1. Superman : Suara Perlindungan Tanaman, Vol.2.,No.2.,2012
TUNGAU KUNING TEH Polyphagotarsonemus latus (Banks) (ACARI: TARSONEMIDAE):
PADA BERBAGAI POLA TANAM WIJEN
Andi Muhammad Amir1), R. D. Puspitarini2), Ludji P. Astuti2)
1) Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Malang
2) Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang
E-mail: andimohamir@yahoo.co.id
ABSTRAK
Pola tanam wijen selama ini umumnya secara monokultur. Pola tanam ini cukup menguntungkan, tetapi berdampak
pada minimnya keragaman agen hayati yang berperan menghambat laju perkembangan hama secara alami. Pola
tanam tumpangsari salah satu alternatif meningkatkan kekayaan agen hayati karena mempunyai tingkat keragaman
vegetasi yang lebih tinggi dan stabil. Penelitian tungau teh kuning Polyphagotarsonemus latus (Banks) (Acari;
Tarsonemidae): fluktuasi populasi dan musuh alaminya pada berbagai pola tanam wijen telah dilaksanakan di Kebun
Percobaan Sumberejo, Bojonegoro, Jawa Timur dan Laboratorium Hama Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan
Serat (BALITTAS) Malang mulai bulan Juli sampai dengan September 2007, bertujuan untuk mengetahui fluktuasi
populasi TKT, populasi musuh alami dan intensitas kerusakannya. Pola tanam terdiri atas 3 (tiga) macam, yaitu 1) pola
tanam wijen (Sbr-4) monokultur, 2) pola tanam tumpangsari wijen dengan kacang hijau (Betek) dan 3) pola tanam
tumpangsari wijen dengan jagung (Hibrida). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, perbedaan pola tanam pada
tanaman wijen tidak berpengaruh terhadap populasi, musuh alami TKT dan intensitas kerusakan tanaman. Puncak
populasi tertinggi TKT pada tanaman wijen terjadi pada pola tanam monokultur wijen, kemudian berturut-turut
tumpangsari wijen dengan kacang hijau dan tumpangsari wijen dengan jagung masing-masing 4481, 3240, dan 3808
ekor dengan intensitas kerusakan tanaman masing-masing 38,85%, 35,50% dan 26,35%. Musuh alami TKT yang
ditemukan yaitu Amblyseius sp. (Phytoseiidae) dan serangga predator Stethorus (Coleoptera; Coccinellidae).
Kata kunci: Tungau Kuning Teh Polyphagotarsonemus latus (Banks.) dan pola tanam.
ABSTRACT
Sesame cropping pattern has been generally in a monoculture. Cropping pattern is quite profitable, but the lack of
impact on biodiversity that contribute hamper the pace of development of pests naturally. Intercropping cropping
pattern one of the alternatives increase the wealth of biological agents because it has the level of a higher diversity of
vegetation and stable. Yellow tea mite Polyphagotarsonemus latus (Banks.) (Acari; Tarsonemidae) research:
fluktuations in the population and its natural enemy in a variety of sesame cropping pattern was conducted at the
experimental Sumberejo, Bojonegoro, East Java and Entomological Laboratory Indonesian Tobacco and Fibre Crops
Research Institute (IToFCRI) Malang, starting in July to September 2007, aims to determine the population
fluctuations, a natural enemy populations and the intensity of the damage. Cropping pattern consists of 3 (three)
types, namely 1) sesame (Sbr-4) cropping pattern monoculture, 2) sesame intercropping cropping pattern with green
beans (Betek) and 3) pattern intercropping planting sesame with maize (Hybrid). The results showed that, differences
in cropping patterns on sesame plant has no effect on the population, natural enemies of YTM and the intensity of
crop damage due to attacks The highest population peak YTM on sesame plants occur in monoculture cropping
sesame, then a row intercropping sesame with green beans and sesame intercropped with maize respectively 4481,
3240, and 3808 tail with the intensity of crop damage 38.85% respectively, 35.50% and 26.35%. YTM natural enemies
found in the Amblyseius sp. (Phytoseiidae) dan serangga predator Stethorus sp. (Coleoptera: Coccinelidae)
Key words: Yellow tea mite Polyphagotarsonemus latus (Banks.) and intercropping.
12
2. Andi Muhammad Amir1), R. D. Puspitarini2), Ludji P. Astuti2) : Tungau Kuning Teh Polyphagotarsonemus Latus (Banks) (Acari: Tarsonemidae):
Fluktuasi Populasi Dan Musuh Alaminya Pada Berbagai Pola Tanam Wijen
PENDAHULUAN
Tanaman wijen (Sesamun indicum L.) adalah salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai nilai ekonomi
tinggi yang dapat menghasilkan devisa bagi negara. Biji yang dihasilkan mengandung 35-57% minyak, 19-25% air, 20-
30% protein, 11% karbohidrat dan bahan-bahan mineral lainnya. Selanjtnya melalui proses pengolahan dapat
dimanfaatkan untuk industri bahan makanan, bahan kosmetik, parfum, dan obat-obatan, serta bungkil wijen dapat
dijadikan pakan ternak dan unggas (Suddhiyam dan Maneekhao, 1997).
Usaha peningkatan produktivitas wijen masih terus diupayakan, namun masih mengalami beberapa
hambatan. Hambatan tersebut menurut (Soenardi, 1996), antara lain dipengaruhi oleh benih yang digunakan kurang
baik, lahan terbatas, budidaya belum intensif, penggunaan varietas lokal yang tingkat produktivitasnya rendah,
serangan penyakit dan gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT). Hasil survei (Subiyakto dan Harwanto, 1996),
beberapa OPT yang dominan ditemukan pada tanaman wijen yaitu Polyphagotarsonemus latus Banks. (Acari:
Tarsonemidae) atau tungau kuning teh (TKT) (Denmark dan Fasulo, 1980), kepik Nezara viridula (L.) (Hemiptera:
Pentatomidae), kutu Aphis gossypii Glover (Homoptera: Aphididae), Myzus persicae Sulz. (Homoptera: Aphididae), ulat
Antigastra catalaunalis Dup. (Lepidoptera: Pyralidae).
TKT tersebar hampir di seluruh dunia, diantaranya Australia, Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, pulau-
pulau di Pasifik dan di daerah tropis serta subtropis lainnya termasuk Indonesi. Serangan berat TKT dapat
menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat, tanaman tumbuh tidak normal, bahkan titik tumbuh pada tanaman
tersebut berhenti untuk tumbuh (Jayma, 1993). TKT dapat ditemukan sepanjang musim khususnya pada musim
panas. Pada musim panas kerusakan yang ditimbulkan lebih besar daripada musim hujan dan hampir bisa dipastikan
tingkat kerusakan akan tinggi dengan proses kerusakan terjadi pada waktu yang sangat singkat (Soenardi, 1996).
Perkembangbiakan TKT ini sangat cepat, sehingga dalam waktu singkat dapat menyebabkan kerusakan tanaman, dan
lebih diperparah lagi apabila hama ini menyerang tanaman wijen yang baru tumbuh, dimana pertumbuhan tanaman
akan menjadi terhambat serta berubah bentuk (Rismunadar, 1976).
Karakteristik dari TKT yang menginfeksi daun adalah bentuknya pendek, kecil, ramping, berwarna putih
kekuningan dan tembus pandang (transparan). Pada permukaan luar tubuhnya terdapat rambut-rambut yang
menutupinya. TKT jantan lebih kecil dan lebih ramping dari betina, kaki TKT jantan juga lebih kecil dan lebih panjang
daripada betina. Pada TKT jantan tubuh bagian belakang (abdomen) membentuk segitiga, sedangkan pada betina
membulat (Kalshoven, 1981).
Pola tanam tumpangsari merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan kekayaan agens hayati.
Ekosistem pada tumpangsari mempunyai tingkat keragaman vegetasi yang lebih tinggi dan lebih stabil. Pola ini
mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dalam hal resistensi atau kemampuan menghindari dan menahan
kerusakan lingkungan dan resiliensi atau kemampuan untuk pulih dari kerusakan lingkungan yang telah terjadi
(Soenardi, 1996). Selanjutnya (Warsana, 2009), menyatakan bahwa pola tanaman tumpangsari ditujukan untuk
mengantisipasi adanya organisme pengganggu tumbuhan dan mengurangi resiko serangan hama maupun penyakit.
Sebaiknya ditanam tanaman yang mempunyai hama maupun penyakit berbeda, atau tidak menjadi inang dari hama
maupun penyakit tanaman lain yang ditumpangsarikan, sehingga secara maksimal dapat menekan populasi hama.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fluktuasi populasi, musuh alami TKT, dan intensitas kerusakan
tanaman pada pola tanam monokultur wijen, tumpangsari wijen dengan kacang hijau dan tumpangsari wijen dengan
jagung.
BAHAN DAN METODA
Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Sumberrejo, Bojonegoro, Jawa Timur dan Laboratorium Hama
Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat (BALITTAS) Malang mulai bulan Juli sampai dengan September 2007.
Pola tanam terdiri atas 3 (tiga) macam, yaitu 1) pola tanam wijen (Sbr-4) monokultur (WM), 2) pola tanam
tumpangsari wijen dengan kacang hijau (Betek) (TWK) dan 3) pola tanam tumpangsari wijen dengan jagung (Hibrida)
(TWJ), dengan ukuran petak masing-masing 32 x 24 m. Pada pola tanam WM, biji wijen ditanam secara tugal dengan
jarak tanam 60 x 25 cm. Pola tanam TWK, benih kacang hijau ditanam secara tugal diantara 1 baris wijen dengan
jarak tanam 30 x 25 cm. Sedangkan pada pola tanam TWJ, benih jagung ditanam secara tugal diantara 3 baris wijen
dengan jarak tanam yang sama yaitu 60 x 25 cm.
Pengolahan tanah, pemupukan, pengairan, penyulaman dan penyiangan gulma dilakukan sesuai dengan baku
tenis agronomi tanaman wijen setempat. Untuk menjaga tidak terjadinya bias dari tujuan penelitian, pengendalian
13
3. Superman : Suara Perlindungan Tanaman, Vol.2.,No.2.,2012
hama dengan menggunakan pestisida kimiawi dan pestisida nabati tidak dilakukan sampai dengan panen wijen,
kacang tanah dan jagung.
Parameter pengamatan meliputi populasi TKT, intensitas kerusakan dan populasi musuh alaminya dimulai
pada saat tanaman telah berumur 25 hari setelah tanam (HST) dengan interval waktu pengamatan 10 hari hingga
tanaman menjelang panen yaitu 85 HST. Pengamatan dilakukan pada sepertiga bagian atas tanaman pada 50
tanaman sampel. Populasi TKT dan musuh alaminya dihitung dengan memetik 3 daun kemudian diamati dengan
bantuan mikroskop. Intensitas kerusakan diamati dengan menggunakan nilai skor. Nilai skor terdiri atas:
Skor 0 = daun sehat;
Skor 1 = 0 -25% daun terserang sebagian tapi belum keriting;
Skor 2 = 26-50% daun keriting sebagian hingga setengah;
Skor 3 = 51-75% keriting pada semua bagian daun;
Skor 4 = 76-100% keriting parah hingga daun melengkung.
Selanjutnya dihitung menggunakan persamaan dari (8), sebagai berikut:
nxv
I = ------------------ x 100%
NxZ
Dimana, I = intensitas kerusakan tanaman (%);
n = jumlah daun yang mempunyai nilai skor yang sama;
v = nilai skor dari setiap kategori kerusakan;
N = jumlah tanaman yang diamati;
Z = nilai skala kerusakan tertinggi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Fluktuasi populasi TKT di berbagai pola tanam wijen disajikan pada Gambar 1. Hasil pengamatan keberadaan
TKT mulai nampak pada tanaman wijen umur 35 HST selanjutnya mengalami peningkatan seiring dengan
meningkatnya umur tanaman wijen dan mencapai puncak pada saat tanaman berumur 55 HST baik pada pola tanam
MW, TWK maupun TWJ. selanjutnya pada umur 65 HST sampai dengan 85 HST populasi TKT pada ketiga pola tanam
tersebut mengalami penurunan hingga mencapai populasi terendah seiring dengan makin tuanya tanaman yaitu
masing-masing 13 ekor, 25 ekor dan 93 ekor (Gambar 1).
5000
4500
4000
Populasi TKT (ekor)
3500
3000 MW
2500 TWK
2000 TWJ
1500
1000
500
0
25 35 45 55 65 75 85
Umur tanaman w ijen (HST)
Gambar 1. Rata-rata fluktuasi populasi TKT pada berbagai pola tanam wijen.
Keberadaan TKT pada tanaman wijen dengan populasi yang melimpah pada umur 55 HST di ketiga pola
tanam tersebut dikarenakan tanaman wijen telah mencapai puncak pertumbuhan, dimana pada umur tersebut semua
bagian tanaman seperti daun, tunas-tunas muda dan bunga tumbuh optimal, sehingga TKT dengan mudahnya dapat
14
4. Andi Muhammad Amir1), R. D. Puspitarini2), Ludji P. Astuti2) : Tungau Kuning Teh Polyphagotarsonemus Latus (Banks) (Acari: Tarsonemidae):
Fluktuasi Populasi Dan Musuh Alaminya Pada Berbagai Pola Tanam Wijen
berkembangbiak dengan cepat dan menyebar ke seluruh bagian tanaman. Keadaan tersebut diatas merupakan
hubungan serangga dengan tanaman inang, yang dilihat dari segi fisiologi serangga dan sifat morfologi dan fisiologi
tanaman sebagai sumber rangsangan utama (Painter, 1968). Ciri morfologi tanaman tertentu dapat menghasilkan
rangsangan fisik untuk kegiatan makan atau kegiatan peletakan telur serangga seperti variasi dalam ukuran dan
bentuk daun, warna, kekerasan jaringan, adanya bulu daun dan tonjolan dapat menentukan penerimaan serangga
terhadap tanaman tertentu. Pada ciri fisiologi yang mempengaruhi serangga biasanya berupa zat kimia yang dihasilkan
oleh metabolisme tanaman baik metabolisme primer maupun sekunder. Hasil metabolisme primer adalah
karbohidrat, protein, lipid, hormon dan enzym senyawa organik. Beberapa metabolit primer dapat menjadi
rangsangan makan, bagian dari nutrisi serangga dan mungkin sebagai racun (Painter1968).
Rata-rata tingkat populasi TKT pada ketiga pola tanam tersebut yaitu, 906,28 ekor, 986,71 ekor dan 1191,42
ekor. Hasil uji t (P = 0,925), menunjukkan bahwa ketiga pola tanam tidak berpengaruh terhadap populasi TKT. Hal
tersebut menurut (Huffaker et al., 1969), disebabkan karena mobilitas tungau mampu berpindah jauh dengan
bantuan jaring yang dibuatnya dengan membentuk seperti parasut dan dibantu adanya tiupan angin. Disamping hal
tersebut diatas, TKT memiliki keunikan dalam bereproduksi, yaitu dapat menghasilkan keturunan tanpa terjadinya
kopulasi (Parthenogenesis).
Dari penelitian ini hanya ditemukan dua spesies musuh alami TKT yaitu tungau predator Amblyseius s p.
(Acari: Phytoseiidae) dan serangga predator Stethorus sp. (Coleoptera: Coccinelidae) fase dewasa. dengan populasi
yang sangat sedikit sehingga kedua spesies musuh alami tidak dibedakan dalam pengamatan.
Populasi musuh alami kompleks (ekor)
16
14
12
10 MW
8 TWK
6 TWJ
4
2
0
25 35 45 55 65 75 85
Umur tanaman w ijen (HST)
Gambar 2. Rata-rata fluktuasi populasi musuh alami (Amblyseius sp. dan
Stethorus sp.) pada berbagai pola tanam wijen.
Pada pengamatan populasi musuh alami (Gambar 2), kedua musuh alami tersebut ditemukan pada pola
tanam MW sejak tanaman wijen berumur 55 HST yaitu sebanyak 1 ekor dan 75 HST pada kedua pola tanam lainnya
yaitu TWK dan TWJ masing-masing 1 ekor dan 7 ekor. Puncak populasi terjadi pada pola tanam TWJ yaitu 14 ekor saat
tanaman wijen berumur 85 HST, kemudian pada pola tanam TWK yaitu 5 ekor dan populasi terendah pada pola tanam
MW yang hanya terdapat 2 ekor. Hasil uji t (P = 0,744), menunjukkan bahwa ketiga pola tanam ini tidak meunjukkan
pengaruh terhadap populasi musuh alami.
Rendahnya populasi musuh alami diduga karena tidak terdapatnya habitat yang mendukung kelangsungan
hidupnya seperti tanaman penutup tanah yang menjadi habitat bagi musuh alami seperti tungau predator (Huang dan
Liang, 1994 dalam Widiyana, 2008). Selanjutnya menurut (Croft dan Mc Groarty dalam Minns, 19940), penyebab lain
rendahnya populasi musuh alami adalah temperatur panas yang cukup tinggi sehingga menjadi pembatas untuk
mencari mangsanya, disamping itu juga dimungkinkan karena siklus hidup dari musuh alami yang berlangsung cepat.
Menurut (Huffaker et al., 1969), siklus hidup musuh alami Amblyseius sp. bervariasi tergantung dari suhu, umumnya
cukup singkat yaitu antara 4 sampai 10 hari. Demikian juga dari hasil penelitian (Puspitarini, 2005), bahwa lama
perkembangan Amblyseius sp. sebelum dewasa berlangsung selama 4,78 hari.
Pada Gambar 3, TKT telah menyerang tanaman wijen pada saat tanaman masih muda yaitu 25 HST terus
meningkat sampai dengan 85 HST dengan rata-rata intensitas kerusakan tanaman terparah pada pola tanam MW
15
5. Superman : Suara Perlindungan Tanaman, Vol.2.,No.2.,2012
yaitu 38,85%, kemudian pola tanam TWK yaitu 35,5 67% dan pola tanam TWJ yaitu 26,35%. Hasil uji t (P = 0,807),
menunjukkan bahwa ketiga pola tanam tidak berpengaruh terhadap intensitas kerusakan. Hal ini disebabkan karena
TKT telah menyerang tanaman pada saat tanaman masih muda dan bersifat permanen serta dominan ditemukan saat
fase imago, sehingga perkembangbiakan TKT ini sangat cepat dan dalam waktu singkat menyebabkan kerusakan
tanaman secara cepat. Menurut (Oktawirani, 2008), intensitas kerusakan tanaman dipengaruhi oleh keberadaan
populasi TKT fase larva, nimfa dan imago.
100
Intensitas kerusakan tanaman (%)
90
80
70
60 MW
50 TWK
40
TWJ
30
20
10
0
25 35 45 55 65 75 85
Umur tanaman w ijen (HST)
Gambar 3. Rata-rata fluktuasi intensitas kerusakan tanaman pada
berbagai pola tanam wijen.
Hasil uji korelasi pada taraf 5% hubungan antara populasi TKT, intensitas kerusakan tanaman dan populasi
musuh alami, menunjukan hasil yang berbeda pada setiap pola tanam. Pada pola tanam MW, populasi TKT
berkorelasi positif dengan populasi musuh alami (P = 0,232), tetapi antara populasi TKT dengan intensitas kerusakan
berkorelasi negatif (P = - 0,051), sehingga pada pola tanam MW tidak ditemukan hubngan yang erat antara populasi
TKT dengan intensitas kerusakan tanaman. Pada lahan TWK, populasi TKT berkorelasi negatif dengan populasi musuh
alami (P = - 0,341), sehingga dapat dikatakan antara populasi TKT dengan populasi musuh alami tidak terdapat
hubungan yang erat atau tidak saling mempengaruhi. Sedangkan antara populasi TKT dengan intensitas kerusakan
berkorelasi positif (P = 0,177) tidak saling mempengaruhi. Pada lahan TWJ, populasi TKT berkorelasi negatif dengan
populasi musuh alami (P = - 0,451) dan dengan intensitas kerusakannya (P = - 0,030), sehingga dapat dikatakan antara
keduanya tidak saling mempengaruhi.
KESIMPULAN
Perbedaan pola tanam pada tanaman wijen tidak berpengaruh terhadap populasi, musuh alami TKT dan
intensitas kerusakan tanaman. Puncak populasi tertinggi TKT pada tanaman wijen terjadi pada pola tanam
monokultur wijen, kemudian berturut-turut tumpangsari wijen dengan kacang hijau dan tumpangsari wijen dengan
jagung masing-masing 4481, 3240, dan 3808 ekor dengan intensitas kerusakan tanaman masing-masing 38,85%,
35,50% dan 26,35%. Musuh alami TKT yang ditemukan yaitu Amblyseius sp. (Phytoseiidae) dan serangga predator
Stethorus (Coleoptera; Coccinellidae).
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimah kasih disampaikan kepada Sdr. Yanuar Ery Noorsanto (Mahasiswa jurusan HPT Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya Malang) atas kerjasama dan bantuan yang telah diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Croft dan Mc Groarty. 1973 dalam Minns J C. Nyrop J P. Herring C P. 1994. Influence of ground cover on dynamics of
Amblyseius fallacis garman (Acarina : Phytoseiidae) in New York apple orchards. Agriculture Ecosystems &
Environment.
16
6. Andi Muhammad Amir1), R. D. Puspitarini2), Ludji P. Astuti2) : Tungau Kuning Teh Polyphagotarsonemus Latus (Banks) (Acari: Tarsonemidae):
Fluktuasi Populasi Dan Musuh Alaminya Pada Berbagai Pola Tanam Wijen
Denmark H.A. and Fasulo T.R. 1980. Plyphagotarsonemus latus (Banks.) University of Florida. Florida Departemen of
Agriculture and Consumer Service. Devision of Plant Industry Originally Pblished as DPI Entomology Circular
89. http//www.Creatunes.ifas.ufl.edu/orn/broad mite04.html. 15 Oktober 2008.
Huffaker C B. van deVrie M, McMurtry J A. 1969. The Ecology of Tetranychid Mites and their Natural Control. Ann Rev
Entomol.
Jayma K M. 1993. Polyphagotarsonemus latus (Banks). http://www. xtento. hawaii.edu/kbase/crop/type/p-
latus.html. 15 Oktober 2008.
Kalshoven L G E. 1981. Pest of Crop in Indonesia. Revised by PA van der Laan. Jakarta. PT. Ichtiar Baru-van Hoeve.
Oktawirani P. 2008. Keberadaan Populasi Tungau Kuning Polyphagotarsonemus latus (Banks) pada Beberapa Galur
Harapan Wijen di Kebun Percobaan Sumberrejo-Bojonegoro. Skripsi. Program Studi Biologi. FMIPA.
Universitas Negeri Malang.
Painter, R.H. 1968. Insect Resistence In Crops Plants. The University of Kansas. 520 p.
Puspitarini R D. 2005. Bioekologi Tungau Merah Jeruk, Panonychus citri (Mc Gregor) Acari : Tetranychidae. Disertasi
Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Rismunandar. 1976. Pedoman Bercocok Tanam Wijen. Bandung. Terate.
Suddiyam P, S Maneekhao. 1997. Sesame (Sesamun indicum L.). A Guide Book for Field Crops Production in Thailand.
Field Crops Research Institute. Departement of Agriculture. I66 hal.
Soenardi. 1996. Budidaya Tanaman Wijen. Monograf Balittas. Malang. Badan Litbang Pertanian. Balittas Malang (2)
:14 –25.
Subiyakto S. dan Harwanto. 1996. Hama Tanaman Wijen Dan Pengendalian.Monograf Balittas Malang (2) :31- 37.
Warsana. 2009. Introduksi Teknologi Tumpangsari. Sinar Tani 25 Feb - 3 Maret 2009 No. 3292. BPTP Jawa Tengah.
Widiyana A. 2008. Kelimpahan Populasi Tungau dan Musuh Alaminya pada Tanaman Apel Manalagi di Desa
Poncokusomo Kecamatan Poncokusumo Malang. Skripsi. Universitas Brawijaya Malang. Malang.
17