1. Gagalnya Pendidikan Konvensional - Pidato Erica Goldson
Ada sebuah tradisi di SMA-SMA di Amerika, dimana seorang lulusan terbaik akan
membacakan pidato perpisahan. Mereka disebut sebagai valedictorian. Biasanya
mereka akan menyampaikan kata-kata perpisahan, ucapan terimakasih bla bla bla
dan seterusnya dan seterusnya, sebelum kemudian menerima ijazah tanda kelulusan.
Upacara selesai! Kalau di film-film kemudian mereka akan bersama-sama melempar
topi toga ke udara diiringi teriakan-teriakan ceria.
Tapi di tahun 2010, seorang valedictorian bernama Erica Goldson mengejutkan para
guru, murid dan orang tua dan juga dunia (berkat jejaring sosial) lewat pidato
perpisahan di sekolahnya. Alih-alih menyampaikan pidato standar, ia malah
mengecam sistem pendidikan di negaranya. Ia menggambarkan sikap apatis terhadap
sebuah sistem pendidikan yang disebutnya sebagai bentuk indoktrinasi yang hanya
menghasilkan robot-robot yang seragam untuk masuk ke dunia kerja.
Belakangan ini pidato Erica ini banyak beredar kembali di berbagai laman
facebook pertemanan saya. Mungkin karena ini ada hubungannya dengan gembar-
gembor kurikulum 2013 yang kontroversial itu, atau juga karena memang ini waktu-
waktu penting dimana adik-adik kita di SD, SMP dan SMA tengah berjuang dengan
senjata pensil 2B dan lembaran-lembaran soal yang akan menentukan masa depan
mereka. Putri saya termasuk diantaranya.
Sayang pidato Erica itu tidak dikutip selengkapnya, padahal menurut saya
runtunan pidatonya ini sangat memukau untuk ukuran anak SMA, dan patut kita
semua baca dan renungkan. Ya meskipun sistem pendidikan Amerika dan Indonesia
berbeda, banyak yang kita bisa dapat dari pidatonya ini. Versi aslinya bisa Anda
lihat di situs pribadinya (klik disini) atau bisa lihat langsung di youtube
(klik disini), tapi saya juga coba terjemahkan secara bebas di bawah ini. Semoga
bermanfaat. Kalau ada masukan tentang terjemahan yang tidak tepat, mohon saya
diberi masukan. (Bagian yang ditebalkan adalah dari saya, penerjemah.)
————-
Di Sini Saya Berdiri
Erica Goldson
25 Juni 2010
Tersebutlah kisah tentang seorang murid Zen yang masih muda, tapi sangat tekun.
Suatu hari datanglah ia kepada sang guru dan bertanya, —Kalau aku berusaha keras
dan rajin, berapa lama aku akan menemukan Zen?— Sang Master berpikir sejenak
lalu menjawab —Sepuluh tahun.— Si murid kembali bertanya, —Tapi kalau aku
berusaha sangat, sangat keras dan berusaha belajar dengan cepat, berapa lama?—
Sang Master menjawab, —Hmm, dua puluh tahun.— —Tapi kalau aku benar-benar
berusaha, berapa lama?— si murid masih bertanya. —Tiga puluh tahun— jawab sang
Master. —Aku tidak paham,— jawab si murid yang kecewa. —Setiap kali aku bilang
akan berusaha keras, kau justru bilang perlu waktu lebih lama. Mengapa begitu?—
Si Master pun menjawab, —Kalau pandanganmu tertuju pada satu tujuan, pandanganmu
pun hanya akan terpusat ke satu jalan.—
Inilah dilema yang saya hadapi di dalam sistem pendidikan Amerika. Kita terlalu
terpusat pada satu tujuan, entah itu lulus ujian atau tamat sebagai peringkat
pertama. Tapi dengan cara ini, kita tidak benar-benar belajar. Kita hanya
berusaha sekuat tenaga untuk mencapai tujuan kita semula.
Mungkin ada diantara kalian yang akan berfikir, —Ya, kalau kamu bisa lulus ujian
atau terpilih menjadi valedictorian (pembaca pidato perpisahan, biasanya dari
siswa terbaik -RED), bukankah artinya kamu sudah mempelajari sesuatu? Ya benar,
ada yang memang sudah kita pelajari tapi tidak semua yang seharusnya bisa
dipelajari. Mungkin kita hanya belajar menghafal nama-nama orang, tempat dan
tanggal, tapi kemudian akan dilupakan demi memberikan tempat yang kosong di otak
untuk ujian berikutnya. Sekolah tidaklah menjadi sesuatu yang seharusnya. Kini,
bagi kebanyakan orang sekolah adalah tempat dimana tujuan mereka hanyalah agar
2. bisa selesai secepat mungkin.
Tujuan itu sekarang sudah saya capai. Saya lulus. Seharusnya saya melihat ini
sebagai sebuah pengalaman yang positif, apalagi saya ada diperingkat tertinggi
di angkatan saya. Tapi kalau melihat ke belakang, saya tidak bisa bilang kalau
saya lebih pandai dari teman-teman sebaya. Saya bisa buktikan kalau saya hanya
yang terbaik dalam menjalankan apa yang diperintahkan dan menjalankan sistem.
Tapi disinilah saya sekarang berdiri, dan saya seharusnya merasa bangga karena
telah menyelesaikan masa-masa indoktrinasi ini. Di musim gugur saya akan
beranjak menuju ke tahap berikutnya sesuai dengan yang diharapkan, dalam upaya
untuk bisa mendapatkan selembar kertas dokumen yang akan menyatakan kalau saya
mampu masuk ke lapangan pekerjaan. Saya tekankan bahwa saya ini seorang manusia,
seorang pemikir, seorang petualang – bukan seorang pekerja. Pekerja adalah
seseorang yang terjebak di dalam pengulangan – budak dari sistem yang dibuatkan
untuknya. Tapi kini, saya sudah berhasil menunjukkan bahwa saya adalah budak
yang terbaik. Saya sudah melakukan apa yang diminta sebaik mungkin. Di saat yang
lain duduk di kelas, mencoret-coret di kertas dan akhirnnya menjadi seniman
besar, saya duduk di kelas, mencatat dan menjadi seorang peserta ujian yang
hebat. Di saat yang lain datang ke kelas tanpa menyelesaikan pekerjaan rumahnya
gara-gara sibuk membaca apa yang menjadi ketertarikan mereka, saya selalu
mengerjakan semua tugas yang diberikan. Di saat yang lainnya menggubah musik dan
menulis lirik, saya memutuskan untuk mengambil kredit pelajaran tambahan
walaupun saya tidak membutuhkannya. Saya jadi berfikir, kenapa saya sampai mau
ada di posisi ini? Ya, saya pantas mendapatkannya, tapi terus apa? Saat yang
meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya berhasil atau tersesat
selamanya? Saya tidak tahu harus berbuat apa dengan hidup saya; saya tidak punya
minat apapun, karena saya menganggap setiap mata pelajaran sebagai pekerjaan,
dan saya unggul dalam setiap pelajaran semata karena hanya ingin unggul, bukan
karena ingin belajar. Dan jujur, saya sekarang ketakutan.
John Taylor Gatto, seorang pensiunan guru dan aktivis yang kritis terhadap
program wajib belajar pernah menegaskan bahwa –Kita bisa mendorong munculnya
kualitas terbaik dari anak-anak muda, baik itu rasa ingin tahu, rasa
petualangan, daya tahan dan wawasan yang mengejutkan, cukup dengan bersikap
lebih fleksibel dalam urusan waktu, buku-buku acuan dan ujian-ujian. Caranya
dengan memperkenalkan anak-anak itu kepada orang dewasa yang benar-benar
kompeten, dan sesekali memberikan para siswa itu kebebasan yang diperlukan dalam
mengambil resiko. Tapi kita tidak melakukan itu." Diantara dinding-dinding beton
ini, kita semua diharapkan untuk menjadi seragam. Kita dilatih untuk meraih yang
terbaik dalam setiap ujian yang terstandarisasi, dan mereka yang menyimpang atau
melihat dari sudut pandang yang berbeda, dianggap tidak berharga dalam sistem
pendidikan umum, dan dianggap sebagai penghinaan.
H.L.Mencken pernah menulis dalam –The American Mercury" di tahun 1942, bahwa
tujuan pendidikan umum bukanlah
untuk mengisi spesies-spesies muda itu dengan pengetahuan atau membangkitkan
kecerdasan mereka.. Itu sama sekali tidak benar. Tujuannya– semata untuk sebisa
mungkin menurunkan setiap individu ke tingkatan yang sama, membiakkan dan
melatih prinsip kewarganegaraan yang standar, menekan pembangkangan dan
orisinalitas. Itulah tujuan di Amerika Serikat (Gatto)
Untuk mengilustrasikan ide ini, saya ingin bertanya, terganggukah Anda dengan
gagasan tentang –berpikir kritis." Apakah benar-benar ada yang namanya –berpikir
tidak kritis?" Berpikir adalah memproses informasi dalam upaya untuk membentuk
opini. Tapi jika kita tidak bersikap kritis saat mengolah informasi, apa kita
benar-benar sudah berpikir? Ataukah kita tanpa pikir panjang menerima pendapat-
pendapat lain sebagai kebenaran?
Inilah yang terjadi pada saya. Dan kalau bukan karena Donna Bryan, sosok guru
bahasa Inggris yang berani tampil beda di kelas sepuluh, yang mengizinkan saya
membuka pikiran dan bertanya sebelum menerima doktrin dari buku-buku pelajaran,
saya mungkin sudah habis. Saya kini tercerahkan, tapi pikiran saya rasa masih
lumpuh. Saya harus melatih kembali diri sendiri dan terus menerus teringat
3. betapa gila sebenarnya tempat yang kelihatannya waras ini.
Dan sekarang saya ada disini, di sebuah dunia yang dipandu oleh ketakutan. Dunia
yang menindas keunikan yang ada di dalam setiap diri kita. Dunia dimana kita
harus menerima begitu saja omong kosong korporatisme atau materialisme yang
tidak manusiawi, dan tidak bisa memaksakan perubahan. Kita tidak bisa dibuat
tertarik pada sistem pendidikan yang diam-diam menyiapkan kita untuk pekerjaan
yang terotomatisasi, untuk pekerjaan yang tidak perlu, bentuk perbudakan tanpa
semangat untuk mencapai sesuatu yang bermakna. Kita tidak akan punya pilihan
dalam hidup kalau uang yang menjadi kekuatan motivasi kita. Kekuatan motivasi
itu harusnya berwujud gairah atau ketertarikan, ketertarikan yang langsung
hilang begitu kita melangkah masuk ke dalam sebuah sistem yang lebih bersifat
melatih, ketimbang menginspirasi.
Kita ini lebih dari sekedar robot rak-rak buku yang dikondisikan untuk
memuntahkan fakta yang pernah diajarkan di sekolah. Kita semua sangat istimewa.
Setiap manusia di muka bumi ini istimewa. Jadi tidakkah kita layak mendapatkan
sesuatu yang lebih baik. Tidakkah kita layak menggunakan pikiran kita untuk
menghasilkan inovasi daripada menghafal, mengembangkan kreatifitas ketimbang
aktivitas tanpa makna, perenungan ketimbang kemandekan? Kita ada disini bukan
untuk meraih gelar, lalu mendapat pekerjaan, agar kita bisa menjadi konsumen
kepuasan demi kepuasaan industri. Ada yang lebih dari itu dan ada lebih banyak
lagi.
Yang menyedihkan adalah mayoritas pelajar seperti saya tidak memiliki kesempatan
untuk merenungkan diri. Kebanyakan pelajar dimasukkan ke dalam teknik cuci otak
yang sama dalam upaya menciptakan tenaga kerja yang memuaskan yang bisa bekerja
untuk kepentingan perusahaan-perusahaan besar dan pemerintahan rahasia, dan yang
paling parah adalah mereka sama sekali tidak menyadarinya. Saya tidak akan
mengembalikan masa-masa 18 tahun terakhir ini. Saya tidak bisa lari ke negara
lain dimana sistem pendidikannya ditujukan untuk mencerahkan ketimbang
mengkondisikan. Bagian hidup saya yang ini sudah berakhir dan saya ingin
memastikan tidak ada lagi anak-anak yang potensinya ditekan oleh kekuatan yang
ditujukan untuk mengeksploitasi dan menguasai. Kita adalah manusia. Kita adalah
pemikir, pemimpi, petualang, seniman, penulis, ahli teknik. Kita bisa menjadi
apapun yang kita kehendaki, tapi hanya kalau kita memiliki sistem pendidikan
yang memberikan sokongan dan bukannya menekan. Sebuah pohon bisa tumbuh hanya
kalau akarnya diberi dasar yang sehat.
Bagi kalian yang masih harus terus duduk di meja dan mematuhi ideologi otoriter
para instruktur, janganlah berkecil hati. Kalian masih punya kesempatan untuk
bangkit, bertanya, bersikap kritis dan menciptakan perspektif kalian sendiri.
MIntalah sebuah kondisi yang akan memberikan kalian kemampuan intelektektual
yang memungkinkan kalian mengembangkan pikiran dan bukannya mengarahkannya.
Mintalah sesuatu yang membuat kalian tertarik pada pelajaran. Mintalah agar
alasan “Kalian harus mempelajari ini untuk ujian" tidaklah cukup baik untuk
kalian. Pendidikan adalah alat yang sangat bagus, jika digunakan sebagaimana
mestinya. Tapi pusatkanlah perhatian lebih pada belajar ketimbang meraih nilai
yang bagus.
Bagi kalian yang bekerja di dalam sistem yang saya kecam, saya tidak berniat
menghina kalian. Saya ingin memotivasi. Kalian punya kekuatan untuk mengubah hal
yang tidak kompeten dari sistem ini. Saya tahu kalian tidak menjadi guru atau
administratur untuk kemudian membuat siswa-siswa kalian bosan. Kalian tidaklah
bisa menerima kewenangan pihak yang berkuasa yang menentukan apa yang harus
kalian ajari, dan kalian akan dihukum kalau tidak patuh. Potensi kamilah yang
dipertaruhkan disini.
Untuk kalian yang hari ini akan meninggalkan lembaga ini, saya ingin katakan,
janganlah melupakan apa yang terjadi di kelas-kelas disini. Jangan meninggalkan
mereka yang datang setelah kalian. Kita adalah masa yang baru dan kita tidak
akan membiarkan tradisi berkuasa. Kita akan runtuhkan dinding-dinding korupsi
agar kebun-kebun pengetahuan bisa tumbuh di seluruh Amerika. Kalau dididik
dengan benar, kita punya kekuatan untuk melakukan apapun. Dan lebih dari itu,
4. kita akan menggunakan kekuatan itu untuk kebaikan, karena kita akan menjadi
orang yang baik dan bijak. Kita tidak akan menerima apapun begitu saja. Kita
akan bertanya dan kita akan menuntut kebenaran.
Jadi, disinilah saya berdiri. Saya tidak berdiri di sini sebagai seorang
valedictorian karena saya ingin. Saya dibentuk oleh lingkungan, oleh teman-teman
sebaya yang sedang duduk menyaksikan saya. Saya tidak akan bisa mencapai semua
ini tanpa kalian semua. Kalianlah yang membuat saya menjadi seperti sekarang
ini. Kalianlah yang selama ini menjadi pesaing saya, tapi juga menjadi tulang
punggung saya. Karena itu kita semua adalah para valedictorian.
Sekarang waktunya dimana saya seharusnya mengucapkan selamat tinggal kepada
lembaga ini, kepada mereka yang merawatnya, dan kepada mereka yang berdiri
bersama saya dan yang berada di belakang saya. Tapi saya harap perpisahan ini
lebih dari sekedar ucapan “sampai jumpa lagi," karena kita semua bisa
bekerjasama untuk menumbuhkan sebuah gerakan pendidikan. Tapi pertama-tama, mari
kita terima dulu lembaran kertas yang menunjukkan bahwa kita sudah cukup pandai
untuk melakukannya! ###