SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  148
Télécharger pour lire hors ligne
Daftar Isi
Editorial
Dédé Oetomo                                                       4

Artikel
Ari Setyorini            Performativitas Identitas Gender dan     7
                         Seksualitas pada Weblog Lesbian di
                         Indonesia

Ben Murtagh              Coklat Stroberi: Sebuah Roman Indonesia 45
                         dalam Tiga Rasa

Irwan M. Hidayana Tentang Pekerja Seks Laki-Laki dan              73
                  Pasangan Seksualnya

Iskandar P. Nugraha Dinamika Kehidupan Seksual Kelompok 99
& Maimunah Munir LSL di Jayapura Papua

Ngerumpi
Maimunah Munir & Ahmad Zainul Hamdi                               125

Resensi
Michael G. Peletz, Gender Pluralism: Southeast Asia Since Early   139
Modern Times
Kathleen Azali




                          Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011        3
4   Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Editorial
                         Dédé Oetomo
                       Pemimpin Redaksi



        Sesudah 1½ tahun vakum, Jurnal Gandrung Vol. 2 No. 1 ini
pun tampil di hadapan anda peminat dan pengaji studi gender dan
seksualitas. Permintaan maaf sedalam-dalamnya saya ajukan atas
kevakuman itu. Kami tim pengelola jurnal ini berusaha hal ini tidak
akan terjadi lagi, sesuatu yang akan menjadi lebih mudah kalau anda
menyumbangkan tulisan bijak bestari anda untuk nomor-nomor
jurnal ini berikutnya.
      Dalam menyiapkan volume kedua ini, pekerjaan awalnya
dipimpin oleh Soe Tjen Marching, namun karena alasan pribadi
maupun kelembagaan kemudian oleh Dewan Pengurus Yayasan
GAYa NUSANTARA, rumah penerbitan ini, diputuskan sayalah
yang meneruskan pekerjaan itu. Kepada Soe Tjen diucapkan banyak
terima kasih atas rintisannya yang telah mendobrakkan jurnal
pertama dalam sejarah negeri ini yang secara khusus membahas
studi gender dan seksualitas dalam segenap keanekaragamannya
dan dengan pendekatan yang membebaskan dan menyetarakan.
      Dalam nomor ini ada dua artikel yang membahas representasi
seksualitas dalam dua jenis media, yakni blog dan film. Ari Setyorini
membahas performativitas lesbian dalam blog, sementara Ben
Murtagh membahas film “Coklat Stroberi” (2007), yang menampilkan
kompleksitas homoseksualitas masa kini.
      Rubrik Ngerumpi menampilkan wawancara Ahmad Zainul
Hamdi dengan Maimunah Munir, seorang pengaji gender dan

                       Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011       5
Dédé Oetomo

seksualitas yang juga akrab dengan kajian film queer dan belakangan
kian mendalam mengaji fenomena waria dan trans* lainnya.
      Seksualitas laki-laki dibahas dalam artikel Irwan Hidayana
mengenai pekerja seks laki-laki, dan dalam artikel kolaborasi Iskandar
Nugraha dan Maimunah Munir tentang laki-laki di Papua.
      Yang tak kalah penting untuk disimak adalah resensi Kahtleen
Azali atas buku Michael Peletz, Gender Pluralism: Southeast Asia Since
Early Modern Times, yang kiranya akan mengusik rasa ingin tahu dan
kecendekiaan anda untuk menelaah bukunya yang merupakan karya
mumpuni tentang kemajemukan gender di Asia Tenggara.
      Demikianlah hidangan kami kali ini. Kritik dan saran tetap
kami harapkan, dan terlebih lagi, tulisan cendekia anda untuk nomor-
nomor berikutnya.




6    Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas
        pada Weblog Lesbian di Indonesia


                           Ari Setyorini

Abstrak: Kajian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana identi-
tas gender dan seksualitas ditampilkan dalam weblog lesbian Indone-
sia. Melalui tampilan tersebut, penelitian ini bertujuan mengetahui
makna ideologis di balik tampilan identitas gender dan seksuali-
tas blogger lesbian Indonesia, serta sejauh mana praktik resistensi
atas subordinasi terhadap lesbian ditampilkan dalam weblog. Kajian
ini mengambil dua weblog, yakni Fried Durian dan Rahasia Bulan.
Sementara, post yang dipilih sebagai teks analisa adalah post yang
memuat isu mengenai gender dan seksualitas. Kajian ini merupa-
kan penelitian multidisiplin-kualitatif. Teori perfomativitas dipakai
mengungkap bagaimana bahasa memperformativitaskan identitas
gender dan seksualitas. Hasil penelitian mengkonfirmasi bahwa
identifikasi gender dan seksualitas lesbian cenderung merupakan
kombinasi terhadap femininitas dan maskulinitas. Melalui proses
criss-crossing, lesbian memperformativitaskan diri mereka dengan
“aksi panggung”, menempelkan identifikasi identitas feminin dan
maskulin melalui dandanan, pakaian, gesture tubuh, dan seksuali-
tas. Lesbian dalam konteks sosial masih menanggung beban tubuh
sosial sebagai perempuan. Identitas perempuan sebagai ibu dan is-
tri menjadikan lesbian tak juga bisa lepas dari tuntutan reproduksi
dan femininitas yang diproduksi oleh kuasa dari rezim kebenaran.
Senyatanya, blogger merupakan produser kreatif atas wacana lesbian
di mana mereka mereproduksi wacana heteronormativitas, hingga
wacana tersebut tidak menjadi satu-satunya wacana dominan.

Kata kunci: performativitas, lesbian, gender, seksualitas, weblog.




                       Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011          7
Ari Setyorini


Pendahuluan
        Kemajuan teknologi informasi yang melahirkan internet ten-
gah dirayakan banyak orang. Penyebabnya adalah karena media
baru ini memiliki kemampuan memunculkan sebuah bentuk ko-
munikasi baru, di mana seseorang tidak lagi harus berkomunikasi
secara face to face pada satu tempat yang sama, namun dapat dilaku-
kan dari satu tempat ke tempat lain yang letaknya sangat berjau-
han. Terlebih dengan penawaran akan anonimitas, sehingga iden-
titas pengguna dapat disembunyikan karena dimensi tubuh tidak
lagi dibutuhkan. Sebagaimana yang diungkapan Rheingold (1994),
people in virtual communities do just about everything people do in real
life, but we leave our bodies behind. Dengan kata lain, komunikasi hadir
melalui tulisan, gambar, suara, video dalam layar komputer, dalam
dunia virtual. Identitas hanyalah berdasar pada apa yang pengguna
tampilkan. Seseorang dapat menjadi siapa saja dan apa saja sesuai
dengan apa yang mereka inginkan. Tidak heran jika kemudian ada
ungkapan yang mengatakan “on the internet, no one knows if you are
a dog.”
        Penawaran akan disembodied performativity ini kemudian di-
manfaatkan oleh individu dan komunitas marjnal untuk menyuara-
kan kepentingan mereka yang selama ini tidak mampu diekspresi-
kan secara bebas di dunia nyata. Dengan tidak hadirnya tubuh,
individu dapat menampilkan identitas yang berbeda dari identitas
mereka di dunia nyata.
        Dipahami bahwa selama ini kelompok termarjinalkan,
utamanya LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender/
Transeksual) belum mendapat tempat sebagaimana heteroseks. Di
Indonesia sendiri, heteronormativitas menjadi ideologi dominan
yang dilanggengkan oleh rezim kebenaran, misalnya oleh negara,
agama, kedokteran, bahkan oleh keluarga. Media pun tak luput
dari perpanjangan tangan rezim kebenaran untuk membentuk
stereotip LGBT. Isu-isu LGBT dan homoseksualitas akhirnya
dianggap kebanyakan orang sebagai sesuatu yang negatif dan
terlarang. Alimi (2004) dalam bukunya, Dekonstruksi Seksualitas
Poskolonial: Dari Wacana Bahasa hingga Wacana Agama, menyimpulkan
bahwa heteronormativitas masih menjadi wacana dominan yang
dikonstruksi oleh media mainstream.
        Satu hal menarik yang terlihat dari kontestasi diskursus
(homo)seksualitas pada media Indonesia adalah bahwa meskipun
8    Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
                              di Indonesia
telah banyak media yang menggulirkan wacana tandingan atas
citra negatif lesbian ini, namun senyatanya masyarakat masih
memberi citra negatif bagi lesbian. Tingginya jumlah penonton
film dan pembaca novel bertema lesbian, ternyata belum juga
memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap perubahan
citra negatif mereka. Ini tampak dari MUI yang beberapa kali harus
memberikan larangan terhadap beberapa film bertema (homo)
seksual, serta peran lembaga sensor film yang berhak memotong
mana yang dianggap boleh ditayangkan (bermoral) dan mana yang
harus dibuang (tak bermoral).
       Contoh-contoh tersebut menegaskan bahwa LGBT masih
dianggap sebagai hal yang melenceng di Indonesia. Akibatnya,
banyak individu LGBT yang harus menutupi identitas mereka
dalam dunia nyata. Kehadiran cyberspace dengan kecairan sifatnya
dianggap mampu menjadi media alternatif untuk menyuarakan
ketertindasan LGBT dalam mengekspresikan identitas mereka, atau
sebagai media untuk coming out of the closet. Selain itu, pergeseran
posisi subyek dalam kacamata postmodernitas, di mana subyek-
subyek kecil mulai memiliki suara untuk menentang struktur kuasa,
memungkinkan lesbian Indonesia sebagai subyek kecil untuk dapat
berbicara, mengungkap identitas gender dan seksualitas mereka.
       Berangkat dari pendapat Bryson (2004) bahwa masih
sedikit penelitian yang mengkaji tentang komunitas perempuan
marjinal, utamanya perempuan lesbian, biseksual dan transgender/
transeksual dalam kaitannya dengan cyberspace, maka penelitian ini
akan mengkaji mengenai hal tersebut. Penelitian difokuskan pada
performativitas blogger lesbian Indonesia dalam mengkonstruksikan
identitas gender dan seksualitas mereka melalui weblog. Weblog dipilih
sebagai media obyek kajian dengan alasan bahwa sejauh penelusuran
peneliti, belum ada penelitian yang membahas mengenai blogsphere
di Indonesia. Alasan lain adalah karena blog memiliki kelebihan
dari bentuk cyberspace lainnya, di antaranya adalah karateristiknya
sebagai jurnal online pribadi yang mengutamakan personalitas dan
individualitas pemiliknya. Individualitas inilah yang melahirkan
ekspektasi terhadap blog sebagai media alternatif. Williams
(via Mitra dan Gajjala 2008) mengatakan bahwa blog dianggap
mampu menjadi ruang yang memungkinkan lahirnya resistensi-
resistensi atas struktur kuasa yang ada melalui cara “speaking
back”. Cara ini mungkin dilakukan ketika blogger menampilkan
subyektivitas sebagai individu yang menyuarakan keterasingan
                        Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011            9
Ari Setyorini

dan ketertindasan dari tindakan opresif stuktur berkuasa. Sejalan
dengan pemikiran tersebut, Gauntlett (2002) juga menjelaskan
mengenai kemampuan new media (khususnya website pribadi dan
weblog–pen.) menyediakan alternatif-alternatif lain bagi individu
atau grup sebagai tandingan atas ide dominan tentang perempuan
dan laki-laki.
      Terdapat dua blog yang dikaji, yaitu Fried Durian (http://
frieddurian.blogspot.com) dan Rahasia Bulan (http://rahasiabulan.
blogspot.com). Fried Durian (FD) adalah blog milik sepasang partner
lesbian bernama Lushka dan Mithya (selanjutnya disingkat L dan
M). Blog FD ini mulai dijalankan sejak Juni 2007. Rahasia Bulan
(selanjutnya disingkat RB) adalah jurnal pribadi milik seorang
lesbian dengan nama virtual Alex (selanjutnya disingkat A). Blog
ini cukup dikenal dalam komunitas lesbian karena latar belakang
pemilik blog sebagai founder sebuah majalah online lesbian, sepocikopi.
com. RB mulai ada dalam blogsphere sejak tahun 2006. Kedua blog
tersebut, menurut peneliti, mampu menjadi objek kajian yang
representatif untuk mewakili bagaimana blogger lesbian Indonesia
menampilkan identitas gender dan seksualitas mereka dalam
ruang virtual. Anggapan peneliti ini didasarkan pada keragaman
diskursus offline yang mengelilingi blogger di kedua blog tersebut
yang memengaruhi cara bagaimana mereka menggambarkan
identitas gender dan seksualitas yang tampak melalui tampilan
tema, bahasa, maupun gambar pada blog tersebut.

Pembahasan
A. Weblog Fried Durian
      Sebagaimana yang disinggung di atas, Fried Durian (FD)
adalah weblog milik sepasang partner bernama virtual Lushka (L)
dan Mithya (M). Struktur weblog ini terdiri dari tiga bagian. Bagian
pertama berisi judul weblog, yakni Fried Durian, dan deskripsi
terhadap identitas weblog. Bagian kedua merupakan struktur utama
blog memuat post. Post terdiri dari waktu post, judul post, isi post,
nama blogger yang melakukan posting, komentar dari pembaca
weblog, dan identifikasi topik pembicaraan. Bagian ketiga adalah
bagian tambahan, berisi arsip post, comment box, web hit counter,
Yahoo Messenger!, dsb.




10    Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
                             di Indonesia

    A.1 Perbincangan Mengenai Identifikasi Femme, Butch,
    Andro, dan No Label
          Weblog FD ini menarik karena dari awal L-M tidak
    menempatkan identitas mereka ke dalam kategorisasi
    identitas gender dan seksualitas manapun, baik dalam
    kategori identitas lesbian, maupun dalam kategori identitas
    normatif lain. Identifikasi identitas L-M pada FD ini pertama
    kali tampak pada deskripsi yang terletak di bawah judul
    weblog mereka, yakni “Bisexual is an overstatement. Lesbian is
    an understatement. We just know how to enjoy live by being in
    each other arms [ibid]. This is our fun queer story from Indonesia.”
    Melalui deskripsi ini, L-M menggambarkan queer-itas identitas
    mereka. Perbandingan identitas yang tampak dalam pemilihan
    kata overstatement (sebagai biseksual) dan understatement
    (sebagai lesbian) menunjukkan bahwa kategorisasi identitas
    tersebut tidak cukup mewakili mereka. Bagi L-M, penyebutan
    biseksual sebagai identitas mereka merupakan sesuatu yang
    berlebihan. Sementara, identifikasi sebagai lesbian, bagi
    L-M, terlalu menyempitkan dan kurang cukup mewakili
    kompleksitas identitas mereka. Di sinilah tampak bagaimana
    identitas gender dan seksualitas merupakan sebuah hal yang
    tidak cukup hanya dibatasi melalui kategorisasi-kategorisasi
    tertentu, pun bukan pula sebagai sesuatu yang stabil dan
    koheren. Inkoherensi tampak pada identifikasi L-M terhadap
    seksualitas yang bukan sebagai biseksual maupun lesbian
    (homoseksual), juga bukan sebagai heteroseksual. L-M bahkan
    dengan gamblang menyebut identitas mereka sebagai queer,
    di mana gender dan seksualitas bagi mereka adalah sebuah
    kecairan. Identitas menjadi sebuah hal yang tidak ajeg, karena
    L-M menempatkannya sebagai yang dapat diubah, sebuah
    proses criss-crossing (Sedgwick via Beasley 2005, 108).
          Deskripsi tersebut diperjelas melalui beberapa post-
    ing L-M dalam FD. M mendeskripsikan identifikasi dirinya
    (“Don’t Label Yourself,” Senin, 8 Desember 2008),

           …gue nggak suka memasukkan diri gue ke kategori
           mana pun…dalam dunia kategori lesbian (femme, butch,
           andro)…. Gue lebih suka mengelaborasi atau menggam-
           barkan perilaku daripada menamai. Yep, saat ini gue in a
                     Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011            11
Ari Setyorini

           relationship dan bahkan jatuh cinta dengan Lushka. Tapi
           saying myself a lesbian? Lah, I’m not that in to women juga.
           Masih bisa ngiler liat cowok berbadan atletis dan ber-
           wajah lutcu….

            M tidak melakukan kategorisasi dirinya berdasar
     identitas gender yang telah ada. Penggunaan istilah
     “mengelaborasi (identitas)” mendeskripsikan tindakan untuk
     memperlakukan identitas sebagai sebuah hal yang dapat
     diubah atau diuraikan—pendeknya berada dalam sebuah
     proses, ketimbang sebuah hasil ajeg dalam kategorisasi. M
     memilih untuk tidak mengkategorisasikan dirinya menjadi
     femme, butch, atau andro, karena kategorisasi lesbian tersebut
     tidak cukup mewakili dirinya. M menampilkan diri sebagai
     lesbian melalui partnership yang dilakukannya dengan L. Akan
     tetapi, M mengakui bahwa dirinya juga memiliki ketertarikan
     pada laki-laki (secara boduly sex). Namun, hal tersebut
     tidak menjadikan M termasuk dalam kategori perempuan
     biseksual. M (“Film Twilight + Chauvinis Mithya,” Senin, 7
     Desember 2008) mengungkapkan, “…soul gue itu sebenernya
     dilahirkan sebagai cowok biseksual. Jadi untuk jatuh cinta dengan
     cewek itu normal tapi diem-diem dan takut-takut sangat tertarik
     dengan cowok lain (especially gay man).”
            Boduly sex M adalah sebagai seorang perempuan. Na-
     mun, M menilai dirinya secara gender adalah laki-laki yang
     memiliki ketertarikan seksual pada perempuan (secara boduly
     sex dan gender), sekaligus kepada laki-laki (secara boduly sex)
     yang feminin (gay man). M menilai jika ketertarikannya dengan
     perempuan adalah sebuah hal yang “normal”, sebagaimana
     normativitas laki-laki tertarik kepada perempuan. Lebih lan-
     jut, ketertarikan M pada laki-laki dinilainya sebagai sebuah
     hal “kesalahan”, karena M menilai dirinya adalah laki-laki
     pula. Karenanya, M menilai, ketertarikannya dengan laki-laki
     dilakukan secara diam-diam dan takut-takut. Bahkan, secara
     spesifik dalam kutipan sebelumnya, M menjelaskan bahwa ia
     tertarik dengan laki-laki yang “bertubuh atletis” dan “berwa-
     jah lucu”. Kombinasi tubuh atletis dan berwajah lucu men-
     jadi hal yang menarik, karena pada dasarnya kedua deskripsi
     tersebut menunjukkan hal yang saling bertentangan. Tubuh
     atletis kerap diidentikan dengan kejantanan atau maskulini-
12   Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
                              di Indonesia
       tas laki-laki. Sebaliknya, diksi “lucu” acapkali diasosiasikan
       dengan sesuatu yang tidak maskulin (feminin). Berwajah
       lucu dapat diartikan sebagai berwajah polos, innocent, dan
       menggemaskan. Di sini ditunjukkan bagaimana identitas dan
       atribut diri bisa diotak-atik sedemikian rupa. Maskulin dikom-
       binasikan dengan feminin, homoseksual dipadu-padankan
       dengan heteroseksual. Hingga pada akhirnya, tidak ada yang
       disebut sebagai identitas utama dalam diri M. M tidak bisa
       dikategorikan sebagai lesbian (homoseks) seutuhnya, bukan
       juga sebagai heteroseks. M melakukan kombinasi-kombinasi
       terhadap identitas-identitas gender dan seksual.
              Melalui FD, L juga menggambarkan identitas dirinya
       sebagai “lesbian yang bersyarat”. Maksudnya adalah part-
       nership yang dijalaninya dengan M merupakan partnership
       lesbian. Tetapi, sebagaimana M, dirinya juga memiliki ke-
       mungkinan untuk tertarik secara seksual terhadap laki-laki.
       Ditegaskan oleh L, “Gue dan Mithya –ga ngeklaim diri kita murni
       lesbian tapi juga ga menolak kenyataan kalau saat ini gue berdua
       dalam hubungan sesama jenis” (“Tobat Jadi Lesbian?,” http://
       www.narth,com, Selasa, 14 Juli 2009).
              Lesbian juga ditampilkan melalui pilihan nama virtual
       mereka, Lushka dan Mithya. Nama ini diambil dari nama
       pasangan lesbian dari Inggris, Violet Trefusis dan Vita Sack-
       ville-West. Kisah cinta kedua perempuan tersebut diabadikan
       oleh Virginial Woolf dalam novel yang berjudul Orlando: A
       Biography. Kisah cinta kedua perempuan tersebut dikenal
       sebagai skandal percintaan Inggris. Disebut sebagai skandal
       karena pada masa tersebut (mereka hidup pada saat Inggris
       di bawah otoritas ratu Victoria), homoseksual (gay) dianggap
       sebagai sebuah kriminalitas. Sementara lesbian, belum men-
       jadi isu yang diungkap karena anggapan pada masa tersebut
       bahwa perempuan tidak selayaknya mengurusi seksualitas
       mereka. Pasangan ini saling memanggil satu dengan lain
       dengan nama Lushka (Violet) dan Mithya (Vita)1. Nama ini
       kemudian dipakai sebagai nama virtual mereka.
              Deskripsi-deskripsi identitas tersebut menunjukkan
       ambiguitas L-M dalam memaknai dirinya. Namun, hal ini

1       Lebih lanjut mengenai kedua lesbian Inggris tersebut lihat http://
en.wikipedia.org dan http://scandalouswomen.blogspot.com.
                          Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011               13
Ari Setyorini

     tidak kemudian menjadi sebuah hal negatif karena ambi-
     guitas tersebut menurut Butler (1993, 29) justru merupakan
     sebuah strategi untuk menggoyang apa yang disebut sebagai
     identitas center-margin. Normativitas masyarakat mengang-
     gap identitas yang koheren adalah identitas center, identitas
     yang paling benar. Artinya, seseorang akan dianggap benar
     jika identitas gender yang mereka tampilkan sesuai dengan
     boduly sex dan hasrat seksualitas mereka. Dengan kata lain,
     jika individu memiliki boduly sex sebagai perempuan, maka
     gender mereka harus menunjukkan femininitas dan tertarik
     secara seksual kepada laki-laki. Namun, yang dilakukan L-M
     ini justru mensubyektifkan identitas tersebut dan menunjuk-
     kan bahwa apa yang disebut sebagai gender dan seksualitas
     hanyalah persoalan bagaimana hal tersebut diperformativi-
     taskan atau diperagakan. Hal ini akan nampak pada perilaku-
     perilaku dalam menampilkan identitas-identitas mereka yang
     dibahas dalam subjudul selanjutnya.
            Pernyataan L-M untuk tidak mengkategorisasikan dirinya,
     senyatanya juga merupakan sebuah bentuk kategori lain,
     yakni no label. No Label menjadi sedikit banyak mewakili apa
     yang dijelaskan L-M ketika memilih untuk tidak memasukkan
     diri mereka ke dalam kategori lesbian sebagai femme, butch,
     dan andro. Sebagaimana pemikiran queer bahwa a refusal of a
     set identity adalah identitas itu sendiri (Ibid.). Melalui no label,
     L-M mensubversi identitas yang telah ajeg dengan melakukan
     serangkaian percampuran terhadap normativitas identitas gender
     dan seksualitas sebagaimana ide Butler atas gender trouble.

           A. 1. 1 Performativitas Penampilan dan Fisik
                  Penolakan L-M untuk tidak mengategorikan di-
           rinya ke dalam femme-butch-andro mempengaruhi cara
           bagaimana mereka menampilkan identitas gender dan
           seksualitas melalui tampilan fisik. Mereka cenderung
           mengombinasikan penanda-penanda gender yang tam-
           pak melalui penampilan tubuh. Misalnya ketika L men-
           ceritakan tentang kebiasaan-kebiasaan L-M yang ber-
           hubungan dengan penampilan dan atribut fisik. “Siapa
           bilang kita se-tomboy or se-andro gitu. Emang penampakan
           gue lebih cewek dari Mithya, tapi kalo buat urusan kerapi-
           an Mithya ratunya” (“Mithya and Me,” Rabu, 10 Maret
14   Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
                              di Indonesia
             2009). Agaknya, banyak yang mengira L-M berpenampi-
             lan “kelaki-lakian”. Hal ini tampak dari pertanyaan re-
             toris L terhadap penampilannya yang cenderung dia-
             sumsikan banyak orang sebagai penampilan tomboy2.
             L menolak asumsi tersebut dengan menampilkan gam-
             baran sisi “keperempuanan” L-M yang tampak dalam
             kebiasaan mereka terkait penampilan atribut fisik. M
             memiliki kebiasaan-kebiasaan berdandan yang “lazim-
             nya” dilakukan oleh perempuan. Digambarkan oleh L,
             bagaimana kepedulian M terhadap rambutnya,

                    Turun dari motor, buka helm, dia akan langsung
                    bilang ‘rambutku berantakan ga?’ –trus gue
                    jawab ‘engga’ –dia akan ngerapiin lagi, terus nanya
                    ‘berantakan ga?’, gue tetep akan bilang ‘engga’ –dia
                    megang2 rambut terus nanya ‘beneran?’ –nah, di bagian
                    ini gue udah muter bola mata kalo engga melototin dia,
                    ngunci motor terus ngeloyor dengan rambut gue
                    berantakan. Fact: gimana mau berantakan, tiap mau
                    pasang helm dia ngerapiin rambut, trus dijepit, trus
                    dirapiin lagi helmnya. (Ibid.)

                    Pada post ini, L menjelaskan perbandingan pe-
             nampilan antara dirinya dengan partner-nya, M. Dalam
             konteks ini, L menilai M memiliki sisi femininitas dalam
             penampilan yang lebih dominan daripada L. M memili-
             ki kecenderungan berperilaku womanly, yang “khawat-
             ir” dengan penampilan rambutnya. Rambut menjadi
             penanda penting bagi perempuan dalam normativitas
             masyarakat. Bahkan ada ungkapan yang menyebutkan
             bahwa rambut adalah mahkota perempuan. Lebih lan-
             jut, L menegaskan bagaimana M memiliki kegemaran
             berdandan sebagaimana normativitas perempuan da-
             lam masyarakat. Misalnya, M memiliki “ritual” menyi-
             sir rambut, membersihkan wajah, memakai bedak, me-
             nyemprotkan minyak wangi, dan terkadang memakai

2        Tomboy/i adalah perempuan YANG memiliki sifat “kelaki-lakian” (fe-
male-to-male transgenders), yang salah satunya tampak dari penampilan. Lihat
penjelasan mengenai tomboy/i dalam Boellstroff (2003) dan Blackwood (2008).
                         Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011             15
Ari Setyorini

          lip gloss ketika berada di toilet, setelah buang air kecil.
          M juga selalu membawa peralatan kosmetik di dalam
          tasnya. “Isi tas: Mithya, selain ada buku, pulpen, dan kertas
          pasti ada perlengkapan ceweknya, tissue, kertas minyak, sisir,
          bedak, kaca, lip gloss, perfume, jepitan rambut.” Penyebu-
          tan “perlengkapan cewek” di sini menegaskan bahwa
          kosmetik memang melulu menjadi penanda bagi gender
          perempuan.
                 Kebiasaan-kebiasaan M membuat L tertular un-
          tuk ikut-ikut menunjukkan femininitas dirinya melalui
          tampilan tubuh dengan berdandan. Disebutkan oleh L,
          “ Dulu, gue boro2 di tas ada bedak, sisir aja ada udah ajaib,
          yang wajib ada di tas itu buku, pulpen, dan notes. Sekarang,
          gue jadi ketularan Mithya, kemana-mana bawa peralatan
          ngelenong” (Ibid.). L mengumpamakan peralatan ko-
          smetik sebagai peralatan ngelenong (lenong). Hal ini
          mengindikasikan bahwa, bagi L, berdandan yang meli-
          batkan peralatan kosmetik, tak ubahnya sebagai sebuah
          aksi pertunjukan lenong. Ketika L menampilkan dirinya
          yang berdandan menggunakan perlengkapan kosme-
          tik, tak ubahnya seperti ketika pemain-pemain lenong
          yang akan melakukan pertunjukan. Pada pertunjukan
          lenong, setiap pemain akan menunjukkan sebuah kara-
          kter lain yang berbeda dengan karakter mereka sebe-
          narnya. Pada akhirnya, berdandan bagi L adalah untuk
          menampilkan sebuah karakter fiktif, karakter rekaan
          yang berbeda dengan dirinya “sebenarnya”.
                 Menyitir pendapat Butler (1990, 174) bahwa per-
          soalan gender hanya semata persoalan performativitas,
          proses imitasi dan pengulangan yang tidak pernah ber-
          henti. Begitu juga yang dilakukan oleh L-M. Penampi-
          lan fisik yang diidentifikasi oleh masyarakat sebagai
          identitas gender dijadikan sebagai sarana untuk mem-
          performansi gender mereka sebagaimana normativitas
          masyarakat. Mereka oleh masyarakat dianggap seba-
          gai perempuan melalui performatif ritual-ritual ber-
          dandan. Sebagaimana dikemukakan oleh Bordo (1986)
          bahwa tubuh perempuan medium femininitas, di mana



16   Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
                              di Indonesia
               diskursus budaya dan gender berlaku padanya3.
                     Bordo (via Davis 1995, 155) menilai bahwa mela-
               lui kontrol terhadap tubuh, perempuan tidak melulu
               menjadi korban atas tekanan “collective cultural fantasy”
               namun justru dapat membebaskan perempuan untuk
               memperoleh male-power. Sebagaimana penilaian Bor-
               do, dalam konteks lesbian dengan mengikuti kontrol
               atas tubuh L-M justru dapat dengan bebas memakai
               topeng femininitas untuk menutupi identitas lesbian
               mereka. L-M justru memperoleh tidak hanya male-pow-
               er namun heteronormatif-power untuk mengelabuhi nor-
               matif masyarakat atas feminintas yang mereka tunjuk-
               kan melalui pendisiplinan tubuh.
                     Hal yang menarik, L-M tak hanya berhenti pada
               tataran berdandan sebagai penanda identitas perempuan.
               L-M menggambarkan pertentangan-pertentangan dalam
               penampilan fisik mereka sebagai bentuk instabilitas
               gender. Misalnya, ketika L menjelaskan dominansi sisi
               femininitas dirinya yang tampak dari pilihan-pilihan
               pakaian, aksesoris, dan sepatu. Beda halnya ketika L
               yang merasa kurang menyukai berdandan, sehingga sisi
               maskulinitas dirinya lebih dominan dalam hal berdandan.
               Sebaliknya, Mithya justru sangat tidak “perempuan”
               ketika berurusan dengan busana, sepatu, dan aksesoris. L
               menjelaskan, “Rok untuk dipake harian itu adalah big no no
               buat Mithya. Paling kalo mau kondangan aja dia baru mau. …
               Mithya sekarang baru belajar pake sepatu-sepatu cewek. Untuk
               harian dia masih setia ama Converse-nya” (Ibid.). Pakaian
               berbentuk rok, bagi masyarakat, adalah pakaian bagi
               perempuan. Karenanya, lazim jika perempuan memakai
               rok sebagai penanda keperempuanan mereka. Seragam
               sekolah hingga baju bekerja perempuan hampir semua
               memiliki pakaian bawahan berbentuk rok. Rok pun
               kemudian identik dengan simbol femininitas. Namun, M
               menampilkan bentuk lain dari pilihan penggunaan rok
               sebagai identifikasi gender dirinya. Bagi M, rok bukanlah
               pakaian sehari-hari yang merepresentasikan dirinya. Ia

3        “… the female body as a kind of text which can be “read as a cultural statement,
a statement about gender.” (Lihat Bordo 1989, 16).
                            Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011                     17
Ari Setyorini

          hanya menggunakan rok jika menghadiri acara resmi,
          misalnya resepsi pernikahan.
                 Selanjutnya, dijelaskan pula jika M lebih menyu-
          kai menggunakan Converse, merk sepatu jenis kasual
          yang biasanya dikenakan oleh laki-laki. Pada pilihan
          ini, M menunjukkan sisi maskulinitas dirinya. Masku-
          linitas M ditegaskan L dalam post-nya yang lain, “Have
          I told you that Mithya is very handsome” (“Mamerin Pacar
          Ah…,” Sabtu, 28 November 2008). Penyebutan “hand-
          some” menjelaskan penampakan M yang ganteng mirip
          laki-laki secara fisik. Lebih lanjut, L menjelaskan pe-
          nampilan M yang maskulin membuat beberapa teman
          L mengira M adalah pacar L, yang tentunya dalam ang-
          gapan mereka M adalah laki-laki.
                 Penggambaran-penggambaran tersebut menun-
          jukkan nonkonformitas M dalam menentukan pilihan-
          pilihan terhadap tampilan tubuh. Di satu sisi, ritual
          berdandan M menandakan gender femininitas dirinya,
          namun di sisi lain maskulinitas muncul dari pilihan M
          akan model pakaian dan sepatu yang cenderung manly.
          Nonkonformitas juga ditunjukkan M saat menjelaskan
          bahwa soul dirinya terlahir sebagai laki-laki, namun di
          sisi lain M juga melakukan ritual-ritual yang menanda-
          kan identitas keperempuannya.
                 Meski L-M menempatkan diri mereka sebagai “a
          refusal of a set identity” atau no label, namun dari peng-
          gambaran penampilan fisik, L-M cenderung menunjuk-
          kan penampilan androgini dalam hubungan lesbian.
          Baik L maupun M melakukan pemilihan terhadap be-
          berapa identitas feminin yang kemudian dikombinasi-
          kan dengan identitas maskulin. Pada akhirnya criss-
          crossing identitas tersebut membentuk identitas lain
          yang berbeda dari identitas normatif dalam masyarakat,
          identitas androgini.
                 Melalui criss-crossing, seperti yang dilakukan oleh
          L-M, apa yang disebut identitas gender center yang
          normatif tersebut dipermain-mainkan. Bahwa individu
          dapat saja melakukan modifikasi dengan menampilkan
          gender act secara subversif seperti yang dilakukan
          L-M dalam penampilannya. M yang memiliki ritual
18   Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
                             di Indonesia
           berdandan, akan tetapi kurang menyukai penggunaan
           rok dan sepatu perempuan. L yang kurang suka memakai
           kosmetik, namun menyukai rok, sepatu dan aksesoris
           perempuan. Performansi gender act yang dilakukan oleh
           L-M memang tak selamanya mulus. Terkadang mereka
           harus menerima “hukuman” dari orang-orang di sekeliling
           mereka jika ternyata gender act yang mereka tampilkan tidak
           sesuai dengan “lazimnya”. Misalnya ketika M menceritakan
           bagaimana dirinya harus menampilkan identitas gender
           yang selaras dengan penampilan sebagaimana normatif
           masyarakat. Diceritakan M (“I Hate Wedding Reception,”
           Senin, 12 Oktober 2009),

                 … gue …ngga suka dengan acara resepsi pernikahan.
                 Gue kayak alergi dengan baju-baju pesta perempuan.
                 Setiap hadir di resepsi pernikahan gue bakal sesak
                 napas dan mulai banjir keringat karena canggung.
                 Gue pasti jadi pusat perhatian. Gimana ngga, Mithya
                 yang tomboy dan kayak laki itu dateng dengan full
                 make up dan dress cantik. … a lot of people said that I
                 am beautiful kalo mau didandanin dan pakai baju
                 feminin. But it’s just not me.

                  M harus menampilkan pilihan-pilihan gender
           yang selaras sebagaimana normativitas masyarakat
           jika sedang menghadiri resepsi pernikahan, meski hal
           tersebut membuat dirinya tidak nyaman. M mencerita-
           kan bahwa suatu saat dirinya mencoba berpenampilan
           tidak seperti normativitas gender perempuan ketika
           menghadiri acara resepsi. Kemudian, ternyata hal terse-
           but dinilai orang-orang sekitarnya sebagai sebuah hal
           yang tidak lazim, M “ditegur” karena penampilannya
           tersebut. Pada akhirnya, M harus “tunduk” terhadap
           normativitas masyarakat akan keselerasan penampilan
           tubuhnya dengan gender. “Akhirnya gue harus menerima
           norma masyarakat yang satu ini. … For now Mithya harus
           dateng … mengenakan pakaian perempuan lengkap dan dan-
           danan tebal, berusaha menjadi cewek-cewek kebanyakan di
           sekitarnya” (Ibid.).
                  Di balik ketundukan M terhadap keselarasan
                     Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011            19
Ari Setyorini

          antara penampilan dan identitas ini, sebenarnya M
          telah membuktikan bahwa apa yang disebut sebagai
          gender perempuan hanyalah bentuk-bentuk peniruan. M
          meniru tampilan gender perempuan dengan mengikuti
          normatif masyarakat akan “kepantasan”, yakni berdandan
          dan berpakaian perempuan (rok) untuk acara-acara formal
          seperti resepsi pernikahan, meskipun sebenarnya diri M
          merasa tidak sesuai dengan tampilan tersebut. Namun,
          justru aksi tiru itu, membuat M dikategorikan sebagai
          perempuan dan akhirnya diterima oleh masyarakat.
          Karenanya, tak ada yang dapat disebut sebagai identitas
          asli, yang ada hanya bentuk-bentuk peniruan yang diulang-
          ulang di bawah tekanan, melalui apa yang disebut sebagai
          larangan, penyebutan atas tabu (Butler 1993, 95) atau apa
          yang dinyatakan sebagai pantas-tidak pantas.
                  Pada konteks identitas lesbian sebagai Butch-
          femme-andro-no label, penampilan acapkali menjadi
          identifikasi atas kategori tersebut. Butch biasanya ber-
          penampilan kelaki-lakian, femme tampak feminin se-
          bagaimana normativitas perempuan. Dikotomi butch-
          femme, yang kerap kali dikritik dalam partnership lesbian
          karena seolah-olah “meniru” dikotomi atas perempuan-
          laki-laki, tampaknya tidak berlaku bagi L-M. Selain
          menyebut diri mereka sebagai no label, performativitas
          yang mereka lakukan menunjukkan bahwa mereka bisa
          berpenampilan sebagaimana butch maupun femme.

          A. 1. 2 Perilaku dan Peran
                 Identifikasi criss-crossing gender tampak pula dari
          perilaku dan peran yang ditampilkan L-M. Beberapa
          performativitas L menunjukkan bahwa terdapat sisi
          femininitas dan sekaligus maskulinitas dalam dirinya.
          Identifikasi femininitas muncul ketika ia menjelaskan
          dirinya yang gampang sekali menangis. L mendeskripsi-
          kan perilaku dirinya dan M sebagai berikut, “Nah, yang
          paling cewek banget dari kita… kita itu mewekan. Baca buku
          sedih, mewek. Nonton pelem, mewek. Nonton Oprah, mewek.
          Nonton konser, mewek…“ (“Mithya and Me,” Rabu, 10
          Maret 2009). Dipahami bahwa perilaku menangis selalu
          diidentikkan dengan perempuan. L mengidentifikasi
20   Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
                             di Indonesia
           perilaku mereka yang gampang mewek (menangis) se-
           bagai sisi femininitas utama mereka. Beberapa perilaku
           yang kerap diidentikkan dengan perempuan tampak
           pada perilaku L yang lebih mendahulukan emosi. Sena-
           da dengan L, M pun memiliki perilaku yang menampil-
           kan sisi femininitas. Digambarkan L, “Mithya suka ama
           boneka-boneka lucu, sedangkan gue tidak terlalu. Dia bisa
           menarik-narik gue di depan toko mainan terus dengan suara
           imut bilang, ‘aa, ayang lucu banget yaa…’ sambil peluk-peluk
           bonekanya” (Ibid.). M yang sedari awal mengidentifikasi
           bahwa soul dirinya sebenarnya adalah laki-laki, namun
           dengan menunjukkan kegemarannya terhadap boneka
           –yang identik dengan mainan anak perempuan, sekali
           lagi menunjukkan ambiguitas identitas gender M.
                 Partnership yang dijalankan oleh L-M menunjuk-
           kan bahwa mereka bisa berperan sebagai siapa pun da-
           lam hubungan tersebut. Maksudnya, tidak ada aturan
           sebagaimana normativitas masyarakat yang mengung-
           gulkan peran maskulin daripada feminin. Misalnya,
           gender maskulin “diharuskan” mengurusi urusan pub-
           lik, menjadi kepala rumah tangga, sementara gender
           feminin memiliki peran domestik rumah tangga (Fakih
           1996, 10-1). Konstruksi peran gender dalam masyarakat
           tersebut tidak berlaku dalam partnership L-M. Peran bagi
           L-M digambarkan M ketika dirinya sedang berangan-
           angan membayangkan bagaimana nantinya jika mereka
           berdua hidup serumah.

                 … Kalo aku udah kerja sih kayaknya aku yang baka-
                 lan tukang pulang malem atau mepet pagi, hehehe..
                 It’s nice kalo di YM kita nanya, ‘Makan malem
                 apa?’, ‘Makan di rumah ngga?’… atau kalo pu-
                 lang kantor, aku uda siapin air anget buat kamu
                 mandi…. (“Waiting for Your Call,” Jumat, 8 Juni
                 2007).

                 Penyebutan M akan tukang pulang malam (pagi)
           bagi kontruksi masyarakat biasa dilekatkan pada laki-la-
           ki. Bahkan jika perilaku tersebut dilakukan oleh perem-
           puan, maka perempuan tersebut akan dinilai sebagai
                     Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011           21
Ari Setyorini

          perempuan yang “tidak benar” atau nakal. Namun,
          bagi M sebutan tersebut diberikan kepada dirinya send-
          iri untuk menunjukkan bahwa peran dirinya di ranah
          publik, yang memungkinkan dirinya untuk kembali ke
          rumah lebih larut daripada L. Akan tetapi, angan-angan
          M selanjutnya menggambarkan peran-peran dirinya da-
          lam wilayah domestik, misalnya, menyiapkan makanan
          bagi mereka. Bahkan, M menggambarkan dirinya dan
          L memiliki peran yang sama yakni di wilayah domes-
          tik sekaligus publik. Hal ini tampak dari bagaimana M
          membayangkan jika L-M sedang berkomunikasi mela-
          lui Yahoo Messenger! mereka akan saling menanyakan
          persoalan domestik, misalnya mengenai menu maka-
          nan, yang identik dengan peran perempuan.
                 Wacana-wacana tersebut secara tidak langsung
          menjadi counter wacana bagi konstruksi masyarakat
          tentang keharusan keselarasan antara boduly sex dan
          gender. Keharusan bahwa perempuan wajib berting-
          kah laku feminin dan berperan dalam ruang domestik,
          tampaknya telah menjadi sesuatu yang old-fashioned.
          Performativitas-performativitas yang ditampilkan oleh
          L-M mempertegas bahwa identitas adalah sesuatu yang
          dapat diubah, dapat di-mix-match-kan. Individu dapat
          menjadi sosok feminin dan maskulin sekaligus. Indi-
          vidu tidak dapat dibatasi hanya dengan role tertentu
          yang ajeg.
                 Butler memang mengajukan performativitas
          identitas untuk menunjukkan bahwa identitas dapat
          diubah-ubah dan dipilah-pilah, sebagaimana jika ses-
          eorang memilih pakaian yang hendak mereka kenakan.
          Namun, yang patut dicatat adalah pilihan-pilihan terse-
          but tidak dapat dilakukan dengan bebas, karena ter-
          batasnya pilihan akan identitas yang ada dalam budaya
          dominan. Singkat kata, performativitas adalah bebas
          namun terikat (Butler via Salih, 2002), gender diper-
          lakukan sebagai aksi performatif yang bebas namun
          terikat. Baik L maupun M, tak mampu lepas dari iden-
          titas yang terlanjur dilekatkan pada perempuan dalam
          budaya Indonesia.

22   Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
                              di Indonesia

       A. 2 Aktivitas Seksual
              Post L-M dalam FD beberapa kali menggambarkan ak-
       tivitas seksual mereka sebagai partner lesbian. Seperti misal-
       nya diceritakan oleh M (“While You Sleep…,” Kamis, 7 Juni
       2007),

              I spread kissess along your lips, neck, then to your breast
              where I lingered, gently squeezing every each one of them.
              … my lips eagerly returned to you back, your neck, and my
              hand cupped each and one of your breast. … my hand be-
              tween your thigh, touching you. Your legs opened for me, and
              I slip between them, thrusting deeply as I can into you. As I
              make love to you, your breathing became frantic. … suddenly
              you screamed out as I touched the right spot, and as I felt the
              trembling wrack of your body, the pleasure burst through me
              as well….

               Gambaran M tersebut menunjukkan aktivitas seksual
       mereka, mulai dari foreplay hingga “aktivitas utama.” Yang
       menarik, M menyebut seks oral sebagai aktivitas utama seks
       mereka, bukan sebagai foreplay. “I slip between them, thrusting
       deeply as I can into you” menggambarkan aktivitas seksual oral
       yang M dan L lakukan. Hal ini menjadi kritik bagi konstruksi
       masyarakat yang menyebut aktivitas seksual di luar penetrasi
       adalah aktivitas seksual tambahan, aktivitas seksual pemana-
       san, atau foreplay. Hal ini tampak dari pilihan kata “make love”4
       yang biasanya dikaitkan dengan aktivitas seksual penetratif,
       namun mereka gunakan untuk menggambarkan seks utama
       mereka, seks oral.
               Salah satu hal terpenting dalam aktivitas seksual, yakni
       orgasme, dapat terjadi tanpa melibatkan perbedaan anatomi
       tubuh. Seperti yang dijelaskan M saat menggambarkan proses
       orgasme, “…you screamed out as I touched the right spot, and as I
       felt the trembling wrack of your body, the pleasure burst through me


4        Bandingkan pemakaian diksi ‘make love’ (have sex) dengan ‘make out’.
Diksi pertama acap kali diidentikkan dengan seksual penetratif, sementara diksi
selanjutnya sering terkait dengan aktivitas seksual nonpenetratif, salah satunya
adalah seks oral (Lihat Encarta Dictionary 2008).
                          Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011                23
Ari Setyorini

     as well…” (Ibid.). “The right spot” digunakan untuk menggam-
     barkan G-Spot. Persoalan seksualitas bagi L-M adalah perso-
     alan ketepatan menemukan spot yang benar, karenanya dapat
     dilakukan baik itu dengan sesama jenis maupun berbeda jenis
     kelamin. Di sini, karena perkara seksualitas bukan lagi perka-
     ra penetrasi penis, karenanya fungsi dari penis digantikan
     dengan anggota tubuh lainnya. Penggunaan kata “touched”
     (sentuh) menunjukkan aktivitas tangan, sebagaimana fungsi
     tangan untuk menyentuh. Selanjutnya, my hand between your
     thigh, touching you, semakin menegas aktivitas seksual non-
     penetratif. Penggunaan “between you thigh” (di antara paha-
     mu) menunjukkan letak pleasure perempuan, yakni klitoris
     yang ada di vagina. Leksikon ini menggambarkan aktivitas
     masturbasi mutual, di mana (M) melakukan stimulasi seksual
     klitoris kepada pasangannya.
            Seksualitas sebagai bentuk kesenangan juga digam-
     barkan oleh L-M melalui post “Our Own Made Drama.” L
     menceritakan aktivitas seksual yang biasa mereka lakukan di
     toilet umum mall. Sebelum melakukan aktivitas seksual, L-M
     biasanya melakukan “drama” agar keduanya dapat berada di
     dalam toilet yang sama untuk melakukan aktivitas seksual.
     Diceritakan L, mula-mula salah satu dari mereka akan masuk
     ke dalam toilet, kemudian pura-pura sakit dan meminta part-
     ner yang lainnya untuk masuk ke dalam toilet juga untuk
     membantunya. Ketika keduanya berada di dalam toilet itu-
     lah, mereka melakukan aktivitas seksual. L menggunakan is-
     tilah plop-plop (“Our Own Made Drama,” Rabu, 13 Mei 2009)
     untuk menjelaskan aktivitas seksual masturbasi (handjob)
     yang mereka lakukan di dalam toilet. Plop-plop sendiri meru-
     juk pada suara yang ditimbulkan dari aktivitas seksual yang
     melibatkan tangan. L-M menentang apa yang dianggap tabu
     dalam masyarakat. Aktivitas seksual di tempat umum, seper-
     ti toilet mall, bagi masyarakat seringkali dianggap bukan ak-
     tivitas seksual yang benar. Karenanya, L-M harus melakukan
     “drama” terlebih dahulu untuk melakukan aktivitas seksual
     “tabu” tersebut.
            Aktivitas seksual lain digambarkan oleh L dalam post,
     “...ngarep bisa megang tangan kamu, nyium kamu dikit di
     bibir, meluk kamu, gesekan...” (Jumat, 15 Juni 2007). Leksikon
     gesekan menggambarkan aktivitas seksual yang dilakukan
24   Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
                             di Indonesia
    oleh L dan partnernya. Aktivitas ini biasa disebut dengan
    tribadisme, pasangan lesbian saling menggesekkan vagina
    mereka. Aktivitas seksual ini menggantikan fungsi penis
    sebagai alat penetratif karena vagina “dilawankan” dengan
    vagina. Variasi aktivitas seksual, seperti hand-job, seks oral,
    dan seks di tempat umum, dilakukan oleh L-M lebih karena
    hasrat seksual itu sendiri.
          Apa yang dilakukan L-M dengan melakukan kombi-
    nasi terhadap identitas gender-seksualitas dengan tidak men-
    jalankan keduanya sebagaimana normativitas masyarakat,
    sesuai dengan apa yang disebut Butler (1990, 36-37) sebagai
    pastiche. L-M melakukan perpaduan terhadap identitas gen-
    der feminin-maskulin dan seksualitas perempuan dan laki-
    laki. Melalui cara ini L-M, melakukan mockering terhadap apa
    yang disebut oleh masyarakat sebagai normativitas gender
    dan seksualitas utama. Seksualitas bagi L-M bukanlah per-
    soalan dikotomisasi anatomi tubuh atau pula perkara halal-
    haram, tapi lebih pada pleasure itu sendiri.

    A. 3 Pernikahan
           Pernikahan bisa disebut sebagai hal termewah bagi part-
    ner lesbian. Beberapa post menjelaskan angan-angan L-M akan
    pernikahan sejenis, namun dengan segera mereka menyadari
    bahwa angan-angan tersebut merupakan hal yang utopis be-
    laka. “… tunggu kita selesai kuliah, terus … nikah deh … hehehe
    (gila agaknya … kekekeek)” (Lushka, Selasa, 12 Juni 2007). Ini-
    lah salah satu keinginan yang sebenarnya bisa dibilang kon-
    servatif. Mereka yang tampak no label, ternyata masih juga
    memerlukan suatu “status” yang lebih diamini masyarakat
    heteroseksual, sehingga L kerap kali membayangkan pernika-
    han sebagai ujung dari partnership mereka. Mungkin ini bisa
    dianggap sebagai pengaruh dari idealisme pernikahan dalam
    dunia heteroseksual.
           Namun, sanggahan yang muncul segera setelah men-
    gangankan pernikahan, “gila agaknya”, menegaskan bahwa
    bagi masyarakat adalah hal yang gila jika sepasang lesbian
    melakukannya. Hal tersebut disadari benar oleh L-M, seperti
    yang tampak pada post L selanjutnya,

           … what if kita nikah. Standar ngayal kita deh. Kita sih
                     Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011          25
Ari Setyorini

           maunya kalo nikah itu harus sah, legal dan halal. Which
           mean, harus siap, ikhlas, sesuai dengan agama yang kita
           anut, legal di mata hukum negara dan restu orang tua.
           MANTAB. Masalahnyaaaaaa! … gue berdua untuk dapat
           nikah dengan kondisi tersebut di atas, harus memiliki
           syarat sebagai berikut: 1). Ikhlas/ Siap  … siap banget
           dah, 2). Restu orang tua  nyokap Mithya klik banget ama
           gue.. hihihi. Mithya kayanya juga bisa get along dengan
           baik ama keluarga gue, 3). Beda Kelamin… errrr, 4).
           Beragama sama … errrr. Itu dia masalahnya pemirsa! Gue
           berdua udah sama kelaminnya, eeehhh ditambah pake
           beda agama! (“Ayo Pilih Mana,” Rabu, 13 Mei 2009).

          L menggambarkan hal-hal yang harus dipenuhi jika
     mereka akan melakukan pernikahan. Pertama dan mendasar
     adalah persyaratan akan perbedaan kelamin dalam sebuah
     pernikahan. Selanjutnya adalah persamaan agama atau ke-
     percayaan. Kedua masalah tersebut tidak dapat dipenuhi oleh
     L-M karena mereka sama-sama perempuan, namun berbeda
     agama (Lushka beragama Katholik, Mithya beragama Islam).
          Bagi pasangan lesbian, hal yang kerap mereka temui
     adalah keterpaksaan mereka untuk menikah dengan laki-laki
     demi atribut sosial yang nantinya akan melekat pada mereka.
     L-M menceritakan bahwa banyak lajang lesbian yang dijodoh-
     kan oleh orang tua mereka. Sebagaimana digambarkan L,

           …para lajang yang dijodohkan oleh orang tua untuk para
           Queer, punya masalah apa ya? Apakah homo? Psycho?
           Kuper? Jelek? Terlalu sibuk? Terlalu pintar? Tidak percaya
           dengan pernikahan? Sakit keras? Punya masa lalu yang
           buruk? Why?! Kenapa para ‘calon korban pengorbanan’
           lesbian ini sampai perlu dijodohkan? (Lushka, Selasa, 22
           Desember 2009).

           MenarikuntukdicermatiketikaLmenyorotipermasalahan
     justru kepada individu yang dijodohkan kepada lesbian, bukan
     kepada lesbian itu sendiri. Kecurigaan L terhadap kualitas laki-
     laki yang dijodohkan kepada lesbian menunjukkan pesimisme
     dirinya. Dia menggambarkan imej-imej “negatif” seperti homo,
     psycho, kuper, jelek, terlalu sibuk, terlalu pintar, tidak percaya
26   Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
                              di Indonesia
      dengan pernikahan, sakit keras, punya masa lalu yang buruk
      terhadap laki-laki yang dijodohkan dengan lesbian.
             L juga menilai bahwa yang bermasalah bukanlah lesbian
      tersebut, tapi justru laki-laki yang mau “dikorbankan” sebagai
      jodoh lesbian. L melakukan redefinisi bahwa yang “bersalah”
      jika terjadi perjodohan antara lesbian dengan laki-laki straight
      adalah justru si laki-laki tersebut. Orang biasanya berpikir
      bahwa perjodohan antara lesbian dan laki-laki straight akan
      “menyembuhkan” lesbian. Pada konteks ini, laki-laki yang
      dijodohkan tersebut seringkali dianggap sebagai hero bagi
      masyarakat, namun nyatanya bagi L, laki-laki tersebut tak
      ubahnya sebagai “korban” yang terpaksa menuruti sistem
      budaya. Hingga akhirnya, mereka mau saja dijodohkan dengan
      lesbian karena asas heteronormativitas.

B. Weblog Rahasia Bulan (RB)
       Weblog ini adalah milik seorang lesbian bernama virtual Alex
(A). Blog ini cukup dikenal oleh komunitas lesbian karena A meru-
pakan pengelola salah satu majalah lesbian online, sepocikopi.com.
Struktur blog ini terdiri dari tiga bagian utama. Bagi pertama adalah
judul weblog, yakni Rahasia Bulan. Bagian selanjutnya adalah post,
bagian ini merupakan inti dari weblog tersebut karena memuat tu-
lisan A dan juga komentar-komentar blogger atas post yang dilaku-
kan A. Bagian terakhir berisi deskripsi blog, twitter, tagline, arsip
blog, kategori post, web hit counter, dsb.

     B. 1 Perbincangan Mengenai Identifikasi Femme, Butch,
     Andro, dan No Label
            Berbeda dengan weblog milik L-M, yang dengan gamb-
     lang menjelaskan bahwa mereka adalah no label, A tidak secara
     gamblang menjelaskan identitas dirinya dalam kategorisasi
     femme-butch-andro maupun no label. Identifikasi tampak per-
     tama kali melalui pemilihan nama virtual yakni “Alex”. Nama
     “Alex” merupakan kependekan dari Alexander atau Alexan-
     dria, berasal dari bahasa Yunani yang biasanya dihubungkan
     dengan Hera, istri Zeus. Nama ini juga kerap dihubungkan
     dengan Alexander the Great dan kerap dikaitkan dengan ke-
     beranian dan kekuatan fisik. “Alex” merupakan nama untuk
     unisex yang umum dipakai baik bagi laki-laki maupun perem-
     puan (http://www.wikipedia.org). Nama ini kemudian men-
                      Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011          27
Ari Setyorini

     jadi penanda akan identifikasi Alex sebagai “in-betweeness”’.
     Perempuan (yang disimbolkan melalui Hera) yang memiliki
     sifat maskulin sebagaimana Alexander the Great.
            Pada beberapa post, dia menggambarkan isu identifikasi
     lesbian ini, namun tidak mengategorikan dirinya ke dalam salah
     satunya. Alex menyoroti identifikasi tersebut melalui sosok idola
     yang dinilainya mewakili ketertarikan dia terhadap perempuan
     yang maskulin. Misalnya, ketika dia menggambarkan artis-artis
     perempuan yang berperan sebagai jagoan, dan dinilainya sebagai
     sosok perempuan yang menarik. Dia menulis, “… temukan
     perempuan-perempuan jagoan ini, lalu nikmati pesta mata bersama
     mereka. Perempuan-perempuan cantik, berotak, berani, berkepribadian
     kuat, dan jagoan di antara jagoan.” (“10 Cewek /Jagoan dalam Film
     Sci-Fi/ Fantasi,” 2008).
            Hal menarik untuk dicermati adalah pilihan kategori
     terhadap perempuan idola bagi A adalah cantik, berotak,
     berani, berkepribadian kuat, dan jagoan di antara jagoan.
     Kategori perempuan idola ini menunjukkan perpaduan
     antara maskulinitas dan feminitas dalam sosok perempuan.
     Cantik merupakan kata sifat yang lekat dengan femininitas
     perempuan. Sementara, diksi berotak, berani, berkepribadian
     kuat, dan jagoan adalah penanda bagi maskulinitas. Perempuan
     yang menarik bagi A adalah perpaduan antara feminin dan
     maskulin. Bahkan A kemudian menyebut beberapa karakter
     perempuan jagoan yang merupakan idola dirinya, misalnya,
     Lara Croft (karakter yang diperankan oleh Angelina Jolie
     dalam film Tomb Rider), Trinity (karakter yang diperankan
     oleh Carrie Anne Moss dalam The Matrix), Keira Knightley
     (karakter yang diperankan oleh Elizabeth Swann dalam Pirates
     of Carribean), Mystique (karakter yang diperankan oleh Rebecca
     Rojimn dalam X-men), Alice (karakter yang diperankan oleh
     Milla Jovovitch dalam Resident Evil), Sarah Connor (karakter
     yang diperankan oleh Linda Hamilton dalam Terminator), dan
     Princess Leila Organa (karakter dalam Star Wars).
            Hal yang menarik, A memberikan penjelasan pada
     masing-masing karakter berkaitan dengan maskulinitas para
     karakter perempuan jagoan tersebut. Pada karater Lara Croft,
     Alex menilai sosok tersebut menjadi idola bagi kebanyakan
     lesbian. Fisiknya membuat Jolie menjadi idola. Dia men-
     jelaskan, “ … melihat payudara 36 DD-nya Lara Croft menjadi
28   Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
                             di Indonesia
    pemandangan mengasyikan tersendiri” (Ibid.). Pada konteks ini,
    pendapat Alex menyerupai male-gaze karena melihat sosok
    Lara Croft berdasarkan tubuhnya yang menarik secara sek-
    sual.
           Karakter Knightley diidolakan oleh Alex karena “…
    cantik, cerdas, jagoan, dan tidak menye-menye atau manja.” Me-
    narik ketika A menjelaskan karakter jagoan yang disebutnya
    adalaha cantik (penanda bagi femininitas), akan tetapi sekali-
    gus dengan karakter tidak menye-menye atau manja. Kata sifat
    menye-menye atau manja biasanya dilekatkan sebagai peri-
    laku perempuan. A menolak karakter tersebut sebagai karak-
    ter jagoan perempuan. A melakukan pemilihan atas penanda
    femininitas. Penanda mana yang harus dimiliki sebagai jago-
    an perempuan yang diidolakannya, serta penanda feminini-
    tas mana yang seharusnya tidak dilekatkan pada sosok idola
    tersebut.
           A juga menggambarkan beberapa adegan yang diper-
    ankan oleh karakter tersebut yang sedikit banyak meng-
    gambarkan identifikasi dirinya. Dia menyukai adegan yang
    dilakukan oleh Sarah Connor (Linda Hamilton) ketika menem-
    bakkan senapan. Dia menjelaskan bahwa tampilan Connor
    saat itu sangatlah andro. Andro merupakan identifikasi yang
    digunakan untuk menunjukkan pembagian peran yang sama
    dalam karakter maskulin dan feminin pada lesbian. Istilah ini
    berasal dari bahasa Yunani. Dalam konteks identitas gender,
    androgini adalah orang yang tidak sepenuhnya cocok den-
    gan peranan gender maskulin dan feminin yang tipikal da-
    lam masyarakat. Mereka menggambarkan dirinya di antara
    laki-laki dan perempuan atau sama sekali tidak bergender
    (Serean, 2005).
           Identifikasi identitas memang tak begitu tampak da-
    lam weblog RB ini. Hanya saja, A kerap kali mengambarkan
    ketidaktertarikannya terhadap femme. Seperti dijelaskannya,

           Aku ingin perempuan yang bisa membaca peta, karena
           aku bisa membuatmu tersesat. Aku bisa menunjukkan
           jalan padamu, tapi kamu yang harus menyetiriku sepa-
           njang jalan. Dan di saat-saat tegang, aku nggak mau
           perempuan femme kelemer-kelemer pemarah... aku mau
           kamu, “my butch”, yg tegas dan berwibawa, hahaha. :)
                     Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011          29
Ari Setyorini

          (“Pasangan yang Sempurna,” 2008)

             “Membaca peta”, “menyetir”, serta “tegas dan ber-
     wibawa” adalah penanda bagi maskulinitas, atau dalam
     identifikasi lesbian merupakan penanda bagi butch. Hal ini,
     pada satu sisi dapat diartikan bahwa A adalah seorang femme
     (karena memiliki ketertarikan pada butch). Akan tetapi, se-
     baliknya, hal tersebut juga dapat diartikan bahwa A adalah
     seorang butch, karena tidak menyukai identifikasi femme. Ba-
     gaimanapun juga, hal ini menjelaskan bahwa persoalan iden-
     titas adalah persoalan yang tidak akan pernah pasti.
            Kecairan identitas A, bagi sebagian orang, membuat-
     nya dikategorikan sebagai andro. Akan tetapi, A sendiri justru
     tidak dengan jelas menyebut dirinya sebagai androgini. Pada
     konteks ini, sebagai lesbian yang merupakan negasi dari hete-
     ro, A telah menunjukkan instabilitas atas heteronormativitas.
     Sementara dalam dunia lesbian sendiri, A juga menunjuk-
     kan bahwa identifikasi atas butch-femme-andro-no label justru
     hanya akan mereduksi instabilitas gender dan seksualitas itu
     sendiri. Tak ada identifikasi yang pasti atas identitas gender
     dan seksualitas individu. Penjelasan lebih lanjut dipaparkan
     dalam subjudul berikut.

          B. 1. 1 Performansi Penampilan dan Fisik
                 A adalah lesbian yang telah out of the closet baik
          pada keluarganya maupun pada teman-temannya.
          Meski demikian, bagi sebagian temannya, penampilan
          sebagai penanda identitas A tidak menunjukkan identi-
          fikasi tersebut. Sebagaimana diungkapkan A,

                Dari segi penampilan saya bukan tipe “bapak-ba-
                pak”, demikian teman-teman straight saya sering
                menyebut mereka yang “butch”, …karena menu-
                rut mereka saya tipe lesbian yang bisa “menya-
                mar” di antara manusia hetero (“Opini: To Out or
                Not to Out,” 2006).

                A memang tidak menunjukkan secara spesifik
          penampilan dan fisiknya melalui deskripsi. Namun,
          dari post di atas, sedikit banyak diketahui bahwa pe-
30   Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
                             di Indonesia
           nampilan A adalah tidak maskulin seperti butch. Hal
           ini menegaskan kembali bahwa apa yang disebut gen-
           der adalah performativitas. Ketika lesbian, bagi teman-
           teman hetero A, diidentifikasi melalui penampilan
           dengan tipe “bapak-bapak”, justru hal tersebut tidak
           tampak pada A. Ketika perfomativitas A “hanya” se-
           bagaimana perempuan hetero lainnya, maka identitas
           yang melekat padanya tak ubahnya seperti perempuan
           lain, perempuan “normal”. Penampilan A sebagaimana
           perempuan hetero lainnya membuatnya dapat “me-
           nyamar” sebagai manusia hetero (namun senyatanya
           A lebih memilih untuk out). “Menyamar” merupakan
           aksi menyaru, mengubah rupa (tidak memperlihatkan
           keadaan yang sebenarnya) (http://www.artikata.com).
           Aksi ini menurut Foucault menjadi sebuah teknologi
           diri, sebuah strategi untuk memproduksi diri sesuai
           dengan pengetahuan kita akan diri kita sendiri, strategi
           yang memungkinkan kita untuk memilih bagaimana
           kita hendak menampilkan diri di antara berbagai pili-
           han. Karenanya, seseorang bisa saja menampilkan diri
           mereka tidak sesuai dengan kenyataannya. Pemakaian
           kata “menyamar” menunjukkan bagaimana sebenarnya
           individu “hanya” teridentifikasi melalui tampilan-
           tampilan yang tampak pada tubuh sehingga memung-
           kinkan individu untuk memperformatifkan penampi-
           lan yang tidak sesuai dengan identitas diri mereka yang
           “sebenarnya” (Gauntlet 2002, 128).
                  Penampilan sebagai penanda gender juga
           dipertanyakan oleh A ketika membandingkan identitas
           perempuan tomboy dengan lesbian. A menulis, “…
           perempuan yang mengenakan kemeja, jins, rambut cepak
           paling-paling hanya dibilang tomboi, tidak langsung dicap
           lesbian” ( “Opini: Watch Your Step, How Far Can You
           Go?” 2006). Penanda identitas melalui penampilan
           adalah hal yang dapat dimanipulasi. Jika perempuan
           berdandan a la laki-laki dengan mengenakan kemeja,
           jeans, dan berpotongan rambut cepak, maka tidak
           lantas perempuan tersebut disebut butch atau lesbian.
           Identifikasi atas perempuan tersebut hanyalah
           disebut sebagai perempuan tomboy, tentunya dengan
                     Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011          31
Ari Setyorini

          menempatkan identitas seksual mereka sebagai
          heteroseksual. Identifikasi gender dan seksualitas ini,
          sekali lagi, hanya merupakan persoalan performativitas
          melalui appearance of substance (Butler 1990, 141).
          Bedanya, jika lesbian memparodikan apa yang dianggap
          normativitas atas gender dan seksualitas, sebaliknya,
          perempuan heteroseksual menampilkan identitas
          mereka sesuai dengan normativitas yang telah ada.
          Sebagaimana yang ditegaskan Butler (Ibid.),

                That gender reality is created through sustained social
                performances means the very notions of an essential
                sex and a true or abiding masculinity and femininity
                are also constituted as part of the strategy that conceals
                gender performative’s character and the performative
                possibilities for proliferating gender configurations
                outside the restricting frames of masculinist domina-
                tion and compulsory of heterosexuality.

                Hanya saja, kerap kali yang terjadi ketika seorang
          perempuan menunjukkan ketidaksesuaian antara gen-
          der dan seksualitas, antara penampilan tubuh dan kon-
          struksi identitas, antara jenis kelamin dan pilihan seksu-
          al, maka yang muncul adalah pelabelan abnormal pada
          perempuan tersebut. Misalnya, melalui pelabelan tom-
          boy, nonkonfromitas atas penampilan tubuh dan gen-
          der dinilai sebagai sebuah abnormalitas, bahwa perem-
          puan tersebut gagal menjadi “perempuan sebenarnya”,
          gagal menunjukkan femininitas dirinya melalui pe-
          nampilan. Karenanya, dia disebut perempuan tomboy,
          bukan “perempuan” tanpa embel-embel apapun di be-
          lakangnya. Akan tetapi, identifikasi sebagai perempuan
          tomboy lebih bisa diterima bagi masyarakat daripada
          lesbian. Preferensi seksualitas tomboy terhadap laki-
          laki yang bagi masyarakat dianggap normal membuat-
          nya masih dicap “normal”. Beda halnya dengan lesbian,
          meskipun gender mereka menunjukkan normativitas
          femininitas, namun jika preferensi seksualitas mereka
          tidak sesuai dengan heteronormativitas, maka punish-
          ment masyarakat akan berlaku pada mereka.
32   Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
                             di Indonesia

           B. 1. 2 Perilaku dan Peran
                  Tampilan tubuh memang kerap kali menjadi pen-
           anda identitas gender seseorang. Diceritakan bagaima-
           na gesture tubuh menjadi penanda identitas individu,

                 “Kenapa sih kamu kalau berdiri mengangkang
                 begitu? Apa itu ciri khas lesbi? Jadi inget si xxx,
                 yang kalau jalan keliatan lesbi banget ya? Dia
                 keliatan lesbi dari cara jalannya... sama kaya si
                 xyz” … cara jalan saya tidak bergaya “lesbi”. Tapi
                 cara berdirinya, iya. Waks, pikir saya, lebih parah
                 lagi dong. Belum jalan aja, udah ketauan. …
                 partner saya menjelaskan lagi tentang cara berjalan
                 “mengayun” ala lesbian. Dan dia menambahkan
                 gerakan-gerakan seperti menyilangkan tangan di
                 depan dada atau memasukkan tangan ke saku
                 celana yang sering dilakukan lesbian. ... Ayunan
                 langkah, bahasa tubuh, serta gerakan-gerakan
                 tanpa sadar yang mereka lakukan (“Opini: To Out
                 or Not to Out,” 2006).

                 A menceritakan kometar Laksmi, partnernya,
           mengenai “ciri khas” lesbian yang tampak dari gesture
           mereka. “Berdiri ngangkang” adalah gesture yang
           bagi Laksmi sering dilakukan oleh lesbian. Berdiri
           dengan cara seperti ini biasanya dilakukan untuk
           menunjukkan maskulinitas. Selanjutnya, dijelaskan
           oleh A pandangan Laksmi mengenai cara berjalan
           lesbian yang “mengayun” sembari “menyilangkan
           tangan di depan dada” atau “memasukkan tangan ke
           saku celana”. Cara jalan tersebut tidak menunjukkan
           femininitas perempuan. “Menyilangkan tangan di
           depan dada” seolah-olah menutupi bagian tubuh
           penanda perempuan, yakni payudara. Leksikon “dada”
           lebih dipilih daripada “payudara” karena menunjukkan
           netralitas. Maksudnya, leksikon “payudara” memang
           selalu diidentikkan dengan perempuan, karena selain
           sebagai simbol seksualitas juga merupakan simbol
           kewanitaan (perempuan menyusui bayi melalui
                     Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011          33
Ari Setyorini

          payudara). Namun, dengan menggunakan “dada”,
          A menunjukkan netralitas atas makna bagian depan
          tubuh perempuan ini. Dada memiliki makna unisex.
          Setiap anatomi tubuh manusia memiliki bagian yang
          disebut dada.
                Akan tetapi pada konteks ini, diksi dada terkait
          dengan sesuatu yang ingin ditutupi. Ini kemudian
          menjadi sebuah ironi karena dalam rangkaian kata-
          kata tersebut terdapat ambiguitas. Kalimat tersebut
          tidak hendak menunjukkan netralitas. Cara jalan—
          menyilangkan tangan di depan dada, menggambarkan
          ketidaknyamaan terhadap nonkonfromitas gender dan
          seksualitas lesbian atas penanda-penanda tubuh yang
          melekat pada diri mereka, yakni seksualitas dan wom-
          anhood yang ingin ditutupi oleh perempuan tersebut.
          Perilaku ini kerap dilakukan oleh lesbian karena non-
          konformitas tersebut adalah patologi bagi budaya het-
          eronormativitas. Perilaku-perilaku tersebut, kemudian
          bagi Laksmi banyak ditampilkan oleh lesbian.
                Anggapan Laksmi tersebut membuat A memikirkan
          apakah ketidaksesuaian penampilan perempuan terhadap
          normativitas femininitas serta-merta menunjukkan
          identitas perempuan sebagai lesbian? A menulis,

               Seberapa jauh keakraban sesama perempuan
               masih dinilai wajar?” Saya selalu merasa tingkat
               toleransi keakraban terhadap sesama perempuan
               jauuuuh lebih tinggi terhadap pasangan lelaki. Di
               tempat-tempat umum seperti di mal, kita sering
               melihat sesama perempuan bergandengan tangan,
               atau bahkan berpelukan tanpa merasa aneh atau
               menganggap mereka lesbian. Coba bayangkan
               dua lelaki yang bergandengan tangan... ugh, pasti
               dibilang gay, homo, atau banci atau apalah.... (Ibid.).

                Kutipan di atas menjelaskan bahwa yang disebut
          sebagai identitas, apakah perempuan tersebut dinilai
          hetero atau lesbian, sangatlah cair batasannya. Buda-
          ya heteronormatif, bagi A, lebih permisif bagi sesama
          perempuan untuk bertingkah laku akrab. A mencon-
34   Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
                             di Indonesia
           tohkan bergandengan tangan atau berpelukan antar
           perempuan adalah wajar. Beda halnya jika hal tersebut
           dilakukan oleh laki-laki, serta-merta laki-laki tersebut
           dianggap gay atau banci, atau singkatnya, tidak menun-
           jukkan maskulinitas.
                 Sebagaimana L-M pada weblog FD, peran yang
           berlaku dalam partnership A dan Laksmi tidak menun-
           jukkan pembagian peran yang kaku sebagaimana ang-
           gapan mengenai butch-femme. Identifikasi peran antara
           butch dan femme biasanya memisahkan keduanya dalam
           lingkup dikotomis. Butch cenderung dianggap memiliki
           peran aktif dan publik, sementara femme sebaliknya. A,
           Laksmi dan kedua anak biologis Laksmi hidup bersama
           seatap. Baik A maupun Laksmi sama-sama memiliki
           peran ganda, sebagai ibu sekaligus ayah. Jika Laksmi,
           sebagai ibu biologis, dipanggil dengan sebutan mami,
           maka A dipanggil sebagai tante mami. Keduanya sa-
           ma-sama berperan dalam mengasuh anak, memasak,
           mengurus rumah, sebagaimana peran sosial yang oleh
           masyarakat dilekatkan pada perempuan; juga berperan
           mencari nafkah untuk kehidupan mereka bersama. Na-
           mun, tak dipungkiri sisi femininitas A dan Laksmi lebih
           dominan dalam partnership yang mereka jalani. Diceri-
           takan A (“Hari Minggu,” 2009),

                 Inilah parahnya memiliki dua mami, karena dua-
                 duanya cenderung menjadi cerewet. Suara femi-
                 nin yang khas memenuhi udara sampai-sampai
                 aku terkadang tidak tahan. “Say, kayaknya harus
                 ada yang bersikap seperti para ayah deh, bersikap
                 seperti bapak-bapak kebanyakan.” Kami berdua
                 tertawa karena sama-sama menyadari kami sulit
                 bersikap seperti “bapak-bapak” dalam satu kelu-
                 arga.

                  Kalimat “…harus ada yang bersikap seperti para ayah
           deh, bersikap seperti bapak-bapak kebanyakan”. Kata “seper-
           ti” menunjukkan perbandingan langsung (simile) antara
           perilaku dan peran “bapak” dan “ibu”. Menariknya,
           perbandingan tersebut menunjukkan bahwa dikotomi
                     Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011          35
Ari Setyorini

          bapak-ibu, maskulin-feminin “hanya” merupakan aksi
          tiru, di mana A dan Laksmi dapat saja meniru perilaku
          sebagaimananya figur “bapak” yang maskulin. Dengan
          demikian, perkara gender dalam pembagian rumah
          tangga merupakan perkara performativitas.

     B. 2 Aktivitas Seksual
           A hidup seatap dengan partnernya, Laksmi. Hal tersebut
     sedikit banyak berengaruh terhadap performativitas aktivitas
     seksual mereka di weblog. Hal ini tampak dari sedikitnya narasi
     mengenai aktivitas seksual mereka di weblog (jika dibandingkan
     dengan narasi aktivitas seksual L-M). Ini dapat dimaknai
     bahwa jarak menjadi salah satu penentu dalam hubungan
     seksualitas lesbian. Akan tetapi, jumlah yang sedikit tersebut
     tetap menunjukkan bahwa aktivitas seksual yang dilakukan A
     dan Laksmi sebagai partner lesbian, di mana dikotomisasi penis-
     vagina tidak melulu menjadi standar akan seksualitas karena
     melalui aktivitas seksual lesbian, apa yang dianggap maskulin
     (agresif) dan feminin (pasif) menjadi sebuah permainan
     seksualitas belaka. Seperti yang ditampilkan berikut,

          Aku berguling di ranjang sementara jari-jari halusmu
          menjelajahi pundak telanjangku. Kau mendesakku –
          kelembutan yang penuh tenaga, mengunci tubuhku di
          sepanjang sisi sampai aku tidak mampu bergerak da-
          lam pelukanmu (“Tanda,” 2009).

           Kutipan post tersebut menggambarkan aktivitas seksual
     yang dilakukan oleh A dan partnernya. Kalimat “kelembutan
     yang penuh tenaga, mengunci tubuhku di sepanjang sisi sampai
     aku tidak mampu bergerak dalam pelukanmu” menggambarkan
     aktivitas seksual lesbian, di mana leksikon “kelembutan”
     digabungkan dengan “penuh tenaga,” feminin digabungkan
     dengan maskulin. Post ini selanjutnya menceritakan,

          Aku pernah meninggalkan noda lipstik di bahu keme-
          jamu kala kita berpelukan. Noda merah jambu tam-
          pak samar-samar sebenarnya, kecuali kalau seseorang
          berdiri agak dekat denganmu. Dalam hati aku berharap
          seorang teman kantormu memperhatikan dan mem-
36   Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
                             di Indonesia
           beri komentar isengnya. .… Komentar yang sudah pasti
           akan mengantarkanku sebagai si tertuduh dengan rasa
           yang menyenangkan bagi kita berdua (Ibid.).

           Lipstik merupakan penanda bagi femininitas perempuan.
    Namun dalam konteks ini, lipstik digabungkan dengan kata
    “noda” yang memiliki makna negatif. “Noda lipstik” kemudian
    menjadi penjelas bagi aktivitas seksual A yang dilakukan dengan
    partner-nya. A mengharapkan noda lipstik tersebut dilihat oleh
    teman-teman partner A. Ini menunjukkan bahwa bagi A, aktivitas
    seksual lesbian yang dilakukannya dengan partner-nya adalah
    tidak tabu untuk ditutup-tutupi. Ia bahkan mengharapkan
    komentar orang lain atas aktivitas seksual mereka. Hal ini
    tentunya bertentangan dengan budaya dominan, di mana
    seksualitas adalah hal yang tersembunyi dan ditutup-tutupi.
           Selanjutnya, A menceritakan mengenai hobinya
    terhadap film bertema seksualitas. Diceritakannya mengenai
    pendapatnya terhadap film jenis ini, “Sejatinya film semacam
    ini harus diperlakukan sama seperti jenis hiburan lain yang
    nggak boleh dibuat asal-asalan dan harus digarap dengan
    serius” (“Menonton Film Dewasa,” 2009). Pada titik ini,
    A menilai bahwa film seksual ini seharusnya tidak hanya
    diperlakukan sebagai film kacangan. Tidak hanya sebagai film
    kacangan, film seksual ini juga kerap dilekati dengan penanda
    negatif, ini tampak pada berbagai penyebutan terhadap
    film seksual ini pada post A, misalnya, bokep, film porno
    atau film dewasa. Pilihan kata terakhir lebih menunjukkan
    denotatif, yakni menunjukkan segmentasi terhadap film
    tersebut. Sementara bokep merupakan kata gaul yang berasal
    dari blue film (http://www.kamusgaul.com/). Blue dalam
    blue film diartikan sebagai suggestive of sexual improperty.
    Istilah ini dianggap senada dengan penyebutan film porno
    (Encarta Dictionary. 2008), di mana makna yang diciptakan
    cenderung berkonotasi negatif. Porno berasal dari kata porn
    yang merupakan kependekan dari pornography yang berarti
    “(dissaproving) videos that describe or show naked people and
    sexual acts in order to make people feel sexually excited, especially
    in a way that many other people find offensive” (Welhmeier, Sally
    (ed.) 2010). Ini berarti film porno dikaitkan dengan perilaku
    yang “menyimpang” karena melalui film tersebut selain
                     Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011             37
Ari Setyorini

     bertujuan sebagai hiburan (to make people sexually excited) juga
     sekaligus membuat orang lain terganggu karena tayangan
     tersebut yang dianggap menjijikkan (offensive). Pornografi
     sendiri oleh Undang-Undang Pornografi didefinisikan sebagai
     substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat
     untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengekspolitasi
     seksual, kecabulan dan/atau erotika.
           Seksualitas memang dibingkai menjadi sebuah hal ter-
     tutup oleh normativitas, bukan menjadi tontonan sebagaima-
     na film. Akibatnya, orang yang menonton jenis film ini akan
     merasa bersalah sebagaimana diceritakan oleh A yang “pernah
     gara-gara berusaha “insaf” akibat memandang film porno secara
     salah”. Penggunaan kata insaf menegaskan bagaimana film
     seksualitas ini dianggap sebagai hal buruk yang jika orang
     menontonnya dianggap melakukan sebuah dosa.

     B. 3. Pernikahan
            A menceritakan bahwa ia dan partnernya, Laksmi,
     hidup bersama. Partner A, Laksmi, adalah perempuan lesbian
     yang bercerai dari suaminya dan memiliki 2 orang anak dari
     pernikahan heteroseksual yang dijalani sebelumnya. Seba-
     gaimana partnership lesbian, pernikahan secara hukum meru-
     pakan sebuah hal yang hampir mustahil terjadi di Indonesia.
     Dituliskan oleh A (“Opini: Happy Ending = Utopia?,” 2009)

           Dalam dunia utopia versi saya, dengan atau tanpa legali-
           tas pernikahan sesama jenis, seharusnya kita bisa punya
           hak untuk bersama orang yang kita cintai. Namun jelas
           itu cuma utopia. Kita hidup berpagarkan norma-norma
           yang seharusnya jadi penjaga diri kita. Atau agama,
           misalnya, yang jadi pondasi hidup kita. Atau keluarga
           yang jadi atap dalam kehidupan kita. Dan semuanya
           tentu saja tidak bisa tinggalkan begitu saja. Untuk bisa
           hidup bersama orang yang kita cintai, sebagai homo/
           lesbi, banyak dari kita yang harus meninggalkan rumah
           yang nyaman tersebut, yang selama ini jadi tempat kita
           bernaung. Jelas tidak banyak yang memilih untuk itu.

          A, di sini, menyoroti mengenai hak individu untuk
     hidup bersama individu lain yang mereka cintai. A menggunakan
38   Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
                             di Indonesia
    kalimat syarat, “dengan atau tanpa legalitas pernikahan sesama
    jenis”, untuk menjelaskan bahwa A cukup terbuka untuk sebuah
    hubungan hidup bersama tanpa adanya syarat pernikahan
    sekalipun. Inti dari yang hendak disampaikan oleh A adalah
    bahwa setiap individu, mengesampingkan jenis kelamin mereka,
    berhak untuk hidup bersama di bawah pernikahan maupun
    tanpa pernikahan. A menjelaskan institusi yang menentukan
    norma-norma di mana pernikahan dianggap sah dilakukan atau
    tidak sah dilakukan, yakni institusi agama dan keluarga.
           Selanjutnya diceritakan A,

           Kebanyakan perempuan (lesbian) memutuskan menikah
           karena tidak tahan atas desakan orangtua. Mungkin 9 dari
           10 lesbian yang menikah dengan laki2 melakukannya
           karena merasa terdesak ...Menikah adalah kesempatan
           untuk melepaskan diri dari orangtua. Melepaskan
           diri dari tekanan/ocehan/desakan dari orangtua yang
           bertanya-tanya kenapa dia tidak menikah/kapan akan
           menikah dst,dsb. Tapi apakah menikah dengan laki2
           adalah solusinya? Mungkin jawabannya ya, untuk
           sebagian perempuan. Atau ini justru lolos dari mulut
           singa masuk ke mulut buaya? (Ibid.).

          A mengasumsikan bahwa sembilan dari sepuluh lesbian
    menikah karena terpaksa, tidak tahan akan desakan keluarga
    yang bertanya mengenai rencana pernikahan. Pernikahan
    dengan laki-laki bagi lesbian diumpamakan oleh A seperti “lolos
    dari mulut singa, masuk ke mulut buaya”. Maksudnya, lesbian
    tersebut lolos dari desakan menikah atau bahkan lolos dari
    pencitraan sebagai “perawan tua”, tapi pada saat yang sama
    mereka justru mengalami subordinasi dari pernikahan yang
    tidak sesuai dengan identitas diri mereka yang “sebenarnya”.
    Akibatnya, perempuan seolah-olah memang wajib menikah
    (tentunya secara heteroseksual). Lesbian pada konteks ini tetap
    saja menerima beban tubuh sosial perempuan.

    Cyberlesbian sebagai Diskursus Kreatif dan Media Trans-
    formasi atas Heteronormativitas
         Weblog memberikan sebuah dunia baru bagi lesbian
    untuk memperformativisasi identitas mereka melalui narasi
                     Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011          39
Ari Setyorini

     diri. Media ini memberikan keleluasaan bagi lesbian untuk
     mempermainkan kuasa atas pengetahuan yang dimilikinya
     untuk membentuk counter wacana tanpa takut identitas off
     line mereka diketahui oleh masyarakat online.
            Dalam konteks L-M dan A, mereka mereproduksi iden-
     titas diri mereka menjadi dua identitas yang berbeda sesuai
     dengan space yang mereka hadapi, atau mempresentasikan
     ilusi untuk memberikan impresi identitas yang benar terhadap
     audience tertentu jika menyitir pendapat Erving Goffman
     (via Gauntlett 2002). Identitas ganda yang mereka tampilkan
     berdasarkan impresi identitas “benar” yang diharapkan audi-
     ence, membuat L-M menampilkan identitas ilusi dalam dunia
     off line agar tidak dianggap liyan oleh masyarakat heterosek-
     sual. Sementara, mereka menampilkan identitas lain sebagai
     lesbian pada dunia online karena anonimitas yang diberikan
     oleh dunia tersebut membuat mereka leluasa menarasikan
     diri dengan mereproduksi identitas ilusi di dunia off line dan
     membentuk identitas baru di dunia anonimitas.
            Hal ini sejalan dengan ide Foucault (1990 dan 1986) atas
     teknologi diri, di mana dijelaskannya bagaimana diri bertin-
     dak terhadap praktik ethics –standar yang menjadikan diri
     sebagai sosok tertentu guna digambarkan kepada khalayak.
     Narasi diri sebagai lesbian pada weblog ini sebagai teknologi
     berstrategi yang memungkinkan subyek untuk memilih ba-
     gaimana hendak menampilkan diri mereka, berbeda dengan
     narasi yang diproduksi oleh diskursus heteroseksual. Di sini
     diketahui bahwa subyek adalah aktif, tidak sebagaimana kon-
     sep Althusser mengenai agen yang hanya berperan sebagai
     wayang yang menerima perannya karena tekanan dari apar-
     tus-aparatus.
            Performativitas identitas lesbian yang L-M dan A tampil-
     kan di weblog menunjukkan bahwa identitas gender dan sek-
     sualitas apa pun tak lebih dari aksi permainan “tampilan”
     yang diulang-ulang. Bahwa tak ada refleksi moralitas atau
     pun normalitas dalam identitas lesbian, sebagaimana angga-
     pan diskursus dominan. Seksualitas lesbian bagi L-M dan A
     tidak merupakan sebuah abnormalitas karena pada dasarnya
     L-M dan A “mengembalikan” fungsi seksualitas sebagai plea-
     sure. Namun, sebagaimana pilihan bebas yang terbatas da-
     lam ide perfomativitas, hal ini sekaligus menunjukkan bahwa
40   Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
                             di Indonesia
    agen memang dapat melakukan reproduksi identitas yang
    berbeda dari diskursus dominan, tapi yang patut diingat ada-
    lah bawa normativitas tersebut tetap ada. Beberapa narasi
    mereka masih menunjukkan betapa hegemoni heteroseksual
    patriarki masih mempengaruhi perilaku mereka.
           Bagaimanapun juga, L-M dan A merupakan produser
    kreatif atas wacana lesbian di mana mereka mereproduksi
    dan mengombinasikan wacana heteronormativitas, hingga
    wacana tersebut tidak menjadi satu-satunya wacana domi-
    nan dalam weblog. Diskursus lesbian yang distereotipkan oleh
    rezim kuasa ditransformasikan oleh L-M melalui sebuah ide
    bahwa perkara gender dan seksualitas hanyalah bagaimana
    perkara aksi performatif antara tubuh, penampilan, seksu-
    alitas, dan identitas-identitas lainnya. Karena aksi tersebut
    performatif, maka identitas bukanlah hal yang tetap. Pada
    akhirnya, heteronormativitas juga merupakan bentuk dari
    performativitas saja. Dua identitas yang mereka ciptakan
    merupakan sebuah aksi mockering akan anggapan adanya
    satu identitas tunggal.
           Narasi diri pada weblog merupakan sebuah “pengakuan
    dosa”, sebagaimana diceritakan Foucault dalam History of
    Sexuality bagaimana gereja memberlakukan pengakuan dosa
    akan seksualitas individu. Namun, berbeda dengan Foucault
    yang menilai pengakuan dosa tersebut sebagai sebuah hal
    negatif, narasi diri pada weblog ini malahan menunjukkan ba-
    gaimana agen-agen dapat mentranformasikan identitas gen-
    der lesbian sebagai identitas yang berbeda dari anggapan nor-
    matif. Berbeda dengan konsep agen Althusser di mana tiap
    agen seolah-olah hanya melakoni perannya sebagai wayang
    dari aparatus-aparatus ideologi dominan, Foucault mela-
    lui teknologi diri dan perfomativitas Butler menyebut agen
    memiliki kemampuan untuk melakukan “speaking back” ini
    sebagai strategi. Agen memiliki kemampuan untuk melaku-
    kan tindakan yang dilingkupi dengan pengetahuan. L-M dan
    A memiliki kuasa untuk mereproduksi narasi diri mereka
    melalui “pengakuan dosa”, yang justru melawan anggapan
    negatif atas diskursus heteroseksual. Melalui FD dan RB,
    L-M dan A sebagai agen tahu dengan benar apa yang mereka
    lakukan, juga paham benar bagaimana normativitas sosial
    masyarakat dan aturan main di mana mereka dapat melaku-
                     Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011          41
Ari Setyorini

      kan confession dengan keluar dari kloset di weblog, speaking
      back terhadap homofobia dengan mereproduksi diskursus
      normatif.
            Resistensi atas kuasa/pengetahuan dominan begitu
      didukung dalam karakteristik weblog, di mana blogger dimung-
      kinkan melakukan navigasi atas pengetahuan apa yang hen-
      dak dimunculkan atau pengetahuan mana yang hendak dis-
      embunyikan. Ini sebagaimana fungsi censorship yang dimiliki
      oleh rezim kebenaran atas diskursus normatif. Misalnya tam-
      pak pada kemungkinan bagi L-M dan A untuk memilih ko-
      mentar apa yang akan dimunculkan atas post dalam narasi
      mereka. Ini merupakan bentuk empowerment karena mereka
      dapat menampilkan identitas mereka di luar kontrol media
      konvensional, yang hampir dapat dipastikan penuh dengan
      editing dan censoring dari media dan rezim kebenaran lainnya.
      Inilah alasan mengapa weblog sebagai ruang dalam proses
      membentuk identitas baru yang berbeda dari identitas sebel-
      umnya menjadi penting.

ARI SETYORINI: Alumni Kajian Budaya dan Media, Pasca-Sarjana
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Dosen Muda di Universitas
Muhammadiyah Surabaya.


RUJUKAN
Alimi, M. Yasir. 2004. Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: dari Wacana
       Bangsa hingga Wacana Agama. Yogyakarta: LKiS.
Althusser, Louis. “Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes
       towards an Investigation).” dalam Douglass Kellner. (ed.) 2006.
       Media and Cultural Studies. Cornwall: Blackwell Publishing Ltd.
Arimbi, Indriaswari D. S dan Sri Sulistyani (eds.). 1998. Perempuan
       dan Politik Tubuh Fantastis. Jogjakarta: Kanisius.
Beasley, Chris. 2005. Gender & Sexuality: Chritical Theories, Critical Thinkers.
       London: Sage Publication.
Bell, David dan Barbara M. Kennedy (eds.). 2000. The Cybercultures
       Reader. London dan New York: Routledge.
Blackburn, Susan. 2004. Women and the State in Modern Indonesia.

42     Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
                              di Indonesia
      Cambridge: Cambridge University Press.
Buletin GN 31/ Tahun 04. 2009. Lesbian Housewife. Surabaya: GAYa
      NUSANTARA.
Butler, Judith. 1990. Gender Trouble: Feminism and the Subversion of
      Identity. London dan New York: Routledge.
______________. 1993. Bodies That Matter. New York: Routledge.
______________. 1993. “Critically Queer” dalam GLQ: A Journal of
      Lesbian and Gay Studies . 1.
Bryson, Mary. 2004. When Jill Jack in Queer Women and the Net. Feminist
      Media Studies (Vol. 4, No. 3). New York: Routledge.
Davis, Kathy. 1995. Reshaping the Female Body: the Dilemma of Cosmetic
      Surgery. London dan New York: Routledge.
Fairclough, Norman, 1989. Language and Power. London & New
      York: Longman.
Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender & Transformasi Sosial.
      Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Foucault, Michel. 1978. The History of Sexuality: Volume1 An Intorduction
      (terjemahan dari Histoire de la Sexualite). New York: Random
      House Inc.
______________. 1990. The Use of Pleasure: Volume 2 of the History of
      Sexuality. New York: Vintage Books.
______________. 1986. The Care of The Self: Volume 3 of the History of
      Sexuality. New York: Pantheon Books.
Gauntlett, David. 2002. Media, Gender and Identity. New York:
      Rountledge.
Hall, Stuart dan Paul du Gay (eds.) 1996. Question of Cultural Identity.
      London dan New Delhi: Sage Publication.
Holliday, Ruth. “Performances, Confession, and Identities.” dalam
      Gregory C. Stanzak (ed.). 2007. Visual Research Methods: Image,
      Society, and Representation. London: Sage Publication.
Jeumpa, Bunga dan Ulil. “Quo Vadis Lesbian Indonesia.” dalam Inside
      Indonesia 66. Juni-Juli 2001.
Jagose, Anamarie. 1996. Queer Theory. Melbourne: Melbourne University
                       Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011           43
Ari Setyorini

       Press.
Kadir, Hatib Abdul. 2007. Tangan Kuasa dalam Kelamin. Jogjakarta:
       Insist Press.
Kellner, David. 1995. Media Culture. New York: Routledge.
Mann, Chris dan Fiona Steward. 2000. Internet Communication and
       Qualitative Research. London: Sage Publication.
Mills, Sarah. 2003. Michel Foucault. London dan New York: Routledge.
Munti, Ratna Batara. 2005. Demokrasi Keintiman: Seksualitas di Era Global.
       Yogkayakarta: LKiS.
Noviani, Ratna. 2009. “Performativitas Gender dalam Iklan Kontak
       Jodoh.” dalam Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Kontemporer.
       Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Oetomo, Dede. 2003. Memberi Suara pada yang Bisu, Yogyakarta: Pus-
       taka Marwa.
Rabinow, Paul. Foucault: The Reader. New York: Pantheon Books.
Rubin, Gayle. 1984. “Thinking Sex: Notes for a Radical Theory of the
       Politics of Sexuality.” dalam C.Vance (ed.) Pleasure and Dan-
       ger—Exploring Female Sexuality. Boston: Routledge & Kegan
       Paul.
Sadli, Saparinah. 2010. Berbeda tetapi Setara: Pemikiran tentang
       Kajian Perempuan. Jakarta: Kompas.
Salih, Sarah. 2002. Judith Butler. London dan New York: Routledge.
Serean, Antok. “Androgini sebagai Identitas” dalam Buletin GN
       no.41/ tahun 05.
Wilton, Tamsin. 1995. Lesbian Studies: A Setting Agenda. London
       dan New York: Routledge.




44    Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
Coklat Stroberi: Satu Roman Indonesia
                    dalam Tiga Rasa1


                               Ben Murtagh

Abstrak: Artikel ini memfokuskan pada film Indonesia tahun 2007
berjudul Coklat Stroberi serta novel adaptasi dan video pop yang
menyertainya. Novelnya, ditulis oleh Christian Simamora, dibuat
berdasarkan skenario filmnya. Lagu ‘Di sini Untukmu’ ditulis
khusus untuk film ini, di mana band Ungu membuat penampilan
cameo, sementara video popnya menampilkan banyak adegan dari
film tersebut. Meskipun dalam tahun- tahun terakhir, beberapa
film Indonesia menampilkan karakter gay, film ini penting karena
menampilkan hubungan gay* pada pusat komedi romantis, yang
jelas ditujukan pada penonton muda (17-25 tahun). Coklat Stroberi
tidak dapat disangkal berusaha menunjukkan hubungan sesama
jenis dalam dalam pandangan progresif. Namun, representasi dari
karakter dan akhir film menggarisbawahi sikap ambivalen terhadap
homoseksualitas yang umum dijumpai dalam film-film Indonesia.
Artikel ini memusatkan perhatian pada ketidakpadanan yang
tampak dalam imajinasi filmis mengenai karakter gay dan realita
kehidupan gay sebagaimana terjadi di Indonesia saat ini.

Kata kunci: homoseksualitas, sinema Indonesia, sastra Indonesia,
Indonesia.

Pendahuluan
     Sejak periode sekitar jatuhnya Orde Baru dan revitalisasi in-

1        Untuk diskusi awal singkat dari film ini, lihat Murtagh (2008).
* Keterangan penerjemah: Dalam artikel aslinya, penulis dengan merujuk pada
pendekatan Boellstorff (2005), secara konsisten membedakan konsep gay, lesbian
dan waria sebagai subjek lokal Indonesia (yang dalam artikel aslinya ditulis
dengan huruf miring, sedangkan dalam artikel ini tidak) sebagai berbeda dengan
gay dan lesbian sebagai subjek global atau Barat (yang dalam versi aslinya tidak
dimiringkan hurufnya, sebaliknya dalam artikel ini dimiringkan).
                          Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011               45
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)
Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)

Contenu connexe

En vedette

ZinZin - Tamu Angkasa Luar
ZinZin - Tamu Angkasa LuarZinZin - Tamu Angkasa Luar
ZinZin - Tamu Angkasa LuarNur Agustinus
 
HTML5 Games - Not Just for Gamers
HTML5 Games - Not Just for GamersHTML5 Games - Not Just for Gamers
HTML5 Games - Not Just for GamersRobin Hawkes
 
Hani Terrace
Hani TerraceHani Terrace
Hani Terraceyangbqada
 
chitralada school
chitralada schoolchitralada school
chitralada schoolrpairach
 
Pangkalan Alien di Bulan
Pangkalan Alien di BulanPangkalan Alien di Bulan
Pangkalan Alien di BulanNur Agustinus
 
The Magic of Mentoring
The Magic of MentoringThe Magic of Mentoring
The Magic of MentoringNur Agustinus
 
981金融機構與管理辯論報告(反對方)
981金融機構與管理辯論報告(反對方)981金融機構與管理辯論報告(反對方)
981金融機構與管理辯論報告(反對方)Toomore
 
Tomorrow's Web and Future Technologies - WDC2011
Tomorrow's Web and Future Technologies - WDC2011Tomorrow's Web and Future Technologies - WDC2011
Tomorrow's Web and Future Technologies - WDC2011Robin Hawkes
 
Session2 pl online_course_26_may2011- final
Session2  pl online_course_26_may2011- finalSession2  pl online_course_26_may2011- final
Session2 pl online_course_26_may2011- finalLeslieOflahavan
 
Oscar Gamero Garate - Canciones italianas
Oscar Gamero Garate - Canciones italianasOscar Gamero Garate - Canciones italianas
Oscar Gamero Garate - Canciones italianasmeroga
 
EA Governance as IT Sustainability
EA Governance as IT SustainabilityEA Governance as IT Sustainability
EA Governance as IT SustainabilityEric Stephens
 
HIER SIND YP-U4 BILDER!
HIER SIND YP-U4 BILDER!HIER SIND YP-U4 BILDER!
HIER SIND YP-U4 BILDER!julia135
 
MOSAICA: Semantically Enhanced Multifaceted Collaborative Access to Cultural ...
MOSAICA: Semantically Enhanced Multifaceted Collaborative Access to Cultural ...MOSAICA: Semantically Enhanced Multifaceted Collaborative Access to Cultural ...
MOSAICA: Semantically Enhanced Multifaceted Collaborative Access to Cultural ...Dov Winer
 
Learning sessions #5 pre incubator - BooTown
Learning sessions #5 pre incubator - BooTownLearning sessions #5 pre incubator - BooTown
Learning sessions #5 pre incubator - BooTownjvielman
 
Session4 pl online_course_30_september2011
Session4  pl online_course_30_september2011Session4  pl online_course_30_september2011
Session4 pl online_course_30_september2011LeslieOflahavan
 
Toomore 20130627 Taipei.py
Toomore 20130627 Taipei.pyToomore 20130627 Taipei.py
Toomore 20130627 Taipei.pyToomore
 

En vedette (20)

ZinZin - Tamu Angkasa Luar
ZinZin - Tamu Angkasa LuarZinZin - Tamu Angkasa Luar
ZinZin - Tamu Angkasa Luar
 
May 28 2010
May 28 2010May 28 2010
May 28 2010
 
HTML5 Games - Not Just for Gamers
HTML5 Games - Not Just for GamersHTML5 Games - Not Just for Gamers
HTML5 Games - Not Just for Gamers
 
Hani Terrace
Hani TerraceHani Terrace
Hani Terrace
 
chitralada school
chitralada schoolchitralada school
chitralada school
 
Pangkalan Alien di Bulan
Pangkalan Alien di BulanPangkalan Alien di Bulan
Pangkalan Alien di Bulan
 
The Magic of Mentoring
The Magic of MentoringThe Magic of Mentoring
The Magic of Mentoring
 
981金融機構與管理辯論報告(反對方)
981金融機構與管理辯論報告(反對方)981金融機構與管理辯論報告(反對方)
981金融機構與管理辯論報告(反對方)
 
Tomorrow's Web and Future Technologies - WDC2011
Tomorrow's Web and Future Technologies - WDC2011Tomorrow's Web and Future Technologies - WDC2011
Tomorrow's Web and Future Technologies - WDC2011
 
12 34
12 3412 34
12 34
 
Ettore sottssas
Ettore sottssasEttore sottssas
Ettore sottssas
 
Session2 pl online_course_26_may2011- final
Session2  pl online_course_26_may2011- finalSession2  pl online_course_26_may2011- final
Session2 pl online_course_26_may2011- final
 
Oscar Gamero Garate - Canciones italianas
Oscar Gamero Garate - Canciones italianasOscar Gamero Garate - Canciones italianas
Oscar Gamero Garate - Canciones italianas
 
EA Governance as IT Sustainability
EA Governance as IT SustainabilityEA Governance as IT Sustainability
EA Governance as IT Sustainability
 
Torture Group
Torture GroupTorture Group
Torture Group
 
HIER SIND YP-U4 BILDER!
HIER SIND YP-U4 BILDER!HIER SIND YP-U4 BILDER!
HIER SIND YP-U4 BILDER!
 
MOSAICA: Semantically Enhanced Multifaceted Collaborative Access to Cultural ...
MOSAICA: Semantically Enhanced Multifaceted Collaborative Access to Cultural ...MOSAICA: Semantically Enhanced Multifaceted Collaborative Access to Cultural ...
MOSAICA: Semantically Enhanced Multifaceted Collaborative Access to Cultural ...
 
Learning sessions #5 pre incubator - BooTown
Learning sessions #5 pre incubator - BooTownLearning sessions #5 pre incubator - BooTown
Learning sessions #5 pre incubator - BooTown
 
Session4 pl online_course_30_september2011
Session4  pl online_course_30_september2011Session4  pl online_course_30_september2011
Session4 pl online_course_30_september2011
 
Toomore 20130627 Taipei.py
Toomore 20130627 Taipei.pyToomore 20130627 Taipei.py
Toomore 20130627 Taipei.py
 

Similaire à Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)

Gay archipelago-bahasa-indonesia
Gay archipelago-bahasa-indonesiaGay archipelago-bahasa-indonesia
Gay archipelago-bahasa-indonesiaUmi Zainab
 
Ov zine 1 2015
Ov zine 1 2015Ov zine 1 2015
Ov zine 1 2015Teguh Iman
 
MAKALAH GENDER
MAKALAH GENDERMAKALAH GENDER
MAKALAH GENDERAna Sengga
 
DINAMIKA KELOMPOK - sejarah.pptx
DINAMIKA KELOMPOK - sejarah.pptxDINAMIKA KELOMPOK - sejarah.pptx
DINAMIKA KELOMPOK - sejarah.pptxDadyHidayah
 
Mengapa harus jender dan feminisme
Mengapa harus jender dan feminismeMengapa harus jender dan feminisme
Mengapa harus jender dan feminismeNaira Fiyya
 
Makalah pornografi dan pornoaksi
Makalah pornografi dan pornoaksiMakalah pornografi dan pornoaksi
Makalah pornografi dan pornoaksiAba Abdillah
 
Dilema LGBT dalam Konteks Administrasi Publik Kontemporer
Dilema LGBT dalam Konteks Administrasi Publik KontemporerDilema LGBT dalam Konteks Administrasi Publik Kontemporer
Dilema LGBT dalam Konteks Administrasi Publik KontemporerBrianKurniawan6
 
Agamaketerbukaandandemokrasi 170901055359
Agamaketerbukaandandemokrasi 170901055359Agamaketerbukaandandemokrasi 170901055359
Agamaketerbukaandandemokrasi 170901055359muhammad tarmizi
 
AGAMA, KETERBUKAAN DAN DEMOKRASI : HARAPAN DAN TANTANGAN
AGAMA, KETERBUKAAN DAN DEMOKRASI : HARAPAN DAN TANTANGANAGAMA, KETERBUKAAN DAN DEMOKRASI : HARAPAN DAN TANTANGAN
AGAMA, KETERBUKAAN DAN DEMOKRASI : HARAPAN DAN TANTANGANprimagraphology consulting
 
KONSTRUKSI FEMINISME DALAM PERSPEKTIF POSTMODERNISME.pptx
KONSTRUKSI FEMINISME DALAM PERSPEKTIF POSTMODERNISME.pptxKONSTRUKSI FEMINISME DALAM PERSPEKTIF POSTMODERNISME.pptx
KONSTRUKSI FEMINISME DALAM PERSPEKTIF POSTMODERNISME.pptxPoniman10
 

Similaire à Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal) (20)

Gay archipelago-bahasa-indonesia
Gay archipelago-bahasa-indonesiaGay archipelago-bahasa-indonesia
Gay archipelago-bahasa-indonesia
 
Gender
GenderGender
Gender
 
Ov zine 1 2015
Ov zine 1 2015Ov zine 1 2015
Ov zine 1 2015
 
MAKALAH GENDER
MAKALAH GENDERMAKALAH GENDER
MAKALAH GENDER
 
LENTERA SEROJA.pdf
LENTERA SEROJA.pdfLENTERA SEROJA.pdf
LENTERA SEROJA.pdf
 
LENTERA SEROJA.pdf
LENTERA SEROJA.pdfLENTERA SEROJA.pdf
LENTERA SEROJA.pdf
 
GENDER
GENDER GENDER
GENDER
 
Artikel keberagaman gender
Artikel keberagaman genderArtikel keberagaman gender
Artikel keberagaman gender
 
Tugas makalah gender
Tugas makalah genderTugas makalah gender
Tugas makalah gender
 
DINAMIKA KELOMPOK - sejarah.pptx
DINAMIKA KELOMPOK - sejarah.pptxDINAMIKA KELOMPOK - sejarah.pptx
DINAMIKA KELOMPOK - sejarah.pptx
 
Pai
PaiPai
Pai
 
1. GENDER.ppt
1. GENDER.ppt1. GENDER.ppt
1. GENDER.ppt
 
Mengapa harus jender dan feminisme
Mengapa harus jender dan feminismeMengapa harus jender dan feminisme
Mengapa harus jender dan feminisme
 
Makalah pornografi dan pornoaksi
Makalah pornografi dan pornoaksiMakalah pornografi dan pornoaksi
Makalah pornografi dan pornoaksi
 
Dilema LGBT dalam Konteks Administrasi Publik Kontemporer
Dilema LGBT dalam Konteks Administrasi Publik KontemporerDilema LGBT dalam Konteks Administrasi Publik Kontemporer
Dilema LGBT dalam Konteks Administrasi Publik Kontemporer
 
Agamaketerbukaandandemokrasi 170901055359
Agamaketerbukaandandemokrasi 170901055359Agamaketerbukaandandemokrasi 170901055359
Agamaketerbukaandandemokrasi 170901055359
 
AGAMA, KETERBUKAAN DAN DEMOKRASI : HARAPAN DAN TANTANGAN
AGAMA, KETERBUKAAN DAN DEMOKRASI : HARAPAN DAN TANTANGANAGAMA, KETERBUKAAN DAN DEMOKRASI : HARAPAN DAN TANTANGAN
AGAMA, KETERBUKAAN DAN DEMOKRASI : HARAPAN DAN TANTANGAN
 
ISBD GENDER
ISBD GENDERISBD GENDER
ISBD GENDER
 
Feminisme
Feminisme Feminisme
Feminisme
 
KONSTRUKSI FEMINISME DALAM PERSPEKTIF POSTMODERNISME.pptx
KONSTRUKSI FEMINISME DALAM PERSPEKTIF POSTMODERNISME.pptxKONSTRUKSI FEMINISME DALAM PERSPEKTIF POSTMODERNISME.pptx
KONSTRUKSI FEMINISME DALAM PERSPEKTIF POSTMODERNISME.pptx
 

Plus de Nur Agustinus

Presentasi International SETI Conferencer - Nur Agustinus (20 Juli 2016).pdf
Presentasi International SETI Conferencer - Nur Agustinus (20 Juli 2016).pdfPresentasi International SETI Conferencer - Nur Agustinus (20 Juli 2016).pdf
Presentasi International SETI Conferencer - Nur Agustinus (20 Juli 2016).pdfNur Agustinus
 
Masalah Kaum Peranakan Tionghoa-Indonesia
Masalah Kaum Peranakan Tionghoa-IndonesiaMasalah Kaum Peranakan Tionghoa-Indonesia
Masalah Kaum Peranakan Tionghoa-IndonesiaNur Agustinus
 
Fenomena Crop Circle Di Indonesia
Fenomena Crop Circle Di IndonesiaFenomena Crop Circle Di Indonesia
Fenomena Crop Circle Di IndonesiaNur Agustinus
 
Presentasi ultah BETA-UFO ke 23
Presentasi ultah BETA-UFO ke 23Presentasi ultah BETA-UFO ke 23
Presentasi ultah BETA-UFO ke 23Nur Agustinus
 
Faster Than Light: Apakah itu mungkin?
Faster Than Light: Apakah itu mungkin?Faster Than Light: Apakah itu mungkin?
Faster Than Light: Apakah itu mungkin?Nur Agustinus
 
Alien: Extra-terrestrial atau dari dimensi lain?
Alien: Extra-terrestrial atau dari dimensi lain?Alien: Extra-terrestrial atau dari dimensi lain?
Alien: Extra-terrestrial atau dari dimensi lain?Nur Agustinus
 
Aneka Betebedi - Edisi Remaja
Aneka Betebedi - Edisi RemajaAneka Betebedi - Edisi Remaja
Aneka Betebedi - Edisi RemajaNur Agustinus
 
Piring terbang sungguh sungguh adakah?
Piring terbang sungguh sungguh adakah?Piring terbang sungguh sungguh adakah?
Piring terbang sungguh sungguh adakah?Nur Agustinus
 
UFO mendarat di Soccoro, New Mexico
UFO mendarat di Soccoro, New MexicoUFO mendarat di Soccoro, New Mexico
UFO mendarat di Soccoro, New MexicoNur Agustinus
 
Misteri UFO, Dua Nelayan Missisippi bertemu alien
Misteri UFO, Dua Nelayan Missisippi bertemu alienMisteri UFO, Dua Nelayan Missisippi bertemu alien
Misteri UFO, Dua Nelayan Missisippi bertemu alienNur Agustinus
 
Lelaki Bermantel Hitam (MIB)
Lelaki Bermantel Hitam (MIB)   Lelaki Bermantel Hitam (MIB)
Lelaki Bermantel Hitam (MIB) Nur Agustinus
 
Manusia kepompong (Mothman)
Manusia kepompong (Mothman)Manusia kepompong (Mothman)
Manusia kepompong (Mothman)Nur Agustinus
 
Artikel ufo di majalah Angkasa no 3 Desember 2010
Artikel ufo di majalah Angkasa no 3 Desember 2010Artikel ufo di majalah Angkasa no 3 Desember 2010
Artikel ufo di majalah Angkasa no 3 Desember 2010Nur Agustinus
 
Menyibak misteri di pulau Alor (Koran Jakarta)
Menyibak misteri di pulau Alor (Koran Jakarta)Menyibak misteri di pulau Alor (Koran Jakarta)
Menyibak misteri di pulau Alor (Koran Jakarta)Nur Agustinus
 
Majalah Tempo, 12 Pebruari 1977 (UFO)
Majalah Tempo, 12 Pebruari 1977 (UFO)Majalah Tempo, 12 Pebruari 1977 (UFO)
Majalah Tempo, 12 Pebruari 1977 (UFO)Nur Agustinus
 

Plus de Nur Agustinus (20)

Presentasi International SETI Conferencer - Nur Agustinus (20 Juli 2016).pdf
Presentasi International SETI Conferencer - Nur Agustinus (20 Juli 2016).pdfPresentasi International SETI Conferencer - Nur Agustinus (20 Juli 2016).pdf
Presentasi International SETI Conferencer - Nur Agustinus (20 Juli 2016).pdf
 
UFO di Bulan
UFO di BulanUFO di Bulan
UFO di Bulan
 
Fenomena UFO
Fenomena UFOFenomena UFO
Fenomena UFO
 
Masalah Kaum Peranakan Tionghoa-Indonesia
Masalah Kaum Peranakan Tionghoa-IndonesiaMasalah Kaum Peranakan Tionghoa-Indonesia
Masalah Kaum Peranakan Tionghoa-Indonesia
 
Fenomena Crop Circle Di Indonesia
Fenomena Crop Circle Di IndonesiaFenomena Crop Circle Di Indonesia
Fenomena Crop Circle Di Indonesia
 
Presentasi ultah BETA-UFO ke 23
Presentasi ultah BETA-UFO ke 23Presentasi ultah BETA-UFO ke 23
Presentasi ultah BETA-UFO ke 23
 
Faster Than Light: Apakah itu mungkin?
Faster Than Light: Apakah itu mungkin?Faster Than Light: Apakah itu mungkin?
Faster Than Light: Apakah itu mungkin?
 
Alien: Extra-terrestrial atau dari dimensi lain?
Alien: Extra-terrestrial atau dari dimensi lain?Alien: Extra-terrestrial atau dari dimensi lain?
Alien: Extra-terrestrial atau dari dimensi lain?
 
Aneka Betebedi - Edisi Remaja
Aneka Betebedi - Edisi RemajaAneka Betebedi - Edisi Remaja
Aneka Betebedi - Edisi Remaja
 
Piring terbang sungguh sungguh adakah?
Piring terbang sungguh sungguh adakah?Piring terbang sungguh sungguh adakah?
Piring terbang sungguh sungguh adakah?
 
UFO mendarat di Soccoro, New Mexico
UFO mendarat di Soccoro, New MexicoUFO mendarat di Soccoro, New Mexico
UFO mendarat di Soccoro, New Mexico
 
Misteri UFO, Dua Nelayan Missisippi bertemu alien
Misteri UFO, Dua Nelayan Missisippi bertemu alienMisteri UFO, Dua Nelayan Missisippi bertemu alien
Misteri UFO, Dua Nelayan Missisippi bertemu alien
 
Lelaki Bermantel Hitam (MIB)
Lelaki Bermantel Hitam (MIB)   Lelaki Bermantel Hitam (MIB)
Lelaki Bermantel Hitam (MIB)
 
Manusia kepompong (Mothman)
Manusia kepompong (Mothman)Manusia kepompong (Mothman)
Manusia kepompong (Mothman)
 
UFO and Pentagon
UFO and PentagonUFO and Pentagon
UFO and Pentagon
 
Artikel ufo di majalah Angkasa no 3 Desember 2010
Artikel ufo di majalah Angkasa no 3 Desember 2010Artikel ufo di majalah Angkasa no 3 Desember 2010
Artikel ufo di majalah Angkasa no 3 Desember 2010
 
Betazine 02
Betazine 02Betazine 02
Betazine 02
 
Menyibak misteri di pulau Alor (Koran Jakarta)
Menyibak misteri di pulau Alor (Koran Jakarta)Menyibak misteri di pulau Alor (Koran Jakarta)
Menyibak misteri di pulau Alor (Koran Jakarta)
 
Majalah Tempo, 12 Pebruari 1977 (UFO)
Majalah Tempo, 12 Pebruari 1977 (UFO)Majalah Tempo, 12 Pebruari 1977 (UFO)
Majalah Tempo, 12 Pebruari 1977 (UFO)
 
Alor incident
Alor incidentAlor incident
Alor incident
 

Dernier

SANG BUAYA DI TIMPA POKOK CERITA KANAK-KANAK
SANG BUAYA DI TIMPA POKOK CERITA KANAK-KANAKSANG BUAYA DI TIMPA POKOK CERITA KANAK-KANAK
SANG BUAYA DI TIMPA POKOK CERITA KANAK-KANAKArifinAmin1
 
hentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptx
hentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptxhentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptx
hentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptxKalpanaMoorthy3
 
Asi Eksklusif Dong - buku untuk para ayah - Robin Lim
Asi Eksklusif Dong - buku untuk para ayah - Robin LimAsi Eksklusif Dong - buku untuk para ayah - Robin Lim
Asi Eksklusif Dong - buku untuk para ayah - Robin LimNodd Nittong
 
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pdf
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pdfAKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pdf
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pdfHeriyantoHeriyanto44
 
Pembuktian rumus volume dan luas permukaan bangung ruang Tabung, Limas, Keruc...
Pembuktian rumus volume dan luas permukaan bangung ruang Tabung, Limas, Keruc...Pembuktian rumus volume dan luas permukaan bangung ruang Tabung, Limas, Keruc...
Pembuktian rumus volume dan luas permukaan bangung ruang Tabung, Limas, Keruc...NiswatuzZahroh
 
Aksi Nyata PERENCANAAN BERBASIS DATA.pptx
Aksi Nyata PERENCANAAN BERBASIS DATA.pptxAksi Nyata PERENCANAAN BERBASIS DATA.pptx
Aksi Nyata PERENCANAAN BERBASIS DATA.pptxdonny761155
 
PAMPHLET PENGAKAP aktiviti pengakap 2024
PAMPHLET PENGAKAP aktiviti pengakap 2024PAMPHLET PENGAKAP aktiviti pengakap 2024
PAMPHLET PENGAKAP aktiviti pengakap 2024MALISAAININOORBINTIA
 
Gandum & Lalang (Matius......13_24-30).pptx
Gandum & Lalang (Matius......13_24-30).pptxGandum & Lalang (Matius......13_24-30).pptx
Gandum & Lalang (Matius......13_24-30).pptxHansTobing
 
Modul Ajar IPA Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka
Modul Ajar IPA Kelas 7 Fase D Kurikulum MerdekaModul Ajar IPA Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka
Modul Ajar IPA Kelas 7 Fase D Kurikulum MerdekaAbdiera
 
UNSUR - UNSUR, LUAS, KELILING LINGKARAN.pptx
UNSUR - UNSUR, LUAS, KELILING LINGKARAN.pptxUNSUR - UNSUR, LUAS, KELILING LINGKARAN.pptx
UNSUR - UNSUR, LUAS, KELILING LINGKARAN.pptxFranxisca Kurniawati
 
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdfPanduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdfandriasyulianto57
 
Adab bjjkkkkkkk gggggggghhhhywq dede dulu ya itu yg kamu
Adab bjjkkkkkkk gggggggghhhhywq dede dulu ya itu yg kamuAdab bjjkkkkkkk gggggggghhhhywq dede dulu ya itu yg kamu
Adab bjjkkkkkkk gggggggghhhhywq dede dulu ya itu yg kamuKarticha
 
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdfrpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdfGugunGunawan93
 
Modul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum MerdekaModul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum MerdekaAbdiera
 
Aminullah Assagaf_Regresi Lengkap 21_11 April 2024.pdf
Aminullah Assagaf_Regresi Lengkap 21_11 April 2024.pdfAminullah Assagaf_Regresi Lengkap 21_11 April 2024.pdf
Aminullah Assagaf_Regresi Lengkap 21_11 April 2024.pdfAminullah Assagaf
 
SBM_Kelompok-7_Alat dan Media Pembelajaran.pptx
SBM_Kelompok-7_Alat dan Media Pembelajaran.pptxSBM_Kelompok-7_Alat dan Media Pembelajaran.pptx
SBM_Kelompok-7_Alat dan Media Pembelajaran.pptxFardanassegaf
 
Sejarah Perkembangan Teori Manajemen.ppt
Sejarah Perkembangan Teori Manajemen.pptSejarah Perkembangan Teori Manajemen.ppt
Sejarah Perkembangan Teori Manajemen.pptssuser940815
 
Tidak ada abstraksi dalam memori sistem operasi .pdf
Tidak ada abstraksi dalam memori sistem operasi .pdfTidak ada abstraksi dalam memori sistem operasi .pdf
Tidak ada abstraksi dalam memori sistem operasi .pdfAnggaaBaraat
 
materi pembelajaran tentang INTERNET.ppt
materi pembelajaran tentang INTERNET.pptmateri pembelajaran tentang INTERNET.ppt
materi pembelajaran tentang INTERNET.pptTaufikFadhilah
 
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pptxAKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pptxHeriyantoHeriyanto44
 

Dernier (20)

SANG BUAYA DI TIMPA POKOK CERITA KANAK-KANAK
SANG BUAYA DI TIMPA POKOK CERITA KANAK-KANAKSANG BUAYA DI TIMPA POKOK CERITA KANAK-KANAK
SANG BUAYA DI TIMPA POKOK CERITA KANAK-KANAK
 
hentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptx
hentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptxhentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptx
hentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptx
 
Asi Eksklusif Dong - buku untuk para ayah - Robin Lim
Asi Eksklusif Dong - buku untuk para ayah - Robin LimAsi Eksklusif Dong - buku untuk para ayah - Robin Lim
Asi Eksklusif Dong - buku untuk para ayah - Robin Lim
 
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pdf
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pdfAKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pdf
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pdf
 
Pembuktian rumus volume dan luas permukaan bangung ruang Tabung, Limas, Keruc...
Pembuktian rumus volume dan luas permukaan bangung ruang Tabung, Limas, Keruc...Pembuktian rumus volume dan luas permukaan bangung ruang Tabung, Limas, Keruc...
Pembuktian rumus volume dan luas permukaan bangung ruang Tabung, Limas, Keruc...
 
Aksi Nyata PERENCANAAN BERBASIS DATA.pptx
Aksi Nyata PERENCANAAN BERBASIS DATA.pptxAksi Nyata PERENCANAAN BERBASIS DATA.pptx
Aksi Nyata PERENCANAAN BERBASIS DATA.pptx
 
PAMPHLET PENGAKAP aktiviti pengakap 2024
PAMPHLET PENGAKAP aktiviti pengakap 2024PAMPHLET PENGAKAP aktiviti pengakap 2024
PAMPHLET PENGAKAP aktiviti pengakap 2024
 
Gandum & Lalang (Matius......13_24-30).pptx
Gandum & Lalang (Matius......13_24-30).pptxGandum & Lalang (Matius......13_24-30).pptx
Gandum & Lalang (Matius......13_24-30).pptx
 
Modul Ajar IPA Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka
Modul Ajar IPA Kelas 7 Fase D Kurikulum MerdekaModul Ajar IPA Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka
Modul Ajar IPA Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka
 
UNSUR - UNSUR, LUAS, KELILING LINGKARAN.pptx
UNSUR - UNSUR, LUAS, KELILING LINGKARAN.pptxUNSUR - UNSUR, LUAS, KELILING LINGKARAN.pptx
UNSUR - UNSUR, LUAS, KELILING LINGKARAN.pptx
 
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdfPanduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
 
Adab bjjkkkkkkk gggggggghhhhywq dede dulu ya itu yg kamu
Adab bjjkkkkkkk gggggggghhhhywq dede dulu ya itu yg kamuAdab bjjkkkkkkk gggggggghhhhywq dede dulu ya itu yg kamu
Adab bjjkkkkkkk gggggggghhhhywq dede dulu ya itu yg kamu
 
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdfrpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
 
Modul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum MerdekaModul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka
 
Aminullah Assagaf_Regresi Lengkap 21_11 April 2024.pdf
Aminullah Assagaf_Regresi Lengkap 21_11 April 2024.pdfAminullah Assagaf_Regresi Lengkap 21_11 April 2024.pdf
Aminullah Assagaf_Regresi Lengkap 21_11 April 2024.pdf
 
SBM_Kelompok-7_Alat dan Media Pembelajaran.pptx
SBM_Kelompok-7_Alat dan Media Pembelajaran.pptxSBM_Kelompok-7_Alat dan Media Pembelajaran.pptx
SBM_Kelompok-7_Alat dan Media Pembelajaran.pptx
 
Sejarah Perkembangan Teori Manajemen.ppt
Sejarah Perkembangan Teori Manajemen.pptSejarah Perkembangan Teori Manajemen.ppt
Sejarah Perkembangan Teori Manajemen.ppt
 
Tidak ada abstraksi dalam memori sistem operasi .pdf
Tidak ada abstraksi dalam memori sistem operasi .pdfTidak ada abstraksi dalam memori sistem operasi .pdf
Tidak ada abstraksi dalam memori sistem operasi .pdf
 
materi pembelajaran tentang INTERNET.ppt
materi pembelajaran tentang INTERNET.pptmateri pembelajaran tentang INTERNET.ppt
materi pembelajaran tentang INTERNET.ppt
 
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pptxAKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pptx
 

Jurnal gandrung vol2 no1 (e jurnal)

  • 1.
  • 2.
  • 3. Daftar Isi Editorial Dédé Oetomo 4 Artikel Ari Setyorini Performativitas Identitas Gender dan 7 Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia Ben Murtagh Coklat Stroberi: Sebuah Roman Indonesia 45 dalam Tiga Rasa Irwan M. Hidayana Tentang Pekerja Seks Laki-Laki dan 73 Pasangan Seksualnya Iskandar P. Nugraha Dinamika Kehidupan Seksual Kelompok 99 & Maimunah Munir LSL di Jayapura Papua Ngerumpi Maimunah Munir & Ahmad Zainul Hamdi 125 Resensi Michael G. Peletz, Gender Pluralism: Southeast Asia Since Early 139 Modern Times Kathleen Azali Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 3
  • 4. 4 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
  • 5. Editorial Dédé Oetomo Pemimpin Redaksi Sesudah 1½ tahun vakum, Jurnal Gandrung Vol. 2 No. 1 ini pun tampil di hadapan anda peminat dan pengaji studi gender dan seksualitas. Permintaan maaf sedalam-dalamnya saya ajukan atas kevakuman itu. Kami tim pengelola jurnal ini berusaha hal ini tidak akan terjadi lagi, sesuatu yang akan menjadi lebih mudah kalau anda menyumbangkan tulisan bijak bestari anda untuk nomor-nomor jurnal ini berikutnya. Dalam menyiapkan volume kedua ini, pekerjaan awalnya dipimpin oleh Soe Tjen Marching, namun karena alasan pribadi maupun kelembagaan kemudian oleh Dewan Pengurus Yayasan GAYa NUSANTARA, rumah penerbitan ini, diputuskan sayalah yang meneruskan pekerjaan itu. Kepada Soe Tjen diucapkan banyak terima kasih atas rintisannya yang telah mendobrakkan jurnal pertama dalam sejarah negeri ini yang secara khusus membahas studi gender dan seksualitas dalam segenap keanekaragamannya dan dengan pendekatan yang membebaskan dan menyetarakan. Dalam nomor ini ada dua artikel yang membahas representasi seksualitas dalam dua jenis media, yakni blog dan film. Ari Setyorini membahas performativitas lesbian dalam blog, sementara Ben Murtagh membahas film “Coklat Stroberi” (2007), yang menampilkan kompleksitas homoseksualitas masa kini. Rubrik Ngerumpi menampilkan wawancara Ahmad Zainul Hamdi dengan Maimunah Munir, seorang pengaji gender dan Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 5
  • 6. Dédé Oetomo seksualitas yang juga akrab dengan kajian film queer dan belakangan kian mendalam mengaji fenomena waria dan trans* lainnya. Seksualitas laki-laki dibahas dalam artikel Irwan Hidayana mengenai pekerja seks laki-laki, dan dalam artikel kolaborasi Iskandar Nugraha dan Maimunah Munir tentang laki-laki di Papua. Yang tak kalah penting untuk disimak adalah resensi Kahtleen Azali atas buku Michael Peletz, Gender Pluralism: Southeast Asia Since Early Modern Times, yang kiranya akan mengusik rasa ingin tahu dan kecendekiaan anda untuk menelaah bukunya yang merupakan karya mumpuni tentang kemajemukan gender di Asia Tenggara. Demikianlah hidangan kami kali ini. Kritik dan saran tetap kami harapkan, dan terlebih lagi, tulisan cendekia anda untuk nomor- nomor berikutnya. 6 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
  • 7. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia Ari Setyorini Abstrak: Kajian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana identi- tas gender dan seksualitas ditampilkan dalam weblog lesbian Indone- sia. Melalui tampilan tersebut, penelitian ini bertujuan mengetahui makna ideologis di balik tampilan identitas gender dan seksuali- tas blogger lesbian Indonesia, serta sejauh mana praktik resistensi atas subordinasi terhadap lesbian ditampilkan dalam weblog. Kajian ini mengambil dua weblog, yakni Fried Durian dan Rahasia Bulan. Sementara, post yang dipilih sebagai teks analisa adalah post yang memuat isu mengenai gender dan seksualitas. Kajian ini merupa- kan penelitian multidisiplin-kualitatif. Teori perfomativitas dipakai mengungkap bagaimana bahasa memperformativitaskan identitas gender dan seksualitas. Hasil penelitian mengkonfirmasi bahwa identifikasi gender dan seksualitas lesbian cenderung merupakan kombinasi terhadap femininitas dan maskulinitas. Melalui proses criss-crossing, lesbian memperformativitaskan diri mereka dengan “aksi panggung”, menempelkan identifikasi identitas feminin dan maskulin melalui dandanan, pakaian, gesture tubuh, dan seksuali- tas. Lesbian dalam konteks sosial masih menanggung beban tubuh sosial sebagai perempuan. Identitas perempuan sebagai ibu dan is- tri menjadikan lesbian tak juga bisa lepas dari tuntutan reproduksi dan femininitas yang diproduksi oleh kuasa dari rezim kebenaran. Senyatanya, blogger merupakan produser kreatif atas wacana lesbian di mana mereka mereproduksi wacana heteronormativitas, hingga wacana tersebut tidak menjadi satu-satunya wacana dominan. Kata kunci: performativitas, lesbian, gender, seksualitas, weblog. Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 7
  • 8. Ari Setyorini Pendahuluan Kemajuan teknologi informasi yang melahirkan internet ten- gah dirayakan banyak orang. Penyebabnya adalah karena media baru ini memiliki kemampuan memunculkan sebuah bentuk ko- munikasi baru, di mana seseorang tidak lagi harus berkomunikasi secara face to face pada satu tempat yang sama, namun dapat dilaku- kan dari satu tempat ke tempat lain yang letaknya sangat berjau- han. Terlebih dengan penawaran akan anonimitas, sehingga iden- titas pengguna dapat disembunyikan karena dimensi tubuh tidak lagi dibutuhkan. Sebagaimana yang diungkapan Rheingold (1994), people in virtual communities do just about everything people do in real life, but we leave our bodies behind. Dengan kata lain, komunikasi hadir melalui tulisan, gambar, suara, video dalam layar komputer, dalam dunia virtual. Identitas hanyalah berdasar pada apa yang pengguna tampilkan. Seseorang dapat menjadi siapa saja dan apa saja sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Tidak heran jika kemudian ada ungkapan yang mengatakan “on the internet, no one knows if you are a dog.” Penawaran akan disembodied performativity ini kemudian di- manfaatkan oleh individu dan komunitas marjnal untuk menyuara- kan kepentingan mereka yang selama ini tidak mampu diekspresi- kan secara bebas di dunia nyata. Dengan tidak hadirnya tubuh, individu dapat menampilkan identitas yang berbeda dari identitas mereka di dunia nyata. Dipahami bahwa selama ini kelompok termarjinalkan, utamanya LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender/ Transeksual) belum mendapat tempat sebagaimana heteroseks. Di Indonesia sendiri, heteronormativitas menjadi ideologi dominan yang dilanggengkan oleh rezim kebenaran, misalnya oleh negara, agama, kedokteran, bahkan oleh keluarga. Media pun tak luput dari perpanjangan tangan rezim kebenaran untuk membentuk stereotip LGBT. Isu-isu LGBT dan homoseksualitas akhirnya dianggap kebanyakan orang sebagai sesuatu yang negatif dan terlarang. Alimi (2004) dalam bukunya, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bahasa hingga Wacana Agama, menyimpulkan bahwa heteronormativitas masih menjadi wacana dominan yang dikonstruksi oleh media mainstream. Satu hal menarik yang terlihat dari kontestasi diskursus (homo)seksualitas pada media Indonesia adalah bahwa meskipun 8 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
  • 9. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia telah banyak media yang menggulirkan wacana tandingan atas citra negatif lesbian ini, namun senyatanya masyarakat masih memberi citra negatif bagi lesbian. Tingginya jumlah penonton film dan pembaca novel bertema lesbian, ternyata belum juga memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap perubahan citra negatif mereka. Ini tampak dari MUI yang beberapa kali harus memberikan larangan terhadap beberapa film bertema (homo) seksual, serta peran lembaga sensor film yang berhak memotong mana yang dianggap boleh ditayangkan (bermoral) dan mana yang harus dibuang (tak bermoral). Contoh-contoh tersebut menegaskan bahwa LGBT masih dianggap sebagai hal yang melenceng di Indonesia. Akibatnya, banyak individu LGBT yang harus menutupi identitas mereka dalam dunia nyata. Kehadiran cyberspace dengan kecairan sifatnya dianggap mampu menjadi media alternatif untuk menyuarakan ketertindasan LGBT dalam mengekspresikan identitas mereka, atau sebagai media untuk coming out of the closet. Selain itu, pergeseran posisi subyek dalam kacamata postmodernitas, di mana subyek- subyek kecil mulai memiliki suara untuk menentang struktur kuasa, memungkinkan lesbian Indonesia sebagai subyek kecil untuk dapat berbicara, mengungkap identitas gender dan seksualitas mereka. Berangkat dari pendapat Bryson (2004) bahwa masih sedikit penelitian yang mengkaji tentang komunitas perempuan marjinal, utamanya perempuan lesbian, biseksual dan transgender/ transeksual dalam kaitannya dengan cyberspace, maka penelitian ini akan mengkaji mengenai hal tersebut. Penelitian difokuskan pada performativitas blogger lesbian Indonesia dalam mengkonstruksikan identitas gender dan seksualitas mereka melalui weblog. Weblog dipilih sebagai media obyek kajian dengan alasan bahwa sejauh penelusuran peneliti, belum ada penelitian yang membahas mengenai blogsphere di Indonesia. Alasan lain adalah karena blog memiliki kelebihan dari bentuk cyberspace lainnya, di antaranya adalah karateristiknya sebagai jurnal online pribadi yang mengutamakan personalitas dan individualitas pemiliknya. Individualitas inilah yang melahirkan ekspektasi terhadap blog sebagai media alternatif. Williams (via Mitra dan Gajjala 2008) mengatakan bahwa blog dianggap mampu menjadi ruang yang memungkinkan lahirnya resistensi- resistensi atas struktur kuasa yang ada melalui cara “speaking back”. Cara ini mungkin dilakukan ketika blogger menampilkan subyektivitas sebagai individu yang menyuarakan keterasingan Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 9
  • 10. Ari Setyorini dan ketertindasan dari tindakan opresif stuktur berkuasa. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Gauntlett (2002) juga menjelaskan mengenai kemampuan new media (khususnya website pribadi dan weblog–pen.) menyediakan alternatif-alternatif lain bagi individu atau grup sebagai tandingan atas ide dominan tentang perempuan dan laki-laki. Terdapat dua blog yang dikaji, yaitu Fried Durian (http:// frieddurian.blogspot.com) dan Rahasia Bulan (http://rahasiabulan. blogspot.com). Fried Durian (FD) adalah blog milik sepasang partner lesbian bernama Lushka dan Mithya (selanjutnya disingkat L dan M). Blog FD ini mulai dijalankan sejak Juni 2007. Rahasia Bulan (selanjutnya disingkat RB) adalah jurnal pribadi milik seorang lesbian dengan nama virtual Alex (selanjutnya disingkat A). Blog ini cukup dikenal dalam komunitas lesbian karena latar belakang pemilik blog sebagai founder sebuah majalah online lesbian, sepocikopi. com. RB mulai ada dalam blogsphere sejak tahun 2006. Kedua blog tersebut, menurut peneliti, mampu menjadi objek kajian yang representatif untuk mewakili bagaimana blogger lesbian Indonesia menampilkan identitas gender dan seksualitas mereka dalam ruang virtual. Anggapan peneliti ini didasarkan pada keragaman diskursus offline yang mengelilingi blogger di kedua blog tersebut yang memengaruhi cara bagaimana mereka menggambarkan identitas gender dan seksualitas yang tampak melalui tampilan tema, bahasa, maupun gambar pada blog tersebut. Pembahasan A. Weblog Fried Durian Sebagaimana yang disinggung di atas, Fried Durian (FD) adalah weblog milik sepasang partner bernama virtual Lushka (L) dan Mithya (M). Struktur weblog ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama berisi judul weblog, yakni Fried Durian, dan deskripsi terhadap identitas weblog. Bagian kedua merupakan struktur utama blog memuat post. Post terdiri dari waktu post, judul post, isi post, nama blogger yang melakukan posting, komentar dari pembaca weblog, dan identifikasi topik pembicaraan. Bagian ketiga adalah bagian tambahan, berisi arsip post, comment box, web hit counter, Yahoo Messenger!, dsb. 10 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
  • 11. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia A.1 Perbincangan Mengenai Identifikasi Femme, Butch, Andro, dan No Label Weblog FD ini menarik karena dari awal L-M tidak menempatkan identitas mereka ke dalam kategorisasi identitas gender dan seksualitas manapun, baik dalam kategori identitas lesbian, maupun dalam kategori identitas normatif lain. Identifikasi identitas L-M pada FD ini pertama kali tampak pada deskripsi yang terletak di bawah judul weblog mereka, yakni “Bisexual is an overstatement. Lesbian is an understatement. We just know how to enjoy live by being in each other arms [ibid]. This is our fun queer story from Indonesia.” Melalui deskripsi ini, L-M menggambarkan queer-itas identitas mereka. Perbandingan identitas yang tampak dalam pemilihan kata overstatement (sebagai biseksual) dan understatement (sebagai lesbian) menunjukkan bahwa kategorisasi identitas tersebut tidak cukup mewakili mereka. Bagi L-M, penyebutan biseksual sebagai identitas mereka merupakan sesuatu yang berlebihan. Sementara, identifikasi sebagai lesbian, bagi L-M, terlalu menyempitkan dan kurang cukup mewakili kompleksitas identitas mereka. Di sinilah tampak bagaimana identitas gender dan seksualitas merupakan sebuah hal yang tidak cukup hanya dibatasi melalui kategorisasi-kategorisasi tertentu, pun bukan pula sebagai sesuatu yang stabil dan koheren. Inkoherensi tampak pada identifikasi L-M terhadap seksualitas yang bukan sebagai biseksual maupun lesbian (homoseksual), juga bukan sebagai heteroseksual. L-M bahkan dengan gamblang menyebut identitas mereka sebagai queer, di mana gender dan seksualitas bagi mereka adalah sebuah kecairan. Identitas menjadi sebuah hal yang tidak ajeg, karena L-M menempatkannya sebagai yang dapat diubah, sebuah proses criss-crossing (Sedgwick via Beasley 2005, 108). Deskripsi tersebut diperjelas melalui beberapa post- ing L-M dalam FD. M mendeskripsikan identifikasi dirinya (“Don’t Label Yourself,” Senin, 8 Desember 2008), …gue nggak suka memasukkan diri gue ke kategori mana pun…dalam dunia kategori lesbian (femme, butch, andro)…. Gue lebih suka mengelaborasi atau menggam- barkan perilaku daripada menamai. Yep, saat ini gue in a Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 11
  • 12. Ari Setyorini relationship dan bahkan jatuh cinta dengan Lushka. Tapi saying myself a lesbian? Lah, I’m not that in to women juga. Masih bisa ngiler liat cowok berbadan atletis dan ber- wajah lutcu…. M tidak melakukan kategorisasi dirinya berdasar identitas gender yang telah ada. Penggunaan istilah “mengelaborasi (identitas)” mendeskripsikan tindakan untuk memperlakukan identitas sebagai sebuah hal yang dapat diubah atau diuraikan—pendeknya berada dalam sebuah proses, ketimbang sebuah hasil ajeg dalam kategorisasi. M memilih untuk tidak mengkategorisasikan dirinya menjadi femme, butch, atau andro, karena kategorisasi lesbian tersebut tidak cukup mewakili dirinya. M menampilkan diri sebagai lesbian melalui partnership yang dilakukannya dengan L. Akan tetapi, M mengakui bahwa dirinya juga memiliki ketertarikan pada laki-laki (secara boduly sex). Namun, hal tersebut tidak menjadikan M termasuk dalam kategori perempuan biseksual. M (“Film Twilight + Chauvinis Mithya,” Senin, 7 Desember 2008) mengungkapkan, “…soul gue itu sebenernya dilahirkan sebagai cowok biseksual. Jadi untuk jatuh cinta dengan cewek itu normal tapi diem-diem dan takut-takut sangat tertarik dengan cowok lain (especially gay man).” Boduly sex M adalah sebagai seorang perempuan. Na- mun, M menilai dirinya secara gender adalah laki-laki yang memiliki ketertarikan seksual pada perempuan (secara boduly sex dan gender), sekaligus kepada laki-laki (secara boduly sex) yang feminin (gay man). M menilai jika ketertarikannya dengan perempuan adalah sebuah hal yang “normal”, sebagaimana normativitas laki-laki tertarik kepada perempuan. Lebih lan- jut, ketertarikan M pada laki-laki dinilainya sebagai sebuah hal “kesalahan”, karena M menilai dirinya adalah laki-laki pula. Karenanya, M menilai, ketertarikannya dengan laki-laki dilakukan secara diam-diam dan takut-takut. Bahkan, secara spesifik dalam kutipan sebelumnya, M menjelaskan bahwa ia tertarik dengan laki-laki yang “bertubuh atletis” dan “berwa- jah lucu”. Kombinasi tubuh atletis dan berwajah lucu men- jadi hal yang menarik, karena pada dasarnya kedua deskripsi tersebut menunjukkan hal yang saling bertentangan. Tubuh atletis kerap diidentikan dengan kejantanan atau maskulini- 12 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
  • 13. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia tas laki-laki. Sebaliknya, diksi “lucu” acapkali diasosiasikan dengan sesuatu yang tidak maskulin (feminin). Berwajah lucu dapat diartikan sebagai berwajah polos, innocent, dan menggemaskan. Di sini ditunjukkan bagaimana identitas dan atribut diri bisa diotak-atik sedemikian rupa. Maskulin dikom- binasikan dengan feminin, homoseksual dipadu-padankan dengan heteroseksual. Hingga pada akhirnya, tidak ada yang disebut sebagai identitas utama dalam diri M. M tidak bisa dikategorikan sebagai lesbian (homoseks) seutuhnya, bukan juga sebagai heteroseks. M melakukan kombinasi-kombinasi terhadap identitas-identitas gender dan seksual. Melalui FD, L juga menggambarkan identitas dirinya sebagai “lesbian yang bersyarat”. Maksudnya adalah part- nership yang dijalaninya dengan M merupakan partnership lesbian. Tetapi, sebagaimana M, dirinya juga memiliki ke- mungkinan untuk tertarik secara seksual terhadap laki-laki. Ditegaskan oleh L, “Gue dan Mithya –ga ngeklaim diri kita murni lesbian tapi juga ga menolak kenyataan kalau saat ini gue berdua dalam hubungan sesama jenis” (“Tobat Jadi Lesbian?,” http:// www.narth,com, Selasa, 14 Juli 2009). Lesbian juga ditampilkan melalui pilihan nama virtual mereka, Lushka dan Mithya. Nama ini diambil dari nama pasangan lesbian dari Inggris, Violet Trefusis dan Vita Sack- ville-West. Kisah cinta kedua perempuan tersebut diabadikan oleh Virginial Woolf dalam novel yang berjudul Orlando: A Biography. Kisah cinta kedua perempuan tersebut dikenal sebagai skandal percintaan Inggris. Disebut sebagai skandal karena pada masa tersebut (mereka hidup pada saat Inggris di bawah otoritas ratu Victoria), homoseksual (gay) dianggap sebagai sebuah kriminalitas. Sementara lesbian, belum men- jadi isu yang diungkap karena anggapan pada masa tersebut bahwa perempuan tidak selayaknya mengurusi seksualitas mereka. Pasangan ini saling memanggil satu dengan lain dengan nama Lushka (Violet) dan Mithya (Vita)1. Nama ini kemudian dipakai sebagai nama virtual mereka. Deskripsi-deskripsi identitas tersebut menunjukkan ambiguitas L-M dalam memaknai dirinya. Namun, hal ini 1 Lebih lanjut mengenai kedua lesbian Inggris tersebut lihat http:// en.wikipedia.org dan http://scandalouswomen.blogspot.com. Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 13
  • 14. Ari Setyorini tidak kemudian menjadi sebuah hal negatif karena ambi- guitas tersebut menurut Butler (1993, 29) justru merupakan sebuah strategi untuk menggoyang apa yang disebut sebagai identitas center-margin. Normativitas masyarakat mengang- gap identitas yang koheren adalah identitas center, identitas yang paling benar. Artinya, seseorang akan dianggap benar jika identitas gender yang mereka tampilkan sesuai dengan boduly sex dan hasrat seksualitas mereka. Dengan kata lain, jika individu memiliki boduly sex sebagai perempuan, maka gender mereka harus menunjukkan femininitas dan tertarik secara seksual kepada laki-laki. Namun, yang dilakukan L-M ini justru mensubyektifkan identitas tersebut dan menunjuk- kan bahwa apa yang disebut sebagai gender dan seksualitas hanyalah persoalan bagaimana hal tersebut diperformativi- taskan atau diperagakan. Hal ini akan nampak pada perilaku- perilaku dalam menampilkan identitas-identitas mereka yang dibahas dalam subjudul selanjutnya. Pernyataan L-M untuk tidak mengkategorisasikan dirinya, senyatanya juga merupakan sebuah bentuk kategori lain, yakni no label. No Label menjadi sedikit banyak mewakili apa yang dijelaskan L-M ketika memilih untuk tidak memasukkan diri mereka ke dalam kategori lesbian sebagai femme, butch, dan andro. Sebagaimana pemikiran queer bahwa a refusal of a set identity adalah identitas itu sendiri (Ibid.). Melalui no label, L-M mensubversi identitas yang telah ajeg dengan melakukan serangkaian percampuran terhadap normativitas identitas gender dan seksualitas sebagaimana ide Butler atas gender trouble. A. 1. 1 Performativitas Penampilan dan Fisik Penolakan L-M untuk tidak mengategorikan di- rinya ke dalam femme-butch-andro mempengaruhi cara bagaimana mereka menampilkan identitas gender dan seksualitas melalui tampilan fisik. Mereka cenderung mengombinasikan penanda-penanda gender yang tam- pak melalui penampilan tubuh. Misalnya ketika L men- ceritakan tentang kebiasaan-kebiasaan L-M yang ber- hubungan dengan penampilan dan atribut fisik. “Siapa bilang kita se-tomboy or se-andro gitu. Emang penampakan gue lebih cewek dari Mithya, tapi kalo buat urusan kerapi- an Mithya ratunya” (“Mithya and Me,” Rabu, 10 Maret 14 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
  • 15. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia 2009). Agaknya, banyak yang mengira L-M berpenampi- lan “kelaki-lakian”. Hal ini tampak dari pertanyaan re- toris L terhadap penampilannya yang cenderung dia- sumsikan banyak orang sebagai penampilan tomboy2. L menolak asumsi tersebut dengan menampilkan gam- baran sisi “keperempuanan” L-M yang tampak dalam kebiasaan mereka terkait penampilan atribut fisik. M memiliki kebiasaan-kebiasaan berdandan yang “lazim- nya” dilakukan oleh perempuan. Digambarkan oleh L, bagaimana kepedulian M terhadap rambutnya, Turun dari motor, buka helm, dia akan langsung bilang ‘rambutku berantakan ga?’ –trus gue jawab ‘engga’ –dia akan ngerapiin lagi, terus nanya ‘berantakan ga?’, gue tetep akan bilang ‘engga’ –dia megang2 rambut terus nanya ‘beneran?’ –nah, di bagian ini gue udah muter bola mata kalo engga melototin dia, ngunci motor terus ngeloyor dengan rambut gue berantakan. Fact: gimana mau berantakan, tiap mau pasang helm dia ngerapiin rambut, trus dijepit, trus dirapiin lagi helmnya. (Ibid.) Pada post ini, L menjelaskan perbandingan pe- nampilan antara dirinya dengan partner-nya, M. Dalam konteks ini, L menilai M memiliki sisi femininitas dalam penampilan yang lebih dominan daripada L. M memili- ki kecenderungan berperilaku womanly, yang “khawat- ir” dengan penampilan rambutnya. Rambut menjadi penanda penting bagi perempuan dalam normativitas masyarakat. Bahkan ada ungkapan yang menyebutkan bahwa rambut adalah mahkota perempuan. Lebih lan- jut, L menegaskan bagaimana M memiliki kegemaran berdandan sebagaimana normativitas perempuan da- lam masyarakat. Misalnya, M memiliki “ritual” menyi- sir rambut, membersihkan wajah, memakai bedak, me- nyemprotkan minyak wangi, dan terkadang memakai 2 Tomboy/i adalah perempuan YANG memiliki sifat “kelaki-lakian” (fe- male-to-male transgenders), yang salah satunya tampak dari penampilan. Lihat penjelasan mengenai tomboy/i dalam Boellstroff (2003) dan Blackwood (2008). Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 15
  • 16. Ari Setyorini lip gloss ketika berada di toilet, setelah buang air kecil. M juga selalu membawa peralatan kosmetik di dalam tasnya. “Isi tas: Mithya, selain ada buku, pulpen, dan kertas pasti ada perlengkapan ceweknya, tissue, kertas minyak, sisir, bedak, kaca, lip gloss, perfume, jepitan rambut.” Penyebu- tan “perlengkapan cewek” di sini menegaskan bahwa kosmetik memang melulu menjadi penanda bagi gender perempuan. Kebiasaan-kebiasaan M membuat L tertular un- tuk ikut-ikut menunjukkan femininitas dirinya melalui tampilan tubuh dengan berdandan. Disebutkan oleh L, “ Dulu, gue boro2 di tas ada bedak, sisir aja ada udah ajaib, yang wajib ada di tas itu buku, pulpen, dan notes. Sekarang, gue jadi ketularan Mithya, kemana-mana bawa peralatan ngelenong” (Ibid.). L mengumpamakan peralatan ko- smetik sebagai peralatan ngelenong (lenong). Hal ini mengindikasikan bahwa, bagi L, berdandan yang meli- batkan peralatan kosmetik, tak ubahnya sebagai sebuah aksi pertunjukan lenong. Ketika L menampilkan dirinya yang berdandan menggunakan perlengkapan kosme- tik, tak ubahnya seperti ketika pemain-pemain lenong yang akan melakukan pertunjukan. Pada pertunjukan lenong, setiap pemain akan menunjukkan sebuah kara- kter lain yang berbeda dengan karakter mereka sebe- narnya. Pada akhirnya, berdandan bagi L adalah untuk menampilkan sebuah karakter fiktif, karakter rekaan yang berbeda dengan dirinya “sebenarnya”. Menyitir pendapat Butler (1990, 174) bahwa per- soalan gender hanya semata persoalan performativitas, proses imitasi dan pengulangan yang tidak pernah ber- henti. Begitu juga yang dilakukan oleh L-M. Penampi- lan fisik yang diidentifikasi oleh masyarakat sebagai identitas gender dijadikan sebagai sarana untuk mem- performansi gender mereka sebagaimana normativitas masyarakat. Mereka oleh masyarakat dianggap seba- gai perempuan melalui performatif ritual-ritual ber- dandan. Sebagaimana dikemukakan oleh Bordo (1986) bahwa tubuh perempuan medium femininitas, di mana 16 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
  • 17. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia diskursus budaya dan gender berlaku padanya3. Bordo (via Davis 1995, 155) menilai bahwa mela- lui kontrol terhadap tubuh, perempuan tidak melulu menjadi korban atas tekanan “collective cultural fantasy” namun justru dapat membebaskan perempuan untuk memperoleh male-power. Sebagaimana penilaian Bor- do, dalam konteks lesbian dengan mengikuti kontrol atas tubuh L-M justru dapat dengan bebas memakai topeng femininitas untuk menutupi identitas lesbian mereka. L-M justru memperoleh tidak hanya male-pow- er namun heteronormatif-power untuk mengelabuhi nor- matif masyarakat atas feminintas yang mereka tunjuk- kan melalui pendisiplinan tubuh. Hal yang menarik, L-M tak hanya berhenti pada tataran berdandan sebagai penanda identitas perempuan. L-M menggambarkan pertentangan-pertentangan dalam penampilan fisik mereka sebagai bentuk instabilitas gender. Misalnya, ketika L menjelaskan dominansi sisi femininitas dirinya yang tampak dari pilihan-pilihan pakaian, aksesoris, dan sepatu. Beda halnya ketika L yang merasa kurang menyukai berdandan, sehingga sisi maskulinitas dirinya lebih dominan dalam hal berdandan. Sebaliknya, Mithya justru sangat tidak “perempuan” ketika berurusan dengan busana, sepatu, dan aksesoris. L menjelaskan, “Rok untuk dipake harian itu adalah big no no buat Mithya. Paling kalo mau kondangan aja dia baru mau. … Mithya sekarang baru belajar pake sepatu-sepatu cewek. Untuk harian dia masih setia ama Converse-nya” (Ibid.). Pakaian berbentuk rok, bagi masyarakat, adalah pakaian bagi perempuan. Karenanya, lazim jika perempuan memakai rok sebagai penanda keperempuanan mereka. Seragam sekolah hingga baju bekerja perempuan hampir semua memiliki pakaian bawahan berbentuk rok. Rok pun kemudian identik dengan simbol femininitas. Namun, M menampilkan bentuk lain dari pilihan penggunaan rok sebagai identifikasi gender dirinya. Bagi M, rok bukanlah pakaian sehari-hari yang merepresentasikan dirinya. Ia 3 “… the female body as a kind of text which can be “read as a cultural statement, a statement about gender.” (Lihat Bordo 1989, 16). Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 17
  • 18. Ari Setyorini hanya menggunakan rok jika menghadiri acara resmi, misalnya resepsi pernikahan. Selanjutnya, dijelaskan pula jika M lebih menyu- kai menggunakan Converse, merk sepatu jenis kasual yang biasanya dikenakan oleh laki-laki. Pada pilihan ini, M menunjukkan sisi maskulinitas dirinya. Masku- linitas M ditegaskan L dalam post-nya yang lain, “Have I told you that Mithya is very handsome” (“Mamerin Pacar Ah…,” Sabtu, 28 November 2008). Penyebutan “hand- some” menjelaskan penampakan M yang ganteng mirip laki-laki secara fisik. Lebih lanjut, L menjelaskan pe- nampilan M yang maskulin membuat beberapa teman L mengira M adalah pacar L, yang tentunya dalam ang- gapan mereka M adalah laki-laki. Penggambaran-penggambaran tersebut menun- jukkan nonkonformitas M dalam menentukan pilihan- pilihan terhadap tampilan tubuh. Di satu sisi, ritual berdandan M menandakan gender femininitas dirinya, namun di sisi lain maskulinitas muncul dari pilihan M akan model pakaian dan sepatu yang cenderung manly. Nonkonformitas juga ditunjukkan M saat menjelaskan bahwa soul dirinya terlahir sebagai laki-laki, namun di sisi lain M juga melakukan ritual-ritual yang menanda- kan identitas keperempuannya. Meski L-M menempatkan diri mereka sebagai “a refusal of a set identity” atau no label, namun dari peng- gambaran penampilan fisik, L-M cenderung menunjuk- kan penampilan androgini dalam hubungan lesbian. Baik L maupun M melakukan pemilihan terhadap be- berapa identitas feminin yang kemudian dikombinasi- kan dengan identitas maskulin. Pada akhirnya criss- crossing identitas tersebut membentuk identitas lain yang berbeda dari identitas normatif dalam masyarakat, identitas androgini. Melalui criss-crossing, seperti yang dilakukan oleh L-M, apa yang disebut identitas gender center yang normatif tersebut dipermain-mainkan. Bahwa individu dapat saja melakukan modifikasi dengan menampilkan gender act secara subversif seperti yang dilakukan L-M dalam penampilannya. M yang memiliki ritual 18 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
  • 19. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia berdandan, akan tetapi kurang menyukai penggunaan rok dan sepatu perempuan. L yang kurang suka memakai kosmetik, namun menyukai rok, sepatu dan aksesoris perempuan. Performansi gender act yang dilakukan oleh L-M memang tak selamanya mulus. Terkadang mereka harus menerima “hukuman” dari orang-orang di sekeliling mereka jika ternyata gender act yang mereka tampilkan tidak sesuai dengan “lazimnya”. Misalnya ketika M menceritakan bagaimana dirinya harus menampilkan identitas gender yang selaras dengan penampilan sebagaimana normatif masyarakat. Diceritakan M (“I Hate Wedding Reception,” Senin, 12 Oktober 2009), … gue …ngga suka dengan acara resepsi pernikahan. Gue kayak alergi dengan baju-baju pesta perempuan. Setiap hadir di resepsi pernikahan gue bakal sesak napas dan mulai banjir keringat karena canggung. Gue pasti jadi pusat perhatian. Gimana ngga, Mithya yang tomboy dan kayak laki itu dateng dengan full make up dan dress cantik. … a lot of people said that I am beautiful kalo mau didandanin dan pakai baju feminin. But it’s just not me. M harus menampilkan pilihan-pilihan gender yang selaras sebagaimana normativitas masyarakat jika sedang menghadiri resepsi pernikahan, meski hal tersebut membuat dirinya tidak nyaman. M mencerita- kan bahwa suatu saat dirinya mencoba berpenampilan tidak seperti normativitas gender perempuan ketika menghadiri acara resepsi. Kemudian, ternyata hal terse- but dinilai orang-orang sekitarnya sebagai sebuah hal yang tidak lazim, M “ditegur” karena penampilannya tersebut. Pada akhirnya, M harus “tunduk” terhadap normativitas masyarakat akan keselerasan penampilan tubuhnya dengan gender. “Akhirnya gue harus menerima norma masyarakat yang satu ini. … For now Mithya harus dateng … mengenakan pakaian perempuan lengkap dan dan- danan tebal, berusaha menjadi cewek-cewek kebanyakan di sekitarnya” (Ibid.). Di balik ketundukan M terhadap keselarasan Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 19
  • 20. Ari Setyorini antara penampilan dan identitas ini, sebenarnya M telah membuktikan bahwa apa yang disebut sebagai gender perempuan hanyalah bentuk-bentuk peniruan. M meniru tampilan gender perempuan dengan mengikuti normatif masyarakat akan “kepantasan”, yakni berdandan dan berpakaian perempuan (rok) untuk acara-acara formal seperti resepsi pernikahan, meskipun sebenarnya diri M merasa tidak sesuai dengan tampilan tersebut. Namun, justru aksi tiru itu, membuat M dikategorikan sebagai perempuan dan akhirnya diterima oleh masyarakat. Karenanya, tak ada yang dapat disebut sebagai identitas asli, yang ada hanya bentuk-bentuk peniruan yang diulang- ulang di bawah tekanan, melalui apa yang disebut sebagai larangan, penyebutan atas tabu (Butler 1993, 95) atau apa yang dinyatakan sebagai pantas-tidak pantas. Pada konteks identitas lesbian sebagai Butch- femme-andro-no label, penampilan acapkali menjadi identifikasi atas kategori tersebut. Butch biasanya ber- penampilan kelaki-lakian, femme tampak feminin se- bagaimana normativitas perempuan. Dikotomi butch- femme, yang kerap kali dikritik dalam partnership lesbian karena seolah-olah “meniru” dikotomi atas perempuan- laki-laki, tampaknya tidak berlaku bagi L-M. Selain menyebut diri mereka sebagai no label, performativitas yang mereka lakukan menunjukkan bahwa mereka bisa berpenampilan sebagaimana butch maupun femme. A. 1. 2 Perilaku dan Peran Identifikasi criss-crossing gender tampak pula dari perilaku dan peran yang ditampilkan L-M. Beberapa performativitas L menunjukkan bahwa terdapat sisi femininitas dan sekaligus maskulinitas dalam dirinya. Identifikasi femininitas muncul ketika ia menjelaskan dirinya yang gampang sekali menangis. L mendeskripsi- kan perilaku dirinya dan M sebagai berikut, “Nah, yang paling cewek banget dari kita… kita itu mewekan. Baca buku sedih, mewek. Nonton pelem, mewek. Nonton Oprah, mewek. Nonton konser, mewek…“ (“Mithya and Me,” Rabu, 10 Maret 2009). Dipahami bahwa perilaku menangis selalu diidentikkan dengan perempuan. L mengidentifikasi 20 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
  • 21. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia perilaku mereka yang gampang mewek (menangis) se- bagai sisi femininitas utama mereka. Beberapa perilaku yang kerap diidentikkan dengan perempuan tampak pada perilaku L yang lebih mendahulukan emosi. Sena- da dengan L, M pun memiliki perilaku yang menampil- kan sisi femininitas. Digambarkan L, “Mithya suka ama boneka-boneka lucu, sedangkan gue tidak terlalu. Dia bisa menarik-narik gue di depan toko mainan terus dengan suara imut bilang, ‘aa, ayang lucu banget yaa…’ sambil peluk-peluk bonekanya” (Ibid.). M yang sedari awal mengidentifikasi bahwa soul dirinya sebenarnya adalah laki-laki, namun dengan menunjukkan kegemarannya terhadap boneka –yang identik dengan mainan anak perempuan, sekali lagi menunjukkan ambiguitas identitas gender M. Partnership yang dijalankan oleh L-M menunjuk- kan bahwa mereka bisa berperan sebagai siapa pun da- lam hubungan tersebut. Maksudnya, tidak ada aturan sebagaimana normativitas masyarakat yang mengung- gulkan peran maskulin daripada feminin. Misalnya, gender maskulin “diharuskan” mengurusi urusan pub- lik, menjadi kepala rumah tangga, sementara gender feminin memiliki peran domestik rumah tangga (Fakih 1996, 10-1). Konstruksi peran gender dalam masyarakat tersebut tidak berlaku dalam partnership L-M. Peran bagi L-M digambarkan M ketika dirinya sedang berangan- angan membayangkan bagaimana nantinya jika mereka berdua hidup serumah. … Kalo aku udah kerja sih kayaknya aku yang baka- lan tukang pulang malem atau mepet pagi, hehehe.. It’s nice kalo di YM kita nanya, ‘Makan malem apa?’, ‘Makan di rumah ngga?’… atau kalo pu- lang kantor, aku uda siapin air anget buat kamu mandi…. (“Waiting for Your Call,” Jumat, 8 Juni 2007). Penyebutan M akan tukang pulang malam (pagi) bagi kontruksi masyarakat biasa dilekatkan pada laki-la- ki. Bahkan jika perilaku tersebut dilakukan oleh perem- puan, maka perempuan tersebut akan dinilai sebagai Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 21
  • 22. Ari Setyorini perempuan yang “tidak benar” atau nakal. Namun, bagi M sebutan tersebut diberikan kepada dirinya send- iri untuk menunjukkan bahwa peran dirinya di ranah publik, yang memungkinkan dirinya untuk kembali ke rumah lebih larut daripada L. Akan tetapi, angan-angan M selanjutnya menggambarkan peran-peran dirinya da- lam wilayah domestik, misalnya, menyiapkan makanan bagi mereka. Bahkan, M menggambarkan dirinya dan L memiliki peran yang sama yakni di wilayah domes- tik sekaligus publik. Hal ini tampak dari bagaimana M membayangkan jika L-M sedang berkomunikasi mela- lui Yahoo Messenger! mereka akan saling menanyakan persoalan domestik, misalnya mengenai menu maka- nan, yang identik dengan peran perempuan. Wacana-wacana tersebut secara tidak langsung menjadi counter wacana bagi konstruksi masyarakat tentang keharusan keselarasan antara boduly sex dan gender. Keharusan bahwa perempuan wajib berting- kah laku feminin dan berperan dalam ruang domestik, tampaknya telah menjadi sesuatu yang old-fashioned. Performativitas-performativitas yang ditampilkan oleh L-M mempertegas bahwa identitas adalah sesuatu yang dapat diubah, dapat di-mix-match-kan. Individu dapat menjadi sosok feminin dan maskulin sekaligus. Indi- vidu tidak dapat dibatasi hanya dengan role tertentu yang ajeg. Butler memang mengajukan performativitas identitas untuk menunjukkan bahwa identitas dapat diubah-ubah dan dipilah-pilah, sebagaimana jika ses- eorang memilih pakaian yang hendak mereka kenakan. Namun, yang patut dicatat adalah pilihan-pilihan terse- but tidak dapat dilakukan dengan bebas, karena ter- batasnya pilihan akan identitas yang ada dalam budaya dominan. Singkat kata, performativitas adalah bebas namun terikat (Butler via Salih, 2002), gender diper- lakukan sebagai aksi performatif yang bebas namun terikat. Baik L maupun M, tak mampu lepas dari iden- titas yang terlanjur dilekatkan pada perempuan dalam budaya Indonesia. 22 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
  • 23. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia A. 2 Aktivitas Seksual Post L-M dalam FD beberapa kali menggambarkan ak- tivitas seksual mereka sebagai partner lesbian. Seperti misal- nya diceritakan oleh M (“While You Sleep…,” Kamis, 7 Juni 2007), I spread kissess along your lips, neck, then to your breast where I lingered, gently squeezing every each one of them. … my lips eagerly returned to you back, your neck, and my hand cupped each and one of your breast. … my hand be- tween your thigh, touching you. Your legs opened for me, and I slip between them, thrusting deeply as I can into you. As I make love to you, your breathing became frantic. … suddenly you screamed out as I touched the right spot, and as I felt the trembling wrack of your body, the pleasure burst through me as well…. Gambaran M tersebut menunjukkan aktivitas seksual mereka, mulai dari foreplay hingga “aktivitas utama.” Yang menarik, M menyebut seks oral sebagai aktivitas utama seks mereka, bukan sebagai foreplay. “I slip between them, thrusting deeply as I can into you” menggambarkan aktivitas seksual oral yang M dan L lakukan. Hal ini menjadi kritik bagi konstruksi masyarakat yang menyebut aktivitas seksual di luar penetrasi adalah aktivitas seksual tambahan, aktivitas seksual pemana- san, atau foreplay. Hal ini tampak dari pilihan kata “make love”4 yang biasanya dikaitkan dengan aktivitas seksual penetratif, namun mereka gunakan untuk menggambarkan seks utama mereka, seks oral. Salah satu hal terpenting dalam aktivitas seksual, yakni orgasme, dapat terjadi tanpa melibatkan perbedaan anatomi tubuh. Seperti yang dijelaskan M saat menggambarkan proses orgasme, “…you screamed out as I touched the right spot, and as I felt the trembling wrack of your body, the pleasure burst through me 4 Bandingkan pemakaian diksi ‘make love’ (have sex) dengan ‘make out’. Diksi pertama acap kali diidentikkan dengan seksual penetratif, sementara diksi selanjutnya sering terkait dengan aktivitas seksual nonpenetratif, salah satunya adalah seks oral (Lihat Encarta Dictionary 2008). Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 23
  • 24. Ari Setyorini as well…” (Ibid.). “The right spot” digunakan untuk menggam- barkan G-Spot. Persoalan seksualitas bagi L-M adalah perso- alan ketepatan menemukan spot yang benar, karenanya dapat dilakukan baik itu dengan sesama jenis maupun berbeda jenis kelamin. Di sini, karena perkara seksualitas bukan lagi perka- ra penetrasi penis, karenanya fungsi dari penis digantikan dengan anggota tubuh lainnya. Penggunaan kata “touched” (sentuh) menunjukkan aktivitas tangan, sebagaimana fungsi tangan untuk menyentuh. Selanjutnya, my hand between your thigh, touching you, semakin menegas aktivitas seksual non- penetratif. Penggunaan “between you thigh” (di antara paha- mu) menunjukkan letak pleasure perempuan, yakni klitoris yang ada di vagina. Leksikon ini menggambarkan aktivitas masturbasi mutual, di mana (M) melakukan stimulasi seksual klitoris kepada pasangannya. Seksualitas sebagai bentuk kesenangan juga digam- barkan oleh L-M melalui post “Our Own Made Drama.” L menceritakan aktivitas seksual yang biasa mereka lakukan di toilet umum mall. Sebelum melakukan aktivitas seksual, L-M biasanya melakukan “drama” agar keduanya dapat berada di dalam toilet yang sama untuk melakukan aktivitas seksual. Diceritakan L, mula-mula salah satu dari mereka akan masuk ke dalam toilet, kemudian pura-pura sakit dan meminta part- ner yang lainnya untuk masuk ke dalam toilet juga untuk membantunya. Ketika keduanya berada di dalam toilet itu- lah, mereka melakukan aktivitas seksual. L menggunakan is- tilah plop-plop (“Our Own Made Drama,” Rabu, 13 Mei 2009) untuk menjelaskan aktivitas seksual masturbasi (handjob) yang mereka lakukan di dalam toilet. Plop-plop sendiri meru- juk pada suara yang ditimbulkan dari aktivitas seksual yang melibatkan tangan. L-M menentang apa yang dianggap tabu dalam masyarakat. Aktivitas seksual di tempat umum, seper- ti toilet mall, bagi masyarakat seringkali dianggap bukan ak- tivitas seksual yang benar. Karenanya, L-M harus melakukan “drama” terlebih dahulu untuk melakukan aktivitas seksual “tabu” tersebut. Aktivitas seksual lain digambarkan oleh L dalam post, “...ngarep bisa megang tangan kamu, nyium kamu dikit di bibir, meluk kamu, gesekan...” (Jumat, 15 Juni 2007). Leksikon gesekan menggambarkan aktivitas seksual yang dilakukan 24 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
  • 25. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia oleh L dan partnernya. Aktivitas ini biasa disebut dengan tribadisme, pasangan lesbian saling menggesekkan vagina mereka. Aktivitas seksual ini menggantikan fungsi penis sebagai alat penetratif karena vagina “dilawankan” dengan vagina. Variasi aktivitas seksual, seperti hand-job, seks oral, dan seks di tempat umum, dilakukan oleh L-M lebih karena hasrat seksual itu sendiri. Apa yang dilakukan L-M dengan melakukan kombi- nasi terhadap identitas gender-seksualitas dengan tidak men- jalankan keduanya sebagaimana normativitas masyarakat, sesuai dengan apa yang disebut Butler (1990, 36-37) sebagai pastiche. L-M melakukan perpaduan terhadap identitas gen- der feminin-maskulin dan seksualitas perempuan dan laki- laki. Melalui cara ini L-M, melakukan mockering terhadap apa yang disebut oleh masyarakat sebagai normativitas gender dan seksualitas utama. Seksualitas bagi L-M bukanlah per- soalan dikotomisasi anatomi tubuh atau pula perkara halal- haram, tapi lebih pada pleasure itu sendiri. A. 3 Pernikahan Pernikahan bisa disebut sebagai hal termewah bagi part- ner lesbian. Beberapa post menjelaskan angan-angan L-M akan pernikahan sejenis, namun dengan segera mereka menyadari bahwa angan-angan tersebut merupakan hal yang utopis be- laka. “… tunggu kita selesai kuliah, terus … nikah deh … hehehe (gila agaknya … kekekeek)” (Lushka, Selasa, 12 Juni 2007). Ini- lah salah satu keinginan yang sebenarnya bisa dibilang kon- servatif. Mereka yang tampak no label, ternyata masih juga memerlukan suatu “status” yang lebih diamini masyarakat heteroseksual, sehingga L kerap kali membayangkan pernika- han sebagai ujung dari partnership mereka. Mungkin ini bisa dianggap sebagai pengaruh dari idealisme pernikahan dalam dunia heteroseksual. Namun, sanggahan yang muncul segera setelah men- gangankan pernikahan, “gila agaknya”, menegaskan bahwa bagi masyarakat adalah hal yang gila jika sepasang lesbian melakukannya. Hal tersebut disadari benar oleh L-M, seperti yang tampak pada post L selanjutnya, … what if kita nikah. Standar ngayal kita deh. Kita sih Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 25
  • 26. Ari Setyorini maunya kalo nikah itu harus sah, legal dan halal. Which mean, harus siap, ikhlas, sesuai dengan agama yang kita anut, legal di mata hukum negara dan restu orang tua. MANTAB. Masalahnyaaaaaa! … gue berdua untuk dapat nikah dengan kondisi tersebut di atas, harus memiliki syarat sebagai berikut: 1). Ikhlas/ Siap  … siap banget dah, 2). Restu orang tua  nyokap Mithya klik banget ama gue.. hihihi. Mithya kayanya juga bisa get along dengan baik ama keluarga gue, 3). Beda Kelamin… errrr, 4). Beragama sama … errrr. Itu dia masalahnya pemirsa! Gue berdua udah sama kelaminnya, eeehhh ditambah pake beda agama! (“Ayo Pilih Mana,” Rabu, 13 Mei 2009). L menggambarkan hal-hal yang harus dipenuhi jika mereka akan melakukan pernikahan. Pertama dan mendasar adalah persyaratan akan perbedaan kelamin dalam sebuah pernikahan. Selanjutnya adalah persamaan agama atau ke- percayaan. Kedua masalah tersebut tidak dapat dipenuhi oleh L-M karena mereka sama-sama perempuan, namun berbeda agama (Lushka beragama Katholik, Mithya beragama Islam). Bagi pasangan lesbian, hal yang kerap mereka temui adalah keterpaksaan mereka untuk menikah dengan laki-laki demi atribut sosial yang nantinya akan melekat pada mereka. L-M menceritakan bahwa banyak lajang lesbian yang dijodoh- kan oleh orang tua mereka. Sebagaimana digambarkan L, …para lajang yang dijodohkan oleh orang tua untuk para Queer, punya masalah apa ya? Apakah homo? Psycho? Kuper? Jelek? Terlalu sibuk? Terlalu pintar? Tidak percaya dengan pernikahan? Sakit keras? Punya masa lalu yang buruk? Why?! Kenapa para ‘calon korban pengorbanan’ lesbian ini sampai perlu dijodohkan? (Lushka, Selasa, 22 Desember 2009). MenarikuntukdicermatiketikaLmenyorotipermasalahan justru kepada individu yang dijodohkan kepada lesbian, bukan kepada lesbian itu sendiri. Kecurigaan L terhadap kualitas laki- laki yang dijodohkan kepada lesbian menunjukkan pesimisme dirinya. Dia menggambarkan imej-imej “negatif” seperti homo, psycho, kuper, jelek, terlalu sibuk, terlalu pintar, tidak percaya 26 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
  • 27. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia dengan pernikahan, sakit keras, punya masa lalu yang buruk terhadap laki-laki yang dijodohkan dengan lesbian. L juga menilai bahwa yang bermasalah bukanlah lesbian tersebut, tapi justru laki-laki yang mau “dikorbankan” sebagai jodoh lesbian. L melakukan redefinisi bahwa yang “bersalah” jika terjadi perjodohan antara lesbian dengan laki-laki straight adalah justru si laki-laki tersebut. Orang biasanya berpikir bahwa perjodohan antara lesbian dan laki-laki straight akan “menyembuhkan” lesbian. Pada konteks ini, laki-laki yang dijodohkan tersebut seringkali dianggap sebagai hero bagi masyarakat, namun nyatanya bagi L, laki-laki tersebut tak ubahnya sebagai “korban” yang terpaksa menuruti sistem budaya. Hingga akhirnya, mereka mau saja dijodohkan dengan lesbian karena asas heteronormativitas. B. Weblog Rahasia Bulan (RB) Weblog ini adalah milik seorang lesbian bernama virtual Alex (A). Blog ini cukup dikenal oleh komunitas lesbian karena A meru- pakan pengelola salah satu majalah lesbian online, sepocikopi.com. Struktur blog ini terdiri dari tiga bagian utama. Bagi pertama adalah judul weblog, yakni Rahasia Bulan. Bagian selanjutnya adalah post, bagian ini merupakan inti dari weblog tersebut karena memuat tu- lisan A dan juga komentar-komentar blogger atas post yang dilaku- kan A. Bagian terakhir berisi deskripsi blog, twitter, tagline, arsip blog, kategori post, web hit counter, dsb. B. 1 Perbincangan Mengenai Identifikasi Femme, Butch, Andro, dan No Label Berbeda dengan weblog milik L-M, yang dengan gamb- lang menjelaskan bahwa mereka adalah no label, A tidak secara gamblang menjelaskan identitas dirinya dalam kategorisasi femme-butch-andro maupun no label. Identifikasi tampak per- tama kali melalui pemilihan nama virtual yakni “Alex”. Nama “Alex” merupakan kependekan dari Alexander atau Alexan- dria, berasal dari bahasa Yunani yang biasanya dihubungkan dengan Hera, istri Zeus. Nama ini juga kerap dihubungkan dengan Alexander the Great dan kerap dikaitkan dengan ke- beranian dan kekuatan fisik. “Alex” merupakan nama untuk unisex yang umum dipakai baik bagi laki-laki maupun perem- puan (http://www.wikipedia.org). Nama ini kemudian men- Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 27
  • 28. Ari Setyorini jadi penanda akan identifikasi Alex sebagai “in-betweeness”’. Perempuan (yang disimbolkan melalui Hera) yang memiliki sifat maskulin sebagaimana Alexander the Great. Pada beberapa post, dia menggambarkan isu identifikasi lesbian ini, namun tidak mengategorikan dirinya ke dalam salah satunya. Alex menyoroti identifikasi tersebut melalui sosok idola yang dinilainya mewakili ketertarikan dia terhadap perempuan yang maskulin. Misalnya, ketika dia menggambarkan artis-artis perempuan yang berperan sebagai jagoan, dan dinilainya sebagai sosok perempuan yang menarik. Dia menulis, “… temukan perempuan-perempuan jagoan ini, lalu nikmati pesta mata bersama mereka. Perempuan-perempuan cantik, berotak, berani, berkepribadian kuat, dan jagoan di antara jagoan.” (“10 Cewek /Jagoan dalam Film Sci-Fi/ Fantasi,” 2008). Hal menarik untuk dicermati adalah pilihan kategori terhadap perempuan idola bagi A adalah cantik, berotak, berani, berkepribadian kuat, dan jagoan di antara jagoan. Kategori perempuan idola ini menunjukkan perpaduan antara maskulinitas dan feminitas dalam sosok perempuan. Cantik merupakan kata sifat yang lekat dengan femininitas perempuan. Sementara, diksi berotak, berani, berkepribadian kuat, dan jagoan adalah penanda bagi maskulinitas. Perempuan yang menarik bagi A adalah perpaduan antara feminin dan maskulin. Bahkan A kemudian menyebut beberapa karakter perempuan jagoan yang merupakan idola dirinya, misalnya, Lara Croft (karakter yang diperankan oleh Angelina Jolie dalam film Tomb Rider), Trinity (karakter yang diperankan oleh Carrie Anne Moss dalam The Matrix), Keira Knightley (karakter yang diperankan oleh Elizabeth Swann dalam Pirates of Carribean), Mystique (karakter yang diperankan oleh Rebecca Rojimn dalam X-men), Alice (karakter yang diperankan oleh Milla Jovovitch dalam Resident Evil), Sarah Connor (karakter yang diperankan oleh Linda Hamilton dalam Terminator), dan Princess Leila Organa (karakter dalam Star Wars). Hal yang menarik, A memberikan penjelasan pada masing-masing karakter berkaitan dengan maskulinitas para karakter perempuan jagoan tersebut. Pada karater Lara Croft, Alex menilai sosok tersebut menjadi idola bagi kebanyakan lesbian. Fisiknya membuat Jolie menjadi idola. Dia men- jelaskan, “ … melihat payudara 36 DD-nya Lara Croft menjadi 28 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
  • 29. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia pemandangan mengasyikan tersendiri” (Ibid.). Pada konteks ini, pendapat Alex menyerupai male-gaze karena melihat sosok Lara Croft berdasarkan tubuhnya yang menarik secara sek- sual. Karakter Knightley diidolakan oleh Alex karena “… cantik, cerdas, jagoan, dan tidak menye-menye atau manja.” Me- narik ketika A menjelaskan karakter jagoan yang disebutnya adalaha cantik (penanda bagi femininitas), akan tetapi sekali- gus dengan karakter tidak menye-menye atau manja. Kata sifat menye-menye atau manja biasanya dilekatkan sebagai peri- laku perempuan. A menolak karakter tersebut sebagai karak- ter jagoan perempuan. A melakukan pemilihan atas penanda femininitas. Penanda mana yang harus dimiliki sebagai jago- an perempuan yang diidolakannya, serta penanda feminini- tas mana yang seharusnya tidak dilekatkan pada sosok idola tersebut. A juga menggambarkan beberapa adegan yang diper- ankan oleh karakter tersebut yang sedikit banyak meng- gambarkan identifikasi dirinya. Dia menyukai adegan yang dilakukan oleh Sarah Connor (Linda Hamilton) ketika menem- bakkan senapan. Dia menjelaskan bahwa tampilan Connor saat itu sangatlah andro. Andro merupakan identifikasi yang digunakan untuk menunjukkan pembagian peran yang sama dalam karakter maskulin dan feminin pada lesbian. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani. Dalam konteks identitas gender, androgini adalah orang yang tidak sepenuhnya cocok den- gan peranan gender maskulin dan feminin yang tipikal da- lam masyarakat. Mereka menggambarkan dirinya di antara laki-laki dan perempuan atau sama sekali tidak bergender (Serean, 2005). Identifikasi identitas memang tak begitu tampak da- lam weblog RB ini. Hanya saja, A kerap kali mengambarkan ketidaktertarikannya terhadap femme. Seperti dijelaskannya, Aku ingin perempuan yang bisa membaca peta, karena aku bisa membuatmu tersesat. Aku bisa menunjukkan jalan padamu, tapi kamu yang harus menyetiriku sepa- njang jalan. Dan di saat-saat tegang, aku nggak mau perempuan femme kelemer-kelemer pemarah... aku mau kamu, “my butch”, yg tegas dan berwibawa, hahaha. :) Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 29
  • 30. Ari Setyorini (“Pasangan yang Sempurna,” 2008) “Membaca peta”, “menyetir”, serta “tegas dan ber- wibawa” adalah penanda bagi maskulinitas, atau dalam identifikasi lesbian merupakan penanda bagi butch. Hal ini, pada satu sisi dapat diartikan bahwa A adalah seorang femme (karena memiliki ketertarikan pada butch). Akan tetapi, se- baliknya, hal tersebut juga dapat diartikan bahwa A adalah seorang butch, karena tidak menyukai identifikasi femme. Ba- gaimanapun juga, hal ini menjelaskan bahwa persoalan iden- titas adalah persoalan yang tidak akan pernah pasti. Kecairan identitas A, bagi sebagian orang, membuat- nya dikategorikan sebagai andro. Akan tetapi, A sendiri justru tidak dengan jelas menyebut dirinya sebagai androgini. Pada konteks ini, sebagai lesbian yang merupakan negasi dari hete- ro, A telah menunjukkan instabilitas atas heteronormativitas. Sementara dalam dunia lesbian sendiri, A juga menunjuk- kan bahwa identifikasi atas butch-femme-andro-no label justru hanya akan mereduksi instabilitas gender dan seksualitas itu sendiri. Tak ada identifikasi yang pasti atas identitas gender dan seksualitas individu. Penjelasan lebih lanjut dipaparkan dalam subjudul berikut. B. 1. 1 Performansi Penampilan dan Fisik A adalah lesbian yang telah out of the closet baik pada keluarganya maupun pada teman-temannya. Meski demikian, bagi sebagian temannya, penampilan sebagai penanda identitas A tidak menunjukkan identi- fikasi tersebut. Sebagaimana diungkapkan A, Dari segi penampilan saya bukan tipe “bapak-ba- pak”, demikian teman-teman straight saya sering menyebut mereka yang “butch”, …karena menu- rut mereka saya tipe lesbian yang bisa “menya- mar” di antara manusia hetero (“Opini: To Out or Not to Out,” 2006). A memang tidak menunjukkan secara spesifik penampilan dan fisiknya melalui deskripsi. Namun, dari post di atas, sedikit banyak diketahui bahwa pe- 30 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
  • 31. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia nampilan A adalah tidak maskulin seperti butch. Hal ini menegaskan kembali bahwa apa yang disebut gen- der adalah performativitas. Ketika lesbian, bagi teman- teman hetero A, diidentifikasi melalui penampilan dengan tipe “bapak-bapak”, justru hal tersebut tidak tampak pada A. Ketika perfomativitas A “hanya” se- bagaimana perempuan hetero lainnya, maka identitas yang melekat padanya tak ubahnya seperti perempuan lain, perempuan “normal”. Penampilan A sebagaimana perempuan hetero lainnya membuatnya dapat “me- nyamar” sebagai manusia hetero (namun senyatanya A lebih memilih untuk out). “Menyamar” merupakan aksi menyaru, mengubah rupa (tidak memperlihatkan keadaan yang sebenarnya) (http://www.artikata.com). Aksi ini menurut Foucault menjadi sebuah teknologi diri, sebuah strategi untuk memproduksi diri sesuai dengan pengetahuan kita akan diri kita sendiri, strategi yang memungkinkan kita untuk memilih bagaimana kita hendak menampilkan diri di antara berbagai pili- han. Karenanya, seseorang bisa saja menampilkan diri mereka tidak sesuai dengan kenyataannya. Pemakaian kata “menyamar” menunjukkan bagaimana sebenarnya individu “hanya” teridentifikasi melalui tampilan- tampilan yang tampak pada tubuh sehingga memung- kinkan individu untuk memperformatifkan penampi- lan yang tidak sesuai dengan identitas diri mereka yang “sebenarnya” (Gauntlet 2002, 128). Penampilan sebagai penanda gender juga dipertanyakan oleh A ketika membandingkan identitas perempuan tomboy dengan lesbian. A menulis, “… perempuan yang mengenakan kemeja, jins, rambut cepak paling-paling hanya dibilang tomboi, tidak langsung dicap lesbian” ( “Opini: Watch Your Step, How Far Can You Go?” 2006). Penanda identitas melalui penampilan adalah hal yang dapat dimanipulasi. Jika perempuan berdandan a la laki-laki dengan mengenakan kemeja, jeans, dan berpotongan rambut cepak, maka tidak lantas perempuan tersebut disebut butch atau lesbian. Identifikasi atas perempuan tersebut hanyalah disebut sebagai perempuan tomboy, tentunya dengan Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 31
  • 32. Ari Setyorini menempatkan identitas seksual mereka sebagai heteroseksual. Identifikasi gender dan seksualitas ini, sekali lagi, hanya merupakan persoalan performativitas melalui appearance of substance (Butler 1990, 141). Bedanya, jika lesbian memparodikan apa yang dianggap normativitas atas gender dan seksualitas, sebaliknya, perempuan heteroseksual menampilkan identitas mereka sesuai dengan normativitas yang telah ada. Sebagaimana yang ditegaskan Butler (Ibid.), That gender reality is created through sustained social performances means the very notions of an essential sex and a true or abiding masculinity and femininity are also constituted as part of the strategy that conceals gender performative’s character and the performative possibilities for proliferating gender configurations outside the restricting frames of masculinist domina- tion and compulsory of heterosexuality. Hanya saja, kerap kali yang terjadi ketika seorang perempuan menunjukkan ketidaksesuaian antara gen- der dan seksualitas, antara penampilan tubuh dan kon- struksi identitas, antara jenis kelamin dan pilihan seksu- al, maka yang muncul adalah pelabelan abnormal pada perempuan tersebut. Misalnya, melalui pelabelan tom- boy, nonkonfromitas atas penampilan tubuh dan gen- der dinilai sebagai sebuah abnormalitas, bahwa perem- puan tersebut gagal menjadi “perempuan sebenarnya”, gagal menunjukkan femininitas dirinya melalui pe- nampilan. Karenanya, dia disebut perempuan tomboy, bukan “perempuan” tanpa embel-embel apapun di be- lakangnya. Akan tetapi, identifikasi sebagai perempuan tomboy lebih bisa diterima bagi masyarakat daripada lesbian. Preferensi seksualitas tomboy terhadap laki- laki yang bagi masyarakat dianggap normal membuat- nya masih dicap “normal”. Beda halnya dengan lesbian, meskipun gender mereka menunjukkan normativitas femininitas, namun jika preferensi seksualitas mereka tidak sesuai dengan heteronormativitas, maka punish- ment masyarakat akan berlaku pada mereka. 32 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
  • 33. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia B. 1. 2 Perilaku dan Peran Tampilan tubuh memang kerap kali menjadi pen- anda identitas gender seseorang. Diceritakan bagaima- na gesture tubuh menjadi penanda identitas individu, “Kenapa sih kamu kalau berdiri mengangkang begitu? Apa itu ciri khas lesbi? Jadi inget si xxx, yang kalau jalan keliatan lesbi banget ya? Dia keliatan lesbi dari cara jalannya... sama kaya si xyz” … cara jalan saya tidak bergaya “lesbi”. Tapi cara berdirinya, iya. Waks, pikir saya, lebih parah lagi dong. Belum jalan aja, udah ketauan. … partner saya menjelaskan lagi tentang cara berjalan “mengayun” ala lesbian. Dan dia menambahkan gerakan-gerakan seperti menyilangkan tangan di depan dada atau memasukkan tangan ke saku celana yang sering dilakukan lesbian. ... Ayunan langkah, bahasa tubuh, serta gerakan-gerakan tanpa sadar yang mereka lakukan (“Opini: To Out or Not to Out,” 2006). A menceritakan kometar Laksmi, partnernya, mengenai “ciri khas” lesbian yang tampak dari gesture mereka. “Berdiri ngangkang” adalah gesture yang bagi Laksmi sering dilakukan oleh lesbian. Berdiri dengan cara seperti ini biasanya dilakukan untuk menunjukkan maskulinitas. Selanjutnya, dijelaskan oleh A pandangan Laksmi mengenai cara berjalan lesbian yang “mengayun” sembari “menyilangkan tangan di depan dada” atau “memasukkan tangan ke saku celana”. Cara jalan tersebut tidak menunjukkan femininitas perempuan. “Menyilangkan tangan di depan dada” seolah-olah menutupi bagian tubuh penanda perempuan, yakni payudara. Leksikon “dada” lebih dipilih daripada “payudara” karena menunjukkan netralitas. Maksudnya, leksikon “payudara” memang selalu diidentikkan dengan perempuan, karena selain sebagai simbol seksualitas juga merupakan simbol kewanitaan (perempuan menyusui bayi melalui Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 33
  • 34. Ari Setyorini payudara). Namun, dengan menggunakan “dada”, A menunjukkan netralitas atas makna bagian depan tubuh perempuan ini. Dada memiliki makna unisex. Setiap anatomi tubuh manusia memiliki bagian yang disebut dada. Akan tetapi pada konteks ini, diksi dada terkait dengan sesuatu yang ingin ditutupi. Ini kemudian menjadi sebuah ironi karena dalam rangkaian kata- kata tersebut terdapat ambiguitas. Kalimat tersebut tidak hendak menunjukkan netralitas. Cara jalan— menyilangkan tangan di depan dada, menggambarkan ketidaknyamaan terhadap nonkonfromitas gender dan seksualitas lesbian atas penanda-penanda tubuh yang melekat pada diri mereka, yakni seksualitas dan wom- anhood yang ingin ditutupi oleh perempuan tersebut. Perilaku ini kerap dilakukan oleh lesbian karena non- konformitas tersebut adalah patologi bagi budaya het- eronormativitas. Perilaku-perilaku tersebut, kemudian bagi Laksmi banyak ditampilkan oleh lesbian. Anggapan Laksmi tersebut membuat A memikirkan apakah ketidaksesuaian penampilan perempuan terhadap normativitas femininitas serta-merta menunjukkan identitas perempuan sebagai lesbian? A menulis, Seberapa jauh keakraban sesama perempuan masih dinilai wajar?” Saya selalu merasa tingkat toleransi keakraban terhadap sesama perempuan jauuuuh lebih tinggi terhadap pasangan lelaki. Di tempat-tempat umum seperti di mal, kita sering melihat sesama perempuan bergandengan tangan, atau bahkan berpelukan tanpa merasa aneh atau menganggap mereka lesbian. Coba bayangkan dua lelaki yang bergandengan tangan... ugh, pasti dibilang gay, homo, atau banci atau apalah.... (Ibid.). Kutipan di atas menjelaskan bahwa yang disebut sebagai identitas, apakah perempuan tersebut dinilai hetero atau lesbian, sangatlah cair batasannya. Buda- ya heteronormatif, bagi A, lebih permisif bagi sesama perempuan untuk bertingkah laku akrab. A mencon- 34 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
  • 35. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia tohkan bergandengan tangan atau berpelukan antar perempuan adalah wajar. Beda halnya jika hal tersebut dilakukan oleh laki-laki, serta-merta laki-laki tersebut dianggap gay atau banci, atau singkatnya, tidak menun- jukkan maskulinitas. Sebagaimana L-M pada weblog FD, peran yang berlaku dalam partnership A dan Laksmi tidak menun- jukkan pembagian peran yang kaku sebagaimana ang- gapan mengenai butch-femme. Identifikasi peran antara butch dan femme biasanya memisahkan keduanya dalam lingkup dikotomis. Butch cenderung dianggap memiliki peran aktif dan publik, sementara femme sebaliknya. A, Laksmi dan kedua anak biologis Laksmi hidup bersama seatap. Baik A maupun Laksmi sama-sama memiliki peran ganda, sebagai ibu sekaligus ayah. Jika Laksmi, sebagai ibu biologis, dipanggil dengan sebutan mami, maka A dipanggil sebagai tante mami. Keduanya sa- ma-sama berperan dalam mengasuh anak, memasak, mengurus rumah, sebagaimana peran sosial yang oleh masyarakat dilekatkan pada perempuan; juga berperan mencari nafkah untuk kehidupan mereka bersama. Na- mun, tak dipungkiri sisi femininitas A dan Laksmi lebih dominan dalam partnership yang mereka jalani. Diceri- takan A (“Hari Minggu,” 2009), Inilah parahnya memiliki dua mami, karena dua- duanya cenderung menjadi cerewet. Suara femi- nin yang khas memenuhi udara sampai-sampai aku terkadang tidak tahan. “Say, kayaknya harus ada yang bersikap seperti para ayah deh, bersikap seperti bapak-bapak kebanyakan.” Kami berdua tertawa karena sama-sama menyadari kami sulit bersikap seperti “bapak-bapak” dalam satu kelu- arga. Kalimat “…harus ada yang bersikap seperti para ayah deh, bersikap seperti bapak-bapak kebanyakan”. Kata “seper- ti” menunjukkan perbandingan langsung (simile) antara perilaku dan peran “bapak” dan “ibu”. Menariknya, perbandingan tersebut menunjukkan bahwa dikotomi Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 35
  • 36. Ari Setyorini bapak-ibu, maskulin-feminin “hanya” merupakan aksi tiru, di mana A dan Laksmi dapat saja meniru perilaku sebagaimananya figur “bapak” yang maskulin. Dengan demikian, perkara gender dalam pembagian rumah tangga merupakan perkara performativitas. B. 2 Aktivitas Seksual A hidup seatap dengan partnernya, Laksmi. Hal tersebut sedikit banyak berengaruh terhadap performativitas aktivitas seksual mereka di weblog. Hal ini tampak dari sedikitnya narasi mengenai aktivitas seksual mereka di weblog (jika dibandingkan dengan narasi aktivitas seksual L-M). Ini dapat dimaknai bahwa jarak menjadi salah satu penentu dalam hubungan seksualitas lesbian. Akan tetapi, jumlah yang sedikit tersebut tetap menunjukkan bahwa aktivitas seksual yang dilakukan A dan Laksmi sebagai partner lesbian, di mana dikotomisasi penis- vagina tidak melulu menjadi standar akan seksualitas karena melalui aktivitas seksual lesbian, apa yang dianggap maskulin (agresif) dan feminin (pasif) menjadi sebuah permainan seksualitas belaka. Seperti yang ditampilkan berikut, Aku berguling di ranjang sementara jari-jari halusmu menjelajahi pundak telanjangku. Kau mendesakku – kelembutan yang penuh tenaga, mengunci tubuhku di sepanjang sisi sampai aku tidak mampu bergerak da- lam pelukanmu (“Tanda,” 2009). Kutipan post tersebut menggambarkan aktivitas seksual yang dilakukan oleh A dan partnernya. Kalimat “kelembutan yang penuh tenaga, mengunci tubuhku di sepanjang sisi sampai aku tidak mampu bergerak dalam pelukanmu” menggambarkan aktivitas seksual lesbian, di mana leksikon “kelembutan” digabungkan dengan “penuh tenaga,” feminin digabungkan dengan maskulin. Post ini selanjutnya menceritakan, Aku pernah meninggalkan noda lipstik di bahu keme- jamu kala kita berpelukan. Noda merah jambu tam- pak samar-samar sebenarnya, kecuali kalau seseorang berdiri agak dekat denganmu. Dalam hati aku berharap seorang teman kantormu memperhatikan dan mem- 36 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
  • 37. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia beri komentar isengnya. .… Komentar yang sudah pasti akan mengantarkanku sebagai si tertuduh dengan rasa yang menyenangkan bagi kita berdua (Ibid.). Lipstik merupakan penanda bagi femininitas perempuan. Namun dalam konteks ini, lipstik digabungkan dengan kata “noda” yang memiliki makna negatif. “Noda lipstik” kemudian menjadi penjelas bagi aktivitas seksual A yang dilakukan dengan partner-nya. A mengharapkan noda lipstik tersebut dilihat oleh teman-teman partner A. Ini menunjukkan bahwa bagi A, aktivitas seksual lesbian yang dilakukannya dengan partner-nya adalah tidak tabu untuk ditutup-tutupi. Ia bahkan mengharapkan komentar orang lain atas aktivitas seksual mereka. Hal ini tentunya bertentangan dengan budaya dominan, di mana seksualitas adalah hal yang tersembunyi dan ditutup-tutupi. Selanjutnya, A menceritakan mengenai hobinya terhadap film bertema seksualitas. Diceritakannya mengenai pendapatnya terhadap film jenis ini, “Sejatinya film semacam ini harus diperlakukan sama seperti jenis hiburan lain yang nggak boleh dibuat asal-asalan dan harus digarap dengan serius” (“Menonton Film Dewasa,” 2009). Pada titik ini, A menilai bahwa film seksual ini seharusnya tidak hanya diperlakukan sebagai film kacangan. Tidak hanya sebagai film kacangan, film seksual ini juga kerap dilekati dengan penanda negatif, ini tampak pada berbagai penyebutan terhadap film seksual ini pada post A, misalnya, bokep, film porno atau film dewasa. Pilihan kata terakhir lebih menunjukkan denotatif, yakni menunjukkan segmentasi terhadap film tersebut. Sementara bokep merupakan kata gaul yang berasal dari blue film (http://www.kamusgaul.com/). Blue dalam blue film diartikan sebagai suggestive of sexual improperty. Istilah ini dianggap senada dengan penyebutan film porno (Encarta Dictionary. 2008), di mana makna yang diciptakan cenderung berkonotasi negatif. Porno berasal dari kata porn yang merupakan kependekan dari pornography yang berarti “(dissaproving) videos that describe or show naked people and sexual acts in order to make people feel sexually excited, especially in a way that many other people find offensive” (Welhmeier, Sally (ed.) 2010). Ini berarti film porno dikaitkan dengan perilaku yang “menyimpang” karena melalui film tersebut selain Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 37
  • 38. Ari Setyorini bertujuan sebagai hiburan (to make people sexually excited) juga sekaligus membuat orang lain terganggu karena tayangan tersebut yang dianggap menjijikkan (offensive). Pornografi sendiri oleh Undang-Undang Pornografi didefinisikan sebagai substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengekspolitasi seksual, kecabulan dan/atau erotika. Seksualitas memang dibingkai menjadi sebuah hal ter- tutup oleh normativitas, bukan menjadi tontonan sebagaima- na film. Akibatnya, orang yang menonton jenis film ini akan merasa bersalah sebagaimana diceritakan oleh A yang “pernah gara-gara berusaha “insaf” akibat memandang film porno secara salah”. Penggunaan kata insaf menegaskan bagaimana film seksualitas ini dianggap sebagai hal buruk yang jika orang menontonnya dianggap melakukan sebuah dosa. B. 3. Pernikahan A menceritakan bahwa ia dan partnernya, Laksmi, hidup bersama. Partner A, Laksmi, adalah perempuan lesbian yang bercerai dari suaminya dan memiliki 2 orang anak dari pernikahan heteroseksual yang dijalani sebelumnya. Seba- gaimana partnership lesbian, pernikahan secara hukum meru- pakan sebuah hal yang hampir mustahil terjadi di Indonesia. Dituliskan oleh A (“Opini: Happy Ending = Utopia?,” 2009) Dalam dunia utopia versi saya, dengan atau tanpa legali- tas pernikahan sesama jenis, seharusnya kita bisa punya hak untuk bersama orang yang kita cintai. Namun jelas itu cuma utopia. Kita hidup berpagarkan norma-norma yang seharusnya jadi penjaga diri kita. Atau agama, misalnya, yang jadi pondasi hidup kita. Atau keluarga yang jadi atap dalam kehidupan kita. Dan semuanya tentu saja tidak bisa tinggalkan begitu saja. Untuk bisa hidup bersama orang yang kita cintai, sebagai homo/ lesbi, banyak dari kita yang harus meninggalkan rumah yang nyaman tersebut, yang selama ini jadi tempat kita bernaung. Jelas tidak banyak yang memilih untuk itu. A, di sini, menyoroti mengenai hak individu untuk hidup bersama individu lain yang mereka cintai. A menggunakan 38 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
  • 39. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia kalimat syarat, “dengan atau tanpa legalitas pernikahan sesama jenis”, untuk menjelaskan bahwa A cukup terbuka untuk sebuah hubungan hidup bersama tanpa adanya syarat pernikahan sekalipun. Inti dari yang hendak disampaikan oleh A adalah bahwa setiap individu, mengesampingkan jenis kelamin mereka, berhak untuk hidup bersama di bawah pernikahan maupun tanpa pernikahan. A menjelaskan institusi yang menentukan norma-norma di mana pernikahan dianggap sah dilakukan atau tidak sah dilakukan, yakni institusi agama dan keluarga. Selanjutnya diceritakan A, Kebanyakan perempuan (lesbian) memutuskan menikah karena tidak tahan atas desakan orangtua. Mungkin 9 dari 10 lesbian yang menikah dengan laki2 melakukannya karena merasa terdesak ...Menikah adalah kesempatan untuk melepaskan diri dari orangtua. Melepaskan diri dari tekanan/ocehan/desakan dari orangtua yang bertanya-tanya kenapa dia tidak menikah/kapan akan menikah dst,dsb. Tapi apakah menikah dengan laki2 adalah solusinya? Mungkin jawabannya ya, untuk sebagian perempuan. Atau ini justru lolos dari mulut singa masuk ke mulut buaya? (Ibid.). A mengasumsikan bahwa sembilan dari sepuluh lesbian menikah karena terpaksa, tidak tahan akan desakan keluarga yang bertanya mengenai rencana pernikahan. Pernikahan dengan laki-laki bagi lesbian diumpamakan oleh A seperti “lolos dari mulut singa, masuk ke mulut buaya”. Maksudnya, lesbian tersebut lolos dari desakan menikah atau bahkan lolos dari pencitraan sebagai “perawan tua”, tapi pada saat yang sama mereka justru mengalami subordinasi dari pernikahan yang tidak sesuai dengan identitas diri mereka yang “sebenarnya”. Akibatnya, perempuan seolah-olah memang wajib menikah (tentunya secara heteroseksual). Lesbian pada konteks ini tetap saja menerima beban tubuh sosial perempuan. Cyberlesbian sebagai Diskursus Kreatif dan Media Trans- formasi atas Heteronormativitas Weblog memberikan sebuah dunia baru bagi lesbian untuk memperformativisasi identitas mereka melalui narasi Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 39
  • 40. Ari Setyorini diri. Media ini memberikan keleluasaan bagi lesbian untuk mempermainkan kuasa atas pengetahuan yang dimilikinya untuk membentuk counter wacana tanpa takut identitas off line mereka diketahui oleh masyarakat online. Dalam konteks L-M dan A, mereka mereproduksi iden- titas diri mereka menjadi dua identitas yang berbeda sesuai dengan space yang mereka hadapi, atau mempresentasikan ilusi untuk memberikan impresi identitas yang benar terhadap audience tertentu jika menyitir pendapat Erving Goffman (via Gauntlett 2002). Identitas ganda yang mereka tampilkan berdasarkan impresi identitas “benar” yang diharapkan audi- ence, membuat L-M menampilkan identitas ilusi dalam dunia off line agar tidak dianggap liyan oleh masyarakat heterosek- sual. Sementara, mereka menampilkan identitas lain sebagai lesbian pada dunia online karena anonimitas yang diberikan oleh dunia tersebut membuat mereka leluasa menarasikan diri dengan mereproduksi identitas ilusi di dunia off line dan membentuk identitas baru di dunia anonimitas. Hal ini sejalan dengan ide Foucault (1990 dan 1986) atas teknologi diri, di mana dijelaskannya bagaimana diri bertin- dak terhadap praktik ethics –standar yang menjadikan diri sebagai sosok tertentu guna digambarkan kepada khalayak. Narasi diri sebagai lesbian pada weblog ini sebagai teknologi berstrategi yang memungkinkan subyek untuk memilih ba- gaimana hendak menampilkan diri mereka, berbeda dengan narasi yang diproduksi oleh diskursus heteroseksual. Di sini diketahui bahwa subyek adalah aktif, tidak sebagaimana kon- sep Althusser mengenai agen yang hanya berperan sebagai wayang yang menerima perannya karena tekanan dari apar- tus-aparatus. Performativitas identitas lesbian yang L-M dan A tampil- kan di weblog menunjukkan bahwa identitas gender dan sek- sualitas apa pun tak lebih dari aksi permainan “tampilan” yang diulang-ulang. Bahwa tak ada refleksi moralitas atau pun normalitas dalam identitas lesbian, sebagaimana angga- pan diskursus dominan. Seksualitas lesbian bagi L-M dan A tidak merupakan sebuah abnormalitas karena pada dasarnya L-M dan A “mengembalikan” fungsi seksualitas sebagai plea- sure. Namun, sebagaimana pilihan bebas yang terbatas da- lam ide perfomativitas, hal ini sekaligus menunjukkan bahwa 40 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
  • 41. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia agen memang dapat melakukan reproduksi identitas yang berbeda dari diskursus dominan, tapi yang patut diingat ada- lah bawa normativitas tersebut tetap ada. Beberapa narasi mereka masih menunjukkan betapa hegemoni heteroseksual patriarki masih mempengaruhi perilaku mereka. Bagaimanapun juga, L-M dan A merupakan produser kreatif atas wacana lesbian di mana mereka mereproduksi dan mengombinasikan wacana heteronormativitas, hingga wacana tersebut tidak menjadi satu-satunya wacana domi- nan dalam weblog. Diskursus lesbian yang distereotipkan oleh rezim kuasa ditransformasikan oleh L-M melalui sebuah ide bahwa perkara gender dan seksualitas hanyalah bagaimana perkara aksi performatif antara tubuh, penampilan, seksu- alitas, dan identitas-identitas lainnya. Karena aksi tersebut performatif, maka identitas bukanlah hal yang tetap. Pada akhirnya, heteronormativitas juga merupakan bentuk dari performativitas saja. Dua identitas yang mereka ciptakan merupakan sebuah aksi mockering akan anggapan adanya satu identitas tunggal. Narasi diri pada weblog merupakan sebuah “pengakuan dosa”, sebagaimana diceritakan Foucault dalam History of Sexuality bagaimana gereja memberlakukan pengakuan dosa akan seksualitas individu. Namun, berbeda dengan Foucault yang menilai pengakuan dosa tersebut sebagai sebuah hal negatif, narasi diri pada weblog ini malahan menunjukkan ba- gaimana agen-agen dapat mentranformasikan identitas gen- der lesbian sebagai identitas yang berbeda dari anggapan nor- matif. Berbeda dengan konsep agen Althusser di mana tiap agen seolah-olah hanya melakoni perannya sebagai wayang dari aparatus-aparatus ideologi dominan, Foucault mela- lui teknologi diri dan perfomativitas Butler menyebut agen memiliki kemampuan untuk melakukan “speaking back” ini sebagai strategi. Agen memiliki kemampuan untuk melaku- kan tindakan yang dilingkupi dengan pengetahuan. L-M dan A memiliki kuasa untuk mereproduksi narasi diri mereka melalui “pengakuan dosa”, yang justru melawan anggapan negatif atas diskursus heteroseksual. Melalui FD dan RB, L-M dan A sebagai agen tahu dengan benar apa yang mereka lakukan, juga paham benar bagaimana normativitas sosial masyarakat dan aturan main di mana mereka dapat melaku- Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 41
  • 42. Ari Setyorini kan confession dengan keluar dari kloset di weblog, speaking back terhadap homofobia dengan mereproduksi diskursus normatif. Resistensi atas kuasa/pengetahuan dominan begitu didukung dalam karakteristik weblog, di mana blogger dimung- kinkan melakukan navigasi atas pengetahuan apa yang hen- dak dimunculkan atau pengetahuan mana yang hendak dis- embunyikan. Ini sebagaimana fungsi censorship yang dimiliki oleh rezim kebenaran atas diskursus normatif. Misalnya tam- pak pada kemungkinan bagi L-M dan A untuk memilih ko- mentar apa yang akan dimunculkan atas post dalam narasi mereka. Ini merupakan bentuk empowerment karena mereka dapat menampilkan identitas mereka di luar kontrol media konvensional, yang hampir dapat dipastikan penuh dengan editing dan censoring dari media dan rezim kebenaran lainnya. Inilah alasan mengapa weblog sebagai ruang dalam proses membentuk identitas baru yang berbeda dari identitas sebel- umnya menjadi penting. ARI SETYORINI: Alumni Kajian Budaya dan Media, Pasca-Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Dosen Muda di Universitas Muhammadiyah Surabaya. RUJUKAN Alimi, M. Yasir. 2004. Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: dari Wacana Bangsa hingga Wacana Agama. Yogyakarta: LKiS. Althusser, Louis. “Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes towards an Investigation).” dalam Douglass Kellner. (ed.) 2006. Media and Cultural Studies. Cornwall: Blackwell Publishing Ltd. Arimbi, Indriaswari D. S dan Sri Sulistyani (eds.). 1998. Perempuan dan Politik Tubuh Fantastis. Jogjakarta: Kanisius. Beasley, Chris. 2005. Gender & Sexuality: Chritical Theories, Critical Thinkers. London: Sage Publication. Bell, David dan Barbara M. Kennedy (eds.). 2000. The Cybercultures Reader. London dan New York: Routledge. Blackburn, Susan. 2004. Women and the State in Modern Indonesia. 42 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
  • 43. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian di Indonesia Cambridge: Cambridge University Press. Buletin GN 31/ Tahun 04. 2009. Lesbian Housewife. Surabaya: GAYa NUSANTARA. Butler, Judith. 1990. Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. London dan New York: Routledge. ______________. 1993. Bodies That Matter. New York: Routledge. ______________. 1993. “Critically Queer” dalam GLQ: A Journal of Lesbian and Gay Studies . 1. Bryson, Mary. 2004. When Jill Jack in Queer Women and the Net. Feminist Media Studies (Vol. 4, No. 3). New York: Routledge. Davis, Kathy. 1995. Reshaping the Female Body: the Dilemma of Cosmetic Surgery. London dan New York: Routledge. Fairclough, Norman, 1989. Language and Power. London & New York: Longman. Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Foucault, Michel. 1978. The History of Sexuality: Volume1 An Intorduction (terjemahan dari Histoire de la Sexualite). New York: Random House Inc. ______________. 1990. The Use of Pleasure: Volume 2 of the History of Sexuality. New York: Vintage Books. ______________. 1986. The Care of The Self: Volume 3 of the History of Sexuality. New York: Pantheon Books. Gauntlett, David. 2002. Media, Gender and Identity. New York: Rountledge. Hall, Stuart dan Paul du Gay (eds.) 1996. Question of Cultural Identity. London dan New Delhi: Sage Publication. Holliday, Ruth. “Performances, Confession, and Identities.” dalam Gregory C. Stanzak (ed.). 2007. Visual Research Methods: Image, Society, and Representation. London: Sage Publication. Jeumpa, Bunga dan Ulil. “Quo Vadis Lesbian Indonesia.” dalam Inside Indonesia 66. Juni-Juli 2001. Jagose, Anamarie. 1996. Queer Theory. Melbourne: Melbourne University Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 43
  • 44. Ari Setyorini Press. Kadir, Hatib Abdul. 2007. Tangan Kuasa dalam Kelamin. Jogjakarta: Insist Press. Kellner, David. 1995. Media Culture. New York: Routledge. Mann, Chris dan Fiona Steward. 2000. Internet Communication and Qualitative Research. London: Sage Publication. Mills, Sarah. 2003. Michel Foucault. London dan New York: Routledge. Munti, Ratna Batara. 2005. Demokrasi Keintiman: Seksualitas di Era Global. Yogkayakarta: LKiS. Noviani, Ratna. 2009. “Performativitas Gender dalam Iklan Kontak Jodoh.” dalam Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Oetomo, Dede. 2003. Memberi Suara pada yang Bisu, Yogyakarta: Pus- taka Marwa. Rabinow, Paul. Foucault: The Reader. New York: Pantheon Books. Rubin, Gayle. 1984. “Thinking Sex: Notes for a Radical Theory of the Politics of Sexuality.” dalam C.Vance (ed.) Pleasure and Dan- ger—Exploring Female Sexuality. Boston: Routledge & Kegan Paul. Sadli, Saparinah. 2010. Berbeda tetapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan. Jakarta: Kompas. Salih, Sarah. 2002. Judith Butler. London dan New York: Routledge. Serean, Antok. “Androgini sebagai Identitas” dalam Buletin GN no.41/ tahun 05. Wilton, Tamsin. 1995. Lesbian Studies: A Setting Agenda. London dan New York: Routledge. 44 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
  • 45. Coklat Stroberi: Satu Roman Indonesia dalam Tiga Rasa1 Ben Murtagh Abstrak: Artikel ini memfokuskan pada film Indonesia tahun 2007 berjudul Coklat Stroberi serta novel adaptasi dan video pop yang menyertainya. Novelnya, ditulis oleh Christian Simamora, dibuat berdasarkan skenario filmnya. Lagu ‘Di sini Untukmu’ ditulis khusus untuk film ini, di mana band Ungu membuat penampilan cameo, sementara video popnya menampilkan banyak adegan dari film tersebut. Meskipun dalam tahun- tahun terakhir, beberapa film Indonesia menampilkan karakter gay, film ini penting karena menampilkan hubungan gay* pada pusat komedi romantis, yang jelas ditujukan pada penonton muda (17-25 tahun). Coklat Stroberi tidak dapat disangkal berusaha menunjukkan hubungan sesama jenis dalam dalam pandangan progresif. Namun, representasi dari karakter dan akhir film menggarisbawahi sikap ambivalen terhadap homoseksualitas yang umum dijumpai dalam film-film Indonesia. Artikel ini memusatkan perhatian pada ketidakpadanan yang tampak dalam imajinasi filmis mengenai karakter gay dan realita kehidupan gay sebagaimana terjadi di Indonesia saat ini. Kata kunci: homoseksualitas, sinema Indonesia, sastra Indonesia, Indonesia. Pendahuluan Sejak periode sekitar jatuhnya Orde Baru dan revitalisasi in- 1 Untuk diskusi awal singkat dari film ini, lihat Murtagh (2008). * Keterangan penerjemah: Dalam artikel aslinya, penulis dengan merujuk pada pendekatan Boellstorff (2005), secara konsisten membedakan konsep gay, lesbian dan waria sebagai subjek lokal Indonesia (yang dalam artikel aslinya ditulis dengan huruf miring, sedangkan dalam artikel ini tidak) sebagai berbeda dengan gay dan lesbian sebagai subjek global atau Barat (yang dalam versi aslinya tidak dimiringkan hurufnya, sebaliknya dalam artikel ini dimiringkan). Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 45