Hukum Adat Islam Institut Agama Islam Negeri Bone.pptx
Dibalik peristiwa ciketing
1. Di Balik Kerusuhan Ciketing
Monday, 03 January 2011 11:38
Laporan ICG mengungkapkan, bahwa kristenisasi menjadi penyebab ketegangan antar agama
di Indonesia
oleh: Amran Nasution
MENJELANG tutup tahun 2010, koran Kompas berulang-kali memuat tulisan tentang ancaman
kekerasan berlatar belakang agama. Misalnya, pada edisi 16 Desember 2010, koran itu
menulis bahwa kekerasan berlatar-belakang agama di Indonesia makin marak. Dan persoalan
itu harus diselesaikan tuntas karena kekerasan yang menodai multikulturalisme itu bakal
mengancam demokrasi Indonesia. Apalagi pemerintah selama ini absen dalam penyelesaian
masalah.
Persoalan ini, kata koran itu, mengemuka dalam peluncuran Jurnal Maarif edisi akhir tahun di
Gedung Dakwah Muhammadiyah Jakarta, sehari sebelumnya, serta diskusi yang dilakukan
Maarif Institute, lembaga yang dipimpin Ahmad Syafii Maarif, bekas Ketua PP Muhammadiyah .
Tapi benarkah analisa para ahli Maarif Institute yang disebar-luaskan Kompas itu? Benar
kalau dikatakan peristiwa kekerasan sekarang meningkat. Tapi salah kalau dikatakan
peningkatan itu hanya terjadi pada kekerasan berlatar-belakang agama.
Memang setiap sore berita televisi selalu diwarnai peristiwa kekerasan dari pelbagai pelosok
Tanah Air. Tapi kekerasan itu bukan hanya berlatar-belakang agama seperti dianalisa para ahli
Maarif Institute. Analisa itu terkesan dipaksakan untuk tujuan tertentu. Begitu pula Kompas
yang terus-menerus memberitakan isu yang sama.
Cukup banyak kekerasan terjadi sebagai ekor Pilkada. Ada kekerasan karena perampasan
lahan, penggusuran pedagang kaki lima, tawuran antar-penduduk desa, antar-preman,
antar-pelajar, bahkan antar-mahasiswa. Malah yang tercatat sebagai peristiwa kekerasan
1 / 6
2. Di Balik Kerusuhan Ciketing
Monday, 03 January 2011 11:38
paling seru adalah ketika dua kelompok preman bertarung di depan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, di Jalan Ampera Raya, akhir September lalu.
Dua kelompok menggunakan berbagai jenis senjata tajam seperti golok dan kelewang. Malah
beberapa menggunakan senjata api. Terjadi tembak-menembak di jalan raya, di siang bolong,
tanpa polisi bisa mencegah. Korban pun berjatuhan. Setidaknya 3 orang terbunuh, 12 terluka
termasuk 3 di antaranya polisi.
Yang hendak dikatakan: Maarif Institute – dan institute semacamnya yang banyak tumbuh di
masa 8 tahun pemerintahan Presiden Bush di Amerika Serikat yang memerangi Islam – tak
boleh memicingkan mata bahwa Indonesia sekarang memang cendrung rusuh, termasuk rusuh
antar-agama.
Kekerasan berlatar- belakang agama yang paling terkenal adalah peristiwa Ciketing,
perkelahian kelompok masyarakat setempat dengan rombongan jemaah HKBP (Huria Kristen
Batak Protestan) yang mengadakan pawai di jalan mengakibatkan sejumlah orang cedera, 12
September lalu.
Akibat pemberitaan seru Kompas diikuti media lain – yang tak berimbang (cover both side) –
polisi menangkap pelaku tawuran hanya dari kelompok masyarakat setempat. Padahal
menurut Ketua Front Pembela Islam (FPI) Habib Riziek Shihab di dalam rombongan HKBP ada
dua jemaah bermarga Purba dan Sinaga membawa pisau dan tertangkap tangan oleh polisi
pada waktu itu tapi segera dilepaskan. Selain itu ada 9 anggota masyarakat terluka tapi
anehnya tak ada jemaat HKBP yang ditangkap.
Maka di tengah laporan media massa yang tak berimbang, pendapat sementara tokoh yang
bias, tapi kemudian tersebar luas tanpa sikap kritis media massa, adalah amat menarik
membaca laporan International Crisis Group (ICG), 24 November lalu, berkaitan dengan
peristiwa kekerasan berlatar-belakang agama, terutama peristiwa Ciketing. ICG bukan institusi
Islam, jadi jelas tak ada hubungannya dengan FPI mau pun MUI.
ICG adalah lembaga nirlaba yang independen berpusat di Brussels, Belgia. Institusi itu kini
dipimpin Louise Arbour, wanita berusia 63 tahun, bekas Hakim Agung Kanada dan bekas
Komisi Tinggi PBB Urusan HAM (United Nations High Commissioner for Human Rights).
Tentu jangan bandingkan ICG dengan Maarif Institute, Setara Institute, Wahid Institute, atau M
oderate Muslim Society
(MMS), dan organisasi semodel lainnya. ICG terlalu berwibawa dan rekomendasinya tentang
masalah pertikaian, konflik, atau peperangan, diterima banyak negara, termasuk lembaga
internasional semacam Uni Eropa, Bank Dunia, atau PBB.
Maka sungguh aneh bin ajaib, ketika membuat analisa tentang kekerasan berlatar-belakang
agama di Indonesia sebagai evaluasi akhir tahun, Maarif Institute atau organisasi sejenisnya
mau pun Kompas sama sekali tak menyinggung laporan ICG. Apakah karena ICG mengungkap
gerakan Kristenisasi padahal fakta itu harus disembunyikan?
2 / 6
3. Di Balik Kerusuhan Ciketing
Monday, 03 January 2011 11:38
Dalam laporan 20 halaman itu, ICG menyimpulkan salah satu penyebab meningkatnya
ketegangan Islam dengan Kristen di Indonesia adalah Kristenisasi yang agresif dilakukan
Kristen Evangelical, kelompok Protestan fundamentalis yang dianut banyak penduduk Amerika
Serikat.
Kristen Evangelical yang mencampurkan agama dan politik itu mulai berkibar sebagai
pendukung Partai Republik di zaman Presiden Ronald Reagan, tapi betul-betul dominan di
dalam percaturan politik Amerika Serikat di dua priode pemerintahan Presiden George Bush.
Bush sendiri berteman dekat dengan para pendeta aliran itu seperti Pat Robertson, Jerry
Palwell (meninggal dunia beberapa tahun lalu), James Dobson, atau Franklin Graham.
Di zaman Bush, negeri Islam seperti Afghanistan diserang dan diduduki, Iraq dijajah. Lantas
para pendeta Evangelical membenarkan langkah-langkah Presiden Bush itu kepada rakyat
Amerika Serikat. Belum cukup. Para pendeta diikut-sertakan (embedded) bersama pasukan
Amerika Serikat di Iraq dan Afghanistan guna menyebarkan ajarannya ke tengah masyarakat
setempat yang Muslim.
Kembali ke Indonesia, memang menurut laporan ICG, ada faktor lain yang berperan dalam
ketegangan hubungan Islam – Kristen, seperti kegagalan pemerintah, tumbuhnya organisasi
Islam tertentu, dan kebijakan desentralisasi. Tapi dalam mengembangkan strategi untuk
mengatasi ketegangan antar-kelompok di Indonesia, laporan ICG menempatkan Kristenisasi
dalam perhatian khusus. ‘’Isu Kristenisasi bisa mempersatukan kelompok anti-kekerasan
dengan kelompok ekstrim pendukung kekerasan,’’ tulis laporan itu.
Isu Kristenisasi telah berkembang di Indonesia sejak 1960-an. Tapi selama ini sensus
penduduk tak menunjukkan pertumbuhan pengikut Kristen yang signifikan. Dari sensus tahun
2000, penduduk Protestan 5,8%, Katolik 3%, Hindu 1,8%, dan Islam 88,2%. Sisanya Budha
dan Kong Hucu.
Begitu pun di kalangan ummat Islam isu Kristenisasi sangat mendapat perhatian. Tak aneh
kalau Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri pada 2006 membentuk Komite Penanggulangan
Bahaya Pemurtadan (KPBP). Belakangan nama itu berubah menjadi Komite Dakwah Khusus
(KPK).
ICG mengungkapkan bahwa Kristen Evangelical aktif melakukan Kristenisasi di Banten dan
Jawa Barat, dua provinsi yang mengelilingi Ibukota Jakarta. Bila sukses, kelompok agama ini
akan bisa mendapatkan tempat berpijak yang kuat di Ibu Kota.
Dari catatan ICG diketahui sejumlah organisasi Kristen dari Amerika Serikat memiliki kegiatan
di berbagai daerah di Indonesia, tapi terutama aktif di Jawa Barat. Ada The Joshua Project yan
g beroperasi di kalangan etnis Sunda, Lampstand (Beja Kabungahan) digerakkan misionaris
Amerika Serikat sejak 1969, Patners International berbasis di Spokane, Washington, memiliki
belasan group di Jawa Barat sebagai patner lokal, Frontiers dari Arizona, dan
Campus Crusade for Christ
berbasis di Orlando, Florida, memiliki cabang di Indonesia dengan nama Lembaga Pelayanan
Mahasiswa Indonesia (LPMI).
3 / 6
4. Di Balik Kerusuhan Ciketing
Monday, 03 January 2011 11:38
Pada Desember 2006, LPMI membuat masalah di Batu, Malang, Jawa Timur. Ketika itu, LPMI
mengadakan pelatihan. Dalam acara doa, pendetanya meletakkan al-Quran di lantai dan
menyuruh para peserta latihan mengelilinginya untuk sebuah upacara mengusir setan. Sang
Pendeta dan para peserta doa kemudian ditangkap pihak berwajib karena tindakan menghina
al-Quran (blasphemy).
Dana Luar Negeri
ICG memfokuskan laporannya pada Bekasi, kota yang dari data lembaga itu menunjukkan
peningkatan jumlah penganut Kristen. Di tahun 2000, Bekasi memiliki penduduk 1.668.494 jiwa,
89% adalah Muslim, 6,5% Protestan, 3,2% Katolik. Pada tahun 2009, jumlah penduduk itu
meloncat menjadi 2.145.447 jiwa, di antaranya 87,3% Muslim, 8,05 Protestan, 2,98 Katolik.
Artinya, ada penurunan prosentase penganut Islam dan Katolik, tapi terjadi peningkatan
prosentase penganut Protestan.
Meningkatnya jumlah penganut Protestan, menurut laporan ICG, sebagian mungkin disebabkan
terjadinya perpindahan orang Batak penganut Protestan dari Sumatera Utara ke Bekasi guna
mencari pekerjaan.
Tapi laporan ini pun mengungkapkan betapa gencar gerakan Kristenisasi di kawasan itu yang
menurut ICG, antara lain dibiayai dana luar negeri. Di sana ada Sekolah Alkitab Terampil dan
Terpadu (Integrated Bible Training School) yang dijalankan Edhie Sapto, seorang Madura yang
dulu beragama Islam. Anehnya, seluruh pamplet dan atribut sekolah bertuliskan Arab tapi
mengajarkan Bibel. Lebih aneh lagi, sekolah yang dulu di bawah Yayasan Kaki Dian Emas dan
kini Yayasan Bethmidrash Talmiddin itu, menurut laporan ICG, mensyaratkan setiap siswanya
bisa diluluskan setelah mengkristenkan 10 orang.
Tapi dalam hal menggarap orang Islam yang paling kontroversial tentulah Yayasan Mahanaim
atau Mahanaim Foundation. Didirikan sebagai lembaga pendidikan dan sosial pada 1999 oleh
Pendeta Rachel Indriati Tjipto Purnomo Wenas atau lebih dikenal sebagai Iin Tjipto. Sebagai
bagian dari jaringan Pantekosta di Jawa, Mahanaim dijalankan keluarga keturunan China dan
4 / 6
5. Di Balik Kerusuhan Ciketing
Monday, 03 January 2011 11:38
ditujukan untuk menggarap orang miskin, terutama anak-anak jalanan.
Maka yayasan ini memiliki rumah penampungan anak yatim yang dinamakan Rumah Harapan
dan sekolah gratis dari taman kanak-kanak sampai SMA. Tampaknya yayasan ini memang
bersimbah duit. Pada 2007, yayasan ini mengklaim memiliki aset bernilai Rp 125 milyar, dan
setiap bulan menghabiskan dana Rp 1 milyar untuk aktivitasnya. Dalam ukuran Bekasi jumlah
itu tak bisa dibilang sedikit.
Yayasan memiliki divisi bisnis yang menjalankan toko buku sampai servis ruangan pendingin
(AC), termasuk bisnis properti. Salah seorang pengurus yayasan sempat dihukum 10 tahun
penjara karena terlibat manipulasi pembangunan perumahan militer.
Tapi urusan bisnis dan manipulasi pembangunan perumahan militer itu tak sampai
menyebabkan pengurus yayasan bentrok dengan organisasi Islam di tempat itu seperti Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Gerakan Pemuda Islam (GPI), Front Pembela Islam (FPI),
dan Jemaah Ansharut Tauhid (JAT). Yang menimbulkan ketegangan jelas karena gencarnya
upaya mengkristenkan orang Islam (Kristenisasi), terutama ditujukan kepada kelompok miskin,
lemah, dan tak berdaya.
Pada 1 Desember 2007, misalnya, yayasan itu membagi-bagikan makanan kepada orang
miskin dalam sebuah acara hiburan musik, tari-tarian, dan atraksi kembang api, yang
dinamakan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR). Acara itu dilaksanakan di tempat terbuka di
kawasan perumahan PT Taman Puri Indah, Pekayon. Anehnya, mayoritas hadirin adalah
Muslim. Wajar kalau organisasi Islam di Bekasi menuduh acara itu adalah tipu-daya untuk
melakukan Kristenisasi.
Yang paling kontroversial adalah festival dua pekan yang digelar Yayasan Mahanaim
November 2008, disebut Bekasi Berbagi Bahagia (B3). Acara dilaksanakan di 100 tempat
terpisah di sekitar daerah itu dengan membagi-bagikan hadiah telepon genggam, televisi,
mobil, bahkan amplop berisi uang kontan. Dalam kesempatan itu Yayasan Mahanaim pun
mensponsori perkawinan massal yang melibatkan 153 pasangan Muslim.
Organisasi Islam setempat – tergabung dalam koalisi Front Anti-Pemurtadan Bekasi (FAPB) --
sudah melakukan protes terhadap Mahanaim malah sebelum festival itu berlangsung, yaitu
ketika yayasan membagi-bagikan Bibel pada 17 Mei 2008. Yayasan itu dituduh memurtadkan
orang miskin melalui bujukan uang dan fasilitas lainnya.
Pada Hari Pendidikan 2 Mei 2010, ada demonstrasi anti-Narkoba di Bekasi. Ketika melewati
Masjid Al-Barkah, sejumlah orang yang ikut arak-arakan memakai baju yang di bagian
belakangnya ada sulaman bintang David bewarna kuning, memisahkan diri dari barisan,
membentuk formasi salib.
Mereka mengembangkan bendera dengan gambar singa dan pedang, dan tujuh nama Tuhan
(menurut Kristen): Adonai, El Shaddai, Jehova Rapha, Jehovah Nissi, Jehovah Shalom,
Jehovah Shamah, dan Master of Breakthrough. Mereka membagi-bagikan stiker bertuliskan"Yo
el generation’
5 / 6
6. Di Balik Kerusuhan Ciketing
Monday, 03 January 2011 11:38
’, dan kemudian meletakkan Mahkota Kristen (Christian Crown) di depan Masjid.
Tak begitu jelas dari mana mereka berasal. Tapi menurut laporan ICG, dari stiker bertuliskan
‘’Yoel generation’’ yang mereka bagi-bagikan bisa ditebak mereka ada kaitan dengan kelompok
Evangelical, atau di Bekasi dikenal sebagai kelompok pemilik Yayasan Mahanaim. Di Cirebon,
Jawa Barat, misalnya, Mahanaim membuka blog internet dengan nama Generasi Yoel.
Pendeta Iin Tjipto menjadi kontributor tetap di blog itu.
Maka tak mengejutkan kalau komunitas Islam bereaksi atas aksi di depan Masjid Al-Barkah
yang merupakan provokasi dan penodaan agama (blasphemy). Pada 8 dan 9 Mei 2010 ada
tabligh akbar yang mengundang para pembicara terkenal seperti Kiai Athian Ali, Abdul Qadir
Djaelani, atau Abu Bakar Basyir. Selain itu kelompok Islam mengirim delegasi memprotes
peristiwa di depan Masjid Al-Barkah ke alamat para pejabat Pemda Bekasi.
Murhali Barda, Ketua FPI Bekasi membacakan pernyataan ummat Islam Bekasi yang
ditandatangani 40 tokoh, antara lain, menolak pembangunan gereja yang tak sesuai peraturan
berlaku, menolak segala bentuk aksi Kristenisasi di komunitas Muslim, dan polisi agar
menindak para pelanggar hukum dan menghukum berat para perusak keharmonisan
beragama.
Banyak ekses terjadi karena aksi agresif Kristenisasi di Bekasi. Salah satunya adalah konflik
warga dengan kelompok HKBP yang sedang berusaha membangun gereja di daerah itu. Satu
hal yang pasti harmonisasi umat beragama di sana rusak dan terganggu.
Pertanyaan yang relevan sekarang: kalau Maarif Institute, Wahid Institute, Setara Institute dan
terutama Kompas, menggebu-gebu mengutuk kekerasan atas nama agama, bagaimana sikap
mereka terhadap aksi Kristenisasi terhadap orang miskin, lemah, dan tak berdaya?
Betul memilih agama adalah hak warga negara. Tapi pilihan itu dilakukan oleh warganegara
yang bebas dan merdeka. Bukan orang miskin yang lemah tak berdaya dan terpaksa menukar
agamanya dengan rayuan supermie, beras, telepon genggam, atau uang di dalam amplop.
Tidakkah tindakan memanipulasi kaum lemah atas nama kebebasan beragama harus dikutuk
juga karena menghina martabat dan harkat manusia?
Penulis adalah mantan Redaktur GATRA dan TEMPO. Kini, bergabung dengan IPS (Institute
for Policy Studies) Jakarta
6 / 6