SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  18
Télécharger pour lire hors ligne
Teori Psikologi dalam Pembelajaran
                               Bahasa Inggris*)


A. Pendahuluan

        Manusia berkomunikasi      dengan kuantitas     yang   tidak terhingga    dalam
kehidupanya sehari-hari. Segela aktivitas manusia tidak akan pernah terjadi tanpa adanya
proses komunikasi, baik komunikasi verbal maupun non-verbal dalam rangka
menyampaikan gagasan, pikiran, persaan dan pendapatnya. Sejak dimulai dari bangun
tidur hingga tidur kembali di malam hari, bisa dibayangkan berapa kali seseorang
mendengar dan berbicara, berapa lama ia membaca koran atau membaca berbagai macam
iklan komersial di jalan-jalan, berapa lama ia menulis surat, laporan, tulisan ilmiah dan
sebagainya, berapa kali dan berapa lama dosen menjelaskan kuliah di dalam kelas dan
berapa lama dan berapa kali pula mahasiswa mendengarkan dan menanyakan hal-ihwal
perkuliahan kepada dosen atau teman sekelasnya. Jika dihitung ternyata banyak sekali
waktu yang digunakan seseorang untuk berkomunikasi dalam aktivitasnya selama satu
hari.

        Secara garis besar ada dua macam bentuk komunikasi, yaitu komunikasi verbal
dan komunikasi non-verbal. Komunikasi verbal adalah suatu bentuk komunikasi untuk
menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan yang dimiliki seseorang kepada orang lain
secara lisan. Sedangkan bentuk komunikasi yang kedua adalah bentuk komunikasi yang
tidak diucapkan secara lisan, tetapi komunikasi itu terjadi melalui tanda-tanda
komunikatif, misalnya tulisan, gerak tubuh, rambu-rambu (misalnya rambu-rambu lalu
lintas) dan sebagainya. Jenis komunikasi yang kedua tampaknya tidak banyak perbedaan
antara satu tempat dan tempat yang lain atau antara satu negara dengan negara yang lain
karena bentuk komunikasi yang kedua ini lebih banyak terjadi karena adanya konsensus
atau bahkan proses ratifikasi antarnegara, misalnya komunikasi dalam bentuk rambu-
rambu lalu-lintas. Merahnya lampu pengatur di perempatan jalan, berarti para pengguna
jalan itu harus berhenti, lampu kuning berarti harus hati-hati, dan lampu hijau berarti
boleh berjalan kembali. Masih banyak lagi komunikasi non-verbal lainnya yang banyak
berlaku di berbagai negara. Tetapi hal itu tidak bisa dengan mudah terjadi dalam bentuk
komunikasi verbal, karena bentuk komunikasi ini berkaitan erat dengan bahasa yang
digunakan sebagai alat komunikasi.

          Peserta didik di sekolah dasar atau menengah dan bahkan mahasiswa di perguruan
tinggi di Indonesia akan bisa belajar dengan baik jika bahasa yang digunakan oleh guru
dan dosen untuk menjelaskan materi pelajaran di kelas adalah bahasa Indonesia. Hal ini
bisa terjadi karena bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang digunakan sebagai
alat komunikasi verbal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Tetapi kenyataan akan
berbeda jika bahasa yang digunakan untuk menjelaskan bahan ajar itu adalah bahasa
Inggris, karena bahasa Inggris berposisi sebagai bahasa asing yang tidak banyak dikuasai
sebagai alat komunikasi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

          Posisi bahasa Inggris sebagai bahasa asing bagi masyarakat Indonesia membuat
bahasa ini tidak banyak dikuasai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Tidak sedikit
peserta didik maupun mahasiswa yang banyak mengalami kesulitan untuk bisa
berkomunikasi dengan bahasa ini. Mereka menganggap bahasa ini sebagai bahasa yang
sulit dipelajari karena beberapa alasan, misalnya bunyi verbal bahasa Inggris yang
tampak sangat berbeda dengan tanda tulisannya. Hal ini berbeda dengan bunyi verbal
bahasa Indonesia yang tidak banyak berbeda dengan tanda tulisannya. Alasan lain adalah
penguasaan kosa kata bahasa Inggris oleh peserta didik yang sangat terbatas dan
penguasaan grammar yang terbatas pula. Alasan lain yang sangat krusial adalah strategi
yang digunakan oleh guru dalam mengajarkan bahasa ini (desain pembelajaran dan
metode mengajar) terkesan monoton dan kurang memberi tantangan bagi siswa untuk
bisa menguasai bahasa Inggris ini dengan baik. Guru kurang memahami karakteristik
peserta     didik   karena   lemahnya   kemampuan    psikologis   guru   untuk   mampu
mengidentifikasi kebutuhan peserta didik dalam belajar bahasa.

          Berkaitan dengan masalah terakhir dalam mengajarkan bahasa Inggris di sekolah,
terutama bagi peserta didik di sekolah dasar dan menengah, guru diharuskan mempunyai
kemampuan strategis psikologis untuk mengidentifikasi bagaimana dan kapan para
peserta didik mampu belajar bahasa Inggris dengan baik. Kemampuan ini akan
memudahkan bagi guru untuk menciptakan strategi, metode dan media pembelajaran
yang tepat, sehingga peserta didik merasa tertarik dan tertantang untuk bisa menguasai
bahasa Inggris ini dengan baik. Belajar dan mengajar bahasa asing jelas membutuhkan
strategi yang berbeda dengan ketika peserta didik belajar dan guru mengajarkan bahasa
Indonesia sebagai bahasa ibu atau bahasa nasional. Guru perlu memahami aspek-aspek
psikologis peserta didik agar mampu menciptkan proses pembelajaran yang lebih
bermakna. Untuk bisa memahami aspek-aspek psikologis peserta didik dalam belajar
bahasa, maka diperlukan pengetahuan guru yang memadai terhadap teori-teori psikologi
yang relevan untuk mengajar bahasa. Pengetahuan guru terhadap teori-teori psikologi
juga akan mengarahkan guru untuk mampu mengidentifikasi kapan dan dengan cara
bagaimana peserta didik bisa belajar bahasa dengan baik. Dengan demikian,
pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing selain dilakukan berdasarkan
pertimbangan filosofis-teoritis juga dilakukan berdasarkan pertimbangan psikologis.

B. Pertimbangan Filosofis-teoritis

        Pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing, terutama di lingkungan
pendidikan formal, dilakukan melalui dua pertimbangan sekaligus, yaitu pertimbangan
filosofis-teoritis   dan   pertimbangan   psikologis.   Pertimbangan     filosofis-teoritis
dilaksanakan berdasarkan asumsi bahwa bahasa Inggris sebagai alat komunikasi harus
diajarkan kepada pembelajar bahasa non-penutur asli (non-native speaker) sesuai dengan
kaidah bahasa yang berlaku dimana bahasa Inggris itu digunakan oleh penutur asli
(native speaker). Bahasa, seperti juga bahasa Inggris, adalah terikat dengan budaya
masyarakat penutur asli bahasa itu sendiri. Peserta didik harus dididik dan dilatih untuk
mengetahui dan menempuh tahap-tahap pembicaraan yang terstruktur sesuai dengan
budaya penutur asli bahasa Inggris.

        Bahasa sebagai alat komunikasi pada dasarnya banyak menggunakan tanda-tanda
(signs) berupa bunyi dan huruf. Keduanya tentu tidak diucapkan atau ditulis secara acak
tanpa aturan baku; ada aturan yang harus dipatuhi agar tanda tersebut dimengerti orang
lain. Aturan tersebut adalah code yang dalam linguistik disebut tata bahasa atau
grammar. Bunyi dan tulisan yang digunakan menurut aturan yang berlaku di masyarakat
dalam konteks budaya yang sama. Dengan demikian, bahasa disebut juga sebagai sebuah
sistem semiotika sosial (Halliday, 1978). Ini adalah salah satu cara dalam memandang
bahasa, yaitu bahasa sebagai suatu sumber yang digunakan oleh masyarakat sebagai
sebagai alat interaksi sosial. Sekarang kita lihat bagaimana bahasa bisa digunakan
sedemikian rupa sehingga manusia normal tidak dapat hidup bermasyarakat tanpa bahasa.

       Pendekatan filosofis-teoritis menempatkan bahasa sebagai seperangkat aturan (set
of rules) yang memang sudah ada dalam otak manusia (Chomsky, 1965). Ketika
seperangkat aturan yang dibawa sejak lahir tersebut dihadapkan pada data atau bahasa
yang didengar disekitarnya, maka ‘perangkat’ yang ada di otak akan menyesuaikan atau
‘dicetak’ sesuai dengan bahasa tersebut. Ini adalah cara memandang bahasa dari sudut
psikologi. Yang perlu dicatat adalah bahwa kedua cara pandang, yakni dari segi
semiotika sosial dan psikologi tidak bertentangan, bahkan keduanya saling mengisi.

C. Pertimbangan Psikologis

       Pertimbangan psikologis berangkat dari asumsi bahwa bahasa harus diajarkan
kepada para peserta didik sesuai dengan metode dan strategi tertentu, sehingga belajar
bahasa menjadi suatu aktivitas yang menyenangkan dan menarik bagi peserta didik.
Strategi   untuk   menciptakan   proses   pembelajaran   bahasa   yang    menarik    dan
menyenangkan bagi peserta didik bisa dilaksanakan dengan optimal jika guru banyak
memahami aspek-aspek psikologis peserta didik dalam belajar bahasa.

       Penguasaan teori psikologi yang baik oleh guru sangat membantu untuk bisa
memahami aspek-aspek psikologis peserta didik dalam belajar. Peran teori psikologi
dalam pembelajaran bahasa ini lebih banyak dipelajari dalam bidang psikolinguistik.
Cameron (dalam Helena, 2004) telah banyak mengulas teori psikologi dari tiga ahli
terkemuka , yaitu Piaget, Vygotsky dan Bruner yang menjadi acuan dalam pendidikan
bahasa masa kini. Teori psikologi dari tiga ahli ini ternyata mempunyai relevansi dan
kontribusi yang sangat baik dalam pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing.
Secara singkat relevansi dan kontribusi ketiga teori psikologi ini dalam pembelajaran
bahasa akan dibahas pada bagian berikut tulisan ini.

1. Teori Psikologi Piaget

Piaget dalam teorinya memandang anak sebagai individu (pembelajar) yang aktif.
Perhatian utama Piaget tertuju kepada bagaimana anak-anak dapat mengambil peran
dalam    lingkungannya      dan    bagaimana   lingkungan   sekitar   berpengaruh   pada
perkembangan mentalnya. Menurut Piaget (dalam Helena, 2004), anak senantiasa
berinteraksi dengan sekitarnya dan selalu berusaha mengatasi masalah-masalah yang
dihadapinya di lingkungan itu. Melalui kegiatan yang dimaksudkan untuk memecahkan
masalah itulah pembelajaran terjadi. Piaget tidak memberikan penekanan terhadap
pentingnya bahasa dalam perkembangan kognoitif anak. Bagi Piaget bukan
perkembangan bahasa pertama yang paling fundamental dalam perkembangan kognitif
melainkan aktivitas atau action.

        Menurut psikologi Piaget, dua macam perkembangan dapat terjadi sebagai hasil
dari beraktivitas, yaitu asimilasi dan akomodasi. Suatu perkembangan disebut asimilasi
jika aktivitas terjadi tanpa menghasilkan perubahan pada anak, sedangkan akomodasi
terjadi jika anak menyesuaikan diri terhadap hal-hal yang ada di lingkungannya.
Misalnya menurut contoh Cameron (2001), ketika anak sudah bisa menggunakan sendok
dan kemudian diberi garpu dan dia menggunakan garpu (alat makan baru) sebagaimana ia
menggunakan sendok yang berfungsi sebagai alat makan yang dikenal sebelumnya,
berarti ia telah melakukan asimilasi. Akan tetapi, ketika ia sadar bahwa dengan garpu ia
memiliki kesempatan untuk makan dengan cara menusukkan garpu ke makanan dan
bukan cuma menyendoknya. Dengan demikian, anak itu telah melakukan akomodasi.

        Pada mulanya asimilasi dan akomodasi merupakan proses adaptasi perilaku yang
kemudian menjadi proses berpikir. Akomodasi merupakan konsep penting yang
kemudian dipertimbangkan dalam dunia pembelajaran bahasa yang dikenal dengan
sebutan restructuring. Istilah ini mengacu kepada reorganisasi representasi mental dalam
sebuah bahasa (McLaughlin, 1992). Maksudnya, anak telah memiliki pola-pola bahasa
dalam pikirannya, tetapi ketika dihadapkan kepada fakta bahasa (pola) baru dan fakta
baru tersebut memiliki potensi untuk berkomunikasi dengan cara berbeda, maka anak
melakukan penyesuaian dengan pola-pola baru.

       Menurut pandangan Piaget, pikiran anak berkembang perlahan-lahan seiring
dengan pertumbuhan pengetahuan dan keterampilan intelektualnya hingga sampai ke
tahap berpikir logis dan formal. Akan tetapi, pertumbuhan ditandai dengan perubahan-
perubahan mendasar tertentu yang menyebabkan anak mampu melampaui serangkaian
tahapan yang dimaksud. Pada setiap tahap, anak mampu berpikir memikirkan hal-hal
tertentu, tetapi tidak atau belum mampu memikirkan hal-hal yang lain. Jadi, menurut
Piaget, berpikir melibatkan hal-hal yang abstrak dan menggunakan jalur logika belum
mampu dilakukan anak sebelum ia berusia 11 tahun atau lebih.

       Pendapat ini banyak dikritik karena ketika diakhir tahun 70an dan di awal tahun
80an diterapkan kebijakan bahwa anak-anak harus terlebih dahulu melakukan srangkaian
kegiatan yang menyiapkan mereka untuk menulis kalimat yang memakan waktu lama,
anak akan kehilangan kesempatan untuk mengalami proses yang holistik atau
menyeluruh. Proses holistik tersebut ialah proses yang menyadarkan anak bahwa tujuan
menulis adalah komunikasi dan bukan berlatih menulis bentuk huruf semata. Aspek
komunikasi inilah yang merupakan aspek sosial dari kegiatan menulis, dan aspek ini yang
terabaikan oleh Piaget. Piaget lebih memperhatikan anak dalam dunianya sendiri, dan
bukan anak yang berkomunikasi dengan orang dewasa atau dengan anak lain.

       Ada pendapat Piaget yang penting, yaitu anak sebagai pembelajar dan pemikir
yang aktif, yang membangun pengetahuannya dengan ‘bergulat’ dengan benda-benda
atau gagasan-gagasan. Jika kita mengambil gagasan Piaget bahwa anak beradaptasi
dengan lingkungannya, kita dapat melihat bagaimana lingkungan dapat menjadi setting
untuk perkembangan. Lingkungan menawarkan berbagai kesempatan kepada anak untuk
bertindak. Oleh karenanya, lingkungan kelas, misalnya, dapat menjadi ajang kegiatan dan
kreativitas yang menyebabkan pembelajaran terjadi. Berdasarkan pendapat ini,
pembelajaran bahasapun dapat terjadi jika lingkungan kelas maupun sekitarnya
dimanfaatkan sedemikian rupa agar menawarkan berbagai kesempatan bagi keterlibatan
dan kreativitas peserta didik.

2. Teori Psikologi Vygotsky

       Pakar psikologi lain, Vygotsky (1962, 1978), memberikan pandangan berbeda
dengan Piaget terutama pandangannya tentang pentingnya faktor sosial dalam
perkembangan anak. Vygotsky memandang pentingnya bahasa dan orang lain dalam
dunia anak-anak. Meskipun Vygotsky dikenal sebagai tokoh yang memfokuskan kepada
perkembangan sosial yang disebut sebagai sosiokultural, dia tidak mengabaikan individu
atau perkembangan kognitif individu. perkembangan bahasa pertama anak tahun kedua di
dalam hidupnya dipercaya sebagai pendorong terjadinya pergeseran dalam perkembangan
kognitifnya. Bahasa memberi anak sebuah alat baru sehingga memberi kesempatan baru
kepada anak untuk melakukan berbagai hal, untuk menata informasi dengan
menggunakan simbol-simbol. Anak-anak sering terlihat berbicara sendiri dan mengatur
dirinya sendiri ketika ia berbuat sesuatu atau bermain. Ini disebut sebagai private speech.
Ketika anak menjadi semakin besar, bicaranya semakin lirih, dan mulai membedakan
mana kegiatan bicara yang ditujukan ke orang lain dan mana yang ke dirinya sendiri.

       Yang mendasari teori Vygtsky adalah pengamatan bahwa perkembangan dan
pembelajaran terjadi di dalam konteks sosial, yakni di dunia yang penuh dengan orang
yang berinteraksi dengan anak sejak anak itu lahir. Ini berbeda dengan Piaget yang
memandang anak sebagai pembelajar yang aktif di dunia yang penuh orang. Orang-orang
inilah yang sangat berperan dalam membantu anak belajar dengan menunjukkan benda-
benda, dengan berbicara sambil bermain, dengan membacakan ceritera, dengan
mengajukan pertanyaan dan sebagainya. Dengan kata lain, orang dewasa menjadi
perantara bagi anak dan dunia sekitarnya.

       Kemampuan belajar lewat instruksi dan perantara adalah ciri inteligensi manusia.
Dengan pertolongan orang dewasa, anak dapat melakukan dan memahami lebih banyak
hal dibandingkan dengan jika anak hanya belajar sendiri. Konsep inilah yang disebut
Vygotsky sebagai Zone of Proximal Development (ZPD). ZPD memberi makna baru
terhadap ‘kecerdasan’. Kecerdasan tidak diukur dari apa yang dapat dilakukan anak
dengan bantuan yang semestinya. Belajar melakukan sesuatu dan belajar berpikir
terbantu dengan berinteraksi dengan orang dewasa.

       Menurut Vygotsky, pertama-tama anak melakukan segala sesuatu dalam konteks
sosial dengan orang lain dan bahasa membantu proses ini dalam banyak hal. Lambat
laun, anak semakin menjauhkan diri dari ketergantungannya kepada orang dewasa dan
menuju kemandirian bertindak dan berpikir. Pergeseran dari berpikir dan berbicara
nyaring sambil melakukan sesuatu ke tahap berpikir dalam hati tanpa suara disebut
internalisasi. Menurut Wretsch (dalam Helena, 2004) internalisasi bagi Vygotsky
bukanya transfer, melainkan sebuah transformasi. Maksudnya, mampu berpikir tentang
sesuatu yang secara kualitatif berbeda dengan mampu berbuat sesuatu. Dalam proses
internalisasi, kegiatan interpersonal seperti bercakap-cakap atau berkegiatan bersama,
kemudian menjadi interpersonal, yaitu kegiatan mental yang dilakukan oleh seorang
individu.

       Banyak gagasan Vygotsky yang dapat membantu dalam membangun kerangka
berpikir untuk mengajar bahasa asing bagi anak-anak. Untuk membuat keputusan apa
yang bisa dilakukan guru agar mendukung pembelajaran kita dapat menggunakan
gagasan bahwa orang dewasa menjadi perantara. “Lalu … apalagi yang dapat dipelajari
anak-anak?”. Ini dapat berdampak pada bagaimana menyiapkan pelajaran atau bagaimana
guru harus berbicara dengan peserta didik setiap saat. ZPD dapat menjadi pemandu
dalam memilih dan menyusun pengalaman pembelajaran bagi peserta didik untuk
membantu mereka maju dari tahap interpersonal ke intrapersonal. Kita membantu peserta
didik agar internalisasi terjadi sehingga bahasa baru yang diajarkan menjadi bagian dari
pengetahuan dan keterampilan berbahasa anak.

3. Teori Psikologi Bruner

       Menurut Bruner (dalam Helena, 2004) bahasa adalah alat yang paling penting
bagi pertumbuhan kognitif anak. Bruner meneliti bagaimana orang dewasa menggunakan
bahasa untuk menjembatani dunia sekitar dengan anak-anak dan membantu mereka
memecahkan masalah. Pembicaraan atau “omongan” yang mendukung anak dalam
melakukan kegiatan disebut scaffolding talk. Scaffolding talk atau omongan guru yang
digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan di kelas, dapat berlangsung mulai dari
memeriksa presensi sampai membubarkan kelas. Ketika scaffolding talk itu terjadi dalam
pembelajaran bahasa Inggris, maka semua itu juga harus dilakukan dalam bahasa Inggris
pula. Dalam sebuah ekxperimen yang dilakukan terhadap ibu-ibu dan anak-anak di
Amerika, orang tua yang melakukan scaffolding talk secara efektif biasa melakukan hal-
hal sebagai berikut:

   •   Mereka membuat anak tertarik kepada tugas-tugas yang diberikan;
   •   Mereka membuat tugas menjadi lebih sederhana, seringkali dengan memecah-
       mecah tugas menjadi langkah-langkah yang lebih kecil;
   •   Mereka mampu mengarahkan anak kepada penyelesaian tugas dengan
       mengingatkan anak tentang tujuan utamanya;
   •   Mereka menunjukkan apa-apa yang penting untuk dikerjakan, atau menunjukkan
       bagaimana melakukan bagian-bagian dari tugas itu;
   •   Mereka menunjukkan bagaimana tugas itu dapat dilakukan dengan sebaik-
       baiknya.

Wood (1998) menyarankan bahwa guru dapat mendukung (scaffold) pembelajaran
(bahasa Inggris sebagai bahasa asing) kepada anak dengan berbagai cara sebagai berikut:


 Guru dapat membantu peserta didik Dengan cara ………
 ………..
 Menunjukkan apa yang relevan           - memberi saran

                                        - memuji yang perlu dipuji

                                        - memfokuskan kegiatan
 Menggunakan strategi yang berguna      - mendorong adanya latihan

                                        - membuat aturan yang jelas dan

                                       Eksplisit
 Mengingat      seluruh   tugas    dan - mengingatkan
 tujuannya
- memberi model

                                        - memberi kegiatan menyeluruh

                                        dan bagian-bagian kegiatannya.

Setiap strategi ini dapat diterapkan dalam pembelajaran bahasa. Prinsip “membantu
peserta didik untuk memperhatikan hal-hal yang penting” dapat selalu diterapkan dalam
berbagai kesempatan dan ini mendukung pendapat Schmidt (dalam Helena, 2004)
mengenai apa yang disebut dengan noticing.

       Ketika guru mengarahkan perhatian anak agar selalu mengingat tugas utamanya,
sebenarnya guru membantu peserta didik melakukan sesuatu yang belum dapat mereka
lakukan sendiri. Ketika anak sedang asyik memperhatikan bagian-bagian dari tugas atau
aspek-aspek bahasa, ada kemungkinan mereka lupa akan tujuan komunikatif bahasa
karena terbatasnya kemampuan mereka dalam hal memperhatikan. Tugas guru adalah
menjaga agar perhatian anak kepada hal-hal yang penting tidak “terbelokkan” ke hal atau
kegiatan yang dimaksudkan sebagai penunjang.

       Gagasan Bruner yang lain yang sangat relevan dan berguna bagi pembelajaran
bahasa adalah mengenai format and routine. Kedua hal ini mengacu pada kebiasaan-
kebiasaan yang memungkinkan kegiatan scaffolding terjadi. Scaffolding adalah aktivitas
guru, baik secara fisik maupun verbal, yang dilakukan secara rutin sehingga anak menjadi
terbiasa dengan kegiatan atau ungkapan-ungkapan guru waktu pelajaran berlangsung.
Jadi, ketika anak terbiasa dengan pola kegiatan atau bahasa guru, mereka merasa
“nyaman” dan percaya diri dan mereka menjadi siap untuk menerima hal-hal yang baru.
Caontoh yang paling menonjol yang diberikan Bruner adalah kebiasaan membaca ceritera
atau story reading yang dilakukan orang tua di Amerika kepada anak-anaknya. Tentu
saja, ketika anak bertambah usia, buku cerita yang digunakan juga berubah, tetapi format
kegiatannya masih serupa. Dalam kegiatan ini, orang dewasalah yang banyak bicara baik
ketika membaca ceritera (yang sering diberi ilustrasi gambar-gambar) maupun sambil
memberi pertanyaam atau instruksi kepada anak-anak, seperti “Coba lihat ini…
hidungnya besar, kan?”. Dengan cara ini keterlibatan anak dalam berbicara akan
meningkat pula. Jika orang tua atau guru banyak melakukan pembacaan ceritera, maka
guru akan banyak melakukan pengulangan ungkapan-ungkapan yang semakin lama
semakin canggih yang dipahami oleh peserta didik. Kegiatan membaca certera ini
ditunjang oleh orang dewasa agar anak dapat berpartisipasi sesuai dengan tingkat
kemampuannya.

       Dengan kata lain penggunaan bahasa yang dilakukan secara rutin menjadi mudah
ditebak; anak mudah menebak apa yang dikatakan guru dan anak akan dapat lebih mudah
merespon perkataan guru. Di sini terdapat “ruang” tempat anak dapat mempraktikkan
bahasanya sendiri. “Ruang untuk tumbuh” atau space of growth ini menjadi zone of
proximal development (ZPD) sebagaimana ada dalam teori Vygotsky. Menurut Bruner,
kegiatan rutin dan penyesuaian-penyesuain inilah yang menyediakan tempat bagi
perkembangan bahasa dan kognitif anak.

       Jika gagasan ini diterapkan di dalam kelas, dapat dilihat bagaimana kegiatan rutin
yang terjadi di setiap hari dapat menjadi ajang terbentuknya perkembangan bahasa.
Misalnya saja ketika guru melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan pengalaman
pembelajaran dan memerlukan partisipasi peserta didik untuk membagi gunting dan
sebagainya, guru sebaiknya menggunakan bahasa Inggris sperti, “John, please give out
the scissors. Martha, give out the paper.” Kepada peserta didik yang kurang pandai.
Kepada anak yang lebih pandai, instruksinya bisa lebih rumit, misalnya “Sam, please ask
everyday if they want white paper or black paper”. Jika ini sering dilakukan maka
peserta didik akan semakin memahami instruksi-instruksi lama dan belajar memahami
instruksi baru melalui konteks. Meningkatnya kesulitan instruksi inilah yang memberikan
ruang untuk pertumbuhan. Ketika bahasa yang digunakan guru berada dalam lingkup
ZPD anak, ia dapat memahaminya sehingga proses internalisasi dapat berlangsung.
Kesimpulannya, hal-hal yang rutin termasuk ungkapan-ungkapan, seperti instruksi,
membuka kesempatan bagi berkembangnya keterampilan bahasa.

4. Implikasi Praktis
Teori psikologi yang diuraikan di atas berimplikasi atau berdampak langsung
terhadap apa yang selayaknya dilakukan oleh guru dalam mengajar bahasa Inggris
sebagai bahasa asing di kelas.

       Dari teori Piaget dapat disimpulkan bahwa pembelajaran memang terjadi
bertahap, tetapi ini bukan berarti bahwa pembelajaran yang holistik tidak dapat terjadi
jika tahap-tahap pembelajaran tersebut tidak dilalui secara sistematis. Dengan kata lain,
dalam merencanakan kegiatan belajar mengajar guru bisa saja menyusun materi dari yang
paling mudah hingga yang paling sulit menurut versi atau pandangan guru. Akan tetapi,
dalam komunikasi nyata seringkali apa yang dianggap sulit secara teoritis justru banyak
digunakan dan anak dapat memperolehnya dengan mudah karena materi tersebut sering
didengarnya lewat televisi. Frasa-frasa yang secara gramatikal termasuk “canggih”
seperti fried chicken, video rental, sea food, American Idol, MTV Hit Lists, MTV Cribs
Cyber Cafe, shopping mall, supermarket, hand-and-body lotion, thinner, eye shadow,
body suit, laundry dan sebagainya menjadi mudah bagi peserta didik dan mereka dapat
menggunakkanya sesuai konteks. Kemampuan ini menunjukkan bahwa mereka merasa
nyaman menggunakan istilah-istilah dalam bahasa Inggris bukan sebagai hasil
menganalisis dan memahami struktur frasanya, melainkan karena kata-kata tersebut
sudah menjadi bagian rutin masyarakat. Di jaman televisi yang banyak menampilkan
bahasa Inggris, anak-anak remaja bisa dengan mudah mempelajari ungkapan-ungkapan
seperti It’s cool, isn’t it?, Come on, guys…, Stay tuned! Check it out! dan sebagainya.

       Di sisi lain bisa dilihat juga bahwa pola kalimat simple present tense termasuk
pola kalimat yang paling sederhana dan mudah dihapal. Akan tetapi, penggunaan simple
present tense dalam komunikasi baik lisan maupun tulis sulit dikatakan mudah atau
sederhana. Buku-buku ajar yang beredar di pasaran banyak mengandung kesalahan
penggunaan pola ini; pola kalimatnya benar, tetapi konteks penggunaannya tidak sesuai.
Adalah menjadi tugas guru untuk memanfaatkan potensi anak sebagai pemikir untuk
tidak hanya menghafal rumus melainkan menggunakan rumus dalam konteks yang tepat
lewat berbagai kegiatan pembiasaan.
Teori Vygotsky tentang Zone of Proximal Development menekankan betapa
perang guru sangat dibutuhkan dalam rangka terjadinya pembelajaran yang optimal.
Dikatakan bahwa anak atau peserta didik memiliki kapasitas atau potensi untuk belajar
sendiri (seperti teori Piaget), tetapi belajar yang optimal terjadi karena anak mendapat
pertolongan dari orang dewasa yang ada di sekitarnya. Pembelajaran terjadi karena
adanya interaksi dengan lingkungan sosialnya. Penelitian Halliday mengenai bagaimana
anak kecil ber(tukar) makna (learning how to mean) memberikan ilustrasi yang bernilai
terhadap teori Vygotsky ini.

       Bahasan ini menunjukkan betapa pentingnya bagi guru untuk merencanakan
kegiatan belajar mengajar yang seksama. Rencana tersebut secara eksplisit perlu
mencantumkan kegiatan apa yang akan dilakukan atau pengalaman pembelajaran apa
yang akan diberikan dan untuk tujuan apa. Rencana pengajaran tersebut diharapkan
secara serius mempertimbangkan jenis-jenis interaksi di dalam kelas yang menjadikan
kelas sebagai ZPD. Implikasinya ialah bahwa guru memang masih perlu menjelaskan
pola kalimat, melakukan drill jika perlu melatih ucapan, tetapi sebagian besar waktu
sebaiknya dimanfaatkan semaksimal mungkin agar terjadi macam interaksi.

       Teori Burner juga mendukung gagasan Vygotsky. Gagasan Bruner tentang
scaffolding atau memberikan kegiatan-kegiatan pendukung dalam upaya terjadinya
internalisasi sangat relevan dengan pendidikan bahasa. Di bidang ini, kegiatan
scaffolding secara verbal merupakan keniscayaan jika pendidikan bahasa dimaksudkan
sebagai pendidikan komunikasi. Sayangnya, justru scaffolding talk atau “omongan” guru
yang diharapkan menyertai seluruh proses pembelajaran bahasa Inggris sering tidak
muncul di dalam kelas. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa guru berbahasa Inggris
hanya kalau sedang membaca bacaan, pertanyaan yang ada di buku dan instruksi-
instruksi tertulis. Kegiatan lain diselenggarakan dalam bahasa Indonesia. Misalnya,
memeriksa kehadiran peserta didik, mengatur atau mengelola kelas, memberi komentar-
komentar; semuanya dilakukan dalam bahasa Indonesia. Padahal, justru ungkapan-
ungkapan bahasa Inggris yang “bukan pelajaran” inilah yang potensial untuk membangun
ZPD, menanamkan kebiasaan, dan memungkinkan terjadinya internalisasi.
Implikasinya, jika guru berharap agar peserta didik dapat berkomunikasi dalam
bahasa Inggris dengan baik, maka guru harus bebahasa Inggris di kelas sebab scaffolding
talk atau “omongan yang bukan pelajaran” inilah yang bisa menciptakan pembiasaan
untuk berkomunikasi berbahasa Inggris bagi peserta didik. Kelemahan umum guru-guru
bahasa Inggris di Indonesia dalam hal melakukan scaffolding talk perlu disadari dengan
benar, karena kenyataanya guru-guru yang mengajar bahasa Inggris tetapi di dalam kelas
justru lebih banyak berbicara dalam bahasa Indonesia. Keaadaan ini memang terdengar
ironis. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa kurikulum harus menyesuaikan dengan
keadaan guru. Dengan kurikulum ini guru didorong untuk meningkatkan dirinya karena
belajar bahasa berlangsung seumur hidup.

       Implikasi lain, terutama teori Vygotsky, tampaknya terjadi pula pada pandangan
para pengikut konstruktivisme dalam pembelajaran (bahasa). Seperti telah disinggung di
depan bahwa menurut teori Vygotsky, anak-anak dibesarkan di dalam suatu setting
kelompok sosial. Vygotsky memandang pentingnya kultur dan pentingnya konteks sosial
bagi perkembangan kognitif. Menurut Vygotsky, atau dengan cara pandang
konstruktivisme ini, anak-anak atau peserta didik dengan pertolongan orang dewasa dapat
menguasai konsep-konsep atau gagasan-gagasan yang mereka tidak bisa pahami sendiri.
Annie Susany (2002) menyatakan bahwa dalam visi konstruktivisme terdapat empat
pandangan utama yang diyakini oleh para pendukungnya, yaitu:

a) Belajar dan berkembang adalah bersifat sosial, sehingga belajar merupakan suatu
   kegiatan kolaboratif;

b) “The Zone of Proximal Development” dapat bertindak sebagai suatu pegangan untuk
   rencana kurikuler dan mata pelajaran;

c) Pengajaran di sekolah seyogyanya terjadi dalam suatu konteks yang bermakna
   (meaningful context) dan tidak bisa dipisahkan dari pengajaran serta pengetahuan
   yang dikembangkan oleh para peserta didik dan “dunia nyata”;

d) Pengalaman-pengalaman di luar sekolah hendaknya dihubungkan dengan pengalaman-
   pengalaman para peserta didik (anak-anak) di dalam lingkungan sekolah.
ZPD dalam hal ini merupakan suatu gagasan yang memandang bahwa potensi
perkembangan kognitif seseorang terbatas pada suatu waktu tertentu saja. ZPD ini bisa
dikembangkan secara terus menerus dan memerlukan interaksi sosial. ZPD menurut
Vygotsky sebagai jarak antara tingkat perkembangan dengan tingkat potensi
perkembangan yang dimiliki seseorang. Berdasarkan pada konsep ini, seorang guru bisa
menawarkan suatu tujuan yang mungkin sulit dicapai oleh para peserta didik atau anak-
anak dan kemudian mereka ini berusaha untuk mencapainya sendiri atau dengan bantuan
anak-anak lain yang lebih dewasa. Vigotsky memandang bermain sebagai faktor atau
sarana yang sangat penting dalam belajar.

       Berdasarkan prinsisp-prinsip teori Vygotsky seperti telah dibicarakan di atas,
terdapat sejumlah kegiatan dalam kelas bahasa (termasuk kelas bahasa Inggris sebagai
bahasa asing) yang bisa dijadikan tempat atau kesempatan untuk menerapkan gagasan
konstruktivisme ini. Beberapa contoh kegiatan itu misalnya:

a) Kegiatan workshop membaca dan menulis

       Di dalam workshop, peserta didik atau anak-anak yang kurang menguasai pokok
bahasan akan lebih dahulu mendengarkan dan belajar dari mereka yang lebih mampu.
Setelah mendengarkan dan mengikuti penjelasan tentang subject matter, maka peserta
didik yang belum mampu itu akan mencoba melakukan sendiri atau dibantu dengan yang
lebih mampu. Secara bertahap akhirnya mereka akan bisa melakukannya sendiri.

b) Kegiatan belajar empat keterampilan bahasa

       Dalam belajar atau proses pengajaran bahasa, keempat kemampuan dasar;
listening, speaking, reading, dan writing, dilakukan di dalam kelas. Peserta didik-peserta
didik yang kurang menguasai bisa disatukan dengan yang lebih menguasai materi
pelajaran bahasa. Dengan demikian terjadi semacam proses belajar dari teman secara
tidak langsung.

c) Kegiatan belajar berdasarkan situasi
Situasi tidak selalu cocok dengan kebutuhan belajar. Bagaimana cara
mengatasinya? Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah melalui pendekatan dan
kegiatan konstruktivistik, misalnya hal ini bisa dilakukan di daerah-daerah terpencil yang
kekurangan guru. Peserta didik yang pandai diminta membantu guru untuk mengajarkan
pengetahuan yang telah dimiliki (dikuasai) kepada peserta didik lain yang belum
menguasainya.

d) Kegiatan belajar kolaboratif

       Belajar kolaboratif bisa terjadi di dalam kelas (suasana intra kurikuler) maupun
ekstra kurikuler. Bentuk belajar kolaboratif ini bisa dilakukan dalam kelas writing bagi
peserta didik SMP, SMA atau bahkan mahasiswa di PT. Peserta didik atau mahasiswa
diminta untuk mencari dua atau tiga “kolaborator” yang akan saling mengoreksi
pekerjaan masing-masing untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan
dengan mekanik penulisan (mechanic writing), kesalahan-kesalahan kecil, dan tidak
dalam content (yang merupakan wewenang guru atau dosen untuk melakukannya).

e) Kegiatan instruksi yang memberikan bantuan (anchored instruction).

       Instruksi bisa berbentuk task-based yang dilakukan melalui sistem konsultasi
dengan guru. Dengan demikian, suatu tugas tidak hanya dimulai dari suatu instruksi yang
kaku dan diserahkan sepenuhnya kepada peserta didik, akan tetapi tugas yang diberikan
harus memberikan peluang bagi peserta didik untuk berdiskusi atau berkonsultasi dengan
gurunya ketika mereka itu sedang menyelesaikan tugasnya. Instruksi tidak lagi murni
instruksi melainkan ada unsur kolaboratif antara peserta didik dengan guru.

f) Kegiatan games, simulasi, instruksi kasus atau problem solving.

       Dalam kelas bahasa kegiatan ini sangat tepat diterapkan dalam kelas speaking.
Kegiatan ini unsur kolaborasi dan saling bantu masih tetap ditonjolkan di antara para
peserta didik.
Pada kenyataanya pendekatan konstruktivistik ini tidak hanya bisa diterapkan di
kelas-kelas bahasa, tetapi dapat pula dilakukan di kelas-kelas MIPA, kelas komputer,
akuntansi dan lain-lain yang menekankan kegiatan kolaboratif antara peserta didik
dengan peserta didik atau peserta didik dengan guru.

D. Penutup

       Teori psikologi mempunyai peranan yang sangat penting dalam membantu guru
dalam mendesain proses pembelajaran bahasa Inggris sebagai asing. Pemahaman guru
terhadap berbagai teori psikologi sangat diperlukan dalam rangka mendesain proses
pembelajaran, sehingga mereka mampu menciptakan proses pembelajaran yang
bermakna (menarik, menyenangkan dan menimbulkan motivasi) bagi peserta didik.
Ketika hal ini bisa diwujudkan, maka tujuan pembelajaran yang sudah ditentukan
sebelumnya akan lebih mudah untuk diwujudkan pula.

       Dapat disimpulkan pula bahwa di dalam pendekatan konstruktivistik terdapat
beberapa pokok pikiran yang menjadikannya berbeda dengan pendekatan pedagogik
lainnya. Pendekatan konstruktivistik ini dapat dijabarkan dalam beberapa hal, yaitu
memandang kultur sebagai sumber pengajaran; memandang pihak lain sebagai stake-
holders dalam pengembangan pengetahuan; memandang peserta didik sebagai seseorang
yang mempunyai potensi yang mesti dikembangkan; dan menempatkan ZPD, seperti
dalam teori Vygotsky, sebagai komponen vital dalam proses belajar. Dengan
mengembangluaskan ZPD, peserta didik pada tinkat pendidikan apapun akan bisa
mengembangkan dirinya secara terus menerus melalui lingkungannya.

                               DAFTAR REFERENSI

Annie Susiany S. 2002. Bahasa Inggris. Materi Penataran Tertulis Pengayaan Guru
      SMU. Bandung: PPPG Tertulis.

Bruner, J. 1990. Acts of Meaning. Cambridge: Havard University Press.

Cameron. 2001. Teaching Languages to Young Learners. UK: Cambridge University
      Press.
Chomsky, N. 1965. Aspects of the Theory of Syntax. Cambridge: MIT Press.

Halliday, M.A.K. 1978. Language as Social Semiotic. London: Edward Arnold.

Helena I.R. Agustien. 2004. Landasan Filosofis Teoritis Pendidikan Bahasa Inggris.
      Jakarta: Dirjend Dikdasmen Depdiknas.

Rodi Hartono,M.Pd. *)

Dosen bahasa Inggris di STAIN Kerinci dan Mahasiswa Program Doktor Universitas
      Negeri Padang

Contenu connexe

Tendances

Konsep dasar psikolinguistik
Konsep dasar psikolinguistikKonsep dasar psikolinguistik
Konsep dasar psikolinguistiksashiera armhie
 
Teknik pengajaran keterampilan kalam
Teknik pengajaran keterampilan kalamTeknik pengajaran keterampilan kalam
Teknik pengajaran keterampilan kalamQurrota A'yun
 
Metode pembelajaran istima' wal kalam
Metode pembelajaran istima' wal kalamMetode pembelajaran istima' wal kalam
Metode pembelajaran istima' wal kalamVini Fakhriyani Ulfah
 
Contoh Soal Bahas Indonesia tentang Wacana
Contoh Soal Bahas Indonesia tentang WacanaContoh Soal Bahas Indonesia tentang Wacana
Contoh Soal Bahas Indonesia tentang WacanaAi Roudatul
 
Kemampuan membaca teks wacana pendek dalam hati
Kemampuan membaca teks wacana pendek dalam hati Kemampuan membaca teks wacana pendek dalam hati
Kemampuan membaca teks wacana pendek dalam hati Ka Jejen
 
Ragam pemerolehan bahasa anak
Ragam pemerolehan bahasa anakRagam pemerolehan bahasa anak
Ragam pemerolehan bahasa anakkholid harras
 
Tesis hubungan minat membaca dan penguasaan kosakata dengan keterampilan berb...
Tesis hubungan minat membaca dan penguasaan kosakata dengan keterampilan berb...Tesis hubungan minat membaca dan penguasaan kosakata dengan keterampilan berb...
Tesis hubungan minat membaca dan penguasaan kosakata dengan keterampilan berb...Activian Grapiter
 
Pembelajaran bahasa asing1
Pembelajaran bahasa asing1Pembelajaran bahasa asing1
Pembelajaran bahasa asing1Muhammad Idris
 
Linguistik untuk guru bahasa
Linguistik untuk guru bahasaLinguistik untuk guru bahasa
Linguistik untuk guru bahasaKamarudin Tahir
 
Tugasan bahasa melayu
Tugasan bahasa melayuTugasan bahasa melayu
Tugasan bahasa melayuElyn Eveline
 
Document1 fanny tik
Document1 fanny tikDocument1 fanny tik
Document1 fanny tikfannydwio
 
9 seni-mengajar-bahasa-arab-pada-usia-anak-anak1
9 seni-mengajar-bahasa-arab-pada-usia-anak-anak19 seni-mengajar-bahasa-arab-pada-usia-anak-anak1
9 seni-mengajar-bahasa-arab-pada-usia-anak-anak1Andri Rosyadi
 
Nota Literasi Bahasa
Nota Literasi BahasaNota Literasi Bahasa
Nota Literasi BahasaVince Here
 
Analisis Buku Siswa Bahasa Indonesia SMA Kelas X Kurikulum 2013
Analisis Buku Siswa Bahasa Indonesia SMA Kelas X Kurikulum 2013Analisis Buku Siswa Bahasa Indonesia SMA Kelas X Kurikulum 2013
Analisis Buku Siswa Bahasa Indonesia SMA Kelas X Kurikulum 2013Sandi Milzam
 

Tendances (20)

Konsep dasar psikolinguistik
Konsep dasar psikolinguistikKonsep dasar psikolinguistik
Konsep dasar psikolinguistik
 
Materi dan pembelajaran bahasa indonesia sd
Materi dan pembelajaran bahasa indonesia sdMateri dan pembelajaran bahasa indonesia sd
Materi dan pembelajaran bahasa indonesia sd
 
Teknik pengajaran keterampilan kalam
Teknik pengajaran keterampilan kalamTeknik pengajaran keterampilan kalam
Teknik pengajaran keterampilan kalam
 
Metode pembelajaran istima' wal kalam
Metode pembelajaran istima' wal kalamMetode pembelajaran istima' wal kalam
Metode pembelajaran istima' wal kalam
 
Contoh Soal Bahas Indonesia tentang Wacana
Contoh Soal Bahas Indonesia tentang WacanaContoh Soal Bahas Indonesia tentang Wacana
Contoh Soal Bahas Indonesia tentang Wacana
 
Kemampuan membaca teks wacana pendek dalam hati
Kemampuan membaca teks wacana pendek dalam hati Kemampuan membaca teks wacana pendek dalam hati
Kemampuan membaca teks wacana pendek dalam hati
 
Ragam pemerolehan bahasa anak
Ragam pemerolehan bahasa anakRagam pemerolehan bahasa anak
Ragam pemerolehan bahasa anak
 
Tesis hubungan minat membaca dan penguasaan kosakata dengan keterampilan berb...
Tesis hubungan minat membaca dan penguasaan kosakata dengan keterampilan berb...Tesis hubungan minat membaca dan penguasaan kosakata dengan keterampilan berb...
Tesis hubungan minat membaca dan penguasaan kosakata dengan keterampilan berb...
 
Bm forum 1
Bm forum 1Bm forum 1
Bm forum 1
 
Kosakata
KosakataKosakata
Kosakata
 
Pembelajaran bahasa asing1
Pembelajaran bahasa asing1Pembelajaran bahasa asing1
Pembelajaran bahasa asing1
 
Linguistik untuk guru bahasa
Linguistik untuk guru bahasaLinguistik untuk guru bahasa
Linguistik untuk guru bahasa
 
Anekdot 1
Anekdot 1Anekdot 1
Anekdot 1
 
Tugasan bahasa melayu
Tugasan bahasa melayuTugasan bahasa melayu
Tugasan bahasa melayu
 
Document1 fanny tik
Document1 fanny tikDocument1 fanny tik
Document1 fanny tik
 
9 seni-mengajar-bahasa-arab-pada-usia-anak-anak1
9 seni-mengajar-bahasa-arab-pada-usia-anak-anak19 seni-mengajar-bahasa-arab-pada-usia-anak-anak1
9 seni-mengajar-bahasa-arab-pada-usia-anak-anak1
 
Nota Literasi Bahasa
Nota Literasi BahasaNota Literasi Bahasa
Nota Literasi Bahasa
 
Bbm3201 minggu02
Bbm3201 minggu02Bbm3201 minggu02
Bbm3201 minggu02
 
Analisis Buku Siswa Bahasa Indonesia SMA Kelas X Kurikulum 2013
Analisis Buku Siswa Bahasa Indonesia SMA Kelas X Kurikulum 2013Analisis Buku Siswa Bahasa Indonesia SMA Kelas X Kurikulum 2013
Analisis Buku Siswa Bahasa Indonesia SMA Kelas X Kurikulum 2013
 
Bahan ajar
Bahan ajarBahan ajar
Bahan ajar
 

En vedette

E:\Esensi Dan Repleksi Buku Psikologi Pendidikan
E:\Esensi Dan Repleksi Buku Psikologi PendidikanE:\Esensi Dan Repleksi Buku Psikologi Pendidikan
E:\Esensi Dan Repleksi Buku Psikologi Pendidikancicihjuniasih
 
Psikologi pendidikan
Psikologi pendidikanPsikologi pendidikan
Psikologi pendidikandesakalit
 
Social Justice. Social Good. Social Media. Social Change.
Social Justice. Social Good. Social Media. Social Change.Social Justice. Social Good. Social Media. Social Change.
Social Justice. Social Good. Social Media. Social Change.Paul Brown
 
Makalah konsep dasar strategi pembelajaran dan teori belajar
Makalah konsep dasar strategi pembelajaran dan teori belajarMakalah konsep dasar strategi pembelajaran dan teori belajar
Makalah konsep dasar strategi pembelajaran dan teori belajarUkhty Nicken
 
Digital Social Justice
Digital Social JusticeDigital Social Justice
Digital Social JusticePaul Brown
 

En vedette (6)

E:\Esensi Dan Repleksi Buku Psikologi Pendidikan
E:\Esensi Dan Repleksi Buku Psikologi PendidikanE:\Esensi Dan Repleksi Buku Psikologi Pendidikan
E:\Esensi Dan Repleksi Buku Psikologi Pendidikan
 
Psikologi pendidikan
Psikologi pendidikanPsikologi pendidikan
Psikologi pendidikan
 
Psikologi pendidikan.
Psikologi pendidikan.Psikologi pendidikan.
Psikologi pendidikan.
 
Social Justice. Social Good. Social Media. Social Change.
Social Justice. Social Good. Social Media. Social Change.Social Justice. Social Good. Social Media. Social Change.
Social Justice. Social Good. Social Media. Social Change.
 
Makalah konsep dasar strategi pembelajaran dan teori belajar
Makalah konsep dasar strategi pembelajaran dan teori belajarMakalah konsep dasar strategi pembelajaran dan teori belajar
Makalah konsep dasar strategi pembelajaran dan teori belajar
 
Digital Social Justice
Digital Social JusticeDigital Social Justice
Digital Social Justice
 

Similaire à Teori Psikologi dalam Pembelajaran Bahasa Inggris

SRISURYAS_858946008_TT1BI.docx
SRISURYAS_858946008_TT1BI.docxSRISURYAS_858946008_TT1BI.docx
SRISURYAS_858946008_TT1BI.docxSssusi
 
Metodologi_pengajaran_bahasa.ppt
Metodologi_pengajaran_bahasa.pptMetodologi_pengajaran_bahasa.ppt
Metodologi_pengajaran_bahasa.pptMohammadSiddiq26
 
Psikolinguistik
Psikolinguistik Psikolinguistik
Psikolinguistik xue er tui
 
KONSEP DASAR PEMBELAJARAN ENGLISH FOR ELEMENTARY SCHOOL
KONSEP DASAR PEMBELAJARAN ENGLISH  FOR ELEMENTARY SCHOOLKONSEP DASAR PEMBELAJARAN ENGLISH  FOR ELEMENTARY SCHOOL
KONSEP DASAR PEMBELAJARAN ENGLISH FOR ELEMENTARY SCHOOLAni Mahisarani
 
Fungsi Bahasa dan Tata Bahasa
Fungsi Bahasa  dan Tata BahasaFungsi Bahasa  dan Tata Bahasa
Fungsi Bahasa dan Tata Bahasapjj_kemenkes
 
Pragmatik&pembelajaran bahasa
Pragmatik&pembelajaran bahasaPragmatik&pembelajaran bahasa
Pragmatik&pembelajaran bahasaKen Arok
 
pdf-pdgk-4204-modul-1-pend-bhs-indonesia-sd_compress KLOMPOK 1.pptx
pdf-pdgk-4204-modul-1-pend-bhs-indonesia-sd_compress KLOMPOK 1.pptxpdf-pdgk-4204-modul-1-pend-bhs-indonesia-sd_compress KLOMPOK 1.pptx
pdf-pdgk-4204-modul-1-pend-bhs-indonesia-sd_compress KLOMPOK 1.pptxsdnsukamenak
 
Perkembangan bahasa
Perkembangan bahasaPerkembangan bahasa
Perkembangan bahasaNiakhairani
 
PPT MODUL 1 _MPBISD.pptx
PPT  MODUL 1 _MPBISD.pptxPPT  MODUL 1 _MPBISD.pptx
PPT MODUL 1 _MPBISD.pptxraniManggor
 
PPT MODUL 1 _MPBISD.pptx
PPT  MODUL 1 _MPBISD.pptxPPT  MODUL 1 _MPBISD.pptx
PPT MODUL 1 _MPBISD.pptxraniManggor
 
LINGKUNGAN BAHASA DALAM PEMBELAJARAN BIPA-1.pptx
LINGKUNGAN BAHASA DALAM PEMBELAJARAN BIPA-1.pptxLINGKUNGAN BAHASA DALAM PEMBELAJARAN BIPA-1.pptx
LINGKUNGAN BAHASA DALAM PEMBELAJARAN BIPA-1.pptxRidwanRamdhan
 
Pembelajaran bahasa asing_2
Pembelajaran bahasa asing_2Pembelajaran bahasa asing_2
Pembelajaran bahasa asing_2Muhammad Idris
 
Sri Lestari "Fonemik Bahasa Melayu Sambas di Sekolah Menengah Pertama Negeri ...
Sri Lestari "Fonemik Bahasa Melayu Sambas di Sekolah Menengah Pertama Negeri ...Sri Lestari "Fonemik Bahasa Melayu Sambas di Sekolah Menengah Pertama Negeri ...
Sri Lestari "Fonemik Bahasa Melayu Sambas di Sekolah Menengah Pertama Negeri ...Rina Fadhali
 
Laporanptkspeakingsmp13 iisrosdiani
Laporanptkspeakingsmp13 iisrosdianiLaporanptkspeakingsmp13 iisrosdiani
Laporanptkspeakingsmp13 iisrosdianiNurdiana Wahyuni
 
Bahasa arab
Bahasa arabBahasa arab
Bahasa arabCik BaCo
 

Similaire à Teori Psikologi dalam Pembelajaran Bahasa Inggris (20)

SRISURYAS_858946008_TT1BI.docx
SRISURYAS_858946008_TT1BI.docxSRISURYAS_858946008_TT1BI.docx
SRISURYAS_858946008_TT1BI.docx
 
Metodologi_pengajaran_bahasa.ppt
Metodologi_pengajaran_bahasa.pptMetodologi_pengajaran_bahasa.ppt
Metodologi_pengajaran_bahasa.ppt
 
Psikolinguistik
Psikolinguistik Psikolinguistik
Psikolinguistik
 
KONSEP DASAR PEMBELAJARAN ENGLISH FOR ELEMENTARY SCHOOL
KONSEP DASAR PEMBELAJARAN ENGLISH  FOR ELEMENTARY SCHOOLKONSEP DASAR PEMBELAJARAN ENGLISH  FOR ELEMENTARY SCHOOL
KONSEP DASAR PEMBELAJARAN ENGLISH FOR ELEMENTARY SCHOOL
 
Kb 1
Kb 1Kb 1
Kb 1
 
Fungsi Bahasa dan Tata Bahasa
Fungsi Bahasa  dan Tata BahasaFungsi Bahasa  dan Tata Bahasa
Fungsi Bahasa dan Tata Bahasa
 
Bbm 4
Bbm 4Bbm 4
Bbm 4
 
Pragmatik&pembelajaran bahasa
Pragmatik&pembelajaran bahasaPragmatik&pembelajaran bahasa
Pragmatik&pembelajaran bahasa
 
pdf-pdgk-4204-modul-1-pend-bhs-indonesia-sd_compress KLOMPOK 1.pptx
pdf-pdgk-4204-modul-1-pend-bhs-indonesia-sd_compress KLOMPOK 1.pptxpdf-pdgk-4204-modul-1-pend-bhs-indonesia-sd_compress KLOMPOK 1.pptx
pdf-pdgk-4204-modul-1-pend-bhs-indonesia-sd_compress KLOMPOK 1.pptx
 
Perkembangan bahasa
Perkembangan bahasaPerkembangan bahasa
Perkembangan bahasa
 
disain PenelitianKebahasaan
disain PenelitianKebahasaandisain PenelitianKebahasaan
disain PenelitianKebahasaan
 
PPT MODUL 1 _MPBISD.pptx
PPT  MODUL 1 _MPBISD.pptxPPT  MODUL 1 _MPBISD.pptx
PPT MODUL 1 _MPBISD.pptx
 
PPT MODUL 1 _MPBISD.pptx
PPT  MODUL 1 _MPBISD.pptxPPT  MODUL 1 _MPBISD.pptx
PPT MODUL 1 _MPBISD.pptx
 
Tugas kelompok bahasa
Tugas kelompok bahasaTugas kelompok bahasa
Tugas kelompok bahasa
 
LINGKUNGAN BAHASA DALAM PEMBELAJARAN BIPA-1.pptx
LINGKUNGAN BAHASA DALAM PEMBELAJARAN BIPA-1.pptxLINGKUNGAN BAHASA DALAM PEMBELAJARAN BIPA-1.pptx
LINGKUNGAN BAHASA DALAM PEMBELAJARAN BIPA-1.pptx
 
Disain Penelitian Kebahasaan
Disain Penelitian KebahasaanDisain Penelitian Kebahasaan
Disain Penelitian Kebahasaan
 
Pembelajaran bahasa asing_2
Pembelajaran bahasa asing_2Pembelajaran bahasa asing_2
Pembelajaran bahasa asing_2
 
Sri Lestari "Fonemik Bahasa Melayu Sambas di Sekolah Menengah Pertama Negeri ...
Sri Lestari "Fonemik Bahasa Melayu Sambas di Sekolah Menengah Pertama Negeri ...Sri Lestari "Fonemik Bahasa Melayu Sambas di Sekolah Menengah Pertama Negeri ...
Sri Lestari "Fonemik Bahasa Melayu Sambas di Sekolah Menengah Pertama Negeri ...
 
Laporanptkspeakingsmp13 iisrosdiani
Laporanptkspeakingsmp13 iisrosdianiLaporanptkspeakingsmp13 iisrosdiani
Laporanptkspeakingsmp13 iisrosdiani
 
Bahasa arab
Bahasa arabBahasa arab
Bahasa arab
 

Teori Psikologi dalam Pembelajaran Bahasa Inggris

  • 1. Teori Psikologi dalam Pembelajaran Bahasa Inggris*) A. Pendahuluan Manusia berkomunikasi dengan kuantitas yang tidak terhingga dalam kehidupanya sehari-hari. Segela aktivitas manusia tidak akan pernah terjadi tanpa adanya proses komunikasi, baik komunikasi verbal maupun non-verbal dalam rangka menyampaikan gagasan, pikiran, persaan dan pendapatnya. Sejak dimulai dari bangun tidur hingga tidur kembali di malam hari, bisa dibayangkan berapa kali seseorang mendengar dan berbicara, berapa lama ia membaca koran atau membaca berbagai macam iklan komersial di jalan-jalan, berapa lama ia menulis surat, laporan, tulisan ilmiah dan sebagainya, berapa kali dan berapa lama dosen menjelaskan kuliah di dalam kelas dan berapa lama dan berapa kali pula mahasiswa mendengarkan dan menanyakan hal-ihwal perkuliahan kepada dosen atau teman sekelasnya. Jika dihitung ternyata banyak sekali waktu yang digunakan seseorang untuk berkomunikasi dalam aktivitasnya selama satu hari. Secara garis besar ada dua macam bentuk komunikasi, yaitu komunikasi verbal dan komunikasi non-verbal. Komunikasi verbal adalah suatu bentuk komunikasi untuk menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan yang dimiliki seseorang kepada orang lain secara lisan. Sedangkan bentuk komunikasi yang kedua adalah bentuk komunikasi yang tidak diucapkan secara lisan, tetapi komunikasi itu terjadi melalui tanda-tanda komunikatif, misalnya tulisan, gerak tubuh, rambu-rambu (misalnya rambu-rambu lalu lintas) dan sebagainya. Jenis komunikasi yang kedua tampaknya tidak banyak perbedaan antara satu tempat dan tempat yang lain atau antara satu negara dengan negara yang lain karena bentuk komunikasi yang kedua ini lebih banyak terjadi karena adanya konsensus atau bahkan proses ratifikasi antarnegara, misalnya komunikasi dalam bentuk rambu- rambu lalu-lintas. Merahnya lampu pengatur di perempatan jalan, berarti para pengguna jalan itu harus berhenti, lampu kuning berarti harus hati-hati, dan lampu hijau berarti
  • 2. boleh berjalan kembali. Masih banyak lagi komunikasi non-verbal lainnya yang banyak berlaku di berbagai negara. Tetapi hal itu tidak bisa dengan mudah terjadi dalam bentuk komunikasi verbal, karena bentuk komunikasi ini berkaitan erat dengan bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi. Peserta didik di sekolah dasar atau menengah dan bahkan mahasiswa di perguruan tinggi di Indonesia akan bisa belajar dengan baik jika bahasa yang digunakan oleh guru dan dosen untuk menjelaskan materi pelajaran di kelas adalah bahasa Indonesia. Hal ini bisa terjadi karena bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang digunakan sebagai alat komunikasi verbal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Tetapi kenyataan akan berbeda jika bahasa yang digunakan untuk menjelaskan bahan ajar itu adalah bahasa Inggris, karena bahasa Inggris berposisi sebagai bahasa asing yang tidak banyak dikuasai sebagai alat komunikasi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Posisi bahasa Inggris sebagai bahasa asing bagi masyarakat Indonesia membuat bahasa ini tidak banyak dikuasai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Tidak sedikit peserta didik maupun mahasiswa yang banyak mengalami kesulitan untuk bisa berkomunikasi dengan bahasa ini. Mereka menganggap bahasa ini sebagai bahasa yang sulit dipelajari karena beberapa alasan, misalnya bunyi verbal bahasa Inggris yang tampak sangat berbeda dengan tanda tulisannya. Hal ini berbeda dengan bunyi verbal bahasa Indonesia yang tidak banyak berbeda dengan tanda tulisannya. Alasan lain adalah penguasaan kosa kata bahasa Inggris oleh peserta didik yang sangat terbatas dan penguasaan grammar yang terbatas pula. Alasan lain yang sangat krusial adalah strategi yang digunakan oleh guru dalam mengajarkan bahasa ini (desain pembelajaran dan metode mengajar) terkesan monoton dan kurang memberi tantangan bagi siswa untuk bisa menguasai bahasa Inggris ini dengan baik. Guru kurang memahami karakteristik peserta didik karena lemahnya kemampuan psikologis guru untuk mampu mengidentifikasi kebutuhan peserta didik dalam belajar bahasa. Berkaitan dengan masalah terakhir dalam mengajarkan bahasa Inggris di sekolah, terutama bagi peserta didik di sekolah dasar dan menengah, guru diharuskan mempunyai kemampuan strategis psikologis untuk mengidentifikasi bagaimana dan kapan para
  • 3. peserta didik mampu belajar bahasa Inggris dengan baik. Kemampuan ini akan memudahkan bagi guru untuk menciptakan strategi, metode dan media pembelajaran yang tepat, sehingga peserta didik merasa tertarik dan tertantang untuk bisa menguasai bahasa Inggris ini dengan baik. Belajar dan mengajar bahasa asing jelas membutuhkan strategi yang berbeda dengan ketika peserta didik belajar dan guru mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu atau bahasa nasional. Guru perlu memahami aspek-aspek psikologis peserta didik agar mampu menciptkan proses pembelajaran yang lebih bermakna. Untuk bisa memahami aspek-aspek psikologis peserta didik dalam belajar bahasa, maka diperlukan pengetahuan guru yang memadai terhadap teori-teori psikologi yang relevan untuk mengajar bahasa. Pengetahuan guru terhadap teori-teori psikologi juga akan mengarahkan guru untuk mampu mengidentifikasi kapan dan dengan cara bagaimana peserta didik bisa belajar bahasa dengan baik. Dengan demikian, pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing selain dilakukan berdasarkan pertimbangan filosofis-teoritis juga dilakukan berdasarkan pertimbangan psikologis. B. Pertimbangan Filosofis-teoritis Pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing, terutama di lingkungan pendidikan formal, dilakukan melalui dua pertimbangan sekaligus, yaitu pertimbangan filosofis-teoritis dan pertimbangan psikologis. Pertimbangan filosofis-teoritis dilaksanakan berdasarkan asumsi bahwa bahasa Inggris sebagai alat komunikasi harus diajarkan kepada pembelajar bahasa non-penutur asli (non-native speaker) sesuai dengan kaidah bahasa yang berlaku dimana bahasa Inggris itu digunakan oleh penutur asli (native speaker). Bahasa, seperti juga bahasa Inggris, adalah terikat dengan budaya masyarakat penutur asli bahasa itu sendiri. Peserta didik harus dididik dan dilatih untuk mengetahui dan menempuh tahap-tahap pembicaraan yang terstruktur sesuai dengan budaya penutur asli bahasa Inggris. Bahasa sebagai alat komunikasi pada dasarnya banyak menggunakan tanda-tanda (signs) berupa bunyi dan huruf. Keduanya tentu tidak diucapkan atau ditulis secara acak tanpa aturan baku; ada aturan yang harus dipatuhi agar tanda tersebut dimengerti orang lain. Aturan tersebut adalah code yang dalam linguistik disebut tata bahasa atau
  • 4. grammar. Bunyi dan tulisan yang digunakan menurut aturan yang berlaku di masyarakat dalam konteks budaya yang sama. Dengan demikian, bahasa disebut juga sebagai sebuah sistem semiotika sosial (Halliday, 1978). Ini adalah salah satu cara dalam memandang bahasa, yaitu bahasa sebagai suatu sumber yang digunakan oleh masyarakat sebagai sebagai alat interaksi sosial. Sekarang kita lihat bagaimana bahasa bisa digunakan sedemikian rupa sehingga manusia normal tidak dapat hidup bermasyarakat tanpa bahasa. Pendekatan filosofis-teoritis menempatkan bahasa sebagai seperangkat aturan (set of rules) yang memang sudah ada dalam otak manusia (Chomsky, 1965). Ketika seperangkat aturan yang dibawa sejak lahir tersebut dihadapkan pada data atau bahasa yang didengar disekitarnya, maka ‘perangkat’ yang ada di otak akan menyesuaikan atau ‘dicetak’ sesuai dengan bahasa tersebut. Ini adalah cara memandang bahasa dari sudut psikologi. Yang perlu dicatat adalah bahwa kedua cara pandang, yakni dari segi semiotika sosial dan psikologi tidak bertentangan, bahkan keduanya saling mengisi. C. Pertimbangan Psikologis Pertimbangan psikologis berangkat dari asumsi bahwa bahasa harus diajarkan kepada para peserta didik sesuai dengan metode dan strategi tertentu, sehingga belajar bahasa menjadi suatu aktivitas yang menyenangkan dan menarik bagi peserta didik. Strategi untuk menciptakan proses pembelajaran bahasa yang menarik dan menyenangkan bagi peserta didik bisa dilaksanakan dengan optimal jika guru banyak memahami aspek-aspek psikologis peserta didik dalam belajar bahasa. Penguasaan teori psikologi yang baik oleh guru sangat membantu untuk bisa memahami aspek-aspek psikologis peserta didik dalam belajar. Peran teori psikologi dalam pembelajaran bahasa ini lebih banyak dipelajari dalam bidang psikolinguistik. Cameron (dalam Helena, 2004) telah banyak mengulas teori psikologi dari tiga ahli terkemuka , yaitu Piaget, Vygotsky dan Bruner yang menjadi acuan dalam pendidikan bahasa masa kini. Teori psikologi dari tiga ahli ini ternyata mempunyai relevansi dan kontribusi yang sangat baik dalam pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing.
  • 5. Secara singkat relevansi dan kontribusi ketiga teori psikologi ini dalam pembelajaran bahasa akan dibahas pada bagian berikut tulisan ini. 1. Teori Psikologi Piaget Piaget dalam teorinya memandang anak sebagai individu (pembelajar) yang aktif. Perhatian utama Piaget tertuju kepada bagaimana anak-anak dapat mengambil peran dalam lingkungannya dan bagaimana lingkungan sekitar berpengaruh pada perkembangan mentalnya. Menurut Piaget (dalam Helena, 2004), anak senantiasa berinteraksi dengan sekitarnya dan selalu berusaha mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya di lingkungan itu. Melalui kegiatan yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah itulah pembelajaran terjadi. Piaget tidak memberikan penekanan terhadap pentingnya bahasa dalam perkembangan kognoitif anak. Bagi Piaget bukan perkembangan bahasa pertama yang paling fundamental dalam perkembangan kognitif melainkan aktivitas atau action. Menurut psikologi Piaget, dua macam perkembangan dapat terjadi sebagai hasil dari beraktivitas, yaitu asimilasi dan akomodasi. Suatu perkembangan disebut asimilasi jika aktivitas terjadi tanpa menghasilkan perubahan pada anak, sedangkan akomodasi terjadi jika anak menyesuaikan diri terhadap hal-hal yang ada di lingkungannya. Misalnya menurut contoh Cameron (2001), ketika anak sudah bisa menggunakan sendok dan kemudian diberi garpu dan dia menggunakan garpu (alat makan baru) sebagaimana ia menggunakan sendok yang berfungsi sebagai alat makan yang dikenal sebelumnya, berarti ia telah melakukan asimilasi. Akan tetapi, ketika ia sadar bahwa dengan garpu ia memiliki kesempatan untuk makan dengan cara menusukkan garpu ke makanan dan bukan cuma menyendoknya. Dengan demikian, anak itu telah melakukan akomodasi. Pada mulanya asimilasi dan akomodasi merupakan proses adaptasi perilaku yang kemudian menjadi proses berpikir. Akomodasi merupakan konsep penting yang kemudian dipertimbangkan dalam dunia pembelajaran bahasa yang dikenal dengan sebutan restructuring. Istilah ini mengacu kepada reorganisasi representasi mental dalam sebuah bahasa (McLaughlin, 1992). Maksudnya, anak telah memiliki pola-pola bahasa
  • 6. dalam pikirannya, tetapi ketika dihadapkan kepada fakta bahasa (pola) baru dan fakta baru tersebut memiliki potensi untuk berkomunikasi dengan cara berbeda, maka anak melakukan penyesuaian dengan pola-pola baru. Menurut pandangan Piaget, pikiran anak berkembang perlahan-lahan seiring dengan pertumbuhan pengetahuan dan keterampilan intelektualnya hingga sampai ke tahap berpikir logis dan formal. Akan tetapi, pertumbuhan ditandai dengan perubahan- perubahan mendasar tertentu yang menyebabkan anak mampu melampaui serangkaian tahapan yang dimaksud. Pada setiap tahap, anak mampu berpikir memikirkan hal-hal tertentu, tetapi tidak atau belum mampu memikirkan hal-hal yang lain. Jadi, menurut Piaget, berpikir melibatkan hal-hal yang abstrak dan menggunakan jalur logika belum mampu dilakukan anak sebelum ia berusia 11 tahun atau lebih. Pendapat ini banyak dikritik karena ketika diakhir tahun 70an dan di awal tahun 80an diterapkan kebijakan bahwa anak-anak harus terlebih dahulu melakukan srangkaian kegiatan yang menyiapkan mereka untuk menulis kalimat yang memakan waktu lama, anak akan kehilangan kesempatan untuk mengalami proses yang holistik atau menyeluruh. Proses holistik tersebut ialah proses yang menyadarkan anak bahwa tujuan menulis adalah komunikasi dan bukan berlatih menulis bentuk huruf semata. Aspek komunikasi inilah yang merupakan aspek sosial dari kegiatan menulis, dan aspek ini yang terabaikan oleh Piaget. Piaget lebih memperhatikan anak dalam dunianya sendiri, dan bukan anak yang berkomunikasi dengan orang dewasa atau dengan anak lain. Ada pendapat Piaget yang penting, yaitu anak sebagai pembelajar dan pemikir yang aktif, yang membangun pengetahuannya dengan ‘bergulat’ dengan benda-benda atau gagasan-gagasan. Jika kita mengambil gagasan Piaget bahwa anak beradaptasi dengan lingkungannya, kita dapat melihat bagaimana lingkungan dapat menjadi setting untuk perkembangan. Lingkungan menawarkan berbagai kesempatan kepada anak untuk bertindak. Oleh karenanya, lingkungan kelas, misalnya, dapat menjadi ajang kegiatan dan kreativitas yang menyebabkan pembelajaran terjadi. Berdasarkan pendapat ini, pembelajaran bahasapun dapat terjadi jika lingkungan kelas maupun sekitarnya
  • 7. dimanfaatkan sedemikian rupa agar menawarkan berbagai kesempatan bagi keterlibatan dan kreativitas peserta didik. 2. Teori Psikologi Vygotsky Pakar psikologi lain, Vygotsky (1962, 1978), memberikan pandangan berbeda dengan Piaget terutama pandangannya tentang pentingnya faktor sosial dalam perkembangan anak. Vygotsky memandang pentingnya bahasa dan orang lain dalam dunia anak-anak. Meskipun Vygotsky dikenal sebagai tokoh yang memfokuskan kepada perkembangan sosial yang disebut sebagai sosiokultural, dia tidak mengabaikan individu atau perkembangan kognitif individu. perkembangan bahasa pertama anak tahun kedua di dalam hidupnya dipercaya sebagai pendorong terjadinya pergeseran dalam perkembangan kognitifnya. Bahasa memberi anak sebuah alat baru sehingga memberi kesempatan baru kepada anak untuk melakukan berbagai hal, untuk menata informasi dengan menggunakan simbol-simbol. Anak-anak sering terlihat berbicara sendiri dan mengatur dirinya sendiri ketika ia berbuat sesuatu atau bermain. Ini disebut sebagai private speech. Ketika anak menjadi semakin besar, bicaranya semakin lirih, dan mulai membedakan mana kegiatan bicara yang ditujukan ke orang lain dan mana yang ke dirinya sendiri. Yang mendasari teori Vygtsky adalah pengamatan bahwa perkembangan dan pembelajaran terjadi di dalam konteks sosial, yakni di dunia yang penuh dengan orang yang berinteraksi dengan anak sejak anak itu lahir. Ini berbeda dengan Piaget yang memandang anak sebagai pembelajar yang aktif di dunia yang penuh orang. Orang-orang inilah yang sangat berperan dalam membantu anak belajar dengan menunjukkan benda- benda, dengan berbicara sambil bermain, dengan membacakan ceritera, dengan mengajukan pertanyaan dan sebagainya. Dengan kata lain, orang dewasa menjadi perantara bagi anak dan dunia sekitarnya. Kemampuan belajar lewat instruksi dan perantara adalah ciri inteligensi manusia. Dengan pertolongan orang dewasa, anak dapat melakukan dan memahami lebih banyak hal dibandingkan dengan jika anak hanya belajar sendiri. Konsep inilah yang disebut Vygotsky sebagai Zone of Proximal Development (ZPD). ZPD memberi makna baru
  • 8. terhadap ‘kecerdasan’. Kecerdasan tidak diukur dari apa yang dapat dilakukan anak dengan bantuan yang semestinya. Belajar melakukan sesuatu dan belajar berpikir terbantu dengan berinteraksi dengan orang dewasa. Menurut Vygotsky, pertama-tama anak melakukan segala sesuatu dalam konteks sosial dengan orang lain dan bahasa membantu proses ini dalam banyak hal. Lambat laun, anak semakin menjauhkan diri dari ketergantungannya kepada orang dewasa dan menuju kemandirian bertindak dan berpikir. Pergeseran dari berpikir dan berbicara nyaring sambil melakukan sesuatu ke tahap berpikir dalam hati tanpa suara disebut internalisasi. Menurut Wretsch (dalam Helena, 2004) internalisasi bagi Vygotsky bukanya transfer, melainkan sebuah transformasi. Maksudnya, mampu berpikir tentang sesuatu yang secara kualitatif berbeda dengan mampu berbuat sesuatu. Dalam proses internalisasi, kegiatan interpersonal seperti bercakap-cakap atau berkegiatan bersama, kemudian menjadi interpersonal, yaitu kegiatan mental yang dilakukan oleh seorang individu. Banyak gagasan Vygotsky yang dapat membantu dalam membangun kerangka berpikir untuk mengajar bahasa asing bagi anak-anak. Untuk membuat keputusan apa yang bisa dilakukan guru agar mendukung pembelajaran kita dapat menggunakan gagasan bahwa orang dewasa menjadi perantara. “Lalu … apalagi yang dapat dipelajari anak-anak?”. Ini dapat berdampak pada bagaimana menyiapkan pelajaran atau bagaimana guru harus berbicara dengan peserta didik setiap saat. ZPD dapat menjadi pemandu dalam memilih dan menyusun pengalaman pembelajaran bagi peserta didik untuk membantu mereka maju dari tahap interpersonal ke intrapersonal. Kita membantu peserta didik agar internalisasi terjadi sehingga bahasa baru yang diajarkan menjadi bagian dari pengetahuan dan keterampilan berbahasa anak. 3. Teori Psikologi Bruner Menurut Bruner (dalam Helena, 2004) bahasa adalah alat yang paling penting bagi pertumbuhan kognitif anak. Bruner meneliti bagaimana orang dewasa menggunakan bahasa untuk menjembatani dunia sekitar dengan anak-anak dan membantu mereka
  • 9. memecahkan masalah. Pembicaraan atau “omongan” yang mendukung anak dalam melakukan kegiatan disebut scaffolding talk. Scaffolding talk atau omongan guru yang digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan di kelas, dapat berlangsung mulai dari memeriksa presensi sampai membubarkan kelas. Ketika scaffolding talk itu terjadi dalam pembelajaran bahasa Inggris, maka semua itu juga harus dilakukan dalam bahasa Inggris pula. Dalam sebuah ekxperimen yang dilakukan terhadap ibu-ibu dan anak-anak di Amerika, orang tua yang melakukan scaffolding talk secara efektif biasa melakukan hal- hal sebagai berikut: • Mereka membuat anak tertarik kepada tugas-tugas yang diberikan; • Mereka membuat tugas menjadi lebih sederhana, seringkali dengan memecah- mecah tugas menjadi langkah-langkah yang lebih kecil; • Mereka mampu mengarahkan anak kepada penyelesaian tugas dengan mengingatkan anak tentang tujuan utamanya; • Mereka menunjukkan apa-apa yang penting untuk dikerjakan, atau menunjukkan bagaimana melakukan bagian-bagian dari tugas itu; • Mereka menunjukkan bagaimana tugas itu dapat dilakukan dengan sebaik- baiknya. Wood (1998) menyarankan bahwa guru dapat mendukung (scaffold) pembelajaran (bahasa Inggris sebagai bahasa asing) kepada anak dengan berbagai cara sebagai berikut: Guru dapat membantu peserta didik Dengan cara ……… ……….. Menunjukkan apa yang relevan - memberi saran - memuji yang perlu dipuji - memfokuskan kegiatan Menggunakan strategi yang berguna - mendorong adanya latihan - membuat aturan yang jelas dan Eksplisit Mengingat seluruh tugas dan - mengingatkan tujuannya
  • 10. - memberi model - memberi kegiatan menyeluruh dan bagian-bagian kegiatannya. Setiap strategi ini dapat diterapkan dalam pembelajaran bahasa. Prinsip “membantu peserta didik untuk memperhatikan hal-hal yang penting” dapat selalu diterapkan dalam berbagai kesempatan dan ini mendukung pendapat Schmidt (dalam Helena, 2004) mengenai apa yang disebut dengan noticing. Ketika guru mengarahkan perhatian anak agar selalu mengingat tugas utamanya, sebenarnya guru membantu peserta didik melakukan sesuatu yang belum dapat mereka lakukan sendiri. Ketika anak sedang asyik memperhatikan bagian-bagian dari tugas atau aspek-aspek bahasa, ada kemungkinan mereka lupa akan tujuan komunikatif bahasa karena terbatasnya kemampuan mereka dalam hal memperhatikan. Tugas guru adalah menjaga agar perhatian anak kepada hal-hal yang penting tidak “terbelokkan” ke hal atau kegiatan yang dimaksudkan sebagai penunjang. Gagasan Bruner yang lain yang sangat relevan dan berguna bagi pembelajaran bahasa adalah mengenai format and routine. Kedua hal ini mengacu pada kebiasaan- kebiasaan yang memungkinkan kegiatan scaffolding terjadi. Scaffolding adalah aktivitas guru, baik secara fisik maupun verbal, yang dilakukan secara rutin sehingga anak menjadi terbiasa dengan kegiatan atau ungkapan-ungkapan guru waktu pelajaran berlangsung. Jadi, ketika anak terbiasa dengan pola kegiatan atau bahasa guru, mereka merasa “nyaman” dan percaya diri dan mereka menjadi siap untuk menerima hal-hal yang baru. Caontoh yang paling menonjol yang diberikan Bruner adalah kebiasaan membaca ceritera atau story reading yang dilakukan orang tua di Amerika kepada anak-anaknya. Tentu saja, ketika anak bertambah usia, buku cerita yang digunakan juga berubah, tetapi format kegiatannya masih serupa. Dalam kegiatan ini, orang dewasalah yang banyak bicara baik ketika membaca ceritera (yang sering diberi ilustrasi gambar-gambar) maupun sambil memberi pertanyaam atau instruksi kepada anak-anak, seperti “Coba lihat ini…
  • 11. hidungnya besar, kan?”. Dengan cara ini keterlibatan anak dalam berbicara akan meningkat pula. Jika orang tua atau guru banyak melakukan pembacaan ceritera, maka guru akan banyak melakukan pengulangan ungkapan-ungkapan yang semakin lama semakin canggih yang dipahami oleh peserta didik. Kegiatan membaca certera ini ditunjang oleh orang dewasa agar anak dapat berpartisipasi sesuai dengan tingkat kemampuannya. Dengan kata lain penggunaan bahasa yang dilakukan secara rutin menjadi mudah ditebak; anak mudah menebak apa yang dikatakan guru dan anak akan dapat lebih mudah merespon perkataan guru. Di sini terdapat “ruang” tempat anak dapat mempraktikkan bahasanya sendiri. “Ruang untuk tumbuh” atau space of growth ini menjadi zone of proximal development (ZPD) sebagaimana ada dalam teori Vygotsky. Menurut Bruner, kegiatan rutin dan penyesuaian-penyesuain inilah yang menyediakan tempat bagi perkembangan bahasa dan kognitif anak. Jika gagasan ini diterapkan di dalam kelas, dapat dilihat bagaimana kegiatan rutin yang terjadi di setiap hari dapat menjadi ajang terbentuknya perkembangan bahasa. Misalnya saja ketika guru melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan pengalaman pembelajaran dan memerlukan partisipasi peserta didik untuk membagi gunting dan sebagainya, guru sebaiknya menggunakan bahasa Inggris sperti, “John, please give out the scissors. Martha, give out the paper.” Kepada peserta didik yang kurang pandai. Kepada anak yang lebih pandai, instruksinya bisa lebih rumit, misalnya “Sam, please ask everyday if they want white paper or black paper”. Jika ini sering dilakukan maka peserta didik akan semakin memahami instruksi-instruksi lama dan belajar memahami instruksi baru melalui konteks. Meningkatnya kesulitan instruksi inilah yang memberikan ruang untuk pertumbuhan. Ketika bahasa yang digunakan guru berada dalam lingkup ZPD anak, ia dapat memahaminya sehingga proses internalisasi dapat berlangsung. Kesimpulannya, hal-hal yang rutin termasuk ungkapan-ungkapan, seperti instruksi, membuka kesempatan bagi berkembangnya keterampilan bahasa. 4. Implikasi Praktis
  • 12. Teori psikologi yang diuraikan di atas berimplikasi atau berdampak langsung terhadap apa yang selayaknya dilakukan oleh guru dalam mengajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing di kelas. Dari teori Piaget dapat disimpulkan bahwa pembelajaran memang terjadi bertahap, tetapi ini bukan berarti bahwa pembelajaran yang holistik tidak dapat terjadi jika tahap-tahap pembelajaran tersebut tidak dilalui secara sistematis. Dengan kata lain, dalam merencanakan kegiatan belajar mengajar guru bisa saja menyusun materi dari yang paling mudah hingga yang paling sulit menurut versi atau pandangan guru. Akan tetapi, dalam komunikasi nyata seringkali apa yang dianggap sulit secara teoritis justru banyak digunakan dan anak dapat memperolehnya dengan mudah karena materi tersebut sering didengarnya lewat televisi. Frasa-frasa yang secara gramatikal termasuk “canggih” seperti fried chicken, video rental, sea food, American Idol, MTV Hit Lists, MTV Cribs Cyber Cafe, shopping mall, supermarket, hand-and-body lotion, thinner, eye shadow, body suit, laundry dan sebagainya menjadi mudah bagi peserta didik dan mereka dapat menggunakkanya sesuai konteks. Kemampuan ini menunjukkan bahwa mereka merasa nyaman menggunakan istilah-istilah dalam bahasa Inggris bukan sebagai hasil menganalisis dan memahami struktur frasanya, melainkan karena kata-kata tersebut sudah menjadi bagian rutin masyarakat. Di jaman televisi yang banyak menampilkan bahasa Inggris, anak-anak remaja bisa dengan mudah mempelajari ungkapan-ungkapan seperti It’s cool, isn’t it?, Come on, guys…, Stay tuned! Check it out! dan sebagainya. Di sisi lain bisa dilihat juga bahwa pola kalimat simple present tense termasuk pola kalimat yang paling sederhana dan mudah dihapal. Akan tetapi, penggunaan simple present tense dalam komunikasi baik lisan maupun tulis sulit dikatakan mudah atau sederhana. Buku-buku ajar yang beredar di pasaran banyak mengandung kesalahan penggunaan pola ini; pola kalimatnya benar, tetapi konteks penggunaannya tidak sesuai. Adalah menjadi tugas guru untuk memanfaatkan potensi anak sebagai pemikir untuk tidak hanya menghafal rumus melainkan menggunakan rumus dalam konteks yang tepat lewat berbagai kegiatan pembiasaan.
  • 13. Teori Vygotsky tentang Zone of Proximal Development menekankan betapa perang guru sangat dibutuhkan dalam rangka terjadinya pembelajaran yang optimal. Dikatakan bahwa anak atau peserta didik memiliki kapasitas atau potensi untuk belajar sendiri (seperti teori Piaget), tetapi belajar yang optimal terjadi karena anak mendapat pertolongan dari orang dewasa yang ada di sekitarnya. Pembelajaran terjadi karena adanya interaksi dengan lingkungan sosialnya. Penelitian Halliday mengenai bagaimana anak kecil ber(tukar) makna (learning how to mean) memberikan ilustrasi yang bernilai terhadap teori Vygotsky ini. Bahasan ini menunjukkan betapa pentingnya bagi guru untuk merencanakan kegiatan belajar mengajar yang seksama. Rencana tersebut secara eksplisit perlu mencantumkan kegiatan apa yang akan dilakukan atau pengalaman pembelajaran apa yang akan diberikan dan untuk tujuan apa. Rencana pengajaran tersebut diharapkan secara serius mempertimbangkan jenis-jenis interaksi di dalam kelas yang menjadikan kelas sebagai ZPD. Implikasinya ialah bahwa guru memang masih perlu menjelaskan pola kalimat, melakukan drill jika perlu melatih ucapan, tetapi sebagian besar waktu sebaiknya dimanfaatkan semaksimal mungkin agar terjadi macam interaksi. Teori Burner juga mendukung gagasan Vygotsky. Gagasan Bruner tentang scaffolding atau memberikan kegiatan-kegiatan pendukung dalam upaya terjadinya internalisasi sangat relevan dengan pendidikan bahasa. Di bidang ini, kegiatan scaffolding secara verbal merupakan keniscayaan jika pendidikan bahasa dimaksudkan sebagai pendidikan komunikasi. Sayangnya, justru scaffolding talk atau “omongan” guru yang diharapkan menyertai seluruh proses pembelajaran bahasa Inggris sering tidak muncul di dalam kelas. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa guru berbahasa Inggris hanya kalau sedang membaca bacaan, pertanyaan yang ada di buku dan instruksi- instruksi tertulis. Kegiatan lain diselenggarakan dalam bahasa Indonesia. Misalnya, memeriksa kehadiran peserta didik, mengatur atau mengelola kelas, memberi komentar- komentar; semuanya dilakukan dalam bahasa Indonesia. Padahal, justru ungkapan- ungkapan bahasa Inggris yang “bukan pelajaran” inilah yang potensial untuk membangun ZPD, menanamkan kebiasaan, dan memungkinkan terjadinya internalisasi.
  • 14. Implikasinya, jika guru berharap agar peserta didik dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan baik, maka guru harus bebahasa Inggris di kelas sebab scaffolding talk atau “omongan yang bukan pelajaran” inilah yang bisa menciptakan pembiasaan untuk berkomunikasi berbahasa Inggris bagi peserta didik. Kelemahan umum guru-guru bahasa Inggris di Indonesia dalam hal melakukan scaffolding talk perlu disadari dengan benar, karena kenyataanya guru-guru yang mengajar bahasa Inggris tetapi di dalam kelas justru lebih banyak berbicara dalam bahasa Indonesia. Keaadaan ini memang terdengar ironis. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa kurikulum harus menyesuaikan dengan keadaan guru. Dengan kurikulum ini guru didorong untuk meningkatkan dirinya karena belajar bahasa berlangsung seumur hidup. Implikasi lain, terutama teori Vygotsky, tampaknya terjadi pula pada pandangan para pengikut konstruktivisme dalam pembelajaran (bahasa). Seperti telah disinggung di depan bahwa menurut teori Vygotsky, anak-anak dibesarkan di dalam suatu setting kelompok sosial. Vygotsky memandang pentingnya kultur dan pentingnya konteks sosial bagi perkembangan kognitif. Menurut Vygotsky, atau dengan cara pandang konstruktivisme ini, anak-anak atau peserta didik dengan pertolongan orang dewasa dapat menguasai konsep-konsep atau gagasan-gagasan yang mereka tidak bisa pahami sendiri. Annie Susany (2002) menyatakan bahwa dalam visi konstruktivisme terdapat empat pandangan utama yang diyakini oleh para pendukungnya, yaitu: a) Belajar dan berkembang adalah bersifat sosial, sehingga belajar merupakan suatu kegiatan kolaboratif; b) “The Zone of Proximal Development” dapat bertindak sebagai suatu pegangan untuk rencana kurikuler dan mata pelajaran; c) Pengajaran di sekolah seyogyanya terjadi dalam suatu konteks yang bermakna (meaningful context) dan tidak bisa dipisahkan dari pengajaran serta pengetahuan yang dikembangkan oleh para peserta didik dan “dunia nyata”; d) Pengalaman-pengalaman di luar sekolah hendaknya dihubungkan dengan pengalaman- pengalaman para peserta didik (anak-anak) di dalam lingkungan sekolah.
  • 15. ZPD dalam hal ini merupakan suatu gagasan yang memandang bahwa potensi perkembangan kognitif seseorang terbatas pada suatu waktu tertentu saja. ZPD ini bisa dikembangkan secara terus menerus dan memerlukan interaksi sosial. ZPD menurut Vygotsky sebagai jarak antara tingkat perkembangan dengan tingkat potensi perkembangan yang dimiliki seseorang. Berdasarkan pada konsep ini, seorang guru bisa menawarkan suatu tujuan yang mungkin sulit dicapai oleh para peserta didik atau anak- anak dan kemudian mereka ini berusaha untuk mencapainya sendiri atau dengan bantuan anak-anak lain yang lebih dewasa. Vigotsky memandang bermain sebagai faktor atau sarana yang sangat penting dalam belajar. Berdasarkan prinsisp-prinsip teori Vygotsky seperti telah dibicarakan di atas, terdapat sejumlah kegiatan dalam kelas bahasa (termasuk kelas bahasa Inggris sebagai bahasa asing) yang bisa dijadikan tempat atau kesempatan untuk menerapkan gagasan konstruktivisme ini. Beberapa contoh kegiatan itu misalnya: a) Kegiatan workshop membaca dan menulis Di dalam workshop, peserta didik atau anak-anak yang kurang menguasai pokok bahasan akan lebih dahulu mendengarkan dan belajar dari mereka yang lebih mampu. Setelah mendengarkan dan mengikuti penjelasan tentang subject matter, maka peserta didik yang belum mampu itu akan mencoba melakukan sendiri atau dibantu dengan yang lebih mampu. Secara bertahap akhirnya mereka akan bisa melakukannya sendiri. b) Kegiatan belajar empat keterampilan bahasa Dalam belajar atau proses pengajaran bahasa, keempat kemampuan dasar; listening, speaking, reading, dan writing, dilakukan di dalam kelas. Peserta didik-peserta didik yang kurang menguasai bisa disatukan dengan yang lebih menguasai materi pelajaran bahasa. Dengan demikian terjadi semacam proses belajar dari teman secara tidak langsung. c) Kegiatan belajar berdasarkan situasi
  • 16. Situasi tidak selalu cocok dengan kebutuhan belajar. Bagaimana cara mengatasinya? Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah melalui pendekatan dan kegiatan konstruktivistik, misalnya hal ini bisa dilakukan di daerah-daerah terpencil yang kekurangan guru. Peserta didik yang pandai diminta membantu guru untuk mengajarkan pengetahuan yang telah dimiliki (dikuasai) kepada peserta didik lain yang belum menguasainya. d) Kegiatan belajar kolaboratif Belajar kolaboratif bisa terjadi di dalam kelas (suasana intra kurikuler) maupun ekstra kurikuler. Bentuk belajar kolaboratif ini bisa dilakukan dalam kelas writing bagi peserta didik SMP, SMA atau bahkan mahasiswa di PT. Peserta didik atau mahasiswa diminta untuk mencari dua atau tiga “kolaborator” yang akan saling mengoreksi pekerjaan masing-masing untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan mekanik penulisan (mechanic writing), kesalahan-kesalahan kecil, dan tidak dalam content (yang merupakan wewenang guru atau dosen untuk melakukannya). e) Kegiatan instruksi yang memberikan bantuan (anchored instruction). Instruksi bisa berbentuk task-based yang dilakukan melalui sistem konsultasi dengan guru. Dengan demikian, suatu tugas tidak hanya dimulai dari suatu instruksi yang kaku dan diserahkan sepenuhnya kepada peserta didik, akan tetapi tugas yang diberikan harus memberikan peluang bagi peserta didik untuk berdiskusi atau berkonsultasi dengan gurunya ketika mereka itu sedang menyelesaikan tugasnya. Instruksi tidak lagi murni instruksi melainkan ada unsur kolaboratif antara peserta didik dengan guru. f) Kegiatan games, simulasi, instruksi kasus atau problem solving. Dalam kelas bahasa kegiatan ini sangat tepat diterapkan dalam kelas speaking. Kegiatan ini unsur kolaborasi dan saling bantu masih tetap ditonjolkan di antara para peserta didik.
  • 17. Pada kenyataanya pendekatan konstruktivistik ini tidak hanya bisa diterapkan di kelas-kelas bahasa, tetapi dapat pula dilakukan di kelas-kelas MIPA, kelas komputer, akuntansi dan lain-lain yang menekankan kegiatan kolaboratif antara peserta didik dengan peserta didik atau peserta didik dengan guru. D. Penutup Teori psikologi mempunyai peranan yang sangat penting dalam membantu guru dalam mendesain proses pembelajaran bahasa Inggris sebagai asing. Pemahaman guru terhadap berbagai teori psikologi sangat diperlukan dalam rangka mendesain proses pembelajaran, sehingga mereka mampu menciptakan proses pembelajaran yang bermakna (menarik, menyenangkan dan menimbulkan motivasi) bagi peserta didik. Ketika hal ini bisa diwujudkan, maka tujuan pembelajaran yang sudah ditentukan sebelumnya akan lebih mudah untuk diwujudkan pula. Dapat disimpulkan pula bahwa di dalam pendekatan konstruktivistik terdapat beberapa pokok pikiran yang menjadikannya berbeda dengan pendekatan pedagogik lainnya. Pendekatan konstruktivistik ini dapat dijabarkan dalam beberapa hal, yaitu memandang kultur sebagai sumber pengajaran; memandang pihak lain sebagai stake- holders dalam pengembangan pengetahuan; memandang peserta didik sebagai seseorang yang mempunyai potensi yang mesti dikembangkan; dan menempatkan ZPD, seperti dalam teori Vygotsky, sebagai komponen vital dalam proses belajar. Dengan mengembangluaskan ZPD, peserta didik pada tinkat pendidikan apapun akan bisa mengembangkan dirinya secara terus menerus melalui lingkungannya. DAFTAR REFERENSI Annie Susiany S. 2002. Bahasa Inggris. Materi Penataran Tertulis Pengayaan Guru SMU. Bandung: PPPG Tertulis. Bruner, J. 1990. Acts of Meaning. Cambridge: Havard University Press. Cameron. 2001. Teaching Languages to Young Learners. UK: Cambridge University Press.
  • 18. Chomsky, N. 1965. Aspects of the Theory of Syntax. Cambridge: MIT Press. Halliday, M.A.K. 1978. Language as Social Semiotic. London: Edward Arnold. Helena I.R. Agustien. 2004. Landasan Filosofis Teoritis Pendidikan Bahasa Inggris. Jakarta: Dirjend Dikdasmen Depdiknas. Rodi Hartono,M.Pd. *) Dosen bahasa Inggris di STAIN Kerinci dan Mahasiswa Program Doktor Universitas Negeri Padang