2. WADI’AH
Secara bahasa, wadī’ah: ma wudi’a ‘inda ghairi malikihi liyahfadhahu
(sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya untuk dijaga).
Secara terminologi, menurut ulama Hanafiah, wadi’ah ialah
“Mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan
ungkapan yang jelas maupun melalui isyarat.”
Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah,
wadi’ah adalah mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu
dengan cara tertentu.
Intinya, al-wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang
lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaga secara layak. Jika
terjadi kerusakan pada benda titipan, padahal benda tsb sudah dijaga
sebagaimana layaknya, maka penerima titipan tidak wajib
menggantikannya, tetapi bila kerusakan itu disebabkan oleh
kelalaiannya, maka ia wajib menggantinya.
3. Dasar Hukum Wadi’ah
QS. Al-Baqarah: 283. بر ربهلبر اقبر وليتهبر أمانتنبر اؤتمىبر الذدبر فليؤابر بعضمبر بعضكنبر أمنْ فإ
Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya, dan
bertaqwalah kepada Allah sebagai Tuhannya.
QS. Al-Nisa’: 58. بر أهلهاىبر إلتبر الماناابر تؤدونبر امبر يأمركلبر انإ
HR. Abu Dawud, Turmudzi dan al-Hakim:
بر خانكنبر منبر تخلبر وكبر ائتمننبر مىبر إلةبر الماندِ أ
Serahkanlah amanah orang yang mempercayai engkau, dan jangan
kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu
Jadi, wadi’ah merupakan amanah bagi orang yang menerima titipan,
dan ia wajib mengembalikannya pada waktu pemilik meminta
kembali.
Orang yang menerima barang titipan tidak berkewajiban menjamin,
kecuali bila ia tidak melakukan kerja sebagaimana mestinya.
HR. Daruquthni بر عليهنبر ضمالبر فةبر وديععبر أودنم
4. Rukun dan Syarat Wadi’ah
Menurut Hanafiah, rukun wadi’ah hanya satu, yaitu ijab dan
qabul, sedangkan yang lainnya termasuk syarat, bukan rukun.
Tidak sah apabila yang menitipkan dan yang menerima benda
titipan adalah orang gila atau anak yang belum dewasa (shabiy)
Menurut jumhur ulama, rukun wadi’ah ada 3, yaitu:
1. Barang yang dititipkan, syaratnya: benda itu merupakan
sesuatu yang dapat dimiliki.
2. Orang yang menitipkan dan yang menerima titipan (orang
yang berakad), syaratnya: sudah baligh, berakal dan syarat-
syarat lain sesuai syarat berwakil.
3. Shighat ijab dan qabul, syaratnya: dapat dimengerti kedua
belah pihak, baik secara sharih (jelas) maupun kinayah (samar).
5. Jenis-jenis Wadi’ah
Wadi’ah yad al-amanah, yaitu titipan yang bersifat amanah belaka.
Imbalannya hanya mengharap ridha Allah Swt. Dalam kondisi seperti
ini tidak ada kewajiban bagi orang yang dititipi untuk menanggung
kerugian jika barang titipan tersebut rusak, kecuali ada unsur
kesengajaan atau karena kelalaian.
Wadi’ah yad al-dhamānah, yaitu akad titipan dimana pihak yang
dititipi harus menaggung resiko kerugian. Konsep modifikasi inilah
yang dikembangkan oleh perbankan syariah. Bank sebagai penerima
simpanan dapat memanfaatkan wadi’ah untuk tujuan: current account
(giro) dan saving account (tabungan berjangka). Konsekuensinya,
semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tsb menjadi milik
bank (demikian juga bank menjadi penanggung seluruh kemungkinan
kerugian). Sebagai imbalan, si penyimpan mendapat jaminan
keamanan terhadap hartanya, juga fasilitas giro lainnya. Bank juga
dapat memberikan bonus, meskipun tidak ditetapkan dalam nominal
atau persentase secara advance (dimuka).
7. Rahn (Gadai)
Secara etimologi, al-rahn berarti al-tsubut wa al-dawam, artinya tetap
dan kekal. Atau al-habsu wa al-luzumu, artinya pengekangan dan
keharusan. Bisa pula berarti jaminan.
Secara terminologi, menurut ulama Malikiyah
لمزم دين في به توثقا مالكه من يؤخذ متمول شيئ
Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.
Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah:
وفائه تعذر عند منها يستوفي بدين وثيقة عين جعل
Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapay dijadikan
pembayar utang jika orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya.
Hukum meminta jaminan itu mubah.
Dasar Hukum Rahn: QS. Al-Baqarah: 283.
مقبوضة فرهان كاتبا تجدو ولم سفر على كنتم وان
Apabila kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai),
sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).
ومسلم البخاري )رواه حديد من درعا رهنه طعاما يهودي من اشترى م ص ال رسول أن)
Rasulullah Saw membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan
baju besinya sebagai barang jaminan.
8. Rukun dan Syarat Rahn
1. Orang yang berakad rahn, yaitu al-Rahin (orang yang menggadaikan)
dan al-Murtahin (orang yang menerima gadai). Syaratnya cakap
bertindak hukum, baligh dan berakal sehat.
2. Sighat (lafaz ijab dan qabul). Lafaz dalam sighat tidak boleh dikaitkan
oleh syarat tertentu.
3. Utang (al-marhun bih). Syarat: (a) Merupakan hak yang wajib
dikembalikan kepada pemberi utang. (b) Utang boleh dilunasi dengan
jaminan. (c) Utang itu jelas dan tertentu.
4. Harta yang dijadikan jaminan (al-marhun). Syarat: (a) barang jaminan
itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang. (b) barang
jaminan itu berharga dan boleh dimanfaatkan. (c) barang jaminan itu
jelas dan tertentu. (d) barang jaminan itu milik sah orang yang
berutang. (e) barang jaminan itu tidak terkait dengan hak orang lain. (f)
barang jaminan itu merupakan harta utuh. (g) barang jaminan itu boleh
diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.
Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat bahwa rukun rahn hanya ijab
dan qabul. Disamping itu, untuk sempurna dan mengikatnya akad rahn,
maka diperlukan adanya penguasaan barang oleh pemberi utang.
Sedangkan lainnya menurut Hanafiah termasuk syarat, bukan rukun.
9. Hukum-hukum Rahn
Pemanfaatan barang gadai oleh al-rahin menurut jumhur ulama selain Syafi’iyah
melarang al-Rahin untuk memanfaatkan barang gadai atau jaminan. Sedangkan ulama
Syafi’iyah membolehkannya sejauh tidak memudharatkan al-murtahin.
Jumhur ulama selain Hanabilah juga berpendapat bahwa murtahin tidak boleh
memanfaatkan barang gadai, kecuali bila rahin tidak mau membiayai barang gadai tsb.
Maka boleh mengambil manfaat sekedar mengganti ongkos pembiayaan. Menurut
ulama Hanabilah, murtahin boleh memanfaatkan barang gadai jika berupa kendaraan
atau hewan, seperti boleh mengendarainya atau mengambil susunya sebagai
pengganti pembiayaan.
Menurut Syafi’iyah, bila barang gadai (marhun) hilang dibawah penguasaan murtahin,
maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena
kelalaian murtahin. Berbeda dengan Hanafiah yang menyatakan bahwa murtahin yang
memegang marhun menanggung resiko kerusakan atau kehilangan marhun, baik
karena kelalaian maupun tidak.
Perjanjian pada gadai (rahn) pada dasarnya adalah akad utang-piutang, hanya saja
dalam gadai ada jaminannya. Apakah dalam gadai terdapat unsur riba? Bisa riba jika
ada tiga kemungkinan:
1. Apabila dalam akad gadai ditentukan bahwa rahin (penggadai) harus memberikan
tambahan kepada murtahin ketika membayar utangnya.
2. Apabila akad gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan.
3. Apabila rahin tidak mampu membayar utangnya hingga waktu yang ditentukan,
kemudian murtahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga marhun
kepada rahin. Padahal utang rahin lebih kecil nilainya dari marhun.
10. QARDH (Pinjaman)
Yaitu menghutangkan harta kepada orang lain tanpa
mengharapkan imbalan, untuk dikembalikan dengan pengganti
yang sama dan dapat ditagih atau diminta kembali kapan saja
dikehendaki.
Akad qardh adalah akad tolong-menolong, tidak diperkenankan
mengambil keuntungan dari akad tsb.
Qardh yang mensyaratkan manfaat tertentu bagi pemilik
pinjaman adalah diharamkan. Kecuali jika peminjam
memberikan manfaat tambahan tanpa dipersyaratkan di awal,
maka itu dianggap sebagai hadiah.
Qardh juga tidak boleh menjadi syarat akad lain seperti jual beli.
Misal, seorang pedagang meminjamkan motor dengan syarat si
peminjam harus belanja di tokonya.
11. Dasar Hukum Qardh
QS. Al-Baqarah: 245
كثيرة أضعافا له فيضاعفه حسنا قرضا ال يقرض الذي ذا من
Barangsiapa yang mau memberikan pinjaman kepada Allah
berupa pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.
12. Rukun dan Syarat Qardh
Rukun Qardh ada 4:
1. Muqridh, orang yang mempunyai barang untuk dihutangkan.
2. Muqtaridh, orang yang mempunyai hutang
3. Muqtaradh, obyek yang dihutangkan
4. Sighat akad (ijab dan qabul)
SYARAT QARDH:
Syarat bagi muqridh dan muqtaridh adalah ahliyatu al-tabarru’,
orang yang mampu mengelola hartanya sendiri secara mutlak
dan bertanggung jawab. Jadi anak kecil dan orang gila tidak
masuk kategori ini. Selain itu juga disyaratkan tidak ada
paksaan
Syarat muqtaradh adalah barang yang bermanfaat, bernilai dan
dapat dipergunakan.
Syarat sighat harus menunjukkan kesepakatan kedua belah
pihak. Qardh tidak boleh mendatangkan manfaat bagi muqridh.
Dalam sighat ijab qabul juga tidak mensyaratkan qardh bagi
akad lainnya.
13. Aplikasi Qardh dalam Perbankan
Qardh dikategorikan akad ta’awuni (saling tolong-menolong),
bukan transaksi komersial.
Akad ini dijalankan untuk fungsi sosial bank syariah. Dananya
bisa diambil dari dana zakat, infaq dan shadaqah yang dihimpun
oleh bank.
Bank memberikan pinjaman murni kepada orang miskin tanpa
dikenakan biaya apapun. Lebih efektif jika pinjaman diberikan
untuk kepentingan produktif, bukan konsumtif. Adapun cara
pengembaliannya dengan diangsur atau dibayar tunai sekaligus.
Jika pinjaman sudah dikembalikan, bank dapat memutar
kembali secara bergulir dan bergilir.