab Kejadian, dan karena itu asal mula kota ini mestinya paling tidak dari akhir Zaman Perunggu, tempat penggalian arkeologis menemukan persis di tempat itu barang-barang kuno yang bertanggal paling tidak dari akhir periode kerajaan Rumawi. Karena seluruh sejarah Timur Dekat kuno sebagian besar diselidiki berhubungan dengan penelitian atas Bibel Ibrani, maka sejarah ini sampai sekarang masih banyak mengandung ketidakpastian, seperti halnya dengan ‘Ilmu Pengetahuan Bibel’ modern. Catatan-catatan kuno Mesir dan Mesopotamia, jika dibaca dengan bantuan teks-teks Kitab Bibel yang kiasan-kiasan topografisnya dianggap berhubungan dengan Palestina, Suria, Mesir atau Mesopotamia, telah secara teliti disesuaikan dengan prasangka-prasangka para ahli sejarah 23 Pekerjaan para ahli purbakala Keinjilan di Palestina sebenarnya menjadi sasaran kecaman-kecaman keras. Menulis pada tahun 1965, Frederick V. Winnet mengatakan bahwa ‘fondasi dari beberapa gedung besar yang didirikan oleh para sarjana Perjanjian Lama baru-baru ini ... berada dalam keadaan yang buruk dan memerlukan reparasi yang ekstensif’. (Journal of Biblical Literature, 84 (1965); halaman 1-19). Pandangan Profesor Winnet didukung oleh beberapa ahli Keinjilan ternama lainnya seperti J. Maxwell Miller dan H.J. Franken. — 29 —
  • 44. Kitab Bibel. Cara yang sama seperti itu juga diterapkan dalam penterjemahan catatan-catatan kuno (seperti catatan- catatan kuno dari Ibla, di sebelah utara Suria), yang oleh para arkeolog masih ditemukan di negara-negara di Timur Dekat. Bangsa-bangsa kuno Timur Dekat seperti bangsa Filistin, bangsa Kanaan, bangsa Aram, bangsa Amorite, bangsa Horite, bangsa Hittit (berbeda dengan bangsa kuno dari Suria Utara dengan nama yang sama) dan bangsa-bangsa lainnya, tanpa adanya bukti-bukti yang kuat telah ditentukan secara geografis pada daerah-daerah yang bukan merupakan wilayah-wilayah mereka. Lebih lagi, sejumlah bangsa ini, yang namanya berasal dari teks-teks Bibel, di tentukan secara tidak benar sebagai pemakai bahasa-bahasa yang sebenarnya tidak mereka pakai, atau sebaliknya. Sarjana-sarjana modern tetap bersikeras, misalnya, bahwa bangsa Filistin dalam Bibel merupakan orang-orang laut ‘non-Semit’ yang misterius, dan hal ini sangatlah aneh mengingat bahwa nama-nama kepala suku dan bahwa dewa mereka, Dagon, (dgn, yang berarti ‘jagung, padi’) di dalam teks-teks Bibel adalah nama-nama ‘Semit’ (yang jelas merupakan nama-nama Ibrani). Walaupun banyak masalah seperti di atas yang masih kurang jelas dan masih dapat diperdebatkan, namun ada dua hal yang sudah dapat dipastikan. Pertama, belum diketemukan bukti-bukti mengenai asal mulanya orang-orang Iberani di Mesopotamia dan dugaan mengenai adanya migrasi orang-orang ini dari Mesopotamia menuju ke Palestina dengan jalan melewati Suria Utara. Kedua, sampai kini belum ada tanda-tanda yang ditemukan mengenai adanya tawanan orang-orang Israil di Mesir, walaupun pernah adanya dalam sejarah, suatu emigrasi besar-besaran orang-orang Israil dari Mesir.24 Kita juga dapat mencatat, secara sepintas, bahwa 24 Goshen (gsn), Pithon (ptm), dan Raamses (r’mss) yang disebut dalam kitab Kejadian dan kitab Keluaran sehubungan dengan menetapnya masyarakat Israil di tanah msrym belum pernah ditempatkan secara memuaskan di Mesir (lihat catatan dalam J. Simons, The Geographical annd Topographical Texts of the Old Testament... (Leiden, 1959; seterusnya disebut Simons), yang melakukan beberapa pengenalan percobaan). Ada dua kemungkinan untuk Goshen (Ghatan, gtn, dan Qashanin, qsnn, jamak dari qsn), sebuah Pithom (Al Futaymah, ptym, tanpa vokal ptm) dan sebuah Raamses (Masas, mss) masih dapat dijumpai di pedalaman Asir, di wilayah msrym Arabia Barat. R’ yang pertama dalam r’mss (Raamses) mungkin adalah nama seorang dewa. Dalam bentuk Ra’ atau Ra’i, r’ itu tampil sebagai bagian pertama dari sejumlah nama tempat Arabia Barat. — 30 —
  • 45. para ahli Bibel itu masih memperdebatkan masalah keluarnya kaum Israil dari Mesir menuju ke Palestina melewati Sinai yang belum terbukti secara memuaskan (mengenai hal ini, lihat observasi terhadap Gunung Horeb, Bab 2). Dengan penemuan-penemuan yang telah saya dapati, ini bukanlah suatu hal yang mengagetkan. Para ahli Bibel telah mencari bukti-bukti di tempat yang salah. Mereka menganggap geografi Bibel Ibrani benar dan meragukan kebenarannya sebagai kitab sejarah. Menurut hemat saya, cara yang lebih produktif ialah dengan membenarkan isi sejarah Bibel Ibrani dan meragukan isi geografinya, seperti yang telah saya lakukan pada halaman-halaman yang berikut. Di antara golongan-golongan orang Timur Dekat, nampaknya hanya kaum Israil saja yang mempunyai kesadaran tajam akan sejarah, atau setidak-tidaknya merupakan satu-satunya yang memahami dan menceritakan sejarah mereka secara lengkap dan mudah dimengerti. Kitab-kitab suci mereka, pada hakekatnya merupakan potret diri bersejarah yang digambarkan secara jelas dan mendetil. Memang benar bahwa kisah-kisah dalam kitab Kejadian lebih bersifat proto- historikal daripada historikal, dan lebih merupakan catatan- catatan tentang orang Israil dan anggapan mereka sebagai bangsa itu daripada tentang asal mula mereka. Tapi tidaklah mustahil bahwa leluhur Ibrani orang-orang Israil itu pada suatu waktu berasal dari sebuah suku yang terperangkap dan dipaksa kerja di suatu tempat yang bernama msrym — yang mungkin bukan Mesir; kalau mereka mengadakan migrasi besar-besaran dari tempat itu, di bawah seorang pemimpin yang bernama Musa yang mengatur mereka dalam suatu kelompok keagamaan dan memberi mereka hukum-hukum yang harus diperhatikan oleh mereka; kalau mereka melintasi sebuah tempat yang bernama h-yrdn — yang mungkin bukan sungai Yordan— di bawah pimpinan seseorang yang bernama Yosua, untuk menetap di suatu tempat dan di situ mereka akhirnya mencapai suatu penguasaan politik atas daerah itu; kalau mereka tinggal di sana untuk beberapa waktu sebagai suatu konfederasi yang longgar dari suku-suku di bawah pimpinan kepala-kepala suku yang disebut ‘Hakim- — 31 —
  • 46. hakim’, dan terus menerus berperang dengan suku-suku dan kelompok-kelompok lain yang tinggal di antara mereka, kalau mereka pada akhirnya tersusun secara politis menjadi sebuah ‘kerajaan’ di bawah pimpinan Saul; kalau kerajaan ini dikembangkan dan diberi suatu penyusunan dasar oleh Daud, yang selain seorang prajurit yang ulung juga merupakan seorang penyair, dan mencapai puncak kejayaannya di bawah Sulaiman anak Daud, seseorang yang terkenal akan kearifan dan kepandaiannya. Memang semestinya jika tidak ada orang yang meragukan bahwa seluruh sejarah Israil, setelah wafatnya Sulaiman, berjalan seperti yang tertulis dalam Kitab Bibel Ibrani. Tetapi jika kita menganggap bahwa segenap kejadian dalam sejarah ini berlangsung di Palestina, dan mempelajari Bibel menurut anggapan ini, maka akan timbul kebingungan dan sejumlah pertanyaan yang tak mampu terjawab akan tak terhitung lagi banyaknya. Kalau saja kita menggeser geografi dalam Bibel dari Palestina ke Arabia Barat, maka tidak banyak kesukaran yang akan tersisa. Kalau kita menimbang kembali catatan-catatan kuno Mesir, Babilonia dan Suria menurut konteks geografi ini, maka semuanya akan cocok pada tempat mereka. Panorama sejarah dalam Bibel Ibrani yang sendirinya menceritakan kisah lengkap sebuah bangsa Timur Dekat, menjadi petunjuk terhadap penyelesaian teka-teki rumit sejarah Timur Dekat kuno,25 dan bukan panorama sejarah itu sendiri yang merupakan sebuah teka teki yang rumit. Seluruh argumentasi dalam bab pengenalan ini berpusat pada dalil yang menyatakan bahwa tanah asal Israil dan tanah kelahiran Yudaisme adalah Arabia Barat, bukan Palestina. Dalam buku ini contoh teks-teks dari Kitab Bibel akan diuraikan dengan cara menyelidiki nama-nama tempat secara toponimis guna membuktikan kebenaran dalil ini — suatu fakta yang semoga sewaktu-waktu akan dapat diperkuat oleh penemuan-penemuan arkeologis pada lokasi-lokasi tersebut. Secara ideal, seluruh teks Bibel Ibrani seharusnya 25 Lain dari Bibel Ibrani, yang mengisahkan cerita lengkap kaum Israil kuno dari asal mulanya yang legendaris sampai pada abad ke-5 S.M., catatan-catatan bersejarah lainnya dari pelbagai negara di Timur Dekat hanya menceritakan potongan-potongan sejarah — daftar-daftar para raja, kisah-kisah ekspedisi militer tertentu, perjanjian- perjanjian perdamaian dan hal-hal yang seperti itu— dan tak pernah mengisahkan cerita-cerita lengkap mengenai suatu bangsa, negara atau kerajaan tertentu. — 32 —
  • 47. diuraikan dengan cara yang sama seperti di atas, akan tetapi ini memerlukan jangka waktu yang sangat lama sekali. Andaikata para pembaca bingung dengan apa yang dikatakan oleh buku ini, perlu dijelaskan bahwa walaupun Bibel Ibrani menceritakan sejarah orang-orang Israil kuno di Arabia Barat, bukan berarti agama Yahudi tidak mempunyai dasarnya di Palestina, karena sebenarnya dasarnya adalah di sana. Kitab Bibel Ibrani yang ditulis di Arabia Barat lebih banyak berkenaan dengan urusan-urusan kaum Israil di daerah itu, dan bukan dengan kaum Yahudi di tempat-tempat lain. Seperti yang telah dikatakan tadi, ada petunjuk-petunjuk dari Kitab Bibel mengenai tumbuhnya sebuah pemukiman Yahudi yang kuat di Palestina yang dimulai pada sekitar abad ke-10 S.M. Ada pula bukti-bukti yang berupa dokumentasi- dokumentasi yang didapat dari luar Bibel Ibrani yang membuktikan adanya orang-orang Yahudi di negara-negara Timur Dekat — seperti daerah Utara Mesir26 — sejak zaman kuno. Teks-teks kanonik Bibel Ibrani, yang mereka membicarakan cukup mendetil tentang orang-orang Yahudi di luar Arabia Barat, hanya melakukannya sehubungan dengan penawanan orang-orang Israil oleh kerajaan Babilonia. Rekonstruksi sejarah Yahudi yang mula-mula di Palestina tidak mungkin didapat melalui teks-teks ini, ataupun melalui catatan-catatan lain yang ada sampai sekarang. 26 Lihat terjemahan papirus-papirus Aram dari abad ke-5 S.M. yang berkenaan dengan masyarakat Yahudi Elephantine (nampaknya sebuah koloni militer dari zaman Achaemenid) dalam Pritchard, hal. 491-493, 548-549. Sejumlah papirus tersebut menyinggung masalah orang-orang Yahudi yang berbahasa Aram yang menetap di sana pada zaman purbakala. Yang menarik adalah bahwasanya papirus-papirus ini berbicara mengenai orang-orang Yahudi, bukan orang-orang Israil. — 33 —
  • 49. 2 Masalah Metode D alam mempelajari sesuatu kita harus belajar melupakan; didalam bidang penyelidikan Kitab Bibel ini sangat mutlak. Karena bahasa yang dipakai dalam Bibel Ibrani telah lama tidak dipergunakan lagi, beberapa waktu setelah abad ke-6 atau ke-5 S.M., maka tidak mungkin kita mengetahui pengucapan serta pemberian tanda vokal aslinya seperti yang dipergunakan orang-orang dahulu itu. Kita pun tidak mengetahui apa-apa tentang orthografi, tatabahasa, sintaksis serta langgam suaranya. Perbendaharaan kata di Kitab Bibel Ibrani yang kita ketahui sangat terbatas pada kata- kata yang tertera dalam teks-teks Kitab Bibel itu. Memang benar, bahasa Ibrani para rabbi (pendeta Yahudi) telah memperlengkapi kita dengan perbendaharaan kata dari Bibel Ibrani yang sebagian didasarkan pada perbendaharaan kata kuno Kitab Bibel dan sebagian lagi dipinjam dari bahasa Aram dan bahasa-bahasa lain. Akan tetapi kita harus mengingat bahwa bahasa Ibrani para rabbi Yahudi itu bukanlah suatu bahasa lisan; bahasa ini merupakan suatu bahasa kesarjanaan saja. Lagi pula, banyak kata di
  • 50. dalam Kitab Bibel yang hanya timbul sekali atau dua kali saja sehingga arti kata-kata itu masih dapat diperdebatkan.1 Oleh sebab itu, untuk membaca dan mengerti Bibel Ibrani kita harus melakukannya menurut tradisi para pendeta Yahudi atau dengan cara mempelajari bahasa-bahasa Semit lainnya yang masih dipakai. Saya telah memakai cara yang kedua, mendasarkan penafsiran saya pada bahasa Arab, dan dalam beberapa hal pada bahasa Suryani, yang merupakan bentuk modern bahasa Aram kuno. Pendeknya, saya telah memperlakukan bahasa Ibrani sebagai bahasa yang sebenarnya sudah tak dikenal lagi dan yang perlu diungkapkan kembali, bukan lagi sebagai bahasa yang teka-teki dasarnya telah dipecahkan. Berkat kejujuran kesarjanaan kaum Masoret atau tradisional Yahudi, teks-teks dalam bentuk konsonan Bibel Ibrani itu telah diturunkan kepada kita dari zaman kuno dalam keadaan yang hampir dalam keadaan utuh. Sayang, sarjana-sarjana modern jarang yang menghargai hal ini. Seringkali, bila mereka gagal dalam memahami sebuah kutipan dari Kitab Bibel, karena prasangka-prasangka terhadap konteks geografisnya, mereka dengan salah menganggap bahwa teks-teks itu telah diubah, seperti halnya seorang pekerja yang tidak terampil menyalahkan alat- alatnya. Memang benar, beberapa kitab dalam Bibel Ibrani itu merupakan kumpulan sumber naskah yang lebih tua dan yang telah disusun kembali. Ini tidak diragukan lagi. Tetapi mungkin saja berbagai kitab teks Bibel kanonik yang ada pada kita, telah dalam bentuknya yang sekarang ini sebelum runtuhnya kerajaan Israil, yaitu paling lambat pada abad ke-5 atau ke-6 S.M. Dugaan ini timbul dengan adanya kenyataan bahwa Bibel Ibrani telah diterjemahkan secara keseluruhan 1 Slg dalam Bibel contohnya, yang timbul tidak kurang dari 18 kali dalam pelbagai teks Bibel, biasanya dianggap berarti ‘salju’, kecuali dalam Ayub 9:30, kata ini tidak jarang diterjemahkan sebagai bahan pembersih atau obat pemutih, mungkin sejenis tanaman (soapwort). Yang terakhir ini kemungkinan adalah konotasi dari slg dalam sebutan-sebutan Bibel yang lain, terutama dalam Mazmur 51:9. Dalam konteks ini, ‘Bersihkanlah aku dengan Hyssop, dan aku akan menjadi lebih putih dari salju (tkbsny w-m-slg ‘lbyn)’ mungkin seharusnya secara lebih tepat diterjemahkan menjadi: ‘Engkau akan membersihkan aku dengan hyssop, dan aku akan menjadi bersih; engkau akan memandikan aku, dan dari tanaman ‘soapwort’ aku akan menjadi putih’. Dua buah pembersih --pembersih hyssop dan akar-akar pencuci dari tanaman ‘soapwort’-- jelas adalah apa yang dibicarakan baris ini. Mengenai tanaman ‘soapwort’ Arab, lihat di bawah. — 36 —
  • 51. ke dalam bahasa Aram (kitab-kitab Targum) pada zaman Achaemenid, dan ke dalam bahasa Yunani (kitab Septuaginta) pada awal periode Hellenis. Gulungan kertas Laut Mati, yang telah begitu banyak menarik perhatian dalam dasawarsa belakangan ini, jauh lebih muda dibandingkan dengan kedua terjemahan itu. Oleh sebab itu gulungan kertas Laut Mati mungkin dapat berguna dalam studi mengenai agama Yahudi Palestina pada zaman Rumawi; akan tetapi tidak akan dapat banyak menolong dalam pemecahan teka-teki Kitab Bibel Ibrani. Kita kini mengetahui bahwa Bibel Ibrani yang mula- mula ditulis dalam bentuk konsonan. Kemudian diberi vokal, dengan mempergunakan tanda-tanda vokal khusus, oleh kaum Masoret Palestina dan Babilonia antara abad ke-6 dan ke-9 atau ke-10 tahun Masehi. Dengan kata lain, mereka yang melakukan ini sebenarnya menyusun kembali sebuah bahasa yang telah tidak dipergunakan lagi selama seribu tahun atau lebih. Kaum Masoret ini apakah mereka berbahasa Aram atau tidak, melakukan tugas mereka dengan seluruh pengetahuan yang mereka miliki. Karena mereka menghormati Bibel sebagai kitab suci, maka dapat dipastikan bahwa mereka berhati-hati agar tidak mengubahnya, dan membiarkan teks konsonannya seperti apa adanya, sekalipun mereka menemukan sebuah kutipan yang menurut mereka tidak masuk akal. Mereka hanya mencatat bilamana ada atau sepertinya ada kejanggalan-kejanggalan dalam ejaan atau tata bahasa, dan tampaknya tidak ada usaha-usaha yang disengaja untuk membetulkan kejanggalan-kejanggalan itu. Ironisnya, jika para ahli Bibel modern berhati-hati seperti halnya para leluhur Masoret mereka, maka Ilmu Pengetahuan Bibel modern tidak akan membingungkan seperti sekarang ini, dan proses mempelajari yang sebenarnya bidang ini tidak perlu begitu banyak melupakan apa yang telah diketahui. Teks-teks suci, pada umumnya, dipelihara dalam bentuk aslinya oleh mereka yang taat dan setia dalam agama apa pun, sehingga hampir tidak berubah. Diturunkan melalui tradisi, seperti halnya teks-teks suci, nama-nama tempat juga jarang berubah, paling tidak dalam struktur dasarnya, beberapa pun — 37 —
  • 52. lamanya proses penurunan ini berlangsung. Jarang sekali nama-nama itu diubah, akan tetapi jika ini terjadi, nama- nama tua itu tetap dikenang oleh masyarakat, dan lebih sering dipergunakan kembali pada suatu saat. Bertahannya nama-nama tempat inilah yang memungkinkan saya untuk melakukan suatu analisa toponimis, dan terkadang memberi lebih banyak informasi mengenai geografi Bibel Ibrani daripada yang dapat kita peroleh melalui arkeologi. Dalam hal-hal tertentu, studi mengenai nama-nama tempat dan arkeologi mempunyai tujuan yang sama kecuali dalam satu perbedaan yang penting. Kalau penemuan-penemuan arkeologis itu bisu, jika terdapat inskripsi-inskripsi apa pun adanya, maka nama-nama tempat dapat berbicara dengan jelas. Maksud saya, bukan hanya memberitahu kita apa sebenarnya nama-nama tempat itu, bagaimana diucapkan, apa arti dan dari bahasa atau jenis bahasa mana asalnya. Tanpa adanya inskripsi, penemuan- penemuan arkeologi sangatlah sulit untuk ditafsirkan, begitu sulitnya sampai-sampai pertengkaran di antara para arkeolog, mengenai arti sejarah suatu penemuan tertentu, seringkali memburuk menjadi permusuhan pribadi. Walaupun nama- nama tempat tidak memberikan informasi sebanyak yang dihasilkan oleh penggalian-penggalian arkeologis, namun apa yang diberikan paling tidak merupakan suatu kepastian yang relatif atau mutlak. Saya akan mengemukakan sebuah contoh. Kalau seseorang menemukan sekelompok nama-nama tempat di Arabia Barat yang berasal dari sebuah bahasa yang bentuk konsonannya sama dengan bahasa Yahudi yang dipakai dalam Bibel atau bahasa Aram yang dipakai dalam Bibel, maka orang itu dapat menyimpulkan bahwa bahasa-bahasa yang sama atau serupa dengan bahasa Aram atau Yahudi Bibel pernah dipergunakan di Arabia Barat, meskipun bahasa Arablah yang merupakan bahasa sehari-hari di sana selama 2000 tahun. Kalau dapat lebih jauh lagi dibuktikan bahwa nama-nama tempat menurut Bibel, apa pun asal linguistiknya, terdapat pula di Arabia Barat yang sampai kini masih ada, sedangkan hanya sedikit yang tertinggal — 38 —
  • 53. di Palestina, maka dapat dimaklumi jika kita bertanya: apakah Bibel Ibrani lebih merupakan catatan mengenai perkembangan sejarah di Arabia Barat daripada di Palestina? Dalam suatu usaha untuk menjawab pertanyaan itu, strategi yang saya pergunakan pada halaman-halaman berikutnya adalah dengan membandingkan sekelompok nama-nama tempat Semit kuno, yang dalam Kitab Bibel ditulis dalam ejaan Ibrani, dengan nama-nama tempat yang benar-benar ada di Asir dan selatan Hijaz, yang oleh kamus- kamus geografi Arab Saudi modern ditulis dalam ejaan Arab. Kira-kira sudah 3000 tahun waktu yang memisahkan bentuk Bibel itu dari nama-nama tempat ini dengan persamaannya yang kini masih ada. Ini merupakan jangka waktu yang sangat lama, lebih dari satu pergeseran bahasa yang mestinya terjadi di daerah-daerah di Timur Dekat, apalagi dengan adanya peralihan dialek-dialek pada setiap tahap. Maka dari itu, bagi saya yang mengherankan adalah bukan kenyataan bahwa nama-nama tempat menurut Bibel telah mengalami perubahan; tetapi bahwasanya nama-nama itu tetap ada dalam bentuk Arab yang mudah dikenali. Adalah wajar jika nama-nama tempat menurut Bibel di Arabia Barat telah mengalami perubahan pada fonologi dan morfologinya, setelah hampir 3000 tahun. Pada awal buku ini, sebuah catatan yang berjudul ‘Perubahan bentuk Konsonan, menunjukkan bagaimana konsonan-konsonan tertentu dalam bahasa Ibrani dapat menjadi konsonan-konsonan lain dalam bahasa Arab dan sebaliknya. Catatan yang sama memperlihatkan pula seringnya terjadi metatesis (pindahnya huruf-huruf konsonan dalam suatu kata) antara bahasa-bahasa Semit dan bahkan antara dialek-dialek dalam bahasa yang sama. Sebagai tambahan dari perubahan yang disebabkan oleh peralihan-peralihan bahasa dan dialek-dialek ini, kita perlu memperhatikan pula distorsi yang disebabkan oleh ditulisnya nama-nama tempat tersebut dalam bahasa Ibrani Bibel dan dalam bahasa Arab modern. Bahasa tulisan (dengan cara menggunakan huruf-huruf abjad atau dengan cara lain) hanya dapat mengira-ngira saja fonetik dari sebuah percakapan saja. Inilah sebabnya mengapa — 39 —