SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  14
Télécharger pour lire hors ligne
Carl Gustav Hempel tentang
Eksplanasi Ilmiah, Teori Konfirmasi
dan Paradoks Burung Gagak

Tugas mata kuliah Filsafat Abad XX sebagai pengganti UTS
Semester Genap 2008/2009

Dosen: Vincensius Y. Jolasa, Ph.D

Oleh: Satrio Arismunandar
NPM: 0806401916

Program S3 Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia
Maret 2009
1
I. Pengantar
Carl Gustav Hempel (1905-1997), filsuf kelahiran Jerman yang berimigrasi ke
Amerika, adalah salah satu filsuf sains terkemuka pada abad ke-20. Paradoks burung
gagaknya (Raven’s Paradox) –sebagai ilustrasi paradoks-paradoks konfirmasi—telah
menjadi tantangan tetap terhadap teori-teori konfirmasi.
Bersama Paul Oppenheim, ia mengusulkan perhitungan kuantitatif terhadap
derajat konfirmasi hipotesis lewat pembuktian. Model nomologis-deduktif yang
diajukannya bagi eksplanasi (penjelasan) ilmiah menempatkan eksplanasi pada
landasan logis yang sama seperti prediksi; yakni keduanya adalah argumen-argumen
deduktif.
Perbedaannya adalah soal pragmatis, katakanlah bahwa dalam sebuah
eksplanasi, konklusi argumen dimaksudkan agar dianggap benar. Sedangkan, dalam
prediksi, tujuannya adalah untuk menghadirkan kasus yang meyakinkan untuk
konklusi. Hempel juga mengusulkan ukuran kuantitatif bagi kekuatan teori untuk
mensistematisasikan datanya.
Dalam kehidupannya kemudian, Hempel meninggalkan proyek logika
induktif. Ia juga menekankan problem-problem dengan positivisme logis (empirisme
logis), khususnya yang berkaitan dengan kriteria kebisaan untuk diverifikasikan
(verifiability). Hempel akhirnya meninggalkan analisis positivis logis terhadap sains,
dan berpaling ke arah analisis yang lebih empiris dalam peristilahan sosiologi sains.
Hempel belajar matematika, fisika, dan filsafat di Gottingen, Heidelberg,
Vienna, dan Berlin. Di Vienna, ia menghadiri beberapa pertemuan Lingkaran Vienna.
Dengan pertolongan Rudolf Carnap, ia dapat meninggalkan Eropa sebelum Perang
Dunia II, dan ia datang ke Chicago dengan hibah riset yang diusahakan oleh Carnap.
Hempel kemudian mengajar di Universitas Kota New York, Universitas Yale, dan
Universitas Princeton.

II. Riwayat Singkat dan Filsuf-filsuf yang Mempengaruhinya

Hempel lahir di

Oranienburg, Jerman, pada 1905.

Ia belajar

di

Realgymnasium di Berlin, dan pada 1923 ia diterima di Universitas Gottingen, di
mana ia belajar matematika bersama David Hilbert dan Edmund Landau, serta belajar
logika simbolis bersama Heinrich Behmann.
2
Hempel sangat terkesan pada program Hilbert untuk membuktikan konsistensi
matematika dengan cara metode-metode elementer. Ia juga belajar filsafat, namun
merasakan bahwa logika matematis lebih menarik daripada logika tradisional.
Pada tahun yang sama, ia pindah ke Universitas Heidelberg, di mana ia belajar
matematika, fisika, dan filsafat. Dari 1924, Hempel belajar di Berlin, di mana ia
bertemu Reichenbach yang memperkenalkannya ke Lingkaran Berlin. Hempel
menghadiri kursus-kursus Reichenbach tentang logika matematis, filsafat ruang dan
waktu, dan teori probabilitas. Ia belajar fisika bersama Max Planck dan belajar logika
bersama von Neumann.
Pada 1929, Hempel ikut serta dalam kongres pertama filsafat ilmiah yang
diselenggarakan oleh penganut positivis logis. Ia bertemu Rudolf Carnap dan sangat
terkesan pada Carnap, sehingga ia pindah ke Vienna. Di sana ia menghadiri tiga
kursus bersama Carnap, Schlick, dan Waismann, dan ambil bagian dalam pertemuan –
pertemuan Lingkaran Vienna.
Pada tahun-tahun yang sama, Hempel dianggap layak sebagai guru sekolah
menengah, dan akhirnya pada 1934, ia meraih doktor filsafat di Berlin, dengan
disertasi tentang teori probabilitas.
Pada tahun yang sama, ia berimigrasi ke Belgia, berkat pertolongan seorang
rekan Reichenbach, Paul Oppenheim (Reichenbach memperkenalkan Hempel dengan
Oppenheim pada 1930). Dua tahun kemudian, Hempel dan Oppenheim menerbitkan
buku Der Typusbegriff im Lichte der neuen Logik tentang teori logis konsep-konsep
ilmiah metrik, komparatif, dan pengklasifikasi.
Pada 1937, Hempel diundang—dengan bantuan Carnap—ke Universitas
Chicago sebagai Pendamping Riset bidang filsafat. Sesudah sempat tinggal lagi
sebentar di Belgia, Hempel berimigrasi ke Amerika pada 1939. Ia mengajar di New
York, di City College (1939-1940) dan Queens College (1940-1948).

III. Permasalahan dan Fokus Perhatian Hempel

Pemikiran Hempel tampaknya erat berkaitan dengan filsafat sains. Filsafat
sains merangkul seluruh pertanyaan yang muncul dari refleksi terhadap sains. Sains
secara meluas diyakini sebagai cara terbaik yang tersedia untuk memperoleh
pengetahuan. Selain itu, teori-teori ilmiah tampaknya memberi kita banyak masukan

3
tentang hakikat dan bagaimana berfungsinya dunia. Maka filsafat sains terasa saling
tumpang tindih dengan epistemologi dan metafisika.
Pertanyaan yang paling mendasar bagi filsafat sains adalah: Apakah sains itu?
(walaupun sejumlah filsuf beranggapan bahwa pertanyaan ini salah arah, karena tidak
ada ciri-ciri yang sama pada semua hal yang kita sebut sebagai sains).
Pertanyaan penting lain adalah: Apakah ada metode tunggal dengan mana
seluruh sains memperoleh kemajuan (progress)? Apakah yang dinamakan teori ilmiah
itu? Derajat kepercayaan seperti apa yang patut kita berikan pada teori-teori ilmiah?
Apa hubungan antara teori-teori dalam sains-sains yang berbeda? Dan lain-lain.
Banyak diskusi dalam filsafat sains berkaitan dengan hubungan antara teori
dan bukti. Kita biasanya berasumsi bahwa jika sebuah teori memprediksi beberapa
hasil (result) bagi sebuah eksperimen tertentu, dan hasil itu kemudian diamati, maka
pengamatan itu adalah bukti positif bagi kebenaran teori, dan teori itu
dikonfirmasikan olehnya.
Bagaimanapun, problem induksi (lihat epistemologi) adalah tak ada jumlah
bukti bagi generalisasi universal tertentu

(sebut saja, misalnya ―semua angsa

berwarna putih‖) yang tidak konsisten dengan satu bukti yang menolaknya
(katakanlah, angsa berikutnya yang diobservasi berwarna hitam).
Karl Popper telah mencoba menghindari problem ini dengan menyebutkan
bahwa teori-teori tidak pernah dikonfirmasikan oleh bukti, tapi hanya difalsifikasi.
Sejauh suatu teori belum difalsifikasi, walaupun kita sudah berusaha sekeras mungkin
untuk memfalsifikasinya, maka kita punya alasan untuk terus menggunakan teori
tersebut. Namun, kita tidak boleh pernah berpikir bahwa teori itu sudah didukung
secara induktif.
Filsuf-filsuf lain telah berargumentasi bahwa problem induksi muncul kembali
pada teori Popper tentang metodologi ilmiah (yang disebut falsifikasionisme), dan
bahwa kita tidak dapat berbuat tanpa semacam teori konfirmasi.
Setiap teori konfirmasi harus menghindari apa yang dinamakan paradoksparadoks konfirmasi, yang muncul jika kita mengadopsi sebuah teori yang jelas bagi
konfirmasi, yang menyiapkan intuisi-intuisi.

IV. Karya-karya Hempel

4
Pada tahun-tahun sekitar 1939-1948, Hempel tertarik pada teori konfirmasi
dan eksplanasi, dan menerbitkan beberapa artikel dengan topik tersebut: "A Purely
Syntactical Definition of Confirmation‖ (The Journal of Symbolic Logic, 8, 1943);
"Studies in the Logic of Confirmation" (Mind, 54, 1945); "A Definition of Degree of
Confirmation" (dengan P. Oppenheim, di Philosophy of Science, 12, 1945); "A Note
on the Paradoxes of Confirmation" (Mind, 55, 1946); dan "Studies in the Logic of
Explanation" (dengan P. Oppenheim di Philosophy of Science, 15, 1948).
Antara 1948 dan 1955, Hempel mengajar di Universitas Yale. Karyanya
Fundamentals of Concept Formation in Empirical Science diterbitkan pada 1952 di
International Encyclopedia of Unified Science. Dari 1955, ia mengajar di Universitas
Princeton. Aspects of Scientific Explanation and Philosophy of Natural Science
diterbitkan pada 1965 dan 1966 berturut-turut. Sesudah usia pensiun, ia terus
mengajar di Berkley, Irvine, Jerusalem, dan dari 1976 hingga 1985, di Pittsburgh.
Sementara itu, perspektif filsafatnya berubah dan ia berpaling dari positivisme
logis: "The Meaning of Theoretical Terms: A Critique of the Standard Empiricist
Construal" (dalam Logic, Methodology and Philosophy of Science IV, disunting oleh
Patrick Suppes, 1973); "Valuation and Objectivity in Science" (dalam Physics,
Philosophy and Psychoanalysis, disunting oleh R. S. Cohen dan L. Laudan, 1983);
"Provisoes: A Problem Concerning the Inferential Function of Scientific Theories"
(dalam Erkenntnis, 28, 1988).
Bagaimanapun, ia tetap setia bergabung dengan empirisme logis. Pada 1975,
ia menjabat sebagai redaksi (bersama W. Stegmüller dan W. K. Essler) pada seri baru
jurnal Erkenntnis. Hempel meninggal pada 9 November 1997 di kotapraja Princeton,
New Jersey.

V. Eksplanasi Ilmiah

Bersama Paul Oppenheim, pada 1948 Hempel mengembangkan teori persis
logis, yang dikenal sebagai Model Nomologis-Deduktif (Deductive-Nomological
Model) atau Model Hukum yang Mencakup (Covering-Law Model) bagi eksplanasi.
Eksplanasi ilmiah dari sebuah fakta adalah deduksi dari sebuah pernyataan
(disebut explanandum), yang menggambarkan fakta yang ingin kita jelaskan; premispremis (disebut explanans), yaitu hukum-hukum ilmiah; dan kondisi-kondisi awal
yang cocok. Agar eksplanasi bisa diterima, explanans itu harus benar.
5
Menurut model nomologis-deduktif, eksplanasi sebuah fakta dengan demikian
direduksi menjadi hubungan logis antara pernyataan-pernyataan.

Explanandum

adalah konsekuensi dari explanans. Ini adalah metode yang umum dalam filsafat
positivisme logis. Aspek-aspek pragmatis dari eksplanasi tidak dipertimbangkan.
Penjabaran lainnya adalah bahwa sebuah eksplanasi mensyaratkan adanya
hukum-hukum ilmiah; fakta-fakta dijelaskan ketika mereka digolongkan di dalam
hukum-hukum. Maka, pertanyaan pun muncul tentang hakikat suatu hukum ilmiah.
Menurut Hempel dan Oppenheim, sebuah teori fundamental dirumuskan
sebagai pernyataan yang benar, di mana pembilang-pembilangnya (quantifiers) tidak
dapat dicabut (sebagai contoh, sebuah teori fundamental tidaklah sama dengan sebuah
pernyataan tanpa pembilang), dan tidak mengandung konstanta individual.
Setiap pernyataan yang digeneralisasikan (generalized statement), yang
merupakan konsekuensi logis dari sebuah teori fundamental, adalah teori turunan
(derived theory). Gagasan yang mendasari perumusan ini adalah bahwa sebuah teori
ilmiah berurusan dengan properti umum, yang diekspresikan oleh pernyataanpernyataan universal.
Rujukan terhadap kawasan ruang-waktu spesifik atau terhadap hal-hal
individual tidaklah diizinkan. Misalnya, hukum Newton adalah benar untuk semua
benda di setiap waktu dan setiap ruang. Namun, terdapat hukum-hukum (misalnya,
hukum-hukum Kepler awal) yang sah (valid) di bawah kondisi terbatas dan merujuk
ke obyek-obyek spesifik, seperti matahari dan planet-planetnya.
Karenanya, ada pembedaan antara sebuah teori fundamental, yang bersifat
universal tanpa pembatasan, dengan sebuah teori turunan yang dapat mengandung
rujukan terhadap obyek-obyek individual. Perlu dicatat, di sini dipersyaratkan bahwa
teori-teori itu benar. Secara tersirat, ini berarti hukum-hukum ilmiah bukanlah alat
untuk membuat prediksi, namun hukum-hukum itu merupakan pernyataan sejati yang
menggambarkan dunia –sebuah sudut pandang yang realistis.
Ada karakteristik menarik lain dari model Hempel-Oppenheim, yaitu bahwa
eksplanasi dan prediksi memiliki struktur logis yang persis sama. Sebuah eksplanasi
dapat digunakan untuk memprakirakan, dan sebuah prakiraan adalah sebuah
eksplanasi yang sah.
Akhirnya, model nomologis-deduktif juga berhubungan dengan eksplanasi
hukum-hukum. Dalam kasus demikian, explanandum adalah hukum ilmiah dan dapat
dibuktikan dengan bantuan hukum-hukum ilmiah lainnya.
6
Aspects of Scientific Explanation (1965), menghadapi problem eksplanasi
induktif, di mana explanans mencakup hukum-hukum statistik. Menurut Hempel,
dalam eksplanasi semacam itu, explanans hanya memberi derajat probabilitas yang
tinggi pada explanandum, yang bukan merupakan konsekuensi logis dari premispremis bersangkutan.
Patut dicatat bahwa eksplanasi induktif menuntut suatu hukum yang
mencakup (covering law); di mana fakta dijelaskan lewat sarana hukum-hukum
ilmiah. Namun sekarang, hukum-hukum itu tidak deterministik; hukum-hukum
statistik juga diterima. Bagaimanapun, dalam banyak hal, eksplanasi induktif itu mirip
dengan eksplanasi deduktif.

Baik eksplanasi deduktif maupun induktif bersifat nomologis (maka, mereka
memerlukan hukum-hukum universal).
Fakta yang relevan adalah relasi logis antara explanans dan explanandum.
Dalam eksplanasi deduktif, explanandum merupakan konsekuensi logis dari
explanans. Sedangkan dalam eksplanasi induktif, hubungan itu bersifat
induktif. Namun di masing-masing model, hanya aspek-aspek logis yang
dianggap relevan. Hal-hal pragmatis tidak diperhitungkan.
Simetri antara eksplanasi dan prediksi dipertahankan.
Explanans itu harus benar.
VI. Pembentukan Konsep dalam Ilmu Empiris

Dalam monografnya, Fundamentals of Concept Formation in Empirical
Science (1952), Hempel menjabarkan metode-metode, yang digunakan untuk
merumuskan kuantitas-kuantitas fisik. Hempel menggunakan contoh pengukuran
massa.
Sebuah timbangan berlengan sama panjang digunakan untuk menentukan
apakah dua benda memiliki massa yang sama, dan apakah massa salah satu benda
lebih besar daripada massa benda yang lain. Dua benda itu memiliki massa yang sama
jika –ketika dua benda itu masing-masing ditaruh di lengan timbangan—
keseimbangan tetap merata (equilibrium).
Jika salah satu ujung lengan timbangan turun, sedangkan ujung yang lain naik,
maka benda di sisi yang paling rendah memiliki massa yang lebih besar. Dari sudut
7
pandang logis, prosedur ini merumuskan dua relasi, sebut saja E dan G. Seperti
berikut:
E(a,b) jika dan hanya jika a dan b memiliki massa yang sama;
G(a,b) jika dan hanya jika massa a lebih besar daripada massa b.

Hubungan (relasi) antara E dan G memenuhi kondisi-kondisi berikut:

1. E adalah hubungan refleksif, simetris, dan transitif.
2. G adalah hubungan irefleksif, asimetris, dan transitif.
3. E dan G sama-sama eksklusif –sehingga, jika E(a,b), maka bukan
G(a,b).
4. Untuk setiap a dan b, satu dan hanya satu dari penegasan-penegasan di
bawah ini yang benar:
E(a,b)

G(a,b)

G(b,a)

Hubungan E dan G dengan demikian merumuskan suatu tatanan parsial.

Langkah kedua terdiri dari pendefinisian sebuah fungsi m yang memenuhi tiga
kondisi:
5. Sebuah prototip yang cocok dipilih, di mana massanya adalah satu
kilogram.
6. Jika E(a,b) maka m(a) = m(b)
7. Terdapat sebuah operasi, sebut saja ©, yang mengkombinasikan dua
benda a dan b, sehingga
m(a © b) = m(a) + m(b)

Kondisi (1) sampai (7) menjabarkan pengukuran bukan hanya untuk massa,
tetapi juga untuk panjang, waktu, dan setiap kuantitas fisik yang ekstensif. (Sebuah
kuantitas dinyatakan ekstensif jika terdapat operasi yang mengkombinasikan obyekobyek sesuai kondisi 7. Jika tidak memenuhi kondisi seperti itu, kuntatitas itu
dinyatakan sebagai intensif. Temperatur, misalnya, adalah intensif).

8
VII. Perkembangan Pemikiran Hempel

Hempel melihat, tugas sains adalah menunjukkan fenomena

sebagai

konsekuensi hukum yang tak terbantahkan. Implikasi utamanya adalah model hukum
yang mencakup (covering-law) tentang pengertian ilmiah, dengan penekanan bahwa
terdapat simetri antara eksplanasi dan prediksi, di mana satu-satunya perbedaan
adalah soal temporal.
Dalam kasus eksplanasi, apa yang kita terangkan adalah sesuatu yang sudah
terjadi. Sedangkan dalam kasus prediksi, sesuatu yang kita prediksi itu belum terjadi.
Namun, kita melihat kini pergeseran dari filsafat sains yang preskriptif ke posisi yang
lebih deskriptif. Juga, dari keprihatinan eksklusif terhadap ilmu-ilmu fisik ke minat
yang lebih umum di bidang seperti biologi dan psikologi.
Dalam The Meaning of Theoretical Terms (1973), Hempel mengritik sebuah
aspek teori positivisme logis tentang sains: pembedaan antara term observasional dan
teoretis, dan problem yang berkaitan tentang makna term-term teoretis.
Menurut Hempel, terdapat asumsi tersirat dalam analisis neopositivis terhadap
sains, katakanlah bahwa makna term teoretis dapat dijelaskan lewat metode-metode
linguistik. Karena itu, problem utamanya adalah bagaimana seperangkat pernyataan
dapat ditentukan sehingga memberi makna pada term-term teoretis. Hempel
menganalisis berbagai teori yang diusulkan oleh positivisme logis.
Menurut Schlick, makna konsep-konsep teoretis ditentukan oleh dalil-dalil
(aksioma) teori. Jadi, dalil-dalil itu memainkan peran sebagai definisi tersirat.
Karenanya, term-term teoretis harus ditafsirkan dengan suatu cara yang membuat
teori itu benar.
Hempel menyatakan keberatan, karena berdasarkan penafsiran semacam itu
sebuah teori ilmiah akan selalu benar, teori itu benar secara konvensi, dan setiap teori
ilmiah adalah secara a priori benar. Kata Hempel, ini adalah bukti bahwa penafsiran
Schlick tentang makna term-term teoretis tidak dapat dipertahankan.
Solusi lain terhadap problem makna term-term teoretis adalah didasarkan pada
aturan-aturan korespondensi (rules of correspondence), yang juga dikenal sebagai
postulat-postulat makna. Term-term teoretis dengan demikian memperoleh penafsiran
parsial lewat term-term observasional.
Hempel mengajukan dua keberatan terhadap teori ini. Pertama, ia menegaskan
bahwa konsep-konsep observasional tidaklah eksis. Ketika sebuah teori ilmiah
9
memperkenalkan term-term teoretis yang baru, term-term itu terkait dengan term-term
teoretis lama, yang biasanya menjadi bagian dari teori ilmiah terkonsolidasi yang
sudah ada. Karena itu, penafsiran term-term teoretis baru itu tidaklah didasarkan pada
term-term observasional, namun diberikan oleh term-term teoretis yang lain.
Sehingga, dalam arti tertentu, ini dirasakan lebih familiar daripada yang baru.
Keberatan

kedua,

menyangkut

hakikat

konvensional

dari

aturan

korespondensi. Suatu postulat makna merumuskan makna sebuah konsep dan karena
itu –dari sudut pandang logis—itu haruslah benar. Namun, setiap pernyataan dalam
teori ilmiah berpotensi bisa dibuktikan kekeliruannya (falsifiable).
Tidak ada pernyataan ilmiah yang berada di luar yurisdiksi pengalaman
(experience). Jadi, sebuah postulat makna juga dapat keliru. Maka, ini tidak bersifat
konvensional dan tidak merumuskan makna sebuah konsep, melainkan benar-benar
hipotesis yang bersifat fisik. Postulat makna tidaklah eksis.
VIII. Paradoks Burung Gagak (Raven’s Paradox)

Semua ilmuwan menggunakan penalaran dan logika pada beberapa tahap,
untuk menciptakan hipotesis dan merancang eksperimen-eksperimen yang kuat.
Secara indah dan anggun, pada 1965, Hempel menunjukkan bahwa terdapat cacatcacat dalam proses ilmiah yang sudah lama mapan tersebut. Paradoks Burung Gagak
yang dikemukakan Hempel mempertanyakan proses penalaran induktif, generalisasi,
dan falsifiabilitas (falsifiability) yang sudah mapan tersebut.

8.1. Hipotesis Induktif

Bayangkanlah bahwa seorang ilmuwan, sesudah bertahun-tahun berjalan ke
berbagai penjuru lokasi, mengamati bahwa setiap gagak yang pernah ia temui
berwarna hitam. Sebagai peneliti yang patuh pada aturan, ia menggunakan penalaran
induktif untuk mendalilkan sebuah hipotesis: ―Semua gagak berwarna hitam.‖
Ini adalah hipotesis kondisional yang secara sempurna bisa diterima. Pertama,
hipotesis ini bisa diuji, karena kita dapat membuat sampel populasi gagak dan
membuktikan bahwa gagak-gagak itu berwarna hitam. Pernyataan ini juga bisa
dibuktikan jika keliru (falsifiable), karena cukup dengan ditemukannya satu ekor

10
gagak berwarna tidak-hitam di antara populasi yang dijadikan sampel, akan
membantah hipotesis tersebut.
Seluruh sains sejauh ini mengikuti metode penalaran induktif yang sudah
mapan. Peneliti bahkan dapat merancang eksperimen untuk membuat sampel dari
populasi gagak, dengan ribuan ekor gagak diamati.
Jika semua burung gagak itu hitam, berarti hipotesis ini didukung dan masuk
akal. Dengan berlalunya waktu, eksperimen dan pengamatan yang berulang-ulang
juga lebih jauh mengkonfirmasikan hal ini, dan hipotesis itu pun diterima sebagai
hukum.

8.2. Problem Generalisasi dan Falsifiabilitas

Bagian pertama dari proposal Paradoks Burung Gagak mempertanyakan
proses generalisasi tersebut. Secara praktis, tidaklah mungkin untuk mengambil
sampel terhadap setiap burung gagak di dunia, dan mungkin saja ada beberapa gagak
yang berwarna tidak-hitam. Hempel tidak mencooba berkomentar tentang sains
eksakta, namun sebagai informasi sampingan yang menarik, sekitar 1 dari 10.000
telur gagak mengandung sebagian atau seluruhnya burung albino.
Sebagian besar burung albino lebih jelas terlihat oleh pemangsa (predator),
menderita problem kesehatan, dan mungkin merupakan fenomena yang sangat lokal.
Maka kemungkinan menemui atau melihat seekor gagak albino sangat tipis. Seorang
peneliti bisa membuat sampel atas ribuan gagak, dan tidak melihat satu pun gagak
putih, walaupun gagak berwarna putih itu ada.
Maka, gagasan falsifiabilitas itu dipertanyakan dan dirusak oleh Paradoks
Burung Gagak. Walaupun hipotesis awalnya secara teknis bisa difalsifikasikan, dalam
pendekatan praktis sangatlah sulit untuk menolak hipotesis tersebut. Karena peluang
melihat seekor gagak putih sangat tipis. Bahkan jika kita mengambil sampel seluruh
populasi gagak yang diketahui, mungkin saja ada kelompok gagak yang belum
ditemukan, yang sebagian anggotanya tidak-hitam.

8.3. Cacat-cacat dalam Proses Penalaran Induktif

Bagian berikutnya dari Paradoks Burung Gagak mempertanyakan proses
penalaran dan deduksi, yang menjadi bagian integral dari proses ilmiah. Ketika
11
seorang peneliti menyatakan bahwa ―semua gagak berwarna hitam,‖ hukum logika
menuntut bahwa pernyataan kondisional ini memiliki pernyataan kontrapositif.
Karena itu, menurut penalaran induktif, ―segala sesuatu yang tidak-hitam
bukanlah burung gagak.‖ Ini berarti setiap obyek tidak-hitam yang diamati, yang
bukan gagak, secara setara memperkuat hipotesis. Padahal tidak terhitung jumlahnya
benda-benda tidak-hitam yang ada di alam semesta ini!
Untuk mengembangkan analogi lebih jauh, seorang peneliti lain di bagian lain
dunia, secara kebetulan, mungkin hanya pernah melihat seekor gagak sepanjang
hidupnya, dan kebetulan gagak itu berwarna putih. Hipotesis lewat deduksi yang
dilakukannya mungkin menyatakan, ―semua gagak berwarna putih.‖
Jadi, setiap obyek tidak-putih, yang bukan burung gagak, memperkuat
hipotesis ini yang bertentangan dengan hipotesis sebelumnya (yang mengatakan,
―semua gagak berwarna hitam‖). Inilah yang dinamakan Paradoks Burung Gagak.

IX. Arti Penting Pemikiran Hempel dan Konteks Indonesia

Lalu, apa arti keberadaan paradoks ini? Apakah dunia sains lantas runtuh
begitu saja? Jawabannya: tidak. Paradoks Burung Gagak adalah observasi filosofis
yang bermanfaat, dan membantu memastikan bahwa kita secara terus-menerus
mengamati dan menguji langkah-langkah proses ilmiah yang sudah mapan. Contohcontoh yang diberikan dalam paradoks ini bersifat simplistik dan tampaknya tak akan
terjadi. Itu hanya berfungsi sebagai latihan untuk menguji batas-batas filsafat sains.
Dalam kenyataan, pada sebagian besar kasus, cara Hempel tidak membuat
perbedaan. Penalaran normal dan proses rancangan eksperimental bekerja cukup
sempurna. Paradoks itu tidak lari dari sains, tetapi mengembangkannya, dengan
mencegah para ilmuwan dari kepercayaan bahwa mereka telah membuktikan sesuatu
yang di luar keraguan.
Paradoks Burung Gagak sepatutnya mengingatkan para ilmuwan tentang
bahaya generalisasi, dan bahwa mereka harus memastikan agar semua hipotesis
secara realistis bisa difalsifikasi. Jika seorang peneliti mengatakan, ―semua burung
gagak di Pulau Jawa berwarna hitam,‖ ini lebih realistis karena para ahli ilmu burung
(Ornitologi) secara layak dapat mengamati setiap gagak di Pulau Jawa.
Bahkan teori-teori yang sudah bertahan lama, yang menjadi mapan sebagai
hukum dan paradigma yang tidak bisa digeser, suatu waktu dapat dibuktikan keliru.
12
Sains sebenarnya adalah soal menguji probabilitas dan asumsi. Jika sesuatu memiliki
99% peluang untuk benar, maka itu sebaiknya diterima sebagai eksplanasi yang pas.
Peluang seseorang hanya melihat seekor gagak dalam hidupnya, di mana
kebetulan gagak yang dilihat itu adalah gagak putih, sangatlah kecil. Meski
peluangnya sangat kecil, itu bukan berarti tidak mungkin, dan kemungkinan itu tidak
boleh diabaikan. Inilah sebabnya mengapa semua eksperimen harus secara ketat
divalidasi dan ditinjau sebelum memperoleh penerimaan secara meluas, untuk
meminimalisir dampak Paradoks Burung Gagak.
Misalnya, hukum-hukum Newton telah diterima sebagai kebenaran, sampai
teori-teori Einstein meruntuhkannya. Pada gilirannya, teori Relativitas Umum
Einstein bukanlah jawaban terhadap fisika fundamental dan telah dilampaui oleh
teori-teori lain.
Inilah bagaimana sains berkembang, dengan menantang dan mengadaptasi
paradigma dan hukum-hukum yang sudah mapan. Penciptaan Teori Chaos adalah
contoh sempurna dari ilmuwan-ilmuwan ―pemberontak‖ yang mengikis hukumhukum yang sudah mapan, sampai teori baru itu tak bisa lagi diabaikan. Teori itu
akhirnya hadir dalam kesadaran publik, dan model-model fractal dari Teori Chaos
muncul dalam bentuk desain-desain unik di T-shirt.
Paradoks Burung Gagak dari Hempel hadir untuk mengingatkan kita bahwa
tidak ada teori, seberapa mapan pun, yang kebal terhadap tantangan dan debat. Ketika
bukti baru terungkap, sains harus beradaptasi dan berubah untuk menyesuaikan diri
dengan data yang baru.
Bagi para filsuf, pemikir, dan ilmuwan di Indonesia, pemikiran Hempel masih
sangat relevan dan bermanfaat. Tradisi ilmiah dan semangat pencarian kebenaran
lewat keilmuan masih belum cukup kuat dan berakar di negeri ini. Oleh karena itu,
pemikiran dan semangat Hempel sepatutnya memberi inspirasi pada para ilmuwan,
pemikir, dan filsuf Indonesia, untuk giat menggali ilmu dan pemikiran.
Sedangkan, pada saat yang sama, para ilmuwan, pemikir, dan filsuf Indonesia
juga harus cermat, teliti, hati-hati, dan waspada terhadap potensi sesat pemikiran dan
kekeliruan penalaran, akibat kurang dikuasainya metode berpikir yang benar. Inilah
signifikansi sumbangan pemikiran Hempel untuk konteks filsafat dan dunia keilmuan
Indonesia. ***

Depok, Maret 2009
13
Referensi:
1. Hempel, Carl G. 1945. ―On the Nature of Mathematical Truth,‖ American
Mathematical Monthly 52. Dicetak ulang di Feigl, H., dan W. Sellars (ed.).
1949. Readings in Philosophical Analysis. New York: Appleton-CenturyCrofts. Dicetak ulang di Newman, James R. 1956. The World of Mathematics,
vol. III. New York: Simon and Shuster. Dituliskan ke format hypertext oleh
Andrew Chrucky, 4 Feb 2001.
2. Hempel, Carl G. 1945. ―Geometry and Empirical Science,‖ American
Mathematical Monthly 52. Dicetak ulang di Feigl, H., dan W. Sellars (ed.).
1949. Readings in Philosophical Analysis. New York: Appleton-CenturyCrofts. Dicetak ulang di Newman, James R. 1956. The World of Mathematics,
vol. III. New York: Simon and Shuster. Dituliskan ke format hypertext oleh
Andrew Chrucky, 7 Feb 2001.
3. Hempel, Carl G. 1950. ―Problems and Changes in the Empiricist Criterion of
Meaning.‖ dalam 11 Rev. Intern: de Philos. 41, halaman 41-63.
4. http://www.iep.utm.edu/h/hempel.htm
5. http://articlesbase.com/science-articles/the-raven-paradox-how-hempelstreatise-led-to-questioning-of-the-inductive-reasoning-process-559856.html
6. www.experiment-resources.com
7. www.amethyst-web.net
8. Kearney, Richard (ed.). 2006. Twentieth-Century Continental Philosophy.
Knowledge History of Philosophy Volume VIII. New York: Routledge.
9. Goldstein, Laurence. 1990. The Philosopher’s Habitat: An Introduction to
Investigations in, and Applications of, Modern Philosophy. New York:
Routledge.
10. Honderich, Ted. 1995. The Oxford Companion to Philosophy. Oxford/New
York: Oxford University Press.
11. Russell, Bertrand. 1948. History of Western Philosophy and Its Connection
with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present
Day. London: George Allen and Unwin Ltd.

14

Contenu connexe

Tendances

Pendidikan Karakter
Pendidikan KarakterPendidikan Karakter
Pendidikan KarakterMuhamad Yogi
 
PPT KEBENARAN ILMIAH.pdf
PPT KEBENARAN ILMIAH.pdfPPT KEBENARAN ILMIAH.pdf
PPT KEBENARAN ILMIAH.pdfSukmaWati130587
 
Etika pemerintahan dalam membangun good governance (bahan lemhanas edit)
Etika pemerintahan dalam membangun good governance (bahan lemhanas edit)Etika pemerintahan dalam membangun good governance (bahan lemhanas edit)
Etika pemerintahan dalam membangun good governance (bahan lemhanas edit)Deddy Supriady Bratakusumah
 
Pemecahan Masalah & Pengambilan Keputusan
Pemecahan Masalah & Pengambilan KeputusanPemecahan Masalah & Pengambilan Keputusan
Pemecahan Masalah & Pengambilan KeputusanTri Widodo W. UTOMO
 
(4) Jenis-Jenis Penelitian.ppt
(4) Jenis-Jenis Penelitian.ppt(4) Jenis-Jenis Penelitian.ppt
(4) Jenis-Jenis Penelitian.pptnobinobita24
 
Teknik analisis data menggunakan excel
Teknik analisis data menggunakan excelTeknik analisis data menggunakan excel
Teknik analisis data menggunakan excelIAARD/Bogor, Indonesia
 
Contoh analisis dan interpretasi data pada penelitian kualitatif
Contoh analisis dan interpretasi data pada penelitian kualitatifContoh analisis dan interpretasi data pada penelitian kualitatif
Contoh analisis dan interpretasi data pada penelitian kualitatifMuhammad Alfiansyah Alfi
 
Kelompok 5 : Gaya Kepemimpinan
Kelompok 5 : Gaya KepemimpinanKelompok 5 : Gaya Kepemimpinan
Kelompok 5 : Gaya KepemimpinanVonny Effendi
 
Draf proposal tesis ahmad budi
Draf proposal tesis ahmad budiDraf proposal tesis ahmad budi
Draf proposal tesis ahmad budiAbdul Majid
 
Definisi Kebijakan Publik
Definisi Kebijakan PublikDefinisi Kebijakan Publik
Definisi Kebijakan Publiksiskamto
 
tujuan dan manfaat penelitian
tujuan dan manfaat penelitian tujuan dan manfaat penelitian
tujuan dan manfaat penelitian alifemon
 
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan PublikAgenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan PublikTri Widodo W. UTOMO
 
PPT Langkah - langkah Penelitian
PPT Langkah - langkah PenelitianPPT Langkah - langkah Penelitian
PPT Langkah - langkah PenelitianNona Zesifa
 

Tendances (20)

Analisis Kebijakan Publik
Analisis Kebijakan PublikAnalisis Kebijakan Publik
Analisis Kebijakan Publik
 
Pendidikan Karakter
Pendidikan KarakterPendidikan Karakter
Pendidikan Karakter
 
Empirisme
EmpirismeEmpirisme
Empirisme
 
Filsafat ilmu lengkap
Filsafat ilmu lengkapFilsafat ilmu lengkap
Filsafat ilmu lengkap
 
Humanisme ppt
Humanisme pptHumanisme ppt
Humanisme ppt
 
PPT KEBENARAN ILMIAH.pdf
PPT KEBENARAN ILMIAH.pdfPPT KEBENARAN ILMIAH.pdf
PPT KEBENARAN ILMIAH.pdf
 
Studi kepustakaan
Studi kepustakaanStudi kepustakaan
Studi kepustakaan
 
Hipotesis
HipotesisHipotesis
Hipotesis
 
Etika pemerintahan dalam membangun good governance (bahan lemhanas edit)
Etika pemerintahan dalam membangun good governance (bahan lemhanas edit)Etika pemerintahan dalam membangun good governance (bahan lemhanas edit)
Etika pemerintahan dalam membangun good governance (bahan lemhanas edit)
 
Pemecahan Masalah & Pengambilan Keputusan
Pemecahan Masalah & Pengambilan KeputusanPemecahan Masalah & Pengambilan Keputusan
Pemecahan Masalah & Pengambilan Keputusan
 
(4) Jenis-Jenis Penelitian.ppt
(4) Jenis-Jenis Penelitian.ppt(4) Jenis-Jenis Penelitian.ppt
(4) Jenis-Jenis Penelitian.ppt
 
Teknik analisis data menggunakan excel
Teknik analisis data menggunakan excelTeknik analisis data menggunakan excel
Teknik analisis data menggunakan excel
 
Contoh analisis dan interpretasi data pada penelitian kualitatif
Contoh analisis dan interpretasi data pada penelitian kualitatifContoh analisis dan interpretasi data pada penelitian kualitatif
Contoh analisis dan interpretasi data pada penelitian kualitatif
 
Kelompok 5 : Gaya Kepemimpinan
Kelompok 5 : Gaya KepemimpinanKelompok 5 : Gaya Kepemimpinan
Kelompok 5 : Gaya Kepemimpinan
 
Teori Belajar Motivasi
Teori Belajar MotivasiTeori Belajar Motivasi
Teori Belajar Motivasi
 
Draf proposal tesis ahmad budi
Draf proposal tesis ahmad budiDraf proposal tesis ahmad budi
Draf proposal tesis ahmad budi
 
Definisi Kebijakan Publik
Definisi Kebijakan PublikDefinisi Kebijakan Publik
Definisi Kebijakan Publik
 
tujuan dan manfaat penelitian
tujuan dan manfaat penelitian tujuan dan manfaat penelitian
tujuan dan manfaat penelitian
 
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan PublikAgenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
 
PPT Langkah - langkah Penelitian
PPT Langkah - langkah PenelitianPPT Langkah - langkah Penelitian
PPT Langkah - langkah Penelitian
 

Similaire à Carl Gustav Hempel tentang Eksplanasi Ilmiah, Teori Konfirmasi dan Paradoks Burung Gagak

TUgas Filsafat New [Autosaved].pptx
TUgas Filsafat New [Autosaved].pptxTUgas Filsafat New [Autosaved].pptx
TUgas Filsafat New [Autosaved].pptxMutiaraFajar5
 
Fenomenologi transendental edmund husserl
Fenomenologi transendental edmund husserlFenomenologi transendental edmund husserl
Fenomenologi transendental edmund husserlMuhsin Hariyanto
 
Paradigma thomas s
Paradigma thomas sParadigma thomas s
Paradigma thomas sSri Nuryati
 
Konsep paradigma thomas kuhn
Konsep paradigma thomas kuhnKonsep paradigma thomas kuhn
Konsep paradigma thomas kuhnMuhtadi Bilhaq
 
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 05: Paradigma, Positivisme, dan Pa...
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 05: Paradigma, Positivisme, dan Pa...Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 05: Paradigma, Positivisme, dan Pa...
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 05: Paradigma, Positivisme, dan Pa...Ahmad Ibrahim
 
Fenomenologi
FenomenologiFenomenologi
Fenomenologippi51
 
Artikel filsafat lakatos
Artikel filsafat lakatosArtikel filsafat lakatos
Artikel filsafat lakatosThiya Apriana
 
Uas filsafat ilmu falsifikasionisme karl raimund popper_kel6-dikonversi
Uas filsafat ilmu falsifikasionisme karl raimund popper_kel6-dikonversiUas filsafat ilmu falsifikasionisme karl raimund popper_kel6-dikonversi
Uas filsafat ilmu falsifikasionisme karl raimund popper_kel6-dikonversiNurKholifah44
 
Aufklarung sejarah peminatan
Aufklarung sejarah peminatanAufklarung sejarah peminatan
Aufklarung sejarah peminatanNirwanIl
 
Bagian 5 perubahan saintifik
Bagian 5   perubahan saintifikBagian 5   perubahan saintifik
Bagian 5 perubahan saintifikNanda Reda
 
Ppt filsafat rasionalisme vs empirisme
Ppt filsafat rasionalisme vs empirismePpt filsafat rasionalisme vs empirisme
Ppt filsafat rasionalisme vs empirismezukhrufi17
 
5 filsafat sains-aliran & tokoh
5 filsafat sains-aliran & tokoh5 filsafat sains-aliran & tokoh
5 filsafat sains-aliran & tokohKuliahMandiri.org
 
Tokoh & aliran dalam Filsafat ilmu Pengetahuan
Tokoh & aliran dalam Filsafat ilmu Pengetahuan  Tokoh & aliran dalam Filsafat ilmu Pengetahuan
Tokoh & aliran dalam Filsafat ilmu Pengetahuan KuliahMandiri.org
 
AUFKLARUNG_sejarah_peminatan.pptx
AUFKLARUNG_sejarah_peminatan.pptxAUFKLARUNG_sejarah_peminatan.pptx
AUFKLARUNG_sejarah_peminatan.pptxisembel
 

Similaire à Carl Gustav Hempel tentang Eksplanasi Ilmiah, Teori Konfirmasi dan Paradoks Burung Gagak (20)

TUgas Filsafat New [Autosaved].pptx
TUgas Filsafat New [Autosaved].pptxTUgas Filsafat New [Autosaved].pptx
TUgas Filsafat New [Autosaved].pptx
 
Fenomenologi transendental edmund husserl
Fenomenologi transendental edmund husserlFenomenologi transendental edmund husserl
Fenomenologi transendental edmund husserl
 
Paradigma thomas s
Paradigma thomas sParadigma thomas s
Paradigma thomas s
 
Konsep paradigma thomas kuhn
Konsep paradigma thomas kuhnKonsep paradigma thomas kuhn
Konsep paradigma thomas kuhn
 
Edhusserl
EdhusserlEdhusserl
Edhusserl
 
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 05: Paradigma, Positivisme, dan Pa...
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 05: Paradigma, Positivisme, dan Pa...Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 05: Paradigma, Positivisme, dan Pa...
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 05: Paradigma, Positivisme, dan Pa...
 
PARADIGMA KUHN
PARADIGMA KUHNPARADIGMA KUHN
PARADIGMA KUHN
 
Fenomenologi
FenomenologiFenomenologi
Fenomenologi
 
Artikel filsafat lakatos
Artikel filsafat lakatosArtikel filsafat lakatos
Artikel filsafat lakatos
 
Uas filsafat ilmu falsifikasionisme karl raimund popper_kel6-dikonversi
Uas filsafat ilmu falsifikasionisme karl raimund popper_kel6-dikonversiUas filsafat ilmu falsifikasionisme karl raimund popper_kel6-dikonversi
Uas filsafat ilmu falsifikasionisme karl raimund popper_kel6-dikonversi
 
Tugas filsafat ilmu
Tugas filsafat ilmuTugas filsafat ilmu
Tugas filsafat ilmu
 
EPISTEMOLOGI_pptx.pptx
EPISTEMOLOGI_pptx.pptxEPISTEMOLOGI_pptx.pptx
EPISTEMOLOGI_pptx.pptx
 
Aufklarung sejarah peminatan
Aufklarung sejarah peminatanAufklarung sejarah peminatan
Aufklarung sejarah peminatan
 
Logika3
Logika3Logika3
Logika3
 
Bagian 5 perubahan saintifik
Bagian 5   perubahan saintifikBagian 5   perubahan saintifik
Bagian 5 perubahan saintifik
 
Epistimology Filsafat
Epistimology Filsafat Epistimology Filsafat
Epistimology Filsafat
 
Ppt filsafat rasionalisme vs empirisme
Ppt filsafat rasionalisme vs empirismePpt filsafat rasionalisme vs empirisme
Ppt filsafat rasionalisme vs empirisme
 
5 filsafat sains-aliran & tokoh
5 filsafat sains-aliran & tokoh5 filsafat sains-aliran & tokoh
5 filsafat sains-aliran & tokoh
 
Tokoh & aliran dalam Filsafat ilmu Pengetahuan
Tokoh & aliran dalam Filsafat ilmu Pengetahuan  Tokoh & aliran dalam Filsafat ilmu Pengetahuan
Tokoh & aliran dalam Filsafat ilmu Pengetahuan
 
AUFKLARUNG_sejarah_peminatan.pptx
AUFKLARUNG_sejarah_peminatan.pptxAUFKLARUNG_sejarah_peminatan.pptx
AUFKLARUNG_sejarah_peminatan.pptx
 

Plus de Satrio Arismunandar

Kepemimpinan (Leadership) di Industri Media
Kepemimpinan (Leadership) di Industri MediaKepemimpinan (Leadership) di Industri Media
Kepemimpinan (Leadership) di Industri MediaSatrio Arismunandar
 
Memahami Integrasi, Merger, dan Akuisisi di Industri Media
Memahami Integrasi, Merger, dan Akuisisi di Industri MediaMemahami Integrasi, Merger, dan Akuisisi di Industri Media
Memahami Integrasi, Merger, dan Akuisisi di Industri MediaSatrio Arismunandar
 
Mass Communication 01 - Basic Concepts
Mass Communication 01 - Basic ConceptsMass Communication 01 - Basic Concepts
Mass Communication 01 - Basic ConceptsSatrio Arismunandar
 
Strategi dan Teknologi Militer: Ambisi Indonesia Memproduksi Pesawat Jet Temp...
Strategi dan Teknologi Militer: Ambisi Indonesia Memproduksi Pesawat Jet Temp...Strategi dan Teknologi Militer: Ambisi Indonesia Memproduksi Pesawat Jet Temp...
Strategi dan Teknologi Militer: Ambisi Indonesia Memproduksi Pesawat Jet Temp...Satrio Arismunandar
 
Terciptanya Poros Arab Saudi - Mesir - Israel
Terciptanya Poros Arab Saudi - Mesir - IsraelTerciptanya Poros Arab Saudi - Mesir - Israel
Terciptanya Poros Arab Saudi - Mesir - IsraelSatrio Arismunandar
 
TNI Bosan Menjadi "Macan Ompong"
TNI Bosan Menjadi "Macan Ompong"TNI Bosan Menjadi "Macan Ompong"
TNI Bosan Menjadi "Macan Ompong"Satrio Arismunandar
 
Impian Keabadian (Cerpen karya Satrio Arismunandar)
Impian Keabadian (Cerpen karya Satrio Arismunandar)Impian Keabadian (Cerpen karya Satrio Arismunandar)
Impian Keabadian (Cerpen karya Satrio Arismunandar)Satrio Arismunandar
 
WWF Indonesia 1962–2002: Melestarikan Alam Indonesia dengan Menyejahterakan M...
WWF Indonesia 1962–2002: Melestarikan Alam Indonesia dengan Menyejahterakan M...WWF Indonesia 1962–2002: Melestarikan Alam Indonesia dengan Menyejahterakan M...
WWF Indonesia 1962–2002: Melestarikan Alam Indonesia dengan Menyejahterakan M...Satrio Arismunandar
 
Korupsi Elite Politik dari Zaman Kerajaan ke Era Reformasi
Korupsi Elite Politik dari Zaman Kerajaan ke Era ReformasiKorupsi Elite Politik dari Zaman Kerajaan ke Era Reformasi
Korupsi Elite Politik dari Zaman Kerajaan ke Era ReformasiSatrio Arismunandar
 
Sejarah Irak: Dari Sumeria ke Irak Modern
Sejarah Irak: Dari Sumeria ke Irak ModernSejarah Irak: Dari Sumeria ke Irak Modern
Sejarah Irak: Dari Sumeria ke Irak ModernSatrio Arismunandar
 
Retaknya Kemesraan Antara Dua Sekutu Lama, Amerika dan Arab Saudi
Retaknya Kemesraan Antara Dua Sekutu Lama, Amerika dan Arab SaudiRetaknya Kemesraan Antara Dua Sekutu Lama, Amerika dan Arab Saudi
Retaknya Kemesraan Antara Dua Sekutu Lama, Amerika dan Arab SaudiSatrio Arismunandar
 
Pierre Bourdieu dan Pemikirannya tentang Habitus, Doxa dan Kekerasan Simbolik
Pierre Bourdieu dan Pemikirannya tentang Habitus, Doxa dan Kekerasan SimbolikPierre Bourdieu dan Pemikirannya tentang Habitus, Doxa dan Kekerasan Simbolik
Pierre Bourdieu dan Pemikirannya tentang Habitus, Doxa dan Kekerasan SimbolikSatrio Arismunandar
 
Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis
Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik DemokratisPemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis
Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik DemokratisSatrio Arismunandar
 
Kebudayaan Materi dan Materialisme Budaya
Kebudayaan Materi dan Materialisme BudayaKebudayaan Materi dan Materialisme Budaya
Kebudayaan Materi dan Materialisme BudayaSatrio Arismunandar
 
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi Identitas
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi IdentitasIndonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi Identitas
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi IdentitasSatrio Arismunandar
 
Kurikulum 2013 dan Paradigma Belajar Abad 21
Kurikulum 2013 dan Paradigma Belajar Abad 21Kurikulum 2013 dan Paradigma Belajar Abad 21
Kurikulum 2013 dan Paradigma Belajar Abad 21Satrio Arismunandar
 
Ketika Presiden SBY Sudah Tidak Punya Rahasia Lagi
Ketika Presiden SBY Sudah Tidak Punya Rahasia LagiKetika Presiden SBY Sudah Tidak Punya Rahasia Lagi
Ketika Presiden SBY Sudah Tidak Punya Rahasia LagiSatrio Arismunandar
 
Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I
Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami IPertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I
Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami ISatrio Arismunandar
 
Jurgen Habermas Serta Pemikirannya tentang Ranah Publik
Jurgen Habermas Serta Pemikirannya tentang Ranah PublikJurgen Habermas Serta Pemikirannya tentang Ranah Publik
Jurgen Habermas Serta Pemikirannya tentang Ranah PublikSatrio Arismunandar
 

Plus de Satrio Arismunandar (20)

Kepemimpinan (Leadership) di Industri Media
Kepemimpinan (Leadership) di Industri MediaKepemimpinan (Leadership) di Industri Media
Kepemimpinan (Leadership) di Industri Media
 
Memahami Integrasi, Merger, dan Akuisisi di Industri Media
Memahami Integrasi, Merger, dan Akuisisi di Industri MediaMemahami Integrasi, Merger, dan Akuisisi di Industri Media
Memahami Integrasi, Merger, dan Akuisisi di Industri Media
 
Mass Communication 01 - Basic Concepts
Mass Communication 01 - Basic ConceptsMass Communication 01 - Basic Concepts
Mass Communication 01 - Basic Concepts
 
Strategi dan Teknologi Militer: Ambisi Indonesia Memproduksi Pesawat Jet Temp...
Strategi dan Teknologi Militer: Ambisi Indonesia Memproduksi Pesawat Jet Temp...Strategi dan Teknologi Militer: Ambisi Indonesia Memproduksi Pesawat Jet Temp...
Strategi dan Teknologi Militer: Ambisi Indonesia Memproduksi Pesawat Jet Temp...
 
Terciptanya Poros Arab Saudi - Mesir - Israel
Terciptanya Poros Arab Saudi - Mesir - IsraelTerciptanya Poros Arab Saudi - Mesir - Israel
Terciptanya Poros Arab Saudi - Mesir - Israel
 
TNI Bosan Menjadi "Macan Ompong"
TNI Bosan Menjadi "Macan Ompong"TNI Bosan Menjadi "Macan Ompong"
TNI Bosan Menjadi "Macan Ompong"
 
Impian Keabadian (Cerpen karya Satrio Arismunandar)
Impian Keabadian (Cerpen karya Satrio Arismunandar)Impian Keabadian (Cerpen karya Satrio Arismunandar)
Impian Keabadian (Cerpen karya Satrio Arismunandar)
 
WWF Indonesia 1962–2002: Melestarikan Alam Indonesia dengan Menyejahterakan M...
WWF Indonesia 1962–2002: Melestarikan Alam Indonesia dengan Menyejahterakan M...WWF Indonesia 1962–2002: Melestarikan Alam Indonesia dengan Menyejahterakan M...
WWF Indonesia 1962–2002: Melestarikan Alam Indonesia dengan Menyejahterakan M...
 
Korupsi Elite Politik dari Zaman Kerajaan ke Era Reformasi
Korupsi Elite Politik dari Zaman Kerajaan ke Era ReformasiKorupsi Elite Politik dari Zaman Kerajaan ke Era Reformasi
Korupsi Elite Politik dari Zaman Kerajaan ke Era Reformasi
 
Sejarah Irak: Dari Sumeria ke Irak Modern
Sejarah Irak: Dari Sumeria ke Irak ModernSejarah Irak: Dari Sumeria ke Irak Modern
Sejarah Irak: Dari Sumeria ke Irak Modern
 
Sejarah Filsafat Yunani
Sejarah Filsafat YunaniSejarah Filsafat Yunani
Sejarah Filsafat Yunani
 
Retaknya Kemesraan Antara Dua Sekutu Lama, Amerika dan Arab Saudi
Retaknya Kemesraan Antara Dua Sekutu Lama, Amerika dan Arab SaudiRetaknya Kemesraan Antara Dua Sekutu Lama, Amerika dan Arab Saudi
Retaknya Kemesraan Antara Dua Sekutu Lama, Amerika dan Arab Saudi
 
Pierre Bourdieu dan Pemikirannya tentang Habitus, Doxa dan Kekerasan Simbolik
Pierre Bourdieu dan Pemikirannya tentang Habitus, Doxa dan Kekerasan SimbolikPierre Bourdieu dan Pemikirannya tentang Habitus, Doxa dan Kekerasan Simbolik
Pierre Bourdieu dan Pemikirannya tentang Habitus, Doxa dan Kekerasan Simbolik
 
Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis
Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik DemokratisPemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis
Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis
 
Kebudayaan Materi dan Materialisme Budaya
Kebudayaan Materi dan Materialisme BudayaKebudayaan Materi dan Materialisme Budaya
Kebudayaan Materi dan Materialisme Budaya
 
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi Identitas
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi IdentitasIndonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi Identitas
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi Identitas
 
Kurikulum 2013 dan Paradigma Belajar Abad 21
Kurikulum 2013 dan Paradigma Belajar Abad 21Kurikulum 2013 dan Paradigma Belajar Abad 21
Kurikulum 2013 dan Paradigma Belajar Abad 21
 
Ketika Presiden SBY Sudah Tidak Punya Rahasia Lagi
Ketika Presiden SBY Sudah Tidak Punya Rahasia LagiKetika Presiden SBY Sudah Tidak Punya Rahasia Lagi
Ketika Presiden SBY Sudah Tidak Punya Rahasia Lagi
 
Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I
Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami IPertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I
Pertentangan Kelas dalam Lirik Lagu di Album Kelompok Musik Swami I
 
Jurgen Habermas Serta Pemikirannya tentang Ranah Publik
Jurgen Habermas Serta Pemikirannya tentang Ranah PublikJurgen Habermas Serta Pemikirannya tentang Ranah Publik
Jurgen Habermas Serta Pemikirannya tentang Ranah Publik
 

Dernier

Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdfProv.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdfIwanSumantri7
 
TUGAS RUANG KOLABORASI 1.3 PRAKARSA PERUBAHAN
TUGAS RUANG KOLABORASI 1.3 PRAKARSA PERUBAHANTUGAS RUANG KOLABORASI 1.3 PRAKARSA PERUBAHAN
TUGAS RUANG KOLABORASI 1.3 PRAKARSA PERUBAHANwawan479953
 
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, FigmaPengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, FigmaAndreRangga1
 
Kenakalan Remaja (Penggunaan Narkoba).ppt
Kenakalan Remaja (Penggunaan Narkoba).pptKenakalan Remaja (Penggunaan Narkoba).ppt
Kenakalan Remaja (Penggunaan Narkoba).pptnovibernadina
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"baimmuhammad71
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
PPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptx
PPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptxPPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptx
PPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptxriscacriswanda
 
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdfKanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdfAkhyar33
 
AKSI NYATA Numerasi Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
AKSI NYATA  Numerasi  Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptxAKSI NYATA  Numerasi  Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
AKSI NYATA Numerasi Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptxnursariheldaseptiana
 
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptxPPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptxDEAAYUANGGREANI
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptxBab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptxrizalhabib4
 
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdfSalinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdfWidyastutyCoyy
 
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptx
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptxMemperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptx
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptxsalmnor
 
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdfAksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdfJarzaniIsmail
 
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...Kanaidi ken
 
MODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
MODUL AJAR SENI RUPA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI RUPA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR SENI RUPA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI RUPA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 

Dernier (20)

Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdfProv.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
 
TUGAS RUANG KOLABORASI 1.3 PRAKARSA PERUBAHAN
TUGAS RUANG KOLABORASI 1.3 PRAKARSA PERUBAHANTUGAS RUANG KOLABORASI 1.3 PRAKARSA PERUBAHAN
TUGAS RUANG KOLABORASI 1.3 PRAKARSA PERUBAHAN
 
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, FigmaPengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
 
Kenakalan Remaja (Penggunaan Narkoba).ppt
Kenakalan Remaja (Penggunaan Narkoba).pptKenakalan Remaja (Penggunaan Narkoba).ppt
Kenakalan Remaja (Penggunaan Narkoba).ppt
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
PPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptx
PPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptxPPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptx
PPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptx
 
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdfKanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
 
AKSI NYATA Numerasi Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
AKSI NYATA  Numerasi  Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptxAKSI NYATA  Numerasi  Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
AKSI NYATA Numerasi Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
 
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptxPPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptxBab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
 
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdfSalinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
 
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptx
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptxMemperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptx
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptx
 
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdfAksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
 
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...
 
MODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
MODUL AJAR SENI RUPA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI RUPA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR SENI RUPA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI RUPA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 

Carl Gustav Hempel tentang Eksplanasi Ilmiah, Teori Konfirmasi dan Paradoks Burung Gagak

  • 1. Carl Gustav Hempel tentang Eksplanasi Ilmiah, Teori Konfirmasi dan Paradoks Burung Gagak Tugas mata kuliah Filsafat Abad XX sebagai pengganti UTS Semester Genap 2008/2009 Dosen: Vincensius Y. Jolasa, Ph.D Oleh: Satrio Arismunandar NPM: 0806401916 Program S3 Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Maret 2009 1
  • 2. I. Pengantar Carl Gustav Hempel (1905-1997), filsuf kelahiran Jerman yang berimigrasi ke Amerika, adalah salah satu filsuf sains terkemuka pada abad ke-20. Paradoks burung gagaknya (Raven’s Paradox) –sebagai ilustrasi paradoks-paradoks konfirmasi—telah menjadi tantangan tetap terhadap teori-teori konfirmasi. Bersama Paul Oppenheim, ia mengusulkan perhitungan kuantitatif terhadap derajat konfirmasi hipotesis lewat pembuktian. Model nomologis-deduktif yang diajukannya bagi eksplanasi (penjelasan) ilmiah menempatkan eksplanasi pada landasan logis yang sama seperti prediksi; yakni keduanya adalah argumen-argumen deduktif. Perbedaannya adalah soal pragmatis, katakanlah bahwa dalam sebuah eksplanasi, konklusi argumen dimaksudkan agar dianggap benar. Sedangkan, dalam prediksi, tujuannya adalah untuk menghadirkan kasus yang meyakinkan untuk konklusi. Hempel juga mengusulkan ukuran kuantitatif bagi kekuatan teori untuk mensistematisasikan datanya. Dalam kehidupannya kemudian, Hempel meninggalkan proyek logika induktif. Ia juga menekankan problem-problem dengan positivisme logis (empirisme logis), khususnya yang berkaitan dengan kriteria kebisaan untuk diverifikasikan (verifiability). Hempel akhirnya meninggalkan analisis positivis logis terhadap sains, dan berpaling ke arah analisis yang lebih empiris dalam peristilahan sosiologi sains. Hempel belajar matematika, fisika, dan filsafat di Gottingen, Heidelberg, Vienna, dan Berlin. Di Vienna, ia menghadiri beberapa pertemuan Lingkaran Vienna. Dengan pertolongan Rudolf Carnap, ia dapat meninggalkan Eropa sebelum Perang Dunia II, dan ia datang ke Chicago dengan hibah riset yang diusahakan oleh Carnap. Hempel kemudian mengajar di Universitas Kota New York, Universitas Yale, dan Universitas Princeton. II. Riwayat Singkat dan Filsuf-filsuf yang Mempengaruhinya Hempel lahir di Oranienburg, Jerman, pada 1905. Ia belajar di Realgymnasium di Berlin, dan pada 1923 ia diterima di Universitas Gottingen, di mana ia belajar matematika bersama David Hilbert dan Edmund Landau, serta belajar logika simbolis bersama Heinrich Behmann. 2
  • 3. Hempel sangat terkesan pada program Hilbert untuk membuktikan konsistensi matematika dengan cara metode-metode elementer. Ia juga belajar filsafat, namun merasakan bahwa logika matematis lebih menarik daripada logika tradisional. Pada tahun yang sama, ia pindah ke Universitas Heidelberg, di mana ia belajar matematika, fisika, dan filsafat. Dari 1924, Hempel belajar di Berlin, di mana ia bertemu Reichenbach yang memperkenalkannya ke Lingkaran Berlin. Hempel menghadiri kursus-kursus Reichenbach tentang logika matematis, filsafat ruang dan waktu, dan teori probabilitas. Ia belajar fisika bersama Max Planck dan belajar logika bersama von Neumann. Pada 1929, Hempel ikut serta dalam kongres pertama filsafat ilmiah yang diselenggarakan oleh penganut positivis logis. Ia bertemu Rudolf Carnap dan sangat terkesan pada Carnap, sehingga ia pindah ke Vienna. Di sana ia menghadiri tiga kursus bersama Carnap, Schlick, dan Waismann, dan ambil bagian dalam pertemuan – pertemuan Lingkaran Vienna. Pada tahun-tahun yang sama, Hempel dianggap layak sebagai guru sekolah menengah, dan akhirnya pada 1934, ia meraih doktor filsafat di Berlin, dengan disertasi tentang teori probabilitas. Pada tahun yang sama, ia berimigrasi ke Belgia, berkat pertolongan seorang rekan Reichenbach, Paul Oppenheim (Reichenbach memperkenalkan Hempel dengan Oppenheim pada 1930). Dua tahun kemudian, Hempel dan Oppenheim menerbitkan buku Der Typusbegriff im Lichte der neuen Logik tentang teori logis konsep-konsep ilmiah metrik, komparatif, dan pengklasifikasi. Pada 1937, Hempel diundang—dengan bantuan Carnap—ke Universitas Chicago sebagai Pendamping Riset bidang filsafat. Sesudah sempat tinggal lagi sebentar di Belgia, Hempel berimigrasi ke Amerika pada 1939. Ia mengajar di New York, di City College (1939-1940) dan Queens College (1940-1948). III. Permasalahan dan Fokus Perhatian Hempel Pemikiran Hempel tampaknya erat berkaitan dengan filsafat sains. Filsafat sains merangkul seluruh pertanyaan yang muncul dari refleksi terhadap sains. Sains secara meluas diyakini sebagai cara terbaik yang tersedia untuk memperoleh pengetahuan. Selain itu, teori-teori ilmiah tampaknya memberi kita banyak masukan 3
  • 4. tentang hakikat dan bagaimana berfungsinya dunia. Maka filsafat sains terasa saling tumpang tindih dengan epistemologi dan metafisika. Pertanyaan yang paling mendasar bagi filsafat sains adalah: Apakah sains itu? (walaupun sejumlah filsuf beranggapan bahwa pertanyaan ini salah arah, karena tidak ada ciri-ciri yang sama pada semua hal yang kita sebut sebagai sains). Pertanyaan penting lain adalah: Apakah ada metode tunggal dengan mana seluruh sains memperoleh kemajuan (progress)? Apakah yang dinamakan teori ilmiah itu? Derajat kepercayaan seperti apa yang patut kita berikan pada teori-teori ilmiah? Apa hubungan antara teori-teori dalam sains-sains yang berbeda? Dan lain-lain. Banyak diskusi dalam filsafat sains berkaitan dengan hubungan antara teori dan bukti. Kita biasanya berasumsi bahwa jika sebuah teori memprediksi beberapa hasil (result) bagi sebuah eksperimen tertentu, dan hasil itu kemudian diamati, maka pengamatan itu adalah bukti positif bagi kebenaran teori, dan teori itu dikonfirmasikan olehnya. Bagaimanapun, problem induksi (lihat epistemologi) adalah tak ada jumlah bukti bagi generalisasi universal tertentu (sebut saja, misalnya ―semua angsa berwarna putih‖) yang tidak konsisten dengan satu bukti yang menolaknya (katakanlah, angsa berikutnya yang diobservasi berwarna hitam). Karl Popper telah mencoba menghindari problem ini dengan menyebutkan bahwa teori-teori tidak pernah dikonfirmasikan oleh bukti, tapi hanya difalsifikasi. Sejauh suatu teori belum difalsifikasi, walaupun kita sudah berusaha sekeras mungkin untuk memfalsifikasinya, maka kita punya alasan untuk terus menggunakan teori tersebut. Namun, kita tidak boleh pernah berpikir bahwa teori itu sudah didukung secara induktif. Filsuf-filsuf lain telah berargumentasi bahwa problem induksi muncul kembali pada teori Popper tentang metodologi ilmiah (yang disebut falsifikasionisme), dan bahwa kita tidak dapat berbuat tanpa semacam teori konfirmasi. Setiap teori konfirmasi harus menghindari apa yang dinamakan paradoksparadoks konfirmasi, yang muncul jika kita mengadopsi sebuah teori yang jelas bagi konfirmasi, yang menyiapkan intuisi-intuisi. IV. Karya-karya Hempel 4
  • 5. Pada tahun-tahun sekitar 1939-1948, Hempel tertarik pada teori konfirmasi dan eksplanasi, dan menerbitkan beberapa artikel dengan topik tersebut: "A Purely Syntactical Definition of Confirmation‖ (The Journal of Symbolic Logic, 8, 1943); "Studies in the Logic of Confirmation" (Mind, 54, 1945); "A Definition of Degree of Confirmation" (dengan P. Oppenheim, di Philosophy of Science, 12, 1945); "A Note on the Paradoxes of Confirmation" (Mind, 55, 1946); dan "Studies in the Logic of Explanation" (dengan P. Oppenheim di Philosophy of Science, 15, 1948). Antara 1948 dan 1955, Hempel mengajar di Universitas Yale. Karyanya Fundamentals of Concept Formation in Empirical Science diterbitkan pada 1952 di International Encyclopedia of Unified Science. Dari 1955, ia mengajar di Universitas Princeton. Aspects of Scientific Explanation and Philosophy of Natural Science diterbitkan pada 1965 dan 1966 berturut-turut. Sesudah usia pensiun, ia terus mengajar di Berkley, Irvine, Jerusalem, dan dari 1976 hingga 1985, di Pittsburgh. Sementara itu, perspektif filsafatnya berubah dan ia berpaling dari positivisme logis: "The Meaning of Theoretical Terms: A Critique of the Standard Empiricist Construal" (dalam Logic, Methodology and Philosophy of Science IV, disunting oleh Patrick Suppes, 1973); "Valuation and Objectivity in Science" (dalam Physics, Philosophy and Psychoanalysis, disunting oleh R. S. Cohen dan L. Laudan, 1983); "Provisoes: A Problem Concerning the Inferential Function of Scientific Theories" (dalam Erkenntnis, 28, 1988). Bagaimanapun, ia tetap setia bergabung dengan empirisme logis. Pada 1975, ia menjabat sebagai redaksi (bersama W. Stegmüller dan W. K. Essler) pada seri baru jurnal Erkenntnis. Hempel meninggal pada 9 November 1997 di kotapraja Princeton, New Jersey. V. Eksplanasi Ilmiah Bersama Paul Oppenheim, pada 1948 Hempel mengembangkan teori persis logis, yang dikenal sebagai Model Nomologis-Deduktif (Deductive-Nomological Model) atau Model Hukum yang Mencakup (Covering-Law Model) bagi eksplanasi. Eksplanasi ilmiah dari sebuah fakta adalah deduksi dari sebuah pernyataan (disebut explanandum), yang menggambarkan fakta yang ingin kita jelaskan; premispremis (disebut explanans), yaitu hukum-hukum ilmiah; dan kondisi-kondisi awal yang cocok. Agar eksplanasi bisa diterima, explanans itu harus benar. 5
  • 6. Menurut model nomologis-deduktif, eksplanasi sebuah fakta dengan demikian direduksi menjadi hubungan logis antara pernyataan-pernyataan. Explanandum adalah konsekuensi dari explanans. Ini adalah metode yang umum dalam filsafat positivisme logis. Aspek-aspek pragmatis dari eksplanasi tidak dipertimbangkan. Penjabaran lainnya adalah bahwa sebuah eksplanasi mensyaratkan adanya hukum-hukum ilmiah; fakta-fakta dijelaskan ketika mereka digolongkan di dalam hukum-hukum. Maka, pertanyaan pun muncul tentang hakikat suatu hukum ilmiah. Menurut Hempel dan Oppenheim, sebuah teori fundamental dirumuskan sebagai pernyataan yang benar, di mana pembilang-pembilangnya (quantifiers) tidak dapat dicabut (sebagai contoh, sebuah teori fundamental tidaklah sama dengan sebuah pernyataan tanpa pembilang), dan tidak mengandung konstanta individual. Setiap pernyataan yang digeneralisasikan (generalized statement), yang merupakan konsekuensi logis dari sebuah teori fundamental, adalah teori turunan (derived theory). Gagasan yang mendasari perumusan ini adalah bahwa sebuah teori ilmiah berurusan dengan properti umum, yang diekspresikan oleh pernyataanpernyataan universal. Rujukan terhadap kawasan ruang-waktu spesifik atau terhadap hal-hal individual tidaklah diizinkan. Misalnya, hukum Newton adalah benar untuk semua benda di setiap waktu dan setiap ruang. Namun, terdapat hukum-hukum (misalnya, hukum-hukum Kepler awal) yang sah (valid) di bawah kondisi terbatas dan merujuk ke obyek-obyek spesifik, seperti matahari dan planet-planetnya. Karenanya, ada pembedaan antara sebuah teori fundamental, yang bersifat universal tanpa pembatasan, dengan sebuah teori turunan yang dapat mengandung rujukan terhadap obyek-obyek individual. Perlu dicatat, di sini dipersyaratkan bahwa teori-teori itu benar. Secara tersirat, ini berarti hukum-hukum ilmiah bukanlah alat untuk membuat prediksi, namun hukum-hukum itu merupakan pernyataan sejati yang menggambarkan dunia –sebuah sudut pandang yang realistis. Ada karakteristik menarik lain dari model Hempel-Oppenheim, yaitu bahwa eksplanasi dan prediksi memiliki struktur logis yang persis sama. Sebuah eksplanasi dapat digunakan untuk memprakirakan, dan sebuah prakiraan adalah sebuah eksplanasi yang sah. Akhirnya, model nomologis-deduktif juga berhubungan dengan eksplanasi hukum-hukum. Dalam kasus demikian, explanandum adalah hukum ilmiah dan dapat dibuktikan dengan bantuan hukum-hukum ilmiah lainnya. 6
  • 7. Aspects of Scientific Explanation (1965), menghadapi problem eksplanasi induktif, di mana explanans mencakup hukum-hukum statistik. Menurut Hempel, dalam eksplanasi semacam itu, explanans hanya memberi derajat probabilitas yang tinggi pada explanandum, yang bukan merupakan konsekuensi logis dari premispremis bersangkutan. Patut dicatat bahwa eksplanasi induktif menuntut suatu hukum yang mencakup (covering law); di mana fakta dijelaskan lewat sarana hukum-hukum ilmiah. Namun sekarang, hukum-hukum itu tidak deterministik; hukum-hukum statistik juga diterima. Bagaimanapun, dalam banyak hal, eksplanasi induktif itu mirip dengan eksplanasi deduktif. Baik eksplanasi deduktif maupun induktif bersifat nomologis (maka, mereka memerlukan hukum-hukum universal). Fakta yang relevan adalah relasi logis antara explanans dan explanandum. Dalam eksplanasi deduktif, explanandum merupakan konsekuensi logis dari explanans. Sedangkan dalam eksplanasi induktif, hubungan itu bersifat induktif. Namun di masing-masing model, hanya aspek-aspek logis yang dianggap relevan. Hal-hal pragmatis tidak diperhitungkan. Simetri antara eksplanasi dan prediksi dipertahankan. Explanans itu harus benar. VI. Pembentukan Konsep dalam Ilmu Empiris Dalam monografnya, Fundamentals of Concept Formation in Empirical Science (1952), Hempel menjabarkan metode-metode, yang digunakan untuk merumuskan kuantitas-kuantitas fisik. Hempel menggunakan contoh pengukuran massa. Sebuah timbangan berlengan sama panjang digunakan untuk menentukan apakah dua benda memiliki massa yang sama, dan apakah massa salah satu benda lebih besar daripada massa benda yang lain. Dua benda itu memiliki massa yang sama jika –ketika dua benda itu masing-masing ditaruh di lengan timbangan— keseimbangan tetap merata (equilibrium). Jika salah satu ujung lengan timbangan turun, sedangkan ujung yang lain naik, maka benda di sisi yang paling rendah memiliki massa yang lebih besar. Dari sudut 7
  • 8. pandang logis, prosedur ini merumuskan dua relasi, sebut saja E dan G. Seperti berikut: E(a,b) jika dan hanya jika a dan b memiliki massa yang sama; G(a,b) jika dan hanya jika massa a lebih besar daripada massa b. Hubungan (relasi) antara E dan G memenuhi kondisi-kondisi berikut: 1. E adalah hubungan refleksif, simetris, dan transitif. 2. G adalah hubungan irefleksif, asimetris, dan transitif. 3. E dan G sama-sama eksklusif –sehingga, jika E(a,b), maka bukan G(a,b). 4. Untuk setiap a dan b, satu dan hanya satu dari penegasan-penegasan di bawah ini yang benar: E(a,b) G(a,b) G(b,a) Hubungan E dan G dengan demikian merumuskan suatu tatanan parsial. Langkah kedua terdiri dari pendefinisian sebuah fungsi m yang memenuhi tiga kondisi: 5. Sebuah prototip yang cocok dipilih, di mana massanya adalah satu kilogram. 6. Jika E(a,b) maka m(a) = m(b) 7. Terdapat sebuah operasi, sebut saja ©, yang mengkombinasikan dua benda a dan b, sehingga m(a © b) = m(a) + m(b) Kondisi (1) sampai (7) menjabarkan pengukuran bukan hanya untuk massa, tetapi juga untuk panjang, waktu, dan setiap kuantitas fisik yang ekstensif. (Sebuah kuantitas dinyatakan ekstensif jika terdapat operasi yang mengkombinasikan obyekobyek sesuai kondisi 7. Jika tidak memenuhi kondisi seperti itu, kuntatitas itu dinyatakan sebagai intensif. Temperatur, misalnya, adalah intensif). 8
  • 9. VII. Perkembangan Pemikiran Hempel Hempel melihat, tugas sains adalah menunjukkan fenomena sebagai konsekuensi hukum yang tak terbantahkan. Implikasi utamanya adalah model hukum yang mencakup (covering-law) tentang pengertian ilmiah, dengan penekanan bahwa terdapat simetri antara eksplanasi dan prediksi, di mana satu-satunya perbedaan adalah soal temporal. Dalam kasus eksplanasi, apa yang kita terangkan adalah sesuatu yang sudah terjadi. Sedangkan dalam kasus prediksi, sesuatu yang kita prediksi itu belum terjadi. Namun, kita melihat kini pergeseran dari filsafat sains yang preskriptif ke posisi yang lebih deskriptif. Juga, dari keprihatinan eksklusif terhadap ilmu-ilmu fisik ke minat yang lebih umum di bidang seperti biologi dan psikologi. Dalam The Meaning of Theoretical Terms (1973), Hempel mengritik sebuah aspek teori positivisme logis tentang sains: pembedaan antara term observasional dan teoretis, dan problem yang berkaitan tentang makna term-term teoretis. Menurut Hempel, terdapat asumsi tersirat dalam analisis neopositivis terhadap sains, katakanlah bahwa makna term teoretis dapat dijelaskan lewat metode-metode linguistik. Karena itu, problem utamanya adalah bagaimana seperangkat pernyataan dapat ditentukan sehingga memberi makna pada term-term teoretis. Hempel menganalisis berbagai teori yang diusulkan oleh positivisme logis. Menurut Schlick, makna konsep-konsep teoretis ditentukan oleh dalil-dalil (aksioma) teori. Jadi, dalil-dalil itu memainkan peran sebagai definisi tersirat. Karenanya, term-term teoretis harus ditafsirkan dengan suatu cara yang membuat teori itu benar. Hempel menyatakan keberatan, karena berdasarkan penafsiran semacam itu sebuah teori ilmiah akan selalu benar, teori itu benar secara konvensi, dan setiap teori ilmiah adalah secara a priori benar. Kata Hempel, ini adalah bukti bahwa penafsiran Schlick tentang makna term-term teoretis tidak dapat dipertahankan. Solusi lain terhadap problem makna term-term teoretis adalah didasarkan pada aturan-aturan korespondensi (rules of correspondence), yang juga dikenal sebagai postulat-postulat makna. Term-term teoretis dengan demikian memperoleh penafsiran parsial lewat term-term observasional. Hempel mengajukan dua keberatan terhadap teori ini. Pertama, ia menegaskan bahwa konsep-konsep observasional tidaklah eksis. Ketika sebuah teori ilmiah 9
  • 10. memperkenalkan term-term teoretis yang baru, term-term itu terkait dengan term-term teoretis lama, yang biasanya menjadi bagian dari teori ilmiah terkonsolidasi yang sudah ada. Karena itu, penafsiran term-term teoretis baru itu tidaklah didasarkan pada term-term observasional, namun diberikan oleh term-term teoretis yang lain. Sehingga, dalam arti tertentu, ini dirasakan lebih familiar daripada yang baru. Keberatan kedua, menyangkut hakikat konvensional dari aturan korespondensi. Suatu postulat makna merumuskan makna sebuah konsep dan karena itu –dari sudut pandang logis—itu haruslah benar. Namun, setiap pernyataan dalam teori ilmiah berpotensi bisa dibuktikan kekeliruannya (falsifiable). Tidak ada pernyataan ilmiah yang berada di luar yurisdiksi pengalaman (experience). Jadi, sebuah postulat makna juga dapat keliru. Maka, ini tidak bersifat konvensional dan tidak merumuskan makna sebuah konsep, melainkan benar-benar hipotesis yang bersifat fisik. Postulat makna tidaklah eksis. VIII. Paradoks Burung Gagak (Raven’s Paradox) Semua ilmuwan menggunakan penalaran dan logika pada beberapa tahap, untuk menciptakan hipotesis dan merancang eksperimen-eksperimen yang kuat. Secara indah dan anggun, pada 1965, Hempel menunjukkan bahwa terdapat cacatcacat dalam proses ilmiah yang sudah lama mapan tersebut. Paradoks Burung Gagak yang dikemukakan Hempel mempertanyakan proses penalaran induktif, generalisasi, dan falsifiabilitas (falsifiability) yang sudah mapan tersebut. 8.1. Hipotesis Induktif Bayangkanlah bahwa seorang ilmuwan, sesudah bertahun-tahun berjalan ke berbagai penjuru lokasi, mengamati bahwa setiap gagak yang pernah ia temui berwarna hitam. Sebagai peneliti yang patuh pada aturan, ia menggunakan penalaran induktif untuk mendalilkan sebuah hipotesis: ―Semua gagak berwarna hitam.‖ Ini adalah hipotesis kondisional yang secara sempurna bisa diterima. Pertama, hipotesis ini bisa diuji, karena kita dapat membuat sampel populasi gagak dan membuktikan bahwa gagak-gagak itu berwarna hitam. Pernyataan ini juga bisa dibuktikan jika keliru (falsifiable), karena cukup dengan ditemukannya satu ekor 10
  • 11. gagak berwarna tidak-hitam di antara populasi yang dijadikan sampel, akan membantah hipotesis tersebut. Seluruh sains sejauh ini mengikuti metode penalaran induktif yang sudah mapan. Peneliti bahkan dapat merancang eksperimen untuk membuat sampel dari populasi gagak, dengan ribuan ekor gagak diamati. Jika semua burung gagak itu hitam, berarti hipotesis ini didukung dan masuk akal. Dengan berlalunya waktu, eksperimen dan pengamatan yang berulang-ulang juga lebih jauh mengkonfirmasikan hal ini, dan hipotesis itu pun diterima sebagai hukum. 8.2. Problem Generalisasi dan Falsifiabilitas Bagian pertama dari proposal Paradoks Burung Gagak mempertanyakan proses generalisasi tersebut. Secara praktis, tidaklah mungkin untuk mengambil sampel terhadap setiap burung gagak di dunia, dan mungkin saja ada beberapa gagak yang berwarna tidak-hitam. Hempel tidak mencooba berkomentar tentang sains eksakta, namun sebagai informasi sampingan yang menarik, sekitar 1 dari 10.000 telur gagak mengandung sebagian atau seluruhnya burung albino. Sebagian besar burung albino lebih jelas terlihat oleh pemangsa (predator), menderita problem kesehatan, dan mungkin merupakan fenomena yang sangat lokal. Maka kemungkinan menemui atau melihat seekor gagak albino sangat tipis. Seorang peneliti bisa membuat sampel atas ribuan gagak, dan tidak melihat satu pun gagak putih, walaupun gagak berwarna putih itu ada. Maka, gagasan falsifiabilitas itu dipertanyakan dan dirusak oleh Paradoks Burung Gagak. Walaupun hipotesis awalnya secara teknis bisa difalsifikasikan, dalam pendekatan praktis sangatlah sulit untuk menolak hipotesis tersebut. Karena peluang melihat seekor gagak putih sangat tipis. Bahkan jika kita mengambil sampel seluruh populasi gagak yang diketahui, mungkin saja ada kelompok gagak yang belum ditemukan, yang sebagian anggotanya tidak-hitam. 8.3. Cacat-cacat dalam Proses Penalaran Induktif Bagian berikutnya dari Paradoks Burung Gagak mempertanyakan proses penalaran dan deduksi, yang menjadi bagian integral dari proses ilmiah. Ketika 11
  • 12. seorang peneliti menyatakan bahwa ―semua gagak berwarna hitam,‖ hukum logika menuntut bahwa pernyataan kondisional ini memiliki pernyataan kontrapositif. Karena itu, menurut penalaran induktif, ―segala sesuatu yang tidak-hitam bukanlah burung gagak.‖ Ini berarti setiap obyek tidak-hitam yang diamati, yang bukan gagak, secara setara memperkuat hipotesis. Padahal tidak terhitung jumlahnya benda-benda tidak-hitam yang ada di alam semesta ini! Untuk mengembangkan analogi lebih jauh, seorang peneliti lain di bagian lain dunia, secara kebetulan, mungkin hanya pernah melihat seekor gagak sepanjang hidupnya, dan kebetulan gagak itu berwarna putih. Hipotesis lewat deduksi yang dilakukannya mungkin menyatakan, ―semua gagak berwarna putih.‖ Jadi, setiap obyek tidak-putih, yang bukan burung gagak, memperkuat hipotesis ini yang bertentangan dengan hipotesis sebelumnya (yang mengatakan, ―semua gagak berwarna hitam‖). Inilah yang dinamakan Paradoks Burung Gagak. IX. Arti Penting Pemikiran Hempel dan Konteks Indonesia Lalu, apa arti keberadaan paradoks ini? Apakah dunia sains lantas runtuh begitu saja? Jawabannya: tidak. Paradoks Burung Gagak adalah observasi filosofis yang bermanfaat, dan membantu memastikan bahwa kita secara terus-menerus mengamati dan menguji langkah-langkah proses ilmiah yang sudah mapan. Contohcontoh yang diberikan dalam paradoks ini bersifat simplistik dan tampaknya tak akan terjadi. Itu hanya berfungsi sebagai latihan untuk menguji batas-batas filsafat sains. Dalam kenyataan, pada sebagian besar kasus, cara Hempel tidak membuat perbedaan. Penalaran normal dan proses rancangan eksperimental bekerja cukup sempurna. Paradoks itu tidak lari dari sains, tetapi mengembangkannya, dengan mencegah para ilmuwan dari kepercayaan bahwa mereka telah membuktikan sesuatu yang di luar keraguan. Paradoks Burung Gagak sepatutnya mengingatkan para ilmuwan tentang bahaya generalisasi, dan bahwa mereka harus memastikan agar semua hipotesis secara realistis bisa difalsifikasi. Jika seorang peneliti mengatakan, ―semua burung gagak di Pulau Jawa berwarna hitam,‖ ini lebih realistis karena para ahli ilmu burung (Ornitologi) secara layak dapat mengamati setiap gagak di Pulau Jawa. Bahkan teori-teori yang sudah bertahan lama, yang menjadi mapan sebagai hukum dan paradigma yang tidak bisa digeser, suatu waktu dapat dibuktikan keliru. 12
  • 13. Sains sebenarnya adalah soal menguji probabilitas dan asumsi. Jika sesuatu memiliki 99% peluang untuk benar, maka itu sebaiknya diterima sebagai eksplanasi yang pas. Peluang seseorang hanya melihat seekor gagak dalam hidupnya, di mana kebetulan gagak yang dilihat itu adalah gagak putih, sangatlah kecil. Meski peluangnya sangat kecil, itu bukan berarti tidak mungkin, dan kemungkinan itu tidak boleh diabaikan. Inilah sebabnya mengapa semua eksperimen harus secara ketat divalidasi dan ditinjau sebelum memperoleh penerimaan secara meluas, untuk meminimalisir dampak Paradoks Burung Gagak. Misalnya, hukum-hukum Newton telah diterima sebagai kebenaran, sampai teori-teori Einstein meruntuhkannya. Pada gilirannya, teori Relativitas Umum Einstein bukanlah jawaban terhadap fisika fundamental dan telah dilampaui oleh teori-teori lain. Inilah bagaimana sains berkembang, dengan menantang dan mengadaptasi paradigma dan hukum-hukum yang sudah mapan. Penciptaan Teori Chaos adalah contoh sempurna dari ilmuwan-ilmuwan ―pemberontak‖ yang mengikis hukumhukum yang sudah mapan, sampai teori baru itu tak bisa lagi diabaikan. Teori itu akhirnya hadir dalam kesadaran publik, dan model-model fractal dari Teori Chaos muncul dalam bentuk desain-desain unik di T-shirt. Paradoks Burung Gagak dari Hempel hadir untuk mengingatkan kita bahwa tidak ada teori, seberapa mapan pun, yang kebal terhadap tantangan dan debat. Ketika bukti baru terungkap, sains harus beradaptasi dan berubah untuk menyesuaikan diri dengan data yang baru. Bagi para filsuf, pemikir, dan ilmuwan di Indonesia, pemikiran Hempel masih sangat relevan dan bermanfaat. Tradisi ilmiah dan semangat pencarian kebenaran lewat keilmuan masih belum cukup kuat dan berakar di negeri ini. Oleh karena itu, pemikiran dan semangat Hempel sepatutnya memberi inspirasi pada para ilmuwan, pemikir, dan filsuf Indonesia, untuk giat menggali ilmu dan pemikiran. Sedangkan, pada saat yang sama, para ilmuwan, pemikir, dan filsuf Indonesia juga harus cermat, teliti, hati-hati, dan waspada terhadap potensi sesat pemikiran dan kekeliruan penalaran, akibat kurang dikuasainya metode berpikir yang benar. Inilah signifikansi sumbangan pemikiran Hempel untuk konteks filsafat dan dunia keilmuan Indonesia. *** Depok, Maret 2009 13
  • 14. Referensi: 1. Hempel, Carl G. 1945. ―On the Nature of Mathematical Truth,‖ American Mathematical Monthly 52. Dicetak ulang di Feigl, H., dan W. Sellars (ed.). 1949. Readings in Philosophical Analysis. New York: Appleton-CenturyCrofts. Dicetak ulang di Newman, James R. 1956. The World of Mathematics, vol. III. New York: Simon and Shuster. Dituliskan ke format hypertext oleh Andrew Chrucky, 4 Feb 2001. 2. Hempel, Carl G. 1945. ―Geometry and Empirical Science,‖ American Mathematical Monthly 52. Dicetak ulang di Feigl, H., dan W. Sellars (ed.). 1949. Readings in Philosophical Analysis. New York: Appleton-CenturyCrofts. Dicetak ulang di Newman, James R. 1956. The World of Mathematics, vol. III. New York: Simon and Shuster. Dituliskan ke format hypertext oleh Andrew Chrucky, 7 Feb 2001. 3. Hempel, Carl G. 1950. ―Problems and Changes in the Empiricist Criterion of Meaning.‖ dalam 11 Rev. Intern: de Philos. 41, halaman 41-63. 4. http://www.iep.utm.edu/h/hempel.htm 5. http://articlesbase.com/science-articles/the-raven-paradox-how-hempelstreatise-led-to-questioning-of-the-inductive-reasoning-process-559856.html 6. www.experiment-resources.com 7. www.amethyst-web.net 8. Kearney, Richard (ed.). 2006. Twentieth-Century Continental Philosophy. Knowledge History of Philosophy Volume VIII. New York: Routledge. 9. Goldstein, Laurence. 1990. The Philosopher’s Habitat: An Introduction to Investigations in, and Applications of, Modern Philosophy. New York: Routledge. 10. Honderich, Ted. 1995. The Oxford Companion to Philosophy. Oxford/New York: Oxford University Press. 11. Russell, Bertrand. 1948. History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day. London: George Allen and Unwin Ltd. 14