SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  104
Potret Pembelajaran dalam Diklat Aparatur dan
Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Sebuah Refleksi Berdasarkan Kompilasi Jurnal Harian Alumni Diklatpim II
Angkatan XXXI Kelas B, 2011




Oleh:

Tri Widodo W. Utomo




                   Pusat Kajian Manajemen Kebijakan
                    Lembaga Administrasi Negara RI
                                 2011

                                                                          Page | i
Daftar Isi



Daftar Isi   …………………………………………………………………                                       ii
Pengantar Kapusdiklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan LAN ……………                  v
Kata Pengantar ………………………………………………………………                                     vi


Jurnal #1    “Ketika Perubahan Menghampiri Kita … (1)” ………………                1
Jurnal #2    “Ketika Perubahan Menghampiri Kita … (2)” ………………                3
Jurnal #3    “Desentralisasi Dalam Kacamata Learning Organization” …...      5
Jurnal #4    “Sudah Belajarkah Pemerintahan Kita?” ……………………..                7
Jurnal #5    “Pembagian Kelas: Sebuah Takhayul?” ………………………                 10
Jurnal #6    “Diana Leadership Dalam Diklat Aparatur” ………………….             12
Jurnal #7    “Tentang Guru atau Widyaiswara …” ………………………                   15
Jurnal #8    “Antara Temporary System dan Permanent System” …………           16
Jurnal #9    “Jurnal Harian, Tradisi Seorang Cendekia” …………………             19
Jurnal #10   “Reformasi Birokrasi, Keadilan, dan Tragedy of the
             Commons” …………………………………………………….                                21
Jurnal #11   “Pengelolaan SDA dan Limits to Growth” …………………...             23
Jurnal #12   “Quality Control dalam Diklat Aparatur” …………………….             25
Jurnal #13   “Kelelahan yang Mulai Menyergap” ………………………….                  27
Jurnal #14   “Berharap Akan Sebuah Kesetaraan”………………………….                  29
Jurnal #15   “Tentang Fenomena Ghost Writer” …………………………..                  31
Jurnal #16   “Mental Model di Minggu Ke-4” ……………………………..                   33
Jurnal #17   “Mencoba Mencari Makna dari Kata Sinergi dan Koordinasi”..    35



                                                                      Page | ii
Jurnal #18   “Kambing Berdasi Lulus Diklatpim?” ……………………….                    37
Jurnal #19   “Ideologi dalam Kebijakan Publik” …………………………..                   39
Jurnal #20   “Kebenaran Formal vs. Kebenaran Material” ………………..               41
Jurnal #21   “Gaya dan Persaingan Antar Widyaiswara” …………………                  44
Jurnal #22   “Aplikasi Teknologi Untuk Diklat, Why Not? ………………..              46
Jurnal #23   “Perlunya Menggali Masalah Kebijakan” …………………….                  48
Jurnal #24   “Pesan Kepemimpinan dalam Kegiatan Menanam Pohon dan
             Peduli Lingkungan” ………………………………………….                             50
Jurnal #25   “Penetapan Judul KTP-2: Soal Teknis atau Akademis?” …….          52
Jurnal #26   “Wawasan Internasional bagi Peserta Diklatpim II: Sebuah
             Keniscayaan!” ………………………………………………...                              54
Jurnal #27   “Menyimak Pemikiran Presiden SBY tentang Ekonomi
             Indonesia” …………………………………………………….                                 56
Jurnal #28   “Sekali Lagi tentang Sinergi” …………………………………                      60
Jurnal #29   “Sisi Lain Diklatpim II” ………………………………………                         62
Jurnal #30   “Pengendalian Diri: Esensi Lain Kepemimpinan” ……………              64
Jurnal #31   “Men Sana In Corpore Sano” ………………………………….                        66
Jurnal #32   “Sindrom Inferioritas Daerah terhadap Pusat” ……………….             68
Jurnal #33   “Sarung dalam Diklat: Tabu atau Mutu?” ……………………..                70
Jurnal #34   “Hari Pertama Puasa di Kelas” ………………………………                       72
Jurnal #35   “Merenungkan Filosofi Dasar Diklat” ………………………..                  74
Jurnal #36   “Ide Kecil dari Survei Sederhana tentang Diklatpim II” ……..      76
Jurnal #37   “Semua Kembali Kepada Diri Sendiri” ……………………….                   78
Jurnal #38   “Antara SL dan Istri Tercinta” ………………………………..                    80
Jurnal #39   “Alumni Sebagai Institutional Resources” ……………………                83
Jurnal #40   “Dari RPL ke RPL” ……………………………………………                              85


                                                                        Page | iii
Jurnal #41   “Menyoal Pemeringkatan” ……………………………………                   87
Jurnal #42   “Antara Tugas Dinas dan Ibadah Keagamaan” ……………….        89
Jurnal #43   “Tentang Ujian KTP-2” ……………………………………….                   91
Jurnal #44   “Sekedar Gagasan Ringan untuk Beberapa Perbaikan” ………    93
Jurnal #45   “Menjelang Perpisahan” ……………………………………….                  96




                                                                 Page | iv
Pengantar

            Kepala Pusdiklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan
                     Lembaga Administrasi Negara


Ketika Sdr. Tri Widodo mendatangi saya dengan membawa kumpulan tulisan ini dan
meminta saya untuk memberi pengantar, saya langsung memberi persetujuan. Saya
menyambut gembira atas inisiatif mengkompilasikan Jurnal Harian peserta Diklatpim
Tingkat II dalam sebuah dokumen yang disistematisir sedemikian rupa sehingga memiliki
nilai tambah yang baru, bukan lagi sekedar “catatan harian”.

Dari catatan-catatan seperti ini, kami selaku penyelenggara Diklatpim Tingkat II
mengharapkan adanya input, masukan dan kritik yang membangun untuk perbaikan
dimasa yang akan datang. Kepedulian dan kemauan peserta untuk turut mencari jalan
keluar terbaik dalam sistem diklat yang kita laksanakan bersama-sama, menunjukkan
adanya sinergi yang harmonis antara peserta dengan penyelenggara.

Kami berharap inisiatif seperti ini bukan yang pertama dan terakhir, namun dapat
dijadikan sebagai pemicu bagi peserta yang lain di angkatan-angkatan berikutnya untuk
dapat berbuat lebih dari sekedar menjadi “peserta yang baik”.

Atas nama Pusdiklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan, saya ingin menyampaikan
terima kasih dan selamat atas karya tulis Sdr. Tri Widodo ini, semoga tetap produktif dan
makin sukses di tempat kerja permanennya.



                                          Pusdiklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan,
                                                          Kepala,



                                                  Drs. Makhdum Priyatno, MA




                                                                                  Page | v
Kata Pengantar

Saat pertama kali mendapat penugasan untuk membuat Jurnal Harian, saya sempat berpikir apa
itu dan apa maksudnya? Kesan pertama, koq orang tua dan sudah pada menduduki Eselon II
masih harus membuat catatan harian seperti saat di SMA dulu. Saya kemudian mencoba
merenung sebentar untuk mencari bentuk dari tugas yang akan saya kerjakan, dan seketika itu
timbullah ide segar untuk menghasilkan karya tulis dari hasil mengumpulkan tugas harian ini.

Pada waktu itu, saya langsung patok target harus mencapai 100 halaman. Saya sudah
membulatkan tekad untuk tidak sekedar memenuhi kewajiban harian, namun harus ada hasil
yang lebih besar, lebih nyata, dan lebih bermanfaat. Saya menguatkan komitmen untuk tidak
sekedar menggugurkan kewajiban; lebih dari itu saya ingin menyusuri lebih jauh hingga ke
aliran darah dan urat nadi sistem penyelenggaraan diklat aparatur khususnya Diklatpim II.
Kesempatan mengikuti diklat adalah kesempatan yang sangat langka dan sangat disayangkan
jika hanya kompetensi kognitif yang kita peroleh. Saya benar-benar ingin menyatu dengan roh
diklat dan spirit perbaikan diri dalam komunitas diklat yang saya yakini sangat luar biasa.

Saya mencoba mengendap hingga ke dasar hati para peserta dan penyelenggaranya untuk
menghasilkan asumsi-asumsi atau hipotesis awal tentang strategi-strategi yang layak untuk
perbaikan sistem diklat aparatur kedepan, meski masih bersifat implisit (tacit). Saya sengaja
memilih istilah tacit strategy dalam Judul kumpulan tulisan ini, karena pemikiran dan alternatif
strategi yang saya tawarkan masih sangat mentah dan lahir hanya dari analisis sederhana, tidak
menggunakan metodologi yang rumit dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
Namun saya yakin bahwa dari pemikiran sederhana ini akan dapat digulirkan terus sebagai bola
salju untuk mematangkan konsep awal yang telah ada.

Dengan semangat seperti itulah, maka saya memberanikan diri untuk mengemas jurnal harian
dalam sajian yang sedikit lebih sistematik. Meskipun target 100 halaman akhirnya tidak tercapai
karena berbagai kondisi yang saya hadapi baik kapasitas selaku peserta Diklatpim II maupun
dalam kondisi rumah tangga saya, namun saya tepat optimis bahwa kumpulan jurnal harian ini
bukanlah hal yang sia-sia.

Sebagaimana dikemukakan oleh Jacquelyn B. Carr dalam bukunya berjudul Communicating with
Myself: A Journal (Benjamin/Cummings Pub Co, 1979), Jurnal harian adalah teknik komunikasi
dan metode yang paling efektif dalam proses pembelajaran, bahkan merupakan pembelajaran
yang paling esensial dalam konteks individu. Kita dapat saja belajar dan berkomunikasi dengan
sumber-sumber belajar di sekitar kita yang tidak terbatas, namun efektivitas dalam pengendapan
atau penghayatannya tidak akan sebaik jika kita lakukan dengan/terhadap diri sendiri.

Dengan demikian, kumpulan jurnal ini pada hakekatnya juga merupakan komunikasi saya
dengan diri saya, meski inspirasi atas tulisan lebih banyak saya dapatkan dari teman-teman
peserta. Saya mencoba menjadikan diri saya sebagai “mata telinga” teman-teman, untuk
kemudian saya rekam secara tertulis dalam dokumen ini. Boleh juga dikatakan, kumpulan tulisan

                                                                                       Page | vi
ini adalah reportase terhadap segenap aktivitas kolektif dan pemikiran dinamis yang berkembang
diantara para peserta diklat.

Untuk itu, saya ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada teman-teman yang
telah menjadi sumber inspirasi dan sumber belajar bagi saya selama ini. Sungguh saya sangat
beruntung berada ditengah-tengah komunitas yang sedemikian beragam warna dan cita rasa,
yang secara signifikan membawa pengaruh positif bagi diri pribadi saya. Maka, dokumen inipun
secara khusus saya persembahkan untuk seluruh peserta Diklatpim Tingkat II Angkatan XXXI,
Kelas B.

Terima kasih yang tulus juga kami haturkan kepada bapak Makhdum Priyatno, Kapusdiklat
SPIMNAS Bidang Kepemimpinan yang telah berkenan memberi kata pengantar terhadap
kumpulan tulisan ini. Karya Tulis inipun kami persembahkan untuk segenap jajaran Pusdiklat
SPIMNAS Bidang Kepemimpinan yang telah memberikan pelayanan terbaik selama kami
ngangsu kawruh dan tholabul ‘ilm di kampus Pejompongan yang sarat dengan memori indah ini.
Kalaupun dalam tulisan ini ada kritik yang manis maupun yang pedas, itu adalah wujud cinta
kami untuk sebuah program dan kelembagaan diklat aparatur yang semakin berwibawa di
kemudian hari.

Akhirnya, penulis hanya berharap kiranya karya sederhana ini dapat memberikan manfaat seekcil
apapun itu …




(Tri Widodo W Utomo)

Peserta Diklatpim Tingkat II
Angkatan XXXI Kelas B, 2001
NDH. 53




                                                                                     Page | vii
Jurnal #1

                 “Ketika Perubahan Menghampiri Kita … (1)”


Mengikuti Diklat selalu berarti menghadapi perubahan. Dari lingkungan fisik maupun sosial,
pola makan, ritme hidup, hingga perilaku keseharian kita, semuanya berubah dengan tiba-tiba.
Kantor dan rumah yang menjadi persinggahan sehari-hari, dengan “terpaksa” harus kita
tinggalkan untuk memasuki lingkungan baru berupa asrama, kelas, auditorium, kantin, foto copy
atau koperasi tempat berjualan pernak-pernik diklat. Interaksi sosial yang biasanya lebih banyak
terbangun dengan rekan kerja dan anak istri, sekoyong-koyong juga berubah menjadi hubungan
dengan sesama peserta yang belum saling mengenal, widyaiswara, penjaga asrama, petugas foto
copy atau fax, hingga satpam dan penjaja koran atau makanan, bahkan juga dengan instruktur
senam, mbak Diana dan mas Yanto.

Kebiasaan makan pun berubah drastis, baik menunya, jadual makannya, juga penyajiannya.
Urusan makan di program diklat seolah-olah telah menjelma menjadi sebuah cabang ilmu baru
dari disiplin manajemen, yakni “Manajemen Konsumsi”. Bagaimana tidak? Jika kita telat sedikit
saja, maka kita harus siap-siap kelaparan karena makan telah dibereskan. Sebaliknya, ketika kita
lapar sebelum waktunya, maka dengan 1000 alasan-pun tetap saja mustahil untuk
memperolehnya. Menu benar-benar telah direncanakan dengan sangat detil baik mengenai
volumenya, jenis dan pilihannya, saat penghidangannya, waktu menikmatinya, lengkap dengan
etikanya. Jangan harap kita dapat menikmati makanan sambil bercelana pendek, mengangkat
kaki ke kursi, bahkan kadang untuk nambah-pun terasa sangat berat karena seolah kita serakah
dan menyerobot jatah peserta lain. Maklum, jumlah makanan benar-benar sudah disesuaikan
dengan jumlah peserta. Jika mau nambah, yakinkan terlebih dahulu bahwa ada teman ada yang
puasa, atau yang memilih makan diluar, atau sengaja menghindar makanan yang ada karena
alasan selera …

Diklat juga merubah ritme dan irama hidup kita secara signifikan. Jika biasanya kita bangun
subuh dilanjutkan dengan shalat subuh, kemudian berkemas-kemas untuk segera ke kantor
karena mengejar waktu agar tidak terkena kemacetan, sekarang tidak usah lagi khawatir dengan
deretan ratusan ribu kendaraan yang mengular puluhan kilo meter. Sebagai gantinya, setelah
shalat subuh kita harus melakukan olah raga senam pagi. Ternyata, senam saja tidak cukup. Kita
juga wajib mengisi daftar hadir! Ini dia instrument baru yang sekonyong-konyong
mengendalikan ritme hidup kita. Dari subuh hingga malam menjelang tidur, kita diikat erat-erat
oleh Sang Daftar Hadir. Paling sedikit, kita harus membubuhkan tanda tangan – bukan paraf –
sebanyak LIMA kali dalam sehari, sebuah angka yang menyamai jumlah shalat wajib bagi umat
Islam. Maka, tidak mengherankan jika kehidupan di asrama sesungguhnya adalah momentum
menghitung hari yang berisi fase kehidupan yang dibatasi oleh Daftar-daftar Hadir!

Tidak cukup sampai disana … ternyata daftar hadir juga mencengkeram naluri kita. Jika
terlambat 5 menit saja, maka daftar hadir yang semula warna putih, mendadak berubah menjadi
kuning. Dan jika kita terlambat 5 menit lebih lama lagi, maka ia akan berubah menjadi MERAH!
Itu artinya, kita harus mempersiapkan mental untuk menerima teguran lisan atau tulisan.

                                                                                        Page | 1
Yang lebih “heboh” lagi, perilaku keseharian kita juga turut berganti warna. Kebiasaan kita
untuk berpikir secara komprehensif digiring kearah berpikir secara sekuensial. Hasrat berpikir
“liar” untuk mencari alternatif terbaik untuk membenahi carut-marut negeri, terhalang oleh tata
krama untuk tidak mengkritik simbol-simbol negara. Kebiasaan bekerja dengan perangkat
komputer, seketika harus putar balik ke zaman kejayaan Koes Plus ketika tulisan tangan menjadi
media dominan dalam dunia akademik. Tradisi baru yang memberi kebebasan bagi seseorang
untuk berekspresi secara lisan, tulisan, atau gerak kinestetik, dalam batas-batas kedewasaan,
kesadaran, dan tanggungjawab penuh, tiba-tiba ditempatkan dalam kerangka “aturan dan ragam
sanksinya bagi pelanggarnya”.

Maka, terlambat absen akan mengurangi nilai, tidak ikut senam akan mengurangi nilai, tidak
aktif dikelas akan mengurangi nilai, menerima tamu di kamar akan mengurangi nilai, memakai
sandal pada saat makan siang akan mengurangi nilai … Singkatnya, “nilai” menjadi momok
yang ampuh untuk membentuk dan/atau mengarahkan perilaku seseorang. Seolah, “nilai”
menjadi satu-satunya tujuan dari berduyun-duyunnya para pejabat Eselon II dari seluruh
Indonesia ke Kampus Pejompongan. Bukankah ini unik dan menarik menyimak fenomena
pejabat yang ketakutan dikurangi nilainya, sama seperti takutnya anak-anak para pejabat tersebut
terhadap ancaman pengurangan nilai dari guru Matematika di SD tempat mereka menuntut ilmu?
Para pejabat tadi juga takut tidak lulus, sama seperti takutnya anak-anak SMP dan SMA yang
menghadapi Ujian Nasional …

Perubahan-perubahan seperti itulah yang nampaknya membuat seseorang cenderung
menghindarinya. Rasa nyaman dan mapan yang selama ini sudah terbangun menjadi tak
beraturan oleh gelombang perubahan yang datang seketika. Kecenderungan menghindari
perubahan nampaknya juga bukan sekedar persoalan “tidak mau berubah”, namun seringkali
justru terdorong oleh kebimbangan tentang kemanfaatan perubahan tadi atas dirinya.

Jika demikian, lantas apa sesungguhnya esensi mengikuti diklat kalau hanya sekedar mengejar
nilai? Apa urgensi pembelajaran jika hanya menumbuhkan rasa takut? Apa manfaat dari
perubahan yang ditimbulkan oleh diklat?

Kampus Pejompongan Jakarta
Rabu, 15 Juni 2011


Bersambung …




                                                                                        Page | 2
Jurnal #2

                 “Ketika Perubahan Menghampiri Kita … (2)”


Mengikuti diklat – sebagaimana layaknya belajar dalam konteks apapun – memiliki satu
prakondisi yang sangat penting untuk dapat berhasil, yakni bahwa proses diklat tersebut haruslah
menyenangkan, menggembirakan, juga tanpa ada rasa cemas atau tertekan, baik oleh ancaman
pengurangan nilai, ancaman tidak lulus, ancaman teguran dari penyelenggara, atau mungkin juga
pressure dari pimpinan instansi agar kita tetap perform terhadap tugas-tugas pokok di instansi
yang sedang ditinggalkan. Jika seorang peserta mengalami perasaan tidak nyaman, kurang
bahagia, resah atau gelisah selama mengikuti diklat, boro-boro mampu mencapai tujuan diklat …
yang lebih mungkin terjadi adalah naiknya tekanan darah dan gula darah, melonjaknya kolesterol
dan asam urat, merebaknya gejala stress dan depresi, hingga melayangnya nyawa.

Maka, sangat dianjurkan untuk tidak menolak perubahan yang dibawa oleh diklat. Dari pada
repot-repot mencari sejuta alasan tentang tidak efektifnya perubahan yang melanda, lebih baik
berpikir positif tentangnya. Dan jika didalami lebih seksama, proses perubahan selalu merupakan
proses yang menyakitkan (a painful process). Namun perlu dicatat bahwa rasa sakit tadi hanya
terjadi pada level proses yang akan mengantarkan kita (peserta diklat) pada hasil yang lebih
indah dan manis dibanding kondisi sebelum mengikuti diklat. Seekor kerang-pun, untuk dapat
menghasilkan mutiara yang bernilai tinggi, harus melewati sebuah proses yang teramat
menyakitkan. Dalam ajaran Islam secara tegas dinyatakan bahwa dibalik setiap kesulitan akan
selalu ada kemudahan (innama ‘al ‘usri yusra). Maknanya, jika kita ingin lebih berhasil, lebih
pintar, lebih bijak, lebih enak dan lebih baik dalam segala hal dimasa depan, maka harus
melewati terlebih dahulu berbagai perjuangan yang melelahkan dan menyakitkan. Bahkan,
musim semi yang begitu menawan, tidak pernah muncul tanpa didahului oleh musim dingin yang
begitu berat hingga menggemeretakkan tulang belulang manusia.

Jika kita sudah memiliki model mental yang kondusif untuk menerima perubahan, maka apapun
situasi dan tantangan yang ditawarkan oleh penyelenggara diklat, akan dapat dikelola secara
produktif. Ibaratnya, ketika angin bertiup kencang (simbolisasi perubahan), hasilnya bukan
robohnya bangunan beton yang kokoh (simbolisasi orang yang menolak perubahan), namun
justru dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi alternatif (simbolisasi yang siap menerima
perubahan).

Kembali ke perubahan yang meluluhlantakkan wilayah kenyamanan seseorang. Ketika
lingkungan fisik dan sosial sekitar kita berubah mendadak, pandanglah itu sebagai penyegaran
terhadap kondisi sebelumnya yang begitu-begitu saja dan cenderung membosankan. Milieu baru
secara psikologis mampu mengkonfigurasi ulang simpul-simpul kejiwaan dan sistem syaraf
motorik untuk menumbuhkan kesan lebih rileks dan menyegarkan. Itulah mengapa banyak orang
melancong ke tempat-tempat baru. Bahkan banyak para petualang yang mengejar daerah-daerah
terpencil dan sulit dijangkau hanya untuk mengembalikan kesegaran dan kekuatan jiwanya.



                                                                                        Page | 3
Demikian pula ketika pola makan kita berubah menjadi sangat terstruktur, syukurilah selayaknya
seorang atlit yang dijaga ketat pola makannya oleh sang manajer. Maksudnya jelas bukan untuk
mengurangi hak sang atlit, namun justru untuk menjamin kebugaran dan kesehatannya agar siap
bertanding sewaktu-waktu dengan prestasi optimal. Jika tidak selama diklat, kapan lagi kita akan
makan secara teratur dengan menu yang telah dipertimbangkan secara professional?

Kalaupun ritme hidup kita berubah secara drastis, itupun harus disikapi secara positif. Kewajiban
mengisi daftar hadir 5 hari sekali sesungguhnya adalah sebuah test-case tentang sejauhmana
tingkat ketaatan (obedience) kita terhadap aturan dan pimpinan. Seseorang yang berpandangan
bahwa pejabat Eselon II tidak lagi layak diperlakukan seperti anak kecil dengan kewajiban
berbasis ketidakpercayaan (distrust), mencerminkan bahwa seseorang tadi hanya mementingkan
aspek kepemimpinan (leadership) namun cenderung mengabaikan sisi kepengikutan
(followership). Padahal, keberhasilan suatu organisasi tidak hanya ditentukan oleh
kepemimpinan yang bermutu, namun lebih banyak dikontribusikan oleh para pengikutnya yang
loyal, kompeten, dan kredibel. Satu hal lagi mohon diingat bahwa pejabat Eselon II – atau Eselon
I sekalipun – selain sebagai pemimpin, mereka adalah juga pengikut bagi atasannya. Untuk itu,
hilangkan ego selaku pimpinan dan tumbuhkan ego selaku pelayan (steward) saat kita mengikuti
program diklat. Peran seorang pemimpin sebagai pelayan (steward) inilah yang paling lemah
dalam sistem birokrasi kita, dan akan dibangun kembali melalui proses perubahan selama diklat.

Kunci sukses mengelola gelombang perubahan tadi adalah ikhlas. Janganlah resistant dan jangan
keraskan hati terhadap perubahan. Sebaliknya, siapkan mental, pikiran, dan fisik untuk belajar
dan menyerap kebaikan sebesar mungkin dari rangkaian program diklat. Yakini juga bahwa
pembelajaran yang dilakukan akan merupakan satu-satunya yang dapat mempertahankan
keunggulan kompetitif organisasi dimasa depan, seperti diungkapkan oleh de Geuss: learning
might prove to be the only sustainable competitive advantage for organization in the future.
Kunci keberhasilan lainnya adalah disiplin, tekun dan sungguh-sungguh dalam menjalani
keseluruhan proses pembelajaran.

Anda boleh saja berharap memperoleh kenikmatan dan pelayanan yang menyenangkan selama
diklat, namun akan lebih tepat jika anda berharap untuk memperoleh wisdom yang akan
memperbaiki kualitas anda selaku pemimpin sekaligus selaku pelayan organisasi. Diklat adalah
kawah Candradimuka yang penuh tantangan, bukan kawah Tangkuban Perahu yang penuh
keindahan. Maka … selamat, anda telah terpilih untuk memasuki kawah Candradimuka!

Kampus Pejompongan Jakarta
Kamis, 16 Juni 2011




                                                                                         Page | 4
Jurnal #3

          “Desentralisasi Dalam Kacamata Learning Organization”


Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba materi Systems Thinking yang dibawakan Dr. Sudarsono
Hardjosukarto berkembang menjadi diskusi tentang otonomi daerah. Banyak yang menginginkan
agar urusan pertanian ditarik lagi menjadi urusan pusat mengingat kegagalan negara untuk
memperkuat ketahanan pangan dan kembali ber-swasembada beras. Ada juga yang
mengemukakan bahwa sejak big bang desentralisasi 1999, kasus deforestrasi menjadi tidak
terkendali. Dalam bidang pendidikan-pun, muncul kritik bahwa desentralisasi gagal membangun
sumber daya manusia yang unggul. Singkatnya, forum pembelajaran tadi berubah menjadi ajang
pengadilan terhadap desentralisasi. Desentralisasi menjadi tersangka utama atas berbagai
masalah yang muncul sejak tumbangnya rezim Orde Baru.

Diskusi menjadi semakin menarik karena baru saja peserta diberikan materi tentang learning dan
Learning Organization (LO). Ada tiga bentuk pembelajaran dalam organisasi, yakni learning
how to learn, learning how to unlearn, dan learning how to relearn. Bentuk pertama adalah
pembelajaran terhadap hal-hal baru yang diyakini mampu memberi leverage effect terhadap
peningkatan kinerja organisasi. Bentuk kedua merupakan kemauan dan kesadaran untuk
menanggalkan atau meninggalkan hal-hal dimasa silam yang sudah jelas tidak membawa
manfaat. Adapun bentuk ketiga adalah kemampuan untuk mengambil nilai atau hikmah dari
pengalaman diri sendiri atau orang lain, untuk kemudian dijadikan sebagai bahan pembelajaran
organisasi. Pada saat yang sama, peserta juga diasumsikan sudah memiliki pemahaman tentang
teori Seven Learning Dissabilities dari Peter Senge, yakni: I am my position, The enemy is out
there, The illusion of taking charge, The fixation on events, The parable of the boiled frog, The
delusion of learning from experience, dan The myth of the management team.

Dengan bekal teori LO dan tujuh ketidakmampuan belajar tadi, maka agak janggal rasanya
ketika kelas menjadi ajang “pembantaian” terhadap desentralisasi. Aneh rasanya ketika cara
berpikir tidak diarahkan pada mencari solusi terhadap akar masalah yang dihadapi, namun lebih
mencari “kambing hitam” terhadap masalah tersebut. Tanpa disadari, kita justru terjerumus
dalam sindrom ketidakmampuan belajar no. 2, the enemy is out there. Bahwa kebijakan dan
proses desentralisasi saat ini masih menyisakan persoalan besar, adalah fakta yang sulit dibantah.
Namun, terhadap fakta negatif desentralisasi tadi, ada dua opsi cara berpikir yang dapat dipilih:
menyalahkan desentralisasi sebagai biang persoalan, atau mencari solusi kreatif atas masalah
yang ada. Pilihan pertama jelas bukan pilihan bijak, terutama bagi setiap orang yang telah
menguasai lima disiplin dalam LO. Pilihan pertama juga tidak akan pernah mampu
menghasilkan pemikiran inovatif dalam bentuk tawaran solusi. Hasil yang muncul dari pilihan
seperti ini hanya saling menunjuk hidung orang lain, saling mengelak, saling merasa benar,
saling menuduh, dan saling memojokkan. Ironisnya, cara berpikir “mencari kambing hitam”
adalah cara berpikir termudah dan oleh karenanya, paling banyak diterapkan oleh para pejabat
publik, politisi, hingga akademisi dan pengamat sekalipun.



                                                                                          Page | 5
Padahal, kalau mau dirujuk ke belakang, desentralisasi adalah pilihan dan keputusan kolektif
bangsa Indonesia untuk mengkoreksi berbagai penyimpangan dalam praktek pemerintahan pada
masa sebelumnya. Artinya, pada tahun 1999 lalu, bangsa Indonesia sudah melakukan proses
learning how to unlearn, yaitu meninggalkan dan menanggalkan jauh-jauh praktek pemerintahan
yang sentralistis dan menghambat tumbuhnya kemandirian daerah. Kekayaan ragam budaya
nusantara, tidak mungkin dikemas dalam sistem manajemen yang seragam, karena hal itu
bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Dengan menanggalkan sistem yang jelas-jelas tidak membawa perbaikan, maka pada saat itu
pula bangsa Indonesia telah berhasil menjalani proses learning how to learn, yaitu menciptakan
sistem baru yang belum pernah terjadi di masa sebelumnya dan diyakini akan membawa
perbaikan di berbagai sektor pemerintahan. Keberadaan Kantor Wilayah yang overlap dengan
urusan rumah tangga daerah, dihapuskan. Wewenang pemerintahan yang sangat luas diberikan
kepada daerah lengkap dengan instrumen fiskal dan SDM-nya.

Setelah desentralisasi berjalan 10 tahun, sebuah evaluasi yang komprehensif adalah hal yang
wajar, bahkan sangat diperlukan. Kalaupun ternyata ada wisdom dan best practices masa lalu
yang patut dikembangkan lagi, juga bukan suatu kemustahilan atau harus dipandang sebagai hal
yang tabu. Sebagai contoh, peran pemerintah pusat dan provinsi yang melemah akibat
desentralisasi luas, ternyata menimbulkan banyak persoalan di lapangan. Maka, peran
pemerintah pusat dan provinsi perlu diperkuat tanpa harus melakukan upaya resentralisasi
ataupun mengurangi wewenang kabupaten/kota. Ini berarti, proses learning how to relearn
sesungguhnya telah terjadi tanpa harus menuding desentralisasi sebagai akar masalah bangsa.
Desentralisasi sudah terlanjur menghantarkan bangsa Indonesia pada posisi seperti saat ini dan
berada pada point of no return, sehingga problematika yang ada bukanlah pembenar untuk
berbalik arah ke masa silam.

Dari kasus desentralisasi tersebut, saya pribadi menangkap sebuah kesan dan keyakinan bahwa
mempelajari dan menguasai teori maupun disiplin-disiplin LO akan membawa sangat banyak
manfaat untuk menelaah kompleksitas kebijakan di sekitar kita. Dengan LO ini kemungkinan
keliru dalam pengambilan keputusan dapat diminimalisir, sehingga secara tidak langsung turut
meningkatkan kualitas kebijakan itu sendiri.

Kampus Pejompongan Jakarta
Jum’at, 17 Juni 2011




                                                                                      Page | 6
Jurnal #4

                     “Sudah Belajarkah Pemerintahan Kita?”


Sebagai pembelajar pemula systems thinking, saya mendapat banyak sekali wawasan dan
inspirasi tentang bagaimana suatu pemerintahan mengelola kebijakannya. Salah satu hal yang
menarik minat saya adalah tentang “Hukum Disiplin Kelima” yang terdiri dari 11 kaidah.
Namun dalam refleksi ini saya hanya akan menyinggung hukum pertama dan kedua.

Hukum pertama adalah “Permasalahan hari ini berasal dari solusi kemaren”. Masalah yang
kita hadapi saat ini, seringkali merupakan hasil solusi masalah yang kita lakukan pada masa lalu.
Pemecahan seperti ini – katanya – hanya mengalihkan masalah dari satu bagian ke bagian lain
dari sistem itu, tanpa dapat dideteksi atau diketahui. Sebagai contoh, jika polisi menangani suatu
masalah peredaran narkoba di suatu wilayah, akan menyebabkan pindahnya peredaran barang
terlarang itu ke wilayah lain yang dilakukan secara lebih rapi, baik dalam pengorganisasiannya
maupun dalam pendistribusiannya (Sumber: Modul 1.A-2, hal. 20).

Praktek kebijakan di Indonesia secara umum, nampaknya tidak memperhatikan hukum tersebut,
sehingga banyak kebijakan yang dapat mengurangi masalah tertentu namun menimbulkan
masalah yang sama di tempat berbeda. Sebagai contoh, Pemerintah Kota Tangerang Selatan
mengalami masalah baru berupa kemacetan khususnya di sepanjang Jalan Raya Serpong, akibat
kebijakan Pemerintah Provinsi DKI yang melarang truk masuk tol dalam kota dan memaksa
truk-truk untuk mengambil jalan memutar ke wilayah Tangerang Selatan. Pemerintah DKI dapat
berbangga dan mengklaim bahwa kebijakannya telah mengurangi kemacetan di wilayahnya,
tanpa mempedulikan efek negatif di wilayah tetangganya.

Contoh dengan pola agak berbeda adalah kasus pelemparan batu dan aksi pengrusakan
penumpang kereta api di beberapa stasiun akibat kebijakan PT. KAI yang menyemprotkan cat
kepada penumpang yang naik keatas gerbong. Akibatnya, penumpang marah dan menimbulkan
kerusakan dengan tingkat kerugian yang tidak kecil, dan memaksa pihak manajemen untuk
mencabut kebijakan tersebut dan mencari alternatif pengganti yang lebih baik dan lebih humanis.
Dalam kasus PT. KAI ini, kebijakan baru ternyata menimbulkan masalah berbeda di tempat yang
sama. Persamaan dengan kasus pertama, keduanya sama-sama tidak mampu mengatasi masalah
yang ada, namun hanya memindahkan masalah, menimbulkan masalah baru, atau sekedar
menunda masalah. Dalam ilmu systems thinking, solusi seperti itu disebut symptomatic solution,
bukan fundamental solution.

Dua ilustrasi diatas ini menunjukkan bahwa pemerintah (cq. Pemprov DKI dan PT. KAI) dapat
dikatakan tidak menggunakan pendekatan dan cara berpikir sistem dalam perumusan kebijakan.
Mereka juga dapat disebut tidak mengalami proses pembelajaran, atau mengalami kegagalan
dalam proses pembelajaran (learning disabilities). Kegagalan mereka untuk belajar, bisa jadi
disebabkan oleh kegagalan mengenali perubahan disekitarnya. Pemerintah DKI mungkin tidak
menyadari bahwa penambahan penduduk dan pemukiman, peningkatan jumlah kendaraan,
perkembangan sektor-sektor ekonomi tumbuh teramat pesat sehingga menimbulkan kesenjangan

                                                                                          Page | 7
yang semakin parah dibandingkan dengan kemampuan Pemprov DKI menyediakan infrastruktur
jalan, kapasitas polisi untuk mengatur ruas jalan, atau kemampuan anggaran dan petugas Dinas
Perhubungan dalam menata rambu dan marka lalu lintas.

Ketika perubahan lingkungan lebih cepat dan lebih besar dibandingkan proses pembelajaran
aparatur, maka dapat dipastikan terjadi bottlenecking kebijakan seperti kedua kasus diatas.
Ironisnya, saat terjadi bottlenecking kebijakan, yang ditempuh adalah paradigma pragmatis untuk
menyelesaikan masalah pada jangka pendek. Sekali lagi, ini membuktikan bahwa cara berpikir
serba sistem (systems thinking) belum dipraktekkan dalam manajemen kebijakan publik.

Selanjutnya, hukum kedua adalah “Semakin keras kita menekan, yang kita hadapi juga semakin
luas”. Contoh hukum ini misalnya terjadi di AS tahun 1960-an, dimana ada kebijakan
pembangunan perumahan bagi kalangan bawah dan kebijakan peningkatan ketrampilan kerja
masyarakat di kota-kota yang dianggap lemah ekonominya. Satu dekade setelahnya, keadaan di
kota-kota tersebut justru semakin memburuk, meskipun bantuan pemerintah ditingkatkan.
Penyebabnya adalah orang-orang yang berpendapatan rendah dari kota lain dan pedesaan
berbondong-bondong pindah ke kota yang mempunyai program insentif tersebut. Akhirnya,
program perumahan baru menjadi sangat sesak, dan program pelatihan kerja dibanjiri oleh
pelamar. Pada saat yang sama, penerimaan pajak mulai terkikis, sehingga mengakibatkan lebih
banyak orang terperangkap dalam kemiskinan (Sumber: Modul 1.A-2, hal. 21).

Naga-naganya, bangsa Indonesia-pun terjangkiti oleh penyakit serupa. Di bidang pendidikan,
misalnya, terdapat kebijakan bahwa guru harus memiliki kualifikasi minimal sarjana dan jika
memungkinkan tersertifikasi. Atas nama desentralisasi, banyak pemerintah daerah yang
mengalokasikan dana besar untuk peningkatan kualifikasi guru. Namun yang kemudian terjadi,
para guru yang telah mencapai jenjang pendidikan tinggi cenderung pindah ke daerah yang
memberikan tunjangan atau insentif lebih besar kepada guru. Akibatnya, investasi pemerintah
daerah asal untuk menyekolahkan para guru membawa manfaat secara tidak seimbang bagi
daerah maupun bagi masyarakat umum pengguna jasa layanan pendidikan dasar di daerahnya
sendiri. Kasus pemberian BLT (bantuan langsung tunai) juga mencerminkan berlangsungnya
hukum kedua tadi. Peningkatan jumlah penerima BLT dan anggaran yang dialokasikan,
mengilustrasikan terjadinya kasus yang sama seperti di AS periode 1960-1970an.

Kedua kasus diatas juga menggambarkan secara gamblang bahwa kebijakan yang ditempuh tidak
berbasis pada pendekatan serba sistem. Sebagian besar kebijakan kita nampaknya masih lebih
bersifat linier dan reaktif terhadap masalah yang ada. Akibatnya, masalah yang dihadapi tidak
dapat dipecahkan secara holistik dan komprehensif. Masalah yang berhasil diatasi hanyalah
masalah yang ada di permukaan, sementara inti masalah yang sebenarnya tidak pernah teruraikan
secara tuntas.

Adapun sembilan “Hukum Disiplin Kelima” yang tidak saya elaborasi lebih jauh adalah
“Perilaku berkembang membaik, sebelum memburuk”; “Pemecahan masalah yang mudah
umumnya menggiring kembali ke masalah tersebut”; “Upaya penyembuhan dapat lebih buruk
dari pada penyakitnya sendiri”; “Sesuatu yang lebih cepat biasanya akan lebih lambat”; “Sebab
dan akibat tidak begitu erat terkait dengan ruang dan waktu”; “Perubahan yang kecil dapat
menghasilkan hasil yang besar, namun wilayah dengan kemampuan daya ungkit terbesar itu

                                                                                       Page | 8
biasanya tersembunyi (tidak jelas)”; Anda dapat memiliki kue anda, dan juga memakannya,
tetapi jangan sekaligus”; “Membelah seekor gajah tidak akan menghasilkan dua ekor gajah
kecil”; “Jangan saling menyalahkan dan jangan menghujat”.

Bayangkan saja, jika kita bisa mengambil banyak pelajaran dari dua hukum, berapa banyak
perbaikan dan kemajuan yang dapat kita raih dengan belajar pada hukum-hukum lainnya?
Sumber belajar ada dimana-mana, tersebar dilingkungan dimanapun kita berada. Setiap orang
yang kita temui-pun, pada hakekatnya juga adalah sumber belajar yang potensial. Maka, tidak
ada alasan untuk tidak belajar atau menunda untuk belajar. Belajarlah mulai sekarang, dan
mulailah dari diri kita masing-masing …

Kampus Pejompongan Jakarta
Sabtu, 18 Juni 2011




                                                                                   Page | 9
Jurnal #5

                      “Pembagian Kelas: Sebuah Takhayul?”


Adalah hal yang lumrah dan sudah berlangsung puluhan tahun bahwa peserta Diklatpim II selalu
dikelompokkan dalam kelas-kelas, ada kelas A dan ada kelas B. Sekilas tidak ada yang aneh atau
patut dipertanyakan dengan pembagian seperti itu, hingga munculnya selentingan-selentingan
bawah sadar yang membutuhkan penelusuran lebih seksama. Pagi hari tadi, misalnya, seorang
teman menanyakan kapan tanda pengenal peserta untuk kelas B dibagikan, mengingat kelas A
sudah memperoleh hari Jum’at yang lalu. Alhamdulillah, pada sessi kedua (jam 10.45) kami
semua sudah mendapatkannya. Selentingan teman tadi seketika mengingatkan saya pada
selentingan salah seorang pengajar diklat ketika kami bertemu hari Kamis, atau pada hari ketiga
Diklatpim II berlangsung. Dia bertanya: “Kenapa ya kelas B terlihat lebih santai dan cair dari
pada kelas A?” Dia menambahkan bahwa pengalaman penyelenggaraan Diklatpim angkatan-
angkatan sebelumnya juga relatif sama. Terus terang, saya tidak dapat menjawab pertanyaan
retoris tadi karena saya sendiri belum mampu membandingkan situasi dan kinerja antara kelas A
dan B. Namun beberapa selentingan seolah memberi pembenaran bahwa antara kelas A dan B
memang selalu memiliki karakter yang berbeda.

Saya jadi teringat ketika anak saya pindah sekolah dari Samarinda ke Tangerang Selatan
mengikuti ayahnya yang dimutasi ke kantor Pusat di Ibukota. Pada saat saya dan istri
mendaftarkan ke SD Negeri di wilayah Serpong Utara, Kepala Sekolah SD tersebut menanyakan
ranking anak-anak saya sewaktu di Samarinda. Dia menjelaskan bahwa jika ranking-nya 1 s.d. 5,
maka akan dimasukkan ke kelas A, sedangkan jika menempati ranking 6 keatas akan
ditempatkan di kelas B. Singkatnya, kelas A memang didesain sebagai kelompok orang-orang
yang memiliki kelebihan dibanding kelas lainnya.

Namun dalam konteks Diklatpim II, saya tahu bahwa tidak ada pertimbangan kepandaian,
kepangkatan, track record kinerja, atau prestasi lainnya dalam penempatan seseorang ke kelas
tertentu. Tapi apa boleh buat, karena A dan B menunjukkan jenjang atau leveling sebagaimana 1
dan 2, maka kesan bahwa kelas A adalah kelas 1 dan kelas B adalah kelas dibawahnya, tidak bisa
terelakkan. Dalam alam bawah sadarnya, mereka yang masuk kelas A mengidentifikasikan
dirinya sebagai kelompok dengan kecakapan diatas rata-rata, sementara mereka yang “terpaksa”
masuk kelas B harus siap untuk belajar lebih gigih jika ingin menyamai rekannya di kelas A.
Bisa jadi, subconscious mind seperti itulah yang membuat peserta di kelas B merasa tidak perlu
repot-repot belajar atau mengejar prestasi, karena urusan prestasi adalah domain kelas A.
Sebagai gantinya, kelas B lebih memilih untuk menikmati program diklatnya dengan kelakar,
senda gurau dan aktivitas apapun yang mendatangkan rasa rileks dan santai.

Maka, terbentuklah takhayul bahwa kelas A selalu lebih baik dan lebih hebat dari pada kelas B.
Dikatakan takhayul karena hal tersebut telah menjelma menjadi keyakinan yang diperkuat
dengan fakta-fakta empirik bahwa sang juara lebih sering lahir dari kelas A dibanding kelas yang
lain. Padahal, prestasi itu sama sekali tidak terbentuk oleh kebijakan penempatan kelas,
melainkan oleh keyakinan seseorang dialam bawah sadarnya bahwa dia cerdas/unggul/hebat,

                                                                                       Page | 10
atau sebaliknya. Keyakinan yang teguh terhadap sesuatu akan menjadikan sesuatu tadi sebuah
kenyataan, sebagaimana bunyi sebuah adagium: what you get is what you believe. Ini adalah
ajaran tentang kekuatan sebuah keyakinan (the power of believe). Dalam ajaran agama Islam-pun
dinyatakan bahwa Allah adalah sesuai persangkaan hambanya. Saat seorang hamba meyakini
secara penuh bahwa Allah akan memberikan kepadanya rejeki dari arah yang tidak disangka-
sangka, maka hal tersebut benar-benar akan menjadi kenyataan. Subhanallah …

Sebuah eksperimen pernah dilakukan di AS dengan memasukkan anak-anak cerdas dan potensial
ke kelas B dan anak-anak dengan intelijensi sedang ke kelas A. Setelah di-treatment dengan
pembelajaran yang sama untuk periode tertentu, ternyata hasilnya sangat mencengangkan. Anak-
anak di kelas A yang notabene kecerdasannya hanya rata-rata, berhasil menunjukkan prestasi
yang lebih baik dari pada kelas B yang berisi anak-anak jenius.

Oleh karena itu, untuk siapa saja yang telah terlanjur masuk kelas B, C, atau D, keyakinan bahwa
mereka adalah kelas 2, 3, atau 4 harus dihancurleburkan agar tidak membawa efek psikologis
yang negatif. Sedangkan untuk penyelenggara pendidikan, penamaan kelas hendaknya lebih
bersifat netral namun justru mampu merangsang hasrat eksplorasi terhadap nama kelas. Sebagai
contoh, kelas A dan B masing-masing diganti menjadi kelas Kelembagaan dan Ketatalaksanaan.
Nama kelembagaan dan ketatalaksanaan ini bukan sekedar pengganti A dan B, namun secara
tersirat menuntut peserta untuk mendalami konsep kelembagaan dan ketatalaksanaan tersebut.
Dengan pemberian nama kelas yang netral ini, maka setiap peserta akan memiliki posisi start
yang sama dan kondisi mental yang sama, sehingga siap berkompetisi secara sehat dan fair.

Kampus Pejompongan Jakarta
Senin, 20 Juni 2011




                                                                                       Page | 11
Jurnal #6

                   “Diana Leadership Dalam Diklat Aparatur”


Satu sisi dalam Diklatpim II yang sayang untuk dilewatkan adalah kewajiban senam pagi setiap
Selasa, Rabu dan Kamis. Ternyata, banyak juga hal yang dapat dipelajari dari sessi yang
berlangsung dari jam 05.30 s/d 07.00 ini, termasuk soal kepemimpinan. Siapa pemimpin
lapangannya? Dia adalah Diana. Ya … Diana adalah nama instruktur senam pagi selama
program diklat berlangsung. Meski tugasnya terkesan sepele dan hanya menjadi bagian kecil dari
sistem diklat aparatur, namun sesungguhnya ia juga mencerminkan sosok pemimpin. Harold
Koontz (1989) mengatakan bahwa kepemimpinan adalah pengaruh, seni, atau proses
mempengaruhi orang-orang sehingga mereka akan berusaha mencapai tujuan kelompok dengan
kemauan dan antusiasme. Definisi dari George R. Terry, FA. Nigro, Tannenbaum, dan lain-lain
juga menegaskan inti kepemimpinan sebagai kemampuan seseorang dalam mempengaruhi
perilaku orang lain atau menuntut ketaatan dari orang lain.

Faktanya, Diana memiliki kedua kemampuan tersebut. Perilaku peserta senam terbentuk secara
seragam mengikuti irama yang dimainkan Diana. Orang yang sama sekali tidak pernah senam
pun berusaha sekuat tenaga untuk meniru semirip mungkin gerakan Diana. Peserta senam
memberi perhatian penuh terhadap Diana, terlihat dari arah pandangan yang fokus kepada
dirinya. Boro-boro komplain, tidak seorang peserta pun yang mencoba memberi alternatif
gerakan senam yang lebih baik. Singkatnya, Diana adalah pemimpin tunggal di lapangan yang
setiap instruksinya diikuti dengan koor yang kompak. Bahkan ketika Diana bertanya: Mana
suaranyaaa?”, seketika riuh rendah beragam suara memberi sambutan secara meriah.

Uniknya, Diana tidak pernah menegur peserta yang tidak mengikuti gerakannya. Dia juga tidak
pernah mengancam akan memberi sanksi bagi siapa saja, termasuk yang tidak datang ke
lapangan. Dia tetap saja happy dengan situasi disekelilingnya meski dia sadar bahwa karakter
orang-orang disekitarnya sangat beragam. Nampaknya Diana tahu betul bahwa orang-orang yang
datang kepadanya adalah orang dewasa yang telah menyadari hak dan kewajiban masing-masing,
sehingga model pembelajaran yang diberikan Diana juga model pembelajaran orang dewasa
(andragogi). Nampaknya, Diana memahami betul metode ini sehingga yang dia lakukan lebih
banyak bersifat motivasi, persuasi, serta pemberian contoh (suri tauladan) yang konkrit.

Adalah hal yang ironis ketika sosok Diana begitu ditaati oleh peserta, sedangkan penyelenggara
diklat yang jelas-jelas memiliki otoritas formal harus berusaha sekuat tenaga untuk menjaga
peserta agar berperilaku sesuai tata tertib dan seperangkat aturan yang telah disiapkan lembaga.
Ada saja peserta yang merasa sangat merdeka ketika sessi senam pagi, namun tiba-tiba merasa
terkekang dalam formalitas diklat di sessi-sessi berikutnya. Apa yang salah dengan situasi seperti
ini? Bukankah penyelenggara adalah pemimpin yang sebenarnya untuk peserta diklat? Namun
faktanya, mengapa sosok Diana lebih menonjol dan lebih disukai?

Tentu saja, teori yang berbeda akan memberikan penjelasan yang berbeda pula. Salah satunya
adalah kepemimpinan situasional yang diajarkan Paul Hersey dan Ken Blanchard. Dari empat

                                                                                         Page | 12
gaya kepemimpinan directing (telling), coaching, supporting (participating) dan delegating,
kepemimpinan hanya akan efektif jika diterapkan dalam situasi yang tepat – meskipun disadari
bahwa setiap orang memiliki gaya yang disukainya sendiri dan sering merasa sulit untuk
mengubahnya meskipun perlu. Dalam prinsip pembelajaran untuk orang dewasa (andragogi),
pada diri peserta diasumsikan sudah terdapat dua macam kompetensi, yakni kompetensi kognitif
berupa seperangkat pengetahuan dan pengalaman, serta kompetensi afektif berupa sikap
kedewasaan dan kesadaran tentang eksistensi dirinya.

Dengan dua jenis kompetensi tersebut, maka gaya kepemimpinan yang paling tepat untuk
mendampingi mereka dalam proses diklat adalah gaya supporting participating, disusul dengan
gaya delegating dan coaching secara seimbang, serta menghindari sebanyak mungkin gaya
directing. Gaya directing dicirikan oleh tingginya tingkat penugasan dan rendahnya hubungan
interpersonal (high tasks and low relationship), sedangkan gaya supporting dicirikan oleh
tingginya hubungan interpersonal dan rendahnya penugasan (high relationship and low tasks).
Kalau mau jujur, gaya yang lebih dikembangkan saat ini di Diklatpim II adalah gaya pelatihan
(coaching) – meski keberadaan pelatih telah diposisikan sebagai mitra – dan sedikit directing.
Hal ini bisa dilihat dari banyaknya target jumlah produk pembelajaran yang harus dihasilkan
baik secara individual maupun kelompok, bahkan pada tingkatan kelas atau angkatan. Pada saat
yang sama, interaksi interpersonal antara peserta dengan penyelenggara sangat sedikit sekali
terjalin. Paling banyak hubungan terjadi antara peserta dengan widyaiswara, petugas absen,
petugas laundry, dan satpam, sementara dengan manajemen diklat seperti Deputi V, Kapusdiklat
Spimnas Bidang Kepemimpinan, para pejabat Eselon III dan IV, serta staf penyelenggara
lainnya, bisa dikatakan nihil. Hingga minggu kedua, hanya sekali ada pertemuan dengan
penyelenggara, itupun cuma dalam sessi penjelasan program. Demikian pula, pertemuan dengan
Kepala LAN hanya terjadi dalam konteks ceramah, bukan dalam fungsi pembinaan diklat atau
dialog antara service provider dengan user-nya.

Nah, disinilah kepemimpinan model Diana menunjukkan keunggulannya. Dalam setiap
pelaksanaan tugasnya, dia selalu menjalin kontak langsung dengan peserta, bukan hanya dengan
suaranya atau gerakannya, namun juga dengan bahasa tubuhnya, semangatnya, totalitasnya,
kedisiplinannya, dan senyumnya. Tidak heran, sosok Diana menjadi lebih populer dibanding
sosok lain yang mestinya lebih berwibawa.

Teori X dan teori Y dari Mc. Gregor sebagai hasil klasifikasi dua jenis tipe manusia yaitu tipe X
dan tipe Y, mungkin juga dapat sedikit memberi penjelasan. Menurut teori X, pada dasarnya
manusia itu cenderung berperilaku negatif dengan ciri-ciri sebagai berikut: (a) tidak senang
bekerja dan apabila mungkin akan berusaha mengelakkannya; (b) karenanya manusia harus
dipaksa, diawasi atau diancam dengan berbagai tindakan positif agar tujuan organisasi tercapai;
(c) para pekerja akan berusaha mengelakkan tanggung jawab dan hanya akan bekerja apabila
menerima perintah untuk melakukan sesuatu; dan (d) kebanyakan pekerja akan menempatkan
pemuasan kebutuhan fisiologis dan keamanan di atas faktor-faktor lain yang berkaitan
dengannya dan tidak akan menunjukkan keinginan atau ambisi untuk maju. Sementara itu teori Y
menyatakan bahwa manusia itu pada dasarnya cenderung berperilaku positif dengan ciri-ciri
sebagai berikut: (a) para pekerja memandang kegiatan bekerja sebagai hal yang alamiah seperti
halnya beristirahat dan bermain; (b) para pekerja akan berusaha melakukan tugas tanpa terlalu
diarahkan dan akan berusaha mengendalikan diri sendiri; (c) pada umumnya para pekerja akan

                                                                                        Page | 13
menerima tanggungjawab yang lebih besar; dan (d) mereka akan berusaha menunjukkan
kreativitasnya, dan oleh karenanya akan berpendapat bahwa pengambilan keputusan merupakan
tanggungjawab mereka juga dan bukan semata-mata tanggungjawab orang yang menduduki
jabatan manajerial (Weber, 1960, dalam Siagian, 1989).

Manajemen diklat aparatur pada umumnya dan Diklatpim II pada khususnya, juga tidak lepas
dari kecenderungan mempersepsikan peserta selayaknya manusia tipe X. Pada sesi pengarahan
program, misalnya, peserta dicekoki dengan berbagai macam kewajiban, larangan, dan etika
berperilaku lengkap dengan sanksi yang mungkin diterima. Saat acara tanya jawab, seorang
peserta sampai bertanya: ”Dari tadi kami hanya dijelaskan tentang kewajiban-kewajiban yang
harus kami penuhi. Lantas apa hak-hak kami selaku peserta?”. Pada poin inilah, kapasitas
penyelenggara masih perlu banyak pembenahan. Akan jauh lebih elegan jika peserta disambut
dengan sikap dan pernyataan yang encouraging, diposisikan sebagai sub-sistem penting bagi
institusi, dihormati sebagai sumber pengetahuan dan kearifan, dilayani dengan segenap sumber
daya dan sarana yang ada untuk menumbuhkan rasa betah laksana di rumah sendiri, serta
diperlakukan layaknya perusahaan memperlakukan pelanggan setianya.

Peserta memang harus siap lahir batin dengan berbagai konsekuensi atas keikutsertaannya dalam
diklat (baca Jurnal #2: Ketika Perubahan Menghampiri Kita ...). Namun tidak ada salahnya pula
bagi penyelenggara untuk terus meningkatkan kapasitas leadership-nya guna menghasilkan
proses diklat yang sinergis serta output diklat yang benar-benar sesuai harapan semua pihak.
Sebab, kepemimpinan bukan hanya sebuah ilmu, namun lebih merupakan seni. Bisa jadi, orang
yang tidak pernah belajar ilmu kepemimpinan, lebih berhasil menjadi pemimpin dibanding orang
yang kenyang teori-teori kepemimpinan, sepeti Diana, atau Walikota Solo, Joko Widodo.

Akhirnya, penguatan kapasitas leadership penyelenggara yang makin menguat diharapkan akan
menjadi trade-off bagi Diana Leadership. Semoga!

Kampus Pejompongan Jakarta
Selasa, 21 Juni 2011




                                                                                    Page | 14
Jurnal #7

                      “Tentang Guru atau Widyaiswara …”

Pada suatu sessi, Widyaiswara Penuntun kami, Bapak Suwaris, mengungkapkan bahwa “An
ordinary teacher can only tell; A good teacher can explain; An exellent teacher can
demonstrate; A great teacher inspires. Saya mendukung sekali prinsip tersebut, terutama dalam
konteks pembelajaran untuk orang dewasa. Model dan gaya belajar orang dewasa tentunya lebih
tepat diarahkan kepada generative learning yaitu proses belajar yang mengembangkan dan
menciptakan, dari pada sekedar adaptive learning atau proses belajar yang bertujuan untuk
menyerap atau menyesuaikan diri terhadap materi pembelajaran.

Oleh karena itu, sedikit aneh rasanya jika seseorang yang telah meraih gelar akademik minimal
sarjana (bahkan banyak yang sudah S3) dan menduduki jabatan cukup tinggi masih menuntut
diajar dengan pola didaktik yang detil dan tidak menyisakan ruang bagi si pembelajar untuk
belajar lebih dalam secara mandiri. Maka, guru yang menginspirasi adalah guru yang mampu
menumbuhkan rasa penasaran dan hasrat yang menggebu bagi muridnya untuk menggali lagi
pengetahuan dari berbagai sumber dan dengan berbagai metode.

Cara seperti inilah yang sering dipraktekkan para pendekar kungfu dalam menurunkan ilmunya.
Ia membiarkan muridnya untuk memecahkan misteri tertentu atau berkelana mencari
pengalaman. Esensinya, ilmu tidak dapat diperoleh secara instan, namun harus diperjuangkan
melalui proses yang panjang dan mendaki, berduri, bahkan hingga berdarah-darah. Dalam
filosofi masyarakat Jawa disebutkan bahwa ngelmu iku kalakone kanthi laku. Artinya ilmu hanya
dapat dicapai dengan berbagai laku seperti prihatin, tirakat, pasa (puasa), semedi (meditasi),
hingga ngebleng (tidak makan minum selama berhari-hari).

Sayangnya, banyak orang yang ingin belajar secara pragmatis, yakni mendapat ilmu secara cepat
dan mudah dengan pengorbanan yang minimal. Orang dengan tipe ini akan senang sekali jika
guru memberi penjelasan secara rinci dan jelas, dan cenderung mengeluh ketika guru terkesan
mengambang dalam setiap penjelasannya. Dalam situasi seperti ini, dia tidak segan-segan
menilai bahwa sang guru tidak menguasai materi, tidak mampu mentransfer ilmu, dan
sebagainya. Padahal, dengan pengajaran yang sangat rinci dan sangat jelas, akan menimbulkan
kepuasan murid. Kepuasan murid ini secara tidak disadari akan menutup curiosity-nya terhadap
hal-hal lain diluar materi yang telah diajarkan sang guru. Sebaliknya, guru yang hanya memberi
kunci-kunci untuk membuka gerbang pengetahuan seringkali tidak memuaskan siswanya.
Namun pada hakekatnya, dia sedang mengajari kita cara menemukan ilmu, bukan sedekar
memberikan ilmunya.

Maka, berbahagialah ketika kita mendapatkan guru atau widyaiswara yang baik, namun
bersyukurlah saat mendapatkan guru atau widyaiswara yang menginspirasi … Terima kasih pak
Waris yang telah merangsang banyak inspirasi bagi kami.

Kampus Pejompongan Jakarta
Rabu, 22 Juni 2011

                                                                                     Page | 15
Jurnal #8


              “Antara Temporary System dan Permanent System”


Dalam setiap penyelenggaraan diklat, akan selalu muncul pertanyaan tentang koneksitas antara
diklat sebagai temporary system dengan instansi tempat kerja sebagai permanent system.
Diantara keduanya dapat diidentifikasikan paling sedikit dua macam gap. Pertama, gap antara
teori dan praktek, yaitu antara materi yang dipelajari dalam diklat dengan peluang aplikasinya di
tempat kerja. Faktanya, banyak sekali teori, model, good practices, atau materi-materi yang
sangat bagus ternyata hampir seluruhnya tidak dapat dibumikan dan/atau direplikasikan. Kedua,
proses pembelajaran yang berlangsung selama diklat diharapkan dapat berlanjut di tempat kerja,
namun kenyataannya tidak terjadi. Teorinya, tempat pembelajaran yang hakiki adalah
pembelajaran di tempat kerja. Namun yang lebih sering terjadi, pembelajaran berhenti bersama
dengan selesainya program diklat. Peningkatan kompetensi kognitif yang diperoleh tidak lebih
hanya sekedar “oleh-oleh” dari pada sebuah modal intelektual untuk pembenahan organisasi.

Filosofi dasar diklat sendiri diselenggarakan untuk menutup celah kompetensi seseorang agar
lebih efektif dan produktif dalam menjalankan tugas jabatannya. Dalam hal ini, desain diklat
secara umum sudah sangat bagus untuk membangun kompetensi peserta, sekaligus membantu
peserta untuk melakukan diagnosa permasalahan, pengembangan alternatif solusi, hingga
pengambilan keputusan yang terbaik lengkap dengan instrumennya. Sebagai contoh, di
Diklatpim II ini kami belajar bagaimana mengidentifikasi 7 ketidakmampuan belajar (learning
disabilities), yang dengan mudah dan cepat bisa kami temukan. Ketika kita sudah tahu letak
ketidakmampuan belajar kita, maka dengan relatif mudah juga akan dapat dirumuskan strategi
untuk meminimalisasi, sehingga roda organisasi akan berjalan lebih mulus dan lancar. Namun,
belum menjadi kelaziman untuk menyebarkan istrumen yang sama ke seluruh pegawai untuk
mengetahui ketidakmampuan belajar dan cara mengatasinya.

Demikian pula saat kami belajar tentang gaya belajar (learning style inventory), kami menjadi
paham bahwa empat gaya belajar yang ada yaitu Diverger, Assimilator, Konverger, dan
Akomodator memiliki kelemahan dan kekuatan masing-masing. Sebuah organisasi akan
memiliki peluang untuk belajar lebih cepat jika dalam organisasi tersebut terdapat pegawai
dengan gaya belajar yang beragam. Dengan keragaman tadi, maka seseorang yang mempunyai
gaya belajar diverger akan mampu mengisi kekurangan orang dengan gaya assimilator. Gaya
assimilator selanjutnya akan menutupi kekurangan orang dengan gaya konverger. Pada
gilirannya, gaya konverger akan dapat menyempurnakan orang dengan gaya akomodator, dan
begitu seterusnya membentuk sebuah siklus yang dinamis dan saling memperkuat (reinforcing).
Sayangnya, meskipun sudah terlalu banyak orang mengetahui ilmu ini, toh tetap saja belum
pernah dipraktekkan dalam dunia kerja.

Oleh karena itu, jika ternyata kompetensi yang diperoleh selama diklat tidak dapat diaplikasikan
di tempat kerja, maka sesungguhnya telah sia-sialah seluruh waktu, tenaga dan biaya yang
dikeluarkan untuk terselenggaranya diklat tersebut. Kecenderungan diskoneksitas dan

                                                                                        Page | 16
diskontinuitas antara keduanya telah menjadi keprihatian yang meluas     dikalangan birokrasi.
Pertanyaan retoris yang sering kita dengar, misalnya, mengapa sikap      perilaku dan kinerja
seseorang tidak berubah setelah ikut diklat?; mengapa masih banyak       penyimpangan meski
program diklat semakin massive?; mengapa pembelajaran seorang            alumni diklat tidak
tertransformasikan kepada kolega dan bawahannya?; dan sebagainya.

Berbagai pertanyaan tadi mengantarkan kita pada pertanyaan fundamental, yakni mengapa
pembelajaran pada temporary system tidak dapat atau sedikit sekali diterapkan pada permanent
system? Sub-sistem apa yang berkontribusi terhadap kegagalan tersebut?

Terus terang, saya juga tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut. Namun terdorong oleh
hasrat untuk menguak misteri yang ada, saya mencoba melakukan kontemplasi mendalam dan
menemukan dugaan-dugaan sebagai berikut. Pertama, diklat tidak mampu menutup gap
kompetensi karena memang gap antara kemampuan individu pegawai (individual level) dengan
standar kompetensi jabatan, dan gap antara SDM organisasi (institutional level) dengan
kemampuan untuk mewujudkan visi-misi organisasi, tidak pernah teridentifikasikan sebelumnya.
Bagaimana akan menutup gap atau celah, jika lobangnya sendiri belum ditemukan? Kedua,
siklus diklat sering terputus oleh “ritual” penutupan, dan tidak dilanjutkan dengan sebuah
evaluasi yang mendalam dan menyeluruh. Kalaupun ada, evaluasi lebih banyak menyentuh
aspek “persepsi” yang tidak terukur, atau tidak diperkuat oleh parameter untuk mengetahui
korelasi / pengaruh langsung diklat terhadap kinerja alumni. Dalam perspektif systems thinking,
gap tersebut muncul karena pendekatan diklat sendiri yang kurang sistemik, holistik, dan
integratif komprehensif.

Maka, agar terjadi koneksitas dan kontinuitas antara temporary system dengan permanent
system, perlu diciptakan “jembatan” antar keduanya. Salah satu instrumen yang dapat
difungsikan sebagai jembatan, menurut saya, adalah kontrak pembelajaran (learning contract)
yang pada hakekatnya adalah sebuah Perencanaan Kinerja (Renja) diklat. Artinya, peserta harus
bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar sebelum masuk kedalam program Diklat, misalnya:
mengapa saya (harus) ikut diklat?; pada level mana kompetensi saya saat ini?; apa yang akan
atau harus saya pelajari / kuasai dari diklat tersebut?; manfaat apa yang harus saya peroleh
dari diklat tersebut?; kompetensi baru apa yang harus saya raih, dan pada level mana
seharusnya kompetensi diri saya meningkat?; bagaimana menerapkan manfaat yang diperoleh
dari diklat tersebut, dan bagaimana bentuk penerapannya?, dan sebagainya. Dengan demikian,
peserta tidak hanya sekedar “faktor produksi” yang akan diproses atau diolah dalam rangkaian
diklat, namun mereka juga sebagai designer atau programmer yang harus menjadikan diklat
sebagai sarana (tools) untuk mencapai tujuannya (tujuan Individu – Kelompok – Organisasi).

Selain itu, sekuensi diklat sebaiknya tidak seperti sekarang, dengan komposisi pokok berupa
proses pembelajaran (class learning) – orientasi/studi lapangan – seminar, namun diubah
menjadi class learning (conceptualization) – modelling (constructualization) – uji coba
(piloting). Sekuensi baru tersebut mensyaratkan sebuah Diklat tidak dilaksanakan secara “sekali
dan selesai (einmalig)”, namun dibagi menjadi tiga kategori strategi / kompetensi, kemudian
disebar penyelenggaraannya dalam kurun waktu tertentu. Tiga tahap ini sifatnya siklis menjadi
tiga tahap, sehingga semuanya terdiri dari sembilan tahap. Sebagai contoh, jika sebuah Diklat
durasinya 3 bulan, maka 1 bulan pertama harus selesai dengan 3 putaran tersebut. Break 2 bulan


                                                                                      Page | 17
untuk evaluasi dan penyempurnaan hasil piloting, dirumuskan menjadi learning contract untuk 1
bulan ke-2. Setelah selesai, break lagi 2 bulan, susun lagi learning contract, terus masuk masa 1
bulan ke-3. Dengan demikian, dari konsep 1, konstruk 1, piloting 1, dilanjut hingga konsep 3,
konstruk 3, piloting 3, akan menjadi hasil yang benar-benar matang dan siap diimplementasikan
di tempat kerja.

Jika gagasan ini dapat diterima dan dikembangkan, maka diharapkan akan terjadi transformasi
diklat dari peran tradisionalnya sebagai pengungkit (leverage) perubahan, kepada peran baru
sebagai faktor utama (condition sine qua non) perubahan organisasi. Satu hal lagi, sebuah
evaluasi pasca diklat yang menyeluruh menjadi keniscayaan untuk menilai sejauhmana terjadi
gap secara faktual antara temporary system dengan permanent system, untuk kemudian
menentukan cara yang tepat untuk menekan gap tersebut.

Kampus Pejompongan Jakarta
Kamis, 23 Juni 2011




                                                                                        Page | 18
Jurnal #9

                    “Jurnal Harian, Tradisi Seorang Cendekia”


Ada sebuah tradisi baru yang saya lakukan selama mengikuti Diklatpim II, yakni menulis Jurnal
Belajar Pribadi, atau lebih dikenal dengan sebutan jurnal harian. Menurut Modul 1.A-1 (hal. 52),
jurnal harian adalah suatu proses/teknik memperdalam kesadaran diri sendiri ke alur proses
kehidupan kita secara total, atau sebuah proses belajar untuk mengerti diri sendiri dengan cara-
cara baru. Jurnal harian juga sebuah refleksi dari dalam diri kita, yang dapat memberi stimulus
atau dorongan untuk mencari banyak hal dari dunia luar. Adapun isi jurnal dapat berupa kejadian
atau peristiwa tertentu yang menarik perhatian kita, kesan terhadap peristiwa tersebut,
pembelajaran dan manfaat yang mungkin ditarik dari kejadian yang dialami.

Dengan demikian, sumber utama jurnal adalah pengalaman pribadi yang diendapkan. Dari hasil
pengendapan ini kemudian dilakukan refleksi, mengapa suatu peristiwa/fenomena yang dialami
tadi terjadi, apa hikmah atau lesson learned dari peristiwa/fenomena tadi, serta siapa dan
bagaimana memanfaatkan pelajaran yang berhasil diambil. Dengan kata lain, proses refleksi
yang mendalam akan menghasilkan konsepsi penulis jurnal terhadap peristiwa/fenomena yang
dialaminya. Selanjutnya, untuk mematangkan konsepsi yang sudah terkonstruksi, kadang kala
perlu adanya sebuah proses pengujian konstruksi melalui sharing pengalaman, silang refleksi,
atau pengayaan konsepsi dengan jurnal yang ditulis orang lain. Proses dinamis dari pengamatan
atas peristiwa, yang membentuk pengalaman, lantas direfleksikan dan membentuk konsepsi,
untuk kemudian diuji ini sesungguhnya adalah sebuah siklus pembelajaran (the wheel of
learning). Dengan roda pembelajaran seperti ini, tidak aneh jika menulis jurnal harian pada
hakekatnya adalah pembelajaran yang paling efektif.

Bagi diri saya pribadi, saya sangat bersyukur dengan adanya kewajiban menulis jurnal harian.
Saya merasakan banyak sekali manfaat dari menulis jurnal. Pertama, jurnal adalah sarana untuk
mengikat ide-ide kita tentang sesuatu untuk kemudian mengembangkannya. Betapa sering
terpetik inspirasi dalam benak kita yang datang secara mendadak. Inspirasi seperti ini, biasanya
bersifat sekejap, namun memiliki kadar originalitas tinggi. Jika ide seperti itu tiba-tiba lenyap,
betapa ruginya kita hanya karena kita malas menuliskannya dalam catatan kecil harian. Kedua,
jurnal adalah sarana pembelajaran yang sesungguhnya bagi seseorang, terutama peserta diklat.
Fungsi jurnal ini bukan sekedar menampung bahasa lisan (talking) yang direkam dalam tulisan,
namun juga bahasa pikiran (thinking), bahasa tubuh (being), bahasa emosi (feeling), serta bahasa
tindakan (behaving). Maka, tidak aneh jika jurnal merupakan satu-satunya produk pembelajaran
dalam diklat aparatur yang paling subyektif, namun paling jujur. Lebih hebat lagi, jurnal bukan
sekedar media komunikasi antara penulis dengan pihak diluar dirinya, lebih-lebih ia adalah
cermin sekaligus sparring partner bagi dirinya sendiri.

Saya sudah merasakan betul manfaat menulis jurnal. Ketika belajar soal proses pembelajaran
(learn, unlearn, relearn), saya langsung bisa mengkaitkannya dengan kebijakan desentralisasi
(lihat Jurnal #3: Desentralisasi dalam Kacamata Learning Organization). Atau, ketika belajar
tentang hukum disiplin kelima, tiba-tiba saya mendapat inspirasi untuk mengaplikasikan dalam

                                                                                         Page | 19
kasus nyata di lapangan (baca Jurnal #4: Sudah Belajarkah Pemerintahan Kita?). Terlalu banyak
konsep yang saya peroleh selama diklat dan sangat bermanfaat untuk menganalisis peristiwa di
permanent system, namun sayang tidak semuanya mampu saya tuangkan dalam jurnal harian.
Andai saja agenda diklat tidak tersita oleh diskusi-diskusi kelompok yang memakan waktu
hingga larut malam – bahkan menjelang subuh – tentu produktivitas menulis jurnal akan dapat
berlipat.

Saking berkesannya saya terhadap penulisan jurnal, saya sampai membayangkan alangkah
bagusnya jika penulisan jurnal dijadikan sebagai kurikulum wajib dalam seluruh jenis diklat
aparatur. Sudah waktunya penulisan jurnal ini menjadi mata diklat yang mandiri, bukan sekedar
penugasan tambahan yang tidak memiliki angka kredit memadai. Jurnal dan pena bagi seorang
cendekia, ibarat busur dan anak panah bagi seorang pemburu, laksana syair dan melodi bagi
seorang penyanyi, bagaikan kanvas dan guratan bagi seorang maestro. Itulah media aktualisasi
diri mereka. Cendekia tanpa jurnal, pemburu tanpa busur, penyanyi tanpa syair, atau maestro
tanpa kanvas, adalah bukan siapa-siapa. Jurnal, busur, syair, dan kanvas, akan mengubah sesuatu
yang bukan siapa-siapa menjadi seseorang yang penuh harga diri dan kehormatan. Maka, diklat
tanpa jurnal atau cendekia tanpa jurnal-pun rasanya menjadi gersang seperti pohon tanpa
dedaunan, hambar seperti canda tanpa tawa, serta hampa seperti berjalan tanpa tujuan …

Terima kasih Diklatpim II yang telah memperkenalkan saya dengan jurnal harian, serta
mengantarkan saya pada kesadaran baru untuk menjadi pribadi pembelajar yang lebih baik
melalui penulisan jurnal harian.

Kampus Pejompongan Jakarta
Jum’at, 24 Juni 2011




                                                                                      Page | 20
Jurnal #10

      “Reformasi Birokrasi, Keadilan, dan Tragedy of the Commons”


Dalam ceramahnya tentang konsep keadilan, Yudi Latif sempat menyinggung soal remunerasi
yang diterima oleh kementerian tertentu. Beliau mengajukan pertanyaan retoris: apakah hanya
karena mengurusi anggaran lantas kementerian tertentu berhak mendapat remunerasi jauh lebih
besar dibanding pegawai kementerian/lembaga lain? Seketika, pernyataan tadi disambut dengan
tepuk tangan riuh oleh peserta. Saya jadi teringat, pada ceramah perdana tentang reformasi
birokrasi yang disampaikan Kepala LAN setelah pembukaan Diklatpim II, seorang peserta
menanyakan tentang dasar logika yang digunakan pada kebijakan pemberian remunerasi kepada
kementerian tertentu.

Ada dua nuansa yang yang dapat ditangkap dari dua peristiwa diatas. Pertama, terdapat kesan
adanya kebijakan yang diskriminatif dan menciderai rasa keadilan masyarakat banyak. Alasan
dan logika apapun terlalu sulit untuk diterima dengan akal sehat, mengapa orang yang bekerja di
kementerian yang menangani keuangan memiliki penghasilan 5 hingga 6 kali lipat dibanding
mereka yang bekerja di kementerian/lembaga lain, padahal mereka sama-sama mengabdi kepada
republik dengan level jabatan yang sama, beban kerja yang sama, masa kerja yang sama, ataupun
pangkat yang sama? Diskriminasi kebijakan seperti ini dapat diobservasi secara kasat mata tanpa
memerlukan metodologi maupun pembuktian ilmiah apapun. Bahkan dari perspektif hukum, hal
ini dapat pula dimaknai sebagai upaya memperkaya atau menguntungkan diri-sendiri. Tidak aneh
jika kemudian banyak berkembang sinisme bahwa birokrasi di Indonesia sudah menganut paham
kastanisasi. Dalam konteks kebijakan yang berkeadilan, secara langsung maupun tidak langsung,
praktek seperti ini adalah bentuk pengingkaran terhadap Sila kelima Pancasila, yakni “Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

Kedua, kentara sekali nuansa “cemburu” yang terpancar dari sikap para peserta setiap kali issu
remunerasi diungkap. Namun, “kecemburuan” ini sebenarnya sangat logis dan beralasan.
Bukankah orang yang bekerja di lembaga yang mengurusi soal kepegawaian juga tidak mendapat
perlakuan istimewa di bidang kepegawaian? Bukankah orang yang bekerja menangani urusan
asset (mobil, rumah dinas, komputer, dll) juga tidak memperoleh privilege untuk menggunakan
asset tersebut? Jika asumsi yang digunakan adalah bahwa pemberian remunerasi dimaksudkan
untuk menekan tingkat korupsi dan penyelewengan di kementerian tertentu, bukankah itu adalah
asumsi yang sesat dan misleading? Korupsi dan penyelewengan hanya tepat diganjar dengan
hukuman, bukan malah dianugerahi dengan remunerasi. Semestinya, remunerasi adalah bentuk
penghargaan terhadap individu atau lembaga yang mampu bekerja dengan penuh integritas dan
dibuktikan dengan kinerja optimal. Faktanya sekarang, kementerian yang telah mendapat
remunerasi tetap saja gagal memberantas praktek-praktek koruptif di lingkungannya.

Secara kebetulan, beberapa hari yang lalu ada berita di media cetak bahwa beban APBN sudah
sangat berat untuk membayar gaji pegawai. Bisa dibayangkan, jika kementerian/lembaga yang
lain menuntut diberikan remunerasi yang sama seperti kementerian yang telah menerima
sebelumnya, apakah tidak menyebabkan kebangkrutan total bagi negara? Namun jika

                                                                                      Page | 21
kementerian/lembaga lain tidak diberikan hak yang sama sehingga menimbulkan kecemburuan
serta kegelisahan yang semakin menumpuk, bukankah sama artinya dengan menyimpan bom
waktu yang dapat meledak kapan saja tanpa dapat diprediksi? Dengan demikian, pemberian
remunerasi secara merata kepada seluruh kementerian/lembaga, atau hanya memberikan
keistimewaan bagi kementerian yang menangani urusan keuangan, sama-sama menyimpan
potensi bahaya yang sangat besar.

Nah, ketika kami belajar tentang diagram pola dasar sistem (archetype diagram) sebagai piranti
systems thinking, ada satu pola dasar yang nampaknya sangat tepat untuk menganalisis kasus
reformasi birokrasi ini, yakni archetype tragedi bersama (tragedy of the commons). Archetype ini
menggambarkan bahwa banyak individu (baik dalam pengertian orang maupun lembaga) yang
memanfaatkan sumber daya milik bersama untuk keperluan pribadi tanpa memperhitungkan
dampak dan kepentingan bersama yang berpengaruh pada kegiatan semua pihak. Pada keadaan
tertentu, kegiatan perorangan itu melampaui batas dan menguras hampir seluruh sumberdaya
(Modul 1.A-2 hal. 155-156).

Normalnya, archetype tragedi bersama sering diterapkan pada kasus-kasus eksploitasi sumber
daya alam secara ekstraktif. Namun dalam kasus reformasi birokrasi-pun, ternyata archetype ini
cukup tepat dan akurat. Reformasi birokrasi yang berimplikasi pada pembayaran remunerasi
akan menjadi beban yang makin lama makin besar terhadap APBN. Ada dua skenario yang
mungkin terjadi. Pertama, apabila sumber-sumber pendapatan baru tidak sebanding dengan
tuntutan pembayaran remunerasi yang semakin banyak dari berbagai kementerian/lembaga yang
belum menerima, maka beban APBN akan semakin besar lagi. Jika beban ini terus membesar,
maka akan ada mata anggaran yang dikorbankan untuk menutup beban pembayaran remunerasi.
Jika semakin banyak mata anggaran yang dikorbankan, maka kepentingan publik yang lebih luas
akan menjadi “tumbal” reformasi birokrasi. Kedua, apabila kementerian/lembaga selain yang
menangani keuangan tidak diberikan remunerasi guna meminimalisir tekanan terhadap APBN,
maka akan muncul kecemburuan, kegelisahan, dan perasaan diperlakukan tidak adil. Jika
perasaan ini terus terakumulasi, maka akan menurunkan semangat kerja dan kinerjanya. Jika
kinerja turun, maka yang paling dirugikan adalah rakyat banyak yang semestinya dilayani
dengan optimal berdasarkan prinsip “anggaran untuk rakyat”.

Dengan demikian, reformasi birokrasi yang berujung remunerasi sebaiknya dihentikan.
Kebijakan pemberian remunerasi kepada kementerian yang menangani urusan keuangan harus
dihentikan pula secepat mungkin sebelum menimbulkan ekses bola salju yang lebih besar.
Namun program reformasi tetap perlu dilanjutkan tanpa harus dikaitkan dengan iming-iming
untuk mendapatkan remunerasi. Remunerasi dapat dipikirkan kemudian ketika reformasi telah
menunjukkan hasil berupa efisiensi anggaran yang signifikan. Atas dasar efisiensi itulah,
remunerasi baru dapat dikalkulasi. Jadi jelaslah bahwa remunerasi sesungguhnya hanyalah by
product dari proses reformasi, bukan tujuan utama.

Kampus Pejompongan Jakarta
Sabtu, 25 Juni 2011




                                                                                       Page | 22
Jurnal #11

                   “Pengelolaan SDA dan Limits to Growth”


Meski baru memasuki minggu ketiga Diklatpim II, saya berani merekomendasikan agar semua
policy makers di Indonesia belajar systems thinking. Dengan memahami piranti-piranti yang ada
pada systems thinking, akan dapat dihindari kesalahan sedini mungkin. Salah satu piranti yang
sangat mujarab untuk membuat pemodelan tentang efektivitas kebijakan adalah archetype batas-
batas pertumbuhan (limits to growth). Archetype ini menyediakan suatu gambaran bahwa pada
mulanya sebuah usaha yang dilakukan menghasilkan suatu pertumbuhan. Upaya selanjutnya
mendorong pertumbuhan itu lebih baik. Beberapa waktu kemudian, keberhasilan usaha itu
mencapai batas maksimal, dan setelah beberapa lama akhirnya membawa usaha tersebut pada
proses penurunan (Modul 1.A-2 hal. 131).

Contoh konkrit adalah usaha pengelolaan kayu (baca: penebangan hutan), penambangan batu
bara, atau eksplorasi minyak bumi. Pada masa-masa awal operasi, usaha tersebut memberikan
keuntungan yang berlimpah karena memang kapasitas daya dukung (carrying capacity) alam
yang masih tinggi. Namun, satu hal yang seringkali dilupakan oleh manusia adalah bahwa alam
dan seisinya semakin lama semakin berkurang daya dukungnya, sehingga eksploitasi lingkungan
yang didasarkan pada kepentingan ekonomis semata, pada suatu ketika akan menyebabkan
tergangunya keseimbangan ekologis. Dan apabila kekuatan ekologis ini telah sedemikian
melemah, maka kesejahteraan yang dicapai manusia menjadi tidak bermakna. Sebab,
kesejahteraan tadi harus dibayar dengan recovery cost untuk memulihkan dan menjaga
kelestarian lingkungan – dan bahkan social cost yang sulit dihitung tingkat kerugiannya.

Dalam hal ini terjadi hubungan terbalik antara kebutuhan manusia dengan sumber daya alam
atau lingkungan. Artinya, semakin banyak dan bervariasi kebutuhan manusia, maka kemampuan
alam untuk menyediakannya semakin terbatas. Pada saat bersamaan, terjadi hubungan tegak
lurus antara kebutuhan manusia dengan pencemaran, dimana semakin banyak dan bervariasi
kebutuhan manusia yang dipenuhi lewat usaha industri, maka tingkat pencemaran lingkungan
dapat dipastikan semakin tinggi pula. Dan jika trend tersebut berlangsung terus-menerus, pada
suatu saat akan terjadi suatu keadaan dimana pertumbuhan ekonomi tidak dapat ditingkatkan
lagi, sementara kemampuan dan kualitas lingkungan sulit untuk diperbaiki kembali. Inilah yang
disebut dengan the limits to growth yang diperkenalkan oleh Meadows (dalam Berry, et.al.,
1993).

Meadows membuat sebuah prediksi untuk kurun waktu 200 tahun (1900-2100) yang
menggambarkan bahwa pada masa-masa awal, kondisi kependudukan, orde kebutuhan manusia
serta aktivitas ekonomi dan industri masih relatif rendah, sementara kondisi lingkungan berada
dipuncak ketangguhannya. Namun seiring dengan penambahan jumlah penduduk, dan tingkat
polusi yang melekat pada ekspansi kegiatan industri, maka kualitas dan daya dukung (carrying
capacity) lingkungan menjadi sedemikian merosot, hingga pada akhirnya keseimbangan menjadi
goyah dan kurva sumber daya alam menjadi sangat merosot, bahkan sama sekali tidak mampu
lagi mendukung aktivitas kemanusiaan.

                                                                                     Page | 23
Jika penurunan daya dukung lingkungan sudah dapat diproyeksi, maka kebijakan publik yang
akan dirumuskan dapat diarahkan untuk mencapai dua kondisi, apakah untuk menghentikan
kebijakan sebelumnya yang telah mengakibatkan penurunan daya saing lingkungan, ataukan
untuk pemulihan dan reklamasi lingkungan. Jika ternyata kebijakan masih saja memberikan
perijinan usaha untuk mengkeksploitasi sumber daya alam, hal itu menandakan bahwa policy
makers telah gagal total dalam berpikir serba sistem (systems thinking). Pada tahap berikutnya,
kegagalan berpikir serba sistem akan mengantarkan pada kegagalan kebijakan publik (policy
failures) yang berdampak negatif terhadap masyarakat.

Sekali lagi, penguasaan policy makers terhadap disiplin learning organization khususnya disiplin
kelimanya yakni systems thinking, dan lebih spesifik lagi pola-pola dasar sistem (archetype),
akan sangat bermanfaat dalam memperkokoh kualitas kebijakan publik. Untuk itu, akan sangat
ideal jika seorang policy makers adalah juga systems thinkers.

Kampus Pejompongan Jakarta
Senin, 27 Juni 2011




                                                                                       Page | 24
Jurnal #12

                     “Quality Control dalam Diklat Aparatur”


Meskipun telah lebih 17 tahun bekerja di LAN, namun saya belum pernah mendapat penempatan
di bidang diklat, kecuali pada saat orientasi semasa masih berstatus CPNS. Maka, tidaklah
mengherankan jika saya juga tidak terlalu paham bagaimana kebijakan, proses, dan instrumen
yang digunakan untuk menjamin kualitas diklat. Yang pasti, quality control adalah sesuatu yang
mutlak harus ada dalam program diklat, sebab program diklat yang berkualitas akan melahirkan
institusi penyelenggara yang berwibawa, dan wibawa organisasi akan membentuk citra positif
organisasi (branding) dimata pelanggannya.

Dalam salah satu episode Golden Ways, Mario Teguh pernah menyatakan bahwa citra organisasi
ditentukan oleh keselarasan visi misi seluruh anggotanya. Jika ada perilaku anggota organisasi
yang bertolak belakang dengan konsensus yang telah disepakati secara kolektif, maka akan
hancurlah citra organisasi itu, ibarat peribahasa “karena nila setitik rusak susu se belanga”.
Sehebat apapun Kepolisian RI melakukan reformasi internal, akan sia-sia jika di lapangan masih
banyak dijumpai oknum yang melakukan pungli maupun penilangan yang berujung
“perdamaian”. Demikian pula dalam penyelenggaraan diklat, seluruh komponen yang ada di
dalamnya baik jajaran pembina (pejabat struktural), widyaiswara, pelaksana/panitia diklat,
hingga petugas teknis seperti Satpam, haruslah memahami sepenuhnya dan memegang teguh
shared vision dan values yang ada.

Nah, kuriositas dalam hati saya adalah, bagaimanakah manajemen diklat melakukan kendali
terhadap seluruh komponen yang ada sekaligus menjamin bahwa mereka patuh dan tunduh
terhadap sistem nilai yang berlaku? Kuriositas saya semakin menggumpal karena praktek-
praktek yang semestinya tidak terjadi, justru terjadi di depan mata saya. Maklumlah karena
posisi saya sebagai peserta diklat yang membaur dan hidup di tengah-tengah peserta lainnya,
maka peristiwa yang muncul dan dialami teman-teman peserta tidak luput dari pengamatan saya.

Terjadinya distorsi antara sistem nilai dengan praktek misalnya terjadi dalam aturan tentang “jam
malam”. Sebagaimana tertuang dalam buku panduan dan penjelasan program, pada jam 22.00
pintu gerbang sudah tertutup dan tidak diperkenankan peserta untuk keluar atau masuk kampus.
Satpam juga diberi hak untuk menegur peserta jika melanggar ketentuan ini. Namun
kenyataannya, cenderung terjadi opportunistic behavior yang mengorbankan sistem, dimana
Satpam sebagai sub-sistem diklat memberi kelonggaran kepada peserta untuk menabrak aturan
“jam malam” hanya karena mengharap sesuatu dari peserta.

Penyelenggara nampaknya juga mengalami keterbatasan kendali terhadap aturan yang berkenaan
dengan kehidupan di asrama. Sebagai contoh, jika ada komplain tentang makanan yang kurang,
protap (prosedur tetap) seperti apa yang ditempuh oleh penyelenggara, apakah menerimanya
sebagai sebuah kebenaran ataukah ada proses check and cross-check untuk mengetahui kondisi
riilnya? Demikian pula dalam hal terjadi pelanggaran disiplin seperti menerima tamu dalam
kamar, bagaimana penyelenggara mendeteksi kasus ini? Kasus “besar” yang nampaknya juga

                                                                                        Page | 25
luput dari perhatian penyelenggara adalah kasus seseorang yang tidak masuk kelas seharian
namun daftar hadir lengkap karena diisi oleh temannya. Satu hal lagi, masalah klasik yang selalu
terjadi dari tahun ke tahun adalah fakta adanya fenomena ghost writer yang mengerjakan tugas-
tugas individu peserta. Meskipun tidak nampak, namun keberadaannya sangat mudah dirasakan.
Sayangnya, respon penyelenggara masih kurang proaktif dan cenderung menggunakan prinsip
“tutup mata, tutup telinga”. Artinya, penyelenggara sangat mengutuk praktek plagiarisme dan
pengerjaan tugas oleh orang lain, akan tetapi tidak berbuat secara konkrit untuk memberantas
“tuyul-tuyul” yang bergentayangan. Padahal, sebuah institusi akan berwibawa jika aturan yang
dibuat dan disepakati dapat ditaati, dihormati, dan ditegakkan manakala terjadi pelanggaran. Jika
tidak ada keberanian dan kemampuan untuk menegakkan aturan, lebih baik aturan tersebut
tidak diberlakukan sejak awal.

Sekedar pemikiran untuk memperkuat fungsi quality control dalam diklat, saya meyakini bahwa
pendekatan partisipatif merupakan metode yang sangat efektif untuk mengontrol program
diklat A-Z. Maknanya, penyelenggara harus terlibat langsung dalam setiap aktivitas yang
dilakukan peserta. Dengan demikian, penyelenggara perlu makan bersama, senam bersama, dan
tinggal bersama peserta di asrama. Sementara dalam dimensi akademik, keterwakilan
penyelenggara hendaknya selalu ada di setiap kelas.

Model partisipatif ini bukan berarti tidak memberikan ruang kebebasan kepada peserta atau tidak
mempercayai perilaku harian peserta. Model ini justru dimaksudkan untuk mengurangi gap
komunikasi antara peserta dan penyelenggara melalui hubungan yang cair, membaur, dan
menyatu. Dalam hubungan yang cair seperti itu, maka tidak ada lagi kedudukan selaku peserta
atau penyelenggara, namun keduanya sama-sama mengemban misi untuk menjaga diklat agar
menjadi momentum yang menyenangkan dan program yang produktif untuk membangun kinerja
organisasi.

Kampus Pejompongan Jakarta
Selasa, 28 Juni 2011




                                                                                        Page | 26
Jurnal #13

                          “Kelelahan yang Mulai Menyergap”


Secara jujur harus saya akui bahwa pada akhir minggu ke-3 penyelenggaraan Diklatpim II, rasa
lelah telah mulai menghinggapi fisik dan pikiran saya. Indikasi kelelahan ini nampak sekali dari
menurunnya daya konsentrasi, semakin seringnya menguap terutama pada sessi-sessi ceramah
yang kurang atraktif dan provokatif, serta menurunnya minat dan semangat untuk berperan
secara optimal dalam setiap aktivitas di kelas maupun di kelompok. Tanpa maksud
menggeneralisasi, saya melihat bahwa kelelahan juga sudah menyambangi peserta yang lain
dengan ciri-ciri yang sama.

Jika melihat proses selama tiga minggu ke belakang, dapat dimaklumi mengapa kelelahan itu
sudah menjangkiti banyak peserta meski diklat baru berjalan seperempat bagian. Tugas-tugas
yang harus diselesaikan begitu banyak dan beragam. Sebelum masuk program, peserta sudah
harus menulis kasus administrasi negara. Begitu masuk program, tugas individu maupun tugas
kelompok sudah antri panjang menunggu sentuhan peserta. Tugas individu yang harus
dituntaskan hingga akhir minggu ketiga dan awal minggu keempat antara lain berupa penulisan
jurnal harian, laporan DIT (diskusi issu terpilih), dan pengajuan TOR untuk KTP2 (Karya Tulis
Prestasi Perseorangan). Adapun tugas kelompok yang harus digarap meliputi DIT 1 s/d 7,
integrasi DIT 1 s/d 3, integrasi DIT 4 dan 5, dan pengajuan TOR untuk KKT (Kertas Kerja
Tema). Total tugas yang harus diselesaikan adalah 16 tugas individual dan 10 tugas kelompok.
Itulah sebabnya, pada minggu pertama kami sudah harus kerja marathon hingga larut malam,
bahkan menjelang subuh. Ketika kelas selesai jam 16.30, selepas shalat Isya’ kami sudah harus
berkumpul untuk mengerjakan tugas kelompok hingga tengah malam. Setelah kerja kelompok
selesai, barulah kami harus memikirkan tugas harian menyusun jurnal.

Tugas yang begitu menggunung, tentu memiliki dampak positif untuk pembelajaran kami semua.
Akan tetapi ada juga sisi negatifnya, yakni menyedot energi peserta secara sangat cepat. Kurva
diklat semestinya bergerak dari arah kiri bawah ke kanan atas, ibarat mesin diesel yang
semakin panas semakin bertenaga. Namun yang justru terjadi adalah kurva terbalik yang
bergerak dari titik kiri atas ke kanan bawah, seperti pemain bola yang semakin lama bermain
semakin terkuras energinya. Fenomena kelelahan diatas mencerminkan secara nyata terjadinya
penurunan daya tahan peserta diklat seiring berjalannya waktu.

Dampak terdekat dari kelelahan fisik adalah kelelahan mental. Dan ketika dimensi mental sudah
terjangkiti kelelahan, maka akan menghasilkan umpan balik (loop balikan) ke dimensi fisik
berupa rasa malas dan hilangnya gairah. Kelelahan mental juga akan memicu berubahnya
idealisme menjadi pragmatisme. Kualitas produk pembelajaran menjadi cenderung terabaikan
dan tergantikan oleh pemenuhan tugas secara formalitas belaka. Jika hal ini benar-benar terjadi,
maka menjadi mudah untuk menjelaskan mengapa selalu hadir fenomena “Tuyul” dalam setiap
penyelenggaraan diklat kepemimpinan.



                                                                                       Page | 27
Syukurlah, di tengah mulai berkeliarannya para tuyul, saya masih sanggup berdamai dengan
tuyul. Artinya, saya tidak berkolaborasi dengan mereka, namun juga tidak memusuhinya,
sehingga saya merasa tidak perlu menggunakan jasa tuyul-tuyul tadi, namun sayapun tidak akan
mengganggu usaha mereka, meski saya tahu tuyul itu ada di depan mata saya. Saya pribadi
percaya bahwa tidak ada gunanya sama sekali memusihi apalagi memerangi para tuyul,
sebagaimana mustahilnya umat manusia memerangi penyakit masyarakat seperti pelacuran,
perjudian, dan sebagainya. Baik pelacuran, perjudian, maupun tuyul-tuyul yang bergentayangan
di semua lembaga diklat adalah penawaran (supply) dalam konsep ilmu ekonomi, yang selalu
hadir sepanjang ada permintaan pasar (demand). Maka, strategi mengeliminasi berbagai penyakit
tadi tidak akan pernah efektif jika ditempuh pada wilayah supply. Pelarangan, ancaman, atau
sanksi apapun tidak akan menghasilkan efek jera bagi para penyedia jasanya (supplier, provider).
Akan lebih bijaksana jika wilayah supply yang disentuh, dengan gerakan penyadaran bahwa jasa-
jasa tadi hanya memberikan efek kesenangan sesaat namun merusak dalam jangka panjang. Dan
ketika jumlah permintaan semakin sedikit, maka penawaran juga makin sedikit, dan secara alami
akan mati pada saatnya.

Oleh karena itu, alangkah baiknya jika paradigma diklat aparatur pada umumnya dan Diklatpim
II pada khususnya, diubah dari orientasi kuantitas menjadi kualitas. Artinya, lebih baik produk
pembelajaran sedikit namun berbobot, dibanding produk pembelajaran yang menumpuk namun
tidak bermakna. Konkritnya, saya pribadi menyarankan pemangkasan tugas kelompok menyusun
7 laporan DIT plus 2 DIT integrasi, hanya menjadi 3 DIT saja. Pengurangan jumlah produk ini
perlu dilakukan tanpa harus mengurangi alokasi waktu pembelajaran, sehingga interaksi diskusi
dalam kelompok dapat berlangsung lebih lama, tidak lagi dikejar-kejar deadline untuk segera
menghasilkan laporan.

Hal ini sekaligus dimaksudkan untuk mencegah merebaknya virus kelelahan yang hanya
menurunkan kualitas dan daya saing diklat.

Kampus Pejompongan Jakarta
Kamis, 30 Juni 2011




                                                                                       Page | 28
Jurnal #14

                           “Berharap Akan Sebuah Kesetaraan”


“Ketimpangan” adalah sebuah kata yang selalu negatif. Ketimpangan pembangunan antar daerah
atau antar sektor, ketimpangan antara hak dan kewajiban, ketimpangan antara mimpi dan realita,
atau apapun … ketimpangan selalu tidak mengenakkan. Contoh gampang yang sering kita alami,
pengguna jasa penerbangan jika terlambat sedikit saja dapat terancam tidak dapat check-in atau
bahkan tertinggal pesawat. Namun penyedia jasa penerbangan seolah boleh terlambat berapa
lama-pun, sementara penumpang setia menunggu hingga saat boarding tiba. Kasus ketimpangan
lain bisa kita lihat misalnya saat mengurus perpanjangan KTP atau Akta Kelahiran. Dalam KTP
atau UU Kependudukan diatur bahwa jika kita terlambat mengurusnya maka akan dikenakan
denda dalam jumlah tertentu. Namun jika Kecamatan atau Dinas Kependudukan bekerja
melebihi batas waktu yang ditentukan dalam SOP mereka, seolah bukan hal yang aneh dan tidak
perlu dikenakan sanksi tertentu.

Nah, dalam program diklat-pun hal seperti ini bisa terjadi. Seperti yang saya alami hari ini, hanya
gara-gara terlambat 5 menit saya “terpaksa” menerima sanksi absensi di kartu kuning. Padahal,
begitu masuk kelas, ternyata proses pembelajaran belum dimulai karena pembicaranya, Budiman
Sujatmiko, belum hadir. Dia baru hadir 25 menit kemudian, namun toh tidak dianggap sebagai
persoalan besar. Kasus yang lebih parah terjadi minggu sebelumnya ketika kelas sudah
menunggu selama 45 menit, tetapi pembicara yang ditunggu-tunggu, Tomy A. Legowo, tidak
kunjung menampakkan batang hidungnya dengan alasan terjebak kemacetan Jakarta. Akhirnya,
peserta-lah yang harus menyesuaikan diri dengan pembicara, bukan pembicara yang tidak
disiplin yang dikenakan sanksi.

Kasus-kasus ketimpangan diatas menggambarkan adanya asymmetric position antar dua pihak
yang berkepentingan. Di satu pihak, penyedia jasa penerbangan, Kecamatan, Dinas
Kependudukan, penyelenggara Diklat, atau pembicara/nara sumber Diklat, berada pada posisi
diatas, yang oleh karenanya seolah-olah memiliki hak untuk ditaati dan tidak perlu dikenakan
sanksi ketika tidak dapat menjalankan kewajibannya. Di pihak lain, pengguna jasa penerbangan,
pemohon KTP atau Akta Kelahiran, dan peserta diklat, berada di posisi bawah, yang oleh
karenanya harus menjalankan kewajibannya dan secara otomatis akan terkena sanksi manakala
gagal memenuhi kewajibannya.

Posisi yang tidak simetris dalam hubungan antara service provider dengan costumer (pelanggan),
antara aparat pemerintah dengan masyarakat, dan antara penyelenggara/pembicara diklat dengan
peserta, sesungguhnya merefleksikan hubungan yang kurang demokratis. Ketimpangan
hubungan selalu identik dengan praktek dominasi, monopoli, dan kooptasi satu pihak terhadap
pihak lainnya. Kalaupun hubungan itu tetap dipertahankan asimetris, semestinya pelanggan,
masyarakat, dan peserta diklat-lah yang harus berada diposisi atas. Paradigma “daulat modal”
dan “daulat tuanku penguasa” harus diganti secara total dengan “daulat rakyat”. Sebab, sebuah
perusahaan akan bangkrut tanpa pelanggan, suatu negara akan bubar tanpa adanya rakyat, dan
lembaga diklat tidak berarti apa-apa tanpa peserta.

                                                                                         Page | 29
Sayangnya, jargon “pelanggan adalah raja” hanyalah bohong belaka. Buktinya adalah lahirnya
UU Konsumen untuk melindungi masyarakat dari praktek bisnis yang tidak jarang merugikan
pelanggan dibalik dalih-dalih yang melenakan. Demikian pula, jargon “menempatkan
kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi dan golongan” juga belum sepenuhnya berjalan.
Itulah sebabnya, akhir 2009 lalu lahir UU Pelayanan Publik yang bertujuan untuk menjamin
kepastian hukum dan pemenuhan hak-hak masyarakat oleh aparat pemerintah. Jika sektor privat
dan sektor pemerintah sudah memiliki jargon (terlepas dari soal implementasinya), tidak ada
salahnya lembaga diklat juga memiliki jargon untuk pesertanya.

Jargon itu jelas bukan sekedar pemanis bibir, namun harus diresapkan dalam seluruh rangkaian
perilaku perusahaan, aparat pemerintah, serta lembaga diklat guna menciptakan tata hubungan
yang lebih sejajar, egaliter, dan demokratis dengan “konstituen”-nya. Maka, ketika terjadi
keterlambatan penerbangan, sudah selayaknya jika pihak maskapai menyediakan kompensasi
yang pantas tanpa harus dikalkulasi dengan nilai tiket yang dibeli calon penumpang. Demikian
pula ketika pelayanan KTP atau Akta Kelahiran terlambat, sikap ramah dan permohonan maaf
yang tulus harus disampaikan disertai dengan janji untuk memperbaiki kinerja pelayanannya.
Sama halnya dalam soal penyelenggaraan diklat. Ketika manajemen tidak dapat menghindari
terjadinya keterlambatan (meski diakibatkan oleh pihak luar, yakni pembicara), tidak pada
tempatnya peserta harus menerima sanksi karena keterlambatannya.

Prinsip kesetaraan seperti inilah yang menurut saya harus dipegang teguh oleh semua pihak yang
berhubungan dengan pihak diluar dirinya, sebab prinsip ini berkaitan erat dengan nilai keadilan
(justice) dan perlakuan yang adil (fairness) …

Kampus Pejompongan Jakarta
Senin, 4 Juli 2011




                                                                                      Page | 30
Jurnal #15

                           “Tentang Fenomena Ghost Writer”


Di jurnal #12 dan #13 saya telah menyinggung soal fenomena “tuyul” atau ghost writer.
Kebetulan sekali minggu ini peserta sudah harus mulai menulis TOR KTP-2 (Karya Tulis
Prestasi Perseorangan), yang didahului oleh penjelasan teknik penulisan lengkap dengan
etikanya. Dalam sessi penjelasan penulisan KTP-2 tersebut, diingatkan kembali oleh
penyelenggara bahwa menggunakan jasa pihak lain dalam penulisan KTP-2 adalah perbuatan
tidak etis yang dapat dikategorikan sebagai tindakan plagiasi atau plagiarism. Untuk memagari
kemungkinan plagiasi tadi, peserta bahkan diharuskan membuat “Pakta Integritas” yang berisi
pernyataan bahwa KTP-2 yang dihasilkan adalah benar-benar karya pribadinya.

Namun, nampaknya himbauan tinggal sebagai himbauan, dan pakta integritas-pun hanya menjadi
formalitas belaka. Hingga saat ini belum ditemukan formula yang manjur untuk menghapuskan
fenomena ghost writer ini. Penyakit ini rupanya sudah mengakar dalam tradisi pendidikan di
Indonesia, sehingga tidak aneh jika jasa pembuatan karya tulis terjadi di seluruh lini pendidikan
sejak tingkat Sarjana (S1), Master (S2), Doktor (S3), hingga pemenuhan syarat sebagai Profesor
atau jabatan fungsional tertentu. Jika di lembaga-lembaga pendidikan formal yang begitu
terhormat masih dijumpai praktek menyimpang seperti itu, apalagi “hanya” di tingkat pendidikan
dan pelatihan yang seringkali tidak memberikan civil effect bagi alumninya.

Munculnya fenomena ini, selain karena faktor pasar bertemunya permintaan dan penawaran,
juga bisa dilihat sebagai sebuah simbiose mutualisme antara pengguna jasa dan penyedia jasa.
Disatu pihak, pengguna jasa, yakni peserta diklat, sering dihadapkan pada permasalahan seperti
kelelahan, konsentrasi yang terbelah karena masih menjalankan tugas-tugas kantor, keterbatasan
dalam mengoperasikan komputer (gaptek) khususnya pemakaian aplikasi vensim atau supersim,
atau memang kadar inteligensia yang pas-pasan. Untungnya, pihak yang mengalami
permasalahan ini pada umumnya memiliki kemampuan finansial menengah keatas. Pada pihak
lain, terdapat sekelompok terpelajar yang memiliki kemampuan akademis cukup tinggi namun
belum memiliki sumber penghasilan yang permanen dan memadai kebutuhan hidupnya. Maka,
ibarat botol ketemu tutupnya, atau keris ketemu warangkanya, atau mur ketemu bautnya,
terjadilah interaksi dan transaksi yang saling menguntungkan kedua belah pihak.

Yang mengejutkan, tarif jasa intelektual ini lumayan murah, “hanya” berkisar antara 3 hingga 3,5
juta untuk seluruh produk individual, mulai dari TOR KTP-2, DIT 3 kajian (paradigma,
kebijakan publik, dan manajemen strategis), serta KTP-2 itu sendiri. Tentu, peserta juga akan
dibantu dalam hal penyiapan slide presentasinya. Dengan harga yang sangat kompetitif ini, orang
yang tadinya tidak berminat-pun jadi tergoda untuk memanfaatkan jasa si “hantu penulis”.
Godaan akan semakin besar ketika kita tahu bahwa para “hantu” tadi bukanlah orang
sembarangan, namun dapat dikatakan professional baik dalam manajemen operasionalnya
maupun SDM pelakunya. Bukti bahwa mereka bukan orang biasa, mereka memiliki kemampuan
yang tinggi dalam mengaplikasikan tools dan teknik-teknik analisis manajemen yang diajarkan
pada Diklatpim II, padahal mereka tidak pernah mengikuti Diklatpim II sebelumnya. Lebih

                                                                                        Page | 31
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya
Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya

Contenu connexe

Tendances

Petunujk penulisan makalah
Petunujk penulisan makalahPetunujk penulisan makalah
Petunujk penulisan makalahTria Duga
 
PKL Pada Badan PPSDM Kesehatan
PKL Pada Badan PPSDM KesehatanPKL Pada Badan PPSDM Kesehatan
PKL Pada Badan PPSDM KesehatanLexi Pakasi
 
Skripsi MPG, Pemecahan Masalah, dan Disposisi Matematis
Skripsi MPG, Pemecahan Masalah, dan Disposisi MatematisSkripsi MPG, Pemecahan Masalah, dan Disposisi Matematis
Skripsi MPG, Pemecahan Masalah, dan Disposisi MatematisNyayu Husnul Chotimah
 
Kkp162008 08 16
Kkp162008 08 16Kkp162008 08 16
Kkp162008 08 16fajar3w
 
Studi Hubungan Mental Lokal
Studi Hubungan Mental LokalStudi Hubungan Mental Lokal
Studi Hubungan Mental LokalTri Cahyono
 
Analisis perbandingan resiko dan tingkat pengembalian reksa dana syariah dan ...
Analisis perbandingan resiko dan tingkat pengembalian reksa dana syariah dan ...Analisis perbandingan resiko dan tingkat pengembalian reksa dana syariah dan ...
Analisis perbandingan resiko dan tingkat pengembalian reksa dana syariah dan ...yogieardhensa
 
Bab i, iv, daftar pustaka
Bab i, iv, daftar pustakaBab i, iv, daftar pustaka
Bab i, iv, daftar pustakaWendi Mulyadi
 
BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN LAINNYA
BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN LAINNYABANK DAN LEMBAGA KEUANGAN LAINNYA
BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN LAINNYAermawidiana
 
ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANG
ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANGANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANG
ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANGUofa_Unsada
 
Kelas viii smp matematika_endah budi rahaju
Kelas viii smp matematika_endah budi rahajuKelas viii smp matematika_endah budi rahaju
Kelas viii smp matematika_endah budi rahajuw0nd0
 
Laporan Usulan Teknis , Kecamatan Pasir Penyu, Kabupaten Indragiri Hulu Provi...
Laporan Usulan Teknis , Kecamatan Pasir Penyu, Kabupaten Indragiri Hulu Provi...Laporan Usulan Teknis , Kecamatan Pasir Penyu, Kabupaten Indragiri Hulu Provi...
Laporan Usulan Teknis , Kecamatan Pasir Penyu, Kabupaten Indragiri Hulu Provi...Mailendra Hatake
 
Contoh Kkp MI
Contoh Kkp MIContoh Kkp MI
Contoh Kkp MIAhmad M
 
Pengaruh modal sendiri terhadap perolehan sisa hasil usaha (shu) pada kpri di...
Pengaruh modal sendiri terhadap perolehan sisa hasil usaha (shu) pada kpri di...Pengaruh modal sendiri terhadap perolehan sisa hasil usaha (shu) pada kpri di...
Pengaruh modal sendiri terhadap perolehan sisa hasil usaha (shu) pada kpri di...yogieardhensa
 
panduan bk smp 2016,ditjen gtk revisi final
panduan  bk smp 2016,ditjen gtk    revisi finalpanduan  bk smp 2016,ditjen gtk    revisi final
panduan bk smp 2016,ditjen gtk revisi finalKahar Muzakkir
 

Tendances (18)

Petunujk penulisan makalah
Petunujk penulisan makalahPetunujk penulisan makalah
Petunujk penulisan makalah
 
PKL Pada Badan PPSDM Kesehatan
PKL Pada Badan PPSDM KesehatanPKL Pada Badan PPSDM Kesehatan
PKL Pada Badan PPSDM Kesehatan
 
BISNIS YANG BAIK
BISNIS YANG BAIKBISNIS YANG BAIK
BISNIS YANG BAIK
 
Skripsi MPG, Pemecahan Masalah, dan Disposisi Matematis
Skripsi MPG, Pemecahan Masalah, dan Disposisi MatematisSkripsi MPG, Pemecahan Masalah, dan Disposisi Matematis
Skripsi MPG, Pemecahan Masalah, dan Disposisi Matematis
 
Kkp162008 08 16
Kkp162008 08 16Kkp162008 08 16
Kkp162008 08 16
 
Riset
RisetRiset
Riset
 
Kkp bsi bogor
Kkp bsi bogorKkp bsi bogor
Kkp bsi bogor
 
Studi Hubungan Mental Lokal
Studi Hubungan Mental LokalStudi Hubungan Mental Lokal
Studi Hubungan Mental Lokal
 
Analisis perbandingan resiko dan tingkat pengembalian reksa dana syariah dan ...
Analisis perbandingan resiko dan tingkat pengembalian reksa dana syariah dan ...Analisis perbandingan resiko dan tingkat pengembalian reksa dana syariah dan ...
Analisis perbandingan resiko dan tingkat pengembalian reksa dana syariah dan ...
 
Bab i, iv, daftar pustaka
Bab i, iv, daftar pustakaBab i, iv, daftar pustaka
Bab i, iv, daftar pustaka
 
BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN LAINNYA
BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN LAINNYABANK DAN LEMBAGA KEUANGAN LAINNYA
BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN LAINNYA
 
ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANG
ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANGANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANG
ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANG
 
Kelas viii smp matematika_endah budi rahaju
Kelas viii smp matematika_endah budi rahajuKelas viii smp matematika_endah budi rahaju
Kelas viii smp matematika_endah budi rahaju
 
Laporan Usulan Teknis , Kecamatan Pasir Penyu, Kabupaten Indragiri Hulu Provi...
Laporan Usulan Teknis , Kecamatan Pasir Penyu, Kabupaten Indragiri Hulu Provi...Laporan Usulan Teknis , Kecamatan Pasir Penyu, Kabupaten Indragiri Hulu Provi...
Laporan Usulan Teknis , Kecamatan Pasir Penyu, Kabupaten Indragiri Hulu Provi...
 
Contoh Kkp MI
Contoh Kkp MIContoh Kkp MI
Contoh Kkp MI
 
Pengaruh modal sendiri terhadap perolehan sisa hasil usaha (shu) pada kpri di...
Pengaruh modal sendiri terhadap perolehan sisa hasil usaha (shu) pada kpri di...Pengaruh modal sendiri terhadap perolehan sisa hasil usaha (shu) pada kpri di...
Pengaruh modal sendiri terhadap perolehan sisa hasil usaha (shu) pada kpri di...
 
panduan bk smp 2016,ditjen gtk revisi final
panduan  bk smp 2016,ditjen gtk    revisi finalpanduan  bk smp 2016,ditjen gtk    revisi final
panduan bk smp 2016,ditjen gtk revisi final
 
41826155 laporan-pkl
41826155 laporan-pkl41826155 laporan-pkl
41826155 laporan-pkl
 

Similaire à Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya

Memandang Diklat Secara 360 Derajat, Sebuah Otokritik
Memandang Diklat Secara 360 Derajat, Sebuah OtokritikMemandang Diklat Secara 360 Derajat, Sebuah Otokritik
Memandang Diklat Secara 360 Derajat, Sebuah OtokritikTri Widodo W. UTOMO
 
SMP-MTs kelas07 pengetahuan sosial 1 didang
SMP-MTs kelas07 pengetahuan sosial 1 didangSMP-MTs kelas07 pengetahuan sosial 1 didang
SMP-MTs kelas07 pengetahuan sosial 1 didangsekolah maya
 
Proposal tugas akhir(angel edisi 2)
Proposal tugas akhir(angel edisi 2)Proposal tugas akhir(angel edisi 2)
Proposal tugas akhir(angel edisi 2)Angelino Benevides
 
Buku guru pai kelas 3 revisi 2018
Buku guru pai kelas 3 revisi 2018Buku guru pai kelas 3 revisi 2018
Buku guru pai kelas 3 revisi 2018Amphie Yuurisman
 
Meningkatkan hasil belajar siswa kelas iv sdn 11 parigi
Meningkatkan hasil belajar siswa kelas iv sdn 11 parigiMeningkatkan hasil belajar siswa kelas iv sdn 11 parigi
Meningkatkan hasil belajar siswa kelas iv sdn 11 parigiOperator Warnet Vast Raha
 
Buku BSE Kelas 03 sd pendidikan agama islam dan budi pekerti guru
Buku BSE Kelas 03 sd pendidikan agama islam dan budi pekerti guruBuku BSE Kelas 03 sd pendidikan agama islam dan budi pekerti guru
Buku BSE Kelas 03 sd pendidikan agama islam dan budi pekerti guruFarahYudian
 
Kelas 03 sd_pendidikan_agama_islam_dan_budi_pekerti_guru
Kelas 03 sd_pendidikan_agama_islam_dan_budi_pekerti_guruKelas 03 sd_pendidikan_agama_islam_dan_budi_pekerti_guru
Kelas 03 sd_pendidikan_agama_islam_dan_budi_pekerti_guruNurHidayah332
 
Buku BSE Kelas 03 sd pendidikan agama islam dan budi pekerti guru
Buku BSE Kelas 03 sd pendidikan agama islam dan budi pekerti guruBuku BSE Kelas 03 sd pendidikan agama islam dan budi pekerti guru
Buku BSE Kelas 03 sd pendidikan agama islam dan budi pekerti guruFarahYudian
 
Isi manajemem
Isi manajememIsi manajemem
Isi manajememagung adi
 
PKP_Ayu Imtyas Rusdiansyah_2B_858745338.pdf
PKP_Ayu Imtyas Rusdiansyah_2B_858745338.pdfPKP_Ayu Imtyas Rusdiansyah_2B_858745338.pdf
PKP_Ayu Imtyas Rusdiansyah_2B_858745338.pdfAyu Imtyas Rusdiansyah
 
Toaz.info laporan-rtl-rpk-pk-diklat-cks-2020-pr 75857832db967d808af6d8b7d6dee...
Toaz.info laporan-rtl-rpk-pk-diklat-cks-2020-pr 75857832db967d808af6d8b7d6dee...Toaz.info laporan-rtl-rpk-pk-diklat-cks-2020-pr 75857832db967d808af6d8b7d6dee...
Toaz.info laporan-rtl-rpk-pk-diklat-cks-2020-pr 75857832db967d808af6d8b7d6dee...baambangPontoh
 
Identifikasi Peran dan Fungsi Humas dalam Program Bebaskan Pengetahuan 2010 b...
Identifikasi Peran dan Fungsi Humas dalam Program Bebaskan Pengetahuan 2010 b...Identifikasi Peran dan Fungsi Humas dalam Program Bebaskan Pengetahuan 2010 b...
Identifikasi Peran dan Fungsi Humas dalam Program Bebaskan Pengetahuan 2010 b...Serenity 101
 
53 d-om-andi agus mumang-staffing
53 d-om-andi agus mumang-staffing53 d-om-andi agus mumang-staffing
53 d-om-andi agus mumang-staffingSeeinside
 
Smp7mat contextual teachingandlearning atikwintarti
Smp7mat contextual teachingandlearning atikwintartiSmp7mat contextual teachingandlearning atikwintarti
Smp7mat contextual teachingandlearning atikwintartiAndrias Eka
 
Psikotropika By Childern
Psikotropika By ChildernPsikotropika By Childern
Psikotropika By Childernpauwabega
 

Similaire à Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya (20)

Memandang Diklat Secara 360 Derajat, Sebuah Otokritik
Memandang Diklat Secara 360 Derajat, Sebuah OtokritikMemandang Diklat Secara 360 Derajat, Sebuah Otokritik
Memandang Diklat Secara 360 Derajat, Sebuah Otokritik
 
SMP-MTs kelas07 pengetahuan sosial 1 didang
SMP-MTs kelas07 pengetahuan sosial 1 didangSMP-MTs kelas07 pengetahuan sosial 1 didang
SMP-MTs kelas07 pengetahuan sosial 1 didang
 
PKP.docx
PKP.docxPKP.docx
PKP.docx
 
CJR KEPEMIMPINAN fix.pdf
CJR KEPEMIMPINAN fix.pdfCJR KEPEMIMPINAN fix.pdf
CJR KEPEMIMPINAN fix.pdf
 
Proposal tugas akhir(angel edisi 2)
Proposal tugas akhir(angel edisi 2)Proposal tugas akhir(angel edisi 2)
Proposal tugas akhir(angel edisi 2)
 
Buku IPS kelas 7
Buku IPS kelas 7 Buku IPS kelas 7
Buku IPS kelas 7
 
Buku guru pai kelas 3 revisi 2018
Buku guru pai kelas 3 revisi 2018Buku guru pai kelas 3 revisi 2018
Buku guru pai kelas 3 revisi 2018
 
Mkalah pendidikan
Mkalah pendidikanMkalah pendidikan
Mkalah pendidikan
 
Meningkatkan hasil belajar siswa kelas iv sdn 11 parigi
Meningkatkan hasil belajar siswa kelas iv sdn 11 parigiMeningkatkan hasil belajar siswa kelas iv sdn 11 parigi
Meningkatkan hasil belajar siswa kelas iv sdn 11 parigi
 
Buku BSE Kelas 03 sd pendidikan agama islam dan budi pekerti guru
Buku BSE Kelas 03 sd pendidikan agama islam dan budi pekerti guruBuku BSE Kelas 03 sd pendidikan agama islam dan budi pekerti guru
Buku BSE Kelas 03 sd pendidikan agama islam dan budi pekerti guru
 
Kelas 03 sd_pendidikan_agama_islam_dan_budi_pekerti_guru
Kelas 03 sd_pendidikan_agama_islam_dan_budi_pekerti_guruKelas 03 sd_pendidikan_agama_islam_dan_budi_pekerti_guru
Kelas 03 sd_pendidikan_agama_islam_dan_budi_pekerti_guru
 
Buku BSE Kelas 03 sd pendidikan agama islam dan budi pekerti guru
Buku BSE Kelas 03 sd pendidikan agama islam dan budi pekerti guruBuku BSE Kelas 03 sd pendidikan agama islam dan budi pekerti guru
Buku BSE Kelas 03 sd pendidikan agama islam dan budi pekerti guru
 
Isi manajemem
Isi manajememIsi manajemem
Isi manajemem
 
PKP.docx
PKP.docxPKP.docx
PKP.docx
 
PKP_Ayu Imtyas Rusdiansyah_2B_858745338.pdf
PKP_Ayu Imtyas Rusdiansyah_2B_858745338.pdfPKP_Ayu Imtyas Rusdiansyah_2B_858745338.pdf
PKP_Ayu Imtyas Rusdiansyah_2B_858745338.pdf
 
Toaz.info laporan-rtl-rpk-pk-diklat-cks-2020-pr 75857832db967d808af6d8b7d6dee...
Toaz.info laporan-rtl-rpk-pk-diklat-cks-2020-pr 75857832db967d808af6d8b7d6dee...Toaz.info laporan-rtl-rpk-pk-diklat-cks-2020-pr 75857832db967d808af6d8b7d6dee...
Toaz.info laporan-rtl-rpk-pk-diklat-cks-2020-pr 75857832db967d808af6d8b7d6dee...
 
Identifikasi Peran dan Fungsi Humas dalam Program Bebaskan Pengetahuan 2010 b...
Identifikasi Peran dan Fungsi Humas dalam Program Bebaskan Pengetahuan 2010 b...Identifikasi Peran dan Fungsi Humas dalam Program Bebaskan Pengetahuan 2010 b...
Identifikasi Peran dan Fungsi Humas dalam Program Bebaskan Pengetahuan 2010 b...
 
53 d-om-andi agus mumang-staffing
53 d-om-andi agus mumang-staffing53 d-om-andi agus mumang-staffing
53 d-om-andi agus mumang-staffing
 
Smp7mat contextual teachingandlearning atikwintarti
Smp7mat contextual teachingandlearning atikwintartiSmp7mat contextual teachingandlearning atikwintarti
Smp7mat contextual teachingandlearning atikwintarti
 
Psikotropika By Childern
Psikotropika By ChildernPsikotropika By Childern
Psikotropika By Childern
 

Plus de Tri Widodo W. UTOMO

Strategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi BerkelanjutanStrategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi BerkelanjutanTri Widodo W. UTOMO
 
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi InformasiInovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi InformasiTri Widodo W. UTOMO
 
Transformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
Transformasi untuk LAN Semakin BerprestasiTransformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
Transformasi untuk LAN Semakin BerprestasiTri Widodo W. UTOMO
 
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus KebijakanTata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus KebijakanTri Widodo W. UTOMO
 
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam PemiluStrategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam PemiluTri Widodo W. UTOMO
 
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASNPengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASNTri Widodo W. UTOMO
 
Tranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
Tranformasi Kab. Bogor BerkelanjutanTranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
Tranformasi Kab. Bogor BerkelanjutanTri Widodo W. UTOMO
 
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor PublikManajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor PublikTri Widodo W. UTOMO
 
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan PijarProspek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan PijarTri Widodo W. UTOMO
 
Gamifikasi Zoom & Behavioral Insight
Gamifikasi Zoom & Behavioral InsightGamifikasi Zoom & Behavioral Insight
Gamifikasi Zoom & Behavioral InsightTri Widodo W. UTOMO
 
Signifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
Signifikansi Pendampingan Labinov di DaerahSignifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
Signifikansi Pendampingan Labinov di DaerahTri Widodo W. UTOMO
 
Peta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
Peta Kinerja Inovasi Daerah di IndonesiaPeta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
Peta Kinerja Inovasi Daerah di IndonesiaTri Widodo W. UTOMO
 
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui InovasiKab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui InovasiTri Widodo W. UTOMO
 
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus KebijakanPerumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus KebijakanTri Widodo W. UTOMO
 
Recharging Inovasi Padang Panjang
Recharging Inovasi Padang PanjangRecharging Inovasi Padang Panjang
Recharging Inovasi Padang PanjangTri Widodo W. UTOMO
 
Transformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
Transformasi untuk Parepare Semakin BerprestasiTransformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
Transformasi untuk Parepare Semakin BerprestasiTri Widodo W. UTOMO
 
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era DisrupsiTransformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era DisrupsiTri Widodo W. UTOMO
 
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu BangsaKorpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu BangsaTri Widodo W. UTOMO
 
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik BerdampakInovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik BerdampakTri Widodo W. UTOMO
 
Menjunjung Tinggi Sijunjung Melalui Inovasi
Menjunjung Tinggi Sijunjung Melalui InovasiMenjunjung Tinggi Sijunjung Melalui Inovasi
Menjunjung Tinggi Sijunjung Melalui InovasiTri Widodo W. UTOMO
 

Plus de Tri Widodo W. UTOMO (20)

Strategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi BerkelanjutanStrategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
 
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi InformasiInovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
 
Transformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
Transformasi untuk LAN Semakin BerprestasiTransformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
Transformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
 
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus KebijakanTata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
 
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam PemiluStrategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
 
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASNPengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
 
Tranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
Tranformasi Kab. Bogor BerkelanjutanTranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
Tranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
 
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor PublikManajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
 
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan PijarProspek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
 
Gamifikasi Zoom & Behavioral Insight
Gamifikasi Zoom & Behavioral InsightGamifikasi Zoom & Behavioral Insight
Gamifikasi Zoom & Behavioral Insight
 
Signifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
Signifikansi Pendampingan Labinov di DaerahSignifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
Signifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
 
Peta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
Peta Kinerja Inovasi Daerah di IndonesiaPeta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
Peta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
 
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui InovasiKab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
 
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus KebijakanPerumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
 
Recharging Inovasi Padang Panjang
Recharging Inovasi Padang PanjangRecharging Inovasi Padang Panjang
Recharging Inovasi Padang Panjang
 
Transformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
Transformasi untuk Parepare Semakin BerprestasiTransformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
Transformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
 
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era DisrupsiTransformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
 
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu BangsaKorpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
 
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik BerdampakInovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
 
Menjunjung Tinggi Sijunjung Melalui Inovasi
Menjunjung Tinggi Sijunjung Melalui InovasiMenjunjung Tinggi Sijunjung Melalui Inovasi
Menjunjung Tinggi Sijunjung Melalui Inovasi
 

Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya

  • 1. Potret Pembelajaran dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya Sebuah Refleksi Berdasarkan Kompilasi Jurnal Harian Alumni Diklatpim II Angkatan XXXI Kelas B, 2011 Oleh: Tri Widodo W. Utomo Pusat Kajian Manajemen Kebijakan Lembaga Administrasi Negara RI 2011 Page | i
  • 2. Daftar Isi Daftar Isi ………………………………………………………………… ii Pengantar Kapusdiklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan LAN …………… v Kata Pengantar ……………………………………………………………… vi Jurnal #1 “Ketika Perubahan Menghampiri Kita … (1)” ……………… 1 Jurnal #2 “Ketika Perubahan Menghampiri Kita … (2)” ……………… 3 Jurnal #3 “Desentralisasi Dalam Kacamata Learning Organization” …... 5 Jurnal #4 “Sudah Belajarkah Pemerintahan Kita?” …………………….. 7 Jurnal #5 “Pembagian Kelas: Sebuah Takhayul?” ……………………… 10 Jurnal #6 “Diana Leadership Dalam Diklat Aparatur” …………………. 12 Jurnal #7 “Tentang Guru atau Widyaiswara …” ……………………… 15 Jurnal #8 “Antara Temporary System dan Permanent System” ………… 16 Jurnal #9 “Jurnal Harian, Tradisi Seorang Cendekia” ………………… 19 Jurnal #10 “Reformasi Birokrasi, Keadilan, dan Tragedy of the Commons” ……………………………………………………. 21 Jurnal #11 “Pengelolaan SDA dan Limits to Growth” …………………... 23 Jurnal #12 “Quality Control dalam Diklat Aparatur” ……………………. 25 Jurnal #13 “Kelelahan yang Mulai Menyergap” …………………………. 27 Jurnal #14 “Berharap Akan Sebuah Kesetaraan”…………………………. 29 Jurnal #15 “Tentang Fenomena Ghost Writer” ………………………….. 31 Jurnal #16 “Mental Model di Minggu Ke-4” …………………………….. 33 Jurnal #17 “Mencoba Mencari Makna dari Kata Sinergi dan Koordinasi”.. 35 Page | ii
  • 3. Jurnal #18 “Kambing Berdasi Lulus Diklatpim?” ………………………. 37 Jurnal #19 “Ideologi dalam Kebijakan Publik” ………………………….. 39 Jurnal #20 “Kebenaran Formal vs. Kebenaran Material” ……………….. 41 Jurnal #21 “Gaya dan Persaingan Antar Widyaiswara” ………………… 44 Jurnal #22 “Aplikasi Teknologi Untuk Diklat, Why Not? ……………….. 46 Jurnal #23 “Perlunya Menggali Masalah Kebijakan” ……………………. 48 Jurnal #24 “Pesan Kepemimpinan dalam Kegiatan Menanam Pohon dan Peduli Lingkungan” …………………………………………. 50 Jurnal #25 “Penetapan Judul KTP-2: Soal Teknis atau Akademis?” ……. 52 Jurnal #26 “Wawasan Internasional bagi Peserta Diklatpim II: Sebuah Keniscayaan!” ………………………………………………... 54 Jurnal #27 “Menyimak Pemikiran Presiden SBY tentang Ekonomi Indonesia” ……………………………………………………. 56 Jurnal #28 “Sekali Lagi tentang Sinergi” ………………………………… 60 Jurnal #29 “Sisi Lain Diklatpim II” ……………………………………… 62 Jurnal #30 “Pengendalian Diri: Esensi Lain Kepemimpinan” …………… 64 Jurnal #31 “Men Sana In Corpore Sano” …………………………………. 66 Jurnal #32 “Sindrom Inferioritas Daerah terhadap Pusat” ………………. 68 Jurnal #33 “Sarung dalam Diklat: Tabu atau Mutu?” …………………….. 70 Jurnal #34 “Hari Pertama Puasa di Kelas” ……………………………… 72 Jurnal #35 “Merenungkan Filosofi Dasar Diklat” ……………………….. 74 Jurnal #36 “Ide Kecil dari Survei Sederhana tentang Diklatpim II” …….. 76 Jurnal #37 “Semua Kembali Kepada Diri Sendiri” ………………………. 78 Jurnal #38 “Antara SL dan Istri Tercinta” ……………………………….. 80 Jurnal #39 “Alumni Sebagai Institutional Resources” …………………… 83 Jurnal #40 “Dari RPL ke RPL” …………………………………………… 85 Page | iii
  • 4. Jurnal #41 “Menyoal Pemeringkatan” …………………………………… 87 Jurnal #42 “Antara Tugas Dinas dan Ibadah Keagamaan” ………………. 89 Jurnal #43 “Tentang Ujian KTP-2” ………………………………………. 91 Jurnal #44 “Sekedar Gagasan Ringan untuk Beberapa Perbaikan” ……… 93 Jurnal #45 “Menjelang Perpisahan” ………………………………………. 96 Page | iv
  • 5. Pengantar Kepala Pusdiklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan Lembaga Administrasi Negara Ketika Sdr. Tri Widodo mendatangi saya dengan membawa kumpulan tulisan ini dan meminta saya untuk memberi pengantar, saya langsung memberi persetujuan. Saya menyambut gembira atas inisiatif mengkompilasikan Jurnal Harian peserta Diklatpim Tingkat II dalam sebuah dokumen yang disistematisir sedemikian rupa sehingga memiliki nilai tambah yang baru, bukan lagi sekedar “catatan harian”. Dari catatan-catatan seperti ini, kami selaku penyelenggara Diklatpim Tingkat II mengharapkan adanya input, masukan dan kritik yang membangun untuk perbaikan dimasa yang akan datang. Kepedulian dan kemauan peserta untuk turut mencari jalan keluar terbaik dalam sistem diklat yang kita laksanakan bersama-sama, menunjukkan adanya sinergi yang harmonis antara peserta dengan penyelenggara. Kami berharap inisiatif seperti ini bukan yang pertama dan terakhir, namun dapat dijadikan sebagai pemicu bagi peserta yang lain di angkatan-angkatan berikutnya untuk dapat berbuat lebih dari sekedar menjadi “peserta yang baik”. Atas nama Pusdiklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan, saya ingin menyampaikan terima kasih dan selamat atas karya tulis Sdr. Tri Widodo ini, semoga tetap produktif dan makin sukses di tempat kerja permanennya. Pusdiklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan, Kepala, Drs. Makhdum Priyatno, MA Page | v
  • 6. Kata Pengantar Saat pertama kali mendapat penugasan untuk membuat Jurnal Harian, saya sempat berpikir apa itu dan apa maksudnya? Kesan pertama, koq orang tua dan sudah pada menduduki Eselon II masih harus membuat catatan harian seperti saat di SMA dulu. Saya kemudian mencoba merenung sebentar untuk mencari bentuk dari tugas yang akan saya kerjakan, dan seketika itu timbullah ide segar untuk menghasilkan karya tulis dari hasil mengumpulkan tugas harian ini. Pada waktu itu, saya langsung patok target harus mencapai 100 halaman. Saya sudah membulatkan tekad untuk tidak sekedar memenuhi kewajiban harian, namun harus ada hasil yang lebih besar, lebih nyata, dan lebih bermanfaat. Saya menguatkan komitmen untuk tidak sekedar menggugurkan kewajiban; lebih dari itu saya ingin menyusuri lebih jauh hingga ke aliran darah dan urat nadi sistem penyelenggaraan diklat aparatur khususnya Diklatpim II. Kesempatan mengikuti diklat adalah kesempatan yang sangat langka dan sangat disayangkan jika hanya kompetensi kognitif yang kita peroleh. Saya benar-benar ingin menyatu dengan roh diklat dan spirit perbaikan diri dalam komunitas diklat yang saya yakini sangat luar biasa. Saya mencoba mengendap hingga ke dasar hati para peserta dan penyelenggaranya untuk menghasilkan asumsi-asumsi atau hipotesis awal tentang strategi-strategi yang layak untuk perbaikan sistem diklat aparatur kedepan, meski masih bersifat implisit (tacit). Saya sengaja memilih istilah tacit strategy dalam Judul kumpulan tulisan ini, karena pemikiran dan alternatif strategi yang saya tawarkan masih sangat mentah dan lahir hanya dari analisis sederhana, tidak menggunakan metodologi yang rumit dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Namun saya yakin bahwa dari pemikiran sederhana ini akan dapat digulirkan terus sebagai bola salju untuk mematangkan konsep awal yang telah ada. Dengan semangat seperti itulah, maka saya memberanikan diri untuk mengemas jurnal harian dalam sajian yang sedikit lebih sistematik. Meskipun target 100 halaman akhirnya tidak tercapai karena berbagai kondisi yang saya hadapi baik kapasitas selaku peserta Diklatpim II maupun dalam kondisi rumah tangga saya, namun saya tepat optimis bahwa kumpulan jurnal harian ini bukanlah hal yang sia-sia. Sebagaimana dikemukakan oleh Jacquelyn B. Carr dalam bukunya berjudul Communicating with Myself: A Journal (Benjamin/Cummings Pub Co, 1979), Jurnal harian adalah teknik komunikasi dan metode yang paling efektif dalam proses pembelajaran, bahkan merupakan pembelajaran yang paling esensial dalam konteks individu. Kita dapat saja belajar dan berkomunikasi dengan sumber-sumber belajar di sekitar kita yang tidak terbatas, namun efektivitas dalam pengendapan atau penghayatannya tidak akan sebaik jika kita lakukan dengan/terhadap diri sendiri. Dengan demikian, kumpulan jurnal ini pada hakekatnya juga merupakan komunikasi saya dengan diri saya, meski inspirasi atas tulisan lebih banyak saya dapatkan dari teman-teman peserta. Saya mencoba menjadikan diri saya sebagai “mata telinga” teman-teman, untuk kemudian saya rekam secara tertulis dalam dokumen ini. Boleh juga dikatakan, kumpulan tulisan Page | vi
  • 7. ini adalah reportase terhadap segenap aktivitas kolektif dan pemikiran dinamis yang berkembang diantara para peserta diklat. Untuk itu, saya ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada teman-teman yang telah menjadi sumber inspirasi dan sumber belajar bagi saya selama ini. Sungguh saya sangat beruntung berada ditengah-tengah komunitas yang sedemikian beragam warna dan cita rasa, yang secara signifikan membawa pengaruh positif bagi diri pribadi saya. Maka, dokumen inipun secara khusus saya persembahkan untuk seluruh peserta Diklatpim Tingkat II Angkatan XXXI, Kelas B. Terima kasih yang tulus juga kami haturkan kepada bapak Makhdum Priyatno, Kapusdiklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan yang telah berkenan memberi kata pengantar terhadap kumpulan tulisan ini. Karya Tulis inipun kami persembahkan untuk segenap jajaran Pusdiklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan yang telah memberikan pelayanan terbaik selama kami ngangsu kawruh dan tholabul ‘ilm di kampus Pejompongan yang sarat dengan memori indah ini. Kalaupun dalam tulisan ini ada kritik yang manis maupun yang pedas, itu adalah wujud cinta kami untuk sebuah program dan kelembagaan diklat aparatur yang semakin berwibawa di kemudian hari. Akhirnya, penulis hanya berharap kiranya karya sederhana ini dapat memberikan manfaat seekcil apapun itu … (Tri Widodo W Utomo) Peserta Diklatpim Tingkat II Angkatan XXXI Kelas B, 2001 NDH. 53 Page | vii
  • 8. Jurnal #1 “Ketika Perubahan Menghampiri Kita … (1)” Mengikuti Diklat selalu berarti menghadapi perubahan. Dari lingkungan fisik maupun sosial, pola makan, ritme hidup, hingga perilaku keseharian kita, semuanya berubah dengan tiba-tiba. Kantor dan rumah yang menjadi persinggahan sehari-hari, dengan “terpaksa” harus kita tinggalkan untuk memasuki lingkungan baru berupa asrama, kelas, auditorium, kantin, foto copy atau koperasi tempat berjualan pernak-pernik diklat. Interaksi sosial yang biasanya lebih banyak terbangun dengan rekan kerja dan anak istri, sekoyong-koyong juga berubah menjadi hubungan dengan sesama peserta yang belum saling mengenal, widyaiswara, penjaga asrama, petugas foto copy atau fax, hingga satpam dan penjaja koran atau makanan, bahkan juga dengan instruktur senam, mbak Diana dan mas Yanto. Kebiasaan makan pun berubah drastis, baik menunya, jadual makannya, juga penyajiannya. Urusan makan di program diklat seolah-olah telah menjelma menjadi sebuah cabang ilmu baru dari disiplin manajemen, yakni “Manajemen Konsumsi”. Bagaimana tidak? Jika kita telat sedikit saja, maka kita harus siap-siap kelaparan karena makan telah dibereskan. Sebaliknya, ketika kita lapar sebelum waktunya, maka dengan 1000 alasan-pun tetap saja mustahil untuk memperolehnya. Menu benar-benar telah direncanakan dengan sangat detil baik mengenai volumenya, jenis dan pilihannya, saat penghidangannya, waktu menikmatinya, lengkap dengan etikanya. Jangan harap kita dapat menikmati makanan sambil bercelana pendek, mengangkat kaki ke kursi, bahkan kadang untuk nambah-pun terasa sangat berat karena seolah kita serakah dan menyerobot jatah peserta lain. Maklum, jumlah makanan benar-benar sudah disesuaikan dengan jumlah peserta. Jika mau nambah, yakinkan terlebih dahulu bahwa ada teman ada yang puasa, atau yang memilih makan diluar, atau sengaja menghindar makanan yang ada karena alasan selera … Diklat juga merubah ritme dan irama hidup kita secara signifikan. Jika biasanya kita bangun subuh dilanjutkan dengan shalat subuh, kemudian berkemas-kemas untuk segera ke kantor karena mengejar waktu agar tidak terkena kemacetan, sekarang tidak usah lagi khawatir dengan deretan ratusan ribu kendaraan yang mengular puluhan kilo meter. Sebagai gantinya, setelah shalat subuh kita harus melakukan olah raga senam pagi. Ternyata, senam saja tidak cukup. Kita juga wajib mengisi daftar hadir! Ini dia instrument baru yang sekonyong-konyong mengendalikan ritme hidup kita. Dari subuh hingga malam menjelang tidur, kita diikat erat-erat oleh Sang Daftar Hadir. Paling sedikit, kita harus membubuhkan tanda tangan – bukan paraf – sebanyak LIMA kali dalam sehari, sebuah angka yang menyamai jumlah shalat wajib bagi umat Islam. Maka, tidak mengherankan jika kehidupan di asrama sesungguhnya adalah momentum menghitung hari yang berisi fase kehidupan yang dibatasi oleh Daftar-daftar Hadir! Tidak cukup sampai disana … ternyata daftar hadir juga mencengkeram naluri kita. Jika terlambat 5 menit saja, maka daftar hadir yang semula warna putih, mendadak berubah menjadi kuning. Dan jika kita terlambat 5 menit lebih lama lagi, maka ia akan berubah menjadi MERAH! Itu artinya, kita harus mempersiapkan mental untuk menerima teguran lisan atau tulisan. Page | 1
  • 9. Yang lebih “heboh” lagi, perilaku keseharian kita juga turut berganti warna. Kebiasaan kita untuk berpikir secara komprehensif digiring kearah berpikir secara sekuensial. Hasrat berpikir “liar” untuk mencari alternatif terbaik untuk membenahi carut-marut negeri, terhalang oleh tata krama untuk tidak mengkritik simbol-simbol negara. Kebiasaan bekerja dengan perangkat komputer, seketika harus putar balik ke zaman kejayaan Koes Plus ketika tulisan tangan menjadi media dominan dalam dunia akademik. Tradisi baru yang memberi kebebasan bagi seseorang untuk berekspresi secara lisan, tulisan, atau gerak kinestetik, dalam batas-batas kedewasaan, kesadaran, dan tanggungjawab penuh, tiba-tiba ditempatkan dalam kerangka “aturan dan ragam sanksinya bagi pelanggarnya”. Maka, terlambat absen akan mengurangi nilai, tidak ikut senam akan mengurangi nilai, tidak aktif dikelas akan mengurangi nilai, menerima tamu di kamar akan mengurangi nilai, memakai sandal pada saat makan siang akan mengurangi nilai … Singkatnya, “nilai” menjadi momok yang ampuh untuk membentuk dan/atau mengarahkan perilaku seseorang. Seolah, “nilai” menjadi satu-satunya tujuan dari berduyun-duyunnya para pejabat Eselon II dari seluruh Indonesia ke Kampus Pejompongan. Bukankah ini unik dan menarik menyimak fenomena pejabat yang ketakutan dikurangi nilainya, sama seperti takutnya anak-anak para pejabat tersebut terhadap ancaman pengurangan nilai dari guru Matematika di SD tempat mereka menuntut ilmu? Para pejabat tadi juga takut tidak lulus, sama seperti takutnya anak-anak SMP dan SMA yang menghadapi Ujian Nasional … Perubahan-perubahan seperti itulah yang nampaknya membuat seseorang cenderung menghindarinya. Rasa nyaman dan mapan yang selama ini sudah terbangun menjadi tak beraturan oleh gelombang perubahan yang datang seketika. Kecenderungan menghindari perubahan nampaknya juga bukan sekedar persoalan “tidak mau berubah”, namun seringkali justru terdorong oleh kebimbangan tentang kemanfaatan perubahan tadi atas dirinya. Jika demikian, lantas apa sesungguhnya esensi mengikuti diklat kalau hanya sekedar mengejar nilai? Apa urgensi pembelajaran jika hanya menumbuhkan rasa takut? Apa manfaat dari perubahan yang ditimbulkan oleh diklat? Kampus Pejompongan Jakarta Rabu, 15 Juni 2011 Bersambung … Page | 2
  • 10. Jurnal #2 “Ketika Perubahan Menghampiri Kita … (2)” Mengikuti diklat – sebagaimana layaknya belajar dalam konteks apapun – memiliki satu prakondisi yang sangat penting untuk dapat berhasil, yakni bahwa proses diklat tersebut haruslah menyenangkan, menggembirakan, juga tanpa ada rasa cemas atau tertekan, baik oleh ancaman pengurangan nilai, ancaman tidak lulus, ancaman teguran dari penyelenggara, atau mungkin juga pressure dari pimpinan instansi agar kita tetap perform terhadap tugas-tugas pokok di instansi yang sedang ditinggalkan. Jika seorang peserta mengalami perasaan tidak nyaman, kurang bahagia, resah atau gelisah selama mengikuti diklat, boro-boro mampu mencapai tujuan diklat … yang lebih mungkin terjadi adalah naiknya tekanan darah dan gula darah, melonjaknya kolesterol dan asam urat, merebaknya gejala stress dan depresi, hingga melayangnya nyawa. Maka, sangat dianjurkan untuk tidak menolak perubahan yang dibawa oleh diklat. Dari pada repot-repot mencari sejuta alasan tentang tidak efektifnya perubahan yang melanda, lebih baik berpikir positif tentangnya. Dan jika didalami lebih seksama, proses perubahan selalu merupakan proses yang menyakitkan (a painful process). Namun perlu dicatat bahwa rasa sakit tadi hanya terjadi pada level proses yang akan mengantarkan kita (peserta diklat) pada hasil yang lebih indah dan manis dibanding kondisi sebelum mengikuti diklat. Seekor kerang-pun, untuk dapat menghasilkan mutiara yang bernilai tinggi, harus melewati sebuah proses yang teramat menyakitkan. Dalam ajaran Islam secara tegas dinyatakan bahwa dibalik setiap kesulitan akan selalu ada kemudahan (innama ‘al ‘usri yusra). Maknanya, jika kita ingin lebih berhasil, lebih pintar, lebih bijak, lebih enak dan lebih baik dalam segala hal dimasa depan, maka harus melewati terlebih dahulu berbagai perjuangan yang melelahkan dan menyakitkan. Bahkan, musim semi yang begitu menawan, tidak pernah muncul tanpa didahului oleh musim dingin yang begitu berat hingga menggemeretakkan tulang belulang manusia. Jika kita sudah memiliki model mental yang kondusif untuk menerima perubahan, maka apapun situasi dan tantangan yang ditawarkan oleh penyelenggara diklat, akan dapat dikelola secara produktif. Ibaratnya, ketika angin bertiup kencang (simbolisasi perubahan), hasilnya bukan robohnya bangunan beton yang kokoh (simbolisasi orang yang menolak perubahan), namun justru dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi alternatif (simbolisasi yang siap menerima perubahan). Kembali ke perubahan yang meluluhlantakkan wilayah kenyamanan seseorang. Ketika lingkungan fisik dan sosial sekitar kita berubah mendadak, pandanglah itu sebagai penyegaran terhadap kondisi sebelumnya yang begitu-begitu saja dan cenderung membosankan. Milieu baru secara psikologis mampu mengkonfigurasi ulang simpul-simpul kejiwaan dan sistem syaraf motorik untuk menumbuhkan kesan lebih rileks dan menyegarkan. Itulah mengapa banyak orang melancong ke tempat-tempat baru. Bahkan banyak para petualang yang mengejar daerah-daerah terpencil dan sulit dijangkau hanya untuk mengembalikan kesegaran dan kekuatan jiwanya. Page | 3
  • 11. Demikian pula ketika pola makan kita berubah menjadi sangat terstruktur, syukurilah selayaknya seorang atlit yang dijaga ketat pola makannya oleh sang manajer. Maksudnya jelas bukan untuk mengurangi hak sang atlit, namun justru untuk menjamin kebugaran dan kesehatannya agar siap bertanding sewaktu-waktu dengan prestasi optimal. Jika tidak selama diklat, kapan lagi kita akan makan secara teratur dengan menu yang telah dipertimbangkan secara professional? Kalaupun ritme hidup kita berubah secara drastis, itupun harus disikapi secara positif. Kewajiban mengisi daftar hadir 5 hari sekali sesungguhnya adalah sebuah test-case tentang sejauhmana tingkat ketaatan (obedience) kita terhadap aturan dan pimpinan. Seseorang yang berpandangan bahwa pejabat Eselon II tidak lagi layak diperlakukan seperti anak kecil dengan kewajiban berbasis ketidakpercayaan (distrust), mencerminkan bahwa seseorang tadi hanya mementingkan aspek kepemimpinan (leadership) namun cenderung mengabaikan sisi kepengikutan (followership). Padahal, keberhasilan suatu organisasi tidak hanya ditentukan oleh kepemimpinan yang bermutu, namun lebih banyak dikontribusikan oleh para pengikutnya yang loyal, kompeten, dan kredibel. Satu hal lagi mohon diingat bahwa pejabat Eselon II – atau Eselon I sekalipun – selain sebagai pemimpin, mereka adalah juga pengikut bagi atasannya. Untuk itu, hilangkan ego selaku pimpinan dan tumbuhkan ego selaku pelayan (steward) saat kita mengikuti program diklat. Peran seorang pemimpin sebagai pelayan (steward) inilah yang paling lemah dalam sistem birokrasi kita, dan akan dibangun kembali melalui proses perubahan selama diklat. Kunci sukses mengelola gelombang perubahan tadi adalah ikhlas. Janganlah resistant dan jangan keraskan hati terhadap perubahan. Sebaliknya, siapkan mental, pikiran, dan fisik untuk belajar dan menyerap kebaikan sebesar mungkin dari rangkaian program diklat. Yakini juga bahwa pembelajaran yang dilakukan akan merupakan satu-satunya yang dapat mempertahankan keunggulan kompetitif organisasi dimasa depan, seperti diungkapkan oleh de Geuss: learning might prove to be the only sustainable competitive advantage for organization in the future. Kunci keberhasilan lainnya adalah disiplin, tekun dan sungguh-sungguh dalam menjalani keseluruhan proses pembelajaran. Anda boleh saja berharap memperoleh kenikmatan dan pelayanan yang menyenangkan selama diklat, namun akan lebih tepat jika anda berharap untuk memperoleh wisdom yang akan memperbaiki kualitas anda selaku pemimpin sekaligus selaku pelayan organisasi. Diklat adalah kawah Candradimuka yang penuh tantangan, bukan kawah Tangkuban Perahu yang penuh keindahan. Maka … selamat, anda telah terpilih untuk memasuki kawah Candradimuka! Kampus Pejompongan Jakarta Kamis, 16 Juni 2011 Page | 4
  • 12. Jurnal #3 “Desentralisasi Dalam Kacamata Learning Organization” Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba materi Systems Thinking yang dibawakan Dr. Sudarsono Hardjosukarto berkembang menjadi diskusi tentang otonomi daerah. Banyak yang menginginkan agar urusan pertanian ditarik lagi menjadi urusan pusat mengingat kegagalan negara untuk memperkuat ketahanan pangan dan kembali ber-swasembada beras. Ada juga yang mengemukakan bahwa sejak big bang desentralisasi 1999, kasus deforestrasi menjadi tidak terkendali. Dalam bidang pendidikan-pun, muncul kritik bahwa desentralisasi gagal membangun sumber daya manusia yang unggul. Singkatnya, forum pembelajaran tadi berubah menjadi ajang pengadilan terhadap desentralisasi. Desentralisasi menjadi tersangka utama atas berbagai masalah yang muncul sejak tumbangnya rezim Orde Baru. Diskusi menjadi semakin menarik karena baru saja peserta diberikan materi tentang learning dan Learning Organization (LO). Ada tiga bentuk pembelajaran dalam organisasi, yakni learning how to learn, learning how to unlearn, dan learning how to relearn. Bentuk pertama adalah pembelajaran terhadap hal-hal baru yang diyakini mampu memberi leverage effect terhadap peningkatan kinerja organisasi. Bentuk kedua merupakan kemauan dan kesadaran untuk menanggalkan atau meninggalkan hal-hal dimasa silam yang sudah jelas tidak membawa manfaat. Adapun bentuk ketiga adalah kemampuan untuk mengambil nilai atau hikmah dari pengalaman diri sendiri atau orang lain, untuk kemudian dijadikan sebagai bahan pembelajaran organisasi. Pada saat yang sama, peserta juga diasumsikan sudah memiliki pemahaman tentang teori Seven Learning Dissabilities dari Peter Senge, yakni: I am my position, The enemy is out there, The illusion of taking charge, The fixation on events, The parable of the boiled frog, The delusion of learning from experience, dan The myth of the management team. Dengan bekal teori LO dan tujuh ketidakmampuan belajar tadi, maka agak janggal rasanya ketika kelas menjadi ajang “pembantaian” terhadap desentralisasi. Aneh rasanya ketika cara berpikir tidak diarahkan pada mencari solusi terhadap akar masalah yang dihadapi, namun lebih mencari “kambing hitam” terhadap masalah tersebut. Tanpa disadari, kita justru terjerumus dalam sindrom ketidakmampuan belajar no. 2, the enemy is out there. Bahwa kebijakan dan proses desentralisasi saat ini masih menyisakan persoalan besar, adalah fakta yang sulit dibantah. Namun, terhadap fakta negatif desentralisasi tadi, ada dua opsi cara berpikir yang dapat dipilih: menyalahkan desentralisasi sebagai biang persoalan, atau mencari solusi kreatif atas masalah yang ada. Pilihan pertama jelas bukan pilihan bijak, terutama bagi setiap orang yang telah menguasai lima disiplin dalam LO. Pilihan pertama juga tidak akan pernah mampu menghasilkan pemikiran inovatif dalam bentuk tawaran solusi. Hasil yang muncul dari pilihan seperti ini hanya saling menunjuk hidung orang lain, saling mengelak, saling merasa benar, saling menuduh, dan saling memojokkan. Ironisnya, cara berpikir “mencari kambing hitam” adalah cara berpikir termudah dan oleh karenanya, paling banyak diterapkan oleh para pejabat publik, politisi, hingga akademisi dan pengamat sekalipun. Page | 5
  • 13. Padahal, kalau mau dirujuk ke belakang, desentralisasi adalah pilihan dan keputusan kolektif bangsa Indonesia untuk mengkoreksi berbagai penyimpangan dalam praktek pemerintahan pada masa sebelumnya. Artinya, pada tahun 1999 lalu, bangsa Indonesia sudah melakukan proses learning how to unlearn, yaitu meninggalkan dan menanggalkan jauh-jauh praktek pemerintahan yang sentralistis dan menghambat tumbuhnya kemandirian daerah. Kekayaan ragam budaya nusantara, tidak mungkin dikemas dalam sistem manajemen yang seragam, karena hal itu bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Dengan menanggalkan sistem yang jelas-jelas tidak membawa perbaikan, maka pada saat itu pula bangsa Indonesia telah berhasil menjalani proses learning how to learn, yaitu menciptakan sistem baru yang belum pernah terjadi di masa sebelumnya dan diyakini akan membawa perbaikan di berbagai sektor pemerintahan. Keberadaan Kantor Wilayah yang overlap dengan urusan rumah tangga daerah, dihapuskan. Wewenang pemerintahan yang sangat luas diberikan kepada daerah lengkap dengan instrumen fiskal dan SDM-nya. Setelah desentralisasi berjalan 10 tahun, sebuah evaluasi yang komprehensif adalah hal yang wajar, bahkan sangat diperlukan. Kalaupun ternyata ada wisdom dan best practices masa lalu yang patut dikembangkan lagi, juga bukan suatu kemustahilan atau harus dipandang sebagai hal yang tabu. Sebagai contoh, peran pemerintah pusat dan provinsi yang melemah akibat desentralisasi luas, ternyata menimbulkan banyak persoalan di lapangan. Maka, peran pemerintah pusat dan provinsi perlu diperkuat tanpa harus melakukan upaya resentralisasi ataupun mengurangi wewenang kabupaten/kota. Ini berarti, proses learning how to relearn sesungguhnya telah terjadi tanpa harus menuding desentralisasi sebagai akar masalah bangsa. Desentralisasi sudah terlanjur menghantarkan bangsa Indonesia pada posisi seperti saat ini dan berada pada point of no return, sehingga problematika yang ada bukanlah pembenar untuk berbalik arah ke masa silam. Dari kasus desentralisasi tersebut, saya pribadi menangkap sebuah kesan dan keyakinan bahwa mempelajari dan menguasai teori maupun disiplin-disiplin LO akan membawa sangat banyak manfaat untuk menelaah kompleksitas kebijakan di sekitar kita. Dengan LO ini kemungkinan keliru dalam pengambilan keputusan dapat diminimalisir, sehingga secara tidak langsung turut meningkatkan kualitas kebijakan itu sendiri. Kampus Pejompongan Jakarta Jum’at, 17 Juni 2011 Page | 6
  • 14. Jurnal #4 “Sudah Belajarkah Pemerintahan Kita?” Sebagai pembelajar pemula systems thinking, saya mendapat banyak sekali wawasan dan inspirasi tentang bagaimana suatu pemerintahan mengelola kebijakannya. Salah satu hal yang menarik minat saya adalah tentang “Hukum Disiplin Kelima” yang terdiri dari 11 kaidah. Namun dalam refleksi ini saya hanya akan menyinggung hukum pertama dan kedua. Hukum pertama adalah “Permasalahan hari ini berasal dari solusi kemaren”. Masalah yang kita hadapi saat ini, seringkali merupakan hasil solusi masalah yang kita lakukan pada masa lalu. Pemecahan seperti ini – katanya – hanya mengalihkan masalah dari satu bagian ke bagian lain dari sistem itu, tanpa dapat dideteksi atau diketahui. Sebagai contoh, jika polisi menangani suatu masalah peredaran narkoba di suatu wilayah, akan menyebabkan pindahnya peredaran barang terlarang itu ke wilayah lain yang dilakukan secara lebih rapi, baik dalam pengorganisasiannya maupun dalam pendistribusiannya (Sumber: Modul 1.A-2, hal. 20). Praktek kebijakan di Indonesia secara umum, nampaknya tidak memperhatikan hukum tersebut, sehingga banyak kebijakan yang dapat mengurangi masalah tertentu namun menimbulkan masalah yang sama di tempat berbeda. Sebagai contoh, Pemerintah Kota Tangerang Selatan mengalami masalah baru berupa kemacetan khususnya di sepanjang Jalan Raya Serpong, akibat kebijakan Pemerintah Provinsi DKI yang melarang truk masuk tol dalam kota dan memaksa truk-truk untuk mengambil jalan memutar ke wilayah Tangerang Selatan. Pemerintah DKI dapat berbangga dan mengklaim bahwa kebijakannya telah mengurangi kemacetan di wilayahnya, tanpa mempedulikan efek negatif di wilayah tetangganya. Contoh dengan pola agak berbeda adalah kasus pelemparan batu dan aksi pengrusakan penumpang kereta api di beberapa stasiun akibat kebijakan PT. KAI yang menyemprotkan cat kepada penumpang yang naik keatas gerbong. Akibatnya, penumpang marah dan menimbulkan kerusakan dengan tingkat kerugian yang tidak kecil, dan memaksa pihak manajemen untuk mencabut kebijakan tersebut dan mencari alternatif pengganti yang lebih baik dan lebih humanis. Dalam kasus PT. KAI ini, kebijakan baru ternyata menimbulkan masalah berbeda di tempat yang sama. Persamaan dengan kasus pertama, keduanya sama-sama tidak mampu mengatasi masalah yang ada, namun hanya memindahkan masalah, menimbulkan masalah baru, atau sekedar menunda masalah. Dalam ilmu systems thinking, solusi seperti itu disebut symptomatic solution, bukan fundamental solution. Dua ilustrasi diatas ini menunjukkan bahwa pemerintah (cq. Pemprov DKI dan PT. KAI) dapat dikatakan tidak menggunakan pendekatan dan cara berpikir sistem dalam perumusan kebijakan. Mereka juga dapat disebut tidak mengalami proses pembelajaran, atau mengalami kegagalan dalam proses pembelajaran (learning disabilities). Kegagalan mereka untuk belajar, bisa jadi disebabkan oleh kegagalan mengenali perubahan disekitarnya. Pemerintah DKI mungkin tidak menyadari bahwa penambahan penduduk dan pemukiman, peningkatan jumlah kendaraan, perkembangan sektor-sektor ekonomi tumbuh teramat pesat sehingga menimbulkan kesenjangan Page | 7
  • 15. yang semakin parah dibandingkan dengan kemampuan Pemprov DKI menyediakan infrastruktur jalan, kapasitas polisi untuk mengatur ruas jalan, atau kemampuan anggaran dan petugas Dinas Perhubungan dalam menata rambu dan marka lalu lintas. Ketika perubahan lingkungan lebih cepat dan lebih besar dibandingkan proses pembelajaran aparatur, maka dapat dipastikan terjadi bottlenecking kebijakan seperti kedua kasus diatas. Ironisnya, saat terjadi bottlenecking kebijakan, yang ditempuh adalah paradigma pragmatis untuk menyelesaikan masalah pada jangka pendek. Sekali lagi, ini membuktikan bahwa cara berpikir serba sistem (systems thinking) belum dipraktekkan dalam manajemen kebijakan publik. Selanjutnya, hukum kedua adalah “Semakin keras kita menekan, yang kita hadapi juga semakin luas”. Contoh hukum ini misalnya terjadi di AS tahun 1960-an, dimana ada kebijakan pembangunan perumahan bagi kalangan bawah dan kebijakan peningkatan ketrampilan kerja masyarakat di kota-kota yang dianggap lemah ekonominya. Satu dekade setelahnya, keadaan di kota-kota tersebut justru semakin memburuk, meskipun bantuan pemerintah ditingkatkan. Penyebabnya adalah orang-orang yang berpendapatan rendah dari kota lain dan pedesaan berbondong-bondong pindah ke kota yang mempunyai program insentif tersebut. Akhirnya, program perumahan baru menjadi sangat sesak, dan program pelatihan kerja dibanjiri oleh pelamar. Pada saat yang sama, penerimaan pajak mulai terkikis, sehingga mengakibatkan lebih banyak orang terperangkap dalam kemiskinan (Sumber: Modul 1.A-2, hal. 21). Naga-naganya, bangsa Indonesia-pun terjangkiti oleh penyakit serupa. Di bidang pendidikan, misalnya, terdapat kebijakan bahwa guru harus memiliki kualifikasi minimal sarjana dan jika memungkinkan tersertifikasi. Atas nama desentralisasi, banyak pemerintah daerah yang mengalokasikan dana besar untuk peningkatan kualifikasi guru. Namun yang kemudian terjadi, para guru yang telah mencapai jenjang pendidikan tinggi cenderung pindah ke daerah yang memberikan tunjangan atau insentif lebih besar kepada guru. Akibatnya, investasi pemerintah daerah asal untuk menyekolahkan para guru membawa manfaat secara tidak seimbang bagi daerah maupun bagi masyarakat umum pengguna jasa layanan pendidikan dasar di daerahnya sendiri. Kasus pemberian BLT (bantuan langsung tunai) juga mencerminkan berlangsungnya hukum kedua tadi. Peningkatan jumlah penerima BLT dan anggaran yang dialokasikan, mengilustrasikan terjadinya kasus yang sama seperti di AS periode 1960-1970an. Kedua kasus diatas juga menggambarkan secara gamblang bahwa kebijakan yang ditempuh tidak berbasis pada pendekatan serba sistem. Sebagian besar kebijakan kita nampaknya masih lebih bersifat linier dan reaktif terhadap masalah yang ada. Akibatnya, masalah yang dihadapi tidak dapat dipecahkan secara holistik dan komprehensif. Masalah yang berhasil diatasi hanyalah masalah yang ada di permukaan, sementara inti masalah yang sebenarnya tidak pernah teruraikan secara tuntas. Adapun sembilan “Hukum Disiplin Kelima” yang tidak saya elaborasi lebih jauh adalah “Perilaku berkembang membaik, sebelum memburuk”; “Pemecahan masalah yang mudah umumnya menggiring kembali ke masalah tersebut”; “Upaya penyembuhan dapat lebih buruk dari pada penyakitnya sendiri”; “Sesuatu yang lebih cepat biasanya akan lebih lambat”; “Sebab dan akibat tidak begitu erat terkait dengan ruang dan waktu”; “Perubahan yang kecil dapat menghasilkan hasil yang besar, namun wilayah dengan kemampuan daya ungkit terbesar itu Page | 8
  • 16. biasanya tersembunyi (tidak jelas)”; Anda dapat memiliki kue anda, dan juga memakannya, tetapi jangan sekaligus”; “Membelah seekor gajah tidak akan menghasilkan dua ekor gajah kecil”; “Jangan saling menyalahkan dan jangan menghujat”. Bayangkan saja, jika kita bisa mengambil banyak pelajaran dari dua hukum, berapa banyak perbaikan dan kemajuan yang dapat kita raih dengan belajar pada hukum-hukum lainnya? Sumber belajar ada dimana-mana, tersebar dilingkungan dimanapun kita berada. Setiap orang yang kita temui-pun, pada hakekatnya juga adalah sumber belajar yang potensial. Maka, tidak ada alasan untuk tidak belajar atau menunda untuk belajar. Belajarlah mulai sekarang, dan mulailah dari diri kita masing-masing … Kampus Pejompongan Jakarta Sabtu, 18 Juni 2011 Page | 9
  • 17. Jurnal #5 “Pembagian Kelas: Sebuah Takhayul?” Adalah hal yang lumrah dan sudah berlangsung puluhan tahun bahwa peserta Diklatpim II selalu dikelompokkan dalam kelas-kelas, ada kelas A dan ada kelas B. Sekilas tidak ada yang aneh atau patut dipertanyakan dengan pembagian seperti itu, hingga munculnya selentingan-selentingan bawah sadar yang membutuhkan penelusuran lebih seksama. Pagi hari tadi, misalnya, seorang teman menanyakan kapan tanda pengenal peserta untuk kelas B dibagikan, mengingat kelas A sudah memperoleh hari Jum’at yang lalu. Alhamdulillah, pada sessi kedua (jam 10.45) kami semua sudah mendapatkannya. Selentingan teman tadi seketika mengingatkan saya pada selentingan salah seorang pengajar diklat ketika kami bertemu hari Kamis, atau pada hari ketiga Diklatpim II berlangsung. Dia bertanya: “Kenapa ya kelas B terlihat lebih santai dan cair dari pada kelas A?” Dia menambahkan bahwa pengalaman penyelenggaraan Diklatpim angkatan- angkatan sebelumnya juga relatif sama. Terus terang, saya tidak dapat menjawab pertanyaan retoris tadi karena saya sendiri belum mampu membandingkan situasi dan kinerja antara kelas A dan B. Namun beberapa selentingan seolah memberi pembenaran bahwa antara kelas A dan B memang selalu memiliki karakter yang berbeda. Saya jadi teringat ketika anak saya pindah sekolah dari Samarinda ke Tangerang Selatan mengikuti ayahnya yang dimutasi ke kantor Pusat di Ibukota. Pada saat saya dan istri mendaftarkan ke SD Negeri di wilayah Serpong Utara, Kepala Sekolah SD tersebut menanyakan ranking anak-anak saya sewaktu di Samarinda. Dia menjelaskan bahwa jika ranking-nya 1 s.d. 5, maka akan dimasukkan ke kelas A, sedangkan jika menempati ranking 6 keatas akan ditempatkan di kelas B. Singkatnya, kelas A memang didesain sebagai kelompok orang-orang yang memiliki kelebihan dibanding kelas lainnya. Namun dalam konteks Diklatpim II, saya tahu bahwa tidak ada pertimbangan kepandaian, kepangkatan, track record kinerja, atau prestasi lainnya dalam penempatan seseorang ke kelas tertentu. Tapi apa boleh buat, karena A dan B menunjukkan jenjang atau leveling sebagaimana 1 dan 2, maka kesan bahwa kelas A adalah kelas 1 dan kelas B adalah kelas dibawahnya, tidak bisa terelakkan. Dalam alam bawah sadarnya, mereka yang masuk kelas A mengidentifikasikan dirinya sebagai kelompok dengan kecakapan diatas rata-rata, sementara mereka yang “terpaksa” masuk kelas B harus siap untuk belajar lebih gigih jika ingin menyamai rekannya di kelas A. Bisa jadi, subconscious mind seperti itulah yang membuat peserta di kelas B merasa tidak perlu repot-repot belajar atau mengejar prestasi, karena urusan prestasi adalah domain kelas A. Sebagai gantinya, kelas B lebih memilih untuk menikmati program diklatnya dengan kelakar, senda gurau dan aktivitas apapun yang mendatangkan rasa rileks dan santai. Maka, terbentuklah takhayul bahwa kelas A selalu lebih baik dan lebih hebat dari pada kelas B. Dikatakan takhayul karena hal tersebut telah menjelma menjadi keyakinan yang diperkuat dengan fakta-fakta empirik bahwa sang juara lebih sering lahir dari kelas A dibanding kelas yang lain. Padahal, prestasi itu sama sekali tidak terbentuk oleh kebijakan penempatan kelas, melainkan oleh keyakinan seseorang dialam bawah sadarnya bahwa dia cerdas/unggul/hebat, Page | 10
  • 18. atau sebaliknya. Keyakinan yang teguh terhadap sesuatu akan menjadikan sesuatu tadi sebuah kenyataan, sebagaimana bunyi sebuah adagium: what you get is what you believe. Ini adalah ajaran tentang kekuatan sebuah keyakinan (the power of believe). Dalam ajaran agama Islam-pun dinyatakan bahwa Allah adalah sesuai persangkaan hambanya. Saat seorang hamba meyakini secara penuh bahwa Allah akan memberikan kepadanya rejeki dari arah yang tidak disangka- sangka, maka hal tersebut benar-benar akan menjadi kenyataan. Subhanallah … Sebuah eksperimen pernah dilakukan di AS dengan memasukkan anak-anak cerdas dan potensial ke kelas B dan anak-anak dengan intelijensi sedang ke kelas A. Setelah di-treatment dengan pembelajaran yang sama untuk periode tertentu, ternyata hasilnya sangat mencengangkan. Anak- anak di kelas A yang notabene kecerdasannya hanya rata-rata, berhasil menunjukkan prestasi yang lebih baik dari pada kelas B yang berisi anak-anak jenius. Oleh karena itu, untuk siapa saja yang telah terlanjur masuk kelas B, C, atau D, keyakinan bahwa mereka adalah kelas 2, 3, atau 4 harus dihancurleburkan agar tidak membawa efek psikologis yang negatif. Sedangkan untuk penyelenggara pendidikan, penamaan kelas hendaknya lebih bersifat netral namun justru mampu merangsang hasrat eksplorasi terhadap nama kelas. Sebagai contoh, kelas A dan B masing-masing diganti menjadi kelas Kelembagaan dan Ketatalaksanaan. Nama kelembagaan dan ketatalaksanaan ini bukan sekedar pengganti A dan B, namun secara tersirat menuntut peserta untuk mendalami konsep kelembagaan dan ketatalaksanaan tersebut. Dengan pemberian nama kelas yang netral ini, maka setiap peserta akan memiliki posisi start yang sama dan kondisi mental yang sama, sehingga siap berkompetisi secara sehat dan fair. Kampus Pejompongan Jakarta Senin, 20 Juni 2011 Page | 11
  • 19. Jurnal #6 “Diana Leadership Dalam Diklat Aparatur” Satu sisi dalam Diklatpim II yang sayang untuk dilewatkan adalah kewajiban senam pagi setiap Selasa, Rabu dan Kamis. Ternyata, banyak juga hal yang dapat dipelajari dari sessi yang berlangsung dari jam 05.30 s/d 07.00 ini, termasuk soal kepemimpinan. Siapa pemimpin lapangannya? Dia adalah Diana. Ya … Diana adalah nama instruktur senam pagi selama program diklat berlangsung. Meski tugasnya terkesan sepele dan hanya menjadi bagian kecil dari sistem diklat aparatur, namun sesungguhnya ia juga mencerminkan sosok pemimpin. Harold Koontz (1989) mengatakan bahwa kepemimpinan adalah pengaruh, seni, atau proses mempengaruhi orang-orang sehingga mereka akan berusaha mencapai tujuan kelompok dengan kemauan dan antusiasme. Definisi dari George R. Terry, FA. Nigro, Tannenbaum, dan lain-lain juga menegaskan inti kepemimpinan sebagai kemampuan seseorang dalam mempengaruhi perilaku orang lain atau menuntut ketaatan dari orang lain. Faktanya, Diana memiliki kedua kemampuan tersebut. Perilaku peserta senam terbentuk secara seragam mengikuti irama yang dimainkan Diana. Orang yang sama sekali tidak pernah senam pun berusaha sekuat tenaga untuk meniru semirip mungkin gerakan Diana. Peserta senam memberi perhatian penuh terhadap Diana, terlihat dari arah pandangan yang fokus kepada dirinya. Boro-boro komplain, tidak seorang peserta pun yang mencoba memberi alternatif gerakan senam yang lebih baik. Singkatnya, Diana adalah pemimpin tunggal di lapangan yang setiap instruksinya diikuti dengan koor yang kompak. Bahkan ketika Diana bertanya: Mana suaranyaaa?”, seketika riuh rendah beragam suara memberi sambutan secara meriah. Uniknya, Diana tidak pernah menegur peserta yang tidak mengikuti gerakannya. Dia juga tidak pernah mengancam akan memberi sanksi bagi siapa saja, termasuk yang tidak datang ke lapangan. Dia tetap saja happy dengan situasi disekelilingnya meski dia sadar bahwa karakter orang-orang disekitarnya sangat beragam. Nampaknya Diana tahu betul bahwa orang-orang yang datang kepadanya adalah orang dewasa yang telah menyadari hak dan kewajiban masing-masing, sehingga model pembelajaran yang diberikan Diana juga model pembelajaran orang dewasa (andragogi). Nampaknya, Diana memahami betul metode ini sehingga yang dia lakukan lebih banyak bersifat motivasi, persuasi, serta pemberian contoh (suri tauladan) yang konkrit. Adalah hal yang ironis ketika sosok Diana begitu ditaati oleh peserta, sedangkan penyelenggara diklat yang jelas-jelas memiliki otoritas formal harus berusaha sekuat tenaga untuk menjaga peserta agar berperilaku sesuai tata tertib dan seperangkat aturan yang telah disiapkan lembaga. Ada saja peserta yang merasa sangat merdeka ketika sessi senam pagi, namun tiba-tiba merasa terkekang dalam formalitas diklat di sessi-sessi berikutnya. Apa yang salah dengan situasi seperti ini? Bukankah penyelenggara adalah pemimpin yang sebenarnya untuk peserta diklat? Namun faktanya, mengapa sosok Diana lebih menonjol dan lebih disukai? Tentu saja, teori yang berbeda akan memberikan penjelasan yang berbeda pula. Salah satunya adalah kepemimpinan situasional yang diajarkan Paul Hersey dan Ken Blanchard. Dari empat Page | 12
  • 20. gaya kepemimpinan directing (telling), coaching, supporting (participating) dan delegating, kepemimpinan hanya akan efektif jika diterapkan dalam situasi yang tepat – meskipun disadari bahwa setiap orang memiliki gaya yang disukainya sendiri dan sering merasa sulit untuk mengubahnya meskipun perlu. Dalam prinsip pembelajaran untuk orang dewasa (andragogi), pada diri peserta diasumsikan sudah terdapat dua macam kompetensi, yakni kompetensi kognitif berupa seperangkat pengetahuan dan pengalaman, serta kompetensi afektif berupa sikap kedewasaan dan kesadaran tentang eksistensi dirinya. Dengan dua jenis kompetensi tersebut, maka gaya kepemimpinan yang paling tepat untuk mendampingi mereka dalam proses diklat adalah gaya supporting participating, disusul dengan gaya delegating dan coaching secara seimbang, serta menghindari sebanyak mungkin gaya directing. Gaya directing dicirikan oleh tingginya tingkat penugasan dan rendahnya hubungan interpersonal (high tasks and low relationship), sedangkan gaya supporting dicirikan oleh tingginya hubungan interpersonal dan rendahnya penugasan (high relationship and low tasks). Kalau mau jujur, gaya yang lebih dikembangkan saat ini di Diklatpim II adalah gaya pelatihan (coaching) – meski keberadaan pelatih telah diposisikan sebagai mitra – dan sedikit directing. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya target jumlah produk pembelajaran yang harus dihasilkan baik secara individual maupun kelompok, bahkan pada tingkatan kelas atau angkatan. Pada saat yang sama, interaksi interpersonal antara peserta dengan penyelenggara sangat sedikit sekali terjalin. Paling banyak hubungan terjadi antara peserta dengan widyaiswara, petugas absen, petugas laundry, dan satpam, sementara dengan manajemen diklat seperti Deputi V, Kapusdiklat Spimnas Bidang Kepemimpinan, para pejabat Eselon III dan IV, serta staf penyelenggara lainnya, bisa dikatakan nihil. Hingga minggu kedua, hanya sekali ada pertemuan dengan penyelenggara, itupun cuma dalam sessi penjelasan program. Demikian pula, pertemuan dengan Kepala LAN hanya terjadi dalam konteks ceramah, bukan dalam fungsi pembinaan diklat atau dialog antara service provider dengan user-nya. Nah, disinilah kepemimpinan model Diana menunjukkan keunggulannya. Dalam setiap pelaksanaan tugasnya, dia selalu menjalin kontak langsung dengan peserta, bukan hanya dengan suaranya atau gerakannya, namun juga dengan bahasa tubuhnya, semangatnya, totalitasnya, kedisiplinannya, dan senyumnya. Tidak heran, sosok Diana menjadi lebih populer dibanding sosok lain yang mestinya lebih berwibawa. Teori X dan teori Y dari Mc. Gregor sebagai hasil klasifikasi dua jenis tipe manusia yaitu tipe X dan tipe Y, mungkin juga dapat sedikit memberi penjelasan. Menurut teori X, pada dasarnya manusia itu cenderung berperilaku negatif dengan ciri-ciri sebagai berikut: (a) tidak senang bekerja dan apabila mungkin akan berusaha mengelakkannya; (b) karenanya manusia harus dipaksa, diawasi atau diancam dengan berbagai tindakan positif agar tujuan organisasi tercapai; (c) para pekerja akan berusaha mengelakkan tanggung jawab dan hanya akan bekerja apabila menerima perintah untuk melakukan sesuatu; dan (d) kebanyakan pekerja akan menempatkan pemuasan kebutuhan fisiologis dan keamanan di atas faktor-faktor lain yang berkaitan dengannya dan tidak akan menunjukkan keinginan atau ambisi untuk maju. Sementara itu teori Y menyatakan bahwa manusia itu pada dasarnya cenderung berperilaku positif dengan ciri-ciri sebagai berikut: (a) para pekerja memandang kegiatan bekerja sebagai hal yang alamiah seperti halnya beristirahat dan bermain; (b) para pekerja akan berusaha melakukan tugas tanpa terlalu diarahkan dan akan berusaha mengendalikan diri sendiri; (c) pada umumnya para pekerja akan Page | 13
  • 21. menerima tanggungjawab yang lebih besar; dan (d) mereka akan berusaha menunjukkan kreativitasnya, dan oleh karenanya akan berpendapat bahwa pengambilan keputusan merupakan tanggungjawab mereka juga dan bukan semata-mata tanggungjawab orang yang menduduki jabatan manajerial (Weber, 1960, dalam Siagian, 1989). Manajemen diklat aparatur pada umumnya dan Diklatpim II pada khususnya, juga tidak lepas dari kecenderungan mempersepsikan peserta selayaknya manusia tipe X. Pada sesi pengarahan program, misalnya, peserta dicekoki dengan berbagai macam kewajiban, larangan, dan etika berperilaku lengkap dengan sanksi yang mungkin diterima. Saat acara tanya jawab, seorang peserta sampai bertanya: ”Dari tadi kami hanya dijelaskan tentang kewajiban-kewajiban yang harus kami penuhi. Lantas apa hak-hak kami selaku peserta?”. Pada poin inilah, kapasitas penyelenggara masih perlu banyak pembenahan. Akan jauh lebih elegan jika peserta disambut dengan sikap dan pernyataan yang encouraging, diposisikan sebagai sub-sistem penting bagi institusi, dihormati sebagai sumber pengetahuan dan kearifan, dilayani dengan segenap sumber daya dan sarana yang ada untuk menumbuhkan rasa betah laksana di rumah sendiri, serta diperlakukan layaknya perusahaan memperlakukan pelanggan setianya. Peserta memang harus siap lahir batin dengan berbagai konsekuensi atas keikutsertaannya dalam diklat (baca Jurnal #2: Ketika Perubahan Menghampiri Kita ...). Namun tidak ada salahnya pula bagi penyelenggara untuk terus meningkatkan kapasitas leadership-nya guna menghasilkan proses diklat yang sinergis serta output diklat yang benar-benar sesuai harapan semua pihak. Sebab, kepemimpinan bukan hanya sebuah ilmu, namun lebih merupakan seni. Bisa jadi, orang yang tidak pernah belajar ilmu kepemimpinan, lebih berhasil menjadi pemimpin dibanding orang yang kenyang teori-teori kepemimpinan, sepeti Diana, atau Walikota Solo, Joko Widodo. Akhirnya, penguatan kapasitas leadership penyelenggara yang makin menguat diharapkan akan menjadi trade-off bagi Diana Leadership. Semoga! Kampus Pejompongan Jakarta Selasa, 21 Juni 2011 Page | 14
  • 22. Jurnal #7 “Tentang Guru atau Widyaiswara …” Pada suatu sessi, Widyaiswara Penuntun kami, Bapak Suwaris, mengungkapkan bahwa “An ordinary teacher can only tell; A good teacher can explain; An exellent teacher can demonstrate; A great teacher inspires. Saya mendukung sekali prinsip tersebut, terutama dalam konteks pembelajaran untuk orang dewasa. Model dan gaya belajar orang dewasa tentunya lebih tepat diarahkan kepada generative learning yaitu proses belajar yang mengembangkan dan menciptakan, dari pada sekedar adaptive learning atau proses belajar yang bertujuan untuk menyerap atau menyesuaikan diri terhadap materi pembelajaran. Oleh karena itu, sedikit aneh rasanya jika seseorang yang telah meraih gelar akademik minimal sarjana (bahkan banyak yang sudah S3) dan menduduki jabatan cukup tinggi masih menuntut diajar dengan pola didaktik yang detil dan tidak menyisakan ruang bagi si pembelajar untuk belajar lebih dalam secara mandiri. Maka, guru yang menginspirasi adalah guru yang mampu menumbuhkan rasa penasaran dan hasrat yang menggebu bagi muridnya untuk menggali lagi pengetahuan dari berbagai sumber dan dengan berbagai metode. Cara seperti inilah yang sering dipraktekkan para pendekar kungfu dalam menurunkan ilmunya. Ia membiarkan muridnya untuk memecahkan misteri tertentu atau berkelana mencari pengalaman. Esensinya, ilmu tidak dapat diperoleh secara instan, namun harus diperjuangkan melalui proses yang panjang dan mendaki, berduri, bahkan hingga berdarah-darah. Dalam filosofi masyarakat Jawa disebutkan bahwa ngelmu iku kalakone kanthi laku. Artinya ilmu hanya dapat dicapai dengan berbagai laku seperti prihatin, tirakat, pasa (puasa), semedi (meditasi), hingga ngebleng (tidak makan minum selama berhari-hari). Sayangnya, banyak orang yang ingin belajar secara pragmatis, yakni mendapat ilmu secara cepat dan mudah dengan pengorbanan yang minimal. Orang dengan tipe ini akan senang sekali jika guru memberi penjelasan secara rinci dan jelas, dan cenderung mengeluh ketika guru terkesan mengambang dalam setiap penjelasannya. Dalam situasi seperti ini, dia tidak segan-segan menilai bahwa sang guru tidak menguasai materi, tidak mampu mentransfer ilmu, dan sebagainya. Padahal, dengan pengajaran yang sangat rinci dan sangat jelas, akan menimbulkan kepuasan murid. Kepuasan murid ini secara tidak disadari akan menutup curiosity-nya terhadap hal-hal lain diluar materi yang telah diajarkan sang guru. Sebaliknya, guru yang hanya memberi kunci-kunci untuk membuka gerbang pengetahuan seringkali tidak memuaskan siswanya. Namun pada hakekatnya, dia sedang mengajari kita cara menemukan ilmu, bukan sedekar memberikan ilmunya. Maka, berbahagialah ketika kita mendapatkan guru atau widyaiswara yang baik, namun bersyukurlah saat mendapatkan guru atau widyaiswara yang menginspirasi … Terima kasih pak Waris yang telah merangsang banyak inspirasi bagi kami. Kampus Pejompongan Jakarta Rabu, 22 Juni 2011 Page | 15
  • 23. Jurnal #8 “Antara Temporary System dan Permanent System” Dalam setiap penyelenggaraan diklat, akan selalu muncul pertanyaan tentang koneksitas antara diklat sebagai temporary system dengan instansi tempat kerja sebagai permanent system. Diantara keduanya dapat diidentifikasikan paling sedikit dua macam gap. Pertama, gap antara teori dan praktek, yaitu antara materi yang dipelajari dalam diklat dengan peluang aplikasinya di tempat kerja. Faktanya, banyak sekali teori, model, good practices, atau materi-materi yang sangat bagus ternyata hampir seluruhnya tidak dapat dibumikan dan/atau direplikasikan. Kedua, proses pembelajaran yang berlangsung selama diklat diharapkan dapat berlanjut di tempat kerja, namun kenyataannya tidak terjadi. Teorinya, tempat pembelajaran yang hakiki adalah pembelajaran di tempat kerja. Namun yang lebih sering terjadi, pembelajaran berhenti bersama dengan selesainya program diklat. Peningkatan kompetensi kognitif yang diperoleh tidak lebih hanya sekedar “oleh-oleh” dari pada sebuah modal intelektual untuk pembenahan organisasi. Filosofi dasar diklat sendiri diselenggarakan untuk menutup celah kompetensi seseorang agar lebih efektif dan produktif dalam menjalankan tugas jabatannya. Dalam hal ini, desain diklat secara umum sudah sangat bagus untuk membangun kompetensi peserta, sekaligus membantu peserta untuk melakukan diagnosa permasalahan, pengembangan alternatif solusi, hingga pengambilan keputusan yang terbaik lengkap dengan instrumennya. Sebagai contoh, di Diklatpim II ini kami belajar bagaimana mengidentifikasi 7 ketidakmampuan belajar (learning disabilities), yang dengan mudah dan cepat bisa kami temukan. Ketika kita sudah tahu letak ketidakmampuan belajar kita, maka dengan relatif mudah juga akan dapat dirumuskan strategi untuk meminimalisasi, sehingga roda organisasi akan berjalan lebih mulus dan lancar. Namun, belum menjadi kelaziman untuk menyebarkan istrumen yang sama ke seluruh pegawai untuk mengetahui ketidakmampuan belajar dan cara mengatasinya. Demikian pula saat kami belajar tentang gaya belajar (learning style inventory), kami menjadi paham bahwa empat gaya belajar yang ada yaitu Diverger, Assimilator, Konverger, dan Akomodator memiliki kelemahan dan kekuatan masing-masing. Sebuah organisasi akan memiliki peluang untuk belajar lebih cepat jika dalam organisasi tersebut terdapat pegawai dengan gaya belajar yang beragam. Dengan keragaman tadi, maka seseorang yang mempunyai gaya belajar diverger akan mampu mengisi kekurangan orang dengan gaya assimilator. Gaya assimilator selanjutnya akan menutupi kekurangan orang dengan gaya konverger. Pada gilirannya, gaya konverger akan dapat menyempurnakan orang dengan gaya akomodator, dan begitu seterusnya membentuk sebuah siklus yang dinamis dan saling memperkuat (reinforcing). Sayangnya, meskipun sudah terlalu banyak orang mengetahui ilmu ini, toh tetap saja belum pernah dipraktekkan dalam dunia kerja. Oleh karena itu, jika ternyata kompetensi yang diperoleh selama diklat tidak dapat diaplikasikan di tempat kerja, maka sesungguhnya telah sia-sialah seluruh waktu, tenaga dan biaya yang dikeluarkan untuk terselenggaranya diklat tersebut. Kecenderungan diskoneksitas dan Page | 16
  • 24. diskontinuitas antara keduanya telah menjadi keprihatian yang meluas dikalangan birokrasi. Pertanyaan retoris yang sering kita dengar, misalnya, mengapa sikap perilaku dan kinerja seseorang tidak berubah setelah ikut diklat?; mengapa masih banyak penyimpangan meski program diklat semakin massive?; mengapa pembelajaran seorang alumni diklat tidak tertransformasikan kepada kolega dan bawahannya?; dan sebagainya. Berbagai pertanyaan tadi mengantarkan kita pada pertanyaan fundamental, yakni mengapa pembelajaran pada temporary system tidak dapat atau sedikit sekali diterapkan pada permanent system? Sub-sistem apa yang berkontribusi terhadap kegagalan tersebut? Terus terang, saya juga tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut. Namun terdorong oleh hasrat untuk menguak misteri yang ada, saya mencoba melakukan kontemplasi mendalam dan menemukan dugaan-dugaan sebagai berikut. Pertama, diklat tidak mampu menutup gap kompetensi karena memang gap antara kemampuan individu pegawai (individual level) dengan standar kompetensi jabatan, dan gap antara SDM organisasi (institutional level) dengan kemampuan untuk mewujudkan visi-misi organisasi, tidak pernah teridentifikasikan sebelumnya. Bagaimana akan menutup gap atau celah, jika lobangnya sendiri belum ditemukan? Kedua, siklus diklat sering terputus oleh “ritual” penutupan, dan tidak dilanjutkan dengan sebuah evaluasi yang mendalam dan menyeluruh. Kalaupun ada, evaluasi lebih banyak menyentuh aspek “persepsi” yang tidak terukur, atau tidak diperkuat oleh parameter untuk mengetahui korelasi / pengaruh langsung diklat terhadap kinerja alumni. Dalam perspektif systems thinking, gap tersebut muncul karena pendekatan diklat sendiri yang kurang sistemik, holistik, dan integratif komprehensif. Maka, agar terjadi koneksitas dan kontinuitas antara temporary system dengan permanent system, perlu diciptakan “jembatan” antar keduanya. Salah satu instrumen yang dapat difungsikan sebagai jembatan, menurut saya, adalah kontrak pembelajaran (learning contract) yang pada hakekatnya adalah sebuah Perencanaan Kinerja (Renja) diklat. Artinya, peserta harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar sebelum masuk kedalam program Diklat, misalnya: mengapa saya (harus) ikut diklat?; pada level mana kompetensi saya saat ini?; apa yang akan atau harus saya pelajari / kuasai dari diklat tersebut?; manfaat apa yang harus saya peroleh dari diklat tersebut?; kompetensi baru apa yang harus saya raih, dan pada level mana seharusnya kompetensi diri saya meningkat?; bagaimana menerapkan manfaat yang diperoleh dari diklat tersebut, dan bagaimana bentuk penerapannya?, dan sebagainya. Dengan demikian, peserta tidak hanya sekedar “faktor produksi” yang akan diproses atau diolah dalam rangkaian diklat, namun mereka juga sebagai designer atau programmer yang harus menjadikan diklat sebagai sarana (tools) untuk mencapai tujuannya (tujuan Individu – Kelompok – Organisasi). Selain itu, sekuensi diklat sebaiknya tidak seperti sekarang, dengan komposisi pokok berupa proses pembelajaran (class learning) – orientasi/studi lapangan – seminar, namun diubah menjadi class learning (conceptualization) – modelling (constructualization) – uji coba (piloting). Sekuensi baru tersebut mensyaratkan sebuah Diklat tidak dilaksanakan secara “sekali dan selesai (einmalig)”, namun dibagi menjadi tiga kategori strategi / kompetensi, kemudian disebar penyelenggaraannya dalam kurun waktu tertentu. Tiga tahap ini sifatnya siklis menjadi tiga tahap, sehingga semuanya terdiri dari sembilan tahap. Sebagai contoh, jika sebuah Diklat durasinya 3 bulan, maka 1 bulan pertama harus selesai dengan 3 putaran tersebut. Break 2 bulan Page | 17
  • 25. untuk evaluasi dan penyempurnaan hasil piloting, dirumuskan menjadi learning contract untuk 1 bulan ke-2. Setelah selesai, break lagi 2 bulan, susun lagi learning contract, terus masuk masa 1 bulan ke-3. Dengan demikian, dari konsep 1, konstruk 1, piloting 1, dilanjut hingga konsep 3, konstruk 3, piloting 3, akan menjadi hasil yang benar-benar matang dan siap diimplementasikan di tempat kerja. Jika gagasan ini dapat diterima dan dikembangkan, maka diharapkan akan terjadi transformasi diklat dari peran tradisionalnya sebagai pengungkit (leverage) perubahan, kepada peran baru sebagai faktor utama (condition sine qua non) perubahan organisasi. Satu hal lagi, sebuah evaluasi pasca diklat yang menyeluruh menjadi keniscayaan untuk menilai sejauhmana terjadi gap secara faktual antara temporary system dengan permanent system, untuk kemudian menentukan cara yang tepat untuk menekan gap tersebut. Kampus Pejompongan Jakarta Kamis, 23 Juni 2011 Page | 18
  • 26. Jurnal #9 “Jurnal Harian, Tradisi Seorang Cendekia” Ada sebuah tradisi baru yang saya lakukan selama mengikuti Diklatpim II, yakni menulis Jurnal Belajar Pribadi, atau lebih dikenal dengan sebutan jurnal harian. Menurut Modul 1.A-1 (hal. 52), jurnal harian adalah suatu proses/teknik memperdalam kesadaran diri sendiri ke alur proses kehidupan kita secara total, atau sebuah proses belajar untuk mengerti diri sendiri dengan cara- cara baru. Jurnal harian juga sebuah refleksi dari dalam diri kita, yang dapat memberi stimulus atau dorongan untuk mencari banyak hal dari dunia luar. Adapun isi jurnal dapat berupa kejadian atau peristiwa tertentu yang menarik perhatian kita, kesan terhadap peristiwa tersebut, pembelajaran dan manfaat yang mungkin ditarik dari kejadian yang dialami. Dengan demikian, sumber utama jurnal adalah pengalaman pribadi yang diendapkan. Dari hasil pengendapan ini kemudian dilakukan refleksi, mengapa suatu peristiwa/fenomena yang dialami tadi terjadi, apa hikmah atau lesson learned dari peristiwa/fenomena tadi, serta siapa dan bagaimana memanfaatkan pelajaran yang berhasil diambil. Dengan kata lain, proses refleksi yang mendalam akan menghasilkan konsepsi penulis jurnal terhadap peristiwa/fenomena yang dialaminya. Selanjutnya, untuk mematangkan konsepsi yang sudah terkonstruksi, kadang kala perlu adanya sebuah proses pengujian konstruksi melalui sharing pengalaman, silang refleksi, atau pengayaan konsepsi dengan jurnal yang ditulis orang lain. Proses dinamis dari pengamatan atas peristiwa, yang membentuk pengalaman, lantas direfleksikan dan membentuk konsepsi, untuk kemudian diuji ini sesungguhnya adalah sebuah siklus pembelajaran (the wheel of learning). Dengan roda pembelajaran seperti ini, tidak aneh jika menulis jurnal harian pada hakekatnya adalah pembelajaran yang paling efektif. Bagi diri saya pribadi, saya sangat bersyukur dengan adanya kewajiban menulis jurnal harian. Saya merasakan banyak sekali manfaat dari menulis jurnal. Pertama, jurnal adalah sarana untuk mengikat ide-ide kita tentang sesuatu untuk kemudian mengembangkannya. Betapa sering terpetik inspirasi dalam benak kita yang datang secara mendadak. Inspirasi seperti ini, biasanya bersifat sekejap, namun memiliki kadar originalitas tinggi. Jika ide seperti itu tiba-tiba lenyap, betapa ruginya kita hanya karena kita malas menuliskannya dalam catatan kecil harian. Kedua, jurnal adalah sarana pembelajaran yang sesungguhnya bagi seseorang, terutama peserta diklat. Fungsi jurnal ini bukan sekedar menampung bahasa lisan (talking) yang direkam dalam tulisan, namun juga bahasa pikiran (thinking), bahasa tubuh (being), bahasa emosi (feeling), serta bahasa tindakan (behaving). Maka, tidak aneh jika jurnal merupakan satu-satunya produk pembelajaran dalam diklat aparatur yang paling subyektif, namun paling jujur. Lebih hebat lagi, jurnal bukan sekedar media komunikasi antara penulis dengan pihak diluar dirinya, lebih-lebih ia adalah cermin sekaligus sparring partner bagi dirinya sendiri. Saya sudah merasakan betul manfaat menulis jurnal. Ketika belajar soal proses pembelajaran (learn, unlearn, relearn), saya langsung bisa mengkaitkannya dengan kebijakan desentralisasi (lihat Jurnal #3: Desentralisasi dalam Kacamata Learning Organization). Atau, ketika belajar tentang hukum disiplin kelima, tiba-tiba saya mendapat inspirasi untuk mengaplikasikan dalam Page | 19
  • 27. kasus nyata di lapangan (baca Jurnal #4: Sudah Belajarkah Pemerintahan Kita?). Terlalu banyak konsep yang saya peroleh selama diklat dan sangat bermanfaat untuk menganalisis peristiwa di permanent system, namun sayang tidak semuanya mampu saya tuangkan dalam jurnal harian. Andai saja agenda diklat tidak tersita oleh diskusi-diskusi kelompok yang memakan waktu hingga larut malam – bahkan menjelang subuh – tentu produktivitas menulis jurnal akan dapat berlipat. Saking berkesannya saya terhadap penulisan jurnal, saya sampai membayangkan alangkah bagusnya jika penulisan jurnal dijadikan sebagai kurikulum wajib dalam seluruh jenis diklat aparatur. Sudah waktunya penulisan jurnal ini menjadi mata diklat yang mandiri, bukan sekedar penugasan tambahan yang tidak memiliki angka kredit memadai. Jurnal dan pena bagi seorang cendekia, ibarat busur dan anak panah bagi seorang pemburu, laksana syair dan melodi bagi seorang penyanyi, bagaikan kanvas dan guratan bagi seorang maestro. Itulah media aktualisasi diri mereka. Cendekia tanpa jurnal, pemburu tanpa busur, penyanyi tanpa syair, atau maestro tanpa kanvas, adalah bukan siapa-siapa. Jurnal, busur, syair, dan kanvas, akan mengubah sesuatu yang bukan siapa-siapa menjadi seseorang yang penuh harga diri dan kehormatan. Maka, diklat tanpa jurnal atau cendekia tanpa jurnal-pun rasanya menjadi gersang seperti pohon tanpa dedaunan, hambar seperti canda tanpa tawa, serta hampa seperti berjalan tanpa tujuan … Terima kasih Diklatpim II yang telah memperkenalkan saya dengan jurnal harian, serta mengantarkan saya pada kesadaran baru untuk menjadi pribadi pembelajar yang lebih baik melalui penulisan jurnal harian. Kampus Pejompongan Jakarta Jum’at, 24 Juni 2011 Page | 20
  • 28. Jurnal #10 “Reformasi Birokrasi, Keadilan, dan Tragedy of the Commons” Dalam ceramahnya tentang konsep keadilan, Yudi Latif sempat menyinggung soal remunerasi yang diterima oleh kementerian tertentu. Beliau mengajukan pertanyaan retoris: apakah hanya karena mengurusi anggaran lantas kementerian tertentu berhak mendapat remunerasi jauh lebih besar dibanding pegawai kementerian/lembaga lain? Seketika, pernyataan tadi disambut dengan tepuk tangan riuh oleh peserta. Saya jadi teringat, pada ceramah perdana tentang reformasi birokrasi yang disampaikan Kepala LAN setelah pembukaan Diklatpim II, seorang peserta menanyakan tentang dasar logika yang digunakan pada kebijakan pemberian remunerasi kepada kementerian tertentu. Ada dua nuansa yang yang dapat ditangkap dari dua peristiwa diatas. Pertama, terdapat kesan adanya kebijakan yang diskriminatif dan menciderai rasa keadilan masyarakat banyak. Alasan dan logika apapun terlalu sulit untuk diterima dengan akal sehat, mengapa orang yang bekerja di kementerian yang menangani keuangan memiliki penghasilan 5 hingga 6 kali lipat dibanding mereka yang bekerja di kementerian/lembaga lain, padahal mereka sama-sama mengabdi kepada republik dengan level jabatan yang sama, beban kerja yang sama, masa kerja yang sama, ataupun pangkat yang sama? Diskriminasi kebijakan seperti ini dapat diobservasi secara kasat mata tanpa memerlukan metodologi maupun pembuktian ilmiah apapun. Bahkan dari perspektif hukum, hal ini dapat pula dimaknai sebagai upaya memperkaya atau menguntungkan diri-sendiri. Tidak aneh jika kemudian banyak berkembang sinisme bahwa birokrasi di Indonesia sudah menganut paham kastanisasi. Dalam konteks kebijakan yang berkeadilan, secara langsung maupun tidak langsung, praktek seperti ini adalah bentuk pengingkaran terhadap Sila kelima Pancasila, yakni “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Kedua, kentara sekali nuansa “cemburu” yang terpancar dari sikap para peserta setiap kali issu remunerasi diungkap. Namun, “kecemburuan” ini sebenarnya sangat logis dan beralasan. Bukankah orang yang bekerja di lembaga yang mengurusi soal kepegawaian juga tidak mendapat perlakuan istimewa di bidang kepegawaian? Bukankah orang yang bekerja menangani urusan asset (mobil, rumah dinas, komputer, dll) juga tidak memperoleh privilege untuk menggunakan asset tersebut? Jika asumsi yang digunakan adalah bahwa pemberian remunerasi dimaksudkan untuk menekan tingkat korupsi dan penyelewengan di kementerian tertentu, bukankah itu adalah asumsi yang sesat dan misleading? Korupsi dan penyelewengan hanya tepat diganjar dengan hukuman, bukan malah dianugerahi dengan remunerasi. Semestinya, remunerasi adalah bentuk penghargaan terhadap individu atau lembaga yang mampu bekerja dengan penuh integritas dan dibuktikan dengan kinerja optimal. Faktanya sekarang, kementerian yang telah mendapat remunerasi tetap saja gagal memberantas praktek-praktek koruptif di lingkungannya. Secara kebetulan, beberapa hari yang lalu ada berita di media cetak bahwa beban APBN sudah sangat berat untuk membayar gaji pegawai. Bisa dibayangkan, jika kementerian/lembaga yang lain menuntut diberikan remunerasi yang sama seperti kementerian yang telah menerima sebelumnya, apakah tidak menyebabkan kebangkrutan total bagi negara? Namun jika Page | 21
  • 29. kementerian/lembaga lain tidak diberikan hak yang sama sehingga menimbulkan kecemburuan serta kegelisahan yang semakin menumpuk, bukankah sama artinya dengan menyimpan bom waktu yang dapat meledak kapan saja tanpa dapat diprediksi? Dengan demikian, pemberian remunerasi secara merata kepada seluruh kementerian/lembaga, atau hanya memberikan keistimewaan bagi kementerian yang menangani urusan keuangan, sama-sama menyimpan potensi bahaya yang sangat besar. Nah, ketika kami belajar tentang diagram pola dasar sistem (archetype diagram) sebagai piranti systems thinking, ada satu pola dasar yang nampaknya sangat tepat untuk menganalisis kasus reformasi birokrasi ini, yakni archetype tragedi bersama (tragedy of the commons). Archetype ini menggambarkan bahwa banyak individu (baik dalam pengertian orang maupun lembaga) yang memanfaatkan sumber daya milik bersama untuk keperluan pribadi tanpa memperhitungkan dampak dan kepentingan bersama yang berpengaruh pada kegiatan semua pihak. Pada keadaan tertentu, kegiatan perorangan itu melampaui batas dan menguras hampir seluruh sumberdaya (Modul 1.A-2 hal. 155-156). Normalnya, archetype tragedi bersama sering diterapkan pada kasus-kasus eksploitasi sumber daya alam secara ekstraktif. Namun dalam kasus reformasi birokrasi-pun, ternyata archetype ini cukup tepat dan akurat. Reformasi birokrasi yang berimplikasi pada pembayaran remunerasi akan menjadi beban yang makin lama makin besar terhadap APBN. Ada dua skenario yang mungkin terjadi. Pertama, apabila sumber-sumber pendapatan baru tidak sebanding dengan tuntutan pembayaran remunerasi yang semakin banyak dari berbagai kementerian/lembaga yang belum menerima, maka beban APBN akan semakin besar lagi. Jika beban ini terus membesar, maka akan ada mata anggaran yang dikorbankan untuk menutup beban pembayaran remunerasi. Jika semakin banyak mata anggaran yang dikorbankan, maka kepentingan publik yang lebih luas akan menjadi “tumbal” reformasi birokrasi. Kedua, apabila kementerian/lembaga selain yang menangani keuangan tidak diberikan remunerasi guna meminimalisir tekanan terhadap APBN, maka akan muncul kecemburuan, kegelisahan, dan perasaan diperlakukan tidak adil. Jika perasaan ini terus terakumulasi, maka akan menurunkan semangat kerja dan kinerjanya. Jika kinerja turun, maka yang paling dirugikan adalah rakyat banyak yang semestinya dilayani dengan optimal berdasarkan prinsip “anggaran untuk rakyat”. Dengan demikian, reformasi birokrasi yang berujung remunerasi sebaiknya dihentikan. Kebijakan pemberian remunerasi kepada kementerian yang menangani urusan keuangan harus dihentikan pula secepat mungkin sebelum menimbulkan ekses bola salju yang lebih besar. Namun program reformasi tetap perlu dilanjutkan tanpa harus dikaitkan dengan iming-iming untuk mendapatkan remunerasi. Remunerasi dapat dipikirkan kemudian ketika reformasi telah menunjukkan hasil berupa efisiensi anggaran yang signifikan. Atas dasar efisiensi itulah, remunerasi baru dapat dikalkulasi. Jadi jelaslah bahwa remunerasi sesungguhnya hanyalah by product dari proses reformasi, bukan tujuan utama. Kampus Pejompongan Jakarta Sabtu, 25 Juni 2011 Page | 22
  • 30. Jurnal #11 “Pengelolaan SDA dan Limits to Growth” Meski baru memasuki minggu ketiga Diklatpim II, saya berani merekomendasikan agar semua policy makers di Indonesia belajar systems thinking. Dengan memahami piranti-piranti yang ada pada systems thinking, akan dapat dihindari kesalahan sedini mungkin. Salah satu piranti yang sangat mujarab untuk membuat pemodelan tentang efektivitas kebijakan adalah archetype batas- batas pertumbuhan (limits to growth). Archetype ini menyediakan suatu gambaran bahwa pada mulanya sebuah usaha yang dilakukan menghasilkan suatu pertumbuhan. Upaya selanjutnya mendorong pertumbuhan itu lebih baik. Beberapa waktu kemudian, keberhasilan usaha itu mencapai batas maksimal, dan setelah beberapa lama akhirnya membawa usaha tersebut pada proses penurunan (Modul 1.A-2 hal. 131). Contoh konkrit adalah usaha pengelolaan kayu (baca: penebangan hutan), penambangan batu bara, atau eksplorasi minyak bumi. Pada masa-masa awal operasi, usaha tersebut memberikan keuntungan yang berlimpah karena memang kapasitas daya dukung (carrying capacity) alam yang masih tinggi. Namun, satu hal yang seringkali dilupakan oleh manusia adalah bahwa alam dan seisinya semakin lama semakin berkurang daya dukungnya, sehingga eksploitasi lingkungan yang didasarkan pada kepentingan ekonomis semata, pada suatu ketika akan menyebabkan tergangunya keseimbangan ekologis. Dan apabila kekuatan ekologis ini telah sedemikian melemah, maka kesejahteraan yang dicapai manusia menjadi tidak bermakna. Sebab, kesejahteraan tadi harus dibayar dengan recovery cost untuk memulihkan dan menjaga kelestarian lingkungan – dan bahkan social cost yang sulit dihitung tingkat kerugiannya. Dalam hal ini terjadi hubungan terbalik antara kebutuhan manusia dengan sumber daya alam atau lingkungan. Artinya, semakin banyak dan bervariasi kebutuhan manusia, maka kemampuan alam untuk menyediakannya semakin terbatas. Pada saat bersamaan, terjadi hubungan tegak lurus antara kebutuhan manusia dengan pencemaran, dimana semakin banyak dan bervariasi kebutuhan manusia yang dipenuhi lewat usaha industri, maka tingkat pencemaran lingkungan dapat dipastikan semakin tinggi pula. Dan jika trend tersebut berlangsung terus-menerus, pada suatu saat akan terjadi suatu keadaan dimana pertumbuhan ekonomi tidak dapat ditingkatkan lagi, sementara kemampuan dan kualitas lingkungan sulit untuk diperbaiki kembali. Inilah yang disebut dengan the limits to growth yang diperkenalkan oleh Meadows (dalam Berry, et.al., 1993). Meadows membuat sebuah prediksi untuk kurun waktu 200 tahun (1900-2100) yang menggambarkan bahwa pada masa-masa awal, kondisi kependudukan, orde kebutuhan manusia serta aktivitas ekonomi dan industri masih relatif rendah, sementara kondisi lingkungan berada dipuncak ketangguhannya. Namun seiring dengan penambahan jumlah penduduk, dan tingkat polusi yang melekat pada ekspansi kegiatan industri, maka kualitas dan daya dukung (carrying capacity) lingkungan menjadi sedemikian merosot, hingga pada akhirnya keseimbangan menjadi goyah dan kurva sumber daya alam menjadi sangat merosot, bahkan sama sekali tidak mampu lagi mendukung aktivitas kemanusiaan. Page | 23
  • 31. Jika penurunan daya dukung lingkungan sudah dapat diproyeksi, maka kebijakan publik yang akan dirumuskan dapat diarahkan untuk mencapai dua kondisi, apakah untuk menghentikan kebijakan sebelumnya yang telah mengakibatkan penurunan daya saing lingkungan, ataukan untuk pemulihan dan reklamasi lingkungan. Jika ternyata kebijakan masih saja memberikan perijinan usaha untuk mengkeksploitasi sumber daya alam, hal itu menandakan bahwa policy makers telah gagal total dalam berpikir serba sistem (systems thinking). Pada tahap berikutnya, kegagalan berpikir serba sistem akan mengantarkan pada kegagalan kebijakan publik (policy failures) yang berdampak negatif terhadap masyarakat. Sekali lagi, penguasaan policy makers terhadap disiplin learning organization khususnya disiplin kelimanya yakni systems thinking, dan lebih spesifik lagi pola-pola dasar sistem (archetype), akan sangat bermanfaat dalam memperkokoh kualitas kebijakan publik. Untuk itu, akan sangat ideal jika seorang policy makers adalah juga systems thinkers. Kampus Pejompongan Jakarta Senin, 27 Juni 2011 Page | 24
  • 32. Jurnal #12 “Quality Control dalam Diklat Aparatur” Meskipun telah lebih 17 tahun bekerja di LAN, namun saya belum pernah mendapat penempatan di bidang diklat, kecuali pada saat orientasi semasa masih berstatus CPNS. Maka, tidaklah mengherankan jika saya juga tidak terlalu paham bagaimana kebijakan, proses, dan instrumen yang digunakan untuk menjamin kualitas diklat. Yang pasti, quality control adalah sesuatu yang mutlak harus ada dalam program diklat, sebab program diklat yang berkualitas akan melahirkan institusi penyelenggara yang berwibawa, dan wibawa organisasi akan membentuk citra positif organisasi (branding) dimata pelanggannya. Dalam salah satu episode Golden Ways, Mario Teguh pernah menyatakan bahwa citra organisasi ditentukan oleh keselarasan visi misi seluruh anggotanya. Jika ada perilaku anggota organisasi yang bertolak belakang dengan konsensus yang telah disepakati secara kolektif, maka akan hancurlah citra organisasi itu, ibarat peribahasa “karena nila setitik rusak susu se belanga”. Sehebat apapun Kepolisian RI melakukan reformasi internal, akan sia-sia jika di lapangan masih banyak dijumpai oknum yang melakukan pungli maupun penilangan yang berujung “perdamaian”. Demikian pula dalam penyelenggaraan diklat, seluruh komponen yang ada di dalamnya baik jajaran pembina (pejabat struktural), widyaiswara, pelaksana/panitia diklat, hingga petugas teknis seperti Satpam, haruslah memahami sepenuhnya dan memegang teguh shared vision dan values yang ada. Nah, kuriositas dalam hati saya adalah, bagaimanakah manajemen diklat melakukan kendali terhadap seluruh komponen yang ada sekaligus menjamin bahwa mereka patuh dan tunduh terhadap sistem nilai yang berlaku? Kuriositas saya semakin menggumpal karena praktek- praktek yang semestinya tidak terjadi, justru terjadi di depan mata saya. Maklumlah karena posisi saya sebagai peserta diklat yang membaur dan hidup di tengah-tengah peserta lainnya, maka peristiwa yang muncul dan dialami teman-teman peserta tidak luput dari pengamatan saya. Terjadinya distorsi antara sistem nilai dengan praktek misalnya terjadi dalam aturan tentang “jam malam”. Sebagaimana tertuang dalam buku panduan dan penjelasan program, pada jam 22.00 pintu gerbang sudah tertutup dan tidak diperkenankan peserta untuk keluar atau masuk kampus. Satpam juga diberi hak untuk menegur peserta jika melanggar ketentuan ini. Namun kenyataannya, cenderung terjadi opportunistic behavior yang mengorbankan sistem, dimana Satpam sebagai sub-sistem diklat memberi kelonggaran kepada peserta untuk menabrak aturan “jam malam” hanya karena mengharap sesuatu dari peserta. Penyelenggara nampaknya juga mengalami keterbatasan kendali terhadap aturan yang berkenaan dengan kehidupan di asrama. Sebagai contoh, jika ada komplain tentang makanan yang kurang, protap (prosedur tetap) seperti apa yang ditempuh oleh penyelenggara, apakah menerimanya sebagai sebuah kebenaran ataukah ada proses check and cross-check untuk mengetahui kondisi riilnya? Demikian pula dalam hal terjadi pelanggaran disiplin seperti menerima tamu dalam kamar, bagaimana penyelenggara mendeteksi kasus ini? Kasus “besar” yang nampaknya juga Page | 25
  • 33. luput dari perhatian penyelenggara adalah kasus seseorang yang tidak masuk kelas seharian namun daftar hadir lengkap karena diisi oleh temannya. Satu hal lagi, masalah klasik yang selalu terjadi dari tahun ke tahun adalah fakta adanya fenomena ghost writer yang mengerjakan tugas- tugas individu peserta. Meskipun tidak nampak, namun keberadaannya sangat mudah dirasakan. Sayangnya, respon penyelenggara masih kurang proaktif dan cenderung menggunakan prinsip “tutup mata, tutup telinga”. Artinya, penyelenggara sangat mengutuk praktek plagiarisme dan pengerjaan tugas oleh orang lain, akan tetapi tidak berbuat secara konkrit untuk memberantas “tuyul-tuyul” yang bergentayangan. Padahal, sebuah institusi akan berwibawa jika aturan yang dibuat dan disepakati dapat ditaati, dihormati, dan ditegakkan manakala terjadi pelanggaran. Jika tidak ada keberanian dan kemampuan untuk menegakkan aturan, lebih baik aturan tersebut tidak diberlakukan sejak awal. Sekedar pemikiran untuk memperkuat fungsi quality control dalam diklat, saya meyakini bahwa pendekatan partisipatif merupakan metode yang sangat efektif untuk mengontrol program diklat A-Z. Maknanya, penyelenggara harus terlibat langsung dalam setiap aktivitas yang dilakukan peserta. Dengan demikian, penyelenggara perlu makan bersama, senam bersama, dan tinggal bersama peserta di asrama. Sementara dalam dimensi akademik, keterwakilan penyelenggara hendaknya selalu ada di setiap kelas. Model partisipatif ini bukan berarti tidak memberikan ruang kebebasan kepada peserta atau tidak mempercayai perilaku harian peserta. Model ini justru dimaksudkan untuk mengurangi gap komunikasi antara peserta dan penyelenggara melalui hubungan yang cair, membaur, dan menyatu. Dalam hubungan yang cair seperti itu, maka tidak ada lagi kedudukan selaku peserta atau penyelenggara, namun keduanya sama-sama mengemban misi untuk menjaga diklat agar menjadi momentum yang menyenangkan dan program yang produktif untuk membangun kinerja organisasi. Kampus Pejompongan Jakarta Selasa, 28 Juni 2011 Page | 26
  • 34. Jurnal #13 “Kelelahan yang Mulai Menyergap” Secara jujur harus saya akui bahwa pada akhir minggu ke-3 penyelenggaraan Diklatpim II, rasa lelah telah mulai menghinggapi fisik dan pikiran saya. Indikasi kelelahan ini nampak sekali dari menurunnya daya konsentrasi, semakin seringnya menguap terutama pada sessi-sessi ceramah yang kurang atraktif dan provokatif, serta menurunnya minat dan semangat untuk berperan secara optimal dalam setiap aktivitas di kelas maupun di kelompok. Tanpa maksud menggeneralisasi, saya melihat bahwa kelelahan juga sudah menyambangi peserta yang lain dengan ciri-ciri yang sama. Jika melihat proses selama tiga minggu ke belakang, dapat dimaklumi mengapa kelelahan itu sudah menjangkiti banyak peserta meski diklat baru berjalan seperempat bagian. Tugas-tugas yang harus diselesaikan begitu banyak dan beragam. Sebelum masuk program, peserta sudah harus menulis kasus administrasi negara. Begitu masuk program, tugas individu maupun tugas kelompok sudah antri panjang menunggu sentuhan peserta. Tugas individu yang harus dituntaskan hingga akhir minggu ketiga dan awal minggu keempat antara lain berupa penulisan jurnal harian, laporan DIT (diskusi issu terpilih), dan pengajuan TOR untuk KTP2 (Karya Tulis Prestasi Perseorangan). Adapun tugas kelompok yang harus digarap meliputi DIT 1 s/d 7, integrasi DIT 1 s/d 3, integrasi DIT 4 dan 5, dan pengajuan TOR untuk KKT (Kertas Kerja Tema). Total tugas yang harus diselesaikan adalah 16 tugas individual dan 10 tugas kelompok. Itulah sebabnya, pada minggu pertama kami sudah harus kerja marathon hingga larut malam, bahkan menjelang subuh. Ketika kelas selesai jam 16.30, selepas shalat Isya’ kami sudah harus berkumpul untuk mengerjakan tugas kelompok hingga tengah malam. Setelah kerja kelompok selesai, barulah kami harus memikirkan tugas harian menyusun jurnal. Tugas yang begitu menggunung, tentu memiliki dampak positif untuk pembelajaran kami semua. Akan tetapi ada juga sisi negatifnya, yakni menyedot energi peserta secara sangat cepat. Kurva diklat semestinya bergerak dari arah kiri bawah ke kanan atas, ibarat mesin diesel yang semakin panas semakin bertenaga. Namun yang justru terjadi adalah kurva terbalik yang bergerak dari titik kiri atas ke kanan bawah, seperti pemain bola yang semakin lama bermain semakin terkuras energinya. Fenomena kelelahan diatas mencerminkan secara nyata terjadinya penurunan daya tahan peserta diklat seiring berjalannya waktu. Dampak terdekat dari kelelahan fisik adalah kelelahan mental. Dan ketika dimensi mental sudah terjangkiti kelelahan, maka akan menghasilkan umpan balik (loop balikan) ke dimensi fisik berupa rasa malas dan hilangnya gairah. Kelelahan mental juga akan memicu berubahnya idealisme menjadi pragmatisme. Kualitas produk pembelajaran menjadi cenderung terabaikan dan tergantikan oleh pemenuhan tugas secara formalitas belaka. Jika hal ini benar-benar terjadi, maka menjadi mudah untuk menjelaskan mengapa selalu hadir fenomena “Tuyul” dalam setiap penyelenggaraan diklat kepemimpinan. Page | 27
  • 35. Syukurlah, di tengah mulai berkeliarannya para tuyul, saya masih sanggup berdamai dengan tuyul. Artinya, saya tidak berkolaborasi dengan mereka, namun juga tidak memusuhinya, sehingga saya merasa tidak perlu menggunakan jasa tuyul-tuyul tadi, namun sayapun tidak akan mengganggu usaha mereka, meski saya tahu tuyul itu ada di depan mata saya. Saya pribadi percaya bahwa tidak ada gunanya sama sekali memusihi apalagi memerangi para tuyul, sebagaimana mustahilnya umat manusia memerangi penyakit masyarakat seperti pelacuran, perjudian, dan sebagainya. Baik pelacuran, perjudian, maupun tuyul-tuyul yang bergentayangan di semua lembaga diklat adalah penawaran (supply) dalam konsep ilmu ekonomi, yang selalu hadir sepanjang ada permintaan pasar (demand). Maka, strategi mengeliminasi berbagai penyakit tadi tidak akan pernah efektif jika ditempuh pada wilayah supply. Pelarangan, ancaman, atau sanksi apapun tidak akan menghasilkan efek jera bagi para penyedia jasanya (supplier, provider). Akan lebih bijaksana jika wilayah supply yang disentuh, dengan gerakan penyadaran bahwa jasa- jasa tadi hanya memberikan efek kesenangan sesaat namun merusak dalam jangka panjang. Dan ketika jumlah permintaan semakin sedikit, maka penawaran juga makin sedikit, dan secara alami akan mati pada saatnya. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika paradigma diklat aparatur pada umumnya dan Diklatpim II pada khususnya, diubah dari orientasi kuantitas menjadi kualitas. Artinya, lebih baik produk pembelajaran sedikit namun berbobot, dibanding produk pembelajaran yang menumpuk namun tidak bermakna. Konkritnya, saya pribadi menyarankan pemangkasan tugas kelompok menyusun 7 laporan DIT plus 2 DIT integrasi, hanya menjadi 3 DIT saja. Pengurangan jumlah produk ini perlu dilakukan tanpa harus mengurangi alokasi waktu pembelajaran, sehingga interaksi diskusi dalam kelompok dapat berlangsung lebih lama, tidak lagi dikejar-kejar deadline untuk segera menghasilkan laporan. Hal ini sekaligus dimaksudkan untuk mencegah merebaknya virus kelelahan yang hanya menurunkan kualitas dan daya saing diklat. Kampus Pejompongan Jakarta Kamis, 30 Juni 2011 Page | 28
  • 36. Jurnal #14 “Berharap Akan Sebuah Kesetaraan” “Ketimpangan” adalah sebuah kata yang selalu negatif. Ketimpangan pembangunan antar daerah atau antar sektor, ketimpangan antara hak dan kewajiban, ketimpangan antara mimpi dan realita, atau apapun … ketimpangan selalu tidak mengenakkan. Contoh gampang yang sering kita alami, pengguna jasa penerbangan jika terlambat sedikit saja dapat terancam tidak dapat check-in atau bahkan tertinggal pesawat. Namun penyedia jasa penerbangan seolah boleh terlambat berapa lama-pun, sementara penumpang setia menunggu hingga saat boarding tiba. Kasus ketimpangan lain bisa kita lihat misalnya saat mengurus perpanjangan KTP atau Akta Kelahiran. Dalam KTP atau UU Kependudukan diatur bahwa jika kita terlambat mengurusnya maka akan dikenakan denda dalam jumlah tertentu. Namun jika Kecamatan atau Dinas Kependudukan bekerja melebihi batas waktu yang ditentukan dalam SOP mereka, seolah bukan hal yang aneh dan tidak perlu dikenakan sanksi tertentu. Nah, dalam program diklat-pun hal seperti ini bisa terjadi. Seperti yang saya alami hari ini, hanya gara-gara terlambat 5 menit saya “terpaksa” menerima sanksi absensi di kartu kuning. Padahal, begitu masuk kelas, ternyata proses pembelajaran belum dimulai karena pembicaranya, Budiman Sujatmiko, belum hadir. Dia baru hadir 25 menit kemudian, namun toh tidak dianggap sebagai persoalan besar. Kasus yang lebih parah terjadi minggu sebelumnya ketika kelas sudah menunggu selama 45 menit, tetapi pembicara yang ditunggu-tunggu, Tomy A. Legowo, tidak kunjung menampakkan batang hidungnya dengan alasan terjebak kemacetan Jakarta. Akhirnya, peserta-lah yang harus menyesuaikan diri dengan pembicara, bukan pembicara yang tidak disiplin yang dikenakan sanksi. Kasus-kasus ketimpangan diatas menggambarkan adanya asymmetric position antar dua pihak yang berkepentingan. Di satu pihak, penyedia jasa penerbangan, Kecamatan, Dinas Kependudukan, penyelenggara Diklat, atau pembicara/nara sumber Diklat, berada pada posisi diatas, yang oleh karenanya seolah-olah memiliki hak untuk ditaati dan tidak perlu dikenakan sanksi ketika tidak dapat menjalankan kewajibannya. Di pihak lain, pengguna jasa penerbangan, pemohon KTP atau Akta Kelahiran, dan peserta diklat, berada di posisi bawah, yang oleh karenanya harus menjalankan kewajibannya dan secara otomatis akan terkena sanksi manakala gagal memenuhi kewajibannya. Posisi yang tidak simetris dalam hubungan antara service provider dengan costumer (pelanggan), antara aparat pemerintah dengan masyarakat, dan antara penyelenggara/pembicara diklat dengan peserta, sesungguhnya merefleksikan hubungan yang kurang demokratis. Ketimpangan hubungan selalu identik dengan praktek dominasi, monopoli, dan kooptasi satu pihak terhadap pihak lainnya. Kalaupun hubungan itu tetap dipertahankan asimetris, semestinya pelanggan, masyarakat, dan peserta diklat-lah yang harus berada diposisi atas. Paradigma “daulat modal” dan “daulat tuanku penguasa” harus diganti secara total dengan “daulat rakyat”. Sebab, sebuah perusahaan akan bangkrut tanpa pelanggan, suatu negara akan bubar tanpa adanya rakyat, dan lembaga diklat tidak berarti apa-apa tanpa peserta. Page | 29
  • 37. Sayangnya, jargon “pelanggan adalah raja” hanyalah bohong belaka. Buktinya adalah lahirnya UU Konsumen untuk melindungi masyarakat dari praktek bisnis yang tidak jarang merugikan pelanggan dibalik dalih-dalih yang melenakan. Demikian pula, jargon “menempatkan kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi dan golongan” juga belum sepenuhnya berjalan. Itulah sebabnya, akhir 2009 lalu lahir UU Pelayanan Publik yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan pemenuhan hak-hak masyarakat oleh aparat pemerintah. Jika sektor privat dan sektor pemerintah sudah memiliki jargon (terlepas dari soal implementasinya), tidak ada salahnya lembaga diklat juga memiliki jargon untuk pesertanya. Jargon itu jelas bukan sekedar pemanis bibir, namun harus diresapkan dalam seluruh rangkaian perilaku perusahaan, aparat pemerintah, serta lembaga diklat guna menciptakan tata hubungan yang lebih sejajar, egaliter, dan demokratis dengan “konstituen”-nya. Maka, ketika terjadi keterlambatan penerbangan, sudah selayaknya jika pihak maskapai menyediakan kompensasi yang pantas tanpa harus dikalkulasi dengan nilai tiket yang dibeli calon penumpang. Demikian pula ketika pelayanan KTP atau Akta Kelahiran terlambat, sikap ramah dan permohonan maaf yang tulus harus disampaikan disertai dengan janji untuk memperbaiki kinerja pelayanannya. Sama halnya dalam soal penyelenggaraan diklat. Ketika manajemen tidak dapat menghindari terjadinya keterlambatan (meski diakibatkan oleh pihak luar, yakni pembicara), tidak pada tempatnya peserta harus menerima sanksi karena keterlambatannya. Prinsip kesetaraan seperti inilah yang menurut saya harus dipegang teguh oleh semua pihak yang berhubungan dengan pihak diluar dirinya, sebab prinsip ini berkaitan erat dengan nilai keadilan (justice) dan perlakuan yang adil (fairness) … Kampus Pejompongan Jakarta Senin, 4 Juli 2011 Page | 30
  • 38. Jurnal #15 “Tentang Fenomena Ghost Writer” Di jurnal #12 dan #13 saya telah menyinggung soal fenomena “tuyul” atau ghost writer. Kebetulan sekali minggu ini peserta sudah harus mulai menulis TOR KTP-2 (Karya Tulis Prestasi Perseorangan), yang didahului oleh penjelasan teknik penulisan lengkap dengan etikanya. Dalam sessi penjelasan penulisan KTP-2 tersebut, diingatkan kembali oleh penyelenggara bahwa menggunakan jasa pihak lain dalam penulisan KTP-2 adalah perbuatan tidak etis yang dapat dikategorikan sebagai tindakan plagiasi atau plagiarism. Untuk memagari kemungkinan plagiasi tadi, peserta bahkan diharuskan membuat “Pakta Integritas” yang berisi pernyataan bahwa KTP-2 yang dihasilkan adalah benar-benar karya pribadinya. Namun, nampaknya himbauan tinggal sebagai himbauan, dan pakta integritas-pun hanya menjadi formalitas belaka. Hingga saat ini belum ditemukan formula yang manjur untuk menghapuskan fenomena ghost writer ini. Penyakit ini rupanya sudah mengakar dalam tradisi pendidikan di Indonesia, sehingga tidak aneh jika jasa pembuatan karya tulis terjadi di seluruh lini pendidikan sejak tingkat Sarjana (S1), Master (S2), Doktor (S3), hingga pemenuhan syarat sebagai Profesor atau jabatan fungsional tertentu. Jika di lembaga-lembaga pendidikan formal yang begitu terhormat masih dijumpai praktek menyimpang seperti itu, apalagi “hanya” di tingkat pendidikan dan pelatihan yang seringkali tidak memberikan civil effect bagi alumninya. Munculnya fenomena ini, selain karena faktor pasar bertemunya permintaan dan penawaran, juga bisa dilihat sebagai sebuah simbiose mutualisme antara pengguna jasa dan penyedia jasa. Disatu pihak, pengguna jasa, yakni peserta diklat, sering dihadapkan pada permasalahan seperti kelelahan, konsentrasi yang terbelah karena masih menjalankan tugas-tugas kantor, keterbatasan dalam mengoperasikan komputer (gaptek) khususnya pemakaian aplikasi vensim atau supersim, atau memang kadar inteligensia yang pas-pasan. Untungnya, pihak yang mengalami permasalahan ini pada umumnya memiliki kemampuan finansial menengah keatas. Pada pihak lain, terdapat sekelompok terpelajar yang memiliki kemampuan akademis cukup tinggi namun belum memiliki sumber penghasilan yang permanen dan memadai kebutuhan hidupnya. Maka, ibarat botol ketemu tutupnya, atau keris ketemu warangkanya, atau mur ketemu bautnya, terjadilah interaksi dan transaksi yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Yang mengejutkan, tarif jasa intelektual ini lumayan murah, “hanya” berkisar antara 3 hingga 3,5 juta untuk seluruh produk individual, mulai dari TOR KTP-2, DIT 3 kajian (paradigma, kebijakan publik, dan manajemen strategis), serta KTP-2 itu sendiri. Tentu, peserta juga akan dibantu dalam hal penyiapan slide presentasinya. Dengan harga yang sangat kompetitif ini, orang yang tadinya tidak berminat-pun jadi tergoda untuk memanfaatkan jasa si “hantu penulis”. Godaan akan semakin besar ketika kita tahu bahwa para “hantu” tadi bukanlah orang sembarangan, namun dapat dikatakan professional baik dalam manajemen operasionalnya maupun SDM pelakunya. Bukti bahwa mereka bukan orang biasa, mereka memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengaplikasikan tools dan teknik-teknik analisis manajemen yang diajarkan pada Diklatpim II, padahal mereka tidak pernah mengikuti Diklatpim II sebelumnya. Lebih Page | 31