Karya utama Al-Ghazali adalah Tahafut al-Falasifah dimana ia mengkritik pandangan filosof Yunani seperti Aristoteles yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Al-Ghazali juga menulis karya besar lainnya yaitu Ihya Ulumuddin yang membahas tentang tasawuf dan spiritualitas. Ia dianggap sebagai tokoh penting dalam sejarah pemikiran Islam karena telah mengkritik filsafat Yunani sekaligus memajukan
1. BAB I
LATAR BELAKANG
Filsafat Yunani dalam berbagai literatur sangatlah fenomenal dan berpengaruh tak
habis habisnya menjadi bahan kajian. Adalah Filosuf Islam juga terpengaruh dari filsafat
Yunani yakni Al Farabi dan Ibnu Sina di pandang Al-Ghazali sangat bertanggung jawab
dalam menerima dan menyebarluaskan pemikiran filosofis dari Yunani yang diantaranya
Socrates, Aristoteles dan Plato di dunia Islam. Pengaruh-pengaruh tersebut dipandang telah
menggoncang keimanan. Karena kekaguman mereka yang berlebihan terhadap filsafat
Yunani yang dipandang telah atheis, mereka mengekor padanya sampai pada tingkat
keingkaran dan kekufuran. Filsafat Yunani begitu menarik bagi para cendikiawan muslim,
sehingga mereka hanya mentransfer dan bertaqlid buta. Melihat kondisi ini al-Ghazali bukan
saja melakukan kritik pedas namun menghujat keras yang ia tuangkan dalam bukunya yang
terkenal Tahafut al Falasifat (the incoherence of the Philosopher; Kerancuan Pemikiran para
Filosuf).
Dalam bukunya tersebut ia mendemonstrasikan kepalsuan para filosuf beserta
doktrin-doktrin mereka. Ia mendalami filsafat untuk dapat mengkritik secara bijaksana dan
ilmiah.Sebelunya juga ia mempelajari filsafat tanpa bantuan seorang guru pun dan
menghabiskan waktu selama dua tahun. Setelah berhasil dihayati dengan seksama, lalu ia
tuangkan dalam Maqashid al Falasifat (tujuan Pemikiran para Filosuf). Dengan adanya buku
itu ada yang menyatakan bahwa ia benar-benar menguasai argumentasi yang dipergunakan
para filosuf. Hal ini didukung oleh pendapat Al Ghazali yang mengatakan bahwa menolak
sebuah mazhab sebelum memahaminya dan menelaahnya dengan seksama dan sedalam
dalamnya berarti menolak dalam kebutaan.
Al-Ghazali adalah seorang Hujjatul Islam sang Argumentasi Islam atau ahli fikir
Islam yang dalam ilmunya, dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya,
puluhan buku telah ditulisnya yang meliputi berbagai lapangan ilmu antara lain Teologi
Islam,Hhukum Islam, Tasawuf Tafsir, Ahlaq dan adab kesopanan.
Pengaruh al-Ghazali di kalangan kaum mulimin sangat besar, sehingga menurut
pandangan-pandangan orang-orang ahli ketimuran (orientalis), agama Islam yang di
gambarkan oleh kebanyakan kaum Muslimin berpangkal pada konsepsi Al-Ghazali
Al-Ghazali Dalam kitabnya yang berjudul Tahafut Falasifah melukiskan suatu sisi yang
bertentangan antara agama dan filsafat. Pertentangan ini, dalam Islam telah muncul dalam
berbagai wujud dan bentuk yang berbeda sejak filsafat memasuki kehidupan umat islam.
Pada waktu Islam lahir dan Al Qur‟an diturunkan filsafat belum ada di sana, sehingga
AlQuran dan Hadist tidak perlu mendebatkannya.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana Biografi Al-Ghazali?
Karya Imam Al-Ghazali?
Bagaimanakah sikap Al-Ghazali terhadap para filosof ?
Perkembangan Filsafat Setelah Al Ghazali
1
2. BAB II
PEMBAHASAN
A.Riwayat Hidup Al-Ghozali
Beliau adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al Ghazali, lahir tahun 450 H di Thus,
suatu kota kecil di khurasan (Iran). Kata kata Ghazali terkadang diucapkan dengan dua z. dengan
mendua kalikan huruf z, kata Al Ghazzali di ambil dari kata Ghazzal, artinya tukang pemintal benang
wol1, sedang Al-Ghazali dengan satu z, diambil dari kata Gazalah, nama kampung kelahiran AlGhozali. Sebutan terahir ini banyak dipakai.
Ayah Al-Ghazali, adalah seorang tasawuf yang sholeh dan meninggal dunia ketika AlGhazali beserta saudaranya masih kecil. Akan tetapi sebelum wafatnya beliau telah menitipkan kedua
anaknya tersebut kepada seorang tasawuf yang bernama Yusuf Al Nassaj guru sufi saat itu.Titik awal
perkembangan intelektual dan Spritual. Dan mendapatkan bimbingan dalam hidupnya.
Sepeninggal gurunya Al-Ghazali belajar agama di kota Thus, Seorang ulama bernama
Ahmad ibnu Muh Al Razknya Athus. kemudian belajar kepada Al Ismaily di Jurjan, dan akhirnya ia
masuk sekolah di Nizamiyah di Naisabur pada Imam Juwaini, sampai yang terakhir ini wafat tahun
478H/1085 M.Karya Perdanannya Mankihul fi ilmi al Ushul. Ia juga belajar teori dan praktek kepada
Abu Ali AlFadhal ibnu muh ibnu ali Farmadhi 477 H. Dengan demikian Semakin lengkaplah ilmu
yang diterimanya di Naisabur. Kemudian beliau berkunjung kepada Nidham Al-Mulk di kota
Mu‟askar, dan dari padanya mendapatkan kehormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia
tinggal di kota itu enam tahun lamanya. Pada tahun 483H/1090 M, ia diangkat menjadi guru disekolah
Nizhamah Bagdad dalam usia 25 tahun, dan pekerjaannya dilaksanakan dengan sangat berhasil.
Selama di Bagdad selain mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran
golongan-golongan Batiniyah, Isma‟iliah, golongan filsafat dan lain-lain.
Ketika itu, kehidupannya goncang, karena keraguan yang meliputi dirinya, “apakah jalan
yang ditempuh sudah benar atau tidak ?” perasaan ini timbul dalam dirinya setelah mempelajari ilmu
kalam (teologi) yang diperoleh dari Al Juaini. Teologi membahas berbagai aliran yang antara satu
sama lain terhadap kontradiksi. Al Ghazali sangsi bukan ragu, mana diantara aliran-aliran itu yang
betul-betul benar. Bukunya yang berjudul al Munqiz min ad-Dalal menjelaskan tentang keadaan ini.
Dalam bukunya ini tergambar keinginan untuk mencari kebenaran yang sebenarnya. Al Gahzali mulai
tidak percaya pada ilmu pengetahuan yan diperolehnya melalui panca indra, sebab panca indra sering
kali salah atau berdusta. Ia kemudian meletakkan kepercayaan kepada akal, tetapi ternyata juga tidak
memuaskan. Tasawuflah yang kemudian menghilangkan rasa syak dalam dirinya. Pengetahuan
tasawuf yang diperolehnya melalui kalbu membuat Al Ghazali merasa yakin mendapat pengetahuan
yang benar2.
Kemudian ia pindah ke Palestina dan disini pun ia tetap merenung, membaca dan menulis dengan
mengambil tempat di Masjid Baitul Maqdis, sesudah itu tergeraklah hatinya untuk menjalankan
ibadah haji, dan setelah selesai ia pulang ke negeri kelahirannya sendiri, yaitu kota Tus dan disana ia
tetap seperti biasanya, berkhalwat dan beribadah, keadaan tersebut berlangsung 10 tahun lamanya
sejak kepindahannya ke Damsyik dan dalam masa ini ia menuliskan buku-bukunya yang terkenal
antara lain Ihya‟ulumudin3.
1
2
3
Zaky Mubarak, Al Akhlaq‟ind Al Ghazali, (Mesir : dar al Khatib al- Araby al Thaba‟at al –Nasyr, 1968), hal 47
Tim penyusun, 1994. Ensiklopedi Islam.( Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Houve), hal.26
Hanafi, Ahmad.1990. Pengantar Filsafat Islam. (Jakarta: PT Bulan Bintang ).hal.135
2
3. Pada tahun 499 H, atas desakan para penguasa ia diminta mengajar di Nizamiyah, akan tetapi
hanya sampai dua tahun ia kembali ke daerah asalnya (Tus). Di sini ia mendirikan sekolah untuk para
fuqoha dan juga membangun tempat berkhalwat para mutasawifin. Pada tahun 505 H/1111 M. ia
mendapat gelar “hujjatul Islam” karena ia dapat mengadakan pembelaan yang berhasil dan
memuaskan terhadap anasir yang dapat membahayakan kepercayaan dan akidah umat islam dan dapat
pula meluruskan tasawuf yang merusak amal (Syari‟at ) umat islam4.
B. Karya Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali dikenal sebagai penulis produktif. Sejumlah karyanya kini tersebar ke seluruh
penjuru dunia.
Bidang Ushuluddin dan Akidah
1.
2.
3.
4.
5.
Arba‟in fi Ushuliddin juz kedua dari kitabnya Jawahir Alquran.
Qawa‟id al-‟Aqa`id yang disatukan dengan Ihya` Ulumuddin pada jilid pertama.
Al Iqtishad Fil I‟tiqad.
Tahafut Al Falasifah, menggunakan kaidah mazhab Asy‟ariyah.
Faishal At-Tafriqah Bayn al-Islam Wa Zanadiqah.
Bidang Usul Fikih, Fikih, Filsafat, dan Tasawuf
1. Al-Mustashfa Min Ilmi al-Ushul
2. Mahakun Nadzar
3. Mi‟yar al‟Ilmi
4. Ma‟arif al-`Aqliyah
5. Misykat al-Anwar
6. Al-Maqshad Al-Asna Fi Syarhi Asma Allah Al-Husna
7. Mizan al-Amal
8. Al-Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi
9. Al-Ajwibah Al-Ghazaliyah Fi al-Masa1il Ukhrawiyah
10. Ma‟arij al-Qudsi fi Madariji Ma‟rifati An-Nafsi
11. Qanun At-Ta‟wil
12. Fadhaih Al-Bathiniyah
13. Al-Qisthas Al-Mustaqim
14. Iljam al-Awam „An „Ilmi al-Kalam
15. Raudhah ath-Thalibin Wa Umdah al-Salikin
16. Ar-Risalah Al-Laduniyah
17. Ihya` Ulum al-din
18. Al-Munqidzu Min adl-Dlalal
19. Al-Wasith
20. Al-Basith
21. Al-Wajiz
22. Al-Khulashah
23. Minhaj al-‟Abidin
24. Maqasid al Falasifah berisikan ilmu mantiq , alam dan ketuhanan
Demikianlah banyak lagi karya Imam Al-Ghazali. Begitu banyak karya yang dihasilkan,
menunjukkan keluasan ilmu yang dimiliki oleh Al-Ghazali. Ia merupakan pakar dan ahli dalam
4
Asmuni.Yusron.1996, Dirasah Islamiyah II. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada) hal.134
3
4. bidang fikih, namun menguasai juga tasawuf, filsafat, dan ilmu kalam. Sejumlah pihak memberikan
gelar padanya sebagai seorang Hujjah al-Islam.
Karya Imam Al-Ghazali yang sangat terkenal di dunia adalah kitab Ihya` Ulum al-din. Kitab
ini merupakan magnum opus atau masterpiece Al-Ghazali. Bahkan, kitab ini telah menjadi rujukan
umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia dalam mempelajari ilmu tasawuf. Di dalamnya,
dijelaskan tentang jalan seorang hamba untuk menuju ke hadirat Allah.
C . Kritik Al-Ghazali Terhadap Para Filosof
Filsafat Yunani betul betul telah tersebar di zaman Al-Ghazali, sampai hampir menggoncang
iman. Para cendikiawan menerimanya tanpa menyeleksi, mana yang bermanfaat dan mana yang
membahayakan. Karena kekaguman mereka yang berlebihan terhadap filsafat yunani yang atheis itu,
mereka mengekor padanya sampai pada tingkat keingkaran dan kekufuran. Filsafat yunani begitu
menarik bagi para cendikiawan muslim, sehingga mereka hanya mentransfer dan bertaqlid buta.
Melihat kondisi ini al-ghazali bertekat mempelajari dan mendalami filsafat untuk dapat mengkritik
secara bijaksana dan ilmiah5.
Diantara kitab-kitab yang sangat popular dalam dunia filsafat Islam, bahkan dalam
lingkungan filsafat Kristen di zaman pertengahan adalah Tahafut Falasifah. Dari segi logat, tahafut
berarti keguguran dan kelemahan. Yang dimaksudkan ialah bahwa para filosof telah jatuh mati akibat
tikaman maut yang diarahkan oleh al-ghazali terhadap pemikiran mereka. Pada hakikatnya, tikaman
itu memang mematikan, mengenai inti masalah, sehingga ilmu filsafat tidak lagi muncul sesudah itu
(di dunia Islam), walau ada upaya mati-matian dari ibnu rusdy untuk mempertahankannya6.
Al-Ghazali adalah orang pertama-tama mendalami filsafat dan yang sanggup mengeritiknya
pula. Hasil peninjauan terhadap filsafat dibukukannya dalam bukunya maqasid al-falasifah dan
tahafut al-falasifah. Buku maqasid al falasifah berisi tiga persoalan filsafat, yaitu logika, ketuhanan
dan fisika yang diuraikanya dengan sejujurnya, seolah-olah dia seorang filosof yang menulis tentang
kefilsafatan. Sesudah itu, ia menulis buku berikutnya, yaitu tahafut al falasifah dimana ia bertindak
bukan sebagai filosof, melainkan sebagai seorang tokoh Islam yang hendak mengeritik filsafat dan
menunjukkan kelemahan-kelemahan serta kejanggalan-kejanggalannya, yaitu dalam hal yang
berlawanan dengan agama.
Menurut Al-Ghazali, lapangan filsafat ada enam, yaitu : matematika, logika, fisika, metafisika
(ketuhanan), politik, dan etika. Hubungan tersebut terhadap agama tidak sama; ada yang tidak
berlawanan sama sekali dengan agama, dan ada pula yang sangat berlawanan dengan agama.
Menurut Al-Ghazali, agama tidak melarang atau memerintahkan ilmu matematika (ilmu pasti),
karena ilmu ini adalah hasil pembuktian pikiran yang tidak bisa diingkari sesedah dipahami dan
diketahui. Tetapi ilmu tersebut menimbulkan dua keberatan, pertama, karena kebenaran dan ketelitian
ilmu matematika, maka boleh jadi ada orang yang mengira bahwa semua lapangan filsafat demikian
pula keadaannya bahkan sampai pada lapangan ketuhanan. Kedua, sikap yang timbul dari pemeluk
islam yang bodoh, yaitu menduga bahwa untuk menegakkan agama harus mengingkari semua ilmu
yang berasal dari filosof-filosof, dan mengatakan bahwa mereka bodoh semua, sehingga pendapatpendapat mereka tentang gerhana juga harus diingkari dan dianggap berlawanan dengan syara‟
Wacana logika menurut Al-Ghazali juga tidak ada sangkut pautnya dengan agama, atau
dengan perkataan lain, agama tidak memerintahkan atau melarang logika. Logika berisi penyelidikan
tentang dalil-dalil ( alasan-alasan) pembuktian, kias-kias (syllogisme), syarat-syarat pembuktian
(burhan) definisi-definisi dan sebagainya. Semua persoalan ini tidak perlu diingkari, sebab masih
sejenis dengan yang dipakai oleh ulama-ulama theology Islam, meskipun kadang-kadang berbeda
istilah dan kata-katanya. Bahaya yang di timbulkan oleh logika dan filosof-filosof, ialah karena
syarat-syarat pembuktian bisa menimbulkan keyakinan, maka syarat-syarat pembuktian tersebut juga
mendahului dalam soal-soal ketuhanan (metafisika), sedangkan sebenarnya tidak demikian.
5
Busthami.M.Said, 1992.Pembaharu Dan Pembaharuan Dalam Islam.Ponorogo: Pusat Studi Ilmu dan Amal (PSIA). hal
78-79
6
Daudy, Ahmad,1984. Segi-Segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam.(Jakarta: Bulan Bintang).hal 57
4
5. Mengenai Ilmu fisika, menurut A-Ghazali membicarakan tentang planet-planet, unsur-unsur
(benda-benda)) tunggal, seperti air, hawa, tanah dan api kemudian benda-benda tersusun seperti
hewan, tumbuh-tumbuhan, logam sebab-sebab perubahannya dan pelarutannya. Pembahasan tersebut
sejenis dengan pembahasan lapangan kedokteran, yaitu menyelidiki tubuh orang, anggota-anggota
badannya dan reaksi-reaksi kimia yang terjadi di dalamnya. Sebagaimana untuk agama tidak
disyaratkan tidak mengingkari ilmu kedokteran, maka demikian pula ilmu fisika juga tidak perlu
diingkari, kecuali dalam beberapa hal yang disebutkan dalam buku tahafut al falasifah, yang dapat
disimpulkan bahwa alam semesta ini di kuasai (tunduk) kepada tuhan, tidak bekerja dengan diinya
sendiri, tetapi bekerja karena tuhan, zat penciptanya.
Pandangannya dalam ketuhanan (metafisika) menurut al-Ghazali, banyak sekali berisi
kesalahan filosof-filosof. Mereka tidak bisa mengadakan ketelitian dalam lapangan ketuhanan,
sebagaimana yang telah diadakan oleh mereka dalam lapanganlogika, dan oleh karena itu perbedaan
pendapat mereka dalam lapangan tersebut banyak sekali. Diantara tokoh Yunani yang mendekati
filosof-filosof Islam, seperti yang dinukil oleh al-Farabi dan Ibnu Sina ialah Aristoteles. Kesalahan
kesalahan mereka dalam lapangan tersebut ada 20 soal; dan dalam 17 diantaranya mereka harus
dinyatakan sebagai orang bid’at, sedang dalam tiga soal selebihnya, mereka dinyatakan sebagai ateis
(kafir), karena fikiran-fikiran mereka dalam tiga soal tersebut berlawanan dengan pendirian semua
kaum muslimin.
Dalam lapangan politik, menurut Al-Ghazali, semua kata-kata para filosof berkisar pada suatu
soal saja, yaitu hikmat kebijaksanaan yang bertalian dengan soal-soal dan kekuasaan duniawi.
Dalam segi moral (akhlak) perkataan mereka berkisar pada sifat jiwa, macam macamnya dan cara
menghadapinya7.
Masalah dua puluh macam tersebut dapat di bagi sebagai berikut, Hubungan Allah dengan
Alam. Hal ini meliputi empat masalah yang pertama:
a)
b)
c)
d)
Qadimnya alam,
Keabadian alam dan zaman
Allah pencipta dan pembuat alam, dan
Ketidak mampuan membuktikan adanya pembuat alam
Keesaan dan ketidak mampuan membuktikannya (masalah kelima), sifat sifat ilahi (masalah
ke enam sampai dengan dua belas) mengetahui hal-hal kecil “juz iyah” (masalah ke tigabelas)
masalah falaq dan alam (masalah keempat belas sampai keenam belas) sebab akibat (masalah ketujuh
belas) jiwa manusia (masalah kedelapan belas dan sembilan belas) kebangkitan jasad pada hari akhirat
( masalah kedua puluh)8.
Tiga pikiran filsafat metafisika yang menurut Al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam,
dan oleh karenanya para filosof harus dinyatakan sebagai orang atheis ialah: qadimnya alam, tidak
mengetahuinya tuhan terhadap soal-soal peristiwa kecil, dan pengingkaran terhadap kebangkitan
jasmani.
a. Qadimnya Alam
Filosof mengatakan bahwa alam ini qadim. Qadimnya Tuhan atas Alam sama dengan
qadimnya illat atas ma‟lulnya (sebab atas akibatnya) yaitu dari segi zat dan tingkatan, bukan dari
segi zaman. Alasannya adalah tidak mungkin wujud yang hadis (baru), yaitu alam, keluar dari
qadim (tuhan), karena dengan demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim
tersebut sudah ada sedang alam belum lagi ada. Tentang mengapa alam belum wujud, maka hal
ini disebabkan pada waktu itu hal hal yang menyebabkan wujudnya belum ada. Jadi pada waktu
tersebut ala mini baru merupakan suatu kemungkinan murni artinya bisa wujud bisa tidak.
Sesudah wahyu itu datang, maka ala mini menjadi wujud, dan wujud ini disebabkan karena
factor-faktor yang menyebabkan wujudnya. Tetapi timbul pertanyaan mengapa factor-faktor
7
8
Ibid, hal 66
Op.Cit.Ahmad. hal 143-144
5
6. tersebut baru timbul pada waktu ini dan tidak timbul sebelumnya. Kalau dikatakan tuha mulamula tidak berkuasa mengadakan alam, kemudian menjadi kuasa untuk mengadakannya, maka
timbul pula pertanyaan, mengapa kekuasaan ini baru timbul pada masa tersebut bukan pada masa
sebelumnya. Atau kalau dikatakan tuhan sebelumnya tidak mempunyai tujuan bagi wujudnya
alam, kemudian maksud ini timbul, maka pertanyaan yang muncul juga sama, yaitu mengapa
tujuan itu timbul. Atau kalau dikatakan tuhan mula-mula tidak menghendaki adanya, maka
timbul pertanyaan mengapa kehendak tersebut timbul dan dimana pula timbulnya,apakah pada
zatnya atau pada selain zatnya .
Jawaban Al-Ghazali: apa keberatannya kalau dikatakan bahwa iradat (kehendak tuhan) yang
qadim itu menghendaki wujud alam pada waktu diwujudkannya.
Boleh jadi timbul pertanyaan, kalau yang dimaksud dengan iradah yang qadim itu seperti niat
kita untuk mengadakan suatu perbuatan, maka perbuatan tersebut tidak mungkin terlambat,
kecuali karena ada halangan, sedangkan bagi tuhan sebagai zat yang mengadakan pembuatan,
sudah lengkap syarat-syaratnya dan tidak ada hal yang perlu dinantikan lagi,tetapi perbuatannya
terlambat juga.
Jawab Al-Ghazali ialah, bahwa perkataan tersebut tidak lebih kuat dari pada perkataan
mereka yang mempercayai kebaruan alam karena kehendak yang qadim.
Timbul pula pertanyaan lain yaitu bahwa nilai semua waktu dalam pertaliannya dengan
kehendak adalah sama, tetapi mengapa satu waktu dipilih untuk mewujudkan alam, dan waktu
yang sebelumnya atau sesudahnya tidak dipilih?
Jawab Al Ghazali ialah, bahwa arti kehendak ialah yang memungkinkan untuk membedakan
sesuatu dari lainnya. Kehendak Tuhan adalah mutlaq, artinya bisa memilih suatu waktu tertentu,
bukan waktu lainnya, tanpa ditanya sebabnya, karena sebab tersebut adalah kehendak-Nya itu
sendiri. Kalau masih ditanya sebabnya, maka artinya kehendak tuhan itu terbatas tidak lagi
bebas; sedangkan kehendak itu bersifat bebas dan mutlaq9.
b.
Tuhan Tidak Mengetahui yang Parsial (Juz’iyyat) Hal-Hal/Peristiwa Kecil
Para filosuf Muslim, menurut Al Ghazali berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui zatNya
dan tidak mengetahui yang selain-Nya (Juz‟iyyat). Ibnu Sina mengataakan bahwa Allah
mengetahui segala sesuatu dengan IlmuNya yang kulli (umum). Alasan para filosuf Muslim,
Allah tidak mengetahui yang Juz‟iyyat, bahwa di alam ini selalu terjadi perubahan-perubahan,
jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu akan membawa perubahan pada yang
punya ilmu (bertambah atau berkurang). Ini mustahil terjadi pada Allah10.
Golongan filosof berpendirian bahwa tuhan tidak mengetahui hal-hal kecil, kecuali dengan
cara yang umum. Alasannya mereka adalah bahwa yang baru ini dengan segala peristiwanya
selalu berubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti kepada yang diketahui atau dengan perkataan
lain, perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu ini berubah,
yaitu dari tahu menjadi tidak tahu, atau sebaliknya, berarti tuhan mengalami perubahan,
sedangkan perubahan zat tuhan tidak mungkin terjadi. Menurut al-Ghazali: ilmu adalah suatu
tambahan atau pertalian dengan zat, artinya lain dari pada zatnya. Pendapat ini berbeda dengan
pendapat para filosof yang mengatakan bahwa sifat-sifat tuhan adalah juga zat-Nya, yang berarti
tidak ada pemisahan antara keduanya, atau mereka tidak mengenal istilah tambahan seperti yang
dikenalkan oleh Al-Ghazali.
Menurut Al Ghazali Kalau terjadi perubahan pada tambahan tersebut, maka zat Tuhan tetap
pada keadaan yang biasa, sebagaimana halnya kalau ada orang berdiri di sebelah kanan kita,
kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka yang berubah sebenarnya dia, bukan kita.
Lagi pula kalau perubahan ilmu bisa menimbulkan sesuatu perubahan pada zat yang
mengetahui, sebagai mana yang di pegangi oleh golongan filosof, maka apakah mereka akan
mengatakan bahwa berbilangnya ilmu juga menimbulkan bilangan pada zat Tuhan.
9
Op.Cit. Ahmad hal 66
10
Al Ghazali, Tahafut al Falasifat, Tahkik Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar Al ma’arif, 1962), hal.86-87
6
7. Untuk memperkuat
diantaranya
argumennya Al Ghazali mengemukakan ayat Al Quran
QS Yunus [10]:61...
“Tidak luput dari pengetahuan tuhan biarpun sebesar zarrah, dibumi atau dilangit. Tidak ada
yang lebih kecil (pula) yang lebih besar dari itu,melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang
nyata” (lauh Maufuzh).
QS Al Hujarat [49]: 16...
“Dan Allah mengetahui apa yang ada dilangit dan apa yang ada di bumi dan Allah maha
Mengetahui segala sesuatu.”
Sebenarnya pendapat para filosuf Muslim tidak bertentangan dengan ayat diatas yang
dikemukakan oleh Al Ghazali. Mereka hanya menjelaskan bagaimana cara Allah mengetahui
yang Juz‟iyyat dan mereka bukan mengingkari Allah tentang tidak mengetahui yang juz‟iyyat.
Perbedaan pendapat antara Al Ghazali dan para filosuf tentang pengetahuan Allah ini wajar
terjadi. Menurut para filosuf Muslim berbedanya objek ilmu membawa perubahan pada ilmu dan
zat. Sementara menurut Al Ghazali berbedanya Objek Ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu
dan zat. Perbedaan prinsip akan menyebabkan perbedaan kesimpulan. Al Ghazali berusaha
menarik masalah pada tataran kongkret, sedangkan para filosuf menarik masalah pada tataran
abstrak.
c.
Kebangkitan Jasmani
Menurut para filosuf Muslim, yang akan dibangkitkan diakhirat nanti adalah rohani saja,
sedangkan jasmani akan hancur. Jadi yang merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani
saja. Kendatipun ada gambaran dari agama berupa materi di akhirat, seperti surga dan neraka,
semua itu pada dasarnya simbol-simbol (allegore) untuk memudahkan pemahaman orang awam.
Padahal, diakhirat terlalu suci dari apa yang di gambarkan oleh orang awam11.
Al Ghozali secara mendasar tidaklah menolak adanya bermacam-macam kelezatan di akhirat
yang lebih tinggi dari pada kelezatan di dunia empris/duniawi. Juga ia tidak pula menolak
kekekalan roh telah berpindah daqri jasad. Semua itu dapat diketahui berdasarkan otoritas dari
jasad. Akan tetapi, ia membantah bahwa aakal saja dapat memberikan pengetahuan final dalam
masalah metafisika (sam‟iyyat)12.
Al Ghozali dalam menyanggah pendapat para filosuf Muslim lebih banyak berdasarkan pada
arti tekstual AlQuran. Menurut Al Ghazali, tidak ada alasan untuk menolak terjadinya
kebahagiaan atau kesenangan fisik dan rohani secara bersama. Allah berfirman yang artinya “
tidak seorangpun mengetahui apa yang tersembunyi untuk mereka (bermacam-macam nikmat)
yang menyedapkan pandangan mata” demikian pula fiman-Nya : “ Aku sediakan bagi hambahambaku yang soleh, apa yang terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, dan tidak tergores
dalam hati manusia.” Janji-janji Allah yangmaha Sempurna, perpaduan dianatara kedua hal
(jasmani dan rohani) adalah yang paling sempurna dan mesti mungkin. Karenanya wajib
membenarkan kemungkinan ini sesuai dengan agama13.
11
Ibid, hal 284
Ibid, hal 288-289
13
Ibid, hal 289-290
12
7
8. Menurut tinjauan filosof-filosof dari segi pikiran, alam akhirat adalah alam kerohanian, bukan
alam materiil (alam kebendaan), karena perkara kerohanian itu lebih tinggi nilainya. Karena itu
menurut mereka, pikiran tidak mengharuskan adanya kebangkitan jasmani, kelezatan atau
siksaan jasmani, surga atau neraka serta segala isinya. Kesemuanya itu memang disebut dalam
alquran, tetapi dengan maksud untuk memudahkan pemahaman terhadap alam kerohanian bagi
orang-orang biasa. Keunggulan alam kerohanian sebenarnya juga berlaku dalam dunia ini, yang
didasarkan pada kekuatan berfikir dan kelezatan mendapatkan obyek-obyek pikiran. Tetapi hal
itu tidak bisa dicapai disebabkan karena kesibukan-kesibukan benda, dan baru dicapai di akhirat
nanti, dimana kesibukan-kesibukan benda ini tidak lagi menjadi penghalangnya.
Agar sesuai dengan suasana kerohanian, maka kebangkitan di akhirat nanti bersifat rohani
pula. Jadi kebangkitan jasmani yang berarti badan kita akan dikembalikan lagi tidak perlu terjadi.
Jawaban Al-Ghazali mengatakan bahwa jiwa manusia tetap wujud sesudah mati (berpisah
dengan badan), karena ia merupakan substansi yang berdiri sendiri. Pendirian tersebut tidak
berlawanan dengan syara‟ bahkan di tunjukkan seperti yang disebutkan dalam Al Quran Surat
Ali Imran
“ janganlah engkau kira bahwa mereka yang terbunuh pada jalan allah itu mati, bahkan
mereka itu hidup disisi tuhannya mendapat rizki dan gembira”
Kemudian adanya nash-nash lain yang menyatakan adanya kebangkitan, yaitu kebangkitan
badan. Kebangkitan ini adalah suatu hal yang mungkin yaitu dengan jalan mengembalikan jiwa
kepada badan, badan apapun juga,baik dari bahan badan yang pertama atau bahan lainnya, atau
bahan badan yang baru dijadikan sama sekali.
Sesungguhnya bahwa pertentangan anatar Al Ghazali dengan filosuf Muslim hanya
perbedaan interpretasi karena bedanya titik pijak. Al Ghozali seorang teolog Al Asya‟ary, ia aktif
mengembangkan Asy‟arisme selama delapan tahun (1077-1085) pada Uaniversitas Nizhamiyah
Bagdad, tentu saja pemikirannya diwarnai oleh aliran ini, yakni dengan kekuasaan kehendak
mutlak Tuhan dan interpretasinya tidak seliberal para filosuf. Sementara itu, pemikiran para
filosuf Muslim diwarnai oleh pemikiran rasional, tentu saja interpretasi mereka lebih liberal dari
Al Ghazali. Namun, diantara kedua pihak sependapat bahwa di akhirat nanti ada kebangkitan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa yang mereka tertentangkan hanya pertentangan interpretasi
tentang dasar-dasar ajaran islam, yakni berbentuk kebangkitan di akhirat, bukan pertentangan
dasar-dasar islam itu sendiri yakni kebangkitan di akhirat.
Sebenarnya dalam ajaran islam informasi kebangkitan akhirat ada yang disebutkan dengan
jasmani dan rohani dan ada pula yang menyebutkan rohani saja. Para filosuf muslim lebih
menerima dalam bentuk rohani saja, sebab mereka dalam memahami nash lebih cenderung pada
arti metafora, dan kalau akhirat lawan dari dunia yang berbentuk materi berarti akhirat bentuk
rohani saja, jadi arti surga bagi mereka adalah kesenangan bukan berbentuk jasmani (materi),
sedangkan aerti neraka (api yang menyala), bagi mereka adalah kesengsaraan.
D. Perkembangan Filsafat setelah Al Ghazali
Telah diuraikan sebelumnya bahwa Al Gazali dalam bukunya Tahafut al Falasifa melontarkan
pukulan telak terhadap para filosuf Muslim. Ia merekatkan label tafkir (keluar dari Islam) terhadap
para filosuf muslim dam tiga butir masalam kadim Alam, Allah tidak mengetahui perincian yang
terjadi di alam, dan kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada. Hukum Kafir dalam Islam merupakan
hukuman yang berat dan bagi yang bersangkutan ( para filosuf Muslim) berdasarkan hukum Islam
harus dihukum mati.
Pukulan telak Al Ghazali menurut penilaian Nurkholis Majid hampir sempurna14 sehingga
orang takut berfilsafat dan dikhawatirkan di hukum kafir pula. Akibat dari peristiwa ini, timbulah
fatwa fatwa yang ekstim dengan nada yang sangat keras, seperti yang dilakukan Ibnu Salah: filsafat
adalah pokok kebodohan dan penyelewengan, bahkan kebingungan dan kesesatan. Maka siapa yang
mempelajarinya buta hatinya dari kebaikan-kebaikan syariat Silam dan ia bertemankan kekeliruan,
14
Nurkholis Madjid, Khasanah intlektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1984), hal.33
8
9. terbujuk oleh setan. Siapa yang mempelajari karya-karya Ibnu Sina, berarti ia telah menghkhianati
agamanya. Ibnu Sina tidak termasuk ulama, melainkan ia termasuk setan yang berwujud manusia.
Para penulis buku-buku filsafat mengklaim bahwa kemacetan filsafat didunia islam akibat
serangan Al Ghazali. Namun, jika kita teliti secara cermat, kemacetan filsafat didunia Islam Sunni
tidak bisa hanya di bebankan kepada Al Ghazali. Hal ini diantaranya erat kaitannya dengan situasi
politik yang tidak kondusif dalam pemerintahan Islam. Menurut Syafi‟i Maarif, mengambing
hitamkan AlGhazali bagi kemerosotan pemikiran Islam, “kita pandang agak kurang cerdas dan
bahkan mungkin punya kadar kezoliman15.
Demikian juga penilaian Prof. Dr. Harun Nasution yang menganggap salah pendapat orang
yang menuduh Tahafut Alghazali sebagai penyebab kemandekan filsafat di Dunia Islam Timur 16.
Pendapatnya ini ia topang dengan mengutip pendapat Hendri Cobin, sebagai ilmuawan Prancis yang
melakukan penelitian terhadap filsafat Islam, Sunni, dan Syi‟ah, bahwa serangan Al Ghazali itu
sangat kecil pengaruhnya dan di dunia timur masih terdapat pengikut-pengikut Ibnu Sina sampai hari
ini.
Dari dua tokoh Islam diatas dapat dibenarkan karena kemacetan filsafat di Dunia Islam Timur
Sunni sudah merupakan fenomena sosiologis yang sangat kompleks. Al Ghazali bukan anti filsafat,
bahkan ia sendiri mempelajarinya dan menulis logika Aristotales serta memberlakukan argumen
filsafat untuk kepentingan kalamnya, sebagaimana yang sudah di singgung dalam uraian sebelumnya.
Dilihat dari sikap ini, Al Ghazali dapat dikatakan seorang filosuf dan ia sanggah adalah klaim akal
untuk mengetahui seluruh kebenaran, terutama kebenaran metafisika17.
Menurut Harun Nasution adalah disebabkan kemuduran filsafat di Duni Islam Timur Sunni
terletak pada ajaran tarekat tasawuf yang hanya mengutamakan daya rasa yang berpusat di kalbu dan
meninggalkan daya nalar yang terdapat dalam akal. Mungkin juga sebab lain terletak pada aliran
asy‟ary karena aliran ini memberikan kedudukan lemah pada akal18. Berbeda jauh dengan Dunia
Islam Timur Syi‟ah pemikiran filsafat tidak terjadi kemacetan, dengan arti kata perkembangan
pemikiran filsafat tetap berjalan dengan baik. Karena Islam Syiah tidak menganut teologi Al Asy‟ary
melainkan menganut teologi Mu‟tazilah yang memberikan kedudukan kuat pada akal.
15
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Al Ghazali : Figur Anti Intlektual, , Makalah Simposium tentang Al Ghazali diselenggarakan oleh
BKS PTS se Indonesia, Jakarta 26 januari 1985, hal 1
16
Harun Nasution, Makalah Simposium tentang Al Ghazali diselenggarakan oeleh BKS PTS se Indonesia,
Jakarta 26 januari 1985, hal 9
17
Sayyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought, (Al Bany, State University of New York Press, 1981) hal 71
18
Harun Nasution, Al Ghazali, log.cit
9
10. BAB III
KESIMPULAN
Demikianlah dapat ditarik kesimpulan menurut Al-Ghazali, lapangan filsafat ada
enam, yaitu : matematika, logika, fisika, metafisika (ketuhanan), politik, dan etika. Hubungan
lapangan-lapangan tersebut terhadap agama tidak sama ada yang tidak berlawanan sama
sekali dengan agama, dan ada pula yang sangat berlawanan dengan agama.
Selanjutnya menurut Al-Ghazali, agama tidak melarang atau memerintahkan ilmu
matematika (ilmu pasti), karena ilmu ini adalah hasil pembuktian pikiran yang tidak bisa
diingkari sesudah dipahami dan diketahui. Tetapi ilmu tersebut menimbulkan dua keberatan,
pertama, karena kebenaran dan ketelitian ilmu matematika, maka boleh jadi ada orang yang
mengira bahwa semua lapangan filsafat demikian pula keadaannya bahkan sampai pada
lapangan ketuhanan. Kedua, sikap yang timbul dari pemeluk islam yang bodoh, yaitu
menduga bahwa untuk menegakkan agama harus mengingkari semua ilmu yang berasal dari
filosof-filosof, dan mengatakan bahwa mereka bodoh semua, sehingga pendapat-pendapat
mereka tentang gerhana juga harus diingkari dan dianggap berlawanan dengan syara
Poin kursial yang sangat pokok mengenai kecaman Al Ghazali terhadap tiga
persoalan itu adalah sebagai berikut pertama tentang Qadimnya Alam, menurut Al Ghazali
pendapat ini membawa kepada dampak keyakinan akan adanya yang qadim selain Tuhan,
atau berarti banyak yang Qadim, sedang dalam islam yang Qadim hanya satu yaitu Tuhan.
Kemudian yang kedua Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, menurut al
Ghazali pendapat ini akan menyesatkan umat islam karena paham ini membawa kepada
pengingkaran sifat kemahatahuan Tuhan. Ketiga tentang tidak adanya pembangkitan jasmani,
yang abadi hanya Ruh, sedangkan jasmani akan hancur dan tida kekal, Al Ghazali
berpendapat bahwa dalam Al Quran banyak ayat-ayat yang menyebutkan soal pembangkitan
jasmani dengan gambaran yang bersifat materiil, sehingga meyakini tidak adanya
pembangkitan jasmani berarti menolak ayat ayat yang menyatakan adanya pembangkitan
jasmani.
Demikian juga penilaian Prof. Dr. Harun Nasution yang menganggap salah pendapat
orang yang menuduh Tahafut Alghazali sebagai penyebab kemandekan filsafat di Dunia
Islam Timur.
Menurut Harun Nasution adalah disebabkan kemuduran filsafat di Duni Islam Timur Sunni
terletak pada ajaran tarekat tasawuf , aliran asy‟ary karena aliran ini memberikan kedudukan
lemah pada akal. Berbeda jauh dengan Duni Islam Timur Syi‟ah pemikiran filsafat tidak
terjadi kemacetan, dengan arti kata perkembangan pemikiran filsafat tetap berjalan dengan
baik. Karena islam Syiah tidak menganut teologi Al Asy‟ary melainkan menganut teologi
Mu‟tazilah yang memberikan kedudukan kuat pada akal.
10
11. DAFTAR PUSTAKA
Al Ghazali, Tahafut al Falasifat, Tahkik Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar Al ma‟arif, 1962)
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Al Ghazali : Figur Anti Intlektual, Makalah Simposium tentang Al
Ghazali diselenggarakan oleh BKS PTS se Indonesia, Jakarta 26 Januari 1985
Asmuni.Yusron.1996, Dirasah Islamiyah II. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada)
Busthami.M.Said, 1992. Pembaharu Dan Pembaharuan Dalam Islam. Ponorogo: Pusat Studi
Ilmu dan Amal (PSIA)
Daudy, Ahmad,1984. Segi-Segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang)
Harun Nasution, Makalah Simposium tentang Al Ghazali diselenggarakan oeleh BKS PTS se
Indonesia, Jakarta 26 januari 1985
Hanafi, Ahmad.1990. Pengantar Filsafat Islam. (Jakarta: PT Bulan Bintang )
Tim penyusun, 1994. Ensiklopedi Islam. (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Houve)
Nurkholis Madjid, Khasanah intlektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1984)
Sayyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought, (Al Bany, State University of New York
Press,1981)
Zaky Mubarak, Al Akhlaq‟ind Al Ghazali, (Mesir : dar al Khatib al- Araby al Thaba‟at alNasyr, 1968)
11