Bab II membahas kajian pustaka tentang belajar, pembelajaran, dan model Problem Based Instruction (PBI). PBI adalah pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah nyata sebagai konteks bagi siswa untuk belajar berpikir kritis dan pemecahan masalah serta memperoleh pengetahuan. PBI memiliki 5 tahapan yaitu orientasi masalah, pengorganisasian tugas belajar, pendampingan penyelidikan, pengembangan hasil karya,
1. 8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Belajar dan Pembelajaran
Menurut Gagne (Wilis, 1996:11), belajar dapat didefinisikan sebagai suatu
proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat
pengalaman yang merupakan interaksi antara individu dengan lingkungannya.
Sedangkan Fontana (1981:147) menyatakan bahwa belajar juga dapat
dipandang sebagai proses perubahan perilaku individu yang relatif tetap
sebagai hasil dari pengalaman. Perubahan perilaku individu diantaranya dapat
berupa pengetahuan, pemahaman, keterampilan, emosional, dan sikap.
Perubahan perilaku individu ini akibat adanya proses belajar yang relatif tetap,
sehingga pada akhirnya didapat suatu hasil belajar berupa perubahan perilaku
tersebut. Belajar menurut Suparno (Boston, 1996:61) merupakan proses
mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang
dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga
pengertiannya dikembangkan.
Suherman, dkk (2001:8-9) menyatakan bahwa peristiwa belajar akan lebih
terarah dan sistematik daripada belajar yang hanya semata-mata dari
pengalaman dalam kehidupan sosia di masyarakat. Belajar dengan poses
pembelajaran ada peran guru, bahan belajar, dan lingkungan kondusif yang
sengaja diciptakan. Dalam arti sempit, proses pembelajaran adalah proses
pendidikan dalam lingkup persekolahan, sehingga proses pembelajaran adalah
2. 9
proses sosialisasi individu siswa dengan lingkungan sekolah, seperti guru,
sumber/ fasilitas, dan teman sesama siswa. Sedangkan menurut konsep
komunikasi , pembelajaran adalah proses komunikasi fungsionsl antara siswa
dengan guru, siswa dengan siswa, dalam rangka perubnaha sikap dan pola
pikir yang akan menjadi kebiasan bagi siswa yang bersangutan, dimana guru
berperan sebagai komunikator, siswa sebagai komunikan, dan materi yang
dikomunikasikan berisi pesan berupa imu pengetahuan. Dalam komunikasi
banyak arah dalam pembelajaran, peran-peran tersebut bisa berubah.
B. Model Problem Based Instruction (PBI)
Dalam pembelajaran matematika, Krismanto (Puspita, 2008:10)
menjelaskan bahwa masalah adalah suatu pertanyaan yang memberikan
tantangan untuk diselesaikan. Namun, menurut Puspita (2008:10) tidak semua
pernyataan secara otomatis dapat menjadi masalah. Suatu pertanyaan akan
menjadi masalah hanya jika pertanyan itu menunjukan adanya suatu tantangan
yang tidak dapat diselesaikan oleh suatu prosedur yang rutin yang sudah
diketahui pelaku, dalam hal ini siswa.
Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Intruction) secara garis
besar merupakan penyajian kepada siswa tentang situasi masalah yang
autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka
untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri (menemukan). Seluruh proses
belajar mengajar yang berorientasi pada pembelajaran berbasis masalah adalah
membantu siswa untuk menjadi mandiri. Siswa mandiri yang percaya kepada
3. 10
keterampilan intelektual mereka sendiri memerlukan keterlibatan aktif dalam
lingkungan yang berorientasi pada inkuiri. Menurut Dewey (Trianto, 2007:67)
belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dengan respons,
merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan Lingkungan
memberi masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan
sistem saraf otek berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga
masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, serta dicari pemecahannya
dengan baik. Sejalan dengan pendapat Dewey, Rustana (Puspita, 2008:11)
menjelaskan bahwa pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Based
Instruction, PBI) merupakan model pembelajaran yang menggunakan masalah
dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir
kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh
pengetahuan dan konsep yang esensi dari mata pelajaran.
Pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Based Instruction, PBI)
digolongkan sebagai pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (Puspita,
2008:11). Menurut Yusniati (2009:10-11), masalah kontekstual adalah
masalah-masalah yang sudah dikenal, dekat dengan kehidupan riil sehari-hari
siswa. Masalah kontekstual dapat digunakan sebagai titik awal pembelajaran
matematika dalam membantu siswa mengembangkan pengertian terhadap
konsep matematis yang dipelajari dan juga bisa digunakan sebagai sumber
aplikasi matematika. Masalah kontekstual dapat digali dari (1) situasi personal
siswa, yaitu situasi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa, (2)
situasi sekolah/akademik; situasi yang berkaitan dengan kehidupan akademik
4. 11
di sekolah dan kegiatan-kegiatan yang berkait dengan proses pembelajaran,
(3) situasi masyarakat; situasi yang terkait dengan kehidupan dan aktivitas
masyarakat sekitar di mana siswa tinggal, (4) Situasi Saintifik/matematis,
situasi yang berkaitan dengan fenomena substansi secara saintifik atau
berkaitan dengan matematika itu sendiri.
Komponen- komponen dalam pembelajaran kontekstual menurut Nurhadi
(Puspita, 2008:11) adalah sebagai berikut:
1. Konstruktivisme (Constructivism)
Konstruktivisme merupakan landasan (filosofis) pendekatan
Contextual Teaching Learning (CTL), Yaitu bahwa ilmu pengetahuan itu
pada hakikatnya dibangun tahap demi tahap, sedikit demi sedikit, melalui
proses yang tidak mulus (trial and error). Dalam pandangan konstruktivis,
strategi memperoleh lebih diutamakan daripada seberapa banyak siswa
menerima dan mengingat pengetahuan.
Untuk itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan:
a. Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa.
b. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan
menerapkan idenya sendiri.
c. Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam
belajar.
2. Bertanya (Questioning)
Bertanya merupakan gambaran dalam proses berpikir. Melalui
berpikir jendela ilmu pengetahuan menjadi terbuka. Bertanya dapat
5. 12
dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing,
mengkonfirmasi, dan mengevaluasi kemampuan berpikir siswa. Selain itu,
bertanya dapat mencairkan ketegangan, menambah pengetahuan,
mendekatkan hati, menggali informasi, meningkatkan motivasi, dan
memfokuskan. Pada semua aktivitas pembelajaran, proses bertanya dapat
diterapkan antara siswa dengan siswa, antara siswa dengan guru dan guru
dengan siswa.
3. Menemukan (Inquiri)
Menemukan merupakan proses yeng penting dalam pembelajaran
agar resistensinya kuat dan memunculkan kepuasan tersendiri dalam benak
siswa dibandingkan hanya melalui penerimaan dari guru. Proses
menemukan memiliki beberapa siklus, yaitu observasi, bertanya, menduga,
mengumpulkan data, dan menyimpulkan.
4. Masyarakat Belajar (Learning Comunity)
Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada komunikasi dua arah.
Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, guru
disarankan untuk membentuk kelompok belajar agar siswa membentuk
masyarakat belajar untuk saling berbagi, membantu, mendorong , dan
menghargai.
5. Pemodelan (Modeling)
Model merupakan media pembelajaran yang ditiru, diadaptasi atau
dimodifikasi oleh siswa. Dengan adanya pemodelan, biasanya konsep akan
lebih mudah untuk difahami atau bahkan dapat menimbulkan ide baru.
6. 13
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah berpikir kembali tentang materi yang baru
dipelajari, merenungkan kembali aktivitas yang telah dilakukan, dan
mengevaluasi proses pembelajaran yang telah dilakukan.
7. Asesmen Otentik (Authentic Assesment)
Asesmen otentik adalah penilaian yang dilakukan secara
komprehensif berkenaan dengan seluruh aktivitas pembelajaran, meliputi
proses dan produk belajar sehingga seluruh usaha siswa yan telah
dilakukannya mendapat penghargaan.
Dalam Puspita (2008:13), Center for Occupational Research and
Developmen atau disingat CORD menyampaikan 5 strategi bagi pendidik
dalam rangka penerapan pembelajaran kontekstual, yang disingkat REACT,
yaitu sebagai berikut:
1. Relating: Belajar dikaitkan dengan konteks pengalaman kehidupan nyata.
2. Experiencing: Belajar ditekankan kepada penggalian (eksplorasi),
penemuan (discovery), dan penciptaan (invention).
3. Applying: Belajar bilamana pengetahuan dipresentasikan di dalam konteks
pemanfaatannya.
4. Cooperating: Belajar melalui konteks komunikasi interpersonal,
pemakaian bersama-sama dan lain-lain.
5. Transfering: Belajar melalui pemanfaatan pengetahuan di dalam situasi
atau konteks baru.
7. 14
Jadi dalam pelaksanaannya, pembelajaran berbasis masalah (Problem
Based Intruction) harus memenuhi komponen-komponen atau strategi yang
ada dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual.
1. Ciri-ciri Pembelajaran Berbasis Masalah
Menurut Arends (Trianto, 2007:68-70), berbagai pengembang
pengajaran berdasarkan masalah telah memberikan model pengajaran itu
memiliki karakteristik sebagai berikut (Krajcik, 1999; Krajcik,
Blumenfeld, Marx, & Soloway, 1994; Slavin, Maden, Dolan, & Wasik,
1992, 1994; Cognition & Technology Group at Vanderbilt, 1990)
a. Pengajuan pertanyaan atau masalah. Bukannya mengorganisasikan di
sekitar prinsip-prinsip atau keterampilan akademik tertentu,
pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan pengajaran di
sekitar pertanyaan dan masalah yang dua-duanya secara sosial penting
dan secara pribadi bermakna untuk siswa. Mereka mengajukan situasi
kehidupan nyata autentik, menghindari jawaban sederhana, dan
memungkinkan adanya berbagai solusi untuk situasi itu.
b. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Meskipun pembelajaran
berbasis masalah berpusat pada pelajaran tertentu, masalah yang
dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa dapat
meninjau dari berbagai mata pelajaran yang lain.
c. Penyelidikan autentik. Pembelajaran berbasis masalah mengharuskan
siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian
nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan
8. 15
mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis, dan membuat
ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan
eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan
kesimpulan. Namun sudah barang tentu metode yang digunakan sangat
tergantung pada masalah yang sedang dipelajari.
d. Menghasilkan produk dan memamerkannya. Pembelajaran berbasis
masalah menuntut siswa menghasilkan produk tertentu dalam bentuk
karya nyata atau artefak dan memamerkannya. Karya tersebut dapat
berupa rekaman debat, model fisik, video ataupun program komputer.
Karya nyata dan peragaan direncanakan oleh siswa untuk
mendemonstrasikan kepada teman-temannya yang lain tentang apa
yang telah mereka pelajari dan menyediakan suatu alternatif terhadap
laporan atau makalah.
e. Kolaborasi. Pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa yang
bekerja sama satu dengan yang lainny, paling sering secara
berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerja sama memberikan
motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas
kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog
dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan
berpikir.
2. Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah
Pengajaran berdasarkan masalah terdiri dari lima langkah yang
dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan suatu situasi masalah
9. 16
dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Kelima
langkah tersebut dijelaskan berdasarkan langkah-langkah pada tabel
berikut:
Tabel 2.1
Tahapan-tahapan Model Problem Based Instruction (PBI)
Tahap Tingkah Laku Guru
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran,
Tahap - 1 menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan
Orientasi siswa pada fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk
masalah memunculkan masalah, memotivasisiswa untuk
terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih.
Tahap - 2 Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan
Mengorganisasikan mengorganisasikan tugas belajar yang
siswa untuk belajar berhubungan dengan masalah tersebut.
Tahap - 3 Guru mendorong siswa untuk menggumpulkan
Membimbing informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen
penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan
individual maupun masalah.
kelompok
Tahap - 4 Guru membantu siswa dalam merencanakan dan
Mengembangkan dan menyiapkan hasil karya yang sesuai seperti laporan,
menyajikan hasil video, dan model serta membantu mereka untuk
karya berbagi tugas dengan temannya.
10. 17
Tahap – 5 Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi
Menganalisis dan atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan
mengevaluasi proses atau proses yang mereka gunakan
pemecahan masalah
Sumber : Ibrahim & Nur (Trianto, 2007:71-72)
Di dalam kelas PBI, menurut Ibrahim (Trianto, 2007:72) peran
guru berbeda dengan kelas tradisional. Peran guru dalam kelas PBI antara
lain sebagai berikut:
a. Mengajukan masalah atau mengorientasikan siswa kepada masalah
autentik, yaitu masalah kehidupan nyata sehari-hari.
b. Memfasilitasi/ membimbing penyelidikan misalnya melakukan
pengamatan atau melakukan eksperimen/ pecobaan.
c. Memfasilitasi dialog siswa.
d. Mendukung belajar siswa.
3. Manfaat Pembelajaran Berbasis masalah
Pengajaran berdasarkan masalah menurut Ibrahim (Trianto,
2007:70) tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi
sebanyak-banyaknya kepada siswa. Pengajaran berdasarkan masalah
dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan
berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual; belajar
berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman
nyata atau simulasi; dan menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri.
11. 18
4. Kelemahan Pembelajaran Berbasis masalah
Selain memiliki kelebihan, Pembelajaran Berbasis Masalah juga
mempunyai kelemahan. Menurut Killen (Soekisno, 2002: 16) beberapa
kelemahan pemecahan masalah sebagai salah satu strategi pembelajaran
adalah:
a. Pemecahan masalah dianggap oleh para siswa sebagai suatu hal yang
merepotkan.
b. Pemecahan masalah dinggap oleh para siswa tertarik dan percaya
bahwa mereka dapat menyelesaikan masalah tetapi kenyataannya
siswa ragu untuk mencoba.
c. Pembelajaran dengan berdasarkan masalah akan berhasil jika
dilengkapi dengan persiapan waktu yang cukup lama.
d. Karena siswa cenderung untuk bekerja seniri, mereka mungkin tidak
dapat ”menemukan” semua hal yang seharusnya mereka dapatkan.
e. Ketika mereka belajar dalam suatu kelompok, siswa yang
kemampuannya kurang percaya diri, cenderung didominasi oleh siswa
yang pandai.
f. Siswa yang menggunakan strategi pemecahan masalah yang tidak tepat
mungkin akan membuat kesimpulan yang salah,
g. Para siswa yang menganggap guru sebagai satu-satunya sumber ilmu
pengetahuan mungkin merasa tidak nyaman dengan teknik pemecahan.
12. 19
C. Pembelajaran Biasa (Konvensional)
Pembelajaran biasa (Konvensional) adalah pembelajaran yang
menggunakan metode ekspositori yakni pembelajaran yang menekankan
kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada
kelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran
secara optimal (Maryani, 2008:9). Sedangkan Ruseffendi (Yusniati, 2009:22)
menyatakan bahwa pembelajaran matematika konvensional pada umumnya
memiliki kekhasan tertentu, misalnya lebih mengutamakan hafalan daripada
pengertian, menekankan pada keterampilan berhitung, mengutamakan hasil
dari proses, dan pengajaran yang berpusat pada guru. Adapun tahap-tahap
pembelajaran ekspositori menurut Sanjaya (Maryani, 2008:21) adalah sebagai
berikut:
1. Persiapan (preparation)
Langkah persiapan berkaitan dengan mempersiapkan siswa untuk
menerima pelajaran. Tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan
persiapan adalah:
a. Mengajak siswa keluar dari kondisi mental yang pasif.
b. Membangkitkan motivasi dan minat siswa untuk belajar.
c. Merangsang dan menggugah rasa ingin tahu siswa .
d. Menciptakan Suasana dan iklim pembelajaran yang terbuka.
2. Penyajian (presentation)
Langkah penyajian adalah langkah penyampaian materi pelajaran
sesuai dengan persiapan yang telah dilakukan agar materi pelajaran dapat
13. 20
dengan mudah ditangkap dan dipahami oleh siswa. Ada beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam pelaksanaan langkah ini, diantaranya
penggunaan bahasa, intonasi suara, menjaga kontak mata dengan siswa.
3. Menghubungkan (correlation)
Adalah langkah menghubungkan materi pelajaran dengan
pengalaman siswa atau dengan hal lain yang memungkinkan siswa dapat
menangkap keterkaitannnya dalam struktur pengetahuan yang telah
dimilikinya. Langkah ini dilakukan untuk memberikan makna terhadap
materi pelajaran, baik makna untuk memperbaiki struktur pengetahuan
yang telah dimilikinya, maupun makna untuk meningkatkan kualitas
kemampuan berpikir dan kemampuan motorik siswa.
4. Menyimpulkan (generalization)
Menyimpulkan adalah tahap untuk memahami inti (Core) dari
materi pelajaran yang telah disajikan. Menyimpulkan berarti pula
memberikan keyakinan pada siswa tentang kebenaran suatu pelajaran.
Dengan demikian siswa tidak merasa ragu lagi akan penjelasan guru.
Menyimpulkan dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan
cara mengulang kembali inti-inti materi yang menjadi pokok persoalan,
memberikan beberapa pertanyaan yang relevan dengan materi yang telah
disajikan. Dengan cara demikian diharapan siswa dapat menangkap inti
materi dan mengingat kembali keseluruhan materi pelajaran yang telah
dibahas.
14. 21
5. Penerapan (aplication)
Adalah langkah untuk mengetahui kemampuan siswa setelah
mereka menyimak penjelasan guru. Melalui langkah ini, guru akan dapat
mengumpulkan informasi tentang penguasaan dan pemahaman materi
pelajaran oleh siswa. Teknik yang bisa dilakukan pada langkah ini
diantaranya dengan membuat tugas yang relevan dengan materi yang telah
disajikan dan memberikan tes yang sesuai dengan materi pelajaran yang
telah disajikan.
Kemudian Nasution (Yusniati, 2009: 21-22) memberikan gambaran ciri-
ciri pembelajaran konvensional yaitu:
1. Bahan pelajaran disajikan kepada kelompok, kepada kelas sehingga
keseluruhan tanpa memperhatikan siswa secara individual.
2. Kegiatan pembelajaran umumnya berbentuk ceramah, kuliah, tugas
tertulis, dan media lain menurut pertimbangan guru.
3. Siswa umumnya bersifat pasif, karena terutama harus mendengarkan
penjelasan guru.
4. Dalam kecepatan belajar, siswa harus belajar menurut kecepatan umumnya
ditentukan oleh kecepatan guru mengajar.
5. Keberhasilan belajar umumnya dinilai oleh guru secara subjektif.
6. Diharapkan bahwa hanya sebagian kecil saja akan menguasai bahan
pelajaran secara tuntas, sebagian lagi menguasai sebagian saja, dan ada
lagi yang akan gagal.
15. 22
7. Guru terutama berfungsi sebagai penyebar atau penyalur pengetahuan
(sebagai sumber informasi atau pengetahuan).
Pembelajaran konvensional mempunyai kelemahan-kelemahan dan
keunggulan. Kelemahan dari pembelajaran konvensional menurut Yusniati
(2009:22-23) adalah:
1. Kurikulum disajikan secara linier.
2. Kurikulum dijadikan bahan acuan yang harus diikuti.
3. Aktivitas pembelajaran terikat pada buku pegangan (buku teks).
4. Siswa dianggap sesuatu yang kosong (kertas putih), dimana guru akan
menggoreskan pengetahuan diatasnya.
5. Guru bertindak sebagai pusat informasi.
6. Penilaian dilakukan dengan pemberian tes hasil belajar yang terpisah dari
proses belajar mengajar.
7. Siswa banyak bekerja secara individual.
Sedangkan keunggulan dari pembelajaran konvensional (Yusniati,
2009:23) adalah guru dapat mengejar target kurikulum sesuai dengan alokasi
waktu yang tersedia. Dan guru merasa nyaman karena seakan-akan tidak ada
tuntutan terhadap inovasi atau perubahan-perubahan dalam proses belajar
mengajar karena guru diberi wewenang penuh terhadap kegiatan proses
belajar mengajar.
16. 23
D. Penalaran Matematis
Penalaran adalah suatu proses atau aktivitas berpikir untuk
menarik kesimpulan atau membuat pernyataan yang telah dibuktikan
kebenarannya (Setyono, 2008). Sejalan dengan pendapat Setyono, Shufer dan
Pierce (Puspita, 2008:8) mendefinisikan penalaran sebagai terjemahan dari
reasoning, yaitu proses pencapaian kesimpulan logis berdasarkan fakta-fakta
dan sumber yang relevan. Selain itu, kemampuan penalaran matematis
manurut Sastrosudirjo (Nela, 2006:16), meliputi:
1. kemampuan untuk menemukan penyelesaian pemecahan masalah.
2. kemampuan untuk menarik kesimpulan suatu pernyataan dan melihat
hubungan implikasi.
3. kemampuan untuk melihat hubungan antar ide-ide.
Killpatrick dan Findell (Puspita, 2008:9) juga menjelaskan bahwa
kemampuan penalaran adalah kemampuan siswa untuk menarik kesimpulan
secara logis, memperkirakan jawaban, memberikan jawaban, memberikan
penjelasan mengenai konsep dan prosedur jawaban yang digunakan, dan
membuktikan secara matematis Kemampuan penalaran ini dikenalkannya
sebagai penalaran adaptif dengan indikator sebagai berikut:
1. Mampu mengajukan dugaan atau konjektur,
2. Mampu memberikan alasan mengenai jawaban yang diberikan,
3. Mampu menarik kesimpulan dari suatu pernyataan,
4. Mampu memeriksa kesahihan suatu argumen,
5. Mampu menemukan pola dari suatu masalah matematis.
17. 24
Adapun indikator penalaran matematis menurut Utari (Puspita, 2008:11-
12), adalah sebagai berikut:
1. Menarik kesimpulan logis
2. Memberikan penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hubungan atau pola.
3. Memperkirakan jawaban dan proses solusi.
4. Menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi, atau membuat
analogi, generalisasi, dan menyusun konjektur.
5. Mengajukan lawan contoh.
6. Memeriksa validitas argumen, membuktikan, dan menyusun argumen
yang valid.
7. Menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak langsung,dan
pembuktian dengan induksi matematis.
Dalam penelitian ini, indikator penalaran yang digunakan adalah sebagai
berikut:
1. Menarik kesimpulan logis,
2. Memperkirakan jawaban dan proses solusi,
3. Memberikan alasan mengenai jawaban yang diberikan,
4. Menemukan dan menggunakan pola dari suatu masalah matematis.
E. Hasil Penelitian yang Relevan
1. Puspita (2008) yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Berbasis
Masalah (Problem Based Instruction) untuk Meningkatkan Kemampuan
Penalaran Matematis” menyimpulkan bahwa kemampuan penalaran
18. 25
matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model
pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi daripada kemampuan
penalaran matematis siswa yang pembelajan menggunakan model
konvonsional. Hasil ini menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan
peningkatan kemampuan penalaran yang signifikan antara kelas
eksperimen dan kelas kontrol. Dengan demikian, model pembelajaran
berbasis masalah dapat dijadikan salah satu alternatif dalam pembelajaran
matematika untuk meningkatkan kamampuan penalaran matematis siswa.
Sementara itu, hasil pengolahan instrumen non tes menunjukkan bahwa
siswa merespons secara positif pelaksanaan model pembelajaran berbasis
masalah dalam pembelajaran matematika.
2. Nurmalia (2009) yang berjudul “Meningkatkan Kemampuan Pemecahan
masalah dan komunikasi matematis siswa SMP melalui Pendekatan
Problem Based Learning (PBL)” menyimpulkan bahwa kemampuan
pemecahan masalah dan komunikasi matematis yang pembelajarannya
menggunakan model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi daripada
pembelajannya menggunakan model konvensional. Di samping itu
terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara kemampuan
pemecahan masalah dan komunikasi matematis sebagai pengaruh dari
pembelajaran dengan pendekatan PBL, serta siswa memberikan respons
positif terhadap penerapan pendekatan PBL dalam pembelajaran. Dengan
demikian pendekatan PBL dapat dijadikan alternatif dalam pembelajaran
19. 26
matematika untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan
komunikasi.
3. Sarah (2005) yang berjudul “Pengembangan Model Pembelajaran Problem
Based Instruction untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa”
menyimpulkan bahwa model PBI yang dikembangkan dapat meningkatkan
hasil belajar siswa dan efektivitas pembelajaran.