1. Pengantar Studi Hadits
Page | 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hadis telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tidak
dapat diragukan lagi. Sesungguhnya semasa hidup Rasulullah adalah wajar sekali jika kaum
muslimin (para sahabat r.a.) memperhatikan apa saja yang dilakukan maupun yang diucapkan oleh
beliau, terutama yang berkaitan dengan fatwa-fatwa keagamaan. Orang-orang Arab yang suka
menghafal dan syair-syair dari para penyair mereka, ramalan-ramalan dari peramal mereka dan
pernyataan-pernyataan dari para hakim, tidak mungkin lengah untuk mengisahkan kembali
perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan dari seorang yang mereka akui sebagai seorang Rasul
Allah.
Di samping sebagai utusan Allah, Nabi adalah panutan dan tokoh masyarakat. Selanjutnya
dalam kapasitasnya sebagai apa saja (Rasul, pemimpin masyarakat, panglima perang, kepala rumah
tanggal, teman) maka, tingkah laku, ucapan dan petunjuknya disebut sebagai ajaran Islam. Beliau
sendiri sadar sepenuhnya bahwa agama yang dibawanya harus disampaikan dan terwujud secara
kongkret dalam kehidupan nyata sehari-hari. Karena itu, setiap kali ada kesempatan Nabi
memanfaatkannya berdialog dengan para sahabat dengan berbagai media, dan para sahabat juga
memanfaatkan hak itu untuk lebih mendalami ajaran Islam.
Hadis Nabi yang sudah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan ada pula yang
dicatat. Sahabat yang banyak mengahafal hadis dapat disebut misalnya Abu Hurairah, sedangkan
sahabat Nabi yang membuat catatan hadis diantaranya ; Abu Bakar Shidiq, Ali bin Abi Thalib,
Abdullah bin Amr bin Ash, dan Abdullah bin Abbas.
Minat yang besar dari para sahabat Nabi untuk menerima dan menyampaikan hadis
disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya : Pertama, Dinyatakan secara tegas oleh Allah dalam al-
Qur‟an, bahwa Nabi Muhammad adalah panutan utama (uswah hasanah) yang harus diikuti oleh
orang-orang beriman dan sebagai utusan Allah yang harus ditaati oleh mereka.
Kedua, Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang
berpengetahuan. Ajaran ini telah mendorong para sahabat untuk berusaha memperoleh
pengetahuan yang banyak, yang pada zaman Nabi, sumber pengetahuan adalah Nabi sendiri.
Ketiga, Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk menyampaikan pengajaran kepada
mereka yang tidak hadir. Nabi menyatakan bahwa boleh jadi orang yang tidak hadir akan lebih
2. Pengantar Studi Hadits
Page | 2
paham daripada mereka yang hadir mendengarkan langsung dari Nabi. Perintah ini telah
mendorong para sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh dari Nabi.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan :
Bagaimana sejarah hadis pra kodifikasi ketika periode Rasulullah SAW?
Bagaimana sejarah hadis pra kodifikasi ketika periode sahabat dan tabi‟in?
Bagaimana terjadinya pembukuan hadis abad II, III, IV H?
Bagaimana terjadinya pembukuan hadis abad V H hingga sekarang?
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah, sebagai berikut :
Mengetahui sejarah hadis (pertumbuhan dan perkembangannya) pra kodifikasi periode
Rasulullah SAW
Mengetahui sejarah hadis (pertumbuhan dan perkembangannya) pra kodifikasi periode
sahabat dan tabi‟in
Mengetahui sejarah hadis (pertumbuhan dan perkembangannya) kodifikasi
pembukuan hadis abad II, III, IV H
Mengetahui sejarah hadis (pertumbuhan dan perkembangannya) kodifikasi
pembukuan hadis abad V H hingga sekarang
3. Pengantar Studi Hadits
Page | 3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pra Kodifikasi
Membicarakan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis bertujuan unuk mengangkat
fakta dan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW kemudian secara periodik pada
masa masa sahabat dan tabi‟in serta masa masa berikutnya .
Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ini diharapkan dapat
menggambarkan sikap dan tindakan umat Islam. Khususnya para ulama ahli hadis terhadap
hadis serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap tiap periodenya hingga
terwujudnya kitab kitab hasil tadwin secara sempurna. Karena perjalanan hadis pada tiap tiap
periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang tidak sama,maka dalam
pengungkapan sejarah perjalanannya perlu dikemukakan ciri ciri khusus.
Di antara para ulama terdapat perbedaan dalam menyusun periodesasi pertumbuhan dan
perkembangan hadis ini. Ada yang membaginya dalam tiga periode saja, yaitu masa Rasulullah
SAW, sahabat dan tabi‟in , masa pen-tadwin-an dan masa setelah tadwin. Namun, ada yang
membaginya dalam periodesasi lain atau yang lebih terperinci, yaitu lima hingga tujuh periode
dengan spesifikasi yang lebih jelas.
2.1.1 Periode Rasulullah SAW
Yang perlu diuraikan secara khusus pada bahasan ini ialah masa Rasulullah SAW, masa
sahabat masa tabi‟in , masa pen-tadwin-an atau pembukuan dan masa seleksi atau penyaringan
hadis serta masa sesudahnya.
Apabila membicarakan hadis pada masa Rasulullah SAW berarti membicarakan hadis pada
awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan berkaitan langsung dengan pribadi
Rasulullah SAW sebagai narasumber hadis. Rasulullah SAW telah membina umatnya selama
23tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu sekaligus di-wurud-kannya hadis.
Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati hatian para sahabat sebagai ahli waris
pertama ajaran Islam.
Wahyu yang diturunkannya Allah SWT kepada Rasulullah SAW dijelaskannya melalui
perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan taqrir nya, sehingga apa yang didengar, dilihat dan
4. Pengantar Studi Hadits
Page | 4
disaksikan oleh para sahabat dapat dijadikan pedoman bagi amaliah dan ubudiyah mereka. Pada
masa ini Rasulullah SAW merupakan contoh satu satunya bagi para sahabat,karena ia memiliki
sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku utusan Allah SWT yang berbeda dengan manusia
lainnya.
CARA RASUL MENYAMPAIKAN HADIS
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya yaitu
umat Islam dapat secara langsung memperoleh hadis dari Rasulullah SAW sebagai sumber
hadis. Pada masa ini tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit
pertemuan mereka.
Tempat tempat pertemuan kedua belah pihak sangatlah terbuka dalam berbagai
kesempatan,misalnya masjid, rumah beliau sendiri, pasar, ketika beliau dalam perjalanan
(safar), dan ketika beliau muqim (berada di rumah). Melalui tempat tempat tersebut,
Rasulullah SAW menyampaikan hadis, melalui sabdanya yang didengar langsung oleh para
sahabat (melalui musyafahah) dan terkadang melalui perbuatan serta taqrir-nya yang
disaksikan oleh mereka (melalui musyafahah).
Dalam riwayat bukhari, disebutkan Ibnu Mas‟ud pernah bercerita bahwa Rasulullah SAW
menyampaikan hadisnya denan berbagai cara, sehingga para sahabat ingin mengikuti
pengajiannya dan tidak mengalami kejenuhan.
Ada beberapa cara yang digunakan Rasulullah SAW dalam menyampaikan hadis kepada
para sahabat, yaitu:
Pertama, melalui para jamaah yang berada di pusat pembinaan atau majlis al ilmi. Melalui
majlis ini, para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis, sehingga mereka
berusaha untuk selalu mengonsentrasikan dirinya guna mengikuti kegiatan tersebut . para
sahabat begitu antusias untuk tetap bisa mengikuti kegiatan di majlis ini.terkadang diantara
mereka bergantian hadir, seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khattab yang bergantian hadir
dengan Ibnu Zaid dari Bani Umayah untuk menghadiri majlis ini. Ia berkata, “Kalau hari ini
aku yang pergi, pada hari lainnya ia yang pergi. Terkadang kepala kepala suku yang jauh dari
Madinah mengirim utusannya ke majlis ini, untuk kemudian mengajarkannya kepada suku
mereka sekembalinya dari sini.”
Kedua, dalam banyak kesempatan, Rasulullah SAW juga menyampaikan hadisnya melalui
para sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikan kepada orang lain. Hal ini terjadi
ketika beliau mewurudkan hadis, hanya beberapa sahabat yang hadir, baik karena disengaja
oleh Rasulullah SAW atau memang kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang
saja, bahkan hanya satu orang,seperti hadis hadis yang ditulis oleh Abdullah bin Amr bin Al
As. Untuk hal hal tertentu, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan
5. Pengantar Studi Hadits
Page | 5
biologis (terutama menyangkut hubungan suami istri), beliau menyampaikannya melalui istri
istrinya. Begitu juga dengan para sahabat, jika mereka segan bertanya kepada Rasulullah
SAW, dalam hal hal yang berkaitan dengan soal di atas , mereka seringkali bertanya kepada
istri istri beliau.
Ketiga, cara lain yang dilakukan Rasulullah SAW adalah melalui ceramah dan pidato
ditempat terbuka seperti ketika haji wada’ dan Futuh Mekah.
PERBEDAAN PARA SAHABAT DALAM MENGUASAI HADIS
Para sahabat tidak memiliki kadar perolehan dan penguasaan hadis yang sama antara satu
dan lain. Hal ini bergantung pada beberapa hal berikut ini :
1) Perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah SAW
2) Perbedaan dalam soal kesanggupan untuk selalu bersama Rasulullah SAW
3) Perbedaan mereka dalam soal kekuatan hafalan dan kesungguhan bertanya kepada
sahabat lain
4) Perbedaan mereka dalam waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal mereka dari
Majlis Rasulullah SAW
Ada beberapa sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasulullah SAW dengan beberapa
penyebab. Mereka adalah antara lain :
1) Para sahabat yang tergolong kelompok As Sabiqun Al Awwalun (yang mula mula masuk
Islam), seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan
Ibnu Mas‟ud. Mereka banyak menerima hadis dari Rasulullah SAW karena lebih awal
masuk Islam dari sahabat sahabat lainnya.
2) Ummahat Al Mu’minin (istri istri Rasulullah SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu
Salamah. Mereka lebih dekat dengan Rasulullah SAW dari pada sahabat lain. Hadis
hadis yang diterimanya,seperti telah dikatakan, banyak yang berkaitan dengan soal soal
keluarga dan pergaulan suami istri.
3) Para sahabat yang selalu dekat dengan Rasulullah SAW dan juga menuliskan hadis
hadis yang diterimanya, seperti Abdullah bin Al As.
4) Sahabat yang tidak lama Rasulullah SAW tetapi banyak bertanya kepada para sahabat
lain dengan sungguh sungguh, seperti Abu Hurairah.
5) Para sahabat yang secara sungguh sungguh mengikuti majlis Rasulullah SAW dan
banyak bertanya kepada sahabat lain dan dari sudut usia, mereka hidup lebih lama dari
wafatnya Rasulullah SAW seperti Abdullah bin Amr, Anas bi Malik dan Abdullah bin
Abbas.
6. Pengantar Studi Hadits
Page | 6
MENGHAFAL DAN MENULIS HADIS
a. Menghafal Hadis
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan Al-Quran dan hadis
sebagai dua sumber ajaran Islam, Rasulullah SAW menggunakan jalan yang berbeda.
Terhadap Al-Quran beliau menginstruksikan kepada sahabatnya supaya menulis dan
menghafalnya. Sedangkan terhadap hadis, beliau menyuruh mereka menghafal dan
melarang menulisnya secara resmi. Dalam hal ini beliau bersabda :
“Apa saja yang kalian tulis apa saja dariku selain Al-Quran, hendaklah dihapus.
Ceritakan saja yang diterima dariku. Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan
sengaja, hendaknya mereka menempati tempat duduk di neraka.” (HR. Muslim dan
Abu Said Al Khuzri)
Maka para sahabat berusaha menghafal hadis yang diterima dari Rasulullah SAW
dengan sungguh sungguh. Mereka sangat takut dengan ancaman Rasulullah SAW
sehingga berusaha agar tidak melakukan kekeliruan terhadap yang diterimanya.
Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam
kegiatan menghafal hadis ini, yaitu :
1) Kegiatan menghafal merupaka budaya bangsa Arab yang telah diwarisi sejak
masa pra Islam dan mereka terkenal kuat hafalannya.
2) Rasulullah SAW telah banyak memberikan spirit melalui doa doanya.
3) Seringkali beliau menjanjikan kebaikan akhirat bagi mereka yang menghafal
hadis dan menyampaikannya kepada orang lain.
b. Menulis Hadis
Sekalipun ada larangan Rasulullah SAW untuk menulis hadis seperti disebutkan
dalam hadis Abu Said Al Khuzri di atas, ternyata ada sejumlah sahabat yang memiliki
catatan catatan hadis. Di antara mereka adalah:
1) Abdullah bin Amr bin Al As. Ia memilii catan hadis yang menurut pengakuannya
dibenarkan Rasulullah SAW sehingga dinamakan As Sahihah As Sadiqah .
Menurut suatu riwayat diceritakan bahwa orang orang Quraisy mengeritik sikap
Abdullah bin Amr yang selalu menulis apa apa yang datang dari Rasulullah SAW.
Mereka berkata : “Engkau menuliskan apa saja yang dating dari Rasulullah SAW,
padahal Rasulullah SAW itu manusia yang bisa saja bicara dalam keadaan
marah”. Kritikan ini disampaikannya kepada Rasulullah SAW , maka Rasulullah
SAW bersabda:
7. Pengantar Studi Hadits
Page | 7
“ Tulislah! Demi Dzat yang diriku berada ditanganNya tidak ada yang keluar
darinya, kecuali benar.” ( HR. Bukhari)
Hadis hadis yang terhimpun dalam catatannya berkisar sekitar seribu hadis yang
menurut pengakuannya diterima langsung dari Rasulullah SAW yaitu ketika ia berada di
sisi beliau SAW tanpa orang lain yang menemaninya.
2) Jabir bin Abdillah bin Amr Al Anshari (w 78H). Ia memiliki catatan hadis dari
Rasulullah SAW tentang manasik haji. Hadis hadisnya kemudian diriwayatkan
oleh Muslim. Catatan ini dikenal dengan Sahifah Jabir.
3) Abu Hurairah Ad Dausi (w 58H). Ia memiliki catatan hadis yang dikenal dengan
As Sahifah As Sahihah. Hasil karyanya ini diwariskan kepada putranya yang
bernama Hamman.
4) Abu Syah ( Umar bin Saad Al Anmari) seorang penduduk Yaman. Ia meminta
kepada Rasulullah SAW agar dicatatkan hadis yang disampaikan beliau ketika
pidato pada peristiwa Futuh Mekah (penaklukan kota Mekah) sehubungan dengan
terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh Bani Khuza’ah terhadap salah
seorang penduduk Bani Lais. Rasulullah SAW kemudian bersabda :
( )
“Kalian tuliskan untuk Abu Syah.”
Di samping nama nama diatas, masih banyak lagi nama sahabat lainnya yang memiliki
catatan hadis dan dibenarkan Rasulullah SAW seperti Rafi‟ bin Khadij, Amr bin Hazm,
Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas‟ud.
Diantara Hadits yang melarang penulisan sunah, seperti periwayatan Abi Sa‟id Al-
Khudri ra. Bahwa Rasulullah Saw bersabda:
Artinya: “Janganlah engkau tulis dari padaku, barang siapa menulis dari padaku
selain Al-Qur’an, maka hapuslah.” (HR Muslim)
c. Para Ulama Men-taufiq-kan Dua Kelompok Hadis yang Kelihatannya Kontradiksi
Ketika melihat adanya kontradiksi pada dua buah hadis seperti pada hadis Abu Said
Al-Huzni dan hadis dari Abdullah bin Amr bin Al As yang masing masing didukung oleh
hadis hadis lainnya, para ulama terdorong untuk menemukan penyelesaiannnya. Di antara
mereka, ada yang mencoba dengan menggugurkan salah satunya, seperti dengan jalan
8. Pengantar Studi Hadits
Page | 8
nasikh dan mansukh dan ada yang berusaha mentaufiqkan atau mengompromikannya
sehingga keduanya tetap digunakan (ma’mul).
Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, larangan Rasulullah SAW untuk menuliskan hadis
adalah khusu ketika Al-Quran turun. Ini karena adanya kekhawatiran tercampurnya ayat
Al-Quran dan hadis . larangan ini dimaksudkan juga untuk tidak menuliskan Al-Quran dan
hadis dalam satu suhuf. Ini artinya bahwa ketika Al-Quran tidak turun dan tidak dituliskan
pada satu suhuf , maka dibolehkan untuk mencatat wahyu. An Nawawi dan As Suyuti
memandang bahwa larangan tersebut dimaksudkan bagi orang yang kuat hafalannya,
sehingga tidak adakekhawatiran terjadinya kekeliruan. Akan tetapi, bagi orang yang
khawatir lupa atau kurang kuat hafalannya, dibolehkan mencatatkannya.
2.1.2 Periode Sahabat dan Tabi’in
Pro dan kontra tentang penulisan sunah masih terasa pada masa sahabat (Al-Khulafa
Al-Rasyidun), karena keinginan mereka untuk menyelamatkan Al-Qur‟an dan sunah.
Diantara mereka ada yang benci menulis sunah, karena Al-Qur‟an belum
dikodifikasikan dan dikhawatirkan perhatian mereka tersita atau berpaling dari Al-
Qur‟an. Seperti periwayatan:
“Urwah Ibn Al-Zubayr, bahwa Umar Ibn Al-Khathab bersama para sahabat setelah
bermusyawarah dan disepakati beliau istikharah kepada Allah selama satu bulan,
kemudian berkata: sesungguhnya aku ingin menulis sunah dan aku telah menyebutkan
suatu kaum sebelum kalian yang menulis beberapa buku kemudian mereka sibuk
dengannya dan meninggalkan kitab Allah. Demi Allah sesungguhnya aku tidak akan
mencampurkan kitab Allah dengan sesuatu selamanya.”
Pada masa Abu Bakar dan Umar disebut masa pembatasan/penyederhanaan
periwayatan (taqlil al-riwayah), penyampaian periwayatan dilakukan dengan lisan dan
hanya jika benar-benar diperlukan saja yaitu jika umat Islam menghadapi suatu masalah
saja yang memerlukan penjelasan hukum. Kedua khalifah diatas menerima hadits orang
perorangan jika disertai dengan saksi yang menguatkan. Bahkan Ali menerimanya jika
juga disertai dengan sumpah.
Demikian juga para sahabat lain yang semula melarang menulis sunah akhirnya
memperbolehkannya bahkan menganjurkannya setelah tidak ada kekhawatiran
pemeliharaan Al-Qur‟an seperti Abdullah Bin Mas‟ud, Ali Bin Abi Thalib, Hasan Bin
Ali, Muawiyah, Abdullah Bin Abbas, Abdullah Bin Umar, Anas Bin Malik, dan lain-
lain.
9. Pengantar Studi Hadits
Page | 9
Isu yang ditebarkan para pengingkar sunah bahwa Umar Ibn Al-Khathab pernah
memenjara sebagian sahabat yang meriwayatkan hadits diantaranya Ibn Mas‟ud, Abu
Al-Darda, dan Abu Dzarr. Menurut Mustafa Al-A‟zhami setelah mengadakan penelitian
diberbagai buku yang dapat dijadikan pedoman (mu‟tabar) tidak terbukti, karena tidak
ada periwayatan yang menyatakan hal tersebut. Jika terdapat periwayatan sebagaimana
isu diatas berarti jelas kepalsuannya. Ibn Mas‟ud tergolong sahabat senior dan
pendahulu Islam yang dihormati Umar, ia diutus ke Irak untuk mengajarkan agama dan
hukum-hukum Islam. Sedangkan Abu Al-Darda dan Abu Dzarr tidak tergolong sahabat
yang banyak meriwayatkan hadits, mereka juga pengajar penduduk syam sebagaimana
Ibn Mas‟ud menjadi guru di Irak. Ibn Hazm juga menjelaskan bahwa riwayat Umar
memenjarakan tiga orang sahabat diatas adalah dusta, tidak benar.
Hukum penetapan penulisan hadits terjadi secara berangsur-angsur (Al-Tadarruj).
Pada saat wahyu turun, umat Islam menghabiskan waktunya untuk menghapal dan
menulis Al-Qur‟an. Sunah hanya disimpan dalam dada mereka, disampaikan dari lisan
ke lisan dan dipraktekkan dalam kehidupan mereka sesuai dengan apa yang mereka lihat
dan apa yang mereka dengar dari panutan yang mulia yaitu Nabi Saw. Kemudian setelah
Al-Qur‟an terpelihara dengan baik, mereka telah mampu membedakannya dengan
catatan sunah, dan tidak ada kekhawatiran meninggalkan Al-Qur‟an, para ulama sepakat
bolehnya penulisan dan pengkodifikasian sunnah.
Pada masa Ali ra, timbul perpecahan di kalangan umat Islam akibat konflik politik
antara pendukung „Ali dan Mu‟awiyah. Umat Islam terpecah menjadi tiga golongan:
Khawarij, golongan pemberontak yang tidak setuju dengan perdamaian dua kelimpok
yang bertikai.
Syi’ah sangat fanatik dan mengkultuskan „Ali
Jumhur umat Islam yang tidak termasuk golongan pertama dan kedua diatas. Diantara
mereka ada yang mendukung pemerintahan „Ali,ada yang mendukung pemerintahan
Mu‟awiyah, dan ada pula yang netral tidak mau melibatkan diri dalam kancah
konflik.
Akibat perpecahan ini mereka tidak segan-segan membuat Hadis palsu (mawdhu’)
untuk mengklaim bahwa dirinya yang paling benar diantara golongan atau partai-partai
diatas untuk mencari dukungan dari umat Islam. Pada masa inilah awal terjadinya Hadis
mawdhu’ dalam sejarah yang merupakan dampak konflik politik secara internal yang
kemudian diboncengi faktor-faktor lain dalam perkembangan berikutnya yang nanti
akan dibahas pada bab Hadis mawdhu‟. Ulama di kalangan sahabat tidak tinggal diam
dalam menghadapi pemalsuan hadis ini. Mereka berusaha menjaga kemurnian Hadis
10. Pengantar Studi Hadits
Page | 10
dengan serius dan sungguh-sungguh, diantaranya mengadakan perlawatan ke berbagai
daerah Islam untuk mengecek kebenaran Hadis yang telah sampai kepada mereka baik
dari segi matan ataupun sanad. Hasil perlawatan itu disampaikan kepada umat Islam
secara transparan.
Masa 41 akhir abad 1 H. Masa ini awal berkembangnya periwayatan dan perlawatan
ke kota-kota besar untuk mencari hadits dari para sahabat dan tabi‟in senior yang telah
pindah ke kota-kota lain atau daerah-daerah lain setelah masa perluasan ekspansi
wilayah Islam. Masa ini disebut masa rihlah ilmiyah. Setelah ekspansi Islam semakin
luas, yakni sejak masa Utsman, Ali, dan sampai akhir abad pertama hijriah, para sahabat
senior banyak yang hidup di berbagai negeri yang terpisah untuk mengajarkan Al-
Qur‟an dan hadis di berbagai wilayah yang telah dikuasai Islam. Diantara daerah yang
telah dikuasai Islam adalah Syam dan Irak (17 H), Mesir (20 H), Persia (21 H),
Samarkand (56 H), dan Spanyol (93 H).
Para sahabat yunior banyak yang mengadakan perjalanan jauh (rihlah ilmiyah) untuk
menghimpun atau mengecek kebenaran hadis dari sesamanya atau dari sahabat yang
lebih senior. Misalnya yang dilakukan Jabir bin Abdullah yang pernah melakukan rihlah
ke Syam dalam waktu satu bulan dengan menjual seekor unta untuk ongkos perjalanan
hanya ingin mendapatkan satu hadits yang belum pernah ia dengar.
Dari Abdullah bin Unays tentang Hadis
“ Manusia digiring pada hari kiamat telanjang tidak berpakaian, berwarna hitam”
(HR Bukhari, Ahmad, at-Thabrani, al-bayhaqi)
Demikian juga Abu Ayyub al-Anshari yang tinggal di Madinah pergi ke Mesir untuk
menemui „Uqbah bin Amir al-Juhari untuk menanyakan sebuah hadis yang belum
pernah ia dengar, yaitu sabda Nabi:
“ Barang siapa yang menutupi kesukaran-kesukaran orang mukmin di dunia, maka
Allah akan menutupinya pada hari kiamat” (HR Al-Bayhaqi)
Ada 6 orang diantara sahabat yang banyak meriwyatkan hadits ialah:
1. Abu Hurairah sebanyak 5.374 buah hadis dan ia mengambilnya lebih dari 300
orang diantara sahabat.
2. Abdullah bin Umar bin Al-Khathab sebanyak 2.635 buah hadis
3. Anas bin Malik sebanyak 2.286 buah hadis
4. „Aisyah Ummi Al-Mukminin sebanyak 2.210 buah hadis
11. Pengantar Studi Hadits
Page | 11
5. Abdullah bin Abbas sebanyak 1.660 buah hadis
6. Jabir bin Abdullah sebanyak 1.540 buah hadis
Para sahabat yang terkenal banyak meriwayatkan hadis ada beberapa alasan,
diantaranya lebih dahulu bersahabat dengan Nabi seperti Abdullah bin Mas‟ud, atau
karena banyak berkhidmah dengan beliau seperti Anas bin Malik, atau karena banyak
menyaksikan internal dalam rumah tangga beliau seoerti „Aisyah, dan atau karena
ketekunannya dalam hadis seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amr, dan Abu
Hurairah.
Di antara kota-kota yang menjadi pusat kegiatan periwayatan hadis ialah sebagai
berikut:
1. Madinah
Diantara tokoh hadis dari kalangan sahabat yang tinggal di Madinah adalah Abu
Bakar, Umar, Ali (sebelum pindah ke Kufah),Abu Hurairah, Aisyah, Ibn Umar, Abu Said
Al-Khudri, dan Zaid bin Tsabit. Diantara tabi‟in yang belajar kepada mereka adalah:
Sa‟id, Urwah, Al-Zuhri, Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas‟ud, Salim bin
Abdullah bin Umar, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar, Nafi‟, Abi Bakar bin
Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam, dan Abu Al-Zinad.
2. Makkah
Diantara tokoh hadis dari kalangan sahabat yang tinggal di Makkah adalah
Mu‟adz bin Jabal dan Ibn Abbas. Sedangkan para Tabi‟in yang belajar kepada mereka
adalah: Mujahid, „Ikrimah, „Atha‟ bin Abi Rabah, dan Abu Al-Zubair Muhammad bin
Muslim.
3. Kufah
Diantara pemimpin besar hadits di Kufah adalah „Abdullah bin Mas‟ud yang
belajar dari padanya antara lain Masruq,Ubaydah,Al-Aswad,Syuraih,Ibrahim,Said bin
Jubair, Amir bin Syurahil, dan Al-Sya‟bi.
4. Bashrah
Di antara tokoh hadis di kota ini dari kalangan sahabat adalah Anas bin Malik,
„Utbah, „Imran bin Hushain, Abu Barzah, Ma‟qil bin Yasar, Abu Bakrah, „Abdurrahman
bin Samurah, dan lain-lain. Sedangkan tabi‟in yang belajar kepada mereka antara lain:
Abu al-Aliyah, Rafi‟ bin Mihram, Al-Hasan al-Bishri, Muhammad bin Sirin, Abu
Sya‟tsa, Jabir bin Zayd, Qatadah, Mutharraf bin Abdullah bin Syikhkhir, dan Abu
Burdah bin Abu Musa.
12. Pengantar Studi Hadits
Page | 12
5. Syam
Di Antara sahabat yang mengembangkan hadits di Syam adalah Mu‟adz bin
jabal, „Ubadah bin al-Shamit, dan Abu al-Darda. Sedang dikalangan tabi‟in adalah Abu
idris al-Khawlani, Qabishah bin Dzua‟ib, Makhul, dan Raja‟ bin Haywah.
6. Mesir
Di antara para sahabat di Mesir adalah Abdullah bin „Amr, „Uqbah bin „Amir
Kharijah bin Hudzaifah, Abdullah bin Sa‟ad, Mahmiyah bin Juz, Abdullah bin Harits,
dan lain-lain kurang lebih ada 40 orang sahabat sedang di kalangan tabi‟in antara lain
Abu al-Khayr Martsad al-Yazini dan Yazid bin Abi Habib.
2.2 Kodifikasi
Hadis merupakan sumber hukum utama sesudah Al-Quran. Keberadaan Hadis merupakan
realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul
adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah
yakni Al-Quran. Sedangkan Hadis, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari
ajaran Al-Quran itu sendiri.
Kendati demikian, keberadaan Hadis dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan
Al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah SAW.
maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan Al-Quran telah secara resmi
dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman
bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah.
Yang dimaksud dengan kodifikasi hadis atau tadwin hadis pada periode ini adalah
kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala Negara, dengan melibatkan beberapa
sahabat yang ahli di bidangnya. Tidak seperti kodifikasi yang dilakukan secara perseorangan
atau untuk kepentingan pribadi, sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah SAW.
Usaha ini di mulai ketika pemerintahan Islam di pimpin oleh Khalifah Umar bin Abdul
Aziz (khalifah kedelapan dari kekhalifahan bani Umayah), melalui instruksinya kepada
pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya. Ia
menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad ibn Amar ibn Hazm (Gubernur
Madinah), seperti dibawah ini:
“Perhatikan atau periksalah hadis hadis Rasulullah SAW kemudian tuliskanlah! Aku
khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama (para ahlinya). Dan
janganlah kamu terima , kecuali hadis Rasulullah SAW… “
Sementara itu, perhatian terhadap Hadis tidaklah demikian. Upaya kodifikasi Hadis secara
resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz khalifah Bani Umayyah
yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah SAW.
13. Pengantar Studi Hadits
Page | 13
Kodifikasi Hadis Secara Resmi
Kodifikasi hadis secara resmi dipelopori Khalifah Umar bin Abdul Aziz (khalifah
kedelapan pada masa Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 H. Dia menginstruksikan
kepada para Gubernur di semua wilayah Islam untuk menghimpun dan menulis hadis-hadis
Nabi. Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Hazm agar mengumpulkan hadis
hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman Al Anshari (murid kepercayaan Siti Aisyah)
dan Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar. Instruksi yang sama ia juga berikan kepada
Muhammad bin Syihab Az Zuhri yang dinilainya sebagai seorang yang lebih banyak
mengetahui hadis daripada yang lainnya.
Semboyan al-Zuhri yang terkenal al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a
maa syaa-a (artinya : Sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah
siapa saja tentang apa saja).
Menurut para ulama, hadis hadis yang dihimpun oleh Abu Bakar ibn Hazm masih kurang
lengkap, sedangkana hadis hadis yang dihimpun ibn Syihab Az Zuhri lebih lengkap, akan
tetapi, sayang sekali karena karya kedua tabiin ini lenyap sehinggga tidak sampai kepada
generasi sekarang.
Motif Umar bin Abdul Aziz
1. Kekhawatiran akan hilang Hadis dari perbendaharaan masyarakat, sebab belum
dibukukan.
2. Untuk membersihkan dan memelihara Hadis dari Hadis-hadis maudhu' (palsu) yang
dibuat orang-orang untuk mempertahankan ideologi golongan dan mazhab.
3. Tidak adanya kekhawatiran lagi akan tercampurnya Al-Qur‟an dan hadis, keduanya
sudah bisa dibedakan. Al-Qur‟an telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata
diseluruh umat Islam.
4. Ada kekhawatiran akan hilangnya hadis karena banyak ulama Hadis yang gugur dalam
medan perang.
2.2.1 Pembukuan Hadis abad II, III, IV H
Kodifikasi Hadis Pada abad kedua.
Setelah agama Islam tersiar dengan luas di masyarakat, dipeluk dan dianut oleh penduduk
yang bertempat tinggal di luar jazirah arab, dan para sahabat mulai terpencar di beberapa
wilayah bahkan tidak sedikit jumlahnya yang telah meninggal dunia, maka terasalah perlunya
Al-Hadits diabadikan dalam bentuk tulisan dan kemudian dibukukan dalam dewan hadits.
Urgensia ini menggerakkan hati khalifah „Umar bin 'Abdul Aziz (seorang khalifah bani
Umayyah yang menjabat khaliafah antara tahun 99 sampai tahun 101 hijriah) untuk manulis
14. Pengantar Studi Hadits
Page | 14
dan membukukan (mendewankan) Hadis. Dan pada masa ini dikenal dengan ashru al-Tadwin
( masa pembukuan ).
Menurut Fatchur Rahman motif utama khalifah „Umar bin „Abdul Aziz berinisiatif untuk
mendewankan Hadis adalah :
a. Kemauan beliau yang kuat untuk tidak membiarkan Hadis seperti waktu yang sudah-
sudah. Karena beliau khawatir hilang dan lenyapnya Hadis dari perbendaharaan
masyarakat, disebabkan belum didewankannya dalam dewan hadis.
b. Kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara Hadis dari hadis-hadis
maudlu‟ yang dibuat oleh orang-orang untuk mempertahankan ideologi golongannya dan
mempertahankan mazhabnya, yang sejak tersiar sejak awal berdirinya kekhalifahan „Ali
bin Abi Thalib r.a.
c. Alasan tidak terdewannya Hadis secara resmi di zaman Rasulullah SAW. Dan Khulafaur
Rasyidin, karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan Al-Quran, telah
hilang, disebabkan Al-Quran telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata di
seluruh pelosok. Ia telah di hafal di otak dan diresapkan di hati sanubari beribu-ribu
orang.
d. Kalau di zaman Khulafaur Rasyidin belum pernah dibayangkan dan terjadi peperangan
antara orang muslim dengan orang kafir, demikian juga perang saudara orang-orang
muslim, yang kian hari kian menjadi-jadi, yang sekaligus berakibat berkurangnya jumlah
ulama ahli hadits, maka saat itu juga konfrontasi tersebut benar-benar terjadi.
Untuk menghilangkan kekhawatiran akan hilangnya Hadits dan memelihara Hadits dari
bercampuranya dengan hadits-hadits palsu, „Umar bin Abdul Aziz mengintruksikan pada
seluruh pejabat dan „ulama yang memegang kekuasaan di wilayah keuasaannya untuk
mengumpulkan Al-Hadits. Intruksi itu berbunyi:
“Telitilah hadits Rasulullah SAW. kemudian kumpulkan !”
Beliau menginstruksikan kepada walikota madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr
bin Hazm (117 H.), untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan pada tabi‟iy wanita,
„Amrah binti abdu al-Rahman.
“Tulislah hadits untukku, hadits Rasulullah saw. Yang ada padamu dan hadits „Amrah (binti
Abdul Rahman). Sebab aku takut hilangnya dan punahnya ilmu.” (riwayat Ad-Darimi).
15. Pengantar Studi Hadits
Page | 15
Atas instruksi itu, Ibnu Hazm mengumpulkan hadits-hadits, baik yang ada pada dirinya
sendiri maupun pada „Amrah, tabi‟i wanita yang banyak meriwayatkan hadist Aisyah r.a. Juga
beliau mengintruksikan kepada Ibnu Syihab Az-Zuhri seorang Imam dan Ulama besar di
Hijaz dan Syam (124 H). Beliau mengumpulkan hadist-hadist dan kemudian ditulisnya dalam
lembaran-lembaran dan dikirimkan kepada masin-masing penguasa di tiap-tiap wilayah satu
lembar. Itulah sebabnya para ahli tarikh dan ulama menganggap bahwa Ibnu Syihablah orang
yang mula-mula mendewankan hadist secara resmi atas perintah Umar bin Abdul Aziz.
Setelah periode Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu Syihab berlalu, muncullah periode
pendewanan hadist yang ke dua yang disponsori oleh khalifah-khalifah bani Abbasiyah.
Bangunlah ulam-ulama hadist dalam periode ini:
Abu Muhammad Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij (wafat 150 H) sebagai
pendewan hadist di Mekah,
Maumar bin Rasyid (wafat 153 H) sebagai pendewan di Yaman,
Abu Amar Abdul Rahman Al-Auza‟i (wafat 156 H) sebagai pendewan hadist di
Syam,
Muhammad bin Ishaq (wafat 151 H) sebagai pendewan hadist di Madinah,
Imam Malik bin Anas (179 H) sebagai pendewan hadist di Madinah,
Sa‟id bin Abi Urubah (wafat tahun 151) sebagai pendewan hadist di Bashrah,
Rabi‟ bin Subaih (wafat tahun 160) sebagai pendewan hadist di Bashrah,
Hammad bin Abi Salamah (wafat 176 H) sebagai pendewan hadist di Bashrah.
Abu Abdullah Sufyan As-Tsauri (wafat 161 H) sebagai pendewan hadist di Kufah,
Abdullah bin Mubarak (wafat tahun 181 H) sebagai pendewan di Khurasãn,
Husyaim bin Basyir (wafat tahun 188 H) sebagai pendewan di Wasit,
Jarir bin Abdul Hamid (wafat tahun 188 H) sebagai pendewan di Raih,
Al-Lais bin Sa‟ad (wafat tahun 175 H) sebagai pendewan di Mesir.
Kitab hadis yang ada, masih bercampur aduk antara hadis-hadis Rasulullah dengan fatwa-
fatwa sahabat dan tabi'in, belum dipisahkan antara hadis-hadis yang marfu', mauquf dan
maqthu, dan antara hadis yang shahih, hasan dan dla'if.
Kitab Hadis yang masyhur :
Al-Muwaththa - Imam Malik pada 144 H - atas anjuran khalifah al-Mansur. Jumlah
hadis yang terkandung dalam kitab ini kurang lebih1.720 hadis.
Musnad al-Syafi'i - mencantumkan seluruh hadis dala kitab "al-Umm".
16. Pengantar Studi Hadits
Page | 16
Mukhtalif al-Hadits - karya Imam Syafi'i - menjelaskan cara-cara menerima hadits
sebagai hujjah, menjelaskan cara-cara mengkompromikan hadits-hadits yang
kontradiksi satu sama lain.
Kodifikasi Hadis Pada abad ketiga
Dipermulaan abad ke III para ahli hadist berusaha menyisihkan Hadis dari fatwa-fatwa
sahabat dan tabi‟in. Mereaka berusaha membukukan hadis Rasulullah semata-mata secara
murni. Untuk tujuan yang mulia ini mereka mulai menyusun kitab-kitab musnad yang bersih
dari fatwa-fatwa. Bangunlah ulama-ulama ahli hadist seperti: Musa Al-Abbasi, Musyaddad
Al-Basri, As‟ad bin Musa dan Nuaim bin Muhammad Al-Ghazai menyusun kitab-kitab
musnad. Kemudian menyusul pula Imam Ahmad bin Hambal. Kendatipun kitab-kitab hadist
permulaan abad ke III ini sudah menyisihkan fatwa-fatwa namun masih mempunyai
kelemahan yakni tidak atau belum menyisihkan hadist-hadist dhaif, termasuk juga hadits
maudlu‟ yang diselundupkan oleh golongan-golongan yang bermaksud hendak menodai
agama islam.
Karena adanya beberapa kelemahan kitab-kitab hadits tersebut, bergeraklah ulama-ulama
hadits pertengahan abad ketiga untuk menyelamatkannya. Mereka membuat kaidah-kaidah
dan syarat-syarat untuk menentukan suatu hadits itu apakah shahih atau dha‟if. Para rawi
hadits tidak luput menjadi sasaran penelitian mereka, untuk diselidiki kejujurannya,
kehafalannya.
Pada pertengahan abad ini, mulai muncul kitab-kitab hadits yang hanya memuat hadits-
hadits shahih, pada perkembangannya dikenal dengan “kutubu al-sittah” yaitu:
1. Shahih al-Bukhari atau Jami‟u al-Shahih. Karya Muhammad bin Ismail al-
Bukhari (194-256 H.)
2. Shahih al-Muslim, karya al-Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy
(204-261 H.)
3. Sunan Abu Dawud , karangan Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟as bin Ishaq al-
Sajastani (202-275 H.)
4. Sunan al-Tirmidzi, karangan Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah al-Tirmidzi
(200-279 H.)
5. Sunan al-Nasa‟i, karangan Abu Abdu al-Rahman bin Suaid ibnu Bahr al-Nasa‟iy
(215-302 H.)
6. Sunan Ibnu Majah, karangan Abu Abdillah ibnu Yazid ibnu Majah (207-273 H.)
Pada abad ke-3, yang berperan adalah generasi setelah tabi‟in.
Telah diusahakan untuk memisahkan hadis yang shahih dari Al-Hadits yang tidak shahih
sehingga tersusun 3 macam kitab hadis, yaitu :
17. Pengantar Studi Hadits
Page | 17
1. Kitab Shahih - (Shahih Bukhari, Shahih Muslim)
2. Kitab Sunan - (Ibnu Majah, Abu Dawud, Al-Tirmizi, Al-Nasai, Al-Darimi) - berisi
hadis shahih dan hadis dha'if yang tidak munkar.
3. Kitab Musnad - (Abu Ya'la, Al Humaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad,
Ibnu Rahawaih) - berisi berbagai macam hadis tanpa penelitian dan penyaringan dan
hanya digunakan para ahli hadis untuk bahan perbandingan.
Kodifikasi Hadis pada Abad Keempat
Kalau pada abad pertama, kedua, dan ketiga, Hadis berturut-turut mengalami periwayatan,
penulisan (pendewanan) dan penyaringan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi‟in dan Hadis yang
telah didewankan oleh Ulama Mutaqaddimin (ulama abad kesatu sampai ketiga) tersebut
mengalami sasaran baru, yakni dihafal dan diselidiki sanadnya oleh Ulama Mutaakhirin
(Ulama abad keempat dan seterusnya).
Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadits-hadits yang telah
terdewan itu, sehingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal sampai
beratus-ratus ribu hadits. Sejak pereode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam
ilmu hadits, seperti gelar keahlian Al-Hakim, Al-Hafidh .
Abad keempat ini merupakan abad pemisah antara Ulama Mutaqaddimin, yang dalam
menyusun hadits mereka berusaha sendiri menemui para sahabat atau para tabi‟in penghafal
hadits dan kemudian menelitinya sendiri, dengan Ulama Muta-akhkhirin yang dalam
usahanya dalam menyusun kitab-kitab hadits, mereka hanya menukil dari kitab-kitab yang
telah disusun oleh Ulama Mutaqaddimin.
Tetapi dalam abad IV ini masih terdapat Ulama-ulama hadits yang mempunyai
kesanggupan dan kemampuan untuk menghimpun hadits atas usaha sendiri, tidak mengutip
dari kitab-kitab hadits yang sudah ada sebelumnya, meskipun jumlahnya tidak banyak, di
antaranya adalah:
1. AL-HAKIM. Beliau banyak karangannya, antara lain: Al-Mustadrak „Ala al-Shahihain.
2. AD-DARUQUTNI (wafat tahun 385 H). Beliau banyak karangannya antara lain: al-
Ilzamat.
3. IBNU HIBBAN (wafat tahun 354 H). Beliau banyak karangannya antara lain: al-
Musnad al-Shahih atau al-Anwa‟ wa al-Taqasim.
18. Pengantar Studi Hadits
Page | 18
2.2.2 Pembukuan Hadis abad V H hingga sekarang
Usaha ulama ahli hadits pada abad V dan seterusnya adalah di tujukan untuk
mengklasifikasikan Hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau
sejenis sifat-sifat isinya dalam suatu kitab hadits. Disamping itu mereka pada men-syarah-kan
(menguraikan dengan luas) dan meng-ikhtishar-kan (meringkas) kitab-kitab hadits yang telah
disusun oleh ulama yang mendahuluinya. Juga pada abad V ini dikenal dengan Ashru al-Jami‟
wa al-Tartib ( masa menghimpun dan menertibkan susunanya)
Metode Pembukuan Hadits
Metode pembukuan hadits pada awal mulanya masih bercampur antara hadits Nabi dengan
perkataan para sahabat dan fatwa tabi‟in. Dan di antra kitab-kitab yang muncul pada masa itu
adalah:
1. Al-Muwaththa‟ yang ditulis oleh Imam Malik,
2. Al-Mushannaf oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan‟ani,
3. As-Sunnah ditulis oleh Abd bin Mansur,
4. Al-Mushannaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaibah, dan
5. Al-Musnad Asy-Syafi‟i.
Kitab-kitab hadits di atas ini tidak sampai kepada kita kecuali Al-Muwaththa‟ yang ditulis
oleh Imam Malik dan Al-Musnad Asy-Syafi‟i yang ditulis oleh Imam Asy-Syafi‟i.
Dalam beberapa masa penulisan dan pembukuan hadits, ada beberapa macam kitab hadits
yang dikemukakan oleh ulama hadits.
1. Al-Ajza‟/ Al-Juz, adalah kitab hadits yang menghimpun hadits pada satu topik masalah
saja. Misalnya kitab al-faraid, oleh Zaid bin Tsabit (11-12 H/611/655 M). Metode ini
termasuk paling awal digunakan dalam mengelompokkan hadits.
2. Al-Atraf adalah kitab yang menghimpun hadits hanya pada awal matannya saja, tanpa
menyebutkan matan hadits seutuhnya. Misalnya kitab Atraf As-Sunnah, oleh Ibnu Asakir
al-Dimasyqi (w. 571 H)
3. Al-Mustadrak, adalah kitab hadits yang menghimpun tertentu yang memenuhi syarat
hadits yang ditulis oleh imam terdahulu, tetapi belum dicantumkan dalam kitabnya,
misalnya kitab al-mustadrak „ala as-shahihain, oleh Al-Hakim al-Naisaburi.
4. Al-Mustakhraj, adalah kitab yang menghimpun hadits yang diambil dari salah satu kitab
hadits dengan menggunkan sanad yang berbeda dengan sanad hadits yang dirujuknya.
Misalnya kitab Al-Mustakhraj, oleh Muhammad bin Ya‟qub al-Saibani al-Naisaburi
5. Al-Jami‟ adalah kitab yang menghimpun 8 pokok masalah (akidah, hukum, tafsir, etika
makan dan minum, tarikh, sejarah kehidupan Nabi, akhlaq, serta perbuatan baik dan
19. Pengantar Studi Hadits
Page | 19
tercela). Misalnya: Al-Jami‟ al-Musnad as-Sahih al-Mukhtashar min Umurirrosulillah
SAW Waayyamihi.
6. Al-Musnad adalah hadits yang penyusunannya didasarkan atas urutan nama sahabat yang
meriwaytkan hadits. Misalnya Al-Musnad Ibnu Hambal
7. Al-Mu‟jam adalah kitab hadits yang merupakan kamus besar yang di dalamnya memuat
hadits berdasrkan nama sahabat, quru atau qabilah, atau menurut tempat hadits didapatkan
yang diurutkan secara al-fabetis. Misalnya kitab Al-Mu;jam al-Kabir, Al-Mu‟jam al-Wasit,
Al-Mu‟jam al-Shaghir oleh Imam at-Tabrani
8. As-sunan adalah kitab hadits yang disusun berdasarkan bab-bab fiqih yang di dalamnya
bercampur hadits-hadits shahih, hasan, dan do‟if, dengan memberi penjelasan pada hadits
itu. Misalnya kitab Sunan at-Tirmdzi, Sunan Abi Daud, Sunan Nas‟i dan lain-lain.
Selain beberapa metode pembukuan di atas, dengan bahasa yang berbeda para muhadditsin
berusaha menghimpun dan menyusun kitab-kitab hadits menggunakan beberapa bentuk seperti:
takhrij, tashnif dan ikhtishar.
1. Takhrij
Istilah takhrij yang menurut lazimnya dalam penggunaan fi‟il madlinya memakai kata
akhraja, mempunyai tiga pengertian yakni:
suatu usaha mencari sanad hadits yang terdapat dalam sebuah kitab hadits karya
orang lain menyimpang dari sanad hadits yang terdapat dalam kitab hadits karya
orang lain tersebut. Umpamanya seseorang mengambil sebuah hadits dari kitab
shahih bukhari, kemudian ia berusaha mencari sanad hadits tersebut yang tidak
sama dengan sanad yang telah ditetapkan oleh bukhari dalam shahihnya. Namun
sanad yang berbeda itu akhirnya dapat bertemu dengan sanad bukhari yang akhir.
Usaha mukharrij (orang yang mentakhrijkan) tersebut akhirnya dihimpun dalam
sebuah kitab, dan kitaab yang demikian inilah yang disebut kitab mustakhraj.
Misalnya:
Mustakhraj Abu Nu‟aim, karya Abu Nu‟aim, adalah salah satu kitab
takhrij hadits shahih bukhari.
Takhrij Ahmad bin Hamdan, adalah salah satu kitab mustakhraj shahih
muslim.
Suatu penjelasan dari penyusun hadits bahwa hadits yang dinukilnya terdapat
dalam kitab hadits yang telah disebut nama penyusunnya, misalnya kalau
penyusun hadits mengakhiri pada nukilan haditsnya dengan istilah akhrajahu al-
20. Pengantar Studi Hadits
Page | 20
bukhari, artinya ialah bahwa hadits yang dinukil oleh penyusun terdapat di dalam
kitab shahih bukhari.
Suatu usaha menyusun hadits untuk mencari derajat, sanad dan rawi hadits yang
diterangkan oleh pengarang suatu kitab. Misalnya:
Takhrij Ahadisi Al-Kasysyaf, karya Jamaluddin al-Hanafi, adalah suatu
kitab yang mengusahakan dan mrnerangkan derajat hadits yang terdapat
dalam kitab tafsir Al-Kasysyaf, yang oleh pengarang tefsir tersebut tidak
dijelaskan tentang shahih, hasan atau lain sebagainya.
Al-Mughni „An Hamli Al-Asfar, karya Abdu al-Rahim al-Iraqi, adalah
kitab yang menjelaskan derajat-derajat hadits yang terdapat dalam kitab
Ihya‟ Ulumuddin, karya Imam Ghazali.
2. Tashnif
Tashnif, ialah usaha menghimpun atau menyusun beberapa hadits (kitab hadits)
dengan membubuhi keterangan mengenai kalimat yang sulit-sulit dan memberikan
interpretasi sekadarnya. Kalau dalam memberikan interpretasi itu dengan jalan
mempertalikan dan menjelaskan dengan hadits lain, dengan ayat-ayat al-Quran atau dengan
ilmu-ilmu yang lain, maka usaha semacam ini disebut men-syarah-kan, misalnya:
Shahihu Al-Bukhari Bi Syarhi Al-Kirmani, oleh Muhammad ibn Yusuf al-
Kirmani, merupakan salah satu syarah kitab bukhari.
Al-Ikmal, oleh Al-Qadli „Iyadl, adalah salah satu di antara sekian banyak kitab
syarah shahih muslim.
3. Ikhtishar
Ikhtishar, adalah suatu usaha untuk meringkaskan kitab-kitab hadits. Yang
diperingkas, biasanya, ialah sanadnya dan hadits-hadits yang telah berulang-ulang
disebutkan oleh pengarangnya semula, tidak perlu ditulis kembali. Di antara mukhtashar-
mukhtshar shahih bukhari ialah kitab:
Mukhtashar Al-Bukhari karya Abu al-Abbas al-Qurthubi, dan
Mukhtashar Abu Jamrah, karya Ibnu Abi Jamrah.
Dan di antara mukhtashar shahih bukhari muslim ialah:
Mukhtashar Al-Balisy, karya Najmuddin al-Balisy, dan
Mukhtashar Al-Taukhi, karya Najmuddin al-Taukhi.
Perbedaan antara kitab mustakhraj dengan kitab mukhtashar ialah, bahwa
kitab mustakhraj itu tidak perlu adanya penyesuaian lafadh dengan kutab
21. Pengantar Studi Hadits
Page | 21
yang ditakhrijkan, bahkan kadang-kadang ditemui adanya perbedaan lafadh
dan kadang-kadang juga terdapat perubahan yang sangat menonjol sehingga
mengakibatkan perbedaan arti. Sedangkan di dalam kitab mukhtashar tidak
boleh ada tambahan (lafadh dari penyusun sendiri) yang sebenarnya tidak ada
dalam kitab yang diikhtisharkan.
Kebanyakan para muhaditsin dalm menyusun kitab haditsnya memakai dua sistem:
Pertama: sistem bab—demi—bab.
Di dalam sistem ini penyusun berusaha menghimpun hadits-hadits yang sejenis isinya
dalam satu bab, kemudian hadits yang berisikan masalah-masalah sejenis yang lain,
dikumpulkan dalam bab yang lain pula.
Adalah lebih praktis lagi kalau penusun memberikan ciri-ciri pda susunannya hadits
tersebut tersebut dalam satu lapangan tertentu dari cabang ilmu agama, seperti kitab:
Bulughu al-Maram, karya Ibnu Hajar al-„Asqalani
Umdatu al-Ahkam, karya Abdu al-Ghani al-Maqdisi, adalah dua buah kitab yang
mengandung hukum-hukum.
Riyadlu al-Shalihin, karya Imam al-Nawawi, adalah kumpulan kitab hasits targhib
dan tarhib (anjuran berbuat baik dan pencelaan berbuat noda). Kendatipun dalam
kitab ini juga dicantumkan juga hadits-hadits mengenai hukum, namun dalam
pembahasannya bertendensi targhib dan tarhib.
Tuhfatu al-Dzakirin, karya Al-Syaukani adalah merupakan hadits doa yang cukup
luas isinya.
Kedua: sistem musnad
Di dalam sistem ini penyusun mengatur secara sistematis (tertib) mulai dari nama-nama
sahabata yang lebih utama beserta seluruh haditsnya, kemudian disusul dengan deretan
nama-nama sahabat yang utama beserta haditsnya, dan akhirnya deretan nama-nama
sahabat yang lebih rendah derajatanya beserta hadits-haditsnya. Misalnya dalam kitab
tersebut dikemukakan oleh penyusun pada bab pertama, nama sahabat Abu Bakar r.a.
dengan menyebut seluruh haditsnya, kemudian disusul dengan nama „Umar r.a. dengan
mencantumkan hadits yang beliau riwayatkan, dan seterusnya nama-nama sahabat yang
lebih rendah daripada Abu Bakar dan „Umar r.a. dengan seluruh haditsnya.
Dapat pula dimasukkan dalam sistem ini ialah jika penyusun mendahulukan hadits-
hadits dari qabilah yang lebih tinggi martabatnya kemudian hadits-hadits dari qabilah-
qabilah yang lebih rendah derajatnya daripada yang pertama. Umpamanyan hadits-hadits
dari qabilah Bani Hasyim dicantumkan lebih dahulu, kemudian disusul dengan hadits-
22. Pengantar Studi Hadits
Page | 22
hadits dari qabilah yang bernasab dekat kepada nabi muhammad saw. Dan akhirnya hadits-
hadits dari qabilah yang bernasab jauh kepada beliau.
Al-Syawkani dalam mukaddimah kitab Nayl al-Authar mejelaskan, bahwa kitab-
kitab Hadis yang sah dijadikan hujjah adalah:
Shahih al-bukhari dan Shahih Muslim
Hadis-hadis yang tertulis dalam kedua kitab shahih al-Bukhari dan shahih
Muslim dapat dijadikan hujjah tanpa melihat sanad, hanya diperlukan meninjau
maksud Hadis yakni tinjauan dirayah.
Hadis-Hadis shahih dalam selain al-Bukhari dan Muslim
Hadis-Hadis yang terdapat dalam kitab0kitab selain shahih al-Bukhari dan
Muslim, asal telah dinilai shahih oleh salah seorang imam Hadis yang terpandang dan
tidak dicacat oleh ulama imam Hadis lain.
Kitab-kitab Hadis shahih
Hadis-Hadis yang terdapat di dalam kitab-kitab Hadis yang menurut
penyusunannya tidak memasukkan selain Hadis shahih saja. Seperti shahih Ibn
Khuzaimah dan lain-lain. Hal ini, jika tidak didapati keteranan cacat dan kecuali
shahih al-Hakim yang bernama al-Mustadrak karena ia menulisnya pada saat berusia
lanjut yang sudah tidak sempat mengoreksi lagi.
Kitab-kitab sunan
Hadis-Hadis yang terdapat dalam kitab sunan yang diakui keshahihannya atau
kehasanannya oleh pengarang kitab sunan tersebut dapat diterima.
Adapun Hadis-Hadis yang terdapat dalam kitab-kitab sunan atau musnad yang
tidak diterangkan kualitasnya, hendaknya bagi orang yang ada kemampuan
memeriksa atau meneliti, periksalah terlebih dahulu keshahihannya atau
kehasanannya. Jika tidak ada kemampuan untuk meneliti, hendaknya mengikuti
penelitian para ahli yang telah mengadakan penelitian dan jika tidak didapatkan
hendaknya dihentikan.
23. Pengantar Studi Hadits
Page | 23
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Membicarakan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis bertujuan unuk mengangkat
fakta dan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW kemudian secara periodik pada
masa masa sahabat dan tabi‟in serta masa masa berikutnya .
Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ini diharapkan dapat
menggambarkan sikap dan tindakan umat Islam. Khususnya para ulama ahli hadis terhadap
hadis serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap tiap periodenya hingga
terwujudnya kitab kitab hasil tadwin secara sempurna. Karena perjalanan hadis pada tiap tiap
periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang tidak sama,maka dalam
pengungkapan sejarah perjalanannya perlu dikemukakan ciri ciri khusus.
Di antara para ulama terdapat perbedaan dalam menyusun periodesasi pertumbuhan dan
perkembangan hadis ini. Ada yang membaginya dalam tiga periode saja, yaitu masa Rasulullah
SAW, sahabat dan tabi‟in , masa pen-tadwin-an dan masa setelah tadwin. Namun, ada yang
membaginya dalam periodesasi lain atau yang lebih terperinci, yaitu lima hingga tujuh periode
dengan spesifikasi yang lebih jelas.
Yang perlu diuraikan secara khusus pada bahasan ini ialah masa Rasulullah SAW, masa
sahabat masa tabi‟in , masa pen-tadwin-an atau pembukuan dan masa seleksi atau penyaringan
hadis serta masa sesudahnya.
Apabila membicarakan hadis pada masa Rasulullah SAW berarti membicarakan hadis pada
awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan berkaitan langsung dengan pribadi
Rasulullah SAW sebagai narasumber hadis. Rasulullah SAW telah membina umatnya selama
23tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu sekaligus di-wurud-kannya hadis.
Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati hatian para sahabat sebagai ahli waris
pertama ajaran Islam.
Wahyu yang diturunkannya Allah SWT kepada Rasulullah SAW dijelaskannya melalui
perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan taqrir nya, sehingga apa yang didengar, dilihat dan
disaksikan oleh para sahabat dapat dijadikan pedoman bagi amaliah dan ubudiyah mereka.
Pada masa ini Rasulullah SAW merupakan contoh satu satunya bagi para sahabat,karena ia
24. Pengantar Studi Hadits
Page | 24
memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku utusan Allah SWT yang berbeda dengan
manusia lainnya.
Periode kedua sejarah perkembangan hadis adalah masa sahabat, khususnya Khulafa Ar
Rasidin yaitu sekitar tahun 11 Hsampai dengan 40H. Masa ini juga disebut dengan masa
sahabat besar. Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan
dan penyebaran Al Quran, periwayatan hadis belum begitu berkembang dan masih dibatasi.
Oleh karena itu, para ulama menganggap masalah ini sebagai masa yang menunjukan adanya
pembatasan periwayatan (At-Tasabbut wa Al-Iqlal min Ar-Riwayah).
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi‟in tidak begitu berbeda
dengan yang dilakukan para sahabat. Hal ini karena mereka, mengikuti jejak para sahabat yang
menjadi guruguru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda yang
dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Quran sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Di
pihak lain, para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam,
sehingga para tab‟in dapat mempelajari hadis dari mereka.
Ketika pemerintahan di pegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan Islam telah meliputi
Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan,Samarkand dan spanyol, di samping Madinah , Mekah,
Basrah, Syam dan Khurasan. Pesatnya perluasan wilayah Islam, dan meningkatnya penyebaran
para sahabat ke daerah daerah tersebut menjadikan masa ini dikenal dengan masa penyebaran
periwayatan hadis (Intisyar Ar Riwayah Ila Al Amshar).
Yang dimaksud dengan kodifikasi hadis atau tadwin hadis pada periode ini adalah
kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala Negara, dengan melibatkan beberapa
sahabat yang ahli di bidangnya. Tidak seperti kodifikasi yang dilakukan secara perseorangan
atau untuk kepentingan pribadi, sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah SAW.
Usaha ini di mulai ketika pemerintahan Islam di pimpin oleh Khalifah Umar bin Abdul
Aziz (khalifah kedelapan dari kekhalifahan bani Umayah), melalui instruksinya kepada pejabat
daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya. Ia
menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad ibn Amar ibn Hazm (Gubernur
Madinah), seperti dibawah ini:
“Perhatikan atau periksalah hadis hadis Rasulullah SAW kemudian tuliskanlah! Aku
khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama (para ahlinya). Dan
janganlah kamu terima , kecuali hadis Rasulullah SAW… “
25. Pengantar Studi Hadits
Page | 25
Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Hazm agar mengumpulkan hadis hadis
yang ada pada Amrah binti Abdurrahman Al Anshari (murid kepercayaan Siti Aisyah) dan Al
Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar. Instruksi yang sama ia juga berikan kepada
Muhammad bin Syihab Az Zuhri yang dinilainya sebagai seorang yang lebih banyak
mengetahui hadis daripada yang lainnya.
Menurut para ulama, hadis hadis yang dihimpun oleh Abu Bakar ibn Hazm masih kurang
lengkap, sedangkana hadis hadis yang dihimpun ibn Syihab Az Zuhri lebih lengkap, akan
tetapi, sayang sekali karena karya kedua tabiin ini lenyap sehinggga tidak sampai kepada
generasi sekarang.
3.2. Saran
Dengan selesainya pembuatan makalah ini kami berharap dapat memahami secara mendalam
tentang Sejarah Hadis (Pertumbuhan dan Perkembangannya) . Tentunya pembuatan makalah ini
diharapkan bemanfaat untuk orang lain atau setidaknya untuk diri sendiri. Kritik dan saran sangat
diperlukan sekali dalam kesempurnaan makalah ini, sebab tanpa adanya kritik dan saran maka
kami tidak akan mengetahui kesalahan dan kekurangan makalah ini. kami berharap ada kritik dan
saran yang dapat kami terima.
26. Pengantar Studi Hadits
Page | 26
DAFTAR PUSTAKA
As-Suyuti, Asbab Wurud Al-Hadis
Masyuk Zuhdi, 1985. Pengantar Ilmu Hadis, Surabaya: Bina Ilmu
Mudasir, Drs.H, 2010. Ilmu Hadis, Bandung: Pustaka Setia
DVD Hadis & Ilmu Hadis, DR. Ahmad Lutfi Fathullah, MA
http://rachmatfatahillah.blogspot.com/2011/06/kodifikasi-hadits-abad-ii-iii-iv-vdan.html
http://basyir-accendio.blogspot.com/2012/04/sejarah-pertumbuhan-penulisan-dan.html