1. AKSES KEADILAN BAGI MASYARAKAT MISKIN
Oleh : Komisi Hukum Nasional
Selasa, 04 September 2007 00:00
Pasal 34 UUD 1945 ayat (1) menegaskan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh negara”. Pasal 34 ayat (1) tersebut yang selanjutnya diikuti dengan 3 ayat
berikutnya, merupakan pasal yang mengatur kesejahteraan sosial. Pasal tersebut juga
bermakna kewajiban negara yang dijalankan oleh pemerintah untuk melakukan usaha yang
maksimal guna menyejahterahkan masyarakatnya.
Dengan berdasarkan ketentuan di atas dan undang-undang berikutnya yang telah disahkan
oleh DPR, seperti Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya) dan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak Sipil dan Politik), maka negara mengakui hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik dari
fakir miskin.. Meskipun kriteria miskin dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman,
namun perubahan kriteria tersebut, seharusnya tidak menjadikan hambatan bagi pemerintah
untuk memelihara hak-hak fakir miskin.[1]
Berdasarkan pertimbangan tersebut, seyogianya fakir miskin dipelihara hak-haknya oleh negara
(negara diwakili oleh pemerintah). Termasuk hak-hak untuk mendapatkan keadilan. Dalam
praktiknya, fakir miskin atau yang diistilahkan sebagai masyarakat miskin, masih sulit untuk
mendapatkan akses terhadap keadilan. Akses tersebut adalah jalan yang dilalui oleh
masyarakat untuk menggapai keadilan di luar maupun di dalam pengadilan.
Pemerintah perlu juga merenungkan kembali apa yang harus dilakukan agar masyarakat miskin
mendapatkan hak-haknya. Sejauh yang kita alami sejak lama, berbagai program
pemberdayaan masyarakat miskin, telah dilakukan oleh pemerintah. Dalam kerangka
mendapatkan keadilan di luar pengadilan, pemerintah telah lama memprogramkannya di bidang
kesehatan dan pendidikan. Kedua hal itu merupakan modal bagi masyarakat miskin untuk
memberdayakan dirinya sendiri. Oleh karenanya, dicanangkan program pembangunan
puskesmas di setiap kelurahan dan program wajib belajar 9 tahun pada masa orde baru,
namun seiring perjalanan waktu, angka kemiskinan terus meningkat.
Menurut standar 1996, pada tahun 1996 jumlah penduduk yang hidup di bawah garis
kemiskinan diperkirakan 22,5 juta jiwa atau sekitar 11,3 persen dari jumlah seluruh penduduk
Indonesia. Sementara pada akhir tahun 1998 jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 49,5
juta jiwa atau sekitar 24,2 persen dari jumlah penduduk Indonesia.[2] Berdasarkan data Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2006, jumlah penduduk miskin adalah 39,05 juta
(17,75%).[3]
Krisis ekonomi yang berkelanjutan dan program pemberdayaan masyarakat miskin yang tidak
terencana dengan baik menjadi sebab utama peningkatan angka kemiskinan. Pelajaran
berharga dari masa orde baru ialah kesalahan dalam kebijakan ekonomi. Kebijakan pada waktu
itu menekankan pada terbentuknya kelompok-kelompok usaha yang telah memiliki sistem
manajemen modern dengan jaringan koneksi internasional yang luas. Kelompok-kelompok
usaha tersebut diharapkan dapat memanfaatkan situasi yang tercipta dengan lebih baik karena
telah lebih siap secara teknis. Tugas yang diberikan kepada kelompok-kelompok usaha
tersebut adalah memperbesar kue ekonomi yang kecil untuk kemudian dapat dilakukan
1 / 12
2. AKSES KEADILAN BAGI MASYARAKAT MISKIN
Oleh : Komisi Hukum Nasional
Selasa, 04 September 2007 00:00
pemerataan dalam pola trickle-down effect.
Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok tersebut gagal melakukan pemerataan. Yang
terjadi ialah pertumbuhan untuk pemerataan tidak terjadi dengan mulus, bahkan kesenjangan
sosial-ekonomi makin dirasakan melebar, dan akhirnya terjadi kerusuhan sosial yang
memuncak pada tahun 1998. Lebih parah lagi, kelompok-kelompok tersebut diduga kuat terkait
korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang tidak kunjung penyelesaiannya hingga
kini. Kerugian negara akibat BLBI semakin memperberat beban masyarakat, terutama
masyarakat miskin.
Kecenderungan negara berkembang, termasuk Indonesia, ialah banyaknya masyarakat miskin
di pedesaan. Peningkatan angka kemiskinan berdasarkan data tersebut di atas, menjadikan
masyarakat miskin di pedesaan menjadi lebih menderita. Hal ini diperparah dengan penegakan
hukum dan keadilan bagi masyarakat miskin di pedesaan di Indonesia yang telah sekian lama
berjalan dengan buruk. Mekanisme penyelesaian masalah secara informal (musyawarah,
pemerintah desa atau lembaga adat) menghadapi kendala budaya hirarki dan ketimpangan
struktur kekuatan di tingkat lokal.
Dalam kerangka mendapatkan keadilan di dalam pengadilan, penyelesaian secara formal
melalui lembaga hukum formal – polisi, jaksa dan pengadilan bias terhadap kekuasaan dan
terasing dari masyarakat. Akibatnya, orang miskin di pedesaan lebih suka menekan masalah
dan rasa ketidakadilan yang dialami daripada berupaya memperbaiki situasi.
Pemerintah yang telah berganti pola dari pemerintahan sentralisasi menjadi desentralisasi
(otonomi daerah), perlu menangkap dan merealisasikan peluang-peluang percepatan
pemberdayaan masyarakat miskin, sebagai bagian dari hasil perenungan kembali apa yang
harus dilakukan agar masyarakat miskin mendapatkan hak-haknya. Pemberdayaan masyarakat
miskin tersebut akan berakibat langsung terhadap penurunan angka kemiskinan.
Pemberdayaan masyarakat miskin di era otonomi daerah mengandung pelajaran tentang
peluang-peluang memberdayakan masyarakat miskin, baik dari bentuk lama yang disusun di
pusat pemerintahan, maupun pola baru hasil susunan pemerintah daerah, mungkin disertai
dukungan pemerintah pusat atau swasta di daerah.
Pemerintah daerah sangat mungkin melakukan pemberdayaan masyarakat miskin karena
menghadapi jarak yang lebih dekat dengan masyarakat miskin itu sendiri di daerahnya
masing-masing. Selain itu peluang tanggung jawab atas kegiatan tersebut juga berada di
tangan pemerintah daerah, yang dalam hal ini ialah pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten
atau kota, serta pemerintah kecamatan, kelurahan/desa. Pemerintah daerah harus memahami
bahwa upaya penurunan angka kemiskinan yang paling strategis dalam era otonomi daerah
yaitu “memberikan peluang kepada masyarakat miskin untuk mengatasi masalah mereka
secara mandiri”.[4]
Pemerintah daerah wajib mengubah paradigma pemberdayaan masyarakat dari yang bersifat
top-down menjadi partisipatif, yang mana masyarakat dengan bertumpu pada kekuatan dan
sumber-sumber daya lokal. Dengan pola partisipatif tersebut, proses otonomi daerah yang
sedang berlangsung di Indonesia saat ini, akan berada pada jalur yang tepat pada saatnya
2 / 12
3. AKSES KEADILAN BAGI MASYARAKAT MISKIN
Oleh : Komisi Hukum Nasional
Selasa, 04 September 2007 00:00
nanti. Pemerintah pusat wajib konsisten untuk menjaga arah otonomi yang memberdayakan
masyarakat miskin. Dalam kerangka di bidang hukum, pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah wajib membentuk program-program pemberdayaan masyarakat miskin, dengan
mengkondusifkan akses keadilan dalam hal sebagai berikut:
1) bantuan hukum bagi masyarakat miskin;
2) kebebasan memperoleh informasi yang bersifat umum;
3) pelayanan administrasi pemerintahan yang bebas korupsi, efisien dan transparan;
4) pengaturan upah minimum regional bagi tenaga kerja;
5) dengar pendapat dalam perumusan peraturan-peraturan di tingkat pusat dan daerah;
6) Pengaturan Penguasaan dan Pemilikan Tanah;
7) pemerataan Hasil Pendapatan Pusat dan Daerah
8) jaminan Keamanan bagi Semua Anggota Masyarakat
1) Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin
Seharusnya pemerintah maupun organisasi advokat atau advokat itu sendiri selalu menyadari
bahwa bantuan hukum sebenarnya dapat merupakan sarana untuk melindungi dan menjamin
terlaksananya hak-hak masyarakat sebagai pencari keadilan. Oleh karena itu pemenuhan hak
atas bantuan hukum oleh pemerintah maupun organisasi advokat atau advokat itu sendiri,
diharapkan membuka jalan menuju akses keadilan yang terbuka luas bagi masyarakat pencari
keadilan.
Dalam lingkup kesejahteraan sosial, maka ketiadaan sumber keuangan yang cukup, ketiadaan
penguasaan informasi, ketiadaan pengetahuan dan pendidikan formal, ditambah dengan
ketiadaan dukungan bantuan hukum yang maksimal untuk memenuhi hak-hak masyarakat
miskin, menjadikan masyarakat miskin lebih sulit untuk memberdayakan dirinya sendiri,
misalnya, masyarakat miskin semakin sulit mendapatkan hak-haknya atas kesehatan,
pendidikan, air, tanah dan perumahan sedangkan pemenuhan hak-haknya tersebut menjadi
modal untuk memberdayakan dirinya berubah menjadi sejahtera.
Dalam hal itu, pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin merupakan suatu upaya
untuk menerangkan dan memperjuangkan hak-hak masyarakat miskin agar terpenuhi
kebutuhan subsidinya oleh pemerintah. Subsidi pemerintah sangat dibutuhkan agar biaya
kesehatan, pendidikan, air, tanah dan perumahan menjadi terjangkau.
Dalam lingkup sistem peradilan, pemberian bantuan hukurn, terutama ditujukan bagi
masyarakat miskin. Pemberian bantuan hukum tersebut, diharapkan dapat memberikan
pengaruh yang besar bagi dinamika masyarakat, misalnya, dengan pemberian bantuan hukum
3 / 12
4. AKSES KEADILAN BAGI MASYARAKAT MISKIN
Oleh : Komisi Hukum Nasional
Selasa, 04 September 2007 00:00
atas suatu kasus pelanggaran terhadap hak asasi manusia, kasus penggusuran tanah dan/atau
bangunan di atasnya yang dimiliki masyarakat, diharapkan dapat rnenjadi contoh bagi
rnasyarakat bahwa dalarn kasus tersebut, ada penanganan yang salah yang dilakukan oleh
pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah dituntut untuk menyadari dan memperbaiki
kekeliruannya.
Dengan melihat hal tersebut di atas, maka bantuan hukum minimal mempunyai dua ruang
lingkup yaitu:
1) Lingkup kesejahteraan sosial, dengan isu pemenuhan hak-hak masyarakat, terutama
masyarakat miskin, terhadap kebutuhan-kebutuhan pokok yang menjadi kewajiban pemerintah
seperti kebutuhan atas kesehatan, pendidikan, air, tanah dan perumahan.
2) Lingkup sistem peradilan, dengan pemenuhan hak-hak masyarakat, terutama masyarakat
miskin dan/atau masyarakat yang berlawanan dengan pemerintah.
2) Kebebasan Memperoleh Informasi Publik”
Banyak cerita mengenai bagaimana masyarakat miskin tidak mengetahui informasi yang
seharusnya mereka dapatkan dari pemerintah. Salah satunya adalah ketika konflik sosial pecah
di berbagai daerah di Indonesia sejak akhir tahun 1990-an hingga awal 2000-an. Ratusan ribu
keluarga lari dari tempat tinggal mereka dan jadi pengungsi. Mereka yang terpaksa pindah dari
daerah asal berhak mendapatkan bantuan dana dari pemerintah, khususnya Departemen
Sosial. Akan tetapi laporan dari lapangan menunjukkan bahwa bantuan tersebut tidak
sepenuhnya sampai ke para pengungsi.[5] Begitu pun juga cerita mengenai korban banjir yang
cukup banyak terjadi di Jakarta, yang tidak tahu informasi mengenai persisnya bantuan yang
diberikan pemerintah, terutama pemerintah DKI Jakarta. Akibatnya warga mengaku tidak
menerima bantuan.[6] Ketidaktahuan informasi seperti itu juga sering terdengar dalam masalah
pengurusan surat-surat tanah, perijinan, dan lain sebagainya.
Kesamaan yang selalu terjadi dalam setiap kejadian yang merugikan masyarakat miskin seperti
tersebut di atas ialah, tidak ada informasi yang jelas tentang apa yang menjadi hak pengungsi
atau korban banjir, yang sebagian besar adalah masyarakat miskin. Juga tidak terdapat
kejelasan bagaimana memperoleh sruat-surat resmi dan perijinan, berapa besar biayanya yang
resmi, siapa yang bertanggung jawab dan kepada siapa dapat mengadu apabila terjadi
penyimpangan.
Pemerintah memang belum serius untuk mewujudkan hak-hak masyarakat atas informasi
publik. Sangat wajar jika terjadi keluhan masyarakat atas pemerintah, dan bahkan “wajar” jika
terjadi penyelewengan karena masyarakat tidak mendapatkan informasi yang menjadi haknya,
sehingga masyarakat tidak dapat mengawasi dengan cermat “tindak-tanduk” pemerintah. Hal
ini jelas merugikan masyarakat, terlebih masyarakat miskin.
Dalam kerangka yang cukup penting mengenai informasi publik, APBD yang sangat berperan
besar dalam memberdayakan masyarakat pun masih dianggap merupakan informasi yang
sangat rahasia dan sulit untuk diberikan kepada masyarakat, meskipun masyarakat
4 / 12
5. AKSES KEADILAN BAGI MASYARAKAT MISKIN
Oleh : Komisi Hukum Nasional
Selasa, 04 September 2007 00:00
memintanya dengan resmi. Sementara, seperti diketahui secara umum, APBD disahkan
dengan peraturan daerah. Peraturan daerah tentu menjadi informasi publik yang berhak
diketahui oleh masyarakat.
Kebebasan memperoleh informasi publik masih menjadi hal yang sangat asing bagi sebagian
besar aparatur pemerintah baik pusat maupun daerah. Ini merupakan hal yang bertentangan
hak asas manusia yang bersifat fundamental dan universal untuk memperoleh informasi publik.
Hal ini berarti setiap individu punya hak, tanpa kecuali, untuk memperoleh informasi publik.
Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, pemerintah memiliki kewajiban membuka informasi
publik. Kebebasan memperoleh informasi publik ini mendapat jaminan secara internasional,
terutama dalam pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of
Human Rights) PBB dimana disebut bahwa “Setiap orang berhak untuk mengeluarkan
pendapat dan ekspresinya; hak ini mencakup kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa
adanya campur tangan, dan juga hak untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi
dan ide melalui media apapun, dan tak boleh dihalangi.”
Pemerintah seharusnya menyadari bahwa dalam negara demokrasi seperti Indonesia,
penyelenggaraan kekuasaan di tingkat pusat maupun daerah, harus setiap saat dapat
dipertanggungjawabkan kembali kepada rakyat. Pertanggungjawaban tersebut sering
diistilahkan dengan akuntabilitas. Akuntabilitas merupakan kebutuhan karena dengannya
masyarakat diarahkan menuju ke tata pemerintahan yang baik. Masyarakat pun mendapatkan
jaminan hak asasi manusia dengan adanya akuntabilitas itu. Untuk itu, pemerintah yang
terbuka (open government) merupakan salah satu fondasinya. Dalam pemerintahan yang
terbuka, kebebasan informasi publik adalah suatu keharusan. Dengannya pemerintahan dapat
berlangsung transparan, dan partisipasi masyarakat terjadi secara penuh dalam seluruh proses
pengelolaan pemerintahan. Proses pengelolaan itu termasuk seluruh proses pengelolaan
sumber daya masyarakat sejak dari proses pengambilan keputusan, pelaksanaan serta
evaluasinya.[7]
3) Pelayanan Publik yang Bebas Korupsi, Efisien dan Transparan”
Secara umum pelayanan publik dapat diartikan sebagai: kewajiban yang diamanatkan oleh
Konstitusi untuk dilaksanakan oleh Pemerintah guna memenuhi hak-hak warga masyarakat. Di
dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 tentang
Pedoman Umum Pelayanan Publik, yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah: “segala
kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya
pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan”.
Lebih lanjut, berdasarkan keputusan tersebut di atas, pelayanan publik dapat dikelompokkan
menjadi tiga yaitu: Kelompok Pelayanan Administratif, Kelompok Pelayanan Barang dan
Kelompok Pelayanan Jasa. Makna dari masing-masing kelompok pelayanan tersebut dijelaskan
sebagai berikut:
1) Kelompok Pelayanan Administratif: yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk
dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik. Beberapa jenis pelayanan publik yang dapat
5 / 12
6. AKSES KEADILAN BAGI MASYARAKAT MISKIN
Oleh : Komisi Hukum Nasional
Selasa, 04 September 2007 00:00
dikategorikan sebagai bagian dari pelayanan administrasi misalnya: penerbitan dokumen yang
berkaitan dengan:
a) status kependudukan atau kewarganegaraan (misalnya: Kartu Tanda Penduduk, pasport,
akta nikah, akta kelahiran, akta kematian, dll.);
b) status kepemilikan (misalnya: Sertifikat Hak Atas Tanah, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor,
dan lain-lain.);
c) status kompetensi (misalnya: Surat Ijin Mengemudi, Ijin Mendirikan Bangunan, Surat Ijin
Usaha, dan lain-lain.).
2) Kelompok Pelayanan Barang: pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang
yang digunakan oleh publik. Hal ini berkaitan dengan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh
negara selaku pelaku usaha, yang kewenangannya dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik
Negara (misalnya penyediaan air minum/air bersih, penyediaan listrik, penyediaan jaringan
telekomunikasi, dan lain-lain.);
3) Kelompok Pelayanan Jasa: pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang
yang dibutuhkan oleh publik (misalnya: pelayanan pendidikan, pemeliharaan kesehatan,
penyelenggaraan transportasi, penyelenggaraan post, dan lain-lain.).
Dalam kerangka pemberdayaan masyarakat miskin, pemerintah baik di tingkat pusat maupun
tingkat daerah, seharusnya mempunyai komitmen yang kuat untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat miskin pada pelayanan publik yang bebas korupsi, efisien dan transparan. Namun
dari penelitian yang dilakukan KHN pada tahun 2004 lalu, pemerintah masih belum mempunyai
komitmen yang kuat untuk memenuhi kebutuhan itu. Hal itu dapat dilihat dari tiga gejala utama
yang cukup mengkhawatirkan dalam pelayanan publik, yaitu:
1) rendahnya kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh sebagian aparatur
pemerintahan atau administrasi negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Di dalam
kerangka hukum administrasi positif Indonesia saat ini telah diatur tentang standar minimum
kualitas pelayanan, namun kepatuhan terhadap standar minimum pelayanan publik tersebut
masih belum terlihat manifestasinya dalam pelaksanaan tugas aparatur pemerintahan. Hal ini
terbukti dari masih sangat banyaknya keluhan dan ketidakpuasan yang dilontarkan masyarakat
Perlu dikaji lebih lanjut adalah upaya untuk membuat agar standar minimum pelayanan publik
tersebut dapat menjadi pedoman yang efektif, sehingga dapat tercipta kepastian dan
perlindungan hukum, baik bagi para penyelenggara pelayanan publik sendiri maupun bagi
masyarakat/anggota masyarakat;
2) birokrasi yang panjang (red-tape bureaucracy) dan adanya tumpang tindih tugas dan
kewenangan, yang menyebabkan penyelenggaraan pelayanan publik menjadi panjang dan
melalui proses yang berbelit-belit, sehingga tidak mustahil memperbesar kemungkinan
timbulnya ekonomi biaya tinggi, terjadinya penyalahgunaan wewenang, korupsi, kolusi dan
nepotisme, perlakuan diskriminatif, dan sebagainya.
6 / 12
7. AKSES KEADILAN BAGI MASYARAKAT MISKIN
Oleh : Komisi Hukum Nasional
Selasa, 04 September 2007 00:00
3) rendahnya pengawasan eksternal dari masyarakat (social control) terhadap
penyelenggaraan pelayanan publik, sebagai akibat dari ketidak jelasan standar dan prosedur
pelayanan, serta prosedur peyampaian keluhan pengguna jasa pelayanan publik. Karena itu
tidak cukup dirasakan adanya tekanan sosial (social pressure) yang memaksa penyelenggara
pelayanan publik harus memperbaiki kinerja mereka. Salah satu wujud dari peningkatan kontrol
sosial ini, misalnya, melalui pembenahan sistem dan prosedur pelayanan keluhan publik (public
complaints/grievance system & procedure) yang baik. Lebih jauh lagi, peraturan
perundang-undangan yang tampaknya dipersiapkan sebagai ‘umbrella regulation’ di bidang
pelayanan publik yang berlaku secara nasional, juga sangat sedikit menghadirkan
ketentuan-ketentuan yang secara tegas menetapkan sistem dan standar pelayanan atas
keluhan publik (public complaints, public governance standards and procedure).[8]
4) Pengaturan Upah Minimum Regional bagi Tenaga Kerja
Masalah upah mendominasi hubungan antara tenaga kerja dengan perusahaan.[9] Sejak
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mulai efektif
diimplementasikan pada bulan Januari 2001, Indonesia mulai memasuki masa penerapan
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Dengan adanya kebijakan ini, wewenang untuk
menetapkan tingkat upah minimum dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah di
tingkat propinsi, kabupaten, dan kota.
Pengalihan wewenang ini mungkin akan semakin meningkatkan kenaikan upah minimum di
beberapa daerah. Seiring digantinya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintah Daerah pun
mungkin akan memenuhi tuntutan masyarakatnya agar memberlakukan pendekatan yang lebih
populis dalam kebijakan upah minimum regional, terlebih dengan adanya pemilihan kepala
daerah secara langsung.
Bersamaan dengan semakin meningkatnya kecenderungan pemerintah daerah untuk semakin
memanfaatkan upah minimum sebagai alat kebijakan sosial sekaligus meraih simpati
masyarakatnya, maka terdapat kemungkinan terjadinya dampak negatif kenaikan upah
minimum terhadap penyerapan berbagai jenis tenga kerja, terutama tenaga kerja yang
keterampilannya tidak memadai yang umumnya merupakan bagian terbesar dari masyarakat
miskin.
Dengan adanya kenaikan tingkat upah minimum, maka terdapat kemungkinan bahwa:
1) perusahaan akan mengurangi sebagian tenaga kerja untuk digantikan dengan tenaga kerja
terampil yang dapat disebut sebagai tenaga kerja “kerah putih”. Perusahaan pun dapat
mengubah proses produksi yang banyak menyerap tenaga kerja yang keterampilannya tidak
memadai, dengan proses produksi yang lebih padat modal (menggunakan teknologi tinggi) dan
lebih menuntut keterampilan. Hal ini berarti proporsi tenaga kerja “kerah putih” akan lebih tinggi
terserap seiring pemanfaatan teknologi tinggi, atau;[10]
2) perusahaan lebih memilih menutup usahanya karena beban biaya yang bertambah tinggi
ditambah “pungutan liar” yang terus menjadi beban perusahaan dan tidak dapat diberantas oleh
7 / 12
8. AKSES KEADILAN BAGI MASYARAKAT MISKIN
Oleh : Komisi Hukum Nasional
Selasa, 04 September 2007 00:00
pemerintah.
Dengan demikian, upah minimum dapat menguntungkan sebagian tenaga kerja tetapi
merugikan sebagian lainnya. Para tenaga kerja “kerah putih” yang berketerampilan memadai
dan dapat mempertahankan pekerjaannya di perusahaan, akan mendapat keuntungan dari
peningkatan upah minimum. Namun, para tenaga kerja yang keterampilannya tidak memadai
yang umumnya merupakan bagian terbesar dari masyarakat miskin, akan mudah kehilangan
pekerjaan. Para tenaga kerja tersebut sebagian besar merupakan tenaga kerja perempuan,
muda usia, dan mereka yang berpendidikan rendah.
Jika Indonesia mempunyai iklim pertumbuhan ekonomi tinggi dan bebas ”pungutan liar”
terhadap perusahan-perusahaan, maka peningkatan upah minimum tidak terlalu menjadi
persoalan karena pertumbuhan itu sendiri akan mendorong peningkatan upah, sehingga tingkat
upah yang berlaku sama dengan atau di atas upah minimum. Pertumbuhan ekonomi juga akan
mendorong penciptaan kesempatan kerja yang lebih besar daripada yang hilang karena
kebijakan kenaikan upah minimum. Namun, dalam iklim pertumbuhan ekonomi rendah seperti
yang dialami Indonesia sekarang ini, kenaikan tinggi pada upah minimum kemungkinan besar
akan mempunyai dampak yang merugikan bagi sebagian besar tenaga kerja di Indonesia yang
merupakan bagian terbesar dari masyarakat miskin.[11]
5) Partisipasi Masyarakat dalam Perumusan Peraturan di Tingkat Pusat dan Daerah”
Demonstrasi dari masyarakat atas suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah di tingkat
pusat maupun daerah, sudah menjadi kejadian yang biasa dilihat dan didengar oleh
masyarakat di Indonesia. Dalam pemerintah orde lama dan orde baru, ketidakpuasan
masyarakat yang digelar dalam bentuk demonstrasi masih belum terlihat merata di seluruh
Indonesia. Ketidaktahuan informasi mengenai hak-hak masyarakat sendiri saat orde lama, dan
kebijakan represif terhadap hak-hak masyarakat saat orde baru, menjadi alasan kurang begitu
maraknya ketidakpuasan masyarakat dalam bentuk demontrasi. Keadaan saat ini, pasca
jatuhnya kekuasaan Presiden Soeharto, masyarakat semakin “berani” menuntut hak-haknya,
meski seringkali demonstrasi tersebut terlihat salah kaprah dengan bertindak merusak
benda-benda milik sesama masyarakat sendiri.
Namun pemerintah baik eksekutif maupun legislatif, harus berintrospeksi atas
keadaan-keadaan yang semakin sering memperlihatkan adanya ketidakpuasan masyarakat.
Salah satu masalahnya adalah belum memadainya produk perundangan baik di tingkat pusat
maupun daerah yang dapat mendukung terlaksananya partisipasi masyarakat dalam setiap
proses lahirnya kebijakan. Untuk memecahkan masalah ini perlu dilakukan pembaruan
mekanisme pembuatan kebijakan pusat dan daerah. Pendekatan strategis yang dapat
dilakukan adalah membentuk peraturan pusat dan daerah yang mengatur mekanisme
pembuatan kebijakan pusat dan daerah yang partisipatif.
Partisipasi masyarakat diartikan sebagai proses yang melibatkan masyarakat umum dalam
pengambilan keputusan, perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, serta pembinaan masyarakat.[12] Partisipasi
juga dapat berarti “memberikan peluang kepada masyarakat miskin untuk mengatasi masalah
8 / 12
9. AKSES KEADILAN BAGI MASYARAKAT MISKIN
Oleh : Komisi Hukum Nasional
Selasa, 04 September 2007 00:00
mereka secara mandiri”. Masyarakat miskin dapat memberikan pendapatnya mengenai
hambatan-hambatan yang dihadapi dalam memberdayakan dirinya sendiri. Partisipasi
masyarakat tersebut dapat ditunjukkan dalam dengar pendapat dalam perumusan peraturan di
tingkat pusat dan daerah.
Hingga saat ini, sudah banyak peraturan di tingkat pusat dan daerah, yang mengatur mengenai
rapat dengar pendapat dengan masyarakat. Musyawarah perencanaan pembangunan tingkat
nasional maupun daerah, merupakan salah satu dari contoh pengaturan mengenai dengar
pendapat dengan masyarakat. Namun ketika suatu peraturan disahkan atau hendak disahkan,
seringkali timbul gejolak ketidakpuasan di masyarakat. Mengenai ini, salah satu Ketua DPRD
tingkat Propinsi menyatakan “kebanyakan media massa hanya melaporkan proses penetapan
perda dalam sebuah sidang paripurna. Sebagian besar anggota digambarkan hanya duduk
santai mendengarkan wakil fraksinya menyampaikan pendapat akhir fraksi. Padahal, proses
perumusan perda amat kompleks. Selain menyangkut substansi materi yang penting,
perumusan melewati tahapan pembahasan yang panjang.”[13]
Mungkin partisipasi masyarakat, dalam bentuk dengar pendapat, masih belum sepenuhnya
tercapai atau dilaksanakan hanya sekedar formalitas, karena seringkali terlihat juga bahwa
hanya sedikit sekali anggota legislatif yang menghadiri rapat-rapat pembahasan suatu
peraturan baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Dengan keadaan begitu, slogan
partai politik, melalui wakil-wakilnya yang menjadi anggota legislatif, untuk ”memberdayakan
masyarakat miskin”, sulit tercapai melalui dengar pendapat dalam perumusan peraturan di
tingkat nasional maupun daerah. Partisipasi masyarakat sendiri minimal harus memenuhi
mekanisme:
1) penyempurnaan informasi tentang kebijakan yang akan diambil termasuk jadwal dan
prosedur pelibatan masyarakat;
2) tanggapan terhadap aspirasi masyarakat;
3) hasil akomodasi aspirasi masyarakat; dan
4) keberatan[14]
6) Pengaturan Penguasaan dan Pemilikan Tanah”
Mencuatnya persengketaan antara warga Meruya Selatan (Jakarta Barat) dengan PT
Portanigra di tahun 2007 menandakan bahwa pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah
masih menjadi masalah yang pelik. Masih banyak daerah lainnya yang juga mempunyai
masalah persengketaan tanah. Untuk di daerah lainnya, seringkali yang menjadi korban adalah
rakyat kecil, para petani hanya berusaha mencari nafkah memenuhi kebutuhan sehari-hari
untuk diri sendiri maupun keluarga. Hal tersebut terjadi dalam sengketa tanah di Desa Alas
Tlogo, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, juga pada tahun 2007 ini.
Laporan yang diperoleh PAH I DPD mencatat, hampir semua propinsi memiliki masalah yang
sama, yakni tanah-tanah yang dikuasai TNI telah menimbulkan kecemasan masyarakat, di
9 / 12
10. AKSES KEADILAN BAGI MASYARAKAT MISKIN
Oleh : Komisi Hukum Nasional
Selasa, 04 September 2007 00:00
antaranya para petani, karena proses peralihan hak penguasaan tanah tidak tuntas. Pada
waktu lalu, penguasaan dan pemilikan tanah ilakukan dengan cenderung represif, sehingga
secara terpaksa terjadi pengalihan hak. Petani merasa, sebenarnya dia tidak tulus mengalihkan
hak. Hanya kondisi dan situasi pada waktu itu memang tidak seperti sekarang.[15] Orde Baru
dianggap bertanggung-jawab atas terjadinya masalah penguasaan dan pemilikan tanah.
Menurut Prof. Koesnadi Harjasumantri, selama kurun 32 tahun ini, kasus tanah tidak terjadi
sepuluh atau duapuluh kali, bisa ratusan bahkan barangkali ribuan, dan dalam setiap kasus
tersebut, yang ujung-ujungnya jadi korban rakyat juga.[16]
Masih menurutnya pula, bahwa sejak 38 tahun yang lalu, DPR mengesahkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, untuk menggantikan
menggantikan Agrarische Wet yang dibuat pemerintahan Kolonial Belanda pada tahun 1870.
Dengan orientasi yang kuat pada kepentingan masyarakat banyak, undang-undang ini
mengatur secara spesifik mengenai hak-hak penguasaan dan pemilikan tanah. Undang-undang
tersebut sudah cukup baik dalam segi isi, sehingga tidak perlu diutak-utik dulu.
Meski demikian, undang-undang yang sudah berumur 38 tahun tersebut dapat saja diganti
dengan yang baru, misalnya, dengan alasan agar rakyat lebih mempunyai akses terhadap
penguasaan dan pemilikan tanah dengan berdasarkan ide landreform. Undang-undang tersebut
perlu menjadi paket reformasi karena konsentrasi penguasaan dan pemilikan tanah kini ada
pada kelompok tertentu, terutama dari kalangan konglomerat di masa orde baru, dan bahkan
“mafia tanah”[17]. Namun landreform sepertinya sulit diterapkan di Indonesia, karena kesulitan
teknis hukum, kondisi sosial, politik dan ekonomi yang tidak mendukung, serta tidak cukupnya
tanah -yang tersedia untuk dibagikan pada para petani.[18] Alasan lainnya, sudah ada
perubahan konstitusi di masa tahun 1999 – 2004, sehingga undang-undang tersebut perlu
menyesuaikan dengan semangat pembaruan bahwa pemerintah wajib menyejahterakan
rakyatnya yang terwujud melalui perubahan konstitusi tersebut.
7) Pemerataan Hasil Pendapatan Pemerintah Pusat dan Daerah bagi Masyarakat”
Tujuan Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat secara adil dan merata. Dalam kerangka
pembangunan nasional, masyarakat Indonesia, terutama masyarakat miskin, sebagai obyek
pembangunan diharapkan untuk dapat menikmati hasil-hasil pembangunan baik di bidang
ekonomi, sosial, maupun bidang-bidang pembangunan lainnya yang telah dilaksanakan baik di
tingkat pusat maupun regional.
Implementasi otonomi daerah memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk
merencanakan pembangunan di daerah sesuai dengan kebutuhan dan prioritas serta potensi
yang dimiliki. Wewenang yang lebih luas telah diberikan secara legal untuk memanfaatkan
berbagai sumber daya baik dari aspek administrasi, kelembagaan maupun finansial. Melalui
kewenangan tersebut diharapkan pemerintah daerah mampu menyusun suatu model
perencanaan pembangunan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sehingga tujuan dari
pembangunan tersebut di atas dapat tercapai.
Salah satu keluhan pembangunan yang sering dibicarakan bahkan dirasakan sampai lapisan
10 / 12
11. AKSES KEADILAN BAGI MASYARAKAT MISKIN
Oleh : Komisi Hukum Nasional
Selasa, 04 September 2007 00:00
masyarakat bawah adalah bahwa hasil-hasil pembangunan, yang tercermin dalam hasil
pendapatan pemerintah pusat dan daerah, tidak bisa di nikmati secara merata. Hal inilah yang
biasa disebut ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial, dan lebih lanjut apabila tidak
dicegah secara cermat akan mengarah kepada timbulnya kecemburuan sosial. Dengan
memperhatikan perkembangan-perkembangan sosial ekonomi yang terjadi selama ini,
penanggulangan ketimpangan pendapatan di masyarakat tidak saja penting dan perlu ditinjau
dari sudut pertimbangan moral, tetapi mendesak pula untuk ditinjau dari ancaman ketegangan
sosial atau kecemburuan sosial yang terselubung didalamnya.
Dalam rangka pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang tinggi seringkali diikuti
dengan kenaikan atau membesarnya tingkat ketimpangan pendapatan di masyarakat (semakin
tidak merata). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang merupakan target dari
pembangunan, tetapi kadang pemerataan hasil pembangunan terlupakan sehingga dibalik
pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu juga menimbulkan kemiskinan pada sebagian
masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menjadi lebih berarti jika diikuti
pemerataan hasil pendapatan pemerintah pusat dan daerah. Berbagai kebijakan ekonomi untuk
peningkatan produksi akan lebih berarti jika manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat luas,
terutama masyarakat miskin. Oleh karena itu, orientasi pemerataan hasil pendapatan
pemerintah pusat dan daerah bagi masyarakat seharusnya menjadi muara dari seluruh
kegiatan perekonomian suatu daerah.
Orientasi pemerataan tersebut, seharusnya tercermin juga dalam kebijakan pemerintah pusat
dan daerah untuk menggendalikan kegiatan perekonomian yang memang cenderung
menjadikan ketimpangan masyarakat kaya dan miskin. Kepala pemerintah pusat dan daerah
dapat berperan sebagai “manajer” yang membuat kebijakan yang:
1) mengakui hak-hak hukum (legal rights) yang merupakan penjabaran dari hak
ekonomi-sosial-budaya masyarakat dan hak sipil-politik masyarakat;
2) meningkatkan kesadaran hukum dan hak-hak dasar masyarakat guna menghindari
tertutupnya akses terhadap sumber daya ekonomi;
3) membentuk wadah dan prosedur untuk mendapatkan legal remedies (pemulihan hak) bagi
mereka yang dilanggar haknya sehingga memperparah kemiskinan.[19]
8) Jaminan Keamanan bagi bagi Masyarakat”
Dalam perkembangan perumusan “keamanan”, lingkup keamanan yang semula hanya
keamanan negara serta keamanan dan ketertiban masyarakat sebagaimana tersebut di dalam
Pasal 30 UUD 1945, menjadi lebih rinci dengan penyebutan “keamanan nasional”. Keamanan
nasional dirumuskan dengan:
1) fungsi pemerintahan yang diselenggarakan untuk menjamin tegaknya kedaulatan dan
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, terjaimnnya keamanan dan
kelangsungan hidup bangsa dan negara, pri kehidupan rakyat, masyarakat dan pemerintah
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
11 / 12
12. AKSES KEADILAN BAGI MASYARAKAT MISKIN
Oleh : Komisi Hukum Nasional
Selasa, 04 September 2007 00:00
2) kondisi keamanan sebagian atau seluruh wilayah negara.[20]
Perumusan “keamanan nasional” sebagai fungsi pemerintahan tersebut terbagi ke dalam fungsi
keamanan insani, keamanan publik, keamanan negara dan pertahanan negara.[21]
Sehubungan dengan sub tema “keamanan bagi masyarakat”, fungsi keamanan insani dan
fungsi keamanan publik menjadi penting untuk ditelaah. Keamanan insani diartikan sebagai
fungsi pemerintahan dalam menyelenggarakan penegakan hak-hak dasar setiap warga negara,
sedangkan keamanan publik adalah fungsi pemerintahan dalam menyelenggarakan
penegakan, pemeliharaan, dan pemulihan keselamatan masyarakat, serta keamanan dan
ketertiban masyarakat melalui penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan
masyarakat.
12 / 12