SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  7
Abstract
The Management of Osteoporosis
(Efficacy and safety)
Rachmat G Wachjudi
Indonesian Rheumatism Association (Bandung)
Osteoporosis is a systemic disease characterized by low bone mass and microarchitectural deterioration
of bone tissue, resulting in an increased risk of fracture. The level of bone mass can be estimated by
measuring bone mineral density (BMD) using dual X-ray absorptiometry (DXA), but its measurement
does not capture all the risk factors for fracture. Quantitative changes in skeletal turnover can be
assessed easily and non-invasively by the measurement of serum and urinary biochemical markers; the
most sensitive markers include serum osteocalcin, bone specific alkaline phosphatase, the N-terminal
propeptide of type I collagen for bone formation, and the crosslinked C- (CTX) and N- (NTX) telopeptides
of type I collagen for bone resorption.The measurement of the urinary ratio of native (alpha) to
isomerized (beta) CTX - an index of bone matrix maturation - has been shown to be predictive of
fracture risk independently of BMD and bone turnover. Therefore, the combined use of BMD
measurement and biochemical markers is helpful in risk assessment, especially in those women who are
not identified as at risk by BMD measurement alone. Levels of bone markers decrease rapidly with
antiresorptive therapies, and the levels reached after 3-6 months of therapy have been shown to be
more strongly associated with fracture outcome than changes in BMD. Preliminary studies indicate that
monitoring changes of bone formation markers could also be useful to monitor anabolic therapies,
including intermittent parathyroid hormone administration and, possibly, to improve adherence to
treatment. Thus, repeated measurements of bone markers during therapy may help improve the
management of osteoporosis in patients.
Keywords : osteoporosis – management – bone biomarkers - Bandung
Tatalaksana Osteoporosis
(Efikasi dan keamanan)
Rachmat Gunadi Wachjudi
Perhimpunan Reumatologi Indonesia (Cabang Bandung)
Diagnosis osteoporosis didasarkan atas pemeriksaan kuantitatif kepadatan masa tulang (BMD). BMD
pada kolumna femoris biasanya dijadikan acuan. Dengan berbagai pertimbangan, diagnostic threshold
dibedakan dengan intervention threshold. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa risiko fraktur akan
meningkat sesuai dengan pertambahan usia, walaupun dalam nilai T yang sama. Faktor lain yang turut
menentukan intervension threshold adalah keberadaan faktor risiko klinis (CRF) serta untung rugi
pemberian terapi.
Jenis pemeriksaan yang diperlukan tergantung pada derajat penyakit, umur dan adanya fraktur.
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan berrbagai pemeriksaan penunjang bertujuan untuk menyingkirkan
penyakit yang menyerupai osteoporosis, mengungkap penyebab osteoporosis dan faktor yang
berkaitan, menilai risiko fraktur berikutnya dan memilih pengobatan yang paling sesuai untuk pasien
yang bersangkutan. Pemeriksaan penunjang yang relevan dilakukan meliputi hematologi, laju endap
darah, CRP, kalsium serum, albumin, kreatinin, tes faal hati. Fungsi tiroid, BMD. Prosedur lain jika anda
indikasi meliputi foto ronsen vertebra torako-lumbal AP-lateral, elektroforesis protein, protein Bence
Jones, kadar hormone testosterone, SHBG, FSH, LH. Prolaktin, kortisol urin, sidik tulang radionuklida,
petanda daur tulang (bone turnover markers) dan ekskresi kalsium urin.
Biomarker tulang dapat digunakan untuk diagnostik, penatalakasanaan, perkiraan risiko fraktur dan
monitoring terapi. Derajat masa tulang dapat terukur dengan BMD DXA, namun pengukuran tersebut
tak dapat menangkap setiap faktor risko frakturperubahan kuantitatif pada skeletal turnover dapat
dinilai secara noninvasive dengan pemeriksaaan biomarker di serum dan urin; marker yang sensitive
meliputi osteocalcin serum, bone specific alkaline phosphatase, N-terminal propeptide of type I collagen
untuk bone formation, dan crosslinked C- (CTX) dan N- (NTX) telopeptides of type I collagen untuk bone
resorption. Pengukuran rasio native (alpha) : isomerized (beta) CTX urin– yang merupakan indeks
kematangan matrks tulang – merupakan predictor risiko fraktur independen tak terkait dengan BMD
dan bone turnover. Dengan demikian, kombinasi antara BMD dan biochemical markers sangat
membantu penilaian risiko, terutama pada pasien yang tak terdeteksi risiko frakturnya dengan
pengukuran BMD saja. Kadar bone markers akan menurun dengan cepat pada pasien yang diberikan
terapi antiresorptive, dan kadar yang terukur setelah 3-6 bulang pengobatan terkait lebih erat dengan
risiko fraktur disbanding perubahan BMD. Penelitian pendahuluian juga membuktikan formation
markers juga berguna untuk monitor terapi anabolik, termasuk parathyroid hormone dan mungkin
berguna untuk memperbaiki kepatuhan terapi. Dengan demikian pengukuran berulang bone markers
selama pengobatan dapat membantu meningkatkan tatalaksana osteoporosis pada pasien.
Sampai dengan saat ini di Negara kita belum ada kebijakan yang menetapkan perlunya skrining
osteoporosis dan risiko fraktur pada populasi. Selama ini pasien teridentifikasi secara kebetulan jika
pasien berkunjung untuk penyakit lain, namun pada pasien tersebut terdapat riwayat fraktur fragilitas
dan teridentifikasi CRF. Beberapa faktor tidak berkaitan dengan BMD, sedangkan faktor lain (seperti
penyebab-penyebab osteoporosis sekunder) berkaitan dengan BMD.
Faktor-faktor risiko klinis (CRF) meliputi: umur, indeks masa tubuh rendah, fraktur fragilitas terutama
hip, spine dan wrist terfmasuk fraktur morfometerik, riwayat orang tua dengan fraktur, sedang
menggunakan steroid (lebih dari 3 bulan), merokok, alkohol, penyebab osteoporosis sekunder seperti
RA, hipogonadisme, imobilitas lama, transplantasi organ, DM tipe1, penyakit GIT, penyakit hati kronik,
COPD dan riwayat jatuh. Factor risiko fraktur harus dicari pada wanita pasca menaopause dan pria
berumur 50 tahun atau lebih.
- Wanita dengan fraktur terdahulu dipertimbangkan untuk diberikan terapi tanpa assessment
lebih lanjut, namun demikian BMD dianjurkan bagi pasca menopause awal.
- Dengan adanya CRF lainnya, kemungkinan fraktur osteoporotic dalam 10 tahun ditentukan
berdasarkan FRAXX (www.shef.ac.uk/FRAX). Pasien dibawah threshold, diobservasi kemudian,
pasien anatara lower dan upper tresholddipertimbangkan pemeriksaan BMD, sedangkan pasien
diatas upper threshold, mulai diberikan terapi.
- Pada pasien yang telah diperiksa BMD, sebaiknya dihitung kembali risiko frakturnya dengan
FRAXX untuk pertimbangan pemberian terapi.
Skema yang menunjukkan interaksi berbagai faktor dalam terjadinya fraktur sebagai berikut:
Fracture
Bone
Strength
Material
Properties
Remodeling
Falls
Shape &
Architecture
Exercise &
Lifestyle
Hormones
Nutrition
Bone
Mass
Postural
Reflexes
Soft Tissue
Padding
Reproduced with permission from Heaney RP. Bone 33:457-465, 2003
Factors Leading to Osteoporotic Fracture:
Role of Bone Remodeling
2004
Penatalaksanaan
Masa tulang pada usia tertentu ditentukan oleh puncak masa tulang, kecepatan penurunan masa tulang
sesuai umur, dan pada wanita ditentukan oleh kapan dan sudah berapa lama terjadi menopause Faktor
genetik tak dapat dimanipulasi, namun demikian kita dapat mengatur faktor nutrisi dan lingkungan.
Intervensi farmakologik pada pasien dengan risiko merupakan iupaya pencegahan yang baik. Perlakuak
ini terutama ditujukan kepada mereka dengan kelompok umur 50-65 dengan T score <-3,0 atau dengan
T score <-d,5 dengan adanya factor risiko lainnya (terutama fraktur fragilitas), dan mereka yang
berumur >65 tahun dengan T score <-2,5 tanpa harus ada factor risiko lainnya.
Kalsium
Suplementasi kalsium sangat dinutuhkan oleh mereka dengan diet rendah kalsium (yakni kurang asupan
produk susu, sayuran hijau, kacang, buah dll). Masih belum ada kata sepakat apakah suplementasi
kalsium saja mempunyai pengaruh dalam pencegahan bone loss damn mencegah terjadinya fraktur
pada dewasa muda.
Pada wanita pasca menopause, suplemetasi kalsium terbukti dapat menurunkan kecepatan penurunan
BMD. Pemberian kalsium dan vitamin D pada pasien osteoporosis lansia dapat mecegah penurunan
masa tulang dan risiko fraktur tulang kortikal.
Kalsium dianjurkan pada mereka yang sudah jelas osteoporosis, asupan kalsium rendah (<400mg/hari)
dan suplemen bagi lansia yang sedang mendapatkan obat antiresorptif.
Exercise
Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa aktifitas fisik dapat menurunkan kecepatan hilangnya
masa tulang pada menopause. Aktivitas yang dilakukan harus weight bearing.
Terapi Sulih hormone (HRT)
Terapi sulih estrogen merupakan cara efektif mencegah bone loss pada wanita menopause penambahan
progesterone mengurangi endometrial shedding dan meminimalisir risiko hyperplasia dan neoplasia.
Dosis minimum estrogen peroral adalah 2 mikrogram/hari dan estrogen terkonyugasi 0,625mg/hari.
Penelitian menunjukkan adanya risiko relative kanker mammae 1,3-1,4 pada wanita > 60 tahun yang
menggunakan HRT > 10 tahun. Belum cukup bukti yang kuat bahwa progesterone dapat menurunkan
risiko ini. HRT harus diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan hipertensi. HRT juga diketahui
bersifat kardioprotektif dengan menurunkan kadar kolesterol. Hal yang lain yang harus diperhatikan
adalah risiko terjadinya DVT walaupun risikonya kecil yakni 20 kasus/100.000 pengguana HRT/tahun
Pengobatan Established Osteoporosis
Penelitian terhadap berbagai obat osteoporosis menunjukkan kemampuannya untuk menurunkan 40-
50% risiko fraktur fragilitas baik vertebra maupun hip pada wanita dengan established osteoporosis.
Bisphosphonate saat ini merupakan obat yang paling sering dipergunakan pada pasien osteoporosis.
Obat ini tegolong senyawa anti resorptif yang tersu dikembangkan baik untuk pemakaian oral maupun
parenteral. Pada umumnya senyawa ini cukup aman, namun harus berhati-hati bagi yang terdapat
gangguan ginjal dan refluks esophagus dan hernia hiatus. Harus diberikan dalam keadaan perut kosong
karena absorpsinya yang buruk. Disertai pemberian kalsium 800-1000mg dan vitamin D 400-800 IU.
Dari berbagai penelitian dan laporan kasus yang dimuat diberbagai jurnal, kita bisa simpulkan bahwa
untuk efektivitas pengobatan osteoporosis vertebrae sudah sama disepakati signifikansinya. Beberapa
bisphosphonate seperti Ibandronate masih menunggu hasil penelitian mengenai efektivitasnya terhadap
non vertebral fracture.
Hal yang patut menjadi perhatian kita dalam penatalaksanaan osteoporosis dan pencegahan fraktur
adalah kepatuhan pasien dalam menggunakan obat-obatan; karena pengobatan osteoporosis tidak
seperti obat anti nyeri yang dapat dirasakan khasiatnya secara sybyektif oleh pasien. Untuk itu
perusahaan farmasi berlomba mengembangkan sediaan bisphosphonate baik dalam interval pemakaian
maupun dalam route pemberian obat. Sampai tahun 2002, sediaan bisphosphonate umumnya masih
diberikan secara once daily, cara pemberian seperti ini hanya dapat dipatuhi oleh sebgian kecil (30%)
pasien yang bertahan menggunakan selama 1 tahun. Setelah itu sediaan ada yang bisa digunakan
seminggu sekali, sebulan sekali per oral, dan 3 bulan sekali intra vena, serta setahun sekali dengan
infuse.
Selain issue mengenai persamaan dan perbedaan efek terapeutik, pada kelompok bisphosphonate juga
terdapat beberapa laporan yang mengangkat masalah osteonecrosis of the jaws (ONJ), oesophageal
cancer, atypical fracture, renal safety, dan fibrilasi atrium.
Yang juga belum mendapatkan kesepakatan adalah mengenai berapa lama seseorang boleh diberikan
terapi bisphosphonate. Pendapat para akhli masih beragam dalam hal ini. Dalam menentukan berapa
lama terapi bisphosphonate aman diberikan, didasarkan pada derajat risiko fraktur pada masing-masing
pasien. Berikut salah satu yang dapat kita gunakan sebagai pedoman, sebelum ada consensus yang
universal
Kalsitonin sama efektivitasnya dengan HRT dalam pencegahan bone loss pada wanita menopause.
Diberikan sebagai alternative HRT jika ada kontra indikasi atau tidak akseptabel. Kalsitonin juga
mempunyai efek mengurangi bone pain pada fraktur
Strontium Ranelate dengan dosis 2g/hari dapat dijadikan pilihan pertama bagi mereka yang terdapat
kontraindikasi pemakaian bisfosfonat. Dapaty menurunkan risiko fraktur hip dan vedrtebra sebesar 36-
41%. Yang perlu diperhatikan, strontium berikatan dengan tulang dan dapat memberikan false high
pada pembacaan DXA
Teriparatide merupakan analog hormone yang diberikan secara injeksi subkutan setiap hari selama 18
bulan. Hanya diberikan kepada pasien yang telah diberikan bisphosphonate 18 bulan namun tidak
menunjukkan respons, berumur >65 tahun, T score <-4,0 atau <-3,0 disertai 2 atau lebih fraktur
fragilitas dan 1 faktor yang independen terhadap umur.
Sebagai ringkasan pada terapi osteoporosis, yang perlu kita pertimbangkan meliputi penilaian risiko
fraktur dan pencegahannya. Pertahankan mobilitas, dan penuhi kebutuhan nutrient terutama kalsium,
vitamin D dan protein. Intake kalsium minimal 1000mg/hari, 800mg Vitamin D dan 1gprotein/ kgBB.
Obat-obatan yang tersedia meliputi bisphoshonates, strontium ranelate, raloxifene dan hormone
parathyroid. Kesemua obat ini terbukti dapat menurunkan risiko fraktur vertebra, jika diberikan
bersamaan dengan kalsium dan vitamin D. beberapa obat ini dapat pula menurunkan risiko fraktur
nonvertebral, terutama hip. Table dibawah ini merupakan resume dari berbagai penelitian tentang obat-
obat antiosteporosis. Level A merupakan petanda/bukti kuat kegunaannya sebagai antiosteoporosis
Fraktur vertebrae Fraktur non-vertebrae Fraktur hip
Alendronate A A A
Ibandronate A A A
Risedronate A A A
Zoledronate A A A
Raloxifene A Nae Nae
Strontium ranelate A A A
Teriparatide A nae nae
Obat-obatan lain yang juga di approve adalah kalsitonin, kalsitriol dan etidronate serta hormone
replacement therapy.
Skema penatalaksanaan osteoporosis dan risiko fraktur sebagai berikut:
Who to treat ?
Prior h/o hip/vertebral #
or
T Score < -2.5
or
T Score -1 to -2.5 &
10 yr risk (FRAX) :
HIP # > 3 % or
major osteoporotic # > 20 %
Postmenopausal women /men > 50 yrs
with
HIP FRACTURE – Female Age 75 and over
Give single oral dose 100,000 IU vitaminD @ as soon as feasible post hip fracture & start 1000mg
CaCO3+800IU vitaminD asap, (if on this already – continue)
Already on a BP(bisphosphonate)?
No
Yes
Good prognosis & eGFR 30 or over
Duration of treatment?Yes No
1. Patient or resident carer understand
concepts of osteoporosis, fracture risk
reduction & protocol for ingesting oral BP
AND
2. No contraindications to oral BPs
[dysphagia / oesophageal stricture /
achalasia /hypocalcaemia].
Yes
Oral ALN 70mg / wk
No
Patient suitable for IV BP
& eGFR 35 or over
Yes No
Arrange IV zoledronic acid 5mg
infusion (over at least 15min),
4-6/52 after hip fracture
Consider oral BP or, if at risk
equivalent to that of fracture
plus T-score -2.4 or less,
consider strontium ranelate.
Continue b.d. calcium + vitaminD
Continue b.d.
oral calcium + vitaminD
More than 2yr 2yr or less
Optimal compliance with / adherence
to BP & BP well tolerated
YesNo
Continue oral BP
IF eGFR is 30 or more
Otherwise continue
b.d. calcium + vitaminD
GREATER GLASGOW & CLYDE PROTOCOL FOR FRACTURE SECONDARY PREVENTION AFTER HIP FRACTURE IN WOMEN AGE 75+
Kepustakaan
Royal college of physicians Osteoporosis clinical guidelines for the prevention and treatment. 2009,
Royal college of physician London
Kanis JA, McCloskey EV, Johansson H, Strom O, Boorgstorm F, Oden A, and The National Osteoporosis
Guideline Group (2008) Case Finding for the management of osteoporosis with FRAXX. Assessment and
intervention threshold for the UK. Osteoporosis Int
Hakim A, Clunie G, Haq I:Oxford handbook of Rheumatology, Oxford University Press, Oxford, 2008.
Pp452-63.
Rekomendasi Diagnosis dan Penatalaksanaan Osteoprosis. PB PEROSI Jakarta. Tahun 2010

Contenu connexe

Tendances

Farmakologi (Prinsip-Prinsip Terapeutika, Keamanan, dan Efikasi Pengobatan)
Farmakologi  (Prinsip-Prinsip Terapeutika, Keamanan, dan Efikasi Pengobatan)Farmakologi  (Prinsip-Prinsip Terapeutika, Keamanan, dan Efikasi Pengobatan)
Farmakologi (Prinsip-Prinsip Terapeutika, Keamanan, dan Efikasi Pengobatan)Surya Amal
 
Obat saluran pernafasan
Obat saluran pernafasan Obat saluran pernafasan
Obat saluran pernafasan Dedi Kun
 
FARMAKOLOGI ANTITUSIF
FARMAKOLOGI ANTITUSIFFARMAKOLOGI ANTITUSIF
FARMAKOLOGI ANTITUSIFSapan Nada
 
PENGANTAR FARMAKOKINETIK
PENGANTAR FARMAKOKINETIKPENGANTAR FARMAKOKINETIK
PENGANTAR FARMAKOKINETIKSurya Amal
 
Farmakologi kardiovaskuler
Farmakologi kardiovaskulerFarmakologi kardiovaskuler
Farmakologi kardiovaskulerocto zulkarnain
 
Pengantar farmakokinetika klinik-TDM
Pengantar farmakokinetika klinik-TDMPengantar farmakokinetika klinik-TDM
Pengantar farmakokinetika klinik-TDMTaofik Rusdiana
 
ASMA: patofisiologi Asthma
ASMA: patofisiologi AsthmaASMA: patofisiologi Asthma
ASMA: patofisiologi AsthmaSofiaNofianti
 
Farmakokinetik Klinik Digoxin
Farmakokinetik Klinik DigoxinFarmakokinetik Klinik Digoxin
Farmakokinetik Klinik DigoxinTaofik Rusdiana
 
Obat sistem saraf pusat
Obat sistem saraf pusatObat sistem saraf pusat
Obat sistem saraf pusatbarkah1933
 
Farmakologi (prinsip terapeutika) bagian ii
Farmakologi  (prinsip terapeutika) bagian iiFarmakologi  (prinsip terapeutika) bagian ii
Farmakologi (prinsip terapeutika) bagian iiSurya Amal
 
Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Abso...
Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap  Proses Pelepasan, Pelarutan dan Abso...Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap  Proses Pelepasan, Pelarutan dan Abso...
Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Abso...Surya Amal
 

Tendances (20)

Ekskresi dan klirens ginjal
Ekskresi dan klirens ginjalEkskresi dan klirens ginjal
Ekskresi dan klirens ginjal
 
Hormon kelenjar adrenalin
Hormon kelenjar adrenalinHormon kelenjar adrenalin
Hormon kelenjar adrenalin
 
Antihistamin
AntihistaminAntihistamin
Antihistamin
 
Farmakologi (Prinsip-Prinsip Terapeutika, Keamanan, dan Efikasi Pengobatan)
Farmakologi  (Prinsip-Prinsip Terapeutika, Keamanan, dan Efikasi Pengobatan)Farmakologi  (Prinsip-Prinsip Terapeutika, Keamanan, dan Efikasi Pengobatan)
Farmakologi (Prinsip-Prinsip Terapeutika, Keamanan, dan Efikasi Pengobatan)
 
Obat saluran pernafasan
Obat saluran pernafasan Obat saluran pernafasan
Obat saluran pernafasan
 
FARMAKOLOGI ANTITUSIF
FARMAKOLOGI ANTITUSIFFARMAKOLOGI ANTITUSIF
FARMAKOLOGI ANTITUSIF
 
PENGANTAR FARMAKOKINETIK
PENGANTAR FARMAKOKINETIKPENGANTAR FARMAKOKINETIK
PENGANTAR FARMAKOKINETIK
 
Farmakologi kardiovaskuler
Farmakologi kardiovaskulerFarmakologi kardiovaskuler
Farmakologi kardiovaskuler
 
Farmakokinetik Teofilin
Farmakokinetik TeofilinFarmakokinetik Teofilin
Farmakokinetik Teofilin
 
Stroke
StrokeStroke
Stroke
 
Obat antidiare
Obat antidiareObat antidiare
Obat antidiare
 
Pengantar farmakokinetika klinik-TDM
Pengantar farmakokinetika klinik-TDMPengantar farmakokinetika klinik-TDM
Pengantar farmakokinetika klinik-TDM
 
ASMA: patofisiologi Asthma
ASMA: patofisiologi AsthmaASMA: patofisiologi Asthma
ASMA: patofisiologi Asthma
 
Farmakokinetik Klinik Digoxin
Farmakokinetik Klinik DigoxinFarmakokinetik Klinik Digoxin
Farmakokinetik Klinik Digoxin
 
Obat sistem saraf pusat
Obat sistem saraf pusatObat sistem saraf pusat
Obat sistem saraf pusat
 
Resume jurnal ilmiah laktosa
Resume jurnal ilmiah laktosaResume jurnal ilmiah laktosa
Resume jurnal ilmiah laktosa
 
Farmakologi (prinsip terapeutika) bagian ii
Farmakologi  (prinsip terapeutika) bagian iiFarmakologi  (prinsip terapeutika) bagian ii
Farmakologi (prinsip terapeutika) bagian ii
 
Ppt infark miokad
Ppt infark miokadPpt infark miokad
Ppt infark miokad
 
Rheologi
RheologiRheologi
Rheologi
 
Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Abso...
Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap  Proses Pelepasan, Pelarutan dan Abso...Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap  Proses Pelepasan, Pelarutan dan Abso...
Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Abso...
 

Similaire à Manajemen Osteoporosis

Similaire à Manajemen Osteoporosis (20)

Translate 2
Translate 2Translate 2
Translate 2
 
Simpo 9a_dr Yulyani SpPD KR_GIOP.pptx
Simpo 9a_dr Yulyani SpPD KR_GIOP.pptxSimpo 9a_dr Yulyani SpPD KR_GIOP.pptx
Simpo 9a_dr Yulyani SpPD KR_GIOP.pptx
 
Osteoporosis
OsteoporosisOsteoporosis
Osteoporosis
 
Osteoporosis
OsteoporosisOsteoporosis
Osteoporosis
 
Osteoporosis
Osteoporosis Osteoporosis
Osteoporosis
 
69920506 fraktur-femur
69920506 fraktur-femur69920506 fraktur-femur
69920506 fraktur-femur
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Makalah osteoporosis
Makalah   osteoporosisMakalah   osteoporosis
Makalah osteoporosis
 
Makalah osteoporosis
Makalah   osteoporosisMakalah   osteoporosis
Makalah osteoporosis
 
Makalah osteoporosis
Makalah   osteoporosisMakalah   osteoporosis
Makalah osteoporosis
 
KEL 4 RHEUMATOID ARTHRITIS.pptx
KEL 4 RHEUMATOID ARTHRITIS.pptxKEL 4 RHEUMATOID ARTHRITIS.pptx
KEL 4 RHEUMATOID ARTHRITIS.pptx
 
Makalah osteoporosis
Makalah   osteoporosisMakalah   osteoporosis
Makalah osteoporosis
 
Osteoporosis shb
Osteoporosis shbOsteoporosis shb
Osteoporosis shb
 
Asuhan keperawatan pada dengan osteoporosis AKPER PEMKAB MUNA
Asuhan keperawatan pada dengan osteoporosis AKPER PEMKAB MUNA Asuhan keperawatan pada dengan osteoporosis AKPER PEMKAB MUNA
Asuhan keperawatan pada dengan osteoporosis AKPER PEMKAB MUNA
 
Asuhan keperawatan pada dengan osteoporosis AKPER PEMKAB MUNA
Asuhan keperawatan pada dengan osteoporosis AKPER PEMKAB MUNA Asuhan keperawatan pada dengan osteoporosis AKPER PEMKAB MUNA
Asuhan keperawatan pada dengan osteoporosis AKPER PEMKAB MUNA
 
Catatan pbl 2
Catatan pbl 2Catatan pbl 2
Catatan pbl 2
 
Non Inflammatory Osteoarthritis.pptx
Non Inflammatory Osteoarthritis.pptxNon Inflammatory Osteoarthritis.pptx
Non Inflammatory Osteoarthritis.pptx
 
Askep osteoporosis pd lansia
Askep osteoporosis pd lansiaAskep osteoporosis pd lansia
Askep osteoporosis pd lansia
 
MAKALAH REVIEW JURNAL INTERNASIONAL
MAKALAH REVIEW JURNAL INTERNASIONAL MAKALAH REVIEW JURNAL INTERNASIONAL
MAKALAH REVIEW JURNAL INTERNASIONAL
 
asuupan low densitas protein terhadap densitas mineral tulang pada pasien ost...
asuupan low densitas protein terhadap densitas mineral tulang pada pasien ost...asuupan low densitas protein terhadap densitas mineral tulang pada pasien ost...
asuupan low densitas protein terhadap densitas mineral tulang pada pasien ost...
 

Plus de Rachmat Gunadi Wachjudi

How do we use NSAIDs with patient safety in mind
How do we use NSAIDs with patient safety in mindHow do we use NSAIDs with patient safety in mind
How do we use NSAIDs with patient safety in mindRachmat Gunadi Wachjudi
 
Diagnostic approach to musculoskeletal pain
Diagnostic approach to musculoskeletal painDiagnostic approach to musculoskeletal pain
Diagnostic approach to musculoskeletal painRachmat Gunadi Wachjudi
 
Berkenalan dengan ragam penyakit Autoimun
Berkenalan dengan ragam penyakit AutoimunBerkenalan dengan ragam penyakit Autoimun
Berkenalan dengan ragam penyakit AutoimunRachmat Gunadi Wachjudi
 
Ten Principles in Osteoarthritis Management
Ten Principles in Osteoarthritis ManagementTen Principles in Osteoarthritis Management
Ten Principles in Osteoarthritis ManagementRachmat Gunadi Wachjudi
 
Penyuluhan Lupus untuk pasien dan keluarganya
Penyuluhan Lupus untuk pasien dan keluarganyaPenyuluhan Lupus untuk pasien dan keluarganya
Penyuluhan Lupus untuk pasien dan keluarganyaRachmat Gunadi Wachjudi
 
Komordibitas pada pasien dengan gout di poliklinik reumatologi (edit)
Komordibitas pada pasien dengan gout di poliklinik  reumatologi (edit)Komordibitas pada pasien dengan gout di poliklinik  reumatologi (edit)
Komordibitas pada pasien dengan gout di poliklinik reumatologi (edit)Rachmat Gunadi Wachjudi
 
Kapan kita mulai curiga ada penyakit autoimmune ?
Kapan kita mulai curiga ada penyakit autoimmune ?Kapan kita mulai curiga ada penyakit autoimmune ?
Kapan kita mulai curiga ada penyakit autoimmune ?Rachmat Gunadi Wachjudi
 
Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik
Penatalaksanaan Lupus Eritematosus SistemikPenatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik
Penatalaksanaan Lupus Eritematosus SistemikRachmat Gunadi Wachjudi
 

Plus de Rachmat Gunadi Wachjudi (20)

How do we use NSAIDs with patient safety in mind
How do we use NSAIDs with patient safety in mindHow do we use NSAIDs with patient safety in mind
How do we use NSAIDs with patient safety in mind
 
Rheumatic autoimmne disease for laymen
Rheumatic autoimmne disease for laymenRheumatic autoimmne disease for laymen
Rheumatic autoimmne disease for laymen
 
Diagnostic approach to musculoskeletal pain
Diagnostic approach to musculoskeletal painDiagnostic approach to musculoskeletal pain
Diagnostic approach to musculoskeletal pain
 
Arthritis manifestation and management
Arthritis manifestation and managementArthritis manifestation and management
Arthritis manifestation and management
 
Vitamin D in health and disease
Vitamin D in health and diseaseVitamin D in health and disease
Vitamin D in health and disease
 
Mengenal ragam penyakit Autoimun
Mengenal ragam penyakit AutoimunMengenal ragam penyakit Autoimun
Mengenal ragam penyakit Autoimun
 
Berkenalan dengan ragam penyakit Autoimun
Berkenalan dengan ragam penyakit AutoimunBerkenalan dengan ragam penyakit Autoimun
Berkenalan dengan ragam penyakit Autoimun
 
apa dan bagaimana lupus ?
apa dan bagaimana lupus ?apa dan bagaimana lupus ?
apa dan bagaimana lupus ?
 
Ten Principles in Osteoarthritis Management
Ten Principles in Osteoarthritis ManagementTen Principles in Osteoarthritis Management
Ten Principles in Osteoarthritis Management
 
Penyuluhan Lupus untuk pasien dan keluarganya
Penyuluhan Lupus untuk pasien dan keluarganyaPenyuluhan Lupus untuk pasien dan keluarganya
Penyuluhan Lupus untuk pasien dan keluarganya
 
Komordibitas pada pasien dengan gout di poliklinik reumatologi (edit)
Komordibitas pada pasien dengan gout di poliklinik  reumatologi (edit)Komordibitas pada pasien dengan gout di poliklinik  reumatologi (edit)
Komordibitas pada pasien dengan gout di poliklinik reumatologi (edit)
 
Quality of life of pateints with Lupus
Quality of life of pateints with LupusQuality of life of pateints with Lupus
Quality of life of pateints with Lupus
 
Adverse reaction and drug allergy
Adverse reaction and drug allergyAdverse reaction and drug allergy
Adverse reaction and drug allergy
 
Kapan kita mulai curiga ada penyakit autoimmune ?
Kapan kita mulai curiga ada penyakit autoimmune ?Kapan kita mulai curiga ada penyakit autoimmune ?
Kapan kita mulai curiga ada penyakit autoimmune ?
 
Seribu wajah lupus
Seribu wajah lupus Seribu wajah lupus
Seribu wajah lupus
 
Rheumatic pain management
Rheumatic pain managementRheumatic pain management
Rheumatic pain management
 
Osteoarthritis Diagnosis and management
Osteoarthritis Diagnosis and managementOsteoarthritis Diagnosis and management
Osteoarthritis Diagnosis and management
 
Spektrum klinis artritis reumatoid
Spektrum klinis artritis reumatoidSpektrum klinis artritis reumatoid
Spektrum klinis artritis reumatoid
 
Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik
Penatalaksanaan Lupus Eritematosus SistemikPenatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik
Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik
 
Lupus overview for journalist
Lupus overview for journalistLupus overview for journalist
Lupus overview for journalist
 

Manajemen Osteoporosis

  • 1. Abstract The Management of Osteoporosis (Efficacy and safety) Rachmat G Wachjudi Indonesian Rheumatism Association (Bandung) Osteoporosis is a systemic disease characterized by low bone mass and microarchitectural deterioration of bone tissue, resulting in an increased risk of fracture. The level of bone mass can be estimated by measuring bone mineral density (BMD) using dual X-ray absorptiometry (DXA), but its measurement does not capture all the risk factors for fracture. Quantitative changes in skeletal turnover can be assessed easily and non-invasively by the measurement of serum and urinary biochemical markers; the most sensitive markers include serum osteocalcin, bone specific alkaline phosphatase, the N-terminal propeptide of type I collagen for bone formation, and the crosslinked C- (CTX) and N- (NTX) telopeptides of type I collagen for bone resorption.The measurement of the urinary ratio of native (alpha) to isomerized (beta) CTX - an index of bone matrix maturation - has been shown to be predictive of fracture risk independently of BMD and bone turnover. Therefore, the combined use of BMD measurement and biochemical markers is helpful in risk assessment, especially in those women who are not identified as at risk by BMD measurement alone. Levels of bone markers decrease rapidly with antiresorptive therapies, and the levels reached after 3-6 months of therapy have been shown to be more strongly associated with fracture outcome than changes in BMD. Preliminary studies indicate that monitoring changes of bone formation markers could also be useful to monitor anabolic therapies, including intermittent parathyroid hormone administration and, possibly, to improve adherence to treatment. Thus, repeated measurements of bone markers during therapy may help improve the management of osteoporosis in patients. Keywords : osteoporosis – management – bone biomarkers - Bandung
  • 2. Tatalaksana Osteoporosis (Efikasi dan keamanan) Rachmat Gunadi Wachjudi Perhimpunan Reumatologi Indonesia (Cabang Bandung) Diagnosis osteoporosis didasarkan atas pemeriksaan kuantitatif kepadatan masa tulang (BMD). BMD pada kolumna femoris biasanya dijadikan acuan. Dengan berbagai pertimbangan, diagnostic threshold dibedakan dengan intervention threshold. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa risiko fraktur akan meningkat sesuai dengan pertambahan usia, walaupun dalam nilai T yang sama. Faktor lain yang turut menentukan intervension threshold adalah keberadaan faktor risiko klinis (CRF) serta untung rugi pemberian terapi. Jenis pemeriksaan yang diperlukan tergantung pada derajat penyakit, umur dan adanya fraktur. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan berrbagai pemeriksaan penunjang bertujuan untuk menyingkirkan penyakit yang menyerupai osteoporosis, mengungkap penyebab osteoporosis dan faktor yang berkaitan, menilai risiko fraktur berikutnya dan memilih pengobatan yang paling sesuai untuk pasien yang bersangkutan. Pemeriksaan penunjang yang relevan dilakukan meliputi hematologi, laju endap darah, CRP, kalsium serum, albumin, kreatinin, tes faal hati. Fungsi tiroid, BMD. Prosedur lain jika anda indikasi meliputi foto ronsen vertebra torako-lumbal AP-lateral, elektroforesis protein, protein Bence Jones, kadar hormone testosterone, SHBG, FSH, LH. Prolaktin, kortisol urin, sidik tulang radionuklida, petanda daur tulang (bone turnover markers) dan ekskresi kalsium urin. Biomarker tulang dapat digunakan untuk diagnostik, penatalakasanaan, perkiraan risiko fraktur dan monitoring terapi. Derajat masa tulang dapat terukur dengan BMD DXA, namun pengukuran tersebut tak dapat menangkap setiap faktor risko frakturperubahan kuantitatif pada skeletal turnover dapat dinilai secara noninvasive dengan pemeriksaaan biomarker di serum dan urin; marker yang sensitive meliputi osteocalcin serum, bone specific alkaline phosphatase, N-terminal propeptide of type I collagen untuk bone formation, dan crosslinked C- (CTX) dan N- (NTX) telopeptides of type I collagen untuk bone resorption. Pengukuran rasio native (alpha) : isomerized (beta) CTX urin– yang merupakan indeks kematangan matrks tulang – merupakan predictor risiko fraktur independen tak terkait dengan BMD dan bone turnover. Dengan demikian, kombinasi antara BMD dan biochemical markers sangat membantu penilaian risiko, terutama pada pasien yang tak terdeteksi risiko frakturnya dengan pengukuran BMD saja. Kadar bone markers akan menurun dengan cepat pada pasien yang diberikan terapi antiresorptive, dan kadar yang terukur setelah 3-6 bulang pengobatan terkait lebih erat dengan risiko fraktur disbanding perubahan BMD. Penelitian pendahuluian juga membuktikan formation markers juga berguna untuk monitor terapi anabolik, termasuk parathyroid hormone dan mungkin berguna untuk memperbaiki kepatuhan terapi. Dengan demikian pengukuran berulang bone markers selama pengobatan dapat membantu meningkatkan tatalaksana osteoporosis pada pasien. Sampai dengan saat ini di Negara kita belum ada kebijakan yang menetapkan perlunya skrining osteoporosis dan risiko fraktur pada populasi. Selama ini pasien teridentifikasi secara kebetulan jika pasien berkunjung untuk penyakit lain, namun pada pasien tersebut terdapat riwayat fraktur fragilitas
  • 3. dan teridentifikasi CRF. Beberapa faktor tidak berkaitan dengan BMD, sedangkan faktor lain (seperti penyebab-penyebab osteoporosis sekunder) berkaitan dengan BMD. Faktor-faktor risiko klinis (CRF) meliputi: umur, indeks masa tubuh rendah, fraktur fragilitas terutama hip, spine dan wrist terfmasuk fraktur morfometerik, riwayat orang tua dengan fraktur, sedang menggunakan steroid (lebih dari 3 bulan), merokok, alkohol, penyebab osteoporosis sekunder seperti RA, hipogonadisme, imobilitas lama, transplantasi organ, DM tipe1, penyakit GIT, penyakit hati kronik, COPD dan riwayat jatuh. Factor risiko fraktur harus dicari pada wanita pasca menaopause dan pria berumur 50 tahun atau lebih. - Wanita dengan fraktur terdahulu dipertimbangkan untuk diberikan terapi tanpa assessment lebih lanjut, namun demikian BMD dianjurkan bagi pasca menopause awal. - Dengan adanya CRF lainnya, kemungkinan fraktur osteoporotic dalam 10 tahun ditentukan berdasarkan FRAXX (www.shef.ac.uk/FRAX). Pasien dibawah threshold, diobservasi kemudian, pasien anatara lower dan upper tresholddipertimbangkan pemeriksaan BMD, sedangkan pasien diatas upper threshold, mulai diberikan terapi. - Pada pasien yang telah diperiksa BMD, sebaiknya dihitung kembali risiko frakturnya dengan FRAXX untuk pertimbangan pemberian terapi. Skema yang menunjukkan interaksi berbagai faktor dalam terjadinya fraktur sebagai berikut: Fracture Bone Strength Material Properties Remodeling Falls Shape & Architecture Exercise & Lifestyle Hormones Nutrition Bone Mass Postural Reflexes Soft Tissue Padding Reproduced with permission from Heaney RP. Bone 33:457-465, 2003 Factors Leading to Osteoporotic Fracture: Role of Bone Remodeling 2004 Penatalaksanaan Masa tulang pada usia tertentu ditentukan oleh puncak masa tulang, kecepatan penurunan masa tulang sesuai umur, dan pada wanita ditentukan oleh kapan dan sudah berapa lama terjadi menopause Faktor genetik tak dapat dimanipulasi, namun demikian kita dapat mengatur faktor nutrisi dan lingkungan. Intervensi farmakologik pada pasien dengan risiko merupakan iupaya pencegahan yang baik. Perlakuak ini terutama ditujukan kepada mereka dengan kelompok umur 50-65 dengan T score <-3,0 atau dengan
  • 4. T score <-d,5 dengan adanya factor risiko lainnya (terutama fraktur fragilitas), dan mereka yang berumur >65 tahun dengan T score <-2,5 tanpa harus ada factor risiko lainnya. Kalsium Suplementasi kalsium sangat dinutuhkan oleh mereka dengan diet rendah kalsium (yakni kurang asupan produk susu, sayuran hijau, kacang, buah dll). Masih belum ada kata sepakat apakah suplementasi kalsium saja mempunyai pengaruh dalam pencegahan bone loss damn mencegah terjadinya fraktur pada dewasa muda. Pada wanita pasca menopause, suplemetasi kalsium terbukti dapat menurunkan kecepatan penurunan BMD. Pemberian kalsium dan vitamin D pada pasien osteoporosis lansia dapat mecegah penurunan masa tulang dan risiko fraktur tulang kortikal. Kalsium dianjurkan pada mereka yang sudah jelas osteoporosis, asupan kalsium rendah (<400mg/hari) dan suplemen bagi lansia yang sedang mendapatkan obat antiresorptif. Exercise Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa aktifitas fisik dapat menurunkan kecepatan hilangnya masa tulang pada menopause. Aktivitas yang dilakukan harus weight bearing. Terapi Sulih hormone (HRT) Terapi sulih estrogen merupakan cara efektif mencegah bone loss pada wanita menopause penambahan progesterone mengurangi endometrial shedding dan meminimalisir risiko hyperplasia dan neoplasia. Dosis minimum estrogen peroral adalah 2 mikrogram/hari dan estrogen terkonyugasi 0,625mg/hari. Penelitian menunjukkan adanya risiko relative kanker mammae 1,3-1,4 pada wanita > 60 tahun yang menggunakan HRT > 10 tahun. Belum cukup bukti yang kuat bahwa progesterone dapat menurunkan risiko ini. HRT harus diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan hipertensi. HRT juga diketahui bersifat kardioprotektif dengan menurunkan kadar kolesterol. Hal yang lain yang harus diperhatikan adalah risiko terjadinya DVT walaupun risikonya kecil yakni 20 kasus/100.000 pengguana HRT/tahun Pengobatan Established Osteoporosis Penelitian terhadap berbagai obat osteoporosis menunjukkan kemampuannya untuk menurunkan 40- 50% risiko fraktur fragilitas baik vertebra maupun hip pada wanita dengan established osteoporosis. Bisphosphonate saat ini merupakan obat yang paling sering dipergunakan pada pasien osteoporosis. Obat ini tegolong senyawa anti resorptif yang tersu dikembangkan baik untuk pemakaian oral maupun parenteral. Pada umumnya senyawa ini cukup aman, namun harus berhati-hati bagi yang terdapat gangguan ginjal dan refluks esophagus dan hernia hiatus. Harus diberikan dalam keadaan perut kosong karena absorpsinya yang buruk. Disertai pemberian kalsium 800-1000mg dan vitamin D 400-800 IU. Dari berbagai penelitian dan laporan kasus yang dimuat diberbagai jurnal, kita bisa simpulkan bahwa untuk efektivitas pengobatan osteoporosis vertebrae sudah sama disepakati signifikansinya. Beberapa bisphosphonate seperti Ibandronate masih menunggu hasil penelitian mengenai efektivitasnya terhadap non vertebral fracture. Hal yang patut menjadi perhatian kita dalam penatalaksanaan osteoporosis dan pencegahan fraktur adalah kepatuhan pasien dalam menggunakan obat-obatan; karena pengobatan osteoporosis tidak
  • 5. seperti obat anti nyeri yang dapat dirasakan khasiatnya secara sybyektif oleh pasien. Untuk itu perusahaan farmasi berlomba mengembangkan sediaan bisphosphonate baik dalam interval pemakaian maupun dalam route pemberian obat. Sampai tahun 2002, sediaan bisphosphonate umumnya masih diberikan secara once daily, cara pemberian seperti ini hanya dapat dipatuhi oleh sebgian kecil (30%) pasien yang bertahan menggunakan selama 1 tahun. Setelah itu sediaan ada yang bisa digunakan seminggu sekali, sebulan sekali per oral, dan 3 bulan sekali intra vena, serta setahun sekali dengan infuse. Selain issue mengenai persamaan dan perbedaan efek terapeutik, pada kelompok bisphosphonate juga terdapat beberapa laporan yang mengangkat masalah osteonecrosis of the jaws (ONJ), oesophageal cancer, atypical fracture, renal safety, dan fibrilasi atrium. Yang juga belum mendapatkan kesepakatan adalah mengenai berapa lama seseorang boleh diberikan terapi bisphosphonate. Pendapat para akhli masih beragam dalam hal ini. Dalam menentukan berapa lama terapi bisphosphonate aman diberikan, didasarkan pada derajat risiko fraktur pada masing-masing pasien. Berikut salah satu yang dapat kita gunakan sebagai pedoman, sebelum ada consensus yang universal Kalsitonin sama efektivitasnya dengan HRT dalam pencegahan bone loss pada wanita menopause. Diberikan sebagai alternative HRT jika ada kontra indikasi atau tidak akseptabel. Kalsitonin juga mempunyai efek mengurangi bone pain pada fraktur Strontium Ranelate dengan dosis 2g/hari dapat dijadikan pilihan pertama bagi mereka yang terdapat kontraindikasi pemakaian bisfosfonat. Dapaty menurunkan risiko fraktur hip dan vedrtebra sebesar 36- 41%. Yang perlu diperhatikan, strontium berikatan dengan tulang dan dapat memberikan false high pada pembacaan DXA Teriparatide merupakan analog hormone yang diberikan secara injeksi subkutan setiap hari selama 18 bulan. Hanya diberikan kepada pasien yang telah diberikan bisphosphonate 18 bulan namun tidak menunjukkan respons, berumur >65 tahun, T score <-4,0 atau <-3,0 disertai 2 atau lebih fraktur fragilitas dan 1 faktor yang independen terhadap umur.
  • 6. Sebagai ringkasan pada terapi osteoporosis, yang perlu kita pertimbangkan meliputi penilaian risiko fraktur dan pencegahannya. Pertahankan mobilitas, dan penuhi kebutuhan nutrient terutama kalsium, vitamin D dan protein. Intake kalsium minimal 1000mg/hari, 800mg Vitamin D dan 1gprotein/ kgBB. Obat-obatan yang tersedia meliputi bisphoshonates, strontium ranelate, raloxifene dan hormone parathyroid. Kesemua obat ini terbukti dapat menurunkan risiko fraktur vertebra, jika diberikan bersamaan dengan kalsium dan vitamin D. beberapa obat ini dapat pula menurunkan risiko fraktur nonvertebral, terutama hip. Table dibawah ini merupakan resume dari berbagai penelitian tentang obat- obat antiosteporosis. Level A merupakan petanda/bukti kuat kegunaannya sebagai antiosteoporosis Fraktur vertebrae Fraktur non-vertebrae Fraktur hip Alendronate A A A Ibandronate A A A Risedronate A A A Zoledronate A A A Raloxifene A Nae Nae Strontium ranelate A A A Teriparatide A nae nae Obat-obatan lain yang juga di approve adalah kalsitonin, kalsitriol dan etidronate serta hormone replacement therapy. Skema penatalaksanaan osteoporosis dan risiko fraktur sebagai berikut: Who to treat ? Prior h/o hip/vertebral # or T Score < -2.5 or T Score -1 to -2.5 & 10 yr risk (FRAX) : HIP # > 3 % or major osteoporotic # > 20 % Postmenopausal women /men > 50 yrs with
  • 7. HIP FRACTURE – Female Age 75 and over Give single oral dose 100,000 IU vitaminD @ as soon as feasible post hip fracture & start 1000mg CaCO3+800IU vitaminD asap, (if on this already – continue) Already on a BP(bisphosphonate)? No Yes Good prognosis & eGFR 30 or over Duration of treatment?Yes No 1. Patient or resident carer understand concepts of osteoporosis, fracture risk reduction & protocol for ingesting oral BP AND 2. No contraindications to oral BPs [dysphagia / oesophageal stricture / achalasia /hypocalcaemia]. Yes Oral ALN 70mg / wk No Patient suitable for IV BP & eGFR 35 or over Yes No Arrange IV zoledronic acid 5mg infusion (over at least 15min), 4-6/52 after hip fracture Consider oral BP or, if at risk equivalent to that of fracture plus T-score -2.4 or less, consider strontium ranelate. Continue b.d. calcium + vitaminD Continue b.d. oral calcium + vitaminD More than 2yr 2yr or less Optimal compliance with / adherence to BP & BP well tolerated YesNo Continue oral BP IF eGFR is 30 or more Otherwise continue b.d. calcium + vitaminD GREATER GLASGOW & CLYDE PROTOCOL FOR FRACTURE SECONDARY PREVENTION AFTER HIP FRACTURE IN WOMEN AGE 75+ Kepustakaan Royal college of physicians Osteoporosis clinical guidelines for the prevention and treatment. 2009, Royal college of physician London Kanis JA, McCloskey EV, Johansson H, Strom O, Boorgstorm F, Oden A, and The National Osteoporosis Guideline Group (2008) Case Finding for the management of osteoporosis with FRAXX. Assessment and intervention threshold for the UK. Osteoporosis Int Hakim A, Clunie G, Haq I:Oxford handbook of Rheumatology, Oxford University Press, Oxford, 2008. Pp452-63. Rekomendasi Diagnosis dan Penatalaksanaan Osteoprosis. PB PEROSI Jakarta. Tahun 2010