Dokumen tersebut membahas tentang pengertian, karakteristik, dan penggunaan larangan (al-nahy) dalam hukum Islam. Secara ringkas, al-nahy adalah tuntutan yang berisi larangan untuk melakukan suatu perbuatan, yang datang dari nash syara'. Terdapat berbagai bentuk karakteristik al-nahy dan penggunaannya dapat untuk menyatakan haram, makruh, doa, atau penjelasan akibat. Para ulama juga mer
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
An-Nahyu (Ushul Fiqih B)
1. BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Bagi nahy ada dua keadaan: pertama, keadaan umum yaitu suatu keadaan yang tidak
terdapat qarinah yang menyebabkan hal itu dilarang , dan kedua, keadaan dengan adanya
qarinah yang menyatakan bahwa sesuatu itu dilarang.
Apabila larangan itu bersifat mutlak dan tidak ada qarinah yang menyertainya yang
menunjukkan bahwa hal itu dilarang, tetapi ada hal lain yang menyebabkan hal itu dilarang,
keadaan ini terbagi kepada dua keadaan:
Pertama, keadaan yang menyebabkan hal itu dilarang terkadang melalui perasaan,
perasaan akan menyatakan hal itu dilarang baik oleh hati nurani maupun oleh agama. Seperti
berzina, minum khamar, dan sejenisnya. Semua merupakan sesuatu yang menurut perasaan
dilarang, karena perbuatan tersebut ada sebelum nash syar’i menyatakan keharamannya.
Kedua, keadaan yang menyebabkan hilangnya pahala bagi orang yang
mengerjakannya seperti shalat dan puasa, semuanya tidak akan diberkahi dan diberi pahala
kecuali sesuai dengan amalan yang diperintahkan syara’ seperti halnya jual beli yang tidak
sah kecuali mengikuti mengikuti yang diperintah oleh syari’ .
1
2. BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Al-Nahy
Secara etimologi, al-Nahy adalah lawan dari al-amr1 Jika al-amr berarti perintah, maka al-
Nahy berarti larangan atau cegahan. Banyak ulama yang mendefinisikan makna al-nahy,
diantaranya,Zaky al-Din Sya’ban menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-Nahy ialah :2
-
Al-Nahy ialah sesuatu tuntutan yang menunjukkan larangan untuk berbuat.
Sementara itu, Imam Abu Zahrah menyatakan pula bahwa yang dimaksud dengan al-nahy
ialah:3
Al-nahy adalah tuntutan yang berisi larangan atau cegahan untuk melakukan
perbuatan.
Mayoritas ulama ushul fiqih mendefinisikan nahi sebagai berikut:4
Larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya
kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas
hal itu
Dari banyak pengertian yang diberikan para ulama tersebut pada hakikatnya menjelaskan
bahwa al-Nahy itu adalah tuntutan yang bentuknya larangan atau mencegah agar tidak
melakukan perbuatan dan larangan yang datangnya dari syar’i yang telah dituangkan dalam
nash yaitu al-Quran dan al-Sunnah.
2. Karakteristik Shigat al-Nahy
Menurut Mustafa Said al-Khin, bahwa ada empat macam bentuk karakteristik yang dapat
digolongkan kepada al-Nahy di dalam nash, Adapun empat macam bentuk shighat al-Nahy
itu adalah:5
1
Mustafa said al-Khin. Asr al-Ikhtilaf Fi al-Qawaid al-Ushuliyah Fi Ikhtilaf al-fuqaha’. Kairo: Muassasahal-Risalah, 1969, halaman 328
2
Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama1999), h. 187.
3
Ibid.
4
H.Satria Effendi,M.Zein, ushul Fiqh,hal:187
2
3. 1. Fi’il Mudari yang dihubungkan dengan La al-Nahiyah . Misalnya Firman Allah:
Artinya: Dan janganlah kamu dekati zina, karena perbuatan zina itu adalah hal yang
keji dan seburuk-buruk jalan. (QS. Al-Isra’:32).
2. Kata yang berbentuk perintah yang menuntut untuk menjauhi larangan atau
meninggalkan suatu perbuatan. Misalnya firman Allah:
Artinya: Maka jauhilah oleh kamu berhala-berhala yang kotor itu dan jauhilah pula
perbuatan dusta. (QS. Al-Hajj:30).
3. Menggunakan kata Nahy itu sendiri dalam kalimat. Misalnya firman Allah:
Artinya: Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS.
al-Nahl: 23).
4. Jumlah khabariyah, yaitu kalimat berita yang digunakan untuk menunjukkan larangan
dengan cara pengharaman sesuatu atau menyatakan tidak halalnya sesuatu. Misalnya
firman Allah:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak
mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya,
terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan
5
Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 189
3
4. mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak (QS. An-Nisa’:19).
Selain yang tersebut di atas, Muhammad Khuderi Bik menambahkan empat macam lagi
bentuk shigat al-nahy,yaitu:6
5. Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan. Misalnya, ayat 33
suarat Al-a’raf:
Artinya:Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar,(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu
yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan
terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".(QS.Al-a’raf/7:33)
6. Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan pedih. Misalnya,ayat 34
surat At-taubah:
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-
orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang
dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada
jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat)
siksa yang pedih(QS.At-taubah/9:34)
6
H.Satria efendi,M.Zein, Ushul fiqh,hal.187
4
5. 7. Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan. Misalnya, ayat 180 surah
Ali-Imran:
Artinya:Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah
berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi
mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka
bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan
Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui
apa yang kamu kerjakan.(QS.Ali-Imran/4:180)
8. Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri. Seperti, ayat 193
Surat Al-Baqarah:
Artinya: Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga)
ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi
kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang
lalim(QS.Al-Baqarah/2: 193)
BAB III
PENGGUNAAN AL-NAHY
DAN
KAIDAH-KAIDAHNYA
5
6. A. Penggunaan Al-Nahy
Menurut Mustafa Said al-Khin bahwa para ulama ushul sepakat bahwa al-Nahy untuk
beberapa arti, yaitu7
1. Untuk menyatakan haramnya suatu perbuatan, atau tidak boleh dilakukan . Misalnya
firman Allah:
Artinya: Dan janganlah mendekati (berbuat) zina. (QS. Al-Isra’: 32)
2. Untuk menyatakan suatu perbuatan terlarang , tetapi jika dikerjakan tidak bedosa. Dan
lebih baik jika tidak dikerjakan. Misalnya dalam Hadits Nabi disebutkan bahwa nabi
melarang menyentuh kemaluan dengan tangan ketika buang air kecil. 8Larangan dalam
hadits ini tidak sampai kepada tingkat haram, tetapi sifatnya makruh saja.
3. Untuk menyatakan do’a atau permohonan . Misalnya:
Artinya: Wahai Tuhan kami janganlah engkau jadikan hati kami condong kepada
kejahatan setelah engkau beri petunjuk kepada kami.(QS. Ali Imran : 8).
4. Menyatakan dan menunjukkan bimbingan atau pengarahan , misalnya firman Allah:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan ( kepada
nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu, niscaya akan menyusahkan
kamu. ( QS. Al-Maidah: 101).
7
Ibid. h. 190.Lihat juga Mustafa Said al-Khin.Loc.cit.
8
Lihat Drs.Romli SA, M. Ag. Muqaranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama1999, halaman 191. Hadis ini diriwayatkan oleh
Imam Bukhari yang dikutip oleh Mustafa Said al-Khin. Asrnal-Ikhtilaf Fi al-Qawa’id al-Ushuliyah Fi Ikhtilaf Fi al-Fuqaha’. Kairo:
Muassah al-Risalah, 1969, halaman 330
6
7. 5. Menyatakan ancaman. Maksud ancaman ini adalah untuk menakuti agar tidak
berbuat.
6. Menyatakan hinaan atau merendahkan . Misalnya firman Allah:
Artinya: Dan janganlah kamu tunjukkan mata kamu kepada apa yang tealah kami
berikan kepada golongan-golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan dunia.
(QS. Thaha: 131).
7. Menjelaskan suatu akibat dari suatu perbuatan . Misalnya firman Allah:
Artinya: Dan janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa Allah lalai dari apa yang
diperbuat oleh orang-orang zalim. (QS. Ibrahim: 42).
8. Untuk menyatakan keputusasaan . Misalnya firman Allah:
Artinya: wahai orang-orang kafir jangnlah kamu menyatakan uzur pada hari ini,
bahwasanya kamu diberi balasan menurut apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Tahrim:
7)
B. Kaidah-kaidah penggunaannya
Para ulama ushul fiqih,seperti dikemukakan Muhammad Adib Shaleh,merumuskan
beberapa kaidah yang berhubungan dengan larangan, antara lain:
Kaidah pertama,” ” pada dasarnya suatu larangan menunjukkan
hukum melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukum
lain. Contohnya,ayat 151 surah Al-An’am :
…
Artinya:…Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang
7
8. diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).(QS.Al-
An’am/6:151).
Contoh larangan yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain haram adalah
ayat 9 suarah Jumu’ah:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui(QS.Al-Jumu’ah/62:9).
Larangan berjual beli dalam ayat tersebut menurut mayoritas ulama Ushul fiqih
menunjukkan hukum makruh karena ada indikasi, yaitu bahwa larangan tersebut bukan
ditujukan kepada esensi jual beli itu sendiri tetapi kepada hal-hal yang diluar zatnya,yaitu
adanya kekhawatiran akan melakukan seseorang dari bersegera pergi shalat jum’at. Oleh
karena itu,orang tidak wajib shalat jum’at seperti wanita tidak dilarang melakukan jual beli.
Kaidah kedua,” ”,suatu larangan menunjukkan fasad
(rusak) perbuatan yang dilarang jika dikerjakan. Seperti dikemukakan oleh Muhammad Adib
Shaleh,kaidah tersebut disepakati oleh para ulama Ushul fiqih bilamana larangan itu tertuju
kepada zat atau esensi suatu perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang terletak diluar esensi
perbuatan itu.
Contoh larangan terhadap suatu zat ialah larangan berzina,larangan menjual bangkai,
dan dalam masalah ibadah seperti larangan beribadah dalam keadaan berhadas,baik kecil
maupun besar. Larangan-larangan dalam hl-hal tersebut menunjukkan batalnya perbuatan-
perbuatan itu bilamana tetap dilakukan. Ulama berbeda pendapat bilamana larangan itu tidak
tertuju kepada esensi suatu perbuatan, tetapi kepada hal-hal yang berada diluarnya. Misalnya,
larangan jual beli waktu adzan Jum’at dan larangan menyetubuhi istri yang sedang had.
Menurut kalangan Imam Hanafiyah,Syafi’iyah, dan Malikiyah, larangan seperti ini
tidak mengakibatkan batalnya perbuatan itu jika tetap dilakukan. Sedangkan menurut
sebagian kalangan Imam Hanbali dan Imam Zahiri, larangan dalam bentuk ini menunjukkan
hukum batal, sama dengan larangan terhadap esensi suatu perbuatan seperti tersebut diatas.
8
9. Alasannya, melakukan suatu yang dilarang baik terhadap esensinya maupun terhadap sesuatu
yang bukan esensinya adalah sama-sama melanggar ketentuan syari’at,dan oleh karena itu
hukumnya batal. Berdasarkan pendapat ini, melakukan ibadah dengan pakaian hasil curian
adalah batal.
Kaidah ketiga” ”, suatu larangan terhadap perbuatan berarti
perintah terhadap kebalikannya. Contoh,ayat 18 surah Luqman:
Artinya:Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)
dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri
(QS.Luqman/31:18)
BAB IV
PANDANGAN ULAMA USHUL
TENTANG AL-NAHY
1. Segi Substansi Larangan
9
10. Perbedaan pada aspek ini berakar pada apakah hakekat atau substansi larangan tersebut
menunjukkan tahrim, karahah, atau mencakup keduanya. Terhadap hal ini terdapat beberapa
pandangan Ulama.9
1. Kelompok pertama mengatakan bahwa al-Nahy itu substansinya adalah tahrim,
kecuali adal qarinah yang memalingkan arti tahrim kepada yang lainnya. Menurut
Zay al-Din Sya’ban bahwa pandangan ini dikemukakan oleh kalangan jumhur
ushuliyin.10
2. Kelompok kedua menyatakan sebaliknya, bahwa pada dasarnya substansi al-nahy itu
adalah karahah dan tidak menunjukkan tahrim kecuali ada qarinah yang
memalingkan arti karahah kepada tahrim. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian
dari kalangan ulama ushul.11
3. Kelompok ketiga menyebutkan bahwa substansi al-Nahy adalah gabungan antara
tahrim dan karahah, dan tidak menunjukkan arti kepada salah satunya kecuali ada
qarinah.12
2. Segi apakah al-Nahy menuntut kesegeraan dan pengulangan.
1. Pendapat pertama menyatakan bahwa shigat al-Nahy tidak menunjukkan adanya
kesegeraan dan berulangnya larangan. Sebab al-Nahy sifatnya tidak mengharuskan
demikian. Kesegeraan meninggalkan larangan dan berulangnya larangan
13
tersebutkarena dihubungkan dengan adanya qarinah yang menghendakinya.
2. Pendapat kedua menyebutkan bahwa al-Nahy pada asalnya memfaedahkan
kesegeraan meninggalkan larangan dan menghendaki pengulangan. Jika syari’
melarang sesuatu maka wajib bagi mukallaf untuk segera meninggalkan larangan
tersebut dan larangan itu berlangsung terus-menerus.14
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
9
Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 192.
10
Ibid. halaman 193
11
Ibid
12
Ibid
13
Ibid, h. 194
14
Ibid
10
11. Dari banyak pengertian yang diberikan para ulama tersebut pada hakikatnya
menjelaskan bahwa al-Nahy itu adalah tuntutan yang bentuknya larangan atau mencegah agar
tidak melakukan perbuatan dan larangan yang datangnya dari syar’i yang telah dituangkan
dalam nash yaitu al-Quran dan al-Sunnah.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa nahy dari larangan dengan sifat yang lazim
mengharuskan fasadnya setiap amalan. Mereka menyebutkan dengan fasid dan bathil,
karenanya pandangan nahy pada zat perbuatan yaitu dilarang oleh agama dan segala
perbuatannya tidak menghasilkan apa-apa.
DAFTAR PUSTAKA
Al Munawar,Said Agil Husin,Membangun metodologi ushul fiqh,Ciputat press,Jakarta,cet.I
tahun 2004
Effendi,satria dan M.Zein,Ushul fiqh,Prenada Media,Jakarta,Cet.I,tahun 2005
www.olx.co.id ›
http://www.scribd.com/doc/51198325/15/B-Al-Nahyu-dan-Kaidah-kaidahnya
11