Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Kritik Mimetik Cerpen Harmoni: Harmoni di Era 1960
1. Harmoni di Era 1960
karya: Vanny Andriani
Judul : Air
Karya : Ras Siregar
Penerbit : PT Pustaka Karya Grafika Utama
Tempat Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 1987 (cetakan kedua)
Air merupakan karya pertama sastrawan Ras Siregar lewat kumpulan cerita pendeknya,
Harmoni. Lewat karyanya ini, kita dapat banyak melihat permasalahan di berbagai bidang
yang diangkat oleh Bung Ras. Tanpa penggambaran yang jelas dan tepat lewat
penokohannya, angan-angan beliau untuk menunjukkan permasalahan tersebut tidak akan
tercapai. Maka pada cerita pendek Air ini, beliau menulis cerita pendeknya sedemikian rupa
sehingga suasana kehidupan di kota Harmoni terasa realistis oleh para pembaca. Media yang
digunakan Bung Ras untuk menyempurnakan cerita pendeknya adalah gambaran profil
tokoh. Gambaran profil tokoh yang digunakan beliau pun tak tanggung-tanggung, meliputi
dimensi fisiologis (penampakan), dimensi sosiologis, dan dimensi psikologis secara lengkap
Tentunya dimensi tersebut memperjelas realita kehidupan Harmoni yang ingin diangkat Bung
Ras.
Pada cerita pendek ini, Bung Ras memfokuskan fenomena sosial yang ingin diangkat dan
salah satunya adalah masalah air bersih di kawasan ibu kota Jakarta, tepatnya di Harmoni
yang merupakan kawasan elit. Untuk memperjelas realita bahwa Harmoni merupakan
kawasan elit namun tetap tersinkron pada fenomena air bersih, Bung Ras mencoba
menyisipkan gambaran profil tokoh dengan dimensi sosiologis. Dimensi sosiologis ini
tergambar pada kutipan cerita pendek (Siregar, 1987: 28) berikut ini
Beberapa tahun yang lalu, aku pernah tinggal di daerah
Kemayoran. Airnya setetes-setetes. Kalau aku mandi lebih
dari lima gayung, induk semangku akan bermuka masam.
Lantas, ketika aku pindah ke Petojo, airnya mengucur
sebesar kencing monyet. Tapi tetap, jika aku mandi lebih
dari lima gayung, induk semangku akan mengomel panjang.
Katanya air mahal! Ketika aku tinggal di Grogol hanya
mandi dengan air sumur. Coklatnya memang tidak secoklat
Kali Ciliwung. Gerutuan tetap saja sama. Air mahal!
Maksudnya tentu air minum! Lebih dari itu, mereka merasa
2. iri dengan orang yang sudah hidup dengan air ledeng.
Kecuali daerah elite Menteng dan Kebayoran Baru, semua
orang menggerutu tentang air.
Dari kutipan tersebut, Bung Ras mencoba menggambarkan peranan dan aktivitas sosial tokoh
dengan dimensi sosiologis tersebut. Tidak hanya sekedar mencoba menggambarkan, kutipan
tersebut juga serta merta memperlihatkan kita pada realita bahwa setelah sekitar 20 tahun
Indonesia merdeka pun, di daerah ibukota Jakarta saja masih banyak orang hidup tanpa air
ledeng mengaliri. Merupakan penggambaran situasi saat itu yang sangat baik.
Penggambaran situasi dengan baik dilakukan lagi oleh Bung Ras saat membahas pengaruh
air bersih itu sendiri pada kehidupan masyarakat Indonesia. Berikut kutipan cerita pendek Air
karya Ras Siregar (1987: 29)
Indonesia penuh dengan air. Tapi akhirnya diharuskan
membeli air dari pemikul-pemikul dengan harga tinggi. Ini
pun biasa! Seperti harga barang naik, mulanya menggerutu,
protes kiri dan kanan, akhirnya protes itu ditelan keprotesan
massa. Lantas jadi biasa.
Dimensi sosiologis kembali digunakan Bung Ras pada kutipan di atas. Dimensi tersebut
terlihat pada kehidupan pribadi dan aktivitas masyarakat saat memberikan kontra pada
fenomena ini. Melalui kutipan di atas, pembaca dapat mengetahui bagaimana dampak
permasalahan air bersih ini pada masyarakat Indonesia. Masyarakat yang memberi protes
kontra pada akhirnya harus menelan kenyataan dan membiasakan diri. Realita masalah air
bersih di era 1960-an pun makin terkuak dengannya.
Penggambaran realita dampak masalah air bersih dipaparkan Bung Ras tidak hanya
dilakukan lewat dimensi sosiologis tokoh saja, juga lewat dimensi lainnya yaitu dimensi
psikologis. Dimensi psikologis tersebut disisipkan dengan baik oleh beliau pada kutipan
berikut
Ketika aku pulang dari kantor, kudengar isteri rekan serumah
dan isteriku sedang bertengkar.
“Kamu, sih, buka air besar-besar!” bentak istri rekan.
“Habis!”
“Habis apa? Mandi semaunya! Make air sesukanya!”
“Bayarnya sama saja,” balas isteriku kalam.
“Mentang-mentang suamimu mampu!”
…
3. “Terlalu! Make air semaunya! Kalau sudah distop, eh-eh,
malah sok tenang!” gerutu isteri rekan dengan berani.
“Kalian yang mandi berapa? Kami kan hanya berdua! Tapi,
bayaran jumlah kamu semua dan kami berdua, yah sama
saja! Jadi, yang royal itu, bukan kami,” kataku kalam
(Siregar, 1987: 35 – 36).
Temperamen, mentalitas, perasaan, dan sikap tokoh yang menjadi bagian dimensi psikologis
tergambar sempurna pada kutipan ini. Kutipan tersebut membantu kita untuk bernalar bahwa
pada lingkup yang lebih kecil, masalah air bersih ini pun dapat memicu pertengkaran atau
kebersitegangan antar masyarakat. Temperamen yang tinggi memberikan penggambaran
pada pembaca bagaimana perasaan tertekan akan keadaan oleh masyarakat akibat
permasalahan air bersih ini. Kali ini, Bung Ras menggambarkan situasi pada saat itu secara
implisit atau tidak langsung. Artinya, beliau menyampaikan maksud penulisannya secara
tersirat namun dengan tetap tidak mengurangi nilai estetika pada cerita pendeknya.
Selain percik tengkar permasalahan air bersih di atas, Bung Ras juga memperlihatkan
realita lainnya yaitu adanya kesenjangan sosial di masa itu. Kali ini Bung Ras menggunakan
kombinasi dimensi antara sosiologis dan psikologis untuk membantu penyampaian maksud
tulisannya. Berikut kutipan cerita pendek Air karya Ras Siregar (1987: 31 – 32)
…. Terkadang kami pernah berdebat soal penggunaan
kaporit dan pemakaiannya. Tapi aku merasa tidak senang
sebab dia sendiri tidak tahu, apa dan bagaimana kegunaan
kaporit. Dia tak tahu soal kaporit tetapi mengajak berdebat
soal kaporit. Dan dari nada debatnya, aku melihat watak
berikutnya. Ia kini merasa telah punya segala, berarti ia
boleh bicara tentang apa saja.
…
Sejak itu sikapku kepadanya dingin saja. Aku berusaha
menghindarkan pertemuan dan percakapan dengannya
karena pembicaraannya akan lebih banyak merupakan
percakapan sok kuasa.
Dari kutipan tersebut, kita dapat memahami bahwa maksud penulisan Bung Ras adalah
kesenjangan sosial dapat mempengaruhi kondisi psikologis seseorang. Secara rinci,
kesenjangan sosial (dimensi sosiologis) yang dimaksud dalam kutipan ini meliputi status
sosial –si kaya dan si miskin– dan kehidupan sosial lewat interaksi sosial. Sedangkan pada
4. dimensi psikologis, Bung Ras secara implisit mengkondisikan tokoh pada mentalitas, norma
dan nilai, serta temperamen. Pada saat kedua dimensi tersebut dikombinasikan, pembaca
dapat melihat dengan jelas dan alami kesenjangan sosial tersebut sebagai suatu realita.
Merupakan penggambaran dunia sosial yang sangat baik.
Di samping penggunaan dimensi sosiologis dan psikologis, Bung Ras tak lupa
mengikutsertakan dimensi fisiologis pada gambaran profil tokoh. Hal ini dimanfaatkan beliau
untuk memperjelas realitas yang ingin diangkatnya. Berikut kutipan bukti penggunaan
dimensi fisiologis (Siregar, 1987: 33)
Isteriku merengut. Wajahnya penuh kekesalan akan
ketidakadilan sedangkan aku tenang-tenang saja.
Rencananya untuk membeli kain putih bakal persiapan
kehadiran penghuni baru jadi pudar oleh air.
Dari kutipan tersebut, dimensi fisiologis tokoh disampaikan Bung Ras secara eksplisit. Hal
ini dilihat dari pemaparan raut wajah dan jenis kelamin tokoh. Dimensi fisiologis ini juga
digunakan beliau pada kutipan cerita pendek lainnya (Siregar, 1987: 36) yang
menyatakan,”Dari wajah mereka aku dapat menduga bahwa mereka kehilangan segala.”
Realita yang ingin disampaikan Bung Ras pun makin mudah diterima pembaca.
Selain memperlihatkan fenomena air bersih dan kesenjangan sosial, Bung Ras lewat cerita
pendeknya ini juga mencoba menyampaikan bagaimana kondisi kehidupan keluarga di era
1960-an, tepatnya di kawasan Harmoni. Agar maksud penulisan tersampaikan dengan baik
pada pembaca, beliau kembali menggunakan dimensi sosiologis pada tokoh. Berikut kutipan
cerita pendek Air untuk dimensi sosiologis pada fenomena kehidupan keluarga (Siregar,
1987: 30)
Kemudian keluarga bertambah. Aku kawin. Rekan serumah
didatangi penghuni baru, si bayi. Jadi, kini anaknya delapan.
Ditambah ayah dan ibu anak-anaknya itu, berarti mereka
punya sepuluh jiwa. Dua belas jiwa ditambah jiwaku dan
isteriku. Sewa bertambah menjadi tiga ratus perak. Dan tetap
separuh seorang karena masing-masing merasa sebagai
kepala keluarga. Namun air tetap mengalir deras.
Dari kutipan tersebut, terpaparkan dengan baik bahwa pada kehidupan keluarga tokoh „Aku„
sempat memiliki keresahan tersendiri di awal pernikahannya. Keresahannya ini disulut oleh
naiknya harga sewa rumah yang jika dibandingkan pendapatannya menjadi tidak seimbang.
5. ”Sewanya 250 perak bagi dua per bulan. Sebesar honorarium sebuah cerita pendek.“, tulis
Bung Ras pada cerita pendeknya (Siregar, 1987: 30). Kutipan tersebut menjadi bukti
perbandingan pendapatan oleh tokoh „Aku‟ sebelum kenaikan harga sewa.
Namun, di penghujung cerita pendek „Air‟ ini memiliki sedikit kejanggalan. Kejanggalan
ini terdapat pada tahap penyelesaian konflik cerita pendek. Tertulis pada cerita pendek
Diam-diam, di suatu hari, aku menghadap ke seorang teman
yang bekerja di perusahaan air minum itu. Dengan
perantaranya maka segel dibuka. Lalu di sore hari yang sepi,
air pun mengucur kembali (Siregar, 1987: 37).
Bila dinalar menurut realita, akan lebih baik jika si tokoh ‟Aku„ lebih cepat menemui
temannya di perusahaan air minum itu. Bukan malah menunggu waktu berlalu sedemikian
lamanya. “Dua bulan akhirnya lewat.” tulis Bung Ras (Siregar, 1987: 37). Kejanggalan ini
juga serta merta menutup cerita pendek ini dengan kurang menarik dan dapat saja membuat
pembaca merasa kecewa akan alur cerita yang dipasang beliau pada cerita pendek ini.
Dari uraian di atas, dapat diketahui secara keseluruhan penulisan dan penceritaan konflik
sesuai kenyataan pada cerita pendek Air karya Ras Siregar ini terbilang baik. Hanya saja pada
akhir cerita terdapat sedikit kejanggalan yang dapat membuat pembaca merasa kecewa.
Lewat cerita pendeknya ini, Bung Ras mengangkat permasalahan sosial yang dialami
masyarakat Indonesia di era 1960an meliputi masalah air bersih, kesenjangan sosial, dan
kehidupan berkeluarga. Ketiga fokus fenomena ini merujuk pada proses sistem perencanaan
pembangunan sosial yang pada tahun 1960an (era Orde Lama) tersendat-sendat. Perencanaan
pembangunan sosial yang tersendat ini membawa ekonomi Indonesia pada titik yang paling
suram (http://dhanusoftware.blogspot.com/2012/06/jelaskan-strategi-dan-pembangunan.html,
diunduh pada 17 Februari 2013). Diharapkan lewat cerita pendek ini nantinya oleh pembaca
dapat dilihat kembali pengalaman Indonesia di era 1960an. Pengalaman ini selanjutnya dapat
dipelajari dan diambil positifnya serta diaplikasikan pada kehidupan mendatang.
Kusuma, Dhanu. 2012. ”Jelaskan strategi dan pembangunan nasional indonesia dari masa
sesudah kemerdekaan sampai reformasi”. http://dhanusoftware.blogspot.com/2012/06/
jelaskan-strategi-dan-pembangunan.html diunduh pada 17 Februari 2013