SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  4
Drs. Leonarjo<br />Mei 23rd, 2008 by nicknameku <br />Terik matahari siang, membuatku makin basah kuyup oleh keringat, sementara aktivitas ku belum juga usai. Yah, mencoba untuk menyambung hidup, aku memutuskan untuk menjadi petani. Sebuah profesi yang bagi orang di kampungku kurang cocok dan dipandang sebelah mata lantaran aku anak kuliahan, apalagi di fisip, tambah gak nyambung. Yah begitulah, setelah lama kuliah di ibukota, aku sudah dikenal tetanggaku sebagai anak kuliahan, sarjana gitu. Namun hatiku kadang tersenyum sekaligus miris apabila mengingatnya, aku ini hanya lulusan SMA, bukan lulusan S1 seperti yang diasumsikan para tetangga kepadaku. Memang sih, aku sempat kuliah, namun lantaran “kebandelanku”, aku memutuskan untuk berhenti kuliah.<br />***<br />Sudah setahun ini, aku berhenti kuliah. Detik-detik menjelang pengunduranku dari status mahasiswa belum terlupakan. Waktu itu kampusku,Unila;– singkatan dari Universitas Langgeng, entah mengapa dinamai Universitas Langgeng, mungkin biar abadi nan lestari–, sedang mempersiapkan suksesi kepemimpinan universitas dan juga sedang mempersiapkan eksistensinya di masa depan sebagai Badan Hukum Perguruan Tinggi.<br />Namun, dari kedua persiapan tersebut ternyata tidak sepenuhnya berjalan mulus dan tidak diterima begitu saja oleh kalangan mahasiswa. Ya jadi rame. Ada ribut-ribut soal pergantian rektor yang harus dipilih secara langsung oleh mahasiswa serta pro-kontra mengenai penerapan BHPT di Unila (Universitas Langgeng) masih menjadi topik hangat untuk didiskusikan oleh para aktivis kampus.<br />“Bukan zamannya lagi mahasiswa tidak ikut dilibatkan dalam pemilihan rektor, senat universitas seharusnya tidak meragukan para intelektual muda, untuk itu mahasiswa sebagai warga kampus berhak untuk menentukan siapa pemimpin universitasnya nanti, jangan melulu dipilih oleh Senat Universitas, kan yang kena kepemimpinannya mahasiswa”, ujar Presiden BEM-U, Dede, dengan nada agak sedikit tinggi dihadapan para aktivis kampus dalam rapat Forum Eksekutif Meeting. Aku yang duduk di bagian belakang hanya mengangguk-angguk mendengarkan Presiden bicara.<br />Aku yang bukan dari kalangan aktivis kampus, tergugah ingin tahu juga perkembangan perjuangan mahasiswa untuk mengegolkan pemilihan langsung rektor. Dengan sedikit berbisik aku bertanya kepada mahasiswa disampingku yang kebetulan aku mengenalnya<br />“Rio, ngomong-ngomong, Forum Eksekutif Meeting itu apaan sih?” tanyaku dengan tampang penuh harap.<br />“Ini..” sejenak Rio berhenti, mungkin lagi mikir, lalu diapun meneruskan, “salah satu gerakan dalam kampus yang bertujuan untuk mensinergiskan keinginan setiap lembaga kemahasiswaan, sehingga dapat menciptakan pola gerakan yang terkoordinir dari setiap permasalahan yang ada terkait dengan isu pemilihan rektor,” jawab Rio secara antusias.<br />“Oo, lalu penggagasnya?’ tanyaku lagi.<br />“Ini bentukan BEM-U yang menginginkan adanya keterlibatan setiap elemen yang ada di Unila (Universitas Langgeng) termasuk mahasiswa dalam pemilihan rektor, sehingga sistem demokratisasi di Unila terwujud”, jawab Rio. Akupun hanya mengangguk-anggukkan kepala mendengar jawaban Rio sampai selesai.<br />***<br />Keesokan hari, isu pemilihan rektor seolah makin ramai dibicarakan dalam omongan-omongan mahasiswa dan juga rapat-rapat aktifis kampus. Tak sekedar menjadi bahan perbincangan mahasiswa, media massa localpun lewat halaman pendidikannya, gencar mengulas pemilihan rektor. Serta ada juga yang menuliskannya di halaman opini terkait dengan pemilihan rektor secaralangsung.<br />Akupun tergelitik untuk mencoba menjajaki pendapat mahasiswa terkait dengan pemilihan rektor dengan sedikit bertanya kepada teman mahasiswa sekostan yang kuliah di fakultas keguruan.<br />“Aku kepingin rektor yang, memperhatikan sarana dan prasarana perkuliahan yang kurang dan rusak, trus rektor nantinya harus mempunyai strategi, gimana caranya mahasiswa yang telah lulus biar gak nganggur,” jawab Bakri saat kutanya rektor yang ideal itu yang bagaimana.<br />“Lalu ada lagi? tanyaku lagi.<br />“Itu saja menurutku sudah cukup, terutama ya itu tadi, setelah lulus nggak nganggur, lebih-lebih langsung ditempatkan di sekolah-sekolah yang statusnya langsung PNS,” kata Bakri dengan pasti.<br />“Walah, enak amat, lulus langsung diangkat jadi PNS,” tukasku mengomentari jawaban Bakri.<br />***<br />Badan kuhempaskan dikasur tempat tidur yang sedikit dekil sambil menatap kipas yang tergantung di atap kamar, sebagai penghantar tidur aku berpikir untuk mencoba menganalisa tentang dunia kampus yang seharian aku geluti. Lalu akupun terhanyut dalam pikiran. Aku menemukan sedikit benang merah dari isu-isu yang sedang santer di kampusku. Menurutku dengan melihat pentingnya peningkatan kualitas akademis seolah semua mahasiswa memandang pemilihan rektor secara langsung begitu perlu. Dimana tidak dapat dipungkiri bahwa santernya isu pilrek memunculkan kekurangan yang selama ini ada di kampus. Setiap elemen kampus khususnya mahasiswa jika disuruh menilai kualitas kampus, mungkin banyak yang mengatakan kurang dari harapan. Untuk itu mungkin setiap mahasiswa yang menginginkan pemilihan rektor secara langsung berdasar dari realitas yang demikian. Adanya rektor dari hasil pemilihan langsung memungkinkan harapan-harapan pemilih yang selama ini tidak terpenuhi sedikit ada kesempatan terealisasi melalui kontrak “politik” antara pemilih dan rektor atau dalam bentuk lain janji-janji yang didasari dari isu-isu yang aktual terkait dengan kondisi kampus.<br />Namun ada sedikit tantangan bagi rektornya nanti, dimana kampus sedang dalam persiapan untuk menerapkan BHPT sebagaimana kemauan negara yang akhir-akhir ini mengarah pada upaya privatisasi pendidikan. Aku pikir, andaikan nanti UU BHPT yang saat ini sedang digodok oleh eksekutif dan legislative disahkan dan langsung diterapkan di sebagian Perguruan Tinggi termasuk di Unila (Universitas Langgeng), sekali lagi, dengan melihat kondisi real kampus yang kurang memadai untuk kelas Badan Hukum, saya pikir Unila (Universitas Langgeng) belum siap menerapkan BHPT untuk lima atau 10 tahun kedepan. Hal ini berdasar atas kondisi kampus yang dari sarana dan prasarananya kurang dan ditambah lagi kualitas pengajar dan pegawai kampus yang kurang ramah dalam memberikan pelayanan kepada mahasiswa yang berkepentingan akademik. Argumen ini aku pikir sekaligus usahaku untuk menghindari era BHPT yang aku harapkan jangan sampai di masa studiku. Kabarnya dengan berubahnya PT menjadi BHPT, biaya SPP jadi naik, walah..jadi repotkan.<br />Tak terasa malam sudah begitu larut, pikiranku pun kufokuskan untuk tidur dengan tak lupa ku “save” dulu pikiran yang sepintas tadi yang saya pikir menarik untuk dijadikan bahan tulisan buat dikirim ke media massa lokal.<br />***<br />Dua hari kemudian. Menjelang fajar, aku masih terhanyut dalam mimpi yang tampak remang-remang, siapa yang kumimpikan dan jalan cerita yang kumimpikan tampak samar. Mimpi dalam tidurku akhirnya terhenti setelah bunyi koran yang dilempar dari jendela oleh loper ke lantai kamar. Aku tersadar namun mata masih menutup rapat seolah belum puas tidur semalaman. Kupaksakan bangkit untuk memulai ritual pagi.<br />Seusai ritual pagi, kubuka koran lokal langsung di halaman opini untuk melihat apakah tulisan yang kukirim dimuat oleh redaksi harian pagi. Tampak olehku di halaman opini tertulis judul “Universitas Langgeng Belum Siap BHPT”, oleh Leonarjo, Mahasiswa Fisip Universitas Langgeng. Aku pun sontak bangga dan puas lantaran selama ini tulisan yang kukirim belum pernah di muat.<br />***<br />Di siang hari, HP ku berbunyi membuyarkan lamunan dalam istirahat siang yang melelahkan. Sebuah nomor asing menelponku.<br />“Assalamu’alaikum, ini siapa ya?” tanyaku kepada seseorang di ujung telpon.<br />“Apa betul anda Leonarjo?” tanya penelpon kepadaku. Aku tak langsung menjawab.<br />“Ya!” jawabku.<br />“Saya Pembantu Rektor III,” jawab si penelpon. Seketika aku kaget, pikiranku langsung mengingat sebuah nama, Boyman, Prof. Dr. Boyman, M.S,c. Ada apa gerangan sampai-sampai pembantu rektor menelponku. Lamunan yang sekejap terpecah oleh suara penelpon lagi.<br />“Anda yang menulis di koran ya?” tanya Pak Boyman.<br />Sekejap aku berpikir bahwa yang dimaksud adalah koran Langgengpost dan aku pun menjawabnya, “Oh..iya pak!, ada apa Pak ya?” jawabku sekaligus bertanya.<br />“Kamu bisa menghadap saya besok jam sepuluh pagi!” tanyanya lagi dengan sedikit nada tinggi.<br />“Oh..iya pak saya usahakan bisa,” jawabku sedikit ragu.<br />“Ya udah gitu aja,” tambah Pak Boyman yang dilanjutkan menutup telpon.<br />Setelah mengakhiri pembicaraan dalam telpon dengan Pak Pembantu aku tak henti berpikir ada apa gerangan menyuruhku untuk menghadap. Rasanya aku belum pernah mendapat kehormatan seperti ini. Dan dapat dari mana nomor HPku, siapa yang ngasih tahu. Aku tak henti bertanya dalam hati berharap sebuah jawaban yang melegakan hati.<br />***<br />“Kamu ini tau apa tentang BHPT! Sok-sok nulis yang belum tentu isinya bener! Saya ini sudah lama disini, kamu ini baru kemarin masuk kok sudah berani-berani nilai Universitas Langgeng inilah, itulah, otak kamu di mana? Di dengkul apa!! Kamu ini bikin malu universitas aja! Kamu ini seharusnya sebagai bagian universitas jangan menjelek-jelekkan instansi sendiri!, nggak mikir!” cerca Pak Boyman yang tampaknya marah besar lantaran aku menulis tentang kekurangsiapan Universitas Langgeng menetapkan BHPT. Aku pun sedikit terhenyak, lantaran dengan tiba-tiba dan tanpa basa-basi setelah saya dipersilahkan duduk beliau langsung membrondongku dengan kata-kata yang keras dan sedikit menyakitkan untuk di dengar. Di depannya aku saat itu telah berada di kursi pesakitan yang hanya duduk terdiam sesekali merunduk dan sesekali berusaha menjelaskan namun lantaran kepalanya mendidih sulit untuk menerima penjelasanku. Yang tampak adalah sebuah kearoganan.<br />Setelah dimarahi habis-habisan oleh Pembantu Rektor III, aku berjalan sedikit lunglai dan tak habis pikir. Seorang yang bertitel profesor, perkataanya tak jauh seperti preman terminal. Tidakkah beliau punya pikiran jikalau tulisanku yang kurang berkenan itu ditanggapi dalam bentuk tulisan pula. Seharusnya beliau paham itu. Jangan lantas mendampratku di kandangnya langsung. Sebenarnya aku mau membantahnya, tapi kok kearoganannya itulah yang tampak jadinya omonganku tak didengar.<br />Kampus yang aku pikir penuh dengan idealisme ternyata begini, omong kosong. Di luar para akademisi berteriak demokratisasi, ternyata di kampus sendiri mengkhianati demokrasi. Aku pikir seharusnya kampus sebagai institusi yang mencetak kader intelektual dan sekaligus pengontrol sistem real menjadi percontohan dalam penerapan yang demokrasi, bull shit!<br />Setelah kejadian itu, ternyata tak selesai sampai disitu. Urusan akademikku dipersulit, baik di fakultas ataupun universitas. Ini membuatku makin muak dengan kampusku. Diriku pun hanya bergejolak kesal, jengkel dan dongkol. Ingin rasanya mendamprat balik namun nuraniku mengalahkan bisikan setan yang menyuruh kebringasan.<br />***<br />Di atas kasur dekil dalam kamar seperti sehabis kena ledakan aku merenung sambil berpikir tentang masa depan sesekali mata menatap kipas yang tergantung di atap dan kemudian pandangan beralih ke dinding yang tertempel secarik kertas yang bertuliskan<br />“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversi dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata, lawan! [Wiji Tukul]. Sebuah tulisan yang aku acuhkan, idealismeku pun luluh, kalah oleh realita yang menyebalkan. Kuputuskan untuk pulang ke kampung halaman, dengan hati remuk dan penuh kecemasan. Namun sedikit “berbangga” nan miris karena aku pulang dengan nama yang di depannya telah bergelar Drs, Drs. Leonarjo. Drs (Durung Rampung Sekolah).<br />Bandar Lampung, April 2007.<br />
Pemilihan Rektor Langsung
Pemilihan Rektor Langsung
Pemilihan Rektor Langsung

Contenu connexe

Similaire à Pemilihan Rektor Langsung

Aku menggugat akhwat dan ikhwan
Aku menggugat akhwat dan ikhwanAku menggugat akhwat dan ikhwan
Aku menggugat akhwat dan ikhwanSlight Hope
 
My passion, My life...Beda itu Anugerah dengan Cara-Nya
My passion, My life...Beda itu Anugerah dengan Cara-NyaMy passion, My life...Beda itu Anugerah dengan Cara-Nya
My passion, My life...Beda itu Anugerah dengan Cara-NyaRina Fitriana
 
kesan-kesan Positif selama kuliah di UTY
kesan-kesan Positif selama kuliah di UTYkesan-kesan Positif selama kuliah di UTY
kesan-kesan Positif selama kuliah di UTYdevyana73
 
Ebook motivasi-romo-dewa
Ebook motivasi-romo-dewa Ebook motivasi-romo-dewa
Ebook motivasi-romo-dewa Uploader Makh
 
Sukses berkat dunia maya oleh
Sukses berkat dunia maya olehSukses berkat dunia maya oleh
Sukses berkat dunia maya olehSuaidin -Dompu
 
Benarkahpksprorakyat testimoniiniditulisolehseorangmantankaderpksdariuibernam...
Benarkahpksprorakyat testimoniiniditulisolehseorangmantankaderpksdariuibernam...Benarkahpksprorakyat testimoniiniditulisolehseorangmantankaderpksdariuibernam...
Benarkahpksprorakyat testimoniiniditulisolehseorangmantankaderpksdariuibernam...Denny Wahyudi
 
Ebook-kuliah itu enggak penting
Ebook-kuliah itu enggak pentingEbook-kuliah itu enggak penting
Ebook-kuliah itu enggak pentingGidionchester
 
Tentang mahasiswa dan tutorial edit photoshop
Tentang mahasiswa dan tutorial edit photoshopTentang mahasiswa dan tutorial edit photoshop
Tentang mahasiswa dan tutorial edit photoshopBMG Training Indonesia
 
Menyandang status mahasiswa paling lama
Menyandang status mahasiswa paling lama Menyandang status mahasiswa paling lama
Menyandang status mahasiswa paling lama LSP3I
 
13 Tragedi Universitas Indonesia
13 Tragedi Universitas Indonesia13 Tragedi Universitas Indonesia
13 Tragedi Universitas IndonesiaAidilRizali
 
PENGARUH KEGIATAN OSPEK TERHADAP ETIKA MAHASISWA BARU MEMASUKI DUNIA UNIVERSITAS
PENGARUH KEGIATAN OSPEK TERHADAP ETIKA MAHASISWA BARU MEMASUKI DUNIA UNIVERSITASPENGARUH KEGIATAN OSPEK TERHADAP ETIKA MAHASISWA BARU MEMASUKI DUNIA UNIVERSITAS
PENGARUH KEGIATAN OSPEK TERHADAP ETIKA MAHASISWA BARU MEMASUKI DUNIA UNIVERSITASIsmaya Indri Astuti
 

Similaire à Pemilihan Rektor Langsung (20)

"Aku menggugat akhwat dan ikhwan"
"Aku menggugat akhwat dan ikhwan""Aku menggugat akhwat dan ikhwan"
"Aku menggugat akhwat dan ikhwan"
 
Hidup
Hidup Hidup
Hidup
 
Cerpen 1 pop
Cerpen 1 popCerpen 1 pop
Cerpen 1 pop
 
Aku menggugat akhwat dan ikhwan
Aku menggugat akhwat dan ikhwanAku menggugat akhwat dan ikhwan
Aku menggugat akhwat dan ikhwan
 
Aku menggugat akhwat dan ikhwan
Aku menggugat akhwat dan ikhwanAku menggugat akhwat dan ikhwan
Aku menggugat akhwat dan ikhwan
 
My passion, My life...Beda itu Anugerah dengan Cara-Nya
My passion, My life...Beda itu Anugerah dengan Cara-NyaMy passion, My life...Beda itu Anugerah dengan Cara-Nya
My passion, My life...Beda itu Anugerah dengan Cara-Nya
 
Percakapan Konseling
Percakapan KonselingPercakapan Konseling
Percakapan Konseling
 
Selamat tinggal gajah duduk
Selamat tinggal gajah dudukSelamat tinggal gajah duduk
Selamat tinggal gajah duduk
 
kesan-kesan Positif selama kuliah di UTY
kesan-kesan Positif selama kuliah di UTYkesan-kesan Positif selama kuliah di UTY
kesan-kesan Positif selama kuliah di UTY
 
Ebook motivasi-romo-dewa
Ebook motivasi-romo-dewa Ebook motivasi-romo-dewa
Ebook motivasi-romo-dewa
 
Berhijab dalam hati
Berhijab dalam hatiBerhijab dalam hati
Berhijab dalam hati
 
Sukses berkat dunia maya oleh
Sukses berkat dunia maya olehSukses berkat dunia maya oleh
Sukses berkat dunia maya oleh
 
Benarkahpksprorakyat testimoniiniditulisolehseorangmantankaderpksdariuibernam...
Benarkahpksprorakyat testimoniiniditulisolehseorangmantankaderpksdariuibernam...Benarkahpksprorakyat testimoniiniditulisolehseorangmantankaderpksdariuibernam...
Benarkahpksprorakyat testimoniiniditulisolehseorangmantankaderpksdariuibernam...
 
Ebook-kuliah itu enggak penting
Ebook-kuliah itu enggak pentingEbook-kuliah itu enggak penting
Ebook-kuliah itu enggak penting
 
Majalah didaktika edisi 42
Majalah didaktika edisi 42Majalah didaktika edisi 42
Majalah didaktika edisi 42
 
Tentang mahasiswa dan tutorial edit photoshop
Tentang mahasiswa dan tutorial edit photoshopTentang mahasiswa dan tutorial edit photoshop
Tentang mahasiswa dan tutorial edit photoshop
 
Menyandang status mahasiswa paling lama
Menyandang status mahasiswa paling lama Menyandang status mahasiswa paling lama
Menyandang status mahasiswa paling lama
 
Hadiah ulang tahun ibu
Hadiah ulang tahun ibuHadiah ulang tahun ibu
Hadiah ulang tahun ibu
 
13 Tragedi Universitas Indonesia
13 Tragedi Universitas Indonesia13 Tragedi Universitas Indonesia
13 Tragedi Universitas Indonesia
 
PENGARUH KEGIATAN OSPEK TERHADAP ETIKA MAHASISWA BARU MEMASUKI DUNIA UNIVERSITAS
PENGARUH KEGIATAN OSPEK TERHADAP ETIKA MAHASISWA BARU MEMASUKI DUNIA UNIVERSITASPENGARUH KEGIATAN OSPEK TERHADAP ETIKA MAHASISWA BARU MEMASUKI DUNIA UNIVERSITAS
PENGARUH KEGIATAN OSPEK TERHADAP ETIKA MAHASISWA BARU MEMASUKI DUNIA UNIVERSITAS
 

Pemilihan Rektor Langsung

  • 1. Drs. Leonarjo<br />Mei 23rd, 2008 by nicknameku <br />Terik matahari siang, membuatku makin basah kuyup oleh keringat, sementara aktivitas ku belum juga usai. Yah, mencoba untuk menyambung hidup, aku memutuskan untuk menjadi petani. Sebuah profesi yang bagi orang di kampungku kurang cocok dan dipandang sebelah mata lantaran aku anak kuliahan, apalagi di fisip, tambah gak nyambung. Yah begitulah, setelah lama kuliah di ibukota, aku sudah dikenal tetanggaku sebagai anak kuliahan, sarjana gitu. Namun hatiku kadang tersenyum sekaligus miris apabila mengingatnya, aku ini hanya lulusan SMA, bukan lulusan S1 seperti yang diasumsikan para tetangga kepadaku. Memang sih, aku sempat kuliah, namun lantaran “kebandelanku”, aku memutuskan untuk berhenti kuliah.<br />***<br />Sudah setahun ini, aku berhenti kuliah. Detik-detik menjelang pengunduranku dari status mahasiswa belum terlupakan. Waktu itu kampusku,Unila;– singkatan dari Universitas Langgeng, entah mengapa dinamai Universitas Langgeng, mungkin biar abadi nan lestari–, sedang mempersiapkan suksesi kepemimpinan universitas dan juga sedang mempersiapkan eksistensinya di masa depan sebagai Badan Hukum Perguruan Tinggi.<br />Namun, dari kedua persiapan tersebut ternyata tidak sepenuhnya berjalan mulus dan tidak diterima begitu saja oleh kalangan mahasiswa. Ya jadi rame. Ada ribut-ribut soal pergantian rektor yang harus dipilih secara langsung oleh mahasiswa serta pro-kontra mengenai penerapan BHPT di Unila (Universitas Langgeng) masih menjadi topik hangat untuk didiskusikan oleh para aktivis kampus.<br />“Bukan zamannya lagi mahasiswa tidak ikut dilibatkan dalam pemilihan rektor, senat universitas seharusnya tidak meragukan para intelektual muda, untuk itu mahasiswa sebagai warga kampus berhak untuk menentukan siapa pemimpin universitasnya nanti, jangan melulu dipilih oleh Senat Universitas, kan yang kena kepemimpinannya mahasiswa”, ujar Presiden BEM-U, Dede, dengan nada agak sedikit tinggi dihadapan para aktivis kampus dalam rapat Forum Eksekutif Meeting. Aku yang duduk di bagian belakang hanya mengangguk-angguk mendengarkan Presiden bicara.<br />Aku yang bukan dari kalangan aktivis kampus, tergugah ingin tahu juga perkembangan perjuangan mahasiswa untuk mengegolkan pemilihan langsung rektor. Dengan sedikit berbisik aku bertanya kepada mahasiswa disampingku yang kebetulan aku mengenalnya<br />“Rio, ngomong-ngomong, Forum Eksekutif Meeting itu apaan sih?” tanyaku dengan tampang penuh harap.<br />“Ini..” sejenak Rio berhenti, mungkin lagi mikir, lalu diapun meneruskan, “salah satu gerakan dalam kampus yang bertujuan untuk mensinergiskan keinginan setiap lembaga kemahasiswaan, sehingga dapat menciptakan pola gerakan yang terkoordinir dari setiap permasalahan yang ada terkait dengan isu pemilihan rektor,” jawab Rio secara antusias.<br />“Oo, lalu penggagasnya?’ tanyaku lagi.<br />“Ini bentukan BEM-U yang menginginkan adanya keterlibatan setiap elemen yang ada di Unila (Universitas Langgeng) termasuk mahasiswa dalam pemilihan rektor, sehingga sistem demokratisasi di Unila terwujud”, jawab Rio. Akupun hanya mengangguk-anggukkan kepala mendengar jawaban Rio sampai selesai.<br />***<br />Keesokan hari, isu pemilihan rektor seolah makin ramai dibicarakan dalam omongan-omongan mahasiswa dan juga rapat-rapat aktifis kampus. Tak sekedar menjadi bahan perbincangan mahasiswa, media massa localpun lewat halaman pendidikannya, gencar mengulas pemilihan rektor. Serta ada juga yang menuliskannya di halaman opini terkait dengan pemilihan rektor secaralangsung.<br />Akupun tergelitik untuk mencoba menjajaki pendapat mahasiswa terkait dengan pemilihan rektor dengan sedikit bertanya kepada teman mahasiswa sekostan yang kuliah di fakultas keguruan.<br />“Aku kepingin rektor yang, memperhatikan sarana dan prasarana perkuliahan yang kurang dan rusak, trus rektor nantinya harus mempunyai strategi, gimana caranya mahasiswa yang telah lulus biar gak nganggur,” jawab Bakri saat kutanya rektor yang ideal itu yang bagaimana.<br />“Lalu ada lagi? tanyaku lagi.<br />“Itu saja menurutku sudah cukup, terutama ya itu tadi, setelah lulus nggak nganggur, lebih-lebih langsung ditempatkan di sekolah-sekolah yang statusnya langsung PNS,” kata Bakri dengan pasti.<br />“Walah, enak amat, lulus langsung diangkat jadi PNS,” tukasku mengomentari jawaban Bakri.<br />***<br />Badan kuhempaskan dikasur tempat tidur yang sedikit dekil sambil menatap kipas yang tergantung di atap kamar, sebagai penghantar tidur aku berpikir untuk mencoba menganalisa tentang dunia kampus yang seharian aku geluti. Lalu akupun terhanyut dalam pikiran. Aku menemukan sedikit benang merah dari isu-isu yang sedang santer di kampusku. Menurutku dengan melihat pentingnya peningkatan kualitas akademis seolah semua mahasiswa memandang pemilihan rektor secara langsung begitu perlu. Dimana tidak dapat dipungkiri bahwa santernya isu pilrek memunculkan kekurangan yang selama ini ada di kampus. Setiap elemen kampus khususnya mahasiswa jika disuruh menilai kualitas kampus, mungkin banyak yang mengatakan kurang dari harapan. Untuk itu mungkin setiap mahasiswa yang menginginkan pemilihan rektor secara langsung berdasar dari realitas yang demikian. Adanya rektor dari hasil pemilihan langsung memungkinkan harapan-harapan pemilih yang selama ini tidak terpenuhi sedikit ada kesempatan terealisasi melalui kontrak “politik” antara pemilih dan rektor atau dalam bentuk lain janji-janji yang didasari dari isu-isu yang aktual terkait dengan kondisi kampus.<br />Namun ada sedikit tantangan bagi rektornya nanti, dimana kampus sedang dalam persiapan untuk menerapkan BHPT sebagaimana kemauan negara yang akhir-akhir ini mengarah pada upaya privatisasi pendidikan. Aku pikir, andaikan nanti UU BHPT yang saat ini sedang digodok oleh eksekutif dan legislative disahkan dan langsung diterapkan di sebagian Perguruan Tinggi termasuk di Unila (Universitas Langgeng), sekali lagi, dengan melihat kondisi real kampus yang kurang memadai untuk kelas Badan Hukum, saya pikir Unila (Universitas Langgeng) belum siap menerapkan BHPT untuk lima atau 10 tahun kedepan. Hal ini berdasar atas kondisi kampus yang dari sarana dan prasarananya kurang dan ditambah lagi kualitas pengajar dan pegawai kampus yang kurang ramah dalam memberikan pelayanan kepada mahasiswa yang berkepentingan akademik. Argumen ini aku pikir sekaligus usahaku untuk menghindari era BHPT yang aku harapkan jangan sampai di masa studiku. Kabarnya dengan berubahnya PT menjadi BHPT, biaya SPP jadi naik, walah..jadi repotkan.<br />Tak terasa malam sudah begitu larut, pikiranku pun kufokuskan untuk tidur dengan tak lupa ku “save” dulu pikiran yang sepintas tadi yang saya pikir menarik untuk dijadikan bahan tulisan buat dikirim ke media massa lokal.<br />***<br />Dua hari kemudian. Menjelang fajar, aku masih terhanyut dalam mimpi yang tampak remang-remang, siapa yang kumimpikan dan jalan cerita yang kumimpikan tampak samar. Mimpi dalam tidurku akhirnya terhenti setelah bunyi koran yang dilempar dari jendela oleh loper ke lantai kamar. Aku tersadar namun mata masih menutup rapat seolah belum puas tidur semalaman. Kupaksakan bangkit untuk memulai ritual pagi.<br />Seusai ritual pagi, kubuka koran lokal langsung di halaman opini untuk melihat apakah tulisan yang kukirim dimuat oleh redaksi harian pagi. Tampak olehku di halaman opini tertulis judul “Universitas Langgeng Belum Siap BHPT”, oleh Leonarjo, Mahasiswa Fisip Universitas Langgeng. Aku pun sontak bangga dan puas lantaran selama ini tulisan yang kukirim belum pernah di muat.<br />***<br />Di siang hari, HP ku berbunyi membuyarkan lamunan dalam istirahat siang yang melelahkan. Sebuah nomor asing menelponku.<br />“Assalamu’alaikum, ini siapa ya?” tanyaku kepada seseorang di ujung telpon.<br />“Apa betul anda Leonarjo?” tanya penelpon kepadaku. Aku tak langsung menjawab.<br />“Ya!” jawabku.<br />“Saya Pembantu Rektor III,” jawab si penelpon. Seketika aku kaget, pikiranku langsung mengingat sebuah nama, Boyman, Prof. Dr. Boyman, M.S,c. Ada apa gerangan sampai-sampai pembantu rektor menelponku. Lamunan yang sekejap terpecah oleh suara penelpon lagi.<br />“Anda yang menulis di koran ya?” tanya Pak Boyman.<br />Sekejap aku berpikir bahwa yang dimaksud adalah koran Langgengpost dan aku pun menjawabnya, “Oh..iya pak!, ada apa Pak ya?” jawabku sekaligus bertanya.<br />“Kamu bisa menghadap saya besok jam sepuluh pagi!” tanyanya lagi dengan sedikit nada tinggi.<br />“Oh..iya pak saya usahakan bisa,” jawabku sedikit ragu.<br />“Ya udah gitu aja,” tambah Pak Boyman yang dilanjutkan menutup telpon.<br />Setelah mengakhiri pembicaraan dalam telpon dengan Pak Pembantu aku tak henti berpikir ada apa gerangan menyuruhku untuk menghadap. Rasanya aku belum pernah mendapat kehormatan seperti ini. Dan dapat dari mana nomor HPku, siapa yang ngasih tahu. Aku tak henti bertanya dalam hati berharap sebuah jawaban yang melegakan hati.<br />***<br />“Kamu ini tau apa tentang BHPT! Sok-sok nulis yang belum tentu isinya bener! Saya ini sudah lama disini, kamu ini baru kemarin masuk kok sudah berani-berani nilai Universitas Langgeng inilah, itulah, otak kamu di mana? Di dengkul apa!! Kamu ini bikin malu universitas aja! Kamu ini seharusnya sebagai bagian universitas jangan menjelek-jelekkan instansi sendiri!, nggak mikir!” cerca Pak Boyman yang tampaknya marah besar lantaran aku menulis tentang kekurangsiapan Universitas Langgeng menetapkan BHPT. Aku pun sedikit terhenyak, lantaran dengan tiba-tiba dan tanpa basa-basi setelah saya dipersilahkan duduk beliau langsung membrondongku dengan kata-kata yang keras dan sedikit menyakitkan untuk di dengar. Di depannya aku saat itu telah berada di kursi pesakitan yang hanya duduk terdiam sesekali merunduk dan sesekali berusaha menjelaskan namun lantaran kepalanya mendidih sulit untuk menerima penjelasanku. Yang tampak adalah sebuah kearoganan.<br />Setelah dimarahi habis-habisan oleh Pembantu Rektor III, aku berjalan sedikit lunglai dan tak habis pikir. Seorang yang bertitel profesor, perkataanya tak jauh seperti preman terminal. Tidakkah beliau punya pikiran jikalau tulisanku yang kurang berkenan itu ditanggapi dalam bentuk tulisan pula. Seharusnya beliau paham itu. Jangan lantas mendampratku di kandangnya langsung. Sebenarnya aku mau membantahnya, tapi kok kearoganannya itulah yang tampak jadinya omonganku tak didengar.<br />Kampus yang aku pikir penuh dengan idealisme ternyata begini, omong kosong. Di luar para akademisi berteriak demokratisasi, ternyata di kampus sendiri mengkhianati demokrasi. Aku pikir seharusnya kampus sebagai institusi yang mencetak kader intelektual dan sekaligus pengontrol sistem real menjadi percontohan dalam penerapan yang demokrasi, bull shit!<br />Setelah kejadian itu, ternyata tak selesai sampai disitu. Urusan akademikku dipersulit, baik di fakultas ataupun universitas. Ini membuatku makin muak dengan kampusku. Diriku pun hanya bergejolak kesal, jengkel dan dongkol. Ingin rasanya mendamprat balik namun nuraniku mengalahkan bisikan setan yang menyuruh kebringasan.<br />***<br />Di atas kasur dekil dalam kamar seperti sehabis kena ledakan aku merenung sambil berpikir tentang masa depan sesekali mata menatap kipas yang tergantung di atap dan kemudian pandangan beralih ke dinding yang tertempel secarik kertas yang bertuliskan<br />“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversi dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata, lawan! [Wiji Tukul]. Sebuah tulisan yang aku acuhkan, idealismeku pun luluh, kalah oleh realita yang menyebalkan. Kuputuskan untuk pulang ke kampung halaman, dengan hati remuk dan penuh kecemasan. Namun sedikit “berbangga” nan miris karena aku pulang dengan nama yang di depannya telah bergelar Drs, Drs. Leonarjo. Drs (Durung Rampung Sekolah).<br />Bandar Lampung, April 2007.<br />