1. PENGANTAR
DIREKTUR JENDERAL PENATAAN RUANG
DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM
There is little in the architecture of a city that is more beautifully designed than a tree 4. Data tentang kependudukan yang ada menunjukkan bahwa jumlah
(Jaime Lerner – Mayor of Curitiba 1971). penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang
cukup pesat. Pada 1980 jumlah penduduk perkotaan baru mencapai
A. Latar Belakang 32,8 juta jiwa atau 22,3 persen dari total penduduk nasional. Pada tahun
1990 angka tersebut meningkat menjadi 55,4 juta jiwa atau 30,9 persen,
1. Dewasa ini pengelolaan ruang di kawasan perkotaan cenderung dan menjadi 90 juta jiwa atau 44 persen pada tahun 2002. Terakhir
mengalami tantangan yang cukup berat akibat tingginya arus urbanisasi. berdasarkan perhitungan BPS dan Bappenas persentasi penduduk
Sementara di sisi lain, daya dukung lingkungan dan sosial yang ada juga perkotaan pada 2005 telah mencapai 48,3 persen. Angka tersebut
menurun, sehingga tidak dapat mengimbangi kebutuhan akibat tekanan diperkirakan akan mencapai 150 juta atau 60 persen dari penduduk
kependudukan. Indonesia pada tahun 2015 (lihat Gambar 1).
2. Tantangan lainnya berkaitan dengan tingginya tingkat konversi atau alih
guna lahan dari lahan (terutama lahan-lahan pertanian menjadi daerah
terbangun) yang menimbulkan dampak terhadap rendahnya kualitas Stockholm
lingkungan perkotaan. Data yang ada menunjukkan tingkat konversi V ienna
lahan pertanian di Indonesia rata-rata mencapai 150 ribu hektar setiap Curitiba
tahunnya (BPS, 2003). New York
Berlin
3. Hal-hal tersebut diperburuk oleh lemahnya penegakan hukum dan
Vancouver
penyadaran masyarakat terhadap aspek penataan ruang kota sehingga
London
menyebabkan munculnya permukiman kumuh di beberapa ruang kota
Paris
dan menimbulkan masalah kemacetan akibat tingginya hambatan
Jakarta
samping di ruas-ruas jalan tertentu.
Tokyo
Urbanisasi di Indonesia 0 20 40 60 80 100
80.0% 3.5% RTH per kapita, m2/pddk
70.0% 3.0%
Persen Pddk Kota, %
60.0%
Gambar 2. Luas RTH di Beberapa Kota Dunia
Pertumbuhan, %
2.5%
50.0%
2.0%
40.0%
1.5%
30.0% 5. Jumlah penduduk perkotaan yang terus meningkat dari waktu ke waktu
1.0%
20.0%
10.0% 0.5%
tersebut akan memberikan implikasi pada tingginya tekanan terhadap
0.0% 0.0% pemanfaatan ruang kota, sehingga penataan ruang kawasan perkotaan
1960 1970 1980 1990 2000 2005 2015 2025
perlu mendapat perhatian yang khusus, terutama yang terkait dengan
Tah un
Pertumbuhan Penduduk Kota
penyediaan kawasan hunian, fasilitas umum dan sosial serta ruang-
ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan.
Gambar 1. Perkembangan Penduduk Kota
1
2. 6. Menurunnya kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik yang ada di
perkotaan, baik berupa ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka
non-hijau telah mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan
perkotaan seperti seringnya terjadi banjir di perkotaan, tingginya polusi
udara, dan meningkatnya kerawanan sosial (kriminalitas dan krisis
social), menurunnya produktivitas masyarakat akibat stress karena
terbatasnya ruang public yang tersedia untuk interaksi sosial.
7. Kecenderungan terjadinya penurunan kualitas ruang terbuka public,
terutama ruang terbuka hijau (RTH) pada 30 tahun terakhir sangat
signifikan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan
Bandung, luasan RTH telah berkurang dari 35% pada awal tahun
1970an menjadi kurang dari 10% pada saat ini. RTH yang ada sebagian
bersar telah dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan seperti jaringan
jalan, gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, dan kawasan
permukiman baru. Jakarta dengan luas RTH sekitar 9 persen, saat Gambar 3. Ruang Terbuka Publik (Open Space)
memiliki rasio RTH per kapita sekitar 7,08 m2, relatif masih lebih rendah
dari kota-kota lain di dunia (lihat Gambar 2). 10. Sementara itu ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang
8. Dalam upaya mewujudkan ruang yang nyaman, produktif dan diperkeras (paved) maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa
berkelanjutan, maka sudah saatnya kita memberikan perhatian yang permukaan sungai, danau, maupun areal-areal yang diperuntukkan
cukup terhadap keberadaan ruang terbuka public, khususnya RTH. sebagai genangan retensi.
Untuk itu, Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Penataan 11. Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami yang berupa
Ruang, Departemen PU, telah merencanakan untuk memasukkan habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun
klausul pengaturan tentang RTH ini di dalam revisi UU 24/ 1992 tentang RTH non-alami atau binaan yang seperti taman, lapangan olah raga, dan
Penataan Ruang yang saat ini sedang dalam proses pembahasan. kebun bunga.
B. Konsep Ruang Terbuka Hijau Perkotaan
9. Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan terdiri
dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka
Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open
spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan
vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat
ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat
ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya (Lokakarya RTH, 30
November 2005).
Gambar 4. Tipologi Ruang Terbuka Hijau
2
3. 12. Sedangkan dari segi fungsi RTH dapat berfungsi secara ekologis,
sosial/budaya, arsitektural, dan ekonomi. Secara ekologis RTH dapat
meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi
udara, dan menurunkan temperatur kota. Bentuk-bentuk RTH perkotaan
yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, hutan kota,
taman botani, sempadan sungai dll. Secara sosial-budaya keberadaan
RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana
rekreasi, dan sebagai tetenger kota yang berbudaya. Bentuk RTH yang
berfungsi sosial-budaya antara lain taman-taman kota, lapangan olah
raga, kebun raya, TPU dsb.
Gambar 6. Struktur RTH Perkotaan
15. Sedangkan dari segi kepemilikan RTH dapat berupa RTH public yang
dimiliki oleh umum dan terbuka bagi masyarakat luas, atau RTH privat
(pribadi) yang berupa taman-taman yang berada pada lahan-lahan
pribadi.
C. Peran Penataan Ruang Perkotaan
16. Perencanaan tata ruang wilayah perkotaan berperan sangat penting
Gambar 5. Tanaman Endemik sebagai Tetenger dalam pembentukan ruang-ruang publik terutama RTH di perkotaan.
13. Sedangkan secara arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai keindahan
dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-
kebun bunga, dan jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota. Sementara itu RTH
juga dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung seperti
pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi lahan pertanian/ perkebunan
(urban agriculture) dan pengembangan sarana wisata hijau perkotaan
yang dapat mendatangkan wisatawan.
14. Sementara itu secara struktur, bentuk dan susunan RTH dapat
merupakan konfigurasi ekologis dan konfigurasi planologis. RTH dengan
konfigurasi ekologis merupakan RTH yang berbasis bentang alam
seperti, kawasan lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan
danau, pesisir dsb. Sedangkan RTH dengan konfigurasi planologis
dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti pola struktur kota
seperti RTH perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan, RTH kota
maupun taman-taman regional/ nasional. Gambar 7. Sistem Perencanaan Tata Ruang
3
4. Perencanaan tata ruang perkotaan perkotaan seyogyanya dimulai
dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan yang secara alami harus
diselamatkan (kawasan lindung) untuk menjamin kelestarian lingkungan,
dan kawasan-kawasan yang secara alami rentan terhadap bencana
(prone to natural hazards) seperti gempa, longsor, banjir maupun
bencana alam lainnya. Kawasan-kawasan inilah yang harus kita
kembangkan sebagai ruang terbuka, baik hijau maupun non-hijau.
17. Dengan demikian perencanaan tata ruang harus dimulai dengan
pertanyaan dimana kita tidak boleh membangun?
Gambar 9. RTH Publik dalam Tata Ruang Kota
D. Issue dan Tantangan
Gambar 8. Interaksi Tata Ruang & Transportasi 18. Issue yang berkaitan dengan ruang terbuka publik atau ruang terbuka
hijau secara umum terkait dengan beberapa tantangan tipikal perkotaan,
seperti menurunnya kualitas lingkungan hidup perkotaan, bencana
Sehingga rencana tata ruang perkotaan secara ekologis dan planologis banjir/ longsor dan perubahan perilaku sosial masyarakat yang
terlebih dahulu mempertimbangkan komponen-komponen RTH maupun cenderung kontra-produktif dan destruktif seperti kriminalitas dan
ruang terbuka publik lainnya dalam pola pemanfaatan ruang kota. vandalisme.
Secara hirarkis, struktur pelayanan tipikal kota sebagaimana tercantum 19. Dari aspek kondisi lingkungan hidup, rendahnya kualitas air tanah,
dalam Gambar 8 dapat menggambarkan bentuk akomodasi ruang tingginya polusi udara dan kebisingan di perkotaan, merupakan hal-hal
terbuka publik dalam perencanaan tata ruang di perkotaan. yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan
keberadaan RTH secara ekologis. Di samping itu tingginya frekuensi
bencana banjir dan tanah longsor di perkotaan dewasa ini juga
diakibatkan karena terganggunya sistem tata air karena terbatasnya
daerah resapan air dan tingginya volume air permukaan (run-off).
Kondisi tersebut secara ekonomis juga dapat menurunkan tingkat
4
5. produktivitas, dan menurunkan tingkat kesehatan dan tingkat harapan diperuntukkan sebagai RTH, kondisinya kurang terawatt dan tidak
hidup masyarakat. Di sisi lain, exposure terhadap polusi udara yang dikelola secara optimal.
berlebihan dan terus-menerus dapat menyebabkan kelainan genetik dan 25.Untuk meningkatkan keberadaan ruang publik, khususnya RTH di
menurunkan tingkat kecerdasan anak-anak di masa mendatang. perkotaan, perlu dilakukan beberapa hal terutama yang terkait dengan
20. Secara sosial, tingginya tingkat kriminalitas dan konflik horizontal di penyediaan perangkat hukum, NSPM, pembinaan masyarakat dan
antara kelompok masyarakat perkotaan secara tidak langsung juga keterlibatan para pemangku kepentingan dalam pengembangan ruang
dapat disebabkan oleh kurangnya ruang-ruang kota yang dapat kota.
menyalurkan kebutuhan interaksi sosial untuk pelepas ketegangan yang 26. Beberapa upaya yang akan dilakukan oleh Pemerintah ke depan antara
dialami oleh masyarakat perkotaan. Rendahnya kualitas lingkungan lain adalah:
perumahan dan penyediaan ruang terbuka publik, secara psikologis telah Melakukan revisi UU 24/1992 tentang penataan ruang untuk dapat
menyebabkan kondisi mental dan kualitas sosial masyarakat yang makin lebih mengakomodasikan kebutuhan pengembangan RTH;
buruk dan tertekan. Menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan (NSPM) untuk
21.Sementara itu secara teknis, issue yang berkaitan dengan peyelenggaraan dan pengelolaan RTH;
penyelenggaraan RTH di perkotaan antara lain menyangkut terjadinya Menetapkan kebutuhan luas minimum RTH sesuai dengan
sub-optimalisasi penyediaan RTH baik secara kuantitatif maupun karakteristik kota, dan indikator keberhasilan pengembangan RTH
kualitatif, lemahnya kelembagaan dan SDM, kurangnya keterlibatan suatu kota;
stakeholder dalam penyelenggaraan RTH, serta terbatasnya ruang/ Meningkatkan kampanye dan sosialisasi tentangnya pentingnya RTH
lahan di perkotaan yang dapat digunakan sebagai RTH. melalui gerakan kota hijau (green cities);
22.Sub-optimalisasi ketersediaan RTH terkait dengan kenyataan masih Mengembangkan mekanisme insentif dan disinsentif yang dapat lebih
dari kurang memadainya proporsi wilayah yang dialokasikan untuk ruang meningkatkan peran swasta dan masyarakat melalui bentuk-bentuk
terbuka, maupun rendahnya rasio jumlah ruang terbuka per kapita yang kerjasama yang saling menguntungkan;
tersedia. Hal ini menyebabkan rendahnya tingkat kenyamanan kota, Mengembangkan proyek-proyek percontohan RTH untuk berbagai
menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan secara tidak jenis dan bentuk yang ada di beberapa wilayah kota.
langsung menyebabkan hilangnya nilai-nilai budaya lokal (artefak alami
dan nilai sejarah) akibat tergusur oleh kepentingan ekonomi yang
pragmatis.
23. Sedangkan secara kelembagaan, masalah RTH juga terkait dengan Dirjen Penataan Ruang Departemen PU
belum adanya aturan perundangan yang memadai tentang RTH, serta
pedoman teknis dalam penyelenggaraan RTH sehingga keberadaan
RTH masih bersifat marjinal. Di samping itu, kualitas SDM yang tersedia
juga harus ditingkatkan untuk dapat memelihara dan mengelola RTh A. Hermanto Dardak
secara lebih professional. Di sisi lain, keterlibatan swasta dan
masyarakat masih sangat rendah dalam penyelenggaraan RTH. Potensi
pihak swasta dalam penyelenggaraan RTH masih belum banyak
dimanfaatkan, sehingga pemerintah selalu terbentur pada masalah
keterbatasan biaya dan anggaran.
24. Di sisi lain, walaupun secara teoritis ruang perkotaan yang tersedia
makin terbatas, dalam kenyataannya banyak lahan-lahan tidur di
perkotaan yang cenderung ditelantarkan dan kurang dimanfaatkan.
Sementara ruang-ruang terbuka yang memang secara legal
5
7. MENTERI PEKERJAAN UMUM
REPUBLIK INDONESIA
KATA SAMBUTAN
Seraya memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, saya properti-properti pada lokasi yang berdekatan dengan RTH tersebut. Di
menyambut baik penerbitan buku yang berjudul “Ruang Terbuka Hijau samping itu, RTH juga berfungsi memberikan nilai tambah bagi fungsi
sebagai Unsur Utama Pembentuk Kota Taman” oleh Direktorat Jenderal lingkungan, misalnya segi estetika kota, pengendalian pencemaran udara,
Penataan Ruang. Menurut hemat saya, buku bertema ruang terbuka hijau pengendalian iklim mikro, serta membentuk “image” suatu kota.
(RTH) ini hadir pada saat yang tepat, yakni di tengah kecenderungan
berkurangnya luasan RTH di kota-kota besar di Indonesia akibat telah Dalam konteks itu, saya mendorong agar dalam Rancangan Undang-
dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan lainnya, seperti pusat Undang pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang
perbelanjaan dan sarana komersial, kawasan permukiman termasuk Penataan Ruang memuat pengaturan tentang standar minimal bentuk dan
apartemen, maupun infrastruktur jalan. Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir ukuran RTH yang wajib disediakan oleh suatu kota. Melalui pengaturan ini,
ini, proporsi luasan RTH di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk mengalokasikan ruang terbuka
dan Medan, telah berkurang dari 35% awal tahun 1970-an menjadi kurang hijau secara tegas dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota yang
dari 10% terhadap luas kota secara keseluruhan. Kondisi ini tentunya masih dijabarkan secara lebih rinci dalam ketentuan tentang aturan intensitas
di luar standar ideal luasan minimal ruang terbuka hijau pada suatu kota kegiatan-kegiatan di sekitar RTH tersebut. Selain itu, pengaturan yang tegas
sebagaimana disepakati dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio ini juga memberikan peluang bagi masyarakat dan pemangku kepentingan
De Janeiro (1992) dan ditegaskan kembali di Johannesburg (2002), yakni lainnya untuk turut berperan secara lebih aktif dalam mengendalikan
minimal 30 % dari total luas kota. pencapaian standar minimal tersebut.
Sementara, berbagai kota besar di dunia, seperti New York, Manchester, Akhirnya, saya berharap bahwa keberadaan buku ini tidak sebatas
Singapura, Beijing, Shanghai, dan Melbourne, telah menerapkan konsep memperkaya khasanah pengetahuan kita, namun juga dapat menjadi
’green cities’ dengan meningkatkan proporsi luasan RTH hingga mencapai sumber inspirasi dan pedoman bagi pemerintah dan pemangku kepentingan
lebih 20% dari total luas kota, demi kesehatan, kenyamanan dan kesegaran lainnya dalam mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif dan
warga kotanya. Penerapan konsep tersebut secara konsisten dan didukung berkelanjutan. Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan
persepsi serta kerjasama semua pemangku kepentingan di kota-kota setinggi-tingginya kepada tim penyusun dan penyunting, terutama kepada
tersebut, ternyata telah mampu memberi manfaat ekonomi sebagai akibat saudara Ning Purnomohadi yang telah mencurahkan tenaga dan pikirannya,
meningkatnya citra kota yang ramah lingkungan, dan ruang visual yang serta kepada seluruh pihak yang telah mendukung penerbitan buku ini.
indah sehingga memiliki ’nilai jual’ tersendiri bagi pengembangan pariwisata.
RTH sebagai unsur utama pembentuk kota yang dirancang dengan baik dan Menteri Pekerjaan Umum
benar sesuai dengan rencana tata ruang kotanya diharapkan dapat Republik Indonesia
memenuhi kebutuhan masyarakat akan ruang terbuka, meningkatkan
kualitas kehidupan, membentuk identitas komunitas, melindungi kualitas DJOKO KIRMANTO
lingkungan dan meningkatkan nilai ekonomi bangunan-bangunan atau
v
9. DAFTAR ISI
Cover
Daftar Isi i
Daftar Tabel iv
Daftar Gambar iv
Sambutan Menteri v
Pengantar/Acknowledgement Dirjen PR vi
BAB I PENDAHULUAN I-1
1.1. Latar Belakang Pembangunan RTH Kota I-1
1.2. Penghijauan kembali Lingkungan Perkotaan I-3
1.3. Alur Pemikiran dalam Mewujudkan RTH sebagai Unsur Utama Pembentuk Kota Taman I-4
BAB II RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) KOTA II-1
2.1. Pengertian Umum RTH II-1
2.2. Masalah Urbanisasi dan Keperi-adaan RTH dalam Penataan Ruang (Dardak, 2005) II-3
2.2.1 Konsep Ruang Terbuka Hijau (RTH) Perkotaan II-4
2.2.2 Peran Penataan Ruang Perkotaan II-5
2.2.3 Peran dan Fungsi RTH II-6
2.2.4 Issue dan Tantangan II-7
2.3. Manfaat RTH II-8
2.3.1 Manfaat Bagi Kesehatan II-9
2.3.2 Ameliorasi Iklim II-9
2.4. RTH dan Pertamanan (Land-Scape Architecture) Perkotaan II-10
2.5. Pengelompokan Jenis dan Luas RTH Pembentuk Kota II-11
2.5.1 Kelompok RTH Berkenaan dengan Peran dan Fungsinya II-11
2.5.2 Jenis RTH Kota II-12
2.5.3 Pengelompokkan RTH Kota II-12
2.6. Pentahapan Pengembangan RTH II-13
2.6.1 Pengembangan RTH Kota Jangka Pendek II-13
2.6.2 Pengembangan RTH Kota Jangka Panjang II-13
2.6.3 Perencanaan dan Pengendalian RTH Kota II-13
2.6.4 Pola Penyelenggaraan RTH II-14
i
10. BAB III PERMASALAHAN DEGRADASI LINGKUNGAN HIDUP PERKOTAAN III-1
3.1. Masalah-masalah Utama dan Konservasi di Bidang Lingkungan Hidup III-1
3.2. Keselarasan Hubungan Manusia dengan Lingkungan III-3
3.3. Pencemaran Udara III-3
3.4. Pencemaran Air dan Tanah III-6
3.4.1 RTH Kota dan Upaya Pengendalian Pencemaran Air, banjir dan Kekeringan III-6
3.4.2 Tiga Tingkatan Perubahan Lingkungan Akibat Bencana Banjir III-8
3.4.3 Pencemaran dan Kerusakan Tanah (Abrasi Pantai, Intrusi Air Laut, Amblasan Tanah, Pencemaran Air Tanah III-9
3.5. Rawan Kejadian (Bencana) Kebakaran III-10
3.6. Karakteristik Air Limbah dan Dampak terhadap Kesehatan III-11
III-11
BAB IV RTH SEBAGAI UNSUR UTAMA PEMBENTUK KOTA YANG NYAMAN, PRODUKTIF, DAN BERKELANJUTAN IV-1
4.1. Konservasi Lingkungan Hidup Kota IV-1
4.2. Lingkungan Perkotaan Permasalahan dan Pembangunan Kota Berkelanjutan IV-1
4.2.1 Pengertian Hubungan Strategis Pembangunan Kota dan Perencanaan Kota IV-2
4.2.2 Membangun Kota yang Bersih, Aman, Nyaman, dan Sehat IV-2
4.2.3 Model Kabupaten dan Kota Sehat IV-3
4.3. Pengelolaan Kota Taman Tropis IV-4
4.3.1 Peran RTH Kota (Khusus Hutan Kota) terhadap Kenyamanan Lingkungan IV-5
4.3.2 RTH Kota sebagai Penunjang Pembangunan Berkelanjutan IV-5
4.4. RTH Kota dan Perencanaan Kota IV-6
4.5. RTH dan RTRW Kota IV-6
4.5.1 Strategi Pembangunan dan Perencanaan Kota IV-7
4.5.2 Perkembangan Pola Permukiman Terhadap Konsepsi Hijau IV-7
4.5.3 Pemilihan Beberapa Jenis Tanaman Sesuai Fungsinya IV-10
BAB V BAGIAN-BAGIAN (ANATOMI) RTH KOTA V-1
5.1. Perkembangan dan Pembangunan RTH Kota V-1
5.2. Taman lingkungan Perumahan V-3
5.3. Taman Kota (Umum, Alun-alun, Kebon Raja,Taman Pemakaman Umum/Khusus) V-4
5.4. Taman Rekreasi (Aktif & Pasif: Stadion OR, Kebun Raya/Aboretum/Binatang: Umum atau Satwa, Khusus: Buaya, Unggas, dll) V-5
5.5. RTH Konservasi dan Pengamanan Sarana/Prasarana Kota V-5
5.5.1 Jalur Hijau (Pedestrian, Lalu-Lintas/Jalan, Kolong Jembatan/Jalan Layang, Jalur Tegangan Tinggi Bantaran Rel Kereta Api) V-6
5.5.2 Jalur Biru (Bantaran Sungai, Rawa-rawa, Pantai, Situ, Waduk, Telaga, Danau, ’Retention Basin’) V-7
5.5.3 Daerah Penyangga/Pengaman (buffer Zone/Corridor Hijau) Kawasan Industri Pabrik, Pengolahan Limbah, dan Tempat Pembuangan
Sampah (TPS/TPA) V-8
5.6. Best Practices di Dalam Negeri V-10
5.6.1 Provinsi DKI Jakarta V-11
5.6.2 Kota Surabaya V-12
5.7. Best Practices di Luar Negeri V-14
ii
11. 5.7.1 Rehabilitasi dengan Sistem Insentif Bagi Pemilik Lahan, Belajar dari Kasus Kota Osaka: ’Osaka Bussiness Park’ (OBP) V-14
5.7.2 Rehabilitasi Sungai Singapura dalam Waktu 10 Tahun, Bagian dari Semboyan ’Clean and Green Planned City’ V-16
5.7.3 Curitiba V-17
BAB VI MEMBANGUN DAN MENGELOLA KOTA TAMAN VI-1
6.1. Program Tata Praja Lingkungan VI-1
6.1.1 Otonomi Daerah VI-1
6.1.2 Pengembangan Sistem Penataan Hukum VI-1
6.1.3 Program Pendukung VI-1
6.2. Kegiatan Pokok dan Pola Penyenggaraan RTH Kota VI-3
6.2.1 Permasalahan Pengelolaan RTH Kota VI-3
6.2.2 Dilema Nilai Ekonomi, Sosial dan Budaya RTH-Kota VI-4
6.3. Kebijakan dan Strategi Pembangunan RTH Kota VI-4
6.3.1 Kebijakan Pembangunan RTH Kota VI-5
6.3.2 Strategi Pembangunan RTH Kota VI-6
6.4. Permasalahan Pengelolaan RTH Kota VI-8
6.4.1 Menentukan Luas RTH Kota VI-8
6.4.2 Standar Luasan dan Kebutuhan RTH Kota VI-9
6.5. Pengelolaan RTH Kota Taman Tropis VI-10
6.5.1 Mekanisme Perencanaan Kota VI-12
6.5.2 Area Perencanaan Kota dan Kebijaksanaan VI-13
6.5.3 Pembatasan Tata Guna Tanah dan Sarana Pembangunan Utama VI-13
6.5.4 Proyek Pembangunan Kota dan Batasan-batasannya VI-13
6.5.5 Peran Pengawasan pada Tiap Bagian Kota VI-13
6.6. Perencanaan dan Realisasi RTH Kota dalam Perencanaan Kota VI-14
BAB VII PANDANGAN PRAKTISI TENTANG RTH KOTA VII-1
7.1. (P. Iman)
7.2. (P. Maman)
BAB VIII PENUTUP VIII-1
LAMPIRAN
Lampiran 1 : Perhitungan Luas RTH Kota L-1
Lampiran 2 : Kompilasi Dasar Hukum (Peraturan Perundang-undangan) RTH dan Perda Terkait RTH L-3
Lampiran 3 : Pustaka Lanjutan L-6
iii
12. DAFTAR TABEL
Tabel 1 Konsep Dasar Pengelolaan Lahan II-13
Tabel 2 Kriteria Jenis Tanaman untuk RTH III-5
Tabel 3 Luas Keteduhan Beberapa Jenis Tumbuhan III-6
Tabel 4 Parameter Air Limbah III-12
Tabel 5 Logan dan Sifat Racunnya III-12
Tabel 6 Jenis, Fungsi, dan Tujuan Pembangunan RTH V-2
Tabel 7 Pengelolaan RTH Rumah Tinggal V-13
Tabel 8 Standar RTH Kota: Kriteria Unit-unit Lingkungan VI-9
Tabel 9 Kebutuhan akan RTH VI-9
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Perkembangan Penduduk Kota II-3
Gambar 2 Luas RTH di Beberapa Kota Dunia II-3
Gambar 3 Ruang Terbuka Publik (Open Space) II-4
Gambar 4 Tipologi Ruang Terbuka Hijau II-5
Gambar 5 Tanaman Endemik sebagai Tetenger II-5
Gambar 6 Struktur RTH Perkotaan II-5
Gambar 7 Sistem Perencanaan Tata Ruang II-6
Gambar 8 Interaksi Tata Ruang dan Transportasi II-6
Gambar 9 RTH Publik dalam Tata Ruang Kota II-7
Gambar 10 Roman House at Pompeii, Italia V-4
Gambar 11 Cluster Development V-4
Gambar 12 Vaux-le-Vicomte V-4
Gambar 13 Plan of Versailles (1662-1665) V-5
Gambar 14 Konsep Penatan Ruang Kota Curitiba V-17
Gambar 15 Pengembangan RTH pada Areal Kepadatan Rendah V-17
Gambar 16 Zona Pedestrian di Pusat Kota V-18
Gambar 17 Kolan-kotan Retensi Banjir V-18
Gambar 18 Penataan TPA Sanitary Land-fill V-19
iv
13. RUANG TERBUKA HIJAU (RTH)
SEBAGAI UNSUR UTAMA PEMBENTUK KOTA TAMAN
versi 8 Februari 2006
v
15. I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG sebagai pribadi. Konsep tata hijau berkembang menjadi
Pada jaman pra-sejarah, konsepsi hijau belum nam- ilmu arsitektur baru, ingin menguasai alam (antropo-
pak nyata, mungkin disebabkan karena cara hidup dan sentris), meneruskan garis-garis arsitektur alam sekitar,
berpikir yang masih sangat sederhana. Kehidupan ma- sedemikian rupa hingga hubungan antara hijau dengan
sih sangat tergantung pada alam sehingga muncul ke- manusia menjadi lebih harmonis.
biasaan bertahan untuk sekedar hidup. Alam merupakan Kini fungsi hijau menjadi lebih kompleks akibat
suatu misteri yang ditakuti, maka mereka tinggal di dalam pencemaran dan perusakan lingkungan, hasil penerap
gua-gua atau di pohon agar aman. an teknologi dan industri secara serampangan, telah
Kemudian manusia mulai menyadari kemampuan merusak hubungan timbal-balik antara manusia dengan
berpikirnya untuk dapat menguasai alam, kebudayaan lingkungan. Perusakan dan pencemaran semakin parah,
pertanian dan peternakan mulai berkembang, pemujaan sehingga tak ada lagi kemampuan regeneratif alam un-
berganti kepada dewa-dewi di langit yang dianggap telah tuk merehabilitasi diri sendiri, karena daya dukung lingku
memberi kehidupan. ’Rumah’ mulai dikenal, turun dari ngan telah terlampaui atau telah melebihi ambang batas.
atas pohon dan keluar dari gua-gua. Dalam kehidupan Sementara itu penduduk dunia terus bertambah, sedang
berkelompok mulai timbul persaingan dan permusuhan kan sumber daya alam (SDA) terbatas terutama yang tak
antar kelompok, sehingga bahaya timbul dari manusia bisa diperbaharui. Di negara-negara maju pencemaran
lain. Pada situasi seperti ini, diperlukan perlindungan disebabkan oleh teknologi tinggi, sedangkan di negara
bagi kelompok. Konsepsi hijau, lebih dari sekadar hanya sedang berkembang, sebagian besar adalah akibat ke
tanaman pagar berduri di sekeliling permukiman, tetapi terbelakangan, kemiskinan dan kebodohan.
permukiman sudah merupakan benteng berparit, yang Konsepsi hijau lebih berkembang, selaras keinginan
tertutup dari alam bebas. penguasaan akan alam dan menjadikan tata hijau sebagai
Dengan ditemukannya bubuk mesiu, senjata kimiawi, penerus gaya arsitektur, dengan meningkatkan hubungan
nuklir dan toksin biologis, maka cara perlindungan men- antar bangsa. Kemudian pemikiran Dunia Timur masuk,
jadi lebih terbuka, demikian terus menerus merobah kon- yaitu timbul adanya penghargaan terhadap fungsi hijau
sep kehidupan manusia di dunia ini. sebagai sesuatu yang diperlukan (integrated landscape).
Manusia mulai membuka diri dari ‘dunia’ mistik de Bidang arsitektur lansekap sendiri mulai berkembang
ngan pemikiran rohaniah dan pengaruh kuat agama, di benua Eropa, sesuai dengan kebutuhan sekitar 200
menjadi lebih memikirkan keduniawian dan status hidup tahun lalu, dimulai dari keperluan manusia akan suatu
16 Pendahuluan
16. ruang ‘rekreatif’ di sekitar tempat tinggal, seperti Taman
Inggris (English Garden). Pengaruh ini menyebar ke be
nua Amerika dan mencapai puncak dengan dibangunnya
Central Park (1858) di New York, karya Frederick Law Ol-
msted dan Calvert Vaux.
Fungsi hijau dalam ruang terbuka hijau (RTH) kota
sebagai ‘paru-paru’ kota, sebenarnya hanya merupa
kan salah satu aspek berlangsungnya fungsi daur ulang,
antara gas karbondioksida (CO2) dan oksigen (O2), hasil
fotosintesis khususnya pada dedaunan. Sistem tata hi-
jau ini berfungsi sebagai semacam ventilasi udara dalam
rumah (bangunan). Lebih dari itu, masih banyak fungsi
RTH termasuk fungsi estetika yang bermanfaat sebagai
sumber rekreasi publik, secara aktif maupun pasif, yang
diwujudkan dalam sistem koridor hijau sebagai alat pe
ngendali tata ruang/lahan dalam suatu sistem RTH kota
(urban green open space system). RTH juga berfungsi se-
bagai sumber penampungan air dan pengatur iklim tropis
yang terik dan lembab.
Perkembangan teknologi yang amat pesat tanpa
mengindahkan kelestarian fungsi lingkungan, memper-
buruk kualitas hidup kota-kota metropolitan, bahkan se-
bagian besar kota-kota pun telah mengalami krisis ling-
kungan. Para arsitek lansekap diharapkan dapat berlaku
dan bertindak secara (lebih) bijaksana dalam ikut serta
mengembangkan dan menjaga fungsí lingkungan secara
Gambar 1.1: Sempadan Sungai Pesanggrahan, Jakarta
lestari untuk mencapai keseimbangan lingkungan, yang Sungai menjadi keranjang sampah, sebuah potret tentang bagaimana
tidak hanya sekedar indah. sikap kita memperlakukan lingkungan.
Pemahaman tentang profesi arsitektur lansekap itu (Dokumen Yayasan Kirai, 2006)
mungkin lebih tepat bila disebut “arsitektur lingkungan”.
Arsitek lansekap dapat berperan menjadi ‘polisi’ terha-
dap pembangunan fisik, yang harus menguasai masalah
Pendahuluan 17
17. Gambar 1.2 (paling kiri):
Karet kebo (Ficus elastica), dengan tajuk
lebar dipandang efektif menjadi pengisi RTH
luas (lokasi: Istana Bogor).
(Dok. Yayasan Kirai, 2006)
Gambar 1.3 (kiri): Alam mempunyai
keterbatasan. Dibutuhkan pengetahuan dan
kepekaan dalam melakukan perancangan,
sehingga tidak perlu terjadi bencana seperti
foto di samping ini terjadi di lereng bukit
Pacific Palisades, CA, Amerika Serikat.
(Cunningham & Saigo, 1997, halaman 358
dalam M. Amin, 2005)
ekosistem secara cermat dan bertanggungjawab dalam dalam proses perobahan yang mendukung kehidupan
upaya mengembalikan dan melestarikan kembali fungsi manusia, flora dan fauna secara selaras, seimbang, dan
lingkungan, seperti kawasan budidaya, termasuk ling- dalam hubungan yang lestari antar sesama, alam dan
kungan perkotaan pada ekosistem pesisir pantai yang Tuhan. Pemahaman proses pembentukan muka bumi
penting diperhatikan, sebagaimana layaknya suatu nega- secara alami, harus berdasar pada kesadaran, bahwa
ra kepulauan terbesar di dunia. karya perencanaan maupun perancangan harus berpi-
Arsitek lansekap mampu bekerjasama dalam suatu jak pada ekotipe dasar karakteristik fisik bentang alam,
perencanaan dan perancangan kota yang akan mero- apakah pada ekosistem tropis kepulauan yang terik dan
bah wajah lingkungan lansekap kota secara terintegrasi basah (lembab), ekosistem pegunungan, atau pada eko-
dengan profesi lain terkait. Pembangunan kota yang tipe lain, serta sadar akan pengaruh perubahan iklim.
berkelanjutan tidak sekedar berorientasi pada keuntungan Hasilnya adalah karya arsitektur lansekap berkelanjutan
ekonomis jangka pendek dan mengorbankan kebutuhan (sustainable landscape), yang tetap mempertimbangkan
warga akan RTH, sehingga fenomena krisis lingkungan etika atau norma-norma lingkungan yang bersifat dinamis
udara-air-tanah, bencana banjir, tanah longsor, amblas tersebut.
an tanah, intrusi air laut, penebangan pohon secara se Para perencana dan perancang, lambat atau cepat
rampangan, dan penggusuran RTH dapat diminimalkan. menyadari bahwa alat perencanaan dan perancangan itu
Banyak orang lupa, bahwa manusia adalah bagian dari tidak hanya terbatas pada adanya tanah, ruang, bahan-
alam itu sendiri, kalau alam rusak maka dapat dipastikan b
ahan, naluri dan perasaan saja, tetapi yang lebih penting
manusia akan rusak pula. adalah adanya pengertian dan imajinasi dari perencana
Konsep lingkungan yang dinamis, selalu berada itu sendiri, karena para perencana itu bukan saja turut
18 Pendahuluan
18. serta mengatur sebagian kecil bentuk rupa dari alam, tidak bisa dipisahkan. Pembentukan dan penjelmaan
tetapi juga kegiatan manusia di dalamnya. Jadi alamlah yang terus-menerus dalam pikiran manusia, jelas sekali
yang menjadi landasan, dan manusia adalah tujuannya digambarkan dalam alam yang terus tumbuh, yang bisa
(Wirasondjaya, 1975). dipandang sebagai catatan sejarah yang terus merekam
Tetapi untuk menarik garis batas antara alam berikut perobahan-perobahan dalam menaikkan derajat kebu-
kegaiban dan kekuasaannya dengan manusia sangatlah dayaan. Karenanya bukan hanya seni sastra, seni musik,
sukar. Alam, adalah ibarat suatu alat yang sangat peka, seni pahat, seni lukis, dan seni bangunan saja yang dapat
di mana kita bisa dengan mudah menarik kegunaan- mengabadikan perobahan-perobahan aliran dan kekuat
nya. Jika demikian, maka manusia itu sendiri harus tahu an dari hasil kerja manusia dengan kecerdikan, dan ke-
akan kedudukannya serta tata cara yang benar dalam pandaiannya, tetapi juga dari sikap pandangan manusia
mengambil bagiannya serta kedudukannya dalam alam. terhadap alam.
Seandainya si perencana dengan cerdas mampu menye- Alam merupakan sesuatu yang abadi, tetapi hidup,
suaikan dirinya dengan alam, maka masyarakat umumlah yang mempunyai dasar-dasar kefaedahan dan sumber
yang akan merasakan manfaatnya, tetapi sebaliknya jika ilham, merupakan landasan bagi setiap perencana. Alam
melawan alam, maka kesukaran-kesukaran dan masalah merupakan suatu obyek yang belum ditentukan, tempat
yang akan terjadi harus dirasakan oleh masyarakat umum di mana kebebasan terbuka seluas-luasnya dalam pemilih
pula. an, penegasan, dan penyatuan unsur-unsur, karenanya
Perobahan bentuk alam adalah cermin dari perobahan merangsang perasaan untuk mengatur agar setiap orang
pandangan manusia terhadap keadaan sekelilingnya dan dapat melihat apa yang ia lihat, turut merasakan apa yang
dari pertumbuhan penguasaan alam yang memudahkan ia rasa.
manusia untuk memanfaatkannya dalam keadaan ekono- Di alam, kita menggubah bidang datar, menempatkan
mi dan sosial baru. Caranya pun berbeda-beda dan ter- massa, mengadakan penutupan maupun pembukaan,
gantung dari pandangan manusia masing-masing terha- manusia ada dalam pusat perencanaan. Dalam seni lu-
dap alam, tergantung pula dari besarnya persoalan dan kis, manusia ada di luar bidang lukisannya dan memper-
watak, serta kecenderungan sosial dan ekonomi yang hatikan lukisan tersebut di mana ruang-ruang digubah
bersangkutan. Karenanya tiap-tiap tahap perkembangan dalam bidang datar yang terjadi dari sesuatu yang asal-
kemajuan manusia terhadap keadaan sekelilingnya akan nya kosong. Dalam seni patung, manusia melihat obyek
disertai oleh rangsangan jiwa dan semangat. Perasaan tiga dimensional, berhadapan dengan patung tersebut
pertama pada manusia adalah kehadiran skala-skala dan mengelilinginya. Tetapi dalam taman, manusia ada di
baru, sesudah itu mulai mengerti, dan kemudian imajinasi dalamnya, bergerak dan menikmati ruang, yang terbentuk
diterapkan dan disempurnakan. karena obyek di dalamnya. Ruang dan waktu membentuk
Dalam proses pembentukan ini, manusia dan alam suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan lagi. Pemikir
Pendahuluan 19
19. an ini berjalan terus melalui seluruh perkembangan ilmu- tidak akan menyesatkannya. Bentuk benar itu adalah or-
ilmu modern. Ini berarti, bahwa tak ada bentuk alam yang ganik dalam wataknya dan merupakan pola dari alam
tetap atau tahan terhadap pengaruh sekitarnya. Penak atau ekologi lansekap.
lukan sukses terhadap ruang dan waktu dengan jalan Kadangkala alam tak selalu cocok untuk dinikmati se-
penyatuan terhadap keperluan manusia adalah karya dari bagai panorama, tetapi para perencana perlu menyadari
tiap zaman, dasar kekuatan utama yang diperlukan un- bahwa belajar dari alam dengan sendirinya akan diilhami
tuk membentuk lingkungan dengan peradabannya (Wira- oleh imajinasi yang tak pernah padam. Tujuan peren-
sondjaya, 1975). canaan adalah meringankan cara-cara berencana, dan
Ilmu pengetahuan tentang ruang sama juga persoal bukan mencari atau ‘meminjam’ bentuk-bentuk baru.
annya dengan ilmu-ilmu pengetahuan lain, yakni secara Membuat falsafah baru bukanlah pekerjaan yang mudah,
sadar menyelidiki baik-tidaknya sesuatu yang bersang- sebab nilai keberhasilan suatu perencanaan ditentukan
kutan dengan kebutuhan manusia, mendapatkan ciri-ciri oleh daya tahannya.
yang kurang baik, dan kemudian dengan sadar pula men- Orang Yunani dan Romawi tak mempedulikan masa
cari jalan untuk mengatasi dan memperbaiki, bahwa yang yang akan datang, dengan mencoba membuat surga di
dijalankan tidak sekedar kebetulan saja. atas dunia. Kemudian pada abad pertengahan, manusia
Pengertian ruang tidak begitu saja bisa dilukiskan membuat dirinya surga di atas awan, dan membalikkan
dengan kata-kata, karena ruang bukan perkara akal dunia ini menjadi dunia yang fana baik bagi si kaya mau-
tetapi perkara perasaan. Sulit sekali untuk menetapkan pun si miskin. Di zaman Renaisans, suatu jaman yang
s
ebab-sebab dari perasaan itu, tapi kita harus mempu lahir bukan karena suatu gerakan politik atau agama,
nyai angan-angan mengenai hal itu dan jeli mengenali, tetapi dari pernyataan pikiran, orang tidak lagi memu-
supaya kita sendiri bisa menciptakan ruang dalam suasa- satkan pikiran dan kegiatannya namun menunggu keha-
na yang diinginkan. Terwujudnya ruang yang diraih oleh diran surga. Mereka mencoba membangun surga di sini,
tangan manusia, di mana dia bisa bergerak bebas dengan di atas tanah, dan ternyata dalam pencarian kebenaran
leluasa adalah salah satu karya manusia guna mencapai pada derajat tertentu, mereka berhasil.
keseimbangan antara kehidupan jasmani dan rohani. Nilai Kebudayaan Timur yang sudah tinggi dan tua
Salah satu cara untuk dapat mengerti lebih baik ten- adalah hasil suatu falsafah yang dinamis dan tradisi yang
tang ruang adalah dengan mempelajari ruang-ruang tidak hilang selama berabad-abad. Seni dan ilmu peng-
yang sudah terwujud, hasil warisan nenek moyang. Ke- gunaan tanah, dengan tata letak dan tata ruang telah
sabaran mempelajari segala keindahan alam agar bisa berkembang mencapai derajat yang sangat tinggi, yang
diterjemahkan dalam pengertian ruang buatan manusia, jarang didapatkan dan sukar dipahami oleh orang-orang
akan menjadi pegangan bagi setiap perencana, di mana Barat. Falsafah ditekankan pada caranya, melalui apa ke-
angan-angan yang diilhami dari batasan-batasan organik sempurnaan yang dicari. Seni hidupnya, terletak dalam
20 Pendahuluan
20. Keluarga Berencana (KB) dianggap telah cukup berhasil.
Bila angka ini bisa ‘agak’ ditekan, maka penduduk Indo-
nesia “hanya” mencapai kurang dari 200 juta jiwa (2002).
Perencanaan ruang yang efektif sangat penting dilakukan
melalui Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) yang menga-
tur keseimbangan lingkungan antara berbagai ruang dise-
diakan untuk menampung aneka kegiatan penduduknya.
Perkembangan pembangunan perkotaan di Indone-
sia sebagaimana terjadi di kota-kota lain dunia, sangat
dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi (manusia) aki-
bat urbanisasi. Sejak tahun 1970-an, khususnya pada
dekade pertama, sampai tahun 1980-an, 35% dari per-
Gambar 1.4: Rumah Suku Ume tumbuhan total di semua sektor pembangunan lingkun-
Tempat berlindung pada iklim setempat, memanfaatkan bahan dari
gan perkotaan, adalah akibat gelombang urbanisasi yang
lingkungan setempat (lokasi: Timor/NTT).
Foto: Kanwil Sosial Provinsi NTT, 22 Juli 1989 dipacu oleh pembangunan fisik sarana dan prasarana
kota yang merupakan daya tarik sekaligus daya dorong
kelanggengan dan selalu belajar beradaptasi dengan bagi para warga yang ingin memperoleh peluang kehidup
alam sekitar, suatu seni menyadarkan diri, seni bagaima- an lebih baik, termasuk sarana pendidikan dari daerah
na hidup di dunia ini. Hal ini dapat ditemui pada kebudaya asalnya. Laju pembangunan itu pula yang menyebabkan
an Cina, Jepang, dan Indonesia seperti Suku Bali, Suku perkembangan kota seolah tanpa arah (urban sprawl).
Badui, dan Suku Dani. Mereka tahu dan mengerti alam. Akibat lanjut pembangunan yang tak terkontrol ini, telah
Kini dunia Barat mulai sadar, bahkan akhir-akhir ini sudah membentuk ’kantong-kantong’ permukiman yang selalu
berhasil merintisnya dalam perkembangan kemajuan ling- nampak kumuh-padat, dan kumuh-miskin (kupat, kumis)
kungan global setelah menyadari kesalahan terdahulu. di seluruh bagian kota.
Prof. Sumitro (1971) mensinyalir akan adanya bahaya Hasil analisis dari berbagai sumber, menunjukkan ka-
lingkungan perkotaan di Indonesia. Sinyalemen sektor wasan perkotaan (terutama Jakarta) yang mau tak mau
kependudukan Indonesia dari 120 juta jiwa diperkirakan harus menampung sekitar 2,2 juta pemukim pendatang
berkembang menjadi 250 juta jiwa (2000-an), dimana 146 ’baru’ setiap tahun. Sepanjang 20 tahun (1980-2000),
juta jiwa di antaranya menetap di Pulau Jawa dan Madura terjadi dua kali lipat pertumbuhan absolut dibanding ke-
dengan tingkat kepadatan penduduk 1105 jiwa/km2. Na- mampuan adaptif kota dalam menyerap pertambahan
mun untuk mencegah ledakan jumlah penduduk terse- penduduk dibanding antara tahun 1960-1980. Perhitung
but, antara lain diupayakan melalui pendekatan Program an berdasar kenyataan tentang pertumbuhan populasi
Pendahuluan 21
21. penduduk perkotaan di Indonesia tersebut angka pe dan okupansi pada lahan-lahan ’kosong’ yang ada seperti
ningkatan dari 33 juta (22% dari jumlah penduduk) tahun pada jalur jalan kereta api, bantaran sungai, atau di seki-
1980 meningkat menjadi sekitar 76 juta (36%) atau lebih tar dan di antara struktur bangunan yang ada tentu saja
pada tahun 2000 lalu. ’melawan hukum’. Mungkin dalam pikiran mereka, yang
Jumlah penduduk di Indonesia tahun 2005 lalu, sudah penting adalah sudah ’mendapatkan’ ruang untuk hidup
mencapai lebih dari 200 juta jiwa, di mana sekitar 60%- walau pasti tidak memenuhi syarat hunian yang layak,
nya, adalah penduduk perkotaan. Penduduk ibukota apalagi bila sebagian mereka menyatakan bahwa ’squat-
Jakarta yang beraktivitas pada siang hari di dalam kota ter’ itu (selalu) hanya sebagai tempat tinggal sementara.
telah mencapai sekitar 12 juta, belum lagi di kota-kota Pola pembangunan perkotaan menetapkan tugas
besar lain di seluruh Indonesia, yang tentu jumlah pen- pengelola kota untuk melayani kebutuhan warganya akan
duduk di masing-masing kotanya telah mencapai lebih ruang tinggal, energi, air bersih, transportasi umum, fasili-
dari satu-dua juta orang. tas ruang terbuka dan rekreasi, dan seterusnya. Namun
Kondisi pertumbuhan penduduk dengan segala keterbatasan ruang dan waktu pulalah yang tak mampu
macam kebutuhan hidupnya, memaksa para pengelola menampung dan mendukung penduduk yang terus
kota untuk beberapa kali merevisi pengaturan dan pe- mengalir masuk kota. Tentu diperlukan pendekatan khu-
nataan ruang kota, namun selalu tak pernah bisa tuntas, sus seperti prinsip pembangunan struktural bagi sarana
seolah-olah berkejaran dengan ketersediaan waktu yang hunian ke arah vertikal, didukung oleh penerapan pelak-
cukup untuk mengejar ’ketertinggalan pelayanan publik’. sanaan hukum yang rasional dan perlu pengertian warga
Walau standar pelayanan minimal (SPM) sudah ditetap- kota yang bermodal seadanya, dibantu pula oleh kerja
kan, namun warga terus bertambah dengan cepat, baik sama dari mereka-mereka yang istilahnya sudah ’mapan’
secara alami (melalui kelahiran) maupun dari pendatang. untuk mau membantu dengan segala kemampuan yang
Peraturan perundang-undangan (PUU) pun terus ada, demi mencapai lingkungan kota yang aman, sehat,
disesuaikan agar lingkungan perkotaan tetap layak huni nyaman dan produktif.
(manusiawi), namun tentu saja antara lain akibat urbanisa- Dalam kondisi urbanisasi yang terus berlangsung
si tak terkendali tersebut tak akan mampu mengejar tun- cepat ini, maka pemerintahan kota mana pun tak akan
tutan kebutuhan, bukan saja karena jumlah yang dilayani mampu menyediakan prasarana dan sarana meski yang
terus meningkat, juga karena perilaku hidup yang seolah paling minimal pun, tanpa kerja sama dan pengertian dari
apa adanya, bahkan cenderung sekenanya (semau gue?) seluruh warga kotanya. Pemerintah kota pun wajib terus
saja, seolah tanpa menghiraukan peraturan yang ada. mengawasi dan membenahi pertumbuhan kotanya di se-
Latar belakang pendatang yang beraneka ragam pun gala sudut (lokasi) maupun di segala sektor pelayanan
cukup menyulitkan pemahaman akan perlunya menerap- publik yang memadai dengan menjalankan PUU secara
kan tata cara hidup sehat, karena keterpaksaan menghuni tegas dan konsisten.
22 Pendahuluan
22. dah menekan ruang-ruang ’terbuka’ yang ada, karena
Gambar 1.5: penilaian keuntungan sesaat, sedang keuntungan dari
Karikatur tentang kecenderungan segi lain tidak mendapat penghargaan yang layak. Se-
umum yang menomor duakan
bagian besar akibat ketidak-sadaran, bahwa ruang-ruang
ruang terbuka – termasuk sarana
RTH – dan mengutamakan terbuka (termasuk RTH) ini justru bernilai ekonomis dan
pembangunan fasilitas usaha. sekaligus ekologis tinggi yang sangat vital bagi keberlan-
Sumber: Harian Kompas, 3 jutan kehidupan warga penghuni lingkungan perkotaan.
Desember 2005, dari karikatur
Perhitungan ekonomi dari transfer biaya atas hilangnya
Hosblock di Washington Port,
1999 produktivitas manusia yang sakit akibat tekanan kondisi
negatif pencemaran dan atau kerusakan lingkungan ini
Dalam jangka panjang, karena SDA dan SD-buatan terutama meningkatnya vektor pembawa penyakit, cukup
(manusia) di lingkungan perkotaan pasti amat terbatas, tinggi. Belum lagi akibat pencemaran dan kerusakan ling-
maka ’kesemrawutan’ (catastrophy) mudah timbul seperti kungan itu terhadap benda-benda lain yang ada di ling-
yang kita rasakan saat ini. Rentannya kondisi kota ter- kungan kota.
hadap bahaya berbagai penyakit akibat degradasi fungsi Pembangunan di berbagai tingkat dan sektor hen-
lingkungan dan akibat ketidak-seimbangan/’imbalanced daknya selalu menyadari kemungkinan akan timbulnya
spatial implementation’ ini, akan langsung diikuti oleh dampak negatif. Pertimbangan pada konsep dasar un-
terus menurunnya mutu kehidupan secara fisik, ekonomi tuk menghindar dari fenomena perusakan atau turun-
dan sosial budayanya yang biasa disebut dengan ’urban nya fungsi pelestarian lingkungan perkotaan yang selalu
disaster’. terjadi, hanya bisa ditempuh melalui penjagaan atau
Kondisi perekonomian dunia saat ini, berpengaruh pemeliharaan keseimbangan fungsi antara wilayah (zona)
besar pada perkembangan negatif perkotaan akibat terbangun dan alami (tidak terbangun) yang rasional
konsentrasi pembangunan penataan di sektor usaha (ke sedemikian rupa, sehingga proses asimilasi alami masih
giatan industri), juga terkait dengan upaya menampung bisa berlangsung.
arus urbanisasi melalui sebanyak mungkin penyediaan Konflik antar kegiatan penduduk kota dalam meman-
barang dan jasa perkotaan. Mekanisme pemenuhan ke- faatkan ruang yang terbatas dapat diatasi dengan pemba-
butuhan warga kota ini selalu dimaksudkan agar dapat gian alokasi ruang yang dituangkan dalam Rencana Tata
memenuhi target pelayanan masyarakat akan sarana Ruang Kota (RTRK) yang disahkan dalam UU. Di dalam
dasar, yaitu: pangan, sandang dan papan, termasuk la RTRK tersebut juga tertuang dengan jelas alokasi ruang
yanan kesehatan, pendidikan, kebersihan dan kenya- yang diperuntukkan bagi perlindungan dan konservasi.
manan lingkungan perkotaan. Peruntukan ruang untuk perlindungan dan konservasi
Pembangunan berbagai sektor tersebut relatif mu- merupakan upaya pengamanan bagi nilai alami suatu
Pendahuluan 23
23. bentang alam di wilayah kota. Penting dan tingginya nilai alami kota. Pada bagian tertentu wilayah kota, mestinya
lansekap alami semacam ini dalam jangka panjang telah dapat disisihkan suatu ruang untuk tetap pada kondisi
diakui sebagai suatu harta yang harganya justru tak terni- sebagaimana awalnya (present state), dimana secara pe-
lai bagi suatu kota. Banyak manfaat dihasilkan dari ruang riodik dan menyeluruh, maka pada zona-zona alami ini
lansekap alami kota semacam ini (seperti diuraikan pada perlu dilakukan pula pengukuran, pelaksanaan dan pen-
bab-bab selanjutnya) bagi warga kota, maupun bagi gawasan pembangunan. Harapannya adalah agar setiap
pemerintahan kotanya sendiri, karena sebagian besar tahapan pembangunan sesuai dengan perkembangan
urusan pelayanan publik dapat berlangsung sebagaima- kebutuhan warga (berdasar kebutuhan fisik, ekonomi,
na mestinya. sosial dan budaya), dengan memanfaatkan perkemban-
Pemahaman akan pentingnya pengamanan bentang gan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetap berpijak
alam (lansekap) perlu dituangkan dalam perencanaan pada latar belakang sejarah serta kekhasan lokasi (local
pembangunan jangka panjang dan dijabarkan lebih lan- genius). Di sisi lain, kondisi bio-geografi lingkungan dan
jut dalam pembangunan jangka menengah dan pendek. kondisi lingkungan wilayah kota diusahakan agar tetap
Selanjutnya, dalam berbagai proyek-proyek pembangun, berada dalam keseimbangan rasional tersebut.
selalu didahului oleh semacam Kerangka Acuan Kerja
(Term of Reference) yang didalamnya perlu mengandung 1.2 PENTINGNYA PENGHIJAUAN KEMBALI
prinsip-prinsip keseimbangan fungsi lingkungan. LINGKUNGAN PERKOTAAN
Semua pihak terkait hendaknya menyadari, bahwa Kecenderungan yang terjadi pada kota-kota dunia
’sejak saat ini’ aspek-aspek ekologis dalam suatu ke sampai saat ini adalah menata kembali kotanya agar lebih
giatan pembangunan, adalah sama pentingnya dengan menuju ke arah keseimbangan antara daerah ’hijau’ de
pertimbangan-pertimbangan lain baik teknis, ekonomis ngan ’non hijau’, sehingga tercapai lingkungan perkotaan
maupun sosial-budaya. yang ’layak huni’, yaitu kondisi kehidupan yang sehat,
Di dalam siklus pembangunan dikenal tahapan evaluasi nyaman dan terus berkelanjutan. Kota Beijing misalnya,
manfaat hasil pembangunan (Project Benefit Monitoring dengan ambisi pemerintahan yang telah ditunjuk oleh In-
and Evaluation – PBME) yang di dalamnya menetapkan ternational Olympic Committee (IOC) sebagai penyeleng-
indikator-indikator pencapaian hasil pembangunan seka- gara Olympiade 2008, ingin meningkatkan jatidirinya se-
ligus mencegah dampak negatif yang mungkin timbul. bagai sebuah kota yang tidak kotor atau semrawut lagi,
Dengan indikator tersebut setiap tahapan pembangunan tetapi menjadi kota hijau yang ’bergengsi’.
perlu dievaluasi. Sebagai kota tuan rumah pertemuan olahraga (OR)
Pendekatan apapun dalam rangka mempertanggung- akbar dunia tertinggi, maka pemerintah tak hanya mem-
jawabkan pembangunan umumnya berdasar pada in- bangun kompleks OR yang megah, mewah dan asri,
strumen PUU sebagai upaya pengamanan bagi wilayah tetapi seluruh sarana dan prasarana kota ditata kembali
24 Pendahuluan
24. Gambar 1.6: Penataan RTH Perkotaan
di Suzhou, Cina
Keberadaan zona hijau dipakai sebagai
pertimbangan dalam pengembangan
kawasan perkotaan.
(lokasi Suzhuo, Cina 2004)
Gambar 1.7: Taman air di
sekeliling Istana Kaisar
Tokyo dengan dominasi ‘sakura’
di musim semi di antara gedung
pencakar langit. Upaya untuk tetap
mempertahankan penciri negeri
”bunga sakura” di tengah-tengah
lajunya perkembangan kota.
(Dok. Taka-san, Fukiage, 2006)
Pendahuluan 25
25. berdasar pada Urban Park Metropolitan System. Selain landangan hidup, dan seterusnya. Hukum pun menjadi
membenahi taman-taman tradisional yang mengandung sulit diterapkan, pada ruang-ruang terbuka yang cukup
nilai sejarah tinggi, ruang kota secara keseluruhan ditata bisa membahayakan, seperti bantaran sungai dan pan-
kembali berdasar teknologi sistem perkotaan yang cang- tai, jalur kereta api bahkan di bawah saluran listrik atau
gih. Di segala sudut kota, taman-taman yang ada ditata saluran utama tegangan ekstra tinggi (SUTET) pun penuh
kembali dan ditambah dengan taman ’modern’. Penghi- bangunan permukiman dari yang mewah hingga kumuh.
jauan di sepanjang jalur jalan utama dengan sistem bou- Rencana Tata Ruang Kota (RTRK) sudah berkali-kali di-
levard yang amat lebar menciptakan ruang dengan arsi- revisi, sebab selalu tidak bisa ’mengejar’ ketertinggalan
tektur lanskap yang hijau, teduh, dan asri. penyediaan sarana dan prasarana (sarpras) kota.
Sebagian kota-kota besar dunia berusaha terus mem- Akibat langsung dari ketidakseimbangan antara ling-
benahi lingkungan kotanya, termasuk ibukota Negara Re- kungan terbangun (binaan) dengan lingkungan perlin
publik Indonesia, ’Jakarta Metropolitan City’. Sebelumnya, dungan (alam) menyebabkan penurunan mutu lingkungan
lebih dari tiga dekade lalu, Jakarta dibangun condong kota (environmental degradation). Tentu saja kesehatan
ke arah industrialisasi, antara lain untuk menyediakan lingkungan juga tidak bisa dijaga seoptimal mungkin,
lapangan kerja bagi para buruh atau tenaga kerja yang berbagai penyakit akibat bakteri e-coli (utamanya berasal
seiring dengan perkembangan pembangunan, berbon- dari buangan manusia), seperti tipus, disentri dan diare
dong-bondong ber-urbanisasi datang dari segala arah, sudah biasa terjadi sehari-hari, demikian pula penyakit
tak hanya dari pulau Jawa tetapi juga dari seluruh pulau yang penularannya berasal dari media air (sungai) tanah
nusantara. Peningkatan urbanisasi yang semakin cepat maupun udara, telah banyak diuraikan di berbagai media
ini, tidak mampu diimbangi oleh penyediaan sarana dan (cetak maupun elektronik). Penyakit Demam Berdarah
prasarana dasar, agar penduduk kota bisa hidup layak. Dengue (DBD) akibat gigitan nyamuk aedes agepti serta
Kebutuhan akan ruang menjadi tidak seimbang dengan malaria dan polio sudah merebak ke mana-mana. Masih
jumlah penduduk yang terus bertambah tersebut. banyak lagi jenis penyakit yang kemudian timbul beran-
Disayangkan, bahwa secara langsung maupun tidak, tai akibat degradasi lingkungan semacam ini, termasuk
ruang yang semula berupa ’zona hijau’ paling banyak akibat kongesti (menumpuknya) kendaraan bermotor di
dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan ruang hidup jalanan umum.
dengan segala isinya di kota metropolitan ini. Hal itu Untuk mencapai lingkungan perkotaan yang aman,
adalah sebagai akibat penilaian sebagian besar masyara- nyaman, produktif, dan berkelanjutan, diperlukan Pena-
kat termasuk para pengelola kota bahwa ruang terbuka taan Ruang Wilayah (Kota dan Kabupaten) di seluruh In-
(hijau maupun tidak) semacam ini ’tidaklah ada atau donesia yang sejauh mungkin harus disesuaikan dengan
kurang bermanfaat’ atau hanya sebagai tempat hidup kondisi bio-geografi lingkungan alaminya.
vektor penyakit, tempat dimana para pengemis dan ge- Keadaan alam tersebut menuntut Penataan Ruang
26 Pendahuluan
26. jud pelayanan bagi penduduknya. Dalam suasana kota
yang bersih dan teduh dengan banyak memakai pohon
pelindung bertajuk lebar, khususnya trembesi atau ki hu-
jan (Samanea saman), ketapang (Terminalia catappa), dan
bolingan (Jawa) atau Cannon Ball: (Courupita gaevensi).
Profil demografi sebagian besar kota-kota di Indonesia
mengikuti pula pola bio-geografi alami lingkungan kepu-
lauan tropis, berkembang dari muara-muara sungai dan
rawan banjir di musim penghujan, sebab letaknya relatif
Gambar 1.8: Wringin Kurung (Ficus benyamina)
Menjadi penciri ‘alun-alun’ di setiap halaman kantor kabupaten di
rendah, bahkan beberapa berada di bawah permukaan air
Jawa. Tajuknya yang lebar mampu membentuk ‘ruang’ di bawahnya, laut pasang (seperti: Semarang, Jakarta, Surabaya), dan
sehingga jenis ini banyak ditanam di tempat-tempat umum lain seperti panas akibat teriknya sinar matahari sepanjang tahun.
pasar tradisional dan tempat lain.
Pengaturan yang lebih operasional diperlukan untuk
(----- 2003. Weerzien met Indie, No. 21. Bouwen en Wonen)
kota-kota di Indonesia, khususnya yang terletak di tepian
Kota untuk ’disesuaikan’ dengan alam sekitar, apabila badan air untuk dapat menata secara komprehensif per-
tidak ingin menuai bencana. Penataan Ruang Wilayah mukiman dan peruntukan di sepanjang badan air terse-
perlu tetap memperhatikan peningkatan bidang ekonomi but, antara lain melalui restorasi tepian badan air dan re-
(economical advantage), menyediakan ruang-ruang ter- lokasi pemukim.
buka hijau di segala penjuru kota secara merata, yang Kreativitas dalam menata kawasan permukiman dapat
dijalin dalam suatu sistem perkotaan sehingga Tropical diarahkan dalam pengaturan pemintakatan (Zoning Re
Park System dan dapat ’mencapai’ seluruh sudut kota. gulation) melalui pembangunan ’ke atas’, memanfaatkan
Dalam kebijakan penataan ruang perlu ditegaskan pula sungai dalam kota sebagai salah satu moda transportasi
tentang pentingnya RTH pada skala nasional, provinsi, untuk mengurangi kepadatan lalu-lintas di darat (teres-
dan kabupaten/kota, serta pada kawasan permukiman. trial), memanfaatkan sempadan sungai untuk green belt
Singapura dan Kuala Lumpur adalah dua kota tropis yang secara langsung merupakan upaya pembersihan
yang terus membenahi tata ruang lingkungan kotanya, badan air dari berbagai sedimen dan zat pencemar, serta
antara lain dengan penataan kembali permukiman dan penyediaan RTH di kawasan permukiman.
dengan cara membangun struktur sedapat mungkin ke Banyaknya kejadian kebakaran, akibat amat padat-
arah vertikal dilengkapi ’sarpras’ kota yang mendasar, nya permukiman mengharuskan pengaturan yang lebih
seperti: berbagai moda transportasi umum yang ’aksesi- operasional bidang penataan ruang seperti peraturan pe-
bel’ dan relatif murah, taman-taman rekreasi tersebar di mintakatan dimaksud di atas. Penataan kembali kawasan
seluruh bagian kota sebagian besar gratis sebagai wu- pemukiman padat dapat dilakukan antara lain dengan
Pendahuluan 27
27. Gambar kiri 1.9: Sungai Code, Yogyakarta
Rona pemukiman di penggal sempadan kali.
(Dok. KLH, 2004)
Gambar atas 1.10: Sempadan Sungai
Negara di Amuntai. Sungai sebagai media
transportasi dan niaga yang penting.
(Dok. Adipura, KLH, 2003)
membuat kawasan penyangga, berupa jajaran tanaman juga bagi unit-unit lain terkait, seperti Pertanian dan
tahan kebakaran (’ilalar api’), atau ruang kosong (dikenal Perhutanan Kota, Kebersihan Kota, Taman Permakam
dengan ’brand gang’) di antara struktur bangunan ter- an Umum dan Khusus (Taman Makam Pahlawan), Unit
tentu. Pekerjaan Umum (untuk Sarana dan Prasarana Kota),
Lapangan Olahraga dan Rekreasi (aktif dan pasif), dan
1.2.1 Keadaan sekarang: Penghijauan kota seterusnya. Pengelolaannya didasarkan pada tiga (3)
dan ruang terbuka hijau (RTH) kawasan, yaitu: (1) Kawasan Konservasi, (2) Kawasan
Secara umum, penghijauan kota (urban greeneries) Budidaya, dan (3) Kawasan Khusus. Misalnya: agar
bisa didekati melalui dua pendekatan, dan dipilah-pilah dapat memenuhi persyaratan keseimbangan propor-
yang disesuaikan dengan penetapan pada UU No. 24 ta- sional antara ruang terbangun dan ruang terbuka pada
hun 1992, tentang Penataan Ruang, sebagai berikut; suatu kawasan lingkungan kota, maka untuk menghi-
• Pendekatan pertama: RTH-kota yang dibangun pada tung luas RTH-kota dapat dihitung berdasar tujuan pe-
lokasi-lokasi tertentu saja. Pada pendekatan ini RTH- menuhan kebutuhan akan udara bersih (oksigen), air,
kota merupakan bagian pemanfaatan lahan suatu kota dan kebutuhan lain, seperti nilai produktivitas dari ke-
(urban land use). Penentuan fungsi dan luasannya dulu peri-adaan (eksistensi) RTH-Kota tersebut.
didasarkan RTRK yang berlaku tak hanya untuk sek- • Pendekatan kedua: Semua areal penghijauan yang
tor/dinas Pertamanan dan atau Keindahan Kota, tetapi ada dan yang akan ada (direncanakan) di dalam suatu
28 Pendahuluan
28. kota pada dasarnya adalah areal untuk RTH-kota.
Pada pendekatan ini komponen (zonation) yang ada
dalam kota seperti zona-zona: permukiman baik indi-
vidu maupun kompleks, kantor dan perkantoran, in-
dustri serta kawasan industri, dipandang sebagai suatu
bagian (enclave) yang ada dalam kawasan penghijauan
suatu kota yang amat luas.
RTH, dinyatakan sebagai ruang-ruang dalam kota
atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk mem-
bulat maupun dalam bentuk memanjang/jalur di mana
dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka, yang pada
dasarnya tanpa bangunan (Instruksi Menteri Dalam Nege
Gambar 1.11: Proyek Rehabilitasi Hutan Mangrove,
ri No. 14 tahun 1988). Pelaksanaan pengembangan RTH di Daerah Suwung, Denpasar, Bali.
dilakukan dengan pengisian hijau tumbuhan secara alami Jalur hijau tepian air sangat diperlukan sebagai penahan angin,
ataupun dengan tanaman budidaya, seperti tanaman gelombang, dan kikisan air, di samping sebagai habitat satwa dan
pengatur iklim mikro bagi pemukiman di belakangnya.
komoditi usaha pertanian dalam arti luas (dalam hal ini
penekanan pada nilai produktivitasnya, termasuk perke-
bunan, perhutanan/Hutan Kota, maupun peternakan dan multi-fungsi antara lain, sebagai: penghasil oksigen, ba-
usaha perikanan), hijau pertamanan dan olahraga (bia han baku pangan, sandang, papan, bahan baku industri,
sanya lebih ditekankan pada nilai rekreatifnya baik pasif atau disebut sebagai: fungsi ekologis, melalui pemilihan
maupun aktif, serta keindahannya), dan seterusnya. jenis dan sistem pengelolaannya (rencana, pelaksanaan,
Namun demikian ditinjau dari kondisi ekosistem pada pemeliharaan dan pengawasan/pengaturan) yang tepat
umumnya, maka apa pun sebutan bagian-bagian RTH- dan baik, maka tanaman atau kumpulannya secara rinci
kota tersebut, hendaknya semua selalu mengandung tiga maka dapat berfungsi pula sebagai: Pengatur iklim mi-
(3) fungsi pokok RTH, yaitu: (1) Fisik-ekologis (termasuk kro, penyerap dan penjerap polusi media udara, air dan
perkayaan jenis dan plasma nutfahnya); (2) Ekonomis (ni- tanah, jalur pergerakan satwa, penciri (maskot) daerah,
lai produktif/finansial dan penyeimbang untuk kesehatan pengontrol suara, pandangan dan lain-lain (uraian rinci
lingkungan); dan (3) Sosial-Budaya (termasuk pendidik pada sub-bab 1.3.3)
an, dan nilai budaya dan psikologisnya). Di samping
fungsi-fungsi umum tersebut, maka RTH, khususnya dari
berbagai jenis tanaman pengisi, secara rinci mempunyai
Pendahuluan 29
29. 1.2.2 Pentingnya Pembangunan RTH-Kota di
Negara Kepulauan R.I.
Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah negara
kepulauan terbesar di dunia dengan panjang pantai seki-
tar 81.000 km, dan jumlah pulau lebih dari 17.500, yang
sudah bernama maupun yang belum (1992, Gazetteer
Nama-nama Kepulauan di Indonesia).
Habitat mangrove, terumbu karang, padang lamun
yang sangat penting bagi pelestarian kota pesisir dengan
ekosistem unik karena mencakup tiga kawasan sekaligus
daratan, pantai, dan laut, yang masing-masing memiliki
fungsi dan ekosistem berbeda, serta keanekaragaman
Gambar 1.12
hayati beragam.
Ekosistem pantai dengan formasi pescaprae di Provinsi Bengkulu.
(Arifin dalam Dahuri, 2003, hal 85)
Sehubungan dengan relatif seringnya kejadian ben-
cana (tanah longsor, gempa bumi yang kebetulan ter-
jadi di perairan laut sehingga menimbulkan gelombang
pasang/tsunami ke arah pantai di mana sebagian besar
menjadi pusat-pusat pertumbuhan penduduk, terutama
pada negara kepulauan Republik Indonesia ini, maka
pemerintahan (pusat dan daerah) perlu segera menyiap-
kan berbagai sarana dan prasarana baik untuk menganti-
sipasi terjadinya musibah (alam maupun buatan manusia)
maupun menyiapkan seperangkat pedoman pasca ben-
cana tentang tata-cara penanggulangan masing-masing
jenis bencana tersebut. Indonesia disebut sebagai nega
ra yang termasuk banyak memiliki gunung berapi atau
terletak pada lingkaran api dunia ’ring of fire’ dan berada
Gambar 1.13 Hutan Bakau (mangrove) pada ’tubir’ palung lautan Hindia dan Pacific, sehingga
Kaya akan bahan organik berperan memasok detritus untuk bencana meletusnya gunung api ataupun gempa bumi
mendukung ”detrital food web” dan kesuburan di daerah pantai.
tercatat dengan kekuatan (skala richter) yang tinggi sering
(Dahuri, 2003, halaman 59. Foto koleksi PKSPL/IPB)
sekali terjadi.
Dengan kondisi geografis semacam itu maka, Joga
30 Pendahuluan
30. (2006) dalam artikel di harian Kompas (31 Mei 2006) me Fisik
Nutrisi Terlarut
nulis tentang pentingnya menyiapkan kota-kota yang le Partikel Organik
Migrasi Satwa
bih waspada terhadap gempa, mengingat panjangnya Dampak Kegiatan
daftar kota-kota yang rawan gempa. Kejadian alam terse- Manusia
but nampaknya juga telah sering dialami dan difahami
oleh nenek moyang kita khususnya yang rawan gempa
dan derasnya air bah. Karena itu secara tradisional mere
ka membangun permukimannya di atas tiang dan terdiri
dari bahan yang lentur (fleksibel). Rentetan bencana yang
terjadi kembali memberikan pelajaran berharga bagi kita
untuk merefleksi diri, seberapa serius kota kita dibangun
dalam mengantisipasi dan memitigasi terutama korban
Gambar 1.14
akibat bencana alam. Selanjutnya disampaikan perlunya Interaksi antara tiga habitat utama di kawasan pesisir dan laut tropis.
’membudayakan’ warga kota agar selalu waspada sebab (UNESCO, 1983 dalam Dahuri 2003, hal 316)
bencana bisa terjadi kapan pun dan menimpa siapa pun.
Bahwa kota yang terkonsep seharusnya berdasarkan di bidang fisik kota (pembangunan peralatan mutakhir
pada pengalaman/kejadian bencana yang terus terjadi. pendeteksi dini, bangunan antigempa), dan psikis kota
Kejadian di titik-titik rawan bencana dianalisis dan dija- (pendidikan dan pelatihan tanggap serta evakuasi ben-
dikan bahan penyusunan rencana strategis dan program cana). Kepada warga kota ditumbuhkan budaya ramah
kegiatan pembangunan yang terarah tepat sasaran un- dan peduli lingkungan, serta tanggap bencana sebagai
tuk rencana mitigasi bencana. Kota dibangun kembali de bagian fenomena alam kehidupan sehari-hari melalui ke-
ngan mengalokasikan lebih banyak ruang terbuka hijau sadaran dan pemahaman dalam kondisi bio-geografinya.
(RTH), mengakomodasi kepentingan perlindungan, seba Membangun Kota ”waspada bencana” berarti memba
gai ruang untuk evakuasi, atau pertahanan hidup atas ngun jejaring RTH-kota taman menyatu tak terputus,
bencana. Ini sama halnya dengan membangun sistem mulai dari alun-alun, taman kota dan lapangan olahraga
peringatan dini secara alami untuk mengantisipasi ben- (ruang evakuasi), taman makam (pemakaman massal),
cana alam yang penting bagi kota dan paling murah un- jalur hijau jalan raya dan bantaran sungai (jalur evakuasi),
tuk dibangun. hingga tepi pantai (hutan mangrove) dihubungkan oleh ta-
Perencanaan kota waspada bencana mensyaratkan man-taman penghubung (connector parks) dengan domi-
perencanaan rasional, aplikatif, dan berorientasi pada nasi pepohonan besar dan hamparan padang dan/atau
hasil (feasible, implementable, and achievable). Sistem bukit rumput (Joga, 2006 dimodifikasi).
peringatan dini bencana dibangun secara menyeluruh Kini setelah 10 tahun pascagempa, Kota Kobe (1995,
Pendahuluan 31
31. Gambar 1.15 (peta): Gambar menunjukkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang luas
terbentang di antara dua samudera Pasifik dan
Hindia, serta berada pada ‘ujung’ benua yang
pada jaman es mungkin berupa bagian daratan
benua tersebut. (Gray, 1993, halaman 154)
Gambar 1.16 (kiri): Selama terjadi angin topan yang merusak, terumbu
karang kemungkinan besar akan rusak, seperti nampak dalam gambar
ini gelombang kuat yang disebabkan oleh angin topan yang amat kuat.
Meskipun demikian bila dibiarkan saja akibat bencana alam tersebut
suatu saat terumbu karang muda akan bisa tumbuh kembali.
(Gray, 1993, halaman 39)
32 Pendahuluan
32. 7,2 skala Richter) dan kota-kota lain di Jepang telah ber- RTH dengan pemeliharaan penuh (alun-alun, taman kota,
hasil membangun kota taman waspada bencana. Instruk- lapangan olahraga, jalur hijau jalan), pemeliharaan se-
sinya jelas, jika terjadi bencana warga diperintahkan lari dang (taman makam, jalur hijau bantaran sungai), tidak
ke taman-taman kota. Taman kota diefektifkan sebagai dipelihara atau dibiarkan tumbuh alami (hutan kota, hutan
ruang evakuasi, suplai logistik dari udara, dilengkapi lindung, hutan mangrove).
tangki air minum, toilet portabel, papan petunjuk, alat
komunikasi, dan bungker gudang makanan serta obat- 1.2.3 Pembangunan Kota Versus Penghijauan Kota
obatan (untuk pertahanan minimal selama 10 hari). Taman Peningkatan upaya ‘penghijauan kota-kota’ Indonesia
dilengkapi pompa hidran untuk pemenuhan kebutuhan umumnya sering dikalahkan karena beratnya pertimbang
air bersih atau cadangan untuk pemadaman kebakaran an ke arah pada lebih pentingnya peningkatan pemba
di musim kemarau. Pohon-pohon terpilih (jenis tertentu) ngunan fisik berbagai sarana dan prasarana perkotaan
ditanam di sepanjang jalur evakuasi bencana (rute pe- lain, seperti pembangunan jalan dalam sistem transpor-
nyelamatan yang harus bebas hambatan) menuju taman tasi, perindustrian, bangunan permukiman (tunggal mau-
atau bangunan penyelamatan lain. pun perumahan seperti ’real estates’) dan kegiatan pem-
Kota pantai dilengkapi RTH pesisir pantai berupa ’sa- bangunan fisik lain, seringkali mengakibatkan luasan RTH
buk hijau’ atau hutan lindung (mangrove bila memung- semakin menurun, yang disadari atau pun tidak sering di
kinkan atau vegetasi alam jenis lain biasa tumbuh endemik sertai oleh semakin menurunnya mutu lingkungan hidup.
di daerah tertentu), bahkan gumuk pasir (sand dunes). Hal ini akan mengakibatkan kota menjadi “sakit”, kotor,
Tegakan pepohonan yang memagari tepian pantai hing- tercemar dan “rusak” yang sering dikemukakan oleh
ga menyusup ke jantung kota juga berfungsi mencegah Budihardjo (1993) dalam berbagai kesempatan sebagai:
intrusi air laut, menahan abrasi pantai, menahan angin ”kota yang sakit” atau ”bunuh diri ekologis”. Dalam ke-
dan gelombang besar dari lautan lepas (tsunami), me- adaan yang menyedihkan seperti ini, para pejabat peme
nyerap limpahan air dari daratan, termasuk di saat banjir, rintah mungkin tidak lagi dapat berpikir tenang, tajam dan
dan menetralisasi pencemaran air laut. RTH-kota berupa terarah, sehingga kemampuannya dalam memecahkan
alun-alun dan lapangan bola, misalnya sangat ideal bagi masalah yang kompleks dan perlu lebih memandang ke
ruang evaluasi korban bencana. Membangun kota taman depan (bersifat futuristik), akan menurun.
waspada bencana tentu butuh waktu puluhan tahun, RTH Penduduk kota berkemungkinan besar terpapar dan
dan pemilihan tanaman yang lentur bencana, untuk ba keracunan gas CO, CO2, NOX, SOX, O3, CH, partikel Pb
ngunan hidup (tumbuh, kembang) membutuhkan peme- dan TSP (total suspended particulate dan/atau debu),
liharaan rutin yang harus direncanakan dengan matang berasal dari emisi kendaraan bermotor dan industri. Aki-
dan berjangka panjang. Untuk efisiensi dan optimalisasi batnya, tingkat kesehatan menurun, bahkan pada tingkat
biaya, prioritas pemeliharaan RTH dapat dibagi menjadi yang lebih parah lagi, dapat memamatikan. Kemungkinan
Pendahuluan 33