METODE PENELITIAN SASTRA]Metode penelitian sastra merupakan alat penting dalam mewujudkan sebuah penelitian sastra yang memadai. Selain itu, upaya mendeskripsikan masalah sastra yang bersifat unik dan universal sebagai objek penelitian, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam modul ini. Pertimbangan utamanya adalah untuk memberikan pengetahuan secara memadai mengenai penelitian sastra yang menuntut sebu
Modul ini membahas metode penelitian sastra dengan menjelaskan pengertian metodologi, metode, dan teknik penelitian serta relevansi metode dalam kegiatan penelitian sastra. Modul ini juga menjelaskan berbagai bab seperti penelitian ilmiah, sastra dalam penelitian ilmiah, strukturalisme, dan rancangan usulan penelitian sastra.
Materi Kuliah Metodologi Penelitian 1 - Pengenalan Metode Penelitian
Similaire à METODE PENELITIAN SASTRA]Metode penelitian sastra merupakan alat penting dalam mewujudkan sebuah penelitian sastra yang memadai. Selain itu, upaya mendeskripsikan masalah sastra yang bersifat unik dan universal sebagai objek penelitian, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam modul ini. Pertimbangan utamanya adalah untuk memberikan pengetahuan secara memadai mengenai penelitian sastra yang menuntut sebu
Kelas viii smp matematika_endah budi rahajuFaridberbagi
Similaire à METODE PENELITIAN SASTRA]Metode penelitian sastra merupakan alat penting dalam mewujudkan sebuah penelitian sastra yang memadai. Selain itu, upaya mendeskripsikan masalah sastra yang bersifat unik dan universal sebagai objek penelitian, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam modul ini. Pertimbangan utamanya adalah untuk memberikan pengetahuan secara memadai mengenai penelitian sastra yang menuntut sebu (20)
METODE PENELITIAN SASTRA]Metode penelitian sastra merupakan alat penting dalam mewujudkan sebuah penelitian sastra yang memadai. Selain itu, upaya mendeskripsikan masalah sastra yang bersifat unik dan universal sebagai objek penelitian, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam modul ini. Pertimbangan utamanya adalah untuk memberikan pengetahuan secara memadai mengenai penelitian sastra yang menuntut sebu
1. METODE PENELITIAN SASTRA
Disusun oleh:
Asep Yusup Hudayat
Fakultas Satra
Universitas Padjadjaran
Bandung
2007
2. DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………… i
DAFTAR ISI ………………………………………………………….. iii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………… 1
1.1 Pengertian, Hakikat Metodologi, Metode, dan Teknik …………… 1
1.2 Relevansi Metode dalam Kegiatan Penelitian …………………….. 2
BAB II PENELITIAN ILMIAH ……………………………………… 10
2.1 Penelitian dan Ilmu ………………………………………………… 10
2.2 Metode dan Nilai Keilmiahan ……………………………………… 16
2.3 Asas-asas Dasar Penelitian ………………………………………… 19
2.4 Penggolongan Penelitian …………………………………………… 20
2.5 Metode Kualitatif …………………………………………………… 22
2.6 Metode Deskriptif …………………………………………………. 23
BAB III SASTRA DALAM PENELITIAN ILMIAH ……………… 29
3.1 Sastra sebagai Sistem ……………………………………………… 29
3.2 Sastra sebagai Objek Penelitian …………………………………… 31
3.3. Pemanfaatan Teori bagi Penelitian Sastra ………………………… 33
iii
3. 3.4 Pendekatan Sastra: Pengertian ……………………………………… 37
3.4.1 Pengertian Pendekatan ……………………………………….. 37
3.4.2 Jenis-jenis Pendekatan ……………………………………… 38
3.4.2.1 Pendekatan Ekspresif ……………………………… 39
3.4.2.2 Pendekatan Mimeis ………………………………… 40
3.4.2.3 Pendekatan Pragmatik ……………………………… 43
3.4.2.4 Pendekatan Objektif ………………………………… 48
BAB IV STRUKTURALISME ………………………………………… 51
4.1 Prinsip-prinsip Antarhubungan ……………………………………… 51
4.2 Teori Formalis ……………………………………………………… 54
4.3 Teori Strukturalisme Dinamik ……………………………………… 55
4.4 Semiotik …………………………………………………………… 58
4.5 Struktualisme Genetik ……………………………………………… 62
4.5.1 Karya Sastra sebagai Fakta Kemanusiaan …………………… 65
4.5.2 Karya Sastra sebagai Produk Subjek Kolektif ……………….. 66
4.5.3 Karya Sastra sebagai Ekspresi Pandangan Dunia …………… 67
4.5.4 Struktur Karya Sastra dan Struktur Sosial …………………… 69
4.5.5 Metode Dialektik …………………………………………….. 71
4.6 Naratologi …………………………………………………………… 72
4.6.1 Naratologi dalam Tinjauan Umum dan Perkembangannya …… 72
4.6.2 Pelopor Naratilogi Periode Strukturalisme dan Pahamnya …… 76
4.6.2.1 Vladimir Propp ……………………………………… 76
iv
4. 4.6.2.2 Levi’Strauss ………………………………………… 78
4.6.2.3 Tvzetan Todorov …………………………………… 79
4.6.2.4 Greimas …………………………………………….. 80
BAB V RANCANGAN USULAN PENELITIAN: TINJAUAN KRITIS .. 83
5.1 Langkah-langkah Penyusunan Rancangan Usulan Penelitian .......... 83
5.1.1 Latar belakang Masalah …………………………………… 83
5.1.2 Identifikasi Masalah ……………………………………….. 86
5.1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………….. 88
5.1.4 Landasan Teori …………………………………………… 89
5.1.5 Metodologi ………………………………………………… 91
5.2 Kemampuan Menguraikan Latar Belakang Masalah dan Identifikasi
Masalah.. ......................................................................................... 95
5.3 Kemampuan Menjabarkan Tujuan Penelitian …………………… 100
5.4 Kemampuan Menyajikan Landasan Teoretis ……………………… 103
5.5 Kemampuan Menyajikan Metode ………………………………… 105
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 112
v
5. KATA PENGANTAR
Metode penelitian sastra merupakan alat penting dalam mewujudkan
sebuah penelitian sastra yang memadai. Selain itu, upaya mendeskripsikan
masalah sastra yang bersifat unik dan universal sebagai objek penelitian,
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam modul ini. Pertimbangan
utamanya adalah untuk memberikan pengetahuan secara memadai mengenai
penelitian sastra yang menuntut sebuah metode penelitian yang khusus di
samping tetap berada dalam jangkauan asas-asas penelitian ilmiah secara
universal. Adapun uraian mengenai tinjauan kritis atas rancangan sejumlah
usulan penelitian sastra dimaksudkan untuk melengkapi uraian empiris dari
rentang pembahasan metode penelitian sastra menyangkut pengertian, hakikat,
relevansi metode dan penelitian, sastra dalam penelitian ilmiah, sampai ke
uaraian beberapa pendekatan sastra dalam wilayah strukturalisme.
Materi yang disajikan dalam modul ini bersumber dari beberapa buku
dan karangan ilmiah lainnya yang berhubungan dengan metode penelitian.
Sasaran utama penulisan modul ini adalah para mahasiswa yang akan
menghadapi penyusunan Usulan Penelitian Skripsi atau sedang menempuh
masa bimbingan skripsi yang menggunakan pendekatan struktural sebagai
objek formalnya.
i
6. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang secara
langsung atau tidak langsung telah ikut serta mewujudkan penyusunan modul
ini. Perbaikan di kemudian hari tentunya perlu penyusun lakukan untuk
menjadikan modul ini cukup memadai sesuai kebutuhan para mahasiswa di
program strata satu dengan bidang kajian utamanya adalah sastra..
Tentunya modul ini akan menempati fungsinya yang optimal sebagai
materi pengetahuan bila dapat menumbuhkan kesadaran para mahasiswa akan
filsafat ilmu, teori, dan metode dalam ruang lingkup penelitian sastra. Dengan
demikian, penyusun berhadap modul ini dapat membuka jalan bagi tercapainya
kegiatan penelitian yang baik dengan bekal kemampuan metode yang
memadai.
Bandung, Agustus 2007
Penyusun
ii
7. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengertian, Hakikat Metodologi, Metode, dan Teknik
Adakalanya pengertian-pengertian metodologi, metode, dan teknik
sering tertukar atau bahkan dicampuradukkan. Pengertian mendasar dari
masing-masing istilah adalah:
1. Metodologi berasal dari methodos dan logos, yaitu filsafat ilmu
mengenai metode. Metodologi dengan demikian membahas prosedur
intelektual dalam totalitas komunitas ilmiah.
2. Metode berasal dari kata methods yang akar katanya adalah meta yang
berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah; sedangkan hodos berarti
jalan, cara, arah. Dalam pengertian yang lebih luas, metode dianggap
sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas; langkah-langkah
sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya.
3. Teknik berasal dari kata teknikos, yang berarti alat, atau seni
menggunakan alat.
Perbedaan mendasarnya antara metodologi dan metode adalah
metodologi membahas konsep teoritik berbagai metode sedangkan metode
mengemukakan secara teknis tentang metode yang digunakan dalam kegiatan
penelitian. Upaya memilah dua pengetian tersebut berpangkal dari penyadaran
1
8. filsafat keilmuan yang kita anut yang berkorelasi dengan metodologi penelitian
itu sendiri.
Adakalanya para penganut filsafat ilmu yang berbeda memberi cap
bohong, munafik pada langkah-langkah kerja penelitian yang memulai
tulisannya dengan alasan pemilihan judul, perumusan masalah, dan kerangka
pemikiran penelitian. Yang memberi cap tersebut lupa atau tidak tahu bahwa
ada metodologi penelitian yang berbeda yang menggunakan dasar filsafat ilmu
yang berbeda dan menuntut langkah kerja yang berbeda pula.
Muhazir (2002: 4) menegaskan bahwa para ilmuwan peneliti perlu
menggunakan landasan filsafat ilmu. Landasan tersebut digunakan untuk
metodologi penelitian. Dengan demikian yang bersangutan sadar dalam
beberapa hal: (1) sadar filsafati, artinya dia sadar menggunakan pendekatan
filsafat ilmu yang mana; (2) sadar teoritik, artinya dia sadar teori penelitian
atau model mana yang digunakan; dan (3) sadar teknis, artinya dia mampu
memilih teknik penelitian yang tepat.
1.2 Relevansi Metode dalam Kegiatan Penelitian
Lebih jauh Muhazir (2002: 55) menyebutkan bahwa metodologi
penelitian merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang mempelajari
bagaimana prosedur kerja mencari kebenaran. Prosedur kerja mencari
kebenaran sebagai filsafat dikenal sebagai filsafat epistemologis. Kualitas
kebenaran yang diperoleh dalam berilmu pengetahuan terkait langsung dengan
kualitas prosedur kerjanya.
2
9. Dengan prosedur kerja yang baik, kualitas kebenaran yang diperoleh
pun sejauh kebenaran epistemologik; dan ilmu pengetahuan hanya akan
mampu menjangkau kebenaran epistemologik. Kebenaran epistemologik
tampil dalam wujud kebenaran tesis dan lebih jauh berupa kebenaran teori
yang pada gilirannya akan disanggah oleh tesis lain atau teori lain. Gerak dari
tesis dan teori yang satu ke tesis dan teori yang lain merupakan proses
berkelanjutan ilmu pengetahuan memperoleh kebenaran objekif universal yang
bukti kebenarannya hanya dapat diuji pada beragam kasus.
Sebagai alat, sama dengan teori, metode berfungsi untuk
menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan
dipahami. Klasifikasi, deskripsi, komparasi, sampling, induksi dan deduksi,
eksplanasi dan interpretasi, kuantitatif dan kualitatif, dan sebaginya adalah
sejumlah metode yang sudah sangat umum penggunaannya, baik dalam ilmu
kealaman maupun ilmu sosial, termasuk ilmu humaniora.
Prosedur yang dimaksud dalam bahasan metodologi terjadi sejak
peneliti menaruh minat terhadap objek tertentu, menyusun proposal,
membangun konsep dan model, merumuskan hipotesis dan permasalahan,
mengadakan pengujian teori, menganalisis data, dan akhirnya menarik
kesimpulan. Metodologi jelas mengimplikasikan metode. Tetapi metodologi
bukanlah kumpulan metode, juga bukan deskripsi mengenai metode tersebut.
Perbedaan antara ilmu kealaman dengan ilmu kemanusiaan, misalnya,
bukanlah karena perbedaan metode, melainkan karena perbedaan paradigma
dan perbedaan metodologi.
3
10. Berbeda dengan metode, metodologi tidak berkaitan dengan teknik-
teknik penelitian, melainkan dengan konsep-konsep dasar logika secara
keseluruhan. Metode deskripsi, komparasi, struktural, dan sebagainya
digunakan dalam kedua bidang ilmu, tetapi dasar dan cara pemahamannya,
bagaimana prosedur pemahaman tersebut dibangun, jelas berbeda.
Secara definit metode dengan teknik tidak memiliki batas-batas yang
jelas. Metode sering disebutkan sebagai teknik. Ratna (2004: 37)
mengemukakan tiga cara yang dapat membedakan antara metode dengan
teknik, bahkan juga dengan teori, melalui cara:
1. membedakan tingkat abstraksinya
Abstraksi tertinggi dimiliki teori kemudian diikuti oleh metode dan
teknik. Artinya, meskipun secara teoretis metode masih bersifat
abstrak, tetapi sebagian ciri-cirinya dapat diidentifikasi secara
kongkret. Sebagai alat, teknik bersifat paling kongkret. Sebagai
instrumen penelitian, teknik dapat dideteksi secara inderawi.
Dengan demikian, teknik berhubungan dengan data primer.
Sejumlah teknik yang sering dimanfaatkan, misalnya: wawancara,
kuesieoner, rekaman, statistik, dokumen, angket, teknik kartu data,
dan sebagainya. Sampling dapat dianggap sebagai teknik pada saat
keseluruhan sampel sudah dimasukkan ke dalam sistem kartu
sehingga bersifat kongkret. Demikian juga statistik dapat dianggap
sebagai metode pada saat data sedang dikuantifikasikan sehingga
sifatnya masih abstrak
4
11. Pada pembicaraan yang berbeda, metode dapat menjadi teori.
Struktur adalah teori sebab sudah menghasilkan sejumlah konsep
dasar dan sudah dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tetapi
sebelumnya, struktur disebut sebagai metode. Jadi, struktur bisa
menjadi metode atau teori tergantung dari tujuan dan cara pandang
peneliti.
2. memperhatikan faktor mana yang lebih luas ruang lingkup
pemakaiannya
Secara berurutan tingkat keluasan ruang lingkup pemakaian:
paradigma, metodologi, teori, metode, dan teknik; luasnya
paradigma dan metodologi disebabkan oleh penelusurannya ke
masa lampau. Luasnya teori disebabkan oleh adanya perkembangan
secara terus menerus. Teknik memiliki ruang lingkup yang lebih
sempit dibandingkan metode walaupun keduanya memiliki
pengertian yang sama. Metode yang baik adalah metode yang selalu
bersifat teknik.
3. memperhatikan hubungannya dengan objek
Makin dekat dan jelas hubungannya dengan objek maka disebut
teknik, sebaliknya makin jauh dan kurang jelas disebut metode.
5
12. Dalam penelitian sastra terdapat dua macam penelitian, yaitu penelitian
lapangan dan perpustakaan. Prosedur penelitian lapangan ilmu sastra hampir
sama dengan ilmu sosial. Keduanya memanfaatkan instrumen yang sama,
dengan metode dan teknik yang sama.
Prosedur penelitian pustaka dalam bidang sastra agak berbeda. Pada
umumnya penelitian pustaka secara khusus meneliti teks. Teknik yang
digunakan adalah kartu data primer maupun sekunder dengan metode yang
paling sering digunakan adalah hermeneutik yang disamakan dengan
verstehen, interpretasi, dan pemahaman. Dalam bidang ilmu lain, interpretasi
disejajarkan dengan metode kualitatif, analisis isi, dan etnografi. Metode lain
yang sering digunakan adalah deskriptif analitik, yaitu dengan jalan
menguraikan sekaligus menganalisis.
Metode yang perlu dibicarakan dalam analisis karya sastra adalah:
metode intuitif, hermeneutik, metode formal, analisis isi, dialektika, deskriptif
analisis, deskriptif komparatif, dan deskripsif induktif. Sehubungan dengan
jangkauan utama pembicaraan ke arah pendekatan struktural, maka metode
yang penting untuk dikemukakan pada uraian ini menyangkut: metode
hermeneutik, metode formal, metode dialektik, dan metode deskriptif analisis.
Perbedaan masing-masing metode (Ratna, 2004: 44-46) tampak pada uraian di
bawah ini:
a. metode hermeneutik
Metode ini dianggap sebagai metode ilmiah paling tua yang sudah
ada sejak zama Plato dan Aristoteles. Mula-mula metode ini
6
13. berfungsi untuk menafsirkan kitab suci. Hermeneutik modern baru
berkembang sejak abad ke-19 melalui gagasan Schleiermacher,
Dilthey, Heidegger, Gadamer, Habermas, Ricoeur, dan sebagainya.
Dalam sastra dan filsafat, hermeneutik disejajarkan dengan
interpretasi, pemahaman, verstehen, dan retroaktif. Dalam ilmu-
ilmu sosial juga disebut metode kualitatif, analisis isi, alamiah,
naturalistik, studi kasus, etnografi, etnometodologi, dan
fenomenologi.
Metode ini ini tidak mencari makna yang benar melainkan makna
yang paling optimal. Untuk menghindarkan keterbatasan proses
interpretasi, peneliti harus memiliki titik pijak yang jelas. Penafsiran
terjadi karena setiap subjek memandang objek melalui horison dan
paradigma yang berbeda-beda. Keragaman tersebut pada gilirannya
menimbulkan kekayaan makna dalam kehidupan manusia,
menambah kualitas estetika, etika, dan logika.
b. metode formal
Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-
aspek formal, aspek-aspek bentuk yang mengarah pada unsur-unsur
karya sastra. Tujuan metode formal adalah studi ilmiah mengenai
sastra dengan memperhatikan sifat-sifat teks yang dianggap artistik.
Ciri-ciri utama metode formal adalah analisis terhadap unsur-unsur
karya sastra kemudian mempertalikan hubungan antarunsur tersebut
7
14. dengan totalitasnya.. Metode ini sama dengan metode struktural
yang berkembang menjadi teori strukturalisme. Metode formal
memandang bahwa keseluruhan aktivitas kultural memiliki dan
terdiri atas unsur-unsur.
c. metode dialektika
Mekanisme kerja metode ini adalah tesis, antitesis, dan sintesis..
Prinsip dasarnya adalah unsur yang satu tidak harus lebur ke dalam
unsur lainnya. Individualitas dipertahankan di samping
interdependensinya. Kontradiksi tidak dimaksudkan untuk
menguntungkan secara sepihak. Sintesis bukanlah hasil yang pasti
tetapi justru merupakan awal penelusuran gejala berikutnya.
Prinsip-prinsip dialektika hampir sama dengan hermeneutik, yaitu
gerak spiral eksplorasi makna yang mengarah kepada penelusuran
unsur ke dalam totalitas dan sebaliknya. Pada metode ini,
kontinuitas operasionalisasi tidak berhenti pada level tertulis tetapi
diteruskan pada jaringan kategori sosial sebagai penjaringan makna
secara lengkap. Kontradiksi dalam dialektika dianggap sebagai
energi pemahaman objek.
Metode dialektika digunakan dengan sangat berhasil oleh
Goldmann dalam struktural genetik. Secara teoretis, setiap fakta
sastra dapat dianggap sebagai tesis kemudian diadakan negasi.
Dengan adanya pengingkaran, tesis dan antitesis seolah-olah hilang
8
15. atau berubah menjadi kualitas fakta yang lebih tinggi, yaitu sintesis
itu sendiri. Sintesis kemudian menjadi tesis kembali dan seterusnya
sehingga proses pemahaman terjadi secara terus- menerus.
d. metode deskriptif analisis
Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta
yang kemudian disusul dengan analisis. Metode ini tidak semata-
mata hanya menguraikan tetapi juga memberikan pemahaman dan
penjelasan. Metode ini dapat diaplikasikan ke dalam beberapa jenis
lainnya, misalnya metode deskriptif komparatif atau metode
deskriptif induktif.
Metode ini dapat diperoleh melalui gabungan dua metode dengan
menitikberatkan kepada metode yang lebih khas yang sesuai dengan
tujuan penelitian.
9
16. BAB II
PENELITIAN ILMIAH
2.1 Penelitian dan Ilmu
Penelitian merupakan bentuk nomina dari kata kerja: meneliti.
Pengertian meneliti dimaksudkan sebagai tindakan melakukan kerja
penyelidikan secara cermat terhadap suatu sasaran untuk memperoleh hasil
tertentu. Kata penelitian yang merupakan bentuk pembendaan dari kata kerja
meneliti mengandung makna sebagaimana yang terdapat pada kata meneliti.
Penelitian dipandang sebagai sinonim riset (reseach) yang menunjukkan arti
kegiatan yang diarahkan pada kerja pencarian ulang, atau pencarian kembali
atas suatu objek, yaitu kegiatan yang memerlukan ketelitian, kecermatan, dan
kecerdasan yang memadai.
Hubungannya dengan ilmu, kegiatan penelitian erat kaitannya dengan
keberadaan kehidupan ilmu yang bersifat kumulatif. Ilmu tidak selalu dalam
keadaan mantap dan stabil tetapi sebaliknya bersifat dinamis. Kedinamisan
ilmu ditopang secara kuat oleh kegiatan penelitian. Sebagai akibatnya,
penelitian mempunyai peran penting bagi keberadaan dan kehidupan ilmu,
yaitu mengembangkan dan mempertajamnya. Jadi, ilmu dapat hidup,
10
17. berkembang, dan menjadi tajam berkat penelitian yang dilakukan secara terus
menerus.
Ilmu adalah pengetahuan yang bersistem dan terorganisasi. Oleh karena
itu, upaya penelitian yang dilakukan dalam rangka pengembangan ilmu
memerlukan metode yang bersifat ilmiah. Oleh karena itu pula, kegiatan
penelitian yang dikaitkan dengan pengembangan ilmu merupakan serangkaian
kegiatan yang dilakukan secara tertata, sistematis, dan terorganisasi untuk
mendapatkan jawaban secara ilmiah atas suatu masalah (Nazir, 1985: 9-15).
Dalam kaiatannya dengan sifat ilmu pula, penelitian mempunyai tujuan
untuk mengungkapkan gejala-gejala yang bersifat umum, yang selanjutnya
melahirkan prinsip-prinsip yang berlaku secara umum. Gejala yang bersifat
umum menjadi indikasi akan suatu kebenaran ilmiah.
Dalam rangka pengembangan ilmu dan eksistensi sosial, kebenaran
ilmiah menyimpan kegunaan ganda. Pertama, scientific objective, yaitu
mengembangkan ilmu dengan teori-teori yang sesuai dan relevan. Kedua,
practicial objective, yaitu memecahkan dan menjawab persoalan-persoalan
praktis yang mendesak.Situasi itu memperlihatkan pentingnya peran penelitian
bagi pengembangan ilmu.
Chamamah (2001:7) mengemukakan bahwa kata penelitian dapat
diinterpretasi dua macam, yaitu kegiatan yang dilakukan secara ilmiah dan
kegiatan yang dilakukan secara nonilmiah. Dalam menghadapi masalah,
penelitian yang ilmiah tidak sama dengan penelitian nonilmiah. Perbedaan
keduanya berhubungan dengan persoalan metodologis, terutama yang berkaitan
11
18. dengan pemanfaatan teori dan metode. Penelitian ilmiah merupakan
serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan metode bersistem, nalar, dan
sesuai dengan objeknya, yaitu sifat-sifat yang ada pada ilmu. Penelitian yang
dikaitkan dengan ilmu yang disebut penelitian ilmiah- inilah yang menjadi
sasaran dalam mata kuliah ini. Kaitannya dengan kehidupan ilmu, kegiatan
penelitian dituntut untuk memakai metode yang ilmiah pula, di antaranya
adalah penggunaan sikap perpikir yang kritis dari si peneliti.
Sesuai dengan sasaran kerja penelitian yang dibahas dalam mata kuiah
ini, yaitu penelitian sastra, dapatlah diketahui bahwa melakukan kajian
terhadap karya sastra merupakan kegiatan yang penting dalam perkembangan
ilmu sastra. Ilmu sastra sebagai satu disiplin akan berkembang berkat
penajaman konsep-konsep, teori-teori, dan metodologi yang dihasilkan melalui
penelitian sastra. Dapat juga dilihat perlunya ilmu sastra dan penelitian sastra
untuk perkembangan dan kesempurnaan ilmu sastra.
Penelitian adalah suatu kegiatan atau proses sistematis untuk
memecahkan masalah dengan dukungan data sebagai landasan dalam
mengambil keputusan. Penelitian bukan saja merupakan proses sistematis akan
tetapi juga dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah (scientific methods).
Wuradji (2001: 1-2) menyebutkan bahawa penelitian merupakan proses
sistematis. Proses yang dimaksud adalah kegiatan yang dilakukan dengan
prosedur yang ditetapkan secara tertata (tersistem). Prosedurnya berarti
menggunakan urutan tertentu. Tersistem berarti menunjukkan adanya
hubungan fungsional antara kegiatan yang dilakukan. Urutan umum dari proses
12
19. sistematis penelitian adalah: perumusan masalah, penelaahan informasi,
pengumpulan data, analisis data, dan penyajian kesimpulan.
Banyak hal yang dapat membedakan manusia dengan makhluk hewan.
Perbedaan yang paling menonjol adalah manusia selalu mengalami
pertumbuhan intelektual, emosional, social, dan spiritual. Manusia mempunyai
kemampuan bernalar dan menggunakan simbol-simbol untuk mengekspresikan
pikirannya. Di samping itu, manusia senantiasa mencari kesempurnaan dan
kebenaran. Oleh karena itu, manusia mencari tahu dan mencari makna. Usaha
mencari tahu dan menemukan makna tidak pernah padam karena manusia
senantiasa menghadapi masalah-masalah yang bergantian. Di samping masalah
yang dihadapi, ia ingin tahu pula tentang masalah yang dihadapi orang lain.
Semua itu merupakan rangkaian rangsangan, baik yang muncul dari dalam
dirinya maupun muncul dari luar dirinya. Rasa ingin tahu itulah yang
menyebabkan manusia secara sengaja menghimbun keterangan yang berupa
data, fakta, dan pengetahuan yang tersusun berupa konsep atau gagasan yang
saling berkaitan yang akhirnya memberikan keterangan atau penjelasan
mengenai segala sesuatu yang dialaminya.
Nazir (1985: 9) mengemukakan bahwa ilmu lahir karena manusia
diberkahi sifat ingin tahu oleh Tuhan. Keingintahuan manusia tentang
permasalahan yang terjadi di sekelilingnya dapat menjurus kepada
keingintahuan ilmiah. Dengan adanya keingintahuan manusia yang terus-
menerus, maka ilmu akan terus berkembang dan membantu kemampuan
persepsi serta kemampuan berpikir manusia secara logis yang sering disebut
13
20. penalaran yang mengarah kepada keilmuan tertentu. Ilmu mencakup lapangan
yang sangat luas, menjangkau semua aspek tentang kemajuan manusia secara
menyeluruh, termasuk ke dalamnya pengetahuan yang telah dirumuskan secara
sistematis melalui pengamatan dan percobaan yang terus menerus yang telah
menghasilkan penemuan kebenaran yang bersifat umum.
Merujuk kepada pendapat di atas perihal sumber pengetahuan, kegiatan
penelitian dengan menggunakan metode tertentu sangat terikat dengan bidang
ilmu (sains) tertentu. Proses memperoleh pengetahuan melalui ilmu berbeda
dengan cara-cara memperoleh pengetahuan melalui relevasi (pengelaman
secara kebetulan), otoritas, intuasi, atau pendapat umum. Pengetahuan yang
diperoleh dengan ilmu itu adalah pengetahuan yang telah teruji dengan metode-
metode ilmiah. Sifat ingin tahu yang diperoleh melalui ilmu ini dimulai dengan
mengkonseptualisasi gambaran tentang masalah, kemudian melakukan proses
penemuan, penciptaan atau penyusunan cara-cara yang baik untuk membatasi,
menggambarkan, dan menafsirkan apa yang diamati.
Semua pengetahuan yang telah diperoleh itu rupanya senantiasa pula
dipertanyakan keabsahannya. Terjadilah usaha mencari tahu atau menemukan
kebenaran yang lebih sahih dan lebih diyakini. Untuk memverifikasi keabsahan
ilmu yang sudah ada atau menjajaki teori baru, atau memperkaya teori yang
sudah ada, orang melakukan berbagai usaha seperti perenungan kembali,
melakukan kegiatan penemuan, penyelidikan, atau penelitian. Inilah awal dari
rangkaian terjadinya kegiatan yang dinamakan penelitian.
14
21. Di dalam melakukan kegiatan penelitian itu terdapat dua kemungkinan
bentuk kegiatan. Pertama, penelitian yang dilakukan dengan berpegang atau
bertolak dari teori yang telah ada sebelumnya. Penelitian dengan menggunakan
teori itu mungkin bersifat memperkaya teori itu dengan contoh-contoh atau
menunjukkan dalam kondisi apa teori tersebut kurang tepat dan perlu
dimodifikasi. Kedua, adalah penelitian yang sifatnya memperkaya ilmu itu
sendiri dengan jalan mencari dan menemukan teori-teori baru yang sesuai atau
relevan dengan kondisi dan situasi.
Untuk sampai kepada kegiatan penelitian jenis kedua, memerlukan
sikap tanggap yang tinggi sebagai ilmuwan. Yang bersangkutan harus
mengkaji latar belakang dan proses lahirnya suatu teori. Ia harus memperlajari
dan mendalami perkembangan ilmu yang bersangkutan terutama yang
berkenaan dengan pengetahuan mengenai gejala-gejala yang berkait dengan
penemuan teori itu sendiri. Dalam hal ini, para ilmuwan tentunya berupaya
untuk mengurangi subjektivitas dan mempertinggi objektivitas. Kesimpulan
apapun yang dibuat mestilah dinilai sebagai kesimpulan sementara. Para
ilmuwan akan selalu tidak puas dengan setiap kesimpulan sementara. Oleh
karena itu, para ilmuwan selalu berusaha menemukan kesimpulan baru yang
barangkali merevisi kesimpulan-kesimpulan terdahulu. Begitulah terjadinya
penelitian yang tidak pernah henti-hentinya.
Penelitian bertujuan untuk menemukan atau menggali (explore),
mengembangkan (develop atau extention) dan menguji (testing) teori. Adapun
yang dimaksud teori adalah seperangkat construct (konsep yang saling
15
22. berhubungan), rumusan-rumusan dan preposisi yang menyajikan suatu
pandangan yang sistematis suatu fenomena dengan menspesifikasikan
hubungan-hubungan antarvariable dengan tujuan untuk menjelaskan dan
memprediksi gejala.
Penelitian akan menghasilkan teori, sebaliknya teori dalam
hubungannya dengan kegiatan penelitian dapat memberikan kerangka kerja
bagi pelaksanaan penelitian. Teori dapat membantu merumuskan problem,
pengajuan hipotesis, penyusunan design, pengembangan instrumen,
pengumpulan dan analisis data, serta membantu dalam menginterpretasi data.
Hubungan teori dan penelitian digambarkan sebagai berikut:
Pengumpulan Analisis Penyajian hasil
Identifikasi data data penelitian
masalah Kesimpulan
Formulasi dan implikasi
hipotesis
Review
informasi yang
terkait
Teori-teori yang terkait Pengembangan/
Ilmu pengetahuan yang Perluasan revisi
Eksis body of knowledge dan teori baru
2.2 Metode Dan Nilai Keilmiahan
Peneliti ilmuwan yang memanfaatkan nalarnya di dalam bekerja
mendasarkan kerjanya atas sifat ideal ilmu, yaitu interrelasi yang sistematis dan
terorganisasi antara fakta-fakta. Dengan demikian metodenya pun bersifat
16
23. ilmiah. Metode ilmiah bertolak dari kesangsian yang sistematis. Suatu kerja
yang didasarkan pada metode ilmiah memiliki empat nilai dasar: universalitas,
komunikasi, ketanpapamrihan, dan skeptisisme yang sistematis dan
terorganisir.
Dalam kerja penelitian, ilmu-ilmu humaniora, nilai-nilai dasar tersebut
dapat dijabarkan dalam kriteria: (1) berdasarkan fakta, (2) bebas prasangka, (3)
menggunakan prinsip analisis, (4) menggunakan hipoteisis apabila ada, dan (5)
menggunakan ukuran objektif (jarak metodologis). Penelitian ilmiah
memerlukan landasan kerja yang ilmiah pula. Landasan kerja yang dimaksud
oleh Chamamah (2001: 14) yang sejalan dengan pemahaman Muhajir (2002:
4) dirumuskan dalam tiga hal, yaitu:
1. landasan teori: landasan yang berupa hasil perenungan terdahulu yang
berhubungan dengan masalah dalam penelitian dan bertujuan mencari
jawaban secara ilmiah;
2. landasan metodologis: landasan yang berupa tata aturan kerja dalam
penelitian dan bertujuan untuk membuktikan jawaban yang dihasilkan;
3. landasan kecendikiaan: bekal kemampuan membaca, menganalisis,
menginterpretasi, dan menyimpulkan; bertujuan mempertajam
penelitian guna meningkatkan kedekatan hasil penelitian.
Dalam penelitian ilmiah, dituntut langkah-langkah berturut-turut, yaitu:
(1) menetapkan persoalan pokok, (2) merumuskan dan mendefinisikan
masalah, (3) mengadakan studi pustaka, (4) merumuskan hipotesis, (5)
mengumpulkan data, (6) mengolah data, (7) menganalisis dan
17
24. menginterpretasi, (8) membuat generalisasi sesuai sifatnya, (9) menarik
kesimpulan, (10) merumuskan dan melaporkan hasil penelitian, dan (11)
mengemukakan implikasi-implikasi penelitian.
Dalam kaitannya dengan keberadaan kondisi produk sastra yang
menjadi sasaran kajian, perlu diperhatikan persoalan yang muncul serta
jawaban-jawaban yang diperlukan. Karya-karya tercipta pada masa kini dari
latar penciptaan sosial dan word view yang berbeda-beda melahirkan persoalan
pembacaan dari peneliti yang berlainan latar pembacaannya. Demikian pula,
produk yang tercipta dari proses transformasi karya “asing” menimbulkan pula
latar pembacaan yang berbeda dengan latar penciptaannya; juga persoalan
bentuk-bentuk resepsi dalam mentransformasi. Karya-karya yang tercipta dari
latar waktu yang berlainan akan menimbulkan persoalan yang berhubungan
dengan pergeseran makna. Dalam hal inilah pemilihan teori dan metode yang
memadai menempati peran yang penting untuk menghasilkan penelitian yang
memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi.
Pelaksanaan kegiatan yang didasarkan pada metode di atas akan
memberikan citra keilmiahan penelitian sastra sesuai dengan karakteristik
kesastraannya.
18
25. 2.3 Asas-asas Dasar Penelitian
Wiersma dalam (Wuradji, (2001: 3-4) menjelaskan bahwa secara
umum asas-asas dasar penelitian meliputi:
1. sistematis
2. menghasilkan pengetahuan yang:
a. valid : berhubungan dengan sebarapa jauh hasil penelitian dapat
diinterpretasi (dimaknai) secara akurat dan seberapa jauh
hasilnya dapat digeneralisasi dan diimplemetasikan pada
populasi dan situasi yang lain
b. validitas internal mengarah kepada ketepatan pemahaman hasil
penelitian dan validitas eksternal mengarah kepada
penggeneralisasian hasil penelitian
c. realibel internal menunjukkan seberapa jauh pengumpulan data,
analisis data dan pemahaman yang dilakukan penelitian
konsisten dalam pemaknaan; realibel eksternal menunjukkan
seberapa jauh peneliti lain yang independen dapat mengulang
penelitian dan menunjukkan hasil yang sama dalam setting yang
serupa.
d. Objektif mengarah kepada penelitian yang terbebas dari campur
tangan atau unsur-unsur subjektif
3. didukung data empiris
19
26. 2.4 Penggolongan Penelitian
Merujuk kepada pendapat Hogben, Charters, dan Whitney, Nazir (
1985: 29-31) menggolongkan penelitian berdasarkan tujuannya ke dalam dua
bagian besar, yaitu :
1. penelitian dasar (basic Reasearch) bertujuan untuk mengembangkan
ilmu pegetahuan. Jenis penelitian in tidak berorientasi pada hasil yang
dapat dimanfaatkan dengan segera untuk memecahkan problem yang
mendesak.
2. penelitian terapan (applied Reasearch) bertujuan untuk memecahkan
problem mendesak dan hasilnya dapat dimanfaatkan dengan segera
dalam kehidupan praktis. Salah satu tipe dari penelitian terapan adalah
penelitian tindakan (action research). Penelitian ini dilakukan oleh guru
atau manager atau administrator bertujuan untuk bahan pengambilan
keputusan dalam ruang lingkup lokal. Penelitian ini tidak banyak
menuntut untuk melakukan generalisasi.
Berdasarkan desain metodologinya, (bandingkan Nazir, 1885; Ratna,
2004; dan Muhadjir, 2003) penelitian digolongkan menjadi:
1. penelitian experiment: mengandaikan situasi penelitian di mana peneliti
setidaknya memanipulasi satu variabel penelitian untuk mengetahui
apakah terdapat hasil yang berbeda dari pengaturan atau perubahan
variabel independen tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk
20
27. membandingkan dan mencari hubungan sebab akibat. Karena itu
penelitian ini juga dikenal dengan istilah penelitian kausal-komparatif.
2. penelitian ex-post facto: peneliti tidak berusaha mengendalikan atau
mengatur/mengontrol/memanipulasi variabel independen karena
variabel penelitiannya sudah terjadi. Variabel independen tersebut
biasanya muncul atau terjadi dalam setting alami. Dari variabel-variabel
yang telah muncul secara alami tersebut, peneliti berusaha menemukan
hubungan antar variabel.
3. penelitian survey: mengendalikan variabel penelitian yang dilakukan
saat penelitian dilaksanakan. Ciri yang membedakan penelitian survey
ini dengan penelitian lainnya adalah data pada penelitian survey
merupakan current status (present conditions).
4. penelitian historis: merupakan kegiatan penelitian untuk memecahkan
masalah di mana peneliti menggali data yang telah terjadi pada masa
lampau. Tujuannya untuk mendeskripsikan fakta-fakta pada masa
lampau.
5. penelitian ethnography: pada umumnya dihubungkan dengan
penelitian-penelitian pada antropologi. Untuk penelitian-penelitian
kemasuyarakatan, ethnography merupakan pendekatan penelitian.
Penelitian ini merupakan pendeskripsian secara analitik dan mendalam
tentang situasi cultural yang spesifik.
6. content analysis; berusaha menganalisis dokumen untuk diketahui isi
dan makna yang terkandung dalam dokumen tersebut. Macam-macam
21
28. dokumen yang dijadikan data penelitian di antaranya: karangan tertulis,
gambar, grafik, lukisan, biografi, fotografi, laporan, buku teks, surat
kabar, film, buku harian, dan majalah.
2.5 Metode Kualitatif
Motode kualitatif memberikan perhatian kepada data alamiah yang
berada dalam hubungan konteks keberadaanya. Landasan berpikir metode
kualitatif adalah paradigma positivisme Max Weber, Immanuel kant, dan
Wilhlem Dilthey (Ratna, 2004: 47-49). Objek sosial bukan gejala sosial
sebagai bentuk substantif melainkan makna-makna yang terkandung di balik
tindakan yang justru mendorong timbulnya gejala sosial tersebut. Dalam
hubungan inilah metode kualitatif dianggap persis sama dengan metode
pemahaman atau verstehen. Penelitian kualitatif mempertahankan nilai-nilai.
Dalam ilmu sosial, sumber datanya adalah masyarakat sedangkan data
penelitiannya adalah tindakan-tindakan. Dalam ilmu sastra, sumber datanya
adalah karya sedangkan data penelitiannya teks.
Sejalan dengan uraian di atas, Ratna menguraikan ciri-ciri terpenting
metode kualitatif . Ciri-ciri yang dimaksud adalah:
1. memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan
hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural;
2. lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian
sehingga makna selalu berubah;
22
29. 3. tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian, subjek
peneliti sebagai instrumen utama sehingga terjadi interaksi langsung di
antaranya;
4. desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian
bersifat terbuka;
5. penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya
masing-masing.
2.6 Metode Deskriptif
Metode dskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status
sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran
ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sakarang. Tujuan dari penelitian
deskriptif ini adalah untuk membuat dekripsi, gambaran atau lukisan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan
antarfenomena yang diselidiki.
Menurut Whitney (dalam Nazir, 1985: 63-65) metode dekriptif adalah
pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian dskriptif
mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tatacara yang berlaku
dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan
kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses
yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Dalam
metode deskripsi peneliti bisa saja membandingkan fenomena-fenomena
tertentu sehingga merupakan suatu studi komparatif. Adakalanya peneliti
23
30. mengadakan klasifikasi serta penelitian terhadap fenomena-fenomena dengan
menetapkan suatu standar atau suatu norma tertentu sehingga banyak ahli
menamakan metode deskriptif ini dengan nama survei normatif (normative
survey). Dengan metode deskriptif ini juga diselidiki kedudukan (status)
fenomena atau faktor dan melihat hubungan antara satu faktor dengan faktor
lain. Metode ini dinamakan juga studi status .
Metode deskriptif juga ingin mempelajari norma-norma atau standar-
standar. Dalam metode ini dapat diteliti masalah-masalah normatif bersama-
sama dengan masalah status dan sekaligus membuat perbandingan-
perbandingan antarfenomena. Perspektif waktu yang dijangkau dalam
penelitian ini adalah waktu sekarang atau sekurang-kurangnya jangka waktu
yang masih terjangkau dalam ingatan responden.
Nazir (1985: 72-73) mengurutkan kriteria pokok metode deskriptif
adalah:
A. kriteria umum:
1. masalah yang dirumuskan harus patut, ada nilai ilmiah serta tidak
terlalu luas
2. tujuan penelitian harus dinyatakan dengan tegas dan tidak terlalu umum
3. data yang digunakan harus fakta-fakta yang terpercaya dan bukan
merupakan opini
4. standar yang digunakan untuk membuat perbandingan harus
mempunyai validitas
24
31. 5. harus ada deskripsi yang terang tentang tempat serta waktu penelitian
dilakukan
6. hasil penelitian harus berisi secara detil yang digunakan baik dalam
mengumpulkan data maupun dalam menganalisis data serta studi
kepustakan yang dilakukan. Deduksi logis harus jelas hubungannya
dengan kerangka teoretis yang digunakan, jika kerangka teoretis untuk
itu telah dikembangkan.
B. kriteria khusus
1. prinsip-prinsip ataupun data yang digunakan dinyatakan dalam nilai
(value)
2. fakta-fakta ataupun prinsip-prinsip yang digunakan adalah mengenai
masalah status.
3. sifat penelitian adalah ex post facto, karena itu tidak ada kontrol
terhadap variabel dan peneliti tidak mengadakan pengaturan atau
manipulasi terhadap variabel; variabel dilihat sebagaimana adanya.
Adapun langkah-langkah umum dalam metode deskrptif adalah:
1. memilih dan merumuskan masalah yang menghendaki konsepsi ada
kegunaan masalah tersebut serta dapat diselidiki dengan sumber yang
ada
2. menentukan tujuan dari penelitian yang akan dikerjakan; tujuan ini
harus konsisten dengan rumusan dan definisi dari masalah
25
32. 3. memberi limitasi dari area atau scope atau sejauh mana penelitian
deskriptif tersebut akan dilaksanakan; seberapa jauh wilayah penelitian
akan dijangkau
4. merumuskan kerangka teori atau kerangka konseptual
5. menelusuri sumber-sumber kepustakaan yang ada hubungannya dengan
masalah yang ingin dipecahkan
6. merumuskan hipotesis-hipotesis yang ingin diuji, baik secara eksplisit
maupun secara implisit
7. melakukan kerja lapangan untuk mengumpulkan data; gunakan teknik
pengumpulan data yang cocok untuk penelitian
8. membuat tabulasi serta analisis (statistik); dilakukan terhadap data yang
telah dikumpulkan
9. memberikan interpretasi dari hasil dalam hubungannya dengan kondisi
yang ingin diselidiki dan data yang diperoleh serta referensi khas
terhadap masalah yang ingin dipecahkan
10. mengadakan generalisasi serta deduksi dari penemuan-penemuan serta
hipotesis-hipotesis yang ingin diuji
Jenis-jenis penelitian deskriptif (Nazir, 1985: 65-68) yang perlu dikenal
sehubungan dengan praktik analisis terhadap karya sastra adalah:
1. metode survei: penyelidikan untuk memperoleh fakta-fakta dari
gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara
faktual; dikerjakan evaluasi serta perbandingan-perbandingan terhadap
26
33. hal-hal yang telah dikerjakan orang dalam menangani situasi atau
masalah yang serupa
2. metode deskriptif berkesinambungan: kerja meneliti secara deskriptif
yang dilakukan secara terus menerus atas suatu objek penelitian;
penelitian dengan menggunakan metode ini bertujuan menjangkau
informasi faktual yang mendetail
3. Studi kasus: penelitian tentang status subjek penelitian yang
berhubungan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan
personalitas; subjek penelitian dapat saja individu, kelompok, lembaga,
maupun masyarakat. Tujuan studi kasus adalah untuk memberikan
gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta
karakter-karakter yang khas dari kasus ataupun status dari individu
yang kemudian dari sifat-sifat khas di atas akan dijadikan suatu hal
yang bersifat umun
4. Studi komparatif: sejenis penelitian deskriptif yang ingin mencari
jawaban secara mendasar tentang sebab akibat dengan jalan
menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya ataupun munculnya
suatu fenomena tertentu. Dalam studi komparatif ini, sulit diketahui
faktor-faktor penyebab yang dijadikan dasar pembanding sebab
penelitian komparatif tidak mempunyai kontrol; metode yang
digunakan di dalamnya adalah ex post facto, yaitu data dikumpulkan
setelah semua kejadian yang dikumpulkan telah selesai berlangsung;
27
34. Peneliti dapat melihat akibat dari suatu fenomena dan menguji
hubungan sebab akibat dari data-data yang tersedia.
28
35. BAB III
SASTRA DALAM PENELITIAN ILMIAH
3.1 Sastra sebagai Sistem
Chamamah ( 2001: 9-14) yang merujuk beberapa pendapat dari Idema,
Plark, Eliis, Eagelton, Lotman, Riffaterre, dan Teeuw, menguraikan
pemahaman sastra sebagai sistem. Ia mengawali pembicaraanya dari perspektif
bahasa sebagai sistem semiotik primer. Selanjutnya sastra dihubungkan dengan
konvensi budaya dan konvensi sastra. Secara cermat Teeuw masalah sistem
sastra yangbersifat umum sekaligus khusus. Menurutnya, menjabarkan Istilah
sastra dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua
masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan keagamaan, keberadaannya
tidak merupakan keharusan. Hal ini berarti bahwa sastra meupakan gejala yang
universal. Akan tetapi suatu fenomena pula bahwa gejala yang universal itu
tidak mendapat konsep yang universal pula. Kriteria kesastraaan yang ada
dalam suatu masyarakat tidak selalu cocok dengan kriteria kesastraan yang ada
pada masyarakat lain. Sastra mengandung sifat umum dan khusus. Pengertian
umum dan khusus di sini dapat diperjelas dengan memahami terlebih dahulu
konsep tentang sastra.
Upaya mengungkap konsep tentang sastra pada umumnya dipandang
tidak mudah. Hal ini disadari juga oleh para kitikus dan teoretis sastra.
29
36. Pertanyaan yang berhubungan dengan penjelasan tentang konsep sastra selalu
muncul tetapi selalu pula berakhir dengan kesimpulan yang menunjukkan
kegagalannya. Melalui sistem sastralah, upaya mengenali konsep sastra dapat
dilakukan.
Fenomena yang terlihat universal dan sekaligus individual itu
memperlihatkan sifat-sifat yang dapat ditarik dari berbagai sisinya. Wujud
ciptaan yang dipandang sebagai hasil kegiatan bersastra pertama-tama dilihat
dari sisi bahannya, yaitu berupa bahasa. Pemakaian bahasa pada kegiatan
bersastra berbeda dengan pemakaian bahasa pada kegiatan yang lainnya,
seperti pada pemakaian sehari-hari (natural atau ordinary language).
Perbedaan ini memberi kesan akan adanya sifat yang spesial yang dalam
banyak hal tidak mengikuti tata aturan bahasa sehingga sering disebut
“menyimpang atau yang sering menimbulkan interpretasi ganda. Dalam rangka
fungsi inilah bahasa sastra mempunyai susunan yang kompleks. Sifat-sifat
yang diangkat dari corak bahasanya mewujudkan sastra sebagai satu sistem.
Apabila bahasa dalam kehidupan sehari-hari merupakan sistem pembentuk
yang pertama maka sastra merupakan sistem yang kedua, secondary modelling
system.
Sebagai satu sistem, sastra merupakan satu kebulatan dalam arti dapat
dilihat dari berbagai sisi, di antaranya dari sisi bahan. Sastra tidak ditentukan
oleh bentuk strukturnya tetapi oleh bahasa yang digunakan dalam macam cara
tertentu oleh masyarakat. Ini menunjukkan pengertian bahwa bahasa yang
dipakai mengandung fungsi yang lebih umum.
30
37. Bahasa yang dipergunakan secara istimewa dalam ciptaan sastra pada
hakikatnya untuk menyampaikan informasi. Pemanipulasian bahasa pada
hakekatnya dalam rangka mewujudkan sastra sebagai sarana komunikasi yang
maksimal. Dengan demikian, visi dan fungsi sastra terwujud sebagai sarana
komunikasi, yaitu komunikasi dengan penikmatnya atau pembacanya.
Pekerjaan meneliti sastra pada hakikatnya merupakan proses pertemuan
antara ciptaan sastra dengan penelitinya, yaitu pembacanya. Dalam hal ini,
perlu pula diperhatikan situasi pembaca dan pembacaan pada waktu
berhadapan dengan karya sastra. Pembaca yang dibekali sejumlah
pengetahuan, disadari atau tidak akan menjadi bekal dalam pembacaannya.
Terjadilah pembacaan teks yang berstruktur yang menghasilkan dua kutub.
Keduanya bergerak dalam irama yang dinamis. Dengan demikian, membaca
bukanlah proses yang berjalan satu arah, dari pembaca saja, tetapi satu bentuk
interaksi dinamis antara teks dan pembacanya. Sastra dipahami sebagai satu
sistem yang terbaca pada ciptaan-ciptaan yang oleh masyarakatnya
dikategorikan sebagai produk sastra.
3.2 Sastra sebagai Objek Penelitian
Sebagai ilmu, ilmu sastra mempunyai karakteristik keilmiahan sendiri.
Dalam hal ini penelitian harus memilih metode dan langkah-langkah kerja yang
tepat dan sesuai dengan karakteristik objek kajiannya. Salah satu yang menarik
dalam menggunakan metode penelitian sastra adalah perihal keharusan adanya
distansi, kerja yang objektif, dan terhindar dari unsur prasangka dari
31
38. perspektif. Gejala dengan situasi kesastraan inilah yang sering menuntut
perhatian tersendiri.
Penerapan metode ilmiah seperti yang dikemukakan di atas perlu
mempertimbangkan sifat sastra yang memperlihatkan gejala yang universal
sekaligus khusus atau unik. Gejala universal pada sastra membuat sastra
memiliki sifat-sifat yang umum. Karya sastra adalah wujud kreativitas manusia
yang tergolong konvensi-konvensi yang berlaku bagi wujud ciptaannya
menjadi kaidah. Namun, keunikan karakteristik sastra pada suatu masyarakat,
bahkan keunikan suatu ciptaan sastra, membuat sastra memiliki sifat-sifat yang
khusus. Dalam hal ini, generalisasi sebagaimana yang dianjurkan oleh suatu
metode penelitian (positivistik) tentu saja tidak dapat dilakukan. Langkah yang
bisa dilakukan adalah transferabilitas.
Karya sastra terbentuk untuk mengetahui segala sesuatu yang organik.
Tugas pembaca untuk mengetahui segala kekaburan elemen-elemen yang
berfungsi membentuk kesatuan itu. Pembaca bertugas menghubungkan
berbagai strata yang berbeda-beda pada tempatnya yang betul. Karena karya
sastra pada mulanya mengandung unsur yang kabur, pembacalah yang
mewujudkannya menjadi tidak kabur. Dalam mengungkapkan dan menyibak
kekaburan itulah, sejumlah peralatan diperlukan, di antranya hasil renungan
orang terdahulu tentang masalah atau berbagai hal yang berkaitan dengan
masalah dalam penelitian, seperti berbagai teori dan pandangan-pandangan
yang pernah ada.
32
39. 3.3 Pemanfaatan Teori bagi Penelitian Sastra
Pembicaraan paradigma menjadi penting dalam menempatkan teori
pada sebuah penelitian (Ratna, 2004: 21). Paradigma berasal dari bahasa Latin:
paradigma berarti contoh, model, pola. Secara luas paradigma didefinisikan
sebagai seperangkat keyakinan mendasar, pandangan dunia yang berfungsi
untuk menuntun tindakan-tindakan manusia yang disepakati bersama, baik
dalam kehidupan sehari-hari maupun penelitian ilmiah.
Bagi ilmuwan, paradigma dianggap sebagai konsep-konsep kunci
dalam melaksanakan suatu penelitian tertentu. Paradigmalah yang menentukan
jenis-jenis ekspermen yang harus dilakukan oleh para ilmuwan, jenis-jenis
pertanyan yang harus diajukan, dan jenis-jenis permasalahan yang harus
dipecahkan. Tanpa paradigma, ilmuwan tidak bisa mengumpulkan data.
Terdapat tiga hal yang mempengaruhi perbedaan paradigma seorang
ilmuwan, sebagai berikut:
1. unsur dalam diri sendiri
2. unsur luar berupa lingkungan fisik
3. unsur luar berupa penjelajahan metodologi dan teori.
Dalam kaitannya dengan karya sastra sebagai objek penelitian,
paradigma di sini dibicarakan dalam kaitannya dengan teori dan metode di satu
pihak, dan di pihak lain berhubungan dengan sifat-sifat dasar karya sastra
sebagai objek. Kaitan paradigma dengan teori dan metode tidak banyak
menimbulkan masalah sebab komponen-komponen tersebut memiliki ciri-ciri
33
40. yang relatif sama, konsep-konsep dasar yang memungkinkan subjek untuk
menganalisis objek penelitian. Permasalahan yang agak kompleks akan timbul
apabila paradigma dikaitkan dengan objek karya sastra. Di satu pihak, sebagai
cara pandang, paradigma secara keseluruhan didasarkan atas asumsi-asumsi
ilmiah yang memungkinkan subjek untuk menghadapi masalah secara objektif.
Di pihak lain, sebagai hakikat kreatif karya sastra didominasi oleh
subjektivitas, imajinasi, bahkan khayalan.
Sebagai bentuk kegiatan ilmiah, penelitian sastra memerlukan landasan
kerja yang berupa teori. Teori sebagai hasil perenungan yang mendalam,
tersistem, dan terstruktur terhadap gejala-gejala alam berfungsi sebagai
pengarah dalam kegiatan penelitian. Teori memperlihatkan hubungan-
hubungan antarfakta yang tampaknya berbeda dan terpisah ke dalam satu
persoalan dan menginformasikan proses pertalian yang terjadi di dalam
kesatuan tersebut. Selanjutnya, hasil penelitian dalam arah balik akan
memberikan sumbangannya bagi teori. Jadi, antara teori dan penelitian pun
terdapat hubungan saling mengembangkan.
Sesuai dengan beraneka ragam ilmu, maka teori pun juga beraneka
ragam. Dalam penelitian sastra, pemilihan macam teori diarahkan oleh masalah
yang akan dijawab oleh penelitian dan oleh tujuan yang akan dicapai oleh
penelitian. Contohnya, penelitian yang memasalahkan construct suatu wacana
akan memanfaatkan teori struktural, dan sebagainya.
34
41. Ritzer (dalam Ratna: 2004:26) mengemukakan empat faktor yang
berkaitan dengan metode kualitatif secara filosofis. Keempat faktor tersebut
adalah:
1. faktor ontologis, keberadaan objek yang sendirinya berada di antara
masing-masing ilmu; dalam ilmu humaniora, khususnya sastra, objek
dikonstruksikan oleh individu sebagai peneliti
2. faktor epistemologis, bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan;
secara kualitatif, jarak antara subjek dengan objek dipersempit bahkan
seolah-olah tidak ada jarak
3. faktor aksiologis, penelitian adalah penilaian, berbeda dengan
penelitian kuantitatif yang bebas nilai
4. faktor metodologis, keseluruhan proses penelitian, termasuk metode,
teori, dan teknik.
Paradigma ilmu sastra dengan demikian mencoba menjelaskan konsep-
konsep yang mendasari pandangan dunia ilmuwan sastra, baik dalam kaitannya
dengan individu maupun kelompok; baik dalam kaitannya dengan kaidah-
kaidah sastra secara keseluruhan maupun sastra sebagai genre, termasuk
model-model pendekatan dalam kaitannya dengan kecenderungan
multidisiplin. Paradigma dengan demikian mendahului, mengkondisikan
ilmuwan sastra, ke arah mana penelitian sastra diarahkan, jawaban-jawaban
apa yang akan diberikan. Pada gilirannya, baik secara eksplisit maupun implisit
paradigma mengkondisikan teori, metode, teknik dan proses selanjutnya.
Perbedaan dan perkembangan paradigma melahirkan angkatan, periode,
35
42. generasi, aliran, dan berbagai paham yang lain. Dengan kalimat lain, teori dan
metode tidak berarti apa-apa apabila dibandingkan dengan peranan paradigma.
Relevansi pengalaman paradigmatis terhadap hakikat karya secara
keseluruhan jelas berkaitan dengan hakikat karya, gejala kultural sebagai
kualitas imajinasi dan kreativitas. Para ilmuwan sastra sejak semula telah
memahami bahwa karya sastra bukan kenyataan sesungguhnya. Keseluruhan
unsur, termasuk tokoh-tokoh, latar tempat dan waktu, bahkan juga nama dan
tahun yang sama dengan sejarah umum adalah unsur yang diciptakan. Karya
sastra tidak menyediakan referensi apa pun yang dapat dijadikan pedoman
untuk menjelaskan fakta sejarah, kecuali referensi estetisnya. Unsur-unsur
karya sastra hanya berfungsi dalam totalitas karya, bukan totalitas alam
semesta yang melatarbelakanginya. Novel sejarah, novel psikologis, demikian
juga novel ilmu pengetahuan tidak dimaksudkan untuk melegitimasikan aspek-
aspek sejarah, psikologis, demikian juga novel ilmu pengetahuan tidak
dimaksudkan untuk melegitimasikan aspek-aspek sejarah, psikologis dan ilmu
pengetahuan, melainkan semata-mata sebagai alternatif terhadap bidang ilmu
yang ditunjuknya dengan pertimbangan bahwa ada dunia lain yang seolah-olah
sama dengan dunia yang ditunjuknya.
Pengalaman paradigmatis terhadap genre-genre sastra sama dengan
hakikat tersebut. Perbedaannya, subjek dalam hubungan ini telah memiliki
referensi yang digunakan sebagai dasar untuk memahami dan mengembangkan
hakikat imajinasi. Puisi, novel, dan drama, puisi, drama bersajak, dll
memperoleh pengertian melalui pengalaman paradigmatis tersebut.
36
43. Penjelajahan terhadap konsep-konsep paradigma sama pentingnya
dengan teori, tetapi dalam penelitian konsep paradigma tidak muncul secara
eksplisit. Demikian juga konsep-konsep yang berkaitan dengan metodologi
yang tidak pernah dipertimbangkan sebagai butir-butir penelitian. Paradigma
dan metodologi dianggap sebagai komponen-komponen yang secara inklusif
mempengaruhi dan mengarahkan peneliti pada suatu kesadaran tertentu,
sehingga berbeda dengan peneliti lain dengan paradigma dan metodologi yang
berbeda. Dalam hubungan ini dapat dikatakan bahwa paradigma dan
metodologi merupakan jiwa dan semangat penelitian yang kemudian diarahkan
oleh teori dengan mempertimbangkan cara yang sudah disepakati, yaitu metode
dan teknik.
3.4 Pendekatan Sastra
3.4.1. Pengertian Pendekatan
Pendekatan adakalanya disamakan dengan metode (Ratna, 2004: 53-
55). Lebih lanjut, Ratna menguraikan bahwa secara etimologis, pendekatan
berasal dari kata appropio, approach, yang diartikan sebagai jalan dan
penghampiran. Pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri objek,
sedangkan metode adalah cara-cara mengumpulkan, menganalisis, dan
menyajikan data. Dengan dasar pertimbangan bahwa sebuah penelitian
merupakan kegiatan ilmiah yang tersusun secara sistematis dan metodis, maka
perlu dibedakan antara metode dengan pendekatan.
37
44. Pendekatan pada dasarnya memiliki tingkat abstraksi yang lebih tinggi
baik dengan metode maupun teori. Dalam sebuah pendekatan dimungkinkan
untuk mengoperasikan sejumlah teori dan metode. Dalam hubungan inilah,
pendekatan disejajarkan dengan bidang ilmu tertentu, seperti pendekatan
sosiologi sastra, mitopoik, intrinsik dan ekstrinsik, pendekatan objektif,
ekspresif, mimetik, pragmatik,dan sebagainya. Definisi tersebut bersifat relatif
sebab yang jauh lebih penting adalah tujuan yang hendak dicapai sehingga
sebuah pendekatan pada tahap tertentu bisa menjadi metode. Pendekatan
adalah pengakuan terhadap hakikat ilmiah objek ilmu pengetahuan itu sendiri.
Pendekatan mengimplikasikan cara-cara memahami hakikat keilmuan tertentu.
Penelitian secara keseluruhan ditentukan oleh tujuan. Pendekatan
merupakan langkah pertama dalam mewujudkan tujuan penelitian. Pada
dasarnya, dalam rangka melaksanakan suatu penelitian, pendekatan
mendahului teori dan metode. Artinya, pemahaman mengenai pendekatanlah
yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan
penentuan masalah, teori, metode, dan tekniknya.
3.4.2 Jenis-jenis Pendekatan Sastra
Empat komponen utama pendekatan sastra yang dikemukakan Abrams
menjadi bagian penting dalam teori strukturalisme. Empat pendekatan yang
dimaksud adalah (1) pendekatan ekspresif, (2) pendekatan mimesis, (3)
pendekatan pragmatik, dan (4) pendekatan objektif.
38
45. 3.4.2.1 Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif ini tidak semata-mata memberikan perhatian
terhadap bagaimana karya itu diciptakan tetapi bentuk-bentuk apa yang terjadi
dalam karya sastra yang dihasilkan. Wilayah studi pendekatan ini adalah diri
pengarang, pikiran dan perasaan, dan hasil-hasil karyanya. Pendekatan ini
dapat dimanfaatkan untuk menggali ciiri-ciri individualisme, nasionalisme,
komunisme, feminisme, dan sebagainya dalam karya baik karya sastra
individual maupun karya sastra dalam kerangka periodisasi.
Menurut Abrams (1958: 22) pendekatan ekspresif ini menempatkan
karya sastra sebagai curahan, ucapan, dan proyeksi pikiran dan perasaan
pengarang. Pengarang sendiri menjadi pokok yang melahirkan produksi
persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaan yang
dikombinasikan. Praktik analisis dengan pendekatan ini mengarah pada
penelusuran kesejatian visi pribadi pengarang yang dalam paham struktur
genetik disebut pandangan dunia. Seringkali pendekatan ini mencari fakta-
fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang
secara sadar atau tidak telah membukakan dirinya dalam karyanya tersebut.
Dengan demikian secara konseptual dan metodologis dapat diketahui bahwa
pendekatan ekspresif menempatkan karya sastra sebagai: (1) wujud ekspresi
pengarang, (2) produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsi-
persepsi, pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya, (3) produk pandangan
dunia pengarang. Secara metodis, langkah kerja yang dapat dilakukan melalui
pendekatan ini adalah: (1) memerikan sejumalah pikiran, persepsi, dan
39
46. perasaan pengarang yang hadir secara langsung atau tidak di dalam karyanya,
(2) memetakan sejumlah pikiran, persepsi, dan perasaan pengarang yang
ditemukan dalam karyanya ke dalam beberapa kategori faktual teks berupa
watak, pengalaman, dan ideologi pengarang, (3) merujukkan data yang
diperoleh pada tahap (1) dan (2) ke dalam fakat-fakta khusus menyangkut
watak, pengalaman hidup, dan ideologi pengarang secara faktual luar teks (data
sekunder berupa data biografis), dan (4) membicarakan secara menyeluruh,
sesuai tujuan, pandangan dunia pengarang dalam konteks individual maupun
sosial dengan mempertimbangkan hubungan-hubungan teks karya sastra hasil
ciptaannya dengan data biografisnya.
3.4.2.2 Pendekatan Mimesis
Dasar pertimbangan pendekatan mimesis adalah dunia pengalaman,
yaitu karya sastra itu sendiri yang tidak bisa mewakili kenyataan yang
sesungguhnya melainkan hanya sebagai peniruan kenyataan (Abrams, 1958:8).
Kenyataan di sini dipakai dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu segala sesuatu
yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra, seperti
misalnya benda-benda yang dapat dilihat dan diraba, bentuk-bentuk
kemasyarakatan, perasaan, pikiran, dan sebagainya Luxemberg, 1989:15).
Melalui pandangan ini, secara hierarkis karya seni berada di bawah kenyataan.
Akan tetapi Marxis dan sosiologi sastra memandang karya seni dianggap
sebagai dokumen sosial; karya seni sebagai refleksi dan kenyataan di dalamnya
sebagai sesuatu yang sudah ditafsirkan.
40
47. Sehubungan dengan pendekatan mimesis, Segers (2000, 91-94)
mengungkapkan konsep yang dipakai kaum Maxist. Menurut konsep ini
konsep imitasi harus menjadi norma dasar telaah. Kritik Marxist menyatakan
bahwa dunia fiksional teks sastra seharusnya merefleksikan realitas sosial.
Lebih jauh Segers mempertimbangkan fiksionalisasi dalam telaah teks sastra
yang berhubungan dengan pendekatan mimesis. Menurutnya, norma
fiksionalitas mengimplikasikan bahwa tanda-tanda linguistik yang berfungsi
dalam teks sastra tidak merujuk secara langsung pada dunia kita, tetapi pada
dunia fiksional teks karya sastra.
Adapun John Baxter (dalam Makaryk,1993: 591-593) menguraikan
bahwa mimesis adalah hubungan dinamis yang berlanjut antara suatu seni
karya yang baik dengan alam semesta moral yang nyata atau masuk akal.
Mimesis sering diterjemahkan sebagai "tiruan". Secara terminologis, mimesis
menandakan suatu seni penyajian atau kemiripan, tetapi penekanannya
berbeda. Tiruan, menyiratkan sesuatu yang statis, suatu copy, suatu produk
akhir; mimesis melibatkan sesuatu yang dinamis, suatu proses, suatu hubungan
aktif dengan suatu kenyataan hidup.
Menurut Baxter, metode terbaik mimesis adalah dengan jalan
memperkuat dan memperdalam pemahaman moral, menyelidiki dan
menafsirkan semesta yang diterima secara riil. Proses tidak berhenti hanya
dengan apa pembaca atau penulis mencoba untuk mengetahuinya. Mungkin
rentang batas yang riil dengan yang dihadirkan dapat dikhayalkan walaupun
hanya sesaat dalam kondisi riil, atau suatu perspektif pada aspek yang riil yang
41
48. tidak bisa dijangkau jika tidak dilihat. Kenyataan kadang-kadang digambarkan
berbeda karena tak sesuai dengan pandangan kenyataan yang menyeluruh.
Oleh karena itu, kenyataan tidak dapat dihadirkan dalam karya dalam cakupan
yang ideal. Mimesis sama dan sebangun dengan apa yang Coleridge sebut
sebagai 'imajinasi yang utama, ' yang oleh Whalley disebut sebagai hasil dari
kesadaran tertinggi.
Melalui penjabaran di atas, dapat diketahui secara konseptual dan
metodologis bahwa pendekatan mimesis menempatkan karya sastra sebagai:
(1) produk peniruan kenyataan yang diwujudkan secara dinamis, (2)
representasi kenyataan semesta secara fiksional, (3) produk dinamis yang
kenyataan di dalamnya tidak dapat dihadirkan dalam cakupan yang ideal, dan
(4) produk imajinasi yang utama dengan kesadaran tertinggi atas kenyataan.
Secara metodis, langkah kerja analisis melalui pendekatan ini dapat
disusun ke dalam langkah pokok, yaitu: (1) mengungkap dan mendeskripsikan
data yang mengarah pada kenyataan yang ditemukan secara tekstual, (2)
menghimpun data pokok atau spesifik sebagai variabel untuk dirujukkan ke
dalam pembahasan berdasarkan kategori tertentu, sesuai tujuan, misalnya
menelusuri unsur fiksionalitas sebagai refleksi kenyataan secara dinamis, dsb.,
(3) membicarakan hubungan spesifikasi kenyataan dalam teks karya sastra
dengan kenyataan fakta realita, dan (4) menelusuri kesadaran tertinggi yang
terkandung dalam teks karya sastra yang berhubungan dengan kenyataan yang
direpresentasikan dalam karya sastra.
42
49. 3.4.2.3 Pendekatan Pragmatik
Pendekatan pragmatis menurut Abram (1958: 14-21) memberikan
perhatian utama terhadap peranan pembaca. Pendekatan ini memberikan
perhatian pada pergeseran dan fungsi-fungsi baru pembaca. Pendekatan
pragmatis mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai
kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan
pembaca, maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan
pragmatis di antaranya berbagai tanggapan masyarakat atau peneriman
pembaca tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik dalam kerangka sinkronis
maupun diakronis.
Segers (2000:35-47) dalam kaitannya dengan pendekatan pragmatik,
mengawali pembicaraannya dengan uraian seputar estetika resepsi.
Menurutnya, secara metodologis estetika resepsi berusaha memulai arah baru
dalam studi sastra karena berpandangan bahwa sebuah teks sastra seharusnya
dipelajari (terutama) dalam kaitannya dengan reaksi pembaca. Dalam
uraiannya, Segers memetakan estetika resepsi ke dalam tiga bagian utama,
yaitu (1) konsep umum estetika resepsi, (2) penerapan praktis estetika resepsi,
dan (3) kedudukan estetika resepsi dalam tradisi studi sastra.
Estetika resepsi yang termasuk ke dalam wilayah pendekatan pragmatik
memuat konsep-konsep dasar seperti yang dikemukanan Jauss dan Iser. Kata
kunci dari konsep yang diperkenalkan Jauss adalah rezeptions und
wirkungsasthetik “ tanggapan dan efek”. Menurutnya, pembacalah yang
menilai, menikmati, menafsirkan, dan memahami karya sastra. Pembaca dalam
43
50. kondisi demikianlah yang mampu menentukan nasib dan peranannya dari segi
sejarah sastra dan estetika. Resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan
penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari rangka sejarahnya seperti yang
terwujud dalam horison harapan pembaca masing-masing. Baru dalam
kaitannya dengan pembaca, karya sastra mendapat makna dan fungsinya.
Tujuh bagian penting yang menjadi dasar dari teori estetika resepsi Jauss,
yaitu: (1) pengalaman pembaca, (2) horison harapan, (3) nilai estetik, (4)
semangat zaman, (5) rangkaian sastra, (6) perspektif sinkronik dan diakronik,
dan (7) sejarah umum.
Pengalaman pembaca yang dimaksud mengindikasikan bahwa teks
karya sastra menawarkan efek yang bermacam-macam kepada pembaca yang
bermacam-macam pula dari sisi pengalamannya pada setiap periode atau
zaman pembacaannya. Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang
berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan
mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya dengan
teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya. Dalam
hal ini, kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta literer
tetapi dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas
pengalaman sebelumnya.
Horison harapan muncul pada tiap aktivitas pembacaan pembaca untuk
masing-masing karya di dalam momen historis melalui bentuk dan pemahaman
atas ganre, dari bentuk dan tema karya yang telah dikenal, dan dari oposisi
antara puisi dan bahasa praktis. Karya sastra tidak berada dalam kekosongan
44
51. informasi. Dengan kondisi tersebut, teks karya sastra mampu menstimulus
proses psikis pembaca dalam meresepsi teks karya sastra yang dibacanya
sehingga bagian dari proses tersebut mengimplikasikan adanya harapan-
harapan atas karya yang dibacanya.
Horison harapan atas sebuah karya membuka peluang untuk
menentukan karakter artistiknya melalui kesamaan dan tingkat pengaruhnya
pada syarat pembaca. Penandaan perbedaan jarak estetik antara horison
harapan yang diberinya dan tampilan suatu karya baru akan mengarahkan
potensi-potensi resepsi yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan
horison sampai pada penghilangan pengalaman yang umum dikenal atau
sampai pada peningkatan kesadaran pengalaman yang baru saja dicetuskan.
Kondisi yang mengindikasikan adanya jarak estetik ini dapat menjadi objektif
menurut sejarah sejalan dengan spektrum reaksi pembaca dan pertimbangan
kritiknya.
Perihal semangat zaman, rekonstruksi horison harapan pada permukaan
suatu karya yang telah diciptakan dan diterima di masa lalu memungkinkan
pembaca mempertanyakan kembali tentang teks tersebut. Proses pembacaan
diarahkan kepada bagaimana pembaca jaman sekarang bisa memandang dan
memahami karya tersebut. Pendekatan ini mengoreksi norma-norma klasikal
yang tidak dikenal atau memodernisasi pemahaman seni dan menghindari
kesulitan yang menyelimutinya.
Teori estetik resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra
dalam bentangan historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut
45
52. bahwa sesuatu karya individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk
mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman
kesastrannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah sastra
sangat penting, yang terakhir memanifestasikan dirinya sebagai proses resepsi
pasif yang merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman berikutnya dapat
memecahkan bentuk dan permasalahan moral yang ditinggalkan oleh karya
sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan permasalahan baru.
Keberhasilan linguistik melalui perbedaan dan hubungan metodologis
yang menyeluruh dari analisis sinkronis dan diakronis adalah kesempatan
untuk menanggulangi perspektif diakronis yang sebelumnya merupakan satu-
satunya perspektif yang diberlakukan di dalam sejarah sastra. Pembenahan
tersebut membuka perubahan dalam perilaku estetik. Perspektif sejarah sastra
selalu menemukan hubungan fungsional antara pemahaman karya-karya baru
dengan makna karya-karya terdahulu. Perspektif ini juga mempertimbangkan
pandangan sinkronis guna menyusun dalam kelompok-kelompok yang sama,
berlawanan dan teratur sehingga diperoleh sistem hubungan yang umum dalam
karya sastra pada waktu tertentu.
Tugas sejarah sastra yang utuh tidaklah hanya diwakili kesinkronisan
dan kediakronisan di dalam rangkaian sistemnya, tetapi juga melihat seperti '
sejarah khusus' dalam hubungan uniknya terhadap 'sejarah umum'. Hubungan
ini tidak berakhir dengan fakta yang beragam, diidealkan, satirik, atau
gambaran berupa kayalan tentang keberadaan sosial, tetapi hubungannya dapat
ditemukan di dalam sastra dari semua waktu. Fungsi sosial sastra
46
53. memanifetasikan dirinya di dalam kemungkinan riil hanya jika pengalaman
kesastraan pembaca masuk ke dalam horison harapannya dari kehidupan
praktisnya untuk kemudian pembaca melaksanakan pemahaman atas dunianya.
Manifestasi tersebut mempunyai dan mempengaruhi perilaku sosialnya.
Konsep yang dikemukakan Iser (1987: ix-xii; 54) adalah terdapat
hubungan dialektis antara teks, pembaca, dan interaksinya. Iser menyebutnya
sebagai respon estetik sebab walaupun pusat perhatiannya sekitar teks, tetapi
mengarahkan persepsi dan imajinasi pembaca dalam rangka melakukan
penyesuaian dan bahkan membedakan fokusnya. Teori ini melihat bahwa karya
sastra sebagai suatu yang diformukasikan kembali dari sesuatu yang telah
diformukasikan dalam realita. Karya sastra ini melahirkan sesuatu yang tidak
ada sebelumnya. Konsekuansinya, teori respon estetik dihadapkan pada
permasalahan bagaimana suatu situasi yang tidak diformukasikan dapat
diproses dan dipahami. Asumsi dasar dari teori ini adalah teks hanya bisa hadir
saat dibaca dan perlu pengujian atas teks tersebut melalui pembaca.
Konsep dialektika respon estetik (Iser, 1987: 20 dan 54), interaksinya
dapat dicermati melalui pengertian implied reder, literary repertoire, dan
literary strategies Implied reader merupakan model, rol, dan standpoint yang
membuat pembaca sebagai real reader menyusun makna teksnya. Repertoire
merupakan seperangkat norma sosial, historis, dan budaya yang dipakai untuk
membaca yang dihadirkan oleh teks dan merupakan semua wilayah familiar
dalam teks berupa acuan kepada karya-karya yang ada lebih dahulu. Strategi
digunakan untuk defamiliarisasi dan untuk mengkomunikasikan teks dengan
47
54. pembacanya tanpa mendeterminasikannya. Melalui strategi ini disajikan
primary code kepada pembaca dan membuat pembaca mengaturnya sendiri
sehingga lahir makna yang bervariasi.
Masing-masing toeri di atas (Jauss dan Iser) mengarahkan praktik
metodisnya. Pandangan Jauss dengan tujuh tesisnya memetakan analisis pada
aspek estetik dan historisnya. Ketujuh tesis tersebut merupakan pemodelan
yang mengarah tuntutan metodisnya. Adapun pandangan Iser yang menyatakan
bahwa terdapat interaksi antara teks dan pembaca dalam proses pembacaan.
Teks hanya bisa hadir saat dibaca dan perlu pengujian atas teks tersebut
melalui pembaca. Deskripsi tentang teks tidak lebih dari pengalaman pembaca
yang terbudaya. Dengan demikian, langkah-langkah yang perlu diikuti
sehubungan dengan pernyataan di atas adalah dengan jalan langkah (1)
menandai adanya kualitas yang khusus atas teks sastra yang mencirikan adanya
perbedaan dengan teks lainnya dan (2) memerikan dan meneliti unsur-unsur
dasar penyebab tanggapan terhadap karya sastra.
3.4.2.4 Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif (Abrams, 1978: 26-29) memusatkan perhatian
semata-mata pada unsur-unsur, antarhubungan, dan totalitas. Pendekatan ini
mengarah pada analisis intrinsik. Konsekuensi logis yang ditimbulkan adalah
mengabaikan bahkan menolak segala unsur ekstrinsik, seperti aspekhistoris,
sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural lainnya, termasuk biografi.
Oleh karena itulah, pendekatan objektif juga disebut analisis otonomi.
48
55. Pemahaman dipusatkan pada analisis terhadap unsur-unsur dengan
mempertimbangkan keterjalinan antarunsur di satu pihak dan unsur-unsur
dengan totalitas di pihak lain.
Konsep dasar pendekatan ini (Hawkes dalam Pradopo, 2002: 21) adalah
karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri dari bermacam-macam
unsur pembentuk struktur. Antara unsur-unsur pembentuknya ada jalinan erat
(koherensi). Tiap unsur tidak mempunyai makna dengan sendirinya melainkan
maknanya ditentukan oleh hubungan dengan unsur-unsur lain yang terlibat
dalam sebuah situasi. Makna unsur-unsur karya sasatra itu hanya dapat
dipahami sepenuhnya atas dasar tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan
karya sastra.
Secara metodologis, pendekatan ini bertujuan melihat karya sastra
sebagai sebuah sistem dan nilai yang diberikan kepada sistem itu amat
bergantung kepada nilai komponen-komponen yang ikut terlibat di dalamnya.
Analisis karya sastra melalui pendekatan ini tergantung pada jenis sastranya.
Analisis sajak berbeda dengan analisis prosa. Analisis yang digunakan terhadap
saja misalnya penelusuran lapis norma, mulai dari lapir bunyi sampai ke lapis
metafisik. Teknik analisisnya pun bisa diarahkan pada pembacaan heuristik
sampai ke tingkat pembacaan hermeneutik. Adapun terhadap prosa, sesuai
dengan sifat fiksi yang merupakan struktur cerita, analisisnya diarahkan pada
struktur ceritanya. Struktur yang dimaksud dijajaki melalui unsur-unsur
pembentuknya berupa: tema, fakta cerita (tokoh, alur, dan latar), dan sarana
cerita (pusat pengisahan, konflik, gaya bahasa, dll.).
49
56. Pada analisis prosa, tema dan fakta-fakta cerita dipadukan menjadi satu
oleh sarana sastra. Di dalam analisisnya, unsur-unsur tersebut ditelusuri dan
dikemukakan hubungan dan fungsi tiap-tiap unsur. Tema berjalin erat dengan
fakta-fakta dan berhubungan erat dengan sarana sastra.
50
57. BAB IV
STRUKTURALISME
4.1 Prinsip-prinsip Antarhubungan
Strukturalisme adalah sebuah paham atau kepercayaan bahwa segala
sesuatu yang ada di dunia ini mempunyai struktur (Pieget, 1995: 4-12; Hawkes,
1978: 17-18; dan Faruk: 1994: 17-18; Faruk, 1999: 1-9; dan Teeuw, 1984: 120-
139). Sesuatu dikatakan mempunyai struktur apabila ia membentuk suatu
kesatuan yang utuh, bukan merupakan jumlah dari bagian-bagian semata.
Hubungan antarbagian di dalam struktur tidak bersifat kuantitatif, melainkan
kualitatif. Artinya, apabila suatu bagian dihilangkan, keutuhan sesuatu itu tidak
sekedar berkurang, melainkan rusak sama sekali.
Selain itu, strukturalisme juga percaya bahwa suatu struktur
mempunyai daya transformasi dan regulasi diri. Semua dikatakan berstruktur
apabila ia dapat melakukan perubahan, tanpa harus kehilangan keutuhan
dirinya, fungsi utama yang menjadi tujuan atau pusat strukturasinya. Sesuatu
dikatakan berstruktur apabila ia mempunyai kemampuan untuk mengatakan
kemungkinan gangguan dan pengaruh dari luar dengan caranya sendiri.
Keseluruhan pengertian tersebut menunjukkan bahwa bagi
strukturalisme segala sesuatu di dalam dunia membangun dunianya sendiri,
mekanisme sendiri, untuk menjalankan fungsi-fungsinya sendiri, terlepas dari
51
58. berbagai kemungkinan pengaruh dari luar. Sesuatu dipahami sebagai kekuatan
yang mampu membangun, mengembangkan, dan mempertahankan dirinya
sendiri dengan caranya sendiri pula. Dengan kata lain, strukturalisme
cenderung memahami segala sesuatu sebagai sebuah sistem tertutup, otonom.
Karena itu, strukturalisme dalam ilmu sastra akan memperlakukan karya sastra
atau kesastraan sebagai sesuatu yang mandiri pula, sesuatu yang berstruktur,
sesuatu yang utuh, transformatif, dan self-regulatif. Aliran Kritik Baru di
Amerika, Formalisme di Rusia, percaya bahwa teks sastra dapat dipahami dan
dijelaskan berdasarkan bukti-bukti yang terdapat di dalam teks itu sendiri.
Strukturalisme percaya bahwa sastra dapat dipahami dan dijelaskan atas dasar
sistm sastra sendiri yang membentuk semacam kaidah-kaidah bagi penciptaan
karya sastra.
Dalam strukturalisme konsep fungsi memegang peranan penting.
Artinya, unsur-unsur sebagai ciri khas teori tersebut dapat berperan secara
maksimal semata-mata dengan adanya fungsi, yaitu dalam rangka
menunjukkan antarhubungan unsur-unsur yang terlibat. Unsur tidak memiliki
arti dalam dirinya sendiri. Unsur dapat dipahami semata-mata dalam proses
antarhubungannya. Makna total setiap entitas dapat dipahami hanya dalam
integritasnya terhadap totalitasnya. Sebagai kualitas totalitas, antarhubungan
merupakan energi, motivator terjadinya gejala baru, mekanisme yang baru.
Tanpa antarhubungan sesungguhnya unsur tidak berarti. Mekanisme
antarhubungan tersebut dianggap sebagai pergeseran yang signifikan dan
fundamental, yaitu dari struktur yang otonom ke arah relevansi fungsi karya
52
59. sebagai sistem komunikasi. Karya dengan demikian tidak dipahami melalui
ergon yang terisolasi melainkan selalu dalam kaitannya dengan perubahan
realita sosial. Karya tidak dapat diisolasi. Karya harus dikondisikan sebagai
fakta kemanusiaan sehingga memungkinkan untuk mengoperasikan secara
maksimal berbagai saluran komunikasi yang terkandung di dalamnya.
Relevansi prinsip-prinsip antarhubungan dalam analisis karya sastra, di
satu pihak mengarahkan peneliti agar secara terus menerus memperhatikan
setiap unsur sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan unsur-unsur yang lain.
Di pihak lain, antarhubunganlah yang menyebabkan sebuah karya sastra, suatu
masyarakat, dan gejala apa saja memiliki arti yang sesungguhnya.
Kesalahpahaman mengenai fungsi-fungsi antarhubungan menyebabkan peneliti
hanya meneliti salah satu unsur tertentu yang pada gilirannya berarti
memperkosa hakikat suatu totalitas. Analisis terhadap penokohan, misalnya,
tidak mungkin dilakukan secara terpisah dari unsur-unsur yang lain. Dengan
kata lain, penokohan tidak dapat dipahami tanpa menghubungkannya dengan
unsur-unsur yang lain, seperti kejadian, latar, plot, dan sebagainya.
Sejalan dengan uraian di atas, prinsip antarhubungan secara esensial
dipertahankan pada setiap teori dibawah naungan strukturalisme. Namun
demikian, perubahan menuju pada perkembangan teoretik telah terjadi yang
sekaligus mengarahkan pembahasan metodologis secara berbeda pula.
53
60. 4.2 Teori Formalisme
Tujuan pokok formalisme (bandingkan Teeuw, 1985: 128-13; Ratna:
2004: 80-87) adalah studi ilmiah tentang sastra dengan cara meneliti unsur-
unsur kesastraan, puitika, asosiasi, oposisi, dan sebagainya. Metode yang
digunakan metode formal. Metode formal menjalankan fungsinya dengan cara
merekonstruksi teks melalui pemaksimalan konsep fungsi. Dengan jalan
demikian, teks menjadi suatu kesatuan yang terorganisasikan. Prinsip dan
sarana inilah yang mengarahkannya pada konsep sistem dan akhirnya ke
konsep struktur.
Sebagai teori modern mengenai sastra, secara historis kelahiran
formalisme dipicu oleh paling sedikit tiga faktor, yaitu:
1. formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigma
positivisme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip
kausalitas; reaksi terhadap studi biografis
2. kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora di mana terjadinya
pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis
3. penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan
perhatian terhadap hubungan karya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan
psikologi.
Usaha maksimal kelompok formalis dalam rangka menemukan hakikat
karya sastra dengan cara mengeksploitasi sarana bahasa telah mencapai
klimaknya. Meskipun demikian, penemuannya mengarahkan pada
paradigma baru bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara terisolir
54
61. semata-mata melalui akumulasi perangkat-perangkat intrinsiknya, tetapi
juga harus melibatkan keseluruhan faktor yang membentuknya.
Pergeseran perhatian dari masalah-masalah teknis, khususnya
sebagaimana digemari oleh kelompok formalisme awal ke arah
pemahaman sastra secara lebih luas, melahirkan strukturalisme.
4.3 Teori Strukturalisme Dinamik
Scholes (dalam Ratna, 2004: 89) menjelaskan keberadaan
strukturalisme menjadi tiga tahap, yaitu (1) sebagai pergeseran paradigma
berpikir, (2) sebagai metode, dan (3) sebagai teori. Lahirnya strukturalisme
dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme sebagaimana
yang dianggap sebagai perkembangan formalisme.
Strukturalisme dinamika (lihat Teeuw, 1985: 185-192; Muhadjir, 2002:
304); Pradopo 2002: 46; dan Ratna, 2003: 88-96;) mencermati bahwa
strukturalisme dinamik dimaksudkan sebagai penyempurnaan strukturalisme
yang semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsik yang
dengan sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme
dinamik mula-mula dikemukakan oleh Mukarovsky dan Felik Vodicka.
Menurutnya, karya sastra adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas
tanda, struktur, dan nilai-nilai. Karya seni adalah petanda yang memperoleh
makna dalam kesadaran pembaca. Oleh karena itulah, karya seni harus
dikembalikan pada kompetensi penulis, masyarakat yang menghasilkannya,
dan pembaca sebagai penerima.
55
62. Perbedaan unsur-unsur karya sastra untuk jenis yang berbeda-beda
terjadi akibat proses resepsi pembaca. Setiap penilaian akan memberikan hasil
yang berbeda. Unsur-unsur yang terdapat pada ketiga jenis sastra (prosa, puisi,
dan drama) akan membutuhkan pemusatan analisis yang berbeda pula. Unsur-
unsur prosa, misalnya mengarah pada tema, peristiwa atau kejadian, latar atau
setting, penokohan, alur, sudut pandang, dan gaya bahasa. Unsur-unsur puisi,
di antaranya tema, stilistika, imajinasi, ritme atau irama, rima atau persajakan,
diksi atau pilihan kata, simbol, nada, dan enjambemen. Unsur-unsur (teks)
drama di antaranya tema, dialog, peristiwa, latar, penokohan, alur, dan gaya
bahasa.
Atas dasar hakikat otonom karya sastra, maka tidak ada aturan yang
baku terhadap suatu kegiatan analisis. Artinya, unsur-unsur yang dibicarakan
tergantung dari dominasi unsur-unsur karya di satu pihak, tujuan analisis di lain
pihak. Dalam analisis akan selalu terjadi tarik menarik antara struktur global,
yaitu totalitas karya itu sendiri dengan unsur-unsur yang diadopsi ke dalam
wilayah penelitian. Kondisi tersebut menunjukkan dinamika karya sastra
sebagai totalitas sebab proses adopsi mengandaikan terjadinya ciri-ciri
transformasi dan regulasi diri sehingga terjadi keseimbangan antara struktur
global dengan unsur-unsur yang dianalisis.
Karya sastra tidak mungkin dan tidak perlu dianalisis secara
menyeluruh sebab struktur global bersifat tidak terbatas. Akan tetapi analisis
tidak dapat dilepaskan dari kerangka sosial kultural yang menghasilkannya.
Prosa, puisi, dan drama dan sastra jenis klasiknya tidak semata-mata dianalisis
56
63. sebagai teks tetapi juga dimungkinkan dalam kaitannya dengan pementasan
langsung sebagai performing art. Dalam hubungan ini, analisis struktur akan
melibatkan paling sedikit tiga komponen utama, yaitu pencerita, karya sastra,
dan pendengar. Metodologi penelitian pun menjadi bertambah kompleks, tidak
bertambah dalam penelitian pustaka, melainkan harus dilengkapi dengan
penelitian lapangan yang dengan sendirinya juga melibatkan instrumen
penelitian lapangan.
Dengan demikian strukturalisme dinamik adalah pendekatan atas karya
sastra dengan menerapkan kerja strukturalisme atas dasar konsep semiotik.
Analisis struktural murni mengasingkan karya sastra dari kerangka
kesejarahan dan relevansi eksistensialnya. Strukturalisme dinamik yang
dikembangkan Ian Mukarovsky dan Felix Vodicka mencoba memahami karya
sastra berdasarkan kesadaran bahwa karya sastra sebagagi struktur pada
hakikatnya memiliki ciri khas yaitu sebagai tanda (sign). Tanda baru mendapat
makna sepenuhnya bila sudah melalui tanggapan pembaca. Dengan demikian
ada pengaruh timbal balik antara tanda dan pembacanya. Pembaca dalam
memberi makna terikat pada konvensi tanda, tidak semau-maunya. Jadi,
dengan kerangka semiotik itu dapat diproduksi makna dalam karya sastra yang
merupakan struktur sistem tanda-tanda itu.
57
64. 4.4 Semiotik
Secara padat Dolezel, Stout (dalam Makaryk, 1993: 183-189), dan
ratna (2004: 96-120) menjelaskan pendekatan semiotik dimulai dari
pengertian, latar belakang sejarah pertumbuhannya, aliran semiotik, dan
hubungan semitoik dengan pendekatan lainnya. Menurutnya, strukturalisme
berhubungan erat atau bahkan tidak terpisahkan dengan semiotik sebagai
sarana untuk memahami karya sastra, untuk menangkap makna unsur-unsur
struktur karya sastra dalam jalinan dengan keseluruhan karya yang harus
memperhatikan sistem tanpa yang dipergunakan dalam karya sastra. Karya
sastra itu merupakan struktur sistem tanda-tanda yang bermakna.
Dalam lapangan semiotik, pengertian tanda ada dua prinsip, yaitu (1)
penanda (signifier) atau yang menandai, yang merupakan bentuk tanda, dan (2)
pertanda (signified) atau yang ditanda yang merupakan arti tanda. Ada tiga
jenis tanda yang pokok, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon dan indeks
merupakan tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah, yaitu
persamaan dan sebab akibat, antara penanda dan petanda. Simbol adalah tanda
yang tidak menunjukkan adanya hubungan almiah antara keduanya,
hubungannya bersifat arbitrer berdasarkan konvensi masyarakat. Sebuah sistem
tanda yang utama yang menggunakan simbol adalah bahasa. Arti simbol
ditentukan oleh konvensi masyarakat.
Bahasa merupakan sistem ketandaan tingkat pertama. Dalam sistem
ketandaan tingkat pertama ini ditingkatkan menjadi sistem ketandaan tingkat
kedua. Arti bahasa tingkat pertama disebut arti (meaning), arti bahasa dalam
58
65. sastra sebagai sistem tanda tingkat kedua biasa disebut makna (significance)
yang merupakan arti dari arti (meaning of meaning). Dalam kaya sastra, arti
bahasa ditentukan oleh konvensi sastra di samping konvensi bahasa sendiri.
Oleh karena itu yang dimaksud makna (bahasa) sastra itu bukan semata-mata
arti bahasanya. Jadi, yang dimaksud makna karya sastra itu meliputi arti
bahasa, suasana, perasaan, intensitas, arti tambahan (konotasi), daya liris, dan
segala pengertian tanda-tanda yang ditimbulkan oleh konvensi sastra.
Menurut Pradopo (2002: 272) studi sastra bersifat semiotik itu adalah
usaha untuk menganalisis karya sastra sebagai suatu sistem tanda-tanda dan
menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra
mempunyai makna-makna. Dengan melihat variasi-variasi di dalam struktur
karya sastra atau hubungan-dalam (internal relation) antarunsurnya akan
dihasilkan bermacam-macam makna. Bahasa sebagai sistem semiotik tingkat
pertama diorganisasikan sesuai dengan konvensi-konvensi tambahan yang
memberikan makna dan efek-efek lain dari arti yang diberikan oleh
penggunaan bahasa biasa. Oleh karena memberi makna karya itu dengan jalan
mencari tanda-tanda yang memungkinkan timbulnya makna sastra, maka
menganalisis karya sastra itu adalah memburu tanda-tanda.
Dalam sistem semiotik, menghubungkan teks sastra dengan hal-hal di
luar dirinya itu dimungkinkan, sesuai dengan tanda bahasa yang bermakna,
yang pemakaiannya tidak lepas dari konvensi dan hal-hal di luar strukturnya.
Berhubungan dengan hal ini, dalam metode sastra semiotik dikenal metode
hubungan intertekstual untuk memberi makna lebih penuh kepada sebuah
59
66. karya sastra daripada jika karya sastra hanya dianalisis secara struktural murni.
Prinsip hubungan antarteks ini disebabkan oleh kenyataan bahwa karya sastra
itu tidak lahir dalam kekosongan budaya, termasuk sastra. Sebuah karya sastra
merupakan aktualisasi atau realisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau
kode sastra dan budaya. Menurut pandangan intertektualitas, sebuah karya
sastra merupakan jawaban terhadap karya sastra yang lain yang lahir
sebelumnya, baik berupa penerusan konvensi sastranya maupun penentangan
konvensi ataupun konsep estetik, atau yang lain. Untuk memberikan makna
atau konkretisasi sebuah karya sastra, prinsip intertekstualitas ituperlu
diterapkan, yaitu dengan jalan membandingkan sistem tanda dalam
hipogramnya dengan sistem tanda karya sastra yang menanggapi dan
mentransformasikannya. Sistem tanda tersebut berupa konvensi-konvensi
tambahan dalam sastra, yaitu tanda-tanda dalam karya sastra yang
memungkinkan diproduksinya makna karya sastra.
Sejalan dengan paham triadik peircean, diketahui bahwa konsep-konsep
triadik tersebut bersifat dinamisme internal. Dilihat dari segi cara kerjanya,
terdapat (1) sintaksis semiotika, yaitu studi dengan memberikan intensitas
hubungan tanda dengan tanda-tanda yang lain, (2) semantik semiotik, studi
dengan memberikan perhatian pada hubungan tanda dan acuannya, dan (3)
pragmatik semiotik, studi dengan memberikan perhatian pada hubungan natara
pengirim dan penerima. Dilihat dari faktor yang menentukan adanya tanda,
maka tanda dibedakan sebagai berikut:
60