SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  116
2012




ALTERNATES IN TOURISM
Alternatif dalam Pariwisata



                  DR. Abdullah Rudolf Smit, CTM, CHt-IBH
                  Praktisi Pariwisata
                  Hospitality Services Solutions – Indonesia
                  Email : abdulrudsmit@yahoo.com
                  Web : http://pendekarcinta.weebly.com
PRAKATA

       Buku ini adalah kompilasi atau kumpulan artikel-artikel yang ditulis pada
sebuah harian berbahasa Inggris “The Indonesia Times” pada tahun 1997 saat
negeri kita memasuki krisis ekonomi yang berkepanjangan. Akibat dari krisis ini
sangat dahsyat terhadap kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia termasuk
masyarakat usaha di dalam mana ada pengusaha-pengusaha pariwisata.
       Penulis waktu itu ingin mengingatkan para pembaca bahwa apabila
manajemen usaha-usaha pariwisata ingin berhasil keluar dari kemunduran yang
disebabkan kekacauan ekonomi nasional, maka mereka harus kembali ke dasar-
dasar ilmu pariwisata. Back to Basics. Mengapa penulis menerbitkan pemikiran-
pemikirannya dalam bahasa Inggris dan bukan dalam bahasa Indonesia, itu semata
karena media cetak berbahasa Indonesia lebih tertarik mengekspos akibat-akibat
negatif dari krisis ketimbang menerbitkan tulisan-tulisan yang ada dalam buku ini.
       Penulis pernah pada tahun 1993 di Yogyakarta menerbitkan artikel-artikel
dalam bahasa Indonesia melalui “Harian Bernas” yang waktu itu dikelola
kelompok Gramedia atau Kompas. Pada saat itupun tidak ada banyak reaksi
terhadap peringatan-peringatan yang disampaikan penulis. Kumpulan artikel-
artikel tersebut akan diterbitkan pula setelah buku kecil ini. Yang sangat
menyedihkan adalah bahwa pada abad 21 tahun 2008 pun masalah-masalah yang
disinggung penulis masih ada. Ternyata masyarakat Indonesia, termasuk
pengusaha, penguasa, dan para pelaku pariwisata belum belajar dari kesalahan-
kesalahan masa lalu. Buku-buku penulis ini sekarang diterbitkan karena
relevansinya masih ada. Dalam era otonomi daerah banyak pemerintah daerah
kabupaten dan kota mengulang kekeliruan pemerintah nasional orde baru. Dan
buku-buku kompilasi ini diharapkan memberikan gambaran dari sudut pandang
seorang praktisi yang sudah menggeluti dunia pariwisata selama 30 tahun di dalam
dan di luar negeri. Diharapkan buku kecil ini bisa memberikan arahan kepada
yang merasa bersangkutan untuk melakukan pemikiran ulang terhadap kebijakan
pariwisata. Penulis berdoa semoga para pemilik dan manajemen usaha pariwisata
serta para politisi pengambil kebijakan dan pembuat undang-undang (dewan
perwakilan rakyat daerah) saat ini kiranya dapat mempertimbangkan apa yang
disampaikan. Penulis berpendapat bahwa pariwisata daerah berjalan di tempat
karena dasar-dasar ilmu manajemen pariwisata diabaikan. Akibatnya pendapatan
hasil usaha dari bidang pariwisata tidak mencukupi. Dampak ganda (multiplier
effect) pariwisata sangat luas dan bila industri ini dikelola dengan benar ia dapat
menjadi sumber dana pembangunan yang akhirnya mensejahterakan masyarakat.


       Mengapa harus diterbitkan di Sumatera Barat? Karena dalam kerangka
otonomi daerah, pembangunan dan pengembangan pariwisata nasional harus
dimulai dari daerah. Penulis tiba di Sumatera Barat pada tahun 2002 karena
diundang untuk membantu menyelesaikan masalah penggelapan uang yang
dilakukan pimpinan sebuah usaha akomodasi milik swasta. Ternyata penulis jatuh
cinta pada apa yang dilihatnya di Ranah Minang. Kesimpulan penulis adalah
bahwa potensi pariwisata Sumatera Barat melebihi potensi pariwisata Pulau
Dewata (Bali). Hanya saja pengembangannya tertinggal karena kualitas SDM yang
ada dan ketidaksamaan persepsi mengenai pariwisata antara pemerintah dan pihak
swasta. Bali pun sudah memulai pembangunan pariwisatanya jauh lebih awal
daripada Sumatera Barat. Namun setelah 5 tahun berkarya di Ranah Minang,
penulis belum melihat adanya kemajuan yang signifikan. Penulis hanya melihat
dikeluarkannya statistik kenaikan jumlah kunjungan wisatawan nusantara
maupun mancanegara dari tahun ke tahun. Kenyataan di lapangan bagaimana?
Penulis berpendapat bahwa kendala pembangunan dan pengembangan pariwisata
Sumatera Barat terletak pada ketidakpahaman hampir semua segmen masyarakat
termasuk pemerintah dan parlemen akan pariwisata. Tokoh-tokoh adat dan agama
justru berpolemik dengan pemerintah dan pelaku wisata. Tindakan-tindakan yang
diambil pemda bertolak belakang dengan apa yang dibicarakan. Tidak ada political
will (kemauan politk) dari penguasa untuk menyelaraskan ucapan dengan
perilaku. Dan para pelaku sibuk menjalankan praktek “You do it your way, I do it
my way” – Anda lakukan dengan cara anda, kami lakukan dengan cara kami.
Dalam bahasa daerah, mansur – maen surang. Semua berparadigma – Aku lebih
tahu dari kamu.


       Karena kecintaan penulis pada dunia pariwisata dan pada masyarakat
Sumatera Barat (Minangkabau, Mentawai, Pendatang) maka penulis merasakan
urgensinya menerbitkan buku ini. Buku ini penulis persembahkan kepada mereka
yang masih menunggu durian runtuh pariwisata. Semoga buku ini menjadi
sumbangsih kecil penulis dan mendorong semua yang berkepentingan untuk
berbuat dalam persatuan dan kesatuan visi dan misi. Insya Allah.
PROFIL PENULIS


      Terlahir pada tanggal 29 Juni 1950 Masehi atau 13 Ramadhan 1369
Hijriyah di Semarang, Jawa Tengah, Rudolf Willem Smit, akrab dipanggil
Rolf, adalah putra sulung dari Arie Rudolf Cornelis Smit dan Sophia Jeanette
van Sprew. Pada tahun 1964 bulan Juli seluruh keluarga Smit diboyong ke
Manila, Philippines, karena ayahanda diangkat menjadi perwakilan Minet
Insurance Brokers dari Inggris. Di Filipina Abdullah tamat pendidikan High
School di Sacred Heart Seminary di Angeles City, Pampanga. Pada tahun
1968 dia memasuki University of the Philippines, Diliman campus, Quezon
City dan memperoleh BA bidang Anthropology. Petulangannya di dunia
akademis dia selesaikan tanpa menggunakan dana orangtua tetapi kuliah
sambil bekerja sampai ia akhirnya mendarat di negeri Paman Sam dan
memperoleh Ph.D. Tourism Management di Gordon University, Florida,
USA. Dengan motto hidup “Everyday I Learn Something New” ia mulai
merintis karir dalam bidang pariwisata dengan menjadi Educational Travel
Program (ETP) Deputy Director di Youth and Student Travel Association of
the Philippines, Manila sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang Wisata
Pelajar dan Pemuda berskala internasional. Keinginannya untuk berlanglang
buana tanpa mengeluarkan dana sama sekali membawanya ke bidang
perhotelan di Indonesia yang dimulai pada tahun 1978 sebagai Sales Manager
di Hotel Borobudur Intercontinental. Kemahirannya berbicara dan menulis
dalam bahasa Inggris membuat banyak hotel mengincarnya sehingga ia
kemudian masuk sebagai Marketing Manager di Hotel Sahid Jaya, Marketing
Manager di Hotel Horison, semuanya di Jakarta. Ingin mempelajari segala
aspek pariwisata ia bergabung dengan Travair Buana menangani Royal
Brunei Airlines, Air Canada dan Alitalia. Rupanya daya tarik dan tantangan
dunia perhotelan menariknya untuk kembali berkecimpung sebagai Director
of Sales di Hotel Hyatt Aryaduta (Jakarta), kemudian sebagai Resident
Manager merangkap Marketing Manager di Mambruk Beach Resort (Banten),
General Manager Pulau Ayer Resort Hotel (Kepulauan Seribu, Jakarta),
General Manager Dewata Beach Resort (Bali). Disela tugas-tugasnya sebagai
hotelier ia masih sempat juga berkarya (Associate Editor) bersama alm. Joseph
Iskandar (Penerbit) menghasilkan media pariwisata Guide to Jakarta
(Penerbitan resmi Kanwil Parpostel dibawah Saleh Tjakraamidjaja) selama 3
tahun yang beredar di kamar-kamar hotel berbintang Jakarta dan kantor-
kantor promosi pariwisata Indonesia di luar negeri.
      Jenuh dengan operasional hotel serta sadar akan ketertinggalan
sumber daya manusia Indonesia pada umumnya dan khususnya SDM di
dunia pariwisata suami dari Riana Lipiana ini bertekad menjadi konsultan
manajemen pariwisata dan trainer-motivator merangkap sebagai konselor
bagi mereka yang memiliki permasalahan hubungan dengan pasangan.
Selama 10 tahun terakhir sebagai trainer manusia bershio macan ini telah
melatih SDM perusahaan-perusahaan swasta dan BUMN seperti Telkomsel,
Indosat, Telkom Divre II, di Jakarta dan di Sumatera Barat selain menjadi
narasumber tetap di Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Provinsi serta
beberapa Dinas Pariwisata tingkat II lainnya Abdullah juga melatih baik
secara outbound maupun secara tradisional beberapa perusahaan swasta
seperti Panamas, Semesta Finance, Bakrie Pasaman Plantations, Hexindo,
Hotel Bumiminang dan Nuansa Maninjau Resort, Hotel Novotel Bukittinggi,
Hotel Pusako Bukittinggi dan Sikuai Island Resort, Hotel Quality Pekanbaru
(sekarang Grand Elite), RSUD Achmad Mochtar, RSUD Padang Panjang,
Dinas Kesehatan Payakumbuh, Dinas Kesehatan dan Sosial Tanah Datar,
RSUD Sawahlunto. Salah satu kesibukannya adalah menjadi penceramah di
berbagai seminar yang diselenggarakan berbagai organisasi seperti Gabungan
Organisasi Wanita (GOW) dan sebagai dosen pariwisata di dua lembaga
pendidikan swasta.
Setelah pergulatan batin selama belasan tahun, Rolf akhirnya pada
tahun 1997, sepekan sebelum Ramadhan, mengucapkan dua kalimat syahadat
di Mesjid Istiqlal Jakarta didampingi sahabatnya Poniman Kasturo. Setelah
berguru pada Haji Tjetjep Soedarmadi, yang menjadi ayah angkatnya, Rolf
diberi nama Abdullah dan sejak saat itu lebih dikenal sebagai Abdullah
Rudolf Smit.
      Bapak     dari   Raihan   Kaeni   dan   Rizwan   Denendra   sekarang
mengkhususkan diri merancang dan mengembangkan Pelatihan Kesadaran
Cinta (Love Awareness Training) sebagai sarana menyadarkan manusia
bahwa segala sesuatunya di alam semesta ini akan lebih bisa dipahami dan
manusia dapat menjalankan kehidupan tanpa banyak menimbulkan stres
apabila disadari bahwa kehidupan tanpa cinta sejati akan membawa
kebahagiaan sejati. Bersama Ridwan Tulus dari Sumatra and Beyond Tours &
Travel, ia memulai kegiatan baru di Sumatera Barat, yakni Pelatihan
Outbound.      Pelatihan   Outbound     adalah   metoda   pelatihan   yang
mengkombinasikan pelatihan dalam ruang dengan alam terbuka. Pelatihan
Outbound yang dikembangkan berfokus pada team building, leadership dan
communication.
ALTERNATES IN TOURISM
December 5, 1988

       In the ASEAN countries, with the exception of Brunei Darussalam, the
numbers game is the game played in the development of Tourism. Even in
Indonesia, politically, government officials every now and then dish out
figures on visitor arrivals, their daily expenditures and their length of stay.
Journalists, on the other hand, fall into the same trap reporting a lot of figures
in the newspapers which most readers don‟t even understand or give a hoot.
For the readers who are in the know also have no use for these published
figures. What is more dangerous is the fact that statistics can be used to
support any premise, for good or bad, to please superiors or justify political
statements. We still vividly remember when a few years ago the magic
number of 1 million tourists was bandied about as the target. We know very
well that this figure was never achieved within the time frame specified.


       We in Indonesia also have the habit of comparing our tourism results
with Singapore, Malaysia and Thailand which in terms of arrivals and
amount of funds allocated for promotions through their respective National
Tourist Offices are way above us. For years, we envy the performance of our
neighbours. For years, the hotel and travel industry of Indonesia kept on
harping the same tune that the government must put more promotion money
for tourism. Little do these people realize that for a country the size of
Indonesia the priority is the development of the nation so that hundreds of
millions of mouths can be fed, so that sufficient shelter be provided, so that
the millions can be clothed. Tourism certainly bring in much needed foreign
exchange but for the government to allocate millions of dollars to produce
tourism movies, to produce millions of brochures, to conduct tourism sales
missions, and God knows what else, is not only unwise but foolish.


       The Indonesian value of Gotong-Royong, doing things together, has
been successful in carrying out many political, social and economic activities.
The same is true with tourism promotion even though not many people know
about it. The private sector in its effort to lure tourists to the country to fill in
the hotels and provide business to the travel agents has spent in aggregate
millions of dollars in promotion. The government also has its share by
encouraging investment missions, cultural exchanges, and many other
government activities abroad to also promote the beauty of its land and
peoples. The end result is the increasing number of tourists to our shores. As
Joop Ave, Indonesia‟s Director General of Tourism, has said “You can only
find in Indonesia a double-digit growth in tourism arrivals not backed up by
an enormous amount of money. The formula used in other countries of
spending a certain amount of dollars per tourist simply does not apply here. If
you count the number of arrivals and the amount spent by the Directorate
General of Tourism, you will wonder how did we do it.” There is only one
explanation for this phenomenon, acknowledged by our ASEAN neighbours,
and that is Gotong Royong. Everybody involved in the tourism industry has
contributed to the growth of tourism even if outwardly it appeared that the
promotional budget is miniscule.


TOURISM A LA CARTE
       While we are captivated by quantity, a mark of mass tourism, we
ought not to forget that entering the third wave of Alvin Toffler, we are
overlooking a sizable slice of the market in Europe and America which is
growing and shuns grouptours. The importance of this market was discussed
at a Seminar on ALTERNATES IN TOURISM, organized by The Centre for
the Development of Tourism, Atma Jaya Catholic University in cooperation
with the Institute for Indonesia Tourism Studies, last November 26, 1988.


       Tourism A La Carte or Do-it-yourself Tourism or Personalized Tourism
should not be confused with the bag-packers or as some people would call it
“rucksack/hippy travellers.” The former differs from the latter in many
significant ways as outlined by Harry Haas, an intercultural expert, who
spoke at the Seminar. The A La Carte tourists are between 25 and 35 years of
age, well educated and knowledgeable on the countries they wish to visit,
with good income but not only interested in luxurious hotels but also in lower
categories accommodations, food sophisticated on the cuisine of the countries
to be visited, and open-minded with a desire to learn. These are people who
are not only after recreation but more so are interested in cross-cultural
experiences. Another group belonging to the category are the women who
don‟t want to trail behind their husbands but want to meet women elsewhere
and see diferent situations for themselves. They are not only the feminists.
Tourism after all is not a “sexy” business but a cultural experience.


       Another group that forms a tremendous market are the senior citizens.
They may have travelled in the past and have more experience seeing the
world not through books. They are stronger with more stamina than the
present generation which are more prone to ailments on account of an easier
life. There are also senior citizens who have worked hard all their lives and
want to see the world shaped by others.


       With the advance of technology and thus education, a group of
professionals concerned with global issues such as environment, nutrition,
health, education, communications, human rights, etc want to meet their
counterparts in other parts of the world and team up with them.


       Harry Haas sums it up by saying “Tourists a la carte, given the chance
and facilities, are found at all levels of society, in all age categories. And their
number is definitely on the increase.”


WHAT TO DO
       Mass tourism which is now being carried out is structured as a
monoculture with the environment carrying most of the brunt. Polluted
beaches and streams, spoilt magnificent landscapes, water management
problems, garbage disposal problems, not to mention the disturbed habitat of
flora and fauna are only a few. The infrastructure required such as roads,
traffic facilities and layout often disrupt natural sites. From the economic
point of view very often investments and dividends flow largely back to
“absentee landlord” sources. Profits are relatively little and staff comes from
elsewhere. Not to mention income generation downwards into a region is
modest, slow and sometimes seasonal. Disruptions to the local culture are
only too well known.


       Mass tourism is also susceptible to local instabilities. Demonstrations,
an epidemic, political violence can cut drastically the flow of group tours into
a country. Group tour cancellations from Japan to South Korea and Bali in the
past, or cancellations of American groups to the Philippines attest to the
dilemma faced by Asian governments.


       Diversification is the answer. More hotels of the 3-star and lower
category but maintained according to international standards. Indonesia, for
example, has many infrastructures and facilities for domestic tourism. There
are enough medium level facilities which will be appreciated by foreigners
with a little upgrading. Little capital is required to improve these hotels.


       Travel agents need to have more guides from the local area who live
the culture of the area, in fact they don‟t need to be professional but simply be
themselves in hosting guests. Guidebooks should be more factual about the
ways of life of a people in an area. Glossy pictures which are not exact
representations of the real things and standardized tips and history must be
supplemented or replaced with descriptions of what is rubber time, what to
wear when entering religious centres, how to eat with the hands, why holding
someone‟s head is prohibited because it is offensive to the locals, and many
other descriptions which give a better idea of how the “receiving” inhabitants
live, to avoid the negative impact of inter cultural contact.
TOURISM AWARENESS
      The second quarter of 1989 marks the beginning of the Tourism
Awareness Campaign by the Tourism, Post and Telecommunications
Ministry. SADAR WISATA as it is called in Bahasa Indonesia will be aimed at
all sectors of the community, from government officials and civil servants to
the members of the tourism industry itself, the press and residents of the
country. However, this campaign should not only concentrate on teaching
what tourism is all about, or how to behave properly to visitors but also how
to be a good human being in general. H. Kodhyat, Director of the Institute of
Indonesia Tourism Studies, questioned the need for a campaign that focuses
on something that must be a general attitude and behavior of the people but
applicable only in tourism. “If the public are taught good manners, then they
will not cheat, they will not steal, whether to tourists or fellow citizens.”
Certainly, this writer strongly believes that the upcoming campaign must be
directed first to the officials who serve as the gatekeepers of this country.
Visitors to this lovely shores of Indonesia will encounter on their arrival
immigration and customs officers and they are the ones who have to be
reminded that we Indonesians are warm, smiling and hospitable people. Our
government officials have forgotten what our ancestors have practised for
centuries – HOSPITALITY to visitors. Then, residents of cities should be the
next target. The rural populace normally still retain the good old ways of
treating visitors but maybe they need to be educated in how to communicate
with the people of strange tongues and appearances.


      Alternates in Tourism can be the Standards in Tourism once the whole
nation is tourism-oriented. Personalized tours for individuals will pose no
problem for the travel agents and for the community. The accommodation
business in the regions will flourish because “the need for guesthouses and
homesteads rests on social and cultural reasons , less on strictly economic
ones, as this breed of tourists is fairly well-to-do,” says Harry Haas. When
Tourism a la carte is connected to the Tourism Awareness Campaign, then
will we be able to see the growth of the industry because its growth will come
from below and not one imposed from above, from the capital.


       Let us hope that the coming 5 years will bring not only the much
needed foreign exchange from tourism but bring as well friends created
created by this 25% of the tourism market because they know and learn about
our culture in their personalized tour of Indonesia. THERE IS AN
ALTERNATIVE.


PENJELASAN


       Kecenderungan      lembaga-lembaga    (termasuk      pemerintah)    yang
berhubungan      dengan    kehidupan    ekonomi    masyarakat,      diantaranya
pariwisata    adalah    memunculkan    angka-angka    atau     statistik   untuk
menunjukkan pada dunia bahwa kegiatan mereka berbuah, menghasilkan,
dengan membandingkan statistik kini dibandingkan dahulu. Umumnya,
angka-angka ini mengabaikan kondisi faktual di lapangan, kesejahteraan
masyarakat. Kalaupun ada pertumbuhan, peningkatan, yang merasakan
dampak positif perkembangan tersebut rata-rata hanya kalangan atas dan
menengah jarang anggota masyarakat lapisan bawah.


       Khususnya dalam bidang pariwisata kita suka membandingkan data
statistik   Indonesia   dengan   negara-negara   tetangga    seperti Malaysia,
Singapura dan Thailand. Cara ini juga tidak tepat karena Indonesia dengan
wilayah yang begitu luas dan jumlah penduduk yang berperingkat nomor 5
dunia memiliki prioritas lain seperti pendidikan, penyediaan sandang-
pangan-papan bagi ratusan juta penduduknya. Tetapi ironisnya setiap tahun
pariwisata digembargemborkan          sebagai pemasok devisa yang besar.
Menurut saya masalah pariwisata bukan masalah ada dananya atau tidak
tetapi bagaimana dana yang ada dialokasikan. Bila kita hanya mengandalkan
APBN-APBD tanpa ada kontribusi signifikan dari pihak pelaku pariwisata
sendiri, khususnya pemain-pemain besar, maka pariwisata Indonesia akan
begitu-begitu saja. Setiap tahun hanya bicara berapa wisman yang masuk.


         Bila pariwisata dianggap sebagai suatu industri yang menghasilkan
suatu produk maka kontribusinya terhadap negara bisa dikatakan cukup
signifikan. Statistik menunjukkan bahwa pendapatan negara dari sektor ini
cukup besar. Indonesia adalah pengekspor pariwisata. Tetapi mengapa
anggaran belanja negara untuk pariwisata tidak seberapa dibandingkan
produk-produk ekspor lainnya seperti minyak, gas, produk-produk hasil
bumi dan pertambangan? Padahal produk ekspor tersebut bersifat terbatas
dan suatu saat akan habis. Sementara produk ekspor yang namanya
pariwisata tidak akan pernah habis selama manusia ada di planet ini.
Mengapa pejabat-pejabat negara banyak bicara mengenai pentingnya
pariwisata, termasuk yang di daerah, tetapi hanya asbun (asal bunyi) tanpa
dukungan konkrit diantaranya dengan menyediakan anggaran yang
memadai? Mengapa para pengusaha pariwisata hanya bisa mengkritik
pemerintah saja perihal perannya dalam pembangunan dan pengembangan
pariwisata? Saya melihat selama tidak ada kesamaan visi dan komitmen
pariwisata Indonesia akan jalan di tempat dan kita akan ketinggalan negara-
negara ASEAN lainnya. Padahal potensi pariwisata Indonesia tidak ada
duanya di dunia. Dalam hal potensi saya tidak asal bicara tetapi berdasarkan
pengamatan pribadi saya selama melakukan perjalanan wisata ke berbagai
benua.


         Masalah utama pariwisata Indonesia adalah riset pasar dan pemasaran
serta kualitas SDM pariwisata yang ada, termasuk mereka yang punya
modal. Banyak pengusaha pariwisata yang sama sekali tidak mengerti
pariwisata. Saya bisa buktikan itu dengan jelas. Lihat saja produk-produk
wisata yang mereka pasarkan. Yang dipasarkan dan dijual yang itu-itu saja.
Tidak ada inovasi, tidak kreatif karena tidak paham pasar. Kita masih
mengandalkan wisata masal, volume yang dikejar bukan profit margin. Kita
masih berpikir bahwa volume menghasilkan laba besar. Paradigma ini sudah
ketinggalan   zaman.    Yang   tidak   disadari   adalah    bahwa     wisatawan
berkelompok besar akan menyebabkan biaya besar pula. Saya berikan contoh.
Kalau biro perjalanan wisata mengandalkan wisnus, yang cenderung
berwisata berkelompok (group tour) karena murah biaya per orangnya,
untungnya sedikit. Tetapi kalau yang digarap adalah wisman, jumlahnya per
kelompok kecil tetapi untungnya besar. Berdasarkan pengamatan saya
membawa 10 wisman tour 7 hari di Sumatera Barat menghasilkan laba yang
sama dibandingkan membawa 40 wisnus. Bayangkan ruwetnya dan
capeknya kita mengatur 40 orang ketimbang 10. Contoh kedua adalah
menangani wisatawan kelas atas, dengan jumlah sedikit, jauh lebih
menguntungkan daripada menangani wisatawan kelas menengah meskipun
jumlahnya banyak.


        Banyak alternatif dalam mensasar pasar. Ada istilah segmen dalam
ilmu pemasaran. Segmen dulu didasarkan pada statistik demografis – jender,
usia,   tempat   tinggal,   pendidikan,   kebangsaan,      golongan    ekonomi,
penghasilan, profesi. Sekarang ada segmen yang diklasifikasi berdasarkan
data psikografis. Tujuan berwisata, warna kesukaan, makanan kesukaan,
disain kesukaan. Pilihan pribadi menjadi dasar penggolongan. Istilah diganti
untuk kelompok ini, bukan lagi segmen tetapi ceruk (niche) karena bersifat
lebih spesifik pilihan jiwa. Segmen bisa dirinci lagi menjadi ceruk. Alasan
psikis anggota pasar memilih sesuatu produk atau jasa dijadikan
pertimbangan.


        Dalam pariwisata segmen pasar juga bisa lebih dirinci. Alasan
perjalanan harus sudah mulai diteliti walau belum semua segmentasi
dipertimbangkan. Misalnya, golongan usia pensiunan (di budaya Barat
disebut senior citizens) jarang sekali dijadikan sasaran. Kecenderungan pelaku
wisata Indonesia adalah menilai segmentasi budaya lain dengan kacamata
budaya sendiri. Inilah kekeliruan terbesar dalam menggarap pasar wisman.
Di negara-negera maju (umumnya di belahan barat bumi) para pensiunan
berada dalam kondisi ekonomi mantap. Mereka telah menabung bertahun-
tahun supaya pada masa pensiun mereka dapat menikmati keindahan,
eksotisitas, budaya dan lingkungan alam di luar negeri mereka sendiri.


       Mereka yang cacat fisik di Amerika Serikat dan Eropa adalah segmen
pasar lain yang jarang dijadikan sasaran pemasaran pariwisata Indonesia. Di
Amerika Serikat para penyandang cacat dilindungi undang-undang. Ada
pemberhentian bis khusus, penyeberangan khusus bagi pengguna kursi roda.
Mereka tidak bisa didiskriminasi karena kecacatan fisik mereka. Mereka juga
mantap secara ekonomi dan ingin berwisata. Segmen ini malah sama sekali
tidak dilirik. Memang fasilitas akomodasi (hotel) perlu juga disesuaikan
dengan kondisi fisik mereka. Misalnya, pintu harus dibuat pintu geser dan
lebarnya pintu dibuat lebih supaya wisatawan dengan kursi roda bisa
membuka pintu sendiri dan masuk. Bahkan kamar mandi dan bath tubnya
pun harus dilengkapi dengan fasilitas yang memungkinkan penyandang
cacat mandi secara mandiri. Lift, tangga, tingginya tempat tidur, sampai ke
tempat parkir khusus untuk penyandang cacat harus disediakan.


       Alternatif lain adalah para ilmuwan sosial negara-negara maju yang
ingin menjadi wisatawan tetapi sekaligus mempelajari budaya suatu tempat.
Umumnya segmen ini tinggal lebih lama di suatu lokasi dan cenderung
tinggal di akomodasi yang lebih sederhana daripada wisatawan elite. Lama
tinggal mereka berarti lebih banyak pemasukan bagi pelaku wisata.


       Kaum perempuan mandiri dari negara-negara yang maju juga adalah
segmen pasar lain yang dapat dijadikan sasaran. Mereka umumnya berasal
dari   kalangan   eksekutif,   para   pemasar,   dan   profesi-profesi   yang
mengharuskan mereka untuk sering bepergian.
Bila kita mulai mentargetkan segmen-segmen pasar yang lebih spesifik
maka ada beberapa hal yang perlu kita persiapkan. Saya sudah menyebutkan
kebutuhan pasar penyandang cacat. Pasar pensiunan juga membutuhkan
fasilitas dan jasa yang sesuai dengan usia mereka. Jasa medis misalnya perlu
disiapsiagakan. Bagi segmen perempuan karir mandiri yang dibutuhkan
adalah fasilitas kamar yang biasanya dibutuhkan wanita seperti pengering
rambut (hair dryer), cermin memanjang ke bawah supaya mereka bisa melihat
apakah busana yang dipakai sudah pas.
INTANGIBLE ASPECTS OF MANAGEMENT
August 9, 1997


       If you work in tourism and occupy a management position, you must
be ready to work in different cultural environments. You may be posted in
different cities or even countries which have a totally diferent culture than
yours. One skill you need to have to survive in a different cultural
environment is multicultural skills, a soft skill (human related skills) that is as
important as other hard skills (marketing, accounting, engineering).
Tourism management involves the ability to adjust to the cultures of
employees as well as the cultures of customers. Individuals perceive a
particular service differently from others and one factor that affects this
perception is the culture under which an individual grows up. Foreign
managers, for example, bring the way of life, the norms, the habits which they
are used to that may not be understood by the employees, staff and customers
they serve. The inability to adjust create conflict which are counterproductive.
Our experience working with the Balinese is completely different than
working with the people from Banten, West Java. In Bali, for example, a
manager cannot simply apply the rules and regulations determined by the
manpower department of the national government. Take the case of working
hours, leaves with or without pay, and the like. Employees are entitled to take
their holidays during national holidays. The rule says that if employees are
required to work during national holidays, then they are entitled to a
remuneration twice the daily rate. But what happens if a Balinese employee
must take their leave because of cultural requirements? Let us say that an
employee must participate in a cremation ceremony, or a growing-up
ceremony, or a marriage ceremony in his/her banjar, a very important social
unit in Balinese culture. Management may not approve the leave because the
concerned employee has exceeded his number of leaves. Normally, a Balinese
employee will not heed management and will still go home to the banjar.
Management can then issue a warning or reprimand or cut his/her salary
which in the end will create conflict.


       One way to solve this potential problem is to talk to the work force and
explain that leaves taken because of religious reasons may be taken but must
be exchanged with national holidays. That means during national holidays
these employees work as usual, although most of the national holidays are
based on special holidays of the different religions recognized by the
government. If the workforce consists of different ethnic and religious
backgrounds, management must have the ability to juggle the schedules of
this workforce.


       In Banten area, as in Bali, employees originating from the area will feel
more assured if the company conducts certain religious ceremonies to pray
for blessings from their deities and spiritual protectors. Certain mishaps in a
Banten hotel, for example, are attributed to the incomplete “offerings” made
during the inauguration of said hotel. To appease the gods and give
confidence to the Bantenese workers, the management must conduct sertain
ceremonies involving religious leaders and elders of the community. Believe
it or not, our experience proved that after such ceremonies the mishaps are
reduced or completely disappeared and the employees became calmer and in
several instances more productive.


       To the western mind, it is strange to consider “spiritual” matters as
part and parcel of management but lots of cases in Indonesia attest to this
reality. The way foreign managers communicate with the indigenous workers
and the way they live their lives must take into consideration the locals‟
cultural sensitivities. The concept of time is one aspect that requires careful
handling. Discipline, as it is understood in the west, ought to be
communicated in the “language” of the people. Knowledge of the culture,
with the help of local managers who are aware of such differences, is
definitely a must.


      Indonesia is a diverse country with many ethnic groups and managers,
be they from other countries or Indonesians from other ethnic backgrounds
should consider the fact that Indonesian workers are not homogenous. In one
company you can have Javanese, Sundanese, Bataks, Balinese, Buginese,
Minangkabaus, all working together. Our experience managing a hotel where
you have employees who eat pork and others who do not, due to religious
prohibitions, showed that “problem solving” skills taught in business schools
do   not apply at all. The solutions arrived at must be creative with the
employees included in the discussions on how best to arrive at a modus vivendi
that pleases everyone. Decisions in these cases could not be unilateral from
the top because in the long run business objectives could only be achieved if
the working environment is harmonious. The middle road attained through
“musyawarah” or consensus in the end is the best way.


      Religious ceremonies and cultural solusitons to managerial problems
do entail expenses and therefore must definitely be included in the business
plan of tourism establishments such as hotels, resorts, travel agents‟ offices,
and airports. The opportunities to misuse funds “supposedly” for the above
solutions are many. Only knowledge of the culture can help managers from
making wrong business decisions which are based only on trusting staff of the
“personnel” department.


PENJELASAN


Banyaknya permasalahan yang dihadapi perusahaan-perusahaan dalam masa
krisis ini adalah pertanda bahwa secara makro, ekonomi Indonesia selama ini
telah salah urus atau “mismanaged” dan secara mikro perusahaan-
perusahaan yang tidak “survive” juga telah di “mismanage”. Banyak
pengamat serta pakar bisnis dan manajemen tidak akans etuju dengan
pendapat kami ini tetapi faktanya tetap – bahwa kelangsungan hidup suatu
perusahaan atau suatu ekonomi sangat tergantung pada bagaimana usaha
atau ekonomi itu dikelola. Istilah “management” (bahasa Inggris) harus
dilihat dari rangkaian 3 huruf pertama : MAN (manusia) dan rangkaian 3
huruf kedua : AGE (usia). Maknanya sederhana, yakni dalam meburus atau
mengelola sesuatu kita harus mempertimbangkan bahwa yang mengurus dan
diurus adalam manusia. Manusia adalah faktor paling utama, bukan money
(uang), material (bahan atau sumber daya diluar manusia), machine (mesin),
marketing (pemasaran) ataupun M-M lainnya. Semua itu diatur manusia. Jadi
kalau manusianya tidak memiliki ketrampilan mengatur M-M tersebut diatas,
sudah dapat dipastikan usahanya tidak akan mendapatkan laba.


         Rangkaian 3 huruf kedua – AGE – menandakan bahwa segala
sesuatunya, termasuk manusia, hidup dalam suatu jangka waktu. Maknanya
adalah     bahwa   pola   pikir   (paradigma)      manajemennya    harus   selalu
disesuaikan dengan masanya. Perlu disadari bahwa ciri utama masa moderen
ini adalah “perubahan” yang serba cepat dengan arah yang tak menentu.
Karenanya fleksibilitas dari para pengelola sangat dituntut. Manajemen tidak
dapat lagi mengandalkan cara-cara lama (tradisional) walaupun cara-cara
tersebut pada masa lalu membawa keuntungan. Siapa yang trampil
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan ini akan menang.


         Selain daripada itu, kita juga harus menyadari bahwa manusia bukan
hanya sosok fisik tetapi juga sosok spiritual (gaib). Ada unsur tak terlihat
dalam diri manusia (intangible). Mengatur hal-hal yang dapat ditangkap oleh
pancaindra saja adalah dasar manajemen yang sudah kadaluwarsa. Yang
sifatnta fisikpun seperti uang, mesin, sumber-sumber daya, material,
berubah-berkembang meskipun lebih mudah diantisipasi. Penggunaan
perangkat-perangkat       kerja   baru   seperti    komputer,     produk-produk
komunikasi nirkabel, dll oleh manusia (SDM) dapat ditunda tetapi tidak lagi
pada masa milenium ketiga. Ini berarti para manajer harus pandai mengelola
hal-hal yang “intangible”.


      Budaya, adat-istiadat, cara hidup manusia berbeda-beda dari satu
tempat ke tempat lain. Dengan adanya globalisasi dimana perbatasan-
perbatasan dan pemisah (barrier) antar negara, antar bangsa, antar
perusahaan, terkikis, manusia tidak lagi dibatasi untuk bekerja hanya di
tanah kelahirannya saja. Siapa saja yang memenuhi persyaratan intelektual-
akademis dapat masuk ke negara-negara lain dan mengelola kegiatan-
kegiatan usaha di tempat kerjanya yang baru. Perlahan tapi pasti pemisah
formal yang ditetapkan pemerintah untuk melindungi rakyatnya akan
dihapus. Sekarang saja modal dan pekerja asing sudah dengan mudah masuk
ke Indonesia. Setiap negara berlomba untuk menarik investasi dan “keahlian”
(expertise) dari luar negeri. Lambat laun proteksionisme tidak efektif lagi
dalam melindungi penduduk-pekerja setempat.


      Namun demikian, pemikiran bahwa globalisasi akan dimenangkan
oleh budaya kehidupan dan korporasi yang dominan dan menghilangkan
budaya yang kurang kuat menurut kami tidak akan terwujud secara sukarela.
Kecuali bila budaya yang dominan, misalnya dari negara-negara kawasan
utara (maju) seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, memaksakan diri pada
negara-negara kawasan selatan (berkembang). Mengapa demikian? Karena
hal ini bertentangan dengan sifat manusia. Penyeragaman tidak akan
berhasil. Sudah menjadi kodrat manusia untuk hidup dengan cara-caranya
sendiri. Pemaksaan akan selalu ditentang. Pencucian otak melalui media
elektronik (sudah berjalan) juga pada akhirnya akan menemui kegagalan.


      Dunia pariwisata khususnya sudah mengakibatkan pertemuan antara
budaya yang bila dijalankan sebagaimana mestinya secara alamiah, untuk
mengenal bangsa-bangsa dan budaya-budaya lain, membutuhkan para
manajer yang memiliki “multicultural skills”. Yakni, ketrampilan untuk
menyesuaikan diri dengan budaya setempat. Misalnya dalam dunia
manajemen perhotelan kita mengenal perusahaan-perusahaan manajemen
multinasional dan transnasional seperti Hilton, Hyatt, Sheraton, Holiday Inn,
dll. Keberhasilan para manajer berketrampilan antar-budaya sudah terlihat
dari banyak kinerja mereka di negara-negara berkembang.


      Ketrampilan    antar-budaya    tidak      diajarkan   dalam   buku-buku
manajemen dan tidak pula dalam sekolah-sekolah manajemen pariwisata.
Sudah menjadi tanggung jawab pribadi para manajer yang ditugaskan di
suatu daerah untuk mempelajari terlebih dahulu budaya dimana ia
ditugaskan dan bersama-sama dengan manajer lokal mencari pendekatan
yang paling cocok bila berurusan dengan sumber daya lokal maupun dengan
penduduk setempat. Seperti telah menjadi kebiasaan beberapa negara yang
sebelum mengirim diplomatnya ke negara lain mensyaratkan kemampuan
berbahasa lokal negara dimana ia akan ditugaskan atau minimal memberikan
preferensi kepada diplomat yang akan atau sudah mempelajari bahasa
daerah kemana ia akan dikirim. Perhatikan saja beberapa diplomat Australia
di Indonesia, misalnya. Pada saat tulisan ini (akhir 2001) Dutabesar Kerjaaan
Inggris, Richard Gozney, juga dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.
Mengapa praktek ini tidak dilakukan juga untuk para manajer bisnis
pariwisata, khususnya perhotelan, biro perjalanan dan penerbangan?


      Bila hal ini dapat dilaksanakan lintas negara, tidaklah sulit untuk
mewajibkan manajer Indonesia yang berasal dari suatu daerah, katakanlah
Sumatera Utara, untuk mempelajari terlebih dahulu norma-norma yang
berlaku di Bali sebelum ia ditugaskan disana.
COMPUTERIZATION OF HOTEL OPERATIONS
November 15, 1997


       A decade and a half ago a 5-star hotel in Jakarta decided to ride the
information wave and computerize at least the front office operations first
followed by the accounting and other back office operations. When we talk of
the back office we are referring to the housekeeping, engineering, kitchen,
purchasing and personnel departments. Accounting is considered a back
office operation but because of its intimate links with the front office and food
& beverage outlets it is ideal for the hotel to computerize the front office and
the accounting departments at the same time. However, if a choice has to be
made, probably because of budget constraints, front office operations can
proceed ahead of accounting.


       Unfortunately, hotel management was not aware that computerization
did not only consist of simply placing a computer terminal at the front office
but that the whole hotel management must know the compatibility of the
software used. How the linkages would work, whether the software can
interface with other operations, and whether the language used can be easily
understood by the operators, who are the employees, are only a few of the
considerations before management decides to computerize. Ignorance of these
matters created havoc and the needless funds expended to rectify the
problems could have been avoided.


       The question that should be raised is not whether a hotel must
computerize or not but how does it begin the computerization process. We
are undergoing a technological revolution and no business can expect to
survive much less to make a profit without technology. In the beginning we
have two kinds of recations to computerization. Fear or Enthusiasm. Many
people are simply fearful of what this new way of operating business will do
to their comfortable way of doing things, while others with foresight
enthusiastically embrace it, even if they are not sure what kind of animal it is.
Nowadays, in major destinations most star-rated hotels are using computers
but may not computerize their operations. Many small hotels still use
computers but only as word processors replacing the manual and electrical
typewriters for administrative workers. Others have made the important step
of computerizing part of their operations but using softwares that they are not
familiar with, thus hampering operations instead of enhancing it. Many
owners and management of hotels in this country do not know why
computerization is necessary. Some think that by computerizing their
business operations their profits will immediately soar. Some think that
computerization is the super solution to all their management problems.
Some computerize because it bestows prestige on them. At least, avoiding the
stigma that they are behind the times.


       Computers are actually tools for management to arrive at decisions
faster and hopefully better. Hotels are service businesses with the people as
the main recipients of these services. Computers can not and will not be able
to take over all of the servicing functions done by humans. Computers are
machines to aid hoteliers in pleasing customers. The speed with which
computers handle data will leave more time to the service providers to
concentrate on giving their full attention to guests. But these facts are foreign
to many managers.


       How do we do it, then? First let me mention that I am of the belief that
computerization must be adjusted to the style of management of the user not
the other way around. I have seen many hotel management adjusting the way
they manage to the computer software just because they bought a software
from overseas on the say so of a friend or business relations. Or they succumb
to the charms of the software sales executive.
Each hotel must have a management system that is suited to its own
needs. This means that there is at least a manual way of doing it. When you
computerize you should be introducing the parameters of your own
management system to the software. Ideally, you must be able to produce
your own software. But because software companies have developed
programs with universal management parameters in mind, with variations
that apply to some countries but not to others, you can buy one that is most
compatible with your needs. The trouble is that you have to study the
strength and weakness of so many softwares for which you have no time, no
expertise and no budget. Why is it necessary to have a manual operational
system as a basis? Because as with any technology, when things go wrong the
operators/the employees using the computers, have nothing to fall back on
resulting in service disasters. I once experienced delayed check-in at an airline
counter just because the computer is down and the airline staff did not know
how to operate the check-in manually.


       Other preparations before computerization include training all the
employees to be computer-literate, then training the users in the software to
be used, preparing in-house technicians to be repairers of faulty hardware,
setting up an EDP department with qualified software staff, and many more.
It is a common sight now to see receptionists at the front desk with their eyes
glued to the monitors while checking-in or checking out guests. Gone are the
days when the receptionists engage the guests in a friendly banter with eye
contact among them. Obviously the software is not user-friendly and or the
receptionist is not trained in the operation of the computer.


       Back office computerization including accounting is even more
complicated because of the zillions of data you must input. A small mistake
and you will have a totally wrong report leading to management making
wrong decisions. GIGO – garbage in, garbage out. If operators of the
computers are not highly trained, you will only have a management
nightmare. So, be careful before you decide to computerize. Ask the advice of
those who have gone through hell and back.


PENJELASAN


       Tidak diragukan lagi bahwa komputer sudah menjadi kebnutuhan dan
bukan lagi sesuatu yang mewah atau aksesori yang bisa memberikan suatu
rasa   gengsi     pada   pemilik   dan   pengelola   hotel.   Kami   tidak   bisa
membayangkan suatu usaha yang sama sekali tidak menggunakan komputer.
Mungkin saja usaha kecil seperti warung atau usaha sejenisnya belum
menggunakan komputer karena pemilik usaha merasa bahwa nilai transasksi
yang mereka miliki tidak membutuhkan suatu perangkat seperti komputer,
cukup saja dengan kalkulator. Sekarang malah ada perangkat menghitung
nyang btradisional tetapi menemukan kembali kegunaannya, yakni sempoa.
Dalam banyak hal sempoa akan sangat menguntungkan dilihat dari segi
kecepatan dan keakuratan, namun kami belum dapat membayangkan suatu
hotel berbintang atau bermelati tinggi menggunakan perangkat ini.
Kompleksitas operasional hotel menengah dan besar pada saat ini hanya
dapat dilaksanakan secara akurat dan cepat bila menggunakan komputer.
Bahkan    hotel    kecilpun   (penginapan,   losmen,    wisma,    guest   house)
membutuhkan komputer minimal untuk kegiatan akunting dan surat-
menyurat. Salah satu kelebihan dalam menggunakan komputer adalah
kemampuannya untuk mencetak suatu laporan dengan cepat. Sesuatu yang
menurut kami tidak dapat dilakukan oleh sempoa yang manual.


       Yang menjadi masalah adalah bahwa banyak pengelola maupun
pemilik    hotel     belum    mengetahui     bagaimana        mengkomputerisasi
operasionalnya. Memasang komputer dengan piranti lunak yang tepat tidak
hanya sekedar membeli piranti keras dan piranti lunak yang ditawarkan
penjual. Pertama, Manajemen bila ingin efektif dala mmegoperasikan hotel
dengan menggunakan komputer sebagai salah satu alat bantu harus memiliki
suatu sistem yang baku. Baru kemudian membeli piranti lunak yang cocok
atau mendekati sistem yang dipergunakan. Ini berarti bahwa pengelola harus
mengenal berbagai piranti keras dan lunak yang beredar di pasar,
mengevaluasinya, dan memilih sesuai kemampuan anggaran, kemudahan
menggunakannya       (user-friendly),   jaspurna   jualnya,    dan      kemampuan
meningkatkan kapasitas memori dan kecepatan servernya tanpa harus selalu
mengganti piranti kerasnya. Melatih sumber daya manusia hotel dalam
menggunakan komputer yang disediakan adalah suatu keharusan. Tapi
jangan lupa! Hotel dan usaha wisata lainnya adalah suatu usaha jasa dimana
penyedia layanannya adalah manusia. Apabila pekerja hotel, perusahaan
penerbangan atau biro perjalanan wisata, kurang menguasai penggunaan
komputernya dengan baik, maka seluruh perhatiannya akan terfokus pada
alat daripada pada pelanggan. Hal ini jelas bukan suatu pelayanan yang
menyenangkan atau ramah, baik untuk si operator komputer maupun untuk
sang pelanggan.


        Teknologi diciptakan untuk memudahkan pekerjaan manusia bukan
untuk menguasai manusia. Banyak pekerjaan di hotel membutuhkan
kehangatan manusia. Untuk itu kita tidak dapat menteknologikan atau
mengkomputerisasi secara penuh semua kegiatan di hotel. Misalnya kegiatan
tata graha, tata boga, pertamanan, keamanan, rekrutmen, pendidikan dan
pelatihan sumber daya manusia. Selain daripada itu, teknologi atau dalam hal
ini komputer harus digunakan pengelola atau pemilik suatu usaha untuk
dapat    mengambil    keputusan     dengan    cepat   dan      akurat    mengingat
keterlambatan dan kekurangakuratan mengambil keputusan bisnis dapat
berakibat kehilangan pasar. Persaingan usaha yang semakin ketat dan global
menuntut pimpinan perusahaan apapun dan para pekerjanya untuk melek
komputer.


        Pada akhirnya GIGO (garbage in garbage out) harus menyadarkan kita
bahwa     manfaat    komputer     sangat     tergantung       pada   siapa   yang
menggunakannya. Memasukkan data yang salah akan menghasilkan
keluaran yang salah pula. GIGO adalah sampah masuk sampah keluar, Jadi,
komputerisasi operasional hotel tidak berarti memasang monitor komputer di
atas meja untuk pamer. Ada banyak hal yang harus diketahui dan dilakukan
bila hotel ingin secara sukses menggunakan komputer.
INTEGRATED MARKETING – IS IT POSSIBLE?
September 27, 1997


       The question whether Integrated Marketing is possible or not should
not even be raised. In tourism or in other types of businesses marketing and
sales are two of the most important management functions. The question is
not about whether a particular service company implements marketing or not
but whether the marketing mix is fully carried out. Not the overused 4Ps of
traditional marketing, namely Product, Price, Place and Promotion but a
combination of sub-mixes which are appropriate for tourism, namely
Product-Service mix, Presentation mix and Communication mix. The second
consideration is, once a service company (hotels and restaurants, travel agents
and tour operators, airlines, tourism parks, etc.) professionally implements
the combination of 3 sub-mixes mentioned, whether it can cooperate with
other similarly interested service companies to sell the destination.


       Indonesian tourism is now experiencing such a management problem.
On a micro level, many tourism establishments do not know what is
marketing and if they know, intellectually, they do not know how to
implement it. On a macro level, these establishments have difficulties getting
together, even if the government provides the push, and market the
destination for the benefit of all. The feeling of distrust for one another,
fanned no doubt by the spirit of competition and „commercial‟ factors, negates
everything constructive that tourism is supposed to bring.


       Now we hear travel agents, tour operators and hotels protesting the
airlines for reducing their flight frequencies and even eliminating certain
routes. By not flying into certain areas the number of tourists automatically
drops. We also hear quite regularly the complain that the local governments
do not remit their share of the development tax which is allocated for tourism
to the national tourism promotion board. We also routinely hear and read the
so-called „prive war‟ among the hotels and among the travel agents. The
motto seems to be “each to his own”. Apparently, the Darwinian concept of
“the strongest and the fittest survives” still applies.


         This must not be allowed to continue because in the end those
benefitting from the in-fighting are our competitors, in this case other
countries that also depend heavily on tourism for their foreign exchange.


         By applying the marketing mix on a macro level, on a national level,
we can, I believe, achieve the goals that the government has set its sights
upon. This obviously benefits everybody. Hotels will have more of their
rooms occupied; travel agents and tour operators will have more tourists to
handle; airlines will have more of their seats sold; tourism objects will have
more visitors; the small hotel suppliers will have more orders to fulfill;
souvenir shops will have more buyers to sell their products to; and son and so
forth.


         Let us take the first sub-mix, Product-Service mix. In tourism, the
quality of the facilities are not enough. A tourism product always has a
service component. A deluxe facility means nothing if the service is lousy. On
the other hand, a so-so product may sell well if the service is outstanding.
This must be understood first. The second sub-mix is the Presentation Mix.
How the facilities and the service are presented must be pleasing to the
customers. If atmospherics like color, lighting, sound, smell, size are blended
very well, even not-so-expensive material can be presented as if luxurious. If
the presentation of meals and drinks take these atmospherics into
consideration plus little things that please guests like greeting them the ethnic
way, instead of the western shaking of hands, they add up to the overall
quality of the product-service package. Finally, the third sub-mix,
Communications mix, makes full use of all the communications methods
available. How will a customer buy a product-service if he/she does not
know anything about it. Communicating the existence of the product-service
through print and electronic media, either through advertising or public
relations, must be explored.


       By    marketing    the   national   tourism    product     the   thorough
implementation of the above mentioned sub-mixes of the marketing mix, and
knowing what are the responsibilities of each tourism entity, we will be
assured of one cohesive image and an integrated marketing activity, one
supporting the other, instead of the prevailing “I do it my way, you do it your
way” without coordination. Often the information conflicts with other
information. Many times, there isn‟t even any information. This is confusing
to the visitor.


       The annual Tourism Indonesia Mart, organized by the Indonesian
Tourism Promotion Board, wherein all tourism products are put together and
sold to invited buyers from overseas, is a step in the right deveral questions
remain to be answered though, such as : Do all the products being sold meet
the elements of the tourism marketing mix? Are there any follow up to the
interests shown by the buyers? Does each tourism establishment coordinate
with the promotion board when marketing overseas?


       Integrated marketing is not only possible but it is a must. Individual
marketing efforts to be effective require lots of dollars, that means only the big
ones can do it. By integrating it the benefits will be more spread out and it is
more cost-effective.


PENJELASAN


       Pemasaran Terpadu dalam artikel ini berkaitan dengan kegiatan
pemasaran antar perusahaan yang umumnya menjual produk atau jasa yang
sama. Ilmu Manajemen Pemasaran pada awal dan pertengahan abad ke-20
menganggap semua usaha yang sasaran pasarnya sama dengan usaha
tertentu sebagai pesaing dan harus diwaspadai, dilawan dan dikalahkan.
Kalau bisa dihancurkan sekaligus. Ini adalah pola pikir kaum kapitalis yang
menganut paham Darwin, “survival of the fittest”. Menjelang abad ke-21
muncul konsep baru dalam manajemen pemasaran yang dipicu oleh „ulah‟
beberapa perusahaan di Amerika Serikat. Kecepatan dan ketidaktentuan
dalam arah perubahan teknologi mendorong perubahan ini. Dari pengalaman
dan perilaku perusahaan-perusahaan tersebut muncul istilah “coopetition”
(cooperation competition) walau popularitas gagasan ini hanya berlangsung
sejenak. Secara sederhana konsep ini mengatakan bahwa di dunia moderen
ini tidak ada lagi perusahaan-perusahaan yang secara murni saling bersaing.
Sementara usaha kita bersaing dengan perusahaan lain, perusahaan kita dan
pesaing kita juga saling melengkapi, saling meng-complement, dalam
memenuhi kebutuhan pasar. Contoh utama yang mencuat di benak kami
adalah produsen piranti lunak (software) komputer Microsoft. Sebagai
operating system komputer Microsoft bersaing dengan Apple, IBM dan lain-
lain. Akan tetapi dalam dunia teknologi multimedia bahasa komunikasi yang
dipergunakan begitu terbukanya sehingga dalam satu piranti keras
(hardware) komputer kita dapat menemukan adanya kompatibilitas dari
berbagai produk hasil rekayasa beberapa perusahaan. Padahal dalam
produksi barang-barang lainnya mereka bersaing saling berebut pasar.


      Tanpa disadari di dunia pariwisata kita sudah menerapkan koopetisi.
Hotel Jakarta Hilton (sekarang bernama Sultan Hotel) bersaing dengan Hotel
Mandarin Oriental. Sama-sama berstatus bintang lima berlian. Di pasar
mereka menawarkan fasilitas dan layanan dengan harga yang bersaing dan
mencoba memberikan pelayanan yang tidak diberikan oleh pesaingnya.
Tetapi dalam hal-hal lain kedua hotel tersebut saling bekerjasama. Misalnya
dalam menangani suatu konvensi besar dimana jumlah peserta yang
membutuhkan kamar tidak dapat ditampung oleh satu hotel atau para
delegasi diberikan pilihan dari berbagai hotel berbintang lima berlian yang
sesuai dengan aktifitas, keinginan dan kebutuhan para delegasi di luar
konvensi. Promosi atau penyajian informasi mengenai masing-masing hotel
dapat dilakukan dalam satu brosur, satu iklan. Malahan tenaga penjual-
pemasar kedua hotel dapat bersama-sama dalam satu tim mengkampanyekan
konvensi tersebut di luar negeri untuk memastikan sebanyak-banyaknya
peserta mancanegara datang ke Jakarta. Dengan kata lain - besarkan kue
ekonominya supaya semua kebagian dan mendapatkan porsi yang lebih
besar. Koopetisi dapat juga dilaksanakan bila satu hotel memiliki suatu
fasilitas yang tidak dimiliki hotel pesaing. Melalui suatu kontrak kerjasama
boleh saja tamu di hotel A dapat menggunakan fasilitas di hotel B yang tidak
ada di hotel A dengan harga khusus atau diberikan pelayanan khusus.


      Pada awal tahun 80an kami telah merintis suatu perkumpulan antar
sales-marketing manager hotel-hotel besar di Jakarta. Meskipun perkumpulan
tidak resmi ini bersifat sosial informal para pimpinan (manajemen tertinggi
dan pemilik) hotel memandangnya dengan penuh kecurigaan. Jangan-jangan
nanti ada „rahasia perusahaan‟ yang akan bocor dan diketahui pesaing. Kami
bersikeras dan berhasil menjalin suatu persahabatan antar manager 10 hotel
sehingga, walaupun kita bersaing, kita juga bekerjasama untuk mencegah
duplikasi dalam kegiatan promosi kita, saling berbagi informasi mengenai
klien-klien yang tidak membayar (skipper), saling mengusulkan pemasok
yang baik mutu produknya dengan harga yang bersaing, dst. Perkumpulan
ini akhirnya menjadi suatu asosiasi yang pada waktu itu dikenal dengan
nama Hotel Sales Management Asscosiation.


      Dalam era globalisasi kita dituntut untuk selalu mempertahankan
identitas dan keunggulan khas kita. Globalisasi adalah kata lain dari
kolonialisme gaya baru dimana hegemoni ekonomi, politik dan budaya barat
dipaksakan pada ekonomi negara-negara berkembang. Globalisasi tidak lain
adalah upaya penyeragaman yang dilakukan oleh negara-negara maju.
Walaupun kelihatannya kita sulit membendung air bah bernama globalisasi
kita sebagai bangsa minimal dapat mempertahankan jati diri kita dengan
senjata integration (integrasi). Budaya dan lingkungan alam Indonesia yang
beraneka ragam adalah kekuatan dan sebagai komoditi ekonomi pariwisata
layak dipromosikan dan dijual di dunia global ini. Keberhasilan dari upaya
ini hanya akan tercapai kalau kita tidak melepaskan pandangan kita dari
keutuhan gambaran makronya (Indonesia) yang terwujud karena gambaran
mikronya (berbagai suku bangsa, agama, ras, etnik, golongan). Bila kita lebih
menyukai dan ingin mempertahankan identitas mikro kita, kami jamin
identitas itu akan sirna/lenyap/punah dari muka bumi karena disapu bersih
oleh tsunami globalisasi. Tetapi bila kita ingin tetap berkiprah di dunia
internasional sebagai bangsa yang memiliki kekuatan budaya, ekonomi dan
politik-sosial yang layak dipertimbangkan, maka satu-satunya jalan adalah
Integrasi. Dalam skala kecil dunia pariwisata ini berarti hanya boleh ada satu
visi penggerak setiap unsur industri pariwisata Indonesia dalam mana visi-
visi mikro kita dapat terpenuhi. Bila kita mau jalan sendiri-sendiri seperti
yang telah kami amati selama 25 tahun terakhir ini, akhirnya kita akan lenyap
dari peta sejarah. Visi Integrasi itu harus muncul dari kedalaman masing-
masing sanubari, tidak bisa dipaksakan seperti pada zaman orde baru.


      Kebhinekaan nasional (Bhineka Tunggal Ika) sudah menjadi harga
mati. Pariwisata Indonesia menonjol justru karena kebhinekaan ini. Tapi
belum terlihat upaya integrasi yang kami sampaikan diatas. Belum disadari
bahwa integrasi harus dibuktikan pada tingkatan terendah sebelum menjadi
suatu gerakan yang lebih besar. Integrasi Pemasaran saja belum ada. Walau
upaya-upaya ke arah itu sudah ada namun belum maksimal dan
menghasilkan yang optimal. Baru 20% dari ideal 100%. Mengapa begitu?
Karena upaya masing-masing unsur untuk mempertahankan identitas
mikronya masih sangat kuat. Gerakan-gerakan disintegrasi dalam segala lini
mulai mencuat di negeri tercinta kita ini. Kami menemukan dalam suatu
asosiasi pariwisata saja benih-benih disintegrasi selalu memperlihatkan wajah
buruknya.
Setiap perusahaan akomodasi, perjalanan wisata, penerbangan dan
transportasi   lainnya,   penjual   cenderamata,   pengelola   obyek   wisata,
pemerintah dan segenap masyarakat Indonesia tanpa kecuali harus
menyadari bahwa keberadaan mereka sangat tergantung pada apakah kita
dalam kebhinekaan dapat bersatu dan menyalakan mercusuar kita bagi
kepentingan dunia.


      Ilmu manajemen pemasaran pernah menelorkan teori 4P yang dalam
perjalanan waktu mengalami perubahan. Sekarang kita mengenal khususnya
untuk dunia jasa pariwisata teori 3 sub-mixes sebagai bagian dari bauran
pemasaran (marketing mix). Ini menunjukkan bahwa produk berbentuk
barang tidak terpisahkan dari produk berbentuk jasa. Barang yang mutunya
prima tidak akan memuaskan konsumen bila penyajiannya, yang dilakukan
oleh manusia, tidak prima (sub-mix product-service). Kalaupun produk-
layanan sudah prima tetapi tidak dikemas dengan prima, konsumen tidak
akan tertarik untuk membelinya karena yang lain kemasannya lebih menarik
(sub-mix presentation). Dan kalaupun semua diatas sudah terpenuhi, tidak
akan ada yang membelinya apabikla semua itu disimpan di gudang, tidak
dipasarkan dan dijual secara prima (sub-mix communication). Suatu produk-
jasa yang dikemas dengan baik dan dikomunikasikan kepada pasar dengan
metode-metode mutakhir akan mendapatkan tempat di hati banyak
konsumen. Mengapa di hati? Komponen utama yang memotivasi-mendorong
seseorang untuk membeli sesuatu adalah hatinya bukan pikirannya.


      So, ask yourself. What do you want? Do you want chaos or order? Do
you want conflict or peace? Sebagai manusia tanyakanlah pada diri anda
sendiri. Apa yang anda inginkan? Anda ingin kekacauan atau ketertiban?
Anda ingin pertentangan atau perdamaian? Kami yakin setiap insan
menghendaki yang sama karena keinginan itu adalah bagian dari survival
instinct manusia. Integrasi atau disintegrasi? The choice is yours. Pilihan ada
ditangan anda.
A FEEDBACK SYSTEM FOR CUSTOMERS
November 8, 1997

      Companies that consider service as their main product often overlook
the fact that people, the customers and customers-to-be, who are at the
receiving end of this service are not given their day in court when they
consider the service provided not to their liking. Many company managers
who pride themselves in the quality of service their companies provide are
often surprised when the customers complain or even worse give their
business to their competitors. Why? they asked. “We have given careful
consideration to the delivery of service and we have an international (or
national, as the case maybe) reputation we can be proud of. Maybe the
customers do not understand?” Such a response from management clearly
shows that the philosophy of service the company has is not backed up with a
system that will allow the customers to give feedback. Above all, this
response shows the management‟s ignorance of what service is. Service is not
what you like to give but giving what the customers want and need. And
feedback is important because it gives management the opportunity to
measure how far their service is accepted by the customers.


      Who are the customers? What we have to realize is that there are two
types of customers. Internal customers are the employees and staff, external
customers are the guests or clients. In the service world employees in the front
lines, directly dealing with the guests, are very important elements in the
service package. They in turn are backed up by administrative staff who are
also important elements in this package. Management, therefore, is there to
ensure that everything is running well to enable the frontliners to give their
best service. In the hierarchy of service, management serves the employees so
that they can provide the best. Management supports the employees.
Management must make sure that policies and procedures support the service
and not make the delivery of service difficult and complicated.
Let us go in detail by taking a hotel and airline as examples. A guest
dining in a coffee shop of a hotel may complain about the steak ordered. The
guest ordered a well-done steak but received a medium steak. It is possible
that the guest‟s idea of a medium steak is different from that of the hotel cook.
In cases like these the waiter need not wait for approval from his captain
waiter or restaurant manager to replace the steak with one that the guest
wants. And if the waiter does replace it he should not be reprimanded or
sanctioned by his superiors, or that the chef grumbles before making a new
one. Or when a guest checks into a roomthat turned out to have a
malfunctioning airconditioning unit. The receptionist after receiving the
complain without further approval from her superior can immediately change
the room with another one similar to the previous room booked, or if it is no
longer available upgrade the guest to a higher class room.


       By making it easy for the guest to complain and receive immediate
attention the guest will appreciate the service more, although service-recovery
is only second best to providing service right the first time. Hotels do provide
guest- questionnaires in the rooms but then how many of the guests provide
feedback, positive or negative, by filling in these questionnaires? Experience
has shown that guest-questionnaires are mostly wasted. Happy customers
seldom let the hotel know about good service (even in writing) and if there is
a small snag in the service they either remain quiet and accept it but tell
friends after check out or lash out whenever the service failure is great as to
make the guest uncomfortable.


       With the airlines the most oft-encountered problem passengers want to
complain about is the delays in departure without so much of an explanation.
Complaints of this sort are seldom heeded and acted upon. Many passengers
now resort to writing open complaint letters to the print media before getting
answers. Why not solve the problem and give a satisfactory explanation on
the spot right after the incident occurred? Obviously, management has not
considered setting up a feedback system that benefits everybody.


      Hotels and airlines, as well as other service companies, could
aggresively interview guests, passengers or clients at random and ask them
right after receiving the service what they think about that service. Regular
surveys through letters, let us say twice a year, can be mailed and as incentive
to answering the surveys they can be offered a gift. Phone calls to guests or
clients can also be made. This way management takes a proactive approach to
feedback. By soliciting it management shows that it is serious about what the
customers think about the company.


      We must not forget the internal customers. If they have complaints
about certain rules and regulations, are their complaints easy to make without
fear of reprisal from superiors? Some companies set up suggestion boxes for
employees to use. But are they useful? Should suggestions be signed by the
employee or are the employees afraid to put their names on the suggestion
paper because they may be branded as troublemakers by the management?
To be effective, suggestions must be solicited actively by among others
making them as part of the incentive program of the company. Management
can institute a suggestion program by offering rewards to the best suggestion
of the month that relate directly to the improvement of service to customers,
for example, or to making operations more efficient. The Best Suggestion can
then be publicized company-wide to give recognition to the employee who
made it. And then to show that management is serious about the program, the
best suggestion is immediately implemented to show the employees that
management includes them in company decisions.


      Bureaucracy has been blamed as the root of all bad service. Thus, by
involving the frontliners in making procedures that are customer-friendly
management shoots two birds with one stone. One, the internal customers
will have enough time to devote to servicing the customer instead of making
sure all the complicated and long list of requirements are followed. Second,
the external customers are happy because company staff show that they care.


PENJELASAN


      Pada saat ini masih ada paradigma diantara para pemilik dan
pengelola suatu usaha bahwa “good customer service” atau layanan
pelanggan yang baik adalah bila perusahaan memiliki suatu divisi atau unit
kehumasan (public relations) yang dapat memberikan penjelasan kepada
para pelanggan yang mengeluh atau mengadukan “bad service” atau layanan
yang buruk, baik itu berupa jasa atau penjualan produk yang kadaluarsa,
cepat rusak, dlsb., yang tidak sesuai dengan apa yang dipromosikan.


      Ada dua jenis pelanggan yang harus diperhatikan. Pelanggan eksternal
adalah mereka yang membeli jasa atau produk perusahaan. Pelanggan
internal adalah para karyawan yang menyajikan pelayanan kepada
pelanggan eksternal.


      Struktur organisasi berbentuk piramida didasarkan pada siapa atasan
dan siapa bawahan. Struktur ini berasal dari militer dalam mana bawahan
tidak boleh mempertanyakan perintah atasan. Struktur seperti ini sudah
kuno. Tak dapat dipertanggung jawabkan lagi.


      Yang tidak disadari adalah bahwa makin tinggi kedudukan seseorang
dalam struktur organisasi makin tinggi tanggung jawabnya dalam melayani
karyawan “bawahan”nya supaya si bawahan ini dapat dengan lebih baik dan
lebih mudah melayani pelanggan eksternal. Tugas seorang supervisor
(penyelia) atau manajer haruslah mempermudah suatu pelayanan bukan
mempersulit dengan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi pembeli (ini
adalah dosa birokrasi). Harus ada suatu sistem umpan balik yang membuat
para pelanggan lebih mudah memberitahukan kepada manajemen apa yang
diinginkan dan dibutuhkan mereka. Para karyawan harus diberikan
kesempatan,     tanpa   teguran   maupun   hukuman     dari   atasan,   untuk
mengusulkan bagaimana sebaiknya suatu pelayanan diberikan. Apalagi
karyawan yang berhadapan langsung dengan calon pembeli atau pembeli.
Malah mereka dengan usulan terbaik harus diberikan penghargaan dan
usulannya langsung diimplementasikan.


         Misalnya, di suatu hotel seorang petugas kantor depan (front desk
receptionist) harus diberikan wewenang untuk mengganti kamar tamu yang
pendingin kamarnya rusak dengan kamar yang sejenis atau lebih baik tanpa
harus meminta ijin terlebih dahulu dari atasannya. Tamu tidak ingin
menunggu. Mendapatkan kamar yang sesuai keinginannya adalah haknya
karena ia membayar untuk itu. Dan si resepsionis tidak boleh dimarahi oleh
atasannya kalau ia melakukan hal ini demi kepentingan tamu. Kepuasan
tamu terletak seberapa cepat dan ramah suatu permasalahan diselesaikan.
Meskipun yang terbaik adalah memastikan pemberian pelayanan yang benar
dari awal. Artinya, pastikan bahwa kamar yang dijual berada dalam kondisi
yang layak jual dengan mengantisipasi semua persoalan yang mungkin akan
terjadi. “Zero defect” adalah istilah manajemen yang berarti bahwa tidak ada
kerusakan atau kemungkinan kerusakan dalam semua hal yang berkaitan
dengan dengan sesuatu jasa atau barang. Kalau ini dapat dilakukan, fantastis.
Pelanggan akan mengerti apabila semua upaya sudah dilakukan untuk
memberikan yang terbaik tetapi bisa saja ada persoalan yang muncul secara
tidak sengaja terhadap sesuatu barang. Misalnya, karena fluktuasi mendadak
dari tegangan listrik PLN, unit pendingin ruangan mendadak mati karena
rusak.


         Sistem umpan balik yang baik adalah bila manajemen proaktif
(mengantisipasi – tidak menunggu sampai ada masalah) dalam mencari
keinginan pelanggan dan calon pelanggan dengan melakukan survei dengan
menanyakan langsung (tidak melalui kwesioner yang mereka harus isi – ini
merepotkan mereka) pendapat mereka mengenai suatu pelayanan segera
setelah pelayanan itu diberikan dan atau apa yang mereka inginkan bila
membeli sesuatu dari perusahaan.


      Tentu saja sistem umpan balik yang menguntungkan pelanggan harus
dirancang bangun tanpa mengabaikan bagaimana pelayanan ini juga
menguntungkan pemilik dan pengelola. Effective but efficient!
HOTEL TELEMARKETING
August 30, 1997


      Newspapers have been publishing lately advertising from hotels
recruiting telemarketing officers. What is interesting to note is that some of
these ads do not include the name of the hotel and their full address but only
a PO Box number. A related development is the publication of letters from
customers complaining about the services provided by hotels with
telemarketing activities. Why? What is really going on?


      Telemarketing is nothing more than a sales approach implemented by
hotels to get more members of the community to become members of what is
essentially a “discount club”. Whatever their names, Executive Club or
Privilege Club or Golden Club, membership is basically providing discounts
to members patronizing hotel facilities.


      The problems occur because most of the telemarketing is not done by
the hotels themselves but by third parties, telemarketing companies,
contracted to phone individuals to persuade them to become members for a
very competitive yearly fee. And when these members start coming and use
the facilities concerned the service given is not as expected or as promised by
the telemarketers. Let us look at what the basic problems are.


      First, telemarketing companies obtain the names of individuals by
buying lists of credit card companies or publishing companies. Then they
start calling them by phone. What is disturbing is the fact that when you ask
the caller to provide further information about the club or privileges the
hotels provide, either by sending brochures or facsimiles, the telemarketer
will not do so. Prospects must decide then and there, taking the word of the
telemarketer as truth, whether to accept or not. Obviously telemarketers save
a lot of money by not providing written information about the “club”.
Many individuals objects to being disturbed over the phone just to
listen to someone on the otherside of the line selling the “wonders” of a hotel.
Besides, where is the ethics of giving names away without asking for
permission first from the persons to be called? We know of an international
publishing company that always put in their subscription forms the question
whether the subscriber objects or not to having their names given to other
companies who intend to direct mail their products or services. This is not the
case here.


       Many customers are also unaware of the fact that payment is
sometimes exacted through credit cards. The procedures of payment by credit
cards are not always clear to them. When asked for their credit card numbers,
customers should not give them unless they are very sure of joining the
“club”. Why? Because by giving their credit card numbers the telemarketing
companies can immediately charge it. Some unscrupulous telemarketers can
use this ignorance to their advantage. Thus, like it or not, you become a
member. Undoing the thing is always possible but you have to spend a lot of
time and energy, not to mention expenses, to get a refund.


       Second, the service provided to members is not always as promised.
This happens because the telemarketer is not an employee of the hotel. In
some cases, hotel employees do not even know there is such a scheme in their
hotel. The lack of coordination between the telemarketing companies and the
hotels they serve plus the irresponsibility of the hotels themselves for not
providing good service turn hopes of excitement and fun into nightmares.


       Hotels resort to telemarketing because of the fierce competition.
Telemarketing is intended to lure members of the public who are not regular
customers to spend their money using facilities such as rooms, food and
beverage, fitness centre, business center, and laundry. By outsourcing sales
and marketing the hotels save a lot of overhead. By providing only a room,
stationeries, and the utilities such as electricity, the hotel minimize sales
expenses and receive in return a percentage from the membership fee or a
fixed fee for every member signed up. Not to mention the revenues obtained
when the members use the facilities. Annual membership fees start from Rp.
300.000,- up and the benefits received can range from 20% to 90% discounts.


      Customers must not be misled though because these discounts carry
several restrictions such as prior reservations, not applicable at certain times
of the year, not applicable when other promotions are in effect, presentation
of membership card before using the service, and many more.


      Overall, when properly administered telemarketing is beneficial to
consumers as well as to the providers of service. Notwithstanding, hotels
must show more responsibility by controlling the telemarketing companies in
matters of quality of communication by the latter‟s staff, quality of service to
members – by not allowing discriminatory practices by hotel staff towards
members just because they pay less than non-members, immediate resolution
of complaints by training employees to be more responsive, and by regularly
providing the latest information about the hotel to members especially
referring to changes in published rates.


PENJELASAN


      Istilah telemarketing adalah satu dari begitu banyak istilah-istilah baru
yang muncul dalam penerbitan-penerbitan manajemen. Janganlah kita
terkecoh dengan istilah. Banyak diantara kita suka menggunakan istilah-
istilah “keren” seperti ini tetapi tidak mengetahui apa artinya atau supaya
orang menilai penggunanya sebagai orang yang berwawasan luas dan
menguasai ilmunya. Padahal, dibalik suatu istilah belum tentu ada makna
yang canggih. Dunia pariwisata, dan dalam hal ini bisnis hotel, tidak luput
dari penggunaan istilah-istilah terkini yang kalau diteliti ternyata artinya
sangat simpel. Istilah telemarketing adalah penggabungan kata „tele‟ yang
berasal dari bahasa Latin (artinya jauh, seperti tele-skop, tele-fon, tele-portasi,
tele-visi, dll) dengan „marketing‟, kata yang berasal dari bahasa Inggris dan
berarti pemasaran. Jadi, yang dimaksud dengan telemarketing adalah
pemadsaran jarak jauh dan dalam hal jasa pariwisata kegiatan pemasaran ini
difokuskan pada penjualan produk hotel melalui telefon. Pada dasarnya yang
terjadi adalah penjualan paket-paket keanggotaan (membership) untuk
memanfaatkan fasilitas hotel seperti restoran-bar, fasilitas rekreasi seperti
kolam renang, fasilitas kebugaran (fitness center) termasuk kamar. Iuran atau
biaya keanggotaannya berlaku selama setahun. Isi paket pada intinya adalah
potongan harga, diskon, dan penggunaan gratis beberapa fasilitas dan jasa
yang apabila anggota gunakan di hotel lain harus dibayar. Daya tarik dari
membership yang dijual melalui telemarketing adalah bahwa fasilitas hotel
yang biasanya hanya dapat digunakan oleh mereka yang menginap sekarang
tersedia bagi orang luar tanpa diharuskan menginap selama ia menjadi
anggota. Iuran keanggotaan sebenarnya adalah pembayaran dimuka bagi
penggunaan fasilitas tertentu yang masa berlakunya adalah 12 bulan.


       Metode     penjualannya     adalah    dengan     menggunakan       seorang
telemarketer alias penjual melalui telefon. Biasanya ia adalah seorang wanita
yang memiliki suara yang menawan dan dengan nada bicara yang memikat,
terkesan sangat ramah dan bersahabat, akan menelpon calon anggota
(prospek), umumnya pria pengusaha, untuk membujuknya menjadi anggota.
Bila prospeknya terkesan, apakah dengan telemarketernya ataupun dengan
paket yang ditawarkan, maka si prospek dengan mudah menjadi anggota.
Gengsi yang dibawa sebuah nama, hotel yang sudah punya reputasi baik,
termasuk juga salah satu alasan prospek mau menjadi anggota. Bila prospek
setuju untuk bergabung maka ia diminta segera untuk membayar dengan
kartu kredit. Caranya, sang prospek memberikan nomor kartu kreditnya pada
si telemarketer. Tindakan ini sangat beresiko karena kartu kreditnya bisa
ludes dikuras. Kami tidak menganjurkan prospek untuk tersihir dengan
bujuk rayu seorang telemarketer kecuali orangnya dikenal dengan baik. Pada
zaman ini teknologi internet dan short message service (SMS) melalui
handphone dengan perantaraan bank jauh lebih aman.


      Kartu keanggotaan kemudian akan dikirm dan diterima dalam waktu
7 hari kerja termasuk brosur dan atau buku panduan dan manfaat dari
keanggotaan. Dilihat sepintas, cara memasarkan jarak jauh dengan telefon
sangat efisien dan efektif tetapi tingkat kerawanannya tinggi. Memang
hubungan telefon hampir mendekati kunjungan niaga seorang sales executive
tetapi prospek tidak dapat menguji kejujuran si penjual karen ia tidak dapat
membaca bahasa tubuh yang bersangkutan kecuali suara. Selain daripada itu,
banyak    masalah    akan    muncul    pada   saat    anggota   menggunakan
keanggotaannya kalau si telemarketer bukan karyawan hotel. Komunikasi
antar departemen sebuah hotel saja bisa tidak nyambung yang pada akhirnya
berdampak buruk pada kualitas pelayanan yang diterima anggota. Apalagi
antar staff dari dua organisasi atau perusahaan.


      Mengamati gerakan telemarketing hotel pada waktu dimulai di
Indonesia,   penyelenggara     atau    pelaksana     telemarketing   bukanlah
departemen pemasaran atau sales (penjualan) dari hotelnya sendiri tetapi
perusahaan lain. Perusahaan ini dipercaya hotel karena ia menawarkan
kerjasama yang sangat menggiurkan. Hotel tidak perlu menambah anggaran
pemasannya untuk menggaet customer. Cukup dengan memberikan komisi
sekian persen atau suatu nilai tetap yang disepakati kedua belah pihak dari
jumlah calon yang menjadi anggota. Sementara itu, perusahaan telemarketing
ini menjanjikan, bahkan ada yang berani menjamin, bahwa ia dapat
memberikan hotel sekain ribu customer setahun dengan pemasukan sekian.
Kalaupun si anggota tidak menggunakan haknya untuk memanfaatkan
fasilitas hotel (yang berarti hotel tidak menerima pemasukan tambahan)
selama masa keanggotaannya, hotel masih menerima sejumlah uang dari
membership fee (iuran). Tetapi persoalan yang dihadapi pelanggan justru
datangnya dari sistem penjualan yang menggunakan pihak ketiga seperti
telemarketing hotel ini. Mengapa? Si telemarketer sebagai manusia maupun
sebagai lembaga bukanlah operator dari fasilitas yang dijual. Bila ada
perubahan dalam peraturan atau wujud fasilitas yang dilaksanakan oleh
operator hotel, ia bisa tidak mengetahuinya karena tidak dikomunikasikan
padanya dan tidak menyampaikannya pada pelanggan. Akibatnya banyak
pelanggan menjadi kecele dan marah bila mereka datang ke hotel untuk
menikmati masa rekreasinya atau jamuannya tetapi ternyata pelayanan yang
diterima tidak sesuai dengan yang dijanjikan oleh telemarketer. Kalaupun
koordinasi antara hotel dan telemarketer sangat cepat dan akurat,
penyampaian informasi baru ke pelanggan akan memakan waktu, uang dan
tenaga. Karena itu rata-rata telemarketer tidak pernah menyampaikan
informasi baru kepada para anggota. Karena pendapat bahwa menghubungi
kembali anggota bisa mengurangi profit margin atau malah rugi.


       Persoalan lain adalah bahwa tidak semua calon pelanggan (targets)
mengenal atau sudah pernah melihat fasilitas hotel yang dijual. Kalau calon
minta dikirimkan brosur terlebih dahulu jawaban pasti yang akan diterima
adalah “tidak bisa” dan ia harus percaya bahwa apa yang disampaikan si
pemasar-per-telfon adalah benar. Pepatah “membeli kucing dalam karung”
sering terjadi dalam hal ini.


       Sebagai praktisi manajemen pemasaran kami menanggapi masalah ini
dengan kesimpulan bahwa manajemen hotel yang kami kenal di Indonesia
pada umumnya tidak memiliki visi dan ketrampilan pemasaran yang kreatif,
inovatif, maupun agresif. Rata-rata hanya duduk saja dan berbuat apa yang
sudah dilakukan bertahun-tahun oleh pendahulunya dan mencari aman –
jangan sampai anggaran pemasaran membengkak dan hasilnyapun tidak
optimal. Pola pikir (paradigma) seperti ini (tradisional, kuno) juga sudah
mendarah daging dengan manajemen hotel dari mancanegara. Lihat saja
sekarang dimana Indonesia menderita krisis ekonomi – semua hotel dengan
tingkat hunian ataupun pemasukan fasilitas lain merosot tajam, alasan
(excuse) klasik mereka adalah ini karena krisis ekonomi, beyond our control.
Bila telemarketing pada suatu saat adalah sebuah inovasi, meskipun dalam
praktek terjadi banyak persoalan, mengapa sekarang kita tidak berinovasi,
berkreasi secara agresif dan ciptakan sistem, metode dan strategi yang efektif
dalam meraih segmen atau ceruk pasar yang sudah ada dan belum tergarap
dan sekaligus menciptakan pasar-pasar baru. If there is a will, there is a way!
Apabila ada keinginan, ada jalan keluarnya!
JOB HOPPING OR HIJACKING
October 11, 1997


      The rapid growth of hotels in major destinations like Jakarta, Surabaya
and Bali, has brought more headaches for Human Resources Managers of
existing hotels. The West Java branch of the Hotel and Restaurant Association
has even suggested that the “hijacking” hotels be severely punished by
withdrawing their licences. This is certainly an over-reaction to a perennial
problem within the service industry.


      Let us first look at the problem before we start giving names to the
problem. The main problem has something to do with the high turnover of
employees experienced by existing hotels. The departure of many employees
to new hotels is a fact we can not deny. The need for rank-and-file employees
is so big that even existing graduates from hotel schools can not fill them all.
The problem is heightened once we begin to consider supervisory and
managerial staff. Hotel schools do not usually produce ready-made
supervisors and managers for the simple reason that they do not have the
required experience on the job. That means that a new hotel will have to get
experienced supervisors and managers from operating hotels. Whether the
process of moving from one hotel to another can be classified as “hijacking”
or “job-hopping” must be seen from the point of view of the parties
concerned.


      In our view, hijacking occurs if the new hotel‟s management
intentionally and directly approaches the employees of the operating hotel
and offers them a job with a higher salary and or position. This can occur in
several ways but one example that we know about is when the General
Manager of the new hotel sits down at the coffee shop of an exsting hotel,
pretends to be a guest, but then offers the waiters and waitresses serving him
a job at his soon-to-be opened hotel. This we believe is pure and simple
hijacking but to prove it you need to catch him in the act and or get the
confessions of either side. Would inviting a manager for lunch or dinner and
offering him/her a new job be considered hijacking? The answer is dependent
on whether the losing hotel looks at it that way or not.


       If a new hotel advertizes in the papers and magazines and present
employees send in their applications plus resumes (or curriculum vitae), then
this is not hijacking. This is more a case of the employee looking for greener
pastures. The term job-hopping can only be applied if a particular person very
often moves from one hotel to another. There is nothing wrong with job-
hopping as such because it is the right of every person to seek for better jobs.


       Let us now look from another angle. Has management done enough to
earn the loyalty of its employees? Are the employees treated as means of
production instead of company assets? We do hear a lot of people talking
about human resources as assets but in reality are not treated as such. If in the
past employees can see clearly their path up the career ladder, nowadays with
all the reengineering, reinvention, downsizing and reorganization, nobody is
assured of their place in the company. Even the Japanese whose management
tradition include taking care of the employees for life and consequently the
employees give their loyalty to their company also for life is no longer true.
The younger generation Japanese are now on the move looking for better
opportunities and therefore do not rely anymore on being employees for life.


       The degree of loyalty in the not too distant past can be gauged from the
remuneration an employee gets. As it stands now this must be augmented
with other non-economic incentives to keep an employee in-house. Does he
get further training, for example, by sending him to courses or seminars
inside and outside the confines of company walls? Is his value as a person
being developed? Is he made a part of the decision-making process, or at least
are his opinions heard?
The reluctance of many tourism companies to invest in the
development of human resources by providing in-house or off-site training to
its employees can be traced to the fact that many of their trained employees,
with their newfound skills, still move to competitor companies because their
value, after training, have increased and therefore they are in demand. This
kind of reaction is shortsighted to say the least. It is not automatic that after
spending lots of money, time and effort to train employees that they go to the
opposition. Everything depends on a combination of training, “real”
empowerment, and financial benefits. Involving the employees in decision
making, which is a consequence of empowerment, plus giving them a share
or other forms of incentives maybe one way of keeping them.


       One thing is sure. Job hopping cannot be stopped. It is a human being‟s
inalienable right to always improve his lot. But if the company has a good
philosophy and system of human resources development, the departure of
valuable staff will not create a dent in the capabilities to provide good service.
In fact, those below the ranks of those leaving will get the opportunity to go
up the ladder.


       Besides, wouldn‟t it be good publicity to say that our employees move
to other companies because their quality is guaranteed? Of course, we do not
like to hear that their move is prompted by bad human resource management
in our companies, do we?


PENJELASAN


       Artikel in ditulis beberapa waktu sebelum krisis ekonomi yang
menghantam Indonesia betul-betul dirasakan dampaknya. Pada zaman orba
(orde baru) pembangunan pariwisata lebih ditekankan pada pembangunan
hotel berbintang 3 ke atas dengan harapan investor asing akan datang
membawa dolar yang begitu diinginkan pemerintah saat itu. Meskipun
permasalahan pembajakan atau perpindahan karyawan trampil ke hotel-hotel
pesaing tidak berhenti hanya karena ada krisis ekonomi, masalah ini sangat
dirasakan justru pada saat roda ekonomi berputar dengan kencang dan
pertumbuhan pembangunan hotel lebih tinggi daripada pertumbuhan
sumber daya manusia yang akan mengelolanya masuk lapangan kerja.
Keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang memberikan kesejahteraan
yang lebih baik adalah hak asasi seorang pekerja. Perpindahan karyawan
akan selalu terjadi. Yang menjadi masalah adalah bila frekwensi dan jumlah
yang pindah begitu tinggi sehingga mempengaruhi manajemen hotel yang
ditinggalkan.


         Istilah pembajakan atau meloncat-loncat dari satu perusahaan wisata
ke perusahaan wisata lain hanya dapat kita gunakan kalau kita mengetahui
proses rekrutmen yang dilaksanakan oleh suatu hotel. Kondisi hotel yang
ditinggalkan karyawannya juga perlu diketahui. Salah satu alasan pekerja
termotivasi untuk pindah adalah kondisi yang tidak menguntungkan di
perusahaan dimana ia sekerang bekerja.


         Bila seorang General Manager hotel baru duduk dan minum di sebuah
coffeeshop hotel tertentu, kemudian menawarkan pekerjaan kepada para
pramusaji yang melayaninya, maka apa ia lakukan dapat dikategorikan
sebagai pembajakan. Apabila sebuah hotel baru mengiklankan diri mencari
karyawan dan direspon oleh karyawan hotel lain dengan mengirimkan
lamarannya, maka sang karyawan mencari peluang baru untuk memperbaiki
kesejahteraan. Ini bukan pembajakan. Sementara istilah job hopping yang
dipergunakan di Singapura misalnya bermakna seringnya seseorang
berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Istilah-istilah ini menurut
saya sering dipergunakan oleh mereka yang kehilangan karyawan tanpa mau
mengakui perpindahan karyawan mereka bisa saja terjadi karena kondisi
kerja,    termasuk   kesejahteraan,   kurang   memuaskan.     Mereka     yang
menggunakan istilah-istilah ini mencari kambing hitam karena tidak
menyadari bahwa merekalah yang mungkin penyebab terjadinya eksodus
karyawan.


       Mari kita buka mata kita dan melihat permasalahan ini dari sudut
pandang yang berbeda. Dari sudut pandang pengembangan sumber daya
manusia     suatu   perusahaan.     Umumnya     banyak    perusahaan   hanya
menganggap pekerja sebagai obyek untuk dimanfaatkan pengusaha. Bicara
soal loyalitas, apakah manajemen dan pemilik sudah berupaya keras untuk
mendapatkan loyalitas karyawannya? Jangan hanya menuntut loyalitas
karyawan sedangkan perusahaan tidak membuktikan loyalitasnya pada
karyawan. Jelas sekali bahwa penghasilan seseorang menjadi indikator puas
atau tidaknya seorang karyawan. Indonesia sebagai negara berkembang
mempunyai masalah dalam menilai tenaga kerja. Sangat rendah dan alasan
yang   dikemukan     tidak   bisa   diterima   karena   hanya   mementingkan
perusahaan. Tenaga kerja umumnya dianggap sebagai alat produksi dan
bukan sebagai aset. Mengatakan karyawan itu aset harus dibuktikan dalam
beberapa hal. Gaji dan kesejahteraan adalah salah satunya. Jargon-jargon
yang dipakai perusahaan untuk membenarkan pemberian upah atau gaji
rendah tidak dapat diterima. Paradigma keliru mengenai pengembangan
sumber daya manusia adalah penyebab ketimpangan. Paradigma yang sesuai
harus berlandaskan pada pengakuan bahwa manusia adalah makhluk yang
memiliki raga (tubuh) dan jiwa (batin – spiritual). Pemenuhan kebutuhan
fisik dan batin harus menjadi pertimbangan perusahaan. Apalagi perusahaan
penjual jasa seperti hotel. Dalam pariwisata, manusia melayani manusia.
Unsur kejiwaan memainkan peran sangat penting selain unsur fisik. Apakah
manajemen memberikan kesempatan kepada karyawan untuk meningkatkan
nilai dirinya sehingga ia punya harga diri? Apakah pelatihan di dalam atau di
luar lingkungan kerja menjadi kegiatan sehari-hari? Apakah ketrampilan
mereka selalu ditingkatkan? Apakah mereka masih harus memikirkan
bagaimana merawat anggota keluarga yang sakit, menyekolahkan anak-
anaknya? Upah atau gaji yang memadai serta insentif-insentif lain yang
membangkitkan semangat kerja harus diberikan bersamaan. Membangun
sumber daya manusia adalah suatu investasi bukan suatu biaya. Paradigma
yang menganggap tenaga kerja sebagai alat produksi yang dapat dipangkas
setiap saat diinginkannya hanya akan membawa kesulitan bagi kelangsungan
hidup perusahaan itu sendiri.


      Ada teori manajemen yang mengatakan bahwa ada 6M yang harus
dikelola dengan baik. Man (manusia), Machine (mesin-peralatan), Material
(bahan-bahan, sumber daya lain), Marketing (pemasaran) dan Methodology
(metoda). M yang pertama adalah manusia. Tanpa manusia yang terdidik,
terlatih, puas, M-M lainnya tidak akan dapat dikelola dengan baik. Manusia
harus didahulukan. Ironisnya, manusia disamakan dengan M-M lainnya.
Kalau manusia harus didahulukan kenapa ia diperlakukan seperti benda
mati. Ia bernapas, punya pikiran dan perasaan, punya jiwa. Peningkatan
potensi manusia dapat berlipat ganda jauh diatas peningkatan M-M lainnya.
Tanpa uang berjumlah banyak, mesin dan peralatan canggih, sumber daya
lain yang memadai, pemasaran yang pas-pasan saja, dan metoda yang
sederhana, semua itu dapat ditingkatkan kualitasnya bila manusia yang
mengelolanya terlebih dahulu dikembangkan. Sebaliknya, bila semua M-M
lain yang ada sangat canggih tetapi manusia yang mengelolanya merasa
direndahkan, maka hasilnya akan lebih rendah dari yang diharapkan.
Perusahaan harus menciptakan iklim kerja yang menumbuhkembangkan
motivasi tenaga kerja. Malah perusahaan yang berada dalam kondisi kritis
sekalipun dapat diselamatkan oleh sumber daya manusia yang berkualitas.
Nasib perusahaan berada pada tenaga kerjanya bukan pada pimpinannya.
Manajemen harus melibatkan karyawan dalam mengambil keputusan.
Minimal pendapat mereka harus didengar dan dipertimbangkan. Motivasi
karyawan kalau diteliti lebih dalam tidak selalu berawal dari uang walaupun
kecukupannya adalah suatu prakondisi yang tidak bisa begitu saja diabaikan.
Loyalitas akan diperoleh bila manajemen memperhitungkan kehidupan
karyawan yang layak diperoleh. Dalam bahasa kini, visis perusahaan harus
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA
ALTERNATIF PARIWISATA

Contenu connexe

Similaire à ALTERNATIF PARIWISATA

Sekilas Lombok Sumbawa
Sekilas Lombok SumbawaSekilas Lombok Sumbawa
Sekilas Lombok SumbawaMingMuslimin1
 
Pengelolaan pariwisata budaya dan harapan wisatawan
Pengelolaan pariwisata budaya dan harapan wisatawanPengelolaan pariwisata budaya dan harapan wisatawan
Pengelolaan pariwisata budaya dan harapan wisatawansamerdanta sinulingga
 
BI Institute - Pariwisata dan Narasi Kota Tua
BI Institute - Pariwisata dan Narasi Kota TuaBI Institute - Pariwisata dan Narasi Kota Tua
BI Institute - Pariwisata dan Narasi Kota TuaDadang Solihin
 
Menertawakan chaidir
Menertawakan chaidirMenertawakan chaidir
Menertawakan chaidirDrh Chaidir
 
proposal-bussiness-plan-wisata-edukasi-sebagai-upaya-pelestarian-dan-pengenal...
proposal-bussiness-plan-wisata-edukasi-sebagai-upaya-pelestarian-dan-pengenal...proposal-bussiness-plan-wisata-edukasi-sebagai-upaya-pelestarian-dan-pengenal...
proposal-bussiness-plan-wisata-edukasi-sebagai-upaya-pelestarian-dan-pengenal...PETUAPESONAUTTANUA
 
Proposal Seminar Motivasi Go Internasional.pdf
Proposal Seminar Motivasi Go Internasional.pdfProposal Seminar Motivasi Go Internasional.pdf
Proposal Seminar Motivasi Go Internasional.pdfkharismaecohome
 
LAPORAN KULIAH KERJA KOMUNIKASI IZZUL HUDIA ALFAZA.pdf
LAPORAN KULIAH KERJA KOMUNIKASI IZZUL HUDIA ALFAZA.pdfLAPORAN KULIAH KERJA KOMUNIKASI IZZUL HUDIA ALFAZA.pdf
LAPORAN KULIAH KERJA KOMUNIKASI IZZUL HUDIA ALFAZA.pdfIzzulHudiaAlfaza
 
Storytelling for Branding - Chevron Pacific Indonesia
Storytelling for Branding - Chevron Pacific IndonesiaStorytelling for Branding - Chevron Pacific Indonesia
Storytelling for Branding - Chevron Pacific IndonesiaRAradhanaPutriAyunda
 
DMO Flores dalam menjalankan perannya sebagai destination management organiza...
DMO Flores dalam menjalankan perannya sebagai destination management organiza...DMO Flores dalam menjalankan perannya sebagai destination management organiza...
DMO Flores dalam menjalankan perannya sebagai destination management organiza...DiyanTari1
 
YUDI RELAWANTO CALEG DPR RI PARTAI GERINDRA DAPIL SUMUT 3 NOMOR URUT 3
YUDI RELAWANTO CALEG DPR RI PARTAI GERINDRA DAPIL SUMUT 3 NOMOR URUT 3YUDI RELAWANTO CALEG DPR RI PARTAI GERINDRA DAPIL SUMUT 3 NOMOR URUT 3
YUDI RELAWANTO CALEG DPR RI PARTAI GERINDRA DAPIL SUMUT 3 NOMOR URUT 3Syahrizal pulungan
 
Peringatan World Tourism Day 2019
Peringatan World Tourism Day 2019Peringatan World Tourism Day 2019
Peringatan World Tourism Day 2019Dadang Solihin
 
Studi pengembangan model kepariwisataan berkelanjutan di
Studi pengembangan model kepariwisataan berkelanjutan diStudi pengembangan model kepariwisataan berkelanjutan di
Studi pengembangan model kepariwisataan berkelanjutan diBiotani & Bahari Indonesia
 
KELOMPOK 7_KOMUNIKASI BISNIS.pptx
KELOMPOK 7_KOMUNIKASI BISNIS.pptxKELOMPOK 7_KOMUNIKASI BISNIS.pptx
KELOMPOK 7_KOMUNIKASI BISNIS.pptxLaluAdiPermadi1
 
Buku jelajah kawasan pariwisata puncak dalam wisata minat khusus
Buku jelajah kawasan pariwisata puncak dalam wisata minat khususBuku jelajah kawasan pariwisata puncak dalam wisata minat khusus
Buku jelajah kawasan pariwisata puncak dalam wisata minat khususAde Zaenal Mutaqin
 
Event Profil of Muhamamd bahauddin amin
Event Profil of Muhamamd bahauddin aminEvent Profil of Muhamamd bahauddin amin
Event Profil of Muhamamd bahauddin aminMuhammadBahauddinAmi
 
EKOWISATA kelompok 8 lokpol.pptx
EKOWISATA kelompok 8 lokpol.pptxEKOWISATA kelompok 8 lokpol.pptx
EKOWISATA kelompok 8 lokpol.pptxBagasMaulana28
 

Similaire à ALTERNATIF PARIWISATA (20)

Sekilas Lombok Sumbawa
Sekilas Lombok SumbawaSekilas Lombok Sumbawa
Sekilas Lombok Sumbawa
 
Pengelolaan pariwisata budaya dan harapan wisatawan
Pengelolaan pariwisata budaya dan harapan wisatawanPengelolaan pariwisata budaya dan harapan wisatawan
Pengelolaan pariwisata budaya dan harapan wisatawan
 
BI Institute - Pariwisata dan Narasi Kota Tua
BI Institute - Pariwisata dan Narasi Kota TuaBI Institute - Pariwisata dan Narasi Kota Tua
BI Institute - Pariwisata dan Narasi Kota Tua
 
Menertawakan chaidir
Menertawakan chaidirMenertawakan chaidir
Menertawakan chaidir
 
Pemilik san diego hills
Pemilik san diego hillsPemilik san diego hills
Pemilik san diego hills
 
proposal-bussiness-plan-wisata-edukasi-sebagai-upaya-pelestarian-dan-pengenal...
proposal-bussiness-plan-wisata-edukasi-sebagai-upaya-pelestarian-dan-pengenal...proposal-bussiness-plan-wisata-edukasi-sebagai-upaya-pelestarian-dan-pengenal...
proposal-bussiness-plan-wisata-edukasi-sebagai-upaya-pelestarian-dan-pengenal...
 
Proposal Seminar Motivasi Go Internasional.pdf
Proposal Seminar Motivasi Go Internasional.pdfProposal Seminar Motivasi Go Internasional.pdf
Proposal Seminar Motivasi Go Internasional.pdf
 
LAPORAN KULIAH KERJA KOMUNIKASI IZZUL HUDIA ALFAZA.pdf
LAPORAN KULIAH KERJA KOMUNIKASI IZZUL HUDIA ALFAZA.pdfLAPORAN KULIAH KERJA KOMUNIKASI IZZUL HUDIA ALFAZA.pdf
LAPORAN KULIAH KERJA KOMUNIKASI IZZUL HUDIA ALFAZA.pdf
 
BUMDES presentasi.pptx
BUMDES presentasi.pptxBUMDES presentasi.pptx
BUMDES presentasi.pptx
 
biografi sandi uno
biografi sandi unobiografi sandi uno
biografi sandi uno
 
Storytelling for Branding - Chevron Pacific Indonesia
Storytelling for Branding - Chevron Pacific IndonesiaStorytelling for Branding - Chevron Pacific Indonesia
Storytelling for Branding - Chevron Pacific Indonesia
 
DMO Flores dalam menjalankan perannya sebagai destination management organiza...
DMO Flores dalam menjalankan perannya sebagai destination management organiza...DMO Flores dalam menjalankan perannya sebagai destination management organiza...
DMO Flores dalam menjalankan perannya sebagai destination management organiza...
 
YUDI RELAWANTO CALEG DPR RI PARTAI GERINDRA DAPIL SUMUT 3 NOMOR URUT 3
YUDI RELAWANTO CALEG DPR RI PARTAI GERINDRA DAPIL SUMUT 3 NOMOR URUT 3YUDI RELAWANTO CALEG DPR RI PARTAI GERINDRA DAPIL SUMUT 3 NOMOR URUT 3
YUDI RELAWANTO CALEG DPR RI PARTAI GERINDRA DAPIL SUMUT 3 NOMOR URUT 3
 
Peringatan World Tourism Day 2019
Peringatan World Tourism Day 2019Peringatan World Tourism Day 2019
Peringatan World Tourism Day 2019
 
Studi pengembangan model kepariwisataan berkelanjutan di
Studi pengembangan model kepariwisataan berkelanjutan diStudi pengembangan model kepariwisataan berkelanjutan di
Studi pengembangan model kepariwisataan berkelanjutan di
 
KELOMPOK 7_KOMUNIKASI BISNIS.pptx
KELOMPOK 7_KOMUNIKASI BISNIS.pptxKELOMPOK 7_KOMUNIKASI BISNIS.pptx
KELOMPOK 7_KOMUNIKASI BISNIS.pptx
 
Buku jelajah kawasan pariwisata puncak dalam wisata minat khusus
Buku jelajah kawasan pariwisata puncak dalam wisata minat khususBuku jelajah kawasan pariwisata puncak dalam wisata minat khusus
Buku jelajah kawasan pariwisata puncak dalam wisata minat khusus
 
Event Profil of Muhamamd bahauddin amin
Event Profil of Muhamamd bahauddin aminEvent Profil of Muhamamd bahauddin amin
Event Profil of Muhamamd bahauddin amin
 
11. trik trik meracik sukses
11. trik trik meracik sukses11. trik trik meracik sukses
11. trik trik meracik sukses
 
EKOWISATA kelompok 8 lokpol.pptx
EKOWISATA kelompok 8 lokpol.pptxEKOWISATA kelompok 8 lokpol.pptx
EKOWISATA kelompok 8 lokpol.pptx
 

Dernier

Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxPanduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxsudianaade137
 
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfMA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfcicovendra
 
Konflik, Kekerasan, dan Perdamaian Bagian 1.pptx
Konflik, Kekerasan, dan Perdamaian Bagian 1.pptxKonflik, Kekerasan, dan Perdamaian Bagian 1.pptx
Konflik, Kekerasan, dan Perdamaian Bagian 1.pptxintansidauruk2
 
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptxTopik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptxsyafnasir
 
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaModul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaAbdiera
 
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxMODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxarnisariningsih98
 
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptxPPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptxHeruFebrianto3
 
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuCatatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuHANHAN164733
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...Kanaidi ken
 
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSKisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSyudi_alfian
 
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMPPOWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMPAnaNoorAfdilla
 
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 TesalonikaMateri Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 TesalonikaSABDA
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdftsaniasalftn18
 
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.pptPertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.pptNabilahKhairunnisa6
 
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdfrpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdfGugunGunawan93
 
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptxMATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptxrofikpriyanto2
 
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxAKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxWirionSembiring2
 
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxmtsmampunbarub4
 
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptxSKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptxg66527130
 
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
Demonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdfDemonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdf
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdfvebronialite32
 

Dernier (20)

Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxPanduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
 
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfMA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
 
Konflik, Kekerasan, dan Perdamaian Bagian 1.pptx
Konflik, Kekerasan, dan Perdamaian Bagian 1.pptxKonflik, Kekerasan, dan Perdamaian Bagian 1.pptx
Konflik, Kekerasan, dan Perdamaian Bagian 1.pptx
 
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptxTopik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
 
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaModul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
 
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxMODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
 
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptxPPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
 
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuCatatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
 
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSKisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
 
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMPPOWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
 
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 TesalonikaMateri Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
 
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.pptPertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
 
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdfrpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
 
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptxMATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
 
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxAKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
 
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
 
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptxSKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
 
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
Demonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdfDemonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdf
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
 

ALTERNATIF PARIWISATA

  • 1. 2012 ALTERNATES IN TOURISM Alternatif dalam Pariwisata DR. Abdullah Rudolf Smit, CTM, CHt-IBH Praktisi Pariwisata Hospitality Services Solutions – Indonesia Email : abdulrudsmit@yahoo.com Web : http://pendekarcinta.weebly.com
  • 2. PRAKATA Buku ini adalah kompilasi atau kumpulan artikel-artikel yang ditulis pada sebuah harian berbahasa Inggris “The Indonesia Times” pada tahun 1997 saat negeri kita memasuki krisis ekonomi yang berkepanjangan. Akibat dari krisis ini sangat dahsyat terhadap kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia termasuk masyarakat usaha di dalam mana ada pengusaha-pengusaha pariwisata. Penulis waktu itu ingin mengingatkan para pembaca bahwa apabila manajemen usaha-usaha pariwisata ingin berhasil keluar dari kemunduran yang disebabkan kekacauan ekonomi nasional, maka mereka harus kembali ke dasar- dasar ilmu pariwisata. Back to Basics. Mengapa penulis menerbitkan pemikiran- pemikirannya dalam bahasa Inggris dan bukan dalam bahasa Indonesia, itu semata karena media cetak berbahasa Indonesia lebih tertarik mengekspos akibat-akibat negatif dari krisis ketimbang menerbitkan tulisan-tulisan yang ada dalam buku ini. Penulis pernah pada tahun 1993 di Yogyakarta menerbitkan artikel-artikel dalam bahasa Indonesia melalui “Harian Bernas” yang waktu itu dikelola kelompok Gramedia atau Kompas. Pada saat itupun tidak ada banyak reaksi terhadap peringatan-peringatan yang disampaikan penulis. Kumpulan artikel- artikel tersebut akan diterbitkan pula setelah buku kecil ini. Yang sangat menyedihkan adalah bahwa pada abad 21 tahun 2008 pun masalah-masalah yang disinggung penulis masih ada. Ternyata masyarakat Indonesia, termasuk pengusaha, penguasa, dan para pelaku pariwisata belum belajar dari kesalahan- kesalahan masa lalu. Buku-buku penulis ini sekarang diterbitkan karena relevansinya masih ada. Dalam era otonomi daerah banyak pemerintah daerah kabupaten dan kota mengulang kekeliruan pemerintah nasional orde baru. Dan buku-buku kompilasi ini diharapkan memberikan gambaran dari sudut pandang seorang praktisi yang sudah menggeluti dunia pariwisata selama 30 tahun di dalam dan di luar negeri. Diharapkan buku kecil ini bisa memberikan arahan kepada yang merasa bersangkutan untuk melakukan pemikiran ulang terhadap kebijakan pariwisata. Penulis berdoa semoga para pemilik dan manajemen usaha pariwisata
  • 3. serta para politisi pengambil kebijakan dan pembuat undang-undang (dewan perwakilan rakyat daerah) saat ini kiranya dapat mempertimbangkan apa yang disampaikan. Penulis berpendapat bahwa pariwisata daerah berjalan di tempat karena dasar-dasar ilmu manajemen pariwisata diabaikan. Akibatnya pendapatan hasil usaha dari bidang pariwisata tidak mencukupi. Dampak ganda (multiplier effect) pariwisata sangat luas dan bila industri ini dikelola dengan benar ia dapat menjadi sumber dana pembangunan yang akhirnya mensejahterakan masyarakat. Mengapa harus diterbitkan di Sumatera Barat? Karena dalam kerangka otonomi daerah, pembangunan dan pengembangan pariwisata nasional harus dimulai dari daerah. Penulis tiba di Sumatera Barat pada tahun 2002 karena diundang untuk membantu menyelesaikan masalah penggelapan uang yang dilakukan pimpinan sebuah usaha akomodasi milik swasta. Ternyata penulis jatuh cinta pada apa yang dilihatnya di Ranah Minang. Kesimpulan penulis adalah bahwa potensi pariwisata Sumatera Barat melebihi potensi pariwisata Pulau Dewata (Bali). Hanya saja pengembangannya tertinggal karena kualitas SDM yang ada dan ketidaksamaan persepsi mengenai pariwisata antara pemerintah dan pihak swasta. Bali pun sudah memulai pembangunan pariwisatanya jauh lebih awal daripada Sumatera Barat. Namun setelah 5 tahun berkarya di Ranah Minang, penulis belum melihat adanya kemajuan yang signifikan. Penulis hanya melihat dikeluarkannya statistik kenaikan jumlah kunjungan wisatawan nusantara maupun mancanegara dari tahun ke tahun. Kenyataan di lapangan bagaimana? Penulis berpendapat bahwa kendala pembangunan dan pengembangan pariwisata Sumatera Barat terletak pada ketidakpahaman hampir semua segmen masyarakat termasuk pemerintah dan parlemen akan pariwisata. Tokoh-tokoh adat dan agama justru berpolemik dengan pemerintah dan pelaku wisata. Tindakan-tindakan yang diambil pemda bertolak belakang dengan apa yang dibicarakan. Tidak ada political will (kemauan politk) dari penguasa untuk menyelaraskan ucapan dengan perilaku. Dan para pelaku sibuk menjalankan praktek “You do it your way, I do it
  • 4. my way” – Anda lakukan dengan cara anda, kami lakukan dengan cara kami. Dalam bahasa daerah, mansur – maen surang. Semua berparadigma – Aku lebih tahu dari kamu. Karena kecintaan penulis pada dunia pariwisata dan pada masyarakat Sumatera Barat (Minangkabau, Mentawai, Pendatang) maka penulis merasakan urgensinya menerbitkan buku ini. Buku ini penulis persembahkan kepada mereka yang masih menunggu durian runtuh pariwisata. Semoga buku ini menjadi sumbangsih kecil penulis dan mendorong semua yang berkepentingan untuk berbuat dalam persatuan dan kesatuan visi dan misi. Insya Allah.
  • 5. PROFIL PENULIS Terlahir pada tanggal 29 Juni 1950 Masehi atau 13 Ramadhan 1369 Hijriyah di Semarang, Jawa Tengah, Rudolf Willem Smit, akrab dipanggil Rolf, adalah putra sulung dari Arie Rudolf Cornelis Smit dan Sophia Jeanette van Sprew. Pada tahun 1964 bulan Juli seluruh keluarga Smit diboyong ke Manila, Philippines, karena ayahanda diangkat menjadi perwakilan Minet Insurance Brokers dari Inggris. Di Filipina Abdullah tamat pendidikan High School di Sacred Heart Seminary di Angeles City, Pampanga. Pada tahun 1968 dia memasuki University of the Philippines, Diliman campus, Quezon City dan memperoleh BA bidang Anthropology. Petulangannya di dunia akademis dia selesaikan tanpa menggunakan dana orangtua tetapi kuliah sambil bekerja sampai ia akhirnya mendarat di negeri Paman Sam dan memperoleh Ph.D. Tourism Management di Gordon University, Florida, USA. Dengan motto hidup “Everyday I Learn Something New” ia mulai merintis karir dalam bidang pariwisata dengan menjadi Educational Travel Program (ETP) Deputy Director di Youth and Student Travel Association of the Philippines, Manila sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang Wisata Pelajar dan Pemuda berskala internasional. Keinginannya untuk berlanglang buana tanpa mengeluarkan dana sama sekali membawanya ke bidang perhotelan di Indonesia yang dimulai pada tahun 1978 sebagai Sales Manager di Hotel Borobudur Intercontinental. Kemahirannya berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris membuat banyak hotel mengincarnya sehingga ia kemudian masuk sebagai Marketing Manager di Hotel Sahid Jaya, Marketing Manager di Hotel Horison, semuanya di Jakarta. Ingin mempelajari segala aspek pariwisata ia bergabung dengan Travair Buana menangani Royal
  • 6. Brunei Airlines, Air Canada dan Alitalia. Rupanya daya tarik dan tantangan dunia perhotelan menariknya untuk kembali berkecimpung sebagai Director of Sales di Hotel Hyatt Aryaduta (Jakarta), kemudian sebagai Resident Manager merangkap Marketing Manager di Mambruk Beach Resort (Banten), General Manager Pulau Ayer Resort Hotel (Kepulauan Seribu, Jakarta), General Manager Dewata Beach Resort (Bali). Disela tugas-tugasnya sebagai hotelier ia masih sempat juga berkarya (Associate Editor) bersama alm. Joseph Iskandar (Penerbit) menghasilkan media pariwisata Guide to Jakarta (Penerbitan resmi Kanwil Parpostel dibawah Saleh Tjakraamidjaja) selama 3 tahun yang beredar di kamar-kamar hotel berbintang Jakarta dan kantor- kantor promosi pariwisata Indonesia di luar negeri. Jenuh dengan operasional hotel serta sadar akan ketertinggalan sumber daya manusia Indonesia pada umumnya dan khususnya SDM di dunia pariwisata suami dari Riana Lipiana ini bertekad menjadi konsultan manajemen pariwisata dan trainer-motivator merangkap sebagai konselor bagi mereka yang memiliki permasalahan hubungan dengan pasangan. Selama 10 tahun terakhir sebagai trainer manusia bershio macan ini telah melatih SDM perusahaan-perusahaan swasta dan BUMN seperti Telkomsel, Indosat, Telkom Divre II, di Jakarta dan di Sumatera Barat selain menjadi narasumber tetap di Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Provinsi serta beberapa Dinas Pariwisata tingkat II lainnya Abdullah juga melatih baik secara outbound maupun secara tradisional beberapa perusahaan swasta seperti Panamas, Semesta Finance, Bakrie Pasaman Plantations, Hexindo, Hotel Bumiminang dan Nuansa Maninjau Resort, Hotel Novotel Bukittinggi, Hotel Pusako Bukittinggi dan Sikuai Island Resort, Hotel Quality Pekanbaru (sekarang Grand Elite), RSUD Achmad Mochtar, RSUD Padang Panjang, Dinas Kesehatan Payakumbuh, Dinas Kesehatan dan Sosial Tanah Datar, RSUD Sawahlunto. Salah satu kesibukannya adalah menjadi penceramah di berbagai seminar yang diselenggarakan berbagai organisasi seperti Gabungan Organisasi Wanita (GOW) dan sebagai dosen pariwisata di dua lembaga pendidikan swasta.
  • 7. Setelah pergulatan batin selama belasan tahun, Rolf akhirnya pada tahun 1997, sepekan sebelum Ramadhan, mengucapkan dua kalimat syahadat di Mesjid Istiqlal Jakarta didampingi sahabatnya Poniman Kasturo. Setelah berguru pada Haji Tjetjep Soedarmadi, yang menjadi ayah angkatnya, Rolf diberi nama Abdullah dan sejak saat itu lebih dikenal sebagai Abdullah Rudolf Smit. Bapak dari Raihan Kaeni dan Rizwan Denendra sekarang mengkhususkan diri merancang dan mengembangkan Pelatihan Kesadaran Cinta (Love Awareness Training) sebagai sarana menyadarkan manusia bahwa segala sesuatunya di alam semesta ini akan lebih bisa dipahami dan manusia dapat menjalankan kehidupan tanpa banyak menimbulkan stres apabila disadari bahwa kehidupan tanpa cinta sejati akan membawa kebahagiaan sejati. Bersama Ridwan Tulus dari Sumatra and Beyond Tours & Travel, ia memulai kegiatan baru di Sumatera Barat, yakni Pelatihan Outbound. Pelatihan Outbound adalah metoda pelatihan yang mengkombinasikan pelatihan dalam ruang dengan alam terbuka. Pelatihan Outbound yang dikembangkan berfokus pada team building, leadership dan communication.
  • 8. ALTERNATES IN TOURISM December 5, 1988 In the ASEAN countries, with the exception of Brunei Darussalam, the numbers game is the game played in the development of Tourism. Even in Indonesia, politically, government officials every now and then dish out figures on visitor arrivals, their daily expenditures and their length of stay. Journalists, on the other hand, fall into the same trap reporting a lot of figures in the newspapers which most readers don‟t even understand or give a hoot. For the readers who are in the know also have no use for these published figures. What is more dangerous is the fact that statistics can be used to support any premise, for good or bad, to please superiors or justify political statements. We still vividly remember when a few years ago the magic number of 1 million tourists was bandied about as the target. We know very well that this figure was never achieved within the time frame specified. We in Indonesia also have the habit of comparing our tourism results with Singapore, Malaysia and Thailand which in terms of arrivals and amount of funds allocated for promotions through their respective National Tourist Offices are way above us. For years, we envy the performance of our neighbours. For years, the hotel and travel industry of Indonesia kept on harping the same tune that the government must put more promotion money for tourism. Little do these people realize that for a country the size of Indonesia the priority is the development of the nation so that hundreds of millions of mouths can be fed, so that sufficient shelter be provided, so that the millions can be clothed. Tourism certainly bring in much needed foreign exchange but for the government to allocate millions of dollars to produce tourism movies, to produce millions of brochures, to conduct tourism sales missions, and God knows what else, is not only unwise but foolish. The Indonesian value of Gotong-Royong, doing things together, has been successful in carrying out many political, social and economic activities.
  • 9. The same is true with tourism promotion even though not many people know about it. The private sector in its effort to lure tourists to the country to fill in the hotels and provide business to the travel agents has spent in aggregate millions of dollars in promotion. The government also has its share by encouraging investment missions, cultural exchanges, and many other government activities abroad to also promote the beauty of its land and peoples. The end result is the increasing number of tourists to our shores. As Joop Ave, Indonesia‟s Director General of Tourism, has said “You can only find in Indonesia a double-digit growth in tourism arrivals not backed up by an enormous amount of money. The formula used in other countries of spending a certain amount of dollars per tourist simply does not apply here. If you count the number of arrivals and the amount spent by the Directorate General of Tourism, you will wonder how did we do it.” There is only one explanation for this phenomenon, acknowledged by our ASEAN neighbours, and that is Gotong Royong. Everybody involved in the tourism industry has contributed to the growth of tourism even if outwardly it appeared that the promotional budget is miniscule. TOURISM A LA CARTE While we are captivated by quantity, a mark of mass tourism, we ought not to forget that entering the third wave of Alvin Toffler, we are overlooking a sizable slice of the market in Europe and America which is growing and shuns grouptours. The importance of this market was discussed at a Seminar on ALTERNATES IN TOURISM, organized by The Centre for the Development of Tourism, Atma Jaya Catholic University in cooperation with the Institute for Indonesia Tourism Studies, last November 26, 1988. Tourism A La Carte or Do-it-yourself Tourism or Personalized Tourism should not be confused with the bag-packers or as some people would call it “rucksack/hippy travellers.” The former differs from the latter in many significant ways as outlined by Harry Haas, an intercultural expert, who
  • 10. spoke at the Seminar. The A La Carte tourists are between 25 and 35 years of age, well educated and knowledgeable on the countries they wish to visit, with good income but not only interested in luxurious hotels but also in lower categories accommodations, food sophisticated on the cuisine of the countries to be visited, and open-minded with a desire to learn. These are people who are not only after recreation but more so are interested in cross-cultural experiences. Another group belonging to the category are the women who don‟t want to trail behind their husbands but want to meet women elsewhere and see diferent situations for themselves. They are not only the feminists. Tourism after all is not a “sexy” business but a cultural experience. Another group that forms a tremendous market are the senior citizens. They may have travelled in the past and have more experience seeing the world not through books. They are stronger with more stamina than the present generation which are more prone to ailments on account of an easier life. There are also senior citizens who have worked hard all their lives and want to see the world shaped by others. With the advance of technology and thus education, a group of professionals concerned with global issues such as environment, nutrition, health, education, communications, human rights, etc want to meet their counterparts in other parts of the world and team up with them. Harry Haas sums it up by saying “Tourists a la carte, given the chance and facilities, are found at all levels of society, in all age categories. And their number is definitely on the increase.” WHAT TO DO Mass tourism which is now being carried out is structured as a monoculture with the environment carrying most of the brunt. Polluted beaches and streams, spoilt magnificent landscapes, water management
  • 11. problems, garbage disposal problems, not to mention the disturbed habitat of flora and fauna are only a few. The infrastructure required such as roads, traffic facilities and layout often disrupt natural sites. From the economic point of view very often investments and dividends flow largely back to “absentee landlord” sources. Profits are relatively little and staff comes from elsewhere. Not to mention income generation downwards into a region is modest, slow and sometimes seasonal. Disruptions to the local culture are only too well known. Mass tourism is also susceptible to local instabilities. Demonstrations, an epidemic, political violence can cut drastically the flow of group tours into a country. Group tour cancellations from Japan to South Korea and Bali in the past, or cancellations of American groups to the Philippines attest to the dilemma faced by Asian governments. Diversification is the answer. More hotels of the 3-star and lower category but maintained according to international standards. Indonesia, for example, has many infrastructures and facilities for domestic tourism. There are enough medium level facilities which will be appreciated by foreigners with a little upgrading. Little capital is required to improve these hotels. Travel agents need to have more guides from the local area who live the culture of the area, in fact they don‟t need to be professional but simply be themselves in hosting guests. Guidebooks should be more factual about the ways of life of a people in an area. Glossy pictures which are not exact representations of the real things and standardized tips and history must be supplemented or replaced with descriptions of what is rubber time, what to wear when entering religious centres, how to eat with the hands, why holding someone‟s head is prohibited because it is offensive to the locals, and many other descriptions which give a better idea of how the “receiving” inhabitants live, to avoid the negative impact of inter cultural contact.
  • 12. TOURISM AWARENESS The second quarter of 1989 marks the beginning of the Tourism Awareness Campaign by the Tourism, Post and Telecommunications Ministry. SADAR WISATA as it is called in Bahasa Indonesia will be aimed at all sectors of the community, from government officials and civil servants to the members of the tourism industry itself, the press and residents of the country. However, this campaign should not only concentrate on teaching what tourism is all about, or how to behave properly to visitors but also how to be a good human being in general. H. Kodhyat, Director of the Institute of Indonesia Tourism Studies, questioned the need for a campaign that focuses on something that must be a general attitude and behavior of the people but applicable only in tourism. “If the public are taught good manners, then they will not cheat, they will not steal, whether to tourists or fellow citizens.” Certainly, this writer strongly believes that the upcoming campaign must be directed first to the officials who serve as the gatekeepers of this country. Visitors to this lovely shores of Indonesia will encounter on their arrival immigration and customs officers and they are the ones who have to be reminded that we Indonesians are warm, smiling and hospitable people. Our government officials have forgotten what our ancestors have practised for centuries – HOSPITALITY to visitors. Then, residents of cities should be the next target. The rural populace normally still retain the good old ways of treating visitors but maybe they need to be educated in how to communicate with the people of strange tongues and appearances. Alternates in Tourism can be the Standards in Tourism once the whole nation is tourism-oriented. Personalized tours for individuals will pose no problem for the travel agents and for the community. The accommodation business in the regions will flourish because “the need for guesthouses and homesteads rests on social and cultural reasons , less on strictly economic ones, as this breed of tourists is fairly well-to-do,” says Harry Haas. When Tourism a la carte is connected to the Tourism Awareness Campaign, then
  • 13. will we be able to see the growth of the industry because its growth will come from below and not one imposed from above, from the capital. Let us hope that the coming 5 years will bring not only the much needed foreign exchange from tourism but bring as well friends created created by this 25% of the tourism market because they know and learn about our culture in their personalized tour of Indonesia. THERE IS AN ALTERNATIVE. PENJELASAN Kecenderungan lembaga-lembaga (termasuk pemerintah) yang berhubungan dengan kehidupan ekonomi masyarakat, diantaranya pariwisata adalah memunculkan angka-angka atau statistik untuk menunjukkan pada dunia bahwa kegiatan mereka berbuah, menghasilkan, dengan membandingkan statistik kini dibandingkan dahulu. Umumnya, angka-angka ini mengabaikan kondisi faktual di lapangan, kesejahteraan masyarakat. Kalaupun ada pertumbuhan, peningkatan, yang merasakan dampak positif perkembangan tersebut rata-rata hanya kalangan atas dan menengah jarang anggota masyarakat lapisan bawah. Khususnya dalam bidang pariwisata kita suka membandingkan data statistik Indonesia dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. Cara ini juga tidak tepat karena Indonesia dengan wilayah yang begitu luas dan jumlah penduduk yang berperingkat nomor 5 dunia memiliki prioritas lain seperti pendidikan, penyediaan sandang- pangan-papan bagi ratusan juta penduduknya. Tetapi ironisnya setiap tahun pariwisata digembargemborkan sebagai pemasok devisa yang besar. Menurut saya masalah pariwisata bukan masalah ada dananya atau tidak tetapi bagaimana dana yang ada dialokasikan. Bila kita hanya mengandalkan APBN-APBD tanpa ada kontribusi signifikan dari pihak pelaku pariwisata
  • 14. sendiri, khususnya pemain-pemain besar, maka pariwisata Indonesia akan begitu-begitu saja. Setiap tahun hanya bicara berapa wisman yang masuk. Bila pariwisata dianggap sebagai suatu industri yang menghasilkan suatu produk maka kontribusinya terhadap negara bisa dikatakan cukup signifikan. Statistik menunjukkan bahwa pendapatan negara dari sektor ini cukup besar. Indonesia adalah pengekspor pariwisata. Tetapi mengapa anggaran belanja negara untuk pariwisata tidak seberapa dibandingkan produk-produk ekspor lainnya seperti minyak, gas, produk-produk hasil bumi dan pertambangan? Padahal produk ekspor tersebut bersifat terbatas dan suatu saat akan habis. Sementara produk ekspor yang namanya pariwisata tidak akan pernah habis selama manusia ada di planet ini. Mengapa pejabat-pejabat negara banyak bicara mengenai pentingnya pariwisata, termasuk yang di daerah, tetapi hanya asbun (asal bunyi) tanpa dukungan konkrit diantaranya dengan menyediakan anggaran yang memadai? Mengapa para pengusaha pariwisata hanya bisa mengkritik pemerintah saja perihal perannya dalam pembangunan dan pengembangan pariwisata? Saya melihat selama tidak ada kesamaan visi dan komitmen pariwisata Indonesia akan jalan di tempat dan kita akan ketinggalan negara- negara ASEAN lainnya. Padahal potensi pariwisata Indonesia tidak ada duanya di dunia. Dalam hal potensi saya tidak asal bicara tetapi berdasarkan pengamatan pribadi saya selama melakukan perjalanan wisata ke berbagai benua. Masalah utama pariwisata Indonesia adalah riset pasar dan pemasaran serta kualitas SDM pariwisata yang ada, termasuk mereka yang punya modal. Banyak pengusaha pariwisata yang sama sekali tidak mengerti pariwisata. Saya bisa buktikan itu dengan jelas. Lihat saja produk-produk wisata yang mereka pasarkan. Yang dipasarkan dan dijual yang itu-itu saja. Tidak ada inovasi, tidak kreatif karena tidak paham pasar. Kita masih mengandalkan wisata masal, volume yang dikejar bukan profit margin. Kita
  • 15. masih berpikir bahwa volume menghasilkan laba besar. Paradigma ini sudah ketinggalan zaman. Yang tidak disadari adalah bahwa wisatawan berkelompok besar akan menyebabkan biaya besar pula. Saya berikan contoh. Kalau biro perjalanan wisata mengandalkan wisnus, yang cenderung berwisata berkelompok (group tour) karena murah biaya per orangnya, untungnya sedikit. Tetapi kalau yang digarap adalah wisman, jumlahnya per kelompok kecil tetapi untungnya besar. Berdasarkan pengamatan saya membawa 10 wisman tour 7 hari di Sumatera Barat menghasilkan laba yang sama dibandingkan membawa 40 wisnus. Bayangkan ruwetnya dan capeknya kita mengatur 40 orang ketimbang 10. Contoh kedua adalah menangani wisatawan kelas atas, dengan jumlah sedikit, jauh lebih menguntungkan daripada menangani wisatawan kelas menengah meskipun jumlahnya banyak. Banyak alternatif dalam mensasar pasar. Ada istilah segmen dalam ilmu pemasaran. Segmen dulu didasarkan pada statistik demografis – jender, usia, tempat tinggal, pendidikan, kebangsaan, golongan ekonomi, penghasilan, profesi. Sekarang ada segmen yang diklasifikasi berdasarkan data psikografis. Tujuan berwisata, warna kesukaan, makanan kesukaan, disain kesukaan. Pilihan pribadi menjadi dasar penggolongan. Istilah diganti untuk kelompok ini, bukan lagi segmen tetapi ceruk (niche) karena bersifat lebih spesifik pilihan jiwa. Segmen bisa dirinci lagi menjadi ceruk. Alasan psikis anggota pasar memilih sesuatu produk atau jasa dijadikan pertimbangan. Dalam pariwisata segmen pasar juga bisa lebih dirinci. Alasan perjalanan harus sudah mulai diteliti walau belum semua segmentasi dipertimbangkan. Misalnya, golongan usia pensiunan (di budaya Barat disebut senior citizens) jarang sekali dijadikan sasaran. Kecenderungan pelaku wisata Indonesia adalah menilai segmentasi budaya lain dengan kacamata budaya sendiri. Inilah kekeliruan terbesar dalam menggarap pasar wisman.
  • 16. Di negara-negera maju (umumnya di belahan barat bumi) para pensiunan berada dalam kondisi ekonomi mantap. Mereka telah menabung bertahun- tahun supaya pada masa pensiun mereka dapat menikmati keindahan, eksotisitas, budaya dan lingkungan alam di luar negeri mereka sendiri. Mereka yang cacat fisik di Amerika Serikat dan Eropa adalah segmen pasar lain yang jarang dijadikan sasaran pemasaran pariwisata Indonesia. Di Amerika Serikat para penyandang cacat dilindungi undang-undang. Ada pemberhentian bis khusus, penyeberangan khusus bagi pengguna kursi roda. Mereka tidak bisa didiskriminasi karena kecacatan fisik mereka. Mereka juga mantap secara ekonomi dan ingin berwisata. Segmen ini malah sama sekali tidak dilirik. Memang fasilitas akomodasi (hotel) perlu juga disesuaikan dengan kondisi fisik mereka. Misalnya, pintu harus dibuat pintu geser dan lebarnya pintu dibuat lebih supaya wisatawan dengan kursi roda bisa membuka pintu sendiri dan masuk. Bahkan kamar mandi dan bath tubnya pun harus dilengkapi dengan fasilitas yang memungkinkan penyandang cacat mandi secara mandiri. Lift, tangga, tingginya tempat tidur, sampai ke tempat parkir khusus untuk penyandang cacat harus disediakan. Alternatif lain adalah para ilmuwan sosial negara-negara maju yang ingin menjadi wisatawan tetapi sekaligus mempelajari budaya suatu tempat. Umumnya segmen ini tinggal lebih lama di suatu lokasi dan cenderung tinggal di akomodasi yang lebih sederhana daripada wisatawan elite. Lama tinggal mereka berarti lebih banyak pemasukan bagi pelaku wisata. Kaum perempuan mandiri dari negara-negara yang maju juga adalah segmen pasar lain yang dapat dijadikan sasaran. Mereka umumnya berasal dari kalangan eksekutif, para pemasar, dan profesi-profesi yang mengharuskan mereka untuk sering bepergian.
  • 17. Bila kita mulai mentargetkan segmen-segmen pasar yang lebih spesifik maka ada beberapa hal yang perlu kita persiapkan. Saya sudah menyebutkan kebutuhan pasar penyandang cacat. Pasar pensiunan juga membutuhkan fasilitas dan jasa yang sesuai dengan usia mereka. Jasa medis misalnya perlu disiapsiagakan. Bagi segmen perempuan karir mandiri yang dibutuhkan adalah fasilitas kamar yang biasanya dibutuhkan wanita seperti pengering rambut (hair dryer), cermin memanjang ke bawah supaya mereka bisa melihat apakah busana yang dipakai sudah pas.
  • 18. INTANGIBLE ASPECTS OF MANAGEMENT August 9, 1997 If you work in tourism and occupy a management position, you must be ready to work in different cultural environments. You may be posted in different cities or even countries which have a totally diferent culture than yours. One skill you need to have to survive in a different cultural environment is multicultural skills, a soft skill (human related skills) that is as important as other hard skills (marketing, accounting, engineering). Tourism management involves the ability to adjust to the cultures of employees as well as the cultures of customers. Individuals perceive a particular service differently from others and one factor that affects this perception is the culture under which an individual grows up. Foreign managers, for example, bring the way of life, the norms, the habits which they are used to that may not be understood by the employees, staff and customers they serve. The inability to adjust create conflict which are counterproductive. Our experience working with the Balinese is completely different than working with the people from Banten, West Java. In Bali, for example, a manager cannot simply apply the rules and regulations determined by the manpower department of the national government. Take the case of working hours, leaves with or without pay, and the like. Employees are entitled to take their holidays during national holidays. The rule says that if employees are required to work during national holidays, then they are entitled to a remuneration twice the daily rate. But what happens if a Balinese employee must take their leave because of cultural requirements? Let us say that an employee must participate in a cremation ceremony, or a growing-up ceremony, or a marriage ceremony in his/her banjar, a very important social unit in Balinese culture. Management may not approve the leave because the concerned employee has exceeded his number of leaves. Normally, a Balinese employee will not heed management and will still go home to the banjar.
  • 19. Management can then issue a warning or reprimand or cut his/her salary which in the end will create conflict. One way to solve this potential problem is to talk to the work force and explain that leaves taken because of religious reasons may be taken but must be exchanged with national holidays. That means during national holidays these employees work as usual, although most of the national holidays are based on special holidays of the different religions recognized by the government. If the workforce consists of different ethnic and religious backgrounds, management must have the ability to juggle the schedules of this workforce. In Banten area, as in Bali, employees originating from the area will feel more assured if the company conducts certain religious ceremonies to pray for blessings from their deities and spiritual protectors. Certain mishaps in a Banten hotel, for example, are attributed to the incomplete “offerings” made during the inauguration of said hotel. To appease the gods and give confidence to the Bantenese workers, the management must conduct sertain ceremonies involving religious leaders and elders of the community. Believe it or not, our experience proved that after such ceremonies the mishaps are reduced or completely disappeared and the employees became calmer and in several instances more productive. To the western mind, it is strange to consider “spiritual” matters as part and parcel of management but lots of cases in Indonesia attest to this reality. The way foreign managers communicate with the indigenous workers and the way they live their lives must take into consideration the locals‟ cultural sensitivities. The concept of time is one aspect that requires careful handling. Discipline, as it is understood in the west, ought to be communicated in the “language” of the people. Knowledge of the culture,
  • 20. with the help of local managers who are aware of such differences, is definitely a must. Indonesia is a diverse country with many ethnic groups and managers, be they from other countries or Indonesians from other ethnic backgrounds should consider the fact that Indonesian workers are not homogenous. In one company you can have Javanese, Sundanese, Bataks, Balinese, Buginese, Minangkabaus, all working together. Our experience managing a hotel where you have employees who eat pork and others who do not, due to religious prohibitions, showed that “problem solving” skills taught in business schools do not apply at all. The solutions arrived at must be creative with the employees included in the discussions on how best to arrive at a modus vivendi that pleases everyone. Decisions in these cases could not be unilateral from the top because in the long run business objectives could only be achieved if the working environment is harmonious. The middle road attained through “musyawarah” or consensus in the end is the best way. Religious ceremonies and cultural solusitons to managerial problems do entail expenses and therefore must definitely be included in the business plan of tourism establishments such as hotels, resorts, travel agents‟ offices, and airports. The opportunities to misuse funds “supposedly” for the above solutions are many. Only knowledge of the culture can help managers from making wrong business decisions which are based only on trusting staff of the “personnel” department. PENJELASAN Banyaknya permasalahan yang dihadapi perusahaan-perusahaan dalam masa krisis ini adalah pertanda bahwa secara makro, ekonomi Indonesia selama ini telah salah urus atau “mismanaged” dan secara mikro perusahaan- perusahaan yang tidak “survive” juga telah di “mismanage”. Banyak
  • 21. pengamat serta pakar bisnis dan manajemen tidak akans etuju dengan pendapat kami ini tetapi faktanya tetap – bahwa kelangsungan hidup suatu perusahaan atau suatu ekonomi sangat tergantung pada bagaimana usaha atau ekonomi itu dikelola. Istilah “management” (bahasa Inggris) harus dilihat dari rangkaian 3 huruf pertama : MAN (manusia) dan rangkaian 3 huruf kedua : AGE (usia). Maknanya sederhana, yakni dalam meburus atau mengelola sesuatu kita harus mempertimbangkan bahwa yang mengurus dan diurus adalam manusia. Manusia adalah faktor paling utama, bukan money (uang), material (bahan atau sumber daya diluar manusia), machine (mesin), marketing (pemasaran) ataupun M-M lainnya. Semua itu diatur manusia. Jadi kalau manusianya tidak memiliki ketrampilan mengatur M-M tersebut diatas, sudah dapat dipastikan usahanya tidak akan mendapatkan laba. Rangkaian 3 huruf kedua – AGE – menandakan bahwa segala sesuatunya, termasuk manusia, hidup dalam suatu jangka waktu. Maknanya adalah bahwa pola pikir (paradigma) manajemennya harus selalu disesuaikan dengan masanya. Perlu disadari bahwa ciri utama masa moderen ini adalah “perubahan” yang serba cepat dengan arah yang tak menentu. Karenanya fleksibilitas dari para pengelola sangat dituntut. Manajemen tidak dapat lagi mengandalkan cara-cara lama (tradisional) walaupun cara-cara tersebut pada masa lalu membawa keuntungan. Siapa yang trampil menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan ini akan menang. Selain daripada itu, kita juga harus menyadari bahwa manusia bukan hanya sosok fisik tetapi juga sosok spiritual (gaib). Ada unsur tak terlihat dalam diri manusia (intangible). Mengatur hal-hal yang dapat ditangkap oleh pancaindra saja adalah dasar manajemen yang sudah kadaluwarsa. Yang sifatnta fisikpun seperti uang, mesin, sumber-sumber daya, material, berubah-berkembang meskipun lebih mudah diantisipasi. Penggunaan perangkat-perangkat kerja baru seperti komputer, produk-produk komunikasi nirkabel, dll oleh manusia (SDM) dapat ditunda tetapi tidak lagi
  • 22. pada masa milenium ketiga. Ini berarti para manajer harus pandai mengelola hal-hal yang “intangible”. Budaya, adat-istiadat, cara hidup manusia berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain. Dengan adanya globalisasi dimana perbatasan- perbatasan dan pemisah (barrier) antar negara, antar bangsa, antar perusahaan, terkikis, manusia tidak lagi dibatasi untuk bekerja hanya di tanah kelahirannya saja. Siapa saja yang memenuhi persyaratan intelektual- akademis dapat masuk ke negara-negara lain dan mengelola kegiatan- kegiatan usaha di tempat kerjanya yang baru. Perlahan tapi pasti pemisah formal yang ditetapkan pemerintah untuk melindungi rakyatnya akan dihapus. Sekarang saja modal dan pekerja asing sudah dengan mudah masuk ke Indonesia. Setiap negara berlomba untuk menarik investasi dan “keahlian” (expertise) dari luar negeri. Lambat laun proteksionisme tidak efektif lagi dalam melindungi penduduk-pekerja setempat. Namun demikian, pemikiran bahwa globalisasi akan dimenangkan oleh budaya kehidupan dan korporasi yang dominan dan menghilangkan budaya yang kurang kuat menurut kami tidak akan terwujud secara sukarela. Kecuali bila budaya yang dominan, misalnya dari negara-negara kawasan utara (maju) seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, memaksakan diri pada negara-negara kawasan selatan (berkembang). Mengapa demikian? Karena hal ini bertentangan dengan sifat manusia. Penyeragaman tidak akan berhasil. Sudah menjadi kodrat manusia untuk hidup dengan cara-caranya sendiri. Pemaksaan akan selalu ditentang. Pencucian otak melalui media elektronik (sudah berjalan) juga pada akhirnya akan menemui kegagalan. Dunia pariwisata khususnya sudah mengakibatkan pertemuan antara budaya yang bila dijalankan sebagaimana mestinya secara alamiah, untuk mengenal bangsa-bangsa dan budaya-budaya lain, membutuhkan para manajer yang memiliki “multicultural skills”. Yakni, ketrampilan untuk
  • 23. menyesuaikan diri dengan budaya setempat. Misalnya dalam dunia manajemen perhotelan kita mengenal perusahaan-perusahaan manajemen multinasional dan transnasional seperti Hilton, Hyatt, Sheraton, Holiday Inn, dll. Keberhasilan para manajer berketrampilan antar-budaya sudah terlihat dari banyak kinerja mereka di negara-negara berkembang. Ketrampilan antar-budaya tidak diajarkan dalam buku-buku manajemen dan tidak pula dalam sekolah-sekolah manajemen pariwisata. Sudah menjadi tanggung jawab pribadi para manajer yang ditugaskan di suatu daerah untuk mempelajari terlebih dahulu budaya dimana ia ditugaskan dan bersama-sama dengan manajer lokal mencari pendekatan yang paling cocok bila berurusan dengan sumber daya lokal maupun dengan penduduk setempat. Seperti telah menjadi kebiasaan beberapa negara yang sebelum mengirim diplomatnya ke negara lain mensyaratkan kemampuan berbahasa lokal negara dimana ia akan ditugaskan atau minimal memberikan preferensi kepada diplomat yang akan atau sudah mempelajari bahasa daerah kemana ia akan dikirim. Perhatikan saja beberapa diplomat Australia di Indonesia, misalnya. Pada saat tulisan ini (akhir 2001) Dutabesar Kerjaaan Inggris, Richard Gozney, juga dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Mengapa praktek ini tidak dilakukan juga untuk para manajer bisnis pariwisata, khususnya perhotelan, biro perjalanan dan penerbangan? Bila hal ini dapat dilaksanakan lintas negara, tidaklah sulit untuk mewajibkan manajer Indonesia yang berasal dari suatu daerah, katakanlah Sumatera Utara, untuk mempelajari terlebih dahulu norma-norma yang berlaku di Bali sebelum ia ditugaskan disana.
  • 24. COMPUTERIZATION OF HOTEL OPERATIONS November 15, 1997 A decade and a half ago a 5-star hotel in Jakarta decided to ride the information wave and computerize at least the front office operations first followed by the accounting and other back office operations. When we talk of the back office we are referring to the housekeeping, engineering, kitchen, purchasing and personnel departments. Accounting is considered a back office operation but because of its intimate links with the front office and food & beverage outlets it is ideal for the hotel to computerize the front office and the accounting departments at the same time. However, if a choice has to be made, probably because of budget constraints, front office operations can proceed ahead of accounting. Unfortunately, hotel management was not aware that computerization did not only consist of simply placing a computer terminal at the front office but that the whole hotel management must know the compatibility of the software used. How the linkages would work, whether the software can interface with other operations, and whether the language used can be easily understood by the operators, who are the employees, are only a few of the considerations before management decides to computerize. Ignorance of these matters created havoc and the needless funds expended to rectify the problems could have been avoided. The question that should be raised is not whether a hotel must computerize or not but how does it begin the computerization process. We are undergoing a technological revolution and no business can expect to survive much less to make a profit without technology. In the beginning we have two kinds of recations to computerization. Fear or Enthusiasm. Many people are simply fearful of what this new way of operating business will do
  • 25. to their comfortable way of doing things, while others with foresight enthusiastically embrace it, even if they are not sure what kind of animal it is. Nowadays, in major destinations most star-rated hotels are using computers but may not computerize their operations. Many small hotels still use computers but only as word processors replacing the manual and electrical typewriters for administrative workers. Others have made the important step of computerizing part of their operations but using softwares that they are not familiar with, thus hampering operations instead of enhancing it. Many owners and management of hotels in this country do not know why computerization is necessary. Some think that by computerizing their business operations their profits will immediately soar. Some think that computerization is the super solution to all their management problems. Some computerize because it bestows prestige on them. At least, avoiding the stigma that they are behind the times. Computers are actually tools for management to arrive at decisions faster and hopefully better. Hotels are service businesses with the people as the main recipients of these services. Computers can not and will not be able to take over all of the servicing functions done by humans. Computers are machines to aid hoteliers in pleasing customers. The speed with which computers handle data will leave more time to the service providers to concentrate on giving their full attention to guests. But these facts are foreign to many managers. How do we do it, then? First let me mention that I am of the belief that computerization must be adjusted to the style of management of the user not the other way around. I have seen many hotel management adjusting the way they manage to the computer software just because they bought a software from overseas on the say so of a friend or business relations. Or they succumb to the charms of the software sales executive.
  • 26. Each hotel must have a management system that is suited to its own needs. This means that there is at least a manual way of doing it. When you computerize you should be introducing the parameters of your own management system to the software. Ideally, you must be able to produce your own software. But because software companies have developed programs with universal management parameters in mind, with variations that apply to some countries but not to others, you can buy one that is most compatible with your needs. The trouble is that you have to study the strength and weakness of so many softwares for which you have no time, no expertise and no budget. Why is it necessary to have a manual operational system as a basis? Because as with any technology, when things go wrong the operators/the employees using the computers, have nothing to fall back on resulting in service disasters. I once experienced delayed check-in at an airline counter just because the computer is down and the airline staff did not know how to operate the check-in manually. Other preparations before computerization include training all the employees to be computer-literate, then training the users in the software to be used, preparing in-house technicians to be repairers of faulty hardware, setting up an EDP department with qualified software staff, and many more. It is a common sight now to see receptionists at the front desk with their eyes glued to the monitors while checking-in or checking out guests. Gone are the days when the receptionists engage the guests in a friendly banter with eye contact among them. Obviously the software is not user-friendly and or the receptionist is not trained in the operation of the computer. Back office computerization including accounting is even more complicated because of the zillions of data you must input. A small mistake and you will have a totally wrong report leading to management making wrong decisions. GIGO – garbage in, garbage out. If operators of the computers are not highly trained, you will only have a management
  • 27. nightmare. So, be careful before you decide to computerize. Ask the advice of those who have gone through hell and back. PENJELASAN Tidak diragukan lagi bahwa komputer sudah menjadi kebnutuhan dan bukan lagi sesuatu yang mewah atau aksesori yang bisa memberikan suatu rasa gengsi pada pemilik dan pengelola hotel. Kami tidak bisa membayangkan suatu usaha yang sama sekali tidak menggunakan komputer. Mungkin saja usaha kecil seperti warung atau usaha sejenisnya belum menggunakan komputer karena pemilik usaha merasa bahwa nilai transasksi yang mereka miliki tidak membutuhkan suatu perangkat seperti komputer, cukup saja dengan kalkulator. Sekarang malah ada perangkat menghitung nyang btradisional tetapi menemukan kembali kegunaannya, yakni sempoa. Dalam banyak hal sempoa akan sangat menguntungkan dilihat dari segi kecepatan dan keakuratan, namun kami belum dapat membayangkan suatu hotel berbintang atau bermelati tinggi menggunakan perangkat ini. Kompleksitas operasional hotel menengah dan besar pada saat ini hanya dapat dilaksanakan secara akurat dan cepat bila menggunakan komputer. Bahkan hotel kecilpun (penginapan, losmen, wisma, guest house) membutuhkan komputer minimal untuk kegiatan akunting dan surat- menyurat. Salah satu kelebihan dalam menggunakan komputer adalah kemampuannya untuk mencetak suatu laporan dengan cepat. Sesuatu yang menurut kami tidak dapat dilakukan oleh sempoa yang manual. Yang menjadi masalah adalah bahwa banyak pengelola maupun pemilik hotel belum mengetahui bagaimana mengkomputerisasi operasionalnya. Memasang komputer dengan piranti lunak yang tepat tidak hanya sekedar membeli piranti keras dan piranti lunak yang ditawarkan penjual. Pertama, Manajemen bila ingin efektif dala mmegoperasikan hotel dengan menggunakan komputer sebagai salah satu alat bantu harus memiliki
  • 28. suatu sistem yang baku. Baru kemudian membeli piranti lunak yang cocok atau mendekati sistem yang dipergunakan. Ini berarti bahwa pengelola harus mengenal berbagai piranti keras dan lunak yang beredar di pasar, mengevaluasinya, dan memilih sesuai kemampuan anggaran, kemudahan menggunakannya (user-friendly), jaspurna jualnya, dan kemampuan meningkatkan kapasitas memori dan kecepatan servernya tanpa harus selalu mengganti piranti kerasnya. Melatih sumber daya manusia hotel dalam menggunakan komputer yang disediakan adalah suatu keharusan. Tapi jangan lupa! Hotel dan usaha wisata lainnya adalah suatu usaha jasa dimana penyedia layanannya adalah manusia. Apabila pekerja hotel, perusahaan penerbangan atau biro perjalanan wisata, kurang menguasai penggunaan komputernya dengan baik, maka seluruh perhatiannya akan terfokus pada alat daripada pada pelanggan. Hal ini jelas bukan suatu pelayanan yang menyenangkan atau ramah, baik untuk si operator komputer maupun untuk sang pelanggan. Teknologi diciptakan untuk memudahkan pekerjaan manusia bukan untuk menguasai manusia. Banyak pekerjaan di hotel membutuhkan kehangatan manusia. Untuk itu kita tidak dapat menteknologikan atau mengkomputerisasi secara penuh semua kegiatan di hotel. Misalnya kegiatan tata graha, tata boga, pertamanan, keamanan, rekrutmen, pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia. Selain daripada itu, teknologi atau dalam hal ini komputer harus digunakan pengelola atau pemilik suatu usaha untuk dapat mengambil keputusan dengan cepat dan akurat mengingat keterlambatan dan kekurangakuratan mengambil keputusan bisnis dapat berakibat kehilangan pasar. Persaingan usaha yang semakin ketat dan global menuntut pimpinan perusahaan apapun dan para pekerjanya untuk melek komputer. Pada akhirnya GIGO (garbage in garbage out) harus menyadarkan kita bahwa manfaat komputer sangat tergantung pada siapa yang
  • 29. menggunakannya. Memasukkan data yang salah akan menghasilkan keluaran yang salah pula. GIGO adalah sampah masuk sampah keluar, Jadi, komputerisasi operasional hotel tidak berarti memasang monitor komputer di atas meja untuk pamer. Ada banyak hal yang harus diketahui dan dilakukan bila hotel ingin secara sukses menggunakan komputer.
  • 30. INTEGRATED MARKETING – IS IT POSSIBLE? September 27, 1997 The question whether Integrated Marketing is possible or not should not even be raised. In tourism or in other types of businesses marketing and sales are two of the most important management functions. The question is not about whether a particular service company implements marketing or not but whether the marketing mix is fully carried out. Not the overused 4Ps of traditional marketing, namely Product, Price, Place and Promotion but a combination of sub-mixes which are appropriate for tourism, namely Product-Service mix, Presentation mix and Communication mix. The second consideration is, once a service company (hotels and restaurants, travel agents and tour operators, airlines, tourism parks, etc.) professionally implements the combination of 3 sub-mixes mentioned, whether it can cooperate with other similarly interested service companies to sell the destination. Indonesian tourism is now experiencing such a management problem. On a micro level, many tourism establishments do not know what is marketing and if they know, intellectually, they do not know how to implement it. On a macro level, these establishments have difficulties getting together, even if the government provides the push, and market the destination for the benefit of all. The feeling of distrust for one another, fanned no doubt by the spirit of competition and „commercial‟ factors, negates everything constructive that tourism is supposed to bring. Now we hear travel agents, tour operators and hotels protesting the airlines for reducing their flight frequencies and even eliminating certain routes. By not flying into certain areas the number of tourists automatically drops. We also hear quite regularly the complain that the local governments do not remit their share of the development tax which is allocated for tourism to the national tourism promotion board. We also routinely hear and read the
  • 31. so-called „prive war‟ among the hotels and among the travel agents. The motto seems to be “each to his own”. Apparently, the Darwinian concept of “the strongest and the fittest survives” still applies. This must not be allowed to continue because in the end those benefitting from the in-fighting are our competitors, in this case other countries that also depend heavily on tourism for their foreign exchange. By applying the marketing mix on a macro level, on a national level, we can, I believe, achieve the goals that the government has set its sights upon. This obviously benefits everybody. Hotels will have more of their rooms occupied; travel agents and tour operators will have more tourists to handle; airlines will have more of their seats sold; tourism objects will have more visitors; the small hotel suppliers will have more orders to fulfill; souvenir shops will have more buyers to sell their products to; and son and so forth. Let us take the first sub-mix, Product-Service mix. In tourism, the quality of the facilities are not enough. A tourism product always has a service component. A deluxe facility means nothing if the service is lousy. On the other hand, a so-so product may sell well if the service is outstanding. This must be understood first. The second sub-mix is the Presentation Mix. How the facilities and the service are presented must be pleasing to the customers. If atmospherics like color, lighting, sound, smell, size are blended very well, even not-so-expensive material can be presented as if luxurious. If the presentation of meals and drinks take these atmospherics into consideration plus little things that please guests like greeting them the ethnic way, instead of the western shaking of hands, they add up to the overall quality of the product-service package. Finally, the third sub-mix, Communications mix, makes full use of all the communications methods available. How will a customer buy a product-service if he/she does not
  • 32. know anything about it. Communicating the existence of the product-service through print and electronic media, either through advertising or public relations, must be explored. By marketing the national tourism product the thorough implementation of the above mentioned sub-mixes of the marketing mix, and knowing what are the responsibilities of each tourism entity, we will be assured of one cohesive image and an integrated marketing activity, one supporting the other, instead of the prevailing “I do it my way, you do it your way” without coordination. Often the information conflicts with other information. Many times, there isn‟t even any information. This is confusing to the visitor. The annual Tourism Indonesia Mart, organized by the Indonesian Tourism Promotion Board, wherein all tourism products are put together and sold to invited buyers from overseas, is a step in the right deveral questions remain to be answered though, such as : Do all the products being sold meet the elements of the tourism marketing mix? Are there any follow up to the interests shown by the buyers? Does each tourism establishment coordinate with the promotion board when marketing overseas? Integrated marketing is not only possible but it is a must. Individual marketing efforts to be effective require lots of dollars, that means only the big ones can do it. By integrating it the benefits will be more spread out and it is more cost-effective. PENJELASAN Pemasaran Terpadu dalam artikel ini berkaitan dengan kegiatan pemasaran antar perusahaan yang umumnya menjual produk atau jasa yang sama. Ilmu Manajemen Pemasaran pada awal dan pertengahan abad ke-20
  • 33. menganggap semua usaha yang sasaran pasarnya sama dengan usaha tertentu sebagai pesaing dan harus diwaspadai, dilawan dan dikalahkan. Kalau bisa dihancurkan sekaligus. Ini adalah pola pikir kaum kapitalis yang menganut paham Darwin, “survival of the fittest”. Menjelang abad ke-21 muncul konsep baru dalam manajemen pemasaran yang dipicu oleh „ulah‟ beberapa perusahaan di Amerika Serikat. Kecepatan dan ketidaktentuan dalam arah perubahan teknologi mendorong perubahan ini. Dari pengalaman dan perilaku perusahaan-perusahaan tersebut muncul istilah “coopetition” (cooperation competition) walau popularitas gagasan ini hanya berlangsung sejenak. Secara sederhana konsep ini mengatakan bahwa di dunia moderen ini tidak ada lagi perusahaan-perusahaan yang secara murni saling bersaing. Sementara usaha kita bersaing dengan perusahaan lain, perusahaan kita dan pesaing kita juga saling melengkapi, saling meng-complement, dalam memenuhi kebutuhan pasar. Contoh utama yang mencuat di benak kami adalah produsen piranti lunak (software) komputer Microsoft. Sebagai operating system komputer Microsoft bersaing dengan Apple, IBM dan lain- lain. Akan tetapi dalam dunia teknologi multimedia bahasa komunikasi yang dipergunakan begitu terbukanya sehingga dalam satu piranti keras (hardware) komputer kita dapat menemukan adanya kompatibilitas dari berbagai produk hasil rekayasa beberapa perusahaan. Padahal dalam produksi barang-barang lainnya mereka bersaing saling berebut pasar. Tanpa disadari di dunia pariwisata kita sudah menerapkan koopetisi. Hotel Jakarta Hilton (sekarang bernama Sultan Hotel) bersaing dengan Hotel Mandarin Oriental. Sama-sama berstatus bintang lima berlian. Di pasar mereka menawarkan fasilitas dan layanan dengan harga yang bersaing dan mencoba memberikan pelayanan yang tidak diberikan oleh pesaingnya. Tetapi dalam hal-hal lain kedua hotel tersebut saling bekerjasama. Misalnya dalam menangani suatu konvensi besar dimana jumlah peserta yang membutuhkan kamar tidak dapat ditampung oleh satu hotel atau para delegasi diberikan pilihan dari berbagai hotel berbintang lima berlian yang
  • 34. sesuai dengan aktifitas, keinginan dan kebutuhan para delegasi di luar konvensi. Promosi atau penyajian informasi mengenai masing-masing hotel dapat dilakukan dalam satu brosur, satu iklan. Malahan tenaga penjual- pemasar kedua hotel dapat bersama-sama dalam satu tim mengkampanyekan konvensi tersebut di luar negeri untuk memastikan sebanyak-banyaknya peserta mancanegara datang ke Jakarta. Dengan kata lain - besarkan kue ekonominya supaya semua kebagian dan mendapatkan porsi yang lebih besar. Koopetisi dapat juga dilaksanakan bila satu hotel memiliki suatu fasilitas yang tidak dimiliki hotel pesaing. Melalui suatu kontrak kerjasama boleh saja tamu di hotel A dapat menggunakan fasilitas di hotel B yang tidak ada di hotel A dengan harga khusus atau diberikan pelayanan khusus. Pada awal tahun 80an kami telah merintis suatu perkumpulan antar sales-marketing manager hotel-hotel besar di Jakarta. Meskipun perkumpulan tidak resmi ini bersifat sosial informal para pimpinan (manajemen tertinggi dan pemilik) hotel memandangnya dengan penuh kecurigaan. Jangan-jangan nanti ada „rahasia perusahaan‟ yang akan bocor dan diketahui pesaing. Kami bersikeras dan berhasil menjalin suatu persahabatan antar manager 10 hotel sehingga, walaupun kita bersaing, kita juga bekerjasama untuk mencegah duplikasi dalam kegiatan promosi kita, saling berbagi informasi mengenai klien-klien yang tidak membayar (skipper), saling mengusulkan pemasok yang baik mutu produknya dengan harga yang bersaing, dst. Perkumpulan ini akhirnya menjadi suatu asosiasi yang pada waktu itu dikenal dengan nama Hotel Sales Management Asscosiation. Dalam era globalisasi kita dituntut untuk selalu mempertahankan identitas dan keunggulan khas kita. Globalisasi adalah kata lain dari kolonialisme gaya baru dimana hegemoni ekonomi, politik dan budaya barat dipaksakan pada ekonomi negara-negara berkembang. Globalisasi tidak lain adalah upaya penyeragaman yang dilakukan oleh negara-negara maju. Walaupun kelihatannya kita sulit membendung air bah bernama globalisasi
  • 35. kita sebagai bangsa minimal dapat mempertahankan jati diri kita dengan senjata integration (integrasi). Budaya dan lingkungan alam Indonesia yang beraneka ragam adalah kekuatan dan sebagai komoditi ekonomi pariwisata layak dipromosikan dan dijual di dunia global ini. Keberhasilan dari upaya ini hanya akan tercapai kalau kita tidak melepaskan pandangan kita dari keutuhan gambaran makronya (Indonesia) yang terwujud karena gambaran mikronya (berbagai suku bangsa, agama, ras, etnik, golongan). Bila kita lebih menyukai dan ingin mempertahankan identitas mikro kita, kami jamin identitas itu akan sirna/lenyap/punah dari muka bumi karena disapu bersih oleh tsunami globalisasi. Tetapi bila kita ingin tetap berkiprah di dunia internasional sebagai bangsa yang memiliki kekuatan budaya, ekonomi dan politik-sosial yang layak dipertimbangkan, maka satu-satunya jalan adalah Integrasi. Dalam skala kecil dunia pariwisata ini berarti hanya boleh ada satu visi penggerak setiap unsur industri pariwisata Indonesia dalam mana visi- visi mikro kita dapat terpenuhi. Bila kita mau jalan sendiri-sendiri seperti yang telah kami amati selama 25 tahun terakhir ini, akhirnya kita akan lenyap dari peta sejarah. Visi Integrasi itu harus muncul dari kedalaman masing- masing sanubari, tidak bisa dipaksakan seperti pada zaman orde baru. Kebhinekaan nasional (Bhineka Tunggal Ika) sudah menjadi harga mati. Pariwisata Indonesia menonjol justru karena kebhinekaan ini. Tapi belum terlihat upaya integrasi yang kami sampaikan diatas. Belum disadari bahwa integrasi harus dibuktikan pada tingkatan terendah sebelum menjadi suatu gerakan yang lebih besar. Integrasi Pemasaran saja belum ada. Walau upaya-upaya ke arah itu sudah ada namun belum maksimal dan menghasilkan yang optimal. Baru 20% dari ideal 100%. Mengapa begitu? Karena upaya masing-masing unsur untuk mempertahankan identitas mikronya masih sangat kuat. Gerakan-gerakan disintegrasi dalam segala lini mulai mencuat di negeri tercinta kita ini. Kami menemukan dalam suatu asosiasi pariwisata saja benih-benih disintegrasi selalu memperlihatkan wajah buruknya.
  • 36. Setiap perusahaan akomodasi, perjalanan wisata, penerbangan dan transportasi lainnya, penjual cenderamata, pengelola obyek wisata, pemerintah dan segenap masyarakat Indonesia tanpa kecuali harus menyadari bahwa keberadaan mereka sangat tergantung pada apakah kita dalam kebhinekaan dapat bersatu dan menyalakan mercusuar kita bagi kepentingan dunia. Ilmu manajemen pemasaran pernah menelorkan teori 4P yang dalam perjalanan waktu mengalami perubahan. Sekarang kita mengenal khususnya untuk dunia jasa pariwisata teori 3 sub-mixes sebagai bagian dari bauran pemasaran (marketing mix). Ini menunjukkan bahwa produk berbentuk barang tidak terpisahkan dari produk berbentuk jasa. Barang yang mutunya prima tidak akan memuaskan konsumen bila penyajiannya, yang dilakukan oleh manusia, tidak prima (sub-mix product-service). Kalaupun produk- layanan sudah prima tetapi tidak dikemas dengan prima, konsumen tidak akan tertarik untuk membelinya karena yang lain kemasannya lebih menarik (sub-mix presentation). Dan kalaupun semua diatas sudah terpenuhi, tidak akan ada yang membelinya apabikla semua itu disimpan di gudang, tidak dipasarkan dan dijual secara prima (sub-mix communication). Suatu produk- jasa yang dikemas dengan baik dan dikomunikasikan kepada pasar dengan metode-metode mutakhir akan mendapatkan tempat di hati banyak konsumen. Mengapa di hati? Komponen utama yang memotivasi-mendorong seseorang untuk membeli sesuatu adalah hatinya bukan pikirannya. So, ask yourself. What do you want? Do you want chaos or order? Do you want conflict or peace? Sebagai manusia tanyakanlah pada diri anda sendiri. Apa yang anda inginkan? Anda ingin kekacauan atau ketertiban? Anda ingin pertentangan atau perdamaian? Kami yakin setiap insan menghendaki yang sama karena keinginan itu adalah bagian dari survival instinct manusia. Integrasi atau disintegrasi? The choice is yours. Pilihan ada ditangan anda.
  • 37. A FEEDBACK SYSTEM FOR CUSTOMERS November 8, 1997 Companies that consider service as their main product often overlook the fact that people, the customers and customers-to-be, who are at the receiving end of this service are not given their day in court when they consider the service provided not to their liking. Many company managers who pride themselves in the quality of service their companies provide are often surprised when the customers complain or even worse give their business to their competitors. Why? they asked. “We have given careful consideration to the delivery of service and we have an international (or national, as the case maybe) reputation we can be proud of. Maybe the customers do not understand?” Such a response from management clearly shows that the philosophy of service the company has is not backed up with a system that will allow the customers to give feedback. Above all, this response shows the management‟s ignorance of what service is. Service is not what you like to give but giving what the customers want and need. And feedback is important because it gives management the opportunity to measure how far their service is accepted by the customers. Who are the customers? What we have to realize is that there are two types of customers. Internal customers are the employees and staff, external customers are the guests or clients. In the service world employees in the front lines, directly dealing with the guests, are very important elements in the service package. They in turn are backed up by administrative staff who are also important elements in this package. Management, therefore, is there to ensure that everything is running well to enable the frontliners to give their best service. In the hierarchy of service, management serves the employees so that they can provide the best. Management supports the employees. Management must make sure that policies and procedures support the service and not make the delivery of service difficult and complicated.
  • 38. Let us go in detail by taking a hotel and airline as examples. A guest dining in a coffee shop of a hotel may complain about the steak ordered. The guest ordered a well-done steak but received a medium steak. It is possible that the guest‟s idea of a medium steak is different from that of the hotel cook. In cases like these the waiter need not wait for approval from his captain waiter or restaurant manager to replace the steak with one that the guest wants. And if the waiter does replace it he should not be reprimanded or sanctioned by his superiors, or that the chef grumbles before making a new one. Or when a guest checks into a roomthat turned out to have a malfunctioning airconditioning unit. The receptionist after receiving the complain without further approval from her superior can immediately change the room with another one similar to the previous room booked, or if it is no longer available upgrade the guest to a higher class room. By making it easy for the guest to complain and receive immediate attention the guest will appreciate the service more, although service-recovery is only second best to providing service right the first time. Hotels do provide guest- questionnaires in the rooms but then how many of the guests provide feedback, positive or negative, by filling in these questionnaires? Experience has shown that guest-questionnaires are mostly wasted. Happy customers seldom let the hotel know about good service (even in writing) and if there is a small snag in the service they either remain quiet and accept it but tell friends after check out or lash out whenever the service failure is great as to make the guest uncomfortable. With the airlines the most oft-encountered problem passengers want to complain about is the delays in departure without so much of an explanation. Complaints of this sort are seldom heeded and acted upon. Many passengers now resort to writing open complaint letters to the print media before getting answers. Why not solve the problem and give a satisfactory explanation on
  • 39. the spot right after the incident occurred? Obviously, management has not considered setting up a feedback system that benefits everybody. Hotels and airlines, as well as other service companies, could aggresively interview guests, passengers or clients at random and ask them right after receiving the service what they think about that service. Regular surveys through letters, let us say twice a year, can be mailed and as incentive to answering the surveys they can be offered a gift. Phone calls to guests or clients can also be made. This way management takes a proactive approach to feedback. By soliciting it management shows that it is serious about what the customers think about the company. We must not forget the internal customers. If they have complaints about certain rules and regulations, are their complaints easy to make without fear of reprisal from superiors? Some companies set up suggestion boxes for employees to use. But are they useful? Should suggestions be signed by the employee or are the employees afraid to put their names on the suggestion paper because they may be branded as troublemakers by the management? To be effective, suggestions must be solicited actively by among others making them as part of the incentive program of the company. Management can institute a suggestion program by offering rewards to the best suggestion of the month that relate directly to the improvement of service to customers, for example, or to making operations more efficient. The Best Suggestion can then be publicized company-wide to give recognition to the employee who made it. And then to show that management is serious about the program, the best suggestion is immediately implemented to show the employees that management includes them in company decisions. Bureaucracy has been blamed as the root of all bad service. Thus, by involving the frontliners in making procedures that are customer-friendly management shoots two birds with one stone. One, the internal customers
  • 40. will have enough time to devote to servicing the customer instead of making sure all the complicated and long list of requirements are followed. Second, the external customers are happy because company staff show that they care. PENJELASAN Pada saat ini masih ada paradigma diantara para pemilik dan pengelola suatu usaha bahwa “good customer service” atau layanan pelanggan yang baik adalah bila perusahaan memiliki suatu divisi atau unit kehumasan (public relations) yang dapat memberikan penjelasan kepada para pelanggan yang mengeluh atau mengadukan “bad service” atau layanan yang buruk, baik itu berupa jasa atau penjualan produk yang kadaluarsa, cepat rusak, dlsb., yang tidak sesuai dengan apa yang dipromosikan. Ada dua jenis pelanggan yang harus diperhatikan. Pelanggan eksternal adalah mereka yang membeli jasa atau produk perusahaan. Pelanggan internal adalah para karyawan yang menyajikan pelayanan kepada pelanggan eksternal. Struktur organisasi berbentuk piramida didasarkan pada siapa atasan dan siapa bawahan. Struktur ini berasal dari militer dalam mana bawahan tidak boleh mempertanyakan perintah atasan. Struktur seperti ini sudah kuno. Tak dapat dipertanggung jawabkan lagi. Yang tidak disadari adalah bahwa makin tinggi kedudukan seseorang dalam struktur organisasi makin tinggi tanggung jawabnya dalam melayani karyawan “bawahan”nya supaya si bawahan ini dapat dengan lebih baik dan lebih mudah melayani pelanggan eksternal. Tugas seorang supervisor (penyelia) atau manajer haruslah mempermudah suatu pelayanan bukan mempersulit dengan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi pembeli (ini adalah dosa birokrasi). Harus ada suatu sistem umpan balik yang membuat
  • 41. para pelanggan lebih mudah memberitahukan kepada manajemen apa yang diinginkan dan dibutuhkan mereka. Para karyawan harus diberikan kesempatan, tanpa teguran maupun hukuman dari atasan, untuk mengusulkan bagaimana sebaiknya suatu pelayanan diberikan. Apalagi karyawan yang berhadapan langsung dengan calon pembeli atau pembeli. Malah mereka dengan usulan terbaik harus diberikan penghargaan dan usulannya langsung diimplementasikan. Misalnya, di suatu hotel seorang petugas kantor depan (front desk receptionist) harus diberikan wewenang untuk mengganti kamar tamu yang pendingin kamarnya rusak dengan kamar yang sejenis atau lebih baik tanpa harus meminta ijin terlebih dahulu dari atasannya. Tamu tidak ingin menunggu. Mendapatkan kamar yang sesuai keinginannya adalah haknya karena ia membayar untuk itu. Dan si resepsionis tidak boleh dimarahi oleh atasannya kalau ia melakukan hal ini demi kepentingan tamu. Kepuasan tamu terletak seberapa cepat dan ramah suatu permasalahan diselesaikan. Meskipun yang terbaik adalah memastikan pemberian pelayanan yang benar dari awal. Artinya, pastikan bahwa kamar yang dijual berada dalam kondisi yang layak jual dengan mengantisipasi semua persoalan yang mungkin akan terjadi. “Zero defect” adalah istilah manajemen yang berarti bahwa tidak ada kerusakan atau kemungkinan kerusakan dalam semua hal yang berkaitan dengan dengan sesuatu jasa atau barang. Kalau ini dapat dilakukan, fantastis. Pelanggan akan mengerti apabila semua upaya sudah dilakukan untuk memberikan yang terbaik tetapi bisa saja ada persoalan yang muncul secara tidak sengaja terhadap sesuatu barang. Misalnya, karena fluktuasi mendadak dari tegangan listrik PLN, unit pendingin ruangan mendadak mati karena rusak. Sistem umpan balik yang baik adalah bila manajemen proaktif (mengantisipasi – tidak menunggu sampai ada masalah) dalam mencari keinginan pelanggan dan calon pelanggan dengan melakukan survei dengan
  • 42. menanyakan langsung (tidak melalui kwesioner yang mereka harus isi – ini merepotkan mereka) pendapat mereka mengenai suatu pelayanan segera setelah pelayanan itu diberikan dan atau apa yang mereka inginkan bila membeli sesuatu dari perusahaan. Tentu saja sistem umpan balik yang menguntungkan pelanggan harus dirancang bangun tanpa mengabaikan bagaimana pelayanan ini juga menguntungkan pemilik dan pengelola. Effective but efficient!
  • 43. HOTEL TELEMARKETING August 30, 1997 Newspapers have been publishing lately advertising from hotels recruiting telemarketing officers. What is interesting to note is that some of these ads do not include the name of the hotel and their full address but only a PO Box number. A related development is the publication of letters from customers complaining about the services provided by hotels with telemarketing activities. Why? What is really going on? Telemarketing is nothing more than a sales approach implemented by hotels to get more members of the community to become members of what is essentially a “discount club”. Whatever their names, Executive Club or Privilege Club or Golden Club, membership is basically providing discounts to members patronizing hotel facilities. The problems occur because most of the telemarketing is not done by the hotels themselves but by third parties, telemarketing companies, contracted to phone individuals to persuade them to become members for a very competitive yearly fee. And when these members start coming and use the facilities concerned the service given is not as expected or as promised by the telemarketers. Let us look at what the basic problems are. First, telemarketing companies obtain the names of individuals by buying lists of credit card companies or publishing companies. Then they start calling them by phone. What is disturbing is the fact that when you ask the caller to provide further information about the club or privileges the hotels provide, either by sending brochures or facsimiles, the telemarketer will not do so. Prospects must decide then and there, taking the word of the telemarketer as truth, whether to accept or not. Obviously telemarketers save a lot of money by not providing written information about the “club”.
  • 44. Many individuals objects to being disturbed over the phone just to listen to someone on the otherside of the line selling the “wonders” of a hotel. Besides, where is the ethics of giving names away without asking for permission first from the persons to be called? We know of an international publishing company that always put in their subscription forms the question whether the subscriber objects or not to having their names given to other companies who intend to direct mail their products or services. This is not the case here. Many customers are also unaware of the fact that payment is sometimes exacted through credit cards. The procedures of payment by credit cards are not always clear to them. When asked for their credit card numbers, customers should not give them unless they are very sure of joining the “club”. Why? Because by giving their credit card numbers the telemarketing companies can immediately charge it. Some unscrupulous telemarketers can use this ignorance to their advantage. Thus, like it or not, you become a member. Undoing the thing is always possible but you have to spend a lot of time and energy, not to mention expenses, to get a refund. Second, the service provided to members is not always as promised. This happens because the telemarketer is not an employee of the hotel. In some cases, hotel employees do not even know there is such a scheme in their hotel. The lack of coordination between the telemarketing companies and the hotels they serve plus the irresponsibility of the hotels themselves for not providing good service turn hopes of excitement and fun into nightmares. Hotels resort to telemarketing because of the fierce competition. Telemarketing is intended to lure members of the public who are not regular customers to spend their money using facilities such as rooms, food and beverage, fitness centre, business center, and laundry. By outsourcing sales and marketing the hotels save a lot of overhead. By providing only a room,
  • 45. stationeries, and the utilities such as electricity, the hotel minimize sales expenses and receive in return a percentage from the membership fee or a fixed fee for every member signed up. Not to mention the revenues obtained when the members use the facilities. Annual membership fees start from Rp. 300.000,- up and the benefits received can range from 20% to 90% discounts. Customers must not be misled though because these discounts carry several restrictions such as prior reservations, not applicable at certain times of the year, not applicable when other promotions are in effect, presentation of membership card before using the service, and many more. Overall, when properly administered telemarketing is beneficial to consumers as well as to the providers of service. Notwithstanding, hotels must show more responsibility by controlling the telemarketing companies in matters of quality of communication by the latter‟s staff, quality of service to members – by not allowing discriminatory practices by hotel staff towards members just because they pay less than non-members, immediate resolution of complaints by training employees to be more responsive, and by regularly providing the latest information about the hotel to members especially referring to changes in published rates. PENJELASAN Istilah telemarketing adalah satu dari begitu banyak istilah-istilah baru yang muncul dalam penerbitan-penerbitan manajemen. Janganlah kita terkecoh dengan istilah. Banyak diantara kita suka menggunakan istilah- istilah “keren” seperti ini tetapi tidak mengetahui apa artinya atau supaya orang menilai penggunanya sebagai orang yang berwawasan luas dan menguasai ilmunya. Padahal, dibalik suatu istilah belum tentu ada makna yang canggih. Dunia pariwisata, dan dalam hal ini bisnis hotel, tidak luput dari penggunaan istilah-istilah terkini yang kalau diteliti ternyata artinya
  • 46. sangat simpel. Istilah telemarketing adalah penggabungan kata „tele‟ yang berasal dari bahasa Latin (artinya jauh, seperti tele-skop, tele-fon, tele-portasi, tele-visi, dll) dengan „marketing‟, kata yang berasal dari bahasa Inggris dan berarti pemasaran. Jadi, yang dimaksud dengan telemarketing adalah pemadsaran jarak jauh dan dalam hal jasa pariwisata kegiatan pemasaran ini difokuskan pada penjualan produk hotel melalui telefon. Pada dasarnya yang terjadi adalah penjualan paket-paket keanggotaan (membership) untuk memanfaatkan fasilitas hotel seperti restoran-bar, fasilitas rekreasi seperti kolam renang, fasilitas kebugaran (fitness center) termasuk kamar. Iuran atau biaya keanggotaannya berlaku selama setahun. Isi paket pada intinya adalah potongan harga, diskon, dan penggunaan gratis beberapa fasilitas dan jasa yang apabila anggota gunakan di hotel lain harus dibayar. Daya tarik dari membership yang dijual melalui telemarketing adalah bahwa fasilitas hotel yang biasanya hanya dapat digunakan oleh mereka yang menginap sekarang tersedia bagi orang luar tanpa diharuskan menginap selama ia menjadi anggota. Iuran keanggotaan sebenarnya adalah pembayaran dimuka bagi penggunaan fasilitas tertentu yang masa berlakunya adalah 12 bulan. Metode penjualannya adalah dengan menggunakan seorang telemarketer alias penjual melalui telefon. Biasanya ia adalah seorang wanita yang memiliki suara yang menawan dan dengan nada bicara yang memikat, terkesan sangat ramah dan bersahabat, akan menelpon calon anggota (prospek), umumnya pria pengusaha, untuk membujuknya menjadi anggota. Bila prospeknya terkesan, apakah dengan telemarketernya ataupun dengan paket yang ditawarkan, maka si prospek dengan mudah menjadi anggota. Gengsi yang dibawa sebuah nama, hotel yang sudah punya reputasi baik, termasuk juga salah satu alasan prospek mau menjadi anggota. Bila prospek setuju untuk bergabung maka ia diminta segera untuk membayar dengan kartu kredit. Caranya, sang prospek memberikan nomor kartu kreditnya pada si telemarketer. Tindakan ini sangat beresiko karena kartu kreditnya bisa ludes dikuras. Kami tidak menganjurkan prospek untuk tersihir dengan
  • 47. bujuk rayu seorang telemarketer kecuali orangnya dikenal dengan baik. Pada zaman ini teknologi internet dan short message service (SMS) melalui handphone dengan perantaraan bank jauh lebih aman. Kartu keanggotaan kemudian akan dikirm dan diterima dalam waktu 7 hari kerja termasuk brosur dan atau buku panduan dan manfaat dari keanggotaan. Dilihat sepintas, cara memasarkan jarak jauh dengan telefon sangat efisien dan efektif tetapi tingkat kerawanannya tinggi. Memang hubungan telefon hampir mendekati kunjungan niaga seorang sales executive tetapi prospek tidak dapat menguji kejujuran si penjual karen ia tidak dapat membaca bahasa tubuh yang bersangkutan kecuali suara. Selain daripada itu, banyak masalah akan muncul pada saat anggota menggunakan keanggotaannya kalau si telemarketer bukan karyawan hotel. Komunikasi antar departemen sebuah hotel saja bisa tidak nyambung yang pada akhirnya berdampak buruk pada kualitas pelayanan yang diterima anggota. Apalagi antar staff dari dua organisasi atau perusahaan. Mengamati gerakan telemarketing hotel pada waktu dimulai di Indonesia, penyelenggara atau pelaksana telemarketing bukanlah departemen pemasaran atau sales (penjualan) dari hotelnya sendiri tetapi perusahaan lain. Perusahaan ini dipercaya hotel karena ia menawarkan kerjasama yang sangat menggiurkan. Hotel tidak perlu menambah anggaran pemasannya untuk menggaet customer. Cukup dengan memberikan komisi sekian persen atau suatu nilai tetap yang disepakati kedua belah pihak dari jumlah calon yang menjadi anggota. Sementara itu, perusahaan telemarketing ini menjanjikan, bahkan ada yang berani menjamin, bahwa ia dapat memberikan hotel sekain ribu customer setahun dengan pemasukan sekian. Kalaupun si anggota tidak menggunakan haknya untuk memanfaatkan fasilitas hotel (yang berarti hotel tidak menerima pemasukan tambahan) selama masa keanggotaannya, hotel masih menerima sejumlah uang dari membership fee (iuran). Tetapi persoalan yang dihadapi pelanggan justru
  • 48. datangnya dari sistem penjualan yang menggunakan pihak ketiga seperti telemarketing hotel ini. Mengapa? Si telemarketer sebagai manusia maupun sebagai lembaga bukanlah operator dari fasilitas yang dijual. Bila ada perubahan dalam peraturan atau wujud fasilitas yang dilaksanakan oleh operator hotel, ia bisa tidak mengetahuinya karena tidak dikomunikasikan padanya dan tidak menyampaikannya pada pelanggan. Akibatnya banyak pelanggan menjadi kecele dan marah bila mereka datang ke hotel untuk menikmati masa rekreasinya atau jamuannya tetapi ternyata pelayanan yang diterima tidak sesuai dengan yang dijanjikan oleh telemarketer. Kalaupun koordinasi antara hotel dan telemarketer sangat cepat dan akurat, penyampaian informasi baru ke pelanggan akan memakan waktu, uang dan tenaga. Karena itu rata-rata telemarketer tidak pernah menyampaikan informasi baru kepada para anggota. Karena pendapat bahwa menghubungi kembali anggota bisa mengurangi profit margin atau malah rugi. Persoalan lain adalah bahwa tidak semua calon pelanggan (targets) mengenal atau sudah pernah melihat fasilitas hotel yang dijual. Kalau calon minta dikirimkan brosur terlebih dahulu jawaban pasti yang akan diterima adalah “tidak bisa” dan ia harus percaya bahwa apa yang disampaikan si pemasar-per-telfon adalah benar. Pepatah “membeli kucing dalam karung” sering terjadi dalam hal ini. Sebagai praktisi manajemen pemasaran kami menanggapi masalah ini dengan kesimpulan bahwa manajemen hotel yang kami kenal di Indonesia pada umumnya tidak memiliki visi dan ketrampilan pemasaran yang kreatif, inovatif, maupun agresif. Rata-rata hanya duduk saja dan berbuat apa yang sudah dilakukan bertahun-tahun oleh pendahulunya dan mencari aman – jangan sampai anggaran pemasaran membengkak dan hasilnyapun tidak optimal. Pola pikir (paradigma) seperti ini (tradisional, kuno) juga sudah mendarah daging dengan manajemen hotel dari mancanegara. Lihat saja sekarang dimana Indonesia menderita krisis ekonomi – semua hotel dengan
  • 49. tingkat hunian ataupun pemasukan fasilitas lain merosot tajam, alasan (excuse) klasik mereka adalah ini karena krisis ekonomi, beyond our control. Bila telemarketing pada suatu saat adalah sebuah inovasi, meskipun dalam praktek terjadi banyak persoalan, mengapa sekarang kita tidak berinovasi, berkreasi secara agresif dan ciptakan sistem, metode dan strategi yang efektif dalam meraih segmen atau ceruk pasar yang sudah ada dan belum tergarap dan sekaligus menciptakan pasar-pasar baru. If there is a will, there is a way! Apabila ada keinginan, ada jalan keluarnya!
  • 50. JOB HOPPING OR HIJACKING October 11, 1997 The rapid growth of hotels in major destinations like Jakarta, Surabaya and Bali, has brought more headaches for Human Resources Managers of existing hotels. The West Java branch of the Hotel and Restaurant Association has even suggested that the “hijacking” hotels be severely punished by withdrawing their licences. This is certainly an over-reaction to a perennial problem within the service industry. Let us first look at the problem before we start giving names to the problem. The main problem has something to do with the high turnover of employees experienced by existing hotels. The departure of many employees to new hotels is a fact we can not deny. The need for rank-and-file employees is so big that even existing graduates from hotel schools can not fill them all. The problem is heightened once we begin to consider supervisory and managerial staff. Hotel schools do not usually produce ready-made supervisors and managers for the simple reason that they do not have the required experience on the job. That means that a new hotel will have to get experienced supervisors and managers from operating hotels. Whether the process of moving from one hotel to another can be classified as “hijacking” or “job-hopping” must be seen from the point of view of the parties concerned. In our view, hijacking occurs if the new hotel‟s management intentionally and directly approaches the employees of the operating hotel and offers them a job with a higher salary and or position. This can occur in several ways but one example that we know about is when the General Manager of the new hotel sits down at the coffee shop of an exsting hotel, pretends to be a guest, but then offers the waiters and waitresses serving him a job at his soon-to-be opened hotel. This we believe is pure and simple
  • 51. hijacking but to prove it you need to catch him in the act and or get the confessions of either side. Would inviting a manager for lunch or dinner and offering him/her a new job be considered hijacking? The answer is dependent on whether the losing hotel looks at it that way or not. If a new hotel advertizes in the papers and magazines and present employees send in their applications plus resumes (or curriculum vitae), then this is not hijacking. This is more a case of the employee looking for greener pastures. The term job-hopping can only be applied if a particular person very often moves from one hotel to another. There is nothing wrong with job- hopping as such because it is the right of every person to seek for better jobs. Let us now look from another angle. Has management done enough to earn the loyalty of its employees? Are the employees treated as means of production instead of company assets? We do hear a lot of people talking about human resources as assets but in reality are not treated as such. If in the past employees can see clearly their path up the career ladder, nowadays with all the reengineering, reinvention, downsizing and reorganization, nobody is assured of their place in the company. Even the Japanese whose management tradition include taking care of the employees for life and consequently the employees give their loyalty to their company also for life is no longer true. The younger generation Japanese are now on the move looking for better opportunities and therefore do not rely anymore on being employees for life. The degree of loyalty in the not too distant past can be gauged from the remuneration an employee gets. As it stands now this must be augmented with other non-economic incentives to keep an employee in-house. Does he get further training, for example, by sending him to courses or seminars inside and outside the confines of company walls? Is his value as a person being developed? Is he made a part of the decision-making process, or at least are his opinions heard?
  • 52. The reluctance of many tourism companies to invest in the development of human resources by providing in-house or off-site training to its employees can be traced to the fact that many of their trained employees, with their newfound skills, still move to competitor companies because their value, after training, have increased and therefore they are in demand. This kind of reaction is shortsighted to say the least. It is not automatic that after spending lots of money, time and effort to train employees that they go to the opposition. Everything depends on a combination of training, “real” empowerment, and financial benefits. Involving the employees in decision making, which is a consequence of empowerment, plus giving them a share or other forms of incentives maybe one way of keeping them. One thing is sure. Job hopping cannot be stopped. It is a human being‟s inalienable right to always improve his lot. But if the company has a good philosophy and system of human resources development, the departure of valuable staff will not create a dent in the capabilities to provide good service. In fact, those below the ranks of those leaving will get the opportunity to go up the ladder. Besides, wouldn‟t it be good publicity to say that our employees move to other companies because their quality is guaranteed? Of course, we do not like to hear that their move is prompted by bad human resource management in our companies, do we? PENJELASAN Artikel in ditulis beberapa waktu sebelum krisis ekonomi yang menghantam Indonesia betul-betul dirasakan dampaknya. Pada zaman orba (orde baru) pembangunan pariwisata lebih ditekankan pada pembangunan hotel berbintang 3 ke atas dengan harapan investor asing akan datang membawa dolar yang begitu diinginkan pemerintah saat itu. Meskipun
  • 53. permasalahan pembajakan atau perpindahan karyawan trampil ke hotel-hotel pesaing tidak berhenti hanya karena ada krisis ekonomi, masalah ini sangat dirasakan justru pada saat roda ekonomi berputar dengan kencang dan pertumbuhan pembangunan hotel lebih tinggi daripada pertumbuhan sumber daya manusia yang akan mengelolanya masuk lapangan kerja. Keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang memberikan kesejahteraan yang lebih baik adalah hak asasi seorang pekerja. Perpindahan karyawan akan selalu terjadi. Yang menjadi masalah adalah bila frekwensi dan jumlah yang pindah begitu tinggi sehingga mempengaruhi manajemen hotel yang ditinggalkan. Istilah pembajakan atau meloncat-loncat dari satu perusahaan wisata ke perusahaan wisata lain hanya dapat kita gunakan kalau kita mengetahui proses rekrutmen yang dilaksanakan oleh suatu hotel. Kondisi hotel yang ditinggalkan karyawannya juga perlu diketahui. Salah satu alasan pekerja termotivasi untuk pindah adalah kondisi yang tidak menguntungkan di perusahaan dimana ia sekerang bekerja. Bila seorang General Manager hotel baru duduk dan minum di sebuah coffeeshop hotel tertentu, kemudian menawarkan pekerjaan kepada para pramusaji yang melayaninya, maka apa ia lakukan dapat dikategorikan sebagai pembajakan. Apabila sebuah hotel baru mengiklankan diri mencari karyawan dan direspon oleh karyawan hotel lain dengan mengirimkan lamarannya, maka sang karyawan mencari peluang baru untuk memperbaiki kesejahteraan. Ini bukan pembajakan. Sementara istilah job hopping yang dipergunakan di Singapura misalnya bermakna seringnya seseorang berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Istilah-istilah ini menurut saya sering dipergunakan oleh mereka yang kehilangan karyawan tanpa mau mengakui perpindahan karyawan mereka bisa saja terjadi karena kondisi kerja, termasuk kesejahteraan, kurang memuaskan. Mereka yang menggunakan istilah-istilah ini mencari kambing hitam karena tidak
  • 54. menyadari bahwa merekalah yang mungkin penyebab terjadinya eksodus karyawan. Mari kita buka mata kita dan melihat permasalahan ini dari sudut pandang yang berbeda. Dari sudut pandang pengembangan sumber daya manusia suatu perusahaan. Umumnya banyak perusahaan hanya menganggap pekerja sebagai obyek untuk dimanfaatkan pengusaha. Bicara soal loyalitas, apakah manajemen dan pemilik sudah berupaya keras untuk mendapatkan loyalitas karyawannya? Jangan hanya menuntut loyalitas karyawan sedangkan perusahaan tidak membuktikan loyalitasnya pada karyawan. Jelas sekali bahwa penghasilan seseorang menjadi indikator puas atau tidaknya seorang karyawan. Indonesia sebagai negara berkembang mempunyai masalah dalam menilai tenaga kerja. Sangat rendah dan alasan yang dikemukan tidak bisa diterima karena hanya mementingkan perusahaan. Tenaga kerja umumnya dianggap sebagai alat produksi dan bukan sebagai aset. Mengatakan karyawan itu aset harus dibuktikan dalam beberapa hal. Gaji dan kesejahteraan adalah salah satunya. Jargon-jargon yang dipakai perusahaan untuk membenarkan pemberian upah atau gaji rendah tidak dapat diterima. Paradigma keliru mengenai pengembangan sumber daya manusia adalah penyebab ketimpangan. Paradigma yang sesuai harus berlandaskan pada pengakuan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki raga (tubuh) dan jiwa (batin – spiritual). Pemenuhan kebutuhan fisik dan batin harus menjadi pertimbangan perusahaan. Apalagi perusahaan penjual jasa seperti hotel. Dalam pariwisata, manusia melayani manusia. Unsur kejiwaan memainkan peran sangat penting selain unsur fisik. Apakah manajemen memberikan kesempatan kepada karyawan untuk meningkatkan nilai dirinya sehingga ia punya harga diri? Apakah pelatihan di dalam atau di luar lingkungan kerja menjadi kegiatan sehari-hari? Apakah ketrampilan mereka selalu ditingkatkan? Apakah mereka masih harus memikirkan bagaimana merawat anggota keluarga yang sakit, menyekolahkan anak- anaknya? Upah atau gaji yang memadai serta insentif-insentif lain yang
  • 55. membangkitkan semangat kerja harus diberikan bersamaan. Membangun sumber daya manusia adalah suatu investasi bukan suatu biaya. Paradigma yang menganggap tenaga kerja sebagai alat produksi yang dapat dipangkas setiap saat diinginkannya hanya akan membawa kesulitan bagi kelangsungan hidup perusahaan itu sendiri. Ada teori manajemen yang mengatakan bahwa ada 6M yang harus dikelola dengan baik. Man (manusia), Machine (mesin-peralatan), Material (bahan-bahan, sumber daya lain), Marketing (pemasaran) dan Methodology (metoda). M yang pertama adalah manusia. Tanpa manusia yang terdidik, terlatih, puas, M-M lainnya tidak akan dapat dikelola dengan baik. Manusia harus didahulukan. Ironisnya, manusia disamakan dengan M-M lainnya. Kalau manusia harus didahulukan kenapa ia diperlakukan seperti benda mati. Ia bernapas, punya pikiran dan perasaan, punya jiwa. Peningkatan potensi manusia dapat berlipat ganda jauh diatas peningkatan M-M lainnya. Tanpa uang berjumlah banyak, mesin dan peralatan canggih, sumber daya lain yang memadai, pemasaran yang pas-pasan saja, dan metoda yang sederhana, semua itu dapat ditingkatkan kualitasnya bila manusia yang mengelolanya terlebih dahulu dikembangkan. Sebaliknya, bila semua M-M lain yang ada sangat canggih tetapi manusia yang mengelolanya merasa direndahkan, maka hasilnya akan lebih rendah dari yang diharapkan. Perusahaan harus menciptakan iklim kerja yang menumbuhkembangkan motivasi tenaga kerja. Malah perusahaan yang berada dalam kondisi kritis sekalipun dapat diselamatkan oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Nasib perusahaan berada pada tenaga kerjanya bukan pada pimpinannya. Manajemen harus melibatkan karyawan dalam mengambil keputusan. Minimal pendapat mereka harus didengar dan dipertimbangkan. Motivasi karyawan kalau diteliti lebih dalam tidak selalu berawal dari uang walaupun kecukupannya adalah suatu prakondisi yang tidak bisa begitu saja diabaikan. Loyalitas akan diperoleh bila manajemen memperhitungkan kehidupan karyawan yang layak diperoleh. Dalam bahasa kini, visis perusahaan harus