Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Pemerintah Orde Baru melaksanakan strategi Revolusi Hijau untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan mencapai swasembada pangan melalui modernisasi input pertanian dan ekspansi lahan irigasi.
2. Meskipun terjadi peningkatan input dan lahan irigasi selama Revolusi Hijau, tingkat ekspansi lahan irigasi di Indonesia relatif kecil dibandingkan negara Asia lainnya.
3. Sebagian
ANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptx
Bab 5 pertanian dan ketahanan pangan
1. [Type text]
BAB 5
PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN
A.
REVOLUSI HIJAU
Selama periode orde baru, industri dan pertanian merupakan dua sektor
prioritas. Untuk mendukung pembangunan pertanian, pemerintah pada waktu itu
melakukan modernisasi atau intensifikasi, dikenal dengan sebutan revolusi hijau,
yang di Indonesia diterjemahkan menjadi Bimbingan Massal (Bimas) sebagai
strateginya.
Motivasi di belakang strategi ini sedarhana: kompleksitas masalah jumlah
penduduk, kemiskinanan, dan penyedian pangan adalah tantangan paling besar
yang dihadapi Soeharto sejak memulai Pembagunan Lima Tahun (Pelita) I tahun
1969. Waktu itu jumlah penduduk Indonesia sekitar 120 juta jiwa dengan pertumbuhan
rata-rata 2,3% per tahun, dan sebagai besar di jawa, yang merupakan pusat produksi
beras nasional. Juga pada awal-awal pemerintahan orde baru, produksi pertanian,
khususnya beras, sangat rendah. Pada tahun 1968, misalnya; produksi beras nasional
rata-rata 1,27 juta ton per hektar (ha) dengan luas tanam sekitar 8,02 juta ha (Pambudy,
2008).
Waktu itu ekonomi Indonesia juga belum terdiversifikasi: sumbangan output
pertanian terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) tercatat sebesar 50%
dan juga merupakan sektor terbesar dalam pemberian lapangan kerja (sekitar 70% dari
jumlah penduduk). Sedangkan sector industri manufaktur masih sangat lemah. Dalam
ekspor nonmigras, subangan dari sektor pertanian juga dominan sekitar 50%. Juga
dalam pembentukan modal tetap, prtanian paling besar kontribusinya (Pambudy, 2008).
Strategi ini, juga intensifikasi pertanian, ditandai dengan pemakaian inputinput yang lebih baik, sering disebut input-input pertanian ‘modern’ (seperti pupuk
buatan pabrik atau nonorganik, insektisida, dan bibit-bibit unggul), teknologiteknologi baru (termasuk sistem irigasi teknis), cara pemasaran yang modern, dan
proses produksi dengan tingkat mekanisasi yang tinggi.
Strategi ini, yang juga bersandar pada penggunaan benih monokultur,
dilaksanakan bersama-sama dengan investasi publik yang masif di perdesaan, termasuk
pendidikan, pembangunan jalan raya, serta fasilitas-fasilitas listrik dan telekomunikasi.
Tujuan utama dari strategi ini ada dua, yakni meningkatkan produktivitas di sektor
termasuk untuk mencapai swasembada pangan, khususnya beras, dan
meningkatkan pendapatan rill per kapital di sektor itu pada khususnya dan di
perdesaan pada umumnya yang selanjutnya bisa mengurangi.
Selain kedua tujuan tersebut, modernisasi di pertanian juga bertujuan untuk
mendukung pembangunan industri nasional, terutama industri-indusrti yang
memakai komoditas-komoditas pertanian sebagai bahan baku utama mereka,
misalnya industri makanan dan minuman.
1
2. [Type text]
Untuk melaksanakan pembangunan pertanian, khususnya program revolusi
hijau tersebut, pemerintah Soeharto mengeluarkan dana yang jumlahnya tidak
kecil, yang sebagaian didukung oleh bantuan atau pinjaman luar negeri. Booth (1998)
mencatat bahwa pada akhir dekade 1960-an, sektor tersebut, terutama subsektor beras,
mendapat alokasi dana 30% dari pengeluaran pemerintah, termasuk untuk
pembangunan irigasi dan prasaranan yang diperlukan untuk meningkatkan produksi.
Selain itu, dana 20% dianggarkan untuk membangun jalan sehingga petani memiliki
akses ke sarana produksi, terutama pupuk, dan juga akses untuk menjual hasil pertanian
mereka.
Satu hal yang menarik yang menunjukan keseriusan pemerintah orde baru
waktu itu membanguan sektor pertanian, seperti yang diceriterakan oleh Pambudy
(2008), adalah keputusan Soeharto membangun pabrik pupuk di dalam negeri,
walaupun waktu itu tidak disetujui oleh Bank Dunia, lembaga yang sangat berperan
dalam membantu pendanaan revolusi hijau di Indonesian.
Keseriusan Soeharto membangun pertanian juga dapat dilihat dari pembanguan
jangka panjang (PJP) I (1969-1994) yang menekanakan pada pembangunan sektor itu
dengan menjaga harga pangan (lahirnya badan logistik nasional atau Bulog),
untuk menjamin ketahanan pangan. Pemerintah waktu itu sangat yakin bahwa
ketahanan pangan sebagai prasyarat utama bagi kelangsungan pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Pambudy, 2008).
Dari sisi input, luasnya lahan pertanian beririgasi teknis dan banyaknya
pemakaian input-input modern sering digunakan sebagai indikator- indikator untuk
mengukur intensitas dari modernisasi atau pelaksanaan revolusi hijau di sektor
pertanian. Harapan umum adalah bahwa dari sisi input, strategi pengembangan
pertanian ini akan menghasilkan ekspansi lahan beririgasi teknis dan
peningkatan penggunaan input-input modern.
Data historis dari Bahan Pusat Statistik (BPS) mengenai penggunaan lahan
pertanian dan pemakaian pupuk dan input-input lainnya di Indonesia pada umumnya
tidak akurat. Data dari dekade 70-an dan lebih awal tidak bisa sepenuhnya
dibandingakan dengan data paling akhir. Akan tetapi, ini bukan hanya masalah
Indonesia. Juga di banyak bagian dari Asia dan Afrika, stratistik-stratistik pertanian
nasional terus-menerus di revisi dan diperbaiki, yang menciptakan masalah
komparabilitas . Oleh karena itu, banyak studi sebelumnya juga memakai data dari
Organisasi Pertanian Dunia (FAO).
Namun, data FAO juga bermasalah sejak data tersebut didapat, sebagian,
merupakan estimasi-estimasi sendiri. Database dari FAO mengenai penggunaan lahan
pertanian di Indonesia sangat berbeda dengan estimasi BPS. Estimasi BPS
menunjukkan bahwa lahan pertanian meningkat dari 17 juta hektar (ha) sebelum
revolusi hijau dilaksanakan ke lebih dari 37 juta ha di dekade 90-an. Data FAO,
sebaliknya, menunjukkan bahwa luas lahan yang digunakan untuk pertanian naik dari
38,4 juta ha dalam dekade 70-an ke 44,88 juta ha tahun 2002, atau lahan siap/sudah
ditanami bertambah dari sekitar 18 juta ha pada era 70-an ke 20,5 juta ha tahun
2002. Bagian dari lahan pertanian yang teririgasi selama periode 60-an hingga 70-an
rata-rata per tahun 10% dan pernah mencapai 11% pada dekade 80-an.
2
3. [Type text]
Dengan memakain data BPS dan FAO, hasil penelitian dari Fuglie (2004)
memberikan suatu gambaran mengenai pemakaian lahan dan input-input modern di
sktor pertanian di Indonesian yang dibagi dalam tiga periode:
sebelum revolusi hijau de dekade 60-an, selama revolusi hijau dari dekade 70-an
hingga 90-an (saat revolusi hijau dapat dikatakan mati suri). Seperti dapat dilihat
di table 5.1, di dekade 60-an lahan pertanian meningkat setiap tahun, dan selama
periode revolusi hijau laju peningkatannya bertambah 2,3% per tahun, dan setelah itu
selama periode 1992-2000 sekitar 2,1% per tahun. Sebelum revolusi hijau dimulai,
lahan irigasi (teknis dan nonteknis) meningkat dengan rata-rata 1,4% setiap tahunnya
dan selama revolusi hijau meningkat dengan lebih dari setengah ke 2,3 % per tahun,
tetapi setelah itu merosot secara signifikan ke 0,3% per tahun.
Tabel 5.1
Kuantitas dan Laju Pertumbuhan rata-rata per tahun dari pemakaina lahan
Dan input-input modern di pertanian
Kuantitas
Lahan (juta ha)
Lahan irigasi (juta ha)
Pupuk pabrik (juta ton)
Mesin (juta tenaga kuda)
Pupuk lahan (kg/ha)
196165
17,6
2,4
0,1
0,1
6,9
197175
18,9
2,7
0,4
0,2
22,7
198185
26,0
3,3
1,7
0,2
64,0
199195
32,2
4,6
2,5
0,6
76,3
Laju Pertumbuhan (% per
tahun)
19611961- 1968- 19932000
67
92
2000
2,0
0,3
2,3
2,1
1,8
1,4
2,3
0,3
10,6
1,7
16,0
0,1
11,5
7,5
14,3
5,9
8,5
1,3
13,6
-2,0
Namun demikian, dilihat dari perspektif komparatif, luas lahan irigasi teknis
sebagai suatu persentase dari luas lahan pertanian di Indonesian relatif kecil
dibandingkan dengan di negara-negara Asia lainnya tersebut, terkecuali dengan
China yang kurang lebih sama sekitar 10% per tahun (Gambar 5.1). Yang paling
menonjol adalah Vietnam, yang memang sehabis perang tahun 1975 negara tersebut
membangun sektor pertanianya dengan sangat serius. Pada dekade 60-an, rasionya
tercatat antara 15% hingga 17% dan mengalami suatu peningkatan yang semapat
mencapai lebih dari 40% pada pertengahan pertama dekade 90-an dan setelah itu
trennya cenderung menurun. Ekspansi lahan irigasi teknis di India dan Thailand juga
menjukkan pertumbuhan yang konsisten selama periode yang sama, yang membuat
perbedaannya dengan Indonesia cenderung membesar terus.
Gambar 5.1 ( gak bisa di kerjain)
Sedangkan data dari Departemen Pekerjaan Umum (PU) menunjukkan
bahwa selama periode 1999-2005, peningkatan lahan sawah beririgasi di Indonesia
dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa hanya 0,47 juta ha dari 6,23 juta ha jadi
6,7 juta ha. Ini jauh lebih rendah dibandingkan India dengan 1,1 miliar orang
dimana luas lahan irigasinya tumbuh 16 juta ha, dari 59 juta ha ke 75 juta ha, dan
lebih kecil lagi jika melihat China dengan 1,3 miliar orang yang penambahannya
mencapai 40 juta ha dari 54 juta ha menjadi 94 juta ha. Perbedaan ini memberikan
suatu kesan bahwa jumlah penduduk yang besar tidak harus menjadi penghalang bagi
pertumbuhan lahan pertanian, melainkan tergantung pada pola distribusi dari
jumlah populasi antarwilayah dan perencanaan yang baik dalam mengalokasikan
3
4. [Type text]
lahan yang ada menurut kegiatan ekonomi dan nonekonomi sehingga tidak
merugikan kegiatan pertanian.
Selanjutnya, di table 5.2 dapat dilihat bahwa luas lahan irigasi teknis di
Indonesia tidak merata. Paling luas terdapat di Pulau Jawa yang menurut data
2004 mencapai sekitar 1,5 juta ha atau lebih dari setengah dari luas lahan irigasi
teknis di seluruh Indonesia pada tahun yang sama, dan paling kecil terdapat di Bali,
Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Nusa Tenggara Barat (NTB) yang hanya 84 ribu ha
lebih. Dilihat dari lahan dengan irigasi semi teknis, Pulau Jawa juga berada pada posisi
teratas.
Tidak meratanya distribusi dari proses modernisasi pertanian tersebut
erat kaitnnya dengan posisi dari Pulau Jawa yang memang sejak era kolonialisasi
hingga sekarang sebagai pusat produksi padi di Indonesian, sedangkan pulaupulau lainnya, secara sengaja atau tidak (proses alami), sebagai pusat-pusat
perkebunan, seperti kelapa sawit, karet dan kopi dan produksi nonpaid, seperti
buah-buahan dan sayur-sayuran.
Karena lahan irigasi terpusatkan di Jawa, maka dengan sendirinya Jawa
memiliki paling banyak jumlah sentra produksi padi/beras (Tabel 5.3). Kabupaten
Indramayu di Jawa Barat merupakan sentra terbesar, menggeser posisi Kabupaten
Karawang yang sempat sebagai pusat produksi padi/beras di Indonesia samasa
penjajahan Belanda hingga era orde baru. Data 2004 menunjukkan bahwa sentra
Indramayu menghasilkan satu juta ton lebih disusul kemundian oleh Karawang dengan
sekitar 960 ribu ton.
Tabel 5.2
Komposisi lahan pertanian basah di Indonesia menurut wilayah 2004
TIPE LAHAN
Sumatera
Irigasi teknis
Irigasi semi teknis
Irigasi perdesaan
Sawah tanah hujan
Rawa lebak
Pasang surut
Jumlah
321.234
257.771
455.235
550.440
288.661
230.621
2.103.962
Luas Lahan (ha)
Bali,NT
Kalimantan
T,NTB
84.632
24.938
173.364
33.297
92.070
189.326
68.380
339.705
29
323.556
72
97.603
418.547
1.008.425
Jawa
1.516.252
402.987
615.389
777.029
776
4.144
2.316.577
4
Sulawesi
Total
262.144
121.402
234.933
279.295
2.179
884
900.837
2.209.200
988.821
1.586.953
2.015.349
615.201
333.324
7.748.848
5. [Type text]
Tabel 5.3
Sentra-Sentra Padi di Jawa 2004
Kabupaten
Indramayu
Karawang
Subang
Jember
Banyuwangi
Lamongan
Cilacap
Bojonegoro
Pandeglang
Grobongan
Demak
Sleman
Produksi (ton)
1.080.306
962.424
891.572
692.933
679.079
663.587
628.001
602.926
570.464
552.034
512.839
253.873
Luas lahan (ha)
196.514
178.614
171.541
135.373
108.980
120.268
121.870
106.623
116.521
95.875
92.148
44.749
Pemaikaian input-input modern di pertanian Indonesia juga sangat intensif
selama periode revolusi hijau, yang pertumbuhanannya rata-rata lebih dari 10% per
tahun antara 1961 dan 2002. Lebih spesifik, laju pertumbuhan dalam pemakian
traktor untuk semua ukuran, baik yang dua maupun empat ban (diukur dalam tenaga
kuda yang resedia), mengalami suatu peningkatan dari sekitar 7,5% per tahun
sebelum era revolusi hijau ke sekitar 14,3% per tahun selama pelaksanaan strategi
tersebut.
Namun demikian, pemakaian input ini per hekternya di Indonesia tetap kecil
dibandingkan di Negara-negara Asia lainnya tersebut; terkecuali China yang kurang
lebih sama seperti Indonesia (Gambar 5.2). Hal ini bisa memberi kesan bahwa tingkat
mekanisasi dari pertanian Indonesia masih relative rendah, walaupun pemerintah telah
berupaya meningkatkannya selama revolusi hijau.
Pemakaian traktor yang tumbuh sangat pesat adalah Vietnam yang laju
pertumbuhannya mengalami suatu akselerasi tinggi menjelang pertengahan dekade 90an. Pemerintah sangat manyadari bahwa salah satu cara yang efektif untuk
meningkatkan produktivitas pertanian adalah lewat meningkatkan mekanisasi dalam
proses produksi dan salah satunya dengan menggantikan tenaga binatang dengan
traktor.
Di sektor pertanian di India dan Thailand, traktorisasi juga sangat
konsisten dengan perluasan lahan irigasi teknis. Sedangkan dalam hal pupuk
nonorganik, pemakaiannya di pertanian Indonesia sangat tinggi dibandingkan
dengan di negara-negara Asia lainnya itu. Dalam 10 hingga 20 tahun, laju
pertumbuhannya rata-rata per tahun meningkat dari sekitar 1,7% dalam dekade 60-an
ke 16% selama periode 1970-an-1980-an, yang membuat pemakaian pupuk modern ini
per hektar juga mengalami suatu peningkatan dari sekitar 13,6% rata-rata per tahun
selama periode yang sama (Gambar 5.3)
GAMBAR 5.2 (TIDAK BISA DIGAMBAR HAL 143)
B. PERKEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN
5
6. [Type text]
1. Kontribusi PDB
Mungkin sudah merupakan suatu evolusi alamiah seiring dengan
proses industrialisasi, di mana pangsa output agregat (PDB) dari pertanian
relative menurun, sedangkan dari industri manufaktur dan sektor-sektor
sekunder lainnya dan sektor tersier meningkat.
Perubahan struktur ekonomi seperti ini juga terjadi di Indonesia. Selama
periode 1990-an pangsa PDB dari pertanian (termasuk peternakan, kehutanan,
dan perikanan) mengalami penurunan (atas harga konstan 1993) dari sekitar
17,9% tahun 1993 menjadi 19,6% tahun 1999, sedangkan pangsa PDB dari
industri manufaktur selama kurun waktu yang sama meningkat dari 22,3%
menjadi 26,0%. Dari tahun 2000 hingga 2006, pangsa PDB dari pertanian lebih
rendah lagi, sekitar 15%, sedangkan dari industri naik ke sekitar 27% hingga
28%. Sedangkan atas harga yang berlaku, pangsa PDB dari pertanian menurun
dari 19,4% pada awal dekade90-an menjadi 13,6% pada tahun 2006 dan pada
kuartal 1 2007 tercatat sebesar hampir 14% (Tabel 5.4)
Penurunan kontribusi output dari pertanian terhadap pembentukan
PDB ini bukan berarti bahwa volume produksi di sektor tersebut
berkurang (pertumbuhan negatif) selama periode tersebut, tetapi laju
pertumbuhan output-nya lebih lembat dibandingkan laju pertumbuhan
output di sektor-sektor lain.
Di Tabel 5.5 dapat dilihat bahwa selama periode 2001-2004, output
pertanian tumbuh sekitar 3% hingga 4%, sedangkan industri antara 3%-6%.
Data BPS untuk semester 1, 2005 menunjukkan bahwa selam semester tersebut,
output pertanian hanya tumbuh 0,3%, sementara output industri tumbuh 6,8%
dari semester yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan untuk triwulan III-2007
dibandingkan triwulan yang sama tahun 2006, pertumbuhan output pertanian
tercatat 8,9%. Untuk triwulan-triwulan lainnya selama tahun 2007 (tidak
ditunjukkan di table tersebut), yakni: triwulan II-triwulan I, dan triwulan IIItriwulan II, output pertanian tumbuh, masing-masing 6% dan 10,2%; dan untuk
triwulan I s/d III-2007 dibandingkan periode yang sama tahun 2006 (juga tidak
ditunjukkan di table itu), output peranian tumbuh 4,3%.
TABEL 5.4
Distribusi PDB menurut Tiga Sektor Besar, 1968-2007(%)
Sektor
Pertanian
Industri
Jasa-jasa
1968
51,0
8,5
36,3
1988
24,1
18,5
45,2
1990
19,4
39,1
41,5
1995
17,1
41,8
41,1
2000
15,6
45,9
38,5
2002
15,5
44,5
40,1
2003
15,2
43,7
41,1
2004
14,3
44,6
41,0
2005
13,1
46,8
40,2
2006
13,6
47,0
40,1
2007
13,9
27,6
49,4
Keterangan: 1) atas harga yang berlaku; 2) termasuk perikanan, perkebunan,
kehutanan, dan Peternakan; 3) lainnya terdiri atas sektor listrik, gas dan air
6
7. [Type text]
minum, konstruksi, Perdagangan, pengangkutan dan komunikasi, bank dan
lembaga keuangan, sewa Rumah, pemerintah, dan jasa-jasa; 4) kuartal I; 5)
manufaktur.
Tabel 5.5
2004
Periode
Semester I 2005
Terhadap Terhad
Sem.I
ap
2004
Sem.II
2004
0,3
5,1
-0,9
-5,5
2003
Pertanian*
Pertambangan &
Penggalian
Industri manufaktur
Listrik,gas & air bersih
Bangunan
Perdagangan, hotel,&
restoran
Transportasi &
Komunikasi
Keuangan , sewa &
perusahaan jasa
Jasa-jasa lainnya
PDB
PDB tanpa minyak & gas
2002
Sektor
2001
Pertumbuhan PDB menurut sektor di Indonesia, 2001-2007 (triwulan III) (%)
3,1
0,3
3,2
1,0
4,3
-0,9
4,1
-4,6
3,3
7,9
4,6
4,4
5,3
8,9
5,5
3,9
5,3
5,9
6,7
5,3
6,2
5,9
8,2
5,8
6,8
7,7
7,4
9,7
8,1
8,4
6,6
6,4
11,
6
7,0
12,
7
7,7
3,2
3,8
5,1
3,8
4,4
5,1
3,9
4,9
5,8
4,9
5,1
6,2
Triwulan III-2007
Terhadap
Sumber
Triw. III
Pertumbuhan
2006
(year on year)
8,9
1,8
1,3
0,2
2,7
3,6
0,7
3,0
4,5
11,7
7,5
6,9
1,2
0,1
0,5
1,2
13,5
4,7
12,5
0,8
8,2
4,0
8,0
0,7
4,6
5,9
7,0
2,5
2,4
3,1
5,7
6,5
6,9
0,5
6,5
6,4
Keterangan: *) termasuk perikanan, perkebunan, kehutanan, dan peternakan
Walaupun dalam tahun-tahun tertentu laju pertumbuhan output di sektor
pertanian bisa sama atau lebih tinggi dari pada di sektor-sektor nonpertanian,
tetapi pada umumnya output pertanian tumbuh relatif lebih rendah atau bahkan
cenderung menurun dalam periode jangka panjang. Ini bisa karena dua hal. Dari
sisi permintaan karena secara rata-rata, elastisitas pendapatan dari permintaan
terhadap komoditas pertanian lebih kecil daripada elastisitas pendapatan dari
permintaan terhadap produk-produk dari sektor-sektor lain, seperti barangbarang industry. Jadi, dengan peningkatan pendapatan, laju pertumbuhan
permintaan terhadap komoditas pertanian relatif lebih kecil dibandingkan
permintaan konsumen terhadap barang-barang industri. Dari sisi penawaran
(produksi), tingkat produktivitas di pertanian relatif rendah. Memang, salah satu
karakteristik dari sektor pertanian di Negara-negara sedang berkembang (NSB),
termasuk Indonesia, adalah rendahnya tingkat produktivitas dibandingkan di
sektor-sektor lainnya, khususnya industri manufaktur.
7
8. [Type text]
Di dalam kelompok ASEAN, walaupun Indonesia merupakan Negara
anggota terbesar dalam jumlah penduduk (berarti luas pasar domestik)
dan luas lahan pertanian, dalam kenyataannya Indonesia bukan Negara
terbesar dalam hal sumbangan sektor pertanian terhadap pembentukan
PDB. Tabel 5.6 menunjukkan bahwa selama dekade 90-an, Indonesia lebih
kecil dibandingkan Kamboja, Laos PDR, Myanmar, Vietnam, dan Filipina.
Di dekade 2000-an juga demikian, peran sektor pertanian dalam pembentukan
PDB di Indonesia bukan yang terbesar. Fakta ini menguatkan dugaan rendahnya
tingkat produktivitas (atau laju pertumbuhan selama periode yang diteliti) di
sektor pertanian di Indonesia dibandingkan di sejumlah Negara di table tersebut.
Tabel 5.6
Peran Pertanian di dalam Ekonomi menurut Negara ASEAN,
1993, 2003, 2006 (% dari PDB)
Brunei Darusasalam
Kamboja
Indonesia
Laos PDR
Malaysia
Myanmar
Filipina
Singapura
Thailand
Vietnam
1993
14,6
47,3
17,9
57,5
40,4
58,8
(1991)
21,6
25,2
8,7
29,9
Pertanian
2003
2,2
37,2
15,9
48,6
9,5
57,2
(2001)
14,4
0,1
9,8
21,8
2006
0,9
30,1
12,9
44,8
8,7
48,4
14,2
0,1
10,7
20,4
Industri
1993
2003
39,9
41,3
8,6
19,3
22,3
24,7
13,1
19,2
25,9
31,2
7,0
7,8
(1991)
(1991)
23,7
22,9
25,2
26,1
29,6
35,2
15,2
20,8
2006
12,3
19,6
28,0
20,7
29,8
11,6
22,9
27,7
35,1
21,3
Keterangan: 1) termasuk pertambangan dan penggalian; 2) termasuk sektosektor lain di luar pertambangan & penggalian, industry, perdagangan dan lainlain, keuangan dan lain-lain, dan jasa-jasa lainnya; 3) termasuk sektor-sektor
lain di luar industri, perdagangan dan lain-lain, keuangan dan lain-lain,
Pertambangan & penggalian;4) termasuk sektor-sektor lain di luar industri,
keuangan da Lain-lain, Perdagangan dan lain-lain, transportasi & komunikasi;
5) termasuk pertambangan & penggalian; 6) hanya manufaktur.
2. Pertumbuhan ouput dan Produktivitas
Dari sisi output, kebijakan revolusi hijau menekankan pada pertumbuhan
output atau maksimalisasi produktivitas dari factor-faktor produksi
utama, yakni tenaga kerja, lahan, dan modal.
Untuk mencapai tujuan ini, maka di Indonesia pada era tersebut
diperkenalkan pola-pola penanaman yang padat karya, tetapi produktif
8
9. [Type text]
dengan menggunakan teknologi-teknologi yang menghasilkan panen
tinggi., terutama di wilayah-wilayah di mana lahan merupakan sumber yang
terbatas relatif terhadap tenaga kerja, seperti di Pulau Jawa. Jadi, tidak ada
trade-off antara pencapaian pertumbuhan output dan penciptaan kesempatan
kerja di pertanian.
Dalam kata lain, di sektor pertanian pertumbuhan output terjadi bersamaan
dengan peningkatan kesempatan kerja. Sangat jelas pada waktu itu
teknologi-teknologi yang digunakan atau pola-pola penanaman yang diterapkan
di pertanian mempunyai suatu andil yang sangat besar dalam mengurangi
kemiskinaan di perdesaan (atau Indonesia pada umumnya). Di wilayah-wilayah
dimana lahan sangat berlimpah relatif dibandingkan tenaga kerja, seperti di
banyak provinsi di Indonesia bagain timur, dengan bantuan dari teknologiteknologi dan metode-metode produksi dan manajemen baru, perkebunanperkebunan telah menghasilkan pendapatan-pendapatan yang lebih baik
daripada wilayah-wilayah yang surplus tenaga kerja (khususnya Jawa dan
Sumatera) untuk buruh tani dan pemilik-pemilik kecil.
Juga, selam periode tersebut, beragam jenis padi diperkenalkan dan para
petani member respons cukup besar terhadap aplikasi pupuk pabrik yang
sangat luas, sistem-sistem irigasi yang baik, dan manjemen ekonomi agro
yang lebih hati-hati. Sebagai suatu hasil dari pertumbuhan output/produktivitas
yang tinggi di pertanian, perbedaan dalam produktivitas antara perdesaan
yang didominasi oleh kegiatan pertanian dan perkotaan dengan industri
manufaktur, keuangan, konstruksi, transportasi dan jasa sebagai sektorsektor utama tidak mebesar terlalu cepat bagi migrasi tenaga kerja untuk
menahan upah tetap berkait dengan produktivitas (Timmer, 2004).
Produksi pertanian di Indonesia mulai meningkat sejak akhir 1990-an.
Atau awal dekade 70-an dan terus berlangsung hingga pertengahan periode
1990-an. Terutama antara 1980-an hingga tahun 1995 merupakan periode yang
sangat bagus bagi pertanian Indonesia, dengan tingkat pertumbuhan output-nya
rata-rata antara 4,6% hingga 5,2%. Gambar 5.4 menujukkan perkembangan
jangka panjang dari indeks produksi di sektor pertanian (termasuk padi/beras) di
sejumlah Negara Asia, termasuk Indonesia. Dapat dilihat bahwa pada tahun
1997 hingga 2000 produksi pertanian Indonesia melemah, yang sebagian
disebabkan oleh krisis ekonomi 1997/98. Namun, antara tahun 2000 dan 2001
produksi pertanian di dalam negeri mulai bangkit kembali.
Gambar 5.4 (tidak bisa digambar hal 148)
Khusus di subsektor padi/beras, bahkan sebelum revolusi hijau dimulai,
produksi sudah mulai meningkat, yakni dari 10,4 juta ton tahun 1967 menjadi
13,72 juta ton tahun 1971. Persedian beras per kapita pada periode yang sama
9
10. [Type text]
juga meningkat, dari 91 kilogram (kg) menjadi 110 kg per capital. Ini tentu
sebuah pencapaian yang fantastis di masa itu (Prabowo 2008a). Sanda (2008)
mencatat bahwa pada saat Indonesia akhirnya mencapai swasembada beras pada
tahun 1984, produksi padi di dalam negeri mencapai 33.889.962 ton. Jumlah
produksi padi sebanyak ini bisa dicapai karena laju pertumbuhan meningkat
dari 4,43% per tahun pada periode 1975-1979 menjadi 6,54% per tahun pada
periode 1980-1984. Dalam periode 1985-1990, pertumbuhan produksi beras
masih sekitar 3,49% per tahun, tetapi setelah itu menurun menjadi 2,15% per
tahun selama periode 1990-1996 dibandingkan laju permintaan di dalam negeri
sekitar 23%. Akibatnya, pada tahun 1995 Indonesia terpaksa impor beras lagi
dengan volume 3 juta ton. Hingga tahun 2007, laju pertumbuhan produksi beras
nasional tidak banyak bergeser dari angka ini, sementara permintaan di dalam
negeri terus meningkat pertumbuhan penduduk dan pendapatan per capital.
Yang lebih menarik untuk dilihat dalam mengevaluasi hasil dari revolusi
hijau dari perspektif output adalah tingkat produktivitas, per pekerja atau
per hektar lahan panen. Dasar pemikirannya adalah bahwa walaupun
pertumbuhan output sacara total tinggi, tetapi jika produktivitasnya rendah
menandakan bahwa penerapan teknologi dan pola produksi modern tidak terlalu
bermanfaat. Karena untuk mendapatkan-output lebih banyak juga bisa hanya
dengan menambah input, misalnya meningkatkan jumlah pekerja/petani
atau/dan menambah luas lahan, tanpa harus menjalankan revolusi hijau.
Data BPS untuk periode 1968-1996 (Gambar 5.5) dan periode 1997-2006
(Tabel 5.7) menunjukkan bahwa jumlah output dalam ton per hektar lahan
panen rata-rata per tahun meningkat dari antara 3 hingga 4.3 menjadi
antara 4,2 hingga 4,5. Ini menunjukkan bahwa produktivitas mningkat,
tetapi dengan laju yang relatif lambat.
Gambar 5.5 (tidak bisa digambar hal 149)
Table 5.7
Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi/Beras selama Pasca-Orde Baru
Tahun
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Luas panen
(ribu ha)
11.141
11.716
11.963
11.793
11.499
11.521
11.488
11.970/11.923
11.839
11.780/11.855
Produktivitas
(ton/ha)
4,4
4,2
4,3
4,4
4,4
4,5
4,5 (45,38)
4,5 (45,36)
4,47 (45,74)
46,18)
Produksi
gabah
(ribu ton)
49.377
49.237
50.866
51.899
50.460
51.490
52.138
54.341/54.089
54.151
54.402/54.664
10
Produksi
beras
(ribu ton)
32.095
32.004
33.063
33.734
32.799
33.468
33.890
35.322
35.198
35.361
Pertumbuhan
produksi beras
rata-tara/tahun
%)
-3.4
-0,3
3,3
2,0
-2,8
2,0
3,3
5,5
-0,35
0,46
11. [Type text]
2007
2008
Jan
Feb
Maret
April
11.426
(46,50)
53.133
461
1.234
2.289
1.716
..
..
..
47ku/ha
..
..
..
..
34.537
..
..
..
..
..
-23
..
..
..
..
..
Keterangan: 1= factor konversi 0,65 dari gabah menjadi beras; 2= dikutip dari
Prabowo (2007b); 6= dalam kurung adalah kw/ha; 7= angka hingga Oktober;
8= angka ramalan III BPS (per Oktober 2004); 10= perkiraan luas panen
berdasarkan luas tanam sementara bulan Oktober- Desember 2007; 11=
perkiraan luas tanah Jan-April 2008 dal luas panen April 2008, dengan konversi
gabah ke beras 63,2%.
C. KETAHANAN PANGAN
1. Pentingnya Ketahanan Pangan
Keberhasilan pembanguan di sektor pertanian di suatu Negara harus
tercerminkan oleh kemampuan Negara tersebut dalam swasembada pangan
atau paling tidak ketahanan pangan.
Di Indonesia, ketahanan pangan merupakan salah satu topic yang sangat
penting, bukan saja dilihat dari nilai-nilai ekonomi dan social, tetapi masalah ini
mengandung konsekuensi politik yang sangat besar. Dapat dibayangkan apa
yang akan terjadi terhadap kelangsungan suatu kabinet pemerintahan atau
stabilitas politik di dalam negeri apabila Indonesia terancam kekurangan pangan
atau kelaparan.
Bahkan di banyak Negara, ketahanan pangan sering digunakan sebagai
alat politik bagi seorang (calon) presiden untuk mendapatkan dukungan dari
rakyatnya. Ketahanan pangan bertambah penting lagi terutama karena saat ini
Indonesia merupakan salah satu anggota dari Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO). Artinya, di suatu pihak, pemerintah harus memperhatikan
kelangsungan produksi pangan di dalam negeri demi menjamin ketahanan
pangan, tetapi, di pihak lain, Indonesia tidak bisa menghambat impor pangan
dari luar. Dalam kata lain, apabila Indonesia tidak siap, keanggotaan Indonesia
di dalam WTO bisa membuat Indonesia menjadi sangat tergantung pada impor
pangan, dan ini dapat mengancam ketahanan pangan di dalam negeri.
2. Konsep Ketahanan pangan
Konsep ketahanan pangan yang dianut Indonesia dapat dilihat dari IndangUndang (UU) No.7 Tahun 1996 tentang pangan, Pasal 1 Ayat 17 yang
menyebutkan bahwa “Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya
pangan rumah tangga (RT) yang tercermin dari tersediannya pangan yang
cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”.
11
12. [Type text]
UU ini sejalan dengan definisi ketahanan pangan menurut
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) tahun 1992, yakni akses setiap RT atau individu untuk
dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperlaun hidup yang
sehat.
Sementara pada World Food Summit tahun 1996, ketahanan pangan
disebut sebagai akses setiap RT atau individu untuk memperoleh pangan
pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat dengan persyaratan
penerimaan pangan sesuai dengan nilai atau budaya setempat (Pambudy,
2002a) .
Konsep ketahanan pangan nasional yang tercantum pada UU No.17
tersebut memberi penekanan pada akses setiap RT terhadap pangan yang
cukup, bermutu, dan harganya terjangkau, meskipun kata-kata berarti
menjamin setiap individu di dalam RT mendapat akses yang sama
terhadap pangan karena di dalam RT ada relasi kuasa (Pambudy, 2002a).
Implikasi kebijakan dari konsep ini adalah bahwa pemerintah, di
suatu pihak, berkewajiban menjamin kecukupan pangan dalam arti
jumlah dengan mutu yang baik serta stabilitas harga, dan, di pihak lain,
peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya dari golongan
berpendapatan rendah.
Pada tahun 2005, melalui UU No.11/2005, pemerintah meratifikasi
Konvenan Internasional Hak Ekonomi Sosial Budaya (Kovenan Ekosob).
Konvenan ini antara lain berisi tentang tanggung jawab Negara dalam
menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas pangan bagi rakyatnya.
Dengan kata lain, masalah pangan merupakan hak asasi manusia yang
pemenuhannya menjadi tanggung jawab Negara.
Konsekuensi dari ratifikasi itu, menurut Irham (2008), adalah
pemerintah harus mengubah semua undang-undang yang tidak selaras
dengan ketentuan Konvenan Ekosob tersebut, termasuk soal pangan,
yakni UU No.7/1996 tersebut.
Irham menjelaskan paling tidak ada 4 alasan mengapa UU tersebut harus
diubah: (1) perlindungan hak rakyat atas pangan oleh Negara merupakan
kewajiban hakiki; (2) UU dapat menjadi jaminan atas pemenuhan
tanggung jawab pemerintah dalam menyejahterakan masyarakat melalui
pemenuhan pangan yang berkesinambungan; (3) krisis pangan yang
melanda dunia (sejak 2007) merupakan pelajaran berharga tentang
pentingnya suatu bangsa memiliki kedaulatan atas pangan untuk
menjamin kecukupan pangan bagi warga negaranya; dan (4)
pembangunan ekonomi bisa berkelanjutan jika pemenuhan hak dasr
rakyat atas pangan terpenuhi.
Irham (2008) berpendapat bahwa selain UU No. 7/1996 tidak sesuai
dengan Konvenan Ekosob, juga belum menyentuh keempat aspek tersebut.
Misalnya, UU No. 7/1996 “menghilangkan” kewajiban dan tanggung jawab
Negara dalam pemenuhan hak atas pangan, yakni dengan memberikan sebagian
12
13. [Type text]
beban kewajiban itu ke masyarakat (Pasal 45). Selain itu, menurutnya, yang
dimaksud dengan “pemerintah” dalam UU ini harus lebih ditegaskan lagi,
apakah pemerintah pusat atau pemerintah daerah (pemda). Hal ini menjadi
sangat penting setelah berlakunya otonomi daerah (otda). Bahkan Irham
berpendapat bahwa dalam konteks orda, justru yang memiliki peran sentral
dalam pemenuhan ketersediaan pangan seharusnya pemda.
3. Faktor-faktor Utama Penentu Ketahanan Pangan di Indonesia
Ada sejumlah factor yang diduga sangat berpengaruh selama ini terhadap
kinerja pertanian Indonesia pada umumnya dan ketahanan pangan di dalam
negeri ada khusunya. Factor-faktor tersebut adalah ketersediaan dan kualitas
lahan, infrastruktur, khusunya irigasi, teknologi dan kualitas petani dan
buruh tani, energy, terutama listrik dan bahan bakar minyak, permodalan,
dan cuaca.
a. Lahan
Menurut berita di Kompas, lahan sawah di Indonesia hanya 4,5% dari total
luasan daratan. Sekitar 8,5% merupakan tanah perkebunan, 7,8% lahan kering,
13 % dalam bentuk rumah, tegalan, dan ilalang, serta 63% merupakan kawasan
hutan. Menurut BPS, pada tahun 2030 kebutuhan beras di Indonesia mencapai
59 juta ton. Karena luas tanah padi tahun 2007 hanya sekitar 11,6, maka untuk
mendukung kebutuhan beras tersebut diperlukan tambahan luas tanam baru 11,8
juta ha. Keterbatatasan lahan pertanian, khususnya untuk komoditas-komoditas
pangan, memang sudah merupakan salah satu persoalan serius dalam kaitannya
dengan ketahanan pangan di Indonesia selama ini. Menurut staf khusus dari
Badan Pertahanan Nasional (BPN) Herman Siregar, lahan sawah terancam
semakin cepat berkurang, walaupun sebenarnya lahan yang secara potensial
dapat digunakan, misalnya, tetapi belum digunakan masih banyak. Alasan,
percetakan sawah baru menemui banyak kendala, termasuk biaya yang mahal,
sehingga tambahan lahan pertanian setiap tahun tidak signifikan ketimbang luas
areal yang terkonversi untuk keperlaun nonpertanian. Ironisnya, laju konversi
lahan pertanian tidak bisa dikurangi, bahkan terus meningkat dari tahun ke
tahun, sejalan dengan pesatnya urbanisasi (yang didorong oleh peningkatan
pendapatan per capital dan imigrasi dari perdesaan ke perkotaan), dan
industralisasi.
Juga sangat ironis, konvensi lahan sawah ke nonsawah justru banyka terjadi di
wilayah-wilayah yang sentra-sentra produksi pangan, seperti di Jawa Barat:
Karawang, Subang, Tasikmalaya, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Purwakarta,dan
Cirebon; di Jawa Tengah: Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendala,
Demak, Kudus, Pati, dan Grobongan; di Jawa Timur; Banten; DKI Jakarta; dan
Bali. Umumnya lahan sawah yang dikonversi tidak hanya sangat subur, tetapi
lokasinya juga strategis, berdekatan dengan jalan raya atau jalan tol. Sebagai
contoh kasus, menurut BPN, pada tahun 2004 luas lahan sawah 8,9 juta ha: 7,31
juta ha beririgasi dan 1,45 juta ha nonirigasi. Dari sawah irigasi yang subur,
3,099 juta ha hendak dikonversi oleh pemerintah daerah. Dari jumlah itu, 1,67
juta ha (53,8%) merupakan sawah beririgasi di Jawa dan Bali (Khudori, 2007).
Padahal, berdasarkan Keputusan Presiden No. 30 Tahun 1990, lahan pertanaian
13
14. [Type text]
dengan irigasi teknis dilarang diahlikan menjadi lahan nonpertanian (Pribadi
dkk, 2007). Menurut perhitungan Kompas 9 April 2007, konversi tersebut bisa
membuat 14,26 juta GKG atau 10 juta ton beras berpotensi hilang. Selama ini
sekitar 56%-60% produksi padi bertumpu pada sawah-sawah yang subur di
Jawa. Konversi lahan sawah sacara besar-besaran ini sebagian telah disetujuai
oleh DPRD setempat dalam bentuk peraturan daerah. Hingga saat ini konversi
lahan yang direncankanan itu terus dilakukan. Lahan seluas itu yang rata-rata
berkualitas baik akan digunakan untuk pembangunan pusat perbelanjaan, pusat
perkotaran, industri, infrastruktur jalan, real estat, hingga bisnis lahan kuburan.
Selain di Jawa, ahli fungsi lahan sawah juga terjadi di luar Jawa, terutama di
Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan, dengan laju yang pesat (Table 5.8).
Terutama Sumatera dan Sulawesi memang merupakan dua wilayah yang proses
pembangunan atau industrialisasi dan urbanisasi paling pesat di antara wilayahwilayah di luar Jawa, sedangkan di Kalimantan terutama juga karena kebutuhan
lahan untuk perkebunan. Di Sumatera Selatan, misalnya, areal sawahnya saat ini
tercatat 727.441 ha. Meski ada percetakan sawah baru, luasnya hanya 4%-5%
dari luas total per tahun. Hal ini tidak sebanding dengan konversi sawah yang
setiap tahunnya mencapai 8% per tahun.
Tabel 5.8
Perubahan-perubahan lahan padi di Indonesia, 1999-2002
Wilayah
Jawa
Luar Jawa
(Sumatera)
(Bali & NTT)
(Kalimantan)
(Sulawesi,
Maluku &
Papua)
Indonesia
Luas lahan tetap
untuk padi,
tahun 1999 (juta
ha)
3,38
4,73
(2,17)
(0,6)
(1,07)
(0,9)
Luas lahan
pertanian yang
hilang (000 ha)
Luas lahan
konversi
(000 ha)
%
konversi
167,2
396,0
(235,4)
(13,8)
(105,0)
(35,8)
Luas lahan
baru untuk
pertanian
(000 ha)
18,1
121,3
-
-149,1
-274,7
-
4,42
5,81
-
8,11
563,2
139,3
-423,
5,23
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa menurut BPS, pada tahun 2030
kebutuhan beras di Indonesia akan mencapai 59 juta ton. Untuk memenuhi
kebutuhan ini atau memperkuat ketahanan pangan di Indonesia, menurut
Prabowo (2007a), ada sejumlah scenario, di antaranya adalah bahwa pemerintah
harus menggenjot penambahan luas area panen dari yang sekarang sekitar 11,84
juta ha menjadi 22,95 juta ha, atau naik 11,11 juta ha dalam waktu 23 tahun.
Hal ini berdasarkan asumsi rata-rata produktivitas padi tetap, yaitu 4,61 ton per
ha. Hal ini memang tidak mudah, mengingat bahwa sekarang rasio jumlah
penduduk dibandingkan luas lahan sawah sekitar 360 meter persegi per orang
dan kecenderungannya terus menurun karena jumlah penduduk terus
bertambah.
14
15. [Type text]
Masalah lahan pertanian akibat konversi yang tidak bisa dibendung menjadi
tambah serius akibat distribusi lahan yang timpang. Ini ditambah lagi dengan
pertumbuhan penduduk di perdesaan akan hanya menambah jumalah petani
gurem atau petani yang tidak memiliki lahan sendiri atau dengan lahan yang
sengat kecil yang tidak mungkin menghasilkan produksi yang optimal, akan
semakin terbatas juga akan menaikan harga jual atau sewa lahan, sehingga
hanya sedikit petani yang mampu membeli dan menyewahnya, dan akibatnya,
kepincanagan dalam distribusi lahan tambah besar. Studi dari McCulloh (2008)
yang mengunakan data SUSENAS (2004), lebih dari 75% dari jumlah rumah
tangga di Indonesia tidak menguasai lahan sawah.
Ketimpangan lebih nyata lagi jika hanya RT petani yang (tidak) menguasai
lahan. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2003,
di Indonesia ada sekitar 13,7 juta rumah tangga (RT) petani yang masuk
kategori petani gurem dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,37 ha. Menurut
Apriyantono (2008), di pulau Jawa luas kepemilikan hanya 0,3 ha per RT dan di
laur Jawa hanya 1 ha. Sedangkan, data Sensus Pertanian menujukkan bahwa
sekitar 75% dari jumlah RT petani secara individu menguasai lahan kurang dari
0,5ha, atau secara bersama hanya menguasai 38% dari semua lahan sawah,
sementara itu, paling atas 9,3% dari jumlah RT petani (1,2 juta) menguasai
secara individu di atas 1 ha, dan bersama mereka menguasai 72% dari semua
lahan sawah di Indonesia.
Hal ini diperburuk lagi dengan tidak ada usaha-usaha pencegahan dari
pemerintah terhadap pembelian lahan milik petani-petani miskin oleh orangorang kaya atau perusahaan-perusahaan besar, yang sering kali dengan paksaan.
Petani-petani yang sudah kehilangan tanahnya menjadi buruh-buruh tani bagi
pemilik-pemilik baru tersebut (jika lahan tersebut tetap untuk pertanian).
b. Infrastruktur
Irigasi (termasuk wadukn sebagai sumber air) merupakan bagian terpenting dari
infrastruktur pertanian. Ketersedian jaringan irigasi yang baik, dalam pengertian
tidak hanya kuantitas tetapi juga kualitas, dapat meningkatkan volume produksi
dan kualitas komoditas pertanian, terutama tanaman pangan, secara signifikan.
Jaringan irigasi yang baik akan mendorong peningkatan indeks pertanaman (IP)
(Damardono dan Prabowo, 2008). Menurut Direktur Jenderal Pengelolahan
Lahan dan Air Departemen Pertanian, Hilman Manan (dikutip dari Damardono
dan Prabowo, 2008), rata-rata IP lahan sawah di Indonesia hanya 1,57 kali,
yang artinya, dalam satu tahun rata-rata lahan pertanian di Indonesia ditanami
kurang dari 2 kali musim tanam. Di pulau Jawa, IP rata-rata di atas 2, tetap di
luar Pulau Jawa umumnya 1 hingga 1,3 kali. Bagi petani, semakin tinggi IP
semakin besar pendapatannya, berarti ia semakin bersemangat meningkatkan
produksinya.
Dengan memakai data BPS dan FAO, hasil penelitian dari Fuglie (2004)
memberikan suatu gambaran mengenai perkembangan irigasi pertanaian di
Indonesia selama periode 1961-2000. Sebelum revolusi hijau dimulai pada awal
dekade 1970-an, lahan irigasi (teknis dan nonteknis) meningkat dengan rata-rata
1,4% setiap tahunnyadan selama revolusi hijau meningkat dengan lebih dari
15
16. [Type text]
setengah ke 2,3% per tahun, tetapi setelah itu merosot secara signifikasi ke
0,3% per tahun (Tabel 5.9).
Tabel 5.9
Luas dan Laju Pertumbuhan Irigasi Pertanian rata-rata per tahun
Jumlah
-1961-65
-1971-75
-1981-85
-1991-95
Juta ha
2,4
2,7
3,3
4,6
Laju
pertumbuhan
-1961-00
-1961-67
-1968-92
-1993-00
% per tahun
1,8
1,4
2,3
0,3
Namun demikian, dilihat dari perspektif komparatif, luas lahan irigasi teknis
sebagai suatu persentase dari luas lahan pertanian di Indonesia masih relatif
kecil dibandingkan dengan di Negara-negara Asia lainnya tersebut, terkecuali
dengan China yang kurang lebih sama sekitar 10% per tahunnya. Yang paling
menonjol adalah Vietnam, yang memang sehabis perang tahun 1975 negara
tersebut membangun sektor pertaniannya dengan sangat serius. Pada dekade 60an, rasionya tercatat antara 15% hingga 17% dan mengalami suatu peningkatan
yang sempat mencapai lebih dari 40% pada pertengahan pertama dekade 90-an
dan setelah itu trennya cenderung menurun. Ekspansi lahan irigasi teknis di
India dan Thailand juga menunjukkan pertumbuhan yang konsisten selama
periode tertentu yang membuat perbedaannya dengan Indonesia cenderung
membesar terus.
c. Teknologi dan Sumber Daya Manusia
Teknologi dan sumber daya manusia (SDM), bukan hanya jumlah, tetapi juga
kualitas, sangat menentukan keberhasilan Indonesia dalam mencapai ketahanan
pangan. Bahkan dapt dipastikan bahwa pemakaian teknologi dan input-input
modern tidak akan menghasilkan output yang optimal apabila kualitas petani
dalam arti pengetahuan atau wawasanya mengenai teknologi pertanian,
pemasaran, standar kualitas, dan lain-lain rendah. Lagipula, teknologi dan SDM
adalah dua faktor produksi yang sifatnya komplementer dan ini berlaku di
semua sektor, termasuk pertanian.
Seperti di banyak Negara berkembang lainnya, di Indonesia kualitas SDM di
pertanian sangat rendah jika dibandingkan di sektor-sektor ekonomi lainnya,
seperti industry manufaktur, keuangan, dan jasa. Misalnya, menurut Kompas 14
September 2006, sebanyak 60% tenaga kerja di sektor pertanian di Lampung
adalah tenaga kerja tidak terdidik. Berdasarkan Sensus pertanian 2003, tabel
5.10 menujukkan bahwa lebih dari 50% dari jumlah petani adalah dari kategori
berpendidikan rendah, kebanyakan hanya sekolah dasar (SD). Rendahnya
pendidikan formal ini tentu sangat berpengaruh terhadap kemampuan petani
Indonesia mengadopsi teknologi-teknologi baru, termasuk menggunakan traktor
dan mesin pertanian lainnya secara efisien. Seperti dalam kasus Malaysia yang
dibahas sebelumnya di atas, petani-petani tradisional pendidikan rendah akan
cepat mengatakan bahwa memakai traktor terlalu sulit dan oleh karena itu
16
17. [Type text]
mereka akan cenderung tidak mengubah cara kerja mereka dari tradisional ke
modern.
Tabel 5.10
Persentase dari Petani menurun Tingkat Pendidikan Formal di Indonesia, 2003
Tingkat Pendidikan
Tidak ada pendidikan
Hanya primer
Sekunder
Tersier
Jawa
34,44
48,07
15,8
1,69
Di luar Jawa
28,83
41,93
27,56
1,68
Indonesia
31,62
44,98
21,71
1,69
Jumlah
100,00
100,00
100,00
Ada sejumlah indikator atau semacam proxy untuk mengukur tingkat
penguasaan teknologi oleh petani. Salah satunya adalah pemakaian traktor.
Sebenarnya, laju pertumbuhan pemakaian traktor untuk selama ukuran baik
yang dua maupun empat ban (diukur dalam tenaga kuda yang tersedia), di
Indonesia perna mengalami suatu peningkatan dari sekitar 7,5% per tahun
sebelum era revolusi hijau (pra-1970-an) ke sekitar 14,3% per tahun selama
pelaksanaan strategi tersebut. Namun demikian, pemakaian input ini per
hektarnya di Indonesia tetap kecil dibandingkan di Negara-negara Asia lainnya
tersebut; terkecuali China yang kurang lebih sama seperti Indonesia. Hal ini
bisa memberi kesan bahwa tingkat mekanisasi dari pertanian Indonesia masih
relatif rendah, walaupun pemerintah telah berupaya meningkatkannya selama
revolusi hijau. Pemakaian traktor yang tumbuh sangat pesat adalah Vietnam
yang laju pertumbuhannya mengalami suatu akselerasi tinggi menjelang
pertengahan dekade 90-an. Pemerintah sangat menyadarin bahwa salah satu
cara yang efektif untuk meningkatakan produktivitas pertanian adalah lewat
peningkatan mekanisasi dalam proses produksi dan salah satunya dengan
menggantikan tenaga binatang dengan traktor. Di sektor pertanian di India dan
Thailand, traktorisasi juga sangat konsisten dengan perluasan lahan irigasi
teknis.
Dalam hal teknologi, Indonesia memang masih jauh tertinggal dengan
banyak Negara pertanian lainnya, termasuk China, dalam pengembangan
teknologi, mulai dari hulu hingga hilir. Terutama dalam teknologi budi daya,
praktis mengalami stagnasi yang membuat hamper tidak ada peningkatan
produktivitas di sektor pertanian secara signifikan dalam 1 dekade terakhir.
Menurut Kompas 25 April 2008, berdasarkan catatan dari Deptan, pada tahun
1996 hasil padi rata-rata 4,45 ton/ha, pada tahun 2005 menjadi 4,54 to/ha atau
hanya meningkat 0,25%/tahun, bahkan jauh lebih rendah pada kondisi anomali
cuaca. Minimnya teknologi pascapanen juga mepersulit upaya menekan angka
kehilangan panen sekitar 20% hingga 30%.
d. Energi
Energi sangat penting untuk kegiatan pertanian lewat dua jalur, yakni langsung
dan tidak langsung. Jalur langsung adalah energi, seperti listrik atau bahan
bakar minyak (BBM), yang digunakan oleh petani dalam kegiatan bertaninya,
misalnya dalm menggunakan traktor. Menurut Kompas per Mei 2008, Deptan
17
18. [Type text]
memperkirakan kenaikan harga BBM tathun ini mengakibatkan naiknya biaya
produksi antara 15% harga 20% dan ini akan mengurangi margin keuntungan
petani sebesar kenaikan biaya BBM tersebut. Sedangkan lewat jalur tidak
langsung adalah energy yang digunakan oleh pabrik pupuk dan pabrik yang
membuat input-input lainnya serta alat-alat transportasi dan komunikasi.
Yang sering diberitakan di media massa mengenai pasokan energy yang tidak
cukup atau terganggu yang mengakibatkan kerugian bagi petani sejak reformasi
adalah, misalnya, gangguan pasokan gas ke pabrik-pabrik pupuk atau harga gas
naik yang pada akhirnya membuat harga jual pupuk naik. Selain itu, kenaikan
BBM selama sejak dimulainya era reformasi membuat biaya transportasi naik
yang tentu sangat memukul petani, yang tercerminkan dalam menurunya nilai
tukar petani (NTP).
Mungkin di sektir pertanian, yang paling terpukul dengan naiknya harga BBM
adalah subsector perikanan, khususnya nelayan kecil dan tradisional dengan
kapasitas kapal di bawah 30 ton kotor. Dari 600.000 unit kapal nelayan di
seluruh Indonesia, sekitar 60%-nya atau 360.000 unit kapal adalah dari kategori
ini. Ironisnya, selama ini sebagai nelayan tidak menikmati subsidi BBM karena
minimnya secara penyaluran BBM ke sentra-sentra nelayan. Banyak nelayan di
pulau-pulau kecil sangat terpukul dengan mahalnya harga BBM eceran yang
naik hingga 300%. Di Sulawesi Utara yang berbatasan dengan Filipina, harga
solar mencapai Rp 15.000-Rp 18.000 per liter. Di pulau Enggano, Provinsi
Bengkulu, harganya mencapai Rp 12.000-Rp 13.000 per liter.
e. Modal
Penyebab lainnya yang membuat rapuhnya ketahanan pangan di Indonesia
adalah keterbatasan dana. Di antara sektor-sektor ekonomi, pertanian yang
selalu paling sedikit mendapat kredit dari perbankan (dan juga dana investasi) di
Indonesia. Bahkan kekurangan modal juga menjadi penyebab banyak petani
tidak mempunyai mesin giling sendiri. Padahal jika petani punya mesin sendiri,
berarti rantai distribusi tambah pendek yang berarti juga kesempatan lebih besar
bagi petani untuk mendapatkan lebih banyak penghasilan. Berdasarkan SP
2003, tercatat hanya sekitar 3,06% dari jumlah petani yang perna mendapatkan
kredit bank, sedangkan sisanya membiayai kegiatan bertani dengan
menggunakan uang sendiri
(Gambar 5.6).
Pada tingkat makro, lintas sektoral, tabel 5.11 dengan sangat jelas menunjukkan bahwa petani bukan merupakan sektor besar dalam penerimaan kredit dari
sumber-sumber formal, khususnya perbankan. Ada dua alasan utama kenapa
selama ini perbankan enggan memberikan kredit kepada petani, terutama
petani-petani makanan
Gambar 5.6 (tidak bisa dikerjain hal 158)
18