SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  54
Pengaruh Penggunaan Metode Student Facilitator and Explaining

      dalam Pembelajaran Kooperatif terhadap Kemampuan Pemecahan

    Masalah Matematik dan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa

                              SMK di Tasikmalaya



A. Latar Belakang Masalah

          Pendidikan    merupakan      wahana     untuk    meningkatkan     dan

   mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Selain itu, pendidikan adalah

   seperangkat proses berupa penanaman nilai, gagasan, konsep dan teori-teori

   yang bertujuan mengembangkan kepribadian, pengetahuan, keterampilan, dan

   tingkah laku serta mencapai cita-cita dan tujuan hidup. Upaya meningkatkan

   kualitas pendidikan dilakukan terus-menerus baik secara konvensional

   maupun inovatif. Dalam era globalisasi, pendidikan sangat dibutuhkan oleh

   segenap lapisan masyarakat agar terhindar dari pengaruh negatif yang dapat

   mencelakakanya.

          Dalam dunia pendidikan, sekolah merupakan salah satu jalur yang

   sangat strategis untuk mencapai tujuan tersebut. Semua mata pelajaran di

   sekolah diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam mengembangkan

   kualitas manusia.

          Namun, kenyataannya pendidikan di Indonesia belumlah sesuai dengan

   apa   yang   diharapkan.   Lembaga-lembaga     pendidikan    belum   mampu

   menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Kualitas pendidikan

   Indonesia tercermin dari penguasaan materi matematika siswa. Hal ini terlihat
dari hasil laporan The Trends International Mathematics and Science Study

(TIMSS) yang menunjukkan bahwa rata-rata skor prestasi matematik siswa

Indonesia berada signifikan di bawah skor rata-rata Internasional. Pada tahun

1999, Indonesia berada pada peringkat ke 34 dari 38 negara, tahun 2003 berada

di peringkat ke 35 dari 46 negara, dan tahun 2007 berada di peringkat ke 36 dari

49 negara. Mengenai hasil studi TIMMS pada tahun 1999, Suryadi (Alhadad,

Syarifah Fadilah, 2010:5) mengemukakan, “Soal-soal matematika tidak rutin

yang memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi pada umumnya tidak

berhasil dijawab dengan benar oleh sampel siswa Indonesia”.

       Hasil Studi TIMMS ini didukung oleh hasil survey yang dilakukan JICA

Technical Cooperation Project for Development of Science and Mathematics

Teaching for Primary and Secondary Education in Indonesia atau IMSTEP

(Alhadad, Syarifah Fadilah, 2010:4) pada tahun 1999 di kota Bandung, yang

menemukan bahwa salah satu kegiatan bermatematika yang dipandang sulit

oleh siswa untuk mempelajarinya dan oleh guru untuk mengajarkannya adalah

pemecahan masalah.

       Lemahnya kemampuan pemecahan masalah siswa teridentifikasi dari

bagaimana cara mereka menyelesaikan soal-soal matematika yang bersifat tidak

rutin. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh Fakhrudin (2010),

dapat diketahui bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa Kota Semarang

masih rendah. Penelitian ini dilakukan peneliti pada kedua kelompok yaitu

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Skor maksimum ideal pada tes

ini adalah 70. Rata-rata skor untuk kelompok eksperimen adalah 21,47 atau

30,67% dari skor ideal dan untuk kelompok kontrol 22,82 atau 32,6% dari skor
ideal. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kemampuan pemecahan

masalah matematik siswa pada umumnya masih rendah.

       Rendahnya hasil belajar matematika mengindikasikan ada sesuatu yang

salah dan belum optimal dalam pembelajaran di sekolah. Dalam pembelajaran

matematika, biasanya aktivitas belajar mengajar berpusat pada guru, materi

matematika disampaikan melalui ceramah, siswa pasif, pertanyaan dari siswa

jarang muncul, berorientasi pada satu jawaban yang benar. Kegiatan

pembelajaran seperti ini tidak memberikan kesempatan yang luas bagi siswa

untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah.

       Matematika merupakan pondasi yang melandasi ilmu pengetahuan,

baik itu ilmu eksak maupun ilmu non-eksak, mulai dari tingkat sekolah dasar

sampai ke perguruan tinggi. Kenyataan di lapangan menyebutkan, bahwa

pembelajaran matematika masih saja ditakuti dan dianggap sebagai pelajaran

yang sukar, sehingga siswa kurang termotivasi untuk belajar matematika.

Ruseffendi ( 1991: 157 ) mengemukakan, “Matematika dianggap sebagai

ilmu yang sukar, ruwet, dan banyak memperdayakan”. Matematika

menumbuhkembangkan kemampuan bernalar, yaitu berpikir sistematis, logis

dan kritis, dalam mengkomunikasikan gagasan atau dalam pemecahan

masalah.

       Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa siswa harus

mengetahui dan memahami relevansi matematika dalam kehidupan sehari-

hari serta menggunakannya menjadi aspek penting yang harus diperhatikan

dalam mempelajari matematika. Selain itu, sebagai pembekalan mereka

menghadapi tantangan kehidupan, para siswa juga perlu dibiasakan
menggunakan keterampilan berpikirnya untuk menyelesaikan soal-soal yang

berupa pemecahan masalah, sebab disadari atau tidak dalam kehidupan

manusia sehari-hari tidak terlepas dari masalah. Dengan pembelajaran yang

dimulai dari masalah, siswa belajar suatu konsep dan prinsip sekaligus

memecahkan masalah.

        Dengan demikian, sekurang-kurangnya ada dua hasil belajar yang

dicapai, yaitu jawaban terhadap masalah (produk) dan cara memecahkan

masalah (proses). Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah

matematis siswa sebaiknya perlu ada inovasi dalam pembelajaran, dimana

siswa diberikan masalah kemudian siswa belajar untuk mengajukan masalah

kemudian    menyelesaikan    masalah   yang   dihadapinya.    Pembelajaran

hendaknya dimulai dari masalah-masalah aktual, autentik, relevan, dan

bermakna bagi siswa.

       Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu fokus dalam

pembelajaran matematika. Tim MKPBM (2001: 83) menyatakan,

       Pemecahan masalah matematika bagian dari kurikulum matematika
       yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun
       penyelesaiannya, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman
       menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki untuk
       diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin.
       Pemecahan masalah merupakan kegiatan matematika yang sangat sulit

untuk mengajarkan dan mempelajarinya karena menurut Tim MKPBM

(2001:83), “... pemecahan masalah merupakan tipe belajar paling tinggi dari

delapan yang dikemukakan Gagne, yaitu: signal learning, stimulus-response-

learning, chaining, verbal assosiation, discrimination learning, concept

learning, rule learning, dan pemecahan masalah”. Dengan kata lain
keterampilan intelektual tingkat tinggi dapat dikembangkan melalui

pemecahan masalah.

         Menurut Wardani, Sri (2011:6), ”Pemecahan masalah (problem

solving) adalah suatu proses untuk mengatasi kesulitan/hambatan yang

ditemui dalam mencapai tujuan yang diharapkan”. Pada umumnya, siswa

merasa kesulitan apabila dihadapkan pada masalah-masalah yang tidak rutin

karena tingkat kemampuan pemecahan masalah mereka masih rendah.

Padahal, pengajaran matematika harus digunakan untuk memperkaya,

memperdalam, dan memperluas kemampuan siswa dalam memecahkan

masalah. Hasil penelitian yang dilakukan The National assessment of

Educational Progress (NAEP) (dalam Wulanratmini, Diani, 2010:4)

menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan siswa dalam menyelesaikan soal

kreatif pemecahan masalah menurun drastis manakala setting (konteks)

permasalahannya diganti dengan hal yang tidak dikenal siswa, walaupun

permasalahan matematikanya tetap sama.

      Tim survey IMSTEP-JICA (1999) di kota Bandung menemukan

sejumlah kegiatan yang dianggap sulit oleh siswa untuk mempelajari soal

yang diberikan oleh guru yaitu dalam cara pembuktian, pemecahan masalah

yang memerlukan penalaran matematis, menemukan generalisasi atau

konjektur, dan menemukan hubungan antara data-data atau fakta yang

diberikan. Kegiatan-kegiatan yang dianggap sulit tersebut, kalau kita

perhatikan merupakan kegiatan yang menuntut kemampuan berpikir kritis

dari siswa dan guru. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil survey
tersebut menemukan bahwa siswa mengalami kesulitan jika dihadapkan

kepada persoalan yang memerlukan kemampuan berpikir kritis.

       Kemampuan berpikir kritis dapat dikembangkan melalui kegiatan

pembelajaran matematika karena tujuan pembelajaran matematika di sekolah

menurut Depdiknas (2006) adalah: (1) memahami konsep matematika,

menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau

algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah;

(2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi

matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan

gagasan dan pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi

kemampuan      memahami       masalah,   merancang     model    matematika,

menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4)

mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain

untuk memperjelas keadaan atau masalah, dan (5) memiliki sikap menghargai

kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu,

perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan

percaya diri dalam pemecahan masalah.

       Dengan demikian, kemampuan berpikir kritis sangatlah penting untuk

dikembangkan pada pembelajaran matematika secara formal baik itu di

tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, ataupun perguruan tinggi.

       Salah   satu   model    pembelajaran   yang    menyediakan     banyak

kesempatan bagi siswa dalam melakukan pengembangan kemampuan

memecahkan masalah dan berpikir kritis adalah dengan menggunakan model

pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif menekankan pada
pemberian kesempatan belajar yang lebih luas dan suasana yang kondusif

kepada siswa untuk memperoleh, dan mengembangkan pengetahuan, sikap,

nilai,   serta   keterampilan-keterampilan   sosial   yang   bermanfaat   bagi

kehidupannya di masyarakat. Menurut Trianto (2007:41), “Pembelajaran

kooperatif muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan

dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan

temannya. Siswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling

membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks”.

         Pada model cooperative learning siswa diberi kesempatan untuk

berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan temannya untuk saling

membantu memecahkan masalah, sementara guru bertindak sebagai

motivator dan fasilitator aktivitas siswa. Artinya dalam pembelajaran ini

kegiatan aktif dengan pengetahuan dibangun sendiri dengan aktif oleh siswa

dan mereka bertanggung jawab atas hasil pembelajarannya.

         Salah satu model pembelajaran kooperatif yang dapat digunakan

untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dalam pemecahan masalah

adalah model pembelajaran kooperatif tipe Student Facilitator and

Explaining. Model pembelajaran kooperatif dengan metode Student

Facilitator and Explaining merupakan metode pembelajaran dimana siswa

belajar mempresentasikan ide/pendapat pada rekan siswa lainnya. Tujuan dari

metode pembelajaran ini yaitu akan melatih sikap kritis siswa. Misalnya,

seorang pendidik memberikan sebuah masalah. Berdasarkan masalah tersebut

siswa diminta membuat soal dan jawaban dari masalah yang diberikan oleh
pendidik tersebut. Maka akan muncul banyak pertanyaan dan jawaban dari

permasalahan yang diberikan.

       Melalui metode pembelajaran ini siswa bisa termotivasi untuk

mengembangkan pengetahuan dengan cara yang mudah dan murah.

Pengetahuan siswa dengan metode pembelajaran kooperatif Student

Facilitator and Explaining bisa dikembangkan dari yang sederhana hingga

pada pengetahuan yang kompleks. Selain itu, dengan metode pembelajaran

kooperatif Student Facilitator and Explaining ini siswa akan belajar sesuai

dengan tingkat berpikirnya. Karena antara siswa yang pandai dengan yang

kurang pandai tidak diperlakukan sama. Keberhasilan pengajaran matematika

tidak hanya tergantung pada materi-materi pelajaran matematika, tetapi

sangat tergantung pada keahlian guru dalam menyampaikan materi tersebut.

Sehingga seorang guru harus memiliki kompetensi akademik dan menguasai

materi-materi yang akan diajarkan. Untuk menguasai konsep-konsep dasar

matematika, baik guru ataupun siswa harus banyak berlatih menyelesaikan

soal-soal mulai dari yang sederhana hingga yang sukar, termasuk soal-soal

yang menyangkut pemecahan masalah matematik dan kemampuan berpikir

kritis matematis siswa.

      Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti akan melakukan penelitian

dengan judul ”Pengaruh Penggunaan Metode Student Facilitator and

Explaining dalam Pembelajaran Kooperatif terhadap Kemampuan

Pemecahan Masalah Matematis dan Kemampuan Berpikir Kritis

Matematis Siswa SMK”
B. Rumusan Masalah

          Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti

   merumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu:

   1. Adakah pengaruh positif metode pembelajaran kooperatif Student

      Facilitator and Explaining terhadap pemecahan masalah matematik

      siswa?

   2. Apakah kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh

      pembelajaran dengan metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator

      and Explaining akan lebih baik dari pada siswa yang memperoleh

      pembelajaran langsung?

   3. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah

      matematik siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang memperoleh

      pembelajaran dengan metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator

      and Explaining?

   4. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis

      matematis siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang memperoleh

      pembelajaran dengan metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator

      and Explaining?

   5. Apakah ada hubungan antara pemecahan masalah matematik dan berpikir

      kritis matematis siswa?

   6. Bagaimana    sikap   siswa   terhadap   pembelajaran   dengan   metode

      pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining?
C. Tujuan Penelitian

           Sesuai dengan masalah yang diteliti, maka penelitian bertujuan untuk:

      1.      Mengetahui pengaruh positif penggunaan metode pembelajaran

      Student Facilitator and Explaining terhadap pemecahan masalah

      matematik siswa.

      2.      Untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa

      yang memperoleh pembelajaran dengan metode pembelajaran Student

      Facilitator and Explaining dan siswa yang mengikuti pembelajaran

      langsung.

      3.      Untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan

      masalah matematik siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang

      memperoleh     pembelajaran    dengan    metode    pembelajaran    Student

      Facilitator and Explaining.

      4.      Untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan berpikir

      kritis matematis     siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang

      memperoleh     pembelajaran    dengan    metode    pembelajaran    Student

      Facilitator and Explaining.

      5.      Mengetahui hubungan/kaitan/korelasi antara pemecahan masalah

      matematik dengan kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti

      pembelajaran dengan metode pembelajaran Student Facilitator and

      Explaining dan siswa yang mengikuti pembelajaran langsung.

      6.      Untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran kooperatif

      dengan metode pembelajaran Student Facilitator and Explaining.
D. Manfaat Penelitian

   Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

    1. Sebagai bahan masukan bagi pendidik agar selalu mempertimbangkan

        dan memilih pembelajaran yang sesuai dengan materi ajar sehingga dapat

        meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.

    2. Sebagai bahan masukan untuk menanggulangi kendala-kendala yamg

        muncul khususnya dalam upaya meningkatkan kemampuan pemecahan

        masalah matematik siswa dalam mata pelajaran matematika.

    3. Sebagai sarana untuk mengembangkan daya pikir siswa dan kemampuan

        pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika.



E. Kajian Teori

   1.   Metode Pembelajaran Kooperatif Student Facilitator and Explaining

           Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas dari

   pada suatu strategi,     metode atau prosedur. Istilah model pembelajaran

   mempunyai empat ciri khusus yang tidak dipunyai oleh strategi atau metode

   tertentu yaitu: rasional teoretik yang logis, tujuan pembelajaran yang akan

   dicapai, tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat

   dilaksanakan secara berhasil, dan lingkungan belajar yang diperlukan agar

   tujuan pembelajaran itu dapat tercapai. Suprijono, Agus (2010:54)

   menyatakan,

           Pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi
           semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-benruk yang lebih
           dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Secara umum
           pembelajaran kooferatif dianggap lebih diarahkan oleh guru, dimana
guru menetapkan tugas dan pernyataan-pernyataan serta menyediakan
       bahan-bahan dan informasi yang dirancang untuk membantu siswa
       menyelesaikan masalah yang dimaksud. Guru biasanya menetapkan
       bentuk ujian tertentu pada akhir tugas.

       Melalui pembelajaran kooperatif siswa diharapkan dapat saling

membantu dan saling bekerjasama satu sama lain dalam menyelesaikan suatu

masalah untuk mencapai tujuan bersama.

       Model     pembelajaran    kooperatif     diperlukan   adanya   saling

ketergantungan positif sehingga siswa mempunyai rasa tanggung jawab

terhadap tugas yang mereka peroleh.Selama pembelajaran berlangsung siswa

melakukan interaksi dengan anggota kelompoknya agar komunikasi antar

anggota berjalan secara efektif dan setiap anggota kelompok saling

memberikan kontribusi terhadap kegiatan pembelajaran tersebut.

       Terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran yang

menggunakan model pembelajaran kooperatif menurut Suprijono, Agus.

(2010:65), langkah-langkah itu ditunjukkan pada tabel berikut.

                                      Tabel 1

             Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif
        Fase                    Tingkah Laku Guru
        Fase-1: Present goals and
        set                             Menjelaskan tujuan pembelajaran
                                        dan mempersiapkan siswa siap
        Menyampaikan tujuan dan         belajar.
        mempersiapkan siswa
        Fase-2:          Present        Mempresentasikan informasi kepada
        information                     siswa secara verbal.
        Menyajikan informasi
        Fase-3 : Organize students      Memberikan penjelasan kepada
        into learning teams             peserta sisik tentang tata cara
                                        pembentukan tim belajar dan
        Mengorganisasikan siswa
                                        membantu kelompok melakukan
        ke    dalam     kelompok
                                        transisi yang efisien
        kooperatif
Fase-4 : Assist team work       Membantu tim-tim belajar selama
        and study                       siswa mengerjakan tugasnya.
        Membantu      kerja tim dan
        belajar
        Fase-5 :     Test    on   the   Menguji      pengetahuan      siswa
        materials                       mengenaia      berbagai      materi
                                        pembelajaran    atau     kelompok-
        Mengevaluasi
                                        kelompok mempresentasikan hasil
                                        kerjanya
        Fase-6      :        Provide    Mempersiapkan       cara    untuk
        recognition                     mengakui usaha dan        prestasi
                                        individu maupun kelompok.
        Memberikan      pengakuan
        atau penghargaan

       Sumber: Suprijono, Agus. (2010: 65)

       Penghargaan atau penilaian individu dan kelompok yang merupakan

salah satu dari karakteristik pembelajaran kooperatif lebih berorientasi pada

kelompok dari pada individu. Menurut Slavin, Robert E. (2009: 159),

petunjuk perhitungan skor perkembangan individu terdapat pada Tabel 2.

                                      Tabel 2
                            Konversi Skor Perkembangan

                   Skor Kuis Individu               Skor Perkembangan
          Lebih dari 10 poin di bawah skor awal     5 poin
          10-1 poin dibawah skor awal               10 poin
          Skor awal sampai 10 poin di atas skor     20 poin
          awal
          Lebih dari 10 poin di atas skor awal      30 poin
          Kertas jawaban sempurna (terlepas dari    30 poin
          skor awal)

       Sumber: Slavin, Robert E. (2009 : 159)

       Selanjutnya untuk lebih memotivasi siswa dalam setiap pembelajaran,

maka dalam pembelajaran kooperatif setelah guru memberikan penilaian

kepada setiap siswa dalam kelompok kooperatif, guru memberikan

penghargaan kepada kelompok-kelompok yang memiliki nilai sumbangan
kelompoknya yang memenuhi kriteria. Kriteria yang digunakan untuk

memberikan penghargaan kelompok diambil dari selisih skor awal

pembelajaran dengan tes individu kemudian hasilnya dibagi dengan jumlah

anggota kelompok untuk memperoleh tingkat penghargaan kelompok.Ada

tiga macam tingkatan penghargaan diberikan dalam model pembelajaran

kooperatif.Menurut Slavin, Robert E (2009: 160) dapat dilihat pada tabel.

                                       Tabel 3

                         Tingkat Penghargaan Kelompok
           Kriteria (Rata-rata Tim)         Penghargaan
           15                               TIM BAIK
           16                               TIM SANGAT BAIK
           17                               TIM SUPER

          Sumber: Slavin, Robert E. (2009 : 160)

       Metode Pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining

merupakan metode pembelajaran dimana siswa belajar mempresentasikan

ide/pendapat pada rekan siswa lainnya Suprijono, Agus (2010,128)

menyatakan bahwa langkah-langkah metode pembelajaran kooperatif

Student Facilitator and Explaining :

               a. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai/KD.
               b. Guru mendemonstrasikan/menyajikan garis-garis besar
                  materi pembelajaran.
               c. Memberikan kesempatan siswa untuk menjelaskan kepada
                  siswa lainnya, misalnya melalui bagan/peta konsep. Hal
                  ini bisa dilakukan secara bergiliran,
               d. Guru menyimpulkan ide/pendapat dari siswa.
               e. Guru menerangkan semua materi yang disajikan saat itu,
                  Penutup.

       Berdasarkan pendapat di atas, maka penulis dapat menyimpulkan

bahwa metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining

adalah suatu metode yang mendasarkan pada penugasan tiap-tiap kelompok
dimana guru mendemontrasikan atau menyajikan secara garis besar materi

yang akan disampaikan untuk selanjutnya memberikan kesempatan kepada

siswa untuk menjelaskan kepada siswa lainnya melalui peta konsep atau

bagan.



2. Pembelajaran Langsung

         Pembelajaran langsung biasa disebut juga pembelajaran konvensional.

Masriyah (2002: 1) memandang bahwa pembelajaran yang selama ini sering

dilakukan oleh guru pada umumnya disebut pembelajaran langsung. Masih

menurut Masriyah (2002) bahwa pembelajaran langsung adalah suatu

pendekatan mengajar yang dapat membantu siswa mempelajari keterampilan

dasar dan memperoleh informasi yang dapat diajarkan selangkah demi

selangkah..Hal ini sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Arends

(Trianto, 2007: 29) yang menyatakan

         Model pembelajaran langsung adalah salah satu pendekatan mengajar
         yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang
         berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural
         yang terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan dengan pola
         kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah.




         Menurut Widaningsih, Dedeh (2010b:150), “Pengetahuan prosedural

yaitu pengetahuan mengenai bagaimana orang melakukan sesuatu. Sedangkan

pengetahuan deklaratif yaitu pengetahuan tentang sesuatu”. Menghapal rumus

dalam pembelajaran matematika merupakan contoh pengetahuan deklaratif.
Pengetahuan bagaimana memperoleh rumus tersebut merupakan pengetahuan

prosedural.

       Pembelajaran    langsung      menurut     Kardi   (Trianto,   2007:30)

“Pembelajaran langsung dapat berbentuk ceramah, demonstrasi, pelatihan

atau praktek, dan kerja kelompok”. Pengajaran langsung digunakan untuk

menyampaikan pelajaran yang ditransformasikan langsung oleh guru kepada

siswa. Penyusunan waktu yang digunakan untuk mencapai tujuan

pembelajaran harus seefisien mungkin, sehingga guru dapat merancang

dengan tepat waktu yang digunakan.

       Ciri-ciri model pembelajaran langsung Depdiknas (Widaningsih,

Dedeh, 2010:151) adalah sebagai berikut :

       a. Adanya tujuan pembelajaran dan prosedur penilaian hasil belajar.
       b. Sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran.
       c. Sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang mendukung
          berlangsung dan berhasilnya pengajaran.

        Sintaks model pembelajaran langsung Depdiknas (Widaningsih,

Dedeh, 2010:152) disajikan dalam lima tahap, seperti ditunjukkan pada tabel

berikut :




                                       Tabel 4

                        Sintaks Pengajaran Langsung
      Fase                                     Peran Guru
      Fase 1                        Guru        menjelaskan      tujuan
      Menyampaikan tujuan dan pembelajaran khusus, informasi latar
      mempersiapkan siswa           belakang     pelajaran, pentingnya
                                    pelajaran, mempersiapkan siswa
                                    untuk belajar.
      Fase 2                        Guru              mendemonstrasikan
      Mendemonstrasikan             keterampilan dengan benar, atau
pengetahuan dan keterampilan     menyajikan informasi tahap demi
                                      tahap.
     Fase 3                           Guru merencanakan dan memberi
     Membimbing Pelatihan             bimbingan pelatihan awal.
     Fase 4                           Mengecek apakah siswa telah
     Mengecek pemahaman dan           berhasil melakukan tugas dengan
     memberikan umpan balik           baik, memberi umpan balik.
     Fase 5                           Guru mempersiapkan kesempatan
     Memberikan kesempatan untuk      melakukan     pelatihan    lanjutan,
     pelatihan   lanjutan    dan      dengan perhatian khusus pada
     penerapan                        penerapan kepada situasi lebih
                                      kompleks dan kehidupan sehari-hari.



       Menurut Depdiknas (Widaningsih, Dedeh, 2010:152), terdapat ciri

utama yang dapat terlihat pada saat melaksanakan model pembelajaran

langsung adalah sebagai berikut :

       a. Tugas perencanaan.
          1) Merumuskan tujuan pengajaran.
          2) Memilih isi.
             Guru harus mempertimbangkan berapa banyak informasi yang
             akan diberikan pada siswa dalam kurun waktu tertentu. Guru
             harus selektif dalam memilih konsep yang diajarkan dengan
             model pengajaran langsung.
          3) Melakukan analisis tugas.
             Menganalisis tugas, akan membantu guru menentukan dengan
             tepat apa yang perlu dilakukan siswa untuk melaksanakan
             keterampilan yang akan dipelajari. Ini bukan berarti bahwa
             seorang guru harus melakukan analisis tugas untuk setiap
             keterampilan yang diajarkan.Hal ini disebabkan karena waktu
             yang tersedia terbatas.
          4) Merencanakan waktu
             Guru harus memperhatikan bahwa waktu yang disediakan
             sepadan dengan kemampuan dan bakat siswa, dan memotivasi
             siswa agar mereka tetap melakukan tugas-tugasnya dengan
             perhatian yang optimal. Mengenal secar baik siswa-siswa yang
             akan diajar, akan bermanfaat sekali untuk mengira-ngira
             alokasi waktu yang dibutuhkan dalam pembelajaran.


       b. Penilaian pada pembelajaran langsung
          Grounlund (Widaningsih,Dedeh,2011: 77) mengemukakan 6
          prinsip dasar dapat membimbing guru dalam merancang sistem
          penilaian sebagai berikut :
1)    Sesuai dengan tujuan pengajaran
          2)    Mencakup semua tugas pengajaran
          3)    Menggunakan soal tes yang sesuai
          4)    Buatlah soal tes yang sesuai
          5)    Buatlah soal sevalid dan sereliabel mungkin
          6)    Memanfaatkan hasil tes untuk memperbaiki proses belajar
                mengajar berikutnya.

       Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran langsung

merupakan pembelajaran yang menuntut keaktifan guru karena materi

pelajaran diajarkan langsung kepada siswa. Siswa tidak dituntut untuk

menemukan materi karena materi pelajaran diajarkan seakan-akan sudah jadi.

Pembelajaran langsung disajikan melalui lima tahap yaitu menyampaikan

tujuan dan mempersiapkan siswa, mendemonstrasikan pengetahuan dan

keterampilan,    membimbing     pelatihan,   mengecek   pemahaman     dan

memberikan umpan balik, serta memberikan kesempatan untuk pelatihan

lanjutan dan penerapan.



3. Teori Belajar yang Mendukung Metode Pembelajaran Kooperatif
   Student Facilitator And Explaining

a. Teori belajar Kognitif

       Dalam perspektf teori kogntif Suprijono, Agus (2010:22) menyatakan

“Belajar merupakan pristiwa mental, bukan peristiwa behavioral meskipun

hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata hampir dalam setiap

peristiwa belajar”.

       Perilaku individu bukan semata-mata respons terhadap yang ada

melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh

otaknya. Belajar adalah proses aktif untuk mencapai, mengingat dan

menggunakan pengetahuan. Untuk itu teori belajar kognitif mendukung
pembelajaran metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator and

Explaining.

b. Teori Vigotsky

       Vygotsky (Ratnaningsih, 2003:44) mengatakan bahwa “Pembelajaran

terjadi saat anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal (zone of

proximal development)”. Menurut teori ini siswa mempunyai dua tingkat

perkembangan yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan

potensial. Tingkat perkembangan aktual didefinisikan sebagai pemfungsian

intelektual individu saat ini dan kemampuan untuk belajar sesuatu yang

khusus atas kemampuannya sendiri. Sedangkan tingkat perkembangan

potensial sebagai tingkat seorang individu dapat memfungsikan atau

mencapai tingkat itu dengan bantuan orang lain seperti guru, orang tua, atau

teman sejawat yang kemampuannya lebih tinggi. Dengan demikian, tingkat

perkembangan potensial dapat disalurkan melalui model pembelajaran

kooperatif.

       Ide penting lain yang diturunkan Vygotsky adalah scaffolding, yaitu

memberikan sejumlah bantuan kepada anak pada tahap-tahap awal

pembelajaran, kemudian menguranginya dan memberi kesempatan kepada

anak untuk mengambil alih tanggung jawab saat mereka mampu. Bantuan

tersebut berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah pada

langkah-langkah pemecahan, memberi contoh, ataupun hal-hal lain yang

memungkinkan pelajar tumbuh mandiri.

       Dalam teori Vygotsky dijelaskan ada hubungan langsung antara

domain kognitif dengan sosial budaya. Kualitas berpikir siswa dibangun di
dalam ruangan kelas, sedangkan aktivitas sosialnya dikembangkan dalam

bentuk kerja sama antara pelajar dengan pelajar lainnya yang lebih mampu

dibawah bimbingan orang dewasa dalam hal ini guru.

       Teori Vygotsky menghendaki interaksi dan komunikasi baik antara

siswa dengan siswa sehingga terbentuk masyarakat belajar melalui kelompok-

kelompok kecil. Hal ini sesuai dengan salah satu komponen pembelajaran

dengan metode Student Facilitator and Explaining.



4. Teori Belajar yang Mendukung Pembelajaran Langsung

       Teori belajar yang mendukung model pembelajaran langsung adalah

teori Ausubel. Teori Ausubel dikenal dengan belajar bermaknanya dan

pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai. Tim MPKBM (2001:35)

menyatakan,

      Ausubel membedakan antara belajar menemukan dengan belajar
      menerima. Pada belajar menerima siswa hanya menerima, jadi tinggal
      menghafalkannya, tetapi pada belajar menemukan konsep ditemukan
      oleh siswa, jadi tidak menerima pelajaran begitu saja. Selain itu untuk
      dapat membedakan antara belajar menghafal dengan belajar bermakna.
      Pada belajar menghafal siswa menghafal materi yang sudah
      dipelajarinya, tetapi pada belajar bermakna materi yang telah
      diperoleh dikembangkan dengan keadaan lain sehingga belajarnya
      lebih dimengerti.

       Menurut Ausubel (Dahar, 1989: 110) belajar dapat diklasifikasikan ke

dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi

atau materi pelajaran disajikan pada siswa melalui penerimaan atau

penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana siswa dapat

mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang ada.
Ausubel    (Tim   MKPBM,       2001:35)    mengemukakan,     “Metode

ekspositori adalah metode mengajar yang paling baik dan bermakna”. Metode

ekspositori adalah metode yang paling cocok digunakan pada model

pembelajaran langsung yang pembelajarannya berpusat pada guru.

       Dalam pelaksanaan pembelajaran langsung, guru memberikan konsep-

konsep dan setiap konsep yang diberikan disertai dengan contoh soal. Selain

itu, dalam model pembelajaran langsung pengaturan awal mengarahkan siswa

ke materi yang akan dipelajari dan menolong siswa untuk mengingat kembali

materi yang sudah dipelajari untuk menanamkan pengetahuan baru. Dalam

pelaksanaan pembelajaran, hal ini disebut apersepsi.

       Dari uraian tersebut, teori belajar Ausubel mendukung pembelajaran

dengan menggunakan model pembelajaran langsung. Dalam pembelajaran

langsung, guru memberikan materi kepada siswa lalu siswa menerimanya.

Hal ini sejalan dengan pendapat Ausubel tentang belajar menerima.

5. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

       Suatu masalah biasanya memuat situasi yang mendorong seseorang

untuk menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung apa

yangharus dikerjakan untuk menyelesaikannya.

       Pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah matematika

merupakan pertanyaan yang harus dijawab. Namun tidak semua pertanyaan

merupakan masalah. Pendekatan pemecahan masalah matematik merupakan

salah satu dari beberapa macam pendekatan matematik yang sangat penting,

karena dalam proses penyelesaiannya siswa harus memiliki banyak
pengalaman dalam memecahkan berbagai masalah untuk memperoleh

pengalaman kemampuan dalam memecahkan masalah matematik.

       Langkah-langkah dalam memecahkan masalah yang digunakan dalam

penelitian ini adalah langkah-langkah Polya. Menurut George Polya

(Wardani, Sri. 2002:12) ada empat langkah dalam menyelesaikan pemecahan

masalah yang harus dilakukan yaitu: a. memahami masalah (understanding

the problem), b. membuat rencana pemecahan (divising a plan), c. melakukan

penghitungan (carrying out the plan) dan d. memeriksa kembali hasil yang

diperoleh (looking back).



6. Kemampuan Berpikir Kritis

a. Pengertian Berpikir Kritis

       Beberapa ahli memberikan pengertian tentang berpikir diantaranya,

Suryabrata (Ratnaningsih, 2003: 17) berpendapat bahwa berpikir merupakan

proses yang dinamis yang dapat dilukiskan menurut proses dan jalannya.

Selain itu, Dahar (1996) mengemukakan bahwa berpikir merupakan ciri

manusia (homo sapien) dari semenjak lahir sampai akhir hidupnya.

          Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1991:767) berpikir adalah

menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan, memutuskan sesuatu.

Menurut Lupito (1996) berpikir merupakan aktifitas mental yang disadari dan

diarahkan untuk maksud tertentu. Sedangkan Beyer (1987:16) menyatakan,

“Thinking, in short, is the mental process by wich individuals make sense out

of experience”. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka maksud

yang mungkin dicapai dari berpikir adalah memahami, mengambil keputusan,

merencanakan, memecahkan masalah, dan menilai tindakan.
Dalam kaitannya dengan proses yang terjadi pada saat berpikir,

Marpaung dalam Ratnaningsih (2003: 17) memberikan gambaran bahwa

proses berpikir merupakan proses yang dimulai dari penemuan informasi

(dari luar atau diri siswa), pengolahan, penyimpanan dan memanggil kembali

informasi dari ingatan siswa. Dengan demikian dapat dikatakan, pada

prinsipnya selama berpikir manusia mengkaji dan mengolah berbagai

gagasan, konsep, pengalaman dan peristiwa yang dialaminya agar ia sampai

pada   suatu    kesimpulan.    Kesimpulan     tersebut   diharapkan   dapat

mengantarkannya pada kebenaran. Dengan kata lain, melalui berpikir

manusia dapat sampai pada kebenaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Poedjiadi (2011: 25) yang menyatakan bahwa berpikir adalah kegiatan

akal untuk mengolah pengetahuan yang diterima melalui panca indera dan

ditujukan untuk mencapai kebenaran.

       Menurut Wijaya (1999), pengembangan kemampuan berpikir menjadi

modal utama bagi siswa dalam menghadapi kehidupan di masa kini dan masa

yang akan datang. Dalam dunia pendidikan, siswa tidak terlepas dari kegiatan

berpikir. Berpikir merupakan kegiatan yang lumrah bagi siswa. Dalam

mengerjakan tugas pasti menggunakan pikiran untuk memdapakan hasil yang

terbaik. Contohnya, mengerjakan tugas/pekerjaan rumah dan mengerjakan

soal pada saat ujian yang membutukan pemikiran yang sangat baik dalam

merangkai kata-kata. Juga dalam kehidupan sosial yang tidak lepas dari

pemikiran siswa.

       Dalam pendidikan, berfikir kritis diartikan sebagai pembentukan

kemampuan      dalam   aspek   logika   seperti   kemampuan    memberikan

argumentasi, silogisme dan penalaran yang proposional. Logika sangat
bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan manusia berfikir rasional dan

kritis.

          Berpikir kritis adalah suatu proses dimana seseorang atau individu

dituntut untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi informasi untuk

membuat sebuah penilaian atau keputusan berdasarkan kemampuan,

menerapkan ilmu pengetahuan dan pengalaman. Beberapa ahli memberikan

pengertian tentang berpikir     kritis diantaranya, Norris (Fowler, 1996: 1)

medefinisikan berpikir kritis sebagai pengambilan keputusan secara rasional

apa yang diyakini dan dikerjakan. Sedangkan Huitt (1998: 4) mengemukakan

bahwa Critical thinking is disciplined mental activity of making judgments

that can guide the development of beliefs and taking actions. Dari pengertian

tersebut menunjukkan bahwa berpikir kritis berarah pada pengambilan

keputusan mengenai tindakan dan keyakinan yang akan diambil.

          Memperhatikan pengertian berpikir kritis di atas, secara umum dapat

diartikan seorang yang berfikir kritis harus selalu melihat ke depan, seseorang

tidak boleh membiarkan berpikir menjadi sesuatu yang rutin atau standar.

Seorang yang berpikir dengan cara kritis akan melihat setiap masalah dengan

sudut yang selalu berbeda meskipun obyeknya sama, sehingga dapat

dikatakan dengan tersedianya pengetahuan baru seorang yang berfikir kritis

harus selalu melakukan sesuatu dan mencari apa yang paling efektif dan

ilmiah dan memberikan hasil yang lebih baik untuk kesejahteraan diri

maupun orang lain.

          Proses berpikir ini dilakukan sepanjang waktu sejalan dengan

keterlibatan manusia dalam pengalaman baru dan menerapkan pengetahuan
yang dimilikinya menjadi lebih mampu untuk membetuk asumsi, ide-ide dan

membuat simpulan yang valid. Semua proses tersebut tidak terlepas dari

sebuah proses berpikir dan belajar. Jadi, berpikir kritis adalah kemampuan

memberi alasan secara terorganisasi dan mengevaluasi kualitas suatu alasan

secara sistematis. Berpikir kritis artinya diarahkan, dikendalikan, diawasi oleh

diri sendiri sekaligus merupakan koreksi terhadap diri sendiri. Semua hal

tersebut dilakukan secara teliti karena dikendalikan oleh berbagai tolok ukur

yang berasal dari pemikiran yang berkualitas. Hal ini berkaitan dengan

kemampuan komunikasi yang baik dan kemampuan menyelesaikan masalah

yang dimiliki manusia.



b. Berpikir Kritis dan Indikator-Indikatornya

       Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan berpikir tingkat

tinggi. Beberapa ahli mendefinisikan pengertian dengan cara yang berbeda-

beda. Hal ini sesuai dengan pendapat Cotton (1991) yang menyatakan bahwa

tidak ada kesepakatan secara universal mengenai pengertian berpikir kritis.

       Menurut pendapat Ennis (1996:4) berpikir kritis didefinisikan sebagai

cara berpikir reflektif dan beralasan yang difokuskan pada pengambilan

keputusan tentang apa yang harus diyakini dan dikerjakan. Reflektif artinya

mempertimbangkan       atau   memikirkan     kembali   segala   sesuatu    yang

dihadapinya sebelum mengambil keputusan. Beralasan artinya memiliki

keyakinan dan pandangan yang didukung oleh bukti yang tepat, aktual,

cukup, dan relevan.
Menurut Ennis (dalam Baron dan Sternberg, 1987: 12-15) terdapat

  dua belas indikator berpikir kritis yang dikelompokkan dalam lima

  kemampuan berpikir yaitu :

 1.   Memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification)
 2.   Membangun keterampilan dasar (basic support)
 3.   Membuat kesimpulan (inferring)
 4.   Membuat penjelasan lebih lanjut (advanced clarification)
 5.   Mengatur strategi dan taktik (strategies and tactics)

          Kelima kelompok indikator berpikir tersebut diuraikan lebih lanjut
  pada tabel berikut :




                  Indikator Kemampuan Berpikir Kritis
Kemampuan
                  Sub Kemampuan
Berpikir                          Penjelasan
                  Berpikir Kritis
Kritis
1. Memberikan    1. Memfokuskan      a. Mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan
   penjelasan       pertanyaan       b. Mengidentifikasi      kriteria-kriteria untuk
   sederhana                            mempertimbangkan jawaban yang mungkin
                                     c. Menjaga kondisi pikiran
                 2. Menganalisis     a. Mengidentifikasi kesimpulan
                    argumen          b. Mengidentifikasi alasan yang dinyatakan
                                        (eksplisit)
                                     c. Mengidentifikasi alasan yang tidak dinyatakan
                                        (implisit)
                                     d. Mengidentifikasi      ketidakrelevanan    dan
                                        kerelevanan
                                     e. Mencari persamaan dan perbedaan
                                     f. Mencari struktur dari suatu argumen
                                     g. Merangkum
                 3. Bertanya     dan a. Mengapa
                    menjawab         b. Apa intinya, apa artinya
                    pertanyaan yang c. Apa contohnya dan apa yang bukan contoh
                    membutuhkan      d. Bagaimana menerapkannya dalam kasus
                    penjelasan          tersebut
                                     e. Perbedaan apa yang membedakannya
                                     f. Akankah anda menyatakannya lebih dari itu
2. Membangun 1. Mepertimbangkan        a. Ahli
   keterampilan kredibilitas           b. Tidak adanya konflik interest
   dasar        (kriteria    suatu     c. Kesepakatan antar sumber
                sumber)                d. Reputasi
                                       e. Menggunakan prosedur yang ada
                                       f. Mengetahui resiko
                                       g. Kemampuan memberi alasan
                                       h. Kebiasaan hati-hati
                 2. Mengobservasi      a. Ikut terlibat dalam menyimpulkan
                    dan                b. Dilaporkan oleh pengamat sendiri
                    mempertimbangk c. Mencatat hal-hal yang diinginkan
                    an hasil observasi d. Penguatan dan kemungkinan penguatan
                                       e. Kondisi akses yang baik
                                       f. Penggunaan teknologi kompeten
                                       g. Kepuasan observer atas kredibilitas kriteria
3. Membuat       1. Melakukan      dan a. Kelompok yang logis
   kesimpulan       mempertimbangk b. Kondisi yang logis
                    an deduksi         c. Interpretasi pernyataan


                 2. Melakukan      dan   a. Membuat generalisasi
                    mempertimbangk       b. Membuat kesimpulan dan hipotesis
                    an induksi
                 3. Membuat        dana. Latar belakang fakta
                    mempertimbangk    b. Konsekuensi
                    an nilai keputusanc. Penerapan prinsip-prinsip
                                      d. Memikirkan alternatif
                                      e. Menyeimbangkan,memutuskan
4. Membuat      1. Mendefinisikan      Ada tiga dimensi:
   penjelasan      istilah        dan a. Bentuk: sinonim, klasifikasi, rentang, ekspresi
   lebih lanjut    mempertimbangk        yang sama, operasional, contoh dan non contoh
                   an nilai keputusan b. Strategi definisi (tindakan mengidentifikasi
                                         persamaan)
                                      c. Konten (isi)
                2. Mengidentifikasi a. Penalaran secara implisit
                   istilah        dan b. Asumsi yang diperlukan, rekonstruksi argumen
                   mempertimbangk
                   an definisi
5. Mengatur     1. Memutuskan         a. Mendefinisikan masalah
   strategi dan    suatu tindakan     b. Menyelesaikan kriteria untuk membuat solusi
   taktik                             c. Merumuskan alternatif yang memungkinkan
                                      d. Memutuskan hal-hal yang akan dilakukan
                                         secara tentatif
                                      e. Mereview
                                      f. Memonitor implementasi

                 2. Berinteraksi
                   dengan orang lain
7.   Berpikir Kritis dalam Matematika

       Cara berpikir kritis berbeda dalam disiplin ilmu yang satu dengan

yang lain. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan dasar yang digunakan dalam

setiap disiplin ilmu tidak sama. Agar dapat melaksanakan berpikir kritis

dalam disiplin ilmu tertentu, menurut Poedjiadi (1999), kita harus terlebih

dahulu menguasai terminologi, konsep-konsep, dan metodologi disiplin ilmu

tersebut.

       Matematika sebagai suatu disiplin ilmu memiliki           karakteristik

yang berbeda dengan disiplin ilmu lainnya. Matematika mempelajari tentang

pola keteraturan, tentang struktur yang terorganisasikan. Hal itu dimulai dari

unsur-unsur yang tidak terdefinisikan kemudian ke unsur yang didefinisikan,

ke aksioma/postulat, dan akhirnya pada teorema (Ruseffendi, 1980: 50).

Sementara      Soleh (1998) menyebutkan bahwa ada lima ciri yang

membedakan matematika dari disiplin ilmu lain. Kelima ciri matematika itu

adalah objek pembicaraannya abstrak, pembahasannya menggunakan tata

nalar, konsep-konsepnya hierarkis dan konsiten, adanya perhitungan dan

pengerjaan (operasi), dan dapat dialihgunakan dalam kehidupan sehari-hari.

       Matematika tersusun mulai dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan,

berkembang ke unsur-unsur yang didefinisikan, terus ke aksioma atau

postulat    sampai   ke   dalil-dalil   atau   teorema.   Komponen-komponen

matematika ini membentuk suatu sistem yang saling berhubungan dan

terorganisir dengan baik. Menurut Suria Sumantri (1998), dalam matematika

kebenaran dibuktikan dengan jalan memeriksa konsistensi suatu konsep
dengan konsep-konsep sebelumnya yang telah dianggap benar. Kebenaran

matematika tidak tergantung pada pembuktian secara empiris melainkan pada

pembuktian secara deduktif.

           Mengingat karakteristik matematika yang tidak sama dengan disiplin

lainnya, maka definisi bepikir kritis dalam matematika tentunya harus sesuai

dengan konsepsi dan metodologi matematika. Selain harus memuat

komponen berpikir kritis, definisi tersebut harus memuat karakteristik

(terminologi, konsep-konsep, dan metodologi) matematika. Salah satu

definisi yang memuat kedua pernyataan itu dikemukakan oleh Glazer (2002)

yang menyatakan berpikir kritis dalam matematika adalah ketrampilan

kognitif dan disposisi untuk menggabungkan pengetahuan, penalaran, serta

strategi     kognitif   dalam   membuat      generalisasi,   membuktikan,   dan

mengevaluasi situasi matematika yang tidak dikenali dengan cara reflektif.

           Glazer menyebutkan syarat-syarat untuk berpikir kritis dalam

matematika, syarat-syarat yang dimaksud adalah:

           1. Adanya situasi yang tidak dikenal atau akrab sehingga seorang

             individu tidak      dapat secara langsung mengenali konsep

             matematika atau mengetahui bagaimana menentukan solusi suatu

             masalah.

           2. Menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya, penalaran

             matematika, dan strategi kognitif.

           3. Menghasilkan generalisasi, pembuktian dan evaluasi.

           4. Berpikir reflektif yang melibatkan pengkomunikasian suatu solusi,

             rasionalisasi argumen, penentuan cara lain untuk menjelaskan
suatu konsep atau memecahkan suatu masalah, dan pengembangan

          studi lebih lanjut.



8. Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis melalui Pembelajaran

  Matematika

       Matematika mempunyai peranan beragam pengertian tergantung

bagaimana seseorang memandang dan memanfaatkan matematika dalam

kegiatan hidupnya. Dalam kegiatan hidupnya setiap orang akan terlibat

dengan matematika, hal ini menggambarkan karakteristik matematika sebagai

suatu kegiatan manusia atau “mathematics as human activity”. Pandangan

matematika sebagai suatu kegiatan manusia mamuat matematika sebagai

suatu proses yang aktif, dinamik dan generatif, serta sebagai ilmu yang

mengembangkan sikap berpikir kritis, objektif dan terbuka (Sumarmo, 2003).

Oleh karena itu peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dapat dilakukan

melalui kegiatan pembelajaran matematika.

       Peningkatan kemampuan berpikir kritis telah terbukti dapat dilakukan

seperti apa yang diungkapkan Cotton (1991) bahwa meskipun banyak orang

percaya kita lahir dengan atau tanpa kemampuan berpikir kritis, riset telah

memperlihatkan kemampuan berpikir kritis dapat diajarkan dan dapat

dipelajari. Untuk mengajarkan atau memfasilitasi siswa agar kemampuan

berpikir kritisnya berkembang, maka diperlukan situasi pembelajaran yang

dirancang secara tepat.

       Pembelajaran yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan

berpikir kritis harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan

eksplorasi, baik melalui pemberian soal yang tidak bersifat prosedural
ataupun pemberian materi yang tidak secara langsung kepada siswa. Artinya

siswa harus dilibatkan secara aktif dalam menemukan konsep. Hal ini sejalan

dengan pendapat Glazer (2004:6) bahwa kondisi untuk berpikir kritis dalam

matematika harus memuat:

        a. Situasi yang tidak rutin (tidak biasa) sehingga individu tidak dapat

           dengan cepat memahami konsep matematika atau mengetahui

           bagaimana menentukan solusi persoalan ;

        b. Penggunaan pengetahuan awal, penalaran dan strategi kognitif;

        c. Generalisasi, pembuktian dan evaluasi; berpikir reflektif yang

           melibatkan pengkomunikasian solusi dengan penuh pertimbangan,

           membuat makna tentang jawaban atau argumen yang masuk akal,

           dan atau membangkitkan perluaan studi selanjutnya.

        Pendapat      lain   mengenai   pembelajaran    untuk   meningkatkan

kemampuan berpikir kritis, menurut Zohar dkk (dalam Maulana, 2006: 24)

dapat dilakukan melalui pembelajaran yang bersifat student-centered, yakni

pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dalam pembelajaran serupa ini, guru

memberikan kebebasan berpikir dan keleluasaan bertindak kepada siswa

dalam memahami pengetahuan serta memecahkan masalahnya. Guru

memberikan keleluasaan seluas-luasnya kepada siswa untuk menemukan

cara-cara baru. Dengan aktifnya siswa belajar diharapkan siswa tidak hanya

mengingat fakta-fakta, aturan-aturan dan prosedur-prosedurnya, akan tetapi

mereka dapat mengerjakan dan menyelesaikan masalah matematika secara

kritis dan kreatif.
Pembentukan suasana yang kondusif untuk mengajarkan berpikir

kritis kepada siswa seperti yang dikemukakan oleh Cotton (1991) adalah

dengan mengatur lingkungan kelas agar dapat berperan secara optimal,

merencanakan aktivitas pembelajaran yang baik, memberikan penghargaan

pada setiap respon yang disampaiakan siswa, bersikap fleksibel terhadap

jawaban atau pendapat siswa, menerima perbedaan individual, membuat

model sesuai kebutuhan, memberikan kesempatan kepada siswa untuk

berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran, dan menggunakan model

mengajar yang bervariasi.

       Applebaum      (1999)   menyatakan       bahwa    untuk   meningkatkan

kemampuan berpikir kritis didalam proses belajar mengajar matematika

disekolah, dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

       a. Meminta siswa untuk menemukan algoritma serta selalu mencari

          cara lain untuk menyelesaikan masalah;

       b. Membangun suatu aktivitas untuk memfasilitasi siswa untuk

          meningkatkan dan menyempurnakan kemampuan berpikir kritis

          yaitu dengan cara : membandingkan, membedakan, membuat

          konjektur, membuat induksi, membuat generalisasi, membuat

          spesialisasi, membuat klasifikasi, mengelompokan, melakukan

          proses deduksi, membuat visualisasi,          mengurutkan, mambuat

          prediksi,   membuat      validasi,    membuktikan,     menganalisis,

          mengevaluasi, dan membuat pola;

       c. Meminta siswa untuk menentukan hubungan fungsional diantara

          satu variabel dengan variabel lain;
d. Menggunakan bernagai cara dalam mempelajari suatu topik;

            e. Meminta siswa mempelajari bagaimana matematika disajikan atau

              dipresentasikan beserta alasannya.

            f. Mengumpulkan data yang ditemukan siswa, fakta-fakta yang

              mereka kumpulkan dalam lebih dari dua cara, dan konjektur-

              konjektur atau argument yang mereka percaya merupakan sentral

              dari ringkasan materi yang mereka pelajari untuk dijadikan bahan

              diskusi lebih lanjut.

              Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir

   kritis     dapat dikembangkan melalui pembelajaran matematika. Guru

   memegang peranan penting dalam mendesain pembelajaran matematika yang

   memberikan kesempatan luas kepada siswa untuk menumbuh kembangkan

   kemampuan berpikir kritis. Peran guru dalam memberikan stimulus dan

   memelihara lingkungan berpikir kritis merupakan hal yang krusial. Tanpa

   adanya peranan dari guru, kemampuan berpikir kritis tersebut tidak akan

   berkembang secara maksimal. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka

   dalam penelitian ini kemampuan berpikir kritis yang akan dikaji meliputi

   kemampuan mengidentifikasi konsep, menggeneralisasi, serta membuat

   deduksi.



F. Kerangka Berpikir

            Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu menghadapi banyak masalah.

   Permasalahan-permasalahan itu tentu saja tidak semuanya merupakan

   permasalahan matematis, namun matematika memiliki peranan yang sangat
sentral dalam menjawab permasalahan keseharian itu. Oleh karena itu cukup

beralasan jika pemecahan masalah menjadi “trend” dalam pembelajaran

matematika belakangan ini.

         Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika

yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran siswa dimungkinkan

memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang

sudah dimilikinya untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat

tidak rutin.

         Beberapa studi tentang kemampuan berpikir kritis matematis tingkat

tinggi mengimplementasikan pendekatan pembelajaran tidak langsung,

pendekatan gabungan langsung dan tidak langsung. Hasil studinya

menunjukkan bahwa pendekatan tidak langsung dan pendekatan gabungan

secara signifikan lebih baik dalam meningkatkan kemampuan berpikir

matematis tingkat tinggi siswa disbanding pendekatan langsung.

         Maulana (2006: 126) menyimpulkan bahwa kemampuan berpikir

kritis   mahasiswa   yang      mengikuti   pembelajaran   matematika     dengan

menggunakan     pendekatan      metakognitif   lebih   baik   secara   signifikan

dibandingkan dengan mahasiswa yang belajar secara konvensional.

         Suriadi (2006) menyimpulkan bahwa kemampuan pemahaman dan

berpikir kritis matematis yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan

discovery lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan siswa yang

belajar secara konvensional.

         Dalam penelitian ini masalah yang akan dikaji berkaitan dengan

penggunaan metode Student Facilitator and Explaining melalui Pembelajaran
Kooperatif untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir

kritis matematis siswa SMA. Hal ini dilakukan karena belum ada penelitian

sebelumnya yang mengkaji masalah tersebut.



    G.      Definisi Operasional

          Agar tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai hal-hal yang

dimaksudkan dalam penelitian ini, maka penulis memberikan definisi

operasional sebagai berikut:

1. Metode Pembelajaran Student Facilitator and Explaining

         Metode Pembelajaran Student Facilitator and Explaining merupakan

metode pembelajaran dimana siswa belajar mempresentasikan ide/pendapat

pada rekan siswa lainnya. Metode ini diharapkan siswa mampu menerangkan

dengan bagan atau peta konsep. Selain itu juga metode ini merupakan tipe

model pembelajaran kooperatif dengan menggunakan kelompok-kelompok

kecil dengan jumlah anggota dari tiap kelompok 4-5 orang siswa secara

heterogen. Diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran, penyampaian

materi, kegiatan kelompok, dan penghargaan kelompok.

2. Pembelajaran Langsung

         Pembelajaran langsung merupakan pembelajaran yang menuntut

keaktifan guru karena materi pelajaran diajarkan langsung kepada

siswa.Siswa tidak dituntut untuk menemukan materi karena materi pelajaran

diajarkan seakan-akan sudah jadi. Pembelajaran langsung disajikan melalui

lima tahap yaitu menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa,

mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan, membimbing pelatihan,
mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik, dan memberikan

kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan.

3. Kemampuan Pemecahan Masalah

       Kemampuan pemecahan masalah matematik adalah kemampuan

menggunakan informasi dan pengetahuan dalam upaya mencari jalan keluar

dari suatu permasalahan matematik yang dilakukan untuk mencapai tujuan

tertentu dengan langkah penyelesaiannya menggunakan fase penyelesaian

menurut polya yang terdiri dari: memahami masalah, merencanakan

penyelesaian, melakukan perhitungan dan memeriksa kembali hasil terhadap

semua langkah yang telah dikerjakan. Kemampuan pemecahan masalah

dilihat dari tes kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.

4. Pengaruh penggunaan metode pembelajaran Student Facilitator and
   Explaining.

             Penggunaan metode pembelajaran Student Facilitator and

Explaining      dikatakan mempunyai pengaruh positif jika kemampuan

pemecahan     masalah   matematik   siswa   yang     menggunakan   metode

pembelajaran Student Facilitator and Explaining lebih baik dari siswa yang

menggunakan pembelajaran langsung.



5. Kesulitan Siswa dalam Pemecahan Masalah Matematis

       Kesulitan dalam matematika dikategorikan dalam tiga jenis yaitu :

kesulitan dalam mempelajari konsep, kesulitan dalam menerapkan konsep,

kesulitan dalam menyelesaikan masalah verbal. Siswa dianggap mengalami

kesulitan pada tahap tertentu jika pada tahap itu siswa memperoleh nilai
́
                X
kurang dari          mnimun   atau tidak memberikan jawaban dan siswa dianggap

tidak mengalami kesulitan jika siswa memperoleh nilai lebih dari atau sama

           ́
           X
dengan               .Dalam penelitian ini skor maksimum tiap tahap bervariasi
               minimum



untuk tiap tahap pokok uji.

   H.       Hipotesis Penelitian

         Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang

  memperoleh         pembelajaran dengan metode Student Facilitator and

  Explaining melalui pembelajaran kooperatif lebih baik daripada siswa

  yang memperoleh pembelajaran langsung.

2. Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh

  pembelajaran dengan metode Student Facilitator and Explaining melalui

  pembelajaran kooperatif lebih baik daripada siswa yang memperoleh

  pembelajaran langsung.

3. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan                pemecahan masalah

  matematik siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang memperoleh

  pembelajaran       kooferatif     dengan   metode   Student    Facilitator   and

  Explaining.

4. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis

  siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang memperoleh pembelajaran

  kooperatif dengan metode Student Facilitator and Explaining.
5. Terdapat korelasi positif antara pemecahan masalah matematik dan

  kemampuan berpikir kritis matematis siswa melalui pembelajaran

  kooperatif dengan metode Student Facilitator and Explaining.



   I.     Penelitian yang Relevan

        Beberapa studi tentang hasil penelitian terdahulu yang mendukung

permasalahan penelitian, diantaranya upaya peningkatkan implementasi siswa

ditinjau dari kemampuan awal siswa, kemampuan terhadap komunikasi

matematik, kemampuan pemahaman, pemecahan masalah dan berpikir kritis

melalui berbagai macam model pembelajaran.

        Sejumlah studi (Wardani, 2002; Ratnaningsih, 2003; dan Prabawati,

2011) secara umum melaporkan hasil belajar matematika dalam berbagai

aspek berpikir tingkat tinggi melalui berbagai model pembelajaran tergolong

antara cukup dan baik.

        Arum, Handini (2010) menyimpulkan bahwa kemampuan pemecahan

masalah    matematik     siswa   dapat   meningkat   setelah   dilaksanakan

pembelajaran matematika dengan model kooperatif tipe Think-Pair-Square

pada pokok bahasan bangun ruang.

        Berkaitan   dengan   pembelajaran    yang    menggunakan    metode

pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining, hasil penelitian

Lesrati (2011) menunjukkan bahwa pembelajaran dengan metode Student

Facilitator and Explaining dapat meningkatkan impelemtasi siswa jika

ditinjau dari kemampuan awal siswa.
Suriadi (2006) menyimpulkan bahwa kemampuan pemahaman dan

berpikir kritis matematis yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan

discovery lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan siswa yang

belajar secara konvensional.

         Selanjutnya penelitian yang diajukan Mufrika, Tika (2010) masih

dengan model pembelajaran koopertaif metode Student Facilitator and

Explaining diperoleh nilai thit kemampuan komunikasi matematika siswa

yang diajarkan dengan metode Student Facilitator and Explaining (SFE) lebih

tinggi dan signifikan daripada rata-rata kemampuan komunikasi matematika

siswa yang diajarkan dengan metode konvensional.



    J.      Desain Penelitian

         Dalam menjawab pertanyaan dalam penelitian ini, yaitu untuk melihat

sejauh mana pengaruh penggunaan metode Student Facilitator and

Explaining melalui pembelajaran kooperatif terhadap kemampuan pemecahan

masalah matematik dan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMK,

maka penelitian ini didesain dalam studi eksperimen dengan desain berbentuk

randomized pre test-post test control group design.

         Penelitian ini akan mengambil sampel sebanyak dua kelas yang

homogen sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan pembelajaran

berbeda. Kelas eksperimen menggunakan pembelajaran dengan metode

Student Facilitator and Explaining dan kelas kontrol menggunakan

pembelajaran langsung. Dengan demikian,          desain penelitiannya dapat

digambarkan (Russefendi, E.T.,2005:45) sebagai berikut:
A       O1      X1     O2

   A X2 O 1         -    O2

    Keterangan :

    A     = Pemilihan sampel secara acak kelas

    O1     = Tes awal (pretes)

   O2      = Tes akhir (Postes)

    X     = Perlakuan berupa pembelajaran kooperatif dengan metode

            Student Facilitator and Explaining.




   K.       Populasi dan Sampel

a. Populasi

         Arikunto Suharsimi (2010:130) “Populasi adalah keseluruhan subjek

penelitian. Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam

wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi”.

b. Sampel

         Sudjana (2005:6) berpendapat, “Sampel merupakan bagian dari

populasi, seluruh populasi dianggap semua dan mempunyai kesempatan yang

sama pula untuk dijadikan sampel dari penelitian“. Sampel dalam penelitian

ini akan diambil sebanyak dua kelas berdasarkan random menurut kelas.

Alasan menggunakan sampel random menurut kelas karena kemampuan

siswa setiap kelas memiliki karakteristik yang sama yaitu terdiri dari siswa

berkemampuan kurang, sedang dan pandai.
L.         Instrumen Penelitian

        Menurut Arikunto, Suharsimi ( 2006:160) “Instrumen penelitian

adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan

data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih

cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah”. Instrumen

digunakan untuk memperoleh data yang digunakan untuk menjawab

penelitian.

        Penelitian ini melibatkan dua jenis instrumen yaitu tes dan non-tes.

Instrumen dalam bentuk tes terdiri dari seperangkat tes pemecahan masalah

matematik dan tes berpikir kritis matematis. Sedangkan instrumen dalam

bentuk non-tes melibatkan skala sikap siswa. Masing-masing bentuk tes di

atas diuraikan sebagai berikut:

1. Tes Pemecahan Masalah

        Soal tes pemecahan masalah di dalam penelitian ini berbentuk soal

uraian sebanyak 4 soal. Tes pemecahan masalah yang          berbentuk uraian

bertujuan untuk mengetahui proses berfikir, keterkaitan, dan sistematika

pekerjaan siswa.

        Di dalam penskoran pemecahan masalah terdapat poin-poin atau skor

pada setiap langkah yang dikerjakan. Pada pedoman penskoran pemecahan

masalah yang dikemukakan, Shcoen dan Ochmke (Wardani, Sri, 2002:16)

bahwa setiap langkah memiliki skor yang berbeda.

                                     Tabel
                    Pedoman Pemberian Skor Pemecahan Masalah

                    Memahami         Merencanakan   Melakukan     Memeriksa
          Skor
                    masalah          penyelesaian   perhitungan   kembali hasil
               0    Salah            Tidak ada      Tidak         Tidak ada
menginterpre    rencana,           melakukan      pemeriksaan
                 tasikan/salah   membuat            perhitungan    atau tidak ada
                 sama sekali     rencana yang                      keterangan
                                 tidak relevan                     lain
                 Salah           Membuat            Melakukan      Ada
                 menginterpre    rencana yang       prosedur       pemeriksaan
                 tasikan soal,   benar tapi         yang benar     tetapi tidak
                 mengabaikan     salah dalam        dan mungkin    tuntas
           1     soal            hasil, tidak ada   menghasilkan
                                 hasil              jawaban
                                                    benar tapi
                                                    salah
                                                    perhitungan
                  Memahami Membuat                  Melakukan      Pemeriksaan
                 masalah soal rencana yang          proses yang    dilakukan
                 selengkapnya benar dan             benar dan      untuk melihat
           2
                              mendapatkan           mendapatkan    kebenaran
                              hasil yang            hasil yang     proses
                              benar                 benar
                              Membuat
                              rencana yang
           3
                              benar tetapi
                              belum lengkap
                              Membuat
                              rencana sesuai
                              dengan
           4                  prosedur dan
                              pengaruh pada
                              solusi yang
                              benar
                 Skor         Skor maksimal         Skor           Skor
                 maksimal 2   4                     maksimal 2     maksimal 2

       Sumber: Wardani, Sri (2002 : 16)

2. Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

       Tes kemampuan berpikir kritis pada penelitian ini terdiri dari 6 soal

berbentuk uraian. Tes ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa

dalam menyelesaikan soal-soal tidak rutin.

       Kriteria pemberian skor tiap butir soal dalam tes ini menurut pedoman

penskoran soal-soal, dimana setiap butir soal mempunyai bobot nilai
maksimal 4 dan minimal 0. Adapun kriteria penskoran mengacu pada teknik

penskoran Hancock (1995) seperti dijelaskan pada tabel berikut ini:


             Penskoran Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
            Keterangan jawaban                    Nilai
    1.                       Jawaban
          lengkap dan benar untuk
          pertanyaan yang diberikan
    2.                       Illustrasi
          ketrampilan         pemecahan            4
          masalah,     penalaran,       dan
          komunikasinya         sempurna
          (excellent)
    3.                       Jika
          jawaban terbuka, jawaban
          semuanya benar
    4.                       Pekerjaann
          ya ditunjukkan dan atau
          dijelaskan clearly
    5.                       Memuat
          sedikit kesalahan

    6.                     Jawaban
          benar untuk masalah yang
          diberikan
    7.                     Illustrasi
          ketrampilan       pemecahan                      3
          masalah,    penalaran       dan
          komunikasi baik (good)
    8.                     Jika
          jawaban terbuka, banyak
          jawaban yang benar
    9.                     Pekerjaann
          ya ditunjukkan dan atau
          dijelaskan
    10.                    Memuat
          beberapa kesalahan dalam
          penalaran matematika

    11.   Beberapa      jawaban     dari
          pertanyaan tidak lengkap
    12.   Illustrasi         ketrampilan
          pemecahan             masalah,
          penalaran dan komunikasinya
          cukup (fair)                                     2
    13.     Kekurangan dalam berpikir
tingkat tinggi terlihat jelas
    14.   Penyimpulan terlihat tidak
          akurat
    15.   Muncul beberapa keterbatasan
          dalam pemahaman konsep
          matematika
    16.   Banyak        kesalahan       dari
          penalaran matematika yang
          muncul
    17.   Muncul        masalah      dalam
          meniru ide matematika tetapi
          tidak dikembangkan
    18.   Ketrampilan          pemecahan
          masalah, penalaran dan atau                     1
          komunikasi kurang (poor)
    19.   Banyak kesalahan perhitungan
          yang muncul
    20.   Terdapat sedikit pemahaman
          matematisa                   yang
          diilustrasikan
    21.   Siswa       jarang      mencoba
          beberapa hal

    22.   Keseluruhan jawaban tidak
          ada atau tidak Nampak
    23.   Tidak muncul ketrampilan
          pemecahan           masalah,
          penalaran atau komunikasi                       0
    24.   Sama sekali pemahaman
          matematisanya tidak muncul
    25.   Terlihat     jelas   bluffing
          (mencoba-coba, menebak)
    26.   Tidak      menjawab    semua
          kemungkinan yang diberikan




3. Skala Sikap Siswa

       Skala sikap diberikan kepada siswa kelas eksperimen setelah

memperoleh pembelajaran kooperatif dengan metode Student Facilitator and

Explaining. Sikap yang dilihat meliputi sikap terhadap pelajaran matematika,

sikap terhadap pembelajaran kooperatif dengan metode Student Facilitator
and Explaining, dan sikap terhadap soal-soal yang mengukur pemecahan

masalah matematik dan kemampuan berpikir kritis matematis.



        Model skala sikap yang digunakan adalah model skala sikap Likert,

dengan pilihan jawaban SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju)

dan STS (Sangat Tidak Setuju). Untuk melihat kecenderungan sikap siswa ke

arah positif atau negatif, diberikan penskoran dimana untuk pernyataan positif

SS memiliki nilai 4, pernyataan S memiliki nilai 3, pernyataan TS memiliki

nilai 2 dan pernyataan STS memiliki nilai 1. Sedangkan untuk pernyataan

negatif dengan pemberian skor sebaliknya dari pernyataan positif.



   M.     Prosedur Pengumpulan Data

        Penelitian ini menggunakan dua macam cara pengumpulan data yaitu

melalui tes dan angket. Tes dilaksanakan sebelum dan sesudah pembelajaran.

Sebelum pembelajaran diadakan tes awal (pretes), bertujuan untuk

mengetahui penguasaan materi dan kemampuan awal siswa pada kedua

kelompok. Sedangkan tes sesudah pembelajaran berupa tes pemecahan

masalah matematis serta berpikir krititis matematis yang bertujuan untuk

mengetahui kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal non-rutin pada

aspek-aspek tersebut.

        Skala sikap diberikan kepada siswa kelompok eksperimen setelah

seluruh kegiatan dalam pembelajaran kooperatif dengan metode Student

Facilitator and Explaining    berakhir. Pengisian skala sikap ini bertujuan

untuk mengetahui sikap siswa terhadap model pembelajaran kooperatif
dengan metode Student Facilitator and Explaining dan soal-soal pemecahan

masalah serta berpikir kritis matematis.



   N.      Metode Analisis Data

        Analisis data yang digunakan, yaitu data kuantitatif berupa hasil tes

kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemampuan berpikir kritis

matematis siswa dan data kualitatif berupa skala sikap siswa.

1) Data kuantitatif

        Analisis data hasil tes dimaksudkan untuk mengetahui besarnya

peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemampuan

berpikir kritis matematis siswa, sehingga data primer hasil tes siswa sebelum

dan setelah perlakuan penerapan metode pembelajaran kooperatif Student

Facilitator and Explaining dianalisis dengan cara membandingkan skor

pretes dan postes. Perbandingan skor ini dinyatakan dengan nilai gainnya .

        Menyatakan gain dalam hasil proses pembelajaran tidaklah mudah.

Misalnya, siswa yang memiliki gain 2 dari 5 ke 7 dan siswa yang memiliki

gain 2 dari 8 ke 10 dengan skor maksimal 10. Gain absolut menyatakan

bahwa kedua siswa memiliki gain yang sama. Secara logis seharusnya siswa

yang kedua memiliki gain yang lebih tinggi dari siswa yang pertama. Hal ini

karena usaha untuk meningkatkan dari 8 ke 10 akan lebih berat daripada

meningkatkan dari 5 ke 7. Menyikapi kondisi bahwa siswa memiliki gain

absolut sama belum tentu memiliki gain hasil belajar yang sama, Meltzer

(Lestari, 2008) mengembangkan sebuah alternatif untuk menjelaskan gain

yang disebut gain ternormalisasi.
Menghitung gain ternormalisasi dengan rumus:



                     postes− prete s
            g=
                 skor maksimal− pretes                   (Meltzer dalam Lestari,


                                         2008)


Tabel Kriteria Indeks Gain
    Interval          Kriteria
  g >0,7                        Tinggi

  0,3< g ≤ 0,7                 Sedang

  g ≤ 0,3                      Rendah


(Hake dalam Lestari, 2008)

Hipotesis statistik yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

H0 : 1(eksperimen) = 2(kontrol)

H1 : 1(eksperimen) > 2(kontrol)

Hipotesis 1 :

H0     : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara peningkatan

            kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang memperoleh

            pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining dengan

            siswa yang memperoleh pembelajaran langsung.

H1     : Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang

            memperoleh pembelajaran kooperatif         Student Facilitator and

            Explaining         secara signifikan lebih baik daripada siswa yang

            memperoleh pembelajaran langsung.

Hipotesis 2 :
H0     : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara peningkatan berpikir

            kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif

            Student Facilitator and Explaining dengan siswa yang memperoleh

            pembelajaran langsung.

H1     :     Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang

            memperoleh pembelajaran                  kooperatif   Student Facilitator and

            Explaining        secara signifikan lebih baik daripada siswa yang

            memperoleh pembelajaran langsung.

           Untuk menguji hipotesis ke-1 dan 2 digunakan uji perbedaaan dua

rata-rata (uji-t) dengan taraf signifikan  = 0,05 dan derajat kebebasan dk=

(ne + nk – 2), H0 diterima jika thitung < ttabel (Ruseffendi,1998:278). Adapun

langkah-langkah uji perbedaan rata-rata sebagai berikut.

a) Menghitung rata-rata skor hasil pretes dan postes menggunakan rumus

     sebagai berikut:
                                     k

                                 ∑x          i
                          x=        i =1

                                         n
                                                 .



                                         Ruseffendi (1998: 76)

b) Menghitung standar deviasi pretest dan postest menggunakan rumus:

                                k
                                    ( xi − x ) 2
                         s=    ∑ n
                               i =1
                                                     .                 (Ruseffendi, 1998)


c) Menguji normalitas data skor pretes dan postes.
Uji normalitas diperlukan untuk menguji apakah data berdistribusi normal

atau tidak. Menguji normalitas data menggunakan uji Chi Kuadrat dengan

hipotesis sebagai berikut.

H0 = sebaran data berdistribusi normal

H1 = sebaran data tidak berdistribusi normal

Kriteria:
                            2         2
Hipotesis nol ditolak jika ❑hitung ≥ ❑tabel

                                    2          2
Hipotesis nol diterima jika ❑hitung <❑tabel

        2       2
Dengan ❑tabel =❑(1−α )( j −3 ) .


Untuk α=0,05 dan j merupakan banyaknya kelas interval.

Statistik uji Chi-kuadrat yang digunakan adalah:

                           ( fe − fo ) 2
                  χ2 =∑
                                   fe
                                           .            (Ruseffendi, 1998)

Keterangan:

f0 : frekwensi observasi
fe : frekwensi estimasi
d) Menguji homogenitas varians.

Uji homogenitas varians digunakan untuk menguji kesamaan varians dari

skor pretes, postes dan gain pada kedua kelompok (kelompok kontrol dan

kelompok eksperiment) untuk kemampuan pemahaman dan pemecahan

masalah matematik. Adapun hipotesis statistik yang digunakan adalah:

Hipotesis:
2   2
H0 : σ A =σ B , varians kelompok eksperimen tidak terdapat perbedaan

dengan varians kelompok kontrol
       2    2
H1 : σ A ≠ σ B , varians kelompok eksperimen tidak sama dengan varians

kelompok kontrol

Kriteria uji homogenitas adalah:

                                 F hitung > F tabel
Hipotesis nol ditolak jika

                                 F hitung ≤ F tabel
Hipotesis nol ditolak jika




Untuk menguji hipotesis tersebut, digunakan uji-F sebagai berikut.
                                 2
                               sA
                       F=
                               sB
                                 2                                    (Ruseffendi, 1998)


Keterangan:

  s2
   A   = varians kelompok eksperimen
   2
 sB    = varians kelompok kontrol

e) Sebaran data normal dan homogen, maka uji signifikansi dengan statistik
   uji-t sebagai berikut:

                                             x 1− x 2
                                             ́ ́
                     t=

                          √
                                         2              2
                              ( n 1−1 ) s1 + ( n 2−1 ) s 2 1         1
                                     n 1+ n2 −2             (n )
                                                             1
                                                                 +
                                                                     n2
                                                                          .



   (Sudjana, 2005)
Keterangan:
     x1
     ́
             = rata-rata sampel pertama

     x2
     ́
             = rata-rata sampel kedua
      2
     s1     = varians sampel pertama
      2
     s2     = varians sampel kedua

   n1 = banyaknya data sampel pertama
   n2 = banyaknya data sampel pertama
                               t hitung <t tabel                t tabel =t 1−α
   Kriteria: Terima H0 jika                            dengan                    untuk taraf


                                             dk ¿ n1 +n 2−2
   signifikansi α=0,05 dan derajat kebebasan

   Untuk distribusi data normal tetapi tidak homogen, digunakan uji hipotesis

   dengan uji-t’ sebagai berikut:

                                      x 1− x 2
                                      ́ ́
                              t '=

                                     √(   s1 s 2
                                           2

                                             + 2
                                          n1 n2    )                    (Sudjana, 2005)



2) Data kualitatif

          Dalam penelitian data kualitatif yang dianalisis adalah skala sikap.

Penganalisisan data hasil skala sikap dititik beratkan pada respons siswa

terhadap model pembelajaran yang diberikan, yaitu pembelajaran kooferatif

dengan metode Student Facilitator and Explaining. Untuk mengetahui

hubungan/kaitan antara pemecahan masalah matematis dengan kemampuan

berikir kritis siswa dengan menggunakan rumus korelasi product moment

dengan angka kasar (Arikunto, 2005: 72), yaitu:
N ∑ XY − (∑ X )( ∑ Y )
           rxy =
                   { N ∑ X 2 − ( ∑ X ) 2 }{ N ∑ Y 2 − ( ∑ Y ) 2 }

dengan rxy = Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y

       X = Skor pemecahan masalah matematis

       Y = Skor kemampuan berpikir kritis siswa

       N = Banyaknya siswa peserta tes

       Untuk menganalisis dan mendeskripsikan sikap siswa diperlukan

langkah-langkah sebagai berikut:

1. Pemberian Skor Skala sikap

       Penentuan skor skala sikap Likert dapat dilakukan secara apriori dan

dapat pula secara aposteriori (Subino, 1997). Secara apriori, maka bagi skala

yang berarah positif akan mempunyai kemungkinan-kemungkinan skor 4 bagi

SS, 3 bagi S, 2 bagi TS dan 1 bagi STS, sedangkan bagi skala yang berarah

negatif maka kemungkinan skor tersebut menjadi sebaliknya.

2. Memilih Butir-butir Skala Sikap

       Pemilihan butir-butir skala sikap Likert ini didasarkan kepada

signifikan tidaknya daya pembeda butir skala yang bersangkutan. Daya

pembeda butir-butir skala sikap Likert ini dianalisis dengan uji-t.

Statistik t dihitung dengan rumus :

                                          xT − x R
                                    t=
                                           S T2 S R
                                                  2
                                               +
                                           nT n R


dengan :
XT
        : Rata-rata skor kelompok tinggi
XR
        : Rata-rata skor kelompok rendah.

 S T2
         : Varians kelompok tinggi

  2
 SR
         : Varians kelompok rendah

 nT     : Banyaknya subjek pada kelompok tinggi
nR      : Banyaknya subjek pada kelompok rendah


3. Analisis Reliabilitas Skala Sikap

        Reliabilitas skala sikap dianalisis dengan menggunakan rumus Alpha,

setelah dilakukan seleksi terhadap butir-butir pernyataan yang memiliki Daya

Pembeda yang signifikan. Rumus dan kriterianya sama dengan perhitungan

reliabilitas instrumen tes, yaitu :

                                  n  ∑ σ i           
                                                    2

                              r =       1 −          
                                  n − 1 
                                              σ t2     
                                                        


dan kriteria reliabilitas dari Guilford.



4. Hasil Pengukuran Sikap dan Minat Siswa

        Hasil pengukuran sikap dan minat siswa dihitung rata-ratanya untuk

setiap butir pernyataan. Kemudian dibandingkan dengan rata-rata netralnya.

Apabila rata-rata skor untuk suatu pernyataan lebih besar dari rata-rata skor

netralnya, maka sikap dan minat siswa dikatakan positif terhadap pernyataan

tersebut.
25022013 siska ryane mpmt

Contenu connexe

Tendances

Lusi kurnia (06081181419023) tugas penelitian pendidikan
Lusi kurnia (06081181419023) tugas penelitian pendidikan Lusi kurnia (06081181419023) tugas penelitian pendidikan
Lusi kurnia (06081181419023) tugas penelitian pendidikan Lusi Kurnia
 
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah
Peningkatan kemampuan pemecahan masalahPeningkatan kemampuan pemecahan masalah
Peningkatan kemampuan pemecahan masalahLukman
 
Makalah seminar ispi
Makalah seminar ispiMakalah seminar ispi
Makalah seminar ispisrirejeki345
 
Problem Based Learning
Problem Based Learning Problem Based Learning
Problem Based Learning Izan M.Pd
 
Pembelajaran Matematika dengan Inkuiri Terbimbing
Pembelajaran Matematika dengan Inkuiri TerbimbingPembelajaran Matematika dengan Inkuiri Terbimbing
Pembelajaran Matematika dengan Inkuiri Terbimbingsrilinda_w
 
Proposal skripsi pendekatan problem solving
Proposal skripsi pendekatan problem solvingProposal skripsi pendekatan problem solving
Proposal skripsi pendekatan problem solvingelita takarai
 
7845 13951-1-pb
7845 13951-1-pb7845 13951-1-pb
7845 13951-1-pbFppi Unila
 
Resume problematika pendidikan matematika 1dari jurnal internasional
Resume problematika pendidikan matematika 1dari jurnal internasionalResume problematika pendidikan matematika 1dari jurnal internasional
Resume problematika pendidikan matematika 1dari jurnal internasionalMas Becak
 
Jurnal pendidikan matematika
Jurnal pendidikan matematikaJurnal pendidikan matematika
Jurnal pendidikan matematikaNurmalianis Anis
 
Berpikir kreatif+open ended
Berpikir kreatif+open endedBerpikir kreatif+open ended
Berpikir kreatif+open endedDini Safitri
 
20140305 yp01-stl01
20140305 yp01-stl0120140305 yp01-stl01
20140305 yp01-stl01Fppi Unila
 
contoh Jurnal Matematika
contoh Jurnal Matematikacontoh Jurnal Matematika
contoh Jurnal Matematikaimam syafii
 
KajianTindakan Matematik 2012
KajianTindakan Matematik 2012KajianTindakan Matematik 2012
KajianTindakan Matematik 2012marshiza
 
Pengaruh efektifitas pembelajaran dengan menggunanakan media animasi flash te...
Pengaruh efektifitas pembelajaran dengan menggunanakan media animasi flash te...Pengaruh efektifitas pembelajaran dengan menggunanakan media animasi flash te...
Pengaruh efektifitas pembelajaran dengan menggunanakan media animasi flash te...Edah Rossansen
 

Tendances (20)

Lusi kurnia (06081181419023) tugas penelitian pendidikan
Lusi kurnia (06081181419023) tugas penelitian pendidikan Lusi kurnia (06081181419023) tugas penelitian pendidikan
Lusi kurnia (06081181419023) tugas penelitian pendidikan
 
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah
Peningkatan kemampuan pemecahan masalahPeningkatan kemampuan pemecahan masalah
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah
 
Makalah seminar ispi
Makalah seminar ispiMakalah seminar ispi
Makalah seminar ispi
 
Proposal Penelitian (Pendidikan Matematika)
Proposal Penelitian (Pendidikan Matematika)Proposal Penelitian (Pendidikan Matematika)
Proposal Penelitian (Pendidikan Matematika)
 
Problem Based Learning
Problem Based Learning Problem Based Learning
Problem Based Learning
 
Pembelajaran Matematika dengan Inkuiri Terbimbing
Pembelajaran Matematika dengan Inkuiri TerbimbingPembelajaran Matematika dengan Inkuiri Terbimbing
Pembelajaran Matematika dengan Inkuiri Terbimbing
 
Masalah Pembelajaran Matematika
Masalah Pembelajaran MatematikaMasalah Pembelajaran Matematika
Masalah Pembelajaran Matematika
 
14. bab i
14. bab i14. bab i
14. bab i
 
Proposal skripsi pendekatan problem solving
Proposal skripsi pendekatan problem solvingProposal skripsi pendekatan problem solving
Proposal skripsi pendekatan problem solving
 
7845 13951-1-pb
7845 13951-1-pb7845 13951-1-pb
7845 13951-1-pb
 
Proposal SKRIPSI
Proposal SKRIPSIProposal SKRIPSI
Proposal SKRIPSI
 
Resume problematika pendidikan matematika 1dari jurnal internasional
Resume problematika pendidikan matematika 1dari jurnal internasionalResume problematika pendidikan matematika 1dari jurnal internasional
Resume problematika pendidikan matematika 1dari jurnal internasional
 
Jurnal pendidikan matematika
Jurnal pendidikan matematikaJurnal pendidikan matematika
Jurnal pendidikan matematika
 
Berpikir kreatif+open ended
Berpikir kreatif+open endedBerpikir kreatif+open ended
Berpikir kreatif+open ended
 
Problematika matematika
Problematika matematikaProblematika matematika
Problematika matematika
 
Thesis zamatun 2
Thesis zamatun 2Thesis zamatun 2
Thesis zamatun 2
 
20140305 yp01-stl01
20140305 yp01-stl0120140305 yp01-stl01
20140305 yp01-stl01
 
contoh Jurnal Matematika
contoh Jurnal Matematikacontoh Jurnal Matematika
contoh Jurnal Matematika
 
KajianTindakan Matematik 2012
KajianTindakan Matematik 2012KajianTindakan Matematik 2012
KajianTindakan Matematik 2012
 
Pengaruh efektifitas pembelajaran dengan menggunanakan media animasi flash te...
Pengaruh efektifitas pembelajaran dengan menggunanakan media animasi flash te...Pengaruh efektifitas pembelajaran dengan menggunanakan media animasi flash te...
Pengaruh efektifitas pembelajaran dengan menggunanakan media animasi flash te...
 

En vedette

Berpikir kreatif matematis
Berpikir kreatif matematisBerpikir kreatif matematis
Berpikir kreatif matematissaudagarkaizen
 
MEMBANGUN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELAL...
MEMBANGUN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA  PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELAL...MEMBANGUN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA  PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELAL...
MEMBANGUN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELAL...IAIN SEKH NURJATI CIREBON
 
soal tes kemampuan berpikir kreatif matematis materi PROLIN
soal tes kemampuan berpikir kreatif matematis materi PROLINsoal tes kemampuan berpikir kreatif matematis materi PROLIN
soal tes kemampuan berpikir kreatif matematis materi PROLINGold Dayona
 
Lembar observasi kemampuan berfikir kritis siswa
Lembar observasi kemampuan berfikir kritis siswaLembar observasi kemampuan berfikir kritis siswa
Lembar observasi kemampuan berfikir kritis siswaRetnani Eni
 
Kisi-kisi tes kemampuan berpikir kreatif matematis
Kisi-kisi tes kemampuan berpikir kreatif matematisKisi-kisi tes kemampuan berpikir kreatif matematis
Kisi-kisi tes kemampuan berpikir kreatif matematisGold Dayona
 
Angket kreativitas belajar
Angket kreativitas belajarAngket kreativitas belajar
Angket kreativitas belajarKhaerul Busur
 
Kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis
Kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematisKemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis
Kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematisYadi Pura
 
Meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa smp melalui penerapan metod...
Meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa smp melalui penerapan metod...Meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa smp melalui penerapan metod...
Meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa smp melalui penerapan metod...umdatus
 
Instrumen tes kemampuan pemahaman konsep dan komunikasi matematis
Instrumen tes kemampuan pemahaman konsep dan komunikasi matematisInstrumen tes kemampuan pemahaman konsep dan komunikasi matematis
Instrumen tes kemampuan pemahaman konsep dan komunikasi matematisPreally A
 

En vedette (9)

Berpikir kreatif matematis
Berpikir kreatif matematisBerpikir kreatif matematis
Berpikir kreatif matematis
 
MEMBANGUN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELAL...
MEMBANGUN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA  PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELAL...MEMBANGUN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA  PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELAL...
MEMBANGUN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELAL...
 
soal tes kemampuan berpikir kreatif matematis materi PROLIN
soal tes kemampuan berpikir kreatif matematis materi PROLINsoal tes kemampuan berpikir kreatif matematis materi PROLIN
soal tes kemampuan berpikir kreatif matematis materi PROLIN
 
Lembar observasi kemampuan berfikir kritis siswa
Lembar observasi kemampuan berfikir kritis siswaLembar observasi kemampuan berfikir kritis siswa
Lembar observasi kemampuan berfikir kritis siswa
 
Kisi-kisi tes kemampuan berpikir kreatif matematis
Kisi-kisi tes kemampuan berpikir kreatif matematisKisi-kisi tes kemampuan berpikir kreatif matematis
Kisi-kisi tes kemampuan berpikir kreatif matematis
 
Angket kreativitas belajar
Angket kreativitas belajarAngket kreativitas belajar
Angket kreativitas belajar
 
Kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis
Kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematisKemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis
Kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis
 
Meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa smp melalui penerapan metod...
Meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa smp melalui penerapan metod...Meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa smp melalui penerapan metod...
Meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa smp melalui penerapan metod...
 
Instrumen tes kemampuan pemahaman konsep dan komunikasi matematis
Instrumen tes kemampuan pemahaman konsep dan komunikasi matematisInstrumen tes kemampuan pemahaman konsep dan komunikasi matematis
Instrumen tes kemampuan pemahaman konsep dan komunikasi matematis
 

Similaire à 25022013 siska ryane mpmt

Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah
Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis MasalahLaporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah
Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis MasalahNailul Hasibuan
 
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN ...
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN ...PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN ...
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN ...NERRU
 
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 5E SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATK...
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 5E SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATK...PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 5E SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATK...
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 5E SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATK...NERRU
 
profil berpikir kritis siswa dalam pemecahan masalah matematika open-ended di...
profil berpikir kritis siswa dalam pemecahan masalah matematika open-ended di...profil berpikir kritis siswa dalam pemecahan masalah matematika open-ended di...
profil berpikir kritis siswa dalam pemecahan masalah matematika open-ended di...renatanurlaily77
 
Pentingnya open ended 115 makalah rev_anita (1) (httpspublikasiilmiah.ums.ac....
Pentingnya open ended 115 makalah rev_anita (1) (httpspublikasiilmiah.ums.ac....Pentingnya open ended 115 makalah rev_anita (1) (httpspublikasiilmiah.ums.ac....
Pentingnya open ended 115 makalah rev_anita (1) (httpspublikasiilmiah.ums.ac....Afwanilhuda Nst
 
Problem Based Learning Terhadap Hasil Belajar Matematika
Problem Based Learning Terhadap Hasil Belajar MatematikaProblem Based Learning Terhadap Hasil Belajar Matematika
Problem Based Learning Terhadap Hasil Belajar Matematikaguestf6b63af
 
Problem Solving Matematika
Problem Solving MatematikaProblem Solving Matematika
Problem Solving MatematikaNailul Hasibuan
 
Meningkatkan Minat Melalui PBL.pdf
Meningkatkan Minat Melalui PBL.pdfMeningkatkan Minat Melalui PBL.pdf
Meningkatkan Minat Melalui PBL.pdfNiaFauziah2
 
7 1038-1-sm
7 1038-1-sm7 1038-1-sm
7 1038-1-smMas Rudi
 
Kajian tindakan (kaedah)bib
Kajian tindakan (kaedah)bibKajian tindakan (kaedah)bib
Kajian tindakan (kaedah)bibHabibah Abdullah
 

Similaire à 25022013 siska ryane mpmt (20)

Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah
Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis MasalahLaporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah
Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah
 
117 356-1-pb
117 356-1-pb117 356-1-pb
117 356-1-pb
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Makalah ppm
Makalah ppmMakalah ppm
Makalah ppm
 
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN ...
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN ...PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN ...
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN ...
 
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 5E SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATK...
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 5E SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATK...PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 5E SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATK...
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 5E SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATK...
 
JURNAL IBNU.docx
JURNAL IBNU.docxJURNAL IBNU.docx
JURNAL IBNU.docx
 
profil berpikir kritis siswa dalam pemecahan masalah matematika open-ended di...
profil berpikir kritis siswa dalam pemecahan masalah matematika open-ended di...profil berpikir kritis siswa dalam pemecahan masalah matematika open-ended di...
profil berpikir kritis siswa dalam pemecahan masalah matematika open-ended di...
 
Pentingnya open ended 115 makalah rev_anita (1) (httpspublikasiilmiah.ums.ac....
Pentingnya open ended 115 makalah rev_anita (1) (httpspublikasiilmiah.ums.ac....Pentingnya open ended 115 makalah rev_anita (1) (httpspublikasiilmiah.ums.ac....
Pentingnya open ended 115 makalah rev_anita (1) (httpspublikasiilmiah.ums.ac....
 
Problem Based Learning Terhadap Hasil Belajar Matematika
Problem Based Learning Terhadap Hasil Belajar MatematikaProblem Based Learning Terhadap Hasil Belajar Matematika
Problem Based Learning Terhadap Hasil Belajar Matematika
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Problem Solving Matematika
Problem Solving MatematikaProblem Solving Matematika
Problem Solving Matematika
 
Meningkatkan Minat Melalui PBL.pdf
Meningkatkan Minat Melalui PBL.pdfMeningkatkan Minat Melalui PBL.pdf
Meningkatkan Minat Melalui PBL.pdf
 
Bab I
Bab IBab I
Bab I
 
7 1038-1-sm
7 1038-1-sm7 1038-1-sm
7 1038-1-sm
 
Kajian tindakan (kaedah)bib
Kajian tindakan (kaedah)bibKajian tindakan (kaedah)bib
Kajian tindakan (kaedah)bib
 
Ipi288304
Ipi288304Ipi288304
Ipi288304
 
Bab 1 3
Bab 1 3Bab 1 3
Bab 1 3
 

25022013 siska ryane mpmt

  • 1. Pengaruh Penggunaan Metode Student Facilitator and Explaining dalam Pembelajaran Kooperatif terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMK di Tasikmalaya A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Selain itu, pendidikan adalah seperangkat proses berupa penanaman nilai, gagasan, konsep dan teori-teori yang bertujuan mengembangkan kepribadian, pengetahuan, keterampilan, dan tingkah laku serta mencapai cita-cita dan tujuan hidup. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan dilakukan terus-menerus baik secara konvensional maupun inovatif. Dalam era globalisasi, pendidikan sangat dibutuhkan oleh segenap lapisan masyarakat agar terhindar dari pengaruh negatif yang dapat mencelakakanya. Dalam dunia pendidikan, sekolah merupakan salah satu jalur yang sangat strategis untuk mencapai tujuan tersebut. Semua mata pelajaran di sekolah diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam mengembangkan kualitas manusia. Namun, kenyataannya pendidikan di Indonesia belumlah sesuai dengan apa yang diharapkan. Lembaga-lembaga pendidikan belum mampu menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Kualitas pendidikan Indonesia tercermin dari penguasaan materi matematika siswa. Hal ini terlihat
  • 2. dari hasil laporan The Trends International Mathematics and Science Study (TIMSS) yang menunjukkan bahwa rata-rata skor prestasi matematik siswa Indonesia berada signifikan di bawah skor rata-rata Internasional. Pada tahun 1999, Indonesia berada pada peringkat ke 34 dari 38 negara, tahun 2003 berada di peringkat ke 35 dari 46 negara, dan tahun 2007 berada di peringkat ke 36 dari 49 negara. Mengenai hasil studi TIMMS pada tahun 1999, Suryadi (Alhadad, Syarifah Fadilah, 2010:5) mengemukakan, “Soal-soal matematika tidak rutin yang memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi pada umumnya tidak berhasil dijawab dengan benar oleh sampel siswa Indonesia”. Hasil Studi TIMMS ini didukung oleh hasil survey yang dilakukan JICA Technical Cooperation Project for Development of Science and Mathematics Teaching for Primary and Secondary Education in Indonesia atau IMSTEP (Alhadad, Syarifah Fadilah, 2010:4) pada tahun 1999 di kota Bandung, yang menemukan bahwa salah satu kegiatan bermatematika yang dipandang sulit oleh siswa untuk mempelajarinya dan oleh guru untuk mengajarkannya adalah pemecahan masalah. Lemahnya kemampuan pemecahan masalah siswa teridentifikasi dari bagaimana cara mereka menyelesaikan soal-soal matematika yang bersifat tidak rutin. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh Fakhrudin (2010), dapat diketahui bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa Kota Semarang masih rendah. Penelitian ini dilakukan peneliti pada kedua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Skor maksimum ideal pada tes ini adalah 70. Rata-rata skor untuk kelompok eksperimen adalah 21,47 atau 30,67% dari skor ideal dan untuk kelompok kontrol 22,82 atau 32,6% dari skor
  • 3. ideal. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematik siswa pada umumnya masih rendah. Rendahnya hasil belajar matematika mengindikasikan ada sesuatu yang salah dan belum optimal dalam pembelajaran di sekolah. Dalam pembelajaran matematika, biasanya aktivitas belajar mengajar berpusat pada guru, materi matematika disampaikan melalui ceramah, siswa pasif, pertanyaan dari siswa jarang muncul, berorientasi pada satu jawaban yang benar. Kegiatan pembelajaran seperti ini tidak memberikan kesempatan yang luas bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Matematika merupakan pondasi yang melandasi ilmu pengetahuan, baik itu ilmu eksak maupun ilmu non-eksak, mulai dari tingkat sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi. Kenyataan di lapangan menyebutkan, bahwa pembelajaran matematika masih saja ditakuti dan dianggap sebagai pelajaran yang sukar, sehingga siswa kurang termotivasi untuk belajar matematika. Ruseffendi ( 1991: 157 ) mengemukakan, “Matematika dianggap sebagai ilmu yang sukar, ruwet, dan banyak memperdayakan”. Matematika menumbuhkembangkan kemampuan bernalar, yaitu berpikir sistematis, logis dan kritis, dalam mengkomunikasikan gagasan atau dalam pemecahan masalah. Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa siswa harus mengetahui dan memahami relevansi matematika dalam kehidupan sehari- hari serta menggunakannya menjadi aspek penting yang harus diperhatikan dalam mempelajari matematika. Selain itu, sebagai pembekalan mereka menghadapi tantangan kehidupan, para siswa juga perlu dibiasakan
  • 4. menggunakan keterampilan berpikirnya untuk menyelesaikan soal-soal yang berupa pemecahan masalah, sebab disadari atau tidak dalam kehidupan manusia sehari-hari tidak terlepas dari masalah. Dengan pembelajaran yang dimulai dari masalah, siswa belajar suatu konsep dan prinsip sekaligus memecahkan masalah. Dengan demikian, sekurang-kurangnya ada dua hasil belajar yang dicapai, yaitu jawaban terhadap masalah (produk) dan cara memecahkan masalah (proses). Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa sebaiknya perlu ada inovasi dalam pembelajaran, dimana siswa diberikan masalah kemudian siswa belajar untuk mengajukan masalah kemudian menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Pembelajaran hendaknya dimulai dari masalah-masalah aktual, autentik, relevan, dan bermakna bagi siswa. Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu fokus dalam pembelajaran matematika. Tim MKPBM (2001: 83) menyatakan, Pemecahan masalah matematika bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaiannya, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. Pemecahan masalah merupakan kegiatan matematika yang sangat sulit untuk mengajarkan dan mempelajarinya karena menurut Tim MKPBM (2001:83), “... pemecahan masalah merupakan tipe belajar paling tinggi dari delapan yang dikemukakan Gagne, yaitu: signal learning, stimulus-response- learning, chaining, verbal assosiation, discrimination learning, concept learning, rule learning, dan pemecahan masalah”. Dengan kata lain
  • 5. keterampilan intelektual tingkat tinggi dapat dikembangkan melalui pemecahan masalah. Menurut Wardani, Sri (2011:6), ”Pemecahan masalah (problem solving) adalah suatu proses untuk mengatasi kesulitan/hambatan yang ditemui dalam mencapai tujuan yang diharapkan”. Pada umumnya, siswa merasa kesulitan apabila dihadapkan pada masalah-masalah yang tidak rutin karena tingkat kemampuan pemecahan masalah mereka masih rendah. Padahal, pengajaran matematika harus digunakan untuk memperkaya, memperdalam, dan memperluas kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Hasil penelitian yang dilakukan The National assessment of Educational Progress (NAEP) (dalam Wulanratmini, Diani, 2010:4) menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan siswa dalam menyelesaikan soal kreatif pemecahan masalah menurun drastis manakala setting (konteks) permasalahannya diganti dengan hal yang tidak dikenal siswa, walaupun permasalahan matematikanya tetap sama. Tim survey IMSTEP-JICA (1999) di kota Bandung menemukan sejumlah kegiatan yang dianggap sulit oleh siswa untuk mempelajari soal yang diberikan oleh guru yaitu dalam cara pembuktian, pemecahan masalah yang memerlukan penalaran matematis, menemukan generalisasi atau konjektur, dan menemukan hubungan antara data-data atau fakta yang diberikan. Kegiatan-kegiatan yang dianggap sulit tersebut, kalau kita perhatikan merupakan kegiatan yang menuntut kemampuan berpikir kritis dari siswa dan guru. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil survey
  • 6. tersebut menemukan bahwa siswa mengalami kesulitan jika dihadapkan kepada persoalan yang memerlukan kemampuan berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis dapat dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran matematika karena tujuan pembelajaran matematika di sekolah menurut Depdiknas (2006) adalah: (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah; (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, dan (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Dengan demikian, kemampuan berpikir kritis sangatlah penting untuk dikembangkan pada pembelajaran matematika secara formal baik itu di tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, ataupun perguruan tinggi. Salah satu model pembelajaran yang menyediakan banyak kesempatan bagi siswa dalam melakukan pengembangan kemampuan memecahkan masalah dan berpikir kritis adalah dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif menekankan pada
  • 7. pemberian kesempatan belajar yang lebih luas dan suasana yang kondusif kepada siswa untuk memperoleh, dan mengembangkan pengetahuan, sikap, nilai, serta keterampilan-keterampilan sosial yang bermanfaat bagi kehidupannya di masyarakat. Menurut Trianto (2007:41), “Pembelajaran kooperatif muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya. Siswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks”. Pada model cooperative learning siswa diberi kesempatan untuk berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan temannya untuk saling membantu memecahkan masalah, sementara guru bertindak sebagai motivator dan fasilitator aktivitas siswa. Artinya dalam pembelajaran ini kegiatan aktif dengan pengetahuan dibangun sendiri dengan aktif oleh siswa dan mereka bertanggung jawab atas hasil pembelajarannya. Salah satu model pembelajaran kooperatif yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dalam pemecahan masalah adalah model pembelajaran kooperatif tipe Student Facilitator and Explaining. Model pembelajaran kooperatif dengan metode Student Facilitator and Explaining merupakan metode pembelajaran dimana siswa belajar mempresentasikan ide/pendapat pada rekan siswa lainnya. Tujuan dari metode pembelajaran ini yaitu akan melatih sikap kritis siswa. Misalnya, seorang pendidik memberikan sebuah masalah. Berdasarkan masalah tersebut siswa diminta membuat soal dan jawaban dari masalah yang diberikan oleh
  • 8. pendidik tersebut. Maka akan muncul banyak pertanyaan dan jawaban dari permasalahan yang diberikan. Melalui metode pembelajaran ini siswa bisa termotivasi untuk mengembangkan pengetahuan dengan cara yang mudah dan murah. Pengetahuan siswa dengan metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining bisa dikembangkan dari yang sederhana hingga pada pengetahuan yang kompleks. Selain itu, dengan metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining ini siswa akan belajar sesuai dengan tingkat berpikirnya. Karena antara siswa yang pandai dengan yang kurang pandai tidak diperlakukan sama. Keberhasilan pengajaran matematika tidak hanya tergantung pada materi-materi pelajaran matematika, tetapi sangat tergantung pada keahlian guru dalam menyampaikan materi tersebut. Sehingga seorang guru harus memiliki kompetensi akademik dan menguasai materi-materi yang akan diajarkan. Untuk menguasai konsep-konsep dasar matematika, baik guru ataupun siswa harus banyak berlatih menyelesaikan soal-soal mulai dari yang sederhana hingga yang sukar, termasuk soal-soal yang menyangkut pemecahan masalah matematik dan kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti akan melakukan penelitian dengan judul ”Pengaruh Penggunaan Metode Student Facilitator and Explaining dalam Pembelajaran Kooperatif terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMK”
  • 9. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti merumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu: 1. Adakah pengaruh positif metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining terhadap pemecahan masalah matematik siswa? 2. Apakah kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining akan lebih baik dari pada siswa yang memperoleh pembelajaran langsung? 3. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang memperoleh pembelajaran dengan metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining? 4. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang memperoleh pembelajaran dengan metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining? 5. Apakah ada hubungan antara pemecahan masalah matematik dan berpikir kritis matematis siswa? 6. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran dengan metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining?
  • 10. C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan masalah yang diteliti, maka penelitian bertujuan untuk: 1. Mengetahui pengaruh positif penggunaan metode pembelajaran Student Facilitator and Explaining terhadap pemecahan masalah matematik siswa. 2. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode pembelajaran Student Facilitator and Explaining dan siswa yang mengikuti pembelajaran langsung. 3. Untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang memperoleh pembelajaran dengan metode pembelajaran Student Facilitator and Explaining. 4. Untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang memperoleh pembelajaran dengan metode pembelajaran Student Facilitator and Explaining. 5. Mengetahui hubungan/kaitan/korelasi antara pemecahan masalah matematik dengan kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode pembelajaran Student Facilitator and Explaining dan siswa yang mengikuti pembelajaran langsung. 6. Untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran kooperatif dengan metode pembelajaran Student Facilitator and Explaining.
  • 11. D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sebagai bahan masukan bagi pendidik agar selalu mempertimbangkan dan memilih pembelajaran yang sesuai dengan materi ajar sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. 2. Sebagai bahan masukan untuk menanggulangi kendala-kendala yamg muncul khususnya dalam upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa dalam mata pelajaran matematika. 3. Sebagai sarana untuk mengembangkan daya pikir siswa dan kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika. E. Kajian Teori 1. Metode Pembelajaran Kooperatif Student Facilitator and Explaining Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas dari pada suatu strategi, metode atau prosedur. Istilah model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dipunyai oleh strategi atau metode tertentu yaitu: rasional teoretik yang logis, tujuan pembelajaran yang akan dicapai, tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan secara berhasil, dan lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai. Suprijono, Agus (2010:54) menyatakan, Pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-benruk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Secara umum pembelajaran kooferatif dianggap lebih diarahkan oleh guru, dimana
  • 12. guru menetapkan tugas dan pernyataan-pernyataan serta menyediakan bahan-bahan dan informasi yang dirancang untuk membantu siswa menyelesaikan masalah yang dimaksud. Guru biasanya menetapkan bentuk ujian tertentu pada akhir tugas. Melalui pembelajaran kooperatif siswa diharapkan dapat saling membantu dan saling bekerjasama satu sama lain dalam menyelesaikan suatu masalah untuk mencapai tujuan bersama. Model pembelajaran kooperatif diperlukan adanya saling ketergantungan positif sehingga siswa mempunyai rasa tanggung jawab terhadap tugas yang mereka peroleh.Selama pembelajaran berlangsung siswa melakukan interaksi dengan anggota kelompoknya agar komunikasi antar anggota berjalan secara efektif dan setiap anggota kelompok saling memberikan kontribusi terhadap kegiatan pembelajaran tersebut. Terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif menurut Suprijono, Agus. (2010:65), langkah-langkah itu ditunjukkan pada tabel berikut. Tabel 1 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Fase Tingkah Laku Guru Fase-1: Present goals and set Menjelaskan tujuan pembelajaran dan mempersiapkan siswa siap Menyampaikan tujuan dan belajar. mempersiapkan siswa Fase-2: Present Mempresentasikan informasi kepada information siswa secara verbal. Menyajikan informasi Fase-3 : Organize students Memberikan penjelasan kepada into learning teams peserta sisik tentang tata cara pembentukan tim belajar dan Mengorganisasikan siswa membantu kelompok melakukan ke dalam kelompok transisi yang efisien kooperatif
  • 13. Fase-4 : Assist team work Membantu tim-tim belajar selama and study siswa mengerjakan tugasnya. Membantu kerja tim dan belajar Fase-5 : Test on the Menguji pengetahuan siswa materials mengenaia berbagai materi pembelajaran atau kelompok- Mengevaluasi kelompok mempresentasikan hasil kerjanya Fase-6 : Provide Mempersiapkan cara untuk recognition mengakui usaha dan prestasi individu maupun kelompok. Memberikan pengakuan atau penghargaan Sumber: Suprijono, Agus. (2010: 65) Penghargaan atau penilaian individu dan kelompok yang merupakan salah satu dari karakteristik pembelajaran kooperatif lebih berorientasi pada kelompok dari pada individu. Menurut Slavin, Robert E. (2009: 159), petunjuk perhitungan skor perkembangan individu terdapat pada Tabel 2. Tabel 2 Konversi Skor Perkembangan Skor Kuis Individu Skor Perkembangan Lebih dari 10 poin di bawah skor awal 5 poin 10-1 poin dibawah skor awal 10 poin Skor awal sampai 10 poin di atas skor 20 poin awal Lebih dari 10 poin di atas skor awal 30 poin Kertas jawaban sempurna (terlepas dari 30 poin skor awal) Sumber: Slavin, Robert E. (2009 : 159) Selanjutnya untuk lebih memotivasi siswa dalam setiap pembelajaran, maka dalam pembelajaran kooperatif setelah guru memberikan penilaian kepada setiap siswa dalam kelompok kooperatif, guru memberikan penghargaan kepada kelompok-kelompok yang memiliki nilai sumbangan
  • 14. kelompoknya yang memenuhi kriteria. Kriteria yang digunakan untuk memberikan penghargaan kelompok diambil dari selisih skor awal pembelajaran dengan tes individu kemudian hasilnya dibagi dengan jumlah anggota kelompok untuk memperoleh tingkat penghargaan kelompok.Ada tiga macam tingkatan penghargaan diberikan dalam model pembelajaran kooperatif.Menurut Slavin, Robert E (2009: 160) dapat dilihat pada tabel. Tabel 3 Tingkat Penghargaan Kelompok Kriteria (Rata-rata Tim) Penghargaan 15 TIM BAIK 16 TIM SANGAT BAIK 17 TIM SUPER Sumber: Slavin, Robert E. (2009 : 160) Metode Pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining merupakan metode pembelajaran dimana siswa belajar mempresentasikan ide/pendapat pada rekan siswa lainnya Suprijono, Agus (2010,128) menyatakan bahwa langkah-langkah metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining : a. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai/KD. b. Guru mendemonstrasikan/menyajikan garis-garis besar materi pembelajaran. c. Memberikan kesempatan siswa untuk menjelaskan kepada siswa lainnya, misalnya melalui bagan/peta konsep. Hal ini bisa dilakukan secara bergiliran, d. Guru menyimpulkan ide/pendapat dari siswa. e. Guru menerangkan semua materi yang disajikan saat itu, Penutup. Berdasarkan pendapat di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining adalah suatu metode yang mendasarkan pada penugasan tiap-tiap kelompok
  • 15. dimana guru mendemontrasikan atau menyajikan secara garis besar materi yang akan disampaikan untuk selanjutnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan kepada siswa lainnya melalui peta konsep atau bagan. 2. Pembelajaran Langsung Pembelajaran langsung biasa disebut juga pembelajaran konvensional. Masriyah (2002: 1) memandang bahwa pembelajaran yang selama ini sering dilakukan oleh guru pada umumnya disebut pembelajaran langsung. Masih menurut Masriyah (2002) bahwa pembelajaran langsung adalah suatu pendekatan mengajar yang dapat membantu siswa mempelajari keterampilan dasar dan memperoleh informasi yang dapat diajarkan selangkah demi selangkah..Hal ini sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Arends (Trianto, 2007: 29) yang menyatakan Model pembelajaran langsung adalah salah satu pendekatan mengajar yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah. Menurut Widaningsih, Dedeh (2010b:150), “Pengetahuan prosedural yaitu pengetahuan mengenai bagaimana orang melakukan sesuatu. Sedangkan pengetahuan deklaratif yaitu pengetahuan tentang sesuatu”. Menghapal rumus dalam pembelajaran matematika merupakan contoh pengetahuan deklaratif.
  • 16. Pengetahuan bagaimana memperoleh rumus tersebut merupakan pengetahuan prosedural. Pembelajaran langsung menurut Kardi (Trianto, 2007:30) “Pembelajaran langsung dapat berbentuk ceramah, demonstrasi, pelatihan atau praktek, dan kerja kelompok”. Pengajaran langsung digunakan untuk menyampaikan pelajaran yang ditransformasikan langsung oleh guru kepada siswa. Penyusunan waktu yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran harus seefisien mungkin, sehingga guru dapat merancang dengan tepat waktu yang digunakan. Ciri-ciri model pembelajaran langsung Depdiknas (Widaningsih, Dedeh, 2010:151) adalah sebagai berikut : a. Adanya tujuan pembelajaran dan prosedur penilaian hasil belajar. b. Sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran. c. Sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang mendukung berlangsung dan berhasilnya pengajaran. Sintaks model pembelajaran langsung Depdiknas (Widaningsih, Dedeh, 2010:152) disajikan dalam lima tahap, seperti ditunjukkan pada tabel berikut : Tabel 4 Sintaks Pengajaran Langsung Fase Peran Guru Fase 1 Guru menjelaskan tujuan Menyampaikan tujuan dan pembelajaran khusus, informasi latar mempersiapkan siswa belakang pelajaran, pentingnya pelajaran, mempersiapkan siswa untuk belajar. Fase 2 Guru mendemonstrasikan Mendemonstrasikan keterampilan dengan benar, atau
  • 17. pengetahuan dan keterampilan menyajikan informasi tahap demi tahap. Fase 3 Guru merencanakan dan memberi Membimbing Pelatihan bimbingan pelatihan awal. Fase 4 Mengecek apakah siswa telah Mengecek pemahaman dan berhasil melakukan tugas dengan memberikan umpan balik baik, memberi umpan balik. Fase 5 Guru mempersiapkan kesempatan Memberikan kesempatan untuk melakukan pelatihan lanjutan, pelatihan lanjutan dan dengan perhatian khusus pada penerapan penerapan kepada situasi lebih kompleks dan kehidupan sehari-hari. Menurut Depdiknas (Widaningsih, Dedeh, 2010:152), terdapat ciri utama yang dapat terlihat pada saat melaksanakan model pembelajaran langsung adalah sebagai berikut : a. Tugas perencanaan. 1) Merumuskan tujuan pengajaran. 2) Memilih isi. Guru harus mempertimbangkan berapa banyak informasi yang akan diberikan pada siswa dalam kurun waktu tertentu. Guru harus selektif dalam memilih konsep yang diajarkan dengan model pengajaran langsung. 3) Melakukan analisis tugas. Menganalisis tugas, akan membantu guru menentukan dengan tepat apa yang perlu dilakukan siswa untuk melaksanakan keterampilan yang akan dipelajari. Ini bukan berarti bahwa seorang guru harus melakukan analisis tugas untuk setiap keterampilan yang diajarkan.Hal ini disebabkan karena waktu yang tersedia terbatas. 4) Merencanakan waktu Guru harus memperhatikan bahwa waktu yang disediakan sepadan dengan kemampuan dan bakat siswa, dan memotivasi siswa agar mereka tetap melakukan tugas-tugasnya dengan perhatian yang optimal. Mengenal secar baik siswa-siswa yang akan diajar, akan bermanfaat sekali untuk mengira-ngira alokasi waktu yang dibutuhkan dalam pembelajaran. b. Penilaian pada pembelajaran langsung Grounlund (Widaningsih,Dedeh,2011: 77) mengemukakan 6 prinsip dasar dapat membimbing guru dalam merancang sistem penilaian sebagai berikut :
  • 18. 1) Sesuai dengan tujuan pengajaran 2) Mencakup semua tugas pengajaran 3) Menggunakan soal tes yang sesuai 4) Buatlah soal tes yang sesuai 5) Buatlah soal sevalid dan sereliabel mungkin 6) Memanfaatkan hasil tes untuk memperbaiki proses belajar mengajar berikutnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran langsung merupakan pembelajaran yang menuntut keaktifan guru karena materi pelajaran diajarkan langsung kepada siswa. Siswa tidak dituntut untuk menemukan materi karena materi pelajaran diajarkan seakan-akan sudah jadi. Pembelajaran langsung disajikan melalui lima tahap yaitu menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa, mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan, membimbing pelatihan, mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik, serta memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan. 3. Teori Belajar yang Mendukung Metode Pembelajaran Kooperatif Student Facilitator And Explaining a. Teori belajar Kognitif Dalam perspektf teori kogntif Suprijono, Agus (2010:22) menyatakan “Belajar merupakan pristiwa mental, bukan peristiwa behavioral meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata hampir dalam setiap peristiwa belajar”. Perilaku individu bukan semata-mata respons terhadap yang ada melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya. Belajar adalah proses aktif untuk mencapai, mengingat dan menggunakan pengetahuan. Untuk itu teori belajar kognitif mendukung
  • 19. pembelajaran metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining. b. Teori Vigotsky Vygotsky (Ratnaningsih, 2003:44) mengatakan bahwa “Pembelajaran terjadi saat anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal (zone of proximal development)”. Menurut teori ini siswa mempunyai dua tingkat perkembangan yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual didefinisikan sebagai pemfungsian intelektual individu saat ini dan kemampuan untuk belajar sesuatu yang khusus atas kemampuannya sendiri. Sedangkan tingkat perkembangan potensial sebagai tingkat seorang individu dapat memfungsikan atau mencapai tingkat itu dengan bantuan orang lain seperti guru, orang tua, atau teman sejawat yang kemampuannya lebih tinggi. Dengan demikian, tingkat perkembangan potensial dapat disalurkan melalui model pembelajaran kooperatif. Ide penting lain yang diturunkan Vygotsky adalah scaffolding, yaitu memberikan sejumlah bantuan kepada anak pada tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian menguranginya dan memberi kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab saat mereka mampu. Bantuan tersebut berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah pada langkah-langkah pemecahan, memberi contoh, ataupun hal-hal lain yang memungkinkan pelajar tumbuh mandiri. Dalam teori Vygotsky dijelaskan ada hubungan langsung antara domain kognitif dengan sosial budaya. Kualitas berpikir siswa dibangun di
  • 20. dalam ruangan kelas, sedangkan aktivitas sosialnya dikembangkan dalam bentuk kerja sama antara pelajar dengan pelajar lainnya yang lebih mampu dibawah bimbingan orang dewasa dalam hal ini guru. Teori Vygotsky menghendaki interaksi dan komunikasi baik antara siswa dengan siswa sehingga terbentuk masyarakat belajar melalui kelompok- kelompok kecil. Hal ini sesuai dengan salah satu komponen pembelajaran dengan metode Student Facilitator and Explaining. 4. Teori Belajar yang Mendukung Pembelajaran Langsung Teori belajar yang mendukung model pembelajaran langsung adalah teori Ausubel. Teori Ausubel dikenal dengan belajar bermaknanya dan pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai. Tim MPKBM (2001:35) menyatakan, Ausubel membedakan antara belajar menemukan dengan belajar menerima. Pada belajar menerima siswa hanya menerima, jadi tinggal menghafalkannya, tetapi pada belajar menemukan konsep ditemukan oleh siswa, jadi tidak menerima pelajaran begitu saja. Selain itu untuk dapat membedakan antara belajar menghafal dengan belajar bermakna. Pada belajar menghafal siswa menghafal materi yang sudah dipelajarinya, tetapi pada belajar bermakna materi yang telah diperoleh dikembangkan dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih dimengerti. Menurut Ausubel (Dahar, 1989: 110) belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang ada.
  • 21. Ausubel (Tim MKPBM, 2001:35) mengemukakan, “Metode ekspositori adalah metode mengajar yang paling baik dan bermakna”. Metode ekspositori adalah metode yang paling cocok digunakan pada model pembelajaran langsung yang pembelajarannya berpusat pada guru. Dalam pelaksanaan pembelajaran langsung, guru memberikan konsep- konsep dan setiap konsep yang diberikan disertai dengan contoh soal. Selain itu, dalam model pembelajaran langsung pengaturan awal mengarahkan siswa ke materi yang akan dipelajari dan menolong siswa untuk mengingat kembali materi yang sudah dipelajari untuk menanamkan pengetahuan baru. Dalam pelaksanaan pembelajaran, hal ini disebut apersepsi. Dari uraian tersebut, teori belajar Ausubel mendukung pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran langsung. Dalam pembelajaran langsung, guru memberikan materi kepada siswa lalu siswa menerimanya. Hal ini sejalan dengan pendapat Ausubel tentang belajar menerima. 5. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Suatu masalah biasanya memuat situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yangharus dikerjakan untuk menyelesaikannya. Pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah matematika merupakan pertanyaan yang harus dijawab. Namun tidak semua pertanyaan merupakan masalah. Pendekatan pemecahan masalah matematik merupakan salah satu dari beberapa macam pendekatan matematik yang sangat penting, karena dalam proses penyelesaiannya siswa harus memiliki banyak
  • 22. pengalaman dalam memecahkan berbagai masalah untuk memperoleh pengalaman kemampuan dalam memecahkan masalah matematik. Langkah-langkah dalam memecahkan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah langkah-langkah Polya. Menurut George Polya (Wardani, Sri. 2002:12) ada empat langkah dalam menyelesaikan pemecahan masalah yang harus dilakukan yaitu: a. memahami masalah (understanding the problem), b. membuat rencana pemecahan (divising a plan), c. melakukan penghitungan (carrying out the plan) dan d. memeriksa kembali hasil yang diperoleh (looking back). 6. Kemampuan Berpikir Kritis a. Pengertian Berpikir Kritis Beberapa ahli memberikan pengertian tentang berpikir diantaranya, Suryabrata (Ratnaningsih, 2003: 17) berpendapat bahwa berpikir merupakan proses yang dinamis yang dapat dilukiskan menurut proses dan jalannya. Selain itu, Dahar (1996) mengemukakan bahwa berpikir merupakan ciri manusia (homo sapien) dari semenjak lahir sampai akhir hidupnya. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1991:767) berpikir adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan, memutuskan sesuatu. Menurut Lupito (1996) berpikir merupakan aktifitas mental yang disadari dan diarahkan untuk maksud tertentu. Sedangkan Beyer (1987:16) menyatakan, “Thinking, in short, is the mental process by wich individuals make sense out of experience”. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka maksud yang mungkin dicapai dari berpikir adalah memahami, mengambil keputusan, merencanakan, memecahkan masalah, dan menilai tindakan.
  • 23. Dalam kaitannya dengan proses yang terjadi pada saat berpikir, Marpaung dalam Ratnaningsih (2003: 17) memberikan gambaran bahwa proses berpikir merupakan proses yang dimulai dari penemuan informasi (dari luar atau diri siswa), pengolahan, penyimpanan dan memanggil kembali informasi dari ingatan siswa. Dengan demikian dapat dikatakan, pada prinsipnya selama berpikir manusia mengkaji dan mengolah berbagai gagasan, konsep, pengalaman dan peristiwa yang dialaminya agar ia sampai pada suatu kesimpulan. Kesimpulan tersebut diharapkan dapat mengantarkannya pada kebenaran. Dengan kata lain, melalui berpikir manusia dapat sampai pada kebenaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan Poedjiadi (2011: 25) yang menyatakan bahwa berpikir adalah kegiatan akal untuk mengolah pengetahuan yang diterima melalui panca indera dan ditujukan untuk mencapai kebenaran. Menurut Wijaya (1999), pengembangan kemampuan berpikir menjadi modal utama bagi siswa dalam menghadapi kehidupan di masa kini dan masa yang akan datang. Dalam dunia pendidikan, siswa tidak terlepas dari kegiatan berpikir. Berpikir merupakan kegiatan yang lumrah bagi siswa. Dalam mengerjakan tugas pasti menggunakan pikiran untuk memdapakan hasil yang terbaik. Contohnya, mengerjakan tugas/pekerjaan rumah dan mengerjakan soal pada saat ujian yang membutukan pemikiran yang sangat baik dalam merangkai kata-kata. Juga dalam kehidupan sosial yang tidak lepas dari pemikiran siswa. Dalam pendidikan, berfikir kritis diartikan sebagai pembentukan kemampuan dalam aspek logika seperti kemampuan memberikan argumentasi, silogisme dan penalaran yang proposional. Logika sangat
  • 24. bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan manusia berfikir rasional dan kritis. Berpikir kritis adalah suatu proses dimana seseorang atau individu dituntut untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi informasi untuk membuat sebuah penilaian atau keputusan berdasarkan kemampuan, menerapkan ilmu pengetahuan dan pengalaman. Beberapa ahli memberikan pengertian tentang berpikir kritis diantaranya, Norris (Fowler, 1996: 1) medefinisikan berpikir kritis sebagai pengambilan keputusan secara rasional apa yang diyakini dan dikerjakan. Sedangkan Huitt (1998: 4) mengemukakan bahwa Critical thinking is disciplined mental activity of making judgments that can guide the development of beliefs and taking actions. Dari pengertian tersebut menunjukkan bahwa berpikir kritis berarah pada pengambilan keputusan mengenai tindakan dan keyakinan yang akan diambil. Memperhatikan pengertian berpikir kritis di atas, secara umum dapat diartikan seorang yang berfikir kritis harus selalu melihat ke depan, seseorang tidak boleh membiarkan berpikir menjadi sesuatu yang rutin atau standar. Seorang yang berpikir dengan cara kritis akan melihat setiap masalah dengan sudut yang selalu berbeda meskipun obyeknya sama, sehingga dapat dikatakan dengan tersedianya pengetahuan baru seorang yang berfikir kritis harus selalu melakukan sesuatu dan mencari apa yang paling efektif dan ilmiah dan memberikan hasil yang lebih baik untuk kesejahteraan diri maupun orang lain. Proses berpikir ini dilakukan sepanjang waktu sejalan dengan keterlibatan manusia dalam pengalaman baru dan menerapkan pengetahuan
  • 25. yang dimilikinya menjadi lebih mampu untuk membetuk asumsi, ide-ide dan membuat simpulan yang valid. Semua proses tersebut tidak terlepas dari sebuah proses berpikir dan belajar. Jadi, berpikir kritis adalah kemampuan memberi alasan secara terorganisasi dan mengevaluasi kualitas suatu alasan secara sistematis. Berpikir kritis artinya diarahkan, dikendalikan, diawasi oleh diri sendiri sekaligus merupakan koreksi terhadap diri sendiri. Semua hal tersebut dilakukan secara teliti karena dikendalikan oleh berbagai tolok ukur yang berasal dari pemikiran yang berkualitas. Hal ini berkaitan dengan kemampuan komunikasi yang baik dan kemampuan menyelesaikan masalah yang dimiliki manusia. b. Berpikir Kritis dan Indikator-Indikatornya Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Beberapa ahli mendefinisikan pengertian dengan cara yang berbeda- beda. Hal ini sesuai dengan pendapat Cotton (1991) yang menyatakan bahwa tidak ada kesepakatan secara universal mengenai pengertian berpikir kritis. Menurut pendapat Ennis (1996:4) berpikir kritis didefinisikan sebagai cara berpikir reflektif dan beralasan yang difokuskan pada pengambilan keputusan tentang apa yang harus diyakini dan dikerjakan. Reflektif artinya mempertimbangkan atau memikirkan kembali segala sesuatu yang dihadapinya sebelum mengambil keputusan. Beralasan artinya memiliki keyakinan dan pandangan yang didukung oleh bukti yang tepat, aktual, cukup, dan relevan.
  • 26. Menurut Ennis (dalam Baron dan Sternberg, 1987: 12-15) terdapat dua belas indikator berpikir kritis yang dikelompokkan dalam lima kemampuan berpikir yaitu : 1. Memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification) 2. Membangun keterampilan dasar (basic support) 3. Membuat kesimpulan (inferring) 4. Membuat penjelasan lebih lanjut (advanced clarification) 5. Mengatur strategi dan taktik (strategies and tactics) Kelima kelompok indikator berpikir tersebut diuraikan lebih lanjut pada tabel berikut : Indikator Kemampuan Berpikir Kritis Kemampuan Sub Kemampuan Berpikir Penjelasan Berpikir Kritis Kritis 1. Memberikan 1. Memfokuskan a. Mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan penjelasan pertanyaan b. Mengidentifikasi kriteria-kriteria untuk sederhana mempertimbangkan jawaban yang mungkin c. Menjaga kondisi pikiran 2. Menganalisis a. Mengidentifikasi kesimpulan argumen b. Mengidentifikasi alasan yang dinyatakan (eksplisit) c. Mengidentifikasi alasan yang tidak dinyatakan (implisit) d. Mengidentifikasi ketidakrelevanan dan kerelevanan e. Mencari persamaan dan perbedaan f. Mencari struktur dari suatu argumen g. Merangkum 3. Bertanya dan a. Mengapa menjawab b. Apa intinya, apa artinya pertanyaan yang c. Apa contohnya dan apa yang bukan contoh membutuhkan d. Bagaimana menerapkannya dalam kasus penjelasan tersebut e. Perbedaan apa yang membedakannya f. Akankah anda menyatakannya lebih dari itu
  • 27. 2. Membangun 1. Mepertimbangkan a. Ahli keterampilan kredibilitas b. Tidak adanya konflik interest dasar (kriteria suatu c. Kesepakatan antar sumber sumber) d. Reputasi e. Menggunakan prosedur yang ada f. Mengetahui resiko g. Kemampuan memberi alasan h. Kebiasaan hati-hati 2. Mengobservasi a. Ikut terlibat dalam menyimpulkan dan b. Dilaporkan oleh pengamat sendiri mempertimbangk c. Mencatat hal-hal yang diinginkan an hasil observasi d. Penguatan dan kemungkinan penguatan e. Kondisi akses yang baik f. Penggunaan teknologi kompeten g. Kepuasan observer atas kredibilitas kriteria 3. Membuat 1. Melakukan dan a. Kelompok yang logis kesimpulan mempertimbangk b. Kondisi yang logis an deduksi c. Interpretasi pernyataan 2. Melakukan dan a. Membuat generalisasi mempertimbangk b. Membuat kesimpulan dan hipotesis an induksi 3. Membuat dana. Latar belakang fakta mempertimbangk b. Konsekuensi an nilai keputusanc. Penerapan prinsip-prinsip d. Memikirkan alternatif e. Menyeimbangkan,memutuskan 4. Membuat 1. Mendefinisikan Ada tiga dimensi: penjelasan istilah dan a. Bentuk: sinonim, klasifikasi, rentang, ekspresi lebih lanjut mempertimbangk yang sama, operasional, contoh dan non contoh an nilai keputusan b. Strategi definisi (tindakan mengidentifikasi persamaan) c. Konten (isi) 2. Mengidentifikasi a. Penalaran secara implisit istilah dan b. Asumsi yang diperlukan, rekonstruksi argumen mempertimbangk an definisi 5. Mengatur 1. Memutuskan a. Mendefinisikan masalah strategi dan suatu tindakan b. Menyelesaikan kriteria untuk membuat solusi taktik c. Merumuskan alternatif yang memungkinkan d. Memutuskan hal-hal yang akan dilakukan secara tentatif e. Mereview f. Memonitor implementasi 2. Berinteraksi dengan orang lain
  • 28. 7. Berpikir Kritis dalam Matematika Cara berpikir kritis berbeda dalam disiplin ilmu yang satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan dasar yang digunakan dalam setiap disiplin ilmu tidak sama. Agar dapat melaksanakan berpikir kritis dalam disiplin ilmu tertentu, menurut Poedjiadi (1999), kita harus terlebih dahulu menguasai terminologi, konsep-konsep, dan metodologi disiplin ilmu tersebut. Matematika sebagai suatu disiplin ilmu memiliki karakteristik yang berbeda dengan disiplin ilmu lainnya. Matematika mempelajari tentang pola keteraturan, tentang struktur yang terorganisasikan. Hal itu dimulai dari unsur-unsur yang tidak terdefinisikan kemudian ke unsur yang didefinisikan, ke aksioma/postulat, dan akhirnya pada teorema (Ruseffendi, 1980: 50). Sementara Soleh (1998) menyebutkan bahwa ada lima ciri yang membedakan matematika dari disiplin ilmu lain. Kelima ciri matematika itu adalah objek pembicaraannya abstrak, pembahasannya menggunakan tata nalar, konsep-konsepnya hierarkis dan konsiten, adanya perhitungan dan pengerjaan (operasi), dan dapat dialihgunakan dalam kehidupan sehari-hari. Matematika tersusun mulai dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan, berkembang ke unsur-unsur yang didefinisikan, terus ke aksioma atau postulat sampai ke dalil-dalil atau teorema. Komponen-komponen matematika ini membentuk suatu sistem yang saling berhubungan dan terorganisir dengan baik. Menurut Suria Sumantri (1998), dalam matematika kebenaran dibuktikan dengan jalan memeriksa konsistensi suatu konsep
  • 29. dengan konsep-konsep sebelumnya yang telah dianggap benar. Kebenaran matematika tidak tergantung pada pembuktian secara empiris melainkan pada pembuktian secara deduktif. Mengingat karakteristik matematika yang tidak sama dengan disiplin lainnya, maka definisi bepikir kritis dalam matematika tentunya harus sesuai dengan konsepsi dan metodologi matematika. Selain harus memuat komponen berpikir kritis, definisi tersebut harus memuat karakteristik (terminologi, konsep-konsep, dan metodologi) matematika. Salah satu definisi yang memuat kedua pernyataan itu dikemukakan oleh Glazer (2002) yang menyatakan berpikir kritis dalam matematika adalah ketrampilan kognitif dan disposisi untuk menggabungkan pengetahuan, penalaran, serta strategi kognitif dalam membuat generalisasi, membuktikan, dan mengevaluasi situasi matematika yang tidak dikenali dengan cara reflektif. Glazer menyebutkan syarat-syarat untuk berpikir kritis dalam matematika, syarat-syarat yang dimaksud adalah: 1. Adanya situasi yang tidak dikenal atau akrab sehingga seorang individu tidak dapat secara langsung mengenali konsep matematika atau mengetahui bagaimana menentukan solusi suatu masalah. 2. Menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya, penalaran matematika, dan strategi kognitif. 3. Menghasilkan generalisasi, pembuktian dan evaluasi. 4. Berpikir reflektif yang melibatkan pengkomunikasian suatu solusi, rasionalisasi argumen, penentuan cara lain untuk menjelaskan
  • 30. suatu konsep atau memecahkan suatu masalah, dan pengembangan studi lebih lanjut. 8. Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis melalui Pembelajaran Matematika Matematika mempunyai peranan beragam pengertian tergantung bagaimana seseorang memandang dan memanfaatkan matematika dalam kegiatan hidupnya. Dalam kegiatan hidupnya setiap orang akan terlibat dengan matematika, hal ini menggambarkan karakteristik matematika sebagai suatu kegiatan manusia atau “mathematics as human activity”. Pandangan matematika sebagai suatu kegiatan manusia mamuat matematika sebagai suatu proses yang aktif, dinamik dan generatif, serta sebagai ilmu yang mengembangkan sikap berpikir kritis, objektif dan terbuka (Sumarmo, 2003). Oleh karena itu peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dapat dilakukan melalui kegiatan pembelajaran matematika. Peningkatan kemampuan berpikir kritis telah terbukti dapat dilakukan seperti apa yang diungkapkan Cotton (1991) bahwa meskipun banyak orang percaya kita lahir dengan atau tanpa kemampuan berpikir kritis, riset telah memperlihatkan kemampuan berpikir kritis dapat diajarkan dan dapat dipelajari. Untuk mengajarkan atau memfasilitasi siswa agar kemampuan berpikir kritisnya berkembang, maka diperlukan situasi pembelajaran yang dirancang secara tepat. Pembelajaran yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi, baik melalui pemberian soal yang tidak bersifat prosedural
  • 31. ataupun pemberian materi yang tidak secara langsung kepada siswa. Artinya siswa harus dilibatkan secara aktif dalam menemukan konsep. Hal ini sejalan dengan pendapat Glazer (2004:6) bahwa kondisi untuk berpikir kritis dalam matematika harus memuat: a. Situasi yang tidak rutin (tidak biasa) sehingga individu tidak dapat dengan cepat memahami konsep matematika atau mengetahui bagaimana menentukan solusi persoalan ; b. Penggunaan pengetahuan awal, penalaran dan strategi kognitif; c. Generalisasi, pembuktian dan evaluasi; berpikir reflektif yang melibatkan pengkomunikasian solusi dengan penuh pertimbangan, membuat makna tentang jawaban atau argumen yang masuk akal, dan atau membangkitkan perluaan studi selanjutnya. Pendapat lain mengenai pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menurut Zohar dkk (dalam Maulana, 2006: 24) dapat dilakukan melalui pembelajaran yang bersifat student-centered, yakni pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dalam pembelajaran serupa ini, guru memberikan kebebasan berpikir dan keleluasaan bertindak kepada siswa dalam memahami pengetahuan serta memecahkan masalahnya. Guru memberikan keleluasaan seluas-luasnya kepada siswa untuk menemukan cara-cara baru. Dengan aktifnya siswa belajar diharapkan siswa tidak hanya mengingat fakta-fakta, aturan-aturan dan prosedur-prosedurnya, akan tetapi mereka dapat mengerjakan dan menyelesaikan masalah matematika secara kritis dan kreatif.
  • 32. Pembentukan suasana yang kondusif untuk mengajarkan berpikir kritis kepada siswa seperti yang dikemukakan oleh Cotton (1991) adalah dengan mengatur lingkungan kelas agar dapat berperan secara optimal, merencanakan aktivitas pembelajaran yang baik, memberikan penghargaan pada setiap respon yang disampaiakan siswa, bersikap fleksibel terhadap jawaban atau pendapat siswa, menerima perbedaan individual, membuat model sesuai kebutuhan, memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran, dan menggunakan model mengajar yang bervariasi. Applebaum (1999) menyatakan bahwa untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis didalam proses belajar mengajar matematika disekolah, dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Meminta siswa untuk menemukan algoritma serta selalu mencari cara lain untuk menyelesaikan masalah; b. Membangun suatu aktivitas untuk memfasilitasi siswa untuk meningkatkan dan menyempurnakan kemampuan berpikir kritis yaitu dengan cara : membandingkan, membedakan, membuat konjektur, membuat induksi, membuat generalisasi, membuat spesialisasi, membuat klasifikasi, mengelompokan, melakukan proses deduksi, membuat visualisasi, mengurutkan, mambuat prediksi, membuat validasi, membuktikan, menganalisis, mengevaluasi, dan membuat pola; c. Meminta siswa untuk menentukan hubungan fungsional diantara satu variabel dengan variabel lain;
  • 33. d. Menggunakan bernagai cara dalam mempelajari suatu topik; e. Meminta siswa mempelajari bagaimana matematika disajikan atau dipresentasikan beserta alasannya. f. Mengumpulkan data yang ditemukan siswa, fakta-fakta yang mereka kumpulkan dalam lebih dari dua cara, dan konjektur- konjektur atau argument yang mereka percaya merupakan sentral dari ringkasan materi yang mereka pelajari untuk dijadikan bahan diskusi lebih lanjut. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis dapat dikembangkan melalui pembelajaran matematika. Guru memegang peranan penting dalam mendesain pembelajaran matematika yang memberikan kesempatan luas kepada siswa untuk menumbuh kembangkan kemampuan berpikir kritis. Peran guru dalam memberikan stimulus dan memelihara lingkungan berpikir kritis merupakan hal yang krusial. Tanpa adanya peranan dari guru, kemampuan berpikir kritis tersebut tidak akan berkembang secara maksimal. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dalam penelitian ini kemampuan berpikir kritis yang akan dikaji meliputi kemampuan mengidentifikasi konsep, menggeneralisasi, serta membuat deduksi. F. Kerangka Berpikir Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu menghadapi banyak masalah. Permasalahan-permasalahan itu tentu saja tidak semuanya merupakan permasalahan matematis, namun matematika memiliki peranan yang sangat
  • 34. sentral dalam menjawab permasalahan keseharian itu. Oleh karena itu cukup beralasan jika pemecahan masalah menjadi “trend” dalam pembelajaran matematika belakangan ini. Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimilikinya untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. Beberapa studi tentang kemampuan berpikir kritis matematis tingkat tinggi mengimplementasikan pendekatan pembelajaran tidak langsung, pendekatan gabungan langsung dan tidak langsung. Hasil studinya menunjukkan bahwa pendekatan tidak langsung dan pendekatan gabungan secara signifikan lebih baik dalam meningkatkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa disbanding pendekatan langsung. Maulana (2006: 126) menyimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis mahasiswa yang mengikuti pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan metakognitif lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan mahasiswa yang belajar secara konvensional. Suriadi (2006) menyimpulkan bahwa kemampuan pemahaman dan berpikir kritis matematis yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan discovery lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan siswa yang belajar secara konvensional. Dalam penelitian ini masalah yang akan dikaji berkaitan dengan penggunaan metode Student Facilitator and Explaining melalui Pembelajaran
  • 35. Kooperatif untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kritis matematis siswa SMA. Hal ini dilakukan karena belum ada penelitian sebelumnya yang mengkaji masalah tersebut. G. Definisi Operasional Agar tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai hal-hal yang dimaksudkan dalam penelitian ini, maka penulis memberikan definisi operasional sebagai berikut: 1. Metode Pembelajaran Student Facilitator and Explaining Metode Pembelajaran Student Facilitator and Explaining merupakan metode pembelajaran dimana siswa belajar mempresentasikan ide/pendapat pada rekan siswa lainnya. Metode ini diharapkan siswa mampu menerangkan dengan bagan atau peta konsep. Selain itu juga metode ini merupakan tipe model pembelajaran kooperatif dengan menggunakan kelompok-kelompok kecil dengan jumlah anggota dari tiap kelompok 4-5 orang siswa secara heterogen. Diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran, penyampaian materi, kegiatan kelompok, dan penghargaan kelompok. 2. Pembelajaran Langsung Pembelajaran langsung merupakan pembelajaran yang menuntut keaktifan guru karena materi pelajaran diajarkan langsung kepada siswa.Siswa tidak dituntut untuk menemukan materi karena materi pelajaran diajarkan seakan-akan sudah jadi. Pembelajaran langsung disajikan melalui lima tahap yaitu menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa, mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan, membimbing pelatihan,
  • 36. mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik, dan memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan. 3. Kemampuan Pemecahan Masalah Kemampuan pemecahan masalah matematik adalah kemampuan menggunakan informasi dan pengetahuan dalam upaya mencari jalan keluar dari suatu permasalahan matematik yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu dengan langkah penyelesaiannya menggunakan fase penyelesaian menurut polya yang terdiri dari: memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melakukan perhitungan dan memeriksa kembali hasil terhadap semua langkah yang telah dikerjakan. Kemampuan pemecahan masalah dilihat dari tes kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. 4. Pengaruh penggunaan metode pembelajaran Student Facilitator and Explaining. Penggunaan metode pembelajaran Student Facilitator and Explaining dikatakan mempunyai pengaruh positif jika kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang menggunakan metode pembelajaran Student Facilitator and Explaining lebih baik dari siswa yang menggunakan pembelajaran langsung. 5. Kesulitan Siswa dalam Pemecahan Masalah Matematis Kesulitan dalam matematika dikategorikan dalam tiga jenis yaitu : kesulitan dalam mempelajari konsep, kesulitan dalam menerapkan konsep, kesulitan dalam menyelesaikan masalah verbal. Siswa dianggap mengalami kesulitan pada tahap tertentu jika pada tahap itu siswa memperoleh nilai
  • 37. ́ X kurang dari mnimun atau tidak memberikan jawaban dan siswa dianggap tidak mengalami kesulitan jika siswa memperoleh nilai lebih dari atau sama ́ X dengan .Dalam penelitian ini skor maksimum tiap tahap bervariasi minimum untuk tiap tahap pokok uji. H. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode Student Facilitator and Explaining melalui pembelajaran kooperatif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran langsung. 2. Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode Student Facilitator and Explaining melalui pembelajaran kooperatif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran langsung. 3. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang memperoleh pembelajaran kooferatif dengan metode Student Facilitator and Explaining. 4. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang memperoleh pembelajaran kooperatif dengan metode Student Facilitator and Explaining.
  • 38. 5. Terdapat korelasi positif antara pemecahan masalah matematik dan kemampuan berpikir kritis matematis siswa melalui pembelajaran kooperatif dengan metode Student Facilitator and Explaining. I. Penelitian yang Relevan Beberapa studi tentang hasil penelitian terdahulu yang mendukung permasalahan penelitian, diantaranya upaya peningkatkan implementasi siswa ditinjau dari kemampuan awal siswa, kemampuan terhadap komunikasi matematik, kemampuan pemahaman, pemecahan masalah dan berpikir kritis melalui berbagai macam model pembelajaran. Sejumlah studi (Wardani, 2002; Ratnaningsih, 2003; dan Prabawati, 2011) secara umum melaporkan hasil belajar matematika dalam berbagai aspek berpikir tingkat tinggi melalui berbagai model pembelajaran tergolong antara cukup dan baik. Arum, Handini (2010) menyimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematik siswa dapat meningkat setelah dilaksanakan pembelajaran matematika dengan model kooperatif tipe Think-Pair-Square pada pokok bahasan bangun ruang. Berkaitan dengan pembelajaran yang menggunakan metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining, hasil penelitian Lesrati (2011) menunjukkan bahwa pembelajaran dengan metode Student Facilitator and Explaining dapat meningkatkan impelemtasi siswa jika ditinjau dari kemampuan awal siswa.
  • 39. Suriadi (2006) menyimpulkan bahwa kemampuan pemahaman dan berpikir kritis matematis yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan discovery lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan siswa yang belajar secara konvensional. Selanjutnya penelitian yang diajukan Mufrika, Tika (2010) masih dengan model pembelajaran koopertaif metode Student Facilitator and Explaining diperoleh nilai thit kemampuan komunikasi matematika siswa yang diajarkan dengan metode Student Facilitator and Explaining (SFE) lebih tinggi dan signifikan daripada rata-rata kemampuan komunikasi matematika siswa yang diajarkan dengan metode konvensional. J. Desain Penelitian Dalam menjawab pertanyaan dalam penelitian ini, yaitu untuk melihat sejauh mana pengaruh penggunaan metode Student Facilitator and Explaining melalui pembelajaran kooperatif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMK, maka penelitian ini didesain dalam studi eksperimen dengan desain berbentuk randomized pre test-post test control group design. Penelitian ini akan mengambil sampel sebanyak dua kelas yang homogen sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan pembelajaran berbeda. Kelas eksperimen menggunakan pembelajaran dengan metode Student Facilitator and Explaining dan kelas kontrol menggunakan pembelajaran langsung. Dengan demikian, desain penelitiannya dapat digambarkan (Russefendi, E.T.,2005:45) sebagai berikut:
  • 40. A O1 X1 O2 A X2 O 1 - O2 Keterangan : A = Pemilihan sampel secara acak kelas O1 = Tes awal (pretes) O2 = Tes akhir (Postes) X = Perlakuan berupa pembelajaran kooperatif dengan metode Student Facilitator and Explaining. K. Populasi dan Sampel a. Populasi Arikunto Suharsimi (2010:130) “Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi”. b. Sampel Sudjana (2005:6) berpendapat, “Sampel merupakan bagian dari populasi, seluruh populasi dianggap semua dan mempunyai kesempatan yang sama pula untuk dijadikan sampel dari penelitian“. Sampel dalam penelitian ini akan diambil sebanyak dua kelas berdasarkan random menurut kelas. Alasan menggunakan sampel random menurut kelas karena kemampuan siswa setiap kelas memiliki karakteristik yang sama yaitu terdiri dari siswa berkemampuan kurang, sedang dan pandai.
  • 41. L. Instrumen Penelitian Menurut Arikunto, Suharsimi ( 2006:160) “Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah”. Instrumen digunakan untuk memperoleh data yang digunakan untuk menjawab penelitian. Penelitian ini melibatkan dua jenis instrumen yaitu tes dan non-tes. Instrumen dalam bentuk tes terdiri dari seperangkat tes pemecahan masalah matematik dan tes berpikir kritis matematis. Sedangkan instrumen dalam bentuk non-tes melibatkan skala sikap siswa. Masing-masing bentuk tes di atas diuraikan sebagai berikut: 1. Tes Pemecahan Masalah Soal tes pemecahan masalah di dalam penelitian ini berbentuk soal uraian sebanyak 4 soal. Tes pemecahan masalah yang berbentuk uraian bertujuan untuk mengetahui proses berfikir, keterkaitan, dan sistematika pekerjaan siswa. Di dalam penskoran pemecahan masalah terdapat poin-poin atau skor pada setiap langkah yang dikerjakan. Pada pedoman penskoran pemecahan masalah yang dikemukakan, Shcoen dan Ochmke (Wardani, Sri, 2002:16) bahwa setiap langkah memiliki skor yang berbeda. Tabel Pedoman Pemberian Skor Pemecahan Masalah Memahami Merencanakan Melakukan Memeriksa Skor masalah penyelesaian perhitungan kembali hasil 0 Salah Tidak ada Tidak Tidak ada
  • 42. menginterpre rencana, melakukan pemeriksaan tasikan/salah membuat perhitungan atau tidak ada sama sekali rencana yang keterangan tidak relevan lain Salah Membuat Melakukan Ada menginterpre rencana yang prosedur pemeriksaan tasikan soal, benar tapi yang benar tetapi tidak mengabaikan salah dalam dan mungkin tuntas 1 soal hasil, tidak ada menghasilkan hasil jawaban benar tapi salah perhitungan Memahami Membuat Melakukan Pemeriksaan masalah soal rencana yang proses yang dilakukan selengkapnya benar dan benar dan untuk melihat 2 mendapatkan mendapatkan kebenaran hasil yang hasil yang proses benar benar Membuat rencana yang 3 benar tetapi belum lengkap Membuat rencana sesuai dengan 4 prosedur dan pengaruh pada solusi yang benar Skor Skor maksimal Skor Skor maksimal 2 4 maksimal 2 maksimal 2 Sumber: Wardani, Sri (2002 : 16) 2. Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Tes kemampuan berpikir kritis pada penelitian ini terdiri dari 6 soal berbentuk uraian. Tes ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal tidak rutin. Kriteria pemberian skor tiap butir soal dalam tes ini menurut pedoman penskoran soal-soal, dimana setiap butir soal mempunyai bobot nilai
  • 43. maksimal 4 dan minimal 0. Adapun kriteria penskoran mengacu pada teknik penskoran Hancock (1995) seperti dijelaskan pada tabel berikut ini: Penskoran Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Keterangan jawaban Nilai 1. Jawaban lengkap dan benar untuk pertanyaan yang diberikan 2. Illustrasi ketrampilan pemecahan 4 masalah, penalaran, dan komunikasinya sempurna (excellent) 3. Jika jawaban terbuka, jawaban semuanya benar 4. Pekerjaann ya ditunjukkan dan atau dijelaskan clearly 5. Memuat sedikit kesalahan 6. Jawaban benar untuk masalah yang diberikan 7. Illustrasi ketrampilan pemecahan 3 masalah, penalaran dan komunikasi baik (good) 8. Jika jawaban terbuka, banyak jawaban yang benar 9. Pekerjaann ya ditunjukkan dan atau dijelaskan 10. Memuat beberapa kesalahan dalam penalaran matematika 11. Beberapa jawaban dari pertanyaan tidak lengkap 12. Illustrasi ketrampilan pemecahan masalah, penalaran dan komunikasinya cukup (fair) 2 13. Kekurangan dalam berpikir
  • 44. tingkat tinggi terlihat jelas 14. Penyimpulan terlihat tidak akurat 15. Muncul beberapa keterbatasan dalam pemahaman konsep matematika 16. Banyak kesalahan dari penalaran matematika yang muncul 17. Muncul masalah dalam meniru ide matematika tetapi tidak dikembangkan 18. Ketrampilan pemecahan masalah, penalaran dan atau 1 komunikasi kurang (poor) 19. Banyak kesalahan perhitungan yang muncul 20. Terdapat sedikit pemahaman matematisa yang diilustrasikan 21. Siswa jarang mencoba beberapa hal 22. Keseluruhan jawaban tidak ada atau tidak Nampak 23. Tidak muncul ketrampilan pemecahan masalah, penalaran atau komunikasi 0 24. Sama sekali pemahaman matematisanya tidak muncul 25. Terlihat jelas bluffing (mencoba-coba, menebak) 26. Tidak menjawab semua kemungkinan yang diberikan 3. Skala Sikap Siswa Skala sikap diberikan kepada siswa kelas eksperimen setelah memperoleh pembelajaran kooperatif dengan metode Student Facilitator and Explaining. Sikap yang dilihat meliputi sikap terhadap pelajaran matematika, sikap terhadap pembelajaran kooperatif dengan metode Student Facilitator
  • 45. and Explaining, dan sikap terhadap soal-soal yang mengukur pemecahan masalah matematik dan kemampuan berpikir kritis matematis. Model skala sikap yang digunakan adalah model skala sikap Likert, dengan pilihan jawaban SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju) dan STS (Sangat Tidak Setuju). Untuk melihat kecenderungan sikap siswa ke arah positif atau negatif, diberikan penskoran dimana untuk pernyataan positif SS memiliki nilai 4, pernyataan S memiliki nilai 3, pernyataan TS memiliki nilai 2 dan pernyataan STS memiliki nilai 1. Sedangkan untuk pernyataan negatif dengan pemberian skor sebaliknya dari pernyataan positif. M. Prosedur Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan dua macam cara pengumpulan data yaitu melalui tes dan angket. Tes dilaksanakan sebelum dan sesudah pembelajaran. Sebelum pembelajaran diadakan tes awal (pretes), bertujuan untuk mengetahui penguasaan materi dan kemampuan awal siswa pada kedua kelompok. Sedangkan tes sesudah pembelajaran berupa tes pemecahan masalah matematis serta berpikir krititis matematis yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal non-rutin pada aspek-aspek tersebut. Skala sikap diberikan kepada siswa kelompok eksperimen setelah seluruh kegiatan dalam pembelajaran kooperatif dengan metode Student Facilitator and Explaining berakhir. Pengisian skala sikap ini bertujuan untuk mengetahui sikap siswa terhadap model pembelajaran kooperatif
  • 46. dengan metode Student Facilitator and Explaining dan soal-soal pemecahan masalah serta berpikir kritis matematis. N. Metode Analisis Data Analisis data yang digunakan, yaitu data kuantitatif berupa hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemampuan berpikir kritis matematis siswa dan data kualitatif berupa skala sikap siswa. 1) Data kuantitatif Analisis data hasil tes dimaksudkan untuk mengetahui besarnya peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemampuan berpikir kritis matematis siswa, sehingga data primer hasil tes siswa sebelum dan setelah perlakuan penerapan metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining dianalisis dengan cara membandingkan skor pretes dan postes. Perbandingan skor ini dinyatakan dengan nilai gainnya . Menyatakan gain dalam hasil proses pembelajaran tidaklah mudah. Misalnya, siswa yang memiliki gain 2 dari 5 ke 7 dan siswa yang memiliki gain 2 dari 8 ke 10 dengan skor maksimal 10. Gain absolut menyatakan bahwa kedua siswa memiliki gain yang sama. Secara logis seharusnya siswa yang kedua memiliki gain yang lebih tinggi dari siswa yang pertama. Hal ini karena usaha untuk meningkatkan dari 8 ke 10 akan lebih berat daripada meningkatkan dari 5 ke 7. Menyikapi kondisi bahwa siswa memiliki gain absolut sama belum tentu memiliki gain hasil belajar yang sama, Meltzer (Lestari, 2008) mengembangkan sebuah alternatif untuk menjelaskan gain yang disebut gain ternormalisasi.
  • 47. Menghitung gain ternormalisasi dengan rumus: postes− prete s g= skor maksimal− pretes (Meltzer dalam Lestari, 2008) Tabel Kriteria Indeks Gain Interval Kriteria g >0,7 Tinggi 0,3< g ≤ 0,7 Sedang g ≤ 0,3 Rendah (Hake dalam Lestari, 2008) Hipotesis statistik yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H0 : 1(eksperimen) = 2(kontrol) H1 : 1(eksperimen) > 2(kontrol) Hipotesis 1 : H0 : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining dengan siswa yang memperoleh pembelajaran langsung. H1 : Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining secara signifikan lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran langsung. Hipotesis 2 :
  • 48. H0 : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara peningkatan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining dengan siswa yang memperoleh pembelajaran langsung. H1 : Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining secara signifikan lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran langsung. Untuk menguji hipotesis ke-1 dan 2 digunakan uji perbedaaan dua rata-rata (uji-t) dengan taraf signifikan  = 0,05 dan derajat kebebasan dk= (ne + nk – 2), H0 diterima jika thitung < ttabel (Ruseffendi,1998:278). Adapun langkah-langkah uji perbedaan rata-rata sebagai berikut. a) Menghitung rata-rata skor hasil pretes dan postes menggunakan rumus sebagai berikut: k ∑x i x= i =1 n . Ruseffendi (1998: 76) b) Menghitung standar deviasi pretest dan postest menggunakan rumus: k ( xi − x ) 2 s= ∑ n i =1 . (Ruseffendi, 1998) c) Menguji normalitas data skor pretes dan postes.
  • 49. Uji normalitas diperlukan untuk menguji apakah data berdistribusi normal atau tidak. Menguji normalitas data menggunakan uji Chi Kuadrat dengan hipotesis sebagai berikut. H0 = sebaran data berdistribusi normal H1 = sebaran data tidak berdistribusi normal Kriteria: 2 2 Hipotesis nol ditolak jika ❑hitung ≥ ❑tabel 2 2 Hipotesis nol diterima jika ❑hitung <❑tabel 2 2 Dengan ❑tabel =❑(1−α )( j −3 ) . Untuk α=0,05 dan j merupakan banyaknya kelas interval. Statistik uji Chi-kuadrat yang digunakan adalah: ( fe − fo ) 2 χ2 =∑ fe . (Ruseffendi, 1998) Keterangan: f0 : frekwensi observasi fe : frekwensi estimasi d) Menguji homogenitas varians. Uji homogenitas varians digunakan untuk menguji kesamaan varians dari skor pretes, postes dan gain pada kedua kelompok (kelompok kontrol dan kelompok eksperiment) untuk kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematik. Adapun hipotesis statistik yang digunakan adalah: Hipotesis:
  • 50. 2 2 H0 : σ A =σ B , varians kelompok eksperimen tidak terdapat perbedaan dengan varians kelompok kontrol 2 2 H1 : σ A ≠ σ B , varians kelompok eksperimen tidak sama dengan varians kelompok kontrol Kriteria uji homogenitas adalah: F hitung > F tabel Hipotesis nol ditolak jika F hitung ≤ F tabel Hipotesis nol ditolak jika Untuk menguji hipotesis tersebut, digunakan uji-F sebagai berikut. 2 sA F= sB 2 (Ruseffendi, 1998) Keterangan: s2 A = varians kelompok eksperimen 2 sB = varians kelompok kontrol e) Sebaran data normal dan homogen, maka uji signifikansi dengan statistik uji-t sebagai berikut: x 1− x 2 ́ ́ t= √ 2 2 ( n 1−1 ) s1 + ( n 2−1 ) s 2 1 1 n 1+ n2 −2 (n ) 1 + n2 . (Sudjana, 2005)
  • 51. Keterangan: x1 ́ = rata-rata sampel pertama x2 ́ = rata-rata sampel kedua 2 s1 = varians sampel pertama 2 s2 = varians sampel kedua n1 = banyaknya data sampel pertama n2 = banyaknya data sampel pertama t hitung <t tabel t tabel =t 1−α Kriteria: Terima H0 jika dengan untuk taraf dk ¿ n1 +n 2−2 signifikansi α=0,05 dan derajat kebebasan Untuk distribusi data normal tetapi tidak homogen, digunakan uji hipotesis dengan uji-t’ sebagai berikut: x 1− x 2 ́ ́ t '= √( s1 s 2 2 + 2 n1 n2 ) (Sudjana, 2005) 2) Data kualitatif Dalam penelitian data kualitatif yang dianalisis adalah skala sikap. Penganalisisan data hasil skala sikap dititik beratkan pada respons siswa terhadap model pembelajaran yang diberikan, yaitu pembelajaran kooferatif dengan metode Student Facilitator and Explaining. Untuk mengetahui hubungan/kaitan antara pemecahan masalah matematis dengan kemampuan berikir kritis siswa dengan menggunakan rumus korelasi product moment dengan angka kasar (Arikunto, 2005: 72), yaitu:
  • 52. N ∑ XY − (∑ X )( ∑ Y ) rxy = { N ∑ X 2 − ( ∑ X ) 2 }{ N ∑ Y 2 − ( ∑ Y ) 2 } dengan rxy = Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y X = Skor pemecahan masalah matematis Y = Skor kemampuan berpikir kritis siswa N = Banyaknya siswa peserta tes Untuk menganalisis dan mendeskripsikan sikap siswa diperlukan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Pemberian Skor Skala sikap Penentuan skor skala sikap Likert dapat dilakukan secara apriori dan dapat pula secara aposteriori (Subino, 1997). Secara apriori, maka bagi skala yang berarah positif akan mempunyai kemungkinan-kemungkinan skor 4 bagi SS, 3 bagi S, 2 bagi TS dan 1 bagi STS, sedangkan bagi skala yang berarah negatif maka kemungkinan skor tersebut menjadi sebaliknya. 2. Memilih Butir-butir Skala Sikap Pemilihan butir-butir skala sikap Likert ini didasarkan kepada signifikan tidaknya daya pembeda butir skala yang bersangkutan. Daya pembeda butir-butir skala sikap Likert ini dianalisis dengan uji-t. Statistik t dihitung dengan rumus : xT − x R t= S T2 S R 2 + nT n R dengan :
  • 53. XT : Rata-rata skor kelompok tinggi XR : Rata-rata skor kelompok rendah. S T2 : Varians kelompok tinggi 2 SR : Varians kelompok rendah nT : Banyaknya subjek pada kelompok tinggi nR : Banyaknya subjek pada kelompok rendah 3. Analisis Reliabilitas Skala Sikap Reliabilitas skala sikap dianalisis dengan menggunakan rumus Alpha, setelah dilakukan seleksi terhadap butir-butir pernyataan yang memiliki Daya Pembeda yang signifikan. Rumus dan kriterianya sama dengan perhitungan reliabilitas instrumen tes, yaitu :  n  ∑ σ i  2 r = 1 −   n − 1   σ t2   dan kriteria reliabilitas dari Guilford. 4. Hasil Pengukuran Sikap dan Minat Siswa Hasil pengukuran sikap dan minat siswa dihitung rata-ratanya untuk setiap butir pernyataan. Kemudian dibandingkan dengan rata-rata netralnya. Apabila rata-rata skor untuk suatu pernyataan lebih besar dari rata-rata skor netralnya, maka sikap dan minat siswa dikatakan positif terhadap pernyataan tersebut.