3. Daftar Isi
Editorial
Dédé Oetomo 4
Artikel
Ari Setyorini Performativitas Identitas Gender dan 7
Seksualitas pada Weblog Lesbian di
Indonesia
Ben Murtagh Coklat Stroberi: Sebuah Roman Indonesia 45
dalam Tiga Rasa
Irwan M. Hidayana Tentang Pekerja Seks Laki-Laki dan 73
Pasangan Seksualnya
Iskandar P. Nugraha Dinamika Kehidupan Seksual Kelompok 99
& Maimunah Munir LSL di Jayapura Papua
Ngerumpi
Maimunah Munir & Ahmad Zainul Hamdi 125
Resensi
Michael G. Peletz, Gender Pluralism: Southeast Asia Since Early 139
Modern Times
Kathleen Azali
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 3
5. Editorial
Dédé Oetomo
Pemimpin Redaksi
Sesudah 1½ tahun vakum, Jurnal Gandrung Vol. 2 No. 1 ini
pun tampil di hadapan anda peminat dan pengaji studi gender dan
seksualitas. Permintaan maaf sedalam-dalamnya saya ajukan atas
kevakuman itu. Kami tim pengelola jurnal ini berusaha hal ini tidak
akan terjadi lagi, sesuatu yang akan menjadi lebih mudah kalau anda
menyumbangkan tulisan bijak bestari anda untuk nomor-nomor
jurnal ini berikutnya.
Dalam menyiapkan volume kedua ini, pekerjaan awalnya
dipimpin oleh Soe Tjen Marching, namun karena alasan pribadi
maupun kelembagaan kemudian oleh Dewan Pengurus Yayasan
GAYa NUSANTARA, rumah penerbitan ini, diputuskan sayalah
yang meneruskan pekerjaan itu. Kepada Soe Tjen diucapkan banyak
terima kasih atas rintisannya yang telah mendobrakkan jurnal
pertama dalam sejarah negeri ini yang secara khusus membahas
studi gender dan seksualitas dalam segenap keanekaragamannya
dan dengan pendekatan yang membebaskan dan menyetarakan.
Dalam nomor ini ada dua artikel yang membahas representasi
seksualitas dalam dua jenis media, yakni blog dan film. Ari Setyorini
membahas performativitas lesbian dalam blog, sementara Ben
Murtagh membahas film “Coklat Stroberi” (2007), yang menampilkan
kompleksitas homoseksualitas masa kini.
Rubrik Ngerumpi menampilkan wawancara Ahmad Zainul
Hamdi dengan Maimunah Munir, seorang pengaji gender dan
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 5
6. Dédé Oetomo
seksualitas yang juga akrab dengan kajian film queer dan belakangan
kian mendalam mengaji fenomena waria dan trans* lainnya.
Seksualitas laki-laki dibahas dalam artikel Irwan Hidayana
mengenai pekerja seks laki-laki, dan dalam artikel kolaborasi Iskandar
Nugraha dan Maimunah Munir tentang laki-laki di Papua.
Yang tak kalah penting untuk disimak adalah resensi Kahtleen
Azali atas buku Michael Peletz, Gender Pluralism: Southeast Asia Since
Early Modern Times, yang kiranya akan mengusik rasa ingin tahu dan
kecendekiaan anda untuk menelaah bukunya yang merupakan karya
mumpuni tentang kemajemukan gender di Asia Tenggara.
Demikianlah hidangan kami kali ini. Kritik dan saran tetap
kami harapkan, dan terlebih lagi, tulisan cendekia anda untuk nomor-
nomor berikutnya.
6 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
7. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas
pada Weblog Lesbian di Indonesia
Ari Setyorini
Abstrak: Kajian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana identi-
tas gender dan seksualitas ditampilkan dalam weblog lesbian Indone-
sia. Melalui tampilan tersebut, penelitian ini bertujuan mengetahui
makna ideologis di balik tampilan identitas gender dan seksuali-
tas blogger lesbian Indonesia, serta sejauh mana praktik resistensi
atas subordinasi terhadap lesbian ditampilkan dalam weblog. Kajian
ini mengambil dua weblog, yakni Fried Durian dan Rahasia Bulan.
Sementara, post yang dipilih sebagai teks analisa adalah post yang
memuat isu mengenai gender dan seksualitas. Kajian ini merupa-
kan penelitian multidisiplin-kualitatif. Teori perfomativitas dipakai
mengungkap bagaimana bahasa memperformativitaskan identitas
gender dan seksualitas. Hasil penelitian mengkonfirmasi bahwa
identifikasi gender dan seksualitas lesbian cenderung merupakan
kombinasi terhadap femininitas dan maskulinitas. Melalui proses
criss-crossing, lesbian memperformativitaskan diri mereka dengan
“aksi panggung”, menempelkan identifikasi identitas feminin dan
maskulin melalui dandanan, pakaian, gesture tubuh, dan seksuali-
tas. Lesbian dalam konteks sosial masih menanggung beban tubuh
sosial sebagai perempuan. Identitas perempuan sebagai ibu dan is-
tri menjadikan lesbian tak juga bisa lepas dari tuntutan reproduksi
dan femininitas yang diproduksi oleh kuasa dari rezim kebenaran.
Senyatanya, blogger merupakan produser kreatif atas wacana lesbian
di mana mereka mereproduksi wacana heteronormativitas, hingga
wacana tersebut tidak menjadi satu-satunya wacana dominan.
Kata kunci: performativitas, lesbian, gender, seksualitas, weblog.
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 7
8. Ari Setyorini
Pendahuluan
Kemajuan teknologi informasi yang melahirkan internet ten-
gah dirayakan banyak orang. Penyebabnya adalah karena media
baru ini memiliki kemampuan memunculkan sebuah bentuk ko-
munikasi baru, di mana seseorang tidak lagi harus berkomunikasi
secara face to face pada satu tempat yang sama, namun dapat dilaku-
kan dari satu tempat ke tempat lain yang letaknya sangat berjau-
han. Terlebih dengan penawaran akan anonimitas, sehingga iden-
titas pengguna dapat disembunyikan karena dimensi tubuh tidak
lagi dibutuhkan. Sebagaimana yang diungkapan Rheingold (1994),
people in virtual communities do just about everything people do in real
life, but we leave our bodies behind. Dengan kata lain, komunikasi hadir
melalui tulisan, gambar, suara, video dalam layar komputer, dalam
dunia virtual. Identitas hanyalah berdasar pada apa yang pengguna
tampilkan. Seseorang dapat menjadi siapa saja dan apa saja sesuai
dengan apa yang mereka inginkan. Tidak heran jika kemudian ada
ungkapan yang mengatakan “on the internet, no one knows if you are
a dog.”
Penawaran akan disembodied performativity ini kemudian di-
manfaatkan oleh individu dan komunitas marjnal untuk menyuara-
kan kepentingan mereka yang selama ini tidak mampu diekspresi-
kan secara bebas di dunia nyata. Dengan tidak hadirnya tubuh,
individu dapat menampilkan identitas yang berbeda dari identitas
mereka di dunia nyata.
Dipahami bahwa selama ini kelompok termarjinalkan,
utamanya LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender/
Transeksual) belum mendapat tempat sebagaimana heteroseks. Di
Indonesia sendiri, heteronormativitas menjadi ideologi dominan
yang dilanggengkan oleh rezim kebenaran, misalnya oleh negara,
agama, kedokteran, bahkan oleh keluarga. Media pun tak luput
dari perpanjangan tangan rezim kebenaran untuk membentuk
stereotip LGBT. Isu-isu LGBT dan homoseksualitas akhirnya
dianggap kebanyakan orang sebagai sesuatu yang negatif dan
terlarang. Alimi (2004) dalam bukunya, Dekonstruksi Seksualitas
Poskolonial: Dari Wacana Bahasa hingga Wacana Agama, menyimpulkan
bahwa heteronormativitas masih menjadi wacana dominan yang
dikonstruksi oleh media mainstream.
Satu hal menarik yang terlihat dari kontestasi diskursus
(homo)seksualitas pada media Indonesia adalah bahwa meskipun
8 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
9. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
di Indonesia
telah banyak media yang menggulirkan wacana tandingan atas
citra negatif lesbian ini, namun senyatanya masyarakat masih
memberi citra negatif bagi lesbian. Tingginya jumlah penonton
film dan pembaca novel bertema lesbian, ternyata belum juga
memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap perubahan
citra negatif mereka. Ini tampak dari MUI yang beberapa kali harus
memberikan larangan terhadap beberapa film bertema (homo)
seksual, serta peran lembaga sensor film yang berhak memotong
mana yang dianggap boleh ditayangkan (bermoral) dan mana yang
harus dibuang (tak bermoral).
Contoh-contoh tersebut menegaskan bahwa LGBT masih
dianggap sebagai hal yang melenceng di Indonesia. Akibatnya,
banyak individu LGBT yang harus menutupi identitas mereka
dalam dunia nyata. Kehadiran cyberspace dengan kecairan sifatnya
dianggap mampu menjadi media alternatif untuk menyuarakan
ketertindasan LGBT dalam mengekspresikan identitas mereka, atau
sebagai media untuk coming out of the closet. Selain itu, pergeseran
posisi subyek dalam kacamata postmodernitas, di mana subyek-
subyek kecil mulai memiliki suara untuk menentang struktur kuasa,
memungkinkan lesbian Indonesia sebagai subyek kecil untuk dapat
berbicara, mengungkap identitas gender dan seksualitas mereka.
Berangkat dari pendapat Bryson (2004) bahwa masih
sedikit penelitian yang mengkaji tentang komunitas perempuan
marjinal, utamanya perempuan lesbian, biseksual dan transgender/
transeksual dalam kaitannya dengan cyberspace, maka penelitian ini
akan mengkaji mengenai hal tersebut. Penelitian difokuskan pada
performativitas blogger lesbian Indonesia dalam mengkonstruksikan
identitas gender dan seksualitas mereka melalui weblog. Weblog dipilih
sebagai media obyek kajian dengan alasan bahwa sejauh penelusuran
peneliti, belum ada penelitian yang membahas mengenai blogsphere
di Indonesia. Alasan lain adalah karena blog memiliki kelebihan
dari bentuk cyberspace lainnya, di antaranya adalah karateristiknya
sebagai jurnal online pribadi yang mengutamakan personalitas dan
individualitas pemiliknya. Individualitas inilah yang melahirkan
ekspektasi terhadap blog sebagai media alternatif. Williams
(via Mitra dan Gajjala 2008) mengatakan bahwa blog dianggap
mampu menjadi ruang yang memungkinkan lahirnya resistensi-
resistensi atas struktur kuasa yang ada melalui cara “speaking
back”. Cara ini mungkin dilakukan ketika blogger menampilkan
subyektivitas sebagai individu yang menyuarakan keterasingan
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 9
10. Ari Setyorini
dan ketertindasan dari tindakan opresif stuktur berkuasa. Sejalan
dengan pemikiran tersebut, Gauntlett (2002) juga menjelaskan
mengenai kemampuan new media (khususnya website pribadi dan
weblog–pen.) menyediakan alternatif-alternatif lain bagi individu
atau grup sebagai tandingan atas ide dominan tentang perempuan
dan laki-laki.
Terdapat dua blog yang dikaji, yaitu Fried Durian (http://
frieddurian.blogspot.com) dan Rahasia Bulan (http://rahasiabulan.
blogspot.com). Fried Durian (FD) adalah blog milik sepasang partner
lesbian bernama Lushka dan Mithya (selanjutnya disingkat L dan
M). Blog FD ini mulai dijalankan sejak Juni 2007. Rahasia Bulan
(selanjutnya disingkat RB) adalah jurnal pribadi milik seorang
lesbian dengan nama virtual Alex (selanjutnya disingkat A). Blog
ini cukup dikenal dalam komunitas lesbian karena latar belakang
pemilik blog sebagai founder sebuah majalah online lesbian, sepocikopi.
com. RB mulai ada dalam blogsphere sejak tahun 2006. Kedua blog
tersebut, menurut peneliti, mampu menjadi objek kajian yang
representatif untuk mewakili bagaimana blogger lesbian Indonesia
menampilkan identitas gender dan seksualitas mereka dalam
ruang virtual. Anggapan peneliti ini didasarkan pada keragaman
diskursus offline yang mengelilingi blogger di kedua blog tersebut
yang memengaruhi cara bagaimana mereka menggambarkan
identitas gender dan seksualitas yang tampak melalui tampilan
tema, bahasa, maupun gambar pada blog tersebut.
Pembahasan
A. Weblog Fried Durian
Sebagaimana yang disinggung di atas, Fried Durian (FD)
adalah weblog milik sepasang partner bernama virtual Lushka (L)
dan Mithya (M). Struktur weblog ini terdiri dari tiga bagian. Bagian
pertama berisi judul weblog, yakni Fried Durian, dan deskripsi
terhadap identitas weblog. Bagian kedua merupakan struktur utama
blog memuat post. Post terdiri dari waktu post, judul post, isi post,
nama blogger yang melakukan posting, komentar dari pembaca
weblog, dan identifikasi topik pembicaraan. Bagian ketiga adalah
bagian tambahan, berisi arsip post, comment box, web hit counter,
Yahoo Messenger!, dsb.
10 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
11. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
di Indonesia
A.1 Perbincangan Mengenai Identifikasi Femme, Butch,
Andro, dan No Label
Weblog FD ini menarik karena dari awal L-M tidak
menempatkan identitas mereka ke dalam kategorisasi
identitas gender dan seksualitas manapun, baik dalam
kategori identitas lesbian, maupun dalam kategori identitas
normatif lain. Identifikasi identitas L-M pada FD ini pertama
kali tampak pada deskripsi yang terletak di bawah judul
weblog mereka, yakni “Bisexual is an overstatement. Lesbian is
an understatement. We just know how to enjoy live by being in
each other arms [ibid]. This is our fun queer story from Indonesia.”
Melalui deskripsi ini, L-M menggambarkan queer-itas identitas
mereka. Perbandingan identitas yang tampak dalam pemilihan
kata overstatement (sebagai biseksual) dan understatement
(sebagai lesbian) menunjukkan bahwa kategorisasi identitas
tersebut tidak cukup mewakili mereka. Bagi L-M, penyebutan
biseksual sebagai identitas mereka merupakan sesuatu yang
berlebihan. Sementara, identifikasi sebagai lesbian, bagi
L-M, terlalu menyempitkan dan kurang cukup mewakili
kompleksitas identitas mereka. Di sinilah tampak bagaimana
identitas gender dan seksualitas merupakan sebuah hal yang
tidak cukup hanya dibatasi melalui kategorisasi-kategorisasi
tertentu, pun bukan pula sebagai sesuatu yang stabil dan
koheren. Inkoherensi tampak pada identifikasi L-M terhadap
seksualitas yang bukan sebagai biseksual maupun lesbian
(homoseksual), juga bukan sebagai heteroseksual. L-M bahkan
dengan gamblang menyebut identitas mereka sebagai queer,
di mana gender dan seksualitas bagi mereka adalah sebuah
kecairan. Identitas menjadi sebuah hal yang tidak ajeg, karena
L-M menempatkannya sebagai yang dapat diubah, sebuah
proses criss-crossing (Sedgwick via Beasley 2005, 108).
Deskripsi tersebut diperjelas melalui beberapa post-
ing L-M dalam FD. M mendeskripsikan identifikasi dirinya
(“Don’t Label Yourself,” Senin, 8 Desember 2008),
…gue nggak suka memasukkan diri gue ke kategori
mana pun…dalam dunia kategori lesbian (femme, butch,
andro)…. Gue lebih suka mengelaborasi atau menggam-
barkan perilaku daripada menamai. Yep, saat ini gue in a
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 11
12. Ari Setyorini
relationship dan bahkan jatuh cinta dengan Lushka. Tapi
saying myself a lesbian? Lah, I’m not that in to women juga.
Masih bisa ngiler liat cowok berbadan atletis dan ber-
wajah lutcu….
M tidak melakukan kategorisasi dirinya berdasar
identitas gender yang telah ada. Penggunaan istilah
“mengelaborasi (identitas)” mendeskripsikan tindakan untuk
memperlakukan identitas sebagai sebuah hal yang dapat
diubah atau diuraikan—pendeknya berada dalam sebuah
proses, ketimbang sebuah hasil ajeg dalam kategorisasi. M
memilih untuk tidak mengkategorisasikan dirinya menjadi
femme, butch, atau andro, karena kategorisasi lesbian tersebut
tidak cukup mewakili dirinya. M menampilkan diri sebagai
lesbian melalui partnership yang dilakukannya dengan L. Akan
tetapi, M mengakui bahwa dirinya juga memiliki ketertarikan
pada laki-laki (secara boduly sex). Namun, hal tersebut
tidak menjadikan M termasuk dalam kategori perempuan
biseksual. M (“Film Twilight + Chauvinis Mithya,” Senin, 7
Desember 2008) mengungkapkan, “…soul gue itu sebenernya
dilahirkan sebagai cowok biseksual. Jadi untuk jatuh cinta dengan
cewek itu normal tapi diem-diem dan takut-takut sangat tertarik
dengan cowok lain (especially gay man).”
Boduly sex M adalah sebagai seorang perempuan. Na-
mun, M menilai dirinya secara gender adalah laki-laki yang
memiliki ketertarikan seksual pada perempuan (secara boduly
sex dan gender), sekaligus kepada laki-laki (secara boduly sex)
yang feminin (gay man). M menilai jika ketertarikannya dengan
perempuan adalah sebuah hal yang “normal”, sebagaimana
normativitas laki-laki tertarik kepada perempuan. Lebih lan-
jut, ketertarikan M pada laki-laki dinilainya sebagai sebuah
hal “kesalahan”, karena M menilai dirinya adalah laki-laki
pula. Karenanya, M menilai, ketertarikannya dengan laki-laki
dilakukan secara diam-diam dan takut-takut. Bahkan, secara
spesifik dalam kutipan sebelumnya, M menjelaskan bahwa ia
tertarik dengan laki-laki yang “bertubuh atletis” dan “berwa-
jah lucu”. Kombinasi tubuh atletis dan berwajah lucu men-
jadi hal yang menarik, karena pada dasarnya kedua deskripsi
tersebut menunjukkan hal yang saling bertentangan. Tubuh
atletis kerap diidentikan dengan kejantanan atau maskulini-
12 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
13. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
di Indonesia
tas laki-laki. Sebaliknya, diksi “lucu” acapkali diasosiasikan
dengan sesuatu yang tidak maskulin (feminin). Berwajah
lucu dapat diartikan sebagai berwajah polos, innocent, dan
menggemaskan. Di sini ditunjukkan bagaimana identitas dan
atribut diri bisa diotak-atik sedemikian rupa. Maskulin dikom-
binasikan dengan feminin, homoseksual dipadu-padankan
dengan heteroseksual. Hingga pada akhirnya, tidak ada yang
disebut sebagai identitas utama dalam diri M. M tidak bisa
dikategorikan sebagai lesbian (homoseks) seutuhnya, bukan
juga sebagai heteroseks. M melakukan kombinasi-kombinasi
terhadap identitas-identitas gender dan seksual.
Melalui FD, L juga menggambarkan identitas dirinya
sebagai “lesbian yang bersyarat”. Maksudnya adalah part-
nership yang dijalaninya dengan M merupakan partnership
lesbian. Tetapi, sebagaimana M, dirinya juga memiliki ke-
mungkinan untuk tertarik secara seksual terhadap laki-laki.
Ditegaskan oleh L, “Gue dan Mithya –ga ngeklaim diri kita murni
lesbian tapi juga ga menolak kenyataan kalau saat ini gue berdua
dalam hubungan sesama jenis” (“Tobat Jadi Lesbian?,” http://
www.narth,com, Selasa, 14 Juli 2009).
Lesbian juga ditampilkan melalui pilihan nama virtual
mereka, Lushka dan Mithya. Nama ini diambil dari nama
pasangan lesbian dari Inggris, Violet Trefusis dan Vita Sack-
ville-West. Kisah cinta kedua perempuan tersebut diabadikan
oleh Virginial Woolf dalam novel yang berjudul Orlando: A
Biography. Kisah cinta kedua perempuan tersebut dikenal
sebagai skandal percintaan Inggris. Disebut sebagai skandal
karena pada masa tersebut (mereka hidup pada saat Inggris
di bawah otoritas ratu Victoria), homoseksual (gay) dianggap
sebagai sebuah kriminalitas. Sementara lesbian, belum men-
jadi isu yang diungkap karena anggapan pada masa tersebut
bahwa perempuan tidak selayaknya mengurusi seksualitas
mereka. Pasangan ini saling memanggil satu dengan lain
dengan nama Lushka (Violet) dan Mithya (Vita)1. Nama ini
kemudian dipakai sebagai nama virtual mereka.
Deskripsi-deskripsi identitas tersebut menunjukkan
ambiguitas L-M dalam memaknai dirinya. Namun, hal ini
1 Lebih lanjut mengenai kedua lesbian Inggris tersebut lihat http://
en.wikipedia.org dan http://scandalouswomen.blogspot.com.
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 13
14. Ari Setyorini
tidak kemudian menjadi sebuah hal negatif karena ambi-
guitas tersebut menurut Butler (1993, 29) justru merupakan
sebuah strategi untuk menggoyang apa yang disebut sebagai
identitas center-margin. Normativitas masyarakat mengang-
gap identitas yang koheren adalah identitas center, identitas
yang paling benar. Artinya, seseorang akan dianggap benar
jika identitas gender yang mereka tampilkan sesuai dengan
boduly sex dan hasrat seksualitas mereka. Dengan kata lain,
jika individu memiliki boduly sex sebagai perempuan, maka
gender mereka harus menunjukkan femininitas dan tertarik
secara seksual kepada laki-laki. Namun, yang dilakukan L-M
ini justru mensubyektifkan identitas tersebut dan menunjuk-
kan bahwa apa yang disebut sebagai gender dan seksualitas
hanyalah persoalan bagaimana hal tersebut diperformativi-
taskan atau diperagakan. Hal ini akan nampak pada perilaku-
perilaku dalam menampilkan identitas-identitas mereka yang
dibahas dalam subjudul selanjutnya.
Pernyataan L-M untuk tidak mengkategorisasikan dirinya,
senyatanya juga merupakan sebuah bentuk kategori lain,
yakni no label. No Label menjadi sedikit banyak mewakili apa
yang dijelaskan L-M ketika memilih untuk tidak memasukkan
diri mereka ke dalam kategori lesbian sebagai femme, butch,
dan andro. Sebagaimana pemikiran queer bahwa a refusal of a
set identity adalah identitas itu sendiri (Ibid.). Melalui no label,
L-M mensubversi identitas yang telah ajeg dengan melakukan
serangkaian percampuran terhadap normativitas identitas gender
dan seksualitas sebagaimana ide Butler atas gender trouble.
A. 1. 1 Performativitas Penampilan dan Fisik
Penolakan L-M untuk tidak mengategorikan di-
rinya ke dalam femme-butch-andro mempengaruhi cara
bagaimana mereka menampilkan identitas gender dan
seksualitas melalui tampilan fisik. Mereka cenderung
mengombinasikan penanda-penanda gender yang tam-
pak melalui penampilan tubuh. Misalnya ketika L men-
ceritakan tentang kebiasaan-kebiasaan L-M yang ber-
hubungan dengan penampilan dan atribut fisik. “Siapa
bilang kita se-tomboy or se-andro gitu. Emang penampakan
gue lebih cewek dari Mithya, tapi kalo buat urusan kerapi-
an Mithya ratunya” (“Mithya and Me,” Rabu, 10 Maret
14 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
15. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
di Indonesia
2009). Agaknya, banyak yang mengira L-M berpenampi-
lan “kelaki-lakian”. Hal ini tampak dari pertanyaan re-
toris L terhadap penampilannya yang cenderung dia-
sumsikan banyak orang sebagai penampilan tomboy2.
L menolak asumsi tersebut dengan menampilkan gam-
baran sisi “keperempuanan” L-M yang tampak dalam
kebiasaan mereka terkait penampilan atribut fisik. M
memiliki kebiasaan-kebiasaan berdandan yang “lazim-
nya” dilakukan oleh perempuan. Digambarkan oleh L,
bagaimana kepedulian M terhadap rambutnya,
Turun dari motor, buka helm, dia akan langsung
bilang ‘rambutku berantakan ga?’ –trus gue
jawab ‘engga’ –dia akan ngerapiin lagi, terus nanya
‘berantakan ga?’, gue tetep akan bilang ‘engga’ –dia
megang2 rambut terus nanya ‘beneran?’ –nah, di bagian
ini gue udah muter bola mata kalo engga melototin dia,
ngunci motor terus ngeloyor dengan rambut gue
berantakan. Fact: gimana mau berantakan, tiap mau
pasang helm dia ngerapiin rambut, trus dijepit, trus
dirapiin lagi helmnya. (Ibid.)
Pada post ini, L menjelaskan perbandingan pe-
nampilan antara dirinya dengan partner-nya, M. Dalam
konteks ini, L menilai M memiliki sisi femininitas dalam
penampilan yang lebih dominan daripada L. M memili-
ki kecenderungan berperilaku womanly, yang “khawat-
ir” dengan penampilan rambutnya. Rambut menjadi
penanda penting bagi perempuan dalam normativitas
masyarakat. Bahkan ada ungkapan yang menyebutkan
bahwa rambut adalah mahkota perempuan. Lebih lan-
jut, L menegaskan bagaimana M memiliki kegemaran
berdandan sebagaimana normativitas perempuan da-
lam masyarakat. Misalnya, M memiliki “ritual” menyi-
sir rambut, membersihkan wajah, memakai bedak, me-
nyemprotkan minyak wangi, dan terkadang memakai
2 Tomboy/i adalah perempuan YANG memiliki sifat “kelaki-lakian” (fe-
male-to-male transgenders), yang salah satunya tampak dari penampilan. Lihat
penjelasan mengenai tomboy/i dalam Boellstroff (2003) dan Blackwood (2008).
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 15
16. Ari Setyorini
lip gloss ketika berada di toilet, setelah buang air kecil.
M juga selalu membawa peralatan kosmetik di dalam
tasnya. “Isi tas: Mithya, selain ada buku, pulpen, dan kertas
pasti ada perlengkapan ceweknya, tissue, kertas minyak, sisir,
bedak, kaca, lip gloss, perfume, jepitan rambut.” Penyebu-
tan “perlengkapan cewek” di sini menegaskan bahwa
kosmetik memang melulu menjadi penanda bagi gender
perempuan.
Kebiasaan-kebiasaan M membuat L tertular un-
tuk ikut-ikut menunjukkan femininitas dirinya melalui
tampilan tubuh dengan berdandan. Disebutkan oleh L,
“ Dulu, gue boro2 di tas ada bedak, sisir aja ada udah ajaib,
yang wajib ada di tas itu buku, pulpen, dan notes. Sekarang,
gue jadi ketularan Mithya, kemana-mana bawa peralatan
ngelenong” (Ibid.). L mengumpamakan peralatan ko-
smetik sebagai peralatan ngelenong (lenong). Hal ini
mengindikasikan bahwa, bagi L, berdandan yang meli-
batkan peralatan kosmetik, tak ubahnya sebagai sebuah
aksi pertunjukan lenong. Ketika L menampilkan dirinya
yang berdandan menggunakan perlengkapan kosme-
tik, tak ubahnya seperti ketika pemain-pemain lenong
yang akan melakukan pertunjukan. Pada pertunjukan
lenong, setiap pemain akan menunjukkan sebuah kara-
kter lain yang berbeda dengan karakter mereka sebe-
narnya. Pada akhirnya, berdandan bagi L adalah untuk
menampilkan sebuah karakter fiktif, karakter rekaan
yang berbeda dengan dirinya “sebenarnya”.
Menyitir pendapat Butler (1990, 174) bahwa per-
soalan gender hanya semata persoalan performativitas,
proses imitasi dan pengulangan yang tidak pernah ber-
henti. Begitu juga yang dilakukan oleh L-M. Penampi-
lan fisik yang diidentifikasi oleh masyarakat sebagai
identitas gender dijadikan sebagai sarana untuk mem-
performansi gender mereka sebagaimana normativitas
masyarakat. Mereka oleh masyarakat dianggap seba-
gai perempuan melalui performatif ritual-ritual ber-
dandan. Sebagaimana dikemukakan oleh Bordo (1986)
bahwa tubuh perempuan medium femininitas, di mana
16 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
17. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
di Indonesia
diskursus budaya dan gender berlaku padanya3.
Bordo (via Davis 1995, 155) menilai bahwa mela-
lui kontrol terhadap tubuh, perempuan tidak melulu
menjadi korban atas tekanan “collective cultural fantasy”
namun justru dapat membebaskan perempuan untuk
memperoleh male-power. Sebagaimana penilaian Bor-
do, dalam konteks lesbian dengan mengikuti kontrol
atas tubuh L-M justru dapat dengan bebas memakai
topeng femininitas untuk menutupi identitas lesbian
mereka. L-M justru memperoleh tidak hanya male-pow-
er namun heteronormatif-power untuk mengelabuhi nor-
matif masyarakat atas feminintas yang mereka tunjuk-
kan melalui pendisiplinan tubuh.
Hal yang menarik, L-M tak hanya berhenti pada
tataran berdandan sebagai penanda identitas perempuan.
L-M menggambarkan pertentangan-pertentangan dalam
penampilan fisik mereka sebagai bentuk instabilitas
gender. Misalnya, ketika L menjelaskan dominansi sisi
femininitas dirinya yang tampak dari pilihan-pilihan
pakaian, aksesoris, dan sepatu. Beda halnya ketika L
yang merasa kurang menyukai berdandan, sehingga sisi
maskulinitas dirinya lebih dominan dalam hal berdandan.
Sebaliknya, Mithya justru sangat tidak “perempuan”
ketika berurusan dengan busana, sepatu, dan aksesoris. L
menjelaskan, “Rok untuk dipake harian itu adalah big no no
buat Mithya. Paling kalo mau kondangan aja dia baru mau. …
Mithya sekarang baru belajar pake sepatu-sepatu cewek. Untuk
harian dia masih setia ama Converse-nya” (Ibid.). Pakaian
berbentuk rok, bagi masyarakat, adalah pakaian bagi
perempuan. Karenanya, lazim jika perempuan memakai
rok sebagai penanda keperempuanan mereka. Seragam
sekolah hingga baju bekerja perempuan hampir semua
memiliki pakaian bawahan berbentuk rok. Rok pun
kemudian identik dengan simbol femininitas. Namun, M
menampilkan bentuk lain dari pilihan penggunaan rok
sebagai identifikasi gender dirinya. Bagi M, rok bukanlah
pakaian sehari-hari yang merepresentasikan dirinya. Ia
3 “… the female body as a kind of text which can be “read as a cultural statement,
a statement about gender.” (Lihat Bordo 1989, 16).
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 17
18. Ari Setyorini
hanya menggunakan rok jika menghadiri acara resmi,
misalnya resepsi pernikahan.
Selanjutnya, dijelaskan pula jika M lebih menyu-
kai menggunakan Converse, merk sepatu jenis kasual
yang biasanya dikenakan oleh laki-laki. Pada pilihan
ini, M menunjukkan sisi maskulinitas dirinya. Masku-
linitas M ditegaskan L dalam post-nya yang lain, “Have
I told you that Mithya is very handsome” (“Mamerin Pacar
Ah…,” Sabtu, 28 November 2008). Penyebutan “hand-
some” menjelaskan penampakan M yang ganteng mirip
laki-laki secara fisik. Lebih lanjut, L menjelaskan pe-
nampilan M yang maskulin membuat beberapa teman
L mengira M adalah pacar L, yang tentunya dalam ang-
gapan mereka M adalah laki-laki.
Penggambaran-penggambaran tersebut menun-
jukkan nonkonformitas M dalam menentukan pilihan-
pilihan terhadap tampilan tubuh. Di satu sisi, ritual
berdandan M menandakan gender femininitas dirinya,
namun di sisi lain maskulinitas muncul dari pilihan M
akan model pakaian dan sepatu yang cenderung manly.
Nonkonformitas juga ditunjukkan M saat menjelaskan
bahwa soul dirinya terlahir sebagai laki-laki, namun di
sisi lain M juga melakukan ritual-ritual yang menanda-
kan identitas keperempuannya.
Meski L-M menempatkan diri mereka sebagai “a
refusal of a set identity” atau no label, namun dari peng-
gambaran penampilan fisik, L-M cenderung menunjuk-
kan penampilan androgini dalam hubungan lesbian.
Baik L maupun M melakukan pemilihan terhadap be-
berapa identitas feminin yang kemudian dikombinasi-
kan dengan identitas maskulin. Pada akhirnya criss-
crossing identitas tersebut membentuk identitas lain
yang berbeda dari identitas normatif dalam masyarakat,
identitas androgini.
Melalui criss-crossing, seperti yang dilakukan oleh
L-M, apa yang disebut identitas gender center yang
normatif tersebut dipermain-mainkan. Bahwa individu
dapat saja melakukan modifikasi dengan menampilkan
gender act secara subversif seperti yang dilakukan
L-M dalam penampilannya. M yang memiliki ritual
18 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
19. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
di Indonesia
berdandan, akan tetapi kurang menyukai penggunaan
rok dan sepatu perempuan. L yang kurang suka memakai
kosmetik, namun menyukai rok, sepatu dan aksesoris
perempuan. Performansi gender act yang dilakukan oleh
L-M memang tak selamanya mulus. Terkadang mereka
harus menerima “hukuman” dari orang-orang di sekeliling
mereka jika ternyata gender act yang mereka tampilkan tidak
sesuai dengan “lazimnya”. Misalnya ketika M menceritakan
bagaimana dirinya harus menampilkan identitas gender
yang selaras dengan penampilan sebagaimana normatif
masyarakat. Diceritakan M (“I Hate Wedding Reception,”
Senin, 12 Oktober 2009),
… gue …ngga suka dengan acara resepsi pernikahan.
Gue kayak alergi dengan baju-baju pesta perempuan.
Setiap hadir di resepsi pernikahan gue bakal sesak
napas dan mulai banjir keringat karena canggung.
Gue pasti jadi pusat perhatian. Gimana ngga, Mithya
yang tomboy dan kayak laki itu dateng dengan full
make up dan dress cantik. … a lot of people said that I
am beautiful kalo mau didandanin dan pakai baju
feminin. But it’s just not me.
M harus menampilkan pilihan-pilihan gender
yang selaras sebagaimana normativitas masyarakat
jika sedang menghadiri resepsi pernikahan, meski hal
tersebut membuat dirinya tidak nyaman. M mencerita-
kan bahwa suatu saat dirinya mencoba berpenampilan
tidak seperti normativitas gender perempuan ketika
menghadiri acara resepsi. Kemudian, ternyata hal terse-
but dinilai orang-orang sekitarnya sebagai sebuah hal
yang tidak lazim, M “ditegur” karena penampilannya
tersebut. Pada akhirnya, M harus “tunduk” terhadap
normativitas masyarakat akan keselerasan penampilan
tubuhnya dengan gender. “Akhirnya gue harus menerima
norma masyarakat yang satu ini. … For now Mithya harus
dateng … mengenakan pakaian perempuan lengkap dan dan-
danan tebal, berusaha menjadi cewek-cewek kebanyakan di
sekitarnya” (Ibid.).
Di balik ketundukan M terhadap keselarasan
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 19
20. Ari Setyorini
antara penampilan dan identitas ini, sebenarnya M
telah membuktikan bahwa apa yang disebut sebagai
gender perempuan hanyalah bentuk-bentuk peniruan. M
meniru tampilan gender perempuan dengan mengikuti
normatif masyarakat akan “kepantasan”, yakni berdandan
dan berpakaian perempuan (rok) untuk acara-acara formal
seperti resepsi pernikahan, meskipun sebenarnya diri M
merasa tidak sesuai dengan tampilan tersebut. Namun,
justru aksi tiru itu, membuat M dikategorikan sebagai
perempuan dan akhirnya diterima oleh masyarakat.
Karenanya, tak ada yang dapat disebut sebagai identitas
asli, yang ada hanya bentuk-bentuk peniruan yang diulang-
ulang di bawah tekanan, melalui apa yang disebut sebagai
larangan, penyebutan atas tabu (Butler 1993, 95) atau apa
yang dinyatakan sebagai pantas-tidak pantas.
Pada konteks identitas lesbian sebagai Butch-
femme-andro-no label, penampilan acapkali menjadi
identifikasi atas kategori tersebut. Butch biasanya ber-
penampilan kelaki-lakian, femme tampak feminin se-
bagaimana normativitas perempuan. Dikotomi butch-
femme, yang kerap kali dikritik dalam partnership lesbian
karena seolah-olah “meniru” dikotomi atas perempuan-
laki-laki, tampaknya tidak berlaku bagi L-M. Selain
menyebut diri mereka sebagai no label, performativitas
yang mereka lakukan menunjukkan bahwa mereka bisa
berpenampilan sebagaimana butch maupun femme.
A. 1. 2 Perilaku dan Peran
Identifikasi criss-crossing gender tampak pula dari
perilaku dan peran yang ditampilkan L-M. Beberapa
performativitas L menunjukkan bahwa terdapat sisi
femininitas dan sekaligus maskulinitas dalam dirinya.
Identifikasi femininitas muncul ketika ia menjelaskan
dirinya yang gampang sekali menangis. L mendeskripsi-
kan perilaku dirinya dan M sebagai berikut, “Nah, yang
paling cewek banget dari kita… kita itu mewekan. Baca buku
sedih, mewek. Nonton pelem, mewek. Nonton Oprah, mewek.
Nonton konser, mewek…“ (“Mithya and Me,” Rabu, 10
Maret 2009). Dipahami bahwa perilaku menangis selalu
diidentikkan dengan perempuan. L mengidentifikasi
20 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
21. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
di Indonesia
perilaku mereka yang gampang mewek (menangis) se-
bagai sisi femininitas utama mereka. Beberapa perilaku
yang kerap diidentikkan dengan perempuan tampak
pada perilaku L yang lebih mendahulukan emosi. Sena-
da dengan L, M pun memiliki perilaku yang menampil-
kan sisi femininitas. Digambarkan L, “Mithya suka ama
boneka-boneka lucu, sedangkan gue tidak terlalu. Dia bisa
menarik-narik gue di depan toko mainan terus dengan suara
imut bilang, ‘aa, ayang lucu banget yaa…’ sambil peluk-peluk
bonekanya” (Ibid.). M yang sedari awal mengidentifikasi
bahwa soul dirinya sebenarnya adalah laki-laki, namun
dengan menunjukkan kegemarannya terhadap boneka
–yang identik dengan mainan anak perempuan, sekali
lagi menunjukkan ambiguitas identitas gender M.
Partnership yang dijalankan oleh L-M menunjuk-
kan bahwa mereka bisa berperan sebagai siapa pun da-
lam hubungan tersebut. Maksudnya, tidak ada aturan
sebagaimana normativitas masyarakat yang mengung-
gulkan peran maskulin daripada feminin. Misalnya,
gender maskulin “diharuskan” mengurusi urusan pub-
lik, menjadi kepala rumah tangga, sementara gender
feminin memiliki peran domestik rumah tangga (Fakih
1996, 10-1). Konstruksi peran gender dalam masyarakat
tersebut tidak berlaku dalam partnership L-M. Peran bagi
L-M digambarkan M ketika dirinya sedang berangan-
angan membayangkan bagaimana nantinya jika mereka
berdua hidup serumah.
… Kalo aku udah kerja sih kayaknya aku yang baka-
lan tukang pulang malem atau mepet pagi, hehehe..
It’s nice kalo di YM kita nanya, ‘Makan malem
apa?’, ‘Makan di rumah ngga?’… atau kalo pu-
lang kantor, aku uda siapin air anget buat kamu
mandi…. (“Waiting for Your Call,” Jumat, 8 Juni
2007).
Penyebutan M akan tukang pulang malam (pagi)
bagi kontruksi masyarakat biasa dilekatkan pada laki-la-
ki. Bahkan jika perilaku tersebut dilakukan oleh perem-
puan, maka perempuan tersebut akan dinilai sebagai
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 21
22. Ari Setyorini
perempuan yang “tidak benar” atau nakal. Namun,
bagi M sebutan tersebut diberikan kepada dirinya send-
iri untuk menunjukkan bahwa peran dirinya di ranah
publik, yang memungkinkan dirinya untuk kembali ke
rumah lebih larut daripada L. Akan tetapi, angan-angan
M selanjutnya menggambarkan peran-peran dirinya da-
lam wilayah domestik, misalnya, menyiapkan makanan
bagi mereka. Bahkan, M menggambarkan dirinya dan
L memiliki peran yang sama yakni di wilayah domes-
tik sekaligus publik. Hal ini tampak dari bagaimana M
membayangkan jika L-M sedang berkomunikasi mela-
lui Yahoo Messenger! mereka akan saling menanyakan
persoalan domestik, misalnya mengenai menu maka-
nan, yang identik dengan peran perempuan.
Wacana-wacana tersebut secara tidak langsung
menjadi counter wacana bagi konstruksi masyarakat
tentang keharusan keselarasan antara boduly sex dan
gender. Keharusan bahwa perempuan wajib berting-
kah laku feminin dan berperan dalam ruang domestik,
tampaknya telah menjadi sesuatu yang old-fashioned.
Performativitas-performativitas yang ditampilkan oleh
L-M mempertegas bahwa identitas adalah sesuatu yang
dapat diubah, dapat di-mix-match-kan. Individu dapat
menjadi sosok feminin dan maskulin sekaligus. Indi-
vidu tidak dapat dibatasi hanya dengan role tertentu
yang ajeg.
Butler memang mengajukan performativitas
identitas untuk menunjukkan bahwa identitas dapat
diubah-ubah dan dipilah-pilah, sebagaimana jika ses-
eorang memilih pakaian yang hendak mereka kenakan.
Namun, yang patut dicatat adalah pilihan-pilihan terse-
but tidak dapat dilakukan dengan bebas, karena ter-
batasnya pilihan akan identitas yang ada dalam budaya
dominan. Singkat kata, performativitas adalah bebas
namun terikat (Butler via Salih, 2002), gender diper-
lakukan sebagai aksi performatif yang bebas namun
terikat. Baik L maupun M, tak mampu lepas dari iden-
titas yang terlanjur dilekatkan pada perempuan dalam
budaya Indonesia.
22 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
23. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
di Indonesia
A. 2 Aktivitas Seksual
Post L-M dalam FD beberapa kali menggambarkan ak-
tivitas seksual mereka sebagai partner lesbian. Seperti misal-
nya diceritakan oleh M (“While You Sleep…,” Kamis, 7 Juni
2007),
I spread kissess along your lips, neck, then to your breast
where I lingered, gently squeezing every each one of them.
… my lips eagerly returned to you back, your neck, and my
hand cupped each and one of your breast. … my hand be-
tween your thigh, touching you. Your legs opened for me, and
I slip between them, thrusting deeply as I can into you. As I
make love to you, your breathing became frantic. … suddenly
you screamed out as I touched the right spot, and as I felt the
trembling wrack of your body, the pleasure burst through me
as well….
Gambaran M tersebut menunjukkan aktivitas seksual
mereka, mulai dari foreplay hingga “aktivitas utama.” Yang
menarik, M menyebut seks oral sebagai aktivitas utama seks
mereka, bukan sebagai foreplay. “I slip between them, thrusting
deeply as I can into you” menggambarkan aktivitas seksual oral
yang M dan L lakukan. Hal ini menjadi kritik bagi konstruksi
masyarakat yang menyebut aktivitas seksual di luar penetrasi
adalah aktivitas seksual tambahan, aktivitas seksual pemana-
san, atau foreplay. Hal ini tampak dari pilihan kata “make love”4
yang biasanya dikaitkan dengan aktivitas seksual penetratif,
namun mereka gunakan untuk menggambarkan seks utama
mereka, seks oral.
Salah satu hal terpenting dalam aktivitas seksual, yakni
orgasme, dapat terjadi tanpa melibatkan perbedaan anatomi
tubuh. Seperti yang dijelaskan M saat menggambarkan proses
orgasme, “…you screamed out as I touched the right spot, and as I
felt the trembling wrack of your body, the pleasure burst through me
4 Bandingkan pemakaian diksi ‘make love’ (have sex) dengan ‘make out’.
Diksi pertama acap kali diidentikkan dengan seksual penetratif, sementara diksi
selanjutnya sering terkait dengan aktivitas seksual nonpenetratif, salah satunya
adalah seks oral (Lihat Encarta Dictionary 2008).
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 23
24. Ari Setyorini
as well…” (Ibid.). “The right spot” digunakan untuk menggam-
barkan G-Spot. Persoalan seksualitas bagi L-M adalah perso-
alan ketepatan menemukan spot yang benar, karenanya dapat
dilakukan baik itu dengan sesama jenis maupun berbeda jenis
kelamin. Di sini, karena perkara seksualitas bukan lagi perka-
ra penetrasi penis, karenanya fungsi dari penis digantikan
dengan anggota tubuh lainnya. Penggunaan kata “touched”
(sentuh) menunjukkan aktivitas tangan, sebagaimana fungsi
tangan untuk menyentuh. Selanjutnya, my hand between your
thigh, touching you, semakin menegas aktivitas seksual non-
penetratif. Penggunaan “between you thigh” (di antara paha-
mu) menunjukkan letak pleasure perempuan, yakni klitoris
yang ada di vagina. Leksikon ini menggambarkan aktivitas
masturbasi mutual, di mana (M) melakukan stimulasi seksual
klitoris kepada pasangannya.
Seksualitas sebagai bentuk kesenangan juga digam-
barkan oleh L-M melalui post “Our Own Made Drama.” L
menceritakan aktivitas seksual yang biasa mereka lakukan di
toilet umum mall. Sebelum melakukan aktivitas seksual, L-M
biasanya melakukan “drama” agar keduanya dapat berada di
dalam toilet yang sama untuk melakukan aktivitas seksual.
Diceritakan L, mula-mula salah satu dari mereka akan masuk
ke dalam toilet, kemudian pura-pura sakit dan meminta part-
ner yang lainnya untuk masuk ke dalam toilet juga untuk
membantunya. Ketika keduanya berada di dalam toilet itu-
lah, mereka melakukan aktivitas seksual. L menggunakan is-
tilah plop-plop (“Our Own Made Drama,” Rabu, 13 Mei 2009)
untuk menjelaskan aktivitas seksual masturbasi (handjob)
yang mereka lakukan di dalam toilet. Plop-plop sendiri meru-
juk pada suara yang ditimbulkan dari aktivitas seksual yang
melibatkan tangan. L-M menentang apa yang dianggap tabu
dalam masyarakat. Aktivitas seksual di tempat umum, seper-
ti toilet mall, bagi masyarakat seringkali dianggap bukan ak-
tivitas seksual yang benar. Karenanya, L-M harus melakukan
“drama” terlebih dahulu untuk melakukan aktivitas seksual
“tabu” tersebut.
Aktivitas seksual lain digambarkan oleh L dalam post,
“...ngarep bisa megang tangan kamu, nyium kamu dikit di
bibir, meluk kamu, gesekan...” (Jumat, 15 Juni 2007). Leksikon
gesekan menggambarkan aktivitas seksual yang dilakukan
24 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
25. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
di Indonesia
oleh L dan partnernya. Aktivitas ini biasa disebut dengan
tribadisme, pasangan lesbian saling menggesekkan vagina
mereka. Aktivitas seksual ini menggantikan fungsi penis
sebagai alat penetratif karena vagina “dilawankan” dengan
vagina. Variasi aktivitas seksual, seperti hand-job, seks oral,
dan seks di tempat umum, dilakukan oleh L-M lebih karena
hasrat seksual itu sendiri.
Apa yang dilakukan L-M dengan melakukan kombi-
nasi terhadap identitas gender-seksualitas dengan tidak men-
jalankan keduanya sebagaimana normativitas masyarakat,
sesuai dengan apa yang disebut Butler (1990, 36-37) sebagai
pastiche. L-M melakukan perpaduan terhadap identitas gen-
der feminin-maskulin dan seksualitas perempuan dan laki-
laki. Melalui cara ini L-M, melakukan mockering terhadap apa
yang disebut oleh masyarakat sebagai normativitas gender
dan seksualitas utama. Seksualitas bagi L-M bukanlah per-
soalan dikotomisasi anatomi tubuh atau pula perkara halal-
haram, tapi lebih pada pleasure itu sendiri.
A. 3 Pernikahan
Pernikahan bisa disebut sebagai hal termewah bagi part-
ner lesbian. Beberapa post menjelaskan angan-angan L-M akan
pernikahan sejenis, namun dengan segera mereka menyadari
bahwa angan-angan tersebut merupakan hal yang utopis be-
laka. “… tunggu kita selesai kuliah, terus … nikah deh … hehehe
(gila agaknya … kekekeek)” (Lushka, Selasa, 12 Juni 2007). Ini-
lah salah satu keinginan yang sebenarnya bisa dibilang kon-
servatif. Mereka yang tampak no label, ternyata masih juga
memerlukan suatu “status” yang lebih diamini masyarakat
heteroseksual, sehingga L kerap kali membayangkan pernika-
han sebagai ujung dari partnership mereka. Mungkin ini bisa
dianggap sebagai pengaruh dari idealisme pernikahan dalam
dunia heteroseksual.
Namun, sanggahan yang muncul segera setelah men-
gangankan pernikahan, “gila agaknya”, menegaskan bahwa
bagi masyarakat adalah hal yang gila jika sepasang lesbian
melakukannya. Hal tersebut disadari benar oleh L-M, seperti
yang tampak pada post L selanjutnya,
… what if kita nikah. Standar ngayal kita deh. Kita sih
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 25
26. Ari Setyorini
maunya kalo nikah itu harus sah, legal dan halal. Which
mean, harus siap, ikhlas, sesuai dengan agama yang kita
anut, legal di mata hukum negara dan restu orang tua.
MANTAB. Masalahnyaaaaaa! … gue berdua untuk dapat
nikah dengan kondisi tersebut di atas, harus memiliki
syarat sebagai berikut: 1). Ikhlas/ Siap … siap banget
dah, 2). Restu orang tua nyokap Mithya klik banget ama
gue.. hihihi. Mithya kayanya juga bisa get along dengan
baik ama keluarga gue, 3). Beda Kelamin… errrr, 4).
Beragama sama … errrr. Itu dia masalahnya pemirsa! Gue
berdua udah sama kelaminnya, eeehhh ditambah pake
beda agama! (“Ayo Pilih Mana,” Rabu, 13 Mei 2009).
L menggambarkan hal-hal yang harus dipenuhi jika
mereka akan melakukan pernikahan. Pertama dan mendasar
adalah persyaratan akan perbedaan kelamin dalam sebuah
pernikahan. Selanjutnya adalah persamaan agama atau ke-
percayaan. Kedua masalah tersebut tidak dapat dipenuhi oleh
L-M karena mereka sama-sama perempuan, namun berbeda
agama (Lushka beragama Katholik, Mithya beragama Islam).
Bagi pasangan lesbian, hal yang kerap mereka temui
adalah keterpaksaan mereka untuk menikah dengan laki-laki
demi atribut sosial yang nantinya akan melekat pada mereka.
L-M menceritakan bahwa banyak lajang lesbian yang dijodoh-
kan oleh orang tua mereka. Sebagaimana digambarkan L,
…para lajang yang dijodohkan oleh orang tua untuk para
Queer, punya masalah apa ya? Apakah homo? Psycho?
Kuper? Jelek? Terlalu sibuk? Terlalu pintar? Tidak percaya
dengan pernikahan? Sakit keras? Punya masa lalu yang
buruk? Why?! Kenapa para ‘calon korban pengorbanan’
lesbian ini sampai perlu dijodohkan? (Lushka, Selasa, 22
Desember 2009).
MenarikuntukdicermatiketikaLmenyorotipermasalahan
justru kepada individu yang dijodohkan kepada lesbian, bukan
kepada lesbian itu sendiri. Kecurigaan L terhadap kualitas laki-
laki yang dijodohkan kepada lesbian menunjukkan pesimisme
dirinya. Dia menggambarkan imej-imej “negatif” seperti homo,
psycho, kuper, jelek, terlalu sibuk, terlalu pintar, tidak percaya
26 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
27. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
di Indonesia
dengan pernikahan, sakit keras, punya masa lalu yang buruk
terhadap laki-laki yang dijodohkan dengan lesbian.
L juga menilai bahwa yang bermasalah bukanlah lesbian
tersebut, tapi justru laki-laki yang mau “dikorbankan” sebagai
jodoh lesbian. L melakukan redefinisi bahwa yang “bersalah”
jika terjadi perjodohan antara lesbian dengan laki-laki straight
adalah justru si laki-laki tersebut. Orang biasanya berpikir
bahwa perjodohan antara lesbian dan laki-laki straight akan
“menyembuhkan” lesbian. Pada konteks ini, laki-laki yang
dijodohkan tersebut seringkali dianggap sebagai hero bagi
masyarakat, namun nyatanya bagi L, laki-laki tersebut tak
ubahnya sebagai “korban” yang terpaksa menuruti sistem
budaya. Hingga akhirnya, mereka mau saja dijodohkan dengan
lesbian karena asas heteronormativitas.
B. Weblog Rahasia Bulan (RB)
Weblog ini adalah milik seorang lesbian bernama virtual Alex
(A). Blog ini cukup dikenal oleh komunitas lesbian karena A meru-
pakan pengelola salah satu majalah lesbian online, sepocikopi.com.
Struktur blog ini terdiri dari tiga bagian utama. Bagi pertama adalah
judul weblog, yakni Rahasia Bulan. Bagian selanjutnya adalah post,
bagian ini merupakan inti dari weblog tersebut karena memuat tu-
lisan A dan juga komentar-komentar blogger atas post yang dilaku-
kan A. Bagian terakhir berisi deskripsi blog, twitter, tagline, arsip
blog, kategori post, web hit counter, dsb.
B. 1 Perbincangan Mengenai Identifikasi Femme, Butch,
Andro, dan No Label
Berbeda dengan weblog milik L-M, yang dengan gamb-
lang menjelaskan bahwa mereka adalah no label, A tidak secara
gamblang menjelaskan identitas dirinya dalam kategorisasi
femme-butch-andro maupun no label. Identifikasi tampak per-
tama kali melalui pemilihan nama virtual yakni “Alex”. Nama
“Alex” merupakan kependekan dari Alexander atau Alexan-
dria, berasal dari bahasa Yunani yang biasanya dihubungkan
dengan Hera, istri Zeus. Nama ini juga kerap dihubungkan
dengan Alexander the Great dan kerap dikaitkan dengan ke-
beranian dan kekuatan fisik. “Alex” merupakan nama untuk
unisex yang umum dipakai baik bagi laki-laki maupun perem-
puan (http://www.wikipedia.org). Nama ini kemudian men-
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 27
28. Ari Setyorini
jadi penanda akan identifikasi Alex sebagai “in-betweeness”’.
Perempuan (yang disimbolkan melalui Hera) yang memiliki
sifat maskulin sebagaimana Alexander the Great.
Pada beberapa post, dia menggambarkan isu identifikasi
lesbian ini, namun tidak mengategorikan dirinya ke dalam salah
satunya. Alex menyoroti identifikasi tersebut melalui sosok idola
yang dinilainya mewakili ketertarikan dia terhadap perempuan
yang maskulin. Misalnya, ketika dia menggambarkan artis-artis
perempuan yang berperan sebagai jagoan, dan dinilainya sebagai
sosok perempuan yang menarik. Dia menulis, “… temukan
perempuan-perempuan jagoan ini, lalu nikmati pesta mata bersama
mereka. Perempuan-perempuan cantik, berotak, berani, berkepribadian
kuat, dan jagoan di antara jagoan.” (“10 Cewek /Jagoan dalam Film
Sci-Fi/ Fantasi,” 2008).
Hal menarik untuk dicermati adalah pilihan kategori
terhadap perempuan idola bagi A adalah cantik, berotak,
berani, berkepribadian kuat, dan jagoan di antara jagoan.
Kategori perempuan idola ini menunjukkan perpaduan
antara maskulinitas dan feminitas dalam sosok perempuan.
Cantik merupakan kata sifat yang lekat dengan femininitas
perempuan. Sementara, diksi berotak, berani, berkepribadian
kuat, dan jagoan adalah penanda bagi maskulinitas. Perempuan
yang menarik bagi A adalah perpaduan antara feminin dan
maskulin. Bahkan A kemudian menyebut beberapa karakter
perempuan jagoan yang merupakan idola dirinya, misalnya,
Lara Croft (karakter yang diperankan oleh Angelina Jolie
dalam film Tomb Rider), Trinity (karakter yang diperankan
oleh Carrie Anne Moss dalam The Matrix), Keira Knightley
(karakter yang diperankan oleh Elizabeth Swann dalam Pirates
of Carribean), Mystique (karakter yang diperankan oleh Rebecca
Rojimn dalam X-men), Alice (karakter yang diperankan oleh
Milla Jovovitch dalam Resident Evil), Sarah Connor (karakter
yang diperankan oleh Linda Hamilton dalam Terminator), dan
Princess Leila Organa (karakter dalam Star Wars).
Hal yang menarik, A memberikan penjelasan pada
masing-masing karakter berkaitan dengan maskulinitas para
karakter perempuan jagoan tersebut. Pada karater Lara Croft,
Alex menilai sosok tersebut menjadi idola bagi kebanyakan
lesbian. Fisiknya membuat Jolie menjadi idola. Dia men-
jelaskan, “ … melihat payudara 36 DD-nya Lara Croft menjadi
28 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
29. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
di Indonesia
pemandangan mengasyikan tersendiri” (Ibid.). Pada konteks ini,
pendapat Alex menyerupai male-gaze karena melihat sosok
Lara Croft berdasarkan tubuhnya yang menarik secara sek-
sual.
Karakter Knightley diidolakan oleh Alex karena “…
cantik, cerdas, jagoan, dan tidak menye-menye atau manja.” Me-
narik ketika A menjelaskan karakter jagoan yang disebutnya
adalaha cantik (penanda bagi femininitas), akan tetapi sekali-
gus dengan karakter tidak menye-menye atau manja. Kata sifat
menye-menye atau manja biasanya dilekatkan sebagai peri-
laku perempuan. A menolak karakter tersebut sebagai karak-
ter jagoan perempuan. A melakukan pemilihan atas penanda
femininitas. Penanda mana yang harus dimiliki sebagai jago-
an perempuan yang diidolakannya, serta penanda feminini-
tas mana yang seharusnya tidak dilekatkan pada sosok idola
tersebut.
A juga menggambarkan beberapa adegan yang diper-
ankan oleh karakter tersebut yang sedikit banyak meng-
gambarkan identifikasi dirinya. Dia menyukai adegan yang
dilakukan oleh Sarah Connor (Linda Hamilton) ketika menem-
bakkan senapan. Dia menjelaskan bahwa tampilan Connor
saat itu sangatlah andro. Andro merupakan identifikasi yang
digunakan untuk menunjukkan pembagian peran yang sama
dalam karakter maskulin dan feminin pada lesbian. Istilah ini
berasal dari bahasa Yunani. Dalam konteks identitas gender,
androgini adalah orang yang tidak sepenuhnya cocok den-
gan peranan gender maskulin dan feminin yang tipikal da-
lam masyarakat. Mereka menggambarkan dirinya di antara
laki-laki dan perempuan atau sama sekali tidak bergender
(Serean, 2005).
Identifikasi identitas memang tak begitu tampak da-
lam weblog RB ini. Hanya saja, A kerap kali mengambarkan
ketidaktertarikannya terhadap femme. Seperti dijelaskannya,
Aku ingin perempuan yang bisa membaca peta, karena
aku bisa membuatmu tersesat. Aku bisa menunjukkan
jalan padamu, tapi kamu yang harus menyetiriku sepa-
njang jalan. Dan di saat-saat tegang, aku nggak mau
perempuan femme kelemer-kelemer pemarah... aku mau
kamu, “my butch”, yg tegas dan berwibawa, hahaha. :)
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 29
30. Ari Setyorini
(“Pasangan yang Sempurna,” 2008)
“Membaca peta”, “menyetir”, serta “tegas dan ber-
wibawa” adalah penanda bagi maskulinitas, atau dalam
identifikasi lesbian merupakan penanda bagi butch. Hal ini,
pada satu sisi dapat diartikan bahwa A adalah seorang femme
(karena memiliki ketertarikan pada butch). Akan tetapi, se-
baliknya, hal tersebut juga dapat diartikan bahwa A adalah
seorang butch, karena tidak menyukai identifikasi femme. Ba-
gaimanapun juga, hal ini menjelaskan bahwa persoalan iden-
titas adalah persoalan yang tidak akan pernah pasti.
Kecairan identitas A, bagi sebagian orang, membuat-
nya dikategorikan sebagai andro. Akan tetapi, A sendiri justru
tidak dengan jelas menyebut dirinya sebagai androgini. Pada
konteks ini, sebagai lesbian yang merupakan negasi dari hete-
ro, A telah menunjukkan instabilitas atas heteronormativitas.
Sementara dalam dunia lesbian sendiri, A juga menunjuk-
kan bahwa identifikasi atas butch-femme-andro-no label justru
hanya akan mereduksi instabilitas gender dan seksualitas itu
sendiri. Tak ada identifikasi yang pasti atas identitas gender
dan seksualitas individu. Penjelasan lebih lanjut dipaparkan
dalam subjudul berikut.
B. 1. 1 Performansi Penampilan dan Fisik
A adalah lesbian yang telah out of the closet baik
pada keluarganya maupun pada teman-temannya.
Meski demikian, bagi sebagian temannya, penampilan
sebagai penanda identitas A tidak menunjukkan identi-
fikasi tersebut. Sebagaimana diungkapkan A,
Dari segi penampilan saya bukan tipe “bapak-ba-
pak”, demikian teman-teman straight saya sering
menyebut mereka yang “butch”, …karena menu-
rut mereka saya tipe lesbian yang bisa “menya-
mar” di antara manusia hetero (“Opini: To Out or
Not to Out,” 2006).
A memang tidak menunjukkan secara spesifik
penampilan dan fisiknya melalui deskripsi. Namun,
dari post di atas, sedikit banyak diketahui bahwa pe-
30 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
31. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
di Indonesia
nampilan A adalah tidak maskulin seperti butch. Hal
ini menegaskan kembali bahwa apa yang disebut gen-
der adalah performativitas. Ketika lesbian, bagi teman-
teman hetero A, diidentifikasi melalui penampilan
dengan tipe “bapak-bapak”, justru hal tersebut tidak
tampak pada A. Ketika perfomativitas A “hanya” se-
bagaimana perempuan hetero lainnya, maka identitas
yang melekat padanya tak ubahnya seperti perempuan
lain, perempuan “normal”. Penampilan A sebagaimana
perempuan hetero lainnya membuatnya dapat “me-
nyamar” sebagai manusia hetero (namun senyatanya
A lebih memilih untuk out). “Menyamar” merupakan
aksi menyaru, mengubah rupa (tidak memperlihatkan
keadaan yang sebenarnya) (http://www.artikata.com).
Aksi ini menurut Foucault menjadi sebuah teknologi
diri, sebuah strategi untuk memproduksi diri sesuai
dengan pengetahuan kita akan diri kita sendiri, strategi
yang memungkinkan kita untuk memilih bagaimana
kita hendak menampilkan diri di antara berbagai pili-
han. Karenanya, seseorang bisa saja menampilkan diri
mereka tidak sesuai dengan kenyataannya. Pemakaian
kata “menyamar” menunjukkan bagaimana sebenarnya
individu “hanya” teridentifikasi melalui tampilan-
tampilan yang tampak pada tubuh sehingga memung-
kinkan individu untuk memperformatifkan penampi-
lan yang tidak sesuai dengan identitas diri mereka yang
“sebenarnya” (Gauntlet 2002, 128).
Penampilan sebagai penanda gender juga
dipertanyakan oleh A ketika membandingkan identitas
perempuan tomboy dengan lesbian. A menulis, “…
perempuan yang mengenakan kemeja, jins, rambut cepak
paling-paling hanya dibilang tomboi, tidak langsung dicap
lesbian” ( “Opini: Watch Your Step, How Far Can You
Go?” 2006). Penanda identitas melalui penampilan
adalah hal yang dapat dimanipulasi. Jika perempuan
berdandan a la laki-laki dengan mengenakan kemeja,
jeans, dan berpotongan rambut cepak, maka tidak
lantas perempuan tersebut disebut butch atau lesbian.
Identifikasi atas perempuan tersebut hanyalah
disebut sebagai perempuan tomboy, tentunya dengan
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 31
32. Ari Setyorini
menempatkan identitas seksual mereka sebagai
heteroseksual. Identifikasi gender dan seksualitas ini,
sekali lagi, hanya merupakan persoalan performativitas
melalui appearance of substance (Butler 1990, 141).
Bedanya, jika lesbian memparodikan apa yang dianggap
normativitas atas gender dan seksualitas, sebaliknya,
perempuan heteroseksual menampilkan identitas
mereka sesuai dengan normativitas yang telah ada.
Sebagaimana yang ditegaskan Butler (Ibid.),
That gender reality is created through sustained social
performances means the very notions of an essential
sex and a true or abiding masculinity and femininity
are also constituted as part of the strategy that conceals
gender performative’s character and the performative
possibilities for proliferating gender configurations
outside the restricting frames of masculinist domina-
tion and compulsory of heterosexuality.
Hanya saja, kerap kali yang terjadi ketika seorang
perempuan menunjukkan ketidaksesuaian antara gen-
der dan seksualitas, antara penampilan tubuh dan kon-
struksi identitas, antara jenis kelamin dan pilihan seksu-
al, maka yang muncul adalah pelabelan abnormal pada
perempuan tersebut. Misalnya, melalui pelabelan tom-
boy, nonkonfromitas atas penampilan tubuh dan gen-
der dinilai sebagai sebuah abnormalitas, bahwa perem-
puan tersebut gagal menjadi “perempuan sebenarnya”,
gagal menunjukkan femininitas dirinya melalui pe-
nampilan. Karenanya, dia disebut perempuan tomboy,
bukan “perempuan” tanpa embel-embel apapun di be-
lakangnya. Akan tetapi, identifikasi sebagai perempuan
tomboy lebih bisa diterima bagi masyarakat daripada
lesbian. Preferensi seksualitas tomboy terhadap laki-
laki yang bagi masyarakat dianggap normal membuat-
nya masih dicap “normal”. Beda halnya dengan lesbian,
meskipun gender mereka menunjukkan normativitas
femininitas, namun jika preferensi seksualitas mereka
tidak sesuai dengan heteronormativitas, maka punish-
ment masyarakat akan berlaku pada mereka.
32 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
33. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
di Indonesia
B. 1. 2 Perilaku dan Peran
Tampilan tubuh memang kerap kali menjadi pen-
anda identitas gender seseorang. Diceritakan bagaima-
na gesture tubuh menjadi penanda identitas individu,
“Kenapa sih kamu kalau berdiri mengangkang
begitu? Apa itu ciri khas lesbi? Jadi inget si xxx,
yang kalau jalan keliatan lesbi banget ya? Dia
keliatan lesbi dari cara jalannya... sama kaya si
xyz” … cara jalan saya tidak bergaya “lesbi”. Tapi
cara berdirinya, iya. Waks, pikir saya, lebih parah
lagi dong. Belum jalan aja, udah ketauan. …
partner saya menjelaskan lagi tentang cara berjalan
“mengayun” ala lesbian. Dan dia menambahkan
gerakan-gerakan seperti menyilangkan tangan di
depan dada atau memasukkan tangan ke saku
celana yang sering dilakukan lesbian. ... Ayunan
langkah, bahasa tubuh, serta gerakan-gerakan
tanpa sadar yang mereka lakukan (“Opini: To Out
or Not to Out,” 2006).
A menceritakan kometar Laksmi, partnernya,
mengenai “ciri khas” lesbian yang tampak dari gesture
mereka. “Berdiri ngangkang” adalah gesture yang
bagi Laksmi sering dilakukan oleh lesbian. Berdiri
dengan cara seperti ini biasanya dilakukan untuk
menunjukkan maskulinitas. Selanjutnya, dijelaskan
oleh A pandangan Laksmi mengenai cara berjalan
lesbian yang “mengayun” sembari “menyilangkan
tangan di depan dada” atau “memasukkan tangan ke
saku celana”. Cara jalan tersebut tidak menunjukkan
femininitas perempuan. “Menyilangkan tangan di
depan dada” seolah-olah menutupi bagian tubuh
penanda perempuan, yakni payudara. Leksikon “dada”
lebih dipilih daripada “payudara” karena menunjukkan
netralitas. Maksudnya, leksikon “payudara” memang
selalu diidentikkan dengan perempuan, karena selain
sebagai simbol seksualitas juga merupakan simbol
kewanitaan (perempuan menyusui bayi melalui
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 33
34. Ari Setyorini
payudara). Namun, dengan menggunakan “dada”,
A menunjukkan netralitas atas makna bagian depan
tubuh perempuan ini. Dada memiliki makna unisex.
Setiap anatomi tubuh manusia memiliki bagian yang
disebut dada.
Akan tetapi pada konteks ini, diksi dada terkait
dengan sesuatu yang ingin ditutupi. Ini kemudian
menjadi sebuah ironi karena dalam rangkaian kata-
kata tersebut terdapat ambiguitas. Kalimat tersebut
tidak hendak menunjukkan netralitas. Cara jalan—
menyilangkan tangan di depan dada, menggambarkan
ketidaknyamaan terhadap nonkonfromitas gender dan
seksualitas lesbian atas penanda-penanda tubuh yang
melekat pada diri mereka, yakni seksualitas dan wom-
anhood yang ingin ditutupi oleh perempuan tersebut.
Perilaku ini kerap dilakukan oleh lesbian karena non-
konformitas tersebut adalah patologi bagi budaya het-
eronormativitas. Perilaku-perilaku tersebut, kemudian
bagi Laksmi banyak ditampilkan oleh lesbian.
Anggapan Laksmi tersebut membuat A memikirkan
apakah ketidaksesuaian penampilan perempuan terhadap
normativitas femininitas serta-merta menunjukkan
identitas perempuan sebagai lesbian? A menulis,
Seberapa jauh keakraban sesama perempuan
masih dinilai wajar?” Saya selalu merasa tingkat
toleransi keakraban terhadap sesama perempuan
jauuuuh lebih tinggi terhadap pasangan lelaki. Di
tempat-tempat umum seperti di mal, kita sering
melihat sesama perempuan bergandengan tangan,
atau bahkan berpelukan tanpa merasa aneh atau
menganggap mereka lesbian. Coba bayangkan
dua lelaki yang bergandengan tangan... ugh, pasti
dibilang gay, homo, atau banci atau apalah.... (Ibid.).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa yang disebut
sebagai identitas, apakah perempuan tersebut dinilai
hetero atau lesbian, sangatlah cair batasannya. Buda-
ya heteronormatif, bagi A, lebih permisif bagi sesama
perempuan untuk bertingkah laku akrab. A mencon-
34 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
35. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
di Indonesia
tohkan bergandengan tangan atau berpelukan antar
perempuan adalah wajar. Beda halnya jika hal tersebut
dilakukan oleh laki-laki, serta-merta laki-laki tersebut
dianggap gay atau banci, atau singkatnya, tidak menun-
jukkan maskulinitas.
Sebagaimana L-M pada weblog FD, peran yang
berlaku dalam partnership A dan Laksmi tidak menun-
jukkan pembagian peran yang kaku sebagaimana ang-
gapan mengenai butch-femme. Identifikasi peran antara
butch dan femme biasanya memisahkan keduanya dalam
lingkup dikotomis. Butch cenderung dianggap memiliki
peran aktif dan publik, sementara femme sebaliknya. A,
Laksmi dan kedua anak biologis Laksmi hidup bersama
seatap. Baik A maupun Laksmi sama-sama memiliki
peran ganda, sebagai ibu sekaligus ayah. Jika Laksmi,
sebagai ibu biologis, dipanggil dengan sebutan mami,
maka A dipanggil sebagai tante mami. Keduanya sa-
ma-sama berperan dalam mengasuh anak, memasak,
mengurus rumah, sebagaimana peran sosial yang oleh
masyarakat dilekatkan pada perempuan; juga berperan
mencari nafkah untuk kehidupan mereka bersama. Na-
mun, tak dipungkiri sisi femininitas A dan Laksmi lebih
dominan dalam partnership yang mereka jalani. Diceri-
takan A (“Hari Minggu,” 2009),
Inilah parahnya memiliki dua mami, karena dua-
duanya cenderung menjadi cerewet. Suara femi-
nin yang khas memenuhi udara sampai-sampai
aku terkadang tidak tahan. “Say, kayaknya harus
ada yang bersikap seperti para ayah deh, bersikap
seperti bapak-bapak kebanyakan.” Kami berdua
tertawa karena sama-sama menyadari kami sulit
bersikap seperti “bapak-bapak” dalam satu kelu-
arga.
Kalimat “…harus ada yang bersikap seperti para ayah
deh, bersikap seperti bapak-bapak kebanyakan”. Kata “seper-
ti” menunjukkan perbandingan langsung (simile) antara
perilaku dan peran “bapak” dan “ibu”. Menariknya,
perbandingan tersebut menunjukkan bahwa dikotomi
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 35
36. Ari Setyorini
bapak-ibu, maskulin-feminin “hanya” merupakan aksi
tiru, di mana A dan Laksmi dapat saja meniru perilaku
sebagaimananya figur “bapak” yang maskulin. Dengan
demikian, perkara gender dalam pembagian rumah
tangga merupakan perkara performativitas.
B. 2 Aktivitas Seksual
A hidup seatap dengan partnernya, Laksmi. Hal tersebut
sedikit banyak berengaruh terhadap performativitas aktivitas
seksual mereka di weblog. Hal ini tampak dari sedikitnya narasi
mengenai aktivitas seksual mereka di weblog (jika dibandingkan
dengan narasi aktivitas seksual L-M). Ini dapat dimaknai
bahwa jarak menjadi salah satu penentu dalam hubungan
seksualitas lesbian. Akan tetapi, jumlah yang sedikit tersebut
tetap menunjukkan bahwa aktivitas seksual yang dilakukan A
dan Laksmi sebagai partner lesbian, di mana dikotomisasi penis-
vagina tidak melulu menjadi standar akan seksualitas karena
melalui aktivitas seksual lesbian, apa yang dianggap maskulin
(agresif) dan feminin (pasif) menjadi sebuah permainan
seksualitas belaka. Seperti yang ditampilkan berikut,
Aku berguling di ranjang sementara jari-jari halusmu
menjelajahi pundak telanjangku. Kau mendesakku –
kelembutan yang penuh tenaga, mengunci tubuhku di
sepanjang sisi sampai aku tidak mampu bergerak da-
lam pelukanmu (“Tanda,” 2009).
Kutipan post tersebut menggambarkan aktivitas seksual
yang dilakukan oleh A dan partnernya. Kalimat “kelembutan
yang penuh tenaga, mengunci tubuhku di sepanjang sisi sampai
aku tidak mampu bergerak dalam pelukanmu” menggambarkan
aktivitas seksual lesbian, di mana leksikon “kelembutan”
digabungkan dengan “penuh tenaga,” feminin digabungkan
dengan maskulin. Post ini selanjutnya menceritakan,
Aku pernah meninggalkan noda lipstik di bahu keme-
jamu kala kita berpelukan. Noda merah jambu tam-
pak samar-samar sebenarnya, kecuali kalau seseorang
berdiri agak dekat denganmu. Dalam hati aku berharap
seorang teman kantormu memperhatikan dan mem-
36 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
37. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
di Indonesia
beri komentar isengnya. .… Komentar yang sudah pasti
akan mengantarkanku sebagai si tertuduh dengan rasa
yang menyenangkan bagi kita berdua (Ibid.).
Lipstik merupakan penanda bagi femininitas perempuan.
Namun dalam konteks ini, lipstik digabungkan dengan kata
“noda” yang memiliki makna negatif. “Noda lipstik” kemudian
menjadi penjelas bagi aktivitas seksual A yang dilakukan dengan
partner-nya. A mengharapkan noda lipstik tersebut dilihat oleh
teman-teman partner A. Ini menunjukkan bahwa bagi A, aktivitas
seksual lesbian yang dilakukannya dengan partner-nya adalah
tidak tabu untuk ditutup-tutupi. Ia bahkan mengharapkan
komentar orang lain atas aktivitas seksual mereka. Hal ini
tentunya bertentangan dengan budaya dominan, di mana
seksualitas adalah hal yang tersembunyi dan ditutup-tutupi.
Selanjutnya, A menceritakan mengenai hobinya
terhadap film bertema seksualitas. Diceritakannya mengenai
pendapatnya terhadap film jenis ini, “Sejatinya film semacam
ini harus diperlakukan sama seperti jenis hiburan lain yang
nggak boleh dibuat asal-asalan dan harus digarap dengan
serius” (“Menonton Film Dewasa,” 2009). Pada titik ini,
A menilai bahwa film seksual ini seharusnya tidak hanya
diperlakukan sebagai film kacangan. Tidak hanya sebagai film
kacangan, film seksual ini juga kerap dilekati dengan penanda
negatif, ini tampak pada berbagai penyebutan terhadap
film seksual ini pada post A, misalnya, bokep, film porno
atau film dewasa. Pilihan kata terakhir lebih menunjukkan
denotatif, yakni menunjukkan segmentasi terhadap film
tersebut. Sementara bokep merupakan kata gaul yang berasal
dari blue film (http://www.kamusgaul.com/). Blue dalam
blue film diartikan sebagai suggestive of sexual improperty.
Istilah ini dianggap senada dengan penyebutan film porno
(Encarta Dictionary. 2008), di mana makna yang diciptakan
cenderung berkonotasi negatif. Porno berasal dari kata porn
yang merupakan kependekan dari pornography yang berarti
“(dissaproving) videos that describe or show naked people and
sexual acts in order to make people feel sexually excited, especially
in a way that many other people find offensive” (Welhmeier, Sally
(ed.) 2010). Ini berarti film porno dikaitkan dengan perilaku
yang “menyimpang” karena melalui film tersebut selain
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 37
38. Ari Setyorini
bertujuan sebagai hiburan (to make people sexually excited) juga
sekaligus membuat orang lain terganggu karena tayangan
tersebut yang dianggap menjijikkan (offensive). Pornografi
sendiri oleh Undang-Undang Pornografi didefinisikan sebagai
substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat
untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengekspolitasi
seksual, kecabulan dan/atau erotika.
Seksualitas memang dibingkai menjadi sebuah hal ter-
tutup oleh normativitas, bukan menjadi tontonan sebagaima-
na film. Akibatnya, orang yang menonton jenis film ini akan
merasa bersalah sebagaimana diceritakan oleh A yang “pernah
gara-gara berusaha “insaf” akibat memandang film porno secara
salah”. Penggunaan kata insaf menegaskan bagaimana film
seksualitas ini dianggap sebagai hal buruk yang jika orang
menontonnya dianggap melakukan sebuah dosa.
B. 3. Pernikahan
A menceritakan bahwa ia dan partnernya, Laksmi,
hidup bersama. Partner A, Laksmi, adalah perempuan lesbian
yang bercerai dari suaminya dan memiliki 2 orang anak dari
pernikahan heteroseksual yang dijalani sebelumnya. Seba-
gaimana partnership lesbian, pernikahan secara hukum meru-
pakan sebuah hal yang hampir mustahil terjadi di Indonesia.
Dituliskan oleh A (“Opini: Happy Ending = Utopia?,” 2009)
Dalam dunia utopia versi saya, dengan atau tanpa legali-
tas pernikahan sesama jenis, seharusnya kita bisa punya
hak untuk bersama orang yang kita cintai. Namun jelas
itu cuma utopia. Kita hidup berpagarkan norma-norma
yang seharusnya jadi penjaga diri kita. Atau agama,
misalnya, yang jadi pondasi hidup kita. Atau keluarga
yang jadi atap dalam kehidupan kita. Dan semuanya
tentu saja tidak bisa tinggalkan begitu saja. Untuk bisa
hidup bersama orang yang kita cintai, sebagai homo/
lesbi, banyak dari kita yang harus meninggalkan rumah
yang nyaman tersebut, yang selama ini jadi tempat kita
bernaung. Jelas tidak banyak yang memilih untuk itu.
A, di sini, menyoroti mengenai hak individu untuk
hidup bersama individu lain yang mereka cintai. A menggunakan
38 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
39. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
di Indonesia
kalimat syarat, “dengan atau tanpa legalitas pernikahan sesama
jenis”, untuk menjelaskan bahwa A cukup terbuka untuk sebuah
hubungan hidup bersama tanpa adanya syarat pernikahan
sekalipun. Inti dari yang hendak disampaikan oleh A adalah
bahwa setiap individu, mengesampingkan jenis kelamin mereka,
berhak untuk hidup bersama di bawah pernikahan maupun
tanpa pernikahan. A menjelaskan institusi yang menentukan
norma-norma di mana pernikahan dianggap sah dilakukan atau
tidak sah dilakukan, yakni institusi agama dan keluarga.
Selanjutnya diceritakan A,
Kebanyakan perempuan (lesbian) memutuskan menikah
karena tidak tahan atas desakan orangtua. Mungkin 9 dari
10 lesbian yang menikah dengan laki2 melakukannya
karena merasa terdesak ...Menikah adalah kesempatan
untuk melepaskan diri dari orangtua. Melepaskan
diri dari tekanan/ocehan/desakan dari orangtua yang
bertanya-tanya kenapa dia tidak menikah/kapan akan
menikah dst,dsb. Tapi apakah menikah dengan laki2
adalah solusinya? Mungkin jawabannya ya, untuk
sebagian perempuan. Atau ini justru lolos dari mulut
singa masuk ke mulut buaya? (Ibid.).
A mengasumsikan bahwa sembilan dari sepuluh lesbian
menikah karena terpaksa, tidak tahan akan desakan keluarga
yang bertanya mengenai rencana pernikahan. Pernikahan
dengan laki-laki bagi lesbian diumpamakan oleh A seperti “lolos
dari mulut singa, masuk ke mulut buaya”. Maksudnya, lesbian
tersebut lolos dari desakan menikah atau bahkan lolos dari
pencitraan sebagai “perawan tua”, tapi pada saat yang sama
mereka justru mengalami subordinasi dari pernikahan yang
tidak sesuai dengan identitas diri mereka yang “sebenarnya”.
Akibatnya, perempuan seolah-olah memang wajib menikah
(tentunya secara heteroseksual). Lesbian pada konteks ini tetap
saja menerima beban tubuh sosial perempuan.
Cyberlesbian sebagai Diskursus Kreatif dan Media Trans-
formasi atas Heteronormativitas
Weblog memberikan sebuah dunia baru bagi lesbian
untuk memperformativisasi identitas mereka melalui narasi
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 39
40. Ari Setyorini
diri. Media ini memberikan keleluasaan bagi lesbian untuk
mempermainkan kuasa atas pengetahuan yang dimilikinya
untuk membentuk counter wacana tanpa takut identitas off
line mereka diketahui oleh masyarakat online.
Dalam konteks L-M dan A, mereka mereproduksi iden-
titas diri mereka menjadi dua identitas yang berbeda sesuai
dengan space yang mereka hadapi, atau mempresentasikan
ilusi untuk memberikan impresi identitas yang benar terhadap
audience tertentu jika menyitir pendapat Erving Goffman
(via Gauntlett 2002). Identitas ganda yang mereka tampilkan
berdasarkan impresi identitas “benar” yang diharapkan audi-
ence, membuat L-M menampilkan identitas ilusi dalam dunia
off line agar tidak dianggap liyan oleh masyarakat heterosek-
sual. Sementara, mereka menampilkan identitas lain sebagai
lesbian pada dunia online karena anonimitas yang diberikan
oleh dunia tersebut membuat mereka leluasa menarasikan
diri dengan mereproduksi identitas ilusi di dunia off line dan
membentuk identitas baru di dunia anonimitas.
Hal ini sejalan dengan ide Foucault (1990 dan 1986) atas
teknologi diri, di mana dijelaskannya bagaimana diri bertin-
dak terhadap praktik ethics –standar yang menjadikan diri
sebagai sosok tertentu guna digambarkan kepada khalayak.
Narasi diri sebagai lesbian pada weblog ini sebagai teknologi
berstrategi yang memungkinkan subyek untuk memilih ba-
gaimana hendak menampilkan diri mereka, berbeda dengan
narasi yang diproduksi oleh diskursus heteroseksual. Di sini
diketahui bahwa subyek adalah aktif, tidak sebagaimana kon-
sep Althusser mengenai agen yang hanya berperan sebagai
wayang yang menerima perannya karena tekanan dari apar-
tus-aparatus.
Performativitas identitas lesbian yang L-M dan A tampil-
kan di weblog menunjukkan bahwa identitas gender dan sek-
sualitas apa pun tak lebih dari aksi permainan “tampilan”
yang diulang-ulang. Bahwa tak ada refleksi moralitas atau
pun normalitas dalam identitas lesbian, sebagaimana angga-
pan diskursus dominan. Seksualitas lesbian bagi L-M dan A
tidak merupakan sebuah abnormalitas karena pada dasarnya
L-M dan A “mengembalikan” fungsi seksualitas sebagai plea-
sure. Namun, sebagaimana pilihan bebas yang terbatas da-
lam ide perfomativitas, hal ini sekaligus menunjukkan bahwa
40 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
41. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
di Indonesia
agen memang dapat melakukan reproduksi identitas yang
berbeda dari diskursus dominan, tapi yang patut diingat ada-
lah bawa normativitas tersebut tetap ada. Beberapa narasi
mereka masih menunjukkan betapa hegemoni heteroseksual
patriarki masih mempengaruhi perilaku mereka.
Bagaimanapun juga, L-M dan A merupakan produser
kreatif atas wacana lesbian di mana mereka mereproduksi
dan mengombinasikan wacana heteronormativitas, hingga
wacana tersebut tidak menjadi satu-satunya wacana domi-
nan dalam weblog. Diskursus lesbian yang distereotipkan oleh
rezim kuasa ditransformasikan oleh L-M melalui sebuah ide
bahwa perkara gender dan seksualitas hanyalah bagaimana
perkara aksi performatif antara tubuh, penampilan, seksu-
alitas, dan identitas-identitas lainnya. Karena aksi tersebut
performatif, maka identitas bukanlah hal yang tetap. Pada
akhirnya, heteronormativitas juga merupakan bentuk dari
performativitas saja. Dua identitas yang mereka ciptakan
merupakan sebuah aksi mockering akan anggapan adanya
satu identitas tunggal.
Narasi diri pada weblog merupakan sebuah “pengakuan
dosa”, sebagaimana diceritakan Foucault dalam History of
Sexuality bagaimana gereja memberlakukan pengakuan dosa
akan seksualitas individu. Namun, berbeda dengan Foucault
yang menilai pengakuan dosa tersebut sebagai sebuah hal
negatif, narasi diri pada weblog ini malahan menunjukkan ba-
gaimana agen-agen dapat mentranformasikan identitas gen-
der lesbian sebagai identitas yang berbeda dari anggapan nor-
matif. Berbeda dengan konsep agen Althusser di mana tiap
agen seolah-olah hanya melakoni perannya sebagai wayang
dari aparatus-aparatus ideologi dominan, Foucault mela-
lui teknologi diri dan perfomativitas Butler menyebut agen
memiliki kemampuan untuk melakukan “speaking back” ini
sebagai strategi. Agen memiliki kemampuan untuk melaku-
kan tindakan yang dilingkupi dengan pengetahuan. L-M dan
A memiliki kuasa untuk mereproduksi narasi diri mereka
melalui “pengakuan dosa”, yang justru melawan anggapan
negatif atas diskursus heteroseksual. Melalui FD dan RB,
L-M dan A sebagai agen tahu dengan benar apa yang mereka
lakukan, juga paham benar bagaimana normativitas sosial
masyarakat dan aturan main di mana mereka dapat melaku-
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 41
42. Ari Setyorini
kan confession dengan keluar dari kloset di weblog, speaking
back terhadap homofobia dengan mereproduksi diskursus
normatif.
Resistensi atas kuasa/pengetahuan dominan begitu
didukung dalam karakteristik weblog, di mana blogger dimung-
kinkan melakukan navigasi atas pengetahuan apa yang hen-
dak dimunculkan atau pengetahuan mana yang hendak dis-
embunyikan. Ini sebagaimana fungsi censorship yang dimiliki
oleh rezim kebenaran atas diskursus normatif. Misalnya tam-
pak pada kemungkinan bagi L-M dan A untuk memilih ko-
mentar apa yang akan dimunculkan atas post dalam narasi
mereka. Ini merupakan bentuk empowerment karena mereka
dapat menampilkan identitas mereka di luar kontrol media
konvensional, yang hampir dapat dipastikan penuh dengan
editing dan censoring dari media dan rezim kebenaran lainnya.
Inilah alasan mengapa weblog sebagai ruang dalam proses
membentuk identitas baru yang berbeda dari identitas sebel-
umnya menjadi penting.
ARI SETYORINI: Alumni Kajian Budaya dan Media, Pasca-Sarjana
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Dosen Muda di Universitas
Muhammadiyah Surabaya.
RUJUKAN
Alimi, M. Yasir. 2004. Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: dari Wacana
Bangsa hingga Wacana Agama. Yogyakarta: LKiS.
Althusser, Louis. “Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes
towards an Investigation).” dalam Douglass Kellner. (ed.) 2006.
Media and Cultural Studies. Cornwall: Blackwell Publishing Ltd.
Arimbi, Indriaswari D. S dan Sri Sulistyani (eds.). 1998. Perempuan
dan Politik Tubuh Fantastis. Jogjakarta: Kanisius.
Beasley, Chris. 2005. Gender & Sexuality: Chritical Theories, Critical Thinkers.
London: Sage Publication.
Bell, David dan Barbara M. Kennedy (eds.). 2000. The Cybercultures
Reader. London dan New York: Routledge.
Blackburn, Susan. 2004. Women and the State in Modern Indonesia.
42 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
43. Performativitas Identitas Gender dan Seksualitas pada Weblog Lesbian
di Indonesia
Cambridge: Cambridge University Press.
Buletin GN 31/ Tahun 04. 2009. Lesbian Housewife. Surabaya: GAYa
NUSANTARA.
Butler, Judith. 1990. Gender Trouble: Feminism and the Subversion of
Identity. London dan New York: Routledge.
______________. 1993. Bodies That Matter. New York: Routledge.
______________. 1993. “Critically Queer” dalam GLQ: A Journal of
Lesbian and Gay Studies . 1.
Bryson, Mary. 2004. When Jill Jack in Queer Women and the Net. Feminist
Media Studies (Vol. 4, No. 3). New York: Routledge.
Davis, Kathy. 1995. Reshaping the Female Body: the Dilemma of Cosmetic
Surgery. London dan New York: Routledge.
Fairclough, Norman, 1989. Language and Power. London & New
York: Longman.
Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender & Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Foucault, Michel. 1978. The History of Sexuality: Volume1 An Intorduction
(terjemahan dari Histoire de la Sexualite). New York: Random
House Inc.
______________. 1990. The Use of Pleasure: Volume 2 of the History of
Sexuality. New York: Vintage Books.
______________. 1986. The Care of The Self: Volume 3 of the History of
Sexuality. New York: Pantheon Books.
Gauntlett, David. 2002. Media, Gender and Identity. New York:
Rountledge.
Hall, Stuart dan Paul du Gay (eds.) 1996. Question of Cultural Identity.
London dan New Delhi: Sage Publication.
Holliday, Ruth. “Performances, Confession, and Identities.” dalam
Gregory C. Stanzak (ed.). 2007. Visual Research Methods: Image,
Society, and Representation. London: Sage Publication.
Jeumpa, Bunga dan Ulil. “Quo Vadis Lesbian Indonesia.” dalam Inside
Indonesia 66. Juni-Juli 2001.
Jagose, Anamarie. 1996. Queer Theory. Melbourne: Melbourne University
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 43
44. Ari Setyorini
Press.
Kadir, Hatib Abdul. 2007. Tangan Kuasa dalam Kelamin. Jogjakarta:
Insist Press.
Kellner, David. 1995. Media Culture. New York: Routledge.
Mann, Chris dan Fiona Steward. 2000. Internet Communication and
Qualitative Research. London: Sage Publication.
Mills, Sarah. 2003. Michel Foucault. London dan New York: Routledge.
Munti, Ratna Batara. 2005. Demokrasi Keintiman: Seksualitas di Era Global.
Yogkayakarta: LKiS.
Noviani, Ratna. 2009. “Performativitas Gender dalam Iklan Kontak
Jodoh.” dalam Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Kontemporer.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Oetomo, Dede. 2003. Memberi Suara pada yang Bisu, Yogyakarta: Pus-
taka Marwa.
Rabinow, Paul. Foucault: The Reader. New York: Pantheon Books.
Rubin, Gayle. 1984. “Thinking Sex: Notes for a Radical Theory of the
Politics of Sexuality.” dalam C.Vance (ed.) Pleasure and Dan-
ger—Exploring Female Sexuality. Boston: Routledge & Kegan
Paul.
Sadli, Saparinah. 2010. Berbeda tetapi Setara: Pemikiran tentang
Kajian Perempuan. Jakarta: Kompas.
Salih, Sarah. 2002. Judith Butler. London dan New York: Routledge.
Serean, Antok. “Androgini sebagai Identitas” dalam Buletin GN
no.41/ tahun 05.
Wilton, Tamsin. 1995. Lesbian Studies: A Setting Agenda. London
dan New York: Routledge.
44 Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011
45. Coklat Stroberi: Satu Roman Indonesia
dalam Tiga Rasa1
Ben Murtagh
Abstrak: Artikel ini memfokuskan pada film Indonesia tahun 2007
berjudul Coklat Stroberi serta novel adaptasi dan video pop yang
menyertainya. Novelnya, ditulis oleh Christian Simamora, dibuat
berdasarkan skenario filmnya. Lagu ‘Di sini Untukmu’ ditulis
khusus untuk film ini, di mana band Ungu membuat penampilan
cameo, sementara video popnya menampilkan banyak adegan dari
film tersebut. Meskipun dalam tahun- tahun terakhir, beberapa
film Indonesia menampilkan karakter gay, film ini penting karena
menampilkan hubungan gay* pada pusat komedi romantis, yang
jelas ditujukan pada penonton muda (17-25 tahun). Coklat Stroberi
tidak dapat disangkal berusaha menunjukkan hubungan sesama
jenis dalam dalam pandangan progresif. Namun, representasi dari
karakter dan akhir film menggarisbawahi sikap ambivalen terhadap
homoseksualitas yang umum dijumpai dalam film-film Indonesia.
Artikel ini memusatkan perhatian pada ketidakpadanan yang
tampak dalam imajinasi filmis mengenai karakter gay dan realita
kehidupan gay sebagaimana terjadi di Indonesia saat ini.
Kata kunci: homoseksualitas, sinema Indonesia, sastra Indonesia,
Indonesia.
Pendahuluan
Sejak periode sekitar jatuhnya Orde Baru dan revitalisasi in-
1 Untuk diskusi awal singkat dari film ini, lihat Murtagh (2008).
* Keterangan penerjemah: Dalam artikel aslinya, penulis dengan merujuk pada
pendekatan Boellstorff (2005), secara konsisten membedakan konsep gay, lesbian
dan waria sebagai subjek lokal Indonesia (yang dalam artikel aslinya ditulis
dengan huruf miring, sedangkan dalam artikel ini tidak) sebagai berbeda dengan
gay dan lesbian sebagai subjek global atau Barat (yang dalam versi aslinya tidak
dimiringkan hurufnya, sebaliknya dalam artikel ini dimiringkan).
Jurnal Gandrung Vol.2 No.1 Juni 2011 45