1. LAMPUNG
Meracik Jamkesta
di Tanah Kopi
WHA ke-65
Hasilkan 21 Resolusi
dan 3 Keputusan
MEDIAKOM
Kementerian Kesehatan RI Info Sehat untuk Semua
ISSN1978-3523
EDISI36IJUNII2012
“BOK dan Banjar nganak”
di Lombok Tengah
3. ETALASE
SUSUNAN REDAKSI PENANGGUNG JAWAB: drg. Murti Utami, MPH, I REDAKTUR:
Dra. Hikmandari A, M.Ed, Dyah Yuniar Setiawati, SKM, MPS I EDITOR/PENYUNTING Mulyadi,
SKM, M.Kes, Busroni S.IP, Prawito, SKM, MM, M.Rijadi, SKM, MSc.PH, Mety Setyowati, SKM, Aji
Muhawarman, ST, Resti Kiantini, SKM, M.Kes I DESAIN GRAFIS dan FOTOGRAFER: Drg. Anitasari
S.M, Dewi Indah Sari, SE, MM, Giri Inayah, S.Sos, Sumardiono, SE, Sri Wahyuni, S.Sos, MM, Wayang
MasJendra,S.Sn,Lu’ay,S.Sos,DodiSukmana,S.I.KomISEKRETARIAT:WaspodoPurwanto,Endang
Retnowaty, drg. Ria Purwanti, M.Kes, Dwi Handriyani, S.Sos, Dessyana Fa’as, SE, Sekar Indrawati,
S.Sos, Awallokita Mayangsari, SKM, Delta Fitriana, SE, Iriyadi, Zahrudin. IALAMAT REDAKSI: Pusat
Komunikasi Publik, Gedung Kementerian Kesehatan RI Blok A, Ruang 109, JL. HR. Rasuna Said
Blok X5 Kav. 4-9 Jakarta 12950 I TELEPON: 021-5201590; 021-52907416-9 I FAKS: 021-5223002;
021-52960661 I EMAIL: info@depkes.go.id, kontak@depkes.go.id I CALL CENTER: 021-500567
REDAKSI MENERIMA NASKAH DARI PEMBACA, DAPAT DIKIRIM KE ALAMAT EMAIL kontak@depkes.go.id
Kejar Target
MDG’s 2015
drg. Murti Utami, MPH
P
elayanan kesehatan di tingkat lapangan,
ternyata masih banyak kendala, seperti
ketersediaan fasilitas, SDM dan anggaran.
Sementera daerah mempunyai APBD yang
berbeda-beda dan terbatas pula. Tidak sedikit
yang hanya cukup untuk membiayai operasional
pegawai. Padahal, pelayanan kesehatan, khususnya
puskesmas, sebagai garda terdepan dalam pelayanan
kesehatan, yang menjadi fokus pemerintah daerah,
teruma dukungan dana, masih terabaikan.
Guna mendukung puskesmas memiliki kinerja yang
bagus, untuk mencapai target MDG’s 2015, maka harus
ada upaya ekstra, khususnya dalam penyediaan biaya
yang mendukung operasional puskesmas. Upaya ekstra
tersebut, tahun 2012 pemerintah (Kemenkes) telah
mengalokasikan dana bantuan operasional kesehatan
( BOK) masing-masing puskesmas sebesar Rp 75 juta
untuk wilayah Sumatera, Jawa dan Bali. Sementara,
wilayah Kalimantan dan Sulawesi Rp 100 juta. Maluku
Rp 200 juta, NTT dan Papua Rp 250 juta. BOK, diharapkan
mampu mendorong revitalisasi kinerja puskesmas secara
optimal.
Bagaimanakah implementasi BOK dan manfaat yang
dirasakan masyarakat, kami ketengahkan di rubrik media
utama.
Selain itu, redaksi juga mengetengahkan sebagian kesan-
kesan Bu Endang Rahayu Sedyaningsih selama mengabdi
dua setengah tahun menjadi Menkes dan selamat datang
Bu Nafsiah Mbo’i sebagai Menkes baru dalam rubrik
Stoppres. Tak ketinggalan kami suguhkan pula rubrik
ragam, untuk rakyat dan rubrik lainnya yang mengangkat
tema menarik untuk pembaca.
Pada kesempatan ini, mewakili seluruh awak redaksi,
yang banyak salah dan khilaf, dibulan yang Fitri ini, kami
mengucapkan mohon maaf lahir dan batin, Selamat Hari
Raya Idul Fitri 1433 H. Redaksi.
LAMPUNG
Meracik Jamkesta
di Tanah Kopi
WHA ke-65
Hasilkan 21 Resolusi
dan 3 Keputusan
MEDIAKOM
Kementerian Kesehatan RI Info Sehat untuk Semua
ISSN1978-3523
EDISI36IJUNII2012
“BOK dan Banjar nganak”
di Lombok Tengah
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM 3
4. 18
67SIapa Dia
Artika Sari Devi
Hypnosis
Buah Hati
Ragam
WHA ke-65
34
PERTANYAAN:
Saya dokter PTT di pedalaman di sebuah provinsi di
Indonesia bagianTimur. Saya ingin komplain mengenai gaji
kami yang selalu terlambat. Gaji bulan April 2012 sampai
hari ini akhir Mei 2012 belum diterima. Kami para dokter PTT
dituntut bekerja profesional di daerah namun minim fasilitas.
Hak kami kadang diabaikan. Mohon penjelasan.
Dokter PTT di Pedalam, Indonesia baginTimur
JAWAB:
Pembayaran gaji dokter PTT berdasarkan surat pengusulan
pembayaran gaji dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
setempat. Pengusulan pembayaran dari Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota untuk 3 bulan mendatang, paling lambat
diusulkan pada tanggal 2 awal bulan untuk 3 bulan
mendatang. Misalkan untuk gaji bulan Juli, Agustus dan
September 2012 harus sudah diusulkan oleh Dinas Kesehatan
setempat ke Kementerian Kesehatan paling lambat tanggal
2 Juli 2012.
Sehubungan dengan keterlambatan usulan pembayaran
gaji dari Dinas Kesehatan yang diterima di Kementerian
Kesehatan pada bulan Juni ini, maka pembayaran gaji bulan
Juni 2012 yang akan dibayarkan terlebih dahulu. Kemudian
gaji bulan April 2012 dan Mei 2012 akan dirapelkan.
Agar pembayaran gaji dapat tepat waktu, Anda dapat
menghubungi dan meminta informasi ke Dinas Kesehatan
setempat sehingga pengusulan pembayaran mengikuti
mekanisme seperti di atas. Apabila membutuhkan informasi
lebih lanjut Anda dapat menghubungi PusatTanggap dan
Respon Cepat (PTRC) Kementerian Kesehatan pada nomor:
(kode lokal) 500567.
PERTANYAAN:
Kami bidan PTT di sebuah Kabupaten di JawaTimur. Kami
mau menanyakan kenapa pada tahun 2011 klaim jampersal
hanya cair Rp 142.000/pasien di Kabupaten kami. Sementara
yang kami ketahui dari Kementerian Kesehatan sebesar Rp
350.000,-. Mohon penjelasan.
Bidan PTT, di sebuah Kabupaten JawaTimur
JAWAB:
Kementerian Kesehatan telah mengirimkan biaya Jampersal
tahun 2011 kepada Dinas Kesehatan setempat sesuai aturan
yang ada.Tarif Jampersal ditetapkan oleh Kementerian
Kesehatan. Namun dana Jampersal yang diterima di Dinas
Kesehatan akan mengikuti mekanisme keuangan daerah di
Pemerintah Daerah setempat sebagai Pendapatan Daerah
(APBD). Sehingga pembagian atau pencairan dana Jampersal
mengikuti mekanisme anggaran di Pemerintah Kabupaten
setempat. Untuk informasi lebih lanjut dapat ditanyakan
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
SURAT
PEMBACA
Nusa Tenggara Barat
“Teras Belakang”
Indonesia
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM4
5. INFO SEHAT
Manfaat Puasa
untuk Kesehatan Tubuh
Dengan Tertawa
Kita Lebih Sehat
Kebiasaan Sehat
Agar Tak Diserang Migrain
Kurangi Berat Badan
Dengan Ngemil Kismis
STOP PRESS
Kemenkes Hadiri Peringatan
Hari Lupus Sedunia Tahun 2012
Dr.Nafsiah Mboi , Sp.A.MPH Menkes
2012-2014
Why me?
Budaya Caring Perawat Indonesia
Kemenkes Bersama Tim Gabungan
Siapkan Evakuasi Korban Sukhoi
Superjet-100
Sinkronisasi
Pembangunan Kesehatan
Provinsi SumBar 2012
Stop Bab Sembarangan
Kota Sawahlunto
Peran Aktif dan Semangat
Kemitraan Semua Pihak adalah
Kunci Menuju Indonesia Bebas TB
MEDIA UTAMA
“BOK dan Banjar nganak”
di Lombok Tengah
Dr.dr. Slamet Riyadi Yuwono,
DTM&H, MARS: Kebijakan Biaya
Operasional Kesehatan
dr. Moch. Ismail: BOK harus
“ Ekstra hati-hati”
Kisah Kader Posyandu: Hj. Marlina
Tanpa Taburia, Anak mogok makan
Terima Kasih BOK
Kemenkes siap turunkan
AKI dan AKB di NTB
Sinergikan Pembangunan
Kesehatan di NTB
6-8
6-17
18-31
32-43
44-45
46-49
50-63
64-66
68-69
70-71
RAGAM
Catatan Perjalanan
Seorang Peneliti Kesehatan
JAMU: Sukma Indonesia,
bukan sekedar herbal
Thalassaemia:
Tidak Bisa Sembuh,
Tapi Bisa Dicegah
KOLOM
Sehat
Tanggung Jawab Individu
UNTUK RAKYAT
BPJS Kesehatan
Bravo PP Asi Eksklusif
DAERAH
LAMPUNG:
Meracik Jamkesta
di Tanah KopI.
Lampung dalam Angka
Menebar Harum
Aroma Jamkesta
Melengkapi Wajah
Malaria Di Sumatra
Menanti Kelahiran
bersama Dukun dan Bidan
POTRET
BPJS Kesehatan
Wamenkes: Orang miskin sakit,
dilarang bayar
RESENSI
LENTERA
Mengeluhlah,
Lalu Bangkitlah...
Antara Bu Endang
dan Sukhoi
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM 5
6. INFO SEHAT
Manfaat-Manfaat
PUASAUntuk Kesehatan Tubuh
P
uasa yang kita kenal adalah puasa pada bulan
Ramadhan. Di luar itu, sebenarnya banyak jenis puasa
lain, seperti puasa senin-kamis, puasa nabi daud, dan
lainnya. Bahkan, agama lain juga memiliki kegiatan
seputar puasa. Ternyata, jika melihat dari sisi sains,
puasa memiliki banyak manfaat untuk kesehatan tubuh kita.
Berikut beberapa manfaat puasa bagi tubuh kita saat berpuasa.
1. Menurunkan berat badan.
Anda bisa menurunkan berat badan dengan diet. Namun, lebih
baik lakukan dengan puasa. Sebab, dengan berpuasa jadwal
makan dan minum, akan teratur dengan baik. Puasa juga
mampu membuat kita makan dengan berlebihan, dan tidak
juga menyiksa tubuh anda. Tetapi Anda juga harus berhati-hati,
proses menurunkan berat badan saat berpuasa sulit terjadi jika
saat berbuka Anda lebih banyak mengonsumsi makanan tinggi
gula dan kalori dibandingkan sayuran dan buah.
2. Menghilangkan racun dalam tubuh.
Kondisi lambung kosong saat anda Berpuasa, membantu
detoksifikasi (pembuangan racun di dalam tubuh). Dan
kemudian proses detoksifikasi menjadi optimal pada saat
seseorang berbuka puasa pada sore hari. Berpuasa juga
membantu tubuh menyerap nutrisi di dalam tubuh jadi lebih
efektif. Nutrisi di dalam makanan terserap sempurna sehingga
meminimalisasi penumpukan makanan yang membusuk di
tubuh.
3. Menghilangkan/meredakan nyeri pada persendian.
Siapa sangka, puasa juga bisa menjadi obat untuk meredakan
penyakit yang satu ini. Bagi orang yang menderita arthritis
atau radang sendi. Sebuah penelitian menunjukkan adanya
hubungan antara membaiknya radang sendi dan peningkatan
kemampuan sel netrofil dalam membasmi bakteri. Netrofil, atau
sel penetral merupakan unsur yang mampu menetralkan racun
maupun bakteri penyebab radang sendi.
4. Mengurangi konsumsi cairan yang berlebihan
Mengurangi konsumsi air selama puasa, bisa membantu
mengatasi akumulasi cairan yang berlebihan pada tubuh. Proses
‘pengeringan’ini akan mengatasi pembengkakan pada perut,
kaki dan lutut yang sering dialami saat seseorang mengalami
menstruasi.
5. Mengatasi tekanan darah tinggi
Tak perlu berobat secara medis untuk mengatasi tekanan
darah tinggi. Saat berpuasa, otomatis kita akan lebih sedikit
mengonsumsi makanan terutama yang mengandung lemak,
gula, dan kolesterol tinggi. Hal ini yang kemudian berdampak
pada penurunan kolesterol dan gula darah. Jika disertai dengan
diet makanan sehat saat sahur dan buka puasa, manfaatnya
akan didapatkan dengan lebih optimal.
6. Puasa sebagai waktu istirahat
Dengan berpuasa maka Anda secara tidak langsung telah
memberikan waktu bagi tubuh dan sistem pencernaan untuk
beristirahat. Dengan begitu beberapa organ pencernaan dalam
tubuh seperti kerongkongan, usus, lambung bisa bekerja lebih
baik saat Anda mulai mengkonsumsi makanan lagi ketika
bebuka puasa. n
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM6
7. Dengan Tertawa
Kita Lebih Sehat
M
eskipun sederhana, tertawa menjadi hal yang mulai banyak dilupakan
manusia, terutama ketika semakin dewasa. Tuntutan sekolah, ujian,
bekerja, target, dan stres di jalan membuat manusia dewasa semakin
sedikit tertawa. Padahal, tawa tidak hanya membuat hati senang, tetapi
juga bisa membuat kita lebih sehat. Di balik tertawa yang sederhana,
tersimpan banyak sekali rahasia yang bermanfaat di dalamnya.
Berbagai manfaat tertawa, dikutip dari DrStanley.com, antara lain:
- Anak-anak tertawa jauh lebih banyak daripada orang dewasa. Waktu masih kecil, kita
bisa tertawa 400 kali dalam sehari. Tapi, sejak masuk dunia sekolah, kemudian bekerja,
dan melakukan hal-hal‘dewasa’lainnya, kita hanya tertawa paling banyak 15 kali sehari.
- Perempuan bisa tertawa 126 persen lebih banyak daripada laki-laki.
- Sama seperti penyakit atau kantuk, dalam dunia tertawa juga dikenal istilah contagious
laughter atau tawa yang bisa menular. Kalau kita sedang menonton acara komedi, kita
bisa ikutan tertawa ketika mendengar penonton di televisi tertawa. Hal ini disebabkan
tawa adalah suatu bahasa yang universal, ekspresi emosi yang sulit untuk dipalsukan
atau ditutup-tutupi.
- Tertawa sekitar 100 kali memiliki manfaat yang sama dengan 15 menit dengan
bersepeda. Tertawa dengan kuat bisa meningkatkan denyut jantung, memperdalam
tingkat pernapasan, dan mengencangkan otot-otot diperut, wajah, dan diafragma.
- Selain bisa membuat suasana hati menjadi lebih bahagia, tertawa bisa mengurangi
stres, membantu melawan infeksi, dan mengurangi rasa sakit.
- Dua hormon penyebab stres, kortisol dan epinefrin yang menekan sistem kekebalan
tubuh, benar-benar akan turun setelah kita meluangkan waktu untuk tertawa selama
beberapa waktu.
- Tertawa menyebabkan perubahan positif
dalam kimia otak dengan melepaskan endorfin,
dan membawa lebih banyak oksigen ke dalam
tubuh dengan penarikan yang lebih dalam.
- Para peneliti menemukan setelah
menonton video komedi slapstick selama
satu jam,“sel pembunuh alami”yang bertugas
mencari dan menghancurkan sel-sel ganas,
seperti sel tumor lebih aktif menyerang
dalam tabung uji. Efek satu jam tertawa dapat
membuat sel penghancur ini bekerja selama
12 jam.
- Tahun 1998, film“Patch Adams”
menceritakan kisah nyata kehidupan dokter
yang melakukan eksperimen bermain dan
mengundang badut, ternyata penting
dalam meningkatkan kualitas hidup pasien
untuk suasana rumah sakit yang suram.
- Tingginya tingkat antibodi
(immunoglobulin A saliva) yang melawan
infeksi organisme memasuki saluran
pernapasan, ternyata ditemukan di air
liur orang yang menonton video lucu atau
dalam suasana hati yang menyenangkan. n
Migrain adalah penyakit umum bagi
banyak orang. Migrain adalah masalah
kesehatan umum yang dihadapi oleh
banyak orang kita. Agar tak diserang
migrain, ada beberapa kebiasaan sehat
yang harus dilakukan.
Berikut beberapa kebiasaan hidup sehat
yang dapat dilakukan untuk mencegah
timbulkan serangan migrain :
1. Makan tepat waktu
Melewatkan jadwal makan karena
alasan apapun dapat mempengaruhi
kesehatan dalam banyak cara. Jika
menderita migrain dan diet pada
saat yang sama, jangan melakukan
kesalahan dengan melewatkan jadwal
makan. Jika telat makan, lemak tubuh
yang ekstra akan hilang.
Hal ini akan berakhir dengan
peningkatkan kadar gula darah dan
pada akhirnya dapat menyebabkan
migrain. Selain itu, keasaman lambung
mempengaruhi otak dan menyebabkan
sakit kepala. Untuk menghindarinya,
makanlah tepat waktu dan teratur.
Jangan melewatkan jadwal makan atau
makan terlalu sedikit.
2. Olahraga
Tubuh yang sehat menghasilkan pikiran
yang sehat. Untuk tetap fit dan aktif,
harus berolahraga secara teratur. Hal ini
juga membantu menghindari serangan
migrain.
3. Tidur yang cukup
Terlalu banyak tidur atau kurang
tidur dapat mempengaruhi tubuh
Anda. Tidurlah yang cukup untuk
menghindari sakit kepala migrain.
Idealnya, orang dewasa sebaiknya tidur
selama 6-7 jam dan tidak lebih dari 9
jam sehari. Pertahankan jadwal tidur
untuk hasil yang lebih baik.
4. Berhenti merokok
Merokok dapat meningkatkan
serangan migrain. Nikotin tidak hanya
menyebabkan radang di tenggorokan
dan paru-paru, tetapi juga membuat
kecanduan. n
Kebiasaan Sehat
Agar Tak Diserang
Migrain
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM 7
8. INFO SEHAT
K
ismis diperkenalkan di Eropa oleh bangsa Mediterania pada abad ke-11 sebelum
masehi. Kismis adalah buah anggur yang dikeringkan. Bisa dimakan langsung atau
dicampurkan dalam kue dan masakan. Buah yang sering dipakai adalah anggur segar
yang hijau atau yang merah. Rasanya manis karena mengandung gula cukup tinggi.
Jika disimpan dalam waktu lama, gula dalam kismis akan membentuk kristal. Proses ini
yang menyebabkan tekstur kismis menjadi kasar dan agak kenyal.
Sebuah studi yang dilakukan oleh California Raisin Marketing Board, menghubungkan antara
berat badan dengan makan kismis. Ada 26 responden laki-laki dan perempuan yang berat
badannya normal. Rata-rata mereka berusia 8-11 tahun.
Penelitian dilakukan selama tiga bulan. Secara acak beberapa anak ditugaskan untuk makan
kismis dan sebagian anak diminta untuk makan camilan lainnya, seperti keripik kentang, kue
cokelat dan buah. Setiap anak juga diberikan menu sarapan yang sama. Nafsu makan responden
diukur secara subjektif, 15 menit sebelum dan setelah menikmati camilan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, asupan makanan setelah konsumsi kismis lebih rendah.
Mereka juga merasa jenuh saat disuruh makan. Dibandingakan dengan responden yang makan
camilan selain kismis justru nafsu makannya lebih besar. Kismis memberikan jumlah kalori lebih
sedikit dibandingkan makanan lainnya. Selain itu kismis juga memberikan rasa kenyang lebih
lama, sehingga responden yang diberi camilan kismis masih merasa kenyang saat menikmati
menu makannya.
Keripik kentang dan kue cokelat, mengandung kalori sebesar 70-108 persen lebih tinggi
dibandingkan dengan kismis. Jika kismis dijadikan camilan, setiap harinya jumlah kalori dalam
tubuh bisa terpotong sekitar 10-19 persen. Cukup mengemil kismis, berat badan bisa turun
cepat. Tidak perlu lagi lakukan diet ketat karena cara alami ini bisa membentuk tubuh ideal yang
diinginkan. n (Ditulis dari berbagai sumber)
Kurangi Berat badan
dengan ngemil Kismis
Buah kering yang
satu ini sangat
menyehatkan.
Rasanya manis,
renyah dan
bertekstur agak
kenyal. Makanan
ini berasal dari
buah anggur segar
yang di keringkan
dan bisa dimakan
langsung. Makan
kismis ternyata bisa
bikin perut cepat
kenyang.
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM8
9. STOP PRESS
Bandung, 5 Mei 2012
L
ebih dari 5 juta orang di seluruh dunia telah terdiagnosis
penyakit Lupus. Sebagian besar penderitanya ialah
perempuan di usia produktif yang ditemukan lebih
dari seratus ribu setiap tahunnya. Di Indonesia jumlah
penderita penyakit Lupus secara tepat belum diketahui
tetapi diperkirakan mencapai jumlah 1,5 juta orang.
Demikian sambutan Menkes RI yang diwakili oleh Kepala Badan
Litbang Kesehatan Kemenkes RI, dr. Dr. Trihono, Msc. pada
peringatan hari Lupus Sedunia yang diselenggarakan oleh
Syamsi Dhuha Foundation di Aula Kampus Timur ITB, Bandung.
Hadir pada Acara tersebut, Pengurus Syamsi Dhuha Foundation,
Perwakilan Dekan ITB, Skretaris Ditjen Binfar & Alkes, Direktur
Penyakit Tidak Menular dan Kepala Pusat Promosi Kesehatan,
Pengurus Syamsi Dhuha Foundation, Para Pemerhati Lupus,
dokter dan tenaga medis lainnya.
“Lupus merupakan penyakit autoimun kronis yang dapat
menyerang hampir seluruh organ atau sistem tubuh dan dapat
mengancam jiwa. Diagnosis penyakit ini sering terlambat
diketahui karena gejala yang timbul menyerupai berbagai gejala
penyakit sehingga dijuluki penyakit yang mempunyai seribu
wajah,”terang Ka. Badan Litbangkes.
Lebih lanjut Kepala Badan Litbangkes menyatakan, penting bagi
para tenaga dokter untuk dapat melakukan pelatihan untuk
dapat mendiagnosis penyakit Lupus karena menampakan gejala
yang berbeda - beda sehingga tidak mudah didiagnosa oleh
para doker. Sementara bagi masyarakat perlu upaya peningkatan
untuk menumbuhkan kesadaran dan pencegahan agar dapat
mengenal lebih dini gejala penyakit lupus sehingga dapat
memperoleh pengobatan yang tepat.
Kegiatan“Care for Lupus Syamsi Dhuha Foundation Awards”sangat
relevan dengan tema peringatan Hari Lupus Sedunia tahun ini
yaitu ’Never Give Up”, karena upaya yang dilakukan oleh para
penerima penghargaan bertujuan untuk meningkatkan kualitas
Kemenkes Hadiri Peringatan
Hari Lupus Sedunia Tahun 2012
hidup Orang Hidup Dengan Lupus (Odapus). Care for Lupus
Syamsi Dhuha foundation awards 2012 terdiri dari tiga kategori
yaitu: Research Sponsorship, Writing Competetition, dan Lifetime
Achievement
Pada kesempatan tersebut, Kepala Badan Litbangkes mendapat
kehormatan untuk menyerahkan penghargaan kepada pemenang
Lomba Research Sponsorship di Bindang Obat atau suplemen
yang terkait dengan pemakaian bahan alam yang tersedia di
Indonesia sebagai terapi suplemen dalam pengobatan dan atau
pengendalian penyakit lupus.
Pemenang pertama ialah Niken Indriyanti dari Fakultas
Farmasi Universitas Mulawarman, Kaltim dengan judul
penelitian: Pengaruh cocor bebek terhadap konsentrasi plasma
metilprednisolon dan pengembangan formulanya untuk terapi
penanganan Lupus; pemenang kedua ialah Wigit Kristianto
dari Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya
dengan judul penelitian uji efektifitas Jakalin biji nangka dalam
mengurangi jumlah limfosi B dan Gambaran Glomerunefritis
ginjal pada mencit BALB/ c dengan Lupus Like Syndrome yang
diinduksi pada pristan; sementara pemenang ketiga ialah
Muhammad Afifudin dari Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya, dengan judul penelitian potensi ketela rambat ssebagai
terap I nutrisi bagi pasien Lupus Eritematosisi Sistemik dengan
menignkatkan Foxp3 Sn menginhibisi IL-23R.
Berbagai penelitian terkait tanaman obat Indonesia yang
berpotensi sebagai suplemen terapi Lupus yang aman dan efektif,
harus terus dilakukan. Hal ini penting mengingat penderita
Lupus harus berobat seumur hidup, setidaknya upaya ini dapat
membantu mengendalikan penyakit Lupus, tegas dr. Trihono.
Pemberian penghargaan ini selain merupakan suatu terobosan
positif, juga diharapkan untuk mendorong berbagai pihak untuk
mengambil bagian dalam meningkatkan kualitas hidup para
Odapus serta meningkatkan kesadaran, kepedulian masyarakat
terhadap Lupus,”jelas Ka. Badan Litbangkes. n
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM 9
10. STOP PRESS
d
r. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH adalah dokter spesialis
anak yang juga ahli Kesehatan Masyarakat yang telah
mengenyam pendidikan di Indonesia, Eropa dan
Amerika. Beliau memiliki pengalaman karir panjang
sebagai Pegawai Negeri di Departemen Kesehatan
(1964-1998), sebagai anggota DPR (1992-1997), dan Pegawai
Perserikatan Bangsa-Bangsa (1999-2002) tepatnya sewaktu
menjabat sebagai Direktur Department of Gender and Women’s
Dr.Nafsiah Mboi , Sp.A.MPH
Menkes 2012-2014
Health pada World Health Organization (WHO) Pusat di Geneva,
Swiss.
dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH lahir di Sengkang, Sulawesi Selatan,
14 Juli 1940 adalah lulusan Spesialisasi Dokter Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, tahun 1971. Gelar Master of
Public Health diperoleh di Prince Leopold Institute of Tropical
Medicine, Antwerp, Belgium, tahun 1990. Beberapa penghargaan
yang pernah diperolehnya diantaranya Ramon Magsaysay
13 Juni 2012 pukul 11.15 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan
dr. Nafsiah Mboi, SpA, MPH sebagai Menteri Kesehatan 2012-2014 menggantikan
Almarhumah dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH.
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM10
11. Foundation Award for Government Service dari Ramon Magsaysay
Foundation, Manila, Philippines (1986), Satya Lencana Bhakti
Sosial dari Presiden Republik Indonesia (1989), Fellow of the
Australia-Indonesia Institute (1993), Penghargaan dari Asia HRD
Congress (2008) dan Penghargaan Soetomo Tjokronegoro yang
diberikan oleh PB-IDI (2009).
dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH menikah dengan Brigjen purn Dr.
Ben Mboi MPH, mantan Gubernur NTT dan dikaruniai 3 orang
putra-putri dan 5 orang cucu. Dr. Nafsiah memulai karirnya di
Departemen Kesehatan sejak tahun 1964. Beberapa jabatan yang
pernah diembannya selama menjadi karyawan Departemen
Kesehatan adalah sebagai Kepala Rumah Sakit Umum, Ende,
Flores (1964–1968), Kepala Seksi Perijinan pada Kantor Wilayah
Departemen Kesehatan Prop. NTT, Kupang (1979–1980), Kepala
Bidang Bimbingan dan Pengendalian Pelayanan Kesehatan
Masyarakat (BPPKM) pada Kantor Wilayah Departemen Kesehatan
Prop. NTT, Kupang (1980–1985).
Selain jabatan karir, Dr. Nafsiah pernah menjadi Anggota DPR/
MPR RI (1992–1997), Ketua Komite PBB untuk Hak-hak Anak
(1997–1999), Direktur Department of Gender and Women’s
Health, WHO, Geneva Switzerland (1999-2002) dan Sekretaris
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (2006–sekarang).
Lebih dari 70 karya dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris
telah dipublikasikan, 20 diantaranya adalah makalah dan artikel.
dr. Nafsiah dikenal sebagai sukarelawan dan pekerja masyarakat
sejak masih berstatus sebagai pelajar. Selain itu, beliau juga
dikenal sebagai aktivis bidang keluarga berencana dan
selanjutnya mendedikasikan diri untuk upaya penanggulangan
HIV dan AIDS di Indonesia. Komitmennya untuk anti diskriminasi
dan kesetaraan dalam masyarakat mengarahkan dr. Nafsiah
menjadi aktivis untuk hak-hak azasi manusia, dan menjadi salah
satu pendiri Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia,
anggota Komnas HAM, dan Wakil Ketua Komnas Perempuan.
Beliau telah terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang menitik
beratkan pada pemberdayaan perempuan, kesetaraan gender,
dan hak-hak anak, semua area tersebut dimulai saat memimpin
PKK, BK3S, dan organisasi lain, selama 10 tahun bekerja di Nusa
Tenggara Timur (1978-1988) saat suaminya menjabat sebagai
Gubernur.
Menkes baru silaturahmi dengan karyawan Kemenkes
Menteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH, datang ke
kantor Kementerian Kesehatan RI setelah dilantik Presiden RI,
DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono di Istana (14/6). Menkes yang
didampingi Wakil Menkes Prof. Ali Ghufron Mukti, MSc, PhD,
tiba di ruang J.Leimena pukul 14.28 WIB, dan disambut staf dan
jajaran Pejabat Eselon I dan II Kementerian Kesehatan yang telah
menunggu kehadirannya.
Pertemuan dimulai pukul 14.45 WIB. Acara dibuka Wakil Menkes
RI, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, disertai ucapan selamat datang.
Pada kesempatan ini, para Pejabat yang hadir satu per satu
memperkenalkan diri dan menjelaskan secara singkat mengenai
tugas pokok dan fungsi dari unit yang dipimpinnya. Selain
itu disebutkan, beberapa program prioritas Kemenkes RI dan
beberapa“pekerjaan rumah”yang harus segera diselesaikan.
Mengawali sesi perkenalannya, Menkes mengajak para hadirin
untuk berdiri guna berdoa bersama bagi Almarhumah Ibu Endang
Rahayu Sedyaningsih yang saat ini sudah berada di pangkuan-Nya,
serta mohon untuk kelancaran pelaksanaan tugas-tugas ke depan.
“Kita berdoa untuk Ibu Endang yang kita cintai, sekaligus kita
berdoa semoga kita yang melanjutkan karya dan ide-ide beliau
dapat diberi kelancaran, sehingga dengan tim yang kuat seperti
sekarang, kita bisa langsung hit the road, running”, kata Menkes.
Pada pertemuan tersebut, Menkes memutarkan slideshow
perkenalan. Dijelaskan makna empat lilin yang merupakan
empat tahap penting dalam hidupnya. Lilin pertama, adalah
saat beliau menyelesaikan pendidikan di bidang kedokteran;
lilin kedua merupakan saat dimana beliau menikah dan memiliki
berkeluarga; lilin ketiga adalah pengalaman berharga menjadi
international civil servant; dan lilin keempat adalah saat dimana
ditugaskan kembali di kesehatan masyarakat.
“Saya tidak menganggap bahwa saya pensiun dari Komisi
Penanggulangan AIDS (KPA), saya hanya mendapat tugas yang
lebih besar”, ujar Menkes.
Sebelum dilantik, Menkes Nafsiah menandatangani kontrak kerja
dihadapan Presiden RI, DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan
Wakil Presiden, Boediono. Kontrak kerja tersebut merupakan
kontrak kerja yang sama dengan yang ditandatangani
Almarhumah Ibu Endang Rahayu Sedyaningsih. Karena itu,
Menkes meminta kesediaan masing-masing para Pejabat Eselon I
Pimpinan Unit Utama Kemenkes untuk secepatnya memberikan
paparan singkat tentang capaian program prioritas yang pernah
digariskan Ibu Endang, tantangan-tantangan, dan strategi apa
yang akan dilakukan.
“Dua tahun itu waktu yang sangat singkat. Mengambil alih
pimpinan bagai seorang kapten kapal yang sedang berlayar
di lautan itu tidak mudah. Dengan waktu yang terbatas, kita
tetap harus mencapai tujuan. Bila kurang saling mengenal,
tidak kompak dan salah pengertian, kapal bisa karam”, ujar
Menkes. Pada kesempatan tersebut, Menkes berterima kasih
atas kesempatan dan kepercayaan yang diberikan dan meminta
jajarannya agar senantiasa kompak dalam menjalankan tugas.
Pada kesempatan tersebut, Menkes berharap, selain untuk
menyelesaikan tugas-tugas yang belum diselesaikan, dirinya
juga ingin menyiapkan agar Menteri Kesehatan untuk generasi
mendatang merupakan orang yang mengerti situasi kesehatan
masyarakat Indonesia, lebih spesifik memahami atmosfer institusi
Kementerian Kesehatan. n ( Yuni)
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM 11
12. STOP PRESS
W
hy me ? Mengapa saya. Sebuah pertanyaan besar yang
ditanyakan kepada diri sendiri. Pertanyaan ini biasanya
dilakukan seseorang kepada diri sendiri ketika tidak
beruntung. Misalnya: sakit parah, kecelakaan, musibah besar yang
menyebabkan kehilangan harta dan anggota keluarga. Mereka
tidak siap dan tidak rela mendapatkan pertistiwa kesulitan hidup
itu. Ia meratap-ratap, mengapa harus dirinya yang menerima
kesulitan itu. Mengapa tidak orang lain saja. Ia protes berat. Protes
kepada keadaan atau kepada pemberi kesulitan.
Berbeda dengan Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih,“Saya
sendiri belum bisa disebut sebagai survivor kanker. Diagnose
kanker paru stadium 4 baru ditegakkan 5 bulan yang lalu. Dan
sampai kata sambutan ini saya tulis, saya masih berjuang untuk
mengatasinya. Tetapis saya tidak bertanya“Why me ?”.
Seperti disampaikan dalam sambutannya tertanggal 13 April
2011, yang ditulisnya sendiri untuk menyambut penerbitan buku
“Berdamai dengan Kanker“ di Jakarta. Satu bulan sebelum
Endang R Sedyaningsih berpulang kerahmatullah, 2 Mei 2012 pkl
11.41 di RSCM Jakarta, karena menderita kanker paru.
“Saya menganggap menderita kanker adalah salah satu anugerah
dari Allah SWT. Sudah banyak anugerah yang saya terima dalam
hidup ini : hidup di negara yang indah, tidak dalam peperangan,
diberi keluarga besar yang pandai-pandai, dengan sosial ekonomi
lumayan, dianugerahi suami yang sangat sabar dan baik hati,
dengan 2 putera dan 1 puteri yang alhamdulillah sehat, cerdas
dan berbakti kepada orang tua. Hidup saya penuh dengan
kebahagiaan.“ So .... Why not ?“ Mengapa tidak, Tuhan telah
menganugerahi saya kanker paru ?.
“Tuhan pasti mempunyai rencanaNya, yang saya belum ketahui,
tapi saya merasa SIAP menjalankannya. Insya Allah. Setidaknya
saya menjalani sendiri, penderitaan yang dialami pasien kanker,
sehingga dapat memperjuangkan program pengendalian kanker
dengan lebih baik lagi”, katat Endang dalam sambutan itu.
Endang juga mengajak para penderita kanker untuk berbaik
sangka kepada Allah.“Bagi rekan-rekanku sesame penderita
kanker dan para survivor, mari kita berbaik sangka kepada Allah.
Kita terima semua anugerahNya dengan bersyukur. Sungguh,
lamanya hidup tidak sepenting kualitas hidup itu sendiri. Mari kita
lakukan sebaik-baiknya, apa yang bisa kita lakukan hari ini dengan
sepenuh hati.
Sebaliknya, bila keberuntungan datang kepada orang lain. Ia
akan mengatakan“ mengapa bukan saya”yang mendapatkannya.
Mereka berburuk sangka kepada Allah. Dia merasa lebih pantas
untuk mendapatkannya, baik berupa jabatan, kekayaan dan
popularitas. Ia tidak rela keberuntungan itu jatuh pada orang lain.
Sehingga dengan segala cara berusaha untuk merebutnya. Walau
itu bertentangan dengan nilai-nilai moral dan etika.
Begitulah tabiat manusia yang cenderung mengikuti selera
hawa nafsu, bila tidak dikendalikan nilai etika, moral dan agama.
Merekapun tidak pernah merasa puas, apalagi bersyukur atas
nikmat yang telah diterimanya. Ia merasa terus kekurangan,
walau harta sudah melimpah dan kekuasaan masih dalam
genggamannya. Sebab, mata hati telah tertutup, akal sehat telah
dikangkangi hawa napsu. Bila sudah begini, ia tidak akan sanggup
mengatakan“why me ?, kemudian bertobat, kecuali mendapat
hidayah. Wallahu’alam. n
Why me? Oleh: Prawito
Budaya Caring
Perawat Indonesia
P
emerintah Indonesia
menandatangani Mutual Recognition
Arrangement (MRA) on Nursing
Services di Busan, Philipina pada tahun
2006. Hal ini mengindikasikan adanya
tuntutan kesejajaran mutu pelayanan
keperawatan di Indonesia dengan negara-
negara ASEAN lainnya. Tuntutan untuk
meningkatkan pelayanan keperawatan
yang berkualitas merupakan suatu hal
yang tidak bisa ditawar lagi.
Demikian disampaikan Direktur Jenderal
Bina Upaya Kesehatan, dr. Supriyantoro,
Sp.P, MARS saat membuka acara
Silaturahmi Akbar Perawat Indonesia
di Lapangan IKADA, Jakarta (13/5/12).
Mengawali kegiatan ini, Direktur Bina
Keperawatan dan Keteknisian Medik,
Suhartati, S.Kp, M.Kes menyampaikan
laporan kegiatan kegiatan. Menurut dr.
Supriyatoro, acara Silaturahmi Akbar
Perawat Indonesia bisa dijadikan sebagai
momen bagi para Perawat Indonesia untuk
sharing pengalaman dan menyatukan
potensi dalam rangka melakukan
pengembangan dan peningkatan kualitas
di bidang pelayanan keperawatan.
Pertemuan ini juga dapat memupuk rasa
kolegialitas sesama perawat sehingga
kerjasama meningkatkan perkembangan
dunia keperawatan termasuk mewujudkan
pelayanan keperawatan yang prima dapat
terwujud. ”Pelayanan keperawatan prima
harus diwujudkan untuk mendukung
tersedianya pelayanan kesehatan yang
berkualitas”, ujar dr. Supriyantoro.
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM12
13. P
roses evakuasi korban jatuhnya pesawat Sukhoi
Superjet-100 yang hilang di area Gunung Salak,
Kab. Bogor Prov. Jawa Barat akan dilakukan dalam
2 rencana, yaitu pertama lewat udara ke Bandar
Udara Halim Perdanakusuma langsung ke Rumah
Sakit (RS) Bhayangkara; kedua melalui jalan darat menuju RS
terdekat atau RS lain tergantung hasil triage.
Demikian disampaikan Direktur Jenderal Bina Upaya
Kesehatan Kemenkes RI, dr. Supriyantoro, Sp.P, MARS usai
rapat koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor
dilakukan di Kantor Dinkes Kab. Bogor (10/4/12). Dirjen BUK
juga mengecek persiapan Posko Kesehatan Gabungan yang
ada di Bandar Udara Halim Perdanakusuma Jakarta dan
berkoordinasi dengan Kepala Dinkes Provinsi DKI Jakarta
untuk kesiapan evakuasi korban.
Berdasarkan informasi dari Dinkes Kab. Bogor, Dinkes Kota
Bogor, Dinkes Kab. Sukabumi, Dinkes Prov. DKI Jakarta, PPK
Regional DKI Jakarta serta petugas PPKK di lokasi sampai
pukul 12.30 WIB dilaporkan pada tanggal 9 Mei 2012 sejak
pukul 14.33 Pesawat Sukhoi Superjet-100 hilang kontak.
Setelah dilakukan pencarian, pada tanggal 10 Mei 2012
pukul 09.15 pesawat ditemukan terjatuh di Gunung Salak
Kab. Bogor Provinsi Jawa Barat. Jumlah penumpang pesawat
diperkirakan sebanyak 45 orang.
Upaya yang telah dilakukan adalah pencarian korban oleh
Tim SAR dan kesiapsiagaan di lokasi sekitar Dinkes Kab.
Sukabumi dan Dinkes Kota Bogor menyiagakan RS rujukan
yaitu RS Sekarwangi Cibadak Kab. Sukabumi dan RS PMI
Kota Bogor. Selain itu Dinkes Kab. Sukabumi dan Dinkes Kab.
Bogor menyiagakan sejumlah Puskesmas dan ambulans
untuk menerima korban. Nama Puskesmasnya antara lain
Puskesmas Tamansari, Tenjolaya, Pamijahan dan Ciampea di
Kab. Bogor serta Puskesmas Cijeruk, Cigombang, Ciburayut
dan Caringin di Kab. Sukabumi. Dinkes Kota Bogor dan PMI
Kota Bogor menyiagakan masing-masing 2 ambulans di RS
PMI Kota Bogor. PMI menyiapkan 25 ambulans di sekitar
lokasi kejadian dan PPKK Kemenkes mengirimkan Tim ke
lokasi kejadian.
Sementara itu, kesiapsiagaan di Bandara Halim Perdana
Kusuma berupa kesiapan petugas Kantor Kesehatan
Pelabuhan (KKP) Halim Perdana Kusuma untuk memberikan
pelayanan kesehatan.
Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan (PPKK) Kemenkes
juga memberikan bantuan 50 kantong jenazah serta
mengirimkan tim ke Bandara Halim Perdanakusuma. Selain
itu menyiagakan 19 ambulans, 16 mobil jenazah dan 2
Pusling. Polri telah mendirikan Posko DVI dan antemortem di
Bandara Halim Perdana Kusuma,
Hingga saat ini proses pencarian korban masih terus
dilakukan, sedang diupayakan tambahan 10 mobil jenazah
untuk mengevakuasi korban ke Rumah Sakit.
Direncanakan seluruh korban akan dievakuasi melalui
udara menuju Bandara Udara Halim Perdana Kusuma, untuk
selanjutnya dapat dievakuasi ke RS Dr. Sukanto Jakarta.
Pemantauan terus dilakukan oleh Dinkes Kab.Bogor, Dinkes
Kota Bogor, Dinkes Kab. Sukabumi, Dinkes Prov. DKI Jakarta,
PPK Regional DKI Jakarta dan PPKK Kemenkes. n
Dalam sambutannya, dr. Supriyantoro
menyebutkan, Deklarasi Perawat Indonesia
pada Jumat (11/5/12) lalu menyatakan
bahwa perilaku caring sebagai kunci
dalam meningkatkan mutu dan kualitas
pelayanan keperawatan yang prima.
“Keberhasilan suatu upaya dan program
pelayanan keperawatan sangat
tergantung dari motivasi, komitmen dan
potensi seluruh warga perawat Indonesia.
Jangan lupa mereevaluasi apakah yang
telah kita lakukan sesuai dengan apa yang
kita impikan, dan ditindaklanjuti agar
lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. ”,
tandas dr. Supriyantoro. Silaturahmi Akbar
diawali upacara pembukaan silaturahmi
akbar, dilanjutkan dengan senam bersama
dan hiburan, serta pelayanan keperawatan
di pos keperawatan. Sekitar 2796 orang
hadir dalam kegiatan ini.
Para peserta merupakan para Pejabat
struktural beserta staf di lingkungan
Kemenkes; perwakilan perawat di institusi
pendidikan, Rumah Sakit, Puskesmas,
Dinas Kesehatan, dan Badan Pelatihan
Kesehatan (Bapelkes) di wilayah provinsi
DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Turut
hadir dalam acara ini, Ketua Persatuan
Perawat Nasional Indonesia, Dewi
Irawaty, MA, PhD; para pimpinan RS;
dan perwakilan organisasi masyarakat
yang berhubungan dengan bidang
keperawatan.
Kegiatan ini merupakan salah satu
rangkaian Peringatan Hari Perawat
Sedunia (HPS)dengan tema “Closing the
Gap: From Evidence to Nursing Action to
Achieve Quality of Nursing Service” yang
jatuh pada 12 Mei 2012. Rangkaian
peringatan HPS telah didahului dengan
workshop keperawatan yang dilaksanakan
Jumat lalu, tanggal 11 Mei 2012 di Kantor
Kementerian Kesehatan. n (Pra)
Kemenkes Bersama Tim Gabungan
Siapkan Evakuasi Korban Sukhoi Superjet-100
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM 13
14. STOP PRESS
K
ebijakan makro Pemerintah saat ini adalah
mengamankan pelaksanaan APBN melalui peningkatan
kualitas. Kemenkes harus melakukan pemotongan
anggaran tahun 2012 dengan memperhatikan
prioritas kegiatan. Menyikapi hal tersebut, penting
untuk melihat kembali kegiatan yang memiliki daya ungkit
terhadap peningkatan status kesehatan masyarakat termasuk
meningkatkan pembiayaan bidang kesehatan melalui anggaran
daerah.
Demikian disampaikan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL) Kemenkes RI, Prof.
dr. Tjandra Yoga Aditama SpP(K), MARS, DTM&H, DTCE pada
pembukaan Pertemuan Akselerasi dan Sinkronisasi Pembangunan
Kesehatan Provinsi Sumatera Barat di Kota Bukittinggi, Sumatera
Barat, 10 Mei 2012.
Kegiatan yang diselaraskan dengan kegiatan Pembinaan Terpadu
Program Prioritas Kementerian Kesehatan di Provinsi Sumatera
Barat ini diawali dengan pembacaan laporan kegiatan oleh Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat, dr. Rosnini Safitri, M.Kes,
dilanjutkan dengan sambutan Walikota Bukittingi, Ismet Amziz, SH.
Turut hadir dalam kegiatan tersebut, para pejabat Kementerian
Kesehatan dari setiap unit terkait; Perwakilan DPRD Provinsi
Sumbar; Ketua BAPPEDA Provinsi Sumbar; Para Kepala Dinas
Kesehatan Kab/Kota dan Dirut RS di wilayah provinsi Sumbar;
Kepala UPT dan UPTD; Tim Pokja MDG’s Sumatera Barat; dan
perwakilan institusi lintas sektor.
“Supervisi Pusat ke Daerah tidak hanya terbatas pada
pelaksanaan program prioritas Kemenkes di Daerah, namun juga
memperhatikan kebutuhan dan permasalahan spesifik pada suatu
daerah”, ujar Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama.
Menurut Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, rapat koordinasi dan
teknis bidang kesehatan ini emilliki nilai strategis disamping
fungsi koordinasi, juga mengoptimalkan penggunaan sumber
daya yang terbatas, termasuk perencanaan penganggaran dari
semua sumber pembiayaan (APBD Provinsi, APBD Kab/Kota,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), termasuk
Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN).
Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama menyatakan, Provinsi Sumatera
Barat merupakan contoh yang baik dimana perhatian daerah
dalam pelaksanaan program kesehatan selalu terdepan, termasuk
upaya percepatan pencapaian MDG’s.
SinkronisasiPembangunan Kesehatan
Provinsi SumBar 2012
“Baru-baru ini, provinsi menyelenggarakan pekan MDG’s, selain
itu prestasi beberapa Kab/Kota sehat di Provinsi Sumatera
Barat menandakan peran aktif dan komitmen para pemangku
kepentingan bidang kesehatan”, jelas Prof. Tjandra Yoga Aditama.
Pada kesempatan tersebut, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama
bersama Tim Supervisi terpadu Kemenkes Ri, melakukan diskusi
dengan para peserta dan membahas berbagai permasalahan
yang dikemukakan oleh para peserta yang merupakan
perwakilan dari instansi kesehatan di Provinsi Sumatera Barat.
Kegiatan terbagi menjadi dua panel utama. Pada panel
pertama, Prof. Tjandra Yoga melakukan presentasi bersama
dengan Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Barat dan Walikota
BukitTinggi membahas kebijakan nasional kesehatan. Pada panel
kedua, dilakukan pembahan lebih mengarah kepada anggaran
pembiayaan kesehatan.
Lebih lanjut Prof. dr.TjandraYoga Aditama menyatakan, sebagian
besar masalah dapat dijelaskan, namun sebagian lainnya menjadi
masukan dan rencana tindak lanjut, antara lain Permasalahan
Politeknik Kesehatan; Aspek Pelayanan Kesehatan (obat generic,
tarif Askes, kebutuhan tempat tidur menjelang BPJS); Permohonan
bantuan anggarn untuk kegiatan pengendalian penyakit dan
penyehatan lingkungan di Kabupaten; Pentingnya pendidikan
dan pelatihan sumber daya manusia; penanggulangan masalah
kesehatan (Angka Kematian Ibu/Bayi, Penanggulangan HIV/AIDS,
dan lain-lain); Peran MajelisTenaga Kesehatan Provinsi (MTKP)
dan MajelisTenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) dalam kegiatan
pelayanan kesehatan oleh para bidan; kejelasan penempatan
dokter di wilayah yang bermasalah kesehatan; serta penyediaan
Puskesmas perkotaan dengan pelayanan persiapan jamaah haji. n
(Pra)
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM14
15. D
alam rangka Pembinaan
Terpadu Program Prioritas
Kementerian Kesehatan di
Provinsi Sumatera Barat,
Sekretaris Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (PP dan PL) dr. Yusharmen
D.Comm.H., M.Sc bersama rombongan
Supervisi Terpadu Kementerian Kesehatan
RI melakukan kunjungan lapangan ke Kota
Sawah Lunto pada 11 Mei 2012. Kegiatan
dipusatkan di dua Desa yaitu Tlago
Gunung dan Lumindai.
Sesdirjen PP dan PL, dr. Yusharmen,
D.Comm.H, M.Sc, bersama tim Supervisi
Terpadu Kemenkes RI menyaksikan secara
langsung Deklarasi SBS Jorong Desa
Talago Gunung Kecamatan Barangin, Kota
Sawahlunto. Sebelumnya, Sesdirjen PP dan
PL meresmikan Pos Pembinaan Terpadu
(Posbindu) Gantiang Juo dan menyaksikan
pembuatan septic-tank yang terbuat dari
ban bekas. Hadir dalam kegiatan tersebut,
Kepala Dinas Provinsi Sumatera Barat,
Walikota Sawahlunto, Ir. H. Amran Nur;
Kepala Dinas Kesehatan Kota Sawahlunto,
dr. Ambun; Kepala Nagari Tlago Gunung,
Alizar Dt. Malin Pangulu; dan para tokoh
masyarakat setempat.
dr. Yusharmen mengatakan, Program
Air Minum dan Sanitasi Berbasis
Masyarakat (PAMSIMAS) bertujuan
untuk meningkatkan jumlah penduduk
perdesaan dan pinggiran kota (peri urban)
yang mendapat akses terhadap layanan air
minum dan sanitasi yang sehat dan praktik
perilaku hidup bersih dan sehat.
Kegiatan deklarasi melalui program
PAMSIMAS merupakan momentum
penting dalam menumbuhkan kesadaran
masyarakat akan pentingnya berperilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS) yang
dimulai dari diri sendiri, keluarga,
dan komunitas, sehingga terbentuk
Stop BAB Sembarangan
Kota Sawahlunto
masyarakat Indonesia yang mandiri untuk
hidup sehat.Saat ini, program PAMSIMAS
di Propinsi Sumatera Barat sudah
mencakup 15 Kabupaten/Kota dari 19
Kabupaten/Kota yang ada di wilayah kerja
Provinsi Sumatera Barat selama tahun
pelaksanaan 2008-2012.
Pada kesempatan tersebut, Sesdirjen PP
dan PL menyampaikan apresiasi yang
tinggi kepada masyarakat karena terkait
dengan masalah mendasar di bidang
kesehatan yang merupakan wujud nyata
dari upaya promotif dan preventif yang
menjadi prioritas Pemerintah.
Kemudian, Sesdirjen PP dan PL bersama
tim Supervisi Terpadu Kementerian
Kesehatan melanjutkan perjalanan menuju
Desa Lumindai yang letaknya jauh di atas
bukit. Berdasarkan keterangan Kepala
Dinas Kesehatan Sawahlunto, dr. Ambun
mengatakan di desa tersebut hanya
terdapat satu orang bidan untuk 9 dusun.
Pada kesempatan tersebut, Sesditjen PP
dan PL beserta tim Supervisi terpadu
Kemenkes berkesempatan untuk meninjau
secara langsung kondisi sanitasi dasar di
salah satu rumah masyarakat. Sesditjen PP
dan PL sempat melakukan penempelan
sticker di salah satu rumah penduduk
yang telah memiliki Pos Pembinaan
Terpadu Desa Lumindai yang memiliki
fasilitas cukup lengkap, walaupun
masih menggunakan genset untuk
mengoperasikan peralatan tersebut.
Selain kunjungan lapangan dilakukan pula
pencanangan gerakan 1.000 jamban yang
ditandai dengan penyerahan jamban;
penyerahan kelambu malaria pada ibu hamil
dan daerah endemis; penyerahan bantuan
miskoskop; serta penempelan striker
rumah stop BABS; pemberian pengetahuan
komprehensif mengenai HIV/AIDS; serta
menjadi narasumber pada Dialog Khusus
mengenai Kemitraan Bidan-Dukun dalam
lingkup Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
“Perayaan deklarasi SBS merupakan
media yang sangat efektif untuk
mensosialisasikan perilaku hidup bersih
dan sehat (PHBS) kepada masyarakat.
Ajaklah Saudara, masyarakat maupun
tetangga desa di sekitar kita untuk ikut
menjadikan dan membiasakan diri ber-
PHBS dalam kehidupan sehari-hari”, ujar dr.
Yusharmen. n
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM 15
16. STOP PRESS
D
emikian arahan Wakil Menteri Kesehatan RI
yang dibacakan Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Dr. dr.
Trihono, MSc., pada Kongres ke-IX Perhimpunan
Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) yang
bertema“Meningkatkan Peran PPTI dengan Cara Advokasi,
Komunikasi dan Mobilisasi Sosial”. Acara ini oleh dibuka oleh
Deputi III Bidang Kesehatan, Kependudukan dan Keluarga
Berencana (KB) Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat, dr. Emil Agustiono, M.Kes.. Hadir dalam acara tersebut, Istri
Gubernur Provinsi Bali, Ibu Ayu Pastika; Sekretaris Daerah Provinsi
Bali, I Made Djendra; dan Ketua Umum Pengurus Pusat PPTI, Ny.
Ratih Siswono Yudo Husodo,SH.
Wamenkes menyatakan, TB merupakan salah satu indikator
keberhasilan MDGs yang harus dicapai oleh Indonesia, yaitu
menurunnya angka kesakitan dan kematian menjadi setengahnya
di tahun 2015. Di dalam perkembangan dan pelaksanaan program
pengendalian TB, Indonesia telah berhasil menurunkan insidens,
prevalens, dan angka kematian.
“Berdasarkan pada angka pencapaian di tahun 2010 dibandingkan
Peran Aktif dan Semangat
Kemitraan Semua Pihak adalah
Kunci Menuju Indonesia Bebas TB
Tuberkulosis (TB) adalah masalah kesehatan masyarakat yang serius
tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia. Indonesia tercatat sebagai
penyumbang kasus terbesar nomor empat di dunia setelah India, China,
dan Afrika Selatan. TB juga menjadi penyebab kematian tertinggi kedua
di Indonesia setelah stroke. Diperkirakan ada 430 ribu kasus TB baru, dan
169 orang diantaranya meninggal setiap harinya. Kondisi ini sangat kritis
bila tidak ditangani dengan strategi yang tepat.
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM16
17. dengan baseline data tahun 1990, target MDGs yang ditetapkan
hampir semuanya dapat dicapai”, ujar Wamenkes.
Dikatakan, angka Insidens TB adalah 189/100.000 penduduk
(2010), menurun 45% dari 343/100.000 penduduk (1990). Angka
prevalensi TB adalah 289/100.000 penduduk (2010) turun sebesar
35% dari 443/100.000 penduduk (1990). Sementara angka
mortalitas TB adalah 27/100.000 penduduk (2010) atau turun
sebesar 71% dari 92/100.000 (1990).
Pada kesempatan tersebut, Wamenkes menyatakan masih
banyak tantangan dalam penanggulangan TB saat ini, antara lain
meningkatnya koinfeksi TB HIV; kasus TB Multi Drug Resistance
(MDR); dan belum optimalnya manajemen dan kesinambungan
pembiayaan program pengendalian TB.
“Kondisi tersebut diperparah dengan meningkatnya jumlah
penderita penyakit-penyakit degeneratif seperti gangguan
imunitas, masalah diabetes, meningkatnya angka perokok serta
tingkat kemiskinan yang masih tinggi di Indonesia. Itu semua
sangat berpengaruh terhadap peningkatan angka kesakitan
akibat TB di Indonesia”, tambah Wamenkes.
Ditambahkan, penelitian yang dilakukan Badan Litbangkes
pada serial Riskesnas baik 2007 maupun 2010, diperoleh
beberapa fakta tentang TB, diantaranya TB masih merupakan
penyebab utama kematian terutama diwilayah timur Indonesia.
Kedua, pengetahuan dan pemahaman tentang TB dan
penularannyamasih rendah. Ketiga, banyak penderita TB yang
tidak tuntas dalam pengobatan. Selain itu, diperlukan terobosan
baru guna menurunkan prevalensi TB.
Pada akhirnya, keterbatasan sumber daya yang dimiliki
sektor pemerintah dan besarnya tantangan yang ditimbulkan
akibat penyakit TB, menjadikan pengendalian TB belum
dapat berjalan optimal. Demi keberlanjutan program, maka
dibutuhkan kemitraan antara berbagai sektor dengan NTP
(National Tuberkulosis Program). Kemitraan yang tentunya harus
berdasarkan visi untuk mewujudkan Indonesia Bebas TB pada
tahun 2050.
“Kunci keberhasilan menuju Indonesia bebas TB adalah peran aktif
dan semangat kemitraan dari semua pihak yang terkait melalui
gerakan terpadu dan sinergis yang bersifat nasional”, tandasnya.
Sekilas menilik sejarah, program Pengendalian TB di Indonesia
dimulai sebelum kemerdekaan RI. Pada saat itu program TB
masih dilakukan oleh pihak swasta dan ditujukan hanya bagi
kelompok masyarakat tertentu, sehingga terwujud pencanangan
program pengendalian TB secara nasional pada tahun 1969 yang
ditegaskan kembali tahun 1992 di mana Indonesia melakukan
ujicoba strategi Directly Observed Treatment, Short-course (DOTS)
untuk pertama kalinya. Setelah dilakukan uji coba, pada tahun
1995 strategi DOTS resmi menjadi strategi penanggulangan TB di
Indonesia, sebagaimana direkomendasikan WHO. Sejak saat itu
program penanggulangan TB DOTS diekspansi dan diakselerasi
pada seluruh unit pelayanan kesehatan dan berbagai institusi
terkait. Tahun 2010, dalam rangka mendukung strategi nasional
program pengendalian TB, maka program diarahkan kepada
universal access untuk cakupan dan kualitas pelayanan DOTS
yang lebih luas.
Kongres IX PPTI diikuti 151 peserta terdiri dari dari 27 peserta
dari PPTI Pusat, 16 PPTI wilayah, 66 peseta dari PPTI Cabang, 6
peninjau dari PPTI Wilayah dan 35 pendengar dari PPTI pusat,
wilayah dan cabang.
Tujuan Kongres IX PPTI, selain untuk memilih Ketua umum PPTI
masa bakti 2012-2017 dan menilai laporan pertanggungjawaban
Ketua Umum sebelumnya, juga mengkaji anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga (AD/ART), rencana strategi dan program
PPTI mendatang. Selain itu, dalam Konres ini juga akan dipilih
Ketua Badan Pengawas Perkumpulan.
Pada kesempatan tersebut juga diserahkan 333 tanda
penghargaan dan tanda jasa bagi institusi maupun perorangan
yang telah membantu pengembangan PPTI baik di tingkat Pusat,
Wilayah, dan Cabang. Secara rinci, penghargaan tersebut terdiri
dari 106 lencana Satya Bakti Utama, 81 Lencana Satya Bakti,
141 piagam dan 5 buah plakat. Secara simbolis, lencana Satya
Bakti Utama diberikan kepada Ketua Kehormatan Pengurus PPTI
Wilayah Bali, Ny. Ayu Pastika; Bupati Bantul Provinsi DI Yogyakarta,
Hj. Sri Surya Widati; Bupati Bulungan, Provinsi Kalimantan Timur,
Drs. H. Budiman Arifin; Ketua Pengurus PPTI Wilayah Jambi, H.
Hasan Kasim, SH; Ketua Kehormatan Pengurus PPTI Cabang Kota
Cimahi, Hj. Atty Suharti Tochija; Pengurus PPTI Cabang Kabupaten
Kutai timur Provinsi Kalimantan Timur, Hj. Nor Baiti Isran; dan
Bapak Arifin Panigoro, sebagai donatur PPTI. n(Pra)
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM 17
19. Nusa Tenggara Barat
“Teras Belakang”
Indonesia
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), sebagai bagian dari‘teras belakang’Indonesia,
diakui masih banyak indikator masih‘terbelakang’. Peringkat Indek Pembangunan
Manusia provinsi NTB dalam 6 tahun terakhir masih berada di posisi 32 dari 33
provinsi yang ada, dengan skor 65,2, sedikit lebih baik dari provinsi Papua dengan
nilai 64,94 (BPS, 2010). Rendahnya IPM ini salah satu disebabkan oleh masih
rendahnya derajat kesehatan masyarakat di daerah ini.
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM 19
21. U
sia harapan hidup di NTB tahun 2010 tercatat 62,11
tahun, dibandingkan angka nasional 69,43 tahun
(BPS, 2010). Rendahnya UHH ini direfleksikan oleh
masih tingginya kematian bayi dan kematian ibu.
Angka Kematian Bayi di NTB terakhir (SDKI 2007)
tercatat 72 per 1000 kelahiran hidup (angka nasional 34), angka
kematian ibu sebesar 320/100.000 kelahiran hidup (angka
nasional 228).
Hal ini disampaikan Asisten III Provinsi NTB, Drs.H.Lalu Wildan
pada pertemuan koordinasi percepatan pencapaian MDG’s
provinsi NTB, 8 Mei 2012 di Lombok.
Menurut Lalu, jika memperhatikan angka-angka yang ada,
khususnya dari BPS, nampaknya program kesehatan di NTB
belum bergerak sebagaimana mestinya. Namun jika kita
merujuk pada data sektoral yang ada di Dinas Kesehatan,
sebenarnya ada perbaikan yang signifikan. Beberapa indikator
akses menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Beberapa contoh antara lain, cakupan K1 tahun 2011
sebesar 99,27 %, K4 sebesar 94,07 %, persalinan oleh tenaga
kesehatan sebesar 87,81 %, cakupan kunjungan bayi sebesar
100 %, Cakupan kunjungan posyandu 70,73 %. Hal ini
mengindikasikan bahwa hampir seluruh sasaran program telah
tersentuh program pelayanan kesehatan.
Namun demikian, kami menyadari adanya tantangan di aspek
kualitas pelayanan. Soal ketenagaan, 90% dari seluruh desa
yang ada (1031 desa/kelurahan) telah ada bidan desanya,
namun baru 53,8% yang pernah mengikuti pelatihan teknis.
Keberadaan Tim PONED di 49 puskesmas juga masih diwarnai
mutasi petugas yang terlalu sering, sehingga puskesmas
PONED belum bisa berfungsi secara optimal.
Provinsi NTB, yang biasa dikenal sebagai‘Bumi Gora’atau
Bumi Gogo Rancah. Daerah ini pernah sangat terkenal dengan
keberhasilan pola tanam padi system gogo rancah. Sampai
saat ini masih menjadi salah satu provinsi yang swasembada
pangan. Provinsi NTB terdiri dari 2 pulau besar, yaitu pulau
Lombok dan pulau Sumbawa, dengan variasi demografi serta
topografi yang bertolak belakang.
“Pulau Lombok dengan luas 1/3 dari NTB berpenduduk 2/3 dari
total penduduk NTB yang berjumlah 4,5 juta orang. Sebaliknya,
Pulau Sumbawa dengan luas 2/3 berpenduduk hanya 1/3 dari
total penduduk NTB. Perbedaan ini berimplikasi pada pola
pengelolaan program kesehatan, besar alokasi sumber daya
serta tantangan program, cenderung fokus di pulau Lombok,”
ujar Lulu.
Menurut Lalu, upaya untuk memperbaiki IPM, derajat kesehatan
masyarakat secara umum telah menjadi prioritas utama
pemerintah provinsi NTB. Di antaranya, melalui program
unggulan Gerakan AKINO (Angka kematian ibu nol) telah
diupayakan percepatan dalam berbagai aspek program. Seperti
pemerataan tenaga kesehatan yang berkualitas, khususnya
di desa. Optimalisasi sarana prasarana kesehatan seperti;
alat kesehatan, obat, dan logistik lainnya. Perbaikan system
pelayanan, khususnya system rujukan. Pembiayaan kesehatan
serta upaya pemberdayaan masyarakat melalui program yang
terintegrasi dengan penanggulangan kemiskinan.
Menyadari, percepatan pencapaian pembangunan millennium
di NTB terkait koordinasi program yang kuat antara provinsi
dan kabupaten/kota, maka rumusan kongkrit koordinasi itu
dilakukan.“Di tempat ini pula, 9 Mei 2012 telah ditandatangani
MOU antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan pemerintah
Provinsi tentang koordinasi dalam peningkatan dan
perlindungan kesehatan ibu, bayi dan anak balita. MOU
tersebut sebagai tindak lanjut dari adanya Perda Nomor 7 tahun
2011 tentang peningkatan dan perlindungan kesehatan ibu,
bayi dan anak balita,”ujar Asisten III.
Menurut Lalu, dalam MOU dan perjanjian kerjasama itu
selanjutnya diatur peran masing-masing pihak dalam
percepatan peningkatan kesehatan ibu, bayi, dan anak balita. Di
antaranya penuntasan (total coverage) distribusi tenaga bidan
di desa, pelatihan teknis, pelibatan pemerintah desa dalam vital
statistic kelahiran dan kematian di tingkat desa, dan sharing
peningkatan sarana prasarana penunjang.
Asisten Administrasi Umum dan Kesejahteraan Rakyat NTB ini
berharap, semua pihak menyamakan persepsi dan langkah
nyata dalam memandang persoalan kesehatan di NTB. Mencari
solusi yang cerdas sehingga provinsi NTB tidak lagi menjadi
‘headline’ di pentas nasional sebagai provinsi yang terbelakang
di bidang kesehatan. n ( Pra)
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM 21
22. “BOK dan Banjar nganak”
di Lombok Tengah
H
al ini disampaikan Abdullah, selaku Lurah Kelebuh
saat menerima kunjungan kerja rombongan
Kemenkes di Desa Kelebuh, Kecamatan Praya Tengah,
Kabupaten Lombong Tengah, Nusa Tenggara Barat,
8 Mei 2012 yang lalu. Menurut Abdullah, kegiatan
banjar nganak ini diselenggarakan kelompok masyarakat desa.
Mereka yang melahirkan di sarana kesehatan akan mendapat
uang arisan sebesar Rp 350.000.“Dengan adanya banjar nganak,
ibu hamil di desa Kelebuh 90% melahirkan di sarana kesehatan,
khusus di Pos Kesehatan Desa Kelebuh,”ujar Abdullah.
Banjar nganak, mempunyai kegiatan menghimpun, menerima
dana dari masyarakat dan pemerintah, kemudian menyalurkan
kepada masyarakat, khususnya ibu yang melahirkan di pelayanan
kesehatan, seperti puskemas atau pos kesehatan desa.
Menurut Abdullah, Kepala Desa Kelebuh, untuk mendorong
masyarakat, khususnya para ibu hamil bersedia melaksanakan
persalinan di pelayanan kesehatan, perlu mendapat insentif. Nah
untuk memperoleh sejumlah dana tersebut, maka dibentuklah
Banjar Nganak yang dikelola oleh masyarakat, dari masyarakat dan
untuk masyarakat.
Untuk mendorong masyarakat bersalin di sarana kesehatan,
tidak cukup dengan hanya member insentif, tapi juga perlu
motivasi dari tenaga kesehatan di Puskemas, seperti bidan dan
perawat.“Para tenaga bidan dan perawat ini harus turun menyapa
masyarakat di posnyandu-posyandu yang menjadi binaannya,
melakukan promosi kesehatan, menjelaskan persalinan yang
sehat,”ujar Abdullah.
“Hanya saja, jumlah tenaga kesehatan belum mencukupi untuk
melayani masyarakat di posnyandu dan sarana kesehatan seperti
puskemas dan poskesdes saat bersamaan. Sehingga, bila sedang
melakukan penyuluhan di posnyandu, maka terjadi kekosongan
pelayanan di puskesmas pembantu atau poskesdes, begitu juga
sebaliknya,”kata Kepala Desa Kelebuh.
Ketika berdialog dengan peserta pembina kesehatan terpadu
dari pusat, kepala desa, lebih memilih petugas kesehatan
mengutamakan preventif dan promotif di posnyandu dari pada
melaksanakan kuratif di puskesmas. Untuk menyelesaikan masalah
tersebut, kemudian disepakati agar setiap bidan dan tenaga
kesehatan menempel jadwal kegiatan penyuluhan disertai Nomor
Hp di Puskesmas. Sehingga, ketika ada masyarakat yang ingin
mendapat pelayanan petugas kesehatan dapat menghubungi
atau mendatangi ke tempat penyuluhan.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Dinas Kesehatan Lombok
Tengah, dr. Eka Dewi, M.Kes menjelaskan masyarakat Lombok
Tengah yang memperoleh jaminan kesehatan (jamkesmas)
sebanyak 52 %, sedang sisanya menggunakan jaminan kesehatan
daerah ( jamkesda), surat keterangan tidak mampu (SKTM) dan
kearifan lokal seperti“banjar nganak”. Untuk meminimalisir
terjadinya peningkatan besaran dana untuk melayani pengobatan,
maka pihaknya lebih mengutamakan program promotif dan
preventif,”ujar dr. Eka.
Menurut Kadinkes, dengan adanya dana BOK, sangat membantu
kegiatan operasional puskesmas dan kegiatan kesehatan
masyarakat, seperti bulan gizi dan transportasi petugas untuk
kunjungan penyuluhan masyarakat.“Program yang dibiayai BOK
terlebih dahulu diputuskan dalam lokakarya puskesmas. Walau
demikian, puskesmas juga melakukan program nasional maupun
lokal kabupaten,”jelas dr. Eka.
Besaran dana transportasi petugas, biasanya menggunakan harga
perhitungan kabupaten (HPS). Kisaranya antara Rp 20.000-Rp
Setiap ibu hamil mengikuti arisan. Kemudian uang arisan tersebut
diterima saat melahirkan. Kegiatan arisan ibu hamil di Posnyandu
dikenal dengan“banjar nganak”atau arisan ibu hamil ala Lombok
Tengah. Ibu hamil yang mengikuti arisan ini dipastikan melahirkan
di sarana kesehatan. Mengapa ? Saat berkumpul arisan itulah
petugas kesehatan memberikan penyuluhan, pentingnya
melahirkan di sarana kesehatan dan dilakukan petugas kesehatan.
Sebab, dengan kedua hal tersebut, akan menghadirkan persalinan
“ ibu sehat dan bayi selamat”.
MEDIA UTAMA
Abdulah
dr. Eka Dewi, M.Kes
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM22
23. 25.000,-. Tergantung jarak yang ditempuh. Apabila lebih terpencil
akan ditambah lagi besarannya.“Semakin jauh jarak, semakin
besar. Saat ini terdapat 19 desa terpencil,”ujar dr. Eka.
“Untuk pemakaian dana, memang banyak komponen.
Penggunaanya bergantung situasi. Untuk gizi buruk, sepakat
menggunakan dana APBD, tapi gizi kurang menggunakan dana
BOK. Bila ada dana PNPM, maka dana BOK tidak digunakan. Ada
kesepakatan mana yang didanai BOK, APBD Kabupaten dan
PNPM ataupun yang lainnya,”tambah Kadinkes.
Menurut dr. Eka, terkait optimalisasi dana BOK, pengalaman tahun
lalu, berbeda dengan tahun 2012. Tahun lalu, dana BOK turunnya
terlambat, kemudian masih banyak sekali hal yang simpag siur.
Tahun ini, lebih efektif dan efesien pemakaiannya, sebab dana
turun awal januari tahun 2012 dan aturan lebih fleksibel. walau
kalau dihitung tingkat kabupaten, bulan mei ini penyerapannya
baru 24 %. Untuk tingkat puskesmas variatif, penyerapan antara
20-26 %.
“Agar programnya lancar, harus mendisiplinkan penyerahan
uang dan penyerahan laporan. Uang berikutnya dicairkan,
setelah laporan kegiatan sebelumnya diserahkan. Karena alur ini
tidak berlangsung lancar, akhirnya hanya memberi uang muka,
kemudian sisanya diberikan setelah memasukan laporannya. Hal
ini dilakukan untuk menghindari dana sudah keluar, tapi laporan
tidak segera masuk”, ujar dokter yang pernah menjadi Direktur
RSUD Lombok Tengah ini.
Menurut Kadinkes, selain mendisiplinkan laporan yang harus
masuk setiap tanggal 10 bulan berjalan, juga harus membagi
habis tugas. Sebab, ada petugas puskesmas, satu orang
memegang sekian banyak program. Merangkap-rangkap,
sehingga sangat sibuk. Akibatnya, kegiatan tidak selesai seperti
rencana.
Ketika ditanya indikator output tentang BOK, Ia belum bisa
bicara banyak karena memang tahun lalu, saat BOK diluncurkan
situasinya tidak ideal. Mungkin, baru bisa bicara pada tahun 2013
setelah melihat perjalanannya.
Tapi paling tidak, para pelaksana, saat ini dapat mengerjakan
dengan“tenang”, karena tersedia sumber pendanaannya. Sebab,
tidak semua program dapat terpenuhi menggunakan dana APBD.
Maklum, Lombok Tengah, APBDnya 60% untuk belanja pegawai.“
Di sini masalahnya,”ujarnya heran.
Menurut Kadinkes, agar terjadi percepatan, harus menguatkan
monitoring, evaluasi dan bimbingan teknis. Sebab, tanpa ini,
percepatan tak akan terjadi. Untuk mengejar percepatan,
“Kami membagi kabupaten menjadi empat wilayah binaan.
Setiap Kepala Bidang, punya wilayah binaan. Setiap pembina
bertanggung jawab terhadap wilayah binaan dalam bidang
apapun, termasuk BOK,”ujar dr. Eka menjelaskan.
“Misal, ada bidang yang bertanggung jawab 6 puskesmas. Maka,
mulai kegiatan mini lokakarya puskesmas, Dia wajib hadir, karena
dia yang punya binaan. Mereka harus mengawal rencana kerja
yang sudah disusun. Bila puskesmas ada keraguan, pembina harus
membantu menyelesaikannya”, kata dr.Eka.
Secara umum, penyerapan dana BOK, 50 % untuk transport
petugas puskesmas baik ke posyandu atau tugas pokok
puskesmas lainnya. Sedangkan 10% untuk pemeliharaan.“Ketika
program sudah mulai jalan, jangan ganti kebijakan lagi. Boleh
berubah, kalau sudah jelas evaluasinya. Terutama kebijakan
penggantinya lebih mudah dan berkesinambungan dengan
program sebelumnya. Juga harus selaras dengan kearifan lokal,
seperti banjar nganak”ujar dr. Eka memberi saran. n ( Pra)
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM 23
24. Apa yang melatarbelakangi munculnya program BOK ?
Latar belakang munculnya BOK ini karena ada masalah
pelayanan kesehatan di tingkat lapangan, selain fasilitas,
SDM, ternyata juga ada masalah dengan anggaran.
Sementera daerah mempunyai APBD yang berbeda-beda,
padahal kita menginginkan puskesmas sebagai garda
terdepan dalam pelayanan kesehatan dapat tampil secara
bagus dalam mencapai target MDG’s. Kalau tidak ada
upaya yang ekstra, khawatir target MDG’s tidak tercapai,
khususnya dalam penyediaan biaya.
Untuk itu dikeluarkan kebijakan penambahan biaya
yang langsung dapat digunakan oleh puskemas, dengan
nama tugas perbantuan (TP) dengan peraturan Menteri
Keuangan. Tugas perbantuan ini sangat spesifik, hanya
digunakan untuk pembangunan nonfisik. Besarannya
berdasarkan klasifikasi karena faktor geografis dan lain
sebagainya.
Ada empat regional besaran anggaran BOK yakni; pulau
Sumatera, Jawa-Bali mendapat Rp 75 juta/puskesmas/
tahun, Kalimantan, Sulawesi Rp 100 juta/puskesmas/tahun,
Maluku Rp 200 juta/puskemas/tahun dan Nusa Tenggara
Timur, Nusa Tenggara Barat dan Papua Rp 250 ribu/
puskesmas/pertahun.
Mengapa penyerapan BOK masih rendah?
Untuk pelaksanaan BOK, telah dikeluarkan petunjuk
teknis BOK. Tahun 2010, dalam petunjuk teknis tersebut
dijelaskan 5% dari anggaran dapat digunakan untuk
pembelian barang yang ringan-ringan seperti membeli
ember, perbaikan puskesmas yang ringan-ringan. Hanya
saja, pada saat itu tingkat penyerapannya rendah, sekitar
60%. Kemudian dilakukan evaluasi, mengapa penyerapan
rendah ? Setelah terjun ke 21 provinsi, tenyata ada masalah
teknis seperti pemahaman lokakarya mini di puskesmas
belum pas. Mereka kurang memahami mekanisme
pengajuan anggaran. Berikutnya terkait dengan
penggunaan anggaran. Mana yang boleh dan mana yang
tidak boleh. Ternyata, peraturan tahun 2010 terlalu rijit
dan kaku, sehingga menyulitkan pelaksana di tingkat
puskesmas.
Setelah mendapat masukan dari berbagai pihak, termasuk
dari daerah, kemudian disepakati 10% dari anggaran
dapat digunakan untuk perbaikan puskesmas, tetapi
nilainya kurang dari Rp 300 ribu, agar tidak menjadi aset
negara. Hal ini dilakukan untuk menghindari keharusan
menghibahkan barang yang sudah dibeli. Sebab kalau
harus menghibahkan akan menjadi kesulitan tersendiri di
kemudian hari.
Kebijakan bantuan operasional kesehatan (BOK), menjadi harapan besar
guna mencapai target MDG’s 2015. Mekanisme penyaluran BOK dengan
tugas perbautuan khusus, menungkinkan puskesmas mengguanakan tanpa
hambatan. Buku petunjuk teknis telah dibuat dan didistribusikan sebelum
tahun berjalan. Harapanya, penyerapan menjadi lebih baik dan akuntabel, juga
dapat mendongkrak capaian penurunan angka gizi buruk, angka kematian
bayi dan ibu. Lalu bagaimanakah kebijakan yang diambil Kementerian
kesehatan untuk mewujudkan harapan itu ? Berikut penjelasan Dirjen Bina Gizi
dan KIA Kemenkes, Dr.dr. Slamet Riyadi Yuwono, DTM&H, MARS.
Dr.dr. Slamet Riyadi Yuwono, DTM&H, MARS:
Kebijakan Bantuan
Operasional Kesehatan
MEDIA UTAMA
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM24
26. MEDIA UTAMA
Saat ini, antara biaya manajemen provinsi, kabupaten/kota
mendapat dana sendiri, sedangkan dana kegiatan BOK
tersendiri untuk puskesmas. Kegunaan dana BOK dapat
digunakan untuk gizi, kesehatan ibu/anak, penyakit menular,
kesehatan haji, termasuk untuk tranportasi kader.
Seberapa besar daya ungkit BOK mencapai target MDG’s ?
Dalam pelakasanaan BOK, dari proses diharapkan tingkat
penyerapan lebih tinggi dan dari segi dampak dapat
menurunkan angka gizi buruk, angka kematian ibu, angka
kematian bayi. Walau, penurunan itu, tidak semata-mata
karena BOK, paling tidak ada andil dalam penurunan tersebut.
Yang jelas evaluasi awal tahun 2012, serapannya lebih
baik dibanding tahun 2010. Hal yang membedakan, tahun
2011 juknis baru keluar pada Maret 2011 dan tahun 2012,
juknis sudah keluar Desember 2011. Sehingga per Januari
2012 juknis dan keuangannya sudah jelas semua. Dengan
demikian, diharapkan 2012 cakupan penyerapannya akan
lebih baik.
Terkait dengan implementasi juknis, keberhasilan BOK
bergantung pada terlaksananya lokakarya mini ditingkat
puskesmas. Apabila lokakarya mini berjalan dengan baik,
kemudian tersusun perencanaan yang baik, maka tidak akan
ada kebingunan dikemudian hari dalam implementasinya.
Program yang diusulkan hendaknya yang dapat langsung
menyentuh kesehatan masyarakat terkait dengan penurunan
gizi buruk, angka kematian bayi dan ibu. Bila tidak cermat,
dana ini akan digunakan untuk membangun puskesmas yang
tidak ada dampak langsung kepada masyarakat.
Sampai kapan program BOK ?
Program BOK akan tetap diperjuangkan, paling tidak sampai
tahun 2016 untuk mencapai target MDG’s tahun 2015. Setelah
itu, pasti akan ada perubahan setrategi lain, apalagi dengan
adanya Badang Pengelolaan Jaminan Sosial (BPJS).
Pada tahun 2013, kemungkinan besaran dana BOK akan
bertambah besar, khususnya Maluku, akan sama dengan
provinsi NTT karena kesamaan geografisnya. Juga tergantung
kemampuan anggarannya.
Dengan adanya BPJS, pasti akan ada perubahan. Perubahan
itu, prinsipnya harus lebih baik. Sistem baru harus dapat
mengkaver sistem lama yang sudah berjalan. Sebab orang
sakit tidak dapat tertunda pelayanannya, walau hanya
sedetik. Jadi harus dipastikan sistem yang baru dapat
berjalan, sebelum membubarkan sistem yang lama. Ibaratnya;
membuat jembatan baru, maka jembatan lama jangan
dirobohkan, sebelum jembatan baru, benar-benar berfungsi
secara baik.
Bagaimana pengaturan dana BOK di era otonomi daerah?
Di era otonomi ini, pusat tidak membuat juknis yang kaku,
tapi masih memberi ruang kepada daerah untuk menentukan
besaran sesuai kebutuhan. Misal, ada daerah yang rata-rata
puskesmasnya mendapat Rp 250 ribu/puskesmas. Mereka
dapat mengatur khusus puskesmas yang dekat, transportasi
mudah medapat Rp 200 ribu, sedangkan puskesmas dengan
daerah yang sulit dijangkau mendapat dana yang lebih besar.
Hanya saja, dengan adanya dana BOK yang berasal dari APBN,
kemudian daerah mengurangi dana kesehatan yang berasal
dari APBD. Misal, pemerintah daerah mengetahui bahwa
puskesmas mendapat anggaran APBN, kemudian daerah
mengalihkan anggaran APBD untuk kegiatan yang lain.
Padahal BOK itu hanya sekedar suplemen saja.
Memang untuk beberapa daerah yang rendah dana APBDnya,
mereka menggunakan APBN tidak sesuai dengan peruntukan.
Untuk itulah, perlu turun ke daerah-daerah melakukan
advokasi, agar pemerintah daerah menggunakan anggaran
tepat sasaran dan langsung menyasar pada masyarakat.
Secara berjenjang advokasi ini sudah dilaksanakan, diawali
dengan sosialisasi tingkat nasional untuk peserta provinsi dan
sosialisasi tingkat provinsi untuk peserta kabupaten / kota.
Saat ini, NTB banyak mendapat bantuan, seperti dari Nice,
PNPM dan berbagai bantuan lain dengan sasaran yang sama.
Untuk itu, harus ada pemetaan yang akurat terhadap sasaran,
sehingga bantuan tersebut menjadi lebih bermanfaat bagi
peningkatan kesehatan masyarakat.
Bagaimana kebijakan BOK dibuat ?
Manajemen modern seperti sekarang ini, harus mampu dan
mau tangannya kotor dan berlumpur. Harus mau terjun ke
bawah, mengetahui apa sih yang terjadi. Dari dari situlah
masukan dari bawah untuk membuat kebijakan. Tidak bisa
kebijakan dibuat hanya dengan meneropong dari ke jauhan.
Padahal, di NTB ada daerah yang harus ditempuh melalui
udara dan ditempuh dengan kapal berjam-jam. Bagaimana
kalau melakukan rujukan. Model alat transportasi, kondisi
masyarakat miskin, tidak punya kartu, tidak punya jaminan.
Mereka dapat berobat tapi harus ada surat yang ditanda-
tangani kepala dinas kabupaten/kota yang jauh jarak
tempuhnya.
Jadi, ini contoh membuat kebijakaan, harus aplikatif, sesuai
dengan masalah di daerah. Saya harus mendengarkan
masalah mereka dalam pertemuan seperti ini (pembinaan
terpadu di NTB), walau sampai malam. Artinya, dia harus
menyampaikan apapun tentang masalah yang dihadapi dan
cara menyelesaikannya. Dengan demikian kebijakan akan
membantu dalam pelaksanaan dilapangannya. n (Pra)
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM26
27. Mengapa ada BOK? Jika ditarik ke belakang, subtansinya karena
ada masalah kesehatan, terutama ketidakberdayaan anggaran.
Sehingga program yang bagus tidak dapat mengagkat derajat
kesehatan masyarakat. Gagasan awal BOK, pernah dibahas di
NTB bersama Dr. Triono Sundoro. Jadi NTB ini punya catatan
sejarah untuk melahirkan BOK, ujar Kadinkes Provinsi NTB, dr.
Moch. Ismail, 8 Mei 2012 di Mataram, NTB.
Munculnya gagasan bantuan langsung ke puskesmas, akan
menjawab hambatan operasional pelayanan kesehatan di
Puskesmas.“Setelah ada BOK, harus menjadi pendorong
kepala kesehatan kabupaten/kota sebagai kepala manajemen
operasional. Juga mendorong kepala Puskesmas sebagai
manajer operasional tingkat desa atau lapangan. Mereka
harus maksimal memanfatakan kemampuan dan biaya untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat,”ujar dr. Ismail.
Menurut dr. Ismail, setelah ada BOK, tidak ada alasan kesulitan
anggaran. Walau terkadang secara teknis pelaksanaan, masih
ada yang harus dipertegas boleh atau tidak.“Nah, di sinilah
tantanganya bagi teman teman sebagai manager lapangan,”
tegas Ismail.
Bicara tingkat taktik strategi, memang sudah diatur dalam
pedoman. Benar, dalam pelaksanaan ada beberapa hal yang
dr. Moch. Ismail:
BOK harus
“ Ekstra hati-hati”
kadang-kadang dalam bahasa hukum“multi tafsir”. Sehingga
beberapa orang masih tarik ulur. Mau dikerjakan atau tidak. Tapi,
ada potensi untuk melaksanakan. Sebab, bila tidak dikerjakan
menyebabkan banyak masalah lagi.“Di sini Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan untuk
meng-ajust oke, kegiatan dapat dilaksanakan, tapi harus ekstra
hati hati,”kata Ismail.
Sejak awal, tujuan utama BOK untuk peningkatan pelayanan
kesehatan di Puskesmas. Sebetulnya, di NTB sudah menunjukkan
trent positif. Tapi, bila membicarakan signifikannya atau
akselerinya, belum cukup signifikan. Memang masih penuh
perjuangan. Mengapa? Perlu dipahami awal kegiatan dengan
harus ekstra hati hati. “Alhamdulilah, dilihat dari angka
angka yang ada sudah tampak, teman-teman dari lapangan
mengatakan‘suatu anugerah’dengan adanya BOK. Petugas
kesehatan menjadi lebih sering berinteraksi dengan masyarakat,”
imbuh Ismail.
Kadinkes berharap, pertama; jajaran provinsi, kabupaten/kota
dan puskesmas menjalankan fungsi seperti yang sudah diatur
dalam pedoman, dengan menjalankan secara optimal. Kedua,
bila menemukan hambatan atau katakanlah kendala, kerjakan
sesuai jalur yang sudah ditetapkan. Ketiga, bertanggung jawab
secara akuntabiltas n ( Pra)
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM 27
28. MEDIA UTAMA
S
uatu hari, saya bertugas
mendata keluarga sejahtera.
Waktu itu, kebetulan menjumpai
keluarga polisi. Saya berulang
kali memberi salam, ada empat
kali, tapi tak mendapat balasan, padahal
terdengar suara sendok dan piring
berbunyi, seperti sedang makan. Saat lain
waktu, keluarga tersebut saya datangi lagi
menyampaikan vitamin A untuk balitanya,
tapi mereka menolak dengan berkata,“Aku
tak perlu vitamin A itu, sudah diperiksa
sama dokter,”katanya. Saya diacuhkan,
tak dianggap. Akhirnya, saya tinggalkan
rumah itu. Saat lain lagi, saya titip pesan
sama cucunya, agar nenek bersedia
mendatangi pos bindu, tapi tak datang
juga. Entah mengapa?
Wanita asal Mataram ini, tetap bekerja
dengan ikhlas. Ia mendapat dukungan
suami tercinta yang selalu memberikan
semangat untuk melakukan kebaikan,
sebagai kader kesehatan.“Sekarang ini,
saya sedang melakukan sosialisasi dan
pembagian TABURIA ke masyarakat.
Karena terbatasnya sosialisasi yang
dilakukan, masyarakat tidak mengetahui
aturan pemberian TABURIA ke anak.
Seharusnya 1 bungkus untuk 2 hari,
dihabiskan dalam satu hari saja.“Sewaktu
taburia habis, pernah anak mogok tidak
mau makan, kalau tidak pakai taburia,”
Cerita Hj. Marlina.
Itulah salah satu kisah kegiatan Hajah
Marlina, begitu panggilan akrabnya.
Sudah 25 tahun mengabdi menjadi
kader kesehatan di Provinsi NTB. Banyak
pengalaman dan pelajaran yang ia
dapatkan. Suka dan duka tentu telah
dirasakan. Pekerjaan dijalani dengan
rasa syukur. Terima saja pemberian dari
yang Mahas Kuasa.“Yang terpenting
niatnya ikhlas mudah-mudahan Allah
membalasnya”ujar Hj. Marlina .
Menurut Hj. Marlina, para kader
yang bertugas tidak mengharapkan
penghargaan dari pemerintah atau dari
siapap un. Seiring dengan perjalanan
waktu, penghargaan masyaraka mulai
mengalir.“Mereka sudah baik dengan
kader, terbuka menerima program pos
Kisah Kader Posyandu: Hj. Marlina
Tanpa Taburia,
Anak mogok makan
nyandu, menurut kami itu sudah cukup”,
ujar Hj. Marlina.
Terkadang kader-kader kesehatan
mendapatkan hal yang tidak
menyenangkan dalam menjalani tugasnya.
Namun kader menanggapi dengan
senyuman dan tidak membalas dengan
perlakuan yang tidak menyenangkan.
Mereka berlaku seperti itu karena tidak
paham.“Jadi, itu hal yang wajar. Maka, jika
kami bertemu dengan mereka, tetap akan
memberi pengarahan dan penjelasan
tentang kesehatan,”ujarnya dengan penuh
kelembutan.
Akhirnya, usaha para kader-kader ini
membuahkan hasil. Masyarakat yang
tadinya tidak menghargai keberadaan
dan usaha-usaha yang dilakukan kader
kesehatan, kini mulai mendatangi kegiatan
posyandu dan posyandu lansia,”ujarnya
riang.
Hj. Marlina yang bersuamikan guru SD dan
pengurus masjid ini, tetap menyambangi
masyarakat mengajak ke Posyandu.
“Biasanya orang-orang elit yang tidak mau
ke posyandu. Alasannya, mereka hanya
mau mendatangi dokter.“
Para kader-kader ini tidak menerima
honor. Secara insidentil, mereka hanya
menerima uang transport untuk
pembagian TABURIA sebanyak Rp 50.000,-.
Itupun harus dibagi 5 orang. Jadi setiap
orang mendapatkan Rp 10.000,- n(Pra)
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM28
29. B
antuan Operasional Kesehatan
(BOK) menjadi salah satu
bantuan pemerintah untuk
operasional pelayanan
kesehatan di puskesmas. Dana
tersebut digunakan untuk promosi
kesehatan, survey PHBS rumah tangga,
pembinaan desa siaga, desa siaga aktif dan
transport penyuluhan ke sekolah-sekolah.
Seluruh kegiatan tersebut diambil dari
anggaran BOK, termasuk digunakan untuk
transport kader kesehatan dan menunjang
kegiatan kesehatan lainnya.
Menurut petugas puskesmas Bayan
KLU, Lombok Utara, Indra Marsinta,
SKM, pembinaan desa siaga dilakukan
2 kali dalam setahun. Jadi setiap enam
bulan melakukan sosialisasi di tingkat
kecamatan. Dalam Sosialisasi tersebut,
Kecamatan mengundang petugas yang
ada pada 9 desa. Dana BOK dipergunakan
untuk tranportasi para undangan
sosialisasi dari desa ke kecamatan.
Selain itu, dana BOK digunakan sebagai
penunjang sosialisasi Desa Siaga Aktif
seperti membuat tanda Desa Siaga aktif
dll. Contohnya di Desa Karang Bajo yang
dijadikan desa percontohan di kecamatan
bayan sebagai Desa Siaga Aktif.
Untuk kegiatan PHBS, survey kesehatan
memerlukan biaya penggandaan
kuesioner yang biayanya juga diambil dari
dana BOK. Sedangkan dalam kegiatan
penyuluhan, dana BOK digunakan sebagai
dana transportasi petugas puskesmas
yang memberikan penyuluhan di sekolah-
sekolah.
Setiap puskesmas diberikan jatah masing-
masing sesuai dengan luas wilayah
dan banyaknya populasi di daerahnya.
“Kebetulan puskesmas Bayan yang paling
banyak, karena wilayahnya yang paling
besar,”ujar Indra Marista.
Keterlambatan cairnya dana BOK,
tidak menyurutkan semangat petugas
puskesmas ini bekerja. Biasanya pada
awal-awal tahun pasti telat. Untuk
menutup biaya kegiatan puskesmas,
mereka menggunakan dana puskesmas
yang masih ada.“Sambil menunggu
dana BOK turun kami tetap menjalankan
Terima Kasih BOK
program-program kerja puskesmas
dengan menggunakan dana sisa
puskesmas,”ujarnya.
Menurut Indra, angka kematian di NTB
yang masih tinggi membuat puskesmas di
NTB ini harus memiliki program kerja yang
jitu untuk mengurangi angka kematian
tersebut. “Untuk kesehatan Ibu dan anak,
kami lebih mempromosikan kesehatan
untuk ibu-ibu hamil. Dengan memberikan
penyuluhan dari hamil sampai proses
melahirkan. Mulai dari mengingatkan
pola makanannya sampai melakukan
proses melahirkan di sarana kesehatan
dan ditolong oleh petugas kesehatan,”ujar
Marsita.
“Terus terang, saya kurang mengerti
presentasi ibu yang melahirkan di
Sarana Kesehatan, sebab masih ada
ibu yang melahirkan di dukun. Tapi,
terjadi perubahan besar dirasakan ketika
Gubernur NTB mencanangkan kebijakan
penurunan angka kematian ibu dan anak.
“Dulu masih banyak yang melahirkan di
dukun,”ujarnya miris.
Kerjasama telah dilakukan antara bidan
dan petugas kesehatan lainnya, dengan
bina wilayah untuk terus mensosialisasikan
agar melahirkan di sarana kesehatan.
Untuk mendukung program tersebut,
telah diberikan ambulance dusun.
Sebelum ada ambulance dusun biasanya
menggunakan ojek. Biaya naik ojeknya
akan dibayar oleh puskesmas dengan
menggunakan dana dari JAMKESMAS.
Bantuan ojek diberikan berdasarkan jarak
tempuh dari rumah pasien ke puskesmas.
“Kalau dari rumah ke POLINDES itu Rp 15
ribu rupiah. Bila dari rumah ke Puskesmas
itu Rp 25 ribu,”ujar Marsinta.
Menurut Indra, perbedaan tarif ojek ini
dikarenakan setiap desa atau dusun
memiliki polindes masing-masing
dengan jaraknya lebih dekat. Sedangkan
puskesmas hanya ada di kecamatan, jadi
jaraknya lebih jauh.“Sampai sebegitunya
kita, Pak,”ujarnya penuh haru. Bahkan
bidan pun terkadang mengeluarkan
biaya untuk diberikan ke ibu yang hamil
agar mau bersalin di sarana kesehatan.
Tidak dipungkiri memang masih ada
yang melahirkan di dukun, namun sudah
berkurang.
Dengan adanya jaminan persalinan
(JAMPERSAL ) jelas membuat masyarakat
senang karena tidak mengeluarkan
biaya untuk proses kehamilan. Biasanya
kendala biaya yang membuat masyarakat
melakukan proses kehamilan dan
melahirkan di rumah dan dibantu oleh
dukun.“Dengan adanya JAMPERSAL
masyarakat sudah tidak memikirkan biaya
persalinan,”ujar Marsinta. n (Pra).
Indra Marista, Skm
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM 29
30. MEDIA UTAMA
T
ingginya angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian
bayi (AKB) di NTB, masih menyisakan pertanyaan dan
harus diselesaikan. Terus terang, data yang dikeluarkan
BPS dan data dari kabupaten/kota, berdasarkan
angkanya jauh sekali berbeda. Pernah, suatu hari kami
terpaksa mengkonfrontir tentang tingginya angka kematian
bayi dan ibu. Ternyata BPS, tidak menghitung di lapangan.
Mereka menggunakan asumsi-asumsi. Di antara asumsinya:
NTB angka pernikahan dininya sangat tinggi, asumsinya pasti
bayi banyak mati. Walau belum tentu mati. Tapi, mereka begitu
menghitungnya.
Demikian disampaikan Gubernur NTB, Tuan Guru Haji Zainul
Majdi, MA saat menyambut kehadiran Dirjen Gizi dan KIA
Kemenkes, dr. Slamet Riyadi Yuwono dan rombongan, 8 Mei 2012
di Kantor Gubernur NTB.
Menurut Tuan Guru, begitu pernikahan dini tinggi, maka keluar
skors sekian. Bila tenaga kesehatan korelasinya kurang, keluar
skors sekian, walaupun data riel yang dikumpulan dari seluruh
kabupaten/kota berdasarkan data kematian bayi yang riel jauh
rendah dibanding data BPS.“Bukan hendak mendebat, tapi itu
mungkin metode baku internasional. Tapi, pertanyaannya mana
sih data yang benar? Yang benar-benar meninggal atau yang
diasumsikan meninggal? Menurut saya, tentu yang benar benar
meninggal. Bukan bermaksud membela diri lho,”ujar Zainul.
Gubernur mengakui, merasa terganggu, NTB berstatus daerah
angka kematian bayi dan kematian ibunya.“Apa benar rata-rata
Kemenkes siap turunkan
AKI dan AKB di NTB
kematiannya lebih tinggi dari Papua, Maluku utara, atau beberapa
daerah yang banyak masalah kesehatan,”tanya Gubernur.
Menurut Zaenul, tingkat pendapatan NTB tinggi, urutan
ketujuh secara nasional. Bagaimana mengkorelasikan antara
pertumbuhan ekonomi dan tingkat ekonomi yang terus
membaik, tapi tingkat kesehatannya terus menurun?“Setahu
saya, justru korelasinya sangat positif, jika ekonomi naik biasanya
tingkat kesehatan juga naik. Nah, bagaimana menjelaskan
ekonominya makin bagus tapi angka angka statistik kesehatannya
terus menurun?”tanya gubernur lagi. Untuk itu, Zaenul
berharap, semoga Kementerian Kesehatan mampu memberi
pendekatan program yang lebih tepat memotret kesehatan NTB.
“Barangkali harus berpikir, biarlah BPS berbicara begitu, yang
penting di lapangan secara de facto data berbeda dan lebih baik
berdasarkan sweaping door to door, karena kita terus bekerja
menurunkan AKI dan AKB di NTB,“ ujar gubernur.
Untuk menyikapi masalah tersebut, dr. Slamet Riyadi Yuwono,
mengatakan Kemenkes siap terjun ke lapangan bersama
bupati/walikota untuk turunkan AKI dan AKB NTB. Hanya saja,
era otonomi, kadang ada hambatan warna kulit, parpol dan
sebagainya. Tapi, kami mencoba untuk netral.“Kami minta
diberikan jalan oleh pak gubernur untuk masuk menjalankan
dengan sebaik baiknya. Kemudian, profesi kesehatan secara
berkala membedah masalah kesehatan kabupaten dan kota. Tim
kesehatan secara berkala dan non formal tetap kontak dengan
Jakarta untuk menurunkan AKI dan AKB di NTB ,”ujar dr. Slamet. n
( Pra)
Gubernur NTB, Haji Zainul Majdi, MA
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM30
31. Untuk mensinergikan pembangunan kesehatan di NTB, memerlukan
keseriusan membedah masalah yang mendera masing-masing
daerah. Pemerintah pusat juga harus menangkap semua problem
daerah. Setiap masalah harus terhubung dengan unit pemerintah
pusat yang bertanggung jawab terhadap penyelesaiannya. Untuk
itulah memerlukan pembinaan terpadu yang melibatkan seluruh
unit utama terkait Kemenkes.
Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan
Ibu dan Anak, DR.dr.Slamet Riyadi Yuwono, DTM&H, MARS, saat
pertemuan pembinaan terpadu, 7-9 Mei, di Nusa Tenggara Barat.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat, dr. Moch
Ismail, mengatakan pembinaan terpadu ini, disertai kunjungan
lapangan ke 3 Kabupaten/Kota yaitu Lombok Barat, Lombok Tengah
dan Kota Mataram. Kemudian, dilanjutkan dengan pertemuan di
UPTT Dinas Kesehatan Lombok Tengah, RSUD Lombok Tengah,
Balai Gizi kesehatan di Desa Pruyu Lombok tengah, Puskesmas Tugo
Lombok Tengah dan POLTEKES Mataram.
Untuk menguatkan dukungan pembangunan kesehatan,
telah dilakukan penandatanganan MOU antara Gubernur NTB
dan walikota se NTB. MOU tersebut merupakan kesepakatan
implementasi peraturan daerah tentang peningkatan kesehatan ibu,
bayi, dan anak balita. Pertemuan dihadiri 183 orang dengan rincian
35-40 orang daerah dan 53 orang provinsi, terdiri dari gabungan
organisasi profesi, lintas sektor,dan lintas program. n(Pra)
Sinergikan
Pembangunan
Kesehatan di NTB
Dr. Slamet RiyadiYuwono (tengah) bersama kader teladan NTB.
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM 31
32. RAGAM
Quote seorang saudara tua, Ernawati, saat
berkomentar tentang Kepulauan Aru,
“Keberagaman milik Indonesia tercinta ini
harus disyukuri, kecuali keberagaman akses
untuk memperoleh pelayanan kesehatan...”
Oksibil, Pegunungan Bintang - Papua,
12 Mei 2012
Pagi yang tergesa dan kami yang masih
malas beranjak, setelah menempuh
perjalanan 11 jam dari Surabaya sehari
sebelumnya. Pagi itu gerimis, sekitar jam
05.30 WIT, kami berangkat dari Jayapura
menuju bandara Sentani. Menurut
petugas Trigana Air Services kami sudah
harus melapor di bandara setidaknya jam
06.00 WIT.
Trigana Air Services, maskapai dengan
jadwal penerbangan paling tentatif
sedunia! Apa pasal? Kami sudah berdiri
Catatan Perjalanan Seorang
Peneliti Kesehatan di Negeri Atas
Awan Pegunungan Bintang, Papua
di counter check in maskapai tersebut
jam 06.15 WIT dan ternyata belum buka,
dan bahkan baru dibuka pukul 09.00 WIT,
dan bahkan berangkat baru jam 11.00
WIT dari jam 07.00 yang direncanakan
semula, tanpa pemberitahuan apapun. Tak
berlebihan rasanya bila saya menyebutnya
sebagai‘maskapai dengan jadwal
penerbangan paling tentatif sedunia!’.
Saya tidak punya pilihan maskapai lain
untuk menuju Kabupaten Pegunungan
Bintang, meski dua bulan sebelumnya
masih ada satu lagi operator penerbangan
reguler yang beroperasi, Pelita Air. Tapi
kondisi saat ini yang tersisa hanya Trigana
Air Service, sisanya adalah pesawat-
pesawat kecil, Cesna, yang dioperasikan
secara full flight, atau lebih gampangnya
disebut carter, dengan biaya 24-32 juta
one way, sekali berangkat,‘murah’ sekali
bagi ukuran saya yang PNS. Hahaha...
Pesawat akhirnya berangkat dengan
membawa 32 penumpang dari 50 seat
yang tersedia dari pesawat jenis ATR ini,
sisanya... kami harus berbagi seat dengan
tumpukan beras berkarung-karung dan
kebutuhan sembako lainnya. Sungguh
perjalanan yang menyenangkan.
Tidak ada jalur alternatif transport lain
menuju Oksibil dari daerah lainnya, semua
kebutuhan di kabupaten tersebut dikirim
melalui jalur penerbangan.
Penerbangan menuju Oksibil, ibu kota
Kabupaten Pegunungan Bintang, hanya
ditempuh dalam waktu 52 menit.Waktu
tempuh yang sangat singkat dibanding
penantian panjang yang hampir 5 jam.
Kedatangan saya di wilayah palingTimur
Republik ini (berbatasan langsung dengan
Berikut pengalaman muhibah di negeri atas awan
Pegunungan Bintang, Papua. Banyak kesan mendalam
yang ditinggalkan, semoga juga meninggalkan kesan
yang mendalam bagi pembacanya.
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM32
33. Papua Nuginie), dalam penugasan terkait riset
etnografi untuk kesehatan ibu dan anak.
Dalam kunjungan lapangan kali ini, saya
harus‘menjenguk’adik peneliti saya, Mas
Aan Kurniawan, seorang anthropolog,
yang sudah‘ditanam’di Pegunungan
Bintang sepuluh hari sebelumnya, dan
dia masih harus membaur di masyarakat
setempat setidaknya sampai dengan
dua bulan ke depan. Dalam tim yang
‘ditanam’, ada 4 orang anggota tim, dua
dari Universitas Cendrawasih, anthropolog
yang juga putra daerah, ditambah satu
orang rekan peneliti perempuan asli Serui
dari Balai Biomedis di Jayapura.
Kami menginap di mess pastoran Gereja
Katolik Paroki Roh Kudus. Sebenarnya ada
penginapan di Kota Oksibil, Penginapan
Gloria, satu-satunya penginapan yang
ada di kota ini, tetapi untuk penelitian
etnografi kali ini wajib bagi kami untuk
berbaur dengan masyarakat setempat.
Rencananya 3-4 hari ke depan tim
akan bergeser untuk mukim di rumah
penduduk di salah satu distrik.
Oksibil, ibukota Kabupaten Pegunungan
Bintang, yang bahkan tak lebih luas
dari Kecamatan Jambangan, sebuah
kecamatan di Kota Surabaya tempat saya
tinggal. Di kota kecil inilah semua kendali
pemerintahan di Kabupaten Pegunungan
Bintang dikendalikan. Kabupaten
berpenduduk 100.686 jiwa ini terdiri atas
34 Distrik atau setara kecamatan, dan
257 kampung atau setara desa. Jangan
dibayangkan seperti kecamatan di wilayah
lain di Republik ini. Distrik yang bisa
dicapai dengan jalur darat, dengan mobil
double gardan tentu saja! Hanya mencapai
4 distrik, yaitu distrik Okaom, Bulankop,
Serambakon dan Kalomdol. Sisanya 30
distrik hanya bisa dicapai dengan pesawat
kecil jenis Cesna. Sebenarnya jalur darat
tetap bisa saja ditempuh, dengan keluar
masuk hutan, naik gunung, turun jurang,
dengan waktu tempuh yang... entahlah...
Di wilayah yang berada di ketinggian
2.000-3.000 meter di atas permukaan laut
ini, jalur komunikasi fix (telkom) tentu
saja tidak tersedia, meski operator seluler
Telkomsel hadir dengan sinyal cukup kuat,
setidaknya di Oksibil. Sedang operator
seluler lainnya tidak punya cukup nyali
untuk bermain di wilayah berat ini. Sekali
lagi kondisi ini hanya berlaku di Oksibil
saja! Untuk distrik lain bisa dibilang hampir
tidak ada satupun alat komunikasi yang
bisa dipakai. Hanya ada radio komunikasi
SSB untuk setidaknya konfirmasi cuaca
untuk penerbangan yang melalui wilayah
distrik-distrik tersebut. Listrik sudah bisa
nyala setiap hari. Dengan menggunakan
tenaga diesel, tenaga listrik mulai dialirkan
pada jam 5 sore sampai dengan jam 12
malam. Betul-betul hanya difungsikan
sebagai tenaga penerangan pada malam
hari saja.
PENCAPAIAN IPKM
Kabupaten Pegunungan Bintang adalah
penghuni paling dasar dari Indeks
Pembangunan Kesehatan Masyarakat
(IPKM), atau ranking 440 dari 440
kabupaten/kota. Sebuah pencapaian
mengenaskan kabupaten pemekaran dari
Kabupaten Jayawijaya sembilan tahun
lalu. Dengan ranking IPKM yang demikian,
sudah tentu kabupaten ini termasuk
Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK),
sekaligus juga DTPK (Daerah Tertinggal,
Perbatasan dan Kepulauan).
Dalam bedah data IPKM, pencapaian
cakupan‘sanitasi’dan‘akses terhadap air
bersih’kabupaten ini‘0%’. Artinya sama
sekali tidak ada air bersih dan sanitasinya
sangat buruk sekali. Nyatanya kondisi di
lapangan memang demikian, masyarakat
untuk seluruh kegiatan yang berkaitan
dengan air hanya mengandalkan air tadah
hujan. Jadi keberadaan air bersih sangat
minim sekali. Bagaimana tidak? Air mineral
dalam botol 1,5 liter di Oksibil dibanderol
seharga Rp. 45.000,-, jauh lebih mahal
dari harga bensin premium seliter yang
mencapai Rp. 35.000,-.
Dengan minimnya keberadaan air
bersih, sudah tentu sanitasipun menjadi
sangat minimal. Menurut beberapa
rekan peneliti, sebetulnya sudah mulai
ada PDAM yang khusus beroperasi di
Oksibil, tapi pelayanannya masih di
sekitar perumahan pejabat daerah saja.
Alhamdulillah... akhirnya saya pun jadi
punya alasan untuk tidak mandi, meski
tidak tahu berapa hari tahan untuk tidak
buang air besar. Imunisasi lengkap balita
di seluruh wilayah Kabupaten ini hanya
mencapai 1,67%, dan persalinan di tenaga
kesehatan pun hanya mencapai 10%.
Meski demikian balita kurus hanya sedikit
di kabupaten ini, hanya sebesar 8,77%,
meski juga yang stunting atau pendek
keberadaannya sangat banyak, sebesar
55,17%. Tidak! Tidak perlu mengurut dada
untuk pencapaian ini! Yang dibutuhkan
hanya aksi...
Seluruh data di atas didapatkan dari hasil
survey Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
yang dilakukan pada tahun 2007, meski
juga pada saat ini, lima tahun kemudian,
kondisinya tetap saja sama. Kita akan lihat
lagi pada tahun 2013 nanti, pada saat
Riskesdas kembali dilakukan, apakah telah
ada perubahan atau tidak pada status
kesehatan di masyarakat.
SUMBER DAYA KESEHATAN
Kedatangan kami disambut ramah oleh
Kadinkes Kabupaten Pegunungan Bintang.
“Kita bersaudara..., semua petugas
kesehatan bersaudara, ” katanya.
Ngobrol santai dengan Kadinkes ini
berlangsung sore hari di rumah pribadinya
yang sederhana. Tak ada lagi kantor Dinas
Kesehatan baginya, setidaknya untuk saat
ini. Kantornya telah lebur dihancurkan
massa beberapa waktu lewat. Apa sebab?
Entahlah... saya sedang tak ingin ikut
berpolemik saat ini.
Menurut pengakuan Kepala Dinas
Kesehatan, Darius Salamuk, SIP., dari 34
distrik (setara kecamatan) di kabupaten
ini, hanya 29 Puskesmas yang tersedia.
Keberadaan tenaga dokter umum hanya
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM 33
34. RAGAM
ada 10, dan pada bulan April 2012 kemarin
sempat ada tambahan dokter PTT yang
dibiayai pusat sebanyak 6 orang. Dari
keseluruhan tenaga dokter, hanya 6 orang
dengan status PNS. Dari 29 Puskesmas
yang ada, secara keseluruhan dikepalai
oleh perawat lulusan SPK.
Di wilayah kabupaten ini secara
keseluruhan ada 35 tenaga bidan, yang
setengahnya (18 bidan) terdistribusi di 29
puskesmas, dan sisanya ada di rumah sakit.
Dengan uraian kekuatan tenaga kesehaan
yang tersedia tersebut, tentu saja banyak
puskesmas yang tidak tersedia tenaga
dokter, dan bahkan meski juga hanya
untuk sekedar tenaga bidan. Menurut
Kadinkes ada beberapa puskesmas yang
hanya ada kepala puskesmasnya saja,
itupun hanya mantri lulusan SPK.
Ada satu Rumah Sakit di kabupaten ini,
yang baru beralih fungsi dari‘Puskesmas
Perawatan Plus Oksibil’sekitar bulan
Maret 2011. Rumah Sakit type apa? Belum!
Rumah sakit ini sama sekali belum pernah
dan belum layak dilakukan akreditasi.
Masih diperlukan perbaikan di sana-sini
untuk menjadikannya layak untuk sekedar
dilakukan akreditasi. Palang Merah
Indonesia dan atau sekedar bank darah
pun juga tidak tersedia di kabupaten ini.
INOVASI KEBIJAKAN LOKAL
Dengan keseluruhan yang serba minimal,
bukan berarti pemerintah setempat diam
saja. Dalam catatan ada beberapa upaya
kreatif untuk memenuhi kebutuhan akan
pelayanan kesehatan.
Tak kurang Bidan Christina Kasipmabin,
Kepala Seksi Kesehatan Ibu dan Anak,
menyebutkan pernah ada upaya
pendirian rumah singgah di Kota Oksibil.
Bidan lulusan P2B ini (lulusan SPK plus
pendidikan bidan 1 tahun) menyebutkan
bahwa pada tahun 2008-2009 sempat
didirikan rumah singgah dalam bentuk
honai (rumah khas adat tanah Papua)
untuk menampung ibu hamil dari luar
Oksibil yang diwilayahnya tidak tersedia
tenaga kesehatan. Tapi sayangnya saat
ini ibu hamil menjadi tidak tertarik
memanfaatkan fasilitas ini.
Pada tahun yang sama, sekitar tahun
2008-2010, bidan berputra dua ini
menyebutkan, bahwa dalam rangka
Gerakan Sayang Ibu (GSI) pernah
dilakukan upaya sweeping ibu hami resiko
tinggi di seluruh wilayah kabupaten
untuk dirujuk ke rumah sakit di Jayapura.
Tetapi, sejak tahun 2010 upaya ini tidak
lagi dibiayai oleh pemerintah kabupaten,
karena mahalnya biaya rujukan yang
menggunakan transportasi udara karena
tidak tersedianya alternatif jalur transport
lainnya.
Menurut Kadinkes, sejak tahun 2009,
pemerintah setempat mengajukan ke
Kementerian Kesehatan untuk pendirian
kelas khusus Sekolah Perawat Kesehatan
(SPK) dan Sekolah Kebidanan yang
akan bekerja sama dengan Biak. Kenapa
mengajukan hanya SPK yang setara SLTA?
Bukannya minimal harus setara D3? Pilihan
ini bukannya tanpa alasan. Minimnya
sumberdaya dengan pendidikan yang
memadai membuat pilihan ini yang jauh
lebih masuk akal. Akhirnya pada tahun ini,
2012, ijin didapatkan dari Kementerian
Kesehatan (PPSDM). Maka dimulailah
proses rekrutmen dan seleksi dari putra
daerah setempat. Dengan mengambil 2
sampai 3 orang lulusan terbaik SLTP di
setiap distrik. Kesemuanya akan dibiayai
dari APBD setempat. Nantinya mereka
akan disekolahkan dan diasramakan
di Kota Biak. Selain itu pemerintah
kabupaten juga akan membiayai penuh
siapa saja putra daerah yang mampu
menembus Fakultas Kedokteran
Universitas Cendrawasih (FK Uncen),
termasuk menyekolahkan spesialis
bagi tenaga dokter umum yang mau
ditempatkan di Kabupaten Pegunungan
Bintang. Pada saat ini ada 12 mahasiswa FK
Uncen yang dibiayai, dan hanya dua yang
baru mencapai sarjana kedokteran (dokter
muda).
Inovasi lain yang cukup‘gila’dilakukan
Dokter Bob. Menurut pengakuan dokter
asal Batak yang sekaligus Kepala Bidang
Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan ini
sempat membuat pelatihan dukun bayi
untuk Asuhan Persalinan Normal (APN),
yang tentu saja tidak mempergunakan
dana dari pemerintah. Alasannya
sederhana saja, “Saya belum pernah
mendengar lonceng Gereja berbunyi yang
memberitahukan ada kasus kematian bayi
saat persalinan....” Dengan persalinan
ke tenaga kesehatan yang hanya 10%,
siapa lagi yang berperan selain dukun???
Kebanyakan kematian bayi di Kabupaten
ini dalam kisaran waktu dua minggu
sampai satu bulan, bukan pada saat
persalinan. Mungkin disinilah peran
tenaga kesehatan lebih diperlukan.
Inovasi lain juga sempat datang dari
akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM)
yang akan menggandeng funding dari
luar untuk outsourcing tenaga kesehatan
dari luar Kabupaten Pegunungan Bintang
untuk ditempatkan di wilayah ini selama
satu tahun. Meski kabar ini terdengar
segar, tapi menurut Dokter Bob belum
jelas kapan akan ada realisasinya.
JAMKESMAS, JAMPERSAL, BOK &
JAMKESPA
EDISI 36 I JUNI I 2012 MEDIAKOM34