Materi Elektroterapi Fisioterapi Interrupted Galvanic (Exponential) Current
Lp dhf
1. DENGUE HEMORRHAGIC FEVER
DEFINISI
Dengue Hemorrhagic Fever adalah penyakit yang disebabkan oleh Virus Dengue
merupakan virus RNA untai tunggal, genus flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu
Den-1, 2, 3 dan 4. Struktur antigen ke-4 serotipe ini sangat mirip satu dengan yang
lain, namun antibodi terhadap masing-masing serotipe tidak dapat saling
memberikan perlindungan silang.. Variasi genetik yang berbeda pada ke-4
serotipe ini tidak hanya menyangkut antar serotipe, tetapi juga didalam serotipe
itu sendiri tergantung waktu dan daerah penyebarannya. Pada masing-masing
segmen codon, variasi diantara serotipe dapat mencapai 2,6, 11,0 % pada tingkat
nukleotida dan 1,3,7,7 % untuk tingkat protein (Fu et al, 1992). Perbedaan urutan
nukleotida ini ternyata menyebabkan variasi dalam sifat biologis dan
antigenitasnya. Virus Dengue yang genomnya mempunyai berat molekul 11 Kb
tersusun dari protein struktural dan non-struktural. Protein struktural yang terdiri
dari protein envelope (E), protein pre-membran (prM) dan protein core (C)
merupakan 25% dari total protein, sedangkan protein non-struktural merupakan
bagian yang terbesar (75%) terdiri dari NS-1 dan NS-5. Dalam merangsang
pembentukan antibodi diantara protein struktural, urutan imunogenitas tertinggi
adalah protein E, kemudian diikuti protein prM dan C. Sedangkan pada protein
non-struktural yang paling berperan adalah proteinNS-1.
Semua serotype ini dapat dijumpai di Indonesia. Jenis nyamuknya berupa Aedes
aegypti betina. Ciri – ciri utama nyamuk ini antara lain, terbang terutama di siang
hari, hidup di habitat manusia, jarak terbang 40-100 m yang memudahkan
penularan dari rumah – rumah. Nyamuk ini mempunyai kebiasaan multiple
biters. Yaitu, meletakkan telurnya dan memproduksi larva pada atificial
containers.
Patogenesis.
Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi pertama
kali mungkin memberi gejala sebagai Dengue Fever. Reaksi tubuh merupakan
reaksi yang biasa terlihat pada ineksi oleh virus. Reaksi yang amat berbeda akan
tampak, bila seseorang mendapat infeksi berulang pada tipe virus dengue yang
berlainan. Berdasarkan hal ini timbulah yang disebut the secondary heterologous
infection atau the sequential infection hypothsis.
Re-Infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibody, sehingga
menimbulkan konsentrasi kompleks antigen antibody(kompleks virus antibody)
yang tinggi. Terdapatnya kompleks virus antibody dalam sirkulasi darah
mengakibatkan hal sebagai berikut :
1. Kompleks virus-antibodi akan mengaktivasi system komplemen, yang
berakibat dilepaskannya anafilatoksin C³a dan C 5a. C 5a menyebabkan
meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangnya
plasma melalui endotel dinding tersebut, suatu keadaan yang amat berperan
dalam terjadinya renjatan. Telah terbukti bahwa pada DSS kadar C 3a da C 5a
menurun masing-masing sebanyak 33% dan 89%. Nyata pada DHF pada masa
renjatan terdapat penurunan kadar komplemen dan dibebaskannya
anafilatoksin dalam jumlah besar. Walaupun plasma mengandung inaktivator
ampuh terhadap anafilatoksin, C 3a dan C 5a agaknya perannya dalam proses
2. terjadinya renjatan telah mendahului proses inaktivasi tersebut. Bukti bahwa
anafilatoksin ini sebenarnya secara cepat dapat diinaktivasi dan menghilang
dari sirkulasi ialah adanya kasus penyembuhan dramatis seorang pasien
renjatan bila ditanggulangi secara adekuat. Anafilatoksin C 3a dan C 5a tidak
berdaya untuk membebaskan histamin dan ini terbukti dengan ditemukannya
kadar histamine yang meningkat dalam air seni 24 jam pada pasien DHF.
2. Timbulnya agregasi trombosit yang melepaskan ADP akan mengalami
metamorfosis. Trombosit yang mengalami kerusakan metamorfosis akan
dimusnahkan oleh sistem retikuloendotel dengan akibat trombositopenia
hebat dan perdarahan. Pada keadaan agregasi, trombosit akan melepaskan
amin vasoaktif (histamin dan serotonin) yang bersifat meninggikan
permeabilitas kapiler dan melepaskan trombosit faktor 3 yang merangsang
koagulasi intravaskuler.
3. Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) dengan akibat akhir terjadinya
pembekuan intravaskular yang meluas. Dalam proses aktivasi ini,
plasminogen akan menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan
anafilatoksin dan penghancuran fibrin menjadi fibrin degradation product.
Disampinh itu aktivasi akan merangsang sistem kinin yang berperan dalam
proses meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah.
Patogenesis DBD tidak sepenuhnya dipahami, namun terdapat dua perubahan
patofisiologis yang menyolok, yaitu Meningkatnya permeabilitas kapiler yang
mengakibatkan bocornya plasma, hipovolemia dan terjadinya syok.Pada DBD
terdapat kejadian unik yaitu terjadinya kebocoran plasma ke dalam rongga pleura
dan rongga peritoneal.Kebocoran plasma terjadi singkat (24-48 jam).Hemostasis
abnormal yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopeni dan koagulopati,
mendahului terjadinya manifestasi perdarahan.
3. Patogenesis Renjatan pada DBD
Infeksi Dengue heterolog sekunder
Replikasi virus Respon antibodi
Kompleks antibodi virus
Agregasi trombosit Aktivasi koagulasi Aktivasi komplemen
Pelepasan trombosit oleh RES
Pelepasan PF III F. Hageman teraktivasi
anafilatoksin
Permeabilitas vaskuler >
SYOK
Gangguan
fungsi trombosit
trombositopenia
Koagulopati konsumtif Sistem kinin
kininClotting factor <
Perdarahan eksesif
FDP
Plasmin
Patofisiologi
Setelah virus dengue masuk kedalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan dan
gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh
badan, hiperemia ditenggorok, timbulnya ruam dan kelaianan yang mungkain
terjadi pada sistem retikuloendotelial sepeti pembesaran kelenjar-kelenjar getah
bening, hati dan limpa. Ruam pada DF disebabkan oleh kongesti pembuluh darah
dibawah kulit.
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan
DF dengan DHF ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena
penglepasan zat anafilaktosin, histamin dan serotinin serta aktivasi sistem
kalikrein yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskular. Hal ini berakibat
mengurangnya volum plasma, terjadinya hipotensi,
hemokonsentrasi,hipoproteinemia, efusi dan renjatan. Plasma merembes selama
perjalanan penyakit mulai dari saat permulaan demam dan mencapai puncaknya
pada saat renjatan berat, volume plasma dapat menurun sampai lebih dari 30%.
Adanya kebocoran plasma kedaerah ekstravaskular dibuktikan dengan
ditemukannya cairan dalam rongga serosa, yaitu rongga peritonium, pleura dan
pericard yang pada autopsi ternyata melebihi jumlah cairan yang telah diberikan
sebelumnya melalui infus. Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat
kehilangan plasma, bila tidak segera diatasi dapat berakibat anoksia jaringan,
asidosis metabolik dan kematian.
Renjatan yang terjadi akut dan perbaikan klinis yang drastis setelah pemberian
plasma/ekspander plasma yang efektif, sedangkan pada autopsi tidak ditemukan
4. kerusakan dinding pembuluh darah yang destruktif atau akibat radang,
menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah
mungkin disebabkan mediator farmakologis yang bekerja singkat. Sebab lain
kematian pada DHF adalah perdarahan hebat, yang biasanya timbul setelah
renjatan berlansung lama dan tidak teratasi. Perdararahan pada DHF umumnya
dihubungkan dengan trombositopenia, gangguan fungsi trombosit dan kelainan
sitem koagulasi.
Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda
dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit menimbulkan
dugaan meningkatnya destruksi trombosit. Penyidikan dengan radio isotop
membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadinya dalam sistem
retikuloendotelial.
Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkana proses imunologis
terbukti dengan terdapatnya kopleks imun dalam peredaran darah. Kelainan
sistem koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya
memang terbukti terganggu oleh aktivasi sistem koagulasi. Masalah terjadi
tidaknya DIC pada DHF/DSS, terutama pada pasien dengan perdarahan hebat,
sejak lama telah menjadi bahan perdebatan.
Telah dibuktikan bahwa DIC secara potensial dapat terjadi juga pada pasien DHF
tanpa renjatan. Dikatakan pada masa dini DHF, peran DIC tidak menonjol
dibandingkan dengan perembesan plasma, tetapi bila penyakit memburuk
dengan terjadinya asidosis dan renjatan,maka renjatan akan memperberat DIC
sehingga perannaya akan menonjol.
5. TAHAPAN DEMAM DENGUE
PENDERAJADAN DEMAM BERDARAH menurut WHO, 1999
DF/DH
F
Grade Symptoms Laboratory
DF
DHF
DHF
DHF
DHF
I
II
III
IV
Demam dua hari atau lebih
diikuti tanda-tanda : sakit
kepala, nyeri retro-orbital,
myalgia,artralgia.
Disertai gejala tidak khas,
pada test tourniquet positif.
Disertai perdarahan
spontan dikulit atau
perdarahan lain.
Ditemukannya kegagalan
sirkulasi, yaitu nadi cepat
danlembut, tekanan nadi
menurun, hipotensi disertai
kulit dingin, lembab dan
gelisah.
Renjatan berat dengan nadi
yang tidak dapat diraba dan
tekanan darah yang tidak
dapat diukur.
Biasanya ada leucopenia
didahului dengan
trombositopenia yang
ditandai dengan
hilangnya plasma darah.
Trombocytopenia
<100.000,Hct ≥ 20%.
Trombocytopenia
<100,000, Hct ≥ 20%
Trombocytopenia
<100,000, Hct ≥ 20%
Trombocytopenia <
100,000,Hct ≥ 20%.
6. Kriteria Demam Berdarah Dengue menurut WHO, tahun 1997 adalah : Demam
atau riwayat demam akut 2-7 hari (bifasik), Kecendrungan perdarahan dengan uji
tourniquet positif, dan bentuk lain seperti ptekiae, ekimosis atau purpura,
hematemesis atau melena. Pada uji laboratorium nilai thrombocytopenia <
100,000. Pada bukti plasma leakage karena penurunan permeabilitas vaskuler:
peningkatan hematokrit ≥ 20% diatas rata-rata. Penurunan hematokrit stelah
penggantian cairan ≥ 20 %. Tanada-tanda plasma leakage seperti efusi pleura,
ascites dan hipoproteinemia.
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis infeksi virus Dengue pada manusia sangat bervariasi. Spektrum
variasinya begitu luas, mulai dari asimtomatik, demam ringan yang tidak spesifik,
Demam Dengue, Demam Berdarah Dengue, hingga yang paling berat yaitu
Dengue Shock Syndrome (DSS), (Soegijanto, 2000). Diagnosis Demam Berdarah
Dengue ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997,
terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Penggunaan kriteria ini dimaksudkan
untuk mengurangi diagnosis yang berlebihan (overdiagnosis).
Gejala serupa dengan dengue fever, ditambah beberapa hal yaitu : Nyeri perut
berat dan terus menerus, perdarahan hidung, mulut dan gusi atau memar,
muntah berulang denga atau tanpa darah,BAB hitam seperti tir, kehausan (mulut
kering), pucat dan akral dingin.
Kriteria Klinis menurut WHO (1986) adalah :
Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus
selama 1-7 hari. Demam disertai gejala tidak spesifik seperti anoreksia, lemah
nyeri pada punggung, tulang persendian dan kepala.Terdapat manifestasi
perdarahan yang ditandai dengan :
Uji tourniquet positif Petekia, ekimosis, purpura
Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
Hematemesis dan atau melena
Hematuria
Pembesaran hati (hepatomegali).
Manifestasi syok/renjatan
Demam menurun pada hari ke 3 dan ke 7. renjatan yang terjadi pada saat
demam biasanya mempunyai prognosis buruk.
Kenaikan nilai hematokrit / hemokonsentras. Meningkatnya nilai hematokrit
merupakan indikator yang peka akan timbulnya renjatan.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah
Leukopenia hari ke2 atau 3
Trombositopenia dan hemokonsentrasi
BT memanjang, CT dalam batas normal
Penurunan faktor II, V, VII, IX dan X
2. Kimia darah
Hipoproteinemia
Hiponatremia
GOT/GPT, Ureum, pH darah mungkin naik
3. Urine
7. Albuminuria ringan
4. Sumsum tulang
hiposeluler menjadi hiperseluler (hari ke 5), dalam batas normal.
5. Serologi
Hemagglutination-inhibition (HI)
Complement fixation (CF)
Nutralization test (NT)
MAC-ELISA
Indirect IgG ELISA
6. Isolasi virus
Penatalaksanaan.
Setiap pasien tersangka DF atau DHF sebaiknya dirawat ditempat terpisah
dengan pasien penyakit lain, seyogyanya pada kamar yang bebas nyamuk
(berkelambu). Penatalaksanaan pada DF atau DHF tanpa penyulit adalah :
1. Tirah baring
2. Makanan lunak, bila belum ada nafsu makan dianjurkan untuk minum banyak
1,5 – 2 liter dalam jam (susu, air dengan gula atau sirop) atau air tawar
ditambah dengan garam saja.
3. Medikamentosa yang bersifat simptomatis, untuk hiperpireksia dapat
diberikan kompres air dikepala, ketiak dan inguinal. Antipiretik sebaiknya
dari golongan asetaminofen, eukinin, atau dipiron. Hindari pemakaian
asetosal karena bahaya perdarahan.
4. Antibiotik diberikan bila terdapat kekhawatiran infeksi sekunder.
5. Monitor penemuan dini tanda syok:
a. KU memburuk
b. Hepatomegali >>
c. Trombositopenia , BT memanjang
d. Berkala : Hmt >>
6. Evaluasi klinis pasien DBD :
a. Tekanan darah
b. Manifestasi perdarahan
c. Status hidrasi
d. Bukti peningkatan permeabilitas kapiler– efusi pleura, ascites
e. Rampleed Test
Kriteria memulangkan pasien DHF
• Tidak adanya demam sedikitnya 24 jam tanpa penggunaan antipiretika.
• Kembalinya nafsu makan.
• Perbaikan klinis yang tampak nyata.
• Urine output membaik/normal.
• Paling tidak 3 hari bebas dari syok.
• Tidak ada respiratory distress akibat efusi pleura dan tanpa ascites.
• Jumlah trombosit lebih dari 50,000/mm3.
Pencegahan.
Sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang dapat menangkal virus dengue
dengan berbagai serotipe. Satu-satumya usaha pencegahan atau pengendalian
dengue adalah dengan memerangi nyamuk yang berperan pada penularan virus
8. dengue. Aedes aegypti berkembang biak terutama di tempat – tempat buatan
manusia seperti wadah plastik, ban mobil bekas dan tempat lain yang
menampung air hujan. Nyamuk ini menggigit pada siang hari, beristirahat di
dalam rumah dan meletakkan telurnya pada tempat-tempat air bersih tergenang.
Pencegahan dapat dilakukan dengan langkah 3M plus
1. menguras bak mandi
2. menutup tempat- tempat yang mungkin menjadi tempat berkembangbiak
nyamuk
3. mengubur barang – barang bekas yang bisa menampung air. Selain itu di
tempat penampungan air seperti bak mandi diberikan insektisida yang
membunuh larva nyamuk seperti abate. Hal ini bisa mencegah
perkembangbiakan nyamuk selama beberapa minggu, tapi pemberiannya
harus diulang setiap beberapa waktu tertentu. Penyemprotan atau foging
dapat dilakukan untuk memberantas DBD, tapi penyemprotan dilakukan pada
pagi hari. Kemudian dalam sebuah jurnal disebutkan ikan suamang yang
ditaruh dalam bak air dapat memakan jentik dengan kecepatan tinggi.
4. Memutus rantai penularan – total coverage
5. Pemberantasan vektor:
Insektisida
Tanpa insektisida : PSN, 3M (menguras, menutup, mengubur)
1. Isolasi pasien lebih awal: sulit dilaksanakan
2. Mencegah gigitan dengan repellant atau kelambu
3. Imunisasi baru diteliti
Kota besar akan selalu dibanjiri oleh orang-orang yang mencari pekerjaan, yang
kebanyakan kurang atau tidak mampu sehingga mereka akan menambah daerah
pemukiman kumuh. Mengingat daerah kumuh menciptakan tempat yang sangat
subur bagi perkembangbiakan nyamuk Aedes maka tidak mengherankan kalau
populasi nyamuk Ae. aegypti/Ae. albopictus akan meningkat di samping
datangnya orang-orang baru tersebut akan meningkatkan jumlah orang yang
rentan terhadap DBD. Kepadatan dan mobilitas penduduk yang meningkat, jumlah nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus yang juga meningkat, sedang obat/vaksin untuk pencegahan dan juga cara
pencegahan atau pemberantasan yang belum mantap menyebabkan saat ini penyakit DBD masih akan
merupakan masalah besar kesehatan :
1. Kasus akan makin banyak, bahkan wabah masih akan ter-
jadi.
2. Peningkatan kasus menyolok di kota-kota besar.
3. Kota/tempat yang lebih kecil akan sering menerima limpahan kenaikan kasus
dari kota-kota besar, terutama dengan makin meningkatnya
hubungan/transportasi.
4. Partisipasi masyarakat masih sulit, lebih-lebih di kota-kota besar. Partisipasi
dalam pencegahan/pemberantasan secara swadana (membayar) akan
meningkat di kelompok/tempat-tempat berpenghasilan menengah dan tinggi tetapi karena
terlalu sibuk dengan pekerjaan/kegiatan di kota besar mereka tidak mempunyai waktu untuk melakukan
partisipasi secara aktif. Pencegahan penyakit DBD di kota-kota kecil akan lebih baik dan bersama-sama
dengan program pemerintah akan dapat menghambat penyebaran/peningkatan penyakit ini.
9. 5. Program pencegahan/pemberantasan dari pemerintah akan lebih berhasil
guna mengingat keterlibatan instansi lintas program dan lintas sektoral yang
lebih terkoordinir.
6. Para dokter akan makin trampil menangani kasus-kasus DBD; selain karena
pengalaman juga training yang dilakukan maupun penyebaran informasi terbaru lewat seminar dan lain-
lain, sehingga dapat makin menurunkan angka kematian. Makin lengkapnya peralatan dan unsur
penunjang lain seperti kemampuan laboratorium, juga akan membantu menurunkan angka kematian
tersebut.
7. Dari data tahun-tahun sebelumnya tampak adanya kecenderungan kasus-
kasus dewasa meningkat; hal ini diperkirakan akan tetap meningkat pada saat
ini, meskipun sebab yang jelas belum diketahui.
Strategi Baru Pencegahan/Pemberantasan DBD
Strategi baru tentang pemberantasan penyakit DBD mulai diintensiflcan sejak
tahun 1991. Strategi barn tersebut pada prinsipnya berupa pemberantasan vektor
yang intensif, terdiri dari rangkaian kegiatan sebagai berikut :
Fogging masal dua siklus sebelum musim penularan di daerah endemis DBD, yang
diikuti dengan
Abatisasi selektif di rumah-rumah penduduk yang ada jentiknya, yang
dilakukan setiap 3 bulan.
Pemeriksaan jentik berkala dan Penyuluhan masyarakat dapat menyadari
pentingnya masalah penyakit DBD ini dan dapat tergugah untuk ikut
berpartisipasi dalam pencegahan.
KEPUSTAKAAN
Noer, Sjaifoellah.1996. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1 Edisi ke 3. Jakarta:
FKUI.
Nursing Diagnosis (NANDA)
Nursing Intervention Classification
Nursing Outcomes Classification
Penderita Demam Berdarah Tak Perlu Transfusi Darah. Jurnal Kesehatan.
22/08/2000
Suamangnisasi Bisa Cegah DBD, Aneka Medika.
Waspadji, Soeparman. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1 Edisi 3.
Jakarta: FKUI.
Wuryadi, Suharyono. 2004. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI Jakarta.
Barbara, C. Long. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Elizabeth, J. Corwin. 2001.Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Ganong, F. William. 1998. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Kozier, C. Barbara, dkk. 1995. Fundamental of Nurshing. California: Addition
Wesley Publishing Company Inc
10. Nuracmah Ellis, 1997. Kebutuhan Dasar manusia Dan Proses Keperawatan,
Akademi Keperawatan, Padang.
Smeltzer, Suzanne C and Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8.vol I. Alih Bahasa, Agung Waluyo.
Editor. Monica Ester. Jakarta: EGC
Sylvia, A. Price Lorraine, M. Wilson, 1995. Patofisiologi Edisi 4. Jakarta : EGC
Taylor, C., Lilis, J., dan Le Mone D. 1989. Fundamental of Nurshing.
Philadelphia :Lippincott Company
Potter, Griffin Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Volume II. Alih
Bahasa: Komalasari, dkk. Jakarta: EGC