1) Dokumen membahas perspektif tiga aliran teologi Islam yaitu Mu'tazilah, Maturidiyah, dan Asy'ariyah mengenai kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
2) Mu'tazilah meyakini kekuasaan Tuhan terbatas oleh hukum-Nya sendiri dan keadilan, sedangkan Asy'ariyah meyakini kekuasaan Tuhan mutlak tanpa batasan.
3) Maturidiyah memiliki pandangan di antara kedua
1. KEKUASAAN DAN KEHENDAK MUTLAK TUHAN
Pendahuluan
BAB I
PENDAHULUAN
A Latar Belakang Masalah
Perbedaan pendapat pada manusia adalah suatu kenyataan yang tidak bisa
dipungkiri. Jika manusia sejak kecilnya memandang alam sekitarnya dengan pandangan
filosofis – sementara pandangan orang berbeda-beda, maka kelanjutan ialah bahwa
gambaran dan imajinasi manusia juga berbeda-beda. Demikian juga halnya yang terjadi
dalam kenyataan kehidupan kaum muslimin, di mana sejarah mencatat bahwa kaum muslimin
sepeninggal Rasulullah SAW. Setelah terbagi kepada beberapa aliran dalam bidang Teologi
yang semulanya hanya dilator belakangi oleh persoalan politik, seperti : Jabariyah,
Qadariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Masing-masing aliran berbeda
pendapat dalam mengemukakan konsep mereka dalam bidang teologi, di samping
disebabkan karena mamang munculnya perbedaan itu terkait langsung dengan perbedaan
kecenderungan, tingkat pengetahuan dan pengalaman, juga disebabkan karena di antara
dasar-dasar agama, baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi memberikan
peluang untuk munculnya perbedaan persepsi dalam memberikan peluang untuk munculnya
perbedaan persepsi dalam memberikan interpretasi, khususnya dalam lapangan teologi
seperti masalah sifat-sifat tuhan, perbuatan manusia dan perbuatan Tuhan, keadilan,
kehendak muthlak Tuhan, akal dan wahyu.
Makalah ini mencoba untuk mengetengahkan pembahasan tentang keadilan,
kehendak mutlak Tuhan, akal dan wahyu dengan memperbandingkan pendapat berbagai
aliran dalam Islam yang pernah muncul dalam sejarah.
B Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dalam penulisan makalah ini penulis akan
membatasi masalah antara lain berupa pembahasan Kehendak Mutlak dan Keadilan
Tuhan
BAB II
PEMBAHASAN
Perspektif Mu’tazilah
Di bawah ini saya akan kutifkan langsung tulisan Prof. Dr. Harun Nasution :
“Kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi. Seperti terkandung dalam
uraian Nadir, kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut
faham Mu’tazilah, telah diberikan kepada manusia dalam menentukan perbuatan dan
kemauan. Seterusnya kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh sifat keadilan Tuhan.
Tuhan tidak bisa lagi berbuat sekehendak-Nya, Tuhan telah terikat pada norma-norma
2. keadilan yang kalau dilanggar membuat Tuhan bersifat tidak adil bahkan zalim. Sifat
serupa ini tak dapat diberikan kepada Tuhan. Selanjutnya, kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan dibatasi oleh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia yang menurut
faham Mu’tazilah memang ada. Lebih lanjut lagi, kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh
nature atau hukum alam(sunnah Allah) yang tidak mengalami perubahan.
Al jahiz mengatakan bahwa tiap-tiap benda mempunyai nature dan sifat sendiri yang
mempunyai efek tertentu menurut nature masing-masing. Lebih tegas Al Khayyat
menerangkan bahwa tiap benda memiliki nature tertentu dan tak dapat menghasilkan
kecuali efek yang itu-itu juga; api tak dapat menghasilkan apa-apa kecuali panas, dan es
tak dapat menghasilkan apa-apa kecuali dingin. Efek yang ditimbulkan tiap benda,
menurut Mu’ammar seperti gerak, diam, rasa, warna, bau, panas, dingin, basah dan
kering, timbul sesuai dengan nature dari masing-masing benda yang bersangkutan.
Sebenarnya efek yang ditimbulkan tiap benda bukan perbuatan Tuhan. Perbuatan Tuhan
hanyalah menciptakan benda-benda yang mempunyai nature tertentu.
Dari tulisan-tulisan seperti di atas itu dapat ditarik kesimpulan bahwa kaum Mu’tazilah
percaya pada hukum alam atau sunnah Allah yang menganut perjalanan kosmos dan
dengan demikian menganut faham determinisme. Dan determinisme ini bagi mereka,
sebagai kata Nadir, tidak berubah-ubah sama dengan keadaan Tuhan yang juga tidak
berubah-ubah.
Sebagai penjelasan selanjutnya bagi faham sunnah Allah yang tak berubah-ubah ini dan
determinisme ini; ada baiknya dibawa di sini uraian Tafsir al-Manar. Segala sesuatu di
alam ini, demikian al Manar, berjalan menurut sunnah Allah dan sunnah Allah itu dibuat
Tuhan sedemikian rupa sehingga sebab dan musabab di dalamnya mempunyai
hubungan yang erat. Bagi tiap sesuatu Tuhan menciptakan sunnah tertentu. Umpamanya
sunnah yang mengatur hidup manusia berlainan dengan sunnah yang mengatur hidup
tumbuh-tumbuhan. Bahkan juga ada sunnah yang tidak berubah-ubah untuk mencapai
kemenangan. Jika seseorang mengikuti jalan yang ditentukan sunnah ini, orang akan
mencapai kemenangan, tetapi jika ia menyimpang dari jalan yang ditentukan sunnah itu,
ia akan mengalami kekalahan. Ada pula sunnah yang membawa pada kesenangan dan
ada yang membawa pada kesusahan. Keadaan seorang mukmin atau seorang kafir tidak
membawa pengaruh dalam hal ini. Sunnah tidak kenal pada pengecualian, sungguh pun
pengecualian untuk Nabi-nabi. Sunnah tidak berubah-ubah dan Tuhan tidak
menghendaki supaya sunnah menyalahi nature. Oleh karena itu orang sakit yang
memohon pada Tuhan supaya ia diberikan kesehatan kembali, sebenarnya meminta :
“Tuhanku, hentikanlah untuk kepentinganku sunnah-Mu yang Engkau katakan tidak akan
berubah-ubah itu”. Jelas bahwa sunnah Allah tidak mengalami perubahan atas kehendak
Tuhan sendiri dan dengan demikian merupakan batasan bagi kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan.
Semua uraian tersebut di atas menunjukan bahwa dalam faham Mu’tazilah kekuasaan
mutlak Tuhan mempunyai batas-batasan; dan Tuhan sendiri, sebagai kata al-Manar, tidak
bersikap absolute seperti halnya Raja Absolut yang menjatuhkan hukuman menurut
kehendaknya semata-mata. Keadaan Tuhan dalam faham ini, lebih dekat menyerupai
keadaan Raja Konstitusional, yang kekuasaan dan kehendaknya dibatasi oleh
konstitusi.”1)
Perspektif Maturidiyah
Ini adalah perspektif aliran Maturidiyah yang saya kutif langsung dari bukunya Prof. Dr.
Harun Nasution yang berjudul Teologi Islam.
“Adapun kaum Maturidi, golongan Bukhara menganut pendapat bahwa Tuhan
mempunyai kekuasaan mutlak. Menurut al-Bazdawi, Tuhan memang berbuat apa saja
yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya menurut kehendak-Nya. Tidak
3. ada yang dapat menentang atau memaksa-Nya, dan tidak ada larangan-larangan
terhadap Tuhan. Akan tetapi bagaimana pun juga seperti akan dijelaskan nanti, faham
mereka tentang kekuasaan Tuhan tidaklah semutlak faham Asy’ ariah.
Maturidiyah golongan Samarkand, tidaklah sekeras golongan Bukhara dalam
mempertahankan kemutlakan kekuasaan mutlak Tuhan. Batasan-batasan yang diberikan
golongan Samarkand ialah:
a. Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang menurut pendapat mereka, ada
pada manusia.
b. Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, tetapi berdasarkan
atas kemerdekaan manusia dalam mempergunakan daya yang diciptakan Tuhan dalam
dirinya untuk berbuat baik atau berbuat jahat.
c. Keadaan hukuman-hukuman Tuhan, sebagai kata al-Bayadii, tak boleh tidak mesti
terjadi.
Dalam pada itu kiranya ditegaskan bahwa yang menentukan batasan-batasan itu
bukanlah zat selain Tuhan, karena di atas Tuhan tidak ada suatu zat pun yang lebih
berkuasa. Tuhan adalah di atas segala-galanya. Batasan-batasan itu ditentukan oleh
Tuhan sendiri dan dengan kemauan-Nya sendiri pula.”2)
Perspektif Asy’ariyah
“Kaum Asy’ariah, karena percaya pada mutlaknya kekuasaan Tuhan, mempunyai
tendensi sebaliknya. Mereka menolak faham Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai tujuan
dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak
mempunyai tujuan, tujuan dalam arti sebab yang mendorong Tuhan untuk berbuat
sesuatu. Betul mereka akui bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan
dan keuntungan bagi manusia dan bahwa Tuhan mengetahui kebaikan dan keuntungan
itu, tidaklah menjadi pendorong bagi Tuhan untuk berbuat.
Dalam menjelaskan kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan ini, al-Asy’ari menulis
dalam Al-Ibanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapa pun; di atas Tuhan tidak ada
suatu zat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat
dan apa yang tidak boleh dibuat Tuhan. Tuhan bersifat absolute dalam kehendak dan
kekuasaan-Nya. Seperti kata al-Dawwani, Tuhan adalah Maha Pemilik (al-Malik) yang
bersifat absolute dan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya di dalam kerajaan-Nya dan
tak seorang pun yang dapat mencela perbuatan-Nya. Yaitu, sungguh pun perbuatan-
perbuatan itu oleh akal manusia dipandang bersifat tidak baik dan tidak adil.
Dalam hubungan ini al-Baghdadi mengatakan bahwa boleh saja Tuhan melarang apa
yang telah diperintahkan-Nya dan memerintahkan apa yang telah dilarang-Nya.
Al-Ghazali juga mengeluarkan pendapat yang sama. Tuhan dapat berbuat apa saja yang
dikehendaki-Nya, dapat memberikan hukum menurut kehendak-Nya, dapat menyiksa
orang yang berbuat baik jika itu dikehendaki-Nya dan dapat memberi upah kepada orang
kafir jika yang demikian dikehendaki-Nya.
Kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan yang digambarkan di atas dapat pula dilihat
dari faham kaum Asy’ariah bahwa Tuhan dapat meletakan beban yang tak terpikul pada
diri manusia, dan dari keterangan al-Asy’ari sendiri, bahwa sekiranya Tuhan
mewahyukan bahwa berdusta adalah baik, maka berdusta mestilah baik bukan buruk.
Bagi kaum Asy’ariah, Tuhan memang tidak terikat kepada apa pun, tidak terikat kepada
janji-janji, kepada norma-norma keadilan dan sebagainya.” 3)
Faham Asy’ariah mengenai doa, sunatullah, serta surga & neraka pula berkait erat
dengan pemahamannya terhadap kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Yaitu, Tuhan
dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, dapat memberikan hukum menurut
4. kehendak-Nya, dapat menyiksa orang yang berbuat baik jika itu dikehendaki-Nya dan
dapat memberi upah kepada orang kafir jika yang demikian dikehendaki-Nya. Karena
sifat-Nya yang mutlak dan absolute itu maka Tuhan bisa memasukan orang mukmin ke
dalam neraka atau orang kafir ke dalam surga asal Ia menghendaki-Nya. Tuhan bisa
melanggar hukum-hukum yang telah di buat-Nya(sunatullah) di dunia. Selanjutnya, atas
dasar itu pula melalui doa segala ketentuan Tuhan dapat diubah jika Tuhan menghendaki
atau mengabulkan doa yang berdoa.
Kesimpulan
1. Bagi Mu’tazilah, Tuhan haruslah patuh kepada hukum-hukum yang Ia buat sendiri.
Oleh karenanya terkesan Tuhan tak lagi memiliki kehendak dan kekuasaan mutlak
semutlak-mutlaknya. Ini tidak terlepas dari upaya memahasucikan-Nya.
2. Sebaliknya bagi kaum Asy’ariah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tak berbatas
atau tak ada yang membatasi-Nya. Oleh karenanya, Ia dapat merubah hukum yang
sebelumnya Ia sudah tetapkan, asalkan Ia menghendaki-Nya.
3. Kaum Maturidi agaknya di sini mereka menempatkan fahamnya diantara Mu’tazilah
dengan Asy’ariah. Menurut mereka Tuhan memiliki kehendak dan kekuasaan mutlak
semutlak-mutlaknya namun Ia juga tak bisa sewenang-wenang berkehendak.
1) Harun Nasution. Teologi islam. UIP. Jakarta. 1986
2) Nasution, Op.cit
3) Nasution, Op.cit