Teks tersebut membahas kasus hukum yang menimpa dua pegawai KPPN yang divonis bersalah atas kasus korupsi penggunaan anggaran negara. Teks tersebut juga mengkritik putusan hakim dan menilai pegawai KPPN hanya melaksanakan tugas sesuai SOP tanpa adanya unsur kesalahan.
Perkara Peradilan Tata Usaha Negara di dalam Hukum Administrasi Negara
Reformasi birokrasi dan aspek sosialnya
1. “Semua pegawai KPPN, khususnya front office (FO) dan seksi-seksi tertentu akan
mengundurkan diri daripada tertimpa musibah dalam bentuk menanggung dosa yang tidak
pernah mereka lakukan.”(Pembelaan EIS, terdakwa kasus ‘pemalsuan SPM’ yang
merugikan keuangan negara).
Terus terang, ada rasa sanksi atas penegakan hukum yang masih jauh dari rasa keadilan di
negeri ini. Dan kemarin sore (9 Januari 2011), kembali terdengar kabar tidak sedap karena
dua orang pegawai negeri sipil (PNS) lingkup kementerian keuangan divonis bersalah oleh
majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR). Terpidana EIS selaku
penandatangan SP2D divonis bersalah 1,5 tahun dan denda Rp100 juta atau subsidaire 3
bulan kurungan, sedangkan ES selaku petugas FO divonis 1 tahun dan denda Rp100 juta
atau subsidaire 3 bulan kurungan.
Kasus ini bermula dari penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM) yang diduga asli tapi
palsu (ASPAL)bernomor 00155/440372/XI/2008 tanggal 19 November 2008 yang
ditandatangani SUP selaku pejabat penandatangan SPM pada Satker (SNVT) lingkup Ditjen
Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum senilai Rp9,95 miliar atas nama PT. CSC yang
belakangan diketahui fiktif. (Sumber
: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/02/02/16184379/Wah.Dokumen.Anggaran.Pu
n.Dipalsukan).
Sesuai prosedur kerja, SPM tadi ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Perintah Pencairan
Dana (SP2D) bernomor 928710J tertanggal 21 November 2008 sebesar Rp8.824.221.000,00
(setelah dipotong pajak) oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) dalam hal
ini ditandatangani oleh EIS selaku Kepala Seksi Perbendaharaan KPPN Jakarta II. (Sumber
:http://www.mediaindonesia.com/read/2011/03/01/207079/7/5/Polisi-Tahan-Dua-Pegawai-
Pelayanan-Perbendaharaan-Negara
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada persidangan tanggal 6 September 2011
menuntut terdakwa EIS dan ES dengan dakwaan primer dan sekunder karena diyakini tidak
melakukan penelitian yang mendalam terhadap SPM Nomor 00155/440372/XI/2008 dan
memprosesnya menjadi SP2D. Karenanya, JPU mendakwa keduanya tidak mematuhi
Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor PER-66/PB/2005 dan melanggar Keputusan Dirjen
Perbendaharaan Nomor KEP-297/PB/2007. (Sumber
:http://www.perbendaharaan.go.id/new/index.php?pilih=news&aksi=lihat&id=2698)
Dalam dakwaan primernya, JPU mendakwa EIS dan ES “sebagai orang yang melakukan
atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” (Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31
Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Sedangkan dakwaan sekunder, keduanya didakwa “sebagai orang yang melakukan
atau turut sertamelakukan perbuatan yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan, atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.” ((Pasal 3 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU
Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
2. Menarik sekali menyimak pleidoi (nota pembelaan) yang dibacakan langsung oleh EIS.
Terdakwa mengungkapkan rasa heran dan bingung mengapa Direktur PT. CSC (Penerima
dana) dan SUP (selaku pejabat penerbit SPM) tidak diseret juga ke pengadilan TIPIKOR
karena jelas-jelas yang bersangkutan sendiri yang menandatangani 60 lembar blangko SPM
kosong sesaat sebelum yang bersangkutan berangkat menunaikan ibadah haji? (Sumber
: http://www.keuanganpublik.com/)
Selain itu, EIS juga menyatakan keheranan terhadap kredibilitas dan kompetensi dari Saksi
Ahli yang diajukan oleh JPU yakni Dr. Dian Puji Simatupang yang ternyata belakangan
diketahui bukan pakarHukum Keuangan Negara tetapi Hukum Administrasi Negara
dari curriculum vitae-nya (CV/Riwayat Hidup). Terdakwa mensinyalir saksi ahli yang
diajukan JPU tersebut, tidak memiliki latar pendidikan yang mamadai di bidang hukum
Keuangan Negara dan tidak memahami masalah-masalah perbendaharaan negara, kecuali
sekadar membaca pasal demi pasal dan menafsirkan menurut pendapatnya sendiri.
Sesuai ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan
kemudian diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, kewenangan Menteri Teknis dalam pengelolaan keuangan di masing-masing
Kementeriannya lebih dominan dibandingkan Menteri Keuangan.
Menteri Teknis sebagai Pengguna Anggaran (PA), dan semua satker jajarannya sebagai
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), memiliki kewenangan sebagai Otorisator (melakukan
tindakan yang dapat mengakibatkan adanya pengeluaran dan/atau penerimaan negara) dan
sekaligus sebagai Ordonatur(melakukan pengujian atas tindakan yang dilakukan oleh
Otorisator dan memerintahkan pembayaran kepada comptabel) bagi anggarannya masing-
masing. Sedangkan Menteri Keuangan, beserta jajarannya, hanya memiliki
kewenangan Comptabel (Bendahara Umum Negara).
Merujuk pendapat hukum Drs. Siswo Sujanto, DEA (Ketua Tim Kecil Penyusunan Paket
UU Bidang Keuangan Negara), yang turut dihadirkan sebagai saksi ahli dalam kasus ini
menjelaskan bahwa pembagian kewenangan tersebut (Otorisator, Ordonator, dan
Comptabel) didasarkan pada prinsip let’s the manager manage. Beliau
mengemukakan dalam persidangan bahwa prinsip tersebut, hakekatnya
menyatakan “anggaran yang diajukan/diminta oleh Kementerian Teknis, diberikan oleh DPR
kepada Menteri Teknis untuk membiayai kegiatan yang diusulkan, diputuskan
penggunaannya dan dilaksanakan sendiri oleh Menteri Teknis yang bersangkutan, dan
konsekuensinya harus dipertanggungjawabkan pula oleh Menteri Teknis.”
Merujuk keterangan Saksi Ahli yang diajukan terdakwa yakni Prof. Dr. Muhsan,
S.H. (Mantan Hakim Agung, Professor Hukum Administrasi Negara, Pendamping Ahli Tim
Penyusunan paket UU Bidang Keuangan Negara), berpendapat “Menteri Teknis merupakan
lastgevers (pemberi mandate/ perintah) yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan
Menteri Keuangan yang merupakan lasthebbers (penerima mandate/ perintah).”
Selanjutnya, Prof. Muhsan mengemukakan pendapat hukumnya, “Oleh sebab itu, semua
perintah Menteri Teknis beserta jajarannya dalam hal pengeluaran Negara yang diwujudkan
dalam bentuk surat perintah membayar (SPM), sepanjang sesuai persyaratan administratif
yang ditentukan, harus dilaksanakan pencairan dananya. Hal ini, harus dilakukan karena
semua tanggungjawab terhadap keputusan yang dilakukan merupakan tanggungjawab
Kementerian Teknis/ satker yang bersangkutan. Kalaupun pihak Kementerian keuangan
3. (dhi. KPPN) harus melakukan pengujian hanyalah pengujian administrative dan bersifat
pengulangan (rechek). Bukan bersifat pengujian materiil (substantif).”
Terlepas dari pertimbangan majelis hakim dalam memutus perkara itu, dari lubuk hati
terdalam, penulismenyatakan turut prihatin dan bersimpati atas musibah yang menimpa
Korps Lapangan Banteng. Perlu kiranya majelis hakim lebih membuka mata hatinya untuk
mendengar suara hati, karena vonis yang diputuskan kemarin akan berimplikasi
besar terhadap perekonomian negara, khususnya penyerapan APBN di tahun anggaran 2012.
Perlu disadari, para pegawai KPPN (khususnya petugas seksi pencairan dana) sebagai ujung
tombak dalam pencairan dana APBN mesti akan bertindak ekstra hati-hati dalam meneliti
SPM yang diajukan Satker-Satker yang berada di wilayah kantor bayarnya. Dikhawatirkan,
saking hati-hatinya, petugas tidak akan menolerir kesalahan dalam dokumen SPM sekalipun
itu kesalahan kecil (misalnya kesalahan ketik/redaksional) sehingga tingkat pengembalian
SPM (SPM tidak dapat diproses menjadi SP2D) akan meningkat pesat.
Tentu saja, proses penerbitan SP2D menjadi berbelit-belit dan butuh waktu lama hingga
betul-betul diyakini SPM yang diajukan tepat jumlah, tepat penerima pembayarannya dan
tepat pula peruntukannya.Siapa juga yang mau menerima resiko, divonis bersalah (hukuman
penjara dan denda ratusan juta rupiah) atas tindakan yang belum tentu dilakukannya? Siapa
pula yang rela mendapat stigma (dicap) sebagai seorang koruptor atas dosa/kesalahan yang
belum tentu diperbuatnya?
Khusus kepada pucuk pimpinan yang berkantor di kawasan Lapangan Banteng, penulis
meminta dengan sangat agar diberikan rasa aman dan kepastian hukum kepada para
pegawai dengan terusmenyempurnakan sistem dan prosedur kerja (SOP) dan perlindungan
hukum sehingga musibah yang menimpa rekan kami tidak terulang kembali. Bukan kami tak
butuh gedung yang megah, taman yang indah, dan peralatan kerja yang lengkap, tapi yang
lebih kami butuhkan adalah rasa kebersamaan, RASA AMAN, rasa kekeluargaan dan
solidaritas korps yang sepertinya mulai luntur di tengah tantangan tugas ke depan yang
semakin berat.
Demikian, postingan pertama di tahun 2012 ini, sekadar untuk mencurahkan isi hati sekaligus
solidaritas untuk senior dan junior yang nasibnya kini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga
pula. Terima kasih.
sumber: milis Alumni STAN
Max Weber, seorang sosiolog Jerman berpendapat bentuk birokrasisebagai cara ideal
mengatur organisasi pemerintahan melalui prinsip-prinsip bentuk birokrasi antara lain harus
terdapat adanya struktur hirarkis formal melalui aturan yang memungkinkan agar keputusan
yang dibuat pada tingkat atas akan dapat dilaksanakan secara konsisten oleh semua tingkat di
bawahnya, organisasi dengan fungsional yang khusus pekerjaan yang harus dilaksanakan
oleh mereka yang benar merupakan ahli kemudian disusun dalam unit-unit berdasarkan jenis
4. pekerjaan yang akan dilakukan berdasarkan keahlian, mempunyai sebuah misi target yang
akan dituju atau yang sedangkan dilaksanakan dalam upaya agar tujuan agar organisasi ini
dapat melayani kepentingan, bekerja berdasarkan kualifikasi teknis merupakan perlindungan
bagi pelaksana agar dapat terhindar dari pemecatan sewenang-wenang dalam saat
menjalankan tugasnya., adanya kerja tim serta kontrol rekan sekerja (peer group) dan atasan
bukan lagi merupakan dominasi atau kontrol di hubungkandengankasus yang
menimpapegawai KPPN sayamengilustrasikanDalam mesin birokrasi pemerintahan,
pelaksanaan kegiatan dapat diibaratkan sebagai sebuah ban berjalan yang berputar mengikuti
pola dan system baku yang telah dirancang dan ditetapkan sebelumnya. Pergerakan atau
perjalanan mesin tersebut diatur sesuai dengan system operating procedure (SOP) yang telah
ditetapkan.
Seorang pegawai negeri, dalam system ban berjalan tersebut, dapat diibaratkan sebagai roda,
baik besar maupun kecil, atau bahkan sekedar sebagai mur atau baut, tergantung jabatan atau
posisinya. Para pegawai tersebutlah yang memungkinkan mesin ban berjalan bergerak sesuai
iramanya dalam melaksanakan tugas pemerintahan dalam melayani rakyat untuk mencapai
tujuan negara.
Jadi, mereka sebagai petugas di KPPN adalah sebuah roda kecil yang harus bergerak
mengikuti putaran ban berjalan yang dikendalikan oleh sebuah SOP. Harus melaksanakan
tugas sepanjang sesuai dengan SOP. Tanpa mampu bergerak sesuai kemauan diri sendiri.
Di pandangdarisisi social Kementerian PU lah yang wajib di
salahkanhalinidikarenakandengan di tandatanganinyablangko SPM
kosongtelahmelanggarkodeetik.Perbuatantersebutsangattidaklayakkarenamemancingpihak
yang tidakbertanggungjawabuntukmenyalahgunakan.Selainitumenyalahkan KPPN yang
telahbekerjasesuai SOP jgsuatubentukkesalahanbesar yang
padaakhirnyamenimbulkandampak social yang
dapatkitalihatdenganrencanapemboikotansejumlah FO dananggota KPPN
danadanyaketakutandarisejumlahpegawai FO untukmelayanipengeluarandanamenggunakan
SPM yang di implementasikanpemeriksaanpada SPM di lakukanlebih lama
danlebihrigridsehinggamemperlambatpenyerapan yang
padaakhirnyamempengaruhipembangunandanpelayanankepadamasyarakat. Dan
inimerupakandampak social baru yang munculakibat di salahkannyapegawai KPPN yang
telahmenjalankan SOP yang ujungnyamasyarakat pula lah yang menerimadampaknya. Di sisi
social lain..siapa pula yang rela di cap koruptorataskesalahan yang tidak di
buatnya..danmelukaireformasi yang di junjung yang
dimanaterdapatpoinuntukmenegakkandanmelaksanakantugasberdasarkanaturan/SOP
Berkenaan pula menyangkutsisi social yang lainbahwakemampuan JPU
ataupunpihakkepolisian yang tidakahlidalamKeuangan Negara
menimbulkanpertanyaankembalimanalagipihak KEMEN PU tidakdiperiksasecara detail.
5. Secara social kemasyarakataniniterlihattidakadildan proses peradilan di
matapihaktermasukmasyarakatsemakintersudut.