SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  6
Télécharger pour lire hors ligne
Superman : Suara Perlindungan Tanaman, Vol.2.,No.2.,2012



        TUNGAU KUNING TEH Polyphagotarsonemus latus (Banks) (ACARI: TARSONEMIDAE):
                           PADA BERBAGAI POLA TANAM WIJEN




                              Andi Muhammad Amir1), R. D. Puspitarini2), Ludji P. Astuti2)
                               1)        Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Malang
                                2)        Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang
                                              E-mail: andimohamir@yahoo.co.id




                                                           ABSTRAK
Pola tanam wijen selama ini umumnya secara monokultur. Pola tanam ini cukup menguntungkan, tetapi berdampak
pada minimnya keragaman agen hayati yang berperan menghambat laju perkembangan hama secara alami. Pola
tanam tumpangsari salah satu alternatif meningkatkan kekayaan agen hayati karena mempunyai tingkat keragaman
vegetasi yang lebih tinggi dan stabil. Penelitian tungau teh kuning Polyphagotarsonemus latus (Banks) (Acari;
Tarsonemidae): fluktuasi populasi dan musuh alaminya pada berbagai pola tanam wijen telah dilaksanakan di Kebun
Percobaan Sumberejo, Bojonegoro, Jawa Timur dan Laboratorium Hama Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan
Serat (BALITTAS) Malang mulai bulan Juli sampai dengan September 2007, bertujuan untuk mengetahui fluktuasi
populasi TKT, populasi musuh alami dan intensitas kerusakannya. Pola tanam terdiri atas 3 (tiga) macam, yaitu 1) pola
tanam wijen (Sbr-4) monokultur, 2) pola tanam tumpangsari wijen dengan kacang hijau (Betek) dan 3) pola tanam
tumpangsari wijen dengan jagung (Hibrida). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, perbedaan pola tanam pada
tanaman wijen tidak berpengaruh terhadap populasi, musuh alami TKT dan intensitas kerusakan tanaman. Puncak
populasi tertinggi TKT pada tanaman wijen terjadi pada pola tanam monokultur wijen, kemudian berturut-turut
tumpangsari wijen dengan kacang hijau dan tumpangsari wijen dengan jagung masing-masing 4481, 3240, dan 3808
ekor dengan intensitas kerusakan tanaman masing-masing 38,85%, 35,50% dan 26,35%. Musuh alami TKT yang
ditemukan yaitu Amblyseius sp. (Phytoseiidae) dan serangga predator Stethorus (Coleoptera; Coccinellidae).

Kata kunci: Tungau Kuning Teh Polyphagotarsonemus latus (Banks.) dan pola tanam.


                                                           ABSTRACT
Sesame cropping pattern has been generally in a monoculture. Cropping pattern is quite profitable, but the lack of
impact on biodiversity that contribute hamper the pace of development of pests naturally. Intercropping cropping
pattern one of the alternatives increase the wealth of biological agents because it has the level of a higher diversity of
vegetation and stable. Yellow tea mite Polyphagotarsonemus latus (Banks.) (Acari; Tarsonemidae) research:
fluktuations in the population and its natural enemy in a variety of sesame cropping pattern was conducted at the
experimental Sumberejo, Bojonegoro, East Java and Entomological Laboratory Indonesian Tobacco and Fibre Crops
Research Institute (IToFCRI) Malang, starting in July to September 2007, aims to determine the population
fluctuations, a natural enemy populations and the intensity of the damage. Cropping pattern consists of 3 (three)
types, namely 1) sesame (Sbr-4) cropping pattern monoculture, 2) sesame intercropping cropping pattern with green
beans (Betek) and 3) pattern intercropping planting sesame with maize (Hybrid). The results showed that, differences
in cropping patterns on sesame plant has no effect on the population, natural enemies of YTM and the intensity of
crop damage due to attacks The highest population peak YTM on sesame plants occur in monoculture cropping
sesame, then a row intercropping sesame with green beans and sesame intercropped with maize respectively 4481,
3240, and 3808 tail with the intensity of crop damage 38.85% respectively, 35.50% and 26.35%. YTM natural enemies
found in the Amblyseius sp. (Phytoseiidae) dan serangga predator Stethorus sp. (Coleoptera: Coccinelidae)

Key words: Yellow tea mite Polyphagotarsonemus latus (Banks.) and intercropping.
                                                              12
Andi Muhammad Amir1), R. D. Puspitarini2), Ludji P. Astuti2) : Tungau Kuning Teh Polyphagotarsonemus Latus (Banks) (Acari: Tarsonemidae):
                                                                      Fluktuasi Populasi Dan Musuh Alaminya Pada Berbagai Pola Tanam Wijen



                                                            PENDAHULUAN
         Tanaman wijen (Sesamun indicum L.) adalah salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai nilai ekonomi
tinggi yang dapat menghasilkan devisa bagi negara. Biji yang dihasilkan mengandung 35-57% minyak, 19-25% air, 20-
30% protein, 11% karbohidrat dan bahan-bahan mineral lainnya. Selanjtnya melalui proses pengolahan dapat
dimanfaatkan untuk industri bahan makanan, bahan kosmetik, parfum, dan obat-obatan, serta bungkil wijen dapat
dijadikan pakan ternak dan unggas (Suddhiyam dan Maneekhao, 1997).
         Usaha peningkatan produktivitas wijen masih terus diupayakan, namun masih mengalami beberapa
hambatan. Hambatan tersebut menurut (Soenardi, 1996), antara lain dipengaruhi oleh benih yang digunakan kurang
baik, lahan terbatas, budidaya belum intensif, penggunaan varietas lokal yang tingkat produktivitasnya rendah,
serangan penyakit dan gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT). Hasil survei (Subiyakto dan Harwanto, 1996),
beberapa OPT yang dominan ditemukan pada tanaman wijen yaitu Polyphagotarsonemus latus Banks. (Acari:
Tarsonemidae) atau tungau kuning teh (TKT) (Denmark dan Fasulo, 1980), kepik Nezara viridula (L.) (Hemiptera:
Pentatomidae), kutu Aphis gossypii Glover (Homoptera: Aphididae), Myzus persicae Sulz. (Homoptera: Aphididae), ulat
Antigastra catalaunalis Dup. (Lepidoptera: Pyralidae).
         TKT tersebar hampir di seluruh dunia, diantaranya Australia, Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, pulau-
pulau di Pasifik dan di daerah tropis serta subtropis lainnya termasuk Indonesi. Serangan berat TKT dapat
menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat, tanaman tumbuh tidak normal, bahkan titik tumbuh pada tanaman
tersebut berhenti untuk tumbuh (Jayma, 1993). TKT dapat ditemukan sepanjang musim khususnya pada musim
panas. Pada musim panas kerusakan yang ditimbulkan lebih besar daripada musim hujan dan hampir bisa dipastikan
tingkat kerusakan akan tinggi dengan proses kerusakan terjadi pada waktu yang sangat singkat (Soenardi, 1996).
Perkembangbiakan TKT ini sangat cepat, sehingga dalam waktu singkat dapat menyebabkan kerusakan tanaman, dan
lebih diperparah lagi apabila hama ini menyerang tanaman wijen yang baru tumbuh, dimana pertumbuhan tanaman
akan menjadi terhambat serta berubah bentuk (Rismunadar, 1976).
         Karakteristik dari TKT yang menginfeksi daun adalah bentuknya pendek, kecil, ramping, berwarna putih
kekuningan dan tembus pandang (transparan). Pada permukaan luar tubuhnya terdapat rambut-rambut yang
menutupinya. TKT jantan lebih kecil dan lebih ramping dari betina, kaki TKT jantan juga lebih kecil dan lebih panjang
daripada betina. Pada TKT jantan tubuh bagian belakang (abdomen) membentuk segitiga, sedangkan pada betina
membulat (Kalshoven, 1981).
         Pola tanam tumpangsari merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan kekayaan agens hayati.
Ekosistem pada tumpangsari mempunyai tingkat keragaman vegetasi yang lebih tinggi dan lebih stabil. Pola ini
mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dalam hal resistensi atau kemampuan menghindari dan menahan
kerusakan lingkungan dan resiliensi atau kemampuan untuk pulih dari kerusakan lingkungan yang telah terjadi
(Soenardi, 1996). Selanjutnya (Warsana, 2009), menyatakan bahwa pola tanaman tumpangsari ditujukan untuk
mengantisipasi adanya organisme pengganggu tumbuhan dan mengurangi resiko serangan hama maupun penyakit.
Sebaiknya ditanam tanaman yang mempunyai hama maupun penyakit berbeda, atau tidak menjadi inang dari hama
maupun penyakit tanaman lain yang ditumpangsarikan, sehingga secara maksimal dapat menekan populasi hama.
         Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fluktuasi populasi, musuh alami TKT, dan intensitas kerusakan
tanaman pada pola tanam monokultur wijen, tumpangsari wijen dengan kacang hijau dan tumpangsari wijen dengan
jagung.

                                                        BAHAN DAN METODA
         Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Sumberrejo, Bojonegoro, Jawa Timur dan Laboratorium Hama
Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat (BALITTAS) Malang mulai bulan Juli sampai dengan September 2007.
         Pola tanam terdiri atas 3 (tiga) macam, yaitu 1) pola tanam wijen (Sbr-4) monokultur (WM), 2) pola tanam
tumpangsari wijen dengan kacang hijau (Betek) (TWK) dan 3) pola tanam tumpangsari wijen dengan jagung (Hibrida)
(TWJ), dengan ukuran petak masing-masing 32 x 24 m. Pada pola tanam WM, biji wijen ditanam secara tugal dengan
jarak tanam 60 x 25 cm. Pola tanam TWK, benih kacang hijau ditanam secara tugal diantara 1 baris wijen dengan
jarak tanam 30 x 25 cm. Sedangkan pada pola tanam TWJ, benih jagung ditanam secara tugal diantara 3 baris wijen
dengan jarak tanam yang sama yaitu 60 x 25 cm.
         Pengolahan tanah, pemupukan, pengairan, penyulaman dan penyiangan gulma dilakukan sesuai dengan baku
tenis agronomi tanaman wijen setempat. Untuk menjaga tidak terjadinya bias dari tujuan penelitian, pengendalian


                                                                    13
Superman : Suara Perlindungan Tanaman, Vol.2.,No.2.,2012



hama dengan menggunakan pestisida kimiawi dan pestisida nabati tidak dilakukan sampai dengan panen wijen,
kacang tanah dan jagung.
         Parameter pengamatan meliputi populasi TKT, intensitas kerusakan dan populasi musuh alaminya dimulai
pada saat tanaman telah berumur 25 hari setelah tanam (HST) dengan interval waktu pengamatan 10 hari hingga
tanaman menjelang panen yaitu 85 HST. Pengamatan dilakukan pada sepertiga bagian atas tanaman pada 50
tanaman sampel. Populasi TKT dan musuh alaminya dihitung dengan memetik 3 daun kemudian diamati dengan
bantuan mikroskop. Intensitas kerusakan diamati dengan menggunakan nilai skor. Nilai skor terdiri atas:
                  Skor 0 = daun sehat;
                  Skor 1 = 0 -25% daun terserang sebagian tapi belum keriting;
                  Skor 2 = 26-50% daun keriting sebagian hingga setengah;
                  Skor 3 = 51-75% keriting pada semua bagian daun;
                  Skor 4 = 76-100% keriting parah hingga daun melengkung.
Selanjutnya dihitung menggunakan persamaan dari (8), sebagai berikut:

                                                           nxv
                                                 I = ------------------ x 100%
                                                          NxZ


            Dimana, I = intensitas kerusakan tanaman (%);
                   n = jumlah daun yang mempunyai nilai skor yang sama;
                   v = nilai skor dari setiap kategori kerusakan;
                   N = jumlah tanaman yang diamati;
                   Z = nilai skala kerusakan tertinggi.

                                                                      HASIL DAN PEMBAHASAN
        Fluktuasi populasi TKT di berbagai pola tanam wijen disajikan pada Gambar 1. Hasil pengamatan keberadaan
TKT mulai nampak pada tanaman wijen umur 35 HST selanjutnya mengalami peningkatan seiring dengan
meningkatnya umur tanaman wijen dan mencapai puncak pada saat tanaman berumur 55 HST baik pada pola tanam
MW, TWK maupun TWJ. selanjutnya pada umur 65 HST sampai dengan 85 HST populasi TKT pada ketiga pola tanam
tersebut mengalami penurunan hingga mencapai populasi terendah seiring dengan makin tuanya tanaman yaitu
masing-masing 13 ekor, 25 ekor dan 93 ekor (Gambar 1).


                                                5000
                                                4500
                                                4000
                          Populasi TKT (ekor)




                                                3500
                                                3000                                                 MW
                                                2500                                                 TWK
                                                2000                                                 TWJ
                                                1500
                                                1000
                                                 500
                                                   0
                                                        25     35     45         55   65   75   85
                                                                 Umur tanaman w ijen (HST)



                    Gambar 1. Rata-rata fluktuasi populasi TKT pada berbagai pola tanam wijen.

         Keberadaan TKT pada tanaman wijen dengan populasi yang melimpah pada umur 55 HST di ketiga pola
tanam tersebut dikarenakan tanaman wijen telah mencapai puncak pertumbuhan, dimana pada umur tersebut semua
bagian tanaman seperti daun, tunas-tunas muda dan bunga tumbuh optimal, sehingga TKT dengan mudahnya dapat
                                                                                      14
Andi Muhammad Amir1), R. D. Puspitarini2), Ludji P. Astuti2) : Tungau Kuning Teh Polyphagotarsonemus Latus (Banks) (Acari: Tarsonemidae):
                                                                      Fluktuasi Populasi Dan Musuh Alaminya Pada Berbagai Pola Tanam Wijen



berkembangbiak dengan cepat dan menyebar ke seluruh bagian tanaman. Keadaan tersebut diatas merupakan
hubungan serangga dengan tanaman inang, yang dilihat dari segi fisiologi serangga dan sifat morfologi dan fisiologi
tanaman sebagai sumber rangsangan utama (Painter, 1968). Ciri morfologi tanaman tertentu dapat menghasilkan
rangsangan fisik untuk kegiatan makan atau kegiatan peletakan telur serangga seperti variasi dalam ukuran dan
bentuk daun, warna, kekerasan jaringan, adanya bulu daun dan tonjolan dapat menentukan penerimaan serangga
terhadap tanaman tertentu. Pada ciri fisiologi yang mempengaruhi serangga biasanya berupa zat kimia yang dihasilkan
oleh metabolisme tanaman baik metabolisme primer maupun sekunder. Hasil metabolisme primer adalah
karbohidrat, protein, lipid, hormon dan enzym senyawa organik. Beberapa metabolit primer dapat menjadi
rangsangan makan, bagian dari nutrisi serangga dan mungkin sebagai racun (Painter1968).
         Rata-rata tingkat populasi TKT pada ketiga pola tanam tersebut yaitu, 906,28 ekor, 986,71 ekor dan 1191,42
ekor. Hasil uji t (P = 0,925), menunjukkan bahwa ketiga pola tanam tidak berpengaruh terhadap populasi TKT. Hal
tersebut menurut (Huffaker et al., 1969), disebabkan karena mobilitas tungau mampu berpindah jauh dengan
bantuan jaring yang dibuatnya dengan membentuk seperti parasut dan dibantu adanya tiupan angin. Disamping hal
tersebut diatas, TKT memiliki keunikan dalam bereproduksi, yaitu dapat menghasilkan keturunan tanpa terjadinya
kopulasi (Parthenogenesis).
         Dari penelitian ini hanya ditemukan dua spesies musuh alami TKT yaitu tungau predator Amblyseius s p.
(Acari: Phytoseiidae) dan serangga predator Stethorus sp. (Coleoptera: Coccinelidae) fase dewasa. dengan populasi
yang sangat sedikit sehingga kedua spesies musuh alami tidak dibedakan dalam pengamatan.
                        Populasi musuh alami kompleks (ekor)




                                                               16
                                                               14
                                                               12
                                                               10                                               MW
                                                               8                                                TWK
                                                               6                                                TWJ

                                                               4
                                                               2
                                                               0
                                                                    25   35   45     55     65        75   85
                                                                          Umur tanaman w ijen (HST)



                    Gambar 2. Rata-rata fluktuasi populasi musuh alami (Amblyseius sp. dan
                              Stethorus sp.) pada berbagai pola tanam wijen.

         Pada pengamatan populasi musuh alami (Gambar 2), kedua musuh alami tersebut ditemukan pada pola
tanam MW sejak tanaman wijen berumur 55 HST yaitu sebanyak 1 ekor dan 75 HST pada kedua pola tanam lainnya
yaitu TWK dan TWJ masing-masing 1 ekor dan 7 ekor. Puncak populasi terjadi pada pola tanam TWJ yaitu 14 ekor saat
tanaman wijen berumur 85 HST, kemudian pada pola tanam TWK yaitu 5 ekor dan populasi terendah pada pola tanam
MW yang hanya terdapat 2 ekor. Hasil uji t (P = 0,744), menunjukkan bahwa ketiga pola tanam ini tidak meunjukkan
pengaruh terhadap populasi musuh alami.
         Rendahnya populasi musuh alami diduga karena tidak terdapatnya habitat yang mendukung kelangsungan
hidupnya seperti tanaman penutup tanah yang menjadi habitat bagi musuh alami seperti tungau predator (Huang dan
Liang, 1994 dalam Widiyana, 2008). Selanjutnya menurut (Croft dan Mc Groarty dalam Minns, 19940), penyebab lain
rendahnya populasi musuh alami adalah temperatur panas yang cukup tinggi sehingga menjadi pembatas untuk
mencari mangsanya, disamping itu juga dimungkinkan karena siklus hidup dari musuh alami yang berlangsung cepat.
Menurut (Huffaker et al., 1969), siklus hidup musuh alami Amblyseius sp. bervariasi tergantung dari suhu, umumnya
cukup singkat yaitu antara 4 sampai 10 hari. Demikian juga dari hasil penelitian (Puspitarini, 2005), bahwa lama
perkembangan Amblyseius sp. sebelum dewasa berlangsung selama 4,78 hari.
         Pada Gambar 3, TKT telah menyerang tanaman wijen pada saat tanaman masih muda yaitu 25 HST terus
meningkat sampai dengan 85 HST dengan rata-rata intensitas kerusakan tanaman terparah pada pola tanam MW

                                                                                             15
Superman : Suara Perlindungan Tanaman, Vol.2.,No.2.,2012



yaitu 38,85%, kemudian pola tanam TWK yaitu 35,5 67% dan pola tanam TWJ yaitu 26,35%. Hasil uji t (P = 0,807),
menunjukkan bahwa ketiga pola tanam tidak berpengaruh terhadap intensitas kerusakan. Hal ini disebabkan karena
TKT telah menyerang tanaman pada saat tanaman masih muda dan bersifat permanen serta dominan ditemukan saat
fase imago, sehingga perkembangbiakan TKT ini sangat cepat dan dalam waktu singkat menyebabkan kerusakan
tanaman secara cepat. Menurut (Oktawirani, 2008), intensitas kerusakan tanaman dipengaruhi oleh keberadaan
populasi TKT fase larva, nimfa dan imago.

                                                           100
                        Intensitas kerusakan tanaman (%)




                                                           90

                                                           80

                                                           70

                                                           60                                                    MW
                                                           50                                                    TWK
                                                           40
                                                                                                                 TWJ
                                                           30

                                                           20

                                                            10

                                                            0
                                                                 25   35     45       55        65     75   85

                                                                           Umur tanaman w ijen (HST)



                     Gambar 3. Rata-rata fluktuasi intensitas kerusakan tanaman pada
                               berbagai pola tanam wijen.

         Hasil uji korelasi pada taraf 5% hubungan antara populasi TKT, intensitas kerusakan tanaman dan populasi
musuh alami, menunjukan hasil yang berbeda pada setiap pola tanam. Pada pola tanam MW, populasi TKT
berkorelasi positif dengan populasi musuh alami (P = 0,232), tetapi antara populasi TKT dengan intensitas kerusakan
berkorelasi negatif (P = - 0,051), sehingga pada pola tanam MW tidak ditemukan hubngan yang erat antara populasi
TKT dengan intensitas kerusakan tanaman. Pada lahan TWK, populasi TKT berkorelasi negatif dengan populasi musuh
alami (P = - 0,341), sehingga dapat dikatakan antara populasi TKT dengan populasi musuh alami tidak terdapat
hubungan yang erat atau tidak saling mempengaruhi. Sedangkan antara populasi TKT dengan intensitas kerusakan
berkorelasi positif (P = 0,177) tidak saling mempengaruhi. Pada lahan TWJ, populasi TKT berkorelasi negatif dengan
populasi musuh alami (P = - 0,451) dan dengan intensitas kerusakannya (P = - 0,030), sehingga dapat dikatakan antara
keduanya tidak saling mempengaruhi.

                                                                                           KESIMPULAN
         Perbedaan pola tanam pada tanaman wijen tidak berpengaruh terhadap populasi, musuh alami TKT dan
intensitas kerusakan tanaman. Puncak populasi tertinggi TKT pada tanaman wijen terjadi pada pola tanam
monokultur wijen, kemudian berturut-turut tumpangsari wijen dengan kacang hijau dan tumpangsari wijen dengan
jagung masing-masing 4481, 3240, dan 3808 ekor dengan intensitas kerusakan tanaman masing-masing 38,85%,
35,50% dan 26,35%. Musuh alami TKT yang ditemukan yaitu Amblyseius sp. (Phytoseiidae) dan serangga predator
Stethorus (Coleoptera; Coccinellidae).

                                                                                  UCAPAN TERIMA KASIH
        Ucapan terimah kasih disampaikan kepada Sdr. Yanuar Ery Noorsanto (Mahasiswa jurusan HPT Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya Malang) atas kerjasama dan bantuan yang telah diberikan.

                                                                                      DAFTAR PUSTAKA
Croft dan Mc Groarty. 1973 dalam Minns J C. Nyrop J P. Herring C P. 1994. Influence of ground cover on dynamics of
        Amblyseius fallacis garman (Acarina : Phytoseiidae) in New York apple orchards. Agriculture Ecosystems &
        Environment.

                                                                                                 16
Andi Muhammad Amir1), R. D. Puspitarini2), Ludji P. Astuti2) : Tungau Kuning Teh Polyphagotarsonemus Latus (Banks) (Acari: Tarsonemidae):
                                                                      Fluktuasi Populasi Dan Musuh Alaminya Pada Berbagai Pola Tanam Wijen




Denmark H.A. and Fasulo T.R. 1980. Plyphagotarsonemus latus (Banks.) University of Florida. Florida Departemen of
       Agriculture and Consumer Service. Devision of Plant Industry Originally Pblished as DPI Entomology Circular
       89. http//www.Creatunes.ifas.ufl.edu/orn/broad mite04.html. 15 Oktober 2008.
Huffaker C B. van deVrie M, McMurtry J A. 1969. The Ecology of Tetranychid Mites and their Natural Control. Ann Rev
        Entomol.
Jayma K M. 1993. Polyphagotarsonemus latus (Banks). http://www. xtento. hawaii.edu/kbase/crop/type/p-
      latus.html. 15 Oktober 2008.
Kalshoven L G E. 1981. Pest of Crop in Indonesia. Revised by PA van der Laan. Jakarta. PT. Ichtiar Baru-van Hoeve.
Oktawirani P. 2008. Keberadaan Populasi Tungau Kuning Polyphagotarsonemus latus (Banks) pada Beberapa Galur
        Harapan Wijen di Kebun Percobaan Sumberrejo-Bojonegoro. Skripsi. Program Studi Biologi. FMIPA.
        Universitas Negeri Malang.
Painter, R.H. 1968. Insect Resistence In Crops Plants. The University of Kansas. 520 p.
Puspitarini R D. 2005. Bioekologi Tungau Merah Jeruk, Panonychus citri (Mc Gregor) Acari : Tetranychidae. Disertasi
         Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Rismunandar. 1976. Pedoman Bercocok Tanam Wijen. Bandung. Terate.
Suddiyam P, S Maneekhao. 1997. Sesame (Sesamun indicum L.). A Guide Book for Field Crops Production in Thailand.
        Field Crops Research Institute. Departement of Agriculture. I66 hal.
Soenardi. 1996. Budidaya Tanaman Wijen. Monograf Balittas. Malang. Badan Litbang Pertanian. Balittas Malang (2)
        :14 –25.
Subiyakto S. dan Harwanto. 1996. Hama Tanaman Wijen Dan Pengendalian.Monograf Balittas Malang (2) :31- 37.
Warsana. 2009. Introduksi Teknologi Tumpangsari. Sinar Tani 25 Feb - 3 Maret 2009 No. 3292. BPTP Jawa Tengah.
Widiyana A. 2008. Kelimpahan Populasi Tungau dan Musuh Alaminya pada Tanaman Apel Manalagi di Desa
        Poncokusomo Kecamatan Poncokusumo Malang. Skripsi. Universitas Brawijaya Malang. Malang.




                                                                    17

Contenu connexe

Tendances

73991624 pengendalian-hayati-gulma
73991624 pengendalian-hayati-gulma73991624 pengendalian-hayati-gulma
73991624 pengendalian-hayati-gulmaEfri Yadi
 
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sa...
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sa...LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sa...
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sa...Moh Masnur
 
Halaman seluruhnya
Halaman seluruhnyaHalaman seluruhnya
Halaman seluruhnyaIndri Chayou
 
Makalah pengendalian gulma dengan pemanfaatannya
Makalah pengendalian gulma dengan pemanfaatannyaMakalah pengendalian gulma dengan pemanfaatannya
Makalah pengendalian gulma dengan pemanfaatannyaOperator Warnet Vast Raha
 
Pengendalian gulma
Pengendalian gulmaPengendalian gulma
Pengendalian gulmaDina akib
 
Pengendalian gulma terpadu
Pengendalian gulma terpaduPengendalian gulma terpadu
Pengendalian gulma terpaduEla Afellay
 
Pengendalian HAYATI SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGENDALIAN HAMA TERPADU
Pengendalian HAYATI SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGENDALIAN HAMA TERPADUPengendalian HAYATI SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGENDALIAN HAMA TERPADU
Pengendalian HAYATI SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGENDALIAN HAMA TERPADUsapri yanto
 

Tendances (15)

Buku diktat diht
Buku diktat dihtBuku diktat diht
Buku diktat diht
 
73991624 pengendalian-hayati-gulma
73991624 pengendalian-hayati-gulma73991624 pengendalian-hayati-gulma
73991624 pengendalian-hayati-gulma
 
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sa...
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sa...LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sa...
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sa...
 
Hama jahe-dan-pengendaliannya
Hama jahe-dan-pengendaliannyaHama jahe-dan-pengendaliannya
Hama jahe-dan-pengendaliannya
 
Halaman seluruhnya
Halaman seluruhnyaHalaman seluruhnya
Halaman seluruhnya
 
Makalah pengendalian gulma dengan pemanfaatannya
Makalah pengendalian gulma dengan pemanfaatannyaMakalah pengendalian gulma dengan pemanfaatannya
Makalah pengendalian gulma dengan pemanfaatannya
 
Pengendalian gulma
Pengendalian gulmaPengendalian gulma
Pengendalian gulma
 
9088 16554-2-pb
9088 16554-2-pb9088 16554-2-pb
9088 16554-2-pb
 
Pengendalian gulma terpadu
Pengendalian gulma terpaduPengendalian gulma terpadu
Pengendalian gulma terpadu
 
Proposal mentimun
Proposal mentimunProposal mentimun
Proposal mentimun
 
Pengendalian HAYATI SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGENDALIAN HAMA TERPADU
Pengendalian HAYATI SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGENDALIAN HAMA TERPADUPengendalian HAYATI SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGENDALIAN HAMA TERPADU
Pengendalian HAYATI SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGENDALIAN HAMA TERPADU
 
Penyakit Bulai Pada Jagung
Penyakit Bulai Pada JagungPenyakit Bulai Pada Jagung
Penyakit Bulai Pada Jagung
 
Pengendalian hama
Pengendalian hamaPengendalian hama
Pengendalian hama
 
Makalah_70 pengolahan benih terung dan mentimun
Makalah_70 pengolahan benih terung dan mentimunMakalah_70 pengolahan benih terung dan mentimun
Makalah_70 pengolahan benih terung dan mentimun
 
Makalah gulma secara hayati
Makalah gulma secara hayatiMakalah gulma secara hayati
Makalah gulma secara hayati
 

En vedette

9 ramlan-kajian artropoda
9 ramlan-kajian artropoda9 ramlan-kajian artropoda
9 ramlan-kajian artropodaxie_yeuw_jack
 
10 indiati - pengendalian tungau puru
10 indiati - pengendalian tungau puru10 indiati - pengendalian tungau puru
10 indiati - pengendalian tungau puruxie_yeuw_jack
 
4 andi m amir - skrining f1 jarak pagar
4 andi m amir - skrining f1 jarak pagar4 andi m amir - skrining f1 jarak pagar
4 andi m amir - skrining f1 jarak pagarxie_yeuw_jack
 
7 nurasiah dj - reaksi bibit pisang barangan
7 nurasiah dj - reaksi bibit pisang barangan7 nurasiah dj - reaksi bibit pisang barangan
7 nurasiah dj - reaksi bibit pisang baranganxie_yeuw_jack
 
9 yusmani - karakter p.leccani
9 yusmani - karakter p.leccani9 yusmani - karakter p.leccani
9 yusmani - karakter p.leccanixie_yeuw_jack
 
11 pedoman penulisan
11 pedoman penulisan11 pedoman penulisan
11 pedoman penulisanxie_yeuw_jack
 
8 m assad - kajian pestisida nabati
8 m assad - kajian pestisida nabati8 m assad - kajian pestisida nabati
8 m assad - kajian pestisida nabatixie_yeuw_jack
 
Dukungan litbang menuju bioindustri ed nw
Dukungan litbang menuju bioindustri ed nwDukungan litbang menuju bioindustri ed nw
Dukungan litbang menuju bioindustri ed nwxie_yeuw_jack
 
MATERI LENGKAP BAHASA INGGRIS PEMINATAN KELAS X SEMESTER 1
MATERI LENGKAP BAHASA INGGRIS PEMINATAN KELAS X SEMESTER 1MATERI LENGKAP BAHASA INGGRIS PEMINATAN KELAS X SEMESTER 1
MATERI LENGKAP BAHASA INGGRIS PEMINATAN KELAS X SEMESTER 1Nesha Mutiara
 

En vedette (9)

9 ramlan-kajian artropoda
9 ramlan-kajian artropoda9 ramlan-kajian artropoda
9 ramlan-kajian artropoda
 
10 indiati - pengendalian tungau puru
10 indiati - pengendalian tungau puru10 indiati - pengendalian tungau puru
10 indiati - pengendalian tungau puru
 
4 andi m amir - skrining f1 jarak pagar
4 andi m amir - skrining f1 jarak pagar4 andi m amir - skrining f1 jarak pagar
4 andi m amir - skrining f1 jarak pagar
 
7 nurasiah dj - reaksi bibit pisang barangan
7 nurasiah dj - reaksi bibit pisang barangan7 nurasiah dj - reaksi bibit pisang barangan
7 nurasiah dj - reaksi bibit pisang barangan
 
9 yusmani - karakter p.leccani
9 yusmani - karakter p.leccani9 yusmani - karakter p.leccani
9 yusmani - karakter p.leccani
 
11 pedoman penulisan
11 pedoman penulisan11 pedoman penulisan
11 pedoman penulisan
 
8 m assad - kajian pestisida nabati
8 m assad - kajian pestisida nabati8 m assad - kajian pestisida nabati
8 m assad - kajian pestisida nabati
 
Dukungan litbang menuju bioindustri ed nw
Dukungan litbang menuju bioindustri ed nwDukungan litbang menuju bioindustri ed nw
Dukungan litbang menuju bioindustri ed nw
 
MATERI LENGKAP BAHASA INGGRIS PEMINATAN KELAS X SEMESTER 1
MATERI LENGKAP BAHASA INGGRIS PEMINATAN KELAS X SEMESTER 1MATERI LENGKAP BAHASA INGGRIS PEMINATAN KELAS X SEMESTER 1
MATERI LENGKAP BAHASA INGGRIS PEMINATAN KELAS X SEMESTER 1
 

Similaire à 6 andi m amir - tungau kuning teh

Acara 2 PENGENALAN DAN PENGAMATAN SERANGAN HAMA
Acara 2 PENGENALAN DAN PENGAMATAN SERANGAN HAMAAcara 2 PENGENALAN DAN PENGAMATAN SERANGAN HAMA
Acara 2 PENGENALAN DAN PENGAMATAN SERANGAN HAMAAlfian Nopara Saifudin
 
Buku diktat diht
Buku diktat dihtBuku diktat diht
Buku diktat dihtedikaputra
 
Ilmu hama tumbuhan
Ilmu hama tumbuhanIlmu hama tumbuhan
Ilmu hama tumbuhanAbdul Wahid
 
331347360 laporan-slpht
331347360 laporan-slpht331347360 laporan-slpht
331347360 laporan-slphtnovriandasipil
 
Buku diktat hama dan penyakit tanaman
Buku diktat hama dan penyakit tanamanBuku diktat hama dan penyakit tanaman
Buku diktat hama dan penyakit tanamanIr. Zakaria, M.M
 
6 suharsono-kepakaan galur kedelai
6 suharsono-kepakaan galur kedelai6 suharsono-kepakaan galur kedelai
6 suharsono-kepakaan galur kedelaixie_yeuw_jack
 
5 ely korlina-pengendalian hayatii
5 ely korlina-pengendalian hayatii5 ely korlina-pengendalian hayatii
5 ely korlina-pengendalian hayatiixie_yeuw_jack
 
DALISMAN STRUKTUR KOMUNITAS SERANGGAH TANAH.docx
DALISMAN STRUKTUR KOMUNITAS SERANGGAH TANAH.docxDALISMAN STRUKTUR KOMUNITAS SERANGGAH TANAH.docx
DALISMAN STRUKTUR KOMUNITAS SERANGGAH TANAH.docxDALISMAN2
 
Proposal PL adjie
Proposal PL adjieProposal PL adjie
Proposal PL adjieArta Adjie
 
Pengertian ekologi hewan
Pengertian ekologi hewanPengertian ekologi hewan
Pengertian ekologi hewanAde Maiditasari
 
Makalah gulma secara hayati
Makalah gulma secara hayatiMakalah gulma secara hayati
Makalah gulma secara hayatiWarnet Raha
 
Makalah gulma secara hayati
Makalah gulma secara hayatiMakalah gulma secara hayati
Makalah gulma secara hayatiWarnet Raha
 

Similaire à 6 andi m amir - tungau kuning teh (20)

Acara 2 PENGENALAN DAN PENGAMATAN SERANGAN HAMA
Acara 2 PENGENALAN DAN PENGAMATAN SERANGAN HAMAAcara 2 PENGENALAN DAN PENGAMATAN SERANGAN HAMA
Acara 2 PENGENALAN DAN PENGAMATAN SERANGAN HAMA
 
BAB I (2).pdf
BAB I (2).pdfBAB I (2).pdf
BAB I (2).pdf
 
Kuliah Perlintan.pdf
Kuliah Perlintan.pdfKuliah Perlintan.pdf
Kuliah Perlintan.pdf
 
Buku diktat diht
Buku diktat dihtBuku diktat diht
Buku diktat diht
 
Ilmu hama tumbuhan
Ilmu hama tumbuhanIlmu hama tumbuhan
Ilmu hama tumbuhan
 
331347360 laporan-slpht
331347360 laporan-slpht331347360 laporan-slpht
331347360 laporan-slpht
 
Dele 13.marwoto 1
Dele 13.marwoto 1Dele 13.marwoto 1
Dele 13.marwoto 1
 
Buku diktat hama dan penyakit tanaman
Buku diktat hama dan penyakit tanamanBuku diktat hama dan penyakit tanaman
Buku diktat hama dan penyakit tanaman
 
6 suharsono-kepakaan galur kedelai
6 suharsono-kepakaan galur kedelai6 suharsono-kepakaan galur kedelai
6 suharsono-kepakaan galur kedelai
 
6 ayyub-hama tikus
6 ayyub-hama tikus6 ayyub-hama tikus
6 ayyub-hama tikus
 
Makalah gulma secara hayati
Makalah gulma secara hayatiMakalah gulma secara hayati
Makalah gulma secara hayati
 
5 ely korlina-pengendalian hayatii
5 ely korlina-pengendalian hayatii5 ely korlina-pengendalian hayatii
5 ely korlina-pengendalian hayatii
 
DALISMAN STRUKTUR KOMUNITAS SERANGGAH TANAH.docx
DALISMAN STRUKTUR KOMUNITAS SERANGGAH TANAH.docxDALISMAN STRUKTUR KOMUNITAS SERANGGAH TANAH.docx
DALISMAN STRUKTUR KOMUNITAS SERANGGAH TANAH.docx
 
Proposal PL adjie
Proposal PL adjieProposal PL adjie
Proposal PL adjie
 
Pengertian ekologi hewan
Pengertian ekologi hewanPengertian ekologi hewan
Pengertian ekologi hewan
 
Makalah gulma secara hayati
Makalah gulma secara hayatiMakalah gulma secara hayati
Makalah gulma secara hayati
 
Makalah gulma secara hayati
Makalah gulma secara hayatiMakalah gulma secara hayati
Makalah gulma secara hayati
 
Makalah gulma secara hayati
Makalah gulma secara hayatiMakalah gulma secara hayati
Makalah gulma secara hayati
 
12phtpadisawah
12phtpadisawah12phtpadisawah
12phtpadisawah
 
12phtpadisawah
12phtpadisawah12phtpadisawah
12phtpadisawah
 

Plus de xie_yeuw_jack

5 bedjo-helicoverpa 2011
5 bedjo-helicoverpa 20115 bedjo-helicoverpa 2011
5 bedjo-helicoverpa 2011xie_yeuw_jack
 
10 pedoman penulisan
10 pedoman penulisan10 pedoman penulisan
10 pedoman penulisanxie_yeuw_jack
 
9 surtikanti - penyakit bulai 2
9 surtikanti - penyakit bulai 29 surtikanti - penyakit bulai 2
9 surtikanti - penyakit bulai 2xie_yeuw_jack
 
7 hardaningsih - penyakit kacang-kacangan---ok
7 hardaningsih - penyakit kacang-kacangan---ok7 hardaningsih - penyakit kacang-kacangan---ok
7 hardaningsih - penyakit kacang-kacangan---okxie_yeuw_jack
 
7 hardaningsih - penyakit kacang-kacangan
7 hardaningsih - penyakit kacang-kacangan7 hardaningsih - penyakit kacang-kacangan
7 hardaningsih - penyakit kacang-kacanganxie_yeuw_jack
 
6 yusmni - lecanicillium lecanii bemisia tabaci
6 yusmni - lecanicillium lecanii bemisia tabaci6 yusmni - lecanicillium lecanii bemisia tabaci
6 yusmni - lecanicillium lecanii bemisia tabacixie_yeuw_jack
 
5 hardaningsih - evaluasi ketahanan beberapa k.tanah
5 hardaningsih - evaluasi ketahanan beberapa k.tanah5 hardaningsih - evaluasi ketahanan beberapa k.tanah
5 hardaningsih - evaluasi ketahanan beberapa k.tanahxie_yeuw_jack
 
4 bedjo- evaluasi isolat h. armigera
4 bedjo- evaluasi isolat h. armigera4 bedjo- evaluasi isolat h. armigera
4 bedjo- evaluasi isolat h. armigeraxie_yeuw_jack
 
8 yusmani - efikasi cendawan entomopatogens
8 yusmani - efikasi cendawan entomopatogens8 yusmani - efikasi cendawan entomopatogens
8 yusmani - efikasi cendawan entomopatogensxie_yeuw_jack
 
6 nurjanani-identifikasi-bawang merah
6 nurjanani-identifikasi-bawang merah6 nurjanani-identifikasi-bawang merah
6 nurjanani-identifikasi-bawang merahxie_yeuw_jack
 
5 ramlan-pengendalian karat kedelai
5 ramlan-pengendalian karat kedelai5 ramlan-pengendalian karat kedelai
5 ramlan-pengendalian karat kedelaixie_yeuw_jack
 
4 nurjanani-agens biokontrol
4 nurjanani-agens biokontrol4 nurjanani-agens biokontrol
4 nurjanani-agens biokontrolxie_yeuw_jack
 

Plus de xie_yeuw_jack (20)

3 daftar isi-4
3 daftar isi-43 daftar isi-4
3 daftar isi-4
 
2 dewan penyunting
2 dewan penyunting2 dewan penyunting
2 dewan penyunting
 
1 sampul depan
1 sampul depan1 sampul depan
1 sampul depan
 
12 sampul belakang
12 sampul belakang12 sampul belakang
12 sampul belakang
 
5 bedjo-helicoverpa 2011
5 bedjo-helicoverpa 20115 bedjo-helicoverpa 2011
5 bedjo-helicoverpa 2011
 
10 pedoman penulisan
10 pedoman penulisan10 pedoman penulisan
10 pedoman penulisan
 
9 surtikanti - penyakit bulai 2
9 surtikanti - penyakit bulai 29 surtikanti - penyakit bulai 2
9 surtikanti - penyakit bulai 2
 
7 hardaningsih - penyakit kacang-kacangan---ok
7 hardaningsih - penyakit kacang-kacangan---ok7 hardaningsih - penyakit kacang-kacangan---ok
7 hardaningsih - penyakit kacang-kacangan---ok
 
7 hardaningsih - penyakit kacang-kacangan
7 hardaningsih - penyakit kacang-kacangan7 hardaningsih - penyakit kacang-kacangan
7 hardaningsih - penyakit kacang-kacangan
 
6 yusmni - lecanicillium lecanii bemisia tabaci
6 yusmni - lecanicillium lecanii bemisia tabaci6 yusmni - lecanicillium lecanii bemisia tabaci
6 yusmni - lecanicillium lecanii bemisia tabaci
 
5 hardaningsih - evaluasi ketahanan beberapa k.tanah
5 hardaningsih - evaluasi ketahanan beberapa k.tanah5 hardaningsih - evaluasi ketahanan beberapa k.tanah
5 hardaningsih - evaluasi ketahanan beberapa k.tanah
 
4 bedjo- evaluasi isolat h. armigera
4 bedjo- evaluasi isolat h. armigera4 bedjo- evaluasi isolat h. armigera
4 bedjo- evaluasi isolat h. armigera
 
3 daftar isi-4
3 daftar isi-43 daftar isi-4
3 daftar isi-4
 
2 dewan penyunting
2 dewan penyunting2 dewan penyunting
2 dewan penyunting
 
1 sampul depan
1 sampul depan1 sampul depan
1 sampul depan
 
11 sampul belakang
11 sampul belakang11 sampul belakang
11 sampul belakang
 
8 yusmani - efikasi cendawan entomopatogens
8 yusmani - efikasi cendawan entomopatogens8 yusmani - efikasi cendawan entomopatogens
8 yusmani - efikasi cendawan entomopatogens
 
6 nurjanani-identifikasi-bawang merah
6 nurjanani-identifikasi-bawang merah6 nurjanani-identifikasi-bawang merah
6 nurjanani-identifikasi-bawang merah
 
5 ramlan-pengendalian karat kedelai
5 ramlan-pengendalian karat kedelai5 ramlan-pengendalian karat kedelai
5 ramlan-pengendalian karat kedelai
 
4 nurjanani-agens biokontrol
4 nurjanani-agens biokontrol4 nurjanani-agens biokontrol
4 nurjanani-agens biokontrol
 

6 andi m amir - tungau kuning teh

  • 1. Superman : Suara Perlindungan Tanaman, Vol.2.,No.2.,2012 TUNGAU KUNING TEH Polyphagotarsonemus latus (Banks) (ACARI: TARSONEMIDAE): PADA BERBAGAI POLA TANAM WIJEN Andi Muhammad Amir1), R. D. Puspitarini2), Ludji P. Astuti2) 1) Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Malang 2) Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang E-mail: andimohamir@yahoo.co.id ABSTRAK Pola tanam wijen selama ini umumnya secara monokultur. Pola tanam ini cukup menguntungkan, tetapi berdampak pada minimnya keragaman agen hayati yang berperan menghambat laju perkembangan hama secara alami. Pola tanam tumpangsari salah satu alternatif meningkatkan kekayaan agen hayati karena mempunyai tingkat keragaman vegetasi yang lebih tinggi dan stabil. Penelitian tungau teh kuning Polyphagotarsonemus latus (Banks) (Acari; Tarsonemidae): fluktuasi populasi dan musuh alaminya pada berbagai pola tanam wijen telah dilaksanakan di Kebun Percobaan Sumberejo, Bojonegoro, Jawa Timur dan Laboratorium Hama Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat (BALITTAS) Malang mulai bulan Juli sampai dengan September 2007, bertujuan untuk mengetahui fluktuasi populasi TKT, populasi musuh alami dan intensitas kerusakannya. Pola tanam terdiri atas 3 (tiga) macam, yaitu 1) pola tanam wijen (Sbr-4) monokultur, 2) pola tanam tumpangsari wijen dengan kacang hijau (Betek) dan 3) pola tanam tumpangsari wijen dengan jagung (Hibrida). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, perbedaan pola tanam pada tanaman wijen tidak berpengaruh terhadap populasi, musuh alami TKT dan intensitas kerusakan tanaman. Puncak populasi tertinggi TKT pada tanaman wijen terjadi pada pola tanam monokultur wijen, kemudian berturut-turut tumpangsari wijen dengan kacang hijau dan tumpangsari wijen dengan jagung masing-masing 4481, 3240, dan 3808 ekor dengan intensitas kerusakan tanaman masing-masing 38,85%, 35,50% dan 26,35%. Musuh alami TKT yang ditemukan yaitu Amblyseius sp. (Phytoseiidae) dan serangga predator Stethorus (Coleoptera; Coccinellidae). Kata kunci: Tungau Kuning Teh Polyphagotarsonemus latus (Banks.) dan pola tanam. ABSTRACT Sesame cropping pattern has been generally in a monoculture. Cropping pattern is quite profitable, but the lack of impact on biodiversity that contribute hamper the pace of development of pests naturally. Intercropping cropping pattern one of the alternatives increase the wealth of biological agents because it has the level of a higher diversity of vegetation and stable. Yellow tea mite Polyphagotarsonemus latus (Banks.) (Acari; Tarsonemidae) research: fluktuations in the population and its natural enemy in a variety of sesame cropping pattern was conducted at the experimental Sumberejo, Bojonegoro, East Java and Entomological Laboratory Indonesian Tobacco and Fibre Crops Research Institute (IToFCRI) Malang, starting in July to September 2007, aims to determine the population fluctuations, a natural enemy populations and the intensity of the damage. Cropping pattern consists of 3 (three) types, namely 1) sesame (Sbr-4) cropping pattern monoculture, 2) sesame intercropping cropping pattern with green beans (Betek) and 3) pattern intercropping planting sesame with maize (Hybrid). The results showed that, differences in cropping patterns on sesame plant has no effect on the population, natural enemies of YTM and the intensity of crop damage due to attacks The highest population peak YTM on sesame plants occur in monoculture cropping sesame, then a row intercropping sesame with green beans and sesame intercropped with maize respectively 4481, 3240, and 3808 tail with the intensity of crop damage 38.85% respectively, 35.50% and 26.35%. YTM natural enemies found in the Amblyseius sp. (Phytoseiidae) dan serangga predator Stethorus sp. (Coleoptera: Coccinelidae) Key words: Yellow tea mite Polyphagotarsonemus latus (Banks.) and intercropping. 12
  • 2. Andi Muhammad Amir1), R. D. Puspitarini2), Ludji P. Astuti2) : Tungau Kuning Teh Polyphagotarsonemus Latus (Banks) (Acari: Tarsonemidae): Fluktuasi Populasi Dan Musuh Alaminya Pada Berbagai Pola Tanam Wijen PENDAHULUAN Tanaman wijen (Sesamun indicum L.) adalah salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi yang dapat menghasilkan devisa bagi negara. Biji yang dihasilkan mengandung 35-57% minyak, 19-25% air, 20- 30% protein, 11% karbohidrat dan bahan-bahan mineral lainnya. Selanjtnya melalui proses pengolahan dapat dimanfaatkan untuk industri bahan makanan, bahan kosmetik, parfum, dan obat-obatan, serta bungkil wijen dapat dijadikan pakan ternak dan unggas (Suddhiyam dan Maneekhao, 1997). Usaha peningkatan produktivitas wijen masih terus diupayakan, namun masih mengalami beberapa hambatan. Hambatan tersebut menurut (Soenardi, 1996), antara lain dipengaruhi oleh benih yang digunakan kurang baik, lahan terbatas, budidaya belum intensif, penggunaan varietas lokal yang tingkat produktivitasnya rendah, serangan penyakit dan gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT). Hasil survei (Subiyakto dan Harwanto, 1996), beberapa OPT yang dominan ditemukan pada tanaman wijen yaitu Polyphagotarsonemus latus Banks. (Acari: Tarsonemidae) atau tungau kuning teh (TKT) (Denmark dan Fasulo, 1980), kepik Nezara viridula (L.) (Hemiptera: Pentatomidae), kutu Aphis gossypii Glover (Homoptera: Aphididae), Myzus persicae Sulz. (Homoptera: Aphididae), ulat Antigastra catalaunalis Dup. (Lepidoptera: Pyralidae). TKT tersebar hampir di seluruh dunia, diantaranya Australia, Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, pulau- pulau di Pasifik dan di daerah tropis serta subtropis lainnya termasuk Indonesi. Serangan berat TKT dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat, tanaman tumbuh tidak normal, bahkan titik tumbuh pada tanaman tersebut berhenti untuk tumbuh (Jayma, 1993). TKT dapat ditemukan sepanjang musim khususnya pada musim panas. Pada musim panas kerusakan yang ditimbulkan lebih besar daripada musim hujan dan hampir bisa dipastikan tingkat kerusakan akan tinggi dengan proses kerusakan terjadi pada waktu yang sangat singkat (Soenardi, 1996). Perkembangbiakan TKT ini sangat cepat, sehingga dalam waktu singkat dapat menyebabkan kerusakan tanaman, dan lebih diperparah lagi apabila hama ini menyerang tanaman wijen yang baru tumbuh, dimana pertumbuhan tanaman akan menjadi terhambat serta berubah bentuk (Rismunadar, 1976). Karakteristik dari TKT yang menginfeksi daun adalah bentuknya pendek, kecil, ramping, berwarna putih kekuningan dan tembus pandang (transparan). Pada permukaan luar tubuhnya terdapat rambut-rambut yang menutupinya. TKT jantan lebih kecil dan lebih ramping dari betina, kaki TKT jantan juga lebih kecil dan lebih panjang daripada betina. Pada TKT jantan tubuh bagian belakang (abdomen) membentuk segitiga, sedangkan pada betina membulat (Kalshoven, 1981). Pola tanam tumpangsari merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan kekayaan agens hayati. Ekosistem pada tumpangsari mempunyai tingkat keragaman vegetasi yang lebih tinggi dan lebih stabil. Pola ini mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dalam hal resistensi atau kemampuan menghindari dan menahan kerusakan lingkungan dan resiliensi atau kemampuan untuk pulih dari kerusakan lingkungan yang telah terjadi (Soenardi, 1996). Selanjutnya (Warsana, 2009), menyatakan bahwa pola tanaman tumpangsari ditujukan untuk mengantisipasi adanya organisme pengganggu tumbuhan dan mengurangi resiko serangan hama maupun penyakit. Sebaiknya ditanam tanaman yang mempunyai hama maupun penyakit berbeda, atau tidak menjadi inang dari hama maupun penyakit tanaman lain yang ditumpangsarikan, sehingga secara maksimal dapat menekan populasi hama. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fluktuasi populasi, musuh alami TKT, dan intensitas kerusakan tanaman pada pola tanam monokultur wijen, tumpangsari wijen dengan kacang hijau dan tumpangsari wijen dengan jagung. BAHAN DAN METODA Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Sumberrejo, Bojonegoro, Jawa Timur dan Laboratorium Hama Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat (BALITTAS) Malang mulai bulan Juli sampai dengan September 2007. Pola tanam terdiri atas 3 (tiga) macam, yaitu 1) pola tanam wijen (Sbr-4) monokultur (WM), 2) pola tanam tumpangsari wijen dengan kacang hijau (Betek) (TWK) dan 3) pola tanam tumpangsari wijen dengan jagung (Hibrida) (TWJ), dengan ukuran petak masing-masing 32 x 24 m. Pada pola tanam WM, biji wijen ditanam secara tugal dengan jarak tanam 60 x 25 cm. Pola tanam TWK, benih kacang hijau ditanam secara tugal diantara 1 baris wijen dengan jarak tanam 30 x 25 cm. Sedangkan pada pola tanam TWJ, benih jagung ditanam secara tugal diantara 3 baris wijen dengan jarak tanam yang sama yaitu 60 x 25 cm. Pengolahan tanah, pemupukan, pengairan, penyulaman dan penyiangan gulma dilakukan sesuai dengan baku tenis agronomi tanaman wijen setempat. Untuk menjaga tidak terjadinya bias dari tujuan penelitian, pengendalian 13
  • 3. Superman : Suara Perlindungan Tanaman, Vol.2.,No.2.,2012 hama dengan menggunakan pestisida kimiawi dan pestisida nabati tidak dilakukan sampai dengan panen wijen, kacang tanah dan jagung. Parameter pengamatan meliputi populasi TKT, intensitas kerusakan dan populasi musuh alaminya dimulai pada saat tanaman telah berumur 25 hari setelah tanam (HST) dengan interval waktu pengamatan 10 hari hingga tanaman menjelang panen yaitu 85 HST. Pengamatan dilakukan pada sepertiga bagian atas tanaman pada 50 tanaman sampel. Populasi TKT dan musuh alaminya dihitung dengan memetik 3 daun kemudian diamati dengan bantuan mikroskop. Intensitas kerusakan diamati dengan menggunakan nilai skor. Nilai skor terdiri atas: Skor 0 = daun sehat; Skor 1 = 0 -25% daun terserang sebagian tapi belum keriting; Skor 2 = 26-50% daun keriting sebagian hingga setengah; Skor 3 = 51-75% keriting pada semua bagian daun; Skor 4 = 76-100% keriting parah hingga daun melengkung. Selanjutnya dihitung menggunakan persamaan dari (8), sebagai berikut: nxv I = ------------------ x 100% NxZ Dimana, I = intensitas kerusakan tanaman (%); n = jumlah daun yang mempunyai nilai skor yang sama; v = nilai skor dari setiap kategori kerusakan; N = jumlah tanaman yang diamati; Z = nilai skala kerusakan tertinggi. HASIL DAN PEMBAHASAN Fluktuasi populasi TKT di berbagai pola tanam wijen disajikan pada Gambar 1. Hasil pengamatan keberadaan TKT mulai nampak pada tanaman wijen umur 35 HST selanjutnya mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya umur tanaman wijen dan mencapai puncak pada saat tanaman berumur 55 HST baik pada pola tanam MW, TWK maupun TWJ. selanjutnya pada umur 65 HST sampai dengan 85 HST populasi TKT pada ketiga pola tanam tersebut mengalami penurunan hingga mencapai populasi terendah seiring dengan makin tuanya tanaman yaitu masing-masing 13 ekor, 25 ekor dan 93 ekor (Gambar 1). 5000 4500 4000 Populasi TKT (ekor) 3500 3000 MW 2500 TWK 2000 TWJ 1500 1000 500 0 25 35 45 55 65 75 85 Umur tanaman w ijen (HST) Gambar 1. Rata-rata fluktuasi populasi TKT pada berbagai pola tanam wijen. Keberadaan TKT pada tanaman wijen dengan populasi yang melimpah pada umur 55 HST di ketiga pola tanam tersebut dikarenakan tanaman wijen telah mencapai puncak pertumbuhan, dimana pada umur tersebut semua bagian tanaman seperti daun, tunas-tunas muda dan bunga tumbuh optimal, sehingga TKT dengan mudahnya dapat 14
  • 4. Andi Muhammad Amir1), R. D. Puspitarini2), Ludji P. Astuti2) : Tungau Kuning Teh Polyphagotarsonemus Latus (Banks) (Acari: Tarsonemidae): Fluktuasi Populasi Dan Musuh Alaminya Pada Berbagai Pola Tanam Wijen berkembangbiak dengan cepat dan menyebar ke seluruh bagian tanaman. Keadaan tersebut diatas merupakan hubungan serangga dengan tanaman inang, yang dilihat dari segi fisiologi serangga dan sifat morfologi dan fisiologi tanaman sebagai sumber rangsangan utama (Painter, 1968). Ciri morfologi tanaman tertentu dapat menghasilkan rangsangan fisik untuk kegiatan makan atau kegiatan peletakan telur serangga seperti variasi dalam ukuran dan bentuk daun, warna, kekerasan jaringan, adanya bulu daun dan tonjolan dapat menentukan penerimaan serangga terhadap tanaman tertentu. Pada ciri fisiologi yang mempengaruhi serangga biasanya berupa zat kimia yang dihasilkan oleh metabolisme tanaman baik metabolisme primer maupun sekunder. Hasil metabolisme primer adalah karbohidrat, protein, lipid, hormon dan enzym senyawa organik. Beberapa metabolit primer dapat menjadi rangsangan makan, bagian dari nutrisi serangga dan mungkin sebagai racun (Painter1968). Rata-rata tingkat populasi TKT pada ketiga pola tanam tersebut yaitu, 906,28 ekor, 986,71 ekor dan 1191,42 ekor. Hasil uji t (P = 0,925), menunjukkan bahwa ketiga pola tanam tidak berpengaruh terhadap populasi TKT. Hal tersebut menurut (Huffaker et al., 1969), disebabkan karena mobilitas tungau mampu berpindah jauh dengan bantuan jaring yang dibuatnya dengan membentuk seperti parasut dan dibantu adanya tiupan angin. Disamping hal tersebut diatas, TKT memiliki keunikan dalam bereproduksi, yaitu dapat menghasilkan keturunan tanpa terjadinya kopulasi (Parthenogenesis). Dari penelitian ini hanya ditemukan dua spesies musuh alami TKT yaitu tungau predator Amblyseius s p. (Acari: Phytoseiidae) dan serangga predator Stethorus sp. (Coleoptera: Coccinelidae) fase dewasa. dengan populasi yang sangat sedikit sehingga kedua spesies musuh alami tidak dibedakan dalam pengamatan. Populasi musuh alami kompleks (ekor) 16 14 12 10 MW 8 TWK 6 TWJ 4 2 0 25 35 45 55 65 75 85 Umur tanaman w ijen (HST) Gambar 2. Rata-rata fluktuasi populasi musuh alami (Amblyseius sp. dan Stethorus sp.) pada berbagai pola tanam wijen. Pada pengamatan populasi musuh alami (Gambar 2), kedua musuh alami tersebut ditemukan pada pola tanam MW sejak tanaman wijen berumur 55 HST yaitu sebanyak 1 ekor dan 75 HST pada kedua pola tanam lainnya yaitu TWK dan TWJ masing-masing 1 ekor dan 7 ekor. Puncak populasi terjadi pada pola tanam TWJ yaitu 14 ekor saat tanaman wijen berumur 85 HST, kemudian pada pola tanam TWK yaitu 5 ekor dan populasi terendah pada pola tanam MW yang hanya terdapat 2 ekor. Hasil uji t (P = 0,744), menunjukkan bahwa ketiga pola tanam ini tidak meunjukkan pengaruh terhadap populasi musuh alami. Rendahnya populasi musuh alami diduga karena tidak terdapatnya habitat yang mendukung kelangsungan hidupnya seperti tanaman penutup tanah yang menjadi habitat bagi musuh alami seperti tungau predator (Huang dan Liang, 1994 dalam Widiyana, 2008). Selanjutnya menurut (Croft dan Mc Groarty dalam Minns, 19940), penyebab lain rendahnya populasi musuh alami adalah temperatur panas yang cukup tinggi sehingga menjadi pembatas untuk mencari mangsanya, disamping itu juga dimungkinkan karena siklus hidup dari musuh alami yang berlangsung cepat. Menurut (Huffaker et al., 1969), siklus hidup musuh alami Amblyseius sp. bervariasi tergantung dari suhu, umumnya cukup singkat yaitu antara 4 sampai 10 hari. Demikian juga dari hasil penelitian (Puspitarini, 2005), bahwa lama perkembangan Amblyseius sp. sebelum dewasa berlangsung selama 4,78 hari. Pada Gambar 3, TKT telah menyerang tanaman wijen pada saat tanaman masih muda yaitu 25 HST terus meningkat sampai dengan 85 HST dengan rata-rata intensitas kerusakan tanaman terparah pada pola tanam MW 15
  • 5. Superman : Suara Perlindungan Tanaman, Vol.2.,No.2.,2012 yaitu 38,85%, kemudian pola tanam TWK yaitu 35,5 67% dan pola tanam TWJ yaitu 26,35%. Hasil uji t (P = 0,807), menunjukkan bahwa ketiga pola tanam tidak berpengaruh terhadap intensitas kerusakan. Hal ini disebabkan karena TKT telah menyerang tanaman pada saat tanaman masih muda dan bersifat permanen serta dominan ditemukan saat fase imago, sehingga perkembangbiakan TKT ini sangat cepat dan dalam waktu singkat menyebabkan kerusakan tanaman secara cepat. Menurut (Oktawirani, 2008), intensitas kerusakan tanaman dipengaruhi oleh keberadaan populasi TKT fase larva, nimfa dan imago. 100 Intensitas kerusakan tanaman (%) 90 80 70 60 MW 50 TWK 40 TWJ 30 20 10 0 25 35 45 55 65 75 85 Umur tanaman w ijen (HST) Gambar 3. Rata-rata fluktuasi intensitas kerusakan tanaman pada berbagai pola tanam wijen. Hasil uji korelasi pada taraf 5% hubungan antara populasi TKT, intensitas kerusakan tanaman dan populasi musuh alami, menunjukan hasil yang berbeda pada setiap pola tanam. Pada pola tanam MW, populasi TKT berkorelasi positif dengan populasi musuh alami (P = 0,232), tetapi antara populasi TKT dengan intensitas kerusakan berkorelasi negatif (P = - 0,051), sehingga pada pola tanam MW tidak ditemukan hubngan yang erat antara populasi TKT dengan intensitas kerusakan tanaman. Pada lahan TWK, populasi TKT berkorelasi negatif dengan populasi musuh alami (P = - 0,341), sehingga dapat dikatakan antara populasi TKT dengan populasi musuh alami tidak terdapat hubungan yang erat atau tidak saling mempengaruhi. Sedangkan antara populasi TKT dengan intensitas kerusakan berkorelasi positif (P = 0,177) tidak saling mempengaruhi. Pada lahan TWJ, populasi TKT berkorelasi negatif dengan populasi musuh alami (P = - 0,451) dan dengan intensitas kerusakannya (P = - 0,030), sehingga dapat dikatakan antara keduanya tidak saling mempengaruhi. KESIMPULAN Perbedaan pola tanam pada tanaman wijen tidak berpengaruh terhadap populasi, musuh alami TKT dan intensitas kerusakan tanaman. Puncak populasi tertinggi TKT pada tanaman wijen terjadi pada pola tanam monokultur wijen, kemudian berturut-turut tumpangsari wijen dengan kacang hijau dan tumpangsari wijen dengan jagung masing-masing 4481, 3240, dan 3808 ekor dengan intensitas kerusakan tanaman masing-masing 38,85%, 35,50% dan 26,35%. Musuh alami TKT yang ditemukan yaitu Amblyseius sp. (Phytoseiidae) dan serangga predator Stethorus (Coleoptera; Coccinellidae). UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimah kasih disampaikan kepada Sdr. Yanuar Ery Noorsanto (Mahasiswa jurusan HPT Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang) atas kerjasama dan bantuan yang telah diberikan. DAFTAR PUSTAKA Croft dan Mc Groarty. 1973 dalam Minns J C. Nyrop J P. Herring C P. 1994. Influence of ground cover on dynamics of Amblyseius fallacis garman (Acarina : Phytoseiidae) in New York apple orchards. Agriculture Ecosystems & Environment. 16
  • 6. Andi Muhammad Amir1), R. D. Puspitarini2), Ludji P. Astuti2) : Tungau Kuning Teh Polyphagotarsonemus Latus (Banks) (Acari: Tarsonemidae): Fluktuasi Populasi Dan Musuh Alaminya Pada Berbagai Pola Tanam Wijen Denmark H.A. and Fasulo T.R. 1980. Plyphagotarsonemus latus (Banks.) University of Florida. Florida Departemen of Agriculture and Consumer Service. Devision of Plant Industry Originally Pblished as DPI Entomology Circular 89. http//www.Creatunes.ifas.ufl.edu/orn/broad mite04.html. 15 Oktober 2008. Huffaker C B. van deVrie M, McMurtry J A. 1969. The Ecology of Tetranychid Mites and their Natural Control. Ann Rev Entomol. Jayma K M. 1993. Polyphagotarsonemus latus (Banks). http://www. xtento. hawaii.edu/kbase/crop/type/p- latus.html. 15 Oktober 2008. Kalshoven L G E. 1981. Pest of Crop in Indonesia. Revised by PA van der Laan. Jakarta. PT. Ichtiar Baru-van Hoeve. Oktawirani P. 2008. Keberadaan Populasi Tungau Kuning Polyphagotarsonemus latus (Banks) pada Beberapa Galur Harapan Wijen di Kebun Percobaan Sumberrejo-Bojonegoro. Skripsi. Program Studi Biologi. FMIPA. Universitas Negeri Malang. Painter, R.H. 1968. Insect Resistence In Crops Plants. The University of Kansas. 520 p. Puspitarini R D. 2005. Bioekologi Tungau Merah Jeruk, Panonychus citri (Mc Gregor) Acari : Tetranychidae. Disertasi Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Rismunandar. 1976. Pedoman Bercocok Tanam Wijen. Bandung. Terate. Suddiyam P, S Maneekhao. 1997. Sesame (Sesamun indicum L.). A Guide Book for Field Crops Production in Thailand. Field Crops Research Institute. Departement of Agriculture. I66 hal. Soenardi. 1996. Budidaya Tanaman Wijen. Monograf Balittas. Malang. Badan Litbang Pertanian. Balittas Malang (2) :14 –25. Subiyakto S. dan Harwanto. 1996. Hama Tanaman Wijen Dan Pengendalian.Monograf Balittas Malang (2) :31- 37. Warsana. 2009. Introduksi Teknologi Tumpangsari. Sinar Tani 25 Feb - 3 Maret 2009 No. 3292. BPTP Jawa Tengah. Widiyana A. 2008. Kelimpahan Populasi Tungau dan Musuh Alaminya pada Tanaman Apel Manalagi di Desa Poncokusomo Kecamatan Poncokusumo Malang. Skripsi. Universitas Brawijaya Malang. Malang. 17