Aspek hukum dalam praktik kebidanan intan AKPER PEMKAB MUNA
Ada 13 sop dalam pelayanan rumah sakit
1. Ada 13 SOP dalam Pelayanan Rumah Sakit
June 17, 2009 · Filed under Others
Selasa, 16 Juni 2009 15:06
Berikut wawancara SH dengan Komisaris Rumah Sakit Krakatau Medika, Serang, Banten, DR Dr H Tb
Rachmat Sentika Sp.A, MARS.
Berkaca dari kasus Prita Mulyasari versus Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera, Tangerang,
sebenarnya Standar Operasional Prosedur (SOP) sebuah rumah sakit dalam menangani pasien itu seperti
apa?
Sebuah rumah sakit wajib menyusun standard operating procedure. Setidaknya ada 13 jenis standar
yang diperlukan. Di antaranya adalah untuk pelayanan medis, penunjang medis, keperawatan, sumber
daya manusia, keuangan dan adminitrasi, pelayanan umum, pemasaran, manajemen infus, QUMR,
kebersihan dan keselamatan kerja, perinasia/kamar bayi, dan penyebaran bahan-bahan berbahaya dari
rumah sakit. Jadi rumah sakit yang tidak punya standar seperti ini tidak bisa keluar surat izin
sementaranya.
Penjelasannya seperti apa?
Ada pula untuk pelayanan medis bagaimana penerimaan pasien di UGD, penerimaan pasien di poliklinik
dan unit rawat jalan, bagaimana menangani pasien di rawat inap. Untuk penunjang medis ada farmasi,
laboratorium, radiologi, instalasi medik. Sementara untuk laboratorium medis ada beberapa tindakan,
cara memilih kreagen, kesesuaian hasil, ketidaksesuaian hasil bagaimana cara penanganannya.
Apakah pihak rumah sakit sudah memberi tahu pasien tentang hak-haknya?
Ada Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dalam Pasal 47 dikatakan bahwa
setiap pasien berhak untuk menerima informasi mengenai penyakitnya, hasil pemeriksaan dirinya, dan
rencana pengobatannya. Setiap kejadian ditulis di medical record. Medical record kepunyaan rumah
sakit, tapi isinya kepunyaan pasien. Dan pihak yang berhak mengetahui hanya dokter dan pasien itu
sendiri, bahkan pihak manajemen rumah sakit tidak boleh mengetahuinya. Selanjutnya, hak-hak pasien
lainnya ialah berhak mendapat informasi dari ahli/dokter lainnya. Setiap pasien berhak mengemukakan
pendapatnya, tetapi dokter tidak boleh.
2. Tetapi pasien sering tidak tahu hak-haknya?
Rumah sakit yang memiliki penyuluhan kesehatan masyarakat rumah sakit (PKMRS) wajib
memberitahukan mengenai hak-hak pasien. Di setiap rumah sakit pasti ada tulisan mengenai hak-hak
pasien. Untuk itu, diperlukan SOP di setiap rumah sakit, yang setidaknya ada 13 standar itu.
Bagaimana dengan rumah sakit yang tidak memberi tahu hak-hak pasien?
Sekarang yang diperlukan ialah kepercayan pasien dan dokter, begitu pula sebaliknya. Ketika dia
menyerahkan jiwa raganya kepada dokter, memang terkadang ada dominasi dari pihak rumah sakit yang
kadang membuat pasien menderita. Untuk menghilangkan hal seperti itu, kami di rumah sakit dilatih
bagaimana supaya bukan pasien yang membutuhkan kami, tetapi kami yang membutuhkan mereka.
Kalau falsafah ini diterapkan, maka tidak akan ada masalah di kemudian hari.
Apakah setiap rumah sakit harus memiliki falsafah seperti itu?
Rumah sakit yang memberikan pelayan prima bukanlah mengatur. Seperti yang tertulis di UU Praktik
Kedokteran, setiap dokter harus menjunjung tinggi sifat humanitas. Jika tidak memiliki sifat seperti itu,
jangan menjadi dokter. Dan rumah sakit harus menganggap setiap pasien yang datang untuk berobat
adalah mitra rumah sakit, karena secara tidak langsung pasien akan mengeluarkan uang untuk sembuh,
kenapa kami tolak?
Dalam kasus Prita Mulyasari, bagaimana dengan soal rekaman medis itu?
Prita meminta rekaman medisnya dari dokter di gawat darurat (emergency), padahal dia harusnya
meminta rekaman medis pada dokter penyakit dalam yang memeriksanya. Prita memang tidak
diberikan hasil rekaman medis yang pertama karena hasilnya belum valid.
Hasil pemeriksaan trombosit belum bisa dijadikan alat diagnostik yang menunjukkan seseorang
menderita demam berdarah dengue (DBD). Berdasarkan WHO, ada enam substansi yang bisa dijadikan
alat diagnostik seseorang terserang DBD, di antaranya adalah panas tubuh 39 derajat Celcius selama tiga
hari berturut-turut, ada rasa nyeri di ulu hati, disertai dengan bintik-bintik merah dan pendarahan,
pembesaran hati dan limpa, ada pengentalan hemotoklit serta trombosit.
Namun orang selalu mengartikan kalau trobositnya kurang dari normal, langsung mencap dia terserang
DBD. Itu tidak bisa serta merta dijadikan alat diagnostik. Dalam kasus Prita ini, terjadi kesalahan
komunikasi antara dokter dengan pasiennya.
(heru guntoro /
3. stevani elisabeth)
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/
http://purnamawati.wordpress.com/2009/06/17/ada-13-sop-dalam-pelayanan-rumah-sakit/
KODE ETIK KDOKTERAN INDONESIA
dari http://library.usu.ac.id
dengan kesalahan ketik diabaikan.
Kalau perlu Pedoman Pelaksanaan KODE ETIK KDOKTERAN INDONESIA,
saya bisa bantu kirim, tapi perlu waktu u/ mempersiapkannya.,
Salam,
PUJI H
Perhimpunan INTI
Jl. Roa Malaka Utara No. 5 C-D
Jakarta 11230
Phone: +62 21 6915891
Fax. + 62 21 691 5893
www.inti.or.id
----- Original Message -----
From: "imcw" <[EMAIL PROTECTED]>
4. To: <dokter_umum@yahoogroups.com>
Sent: 08 May, 2007 20:24 PM
Subject: RE: [Dokter Umum] Re: dokter bintang iklan
> Silakan Pak, untuk etika kedokteran, saya punya hard copy-nya, sayangnya
> masih dipinjam ama teman. :)
> --
> i made cock wirawan
> http://dekock.wordpress.com
> http://www.ikayanafk.org
> -------------------------------------
>
> -----Original Message-----
> From: dokter_umum@yahoogroups.com [EMAIL PROTECTED] On
> Behalf Of Ivan Purba
> Sent: Selasa 08 Mei 2007 11:06
> To: dokter_umum@yahoogroups.com
> Subject: Re: [Dokter Umum] Re: dokter bintang iklan
>
> Gimana kalau kita bahas Kode Etik Kedokteran di forum
> ini, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan
> oleh seorang dokter disaat dia berperan sebagai
> seorang dokter, ada yang punya salinan kode etik tsb ?
>
5. http://library.usu.ac.id
KODE ETIK KDOKTERAN INDONESIA
KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah
dokter.
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai
dengan standar profesi yang tertinggi.
6. Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji
diri.
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun
fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah
memperoleh persetujuan pasien.
7. Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan
setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya
dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah
diperiksa sendiri kebenarannya.
Pasal 7a
Seorang dokter harus dalam setiap praktik medisnya memberikan pelayanan
medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai
rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 7 b
8. Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui
memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan
penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien.
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak
tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makhluk insani.
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
9. (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun
psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang
sebenar-benarnya.
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan
bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien,
ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit
tersebut.
Pasal 11
10. Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa
dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau
dalam masalah lainnya.
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT
11. Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali
dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan
baik
Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran/kesehatan.
12. PENJELASAN KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Sumpah dokter di Indonesia telah diakui dalam PP No. 26 Tahun 1960. Lafal
ini terus disempurnakan sesuai dengan dinamika perkembangan internal dan
eksternal protesi kedokteran baik dalam lingkup nasional maupun
internasional. Penyempurnaan dilakukan pada Musyawarah Kerja Nasional Etik
Kedokteran II tahun 1981, pada Rapat Kerja Nasional Majelis Kehormatan Etika
Kedokteran (MKEK) dan Majelis Pembinaan dan Pembelaan Anggota (MP2A) tahun
1993, dan pada Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran III, tahun 2001.
Pasal 2
13. Yang dimaksud dengan ukuran tertinggi dalam melakukan protesi kedokteran
mutakhir, yaitu yang sesuai dengan perkembangan IPTEK Kedokteran, etika
umum, etika kedokteran, hukum dan agama, sesuai tingkat/jenjang pelayanan
kesehatan, serta kondisi dan situasi setempat.
Pasal 3
Perbuatan berikut dipandang bertentangan dengan etik
1. Secara sendiri atau bersama-sama menerapkan pengetahuan dan ketrampilan
kedokteran dalam segala bentuk.
2. Menerima imbalan selain dari pada yang layak, sesuai dengan jasanya,
kecuali dengan keikhlasan dan pengetahuan dan atau kehendak pasien.
3. Membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan farmasi/obat,
perusahaan alat kesehatan/kedokteran atau badan lain yang dapat mempengaruhi
pekerjaan dokter.
4. Melibatkan diri secara langsung atau tidak langsung untuk mempromosikan
obat, alat atau bahan lain guna kepentingan dan keuntungan pribadi dokter.
14. Pasal 4
Seorang dokter harus sadar bahwa pengetahuan dan ketrampilan profesi yang
dimilikinya adalah karena karunia dan kemurahan Tuhan Yang Maha Esa semata
dengan demikian imbalan jasa yang diminta harus di dalam batas-batas yang
wajar.
Hal-hal berikut merupakan contoh yang dipandang bertentangan dengan Etik
a. Menggunakan gelar yang tidak menjadi haknya.
b. Mengiklankan kemampuan, atau kelebihan-kelebihan yang dimilikinya baik
lisan maupun dalam tulisan.
Pasal 5
Sebagai contoh, tindakan pembedahan pada waktu operasi adalah tindakan demi
kepentingan pasien.
15. Pasal 6
Yang dimaksud dengan mengumumkan ialah menyebarluaskan baik secara lisan,
tulisan maupun melalui cara lainnya kepada orang lain atau masyarakat.
Pasal 7 Cukup jelas.
Pasal 7a Cukup jelas.
Pasal 7b Cukup jelas.
Pasal 7c Cukup jelas.
Pasal 7d Cukup jelas.
16. Pasal 8 Cukup jelas.
Pasal 9 Cukup jelas
Pasal 10
Dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut adalah dokter yang
mempunyai kompetensi keahlian di bidang tertentu menurut dokter yang waktu
itu sedang menangani pasien.
Pasal 11 Cukup jelas.
Pasal 12
17. Kewajiban ini sering disebut sebagai kewajiban memegang teguh rahasia
jabatan yang mempunyai aspek hukum dan tidak bersifat mutlak.
Pasal 13
Kewajiban ini dapat tidak dilaksanakan apabila dokter tersebut terancam
jiwanya
Pasal 14 Cukup jelas.
Pasal 15
Secara etik seharusnya bila seorang dokter didatangi oleh seorang pasien
yang diketahui telah ditangani oleh dokter lain, maka ia segera memberitahu
dokter yang telah terlebih dahulu melayani pasien tersebut.
Hubungan dokter-pasien terputus bila pasien memutuskan hubungan tersebut.
18. Dalam hal ini dokter yang bersangkutan seyogyanya tetap memperhatikan
kesehatan pasien, yang bersangkutan sampai dengan saat pasien telah
ditangani oleh dokter lain
http://www.mail-archive.com/dokter_umum@yahoogroups.com/msg02898.html
Memulihkan Hubungan Pasien & Dokter yang Retak Januari 1, 2010
Posted by teknosehat in Bioetik & Biohukum, HUKUM KESEHATAN, Pelayanan Kesehatan, Tenaga
Kesehatan.
trackback
Memulihkan Hubungan Pasien & Dokter yang Retak
Billy N. <billy@hukum-kesehatan.web.id>
Dalam kolom ‘Surat Pembaca’ di beberapa harian, mungkin kita membaca surat-surat yang berisi
pertentangan antara pasien dengan rumah sakit (RS) yang pernah merawatnya mengenai kepemilikan isi
rekam medik. Pasien menganggap isi rekam medik adalah miliknya, sementara RS menganggap pasien
hanya berhak atas isi resume/ringkasannya saja. Dalam kasus Prita Mulyasari, masalah rekam medik pun
menjadi pertentangan ketika pihak RS menolak memberikan rekam medik dengan lengkap.
Kedua pendapat ini memiliki dasar hukum masing-masing. Pasal 47 UU no.29/2004 dengan jelas
menyebutkan bahwa isi medik milik pasien, sementara pasal 12 Permenkes no.269/2008 mereduksi hak
pasien tersebut menjadi hanya isi ringkasannya saja. Menurut azas preferensi hukum, peraturan yang
lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah (lex superiori derogat legi inferiori).
Masalah ini sebenarnya bukan semata masalah hukum, tetapi adalah ‘puncak dari gunung es’ retaknya
hubungan antara masyarakat sebagai pasien dengan dokter/RS. Ini mengakibatkan adanya perbedaan
cara pandang mengenai hubungan pasien dengan dokter/RS. Di satu sisi, masih banyak dokter
beranggapan bahwa hubungannya dengan pasien adalah seperti hubungan orangtua-anak
(paternalistik), dokter lebih mendominasi sehingga pasien dianggap tidak tahu apa-apa & cukup
menurut saja, sedangkan dokter dianggap ‘manusia setengah dewa’ yang tahu segalanya. Dalam pola
ini, dokter menganggap wajar jika pasien hanya berhak atas ringkasan rekam mediknya saja.
19. Di sisi lain, sudah banyak pasien yang menganggap hubungannya dengan dokter adalah seperti klien-
teknisi atau konsumen-produsen, di mana konsumen pelayanan kesehatan adalah ‘raja’. Dokter cukup
‘memperbaiki’ tubuh & melayani kehendak pasien, karena telah dibayar mahal termasuk untuk mengisi
rekam medik. Sehingga wajar jika pasien berhak meminta semua isi rekam mediknya dalam pola ini.
Kedua jenis hubungan tersebut sebenarnya bukan tipe hubungan yang tepat untuk pasien-dokter,
karena tidak menjadi hubungan yang setara di antara keduanya. Pada hubungan paternalistik, dokter
terkesan seenaknya dalam melayani pasien, pasien sering dianggap masalah yang harus cepat
diselesaikan atau semata makhluk biologis yang harus diobati. Pasien hanya dapat pasrah apalagi dalam
pola ini banyak yang biaya pengobatannya ditanggung oleh perusahaan atau negara.
Sedangkan pada hubungan konsumen-produsen, pasien menjadi konsumen yang senang ‘berbelanja’
dokter, mencari mana yang paling memuaskannya, jika diperlukan yang paling ahli sampai ke luar
negeri. Jika tidak sembuh atau dianggap kurang memuaskan pelayanannya, dokter dapat dituduh
melakukan malapraktik. Dalam pola ini, dokter pun menjadi penyedia jasa yang selektif, hanya mau
melayani pasien yang mampu membayar sesuai tarif yang ditentukannya & berlomba menyediakan
berbagai fasilitas yang diingini pasien.
Dalam buku ‘Matters of Life and Death‘, pakar etika kedokteran John Wyatt menyatakan bahwa pola
hubungan yang baik untuk pasien & dokter sebenarnya adalah suatu hubungan ‘ahli-ahli’ (the expert-
expert relationship), di mana terjadi suatu hubungan sejajar yang saling menghormati & percaya. Dasar
pemikiran pola ini adalah dokter sebagai ahli dalam bidang kesehatan sementara pasien tentu ‘ahli’
(yang paling mengetahui) keluhan, riwayat kesehatan, sampai gaya hidup pribadinya. Dalam pola ini,
pasien tidak dianggap masalah atau kumpulan trilyunan sel sakit yang dapat diobati penyakitnya sesuai
prosedur standar atau perkembangan teknologi kedokteran terbaru. Namun pasien adalah manusia
seutuhnya yang unik sehingga diperlukan pendekatan pribadi untuk kondisi kesehatan yang mungkin
sama dengan banyak pasien lain.
Hubungan pasien & dokter dalam pola ini terjadi karena adanya aspek filantropis (mengasihi orang lain)
dari dokter, bukan didasarkan pada aspek finansial belaka seperti pada pola konsumen-produsen.
Sedangkan pasien dalam pola ini tidak hanya mencari pertolongan dokter ketika dalam kondisi sakit saja
seperti pada pola paternalistik, tetapi juga dalam kondisi sehat untuk mencegah penyakit, menjaga &
meningkatkan derajat kesehatannya.
Dengan pola ini, kepemilikan isi rekam medik bukanlah suatu hal yang perlu dipertentangkan & menjadi
rahasia bagi pasien yang kondisi tubuhnya tercatat di dalamnya. Karena dalam hubungan ini, isi rekam
medik menjadi salah satu pengikat hubungan pasien-dokter, yaitu sejarah hubungan keduanya dalam
usaha untuk menjaga & mencapai kesehatan pasien.
Pola hubungan yang baik ini tentu bukan hanya menjadi kepentingan pasien & dokter semata, tetapi
menjadi kepentingan pemerintah juga dalam usaha peningkatan kesehatan masyarakat. Pemerintah
harus ikut mendukungnya dengan membuat peraturan perundangan yang tentunya tidak saling
bertentangan, kebijakan yang mengutamakan pencegahan penyakit & peningkatan kesehatan, tidak
menjadikan bidang kesehatan sebagai usaha populis semata untuk mendapat dukungan di pemilu, &
20. memasukkan pola hubungan yang baik ini dalam inti kurikulum pendidikan dokter di Indonesia. Dengan
hubungan pasien & dokter yang lebih baik, maka masyarakat dapat tetap sehat dalam membangun
negeri ini.
(c)Hukum-Kesehatan.web.id
http://hukumkes.wordpress.com/2010/01/01/memulihkan-hubungan-pasien-dokter-yang-retak/
HAK PASIEN TERHADAP DOKTER ATAU RUMAH SAKIT
HAK PASIEN TERHADAP DOKTER ATAU RUMAH SAKIT
Akhir-akhir ini banyak dibicarakan di media massa masalah dunia kedokteran yang dihubungkan dengan
hukum. Bidang kedokteran yang dahulu dianggap profesi mulia, seakan-akan sulit tersentuh oleh orang
awam, kini mulai dimasuki unsur hukum. Gejala ini tampak menjalar ke mana-mana, baik di dunia barat
yang mempeloporinya maupun Indonesia. Hal ini terjadi karena kebutuhan yang mendesak akan adanya
perlindungan untuk pasien maupun dokternya.
Salah satu tujuan dari hukum adalah untuk melindungi kepentingan pasien di samping mengembangkan
kualitas profesi dokter atau tenaga kesehatan. Keserasian antara kepentingan pasien dan kepentingan
tenaga kesehatan, merupakan salah satu penunjang keberhasilan pembangunan sistem kesehatan. Oleh
karena itu perlindungan hukum terhadap kepentingan-kepentingan itu harus diutamakan.
Di satu pihak pasien menaruh kepercayaan terhadap kemampuan profesional tenaga kesehatan. Di lain
pihak karena adanya kepercayaan tersebut seyogianya tenaga kesehatan memberikan pelayanan
kesehatan menurut standar profesi dan berpegang teguh pada kerahasiaan profesi.
Kedudukan dokter yang selama ini dianggap lebih "tinggi" dari pasien disebabkan keawaman pasien
terhadap profesi kedokteran. Dengan semakin berkembangnya masyarakat, hubungan tersebut secara
perlahan-lahan mengalami perubahan. Kepercayaan kepada dokter secara pribadi berubah menjadi
kepercayaan terhadap keampuhan ilmu kedokteran dan teknologi.
Agar dapat menanggulangi masalah secara proporsional dan mencegah apa yang dinamakan malpraktek
di bidang kedokteran, perlu diungkap hak dan kewajiban pasien. Pengetahuan tentang hak dan
kewajiban pasien diharapkan akan meningkatkan kualitas sikap dan tindakan yang cermat dan hati-hati
dari tenaga kedokteran.
21. Klien mempunyai hak legal yang diakui secara hukum untuk mendapatkan pelayanan yang aman dan
kompeten. Perhatian terhadap legal dan etik yang dimunculkan oleh konsumen telah mengubah sistem
pelayanan kesehatan.
Kesadaran masyarakat terhadap hak-hak mereka dalam pelayanan kesehatan dan tindakan yang
manusiawi semakin meningkat, sehingga diharapkan pihak pemberi pelayanan kesehatan dapat
memberikan pelayanan yang aman, efektif dan ramah terhadap mereka. Jika harapan ini tidak
terpenuhi, maka masyarakat akan menempuh jalur hukum untuk membela hak-haknya.
Hubungan Antara Pasien Dengan Tenaga Medis
Menurut Kartono, hubungan pasien dan dokter saat ini tidak lagi feodalistik di mana pasien biasanya
pasrah dan menyerah pada dokter. Kini pasien semakin sadar bahwa dirinya sebagai konsumen
mengeluarkan biaya untuk mendapat pelayanan yang baik dari dokter sehingga ketika hasilnya tidak
sesuai dengan harapan maka konflik sangat mungkin terjadi.
Dalam era kesadaran konsumen sekarang selain pasien yang semakin sadar akan haknya, dokter pun
membutuhkan pasien walau mereka lebih sering membantah hal ini.
Pasien pada umumnya ingin cepat sembuh dan mendapatkan pelayanan seperti yang diharapkan. Selain
itu pasien juga ingin agar setiap pertanyaannya dijawab tuntas. Sementara dokter punya harapan
pasiennya akan menurut dan tidak banyak bertanya. Perbedaan ini, menurut dia, merupakan salah satu
penyebab terjadinya konflik antara dokter dan pasien.
Menghadapi hal tersebut, lanjut Kartono, satu hal yang harus disadari dokter adalah keadaan emosi
pasien. Setiap pasien yang datang ke dokter, apalagi ke rumah sakit, akan merasa stres. Hal ini
disebabkan keadaan penyakitnya dan lingkungan rumah sakit yang berbeda dengan dirinya. Dengan
begitu pasien lebih cenderung memakai emosi dalam bertindak. Dan jika sikap dokter tidak tepat, maka
pasien akan mudah marah dan tersinggung.
Konsep sakit yang berbeda, menurut Kartono, merupakan faktor lain penyebab konflik. Bagi pasien, ada
yang menganggap sakit itu sebagai ancaman serius, namun ada juga yang menganggap sakit itu sebagai
peluang untuk mendapatkan perhatian lebih dari teman atau keluarga. Bahkan ada yang menganggap
sakit kesempatan untuk bolos kerja. Sementara bagi dokter, penyakit seorang pasien hanyalah salah
satu problem di antara sekian banyak pasien lainnya. Sehingga pendekatan yang dipakai dokter
umumnya teknikal rasional. Jika pasien panik melihat darah keluar dari tubuhnya dan ingin segera
masuk ICU, dokter belum tentu berpikir serupa.
Semua perbedaan tersebut, kata Kartono, dapat diselesaikan melalui komunikasi dan itu harus dimulai
dari dokter. Kadang klaim seorang pasien itu bukan berpangkal dari masalah benar atau salah, tapi dari
rasa ketidakpuasan. Untuk itu tidak ada jalan selain berusaha mengerti dan berkomunikasi dengan
pasien dengan baik.
Konflik antara dokter dan pasien tidak perlu terjadi seandainya dokter benar-benar memahami hak
pasien. Menurut salah seorang anggota dewan pembina RS Honoris, Doktor Herkutanto, hanya ada dua
22. dasar yang membuat dokter bisa menolak memberi informasi medis pada pasiennya. Pertama jika
membahayakan jiwa sang pasien dan kedua jika pasiennya tidak cakap, misalnya sakit jiwa atau masih
anak-anak.
Kasus hukum dalam hubungan dokter dan pasien terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara
keharusan dan kenyataan. Disanalah letak pentingnya medical record untuk penyesuaian. Sayangnya
hingga kini persepsi tentang medical record itu masih salah, banyak dokter yang beranggapan bahwa
rekam medis hanyalah catatan pengingat bagi dirinya. Untuk menghindari hal tersebut maka hubungan
dokter dengan pasien perlu dibina dengan baik.
Pola hubungan pasien dengan dokter secara umum dapat dibagi atas tiga macam bentuk :
1.Priestly model (paternalistic), dalam hubungan ini dokter menjadi lebih dominan dibanding dengan
pasien.
2.Collegial model, dalam hubungan antara pasien dengan dokter lebih bersifat sebagai mitra.
3.Engineering model, dalam hubungan ini pasien menjadi lebih dominan dibanding dengan dokter.
Hak Pasien
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasien sebagai
konsumen kesehatan memiliki perlindungan diri dari kemungkinan upaya kesehatan yang tidak
bertanggungjawab seperti penelantaran. Pasien juga berhak atas keselamatan, keamanan, dan
kenyamanan terhadap pelayanan jasa kesehatan yang diterima. Dengan hak tersebut maka konsumen
akan terlindungi dari praktik profesi yang mengancam keselamatan atau kesehatannya.
Hak pasien yang lainnya sebagai konsumen adalah hak untuk didengar dan mendapatkan ganti rugi
apabila pelayanan yang didapatkan tidak sebagaimana mestinya. Masyarakat sebagai konsumen dapat
menyampaikan keluhannya kepada pihak rumah sakit sebagai upaya perbaikan rumah sakit dalam
pelayanannya. Selain itu konsumen berhak untuk memilih dokter yang diinginkan dan berhak untuk
mendapatkan opini kedua (second opinion), juga berhak untuk mendapatkan rekam medik (medical
record) yang berisikan riwayat penyakit pasien.
Hak-hak pasien juga dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pasal 14
undang-undang tersebut mengungkapkan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan kesehatan
optimal. Pasal 53 menyebutkan bahwa setiap pasien berhak atas informasi, rahasia kedokteran, dan hak
opini kedua. Pasal 55 menyebutkan bahwa setiap pasien berhak mendapatkan ganti rugi karena
kesalahan dan kelalaian petugas kesehatan.
Ikatan dokter Indonesia (IDI) pada akhir Oktober 2000 juga telah berikrar tentang hak dan kewajiban
pasien dan dokter, yang wajib untuk diketahui dan dipatuhi oleh seluruh dokter di Indonesia. Salah satu
hak pasien yang utama dalam ikrar tersebut adalah hak untuk menentukan nasibnya sendiri, yang
23. merupakan bagian dari hak asasi manusia, serta hak atas rahasia kedokteran terhadap riwayat penyakit
yang dideritanya.
Hak menentukan nasibnya sendiri berarti hak memilih dokter, perawat dan sarana kesehatannya dan
hak untuk menerima, menolak atau menghentikan pengobatan atau perawatan atas dirinya, tentu saja
setelah menerima informasi yang lengkap mengenai keadaan kesehatan atau penyakitnya.
Sementara itu, pasien juga memiliki kewajiban, yaitu memberikan informasi yang benar kepada dokter
dengan i’tikad baik, mematuhi anjuran dokter atau perawat, baik dalam rangka diagnosis, pengobatan
maupun perawatannya, dan kewajiban memberi imbalan jasa yang layak. Pasien juga mempunyai
kewajiban untuk tidak memaksakan keinginannya agar dilaksanakan oleh dokter apabila ternyata
berlawanan dengan kebebasan dan keluhuran profesi dokter.
Proses untuk ikut menentukan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap pasien setelah mendapatkan
cukup informasi, dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah kesepakatan yang jelas (informed
consent). Di Indonesia ketentuan tentang informed consent ini diatur lewat Peraturan Pemerintah
Nomor 18 tahun 1981 dan Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Nomor
319/PB/A4/88. Pernyataan IDI tentang informed consent ini adalah :
Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan
terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan
kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
Semua tindakan medis memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.
Setiap tindakan medis yang mempunyai risiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis
yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang cukup tentang
perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risikonya.
Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.
Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta
oleh pasien. Tidak boleh menahan informasi, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat
merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada
keluarga terdekat pasien. Dalam memberi informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran
seorang perawat atau paramedik lain sebagai saksi adalah penting.
Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan akan diambil.
Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis.
http://www.m2pc.web.id/2010/06/hak-pasien-terhadap-dokter-atau-rumah.html
http://ppnsdepkes.blogspot.com/search?q=PASAL-
PASAL+PENYIDIKAN+DAN+KETENTUAN+PIDANA+UU+KESEHATAN+2009
24. MUKADIMAH KODE ETIK KEDOKTERAN GIGI
Mengingat bahwa profesi dokter gigi merupakan tugas yang mulia yang tidak terlepas dari fungsi
kemanusiaan dalam bidang kesehatan, Maka memiliki kode etik yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.
Seorang dokter gigi dalam menjalankan profesinya perlu membawa diri dalam sikap dan tindakan yang
terpuji. Ia harus bertindak dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, baik dalam hubungannya
terhadap penderita, masyarakat,teman sejawat, maupun profesinya.
Dengan rakhmat Tuhan Yang Maha Esa serta didorong oleh keinginan luhur untuk mewujudkan
martabat, wibawa dan kehormatan [rofesi dokter gigi, maka dokter gigi yang tergabung dalam wadah
Persatuan Dokter Gigi Indonesia dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab merumuskan Kode Etik
Kedokteran Gigi Indonesia yang wajib dihayati, ditaati, dan diamalkan, oleh setiap dokter yang
menjalankan profesinya di wilayah hukum Indonesia.
Mukadimah merupakan kode etik uang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
Setiap dokter gigi harus bertindak dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, baik dalam hubungan
apapun
Para dokter gigi di wilayah hukum Indonesia dan tergabung dalam wadah Persatuan Dokter Gigi
Indonesia wajib menghayati, mentaati, dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia.
BAB 1
KEWAJIBAN UMUM
Sebagai tenaga medis, kita wajib untuk mengamalkan sumpah/janji dokter gigi Indonesia
memaksimalkan kemampuan yang dimiliki dalam melaksanakan kewajiban sebagai dokter gigi.
25. menjunjung tinggi martabat, harga diri sebagai seorang dokter gigi.
setiap dokter dalam melaksanakan prakteknya harus sesuai dengan SPM
segala tindakan yang dilakukan seorang dokter harus dapat dipertanggungjawabkan.
mampu bekerja sama dengan tenaga medis yang lain untuk mempermudah dalam melakukan rujukan
dan konsultasi
kita wajib untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa motivasi dan pendidikan
ikut berperan aktif dalam meningkatkan kesehatan masyarakat.
BAB II
wajib memberikan pelayanan semaksimal mungkin kepada panderita.
dokter dalam ketidakmampuanya wajib berkonsultasi kpd teman sejawat yang lebih ahli (Bila kita
melakukan pencabutan dan terjadi kecelakaan seperti akar teringgal kita wajib untuk
merujuk/berkonsultasi kepada dokter yang lebih ahli.)
seorang dokter wajib menjaga kerahasiaan pasien (menjaga rekam medik)
kita wajib untuk memberikan bantuan darurat yang diperlukan
BAB III
KEWAJIBAN DOKTER GIGI TERHADAP TEMAN SEJAWATNYA
Setiap dokter gigi harus saling menghormati dan menghargai dokter gigi lain, sebagaimana ia ingin
diperlakukan.
Contoh: Tidak menyebarkan fitnah mengenai teman sejawatnya kepada orang lain demi kepentingan
sendiri.
Setiap dokter gigi tidak diperkenankan mengambil alih suatu kasus dari seorang pasien tanpa
persetujuan.
26. BAB IV
KEWAJIBAN DOKTER GIGI TERHADAP DIRI SENDIRI
Setiap dokter gigi wajib meningkatkan kemampuannya sesuai kemajuan teknologi yang berkembang
saat ini.
Contoh: Dengan aktif mengikuti dalam seminar yang diadakan.
Setiap dokter gigi harus peduli akan kesehatan dirinya, agar dapat bekerja dengan baik.
Bab V
Penutup
KODEKI merupakan jiwa dan perbuatan untuk segala zaman yang menjadi landasan kehidupan dan
lansadan dalam melaksanakan pekerjaan. Serta untuk setiap insan yang selalu mengumandangkan “APA
YANG TIDAK KAU INGINKAN ORANG LAIN PERBUAT TERHADAPMU, JANGAN PERBUAT ITU TERHADAP
ORANG LAIN”.
Karena itu setiap dokter gigi Indonesia harus menjaga nama baik profesi dengan menjauhkan diri dari
perbuatan yang bertentangan dengan ilmu, moral, dan etik.
http://littleaboutmyworld.wordpress.com/2009/07/18/mukadimah-kode-etik-kedokteran-gigi/
SUARA PEMBARUAN DAILY
Ilmu Kedokteran Transparan
Ilmu kedokteran adalah ilmu yang "transparent", "accountable", dan "auditable". Jika ada dokter yang
marah atau tidak mau menjawab jika diminta untuk menjelaskan mengenai obat atau tindakan medis
27. yang diberikan kepada pasien, itu suatu tanda bahwa dokter tersebut menjalankan prakteknya secara
tidak profesional.
Demikian salah satu pernyataan yang dikeluarkan Iwan Darmansjah, Guru Besar Farmakologi FKUI,
sewaktu memberikan presentasinya di hadapan sekitar 130 hadirin dari FKUI (dekan, guru besar, alumni,
mahasiswa), dokter (praktisi, perusahaan farmasi, lembaga konsumen kesehatan, rumah sakit, klinik),
masyarakat awam dan pers.
Sebagai insan profesional, dokter harus mengedepankan penggunaan obat secara lege artis. Lege artis
yang dimaksud mengandung unsur-unsur etika dan moral, kejujuran dalam diri sendiri, serta
kerasionalan. Demikian dikemukakan guru besar bidang obat-obatan dari FKUI, sewaktu memberikan
ceramah tunggal di Aula FKUI, 23 Januari 2002, selama sekitar 1 jam 20 menit.
Mengutip pernyataan dari George W Merck, bekas CEO dan anak pendirinya pabrik obat Merck (AS) itu,
profesor yang berusia 71 tahun tersebut menyitir bahwa obat adalah untuk umat manusia, sedangkan
keuntungan (profit) akan mengikutinya. Semakin diingat prinsip itu semakin besar rezekinya akan
mengikuti. Merck dijuluki sebagai industri yang paling etis oleh majalah Fortune.
Seyogianya para profesional juga meletakkan kepentingan penderita di atas kepentingan diri sendiri,
dan memberikan yang terbaik bagi pasiennya. Namun menurut pengamatan Prof Iwan, dasar itu telah
dilanggar di seluruh dunia. Dengan nada penyesalan, kata Prof Iwan, Indonesia merupakan pelanggar
yang tergolong "sangat" bila nilai-nilai Indonesia dibandingkan dengan nilai universal. Sehingga misalnya
Universal
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache%3AhWvULHZ3Y0kJ%3Awww.iwandarmansja
h.web.id%2Fmiscellaneous.php%3Fid%3D29+pengertian+lege+artis
Ilmu Farmasi Kedokteran (IFK) merupakan suatu disiplin ilmu yang mengkaji penerapan pengobatan
kepada penderita secara komprehensif yang tertulis dalam resep yang lege artis dan rasional. Yang
dimaksud dengan lege artis adalah benar/ baik (jelas dan lengkap) dan mematuhi kaidah/ pedoman
penulisannya.