Makalah ini membahas manajemen kualitas tanah dan air yang penting untuk kegiatan perikanan budidaya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tanah dan air meliputi tekstur tanah, kandungan bahan organik, dan pH tanah. Pengelolaan faktor-faktor ini diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan organisme perairan yang dibudidayakan.
M A N J E M E N K U A L I T A S A I R D A N T A N A H
1. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
MAKALAH
MANAJEMEN KUALITAS TANAH DAN AIR DALAM
KEGIATAN PERIKANAN BUDIDAYA
Disampaikan dalam
Apresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT)
Ditjen Perikanan Budidaya
(3 s/d 8 Maret 2008 di BBAP Takalar)
NANA S.S. UDI PUTRA, S.Hut. M.Si
Email : nana_ssup@yahoo.com
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN
DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA
BALAI BUDIDAYA AIR PAYAU TAKALAR
2008
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 0
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
2. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
MANAJEMEN KUALITAS TANAH DAN AIR DALAM
KEGIATAN PERIKANAN BUDIDYA1
Oleh : Nana S.S. Udi Putra, S.Hut. M.Si2
Staf Balai Budidaya Air Payau Takalar
A. PENDAHULUAN
Kehadiran phytoplankton yang melimpah di air tambak akan tampak
berwarna hijau, mengundang kehadiran zooplankton berkembang dengan
baik, keduanya menjadi sumber makanan yang baik bagi ikan atau udang
yang dipelihara di dalamnya. Untuk meningkatkan pertumbuhan
phytoplankton dan mempertahankannya dalam kondisi optimum produktivitas
air harus mengandung sejumlah nutrisi yang cukup. Ketersediaan makanan
dalam sebuah rantai makanan menjadi sangat penting bagi kelompok yang
ada di atasnya.
Keberadaan makanan dan terciptanya rantai makanan yang baik
menjadi hal yang sangat fital. Kondisi yang baik tersebut sangat dibutuhkan
kondisi lingkungan yang sangat mendukung termasuk didalamnya adalah
ketersediaan makanan. Faktor-faktor lingkungan yang dimaksud meliputi
faktor fisika-kimia dan biologi dari tanah dan air serta faktor-faktor eksternal
yang sangat mempengaruhinya. Sehingga kenapa kualitas tanah dan air itu
penting? Karena tanah dan air adalah lingkungan dimana organisme air
hidup. Tanah dan berinteraksi menghasilkan suatu kondisi lingkungan yang
cocok bagi kehidupan ikan. Badan dan insangnya terus berinteraksi dengan
tanah dengan apapun yang terlarut dan tersuspensi di dalam air. Sehinga
kualitas air secara langsung mepengaruhi kesehatan dan pertumbuhan
organisme yang dibudidayakan. Kualitas air yang jelek akan menimbulkan
stress, penyakit, dan pada akhirnya menimbulkan kematian ikan/udang.
Pengendalian kondisi lingkungan budidaya agar tetap stabil dan
optimal bagi organisme perairan termasuk hewan budidaya manjadi sangat
perlu dilakukan. Sehingga secara khusus pengolahan tanah dan air sebagai
tempat budidaya perlu dilakukan.
B. MANAJEMEN KUALITAS TANAH
Produktivitas budidaya ikan/udang/kepiting secara alamiah atau
tradisional tergantung sangat besar pada keberadaan makanan alami dan
kondisi lingkungan yang baik bagi ikan/udang. Lingkungan tambak sangat
dipengaruhi oleh faktor tanah dan air. Kemampuan untuk memanipulasi
keberadaan kedua faktor tersebut berpengaruh kepada produktivitas hasil
budidaya. Walaupun air adalah media langsung bagi udang dan selalu
berinteraksi di dalamnya namun tanah tetap memberikan andil bagi kualitas
air dimana udang hidup di dalamnya, karena interaksi keduanya akan
berpengaruh pada kualitas air (Boyd, 1995). Sehingga pengelolahan tanah
tambak terutama tanah dasar menjadi sangat penting.
1
Makalah disampaikan pada Disampaikan dalamApresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT)
Ditjen Perikanan Budidaya, tanggal 3 s/d 8 Maret 2008 di BBAP Takalar
2
Calon Perekayasa BBAP Takalar
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 1
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
3. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
Faktor-faktor penting yang perlu mendapat perhatian dalam
pengolahan tanah tambak diantaranya adalah :
1. Tekstur Tanah
Tekstur tanah dimaksudkan pada ukuran partikel tanah dari yang harus
sampai ke ukuran yang kasar seperti debu, lempung dan pasir. Umumnya di
kawasan di estauri tanahnya mempunyai ketiga jenis tekstur tersebut, namun
karena situasinya yang selalu basah maka yang lebih nyata terlihat adalah
tekstur lempung dan pasir. Di suatu kawasan tambak akan bisa kita temukan
komposisinya tercampur namun akan terlihat yang mana yang paling
dominan apakah lempung atau pasair. Di kawasan dengan tanah yang
didominasi pasir, maka kekompakan sangat rendah sehingga porositas air
akan sangat besar, akibatnya sering terjadi kehilangan air di tambak, atau
terkadang terjadi rembesan yang memaksa harus selalu melakukan
penambahan air setiap hari. Akan tetapi kelebihannya adalah infiltrasi oksigen
ke dalam tanah lebih mudah segingga proses oksidasi dan dekomposisi
terjadi secara aerob. Sebaliknya untuk jenis lempung akan lebih kompak,
tanah menjadi kedap air tidak akan mudah melewatinya sehingga
porositasnya sangat rendah. Tidak perlu melakukan penambahan air kecuali
bocor karena pelubangan oleh udang dll. Karena infiltrasi oksigen yang
rendah berdampak pada proses oksidasi dan dekomposisi lebih bersifat
anaerob. Karena karakteristik dan dampak yang ditimbulkannya maka perlu
melakukan pemilihan kawasan tambak dengan campuran kedua tekstur yang
proporsional. Dengan proporsi tekstur yang tepat dihasilkan kondisi tambak
yang ideal dan mampu menghasilkan produktivitas tambak. Untuk tambak
udang yang baik proporsi pasir dan lempungnya adalah 30-40 % (pasir) dan
70-60% (lempung) (Direktorat Pembudidayaan, 2003).
Tabel 1. Tekstur tanah, karakteristik dan dampaknya terhadap kondisi tambak
Tekstur
Karakteristik
tanah
Pasir - tanah tidak kompak, porositas tinggi
- Infiltrasi oksigen tinggi
- Sering terjadi rembesan air, harus melakukan penambahan air
tiap hari/waktu
- Proses oksidasi dan dekomposisi terjadi secara aerob
Lempung - Tanah kompak, Tanah kedap
- Infiltrasi oksigen sangat rendah
- Tidak ada rembesan air
- Proses oksidasi dan dekomposisi terjadi secara anaerob
Terkadang di lapangan juga menemukan kondisi tanah dengan
campuran tekstur dan jenis tanah gambut. Tanah gambut adalah tanah yang
terbentuk akibat proses dekomposisi yang belum sempurna. Mikrobial
dekomposer tidak bisa bekerja efektif karena kondisi tanah yang asam (pH <
4). Kondisi lingkungan yang terbatas membuat pembentukan nutrien tidak
berjalan dengan baik, sehingga phytoplankton tidak berkembang dengan
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 2
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
4. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
baik. Tanah gambut biasanya dicirikan dengan kondisi air yang berwarna
kecoklatan, tanah yang empuk dan biasanya terkonsentrasi pada lokasi
sirkulasi air yang kurang baik. Kondisi tanah gambut yang cenderung asam
tidak baik untuk budidaya ikan/udang/kepiting.
2. Bahan organik
Bahan organik adalah sumber energi bagi bakteri dan mikroba yang
menghasilkan nutrisi proses biokimia. Akan tetapi nutrisi yang dihasilkan
tidaklah selalu memberikan manfaat bagi ikan yang dibudidayakan, justru
sebaliknya bisa menjadi penyebab kematian bagi ikan/udang yang dipellihara.
Bahan organik selalu menempati bagian dasar tambak. Pada umumnya
bahan organik adalah berasal dari endapan karbohidrat, protein dan sel-sel
lainnya baik yang mudah (karbohidrat dan protein sederhana) atau yang sulit
(karbohidrat dan protein kompleks) di degradasi oleh mikroorganisme yang
biasanya berasal dari sisa makanan, pupuk, organisme mati. Akan tetapi
keberadaan bahan organik tersebut bisa dipertahankan pada kondisi optimal
dengan melakukan pengaturan penggunaan jenis ikan, budidaya polikultur,
densitas penebaran, pemupukan, kuantitas dan frequensi pemberian pakan,
pergantian air, dan pemberian aerasi (Boyd, 1995). Tambak baru biasanya
mempunyai kandungan bahan organik yang rendah (Boyd, 1995).
Oksigen yang terlarut di dalam bagian dasar tambak sangat terbatas
karena harus terjadi proses difusi melalui pori-pori partikel sedimen tanah
(Boyd, et al., 2002). Ada dua proses oksidasi oleh organisme untuk
mendekomposisi bahan organik yakni proses secara aerobik dan anaerobik.
Proses aerobik bisanya terjadi pada wilayah permukaan dimana oksigen
tersedia banyak, dicirikan dengan warna sedimen yang lebih terang (Tabel 2).
Berbeda dengan proses aerobik, proses anaerobik terjadi karena
keterbatasan oksigen dan umumnya ada di bagian dalam dan endapan akan
berwarna abu-abu sampai hitam, warna ini disebabkan oleh kehadiran ion
feroksida (Fe2+) di dalam endapan (Boyd, et al., 2002).
Tabel 2. Warna dan kondisi sedimen tanah dasar tambak (Boyd , 1995)
Warna endapan tanah Proses dekomposisi Senyawa
Cokelat/terang Aerobik Fe(OH)3
Hitam - Abu-abu Anaerobik FeS-FeS2
Proses dekomposisi aerobik menghasilkan air, CO2, ammonia dan
nutrisi, sedangkan pada proses anaerobik menghasilkan alkohol, keton,
aldehid, senyawa organik oleh proses permentasi dan proses yang
menggunakan oksigen melalui senyawa nitrat, nitrit, besi, mangan oksida,
sulfat dan CO2 yang menghasilkan gas nitrogen, ammonia, ferroksida,
hidrogen sulfida, manganeous mangan (Mn2+), dan methan (Blackburn,
1987). Produk dekomposisi seperti hidrogen sulfida dan nitrit berbahaya bagi
ikan dan udang.
Tanah organik mempunyai 15 – 20 % karbon organik yang
mengandung sekitar 30-40% bahan organik dan 45-50% dari bahan organik
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 3
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
5. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
tanah adalah karbon (Boyd et.al, 2002). Kemudian Boyd, et al (2002 )
mengklasifikasikannya menjadi empat kategori karbon organik seperti tertera
pada Tabel 3. Lebih jelas lagi pengkategorian dibuat oleh Adhikari, (2003),
menjelaskan tingkat produktivitas tanah berdasarkan kandungan bahan
organik (Tabel 4). Namun dari kedua penjelasan tersebut dapat disimpulkan
bahwa kandungan bahan organik akan sangat baik dan mendukung
pertumbuhan mikroorganisme bila ada pada rang 1.5 -2.5 % dan selebihnya
dan kurang ari angka tersebut akan sangat merugikan bagi pertumbuhan
mikroorganisme.
Tabel 3. Klasifikasi karbon organik di dalam tambak (Boyd, et al, 2002)
Karbon organik
Keterangan
(%)
> 15 Tanah organik
3.1 - 15 Tanah mineral, mempunyai kandungan bahan organik
yang tinggi
1.0-3.0 Tanah mineral, mempunyai kandungan bahan organik
sedang, baik untuk lokasi budidaya
<1 Tanah mineral, mempunyai kandungan bahan organik
yang rendah
Tabel 4. Kategori kandungan karbon organik yang berkaitan dengan
produktivitas tanah Adhikari, (2003).
Karbon organik
Keterangan
(%)
> 2.5 Kandungan bahan organik tinggi, tidak cocok untuk
tambak ikan/udang, mikroba berlebih, oksigen defisit
1.5 – 2.5 Kandungan bahan organik sedang, tanah produktif
< 0.5 Kandungan bahan organik kurang, tanah tidak produktif
Perlakuan yang bisa dilakukan bila terlalu banyak bahan organik
adalah dengan melakukan pembuangan endapan bahan organik terutama
yang berwarna gelap atau hitam. Bila kekurangan maka perlu pemberian
nutrien tambahan dengan cara memberikan pupuk.
3. pH Tanah
pH tanah adalah salah satu faktor penting untuk mempertahankan
produktivitas tambak. Tanah tambak bisa memiliki pH kurang dari 4 atau
lebih dari 9 namun pH tanah yang ideal buat tambak adalah pH 7, sangat baik
bagi produktivitas tambak dan akan menghasilkan produksi ikan dan udang
yang baik (Boyd, 1995; Adhikari, 2003) dan pada pH tersebut merupakan
kondisi optimal bagi keberadaan phosfor di dalam tanah, serta sangat cocok
untuk berbagai mikroorganisme dekomposer seperti bakteri (Boyd, 2002).
Sumber keasaman tanah di tambak adalah ion alumunium (Al2+). Ion
alumunium terhidrolisa menjadi alumunium hidroksida, yang melepaskan ion-
ion hidrogen (Boyd, et al., 2002). Tanah yang asam akan mempengaruhi pH
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 4
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
6. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
air, dengan demikian perlu upaya netralisasi. Untuk mengatasi kondisi asam
di dalam tanah biasanya mengunakan tanah kapur untuk perlakuan
penetralan (Tabel 5). Air tambak yang memiliki kandungan karbonat dan
bikarbonat rendah akan menurunkan total alkalinitas, menurunkan
konsentrasi kalsium dan magnesium. Alkalinitas air rendah akan menurunkan
kesadahan air. Kondisi tersebut akan mengurangi kemampuan netralisasi pH
dan proses dekomposisi bahan organik karbon karena mikroorganisme
kurang aktif pada pH yang rendah.
Tabel 5. Perlakuan penambahan kapur berdasarkan nilai pH tanah dan
alkalinitas (Boyd, et al. 2002)
pH tanah Kebutuhan penambahan kapur (kg/Ha)
< 5.00 3000
5.0-5.4 2500
5.5-5.9 2000
6.0-6.4 1500
6.5-7.0 1000
4. Tanah Berpyrit
Di beberapa daerah estuaria tanahnya banyak mengandung pyrit. Bila
tanah tambak berpyrit pH tanah bisa berkisar antara 5 – 7 pada saat basah
dan bisa drop hinga ke pH 2-3 pada saat kering (Dent, 1986). Kondisi
tersebut terjadi karena pada saat tanah terkena udara maka pyrit teroksidasi
dan menghasilkan asam sulfat. Oleh karena itu pada saat pengolahan tanah
lebih baik jangan dikering anginkan karena pH bisa lebih jatuh dan
berdampak pada ketersediaan pakan alami yang semakin berkurang. Kondisi
ini berdampak pada produktivitas tanah yang tidak optimal, akibat pengolahan
tanah dasar tidak bisa dilakukan secara optimal. Porositasitas tanah akan
kurang sehingga infiltrasi oksigen ke dalam tanah menjadi kurang yang
berdampak pada proses dekomposisi bahan organik akan lebih bersifat
anaerob, tanah akan berwarna hitam dan akan menghasilkan bau busuk.
Sehingga sangat jelas tanah yang berpyrit sangat sulit untuk meghasilkan
produktivitas tambak yang optimal.
5. Potensi redoks.
Redoks merupakan proses reaksi reduksi dan oksidasi yang terjadi.
Sehingga redoks merupakan gambaran reaksi reduksi dan oksidasi yang
terjadi di dalam tanah. Sehingga parameter redoks ini menjadi bagian dari
parameter yang mengindikasikan kualitas tanah tambak.
Suatu senyawa dapat teroksidasi oleh oksigen atau pelepasan ion
negatif, dan ini terjadi bila oksigen tersedia. Pada keadaan anaerob, bakteri
reduktor melakukan dekomposisi bahan organik dengan mereduksi senyawa
lain seperti Mn, Fe, dan Sulfat. Tingginya tingkat reduksi ini menunjukkan
besarnya tingkat reaksi anaerob di dalam tanah (Tabel 5).
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 5
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
7. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
Tabel 5. Warna dan kondisi sedimen tanah dasar tambak (Reis, 1985)
Potensi redoks
Warna Senyawa Kondisi
(m.V)
Cokelat >- 100 Fe(OH)3 Dekomposisi aerobik
Hitam < - 200 FeS Dekomposisi anaerobik
Abu-abu ( -100 ) – ( - 200 ) FeS2 Dekomposisi terhambat
Dalam pengukuran potensi redoks, nilai negatif menunjukkan nilai
kebutuhan oksigen untuk proses oksidasi di dalam sedimen, semakin tinggi
nilai redoks akan semakin baik. Nilai yang optimal bagi tanah tambak adalah
> 250 m.V (Direktorat Pembudidayaan, 2003). Untuk meningkatkan nilai
potensi redoks, pada saat pengolahan tanah perlu dilakukan pengeringan dan
pembalikan tanah atau membuang endapan lumpur dasar tanah.
6. Amonia (NH3)
Amonia sebagai senyawa racun, terutama yang dalam bentuk tidak
terionisai, jelas dapat digunakan sebagai parameter penentu kualitas
sedimen. Semakin tinggi kadarnya, makin rendah kualitasnya. Amonia di
sedimen ada yang terlarut dalam air pori, ada pula yang terikat pada zarah
tanah sedimen. Namun demikian keduanya dapat terlepas ke air apabila
mengalami pengadukan yang kuat. Timbunan ammonia di sedimen dapat
terjadi bila laju amonifikasi bahan organik-N sangat tinggi, tidak diikuti oleh
proses nitrifikasi yang seimbang. Sumber ammonia di dalam tanah berasal
dari pakan yang tersisa, feces ikan/udang, pupuk dan nutrisi endapan tanah.
Ammonia tanah yang direkomendasikan adalah sebanyak. 0.03-0.05 mg/L
(Direktorat Pembudidayaan, 2003). Tindakan yang perlu dilakukan adalah
membuang endapan lumpur bahan organik tanah, membalikan tanah, dan
melakukan pengeringan.
7. Hidrogen sulfida (H2S)
Hidrogen sulfida (H2S) di tanah tambak di dalam tanah berkaitan
dengan karakteristik tanah. Akan tetapi keberadaan H2S di dalam tanah
adalah merupakan produk aktivitas oksidasi ataupun dekomposisi bahan-
bahan yang berada di dalam tanah. Umumnya H2S dihasilkan dari oksidasi
bahan organik yang mengandung protein tinggi, senyawa sulfat dan sulfur.
Jadi sangat berkaitan dengan kondisi endapan lumpur organik yang ada.
Keberadaan H2S bisa diidentifikasi secara kualitatif melalui penciuman
(Clifford, 1992) dan penampakan endapan tanah yang berwarna hitam (Boyd
et al, 2002). Kondisi optimum H2S di dalam tanah tambak sebesar 0.01-0.05
mg/L (Direktorat Pembudidayaan, 2003). Tindakan yang perlu dilakukan
adalah membuang endapan lumpur bahan organik tanah.
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 6
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
8. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
8. Nutrisi tanah tambak (N,P, K)
Tiga unsur nutrisi penting yang dibutuhkan di tambak budidaya adalah
nitrogen, phosfor (Boyd, et al 2002) dan kalium (Adhikari, 2003), karena
ketiganya merupakan pembatas bagi pertumbuhan phytoplankton. Khusus
nutrisi kalium sangat rendah dibutuhkan oleh phytoplankton (Adhikari, 2003).
Nitrogen dan phosfor bisa ditambahkan melalui penambahan pupuk, pupuk
kandang, dan makanan. Pupuk nitrogen bisa diperoleh dari jenis pupuk urea
atau ammonium. Jenis ini mudah sekali terhidrolisis menjadi ammonium, dan
ammonium merupakan nutrisi bagi phytoplankton. Sedangkan nutrisi phosfat
dapat diperoleh dari jenis pupuk kalsium fosfat atau ammonium fosfat. Status
nurisi di dalam tanah tambak dijelaskan pada Tabel 6. Sedangkan kalium
sangat dibutuhkan bagi lahan tambak yang aru dibuat.
Tabel 6. Status kesuburan tanah tambak (Adhikari, 2003)
Jenis nutrisi Konsentrasi Status tanah tambak
Phosfor < 30 ppm Produktivitas kurang
30-60 ppm Produktivitas rata-rata
60-120 ppm Produktivitas baik
> 120 ppm Produktivitas tinggi
Nitrogen < 250 ppm Produktivitas rendah
250-500 ppm Produktivitas sedang
>500 ppm Produktivitas tinggi
Fosfat yang terlarut di air akan diserap dengan cepat oleh
phytoplankton. Akan tetapi penyerapan yang besar terakumulasi di tanah
dasar tambak (2/3 dari jumlah yang diberikan ke tambak)(Boyd et al., 2002).
Selain dari penambahan nutrisi, kehadiran nitrogen dan phosfor dihasilkan
oleh proses dekomposisi bahan organik yang ada di dasar tambak, hasilnya
dapat diserap phytoplankton dan ada yang kembali ke tanah. Makanan yang
diberikan ke tambak dimanfaatkan oleh udang atau ikan hanya sekitar 10-
30% (nutrisi fosfat) dan 20-40% nutrisi nitrogen, sedangkan yang lainnya
dimanfaatkan oleh organisme lainnya (Boyd, et al. 2002).
a. Pemberian pupuk pada saat pengolahan tanah
Pemupukan ditujukan untuk mempertahankan ketersediaan nutrisi bagi
ikan/udang. Pemberian pupuk bisa dilakukan dengan menggunakan pupuk
organik atau pupuk anorganik Penggunaan pupuk organik biasanya
menggunakan pupuk kandang yang bisa berasal dari kotoran sapi, kerbau,
kambing atau ayam. Penggunaan pupuk kandang dilakukan saat pengolahan
tanah dasar dengan dosis 5000-15000 kg/ha yang dilakukan 15-20 hari
sebelum penebaran (Adhikari, 2003). Setelah pemberian pupuk kandang bila
kondisi masih asam bisa ditambahkan pengkapuran 230-250 kg/ha (Adhikari,
200). Akan tetapi biasanya bisa dilakukan 10000 kg/ha sebelum penebaran
dan kemudian disusul 5000 kg/ha setelah penebaran.
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 7
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
9. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
Pupuk unorganik (buatan) yang biasanya digunakan adalah pupuk
yang mengandung nitrogen, posfor dan kalium. Pemberian natrium dan
phosfor dilakukan dengan perbandingan (N:P 4:1). Setiap minggu bisa
diberikan pupuk nitrogen, phosfor dan kalium (N:P:K) dengan perbandingan
8 :4:2 ppm. Pemupukan diberikan setelah proses pengapuran. Ketiga unsur
nutrisi tersebut biasanya ada dalam bentuk pupuk urea, kalsium ammonium
nitrat dan ammonium sulfat. Pupuk jenis urea cocok untuk kondisi tanah aga
sedikit asam hingga netral, jenis kalsium ammonium nitrat cocok untuk tanah
sedikit lebih asam, dan jenis ammonium sulfat cocok untuk tanah yang agak
alkalin (Boyd, et.al 2003; Adhikari, 2003). Kombinasi pupuk organik dan
unorganik bisa dilakukan dengan perabandingan NPK 6:8:4 dan dua
bagiannya adalah dari pupuk kandang.
b. Pemupukan saat pemeliharaan
Bila tanah tambak asam, maka aktivitas mikrobiologi akan menurun,
dampaknya ketersediaan nutrisi akan semakin kurang sehingga pemberian
pupuk tidak efektif. Sehingga tahap awal adalah memberikan tambahan
kapur, karena akan meningkatkan pH tanah hingga mendekati netral dan
alkalinitas akan semakin tinggi, serta pemberian pupuk akan lebih efektif.
Pemberian kapur akan menstimulasi mikroba untuk melakukan
dekomposisi bahan organik. Menambah suplai kalsium ke tambak, dan
memelihara sanitasi lingkungan tambak (Adhikari, 2003). Pemberian pupuk ini
dilakukan 15-20 hari sebelum penebaran. Akan tetapi bisa dilakukan sewaktu-
waktu bila kondisi pH air tambak turun ketika pemeliharaan berlangsung
dengan melakukan penambahan 100-200 kg/ha.
Dalam pemberian pupuk tetap harus memperhatikan kondisi lahan baik
itu pH maupun ketersediaan nutrisinya. Pemberian pupuk pada saat
pengolahan tanah dan saat pemeliharaan berlangsung tertera pada Tabel 7.
Tabel 7. Pengkayaan nutrien dengan memberikan pupuk organik atu
unorganik pada periode pengolahan tanah dan pemeliharaan
(Adhikari, 2003)
Periode pemberian pupuk
Jenis pupuk Pengolahan Pemeliharaan Keterangan
tanah
Organik :
-Kotoran sapi 3-7 ton/ha 2.5-5 ton/ha/th
Pupuk buatan /
unorganik
- Urea 108-152 kg/ha 163-326 kg/ha/th Tanah netral
- Kalsium ammonium 200-280 kg/ha 300-600 kg/ha/th Tanah asam
nitrat
- Ammonium sulfat 250-350 kg/ha 375-750 kg/ha/th Tanah basa
- Single Super phosfat 156-312 kg/ha 250-468 kg/ha/th
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 8
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
10. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
C. MANAJEMEN KUALITAS AIR
Air yang digunakan untuk keperluan budidaya perikanan tidak sekedar
air (H2O), karena air mengandung banyak ion, ion-ion unsur yang kemudian
membentuk sesuatu hal yang dikenal dengan kualitas air. Konsentrasi ion
inorganik terlarut, gas terlarut, padatan tersuspensi, senyawa organik terlarut,
dan mikroorganisma yang membuat air cocok untuk kegiatan budidaya. Jadi
kualitas air yang baik adalah air yang cocok untuk kegiatan budidaya dimana
jenis komoditas budidaya bisa hidup dan tumbuh dengan normal.
Ketersediaan air yang baik penting di dalam budidaya perikanan, air yang
bagus memiliki karakteristik lingkungan spesifik untuk mikroorganisma yang di
budidayakan.
Kualitas air tidak terbatas pada karakteristik air, tapi lebih dinamis
yakni merupakan hasil dari proses faktor-faktor lingkungan dan proses biologi.
Oleh karena itu untuk menghasilkan kualitas air yang baik maka perlu ada
kegiatan monitoring yang rutin. Kebutuhan kualitas air tiap spesies berbeda-
beda bahkan dalam setiap tahap perubahan dalam satu siklus hidup dalam
satu spesies. Sehingga kondisi air media harus diuji terlebih dahulu sebelum
membuat keputusan dan mengambil tindakan selanjutnya. Oleh karena itu
setiap pembudidaya harus memahami hal-hal penting yang perlu mendapat
perhatian ketika akan dan sedang melakukan budidaya.
Faktor-faktor penting kaualitas air yang perlu mendapat perhatian
diantaranya adalah suhu air, salinitas, oksigen terlarut, pH, alkalinitas,
ammonia, nitrit, nitrat, asam sulfida, karbondioksida, dan besi. Faktor-faktor
tersebut dalam suatu tempat terus mengalami perubahan dinamis karena
adanya faktor di luar dan di dalam sistem yang kemudian saling
mempengaruhi antar faktor tersebut. Perubahan lingkungan secara kimia dan
fisika yang terjadi secara alamiah dan akibat ulah manusia yang terjadi di
lingkungan perairan. Faktor-faktor penting bagi kehidupan ikan/udang
diantaranya adalah :
1. Suhu air
Ikan adalah binatang yang bersifat poikilothermik, suhu badannya
sama atau suhunya akan kurang atau lebih 0.5 oC dari suhu air dimana ia
tempati. Sehingga metaboliknya berkorelasi dengan suhu air. Itulah sebabnya
suhu akan mengontrol laju metabolik dan tingkat kelarutan gas (Malone &
Burden, 1988; Svobodova, at al, 1993). Metabolik ikan akan
berkurang/berhenti ketika suhu tidak optimum atau perubahannya terlalu
ekstrim. Jika suhu air meningkat maka jumlah kandungan oksigen menurun
dan semakin parah ketika konsumsi oksigen oleh ikan, kepiting, udang dan
organisme di dalam air meningkat.
Oksigen yang berkurang berdampak pada aktivitas ikan berkurang
atau berhenti karena nafsu makannya berhenti. Makanan akan tersisa dan
berdampak pada meningkatnya akumulasi ammoniak di air. Suhu juga
berpengaruh terhadap munculnya serangan penyakit dan jumlah ikan yang
terkena penyakit. Secara umum imun sistem dari ikan akan optimum pada
suhu 15 oC (Svobodova, at al, 1993).
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 9
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
11. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
Tingkat toleransi ikan terhadap perubahan suhu lingkungan sangat
tergantung pada jenisnya (0 oC di musim dingin dan menjadi 20-30 oC di
musim panas). Ikan akan stress bila terjadi perubahan suhu yang tiba-tiba
dan dengan fluktuasi yang tinggi (suhu lebih dingin atau hangat 12 oC). Di
bawah kondisi tesebut ikan akan mati. Untuk anak-anak ikan fluktuasi suhu
harus lebih rendah dari 1.3-3.0 oC. Bila pemberian makan terus dilakukan,
sementara nafsu makan terhenti, ammoniak akan meningkat dan berakibat
pada tingginya ammoniak di dalam serum darah, menurunnya metabolisme
menurunkan proses difusi ammonia dari insang. Bila terus berlanjut ikan akan
mati (Svobodova, at al, 1993).
Suhu yang optimal untuk kepiting rajungan molting ada pada suhu 25
o
C. Apabila suhu lebih rendah dari 25 oC proses molting akan lebih lambat,
sebaliknya bila suhu lebih tinggi maka molting akan cepat terjadi namun yang
sukses molting sangat sedikit (Malone & Burden, 1988; Hochheimer, 1988).
Rang hidup optimal untuk kepiting rajungan ada pada kisaran 21-27 oC
(Hochheimer, 1988). Untuk jenis ikan dan udang hidup normal pada rang
suhu 28 – 32 oC, dengan fluktuasi suhu harian 4 oC. Udang akan drop ketika
suhu air berada di bawah 15 oC.
Yang perlu mendapat perhatian adalah kegiatan budidaya yang
dilakukan di tambak atau di bak-bak pemeliharaan. Maka yang perlu
mendapat perhatian adalah kedalaman dan volume air. Permasalahan
muncul ketika kedalaman tambak kurang dari 80 cm, volume air di tambak
sedikit sehingga suhu air akan lebih tinggi dibanding suhu air tambak yang
lebih dalam dan volume lebih besar. Disamping itu, ketika plankton tidak
tumbuh dengan baik, cahaya matahari akan masuk ke dalam air tanpa ada
penghalang, akibatnya akan meningkatkan suhu air.
2. PH air
Nilai pH adalah nilai dari hasil pengukuran ion hidrogen (H+)di dalam
air. Air dengan kandungan ion H+ banyak akan bersifat asam, dan sebaliknya
akan bersifat basa (Alkali). Kondisi pH optimal untuk ikan ada pada rang 6.5-
8.5. Nilai pH di atas 9.2 atau kurang dari 4.8 bisa membunuh ikan dan pH di
atas 10.8 dan kurang dari 5.0 akan berakibat fatal bagi ikan-ikan jenis tilapia.
Air dengan pH rendah terjadi di daerah tanah yang bergambut. Nilai pH yang
tinggi terjadi di perairan dengan kandungan alga tinggi, dimana proses
photosinthesis membutuhkan banyak CO2. pH akan meningkat hingga 9.0-
10.0 atau lebih tinggi jika bikarbonat di serap dari air (Svobodova, at al, 1993).
Untuk melawan kondisi pH yang rendah atau tinggi ikan akan memproduksi
lendir di kulitnya dan di bagian dalam insang. Nilai pH juga mempunyai
pengaruh yang signifikan pada kandungan ammonia, H2S, HCN, dan logam
berat pada ikan. Pada pH rendah akan meningkatkan potensi untuk kelarutan
logam berat (Malone & Burden, 1988). Peningkatan nilai pH hingga 1 angka
akan meningkatkan nilai konsentrasi ammonia di dalam air hingga 10 kali lipat
dari semula.
Secara umum air laut relatif lebih alkalin (basa) sekitar 8.0 dan air
payau relatif kurang dari 8.0. Akan tetapi organisme air laut relatif mampu
beradaptasi dengan rang pH yang lebar. Seperti kepiting tidak sensitif
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 10
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
12. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
terhadap perubahan pH antara 6.5 – 8.0 (Malone & Burden, 1988). Justru
pertumbuhannya baik pada pH 6.5-8.5 (Schheimer, 1988) Pemurnian air dan
respirasi organisme air cenderung menurunkan nilai pH hingga kurang dari 8
pada air laut. Pada pH lebih tinggi dari 8 akan meningkatkan akumulasi
unionisasi ammonia (NH3) di dalam air yang dapat berdampak pada proses
molting kepiting, sebaliknya bila pH kurang dari 7 akan menghambat proses
nitrifikasi tapi meningkatkan kelarutan logam berat (Malone & Burden, 1988).
Secara lengkap hubungan nilai pH dengan kondisi perairan disajikan pada
Tabel 8.
Udang toleran terhadap pH antara 7.0 – 9.0. Nilai pH asam kurang dari
6.5 dan pH lebih dari 10 berbahaya bagi insang udang dan pertumbuhan
terhambat (Van Wyk & Scarpa, 1999). Nilai pH yang optimal bagi kehidupan
udang ada pada rang 7.2 – 7.8., karena pada pH tersebut proses nitrifikasi
bakteri yang efektif. Pada kondisi pH kurang dari 7.8 nitrogen dalam bentuk
unionisasi ammonia sekitar 5% dari total ammonia, sebaliknya pada pH 9,
jumlah unionisasi amonia mencapai 50% dari total ammonia (Van Wyk &
Scarpa, 1999). Stabilisasi pH dipengaruhi oleh aktivitas respirasi dan
photosintesis. Respirasi akan menurunkan pH, dan sebaliknya fotosintesis
menaikan nilai pH.
Tabe 8. Hubungan pH dengan sistem perairan (Malone & Burden, 1988).
Rang pH Dampak diperairan
• Alga berkembang
• NH3 dominan dan beracun
9.0-10.0
• Proses nitrifikasi oleh bakteri terhambat
• Kalsium karbonat dan logam mengendap
• Kondisi normal air laut
8.0-9.0 • Racun NH3 menjadi masalah
• Optimal untuk proses nitrifikasi
• Kondisi normal rawa-rawa dan estuari
• Ion ammonium (NH4+) dominan, ammonia sedikit
7.0-8.0
beracun
• Proses nitrifikasi agak terhambat
• Kondisi rawa payau
• Ion ammonium (NH4+) dominan, ammonia sedikit
beracun
6.0-7.0
• Proses nitrifikasi terhambat
• Nitrit beracun
• Batuan dan logam terlarut
Penanganan terhadap perubahan pH di dalam kolom air media
budidaya bisa dilakukan. Kondisi pH yang menurun akibat adanya hujan bisa
dilakukan dengan melakukan pengapuran dengan menggunakan kapur atau
dolomit degan dosis 100 - 200 kg/ha (Adhikari, 2003). Sebaliknya bila pH
tinggi bisa dilakukan dengan melakukan pergantian air.
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 11
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
13. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
3. Alkalinitas
Alkalinitas adalah kemampuan air untuk menetralisir kehadiran asam
kuat atau ketika pH drop (Svobodova, at al, 1993, Saeni & Darusman, 2002).
Alkalinitas ditentukan oleh jumlah asam yang dibutuhkan untuk mereduksi pH.
Jika jumlah asam yang ditambahkan banyak, maka alkalinitas tinggi.
Sebaliknya, jika pH drop cepat, penambahan asam akan sedikit, dengan
demikian alkalinitas rendah.
Ion bikarbonat (HCO3-) normal ada pada rang pH 6.0 – 8.3. Bikarbonat
ion beriteraksi dengan CO2 terlarut dan ion karbonat (CO3-) mengontrol pH.
Ion karbonat mendominasi pada saat pH > 9.5, kehadiran asam ion karbonat
menyerap ion hidrogen bebas (H+) ke dalam bentuk ion bikarbonat.
Penghilangan ion hidrogen akan mengontrol pH. Ion bikarbonat akan
menyerap ion hidrogen ketika pH kurang dari 8.0, karena bikarbonat
dikonversi menjadi gas CO2 terlarut. Dengan demikian pH dapat dikontrol
dengan cara memanipulasi ion karbonat, bikarbonat dan gas karbondioksida
di dalam air.
Alkalinitas harus dipertahankan pada konsentrasi > 100 ppm untuk
udang (Van Wyk & Scarpa, 19990). Air laut normal mempunyai alkalinitas 116
ppm, sedangkan air tawar 40 ppm, tapi nilai rangnya ada pada kisaran 20 –
300 ppm (Van Wyk & Scarpa, 1999). Pengendalian alkalinitas bisa dilakukan
sebagaimana memberikan perlakuan pengendalian nilai pH.
4. DO (Dissolved Oxygen/Oksigen terlarut)
DO adalah julah oksigen yang terlarut di dalam air. Maksimum oksigen
yang terlarut di dalam air dikenal dengan “oksigen jenuh”. Oksigen masuk ke
dalam air ketika permukaan air bergolak dan berasal dari proses
photosinthesis. Peningkatan salinitas dan suhu air akan menurunkan tingkat
oksigen jenuh di dalm air. Air yang mengandung oksigen jenuh cukup untuk
mendukung kehidupan organisme air, tetapi oksigen akan cepat habis bila
organisma/ikan ditebar dalam jumlah yang padat.
Tingkat oksigen terlarut dipengaruhi oleh suhu, salinitas dan ketinggian
dari permukaan laut (dpl)(Tabel 9). Salinitas, suhu, dan ketinggian dpl
meningkat maka oksigen terlarut akan menurun (Van Wyk & Scarpa, 1999).
Oksigen terlarut di air laut lebih rendah dibanding dengan air tawar (Van Wyk
& Scarpa, 1999). Faktor biologi yang mempengaruhi jumlah oksigen terlarut
di dalam air adalah proses respirasi dan fotosintesis. Respirasi mengurangi
oksigen di dalam air sedangkan fotosintesis menambah oksigen ke dalam air.
Dari sisi lain oksigen terlarut akan berkurang akibat organisme aerobik yang
menghancurkan bahan organik di dalam air dan oleh proses respirasi
berbagai organisme yang ada di dalam air.
Tingkat konsumsi oksigen organisme air sangat bergantung pada
suhu, bobot tubuh, tanaman, dan bakteria yang ada di dalam perairan.
Akumulasi buangan padat akan meningkatkan biomas bakteri heterotropik,
hasilnya meningkatkan kebutuhan oksigen. Setiap ikan mempunyai
kebutuhan yang berbeda terhadap oksigen. Seperti Salmon membutuhkan 8-
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 12
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
14. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
10 mg/L, bila hanya terdapat 3 mg/L di dalam air, ikan akan mati lemas. Jenis
tilapia cenderung lebih rendah antara 6-8 mg/L dan mati lemas ketika hanya
terdapat 1.5-2.0 mg/L (Svobodova, et al., 1993). Pada kegiatan budidaya soft
shell kepiting rajungan menunjukkan indikasi bahwa bila oksigen > 5 mg/L
sangat baik bagi aktivitas kepiting, antara 4 – 5 mg/L nampak stress bagi
kepiting yang molting, 3-4 mg/L kepiting molting banyak yang mati, 2-3 mg/L
hanya sedikit kepiting yang hidup di saat molting, 1-2 kepiting tidak mampu
molting (Malone & Burden, 1988).
Tabel 9. Hubungan antara suhu dan salinitas air terhadap oksigen terlarut
(Hochheimer, 1985a).
SUHU SALINITAS AIR (ppt)
AIR 0 5 10 15 20 25 30 35 40
20 9.06 8.81 8.56 8.31 8.07 7.83 7.60 7.39 7.17
21 8.90 8.64 8.39 8.15 7.93 7.69 7.46 7.25 7.04
22 8.73 8.48 8.23 8.00 7.77 7.55 7.33 7.12 6.93
23 8.55 8.32 8.08 7.85 7.63 7.41 7.20 6.98 6.79
24 8.40 8.05 7.93 7.71 7.49 7.28 7.07 6.87 6.68
25 8.24 8.01 7.79 7.57 7.35 7.15 6.95 6.75 6.57
26 8.09 7.87 7.65 7.44 7.23 7.03 6.83 6.64 6.46
27 7.95 7.73 7.52 7.31 7.11 6.91 6.72 6.53 6.35
28 7.81 7.59 7.33 7.16 6.98 6.78 6.61 6.42 6.26
29 7.67 7.46 7.26 7.06 6.87 6.68 6.50 6.32 6.15
30 7.54 7.34 7.14 6.94 6.76 6.57 6.39 6.22 6.05
31 7.40 7.21 7.02 6.83 6.65 6.47 6.29 6.12 5.96
32 7.29 7.09 6.93 6.72 6.54 6.36 6.19 6.03 5.87
33 7.17 6.96 6.79 6.61 6.44 6.27 6.10 5.94 5.78
34 7.05 6.86 6.68 6.51 6.34 6.17 6.01 5.85 5.69
35 6.93 6.75 6.58 6.41 6.24 6.07 5.92 5.76 5.61
36 6.82 6.65 6.47 6.31 6.14 5.98 5.83 5.68 5.53
37 6.72 6.54 6.37 6.23 6.05 5.89 5.74 5.59 5.45
38 6.61 6.44 6.27 6.12 5.96 5.81 5.66 5.51 5.37
39 6.51 6.34 6.18 6.03 5.87 5.72 5.58 5.44 5.39
40 6.41 6.25 6.09 5.94 5.79 5.64 5.50 5.36 5.23
Kebutuhan oksigen ikan atau organisme air lainnya sangat bergantung
pada faktor-faktor suhu, pH, CO2 dan kecepatan metabolik ikannya. Faktor
pentingnya adalah suhu air dan berat tubuh. Kebutuhan oksigen meningkat
dengan meningkatnya suhu air. Berat tubuh akan berkaitan dengan aktivitas
dan akan meningkatkan respirasi. Semakin tingi berat akan semakin menurun
kebutuhan oksigen. Pada ikan yang baru satu tahun rasionya 1, umur 2
tahun rasionya : 0.5-0.7 mg/L. jenis carp saat jual : 0.3-0.4. mg/L.
Di musim dingin ikan banyak mati akibat mati lemas, dan di musim
panas suhu air meningkat dan kecepatan arus air menurun. Pada saat pagi
hari sering terjadi kekurangan oksigen akibat proses dekomposisi oleh bakteri
di malam hari dan proses respirasi tumbuhan air.
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 13
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
15. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
Kekurangan oksigen akan menyebabkan ikan/kepiting sesak napas,
aktivitas kurang dan ikan akan mati. Ikan yang kekurangan oksigen tidak akan
mengambil makanan, proses metabolismenya terbatas. Pada kondisi
tersebut, mereka akan mencari tempat yang mempunyai oksigen banyak
seperti ke permukaan air, sekitar pemasukan air. Kepiting membutuhkan
oksigen banyak sebelum molting dan survive dari stress setelah molting
(Malone & Burden, 1988). Pengendalian masalah kekurangan oksigen di
dalam air adalah dengan memberikan aerasi melalui mesin pemompa udara
atau menggunakan kincir air agar air bergerak untuk memudahkan proses
penjerapan oksigen bebas oleh air.
5. Nitrogen
Nitrogen yang terlarut di dalam air terdapat dalam 5 bentuk yakni gas
nitrogen (N2), nitrogen organik, ammonia, nitrit, dan nitrat (Malone & Burden,
1988). Istilah organik nitrogen berkaitan dengan jumlah nitrogen di dalam
bahan organik yang terlarutkan atau tersuspensi di dalam air (Malone &
Burden, 1988). Ammonia, nitrit dan nitrat merupakan produk kimia yang
dihasilkan oleh organisma dan bakteri melalui proses biologi. Ammonia dan
nitrit adalah dua bentuk nitrogen yang mempunyai daya racun yang tinggi
bagi ikan, tapi sebaliknya bagi nitrat.
6. Ammonia
Ammonia berasal dari kandungan nitrogen yang bersumber dari limbah
rumah tangga ataupun industri. Di lain pihak bisa berasal dari sisa pakan dan
sisa feses (sisa metabolisme protein oleh ikan) yang dihasilkan ikan itu sendiri
dan bahan organik lainnya. Hampir 85% nitrogen pakan untuk udang
dikonversi menjadi ammonia (Svobodova, at al, 1993). Ammonia di dalam air
ada dalam bentuk molekul (non disosiasi/unionisasi) ada dalam bentuk NH3
dan ada dalam bentuk ion ammonia (disosiasi) dalam bentuk NH4+. Kedua
bentuk ammonia tersebut sangat bergantung pada kondisi pH dan suhu air
(Tabel 10). Dinding sel tidak dapat ditembus oleh ion ammonia (NH4+), akan
tetapi ammonia (NH3) akan mudah didifusi melewati jaringan jika
konsentrasinya tinggi dan berpotensi menjadi racun bagi tubuh ikan.
Sehingga kondisi normal ada dalam kondisi asam seimbang pada hubungan
air dengan jaringan. Jika keseimbangan dirubah, seperti nilai pH di salah satu
bagian turun akan mengudang terjadinya penambahan molekul ammonia
(Svobodova, at al, 1993). Tingkat racun dari ammonia selain karena faktor
pH dan ammonia juga dipengaruhi oleh kandungan oksigen di dalam air
(Gambar 1) (Tabel 11). Air dengan nilai pH rendah maka yang dominan
adalah ammonium (NH4+), sebaliknya bila nilai pH tinggi yang dominan
adalah ammonia (NH3). Ammonia adalah bentuk yang paling beracun dari
ammonia.
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 14
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
16. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
Tabel 10. Proporsi ammonia dari total ammonia berdasarkan kondisi suhu
dan pH air (Van Wyk & Scarpa, 1999).
Suhu air (oC)
pH
24 26 28 30 32
7.0 0.005 0.006 0.007 0.008 0.009
7.2 0.008 0.010 0.011 0.013 0.015
7.4 0.013 0.015 0.018 0.020 0.023
7.6 0.021 0.024 0.028 0.031 0.036
7.8 0.033 0.038 0.043 0.049 0.056
8.0 0.051 0.058 0.066 0.075 0.085
8.2 0.078 0.089 0.101 0.114 0.129
8.4 0.119 0.134 0.151 0.170 0.190
8.6 0.176 0.197 0.220 0.245 0.271
8.8 0.253 0.281 0.309 0.340 0.371
9.0 0.349 0.382 0.415 0.449 0.483
9.2 0.460 0.495 0.530 0.564 0.597
9.4 0.574 0.608 0.641 0.672 0.701
9.6 0.661 0.711 0.739 0.762 0.788
Tingkat racun dari ammonia dipengaruhi oleh keberadaan CO2 bebas
di dalam air. Difusi CO2 di dalam insang akan menurunkan nilai pH, yang
pada akhirnya akan mengurangi rasio unionisasi ammonia. Ammonia akan
berakibat akut pada konsentrasi 1.0-1.5 mg/L khusunya pada jenis ikan tilapia
dan 0.5-0.8 mg/L pada ikan Salmon. Namun masih bisa ditoleransi pada
konsentrasi 0.05 mg/L di tilapia dan 0.0125 mg/L pada Salmon (Svobodova,
at al, 1993). Pada udang ammonia harus kurang dari 0.003 ppm dan akan
menimbulkan kematian pada konsentrasi lebih dari 0.1 ppm (Van Wyk &
Scarpa, 1999).
Gambar 1: Kandungan oksigen yang rendah, kandungan unionisasi ammonia
rendah tapi berdampak pada kematian ikan Svobodova, at al,
1993).
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 15
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
17. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
Tabel 11. Bentuk utama nitrogen di perairan (Malone & Burden, 1988).
Rumus
No Bentuk Nitrogen Keterangan
kimia
1. Gas Nitrogen N2 Tidak berdampak signifikan
2. Nitrogen organik Org-N Dekomposisi untuk menghasilkan ammonia
3. Un-ionisasi Memiliki daya racun tinggi, terutama pada
NH3
ammonia pH tinggi
4. Ammonia ion Memiliki daya racun sedang, umum ada
NH4+
pada pH rendah
5. Total ammonia NH3 + Jumlah unionisasi ammonia dan ion
NH4+ ammonium di dalam air
6. Nitrit Bentuk nitrogen yang memiliki daya racun
NO2-
tinggi
7. Nitrat NO3- Bentuk nitrogen yang tidak berbahaya
Akan tetapi ammonia di dalam air dibutuhkan oleh phytoplankton dan
organisme air (rumput laut) sebagai sumber nirogen untuk sintesa protein.
Sehingga mereka bisa digunakan sebagai biofilter. Bila terkena sinar matahari
mereka akan berkembang dan bisa menjadi blomming. Akan tetapi alga yang
banyak mati akan kembali didekomposisi menjadi ammonia dan terlarut di
dala m air. Tingginnya ammonia akan bersamaan dengan berkembangnya
populasi bakteri Vibrio. Bakteri tersebut akan menginfeksi dan membunuh
udang dan ikan. Upaya pengendalian adalah dengan memberikan aerasi dan
penggantian air.
7. Nitrit dan Nitrat
Nitrit dan nitrat ada di dalam air sebagai hasil dari oksidasi. Nitrit
merupakan hasil oksidasi dari ammonia dengan bantuan bakteri Nitrisomonas
dan Nitrat hasil dari oksidasi Nitrit dengan bantuan bakteri Nitrobacter.
Keduanya selalu ada dalam konsentrasi yang rendah karena tidak stabil
akibat proses oksidasi dan sangat tergantung pada keberadaan bahan yang
dioksidasi dan bakteri. Kedua bakteri tersebut akan optimal melakukan proses
nitrifikasi pada pH 7.0-7.3 (Malone & Burden, 1988). Hampir tidak ada nitrat
yang masuk di tanah karena proses pencucian dan penggunan pupuk.
Tingkat racun dari Nitrit sangat bergantung pada kondisi internal dan
eksternal ikan seperti, spesies, umur ikan, dan kualitas air. Ion nitrit masuk ke
dalam ikan dengan bantuan sel Klorida insang (Svobodova, at al, 1993). Di
dalam darah nitrit akan bersatu dengan haemoglobin, yang berakibat pada
peningkatan methaemoglobin (Svobodova, at al, 1993). Ini akan mengurangi
kemampuan transportasi oksigen dalam darah (Svobodova, at al, 1993).
Peningkatan methaemoglobin akan terlihat pada perubahan warna ingsang
menjadi coklat begitu juga warna darah. Jika jumlah methaemoglobin tidak
lebih dari 50% dari total haemoglobin, ikan akan tetap hidup, tapi bila melebihi
hingga 70-80% gerakannya akan melamban. Bila terus meningkat maka ikan
akan kehilangan kemampuan untuk bergerak dan tidak akan merespon
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 16
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
18. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
terhadap stimulan. Akan tetapi kondisi tersebut akan bisa kembali normal
karena eritrosit di dalam darah terdapat enzim reduktase yang mampu
mengkonversi methaemoglobin menjadi haemoglobin. Proses konversi akan
berlangsung hingga menghabiskan waktu 24-48 jam. Ini terjadi bila kemudian
ikan ditempatkan pada air yang terbebas dari nitrit.
Tingkat pengambilan nitrit di dalam air oleh sistem metabolisme ikan
melalui insang sangat bergantung pada rasio nitrit-klor di dalam air
(Svobodova, at al, 1993). Bila konsentrasi kloridanya lebih rendah 6 kali dari
konsentrasi nitrit, maka nitrit akan mampu melewati membran insang, bila
kurang maka terjadi sebaliknya (Van Wyk & Scarpa, 1999). Tingkat racun
nitrit juga dipengaruhi oleh ion bikarbonat, natrium, Kalsium dan ion-ion
lainnya, namun efeknya tidak sebesar akibat adanya klor di dalam air. Kalium
mempunyai efek yang signifikan dibanding dengan Natrium dan Kalsium.
Faktor lainnya adalah pH, temperatur dan salinitas. pH dan temperatur
mengontrol NO2 (disosiasi) dan HNO2 (non dissosiasi). Nitrit akan lebih
beracun pada kondisi pH dan salinitas yang rendah (Van Wyk & Scarpa,
1999). Untuk amannya konsentrasi nitrit harus dipertahankan pada level 1
mg/L (Van Wyk & Scarpa, 1999. Dipercaya bahwa masuknya nitrit ke dalam
plasma darah ikan bergantung pada difusi HNO2 melewati epithelium insang.
Akan tetapi tingkat racun nitrit akibat kondisi pH tidak terlalu signifikan. Ketika
kandungan oksigen di dalam haemoglobin turun kebutuhan akan oksigen
akan meningkatkan suhu tubuh. Udang jenis monodon lebih tahan terhadap
racun nitrit dibanding jenis Vanamei (Van Wyk & Scarpa, 1999). Daya racun
nitrit terhadap kepiting lebih sensitif dibanding jenis udang terutama jenis
Vanamei (Tabel 12). Udang Vanemei masih optimal pada kisaran hingga 1
ppm (Van Wyk & Scarpa, 1999).
Tabel 12. Dampak nitrit terhadap kepiting (Malone & Burden, 1988).
Konsentrasi Nirit
Dampak
(mg/L)
< 0.5 Aman bagi kepiting
0.5 – 3.0 Sebagian kepiting mati molting
3.0 – 10.0 Banyak kepiting mati molting, sebagian mati
sebelum molting
> 10.0 Hampir semua mati molting, mati sebelum molting
Tingkat racun nitrat terhadap ikan sangat rendah. Kematian yang
ditimbulkan terjadi ketika konsentrasinya mencapai 1000 mg/L; maksimum
yang dibolehkan untuk budidaya adalah 80 mg/L untuk jenis Carp, 20 mg/L
untuk rainbow trout dan 60 ppm untuk jenis udang (Van Wyk & Scarpa, 1999).
Akan tetapi udang bisa hidup pada konsentrasi nitrat hingga 200 ppm (Van
Wyk & Scarpa, 1999). Ketika air mengandung banyak oksigen tidak akan
berbahaya akan terjadinya denitrifikasi. Sehingga konsentrasi nitrat tidak
terlalu penting untuk di monitoring. Akan tetepi, karena ammonia, standar
kualitas air perlu dilakukan pencegahan eutropikasi terjadinya pembentukan
nitrat, dan berlebihannya pertumbuhan alga dan tanaman, akan kemudian
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 17
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
19. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
berdampak pada ikan. Tindakan yang bisa dilakukan adalah dengan
mengurangi volume pemberian pakan dan melakukan pergantian air hinga
50%. Yang kemudian bisa dilanjutkan dengan pemberian probiotik yang
mampu mengikat ammonia.
8. H2S (Asam sulfida)
Hidrogen sulfida (H2S) berasal dari kegiatan dekomposisi protein. Ini
muncul dari buangan industri metalurgi dan pekerjaan kimia, pabrik bubur
kertas, dan pabrik penyamakan. Penyebab lainnya adalah adanya senyawa
sulfat dan sulfur di dalam endapan tanah dan kemudian teroksidasi melalui
bantuan bakteri (Boyd, 1986) dan tertrasnfer ke dalam koloum air. Kosentrasi
yang bisa menimbulkan kematian ada pada rang 0.4 mg/L (salmon) dan 4
mg/L (carp, tench dan eel). Konsentrasi aman pada konsentrasi kurang dari
0.002 ppm (udang, Van Wyk & Scarpa, 1999). Toksisitas hidrogen sulfida
menurun dengan meningkatnya pH (>8) dan menurunkan suhu, karena
mengurangi non disosiasi H2S akan mengurangi tingkat racunnya. Pada pH
7.5 sekitar 14 % beracun, pada pH 7.2 meningkat menjadi 24%, dan pada pH
6.5 mencapai 61%, serta pada pH 6 mencapai 83% dari total sulfida yang
terlarut di dalam air (Van Wyk & Scarpa, 1999). (Tabel 13).
Tabel 13. Pengaruh Perubahan pH terhadap daya racun Hidrogen sulfida
(H2S) (Van Wyk & Scarpa, 1999).
Prosentase unionisasi
pH H2S dari Total Keterangan
Hidrogen Sulfida (%)
7.5 14
7.2 24
6.5 61
6.0 83
Hidrogen sulfida juga terbentuk dari proses dekomposisi lumpur kaya
organik. Masuk ke dalam air bersama dengan jenis gas lainnya seperti
methan dan CO2 yang terbentuk oleh proses degradasi anaerobik. Pada
kondisi aerobik H2S akan teroksidasi menjadi sulphat. Dampaknya pada ikan
dan udang adalah menurunkan pertumbuhan dan menimbulkan kematian.
Penanganan bisa dilakukan dengan melakukan proses aerasi dan pergantian
air.
9. CO2 (Karbondioksida)
Karbondioksida terlarut di dalam air dalam bentuk melekul gas.
Kelarutan CO2 diperoleh dari aktivitas respirasi mikroorganisme dan
photosyntesis phytoplankton. Hanya 10% dalam bentuk asam karbonat
(H2CO3). Ada dua bentuk CO2 yang kemudian membentuk CO2 bebas.
Bentuk ion, penjerapan CO2 terepresentasikan oleh ion bikarbonat, dan
karbonat (HCO3- dan CO32-). Keberadaannya sangat penting sebagai buffer di
dalam air. Jumlah CO2 yang ada dipermukaan air hanya sedikit dan bervariasi
karena sangat berkaitan dengan proses photosynthesis tumbuhan air dan
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 18
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
20. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
phytoplankton. Pada bagian permukaan air mempunyai kandungan CO2 yang
rendah dibanding pada strata rendah. Jika CO2 bebas dipermukaan dipakai
untuk photosynthesis maka pH meningkat hingga 8.3, dan di dalam air
dengan bikarbonat sedang bisa mencapai 10. dan akan terus meningkat pada
waktu-waktu dimana intensitas cahaya cahaya kuat.
Tingkat bahaya CO2 bisa terjadi secara langsung atau tidak langsung.
Proses tidak langsung terjadi dengan perubahan nilai pH, nilai pH meningkat
dan bisa beracun. Perubahan pH berpengaruh pada keberadaan unionisasi
dari H2S dan ammonia. Secara langsung terjadi pada saat dalam bentuk CO2
bebas. Pada kondisi oksigen yang sedikit, seperti saat terjadi biodegradasi
yang intensif, ikan dengan densitas tinggi, krangnya aerasi, CO2 berada pada
tingkat yang berbahaya. Ketika proses difusi CO2 dari darah ikan ke dalam
alat pernafasan menurun, CO2 darah meningkat dan terbentuk asam. Jika
peningkatan CO2 relatif lambat, ikan masih bisa beradaptasi terhadap kondisi
asam dengan meningkatkan konsentrasi bikarbonat di dalam darah. Yang
bisa dilakukan adalah dengan memindahkan ikan ke air dengan kadar CO2
yang rendah dan memberikan aerasi tambahan.
Air dengan oksigen rendah, CO2 tinggi, dimana pertukaran gas pada
permukaan respirator terbatas, ikan akan meningkatkan peredaran udara,
ikan akan nampak gelisah, kurang keseimbangan dan bisa mati. Karena
konsenrasi CO2 yang tinggi akan mengurangi kemampuan ikan/udang
mengekstraksi oksigen dari air dan akan mengurangi tingkat teloransinya
terhadap rendahnya kandungan oksigen di dalam air. Efeknya ke ikan adalah
akan meningkatkan konsentasi CO2 di dalam darah, yang akan mendorong
menurunnya pH darah yang akan berperan pada menurunnya kemampuan
darah mengikat oksigen dan memasukannya ke dalam jaringan (Van Wyk &
Scarpa, 1999). Konsentrasi maksimum yang diizinkan untuk udang adalah 20
mg/L untuk jenis trout/udang dan 25 mg/L untuk ikan (Svobodova, et al, 1993;
Van Wyk & Scarpa, 1999), sedangkan konsentrasi optimumnya adalah
kurang dari 5 ppm (Van Wyk & Scarpa, 1999). Semakin tingi konsentrasi CO2
akan berdampak pada ginjal ikan. Sensitivitas CO2 menurun dengan
meningkatnya kapasitas asam di dalam air (alkalinitas).
Munculnya masalah akibat CO2 terjadi karena banyaknya CO2 bebas
di dalam air akibat penggunaan CO2 untuk proses photosynthesis oleh
phytoplankton. Konsentrasi CO2 bebas kurang dari 1 mg/L bepengaruh pada
keseimbangan asam di dalam jaringan dan darah ikan dan menyebabkan
alkalosis. Kekurangan CO2 bebas khususnya berbahaya bagi anak-anak ikan
jenis tilapia yang baru melewati bentuk pakan endogenous dan eksogenous.
Mereka melakukan respirasi menggunakan permukaan tubuhnya dan tidak
dapat mengatur keseimbangan asam dengan insangnya. Tekanan rendah
CO2 bebas di dalam air menimbulkan tingginya tingkat difusi CO2 dari
tubuhnya, menimbulkan alkalosis dan akhirnya mati. Pemberian aerasi
adalah tindakan efektif untuk mengatasi kelebihan CO2.
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 19
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
21. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
10. Salinitas
Salinitas adalah ukuran jumlah garam yang terlarut di dalam air.
Garam di laut adalah ada dalam bentuk NaCl. Secara umum jenis Crustacea
tidak sensitif terhadap perubahan salinitas hingga 5 ppt (Malone & Burden,
1988). Suhu sangat mempengaruhi kondisi salinitas perairan, semakin tinggi
suhu akan berdampak pada tingginya salinitas. Proses evaporasi akibat suhu
yang meningkat akan meningkatkan salinitas walaupun lambat, seperti pada
sistem resirkulasi budidaya soft shell (Malone & Burden, 1988), dan sistem
resirkulasi pendederan kerapu macan (Udi Putra, et al. 2007a; 2007b).
Organisme perairan yang mempunyai teloransi salinitas sempit dikenal
dengan stenohaline seperti ikan-ikan yang hidup di air tawar, sebaliknya
dikenal dengan euryhaline seperti ikan-ikan laut, dan estuaria. Seperti udang
mampu hidup dengan baik pada kisaran salinitas 0.5 – 40 ppt. uk mengatasi
masalah tersebut adalah dengan melakukan penambahan air tawar atau
penambahan air laut (Tabel 14).
Tabel 14. Air laut yang dubutuhkan untuk menyesuaikan air tawar ke salinitas
yang diinginkan (pound) (Malone & Burden, 1988).
Volume air Salinitas sasaran (ppt)
sistem 5 10 15 20 25 30 35
(galon)
100 4 8 13 17 21 25 29
200 8 17 25 33 42 50 58
300 13 25 38 50 63 75 88
400 17 33 50 67 83 100 117
500 21 42 63 83 104 125 146
600 25 50 75 100 125 150 175
700 29 58 88 117 146 175 204
800 33 67 100 133 167 200 233
900 38 75 113 150 188 225 263
1000 42 83 125 167 208 250 292
1100 46 92 138 183 229 275 321
1200 50 100 150 200 250 300 350
1300 54 108 163 217 271 325 379
1400 58 117 175 233 292 350 409
1500 63 125 188 250 313 375 438
1600 67 133 200 267 333 400 467
1700 71 142 213 283 354 425 496
1800 75 150 225 300 375 450 525
1900 79 158 238 317 396 475 554
2000 83 167 250 333 417 500 584
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 20
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
22. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
11. Kesadahan
Kesadahan adalah pengukuran dua kation yakni Mg2+ dan Ca2+ di
dalam air. Air dengan total sadahan rendah antara rang 0 – 75 mg/L, sedang
75-150 mg/L dan tinggi 150-300 mg/L. Di air laut kesadahan mencapai 8000
mg/L. Udang dapat hidup normal pada kesadahan 6600 mg/L, akan tetapi
bisa juga hidup pada kesadahan 150 mg/L (Van Wyk & Scarpa, 1999).
Kesadahan dan alkalinitas terdapat hubungan negatif. Pada
kesadahan tinggi maka alkalinitas cenderung rendah. Tingginya kesadahan
dan rendahnya alkalinitas terjadi pada bagian permukaan air dan dalam
kondisi asam. Untuk meningkatkan kesadahan dapat dilakukan dengan
menambahkan kalsium karbonat (batu kapur), kalsium sulfat (gipsum) dan
dengan memberikan makanan yang mengandung kalsium dan megnesium
klorida.
12. Besi
Besi di dalam air ada dalam dua bentuk, besi terlarut (F2+) dan besi
tidak terlarut (F3+). Besi di dalam air tidak beracun bagi ikan/udang, tetapi
proses oksidasi dari kedua bentuk besi tesebut menimbulkan pengendapan
yang dapat menimbulkan iritasi dan adanya penyumbatan pada insang,
sehingga dapat mengurangi suplai oksigen, sesak napas dan menyebabkan
kematian (Van Wyk & Scarpa, 1999). Besi yang terlarut bisa dikurangi dengan
melakukan aerasi sehingga terjadi oksidasi dan melakukan filterisasi air
sebelum digunakan. Konsentrasi besi yang terlarut dan aman bagi ikan dan
udang adalah harus kurang dari 1.0 ppm (Van Wyk & Scarpa, 1999).
Penanggulangan bisa dilakukan dengan melakukan pergantian air.
D. PYTHOPLANKTON
Phytoplankton adalah jenis tumbuhan autotrof yang hidup dan
berkembang dengan melakukan photosynthesis. Oleh karena itu
phytoplankton membutuhkan cahaya, CO2 dan air. Perkembangannya
tentunya sangat bergantung pada ke tiga faktor tersebut selain faktor lainnya
seperti suhu air dan nutrisi. Ketersediaan cahaya yang cukup, peningkatan
karbondioksida, ketersediaan air dan nutrisi akan meningkatkan ketersediaan
phytplankton. Peningkatan cahaya dan karbondioksida akan meningkatkan
proses fotosynthesis akan tetapi pada titik tertentu justru akan merugikan
sistem metabolismenya yang berdampak pada pertumbuhan yang lamban.
Phytoflankton adalah sumber makanan bagi ikan dan udang dan
sumber penghasil oksigen yang bermanfaat bagi udang dan ikan. Selain itu
phytoplankton juga merupakan bagian dari rantai makanan terendah
sehingga bila tidak ada maka komponen rantai makanan yang lainnya akan
berkurang. Nutrisi yang dibutuhkan oleh phytoplankton adalah nitrogen dan
fosfor, yang keberadaannya di air ada dalam bentuk senyawa ammonia (NH3,
NH4+) dan fosfat (PO43-). Defisiensi mutrisi dapat dipenuhi dengan pemberian
pupuk baik organik maupun anorganik. Nutrisi kalium dibutuhkan oleh
phitoplankton walaupun sedikit (Adhikari, 2003). Nitrogen dan phosfor bisa
ditambahkan melalui penambahan pupuk, pupuk kandang, dan makanan.
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 21
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
23. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
Pupuk nitrogen bisa diperoleh dari jenis pupuk urea atau ammonium. Jenis ini
mudah sekali terhidrolisis menjadi ammonium, dan ammonium merupakan
nutrisi bagi phytoplankton. Sedangkan nutrisi phosfat dapat diperoleh dari
jenis pupuk kalsium fosfat atau ammonium fosfat. Langkah lainnya untuk
mempercepat pertumbuhan bisa dengan melakukan inokulasi pytoplankton ke
dalam tambak.
1. Kecerahan
Kecerahan air identik dengan kemampuan cahaya matahari untuk
menembus air. Kecerahan air dipengaruhi oleh zat-zat terlarut dalam air.
Makin besar kecerahan air, maka penetrasi cahaya juga makin tinggi
sehingga proses fotosintesis bisa berlangsung semakin dalam. Kecerahan air
yang baik untuk budidaya udang adalah 30-35 cm dengan dengan angka
minimal 20 cm (Ariawan & Poniran, 2004) (Tabel 15). Tanpa keberadaan
phytoplankton air akan terlihat transparan sehingga dampak lainnya suhu air
akan lebih tinggi.
Tabel 15. Hubungan Kemelimpahan Plankton dengan Kecerahan Air
(Ariawan & Poniran, 2004).
No Kecerahan Kreteria Keterangan
1 < 30 cm Kemelimpahan plankton Baik, air perlu diencerkan
tinggi (kaya) atau ganti
2 30 cm – 35 cm Kemelimpahan plankton Baik, air dipertahankan
yang diharapkan
3 > 35 cm Kemelimpahan plankton Kurang baik, lakukan
kurang (miskin) pemupukan
2. Warna Air
Semua Phytoplankton mempunyai warna karena mempunyai chlorofil
dan pigmen dari fitoplankton itu sendiri. Fitoplankton memiliki warna yang
bervariasi tergantung jenisnya. Seperti warna kuning karena mengandung
pigmen carotine (Chrysophyta), warna biru karena pigmen ficocianin
(Cyanophyta) dan warna hijau karena klorofil (Chlorophyta).
Ketiga phylla ini juga merupakan fitoplankton yang mendominasi air
laut. Terlebih lagi dengan phylla Chrysophyta khususnya dari klass
Xanthophyceae, Chrysophyceae dan Bacillariopheceae yang langsung dapat
dimanfaatkan oleh konsumen tingkat I atau zooplankton. Tabel 16
menjelaskan jenis-jenis phytoplankton dengan karakter warna dan
manfaatnya bagi kegiatan budidaya.
E. PENUTUP
Tanah dan air adalah dua komponen penting dalam kegiatan budiaya
terutama untuk budidaya di tambak. Dua faktor dan berbagai faktor lainnya
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 22
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
24. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
berinteraksi menghasilkan kondisi lingkungan yang cocok untuk ikan/udang
budiaya. Keberhasilan kegiatan budiaya ditandai dengan produktivitas hasil
budidaya yang maksimum dan terus menerus, namun untuk menghasilkan
produktivitas yang tinggi tersebut sesunguhnya para pembudidaya telah
berhasil melakukan manajemen kualitas tanah dan air dengan baik. Sehingga
pemahaman tentang faktor-faktor kunci menjadi hal yang penting bagi para
pembudidaya, yang kemudian mengaplikasikannya dalam kegiatan
pengolahan tanah dan monitring kualitas air yang koninyu selama kegiatan
budidaya berjalan
Tabel 16. Hubungan Warna Air dengan Fitoplankton dan Kualitas Air
(Ariawan & Poniran, 2004).
No Warna Air Spesies Keterangan
1 Coklat muda Diatomae Baik, dipertahankan
Navicula sp.
Nitschia sp.
2 Coklat tua Coscinodiscus Baik, diencerkan
Caetocheros
Melosira
3 Coklat kemerahan Phytoflagellata Berbahaya, ganti air
Peridinium
4 Coklat kehijauan Diatomae Kurang baik, air diencerkan
Phytoflagellata
5 Hijau muda Chlophyceae Kurang baik, air diencerkan
Chlorococum sp.
Planktonphierae sp
6 Hijau tua Crysum sp. Kurang baik, air diencerkan
7 Hijau kekuningan Phytoflagellata Tidak baik, harus banyak
Chlemidomonas sp. diencerkan
Chilomonas sp.
Dunalella sp.
8 Hijau kebiruan Cryptomona Tidak baik, air dibuang dan diganti
Cyanophyceae
Oscilatoria sp.
Phormidium sp.
Anabaena sp.
Anabanopsis sp.
Chrococus sp.
F. PUSTAKA
Aquaculture SA. 1999. Water Quality in Freshwater Aquaculture Ponds.
Primary Industries and Recources South Australia. Fact Sheet.
Adhikari, S. 2003. Fertilization, Soil dan Water Quality Management in Small-
Scale Ponds : Fertilization Requirementa and soil properties. Central
Institute of Freshwater Quaculture, Kausalyagangga, Bulaneswar India.
J.Aquaculture Asia, October-December 2003 (Vol. VIII No. 4)
Ariawan, I.K dan Poniran. 2004. Persiapan Media Budidaya Udang Windu :
Air. Makalah Pelatihan Petugas Teknis INBUDKAN . 24-30 Mei 2004,
Jepara. Balai Besar Pengembangan Air Payau, Jepara.
Boyd, C.E. 1986. Water Quality Management for Fond Fish Culture. Elselvier
Scientific Publishing Company. Amsterdam The Netherland.
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 23
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
25. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
--------------.1995. Bottom Soils, Sediment, and Pond Aquaculture. Chapman
and Hall, New York. 348 pp.
Boyd, C.E. C.W. Wood and Taworn Thunjai. 2002. Aquaculture Pond Bottom
Soil Quality Management. Oregon State University Corvallis, Oregon.
Blackburn, T.H. 1987. Role and Infact of anaerobic microbial processes in
aquatic Systems. In Boyd, C.E. C.W. Wood and Taworn Thunjai. 2002.
Aquaculture Pond Bottom Soil Quality Management. Oregon State
University Corvallis, Oregon.
Clifford, H.C. 1992 Marine shrim pond management a review. In ASA
Technical bulletin. US Wheat Association
Dent, D. 1986. Acid Sulfat Soils : A Baseline for Research and Development.
International Institute of Land Reclamation and Inprovement,
Wageningen, The Netherlands. Publications 39, 204 pp.
Direktorat Pembudidayaan. 2003. Petunjuk Teknis Budidaya Udang. Program
Intensifikasi Pembudidayaan Ikan Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya. Jakarta
Hochheimer J. 1985. Using Water Quality Convertion Tables for Soft
Crabbing. Maryland Sea Grant Extension Program. Crab Shedders
Workbook Series.
----------------------1988. Water Quality in Soft Crab Shedding. Maryland Sea
Grant Extension Program. Crab Shedders Workbook Series.
Malone Ronald F dan Daniel G. Burden. 1988. Design of Recilculating Blue
Crab Shedding System. Louisiana Sea Grand College Program. Center
for Wetland Recources Louisiana State University.
Saeni, M. Sri dan Latifah K. Darusman. 2002. Penuntun Praktikum Kimia
Lingkungan. Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. IPB.
Svobodova Z, Richard Lioyd, Jana Machova, dan Blanka Vykusova. 1993.
Water Quality and Fish Health. EIPAC Technical Paper. FAO Fisheries
Department.
Udi Putra, Nana S.S., Fauzia, Hamka. 2007a. Optimalisasi Pemanfaatan
Sistem Resirkulasi Air Sistem Pendederan Kerapu Macan
(Epinephelus fuscoguttatus) Densitas Super tinggi. Laporan Tahunan
Balai Budidaya Takalar.
Udi Putra, Nana S.S., Fauzia, Nurcahyono. 2007b. Aplikasi Sistem
Resirkulasi untuk Meningkatkan Pertumbuhan pada Pendederan
Kepiting Rajungan (Portunus Pelagicus) di dalam Wadah Terkontrol.
Laporan Tahunan Balai Budidaya Takalar.
Van Wyk P. dan John Scarpa. 1999. Water Quality Requirements and
Management. Chapter 8 in . Farming Marine Shrimp in Recirculating
Freshwater Systems. Prepared by Peter Van Wyk, Megan Davis-
Hodgkins, Rolland Laramore, Kevan L. Main, Joe Mountain, John
Scarpa. Florida Department of Agriculture and Consumers Services.
Harbor Branch Oceanographic Institution.
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 24
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
26. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
LAMPIRAN
KUALITAS TANAH DAN AIR OPTIMAL BAGI KEHIDUPAN IKAN/UDANG
BUDIDAYA
1. Kualitas air bagi kegiatan budidaya kepiting
Tabel 1. Kualitas air optimal bagi budidaya kepiting/rajungan soft shell
sistem resirkulasi (Malone & Burden, 1988).
Parameter Kisaran optimal
DO > 5.0 jika pake wadah kecil
> 6.0 jika pake tangki
Total ammonia (NH3 + < 1.0 mg/L jika pake wadah kecil
NH4+)
Nitrit < 0.5 mg/L jika pake wadah kecil
Nitrat < 500 mg/L jika pake tangki
Suhu 24-27 oC
pH pH 7.0 – 8.0
Alkalinitas > 100 mg/L
Salinitas Tidak ada fluktuasi salinis > 5 ppt
36 – 28 ppt (larvae, crab) Eddy Cahyono et al,
2007
2. Kualitas tanah optimal untuk budidaya udang windu
Tabel 2. Parameter Kualitas tanah dasar tambak (Direktorat
Pembudidayaan, 2003)
Parameter Kisaran optimal
pH 6.0-8.0
Bahan organik (%) <9
Redoks potensial (m.V) > 250
Ammonia (mg/L) 0.03-0.05
H2S (mg/L 0.05-0.10
Phosphat (mg/L) 0.30-0.50
Tekstur (fraksi) Liat 60-70%, pasir 30 – 40%
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 25
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
27. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
3. Kualitas air optimal untuk budidaya udang khususnya Vanammei
Tabel 3. Kualitas air yang direkomendasikan untuk budidaya udang
vanamei (Van Wyk dan Scarpa. 1999)
Parameter Kisaran optimal
Suhu air 28-32 oC
DO 5.0-9.0 ppm
CO2 ≤ 20 ppm
pH 7.0-8.3
Salinitas 0.5-35 ppt
Clorida ≥ 300 ppm
Natrium ≥ 200 ppm
Kesadahan total (CaCO3) ≥ 150 ppm
Kesadahan Ca (CaCO3) ≥ 100 ppm
Kesadahan Mg (CaCO3) ≥ 50 ppm
Alkalinitas total (CaCO3) ≥ 100 ppm
Unionisasi ammonia (NH3) ≤ 0.03 ppm
Nitrit (NO2-) ≤ 1 ppm
Nitrat (NO3-) ≤ 60 ppm
Besi total ≤ 1.0 ppm
H2S ≤ 2 ppb
Clorin (Cl) ≤ 10 ppb
Cadmium (Cd) ≤ 10 ppb
Chromium (Cr) ≤ 100 ppb
Tembaga (Cu) ≤ 25 ppb
Timbal (Pb) ≤ 100 ppb
Air raksa/Merkuri (Hg) ≤ 0.1 ppb
Seng (Zn) ≤ 100 ppb
4. Kandungan pestisida aman bagi udang ataupun ikan
Tabel 4. Daya Racun Pestisida terhadap organisme perairan dan
kisaran optimum yang direkomendasikan oleh Lembaga
perlindungan Lingkungan Amerika (Van Wyk dan Scarpa.
1999)
Rang LC 50-96 jam
Jenis Pestisida Kisaran aman (ppb)*
(ppb)
Aldrin/Diedrin 0.2-16 0.003
BHC 0.17-240 4
Chlordane 5 – 3000 0.01
DDT 0.24-22 0.001
Endrin 0.13-12 0.004
Heptachlor 0.10-230 0.001
Toxaphene 1-6 0.005
*direkomendasikan oleh Lembaga perlindungan Lingkungan Amerika
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 26
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008
28. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya
Nana S.S. Udi Putra, M.Si
5. Kualitas air optimal untuk budidaya ikan air tawar
Tabel 5. Kualitas air yang direkomendasikan untuk budidaya ikan air
tawar (Aquaculture SA, 1999).
Parameter Kisaran optimal
DO 5.0-15.0 ppm
CO2 1.0-10.0 ppm
pH 7.0-9.0
Clorida 1-100 ppm
Kalium 1-10 ppm
Natrium 2-100 ppm
Kesadahan total (CaCO3) ≥ 150 ppm
Kesadahan Ca (CaCO3) 5-100 ppm
Kesadahan Mg (CaCO3) 5-100 ppm
Amonium (NH4+) 0.2-2 ppm
Unionisasi ammonia (NH3) ≤ 0.1 ppm
Nitrit (NO2-) < 0.3 ppm
Nitrat (NO3-) 0.2-10 ppm
Sulfat 5-100 ppm
H2S Ttd
Bikarbonat (HCO3-) 50 -300 ppm
Karbonat (CO32-) ≤ 10 ppb
Fosforus (PO42-) 0.005-0.2 ppm
Besi (Fe2-) ≤ 25 ppb
Total Fe 0.005-0.5 pmm
Seng (Zn) <0.01 mg/L
Aresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya 27
Di Balai Budidaya Air Payau Takalar-Sulawesi Selatan 2008