1. Koalisi
Masyarakat
Sipil
untuk
Transparansi
dan
Akuntabilitas
Tata
Kelola
Sumberdaya
Ekstraktif
PERS
RELEASE
Untuk
diberitakan
pada
26
juli
2012,
dan
setelahnya.
PERBAIKAN
TATA
KELOLA
EKSTRAKTIF
MELALUI
REVISI
UNDANG-‐UNDANG
MIGAS
Agenda
Revisi
Undang-‐Undang
Minyak
dan
Gas
Bumi
yang
saat
ini
sedang
dibahas
oleh
DPR.RI
merupakan
momentum
bagi
perbaikan
tata
kelola
sektor
Migas
di
Indonesia.
Beberapa
klausul
yang
dibatalkan
Mahkamah
KonsAtusi
atas
yudiAal
review
yang
diajukan
kalangan
masyarakat
beberapa
waktu
lalu
menunjukkan
bahwa
Undang-‐Undang
ini
masih
perlu
perbaikan.
Terlebih,
praktek
penerapan
peraturan
ini
sejak
ditetapkan
tahun
2001
masih
menimbulkan
permasalahan,
baik
di
sektor
hulu
maupun
hilir.
Sebut
saja
beberapa
persoalan
mengenai
lambatnya
produksi
Migas,
akomodasi
kepenAngan
lokal
yang
setengah
haA,
persoalan
pembebasan
lahan,
perijinan
pemda,
penyertaan
modal
daerah,
akses
informasi
dan
transparansi
hingga
pemenuhan
kebutuhan
bahan
bakar
dalam
negeri
yang
masih
menjadi
polemik.
Termasuk
kebutuhan
pasokan
gas
alam
untuk
kebutuhan
industri
dalam
negeri.
Marya%
Abdullah_Koordinator
Publish
What
You
Pay
Indonesia
menyatakan
bahwa:
”sudah
seharusnya
persoalan-‐persoalan
tersebut
segera
teratasi,
mengingat
industri
Migas
adalah
industri
strategis
yang
menopang
seperempat
anggaran
pembangunan
nasional.
Sudah
seharusnya
DPR
dan
Pemerintah
mempercepat
pembahasan
agar
arah
pengembangan
Migas
nasional
berjalan
efek?f,
dan
kebutuhan
pemenuhan
sumber
energi
nasional
?dak
terbengkalai”.
Mi.ahul
Huda,
anggota
PWYP
dari
Tuban-‐Jawa
Timur
mengatakan
“revisi
undang-‐undang
sebisa
mungkin
harus
mengakomodasi
kepen?ngan
masyarakat
di
daerah
dan
lebih
transparan
agar
masyarakat
merasakan
manfaat
keberadaan
industri
ini
di
?ngkat
arus
mengakomodasi
kepen?ngan
masyarakat
di
daerah”.
Dyah
Paramita,
peneliA
Indonesia
Center
for
Environmental
Law
(ICEL)
menambahkan
bahwa
“akses
informasi
dan
transparansi
di
sektor
Migas
harus
didorong
secara
substansi,
agar
masyarakat
dapat
terlibat
dalam
memonitoring
kegiatan
industri
ini
di
lapangan,
terlebih
bagi
kelompok
masyarakat
yang
rentan
menerima
dampak
lingkungan
dan
sosial
dari
kegiatan
ekstrak?f
Migas”.
Ridaya
Ld.
Ngkowe
merekomendasikan
“agar
kita
?dak
terjebak
pada
polemik
kelembagaan,
namun
lebih
memen?ngkan
bagaimana
pengelolaan
industri
Migas
ini
dikelola
oleh
lembaga
yang
kuat
dengan
kinerja
yang
bagus”.
Hal
lainnya
yang
menjadi
sorotan
terkait
kebijakan
Migas
ini
adalah
“agar
dalam
kebijakan
Migas
nasional
pen?ng
untuk
difikirkan
adanya
skema
petroleum
fund,
agar
manfaat
sumberdaya
Migas
tetap
dapat
dirasakan
oleh
generasi
mendatang”
imbuh
Chitra
Retna.
2. Secara
garis
besar,
koalisi
Publish
What
You
Pay
Indonesia
merekomendasikan
agar
:
1.
Terdapat
klausul
khusus
dalam
Undang-‐Undang
Migas
yang
lebih
menjamin
akses
informasi
dan
parAsipasi
publik,
serta
akuntabilitas
di
sektor
ekstrakAf
Migas.
Terutama
terkait
dengan
aspek
penerimaan
seperA
liYing
dan
cost
recovery,
akses
kontrak
dan
informasi
lingkungan
serta
kegiatan
industri
ekstrakAf
Migas
lainnya.
2. Mengakomodasi
kepenAngan
masyarakat
di
daerah,
yakni
adanya
skema
penyertaan
modal
daerah
yang
Adak
hanya
untuk
kontrak
blok
baru
melainkan
juga
blok
perpanjangan;
pelaksanaan
program
CSR-‐Comdev
yang
lebih
parAsipaAf
dan
singkron
dengan
pembangunan
daerah.
3. Dalam
konteks
kebijakan
umum
di
sektor
Migas,
perlu
difikirkan
skema
petroleum
fund
untuk
kepenAngan
generasi
mendatang
ataupun
fungsi
stabilisasi
harga
energi.
4. Terkait
dengan
kelembagaan,
agar
Adak
terjebak
pada
bentuk
kelembagaan
sematan,
namun
lebih
mengopAmalkan
lembaga
yang
ada
dengan
melakukan
penguatan
dan
peningkatan
kinerja.
Jakarta, 26 Juli 2012
Maryati Abdullah
Koordinator Nasional
-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐
SELESAI
-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐
_________________________________________________
PWYP-‐Indonesia
adalah
sebuah
koalisi
Nasional
Masyarakat
Sipil
untuk
Transparansi
dan
Akuntabilitas
Sumberdaya
Ekstraktif.
Beranggotakan
38
Organisasi
Masyarakat
Sipil
(OMS)
yang
tersebar
di
seluruh
wilayah
Indonesia,
terdiri
atas:
Transparansi
International
Indonesia-‐TII,
Pusat
Telaah
dan
Informasi
Regional-‐PATTIRO,
Institute
for
Essential
Services
Reform-‐IESR,
Indonesia
Corruption
Watch-‐ICW,
Indonesia
Parliamentary
Center-‐IPC,
Indonesia
Center
for
Environmental
Law-‐ICEL,
Phi
Institute-‐PI,
Seknas
Forum
Indonesia
untuk
Transparansi
Anggaran-‐FITRA,
Masyarakat
Transparansi
Aceh-‐MATA,
Gerakan
Antikorupsi
Aceh-‐GERAK,
GERAK
Aceh
Besar,
AKAR
Bengkulu,
Fitra
Riau,
Lembaga
Pemberdayaan
dan
Aksi
Demokrasi-‐LPAD
Riau,
Forum
Komunikasi
Pemuka
Masyarakat
Riau-‐FKPMR,
WALHI
Riau,
Yayasan
Puspa
Indonesia-‐PUSPA
Palembang,
Pusat
Studi
Kebijakan
Sumatra
Selatan-‐PASKASS,
Pattiro
Serang
Banten,
Institute
for
Ecological
Study-‐
INFEST
Garut,
Institute
for
Development
and
Economic
Analysis-‐IDEA
D.I
Yogyakarta,
Lembaga
Penelitian
dan
Aplikasi
Wacana-‐LPAW
Blora,
Bojonegoro
Institute,
Fitra
Jawa
Timur,
Public
Crisis
Center-‐PCC
Tuban,
Gresik
Institute,
Gerakan
Rakyat
Peduli
Sampang-‐GPRS,
Pokja-‐30
Samarinda,
Yayasan
PADI
Indonesia-‐Balikpapan,
POSITIF
Kalimantan,
Gemawan
Kalbar,
Lembaga
Pengembangan
Masyarakat
Pesisir
dan
Pedalaman-‐Lepmil
Sultra,
Yayasan
Pengembangan
Studi
Hukum
dan
Kebijakan-‐YPSHK
Sultra,
Yayasan
Swadaya
Mitra
Bangsa-‐Yasmib
Sulselbar,
Solidaritas
Masyarakat
untuk
Transparansi-‐SOMASI
NTB,
Lembaga
Studi
dan
Bantuan
Hukum-‐LSBH
NTB,
Forum
Kerja
Sama
LSM-‐FOKER
LSM
Papua,
PERDU
Manokwari.
2