Dalam transformasi budaya global yang kemudian mulai bersentuhan dalam tatanan kehidupan masyarakat Madura; infrastructure budaya yang bergerak melalui berbagai aktifitas masyarakat telah menjadi wilayah yang kurang menguntungkan bagi kepentingan seni tradisional
Pelestarian dan Revitalisasi Seni Etnik Madura, Masih Perlukah
1. Pelestarian dan Revitalisasi Seni Etnik Madura, Masih Perlukah
Syaf Anton Wr
Seni budaya etnik Madura merupakan unsur
kebudayaan masyarakat Madura, yang hidup
dan berkembang selaras dengan perubahanperubahan masyarakatnya. Berbagai ragam
dan konstelasi budaya yang tumbuh dan
berkembang telah di masyarakat menjadi
kesepakatan yang tidak dapat ditolak untuk
menjadi perangkat budaya masyarakat
Madura. Namun demikian, tampaknya
kesepakatan yang telah menjadi tali temali
dalam membangun nilai-nilai cultural
tersebut, sekarang mulai dipertanyakan.
Dalam transformasi budaya global yang
kemudian mulai bersentuhan dalam tatanan
kehidupan
masyarakat
Madura;
infrastructure budaya yang bergerak melalui
berbagai aktifitas masyarakat telah menjadi
wilayah yang kurang menguntungkan bagi
kepentingan seni tradisional. Hal ini
disebabkan lantaran sendi-sendi budaya
yang telah menjadi bagian penting tersebut,
telah mengubah image masyarakat Madura
sampai pada wilayah struktur sosial dan
pola hubungan sosial.
Struktur sosial yang dibentuk
oleh berbagai status individu di dalam
hirarki pretise dalam suatu masyarakat
tampaknya sangat kuat pengaruhnya
terhadap fenomena budaya Madura sendiri.
Karena status individu tidak terlepas dari
peran dan fungsinya bagi
masyarakat
Madura, dan pada gilirannya, keterikatan
peran sebagai pola kebutuhan-kebutuhan,
tujuan-tujuan, keyakinan, kepercayaan,
sikap, perasaan, nilai, tingkah laku yang oleh
anggota masyarakat diharapkan
menjadi ciri dan sifat individu yang
menduduki posisi tertentu. Status dan peran
ternyata saling mempengaruhi.
Kecemasan-Kecemasan Surutnya Minat
Seni Tradisi
Surutnya seni tradisional dalam kancah
pergaulan budaya nasional banyak kalangan
mulai mempertanyakan. Dalam pergulatan
budaya nasional ini, seni tradisional dewasa
ini mulai menuntut hak sebagai infrastruktur
yang memiliki vitalitas dalam pembangunan
nasional. Namun ternyata, bila ditelusuri
keberadaannya hampir tidak mempunyai
tenaga, karena vitalitas material telah
sedemikian menguasai wilayah, akibatnya
kebudayaan lokal mengalami penyurutan
yang demikian parahnya.
Semua orang telah
merasakan, bahwa
masuknya bentuk-bentuk budaya baru
beserta nilai-nilai baru yang ditawarkan,
baik yang masuk lewat keterbukaan dan
sikap akomodatif masyarakat sendiri,
maupun yang “membonceng” praktekpraktek
imperialism
Barat,
telah
menimbulkan berbagai perubahan dan
pergeseran nilai di masyarakat. Secularism,
materialism,
snobbism,
hedonism,
permisifism, tumbuh dimana-mana menjadi
berhala-berhala baru yang hidup dalam diri
“manusia-manusia
modern”.
Bahkan
semangatnya merambah ke bidang-bidang
kesenian yang semua bernafas spiritualitas
yang luhur, kini tinggal catatan yang kurang
diminati oleh masyarakatnya sendiri.
Dalam
keadaan
demikian,
diantara
kekhawatiran, kecemasan dan pesimisme,
memang sempat muncul optimisme; bahwa
2. budaya Madura masih memiliki kekuatan
resistensi (melawan) untuk tetap survive
dalam hempasan arus budaya baru. Dalam
sisi yang lain, rasa optimisme masih terasa
dengan pembuktian masih hidup dan
berlangsung beberapa tradisi masyarakat;
dalam bentuk perilaku, gerakan kesenian
lokal dan penghargaan nilai kekerabatan,
meski dalam batas tertentu.
Sejauh mana “sisa-sisa” budaya tersebut
mampu bertahan?. Kecenderungan yang
meluas di dalam masyarakat, termasuk
kalangan
generasi
muda,
melihat
kebudayaan (budaya) sebagai kata benda,
secara fisik. Misalnya, ketika membicarakan
budaya daerah, seni tradisional, tradisi
masyarakat yang ada dan berkembang di
masyarakat Madura, perhatiannya lebih
tertuju pada bentuk-bentuk pertunjukan
kesenian atau bentuk aktifitas masyarakat
dalam sebuah prosesi pergelaran seni
budaya. Kecenderungan ini tampaknya
memang tidak salah, tetapi tidak lengkap
tanpa dipahami substansi dari aktifitas
tersebut. Substansi dari sebuah gerakan
kesenian, misalnya, yaitu keinginan untuk
mendapatkan
“sesuatu”
dari
sebuah
pertanyaan dan pernyataan diri tentang
hakikat manusia hubungannya dengan
manusia, hubungannya dengan alam dan
hubungannya dengan Sang Pencipta.
Sandaran warga komunitas, terutama lapisan
bawah dan paling bawah yang merupakan
mayoritas masyarakat, merupakan dasar
piramida tatanan masyarakat. Namun usaha
memberdayakan lapisan dasar piramida
masyarakat, rasanya akan mengalami
persoalan bila mengabaikan unsur-unsur seni
tradisional yang sangat beragam. Karena
pada seni tradisional terdapat unsur
komunikasi, mobilisasi, partisipasi dan
kontrol, karena seni tradisional berhubungan
langsung
dengan
kemungkinankemungkinan untuk merebut kembali hak
tuan atas nasib sendiri dan daerah sebagai
suatu ruang lingkup kehidupan bersama.
Yang dipertanyakan sekarang, seberapa jauh
apresiasi masyarakat sebagai pendukung
kebudayaan lokal?. Kenyataan yang tidak
dapat dipungkiri, dalam memahami dan
mengapresiasi kebudayaan lokal, dari
kalangan
generasi
pendahulu
masih
mengimpikan masa keemasan masa lalu.
Sementara generasi 80-an sampai sekarang,
mulai berkurang dan bahkan nyaris tidak
mempunyai
kegandrungan
terhadap
kebudayaan daerah. Mereka kurang tertarik
dan enggan mengapresiasinya, karena apa
yang dilihat diasumsikan sebagai aktifitas
keterbelakangan, kolot dan barangkali tidak
memihak pada suatu kepentingan dalam
kancah pergaulan. Sedikit sekali yang mau
memahami dan mengapresiasinya.
Banyak hal yang menjadi penyebab
melemahnya pemahaman dan apresiasi
masyarakat
terhadap seni tradisional
(tradisional), antara lain, yang utama sistem
pendidikan nasional tidak memberi peluang
cukup pada anak didik untuk mengapresiasi
dan mengembangkan budaya sendiri.
Kemudian lembaga-lembaga masyarakat
tradisional perannya tidak lagi berfungsi,
dan sudah diambil alih oleh pemerintah,
melalui
konsep
barunya
yang
penampakannya cenderung memihak pada
kepentingan
sesaat.
Demikian
pula
tampaknya para seniman dan budayan
Maduram peran dan fungsinya tidak lagi
efektif, mereka lebih sibuk membangun
fasilitas sosial dari pada fasilitas moral.
Pemangku adat yang ditokohkan sebagai
orang pertama di masyarakat cenderung
menjadi kebanggaan diri dalam design
seremonial. Akibatnya peluang
dalam
membangun kekuatan seni tradisional telah
terjadi tarik ulur; siapa yang dikuasi dan
siapa yang menguasai.
3. Dari persoalan tersebut, akibatnya yang
terangkat ke permukaan justru cenderung
pada budaya material, sementara yang moral
dan spiritual yang menjadi substansi dari
sebuah seni tradisional kurang dan hampir
tidak mendapat perhatian. Anehnya, arus
bawah yang menjadi kekuatan sentral
menerima begitu saja tanpa prasangka,
apalagi ditambah budaya import yang
demikian gencar dari proses globalisiasi.
Segala model “yang baru” semakin menjadi
idola, sedang “yang lama” diberangus begitu
saja. “Dalam mengembangkan seni budaya,
kita ikuti saja selera masyarakat. Kesenian
tidak perlu konsep, seni tradisi tidak relevan
lagi jaman sekarang, minat masyarakat
dangdut ya ikuti saja mereka”. Demikian
ungkapan seorang pejabat birokrasi yang
menangani hal-hal yang berkaitan dengan
kebudayaan. “Kita ikuti saja kehendak
masyarakat, yaitu kesenian yang gampang
digelar (maksudnya
kesenian instan,
dangdut dan sejenisnya). Itulah kebutuhan
kesenian masyarakat kitya”. Ironis memang.
Mengapa Pelestarian?
Sebagai kata, atau bahkan bisa disebut
sebagai sebuah konsep, “pelestarian”
menjadi pernyataan klasik. Namun sebagai
sebuah konsekuensi, selanjutnya “mengapa”
bisa menuntun menjadi pertanyaan baru:
“bagaimana
keadaan
(budaya)
kita
sekarang?”.
Jadi,
letak
pentingnya
pelestarian budaya antara lain,
justru
terdapat pada fungsi memulihkan kembali
ingatan kolektif, agar dapat mengisi
kekosongan yang ditimbulkan oleh lupa.
Melalui kegiatan pelestarian ini, yaitu
melalui pendaftaran kembali “peritiwaperistiwa masa lampau” yang dimiliki oleh
masyarakat, dapat dibaca kemungkinankemungkinan untuk dijadikan acuan dan
diharapkan menjadi representasi peristiwa
budaya. Pelestarian akan menjadi penting,
ketika “sesuatu yang hilang dan terlupakan”
sangat
bermanfaat
bagi
kehidupan
masyarakat selanjutnya.
Pelestarian adalah langkah pertama untuk
memulihkan ingatan agar masyarakat
sebagai etnik, suku bangsa dan sebagai
warga bisa menjadi diri sendiri sekalipun
hidup di dalam sebuah dunia yang makin
menjadi sebuah “desa kecil”. Tapi justru
untuk menghadapi kehidupan di planet yang
kian menyusut menjadi “desa kecil” itu,
maka perlu disepakati untuk menjadi diri
sendiri, agar bisa memberikan sumbangan
bagi pembinaan kehidupan dunia manusia
yang manusiawi melalui usaha-usaha nyata
di kampung halaman sendiri.
Keragaman inilah yang
menyebabkan
terjadinya dialog dan mempunyai “bekal
budaya” dan bekerja bagi budaya dunia.
Karena keragaman merupakan sebuah
keberuntungan dan keindahan. Dunia yang
menyusut menjadi “sebuah desa kecil” ini
juga menuntut agar tidak berhenti dan
memang tidak bisa berhenti pada usahausaha pelestarian semata. Pelestarian hanya
sebuah langkah awal untuk memulihkan
ingatan dan ayunan langkah pertama guna
melahirkan “budaya baru” kekinian yang
tanggap zaman. Jika berhenti (dihentikan)
hanya pada usaha pelestarian sama halnya
dengan memuja masa lalu dan tidak
menutup kemungkinan akan ditinggalkan
oleh waktu.
Revitalisasi Seni tradisional
Yang dimaksud dengan revitalisasi seni
tradisional
adalah
kegiatan
yang
memungkinkan seni tradisional itu mampu
menjawab tantangan jaman, tantangan hidup
hari ini dengan menjadikan gantang
penakarnya memanusiawikan manusia,
kehidupan dan masyarakat. Langkah ini
merupakan tindak lanjut yang menyusul
4. langkah
pelestarian
alias
pendataan
(pendaftaran) dan pengenalan hasil budaya
angkatan-angkatan terdahulu guna melawan
lupa dan memulihkan ingatan kolektif suatu
komunitas masyarakat. Dengan demikian
angkatan hari ini tidak menjadi angkatan
lepas akar atau angkatan kosong. Jika
terhenti hanya sebatas pelestarian dan
menganggap seni tradisional sebagai buah
karya angkatan-angkatan sebelumnya, maka
dihawatirkan komunitas masyarakat akan
hidup menyeret diri mundur ke masa silam
sehingga kian tergenang
di lumpur
keterpurukan total. Dengan menganggap
budaya silam itu yang paling sempurna dan
berlaku di segala jaman.
Kenyataannya, karya-karya budaya masa
silam tidak semuanya tanggap zaman dalam
artian mempunyai daya guna
untuk
memecahkan masalah-masalah kekinian.
Karena itu ia patut ditepis mana yang
tanggap dan mana yang sudah kedaluarsa.
Yang kedaluarsa cukup catat saja menjadi
sejarah, simpan di museum sebagai
bandingan dan pelajaran, sebagai bagian dari
sejarah dari mana kelak bisa melihat
perkembangan diri sebagai suatu komunitas.
Untuk menilai kedaluarsa tidaknya suatu
hasil budaya, tentu yang jadi ukurannya
adalah kemampuan nilainya menjawab
tantangan hari ini.
Suatu penampilan bentuk sampai hakikat
sehingga bisa menyebutnya tanggap atau
tidak, tentu perlu perangkat yang seimbang,
perlu
analisis
dan
kajian
tingkat
relevansinya, sehingga nantinya dalam
menentukan
sikap
budaya,
tidak
terperangkap sikap apriori. Contoh misal;
falsafah (budaya): bapa’ babu’ guru rato
dapat dipahami sebagai wilayah yang
disakralkan, karena didalamnya banyak
mengajarkan nilai etika dan estetika dalam
perilaku kehidupan di masyarakat. Namun
dalam satu sisi, ada pihak menyebutnya
sebagai bentuk pengebirian, karena akan
membatasi keleluasaan melakukan tindakan
dalam sebuah sistem di masyarakat.
Demikian pula dengan falsafah abantal
omba’, asapo’ angen; lebih bagus pote
tolang, etembang pote mata, dan seterusnya,
semua mempunyai nilai dan makna, namun
tidak semua pula dapat diterapkan dalam
kondisi masyarakat sekarang ini. Lalu apa
gerangan yang terjadi dari fenomena
tersebut? Persoalannya sekarang, bagaimana
dalam memilah sisi mana yang tanggap
jaman, dan sisi mana pula sudah tidak patut
lagi dikembangkan oleh masyarakat etnik
Madura.
Nilai-nilai lokal tersebut dicari relevansinya
dan diterapkan pada sarana baru kekinian.
Perihal sarana inipun kiranya patut
memperhatikan sarana yang sejak lama ada
di dalam masyarakat, yaitu institusi
masyarakat sebagai kekuatan masyarakat
yang nantinya menjadi intrumen penggerak
melalui kekuatan dasar piramida masyarakat.
Dengan menggunakan (memanfaatkan) seni
tradisional untuk menjawab tantangan
kekinian dan keterpurukan, ini juga
merupakan ujud kongkrit dari revitalisasi
seni tradisional.
Komunitas Lokal Sebagai Aktor
Istilah pemberdayaan mungkin mengesankan
bahwa komunitas Madura sekarang dalam
keadaan tidak berdaya atau terpuruk. Istilah
ini melukiskan keadaan yang negatif dan ada
yang ingin diubah. Untuk mengubahnya,
pertama dan terpenting adalah komunitas itu
sendiri sebagai faktor intern pemberdayaan.
Pemerintah, LSM baik didalam maupun dari
luar atau siapapun tidak bisa menggantikan
peranan komunitas itu sebagai aktor
pemberdayaan dan kemudian pembangunan
yang integral. Karena pemberdayaan dan
kemudian pembangunan
yang bergulir
5. bukanlah buah derma (hadiah). Jauh
sebelumnya, kebiasaan masyarakat yang
kemudian menjadi tradisi, semangat mandiri,
berprakarsa, dan semangat gotong royong
(song-osong lombung) ini sangat kuat di
kalangan masyarakat Madura. Membangun
sebuah rumah, pemilik tidak repot lagi
mencari tukang bangunan, material, dan
bahkan suguhan, para tetangga dan kerabat
keluarga tanpa pretensi apapun telah
mempersiapkan segalanya. Demikian pula
aktifitas-aktifitas lainnya, yang semuanya
mengarah pada kekuatan dasar masyarakat,
yang mandiri, yang madani.
Menghidupkan kembali ingatan kolektif
terhadap hal tersebut salah satu metode
melalui pendekatan budaya adalah untuk
pemberdayaan manusia seutuhnya. Melalui
dialog budaya dalam usaha pemberdayaan,
yaitu bagaimana mengembalikan suku, etnik
dan masyarakat Madura, kembali menjadi
komunitas-komunitas lokal, menjadi diri
sendiri dengan nilai-nilai yang luhur. Untuk
itu, pendidikan pembebasan melalui proses
penyadaran akan menjadi kunci dan bisa
dilakukan melalui pemaduan usaha-usaha
produktif guna menjawab persoalan hari-hari
yang kongkrit, dengan tanpa melupakan,
bahwa usaha produktif ini merupakan bagian
integral dari proses penyadaran dan
pembebasan diri komunitas dari jebakanjebakan globalisasi budaya.
Penyadaran diri tidak cukup hanya dengan
mempersoalkan dan memperbincangkan
semata, tapi bagaimana membangun jati diri
masyarakat dan mengaktulisasikan dalam
realitas kehidupan nyata. Sebab kenyataan
yang terjadi, fungsi dan peran masyarakat
dalam artian membentuk kekuatan budaya
telah dieksploitasi oleh kecenderungan yang
bersifat material, sementara budaya (daerah,
lokal dan tradisional) yang lebih mengacu
pada konsep kehidupan bersama, tenggang
rasa dan gotong royong itu, hampir
kehilangan maknanya. Bila fungsi tersebut
lumpuh, apa yang diharapkan dari gerakan
kekuatan budaya Madura sendiri?, kecuali
secara lambat lauin masyarakat Madura akan
kehilangan budaya Maduranya. Atau dengan
kata lain tentu tak seorangpun mau
menyatakan diri sebagai Malin Kundang.
Kecuali ……..
Ramadlan 1426