SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  85
LAPORAN PRAKTIKUM
                    MITIGASI BENCANA


 IDENTIFIKASI ANCAMAN BAHAYA BENCANA DAN UPAYA
                    MITIGASI BENCANA
DESA BANTARUJEG, KECAMATAN BANTARUJEG, KABUPATEN
                       MAJALENGKA
     DAN LOKASI PEMBANGUNAN WADUK JATIGEDE


      Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
                       Mitigasi Bencana




                         Disusun Oleh:
       ADIYAT                FIKRIZAL        (1003242)
       PAMUNGKAS
       ADHI MUNAJAR                          (1000920)
       AJI MUHAMMAD S.                       (1000931)
       DINI NURAFTIANI                       (1001670)
       GANI INDRA SAMUDRA                    (1005788)
       IKBAL SAEFUL AZIS                     (1005616)
       M. FAJAR ISNIAWANSYAH                 (1001776)
       SUYANTO                               (1006644)
       YEGI PERULAMA D.                      (1001436)
       YOGA HEPTA GUMILAR                    (1002055)


            JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI
  FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
                             BANDUNG
                                 2012

                                BAB I

                          PENDAHULUAN




A. Latar Belakang
          Menurut UU No. 24 Tahun 2007 menyatakan bahwa bencaana
   adalah suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
   mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
   baik oleh faktor alam dan faktor non alam maupun faktor manusia
   sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
   lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
          Bencana bisa terjadi kapanpun dan dimanapaun bahkan tanpa
   prediksi sebelumnya, terjadinya suatu bencana dapat disebabkan oleh
   faktor alam maupun faktor non alam yang dapat mengakibatkan jatuhnya
   korban dan diiringi dengan adanya kerugian. Dampak dari terjadinya suatu
   bencana sangatlah merugikan bagi kelangsungan hidup masyarakat, oleh
   karena itu diperlukan suatu upaya untuk mengurangi atau meminimalisir
   kerugian yang ditimbulkan dari suatu bencana, yaitu dengan melakukan
   atau mempersiapkan suatu bentuk pencegahan atau mitigasi bencana.
   Mitigasi bencana itu sendiri adalah suatu upaya yang dilakukan untuk
   mengurangi dampak bencana, baik secara fisik struktural melalui
   pembuatan bangunan-bangunan fisik, maufun non fisik-struktural melalui
   perundang-undangan dan pelatihan. Mitigasi bencana pada prinsipnya
   harus dilakukan untuk segala jenis bencana, baik yang termasuk ke dalam
   bencana alam (natural disaster) maupun bencana sebagai akibat dari
   perbuatan manusia (man-made disaster).
          Seperti halnya dengan Desa Bantarujeg yang berada di Kecamatan
   Bantarujeg lebih tepatnya lagi di Kabupaten Majalengka, dimana di Desa
   Bantarujeg apabila dilihat dari keadaan tofografinya yang berupa dataran
rendah dan berbukit dengan sifat tanah yang mudah lepas, dimana daerah
  tersebut termasuk kepada daerah yang rawan bencana atau berpotensi
  untuk terjadinya suatu bencana, terutama bencana longsor dan banjir.
  Kondisi yang terjadi di Bantarujeg hampir sama dengan yang terjadi di
  daerah pembangunan Bendungan Jatigede di Kabupaten Sumedang,
  dimanadalam proses pembuatan bendungan Jatigede berlokasi pada aliran
  DAS Ci Manuk yang tergolong sangat kritis dan kondisi fisik terutama
  berlokasi batuan lempung serpih serta berdekatan dengan sesar sehingga
  bendungan Jatigede sangat berpotensi untuk terjadinya suatu bencana, bisa
  itu tanah longsor, gempa, bahkan banjir. Untuk mengurangi atau
  meminimalisir suatu dampak yang dapat ditimbulkan dari bencana yang
  kemungkinan bisa terjadi, maka diperlukan suatu bentuk penggulangan
  bencan seperti mitigasi bencana. Bentuk penganggulangan bencana dapat
  dilakukan terhadap sektor struktural maupun sektor non struktural agar
  dampak yang disebabkan oleh bencana tersebut tidak menimbulkan korban
  jiwa dan tidak menimbulkan kerugian dan kerusakan terhadap
  kelangsungan hidup masyarakat.
         Berdasarkan karakteristik wilayah pada kedua lokasi pengamatan
  yaitu di Desa Bantrujeg dan lokasi pembangunan waduk Jatigede yang
  berpotensi besar dalam ancaman bahaya bencana. Oleh karena itu, kami
  memilih kedua lokasi tersebut menjadi lokasi pengamatan dengan judul
  “Identifikasi Ancaman Bahaya Bencana dan Upaya Mitigasi Bencana di
  Desa Bantarujeg dan Lokasi Pembangunan Waduk Jatigede”.


B. Rumusan Masalah
         Adapun permasalahan yang ingin dipecahkan dalam kegiatan
  penelitian Mitigasi Bencana kali ini antara lain :
     1. Bagaimana kondisi fisik dan sosial yang ada di Desa Bantarujeg
         serta yang berada di wilayah bendungan Jatigede ?
     2. Bencana apa yang sangat berpotensi terjadi di Desa Bantarujeg
         serta di wilayah bendungan Jatigede ?
3. Upaya atau bentuk mitigasi apa yang sudah dan telah dipersiapkan
          oleh warga dan pemerintah dalam menaggulangi bencana ?


C. Tujuan Penelitian
          Meninjau dari permasalahan yang telah dipaparkan diatas maka
   tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
      1. Untuk mengetahui seperti apa kondisi fisik dan sosial diwilayah
          tersebut
      2. Untuk mengetahui jenis bencana apa yang sangat berpotensi terjadi
          di wilayah tersebut
      3. Untuk mengetahui upaya mitigasi apa yang sudah dipersiapkan
          dalam menanggualngi suatu bencana


D. Manfaat Penelitian
          Dengan diadakannya penelitian lapangan ini diharapkan dapat
   memberikan manfaat bagi penulis khususnya serta bagi pembaca pada
   umumnya, manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini antara lain:
   1. Memberikan informasi tentang keadaan fisik maupun sosial di Desa
      Bantarujeg serta di kawasan bendungan Jadigede
   2. Memberikan informasi mengenai bencana yang sangat berpotensi
      terjadi di Desa Bantarujeg serta di kawasan bendungan Jatigede
   3. Memberikan       informasi   mengenai     upaya     MITIGASI     dalam
      menanggulangi suatu bencana
BAB II

                      TINJAUAN PUSTAKA




A. Bencana
  1. Pengertian Bencana

         Secara umum pengertian bencana adalah suatu kejadian tiba-tiba
      atau musibah yang besar yang mengganggu susunan dasar dan fungsi
      normal dari suatu masyarakat atau komunitas Menurut UU No. 24
      Tahun 2007 menyatakan bahwa bencna adalah suatu peristiwa atau
      rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
      dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam
      dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
      mengakibatkan    timbulnya    korban   jiwa    manusia,    kerusakan
      lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

         Menurut   Coburn,   A.    W.   dkk. 1994.    Di dalam      UNDP
      mengemukakan bahwa : Bencana adalah Satu kejadian atau
      serangkaian kejadian yang memberi meningkatkan jumlah korban dan
      atau kerusakan, kerugian harta benda, infrastruktur, pelayanan-
pelayanan penting atau sarana kehidupan pada satu skala yang berada
   di luar kapasitas norma.

      Pada dasarnya bencana terbagi menajdi tiga jenis yaitu bencana
   yang disebabkan oleh alam seperti gunung meletus, banjir dan gempa
   bumi. Adapun bencana yang timbul akibat ulah manusia seperti gagal
   teknologi, kecelakaan lalulintas, maupun wabah penyakit.

      Menurut Heru Sri Haryanto (2001:35) Berpendapat bahwa
   karakteristik bencana mempunyai pengertian sebagai berikut :

      1. Gangguan        terhadap   kehidupan   normal,   yang     biasanya
          merupakan gangguan cukup besar, mendadak dan terkirakan
          terjadinya, serta meliputi daerah dengan jangkauan luas.

      2. Bersifat merugikan manusia, seperti kehilangan jiwa, luka di
          badan, kesengsaraan, gangguan kesehatan, serta kehilangan
          harta benda.

      3. Mempengaruhi struktur sosial masyarakat, seperti kerusakan
          sistem   pemerintahan,      gedung    atau   bangunan,     sarana
          komunikasi, dan pekayanan masyarakat.

      Dari beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa
   bencana adalah Peristiwa atau rangkaian peristiwa secara tiba-tiba
   yang disebabkan oleh alam, manusia, dan atau keduanya yang
   mengaibatkan korban, kerusakan fasilitas akan merusak kehidupan
   normal masyarakat dalam skala wilayah tertentu.

2. Bencana Alam
      Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
  serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa
  gempa bumi, tsunami, gunug meletus, banjir, kekeringan, dan tanah
  longsor. Sebenarnya gejala alam merupakan gejala yang sangat
  alamiah dan biasa terjadi pada bumi. Namun, hanya ketika gejala alam
  tersebut melanda manusia (nyawa) dan segala produk budidayanya
(kepemilikan, harta dan benda), kita baru dapat menyebutnya sebagai
bencana. Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk
mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka.
   Bencana alam dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis berdasarkan
penyebabnya bencana, yaitu :
   1. Bencana alam geologis
          Bencana alam ini disebabkan oleh gaya-gaya yang berasal
       dari dalam bumi (gaya endogen). Yang termasuk dalam
       bencana alam geologis adalah gempa bumi, letusan gunung
       berapi, dan tsunami.


   2. Bencana alam klimatologi
          Bencana alam klimatologis merupakan bencana alam yang
       disebabkan oleh faktor angin dan hujan. Contoh bencana alam
       klimatologis adalah banjir, badai, banjir bandang, angin puting
       beliung, kekeringan, dan kebakaran alami hutan (bukan oleh
       manusia). Gerakan tanah (longsor) termasuk juga bencana
       alam, walaupun pemicu utamanya adalah faktor klimatologis
       (hujan), tetapi gejala awalnya dimulai dari kondisi geologis
       (jenis dan karakteristik tanah serta batuan dan sebagainya)




   3. Bencana alam ekstra-terestrial
          Bencana alam Ekstra-Terestrial adalah bencana alam yang
       terjadi di luar angkasa, contoh : hantaman/impact meteor. Bila
       hantaman benda-benda langit mengenai permukaan bumi maka
       akan menimbulkan bencana alam yang dahsyat bagi penduduk
       bumi.



          Proses-proses geologi endogen maupun eksogen dapat
   menimbulkan bahaya bagi aktivitas kehidupan manusia. Bencana
yang ditimbulkan akibat proses-proses gelologi tersebut disebut
dengan bencana geologi.


    i. Gempa Bumi
        Gempa bumi adalah bencana alam yang berupa suatu
getaran yang diakibatkan oleh pergerakan atau tumbukan lempeng
tektonik, patahan aktif, aktivitas gunung api, dan runtuhan batuan.
Teori yang diterima yang menjelaskan tentang mekanisme
terjadinya gempa bumi adalah pergeseran sesar dan teori
kekenyalan elastis (elastic rebound theory) dari H.F Rheid tahun
1906. Teori ini menyatakan jika permukaan bidang sesar saling
bergesekan, batuan akan mengalami perubahan wujud jika
perubahan tersebut melampaui batas elastisitas, maka batuan akan
patah dan akan kembali ke bentuk asalnya. Gempa bumi dapat
terjadi dimana saja, namun 80 % bumi yang sering terkena gempa
bumi adalah daerah sirkum pasifik yang meliputi Chile, Alaska,
Jepang, Filipina, Selandia Baru, Indonesia, dan beberapa pulau
tertentu di Kepualuan Pasifik. Sirkum pasifik sering disebut Ring of
Fire yaitu zona sebaran gunung api dan gempa bumi yang
mengelilingi samudera Pasifik dan membentuk seperti tapal kuda
sepanjang 40.000 km. Selain itu, daerah lain yang sering terkena
gempa bumi adalah daerah mediteranian dan transasiatik yang
meliputi Daerah Karibia, Himalaya, Alpen, Spanyol, Italia, Yunani,
dan India Utara. Berdasarkan pada penyebabnya, gempa bumi
dibagi menjadi tiga kalsifikasi, yaitu :
Gempa bumi vulkanik, yaitu gempa bumi yang diakibatkan oleh
aktivitas gunung berapi, pada umumnya gempa ini berkekuatan
kecil yaitu sekitar dibawah 2 skala ritcher ;
Gempa bumi runtuhan, yaitu gempa bumi yang diakibatkan oleh
runtuhnya batuan terutama terjadi pada daerah karst karena adanya
stalagtit yang jatuh dalam gua. Kekuatan gempa ini berkisar antara
2 – 3 skala ritcher ;
Gempa bumi tektonik, yaitu gempa bumi yang diakibatkan oleh
          aktivitas tektonik terutama pada zona-zona subduksi dan patahan
          yang menyebarkan getaran ke segala arah. Kekuatan gempa
          tersebut dapat mencapai angka 9 skala ritcher.
                 Tingkat kerusakan yang terasa pada lokasi terjadinya gempa
          bumi disebut intensitas gempa bumi. Tingkat kerusakan tersebut
          ditentukan dengan menilai kerusakan yang dihasilkan dan
          pengaruhnya terhadap benda, bangunan, tanah, dan pada aktivitas
          manusia. Parameter yang digunakan untuk mengetahui tingkat
          kerusakan tersebut adalah MMI (Modified Mercalli Intensity)
          dengan kisaran angka mulai dari I – XII. Sedangkan parameter
          gempa yang diukur berdasarkan yang terjadi di daerah tertentu
          akibat goncangan pada sumbernya disebut magnituda. Satuan yang
          digunakan adalah skala ritcher.




                        Gambar 2.1Ring of Fire


Tabel 2.1Hubungan Kekuatan Gempa Bumi dan Frekuensi Terjadinya
ii. Letusan Gunung Api
        Gunung berapi terbentuk karena adanya gerakan magma
sebagai arus konveksi yang menyebabkan bergeraknya kerak bumi.
Dalam teori tektonik lempeng, gerakan kerak bumi tersebut dibagi
menjadi tiga, yaitu :
Gerakan saling menjauh (divergent) yang menyebabkan terjadinya
pemekaran kerak, magam keluar melalui rekahan tersebut dan
membentuk gunung berapi ditengah samudera yang disebut mid-
ocean ridge ;
Gerakan saling bertumbukan (convergent), yaitu pergerakan kerak
bumi yang saling menumbuk, kerak samudera menumbuk dan
kerak samudera menujam ke bawah, dan membentuk zona
subduksi dimana terjadi peleburan batuan. Magma bergerak dan
menerobos sehingga membentuk busur gunung berapi tepi benua
(volcanic arc) ;
Gerakan saling bergeser sejajar berlawanan arah (transform) antar
kerak yang menyebabkan timbulnya rekahan dan sesar mendatar.
Gambar 2.2 Pergerakan Kerak Bumi




   Gambar 2.3 Sebaran Gunung Api Di Indonesia


       Letusan gunung berapi yang material gunung api yang
berupa gas, debu, aliran lava, fragmen batuan disebut erupsi. Erupsi
dapat diklasifikasikan berdasarkan asal tempat keluarnya:
Erupsi pusat, erupsi keluar melalui kawah utama ;
Erupsi samping, erupsi keluar dari lereng tubuh gunung api ;
   Erupsi celah, erupsi yang keluar dari retakan yang panjang dapat
   mencapai hingga beberapa kilometer ;
   Erupsi eksentrik, erupsi yang keluar dari samping dapur magma
   melalui kepundan tersendiri.
Material letusan gunung api terdiri dari :
   Aliran lava, yaitu magma yang keluar dan mengalir ke permukaan ;
   Aliran piroklastik, yaitu berupa gas panas yang dapat mencapai
   suhu diatas 1000°C, abu vulkanik,dan batuan yang bergerak
   dengan cepat dengan kecepatan hingga 700 km/jam ;
   Lahar, yaitu berupa batuan, pasir, kerikil yang tercampur air ;
   Debris avalanches (volcanic landslide), longsoran dan runtuhan
   fragmen batuan dari kawah berukuran kecil hingga besar yang
   jatuh melalui lereng gunung api ;
   Tefra (tephra), yaitu fragmen batuan yang dilemparkan ke udara
   saat terjadi letusan ;
   Gas vulkanik, berupa gas yang dilepaskan saat gunung meletus
   (uap air, CO2, SO2, HCL, H2S, HF, CO, H2, NH3, CH4, dan SiF4) ;
   Abu gunung api
Aktivitas gunung berapi dibagi dapat tiga kelompok, yaitu :
   Aktif, gunung api yang mempunyai aktivitas letusan menerus dan
   berkala ;
   Diam/istirahat/tidur (dormant), gunung api yang saat ini tidak aktif
   namun tercatat bahwa gunung api tersebut pernah mengalami
   erupsi ;
   Tidak aktif, gunung api yang tidak tercatat pernah erupsi atau
   tidaknya.
Gambar 2.4 Awan Panas




          Gambar 2.5 Aliran Lava




               Gambar 2.6 Lahar
iii. Tsunami
Tsunami adalah rangakian gelombang laut yang
menjalar dengan kecepatan hingga lebih dari 800 km/jam
dengan     tinggi   gelombangdapat    mencapai      70     meter.
Kecepatan     gelombang     tsunami    tergantung        daripada
kedalaman laut. Terjadinya tsunami diakibatkan oleh letusan
gunung api di dasar laut, longsor di dasar laut, jatuhnya
meteorit di laut. Pada awal terjadi tsunami, gempa atau
runtuhan menyebabkan bergeraknya dasar samudera (tsunami
akibat meteorit sangat jarang terjadi), kemudian terjadi
pemusatan arus pada blok yang jatuh sehingga terjadi arus
balik menuju pantai dengan kekuatan arus yang lebih besar
dari sebelumnya.




           Gambar 2.7 Tsunami
Gambar 2.8 Proses Terjadinya Tsunami




   iv. Gerakan Massa Tanah atau Batuan
       Mass movement atau mass wasting adalah gerakan masa
batuan atau tanah yang ada di lereng karena pengaruh gaya
gravitasi. Gerakan masa batuan bisa terjadi jika shear stress atau
gaya menarik massa lebih besar dari shear strength atau gaya
menahan tarikan tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan massa batuan yaitu :
   Curah hujan
   Kandungan air dalam batuan
   Vegetasi
   Kemiringan lereng
   Relief
   Ketebalan hancuran batuan/debris di atas batuan dasar
   Orientasi bidang lemah dalam batuan
   Gempa bumi
   Tambahan material di bagian atas lereng
a. Gerakan Massa Batuan Berdasarkan Cara bergeraknya
        1) Mengalir (flow)
                     Bentuk mengalir akan terjadi apabila materi batuan
           mengalir menuruni lereng sebagai materi yang agak cair.
        2) Meluncur (slip)
                     Bentuk meluncur akan terjasi apabila massa batuan yang
           menuruni lereng rlatif koheren. Ada dua macam slip yaitu slide dan
           slump. Disebut slide apabila meluncur pada bidang yang kurang
           lebih sejajar dengan permukaan, dan disebut slump bila meluncur
           pada bidang yang melengkung.
        3) Jatuh bebas (fall)
                     Terjadi bila massa batuan jatuh bebas dari suatu tebing
           terjal.




       Gambar 2.9Flow                               Gambar 2.10Slide




Gambar 2.11Slump                               Gambar 2.12Fall


     b. Gerakan Massa Batuan Berdasarkan Kecepatannya
        1) Soil creep (rayapan tanah)
                     Adalah gerakan tanah secara perlahan-lahan menuruni
           lereng karena gaya tarik bumi. Gerakannya sangat pelan sehingga
sulit untuk diamati, tetapi butuh pengamatan khusus yaitu dari
   gejala-gejala yang ditimbulkan seperti pohon-pohon dan
   tiang-tiang yang condong sesuai arah gerakan tanah.
2) Talus Creep (rayapan puing-puing)
            Adalah   gerakan     puing-puing   hasil   pelapukan   yang
   tertimbun di suatu lereng yang disebabkan gravitasi bumi.
3) Earth Flow
            Adalah aliran massa batuan yang jenuh air menuruni lereng.
   Memiliki kecepatan yang bervariasi, ada yang cepat dan ada yang
   lambat
4) Solifluction dan Permafrost
            Solifluction adalah hancuran batuan yang mengalir karena
   jenuh air yang berada di atas batuan kedap air. Sedangkan batuan
   kedap air yang ada di bawah hansuran batuan yang jenuh air dapat
   berupa permafrost.
5) Mud Flow
            Adalah aliran hancuran batuan halus yang bercampur
   dengan air melalui lembah-lembah. Biasanya kandungan air
   banyak sehingga gerakan massa sangat cepat.


6) Rock Slide
            Adalah gerakan batuan yang meluncur diatas suatu bidang
   lapisan atau bidang retakan yang miring.


7) Rock Fall
            Adalah gerak bebas jatuhan bongkahan batuan pada tebing
   yang terjal. Biasanya terjadi pada daerah dimana bagian bawah
   tebing telah tergali, baik oleh abrasi maupun oleh kegiatan
   manusia.
Gambar 2.13 Rayapan Tanah                        Gambar 2.14 Mud Flow




      3. Bencana Non Alam
            Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
         atau serangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal
         teknologi, kecelakaan lalulintas, maupun wabah penyakit. Bencana
         non alam termasuk bencana yang harus diperhitungkan, karena
         bencana non alam jugadapat menyebabkan kerugian bahkan dapat
         menimbulkan korban jiwa. Mitigasi sangat diperlukan juga dalam
         menanggulangi bencana non alam, agar dampak dari bencana tersebut
         dapat terminimalisir.

   B. Mitigasi Bencana
      1. Pengertian Mitigasi Bencana
            Mitigasi atau mitigation merupakan suatu upaya yang dilakukan
         untuk mengurangi dampak bencana, baik secara fisik-struktural
         melalui pembuatan bangunan-bangunan fisik, maupun non fisik-
         struktural melalui perundang-undangan dan penelitian. Mitigasi pada
         prinsipnya harus dilakukan untuk segala jenis bencana, baik yang
         termasuk ke dalam bencana alam maupun bencana non alam yang
         lebih tepatnya yaitu bencana yang diakibatkan oleh perbuatan manusia.
            Mitigasi pada umumnya dilakukan dalam rangka mengurangi
         kerugian akibat kemungkinan terjadinya bencana, baik itu korban jiwa
         dan/atau kerugian harta benda yang akan berpengaruh pada kehidupan
         dan kegiatan manusia. Untuk mendefenisikan rencana atau srategi
         mitigasi yang tepat dan akurat, perlu dilakukan kajian resiko (risk
         assessmemnt). Kegiatan mitigasi bencana hendaknya merupakan
kegiatan yang rutin dan berkelanjutan (sustainable). Hal ini berarti
   bahwa kegiatan mitigasi seharusnya sudah dilakukan dalam periode
   jauh-jauh hari sebelum kegiatan bencana, yang seringkali datang lebih
   cepat dari waktu-waktu yang diperkirakan, dan bahkan memiliki
   intensitas yang lebih besar dari yang diperkirakan semula.


2. Jenis Mitigasi
       Secara umum mitigasi dapat dikelompokkan ke dalam mitigasi
   struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural berhubungan
   dengan usaha-usaha pembangunan konstruksi fisik, sementara mitigasi
   non struktural antara lain meliputi perencanaan tata guna lahan
   disesuaikan dengan kerentanan wilayahnya dan memberlakukan
   peraturan (law enforcement) pembangunan. Dalam kaitan itu pula,
   kebijakan nasional harus lebih memberikan keleluasan secara
   substansial kepada daerah-daerah untuk mengembangkan sistem
   mitigasi bencana yang dianggap paling tepat dan paling efektif-efisien
   untuk daerahnya.

      Mitigasi Struktural
       Mitigsasi struktural merupakan suatu upaya untuk meminimalisir
   dampak dari suatu bencana, dengan cara melakukan pembangunan
   berbagai aspek saran-prasarana fisik dengan menggunakan pendekatan
   teknologi, seperti pembuatan kanal khusus untuk pencegahan banjir,
   membuat alat pendeteksi aktivitas gunung berapi, bangunan yang
   bersifat tahan gempa, ataupun membuat Early Warning System yang
   digunakan untuk memprediksi terjadinya gelombang tsunami.
       Mitigasi struktural bisa disebut juga sebagai suatu rekayasa teknis
   bangunan yang tahan terhadap bencana. Bangunan tahan bencana
   adalah bangunan dengan struktur yang direncanakan sedemikian rupa
   sehingga bangunan tersebut mampu bertahan atau mengalami
   kerusakan    yang tidak     membahayakan apabila bencana          yang
   bersangkutan terjadi. Rekayasa teknis adalah prosedur perancangan
struktur bangunan yang telah memperhitungkan karakteristik aksi dari
bencana.
Rangkaian dari mitigasi struktural :
    a. Pemilihan lokasi yang tepat untuk dijadikan bangunan
    b. Penilaian gaya yang diakibatkan fenomena alam seperti gempa
        bumi, badai dan banjir
    c. Perencanaan dan analisis bangunan yang disesuaikan dengan
        gaya fenomena alam
    d. Perencanaan bangunan yang sesuai kondisi lokal
    e. Material bahan bangunan yang sesuai dengan kontruksi
        bangunan
    f. Tidak membangun pada daerah yang rawan bencana seperti
        longsor, banjir, gempa bumi tsunami dan rawan terhadap
        letusan gunungapi.




      Mitigasi Non-Struktural
       Mitigasi non-struktural adalah upaya mengurangi dampak
    bencana yang lebih menekankan kepada pembuatan kebijakan
    seperti pembuatan suatu peraturan dalam menanggulangi suatu
    bencana. Undang-Undang Penanggulangan Bencana (UU PB)
    adalah upaya non-struktural di bidang kebijakan dari mitigasi ini.
    Contoh lainnya adalah pembuatan tata ruang kota, capacity
    building masyarakat, bahkan sampai menghidupkan berbagaia
    aktivitas lain yang berguna bagi penguatan kapasitas masyarakat,
    juga bagian ari mitigasi ini.
       Kebijakan non struktural meliputi legislasi, perencanaan
    wilayah, dan asuransi. Kebijakan non struktural lebih berkaitan
    dengan kebijakan yang bertujuan untuk menghindari risiko yang
    tidak perlu dan merusak. Tentu, sebelum perlu dilakukan
    identifikasi risiko terlebih dahulu. Penilaian risiko fisik meliputi
proses identifikasi dan evaluasi tentang kemungkinan terjadinya
        bencana dan dampak yang mungkin ditimbulkannya.
        Kebijakan mitigasi baik yang bersifat struktural maupun yang
        bersifat non struktural harus saling mendukung antara satu dengan
        yang    lainnya.   Pemanfaatan     teknologi   untuk   memprediksi,
        mengantisipasi dan mengurangi risiko terjadinya suatu bencana
        harus diimbangi dengan penciptaan dan penegakan perangkat
        peraturan yang memadai yang didukung oleh rencana tata ruang
        yang sesuai. Sering terjadinya peristiwa banjir dan tanah longsor
        pada musim hujan dan kekeringan di beberapa tempat di Indonesia
        pada musim kemarau sebagian besar diakibatkan oleh lemahnya
        penegakan hukum dan pemanfaatan tata ruang wilayah yang tidak
        sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar. Teknologi yang
        digunakan untuk memprediksi, mengantisipasi dan mengurangi
        risiko terjadinya suatu bencana pun harus diusahakan agar tidak
        mengganggu keseimbangan lingkungan di masa depan. Rangkaian
        dari mitigasi non struktural:
        a.   Membuat peraturan pemerintah tentang tataguna lahan dan
             tataguna bangunan
        b.   Dengan intensif memberikan dorongan untuk melakukan
             mitigasi
        c.   Memberika pelatihan dan pendidikan penanggulangan bencana
        d.   Melakukan     sosialisasi   untuk   menumbuhkan      kesadaran
             masyarakat tentang pengetahuan dan pemahaman bahaya dan
             kerawanan, partisipasi masyarakat
        e.   Pemberdayaan institusi
        f.   Menyeting sistem peringatan


C. Upaya Penanggulangan Bencana
         Upaya penanggulangan dampak bencana dilakukan melalui
  pelaksanaan tanggap darurat dan pemulihan kondisi masyarakat di wilayah
  terjadinya bencana . Upaya penanggulangan dampak bencana tersebut
dilakukan secara sistematis, menyeluruh, efisien dalam penggunaan
sumberdaya dan efektif dalam memberikan bantuan kepada kelompok
korban.
          Secara garis besar, upaya penanggulangan bencana meliputi :
a.   Kesiapsiagaan
          Kesiapsiagaan yaitu suatu sikap siap bagi setiap orang, petugas
serta institusi pelayanan untuk melakukan tindakan dan cara-cara
menghadapi bencana baik sebelum, sedang, maupun sesudah bencana.
Setiap orang maupun institusi harus siap siaga dalam menghadapi suatu
dampak dari bencana, dengan mempersiapkan segala upaya penanganan
dan meminimalisir dampak yang akan ditimbulkan.


b.   Rehabilitasi
          Tahap ini bertujuan mengembalikan dan memulihkan fungsi
bangunan       dan   infrastruktur   yang     mendesak    dilakukan     untuk
menindaklanjuti tahap tanggap darurat, seperti rehabilitasi bangunan
ibadah, bangunan sekolah, infrastruktur sosial dasar, serta prasarana dan
sarana perekonomian yang sangat diperlukan. Sasaran utama dari tahap
rehabilitasi ini adalah untuk memperbaiki pelayanan publik hingga pada
tingkat yang memadai. Dalam tahap rehabilitasi ini, juga diupayakan
penyelesaian berbagai permasalahan yang terkait dengan aspek psikologis
melalui penanganan trauma korban bencana.


c.   Rekonstruksi
          Tahap ini bertujuan membangun kembali kawasan yang sudah
terkena     dampak    bencana   dengan      melibatkan   semua   masyarakat,
perwakilan lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha. Pembangunan
prasarana dan sarana haruslah dimulai dari sejak selesainya penyesuaian
tata ruang (apabila diperlukan) di tingkat kabupaten terutama di wilayah
rawan bencana. Sasaran utama dari tahap ini adalah terbangunnya kembali
daerah yang sudah terkena dampak bencana.
D. Perencanaan Tata Guna Lahan Daerah Rawan Bencana Geologi
          Untuk hidup secara aman dan nyaman selaras dengan perubahan
   bumi, maka kita harus dapat memahami lingkungan alam dan kecepatan
   perubahan yang terjadi di bumi serta mampu menyesuaikan diri dari
   karakteristik perubahan alam tersebut. Berkaitan dengan reaksi manusia
   terhadap bencana alam yang mungkin terjadi di lingkungan dimana
   manusia itu tinggal adalah sebabai berikut:
   1. Menghindar (Avoidance)
          Reaksi manusia terhadap potensi bencana alam yang paling banyak
   adalah dengan cara menghindar, yaitu dengan cara tidak membangun dan
   menempatkan bangunan ditempat-tempat yang berpotensi terkena bencana
   alam seperti: banjir, daerah rawan longsor atau daerah rawan gempa.
   2. Stabilisasi (Stabilization)
          Beberapa bencana alam dapat distabilkan dengan cara menerapkan
   rekayasa keteknikan, seperti misalnya di daerah-daerah yang berlereng dan
   berpotensi longsor, yaitu dengan cara membuat kemiringan lereng menjadi
   landai dan stabil serta membuat fondasi bangunan dengan tiang pancang
   hingga pada lapisan tanah yang stabil.
   3. Penetapan Persyaratan Keselamatan Bangunan (provision for safety in
      structures)
          Dalam banyak kasus bangunan yang akan didirikan di tempat-
   tempat yang berpotensi terjadi bencana alam seperti gempa bumi, maka
   struktur bangunan harus dirancang dengan memperhitungkan keselamatan
   jiwa manusia, yaitu dengan bangunan yang tahan gempa. Untuk daerah-
   daerah yang berpotensi terkena banjir, maka bangunan harus dibuat
   dengan struktur panggung untuk menghindarkan terkena banjir.
   4. Pembatasan penggunaan lahan dan jumlah jiwa (Limitation of land-
      use and occupancy)
          Jenis peruntukan lahan, seperyi lahan pertanian atau lahan
   pemukiman dapat dilakukan dengan cara membuat peraturan-peraturan
   yang berkaitan dengan potensi bencana yang mungkin timbul. Penempatan
jumlah jiwa per hektar dapat disesuaikan untuk mengurangi tingkat
   bencana.
   5. Membanguan Sistem Peringatan Dini (Establishment of early warning
      system)
          Beberapa bencana alam dapat diprediksi, sehingga memungkinkan
   tindakan darurat. Banjir, angin puyuh, gelombang laut, serta erupsi gunung
   api adalah jenis-jenis bencana alam yang dapat diprediksikan. System
   peringatan dini telah terbukti secara efektif dapat mencegah dan
   meminimalkan bencana yang akan terjadi disuatu daerah, seperti
   gelombang laut di daerah-daerah pantai.


2. Perencanaan Tata Guna Daerah Banjir
          Bencana banjir merupakan bencana yang sering melanda
   pemukiman penduduk di berbagai wilayah dan kota di dunia. Hal yang
   sangat menarik dari peristiwa bencana banjir adalah mengapa kebanyakan
   dari manusia bermukim di wilayah-wilayah yang berpotensi terkena
   bencana banjir. Berdasarkan sejarah kehidupan manusia di muka bumi,
   umumnya pemukiman dan perkotaan dibangun di tepi-tepi pantai dan
   sungai. Hal ini dapat dimengerti karena manusia membutuhkan air untuk
   memenuhi kebutuhan hidupnya. Permasalahnnya adalah bagaimana cara
   untuk meminimalkan resiko dan menghindar dari bencana banjir yang
   sudah terlanjur ada ditempat dimana manusia tinggal.
          Umumnya, pencegahan fisik untuk semua jenis bencana banjir
   dilakukan untuk siklus banjir yang terjadi hingga 100 tahunan. Pemilihan
   mengapa yang diambil adalah untuk siklus banjir 100 tahunan
   berimplikasi pada tingkat resiko tertentu yang dapat diterima. Terdapat 4
   (empat) metoda untuk mengurangi potensi dan dampak fisik dan biaya
   pada bencana banjir, yaitu: (1) rekayasa keteknikan (2) kebijakan tataguna
   lahan dan regulasi (3) system peringatan dini (4) asuransi. Dalam
   perencanaan ttaguna lahan, metoda yang pertama dan kedua merupakan
   metoda yang menjadi perhatian utama. Metoda pendekatan rekasa
   keteknikan telah diuraikan pada bab 3 sedangkan pendekatan aturan dan
kebijakan dapat dijelaskan sebagai berikut. Dalam kebijakan tataguna
lahan dan regulasi maka hal yang terpenting adalah suatu peraturan yang
memastikan bahwa masyarakat yang bermukim di wilayah-wilayah rawan
bencana banjir tidak menjadi subyek dari bencana yang akan menimpa dan
aktivitas masyarakat disetiap tempat tidak tertanggu apabila terjadi banjir.
         Salah satu pendekatan di dalam pengendalian banjir adalah dengan
cara melakukan perencanaan penanggulangan bencana banjir secara
komperehensif, seperti misalnya perencanaan yang disesuaikan dengan
zona-zona genangan air, dan diikuti dengan pembuatan aturan-aturan yang
berhubungan dengan persyaratan kontruksi bangunan yang diijinkan pada
setiap zona. Agar dapat efektif maka dalam perencanaan umum harus ada
peta dokumen tentang zona-zona genangan air serta frekuensi kejadian
banjir,. Informasi semacam ini sangat penting dan diperlukan dalam proses
perencanaan tataguna lahan, terutama dalam penetapan peruntukan lahan.
         Dalam pemanfaatan lahan dapat juga terjadi dan dimungkinkan
membangun bangunan didaerah dataran banjir (floodplain area) akan
tetapi   harus memenuhi      persyaratan-persyaratan tertentu, misalnya
kontruksi bangunannya harus berada diatas genangan air atau kontruksi
jembatan yang melintasi sungai harus ditingkatkan guna menghindari
terpaan arus air ketika terjadi banjir, dan dapat juga bagian dari areal
dataran banjir dibiarkan sebagai ruang terbuka atau digunakan sebagai
taman atau lapangan olah raga.            Dalam persiapan perencanaan,
pertimbangan harus diberikan untuk pemanfaatan lahan yang berada
bagian hulu yang akan membantu meminimalkan frekuensi terjadinya
banjir. Pemanfaatan lahan dan pengguanan aspal dan beton pada lahan
harus diminimalkan untuk membantu penyerapan air dan mengurangi run
off. Aturan yang berkaita dengan penggunaan lahan dan persyaratan
konstruksi di daerah rawan bencana banjir merupakan hal yang umum
diterapkan dan merupakan suatu kebijakan pemerintah dalam rangka
melindungi masyarakatnya terhadap bahaya bencana banjir.
Peraturan yang berkaitan dengan zonasi genangan air untuk larangan
membanguan di areal-areal yang tergenang air, aturan tentang jenis-jenis
penggunaan lahan yang diperbolehkan merupakan aturan-aturan yang
   wajib dilaksanakan oleh pemerintah (pemberian IMB), swasta, maupun
   masyarakat secara konsisten.
          Peta zona genangan air sangat berguna baik bagi pemerintah
   daerah dan kontraktor karena peta ini merupakan rujukan dasar didalam
   pembuatan     aturan-aturan    yang   berkaitan   dengan     pembangunan
   infrastruktur serta struktur bangunan yang harus dipenuhi. Perusahaan
   asuransi dapat memanfaatkan peta zona genangan air sebagai dasar dalam
   penilaian bangunan yang akan diasuransikan, khususnya untuk asuransi
   bencana banjir.
          Pemerintah bertanggungjawab atas pembuatan aturan-aturan yang
   berkaitan dengan persyaratan bangunan, seperti konstruksi dan tipe
   bangunan yang akan dibangun di wilayah banjir, baik untuk banjir yang
   sifatnya tahunan, 5 tahunan, 10 tahunan, dan seterusnya serta aturan-aturan
   yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan. Para kontraktor wajib
   memenuhi aturan-aturan yang telah dibuat dan ditetapkan terhadap
   persyaratan konstuksi bangunan. Sedangkan bagi perusahaan asuransi peta
   zona genangan banjir diperlukan guna kepentingan dalam penilaian dan
   besarnya tanggungan suatu bangunan yang akan diasuransikan, khususnya
   asuransi kerugian bencana alam (banjir).
3. Perencanaan Tata Guna Daerah Gempa
          Pada kenyataanya lokasi pemukiman di dunia kebanyakan berada
   di tempat yang rawan t         erhadap bencana gempa bumi. Beberapa
   contoh dapat kita lihat antara lain adalah Negara jepang yang berada di
   zona subduksi antara lempeng pasifik dengan asia timur, Indonesia berada
   pada zona subduksi antara lempeng asia tenggara dengan samudra hindia,
   dan kota-kota seperti San Fransisco (USA), jayapura (papua) dan liwa
   (lampung barat, Sumatra) terletak pada zona sesar atau patahan aktif.
           Pemukiman dan kota-kota yang sudah terlanjur ada di lingkungan
   yang rawan bencana gempabumi wajib melakukan penataan ulang dalam
   penggunaan dan perencanaan lahan agar supaya apabila terjadi bencana
   dapat dihindari dan diminimalkan dampak yang mungkin terjadi.
Untuk areal pemukiman yang berada di wilayah rawan gempa, maka
respon terhadap perencanaan lahannya juga berbeda. Barangkali bencana yang
paling mudah diatasi adalah dampak gempa bumi yang berupa rekahan tanah.
Walaupun dalam hal ini terdapat kesulitan karena adanya berbagai factor yang
sangat komplek seperti:




       1. Interval kejadian yang tidak pasti
                Karena adanya interval diantara gempa utama disepanjang suatu
          patahan sehingga tidak berguna untuk data perencanaan. Tidak adanya
          data membuat hal ini sulit untuk melakukan penyesuaian perencanaan
          yang spesifik dan pembuatan peraturan yang berkaitan dengan
          pemanfaatan lahan di sekitar dan di sepanjang suatu patahan serta
          mendapat dukungan politik untuk mendukung aturan tersebut.
       2. Penetapan lebar zona patahan
                Di berbagai instansi, data tentang lebar suatu zona patahan dapat
          berbeda-beda. Tanpa suatu dasar yang pasti maka untuk memprediksi
          patahan mana yang berikutnya yang akan bergerak/ patah sangat sulit
          dilakukan, sehingga untuk membuat suatu penyesuaian rencana serta
          peraturan-peraturan yang berkaitan dengan lahan yang berkaitan
          dengan lahan yang harus diproteksi sangat sulit.
       3. Bangunan yang sudah terlanjur ada
                Pembangunan yang dilaksanakan ditempat-tempat yang berdekatan
          dengan zona patahan dan disepanjang jalur patahan akan sulit dilarang
          dan     untuk   menyadarkan     masyarakat    agar   tidak   melakukan
          pembanguanan di tempat-tempat tersebut akan menjadi sia-sia, hal ini
          disebabkan karena pemerintah/ lembaga yang berwenang tidak
          memiliki data yang memadai dan akurat terhadap kemungkinan
          bencana yang mungkin terjadi.
                Berkaitan dengan ketidakpastian dan waktu terjadinya gempa,
          maka bencana gempa harus diposisikan dalam perhitungan dan
          pengambilan keputusan yang tepat didasarkan atas data-data yang
tersedia.   Oleh   karena   itu   untuk   bangunan-bangunan,   seperti
      perumahan, rumah sakit, sekolahan dilarang dibangun di zona patahan.
      Untuk itu diperlukan suatu peraturan yang melarang warga masyarakat
      membangun bangunan di tempat-tempat yang berada di zona patahan
      aktif.




4. Perencanaan Tata Guna Daerah Gerakan Massa Tanah atau Batuan
          Perencanaan tata guna lahan di kawasan rawan gerakan tanah/
   longsor lebih sulit dibandingkan dengan perencanaan pada lahan yang
   rawan longsor disebabkan dua factor yaitu:
      a. Alongsoran seringkali terjadi dengan jenis yang sangat komplek
          sehingga memerlukan pemetaan yang lebih rinci guna menentukan
          batas-batas yang tegas yang akan dipakai dalam perencanaan dan
          pembuatan laporan.
      b. Longsoran seringkali memiliki tingkat potensi perpindahan maas
          tanah/ batuan yang berbeda-beda. Penelitian yang lebih rinci perlu
          dilakukan untuk mengklasifikasikan tipe-tipe longsoran serta
          memperkirakan kapan longsoran tersebut akan terjadi.
          Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut diatas maka
   diperlukan suatu peta yang disebut dengan peta “Kestabilan Wilayah”.
   Peta kestabilan wilayah telah dikembangkan untuk membantu paar
   perencana dalam mengenal lokasi lahan yang tidak stabil (rawan longsor)
   dan digunakan untuk pertimbangan awal dalam proses perencanaan.
   Dengan peta kestabilan wilayah, dimungkinkan untuk menyiapkan rencana
   umum dari pemanfaatan lahan yang sesuai, terutama untuk lahan-lahan
   yang tidak stabil harus mempertimbangkan resiko yang dapat diterima
   serta biaya yang harus dikeluarkan guna menstabilkan longsoran atau
   mencegah instalasi yang ada.
BAB III


                        PROSEDUR PENELITIAN




A. Metode Penelitian

          Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

   eksploratif, wawancara serta observasi. Menurut Suryabrata (1983), metode

   deskriptif eksploratif yaitu sebuah metode dengan tujuan untuk mendapatkan

   data dasar yang diperlukan sebagai pangkalan untuk penelitian lebih lanjut

   ataupun sebagai dasar untuk membuat keputusan. Metode wawancara yaitu

   metode yang dilakukan secara eksplisit untuk mengetahui informasi dari

   informan untuk mendapatkan data dalam bentuk data kualitatif.Metode

   wawancara dilakukan untuk lebih memperdalam mengenai informasi yang

   telah didapatkan melalui metode deskriptif eksploratif, sehingga dengan

   adanya metode wawancara dapat menambahkan informasi terhadap data yang

   didapat. Metode yang terakhir yang digunakan yaitu metode observasi dimana

   metode ini dilakukan untuk mendapatkan data primer dengan cara terjun

   langsung ke lapangan untuk melakukan penelitian.


          Melalui metode tersebut penulis akan menggali secara mendalam

   mengenai kebencanaan yang terjadi di Desa Bantarujeg Kabupaten

   Majalengka, fenomena longsor, kekeringan, banjir, gerakan tanah, gempa

   bumi, angin tornado (puyuh) serta fenomena fisik lainnya yang terjadi di

   lokasi kajian.
Selain daripada mengetahui terdapat berbagai macam fenomena fisik

      yang secara alami terjadi melalui alam tersebut, tidak luput penerapan

      teknik konservasi pada lahan yang diterapkan masyarakat dan menilai

      kesesuaian teknik konservasi tersebut dengan karakteristik lahan serta

      menghubungkan penerapan teknik konservasi tersebut dengan kondisi

      sosial ekonomi masyarakat.




B. Populasi dan Sampel

   1. Populasi

             Sumaatmadja (1988:112) mengatakan bahwa “Keseluruhan gejala,

      individu, kasus dan masalah yang diteliti, yang ada di daerah penelitian

      menjadi objek penelitian geografi. Semua kasus, individu dan gejala yang

      ada di daerah penelitian disebut populasi penelitian atau universe”.


           Menurut Ridwan (2003:8) “Populasi merupakan objek atau subjek

      yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu

      berkaitan dengan masalah penelitian”. Populasi penelitian terdiri dari

      populasi wilayah dan populasi responden. Populasi wilayah adalah seluruh

      lahan yang telah mengalami longsoran, gempa, banjir, pergerakan tanah,

      erosi, kekeringan di Desa Bantarujeg Kabupaten Majalengka yang

      merupakan lahan yang rentan terhadap terjadinya erosi yang tinggi dan

      populasi responden adalah petani yang mengolah lahan tersebut.


           Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lahan yang berada di

      Desa Bantarujeg Kabupaten Majalengka yaitu :
Tabel 3.1 Penggunaan Lahan Sawah di Desa Bantarujeg


No         Wilayah                   Penggunaan Lahan          Luas (ha)

1      Desa Bantarujeg         Sawah Irigasi Setengah Teknis      65

                                     Sawah Tadah Hujan           154

                            Jumlah                               219




             Luas Penggunaan Lahan Sawah (ha)
     180
     160
     140
     120
     100
      80                                                       Luas (ha)
      60
      40
      20
       0
           Sawah Irigasi Setengah Teknis   Sawah Tadah Hujan




       Gambar 3.1 Grafik Penggunaan Lahan Sawah di Desa Bantarujeg
Berdasarkan pada data diatas, populasi wilayah penelitian ini

  mempunyai luas 3,60 Km2, dengan dominasi penggunaan lahannya berupa

  sawah dan pemukiman.




2. Sampel

         Menurut Sumaatmadja (1988 : 112) “Sampel adalah bagian dari

  populasi (cuplikan contoh) yang mewakili kriteria bagian ini diambil dari

  keseluruhan sifat atau generalisasi yang ada pada populasi”.


         Berdasarkan masalah yang akan dibahas, maka dalam menentukan

  sampel penelitian ini digunakan teknik sampel wilayah (area probality

  sampling) yaitu teknik sampling yang dilakukan dengan mengambil wakil

  dari setiap wilayah yang terkena longsor, banjir, erosi, kekeringan, gerakan

  tanah serta gempa yang terdapat dalam kawasan populasi yang menjadi

  objek kajian dengan pendekatan satuan lahan yang merupakan hasil

  tumpangsusun peta kemiringan lereng dengan peta penggunaan lahan dan

  peta jenis tanah. Jadi satuan lahan yang sama diwakili oleh satu sampel

  secara acak (random). Sedangkan cara pengambilan sampel mengikuti

  sampel satuan lahan yang ditentukan dengan teknik aksidental. Kawasan

  yang rentan terhadap erosi, longsor, banjir di Desa Bantarujeg Kabupaten

  Majalengka. Sampel wilayah diambil berdasarkan kemiringan lereng

  sebanyak 4 sampel yang mewakili setiap daerah yang terkena banjir,

  longsor dan erosi berdasarkan bagian atas, tengah dan bawah. Sampel

  kedua adalah lokasi pembangunan waduk Jatigede.
Satuan lahan yang telah ditentukan dapat dilihat sebarannya pada

peta satuan lahan yang disajikan pada gambar 3.1 berikut ini :
Gambar 3.2 Peta sampel pengamatan di Desa Bantarujeg
Sedangkan      untuk   sampel      respondennya   menggunakan     teknik

      pengambilan secara aksidental yaitu semua masyarakat yang ditemui pada

      saat penelitian dijadikan sampel.Sampling aksidental adalah teknik

      penentuan sampel berdasarkan faktor spontanitas, artinya siapa saja yang

      secara tidak sengaja bertemu dengan peneliti dan sesuai dengan

      karakteristiknya, maka orang tersebut dapat digunakan sebagai sampel

      (responden)”.




C. Variabel Penelitian

             Menurut Rafi’i (1996 : 46), variable penelitian mengandung

      pengertian ukuran, sifat, ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu

      kelompok atau suatu yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok

      lain. Variabel penelitian dalam judul penelitian ini adalah terdiri dari

      variabel bebas dan variabel terikat.


             Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variable bebas dan

      terikat.Variabel bebas terdiri dari karakteristik lahan dan respon

      masyarakat, karakteristik lahan meliputi tanah, topografi, erosi dan

      vegetasi, sedangkan respon masyarakat meliputi kegiatan pertanian dan

      pemahaman petani tentang lahan kritis. Variabel terikatnya adalah

      kekritisan lahan yang terbagi menjadi lahan potensial kritis, semi kritis dan

      lahan kritis, serta faktor dari teknik pertanian yang telah dipakai oleh

      masyarakat seperti Sistem tanam, pola tanam, jenis tanaman, pemeliharaan

      tanaman, teknik konservasi yang telah dilaksanakan oleh masyarakat
terhadap lahan garapan. Untuk melihat hubungan antara ketiga faktor ini

   dapat dilihat pada table 3.2 dimana terdapat hubungan antara ketiga

   variable tersebut.Variabel bebas dapat mempengaruhi variable terikat dan

   variable bebas dapat berdiri sendiri.Variabel bebas terdiri dari variable

   fisik yang merupakan parameter tingkat kekritisan lahan, sedang variable

   terikatnya adalah tingkat kekritisan lahan yang diakibatkan oleh adanya

   erosi, longsor, pergerakan tanah, kekeringan serta fenomena fisik yang

   lainnya.



     Variabel Bebas (X)                           Variabel terikat (Y)



Faktor Petani :

    Kegiatan Petani
    Pemahaman petani
    tentang lahan kritis


Karakteristik Lahan
   Kemiringan lereng
   Kondisi tanah                                  Teknik Konservasi yang
   Kondisi geologi                                 dilakukan masyarakat
   Vegetasi                                        untuk tetap menjaga
                                                   kelestarian lahan dari
                                                   kerentanan terhadap
                                                    bahaya erosi, banjir,
Teknik Pertanian                                longsor, pergerakan tanah
                                                             dll.
    Sistem tanam
    Pola tanam
    Jenis tanaman
    Pemeliharaan
    tanaman
    Teknik konservasi
Gambar 3.3 Varibel penelitian




D. Teknik Pengumpulan Data

1. Observasi, yaitu teknik pengamatan secara langsung terhadap gejala,

   fenomena dan fakta yang ada di daerah penelitian. Alat yang digunakan

   yaitu pedoman observasi digunakan untuk mengamati karakteristik lahan

   dan teknik konservasi yang digunakan masyarakat terhadap fenomena

   alam yang terjadi seperti erosi, longsor, banjir serta lainnya.

2. Wawancara, yaitu peneliti menanyakan langsung kepada responden tanpa

   perantara di daerah penelitian dengan menggunakan pedoman berstruktur

   untuk mengamati kondisi masyarakat yang menetap di daerah kawasan

   rentan terhadap bencana.

3. Studi dokumentasi, yaitu penarikan data dari lembaga-lembaga yang

   terkait dengan penelitian ini. Teknik ini digunakan untuk melengkapi data

   yang berkaitan dengan penelitian baik berupa data statistik maupun peta-

   peta tematik serta foto-foto yang dibutuhkan dari lapangan.

4. Kajian Pustaka, yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan

   literatur seperti buku, jurnal, internet, dan lain-lain yang berhubungan
dengan permasalahan yang sedang diteliti. Kajian pustaka digunakan

      untuk memperoleh referensi tentang iklim, tanah, geologi, geomorfologi,

      data kependudukan, luas kawasan longsor, dan lain-lain.




E. Alat Pengumpulan Data

      Untuk memudahkan pengumpulan data maka diperlukan alat dan bahan

   sebagai berikut :


   1. Peta dasar (base map) terdiri dari :

      a. Peta rupabumi lembar

      b. Peta rupabumi lembar

      c. Peta rupabumi lembar

      d. Peta rupabumi lembar

      e. Peta Geologi lembar

   2. Kompas untuk menentukan lokasi penelitian

   3. Klinometer atau busur derajat untukmengukur kemiringan lereng

   4. Ceklist lapangan dan pedoman wawancara

   5. Kamera digital Cannon

   6. Bor tanah

   7. Ph Tester

   8. Alat tulis

   9. Ring sample

   10. GPS
F. Teknik Analisa Data

              Data dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kuantitatif dan

      kualitatif.Teknik analisis kuantitatif digunakan untuk mengelola dan

      menginterpretasikan data yang berbentuk angka atau yang bersifat

      sistematis. Jenis analisis yang digunakan dalam penelitian Konservasi dan

      Rehabilitasi Lahan yang lebih menitikberatkan terhadap fenomena yang

      terjadi secara alami dan non alami seperti erosi, longsor, banjir, gerakan

      tanah serta fenomena yang lain yang dapat mengurangi manfaat dari lahan

      itu sendiri.


              Analisis yang pertama dilakukan secara kualitatif dimana analisis

      ini didasarkan terhadap data-data yang telah didapatkan di lapangan sesuai

      dengan objektifitas dari kajian.Analisis kualitatif dilakukan dengan

      berdasarkan terhadap data yang di dapat serta wawancara yang telah

      dilakukan.


              Analisis yang kedua dilakukan secara kuantitatif yaitu dengan

      menggunakan rumus USLE.


              Teknik atau langkah-langkah yang dilakukan penyusun dalam

      pengolahan data penelitian yang terkumpul adalah sebagai berikut :


   1. Memeriksa kembali data yang diperoleh, baik data primer maupun data

      sekunder, hal ini dilakukan untuk menghindari kekurangan atau kesalahan

      yang terjadi dalam kajian.

   2. Menghitung kemiringan lereng diperoleh dari informasi kontur yang

      terdapat pada peta rupabumi skala 1 : 25.000, perhitungan berlaku untuk
setiap karvak, yang dilakukan pertama kali adalah membuat petak persegi

ukuran 2x2 cm diatas peta, kedua membuat garis diagonal memotong

kontur, ketiga menghitung jumlah kontur dan dikelaskan sesuai

perhitungan, maka akan didapatkan besar kemiringan lereng untuk setiap

karvak, kemudian besaran di klasifikasikan menurut kelas Jamulya (1993).

Pada peta setiap yang memiliki kemiringan lereng sama dipisahkan dan

dideliniasi dan diberikan keterangan hingga mendapatkan sebaran kelas

kemiringan lereng yang dikehendaki. Perhitungan kemiringan lereng

(s)tersebut menggunakan rumus :




Keterangan :


n = Jumlah kontur           Ci = Interval Kontur


s = Kemiringan lereng       S = Skala


a = Panjang lereng
Peta Rupa
                                        Bumi


                            Peta                      Peta
                         kemiringan               Penggunaan
                                                     Lahan


                                  Peta Satuan
                                    Lereng

                                  Peta Sampel
                                   Penelitian


Karakteristik Lahan          Faktor Budaya                     Aktivitas Petani
                             Masyarakat
1. Kemiringan                                                  1. Cara       pengolahan
   Lereng                    1. Pendidikan                               lahan
2. Kondisi tanah             2. Kesadaran                      2. Sistem tanam
3. Kondisi Geologi           3. Kemampuan                      3. Pola tanam
4. Vegetasi                                                    4. Jenis tanaman
                                                               5. Pemeliharaan
                                                                         tanaman
                                                               6. Teknik konservasi

                                       Analisis


                                      Kesimpul
                                         an

                                      Rekomend
                                         asi




                      Gambar 3.4 Bagan Alur Penelitian
BAB IV
                    HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Karakteristik Wilayah
      a. Bantarujeg, Kabupaten Majalengka
         i. Kondisi Fisik
             Secara astronomis, Kecamatan Bantarujeg terletak pada
      108o11’00” BT dan 108o24’00” BT sampai 6o57’00” LS dan 7o41’00”
      LS. Sedangkan secara administratif termasuk wilayah Kabupaten
      Majalengka.                 Sedangkan              secaraadministratif
      KecamatanBantarujegtermasukwilayahKabupaten
      Majalengkadenganbataswilayahsebagaiberikut :
      a. SebelahutaraberbatasandenganKecamatanMaja
      b. SebelahtimurberbatasandenganKecamatanTalaga
      c. SebelahselatanberbatasandenganKecamatan Malausma
      d. SebelahbaratberbatasandenganKecamatanLemahsugih

             KecamatanBantarujegmemilikiwilayahseluas61,86Km2
      yangterdiri           dari22desa.Desayangmemilikiwilayahterluasadalah

      Desagununglarang,yaitu 11,12 Km2. Sedangkan yang mempunyai luas
      wilayah terkecil, yaitu Desa Cinambo1,97Km. Dengan luas yang
      dimiliki Kecamatan Bantarujeg berarti Kecamatan Bantarujeg hanya
      sekitar 5,14 % dari luas wilayah Kabupaten Majalengka (yaitu kurang
      lebih 1.204,24 Km2).
             Sedangkan daerah Plot yang berada di desa Batantarujeg berada
      pada Koordinat 108°13’30” BT dan 6°59’00” LS sampai 108°15’30“
      BT dan 6°58’30“ LS. Secara administratif desa Bantarujeg memilikai
      batas wilayah sebagai berikut:
      a. SebelahutaraberbatasandenganDesa Babakansari
      b. SebelahtimurberbatasandenganDesa Wadon
      c. SebelahselatanberbatasandenganDesa Sirnagalih
      d. SebelahbaratberbatasandenganDesa Sukajadi
Gambar 4.1 Peta administratif Kecamatan Banatrujeg
Gambar 4.2 Peta plot kajian kelompok 6 Desa Bantarujeg



      1. Iklim
Tipe iklim pada Kecamatan Bantarujeg berdasarkan
       klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson (dalam Rafi’I,
       1995:259) diperoleh data selama sepuluh tahun rata-rata curah
       hujan sebagai berikut :


       Tabel 4.1 Jumlah curah hujan bulanan kecamatan bantarujeg 1997 sampai
2006




       Tabel 4.2 Bulan basah dan bulan kering selama 10 Tahun
Dari data tersebut diketahui bahwa rata-rata jumlah curah
             hujan tahuanan selama 10 tahun yaitu 2342,3 mm/tahun. Jumlah
             bulan kering dimana bulan dengan curaqh hujan rata-rata
             dibawah 60 mm didapat rata-rata jumlah bulan keringnya yaitu
             3,5 bulan dan jumlah bulan basah dimana curah hujan lebih dari
             100 mm per bulan didapat rata-rata bulan basah yaitu 7,5 bulan.
             Dari rata-rata jumlah bulan basah dan bulan kering dalam jangka
             waktu 10 tahun diperoleh nilai Q = 46,67 % sebagai acuan untuk
             menentukkan tipe iklim menurut Schmidt Ferguson. Maka
             Kecamatan        Bantarujeg      berdasarkan   nilai   Q   tersebut
             dikategorikan dengan tipe iklim C agak basah.


 Table 4.3 Nilai Q klasifikasi iklim Schmidt Ferguson

Tipe           Nilai(%)                                     S
 A            0<Q<14.3                       SangatBasah
                                                            i
 B           14,3<Q<33,3                     Basah
                                                            f
             33,3<Q<60                       AgakBasah
                                                            a
 C            60<Q<100                       Sedang
                                                            t
             100<Q<167                       AgakKering
 D           167<Q<300                       Kering
             300<Q<700                       SangatKering
 E               Q>700             EkstrimKering
                 Namun berdasarkan kalsifikasi tipe iklim Junghuhn

 F           sebagian besar Kecamatan Bantarujeg termasuk dalam zona
             iklim panas dengan ketinggianm 0 -700 mdpl dan sedikit dari

 G           wilayahnya yang termasuk zona iklim sejuk dengan ketinggian
             700 – 1500 m dpl, karena ketinggian Kecamtan Bantarujeg yaitu

 H           280 sampai 1134 m dpl.
Gambar 4.3 Zonafikasi iklim Junghuun




        2. Topografi dan Geomorfologi
        Ketinggian Kecamatan Bantarujeg yaitu dari 280 sampai
1134 m dpl. Kelas kemiringan lereng yaitu kelas II (3-8%) dengan
criteria lahan yang landai atau berombak, kelas II (8-15%) dengan
kriteria lahan agak miring atau bergelombang, Kelas IV (15-30%)
dengan kriteria lahan miring dan berbukit. Namun kelerengan yang
paling mendominasi pada Kecamatan Bantarujeg yaitu kelas II
dengan persentase 54,12% atau sekitar 60,37 Km2 dari total luas
wilayah Kecamatan Bantarujeg yaitu 111,56 Km2 . Namun pada
penelitian di lokasi penelitian kelompok 6 yaitu di Desa
Bantarujeg,
berdasarkanhasilpenelitiandaritabeldiatasbahwakemiringanlereng
yangpalingdominandiDesaBantarujegadalahkemiringanlerengI(data

r)denganluas2,16Km2(60%).Adapunpetakemiringan         lerengpada
lokasi penelitian kelompok 6, disajikanpadagambar4.4 sebagai
berikut :
Gambar 4.4 Peta kemiringan lereng lokasi penelitian kelompok 6
Gambar 4.5 Peta topografi lokasi penelitian kelompok 6 (Desa Bantarujeg)




              Bentukan lahan pada Kecamatan Bantarujeg merupakan
     bentukan      asal    struktural,    namun      pada     perkembangannya
     kenampakan geomorfologi pada wilyah tersebut berupa bentukan
     lahan asal denudasional yang terjadi karena proses gradasi yang
     meliputi proses gradasi dan agradasi yang dalam jangka waktu
     lama dapat merubah lahan menjadi suatu dataran. Kondisi tersebut
ditunjukkan oleh hilangnya lapisan permukaan akibat terjadi
pelapukan dan pengikisan atau erosi kemudian terangkut ke tempat
yang lebih rendah. Kecamatan Bantarujeg, Kabupaten Majalengka
secara umum merupakan wilayah yang termasuk zona Bogor,
perbukitan lipatan yang terbentuk dari batuan sedimen tersier laut
dalam     membentuk      antiklinorium     dan    dibeberapa     tempat
mengalami patahan.Bukit sisa terdapat di Desa Bantarujeg, Desa
Babakansari, dan Desa Cikidang dan D5 (paneplains) atau dataran
nyaris    terdapat   disebelah   selatan   Desa    Bantarujeg,    Desa
Cimangguhilir, Desa Desa sindanghurip, Desa Cipeundeuy, Desa
Sukadana, Desa Ciranca, Desa Jagamulya, Desa Banyusari, Desa
Malausna, Desa Buninagaradan Desa Cimuncang.


         3. Geologi
           Berdasarkan peta geologi lembar Arjawinangun, satuan
  batuan di wilayah Kecamatan Bantarujeg dikelompokkan
  menjadi breksi hasil gunung api tua (Qvb), hasil gunung api tua
  tak teruaikan (Qvu), formasi kaliwungu (Tpk), formasi halang
  anggota atas (Tmhu), formasi halang anggota bawah (Tmhl),
  formasi cinambo anggota serpih (Tomcu), formasi cinambo
  anggota batupasir (Tomd). Satuan batuan yang paling dominan
  pada lokasi penelitian Kecamatan Bantarujeg, Kabupaten
  Majalengka adalah satuan batuan formasi halang anggota bawah
  (Tmhl) yaitu sekitar 29,23% dari total luas wilayah administratif
  Kecamatan Bantarujeg dan satuan batuan yang paling sedikit
  adalah satuan batuan formasi cinambo anggota pasir (Tomd),
  hanya sekitar 3,17% dari total luas wilayah administratif
  Kecamatan Bantarujeg.

         Satuan breksi hasil gunungapi tua (Qvb) terdiri dari breksi
  gunungapi dan endapan lahar. Breksi berwarna abu-abu tua yang
  keras, komponenya terdiri dari batuan beku andesit, basal dan
  massa dasar pasir tufa. Tanah pelapukannya berupa pasir lanau
lempungan berwarna coklat kemerahan, bersifat urai, plastisitas
sangat rendah, kesarangan sedang-tinggi, kandungan bahan
organik rendah, pH asam-sangat asam, ketebalan 1,5-2,25 meter.
Persebarannya    meliputi   bagian   selatan   Desa    Sukadana,
Werasari, Cipeundeuy, dan bagian selatan Desa Malausma.
Satuan batuan hasil gunungapi tua tak teruraikan (Qvu) terdiri
dari breksi gunungapi lahat dan lavayang bersifat andesit dan
basal. Breksi berwarna abu-abu tua agak kekuningan keras,
komponen batuan beku andesit, lemas terbuka, massa dasar
pasir halus, lava berwarna abu-abu, keras dan kompak. Tanah
pelapukannya berupa lanau lempungan berwarna coklat
kemerahan bersifat urai teguh, plastisitas rendah, kesarangan
sedang, kandungan bahan organik rendah, pH asam-sangat
asam, dan ketebalnnya 2-3 meter. Persebarannya meliputi
sekitar Desa Haurgeulis. Satuan batuan formasi kaliwungu
(Tpk) terdiri dari batu lempung dengan sisipan batu pasir tufaan
dan konglomerat. Batu lempung berwarna abu-abu tua bersifat
keras. Tanah pelapukannya berupa lempung berwarna abu-abu
agak kekuningan, lunak-teguh, plastisitas tinggi. Kesarangan
rendah, kandungan bahan organik rendah, pH asam-sangat
asam, dan ketebalan tanah 1,5-2,25 meter. Persebarannya
meliputi Desa Wadowetan. Satuan batuan formasi halang
anggota atas (Tmhu) terdiri dari batu pasir tufaan, lempung, dan
konglomerat. Batu pasir merupakan bagian utama berwarna abu-
abu kekuningan, berbutir halus dank eras. Tanah pelapukannya
berupa pasir lanauan berwarna coklat kemerahan, bersifat urai,
plastisitas rendah kesarangan sedang, kandungan bahan organik
rendah, pH      asam   dengan ketebalan tanah         1-2 meter.
Persebarannya meliputi Desa Bantarujeg, Salawangi, dan
Babakansari. Satuan batuan formasi halang anggota bawah
(Tmhl) terdiri dari breksi, tufa, lempung dan konglomerat.
Breksi berwarna abu-abu, komparan andesit, keras, massa dasar
pasir. Tanah pelapukannya berupa lanau lempungan berwarna
coklat kekuningan, plastisitas rendah, kesarangan rendah,
kandungan bahan organik rendah,pH asam-sangat asam dan
ketebalan tanah 1,5-2 meter. Persebarannya meliputi Desa
Cikidang, Gununglarang, Sindanghurip, Lebakwangi, Banyusari
dan Malausma. Satuan batuan cinambo anggota serpih (Tomcu)
terdiri dari batu lempung denga selingan batu pasir gampingan
dan pasir tufaan. Batu lempung berwwarna abu-abu tua bersifat
hancur bila kering. Tanah pelapukannya berupa lempung
berwarna abu-abu tua bersifat lunak basah, plastisitas tinggi,
kesarangan rendah, kandungan bahan organik rendah, pH asam-
sangat asam dan ketebalan tanah 1,5-2,25 meter. Persebarannya
meliputi Desa Sukamenak dan sebagian kecil di Desa
Haurgeulis dan Cinambo. Satuan batuan formasi cinambo
anggota batupasir (Tomd) terdiri dari batupasir, tufa, lempung,
dan batu pasir gampingan. Satuan ini berwarna abu-abu
kekuningan sampai abu-abu gelap, kompak, pada batu pasir
mempunyai cirri pelapisan tebal dengan sisipan serpih dan
lempung yang tipis dan padat berwarna kehitam-hitaman. Tanah
pelapukannya berupa lempung lanauan berwarna coklat
kemerahan, teguh, plastisitas sedang, kesarangan sedang,
kandungan bahan organik rendah, pH asam dan ketebalan tanah
1,5-2 meter. Persebarannya meliputi Desa Haurgeulis dan Desa
Sukamenak.
Gambar 4.6 Peta geologi lokasi penelitian kelompok 6 (Desa Bantarujeg)




             4. Tanah
             Jenis tanah yang tersebar pada Kecamatn Bantarujeg yaitu
        tanah litosol, latosol, dan podsolik merah kuning. Penyebaran
        jenis tanah yang mendominasi pada wilayah tersebut adalah
        tanah latosol dengan batas horizon tanah yang tidak begitu jelas
        yang terletak pada ketinggian 300-900 m dpl. Tanah latosol
        berwarna merah kekuningan, kandungan bahan organic 3-9%,
        pH tanah 4,5-6,5 yang tergolong asam sampai agak asam, dan
        tektur tanah liat, struktur remah dengan konsistensi gembur,
permeabilitas tanah mudah samapi agak sukar. Tanah ini
tersebar di daerah sebelah barat daya Desa Sukadana, sebelah
selatan Desa Banyusari, sebelah timur Desa Ciranca, sebelah
selatan Haurgeulis, sebelah barat Desa Sukamenak.
    Tanah    litosol   meliputi    Desa   Werasari,    Malausma,
Banyusari, Jagamulya, Buninagara, Ciranca, Sindanghurip,
Cimangguhilir,Sukadana,           Lebakwangi,         Cipeundeuy,
Wadowetan, Siliwangi, Salawangi, Cinambo, Cikidang. Tanah
litosol mempunyai solum yang tipis dengan kandungan bahan
organic yang rendah, tekstur tanah kasar yaitu berpasir dengan
struktur berbutir lepas, pH dan permeabilitasnya bervariasi.
    Tanah podsolik merah kuning mempunya batas horizon
yang nyata, struktur tanah gumpal dengan tekstur lempung
berpasir hingga liat, pH anatar 4-5. Jenis tanah ini tersebar di
sebelah selatan Desa Buninagara, Selatan Desa Banyusari,
sebelah timur Desa Ciranca, sebelah selatan Haeurgeulis,
sebelah utara Desa Sukamenak.
Gambar 4.7 Peta tanah lokasi penelitian kelompok 6 (Desa Bantarujeg)
Gambar 4.8 Horizon tanah di Desa Banatrujeg


    5. Hidrologi
    Pola sungai pada Kecamatan Bantarujeg mempunyai pola
dendritis dengan induk sungainya yaitu sungai Ci Lutung yang
mengalir melalui Desa Salawangi, Desa Cikidang, Desa
Wadowetan, Desa Bantarujeg, Desa Babakansari, Desa Gunung
larang. Dari induk sungai Ci Lutung terdapat anak-anak sungai
diantaranya Ci Hieum dan Ci Juray.




           Gambar 4.9 Sungai Ci Hieum




    6. Penggunaan Lahan
Terdapat lima jenis penggunaan lahan pada Kecamatan
  Bantarujeg yaitu sawah, tegalan, kebun campuran, hutan, serta
  pemukiman. Pemanfaatan lahan sebagian besar adalah untuk
  lahan pertanian. Pada sawah dan tegalan, tanaman yang ditanam
  berupa padi, jagung, kacang tanah, ubi jalar maupun ubi kayu.
  Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut :


Tabel 4.4 Penggunaan Lahan
Gambar 4.10 Peta penggunaan lahan lokasi pegamatan kelompok 6 (Desa Bantarujeg)
Gambar 4.11 Penggunaan lahan sawah di Desa Bantarujeg




    Gambar 4.12 Penggunaan lahan ladang di Desa Bantarujeg




Gambar 4.12 Penggunaan lahan kebun campuran di Desa Bantarujeg
ii. Kondisi Sosial
        1. Jumlah Penduduk
        Jumlah penduduk di Kecamatan Bantarujeg berdasarkan
   tahun 2007 adalah 88.145 jiwa. Untuk lebih rinci dapat dilhat
   pada tabel di bawah ini :


        Tabel 4.5 Jumlah PendudukTahun 2007




        Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa desa yang
   memiliki jumlah penduduk terbanyak pada tahun 2007 adalah
   Desa Buninagara dengan jumlah penduduk 5961 jiwa atau
   sekitar 6,7% dari total jumlah penduduk di Kecamatan
   Bantarujeg serta jumlah penduduk paling sedikit yaitu Desa
   Haurgeulis dengan jumlah penduduk sekitar 1344 jiwa atau
   1,52% dari total jumlah penduduk di Kecamatan Bantarujeg.
2. Kepadatan Penduduk
           Kepadatan      penduduk      dibagi     menjadi    tiga   yaitu
   kepadatan penduduk agraris, kepadatan penduduk fisiografis,
   dan kepoadatan penduduk kasar. Kepadatan penduduk agraris
   merupakan perbandingan antara jumlah petani dengan luas
   lahan   pertanian. Kepadatan penduduk fisiografis merupakan
   perbandingan jumlah penduduk dengan luas lahan pertanian.
   Dan kepadatan penduduk kasar merupakan perbandingan jumlah
   penduduk dengan luas wilayahnya. Kepadatan penduduk
   agraris, fisiografis, serta kepadatan penduduk kasar pada
   Kecamatan Bantarujeg secara berurutan adalah adalah 261
   jiwa/Km2,       996      jiwa/Km2,        dan      790      jiwa/Km2.
   tingkatkepadatanpendudukdi                                        suatu
   wilayahdikelompokkansebagaiberikut:

   1. 0 -51orang/km2termasuktidakpadat

   2. 51–250orang/km2termasukkurangpadat

   3. 251–400orang/km2termasukpadat

   4. >400orang/km2termasuksangatpadat
         Khusus untuk kepadatan penduduk kasar yang mempunyai
   nilai 790 jiwa/Km2 dikategorikan dalam kelompok kepadatan
   penduduk yang sangat padat.


Tabel 4.6 Kepadatan penduduk per Desa di Kecamatan Bantarujeg tahun 2009

                                Jumlah                                KepadatanPendud
    No.        NamaDesa       Penduduk           LuasWilayah          (jiwa/Km2)
                                                                      uk
                                (Jiwa)                    2

     1      Bantarujeg            3.628              (Km)
                                                       3,0           1178
     2      Babakansari           4.497                7,4
                                                       8             608
     3      Wadowetan             4.497                4,4
                                                       0             734
     4      Gununglaran           4.201               10,0
                                                       7             419
     5      Cikidang
            g                     2.983               24,7           633
                                                      1
6       Haurgeulis      1.372                   3,6        377
          7       Cinambo         1.825                   1,8
                                                          4          971
          8       Sukamenak       3.342                   6,2
                                                          8          531
          9       Salawangi   3.767                       4,5
                                                          9          835
          10      Silihwangi      4.363                   4,6
                                                          1          942
          11      Cimangguhil     4.548                   5,7
                                                          3          788
          12      Sindanghuri
                  ir              2.617                   2,7
                                                          7          955
          13      Cipeundeuy
                  p               3.157                   2,7
                                                          4          1161
                 Jumlah          88145                   111,56
                                                          2          10132



               3. Komposisi Penduduk
            Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin pada tahun
        2007 yaitu terdiri dari 50,19% laki-laki dan 49,81% perempuan.
        Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan yaitu
        44,36% tingkat SD, 50,92% tingkat SMP, 4,014% tingkat SMA,
        0,32% tingkat akademi/sederajat, dan 0,387% tingkat perguruan
        tinggi. Berdasarkan komposisi penduduk menurut tingkat
        pendidikan tersebut menunjukkan tingkat pendidikan yang
        cukup baik, terutama pada pencapaian target wajib belajar 9
        tahun. Komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian,
        didominasi oleh penduduk dengan mata pencaharaian sebagai
        petani dengan persentase 58% disusul dengan buruh sebesar
        25,7%, serta lainnya.


            Tabel 4.7 Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin

N       JenisKelamin        Jumlah(Jiwa)         Persentase(%)
1.     Laki-laki               2171                  49.8
o
2.     Perempuan               2186
                               4                     50.1
                                                     150.
       Jumlah                  435
                               7                     100,00
                                                     9
                                                     194
                                81
                                                       9.81
                                                       49.8
b. Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang                  149.
     i. Kondisi Fisik                                  81
Waduk Jatigede merupakan waduk yang membendung
sungai Ci Manuk, mulai dari Balubur Limbangan ke atas adalah
sub DAS hulu yang dijadikan waduk Jatigede pada ketinggian
sekitar 700 m dpl. Waduk Jatigede dikeliling oleh 12 gunung api
dan beberapa diantaranya masih aktif. DAS bagian tengah
berupa dataran yang lebih rendah yang meliputi penggal sungai
Ci Manuk bagian tengah dengan dua anak sungai yaitu Ci
Lutung dan Ci Peles. Sedangkan DAS bagian hilirnya terdiri
dari dataran pantai. Rata-rata debit tahunan di hilir waduk
Jatigede sekitar sebesar 62,9 m3/detik sedangkan di lokasi
bendung rentang yaitu 137,3 m3/detik.
     Luas DAS Ci Manuk yang merupakan sungai yang akan
dibendung       dengan   waduk    Jatigede    secara   keseluruhan
                                        2
mempunyai luas sekitar 3.600 Km dengan panjang sungai
utama sekitar 230 Km. Batuan dasar utama alluvium, hasil
gunung api, miosen fasies sedimen, plistosen, pliosen fasies
gunung api dan eosen. Jenis tanah pada lokasi waduk jatigede
bervariasi. Berikut adalah jenis tanah yang terdapat pada sekitar
lokasi berdasarkan kepekaan terhadap erosi :
a. Tidak peka erosi : alluvial, glei humus.
b. Agak peka erosi : litosol, latosol
c. Peka erosi        : grumosol, andosol
d. Sangat peka erosi : mediteranean coklat, mediteranean coklat
kemerahan, regosol.
     Namun dari semua 60% jenis tanah pada lokasi kegiatan
adalah latosol dengan kriteria agak peka terhadap erosi.
Meskipun dijumlahkan dengan jenis tanah yang lain, tetap saja
berada pada klasifikasi yang sama atau malah lebih tinggi/sangat
peka erosi. Pemanfaatan air di waduk Jatigede berasal dari DAS
Ci Manuk dengan luas DAS 3.584 Km2. Terdapat sekitar 31%
lahan kritis. Curah hujan tahunan DAS Ci Manuk berkisar 2.800
mm, namun 78% dilimpaskan ke laut. Hal tersebut terjadi
karena peresapan air ke tanah yang kurang, artinya pada daerah
    hulu sungai Ci Manuk telah terjadi penggunaan lahan yang tidak
    sesuai dengan konservasi. Dari gambar di atas dapat kita
    perbandingan antara kawsan lindung dengan kawasan budidaya.
    Umumnya tanaman yang dibudidayakan berupa tanaman
    musiman yang kurang terhadap peresapan air serta intensitas
    pengolahan yang sangat tinggi. Selain itu juga lahan pertanian
    tersebut tidak diteras ataupun ada yang diteras tetapi kualitasnya
    buruk. Penggunaan lahan pada tahun 1991 berdasarkan data
    Bappeda provinsi Jawa Barat adalah hutan (22,7%), sawah
    (35,99%), lahan pertanian (29,76%), permukiman (6,55%),
    permukaan air (0,01%), lain-lain (4,93%).




      Gambar 4.14Lokasi pembangunan waduk Jatigede




.
Gambar 4.15 Penggunaan Lahan Hulu DAS Ci Manuk (foto satelit)




         Gambar 4.16 Peta Penggunaan Lahan Tahun 1991 (Bappeda Jabar)
Berdasarkan hasil analisis dari foto satelit terdapat patahan
           atau sesar di sebelah timur lokasi waduk Jatigede. Hal tersebut
           dapat dilihat pada gambar di bawah ini :




        ii. Kondisi Sosial
                Populasi penduduk yang berdomisili dalam DAS Ci Manuk
         berdasarkan data statistik Provinsi Jawa Barat tahun 2011 yaitu
         sebanyak 2.780.680 jiwa dengan kota-kota utama di Kabupaten
         Garut, Sumedang, Majalengka, dan Indramayu. Rencana kegiatan
         waduk Jatigede membutuhkan luas sekitar 4.892 Ha. Dari luas
         tersebut 3.696 Ha milik warga dan 3.200 Ha berupa lahan yang
         subur. Pada lokasi waduk Jatigede terdapat sekitar 28 situs budaya
         yang terancam hilang. Namun karena lokasi situs budaya tersebut
         akan dibangun waduk Jatigede maka dengan terpaksa situs budaya
         tersebut harus dipindahkan.



B. Potensi Ancaman Bahaya Bencana
      a. Bantarujeg, Kabupaten Majalengka
                Potensi atau bahaya bencana pada lokasi penelitian di Desa
         Bantarujeg, Kecamatan Banatrujeg, Kabupaten             Majalengka
         berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Dusun yaitu terdapat
ancaman bahaya dari letusan gunung api, gempa bumi, banjir,
pergerakan massa tanah, kekeringan, angin kencang, serta longsor.
       Menurutnya pernah terjadi sebuah bencana letusan gunung
api galunggung yang berdampak pada lokasi penelitian. Bencana
letusan gunung api galunggung yang berdampak pada lokasi
penelitian berupan penyebaran abu vulkanik. Luas sebaran yang
terkena dampak dari abu vulkanik tersebut hampir mengenai semua
wilayah Kecamatan Bantarujeg. Seperti yang kita ketahui bahwa
abu vulkanik mempunyai massa yang lebih ringan daripada
material batuan hasil dari letusan gunung api sehingga luas
sebarannya pun semakin luas karena terbawa oleh angin. Dampak
dari penyebaran abu vulkanik dari letusan gunung api galunggung
tersebut menghambat aktivitas perekonomian masyarakat terutama
pada sektor pertanian yang terancam gagal panen karena abu
vulkanik tersebut menutupi lahan pertanian. Selain itu, dampak lain
dari penyebaran     abu   vulkanik juga     merugikan    kesehatan
masyarakat terutama gangguan sistem pernapasan.
       Terdapat pula ancaman bahaya gempa bumi. Menurut
Kepala Dusun, pernah terjadi gempa sebesar 2-3 skala ritcher
dengan jarak sekitar 7,5 km dari pusat gempa. Ancaman bahaya
gempa bumi pada lokasi penelitian disebabkan lokasi penelitian
berdekatan dengan gunung api sehingga ketika terjadi aktivitas
gunung api disekitar lokasi penelitian maka gempa vulkanik akan
dirasakan oleh masyarakat sekitar. Selain ancaman bahaya gempa
bumi yang berasal dari aktivitas gunung api, terdapat juga ancaman
bahaya gempa bumi yang berasal dari pergerakan patahan baribis
yang dimungkinkan menimbulkan gempa bumi dan berdampak
pada lokasi penelitian jika sewaktu-waktu terjadi pergerakan pada
patahan baribis. Ancaman bahaya gempa bumi lainnya disebabkan
atau berasal dari aktivitas pertambangan batu andesit di daerah
hulu, ketika terjadi aktivitas penambangan batu andesit dimungkin
terjadi pergerakan atau pergeseran batuan sehingga menimbulkan
ancaman bahaya gempa bumi yang berupa gempa runtuhan.
         Ancaman bahaya bencana lainnya adalah banjir. Seperti
yang dijelaskan pada pembahasan di atas mengenai karakteristik
wilayah Bantarujeg khususnya dalam hal iklim bahwa rata-rata
curah hujan di Kecamatan Bantarujeg cukup tinggi dalam 10 tahun
dari tahun 1997-2006 yaitu sebesar 2342,3 mm/tahun dan rata-rata
bulan basahnya yaitu 7,5 bulan. Dari hal tersebut dapat dilihat
bahwa ancaman bahaya banjir pada lokasi penelitian cukup besar.
Faktor lain yang mendukung besarnya ancaman bahaya banjir
adalah kondisi topografi yang bergelombang dan terdapat bentuk-
bentuk lereng yang cekung maupun datar. Selain itu, faktor lainnya
adalah sifat tanah yang mempunyai permeabilitas sedang sampai
agak cepat, namun sifat tanah pada lokasi penelitian ketika terkena
air maka permeabilitasnya semakin berkurang karena terkstur tanah
yang lempung berpasir sampai liat yang gembur sehingga seolah-
olah memadat tetapi mudah lepas dan air pun akan menggenang
jika durasi hujan lama apalagi padalahan-lahan yang memiliki
vegetasi yang tidak begitu rapat sehingga tenaga kinetis hujan
dapat lebih memadatkan tanah, memperkecil laju infiltrasi, dan
menggenankan air. Faktor utama penyebab banjir adalah
meluapnya sungai Ci Hieum akibat penggunaan lahan di hulunya
tidak baik sehingga laju limpasan air lebih besar daripada laju
infiltrasinya. Jarak sungai Ci Hieum dengan pemukiman warga
sekitar 500 meter. Luas sungai Ci Hieum yang tidak begitu luas
atau dalam juga turut menjadi faktor penyebab banjir ketika
limpasan air yang besar dari sungai Ci Hieum melewatinya dan
meluap karena daya tampung yang kurang memadai. Menurut
Kepala Dusun dampak bencana banjir pernah dialami dengan
ketinggian banjir 50 cm dari permukaan tanah. Menurutnya ada 2
RT per dusun yang permanen terkena dampak banjir dan 10 hektar
sawah.
Ancaman bahaya bencana yang mempunyai potensi besar
dalam memberikan dampak pada lokasi penelitian adalah ancaman
gerakan massa tanah dan longsor. Seperti yang telah dijelaskan
bahwa curah hujan pada lokasi penelitian cukup tinggi dan sifat
tanah yang mudah lepas. Pergerakan tanah dapat dilihat dari
indikator-indikator tertentu seperti yang ditemukan di lokasi
penelitian yang berupa rumah yang retak-retak, tiang listrik yang
miring, tanah yang longsor serta rusaknya tepi-tepi jalan. Jenis
gerakan massa tanah pada lokasi penelitian berupa rayapan yang
bergerak secara perlahan-lahan. Hal tersebut dikarenakan jenis
batuannya yang sedimen yang mempunyai sifat lunak atau
fleksibel. Ancaman bahaya bencana tersebut ditemukan pada lokasi
penelitian terutama pada plot 3 dan plot 4. Potensi gerakan massa
tanah dan longsor semakin besar mengingat curah hujan yang
tinggi. Energi potensial dari gerakan massa tanah dan longsor
tersebut akan semakin besar karena adanya penambahan massa
tanah oleh air jika kita mengingat sifat tanah pada lokasi penelitian
yang gembur dan mudah lepas serta permeabilitasnnya yang
sedang sampai agak cepat serta kemiringan lereng pada yang agak
miring dan topografi berbukit-bukit. Menurut Kepala Dusun
pernah terjadi longsor namun di daerah Cibeuriy yang berdampak
kerusakan pada 10 rumah warga.
Gambar 4.17 Rumah retak
Gambar 4.18 Bukit terkikis/tererosi




        Bencana kekeringan pernah terjadi pada lokasi penelitian
yaitu selama musim kemarau dengan luas sebaran dampak satu
Kecamatan Bantarujeg. Dampak dari kekeringan tersebut adalah
terancamnya gagal panen bagi sektor pertanian. Penggunaan lahan
pertanian yang hanya mengandalkan air hujan dapat memperparah
ancaman bahaya kekeringan ini. Saluran irigasi pernah dibuat
namun pada akhirnya tidak berfungsi kembali dikarenakan saluran
irigasi tersebut tertutupi atau rusak karena longsoran sehingga air
tidak bisa mengairi sawah.
        Sedangkan untuk ancaman bahaya bencana sosial yaitu
hilangnya budaya, menurunya etos kerja, serta banyaknya warga
yang gulung tikar untuk industri rumah serta berkurangnya tanga
kerja   buruh   tani.    Hal    tersebut     berpotensi   menjamurnya
pengangguran apalagi jika kita melihat bahwa berdasarkan data
komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan seperti yang telah
dibahas yaitu dengan dominasi masyarakat dengan tingkat
pendidikan SMP. Selain itu, berkurangnya buruh tani dan belum
optimalnya    mekanisasi    pertanian    untuk    meningkatkan
produktivitas pertanian dimungkinkan akan hilangnya budaya
bertani dan berkurangnya lahan pertanian. Menurunya etos kerja
serta    dimungkinkannya     menjamur     pengangguran     akan
menyebabkan potensi konflik masyarakat semakin besar.
        Peta daerah rawan bencana di Desa Bantarujeg yang kami
buat, dipertimbangkan besar kecilnya rawan bencana berdasarkan
tingkat kemiringan, penggunaan lahan, pola pemukiman, sifat
tanah, metode pertanian masyarakat setempat sehingga dibuat peta
daerah rawan bencana Desa Bantarujeg seperti pada gambar di
bawah ini :
Gambar 4.19 Peta rawan bencana Desa Bantarujeg



b. Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang
          Struktur batuan pada lokasi waduk Jatigede berupa
   lempung serpih yang mempunyai sifat mudah lepas. Hal tersebut
   dapat menjadi sebuah ancaman bahaya gerakan massa tanah
   maupun longsor jika terjadi hujan. Apabila waduk tersebut telah
   selesai dibangun atau dioperasikan, maka bukan tidak mungkin
   umur waduk tersebut akan berkurang atau waduk tersebut rusak
   karena terjadi gerakan massa tanah, dengan rusaknya waduk
   tersebut maka akan menimbulkan sebuah banjir dari air genangan
   waduk dan merugikan manusia serta fasilitas-fasilitas lainnya. Hal
ancaman bahaya tersebut didukung oleh faktor curah hujan di DAS
Ci Manuk yang tinggi seperti yang telah dibahas di atas. Energi
potensial dari gerakan massa tanah akan semakin besar seiring
penambahan massa tanah oleh air apalagi pada daerah yang
bergelombang atau berbukit. Tidak hanya itu, laju sedimentasi
yang besar pada sungai Ci Manuk juga dapat mengancam merusak
bendungan dan menjadikan ancaman bahaya banjir.
       Ancaman bahaya lainnya adalah gempa bumi, baik itu yang
berasal dari gunung api aktif maupun dari patahan yang berlokasi
dekat dengan waduk Jatigede. Apabila terjadi gempa bumi, maka
dikhawatirkan akan rusak atau bocor sehingga terjadi banjir atau
bencana. Gempa lainnya mungkin saja terjadi ketika pembebanan
air pada waduk yang akan mempengaruhi lapisan batuan di
bawahnya dan terjadi gempa terutama karena penurunan tanah, jika
mengingat struktur tanah dan batuannya yang labil.
       Ancaman bencana sosial terjadi terutama pada pembebasan
lahan yaitu relokasi dan ganti rugi bagi warga yang terkena
dampak dari pembangunan waduk Jatigede. Lokasi relokasi belum
tentu sesuai dengan keinginan warga dan belum tentu memiliki
sumber daya yang hampir sebanding dengan lokasi awal menjadi
potensi timbulnya bencana sosial. Apabila lokasi yang baru lebih
produktif maka akan sangat menguntungkan warga namun apabila
lebih buruk maka warga akan mengalami kerugian. Masalah lain
yang dihadapi adalah ketidaksesuaian rencana relokasi. Pemerintah
tidak mengutamakan relokasi warga tetapi mendahulukan relokasi
cagar budaya sehingga banyak warga yang mengadu pada DPRD
setempat. Istilah relokasi sebenarnya tidak sesuai bagi budaya
karena akan mengurangi nilai budaya maupun sejarahnya. Pada
lokasi rencana kegiatan terdapat sekitar 28 situs budaya yang
terancam hilang. Namun karena lokasi situs budaya tersebut akan
dibangun waduk Jatigede maka dengan terpaksa situs budaya
tersebut harus dipindahkan. Masalah ekonomi merupakan akar dari
permasalahan    sosial.   Rencana      kegiatan     waduk   Jatigede
membutuhkan luas sekitar 4.892 Ha. Dari luas tersebut 3.696 Ha
milik warga dan 3.200 Ha berupa lahan yang subur. Dengan
adanya   rencana    kegiatan   waduk     Jatigede    otomatis   akan
mengurangi     tingkat    perekonomian     warga     terutama   saat
berlangsung konstruksi. Hal tersebut akan berakar pada ancaman
penurunan produksi beras yang ditaksir mengalami penurunan
sekitar 80.000 ton per tahun. Berdasarkan masalah-masalah
tersebut bencana sosial yang berpotensi terjadi apabila tidak segera
diselesaikan adalah konflik secara vertikal yaitu antara pemerintah
dan masyarakat yang pada akhirnya dapat menghambat rencana
pembangunan waduk Jatigede
Gambar 4.20 Peta daerah rawan bencana di lokasi penelitian waduk Jatigede




C. Upaya Mitigasi Bencana
      a. Bantarujeg, Kabupaten Majalengka
                  Upaya tindakan mitigasi dari pemerintah yaitu berupa
          tindakan preventif atau pencegahan. Namun dalam pelaksanaannya
masih belum optimal. Upaya masih berupa himbauan dan
   pemberian tanda daerah rawan bencana. Hal tersebut dikarenakan
   belum terbentuknya lembaga yang mampu mengkoordinasikan dan
   mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai ancaman bahaya
   bencana serta tindakan siap siaga maupun hal yang dilakukan
   ketika terjadi bencana. Sebagian besar tingkat pendidikan
   masyarakat setempat tergolong cukup baik yaitu tingkat SMP
   namun hal tersebut belum menjamin adanya kesadaran mengenai
   ancaman bahaya bencana, akan tetapi berdasarkan hasil wawancara
   dengan masyarakat sekitar, masyarakat setidaknya tahu mengenai
   apa yang harus dilakukan ketika terjadi bencana. Namun kesadaran
   untuk mengurangi dampak bencana sendiri agaknya masih belum
   terpikirkan.   Kegiatan   sosialisasi   atau   penyuluhan   tentang
   kebencanaan masih belum ada dari pihak pemerintah secara resmi
   namun dari tokoh masyarakat ada. Dampak dari bencana akan
   semakin besar karena tidak terdapatnya peringatan dini seperti jalur
   evakuasi ketika terjadi bencana. Kegiatan yang dilakukan oleh
   pemerintah masih berupa himbauan. Terdapat pos-pos siaga
   bencana pada tingkat kecamatan dan kabupaten. Oleh karena itu,
   diperlukan adanya suatu lembaga atau apapun yang mampu
   mengkoordinasi dan mensosialisasikan mengenai ancaman bahaya
   bencana, penanggulangan serta hal-hal apa saja yang harus
   dilakukan kepada masyarakat ketika terjadi bencana sehingga
   menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai kebencanaan dan
   dapat mengurangi dampak kerugian dari bencana.


b. Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang
          Terdapat suatu badan atau lembaga khusus yang dibentuk
   dalam mengangani mengenai penaggulangan dan mitigasi bencana
   yang dinamakan Badan Penanggulangan dan Mitigasi Bencana
   (BPMB). Upaya mitigasi bencana dari pemerintah sebagai akibat
   dari pembangunan waduk Jatigede, berupa upaya mitigasi secara
struktural maupun non struktural. Mitigasi secara struktural dalam
hal pencegahan gerakan massa tanah dan longsor adalah dengan
teknik grouting. Grouting adalah salah satu perbaikan pondasi
bendungan yang merupakan pekerjaan memasukan bahan yang
masih dalam keadaan cair untuk perbaikan tanah, dengan cara
tekanan, sehingga bahan tersebut akan mengisi semua retak-retak
dan lubang-lubang, kemudian setelah mbeberapa saat bahan
tersebut akan mengeras, dan menjadi satu kesatuan dengan tanah
yang ada. Tujuan dari dilakukannya grouting adalah untuk
memperkuat formasi dari lapisan tanah dan menjadikan lapisan
tanah tersebut padat sehingga mampu untuk menahan beban
bangunan yang direncanakan. untuk menahan aliran air, misalnya
pada bangunan dam, agar air tidak mengalir melalui bawah
bangunan dam. Air yang mengalir di bawah bangunan dam secara
bertahun-tahun akan membawa partikel tanah, yang akan
mengakibatkan terjadinya rongga-rongga di bawah bangunan, dan
hal ini dapat membahayakan kestabilan dam tersebut, grouting
pada dam ini biasa disebut tirai sementasi, guna tirai sementasi ini
untuk menghambat laju air, sehingga aliran air semakin panjang,
karena aliran semakin panjang maka air akan mengalami
kehilangan energy, dan untuk menahan aliran air tanah agar tidak
masuk ke dalam suatu kegiatan bangunan               yang sedang
berjaan.Untuk jenis grouting yang digunakan di Bendungan
Jatigede dijelaskan sebagai berikut:


1. Grouting perlu dilakukan untuk menutup rekahan (crack) pada
pondasi batuan dan harus meningkatkan kekedapan (water
tightness).
2. Grouting tirai (curtain grouting) berfungsi sebagai zone kedap
air dan diletakkan pada tengah impervious core atau dibagian hulu
impervious facing (membrane).
3. Grouting selimut (blanket grouting) berfungsi menahan
rembesan pada permukaan pondasi yang retak-retak.
4. Bila grouting tidak dapat dilakukan, dapat diganti dengan
impervious blanket pada bagian hulu dan atau pembuatan drain
dibagian hilir.


        Mitigasi secara struktural lainnya adalah dengan melakukan
perbaikan kondisi hulu DAS Ci Manuk untuk mengurangi laju
sedimentasi pada jangka panjang sehingga ancaman kerusakan
bendungan dan bahaya banjir semakin berkurang. Seperti yang
dijelaskan pada pembahasan di atas bahwa sekitar 28% daerah
tangkapan air tergolong kritis. Upaya yang dilakukan dalam
memperbaiki kerusakan hulu adalah dengan melakukan konservasi
DAS secara intensif dan sinergis antara Kementrian Kehutanan,
Kementrian Pertanian, Kementrian Pekerjaan Umum, Pemerintah
Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten terkait dengan nama Gerakan
Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN KPA). Disamping itu
juga, dilaksanakan kegiatan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis
(GRLK) dan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(GNRHL) di Jawa Barat. Untuk sementara waktu, sedimentasi
pada waduk Jatigede dialihkan pada bendungan penampung
sedimentasi.

        Mitigasi secara non struktural yang dilakukan berupa
pemberian penyuluhan maupun peringatan dini apabila air pada
bendungan telah melebihi kapasitasnya dalam menampung air.
Peringatan dini apabila diprediksi akan terjadi bencana terutama
kebcoran    bendungan    dilakukan   melalui   sirine-sirine   yang
memberitahukan kepada masyarakat agar waspada dan siap siaga.
Selain itu, dicanangkan pula jalur-jalur evakuasi serta lokasi
evakuasi ketika terjadi bencana. Sedangkan untuk mitigasi
ancaman bencana sosial, hal yang dilakukan adalah pemberian
ganti rugi lahan serta relokasi warga dan sosialisasi mengenai
manfaat adanya waduk Jatigede.
BAB V
                            PENUTUP


A. Simpulan
              Berdasarkan hasil dari pembahasan pada bab IV, maka dapat
     diambil sebuah kesimpulan sebagai berikut :
     a. Kondisi fisik wilayah lokasi pengamatan yaitu pada Desa
        Bantarujeg, Kecamatan Bantarujeg, Kabupaten Majalengka secara
        umum merupakan wilayah yang termasuk zona Bogor, perbukitan
        lipatan yang terbentuk dari batuan sedimen tersier laut dalam
        membentuk antiklinorium dan dibeberapa tempat mengalami
        patahan. Sifat tanahnya mudah lepas. Mempunyai rata-rata curah
        hujan tinggi yaitu 2342,3 mm/tahun dan beriklim C menurut
        klasifikasi Schmidt Fergusson. Kelas kemiringan lereng bervariasi
        dari II sampai IV dengan elevasi antara 280 sampai 1134 m dpl.
        Satuan yang paling mendominasi adalah formasi halang anggota
        bawah (Tmhl) dan jenis tanah yang mendominasi adalah tanah
        latosol. Pola sungai pada Kecamatan Bantarujeg mempunyai pola
        dendritis dengan induk sungainya yaitu sungai Ci Lutung. Terdapat
        lima jenis penggunaan lahan pada Kecamatan Bantarujeg yaitu
        sawah, tegalan, kebun campuran, hutan, serta pemukiman dengan
        dominasi sawah. Sedangkan untuk kondisi fisik secara umum di
        lokasi    pembangunan     waduk     Jatigede   merupakan      yang
        membendung aliran sungai Ci Manuk pada elevasi sekitar 700 m
        dpl. Waduk Jatigede dikeliling oleh 12 gunung api dan beberapa
        diantaranya masih aktif.Intensitas curah hujan rata-rata pada DAS
        Ci Manuk tergolong tinggi yaitu sekitat 2.800 mm. Batuan dasar
        utama alluvium, hasil gunung api, miosen fasies sedimen,
        plistosen, pliosen fasies gunung api dan eosin dengan 60% jenis
        tanah pada lokasi kegiatan adalah latosol dengan kriteria agak peka
        terhadap erosi.Terdapat sekitar 31% lahan kritis. Menurut data
        Bappeda provinsi Jawa Barat penggunaan lahan di DAS Ci Manuk
yaitu hutan (22,7%), sawah (35,99%), lahan pertanian (29,76%),
   permukiman (6,55%), permukaan air (0,01%), lain-lain (4,93%).
b. Kondisi sosial wilayah lokasi pengamatan yaitu pada Desa
   Bantarujeg, Kecamatan Bantarujeg, Kabupaten Majalengka secara
   umum memiliki jumlah penduduk berdasarkan tahun 2007 adalah
   88.145 jiwa dari 50,19% laki-laki dan 49,81% perempuan dengan
   penduduk terbanyak adalah di penduduk terbanyak pada tahun
   2007 adalah Desa Buninagara dengan jumlah penduduk 5961 jiwa
   dan penduduk paling sedikit yaitu Desa Haurgeulis dengan jumlah
   penduduk sekitar 1344 jiwaterdiri.Kepadatan penduduk agraris,
   fisiografis, serta kepadatan penduduk kasar pada Kecamatan
   Bantarujeg secara berurutan adalah adalah 261 jiwa/Km2, 996
   jiwa/Km2, dan 790 jiwa/Km2. Komposisi penduduk menurut
   tingkat pendidikan yang paling mendominasi adalah tingkat
   pendidikan SMP yaitu sebesar 50,92% dari total jumlah penduduk
   sedangkan menurut mata pencaharian sekitar 58% penduduk
   bekerja sebagai petani. Sedangkan pada lokasi pengamatan kedua
   yaitu di lokasi pembangunan waduk Jatigede, populasi penduduk
   yang berdomisili dalam DAS Ci Manuk berdasarkan data statistik
   Provinsi Jawa Barat tahun 2011 yaitu sebanyak 2.780.680 jiwa.
   Waduk Jatigede membutuhkan luas sekitar 4.892 Ha dari luas
   tersebut 3.696 Ha milik warga dan 3.200 Ha berupa lahan yang
   subur. Pada lokasi waduk Jatigede terdapat sekitar 28 situs budaya.
c. Potensi atau ancaman bahaya bencana berdasarkan kondisi fisik
   maupun sosial di lokasi pengamatan Bantarujeg yaitu seperti
   banjir, gerakan massa tanah dan longsor, kekeringan, gempa bumi,
   serta bencana sosial yaitu berupa munculnya potensi konflik
   dikarenakan menurunnya etos kerja. Ancaman bahaya bencana
   gerakan massa tanah dan longsor dipengaruhi oleh sifat tanah yang
   labil serta mudah lepas dan topografi yang berbukit serta curah
   hujan yang tinggi dan bulan basah yang lebih banyak dari bulan
   keringnya. Ancaman bahaya gempa bumi dipengaruhi oleh faktor
Identifikasi Ancaman Bencana
Identifikasi Ancaman Bencana
Identifikasi Ancaman Bencana

Contenu connexe

Tendances

Karakteristik sungai
Karakteristik sungaiKarakteristik sungai
Karakteristik sungaiCahaya Hari
 
Manajemen Bencana
Manajemen BencanaManajemen Bencana
Manajemen Bencanasigid_raja
 
Laporan mitigasi bencana pesisir dan laut selesai
Laporan mitigasi bencana pesisir dan laut selesaiLaporan mitigasi bencana pesisir dan laut selesai
Laporan mitigasi bencana pesisir dan laut selesaiRegister Undip
 
Interpretasi Citra Untuk Pemetaan Penggunaan lahan
Interpretasi Citra Untuk Pemetaan Penggunaan lahanInterpretasi Citra Untuk Pemetaan Penggunaan lahan
Interpretasi Citra Untuk Pemetaan Penggunaan lahanbramantiyo marjuki
 
3.3 ppt pengelolan sda
3.3 ppt pengelolan sda3.3 ppt pengelolan sda
3.3 ppt pengelolan sdajopiwildani
 
Pertemuan 1 mitigasi bencana alam jenis &amp; karakteristik bencana alam
Pertemuan 1 mitigasi bencana alam jenis &amp; karakteristik bencana alamPertemuan 1 mitigasi bencana alam jenis &amp; karakteristik bencana alam
Pertemuan 1 mitigasi bencana alam jenis &amp; karakteristik bencana alamardhy muhfir
 
PPT Mitigasi Bencana Gempa (2).pptx
PPT Mitigasi Bencana Gempa (2).pptxPPT Mitigasi Bencana Gempa (2).pptx
PPT Mitigasi Bencana Gempa (2).pptxSandraOgie
 
Tiga Cara Memotong file Raster Sesuai Batas Polygon Menggunakan ArcGIS
Tiga Cara Memotong file Raster Sesuai Batas Polygon Menggunakan ArcGISTiga Cara Memotong file Raster Sesuai Batas Polygon Menggunakan ArcGIS
Tiga Cara Memotong file Raster Sesuai Batas Polygon Menggunakan ArcGISbramantiyo marjuki
 
Cara pembuatan peta gis secara sederhana
Cara pembuatan peta gis secara sederhanaCara pembuatan peta gis secara sederhana
Cara pembuatan peta gis secara sederhanaBagus ardian
 
3.8 perhitungan debit rencana
3.8 perhitungan debit rencana3.8 perhitungan debit rencana
3.8 perhitungan debit rencanavieta_ressang
 
Parameter lingkungan
Parameter lingkunganParameter lingkungan
Parameter lingkunganAgus Candra
 

Tendances (20)

Karakteristik sungai
Karakteristik sungaiKarakteristik sungai
Karakteristik sungai
 
Manajemen Bencana
Manajemen BencanaManajemen Bencana
Manajemen Bencana
 
Laporan mitigasi bencana pesisir dan laut selesai
Laporan mitigasi bencana pesisir dan laut selesaiLaporan mitigasi bencana pesisir dan laut selesai
Laporan mitigasi bencana pesisir dan laut selesai
 
Interpretasi Citra Untuk Pemetaan Penggunaan lahan
Interpretasi Citra Untuk Pemetaan Penggunaan lahanInterpretasi Citra Untuk Pemetaan Penggunaan lahan
Interpretasi Citra Untuk Pemetaan Penggunaan lahan
 
3.3 ppt pengelolan sda
3.3 ppt pengelolan sda3.3 ppt pengelolan sda
3.3 ppt pengelolan sda
 
Pengelolaan das
Pengelolaan dasPengelolaan das
Pengelolaan das
 
Pengantar Manajemen Penanggulangan Bencana
Pengantar Manajemen Penanggulangan BencanaPengantar Manajemen Penanggulangan Bencana
Pengantar Manajemen Penanggulangan Bencana
 
Presentasi mitigasi
Presentasi mitigasiPresentasi mitigasi
Presentasi mitigasi
 
Pertemuan 1 mitigasi bencana alam jenis &amp; karakteristik bencana alam
Pertemuan 1 mitigasi bencana alam jenis &amp; karakteristik bencana alamPertemuan 1 mitigasi bencana alam jenis &amp; karakteristik bencana alam
Pertemuan 1 mitigasi bencana alam jenis &amp; karakteristik bencana alam
 
PPT Mitigasi Bencana Gempa (2).pptx
PPT Mitigasi Bencana Gempa (2).pptxPPT Mitigasi Bencana Gempa (2).pptx
PPT Mitigasi Bencana Gempa (2).pptx
 
Tiga Cara Memotong file Raster Sesuai Batas Polygon Menggunakan ArcGIS
Tiga Cara Memotong file Raster Sesuai Batas Polygon Menggunakan ArcGISTiga Cara Memotong file Raster Sesuai Batas Polygon Menggunakan ArcGIS
Tiga Cara Memotong file Raster Sesuai Batas Polygon Menggunakan ArcGIS
 
Pengelolaan Pesisir
Pengelolaan  PesisirPengelolaan  Pesisir
Pengelolaan Pesisir
 
Review pesisir dan laut
Review pesisir dan lautReview pesisir dan laut
Review pesisir dan laut
 
AMDAL
AMDALAMDAL
AMDAL
 
DIGITASI
DIGITASIDIGITASI
DIGITASI
 
Cara pembuatan peta gis secara sederhana
Cara pembuatan peta gis secara sederhanaCara pembuatan peta gis secara sederhana
Cara pembuatan peta gis secara sederhana
 
3.8 perhitungan debit rencana
3.8 perhitungan debit rencana3.8 perhitungan debit rencana
3.8 perhitungan debit rencana
 
Tugas das brantas fauziyah
Tugas das brantas fauziyahTugas das brantas fauziyah
Tugas das brantas fauziyah
 
Sistem Informasi geografis
Sistem Informasi geografisSistem Informasi geografis
Sistem Informasi geografis
 
Parameter lingkungan
Parameter lingkunganParameter lingkungan
Parameter lingkungan
 

En vedette

A. cover laporan ppl
A. cover laporan pplA. cover laporan ppl
A. cover laporan pplGhian Velina
 
Daerah persebaran bencana alam
Daerah persebaran bencana alamDaerah persebaran bencana alam
Daerah persebaran bencana alamEga Anistia
 
PERAN SERTA DALAM PENANGGULANGAN BENCANA ALAM ( PLH )
PERAN SERTA DALAM PENANGGULANGAN BENCANA ALAM ( PLH )PERAN SERTA DALAM PENANGGULANGAN BENCANA ALAM ( PLH )
PERAN SERTA DALAM PENANGGULANGAN BENCANA ALAM ( PLH )Siti Rafida
 
Masswasting Geografi Kelas X
Masswasting Geografi Kelas XMasswasting Geografi Kelas X
Masswasting Geografi Kelas XBrilly Ramadhanti
 
Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan BencanaUndang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan BencanaPenataan Ruang
 
Bab 4-persediaan
Bab 4-persediaanBab 4-persediaan
Bab 4-persediaanWinny Bong
 
Graficas predicciones fenix_valor.29
Graficas predicciones fenix_valor.29Graficas predicciones fenix_valor.29
Graficas predicciones fenix_valor.29Diego Estupiñan
 
Leadville Presentation
Leadville PresentationLeadville Presentation
Leadville Presentationkylewhattodo
 
activity in fifth grade
activity in fifth gradeactivity in fifth grade
activity in fifth gradeangela iaia
 
132054419 soal-cpns-pemkab-free
132054419 soal-cpns-pemkab-free132054419 soal-cpns-pemkab-free
132054419 soal-cpns-pemkab-freeAhmed Dani
 
Legenda o lewinie
Legenda o lewinieLegenda o lewinie
Legenda o lewiniegosiak60
 
DE LA FORMACIÓN DE USUARIOS A LA ALFABETIZACIÓN INFORMACIONAL / ESTUDIO DE US...
DE LA FORMACIÓN DE USUARIOS A LA ALFABETIZACIÓN INFORMACIONAL / ESTUDIO DE US...DE LA FORMACIÓN DE USUARIOS A LA ALFABETIZACIÓN INFORMACIONAL / ESTUDIO DE US...
DE LA FORMACIÓN DE USUARIOS A LA ALFABETIZACIÓN INFORMACIONAL / ESTUDIO DE US...Cintia Ruppel
 
Certific@2
Certific@2Certific@2
Certific@2R R.
 
Compilation of graphs
Compilation of graphsCompilation of graphs
Compilation of graphsIliMardhiah
 

En vedette (20)

A. cover laporan ppl
A. cover laporan pplA. cover laporan ppl
A. cover laporan ppl
 
Mass wasting
Mass wastingMass wasting
Mass wasting
 
Daerah persebaran bencana alam
Daerah persebaran bencana alamDaerah persebaran bencana alam
Daerah persebaran bencana alam
 
PERAN SERTA DALAM PENANGGULANGAN BENCANA ALAM ( PLH )
PERAN SERTA DALAM PENANGGULANGAN BENCANA ALAM ( PLH )PERAN SERTA DALAM PENANGGULANGAN BENCANA ALAM ( PLH )
PERAN SERTA DALAM PENANGGULANGAN BENCANA ALAM ( PLH )
 
Masswasting Geografi Kelas X
Masswasting Geografi Kelas XMasswasting Geografi Kelas X
Masswasting Geografi Kelas X
 
Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan BencanaUndang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
 
Bab 4-persediaan
Bab 4-persediaanBab 4-persediaan
Bab 4-persediaan
 
Metode penanganan kelongsoran dalam menjaga infrastruktur yang telah ada
Metode penanganan kelongsoran dalam menjaga infrastruktur yang telah adaMetode penanganan kelongsoran dalam menjaga infrastruktur yang telah ada
Metode penanganan kelongsoran dalam menjaga infrastruktur yang telah ada
 
Graficas predicciones fenix_valor.29
Graficas predicciones fenix_valor.29Graficas predicciones fenix_valor.29
Graficas predicciones fenix_valor.29
 
Leadville Presentation
Leadville PresentationLeadville Presentation
Leadville Presentation
 
Ingles
InglesIngles
Ingles
 
activity in fifth grade
activity in fifth gradeactivity in fifth grade
activity in fifth grade
 
132054419 soal-cpns-pemkab-free
132054419 soal-cpns-pemkab-free132054419 soal-cpns-pemkab-free
132054419 soal-cpns-pemkab-free
 
Florida ds
Florida dsFlorida ds
Florida ds
 
Legenda o lewinie
Legenda o lewinieLegenda o lewinie
Legenda o lewinie
 
Confecciones castro1
Confecciones castro1Confecciones castro1
Confecciones castro1
 
Juniper Wi-Fi
Juniper Wi-FiJuniper Wi-Fi
Juniper Wi-Fi
 
DE LA FORMACIÓN DE USUARIOS A LA ALFABETIZACIÓN INFORMACIONAL / ESTUDIO DE US...
DE LA FORMACIÓN DE USUARIOS A LA ALFABETIZACIÓN INFORMACIONAL / ESTUDIO DE US...DE LA FORMACIÓN DE USUARIOS A LA ALFABETIZACIÓN INFORMACIONAL / ESTUDIO DE US...
DE LA FORMACIÓN DE USUARIOS A LA ALFABETIZACIÓN INFORMACIONAL / ESTUDIO DE US...
 
Certific@2
Certific@2Certific@2
Certific@2
 
Compilation of graphs
Compilation of graphsCompilation of graphs
Compilation of graphs
 

Similaire à Identifikasi Ancaman Bencana

Makalah banjir
Makalah banjirMakalah banjir
Makalah banjirFherdyan
 
1. PENGANTAR KEPERAWATAN BENCANA.pptx
1. PENGANTAR KEPERAWATAN BENCANA.pptx1. PENGANTAR KEPERAWATAN BENCANA.pptx
1. PENGANTAR KEPERAWATAN BENCANA.pptxPuskesmasmusuk1
 
MAKALAH EPID BENCANA ALAM (tugas kuliah unived rae ).docx
MAKALAH EPID BENCANA ALAM (tugas kuliah unived rae ).docxMAKALAH EPID BENCANA ALAM (tugas kuliah unived rae ).docx
MAKALAH EPID BENCANA ALAM (tugas kuliah unived rae ).docxRaeMandoChannel
 
MANAJEMEN_PENANGGULANGAN_BENCANA.ppt
MANAJEMEN_PENANGGULANGAN_BENCANA.pptMANAJEMEN_PENANGGULANGAN_BENCANA.ppt
MANAJEMEN_PENANGGULANGAN_BENCANA.pptDi Prihantony
 
Modul 1 Mengenali Risiko COVID-19
Modul 1 Mengenali Risiko COVID-19Modul 1 Mengenali Risiko COVID-19
Modul 1 Mengenali Risiko COVID-19Ninil Jannah
 
01. KONSEP DASAR MANAJEMEN BENCANA YN (1).pptx
01. KONSEP DASAR MANAJEMEN BENCANA YN (1).pptx01. KONSEP DASAR MANAJEMEN BENCANA YN (1).pptx
01. KONSEP DASAR MANAJEMEN BENCANA YN (1).pptxDonnySetiawan26
 
244871618 makalah-bencana-geologi
244871618 makalah-bencana-geologi244871618 makalah-bencana-geologi
244871618 makalah-bencana-geologiArdisAgustin
 
001. pengantar Bencana.ppt
001. pengantar Bencana.ppt001. pengantar Bencana.ppt
001. pengantar Bencana.pptssuser1a1319
 
Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...
Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...
Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...Luhur Moekti Prayogo
 
Makalah Bencana Tsunami NAD serta Dampak Pasca-tsunami bagi Kesehatan Lingkungan
Makalah Bencana Tsunami NAD serta Dampak Pasca-tsunami bagi Kesehatan LingkunganMakalah Bencana Tsunami NAD serta Dampak Pasca-tsunami bagi Kesehatan Lingkungan
Makalah Bencana Tsunami NAD serta Dampak Pasca-tsunami bagi Kesehatan LingkunganN Kurniawaty
 
Bab 1 tugas nad
Bab 1 tugas nadBab 1 tugas nad
Bab 1 tugas nadDheeaHmz
 
Kesehatan Lingkungan Bencana
Kesehatan Lingkungan BencanaKesehatan Lingkungan Bencana
Kesehatan Lingkungan BencanaMuhammad Arafat
 
PPT bencana alam & mitigasi bencana.pptx
PPT bencana alam & mitigasi bencana.pptxPPT bencana alam & mitigasi bencana.pptx
PPT bencana alam & mitigasi bencana.pptxNenoSUPRIADI2
 
BENCANA for handouts.pdf
BENCANA for handouts.pdfBENCANA for handouts.pdf
BENCANA for handouts.pdfSridaniGdrive
 

Similaire à Identifikasi Ancaman Bencana (20)

Makalah banjir
Makalah banjirMakalah banjir
Makalah banjir
 
Definisi bencana
Definisi bencanaDefinisi bencana
Definisi bencana
 
Definisi bencana
Definisi bencanaDefinisi bencana
Definisi bencana
 
1. PENGANTAR KEPERAWATAN BENCANA.pptx
1. PENGANTAR KEPERAWATAN BENCANA.pptx1. PENGANTAR KEPERAWATAN BENCANA.pptx
1. PENGANTAR KEPERAWATAN BENCANA.pptx
 
PPT KELOMPOK 1 (1).pptx
PPT KELOMPOK 1 (1).pptxPPT KELOMPOK 1 (1).pptx
PPT KELOMPOK 1 (1).pptx
 
MAKALAH EPID BENCANA ALAM (tugas kuliah unived rae ).docx
MAKALAH EPID BENCANA ALAM (tugas kuliah unived rae ).docxMAKALAH EPID BENCANA ALAM (tugas kuliah unived rae ).docx
MAKALAH EPID BENCANA ALAM (tugas kuliah unived rae ).docx
 
MITIGASI BENCANA.pptx
MITIGASI BENCANA.pptxMITIGASI BENCANA.pptx
MITIGASI BENCANA.pptx
 
MANAJEMEN_PENANGGULANGAN_BENCANA.ppt
MANAJEMEN_PENANGGULANGAN_BENCANA.pptMANAJEMEN_PENANGGULANGAN_BENCANA.ppt
MANAJEMEN_PENANGGULANGAN_BENCANA.ppt
 
Modul 1 Mengenali Risiko COVID-19
Modul 1 Mengenali Risiko COVID-19Modul 1 Mengenali Risiko COVID-19
Modul 1 Mengenali Risiko COVID-19
 
01. KONSEP DASAR MANAJEMEN BENCANA YN (1).pptx
01. KONSEP DASAR MANAJEMEN BENCANA YN (1).pptx01. KONSEP DASAR MANAJEMEN BENCANA YN (1).pptx
01. KONSEP DASAR MANAJEMEN BENCANA YN (1).pptx
 
244871618 makalah-bencana-geologi
244871618 makalah-bencana-geologi244871618 makalah-bencana-geologi
244871618 makalah-bencana-geologi
 
001. pengantar Bencana.ppt
001. pengantar Bencana.ppt001. pengantar Bencana.ppt
001. pengantar Bencana.ppt
 
Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...
Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...
Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...
 
Makalah Bencana Tsunami NAD serta Dampak Pasca-tsunami bagi Kesehatan Lingkungan
Makalah Bencana Tsunami NAD serta Dampak Pasca-tsunami bagi Kesehatan LingkunganMakalah Bencana Tsunami NAD serta Dampak Pasca-tsunami bagi Kesehatan Lingkungan
Makalah Bencana Tsunami NAD serta Dampak Pasca-tsunami bagi Kesehatan Lingkungan
 
Bab 1 tugas nad
Bab 1 tugas nadBab 1 tugas nad
Bab 1 tugas nad
 
Kesehatan Lingkungan Bencana
Kesehatan Lingkungan BencanaKesehatan Lingkungan Bencana
Kesehatan Lingkungan Bencana
 
Mitigasi Bencana..pptx
Mitigasi Bencana..pptxMitigasi Bencana..pptx
Mitigasi Bencana..pptx
 
PPT bencana alam & mitigasi bencana.pptx
PPT bencana alam & mitigasi bencana.pptxPPT bencana alam & mitigasi bencana.pptx
PPT bencana alam & mitigasi bencana.pptx
 
BENCANA for handouts.pdf
BENCANA for handouts.pdfBENCANA for handouts.pdf
BENCANA for handouts.pdf
 
Nj kapita selekta pb
Nj kapita selekta pbNj kapita selekta pb
Nj kapita selekta pb
 

Plus de Yoga Hepta Gumilar

Plus de Yoga Hepta Gumilar (6)

Laporan krl
Laporan krlLaporan krl
Laporan krl
 
Storyboard
StoryboardStoryboard
Storyboard
 
Siklus hidrologi
Siklus hidrologiSiklus hidrologi
Siklus hidrologi
 
Makalah survei puslitbang tekmira
Makalah survei puslitbang tekmiraMakalah survei puslitbang tekmira
Makalah survei puslitbang tekmira
 
Laporan Pengindraan Jauh
Laporan Pengindraan JauhLaporan Pengindraan Jauh
Laporan Pengindraan Jauh
 
Media Pembelajaran Infiltrasi
Media Pembelajaran InfiltrasiMedia Pembelajaran Infiltrasi
Media Pembelajaran Infiltrasi
 

Dernier

POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMPPOWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMPAnaNoorAfdilla
 
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptMateri power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptAcemediadotkoM1
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...Kanaidi ken
 
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup BangsaDinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup BangsaEzraCalva
 
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSKisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSyudi_alfian
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxFuzaAnggriana
 
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 TesalonikaMateri Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 TesalonikaSABDA
 
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiEdukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiIntanHanifah4
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdfShintaNovianti1
 
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuCatatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuHANHAN164733
 
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptxMATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptxrofikpriyanto2
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisNazla aulia
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdftsaniasalftn18
 
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptxTopik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptxsyafnasir
 
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdfsandi625870
 
Konflik, Kekerasan, dan Perdamaian Bagian 1.pptx
Konflik, Kekerasan, dan Perdamaian Bagian 1.pptxKonflik, Kekerasan, dan Perdamaian Bagian 1.pptx
Konflik, Kekerasan, dan Perdamaian Bagian 1.pptxintansidauruk2
 
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.aechacha366
 
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...MarwanAnugrah
 
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxmtsmampunbarub4
 
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaModul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaAbdiera
 

Dernier (20)

POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMPPOWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
 
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptMateri power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
 
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup BangsaDinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
 
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSKisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
 
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 TesalonikaMateri Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
 
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiEdukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
 
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuCatatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
 
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptxMATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
 
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptxTopik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
 
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
1.2.a.6 Dekon modul 1.2. DINI FITRIANI.pdf
 
Konflik, Kekerasan, dan Perdamaian Bagian 1.pptx
Konflik, Kekerasan, dan Perdamaian Bagian 1.pptxKonflik, Kekerasan, dan Perdamaian Bagian 1.pptx
Konflik, Kekerasan, dan Perdamaian Bagian 1.pptx
 
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
 
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
 
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
 
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaModul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
 

Identifikasi Ancaman Bencana

  • 1. LAPORAN PRAKTIKUM MITIGASI BENCANA IDENTIFIKASI ANCAMAN BAHAYA BENCANA DAN UPAYA MITIGASI BENCANA DESA BANTARUJEG, KECAMATAN BANTARUJEG, KABUPATEN MAJALENGKA DAN LOKASI PEMBANGUNAN WADUK JATIGEDE Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Mitigasi Bencana Disusun Oleh: ADIYAT FIKRIZAL (1003242) PAMUNGKAS ADHI MUNAJAR (1000920) AJI MUHAMMAD S. (1000931) DINI NURAFTIANI (1001670) GANI INDRA SAMUDRA (1005788) IKBAL SAEFUL AZIS (1005616) M. FAJAR ISNIAWANSYAH (1001776) SUYANTO (1006644) YEGI PERULAMA D. (1001436) YOGA HEPTA GUMILAR (1002055) JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
  • 2. UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2012 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut UU No. 24 Tahun 2007 menyatakan bahwa bencaana adalah suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana bisa terjadi kapanpun dan dimanapaun bahkan tanpa prediksi sebelumnya, terjadinya suatu bencana dapat disebabkan oleh faktor alam maupun faktor non alam yang dapat mengakibatkan jatuhnya korban dan diiringi dengan adanya kerugian. Dampak dari terjadinya suatu bencana sangatlah merugikan bagi kelangsungan hidup masyarakat, oleh karena itu diperlukan suatu upaya untuk mengurangi atau meminimalisir kerugian yang ditimbulkan dari suatu bencana, yaitu dengan melakukan atau mempersiapkan suatu bentuk pencegahan atau mitigasi bencana. Mitigasi bencana itu sendiri adalah suatu upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana, baik secara fisik struktural melalui pembuatan bangunan-bangunan fisik, maufun non fisik-struktural melalui perundang-undangan dan pelatihan. Mitigasi bencana pada prinsipnya harus dilakukan untuk segala jenis bencana, baik yang termasuk ke dalam bencana alam (natural disaster) maupun bencana sebagai akibat dari perbuatan manusia (man-made disaster). Seperti halnya dengan Desa Bantarujeg yang berada di Kecamatan Bantarujeg lebih tepatnya lagi di Kabupaten Majalengka, dimana di Desa Bantarujeg apabila dilihat dari keadaan tofografinya yang berupa dataran
  • 3. rendah dan berbukit dengan sifat tanah yang mudah lepas, dimana daerah tersebut termasuk kepada daerah yang rawan bencana atau berpotensi untuk terjadinya suatu bencana, terutama bencana longsor dan banjir. Kondisi yang terjadi di Bantarujeg hampir sama dengan yang terjadi di daerah pembangunan Bendungan Jatigede di Kabupaten Sumedang, dimanadalam proses pembuatan bendungan Jatigede berlokasi pada aliran DAS Ci Manuk yang tergolong sangat kritis dan kondisi fisik terutama berlokasi batuan lempung serpih serta berdekatan dengan sesar sehingga bendungan Jatigede sangat berpotensi untuk terjadinya suatu bencana, bisa itu tanah longsor, gempa, bahkan banjir. Untuk mengurangi atau meminimalisir suatu dampak yang dapat ditimbulkan dari bencana yang kemungkinan bisa terjadi, maka diperlukan suatu bentuk penggulangan bencan seperti mitigasi bencana. Bentuk penganggulangan bencana dapat dilakukan terhadap sektor struktural maupun sektor non struktural agar dampak yang disebabkan oleh bencana tersebut tidak menimbulkan korban jiwa dan tidak menimbulkan kerugian dan kerusakan terhadap kelangsungan hidup masyarakat. Berdasarkan karakteristik wilayah pada kedua lokasi pengamatan yaitu di Desa Bantrujeg dan lokasi pembangunan waduk Jatigede yang berpotensi besar dalam ancaman bahaya bencana. Oleh karena itu, kami memilih kedua lokasi tersebut menjadi lokasi pengamatan dengan judul “Identifikasi Ancaman Bahaya Bencana dan Upaya Mitigasi Bencana di Desa Bantarujeg dan Lokasi Pembangunan Waduk Jatigede”. B. Rumusan Masalah Adapun permasalahan yang ingin dipecahkan dalam kegiatan penelitian Mitigasi Bencana kali ini antara lain : 1. Bagaimana kondisi fisik dan sosial yang ada di Desa Bantarujeg serta yang berada di wilayah bendungan Jatigede ? 2. Bencana apa yang sangat berpotensi terjadi di Desa Bantarujeg serta di wilayah bendungan Jatigede ?
  • 4. 3. Upaya atau bentuk mitigasi apa yang sudah dan telah dipersiapkan oleh warga dan pemerintah dalam menaggulangi bencana ? C. Tujuan Penelitian Meninjau dari permasalahan yang telah dipaparkan diatas maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui seperti apa kondisi fisik dan sosial diwilayah tersebut 2. Untuk mengetahui jenis bencana apa yang sangat berpotensi terjadi di wilayah tersebut 3. Untuk mengetahui upaya mitigasi apa yang sudah dipersiapkan dalam menanggualngi suatu bencana D. Manfaat Penelitian Dengan diadakannya penelitian lapangan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya serta bagi pembaca pada umumnya, manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini antara lain: 1. Memberikan informasi tentang keadaan fisik maupun sosial di Desa Bantarujeg serta di kawasan bendungan Jadigede 2. Memberikan informasi mengenai bencana yang sangat berpotensi terjadi di Desa Bantarujeg serta di kawasan bendungan Jatigede 3. Memberikan informasi mengenai upaya MITIGASI dalam menanggulangi suatu bencana
  • 5. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bencana 1. Pengertian Bencana Secara umum pengertian bencana adalah suatu kejadian tiba-tiba atau musibah yang besar yang mengganggu susunan dasar dan fungsi normal dari suatu masyarakat atau komunitas Menurut UU No. 24 Tahun 2007 menyatakan bahwa bencna adalah suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Menurut Coburn, A. W. dkk. 1994. Di dalam UNDP mengemukakan bahwa : Bencana adalah Satu kejadian atau serangkaian kejadian yang memberi meningkatkan jumlah korban dan atau kerusakan, kerugian harta benda, infrastruktur, pelayanan-
  • 6. pelayanan penting atau sarana kehidupan pada satu skala yang berada di luar kapasitas norma. Pada dasarnya bencana terbagi menajdi tiga jenis yaitu bencana yang disebabkan oleh alam seperti gunung meletus, banjir dan gempa bumi. Adapun bencana yang timbul akibat ulah manusia seperti gagal teknologi, kecelakaan lalulintas, maupun wabah penyakit. Menurut Heru Sri Haryanto (2001:35) Berpendapat bahwa karakteristik bencana mempunyai pengertian sebagai berikut : 1. Gangguan terhadap kehidupan normal, yang biasanya merupakan gangguan cukup besar, mendadak dan terkirakan terjadinya, serta meliputi daerah dengan jangkauan luas. 2. Bersifat merugikan manusia, seperti kehilangan jiwa, luka di badan, kesengsaraan, gangguan kesehatan, serta kehilangan harta benda. 3. Mempengaruhi struktur sosial masyarakat, seperti kerusakan sistem pemerintahan, gedung atau bangunan, sarana komunikasi, dan pekayanan masyarakat. Dari beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa bencana adalah Peristiwa atau rangkaian peristiwa secara tiba-tiba yang disebabkan oleh alam, manusia, dan atau keduanya yang mengaibatkan korban, kerusakan fasilitas akan merusak kehidupan normal masyarakat dalam skala wilayah tertentu. 2. Bencana Alam Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunug meletus, banjir, kekeringan, dan tanah longsor. Sebenarnya gejala alam merupakan gejala yang sangat alamiah dan biasa terjadi pada bumi. Namun, hanya ketika gejala alam tersebut melanda manusia (nyawa) dan segala produk budidayanya
  • 7. (kepemilikan, harta dan benda), kita baru dapat menyebutnya sebagai bencana. Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka. Bencana alam dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis berdasarkan penyebabnya bencana, yaitu : 1. Bencana alam geologis Bencana alam ini disebabkan oleh gaya-gaya yang berasal dari dalam bumi (gaya endogen). Yang termasuk dalam bencana alam geologis adalah gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami. 2. Bencana alam klimatologi Bencana alam klimatologis merupakan bencana alam yang disebabkan oleh faktor angin dan hujan. Contoh bencana alam klimatologis adalah banjir, badai, banjir bandang, angin puting beliung, kekeringan, dan kebakaran alami hutan (bukan oleh manusia). Gerakan tanah (longsor) termasuk juga bencana alam, walaupun pemicu utamanya adalah faktor klimatologis (hujan), tetapi gejala awalnya dimulai dari kondisi geologis (jenis dan karakteristik tanah serta batuan dan sebagainya) 3. Bencana alam ekstra-terestrial Bencana alam Ekstra-Terestrial adalah bencana alam yang terjadi di luar angkasa, contoh : hantaman/impact meteor. Bila hantaman benda-benda langit mengenai permukaan bumi maka akan menimbulkan bencana alam yang dahsyat bagi penduduk bumi. Proses-proses geologi endogen maupun eksogen dapat menimbulkan bahaya bagi aktivitas kehidupan manusia. Bencana
  • 8. yang ditimbulkan akibat proses-proses gelologi tersebut disebut dengan bencana geologi. i. Gempa Bumi Gempa bumi adalah bencana alam yang berupa suatu getaran yang diakibatkan oleh pergerakan atau tumbukan lempeng tektonik, patahan aktif, aktivitas gunung api, dan runtuhan batuan. Teori yang diterima yang menjelaskan tentang mekanisme terjadinya gempa bumi adalah pergeseran sesar dan teori kekenyalan elastis (elastic rebound theory) dari H.F Rheid tahun 1906. Teori ini menyatakan jika permukaan bidang sesar saling bergesekan, batuan akan mengalami perubahan wujud jika perubahan tersebut melampaui batas elastisitas, maka batuan akan patah dan akan kembali ke bentuk asalnya. Gempa bumi dapat terjadi dimana saja, namun 80 % bumi yang sering terkena gempa bumi adalah daerah sirkum pasifik yang meliputi Chile, Alaska, Jepang, Filipina, Selandia Baru, Indonesia, dan beberapa pulau tertentu di Kepualuan Pasifik. Sirkum pasifik sering disebut Ring of Fire yaitu zona sebaran gunung api dan gempa bumi yang mengelilingi samudera Pasifik dan membentuk seperti tapal kuda sepanjang 40.000 km. Selain itu, daerah lain yang sering terkena gempa bumi adalah daerah mediteranian dan transasiatik yang meliputi Daerah Karibia, Himalaya, Alpen, Spanyol, Italia, Yunani, dan India Utara. Berdasarkan pada penyebabnya, gempa bumi dibagi menjadi tiga kalsifikasi, yaitu : Gempa bumi vulkanik, yaitu gempa bumi yang diakibatkan oleh aktivitas gunung berapi, pada umumnya gempa ini berkekuatan kecil yaitu sekitar dibawah 2 skala ritcher ; Gempa bumi runtuhan, yaitu gempa bumi yang diakibatkan oleh runtuhnya batuan terutama terjadi pada daerah karst karena adanya stalagtit yang jatuh dalam gua. Kekuatan gempa ini berkisar antara 2 – 3 skala ritcher ;
  • 9. Gempa bumi tektonik, yaitu gempa bumi yang diakibatkan oleh aktivitas tektonik terutama pada zona-zona subduksi dan patahan yang menyebarkan getaran ke segala arah. Kekuatan gempa tersebut dapat mencapai angka 9 skala ritcher. Tingkat kerusakan yang terasa pada lokasi terjadinya gempa bumi disebut intensitas gempa bumi. Tingkat kerusakan tersebut ditentukan dengan menilai kerusakan yang dihasilkan dan pengaruhnya terhadap benda, bangunan, tanah, dan pada aktivitas manusia. Parameter yang digunakan untuk mengetahui tingkat kerusakan tersebut adalah MMI (Modified Mercalli Intensity) dengan kisaran angka mulai dari I – XII. Sedangkan parameter gempa yang diukur berdasarkan yang terjadi di daerah tertentu akibat goncangan pada sumbernya disebut magnituda. Satuan yang digunakan adalah skala ritcher. Gambar 2.1Ring of Fire Tabel 2.1Hubungan Kekuatan Gempa Bumi dan Frekuensi Terjadinya
  • 10. ii. Letusan Gunung Api Gunung berapi terbentuk karena adanya gerakan magma sebagai arus konveksi yang menyebabkan bergeraknya kerak bumi. Dalam teori tektonik lempeng, gerakan kerak bumi tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu : Gerakan saling menjauh (divergent) yang menyebabkan terjadinya pemekaran kerak, magam keluar melalui rekahan tersebut dan membentuk gunung berapi ditengah samudera yang disebut mid- ocean ridge ; Gerakan saling bertumbukan (convergent), yaitu pergerakan kerak bumi yang saling menumbuk, kerak samudera menumbuk dan kerak samudera menujam ke bawah, dan membentuk zona subduksi dimana terjadi peleburan batuan. Magma bergerak dan menerobos sehingga membentuk busur gunung berapi tepi benua (volcanic arc) ; Gerakan saling bergeser sejajar berlawanan arah (transform) antar kerak yang menyebabkan timbulnya rekahan dan sesar mendatar.
  • 11. Gambar 2.2 Pergerakan Kerak Bumi Gambar 2.3 Sebaran Gunung Api Di Indonesia Letusan gunung berapi yang material gunung api yang berupa gas, debu, aliran lava, fragmen batuan disebut erupsi. Erupsi dapat diklasifikasikan berdasarkan asal tempat keluarnya: Erupsi pusat, erupsi keluar melalui kawah utama ;
  • 12. Erupsi samping, erupsi keluar dari lereng tubuh gunung api ; Erupsi celah, erupsi yang keluar dari retakan yang panjang dapat mencapai hingga beberapa kilometer ; Erupsi eksentrik, erupsi yang keluar dari samping dapur magma melalui kepundan tersendiri. Material letusan gunung api terdiri dari : Aliran lava, yaitu magma yang keluar dan mengalir ke permukaan ; Aliran piroklastik, yaitu berupa gas panas yang dapat mencapai suhu diatas 1000°C, abu vulkanik,dan batuan yang bergerak dengan cepat dengan kecepatan hingga 700 km/jam ; Lahar, yaitu berupa batuan, pasir, kerikil yang tercampur air ; Debris avalanches (volcanic landslide), longsoran dan runtuhan fragmen batuan dari kawah berukuran kecil hingga besar yang jatuh melalui lereng gunung api ; Tefra (tephra), yaitu fragmen batuan yang dilemparkan ke udara saat terjadi letusan ; Gas vulkanik, berupa gas yang dilepaskan saat gunung meletus (uap air, CO2, SO2, HCL, H2S, HF, CO, H2, NH3, CH4, dan SiF4) ; Abu gunung api Aktivitas gunung berapi dibagi dapat tiga kelompok, yaitu : Aktif, gunung api yang mempunyai aktivitas letusan menerus dan berkala ; Diam/istirahat/tidur (dormant), gunung api yang saat ini tidak aktif namun tercatat bahwa gunung api tersebut pernah mengalami erupsi ; Tidak aktif, gunung api yang tidak tercatat pernah erupsi atau tidaknya.
  • 13. Gambar 2.4 Awan Panas Gambar 2.5 Aliran Lava Gambar 2.6 Lahar iii. Tsunami
  • 14. Tsunami adalah rangakian gelombang laut yang menjalar dengan kecepatan hingga lebih dari 800 km/jam dengan tinggi gelombangdapat mencapai 70 meter. Kecepatan gelombang tsunami tergantung daripada kedalaman laut. Terjadinya tsunami diakibatkan oleh letusan gunung api di dasar laut, longsor di dasar laut, jatuhnya meteorit di laut. Pada awal terjadi tsunami, gempa atau runtuhan menyebabkan bergeraknya dasar samudera (tsunami akibat meteorit sangat jarang terjadi), kemudian terjadi pemusatan arus pada blok yang jatuh sehingga terjadi arus balik menuju pantai dengan kekuatan arus yang lebih besar dari sebelumnya. Gambar 2.7 Tsunami
  • 15. Gambar 2.8 Proses Terjadinya Tsunami iv. Gerakan Massa Tanah atau Batuan Mass movement atau mass wasting adalah gerakan masa batuan atau tanah yang ada di lereng karena pengaruh gaya gravitasi. Gerakan masa batuan bisa terjadi jika shear stress atau gaya menarik massa lebih besar dari shear strength atau gaya menahan tarikan tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan massa batuan yaitu : Curah hujan Kandungan air dalam batuan Vegetasi Kemiringan lereng Relief Ketebalan hancuran batuan/debris di atas batuan dasar Orientasi bidang lemah dalam batuan Gempa bumi Tambahan material di bagian atas lereng
  • 16. a. Gerakan Massa Batuan Berdasarkan Cara bergeraknya 1) Mengalir (flow) Bentuk mengalir akan terjadi apabila materi batuan mengalir menuruni lereng sebagai materi yang agak cair. 2) Meluncur (slip) Bentuk meluncur akan terjasi apabila massa batuan yang menuruni lereng rlatif koheren. Ada dua macam slip yaitu slide dan slump. Disebut slide apabila meluncur pada bidang yang kurang lebih sejajar dengan permukaan, dan disebut slump bila meluncur pada bidang yang melengkung. 3) Jatuh bebas (fall) Terjadi bila massa batuan jatuh bebas dari suatu tebing terjal. Gambar 2.9Flow Gambar 2.10Slide Gambar 2.11Slump Gambar 2.12Fall b. Gerakan Massa Batuan Berdasarkan Kecepatannya 1) Soil creep (rayapan tanah) Adalah gerakan tanah secara perlahan-lahan menuruni lereng karena gaya tarik bumi. Gerakannya sangat pelan sehingga
  • 17. sulit untuk diamati, tetapi butuh pengamatan khusus yaitu dari gejala-gejala yang ditimbulkan seperti pohon-pohon dan tiang-tiang yang condong sesuai arah gerakan tanah. 2) Talus Creep (rayapan puing-puing) Adalah gerakan puing-puing hasil pelapukan yang tertimbun di suatu lereng yang disebabkan gravitasi bumi. 3) Earth Flow Adalah aliran massa batuan yang jenuh air menuruni lereng. Memiliki kecepatan yang bervariasi, ada yang cepat dan ada yang lambat 4) Solifluction dan Permafrost Solifluction adalah hancuran batuan yang mengalir karena jenuh air yang berada di atas batuan kedap air. Sedangkan batuan kedap air yang ada di bawah hansuran batuan yang jenuh air dapat berupa permafrost. 5) Mud Flow Adalah aliran hancuran batuan halus yang bercampur dengan air melalui lembah-lembah. Biasanya kandungan air banyak sehingga gerakan massa sangat cepat. 6) Rock Slide Adalah gerakan batuan yang meluncur diatas suatu bidang lapisan atau bidang retakan yang miring. 7) Rock Fall Adalah gerak bebas jatuhan bongkahan batuan pada tebing yang terjal. Biasanya terjadi pada daerah dimana bagian bawah tebing telah tergali, baik oleh abrasi maupun oleh kegiatan manusia.
  • 18. Gambar 2.13 Rayapan Tanah Gambar 2.14 Mud Flow 3. Bencana Non Alam Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, kecelakaan lalulintas, maupun wabah penyakit. Bencana non alam termasuk bencana yang harus diperhitungkan, karena bencana non alam jugadapat menyebabkan kerugian bahkan dapat menimbulkan korban jiwa. Mitigasi sangat diperlukan juga dalam menanggulangi bencana non alam, agar dampak dari bencana tersebut dapat terminimalisir. B. Mitigasi Bencana 1. Pengertian Mitigasi Bencana Mitigasi atau mitigation merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana, baik secara fisik-struktural melalui pembuatan bangunan-bangunan fisik, maupun non fisik- struktural melalui perundang-undangan dan penelitian. Mitigasi pada prinsipnya harus dilakukan untuk segala jenis bencana, baik yang termasuk ke dalam bencana alam maupun bencana non alam yang lebih tepatnya yaitu bencana yang diakibatkan oleh perbuatan manusia. Mitigasi pada umumnya dilakukan dalam rangka mengurangi kerugian akibat kemungkinan terjadinya bencana, baik itu korban jiwa dan/atau kerugian harta benda yang akan berpengaruh pada kehidupan dan kegiatan manusia. Untuk mendefenisikan rencana atau srategi mitigasi yang tepat dan akurat, perlu dilakukan kajian resiko (risk assessmemnt). Kegiatan mitigasi bencana hendaknya merupakan
  • 19. kegiatan yang rutin dan berkelanjutan (sustainable). Hal ini berarti bahwa kegiatan mitigasi seharusnya sudah dilakukan dalam periode jauh-jauh hari sebelum kegiatan bencana, yang seringkali datang lebih cepat dari waktu-waktu yang diperkirakan, dan bahkan memiliki intensitas yang lebih besar dari yang diperkirakan semula. 2. Jenis Mitigasi Secara umum mitigasi dapat dikelompokkan ke dalam mitigasi struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural berhubungan dengan usaha-usaha pembangunan konstruksi fisik, sementara mitigasi non struktural antara lain meliputi perencanaan tata guna lahan disesuaikan dengan kerentanan wilayahnya dan memberlakukan peraturan (law enforcement) pembangunan. Dalam kaitan itu pula, kebijakan nasional harus lebih memberikan keleluasan secara substansial kepada daerah-daerah untuk mengembangkan sistem mitigasi bencana yang dianggap paling tepat dan paling efektif-efisien untuk daerahnya.  Mitigasi Struktural Mitigsasi struktural merupakan suatu upaya untuk meminimalisir dampak dari suatu bencana, dengan cara melakukan pembangunan berbagai aspek saran-prasarana fisik dengan menggunakan pendekatan teknologi, seperti pembuatan kanal khusus untuk pencegahan banjir, membuat alat pendeteksi aktivitas gunung berapi, bangunan yang bersifat tahan gempa, ataupun membuat Early Warning System yang digunakan untuk memprediksi terjadinya gelombang tsunami. Mitigasi struktural bisa disebut juga sebagai suatu rekayasa teknis bangunan yang tahan terhadap bencana. Bangunan tahan bencana adalah bangunan dengan struktur yang direncanakan sedemikian rupa sehingga bangunan tersebut mampu bertahan atau mengalami kerusakan yang tidak membahayakan apabila bencana yang bersangkutan terjadi. Rekayasa teknis adalah prosedur perancangan
  • 20. struktur bangunan yang telah memperhitungkan karakteristik aksi dari bencana. Rangkaian dari mitigasi struktural : a. Pemilihan lokasi yang tepat untuk dijadikan bangunan b. Penilaian gaya yang diakibatkan fenomena alam seperti gempa bumi, badai dan banjir c. Perencanaan dan analisis bangunan yang disesuaikan dengan gaya fenomena alam d. Perencanaan bangunan yang sesuai kondisi lokal e. Material bahan bangunan yang sesuai dengan kontruksi bangunan f. Tidak membangun pada daerah yang rawan bencana seperti longsor, banjir, gempa bumi tsunami dan rawan terhadap letusan gunungapi.  Mitigasi Non-Struktural Mitigasi non-struktural adalah upaya mengurangi dampak bencana yang lebih menekankan kepada pembuatan kebijakan seperti pembuatan suatu peraturan dalam menanggulangi suatu bencana. Undang-Undang Penanggulangan Bencana (UU PB) adalah upaya non-struktural di bidang kebijakan dari mitigasi ini. Contoh lainnya adalah pembuatan tata ruang kota, capacity building masyarakat, bahkan sampai menghidupkan berbagaia aktivitas lain yang berguna bagi penguatan kapasitas masyarakat, juga bagian ari mitigasi ini. Kebijakan non struktural meliputi legislasi, perencanaan wilayah, dan asuransi. Kebijakan non struktural lebih berkaitan dengan kebijakan yang bertujuan untuk menghindari risiko yang tidak perlu dan merusak. Tentu, sebelum perlu dilakukan identifikasi risiko terlebih dahulu. Penilaian risiko fisik meliputi
  • 21. proses identifikasi dan evaluasi tentang kemungkinan terjadinya bencana dan dampak yang mungkin ditimbulkannya. Kebijakan mitigasi baik yang bersifat struktural maupun yang bersifat non struktural harus saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Pemanfaatan teknologi untuk memprediksi, mengantisipasi dan mengurangi risiko terjadinya suatu bencana harus diimbangi dengan penciptaan dan penegakan perangkat peraturan yang memadai yang didukung oleh rencana tata ruang yang sesuai. Sering terjadinya peristiwa banjir dan tanah longsor pada musim hujan dan kekeringan di beberapa tempat di Indonesia pada musim kemarau sebagian besar diakibatkan oleh lemahnya penegakan hukum dan pemanfaatan tata ruang wilayah yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar. Teknologi yang digunakan untuk memprediksi, mengantisipasi dan mengurangi risiko terjadinya suatu bencana pun harus diusahakan agar tidak mengganggu keseimbangan lingkungan di masa depan. Rangkaian dari mitigasi non struktural: a. Membuat peraturan pemerintah tentang tataguna lahan dan tataguna bangunan b. Dengan intensif memberikan dorongan untuk melakukan mitigasi c. Memberika pelatihan dan pendidikan penanggulangan bencana d. Melakukan sosialisasi untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pengetahuan dan pemahaman bahaya dan kerawanan, partisipasi masyarakat e. Pemberdayaan institusi f. Menyeting sistem peringatan C. Upaya Penanggulangan Bencana Upaya penanggulangan dampak bencana dilakukan melalui pelaksanaan tanggap darurat dan pemulihan kondisi masyarakat di wilayah terjadinya bencana . Upaya penanggulangan dampak bencana tersebut
  • 22. dilakukan secara sistematis, menyeluruh, efisien dalam penggunaan sumberdaya dan efektif dalam memberikan bantuan kepada kelompok korban. Secara garis besar, upaya penanggulangan bencana meliputi : a. Kesiapsiagaan Kesiapsiagaan yaitu suatu sikap siap bagi setiap orang, petugas serta institusi pelayanan untuk melakukan tindakan dan cara-cara menghadapi bencana baik sebelum, sedang, maupun sesudah bencana. Setiap orang maupun institusi harus siap siaga dalam menghadapi suatu dampak dari bencana, dengan mempersiapkan segala upaya penanganan dan meminimalisir dampak yang akan ditimbulkan. b. Rehabilitasi Tahap ini bertujuan mengembalikan dan memulihkan fungsi bangunan dan infrastruktur yang mendesak dilakukan untuk menindaklanjuti tahap tanggap darurat, seperti rehabilitasi bangunan ibadah, bangunan sekolah, infrastruktur sosial dasar, serta prasarana dan sarana perekonomian yang sangat diperlukan. Sasaran utama dari tahap rehabilitasi ini adalah untuk memperbaiki pelayanan publik hingga pada tingkat yang memadai. Dalam tahap rehabilitasi ini, juga diupayakan penyelesaian berbagai permasalahan yang terkait dengan aspek psikologis melalui penanganan trauma korban bencana. c. Rekonstruksi Tahap ini bertujuan membangun kembali kawasan yang sudah terkena dampak bencana dengan melibatkan semua masyarakat, perwakilan lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha. Pembangunan prasarana dan sarana haruslah dimulai dari sejak selesainya penyesuaian tata ruang (apabila diperlukan) di tingkat kabupaten terutama di wilayah rawan bencana. Sasaran utama dari tahap ini adalah terbangunnya kembali daerah yang sudah terkena dampak bencana.
  • 23. D. Perencanaan Tata Guna Lahan Daerah Rawan Bencana Geologi Untuk hidup secara aman dan nyaman selaras dengan perubahan bumi, maka kita harus dapat memahami lingkungan alam dan kecepatan perubahan yang terjadi di bumi serta mampu menyesuaikan diri dari karakteristik perubahan alam tersebut. Berkaitan dengan reaksi manusia terhadap bencana alam yang mungkin terjadi di lingkungan dimana manusia itu tinggal adalah sebabai berikut: 1. Menghindar (Avoidance) Reaksi manusia terhadap potensi bencana alam yang paling banyak adalah dengan cara menghindar, yaitu dengan cara tidak membangun dan menempatkan bangunan ditempat-tempat yang berpotensi terkena bencana alam seperti: banjir, daerah rawan longsor atau daerah rawan gempa. 2. Stabilisasi (Stabilization) Beberapa bencana alam dapat distabilkan dengan cara menerapkan rekayasa keteknikan, seperti misalnya di daerah-daerah yang berlereng dan berpotensi longsor, yaitu dengan cara membuat kemiringan lereng menjadi landai dan stabil serta membuat fondasi bangunan dengan tiang pancang hingga pada lapisan tanah yang stabil. 3. Penetapan Persyaratan Keselamatan Bangunan (provision for safety in structures) Dalam banyak kasus bangunan yang akan didirikan di tempat- tempat yang berpotensi terjadi bencana alam seperti gempa bumi, maka struktur bangunan harus dirancang dengan memperhitungkan keselamatan jiwa manusia, yaitu dengan bangunan yang tahan gempa. Untuk daerah- daerah yang berpotensi terkena banjir, maka bangunan harus dibuat dengan struktur panggung untuk menghindarkan terkena banjir. 4. Pembatasan penggunaan lahan dan jumlah jiwa (Limitation of land- use and occupancy) Jenis peruntukan lahan, seperyi lahan pertanian atau lahan pemukiman dapat dilakukan dengan cara membuat peraturan-peraturan yang berkaitan dengan potensi bencana yang mungkin timbul. Penempatan
  • 24. jumlah jiwa per hektar dapat disesuaikan untuk mengurangi tingkat bencana. 5. Membanguan Sistem Peringatan Dini (Establishment of early warning system) Beberapa bencana alam dapat diprediksi, sehingga memungkinkan tindakan darurat. Banjir, angin puyuh, gelombang laut, serta erupsi gunung api adalah jenis-jenis bencana alam yang dapat diprediksikan. System peringatan dini telah terbukti secara efektif dapat mencegah dan meminimalkan bencana yang akan terjadi disuatu daerah, seperti gelombang laut di daerah-daerah pantai. 2. Perencanaan Tata Guna Daerah Banjir Bencana banjir merupakan bencana yang sering melanda pemukiman penduduk di berbagai wilayah dan kota di dunia. Hal yang sangat menarik dari peristiwa bencana banjir adalah mengapa kebanyakan dari manusia bermukim di wilayah-wilayah yang berpotensi terkena bencana banjir. Berdasarkan sejarah kehidupan manusia di muka bumi, umumnya pemukiman dan perkotaan dibangun di tepi-tepi pantai dan sungai. Hal ini dapat dimengerti karena manusia membutuhkan air untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Permasalahnnya adalah bagaimana cara untuk meminimalkan resiko dan menghindar dari bencana banjir yang sudah terlanjur ada ditempat dimana manusia tinggal. Umumnya, pencegahan fisik untuk semua jenis bencana banjir dilakukan untuk siklus banjir yang terjadi hingga 100 tahunan. Pemilihan mengapa yang diambil adalah untuk siklus banjir 100 tahunan berimplikasi pada tingkat resiko tertentu yang dapat diterima. Terdapat 4 (empat) metoda untuk mengurangi potensi dan dampak fisik dan biaya pada bencana banjir, yaitu: (1) rekayasa keteknikan (2) kebijakan tataguna lahan dan regulasi (3) system peringatan dini (4) asuransi. Dalam perencanaan ttaguna lahan, metoda yang pertama dan kedua merupakan metoda yang menjadi perhatian utama. Metoda pendekatan rekasa keteknikan telah diuraikan pada bab 3 sedangkan pendekatan aturan dan
  • 25. kebijakan dapat dijelaskan sebagai berikut. Dalam kebijakan tataguna lahan dan regulasi maka hal yang terpenting adalah suatu peraturan yang memastikan bahwa masyarakat yang bermukim di wilayah-wilayah rawan bencana banjir tidak menjadi subyek dari bencana yang akan menimpa dan aktivitas masyarakat disetiap tempat tidak tertanggu apabila terjadi banjir. Salah satu pendekatan di dalam pengendalian banjir adalah dengan cara melakukan perencanaan penanggulangan bencana banjir secara komperehensif, seperti misalnya perencanaan yang disesuaikan dengan zona-zona genangan air, dan diikuti dengan pembuatan aturan-aturan yang berhubungan dengan persyaratan kontruksi bangunan yang diijinkan pada setiap zona. Agar dapat efektif maka dalam perencanaan umum harus ada peta dokumen tentang zona-zona genangan air serta frekuensi kejadian banjir,. Informasi semacam ini sangat penting dan diperlukan dalam proses perencanaan tataguna lahan, terutama dalam penetapan peruntukan lahan. Dalam pemanfaatan lahan dapat juga terjadi dan dimungkinkan membangun bangunan didaerah dataran banjir (floodplain area) akan tetapi harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, misalnya kontruksi bangunannya harus berada diatas genangan air atau kontruksi jembatan yang melintasi sungai harus ditingkatkan guna menghindari terpaan arus air ketika terjadi banjir, dan dapat juga bagian dari areal dataran banjir dibiarkan sebagai ruang terbuka atau digunakan sebagai taman atau lapangan olah raga. Dalam persiapan perencanaan, pertimbangan harus diberikan untuk pemanfaatan lahan yang berada bagian hulu yang akan membantu meminimalkan frekuensi terjadinya banjir. Pemanfaatan lahan dan pengguanan aspal dan beton pada lahan harus diminimalkan untuk membantu penyerapan air dan mengurangi run off. Aturan yang berkaita dengan penggunaan lahan dan persyaratan konstruksi di daerah rawan bencana banjir merupakan hal yang umum diterapkan dan merupakan suatu kebijakan pemerintah dalam rangka melindungi masyarakatnya terhadap bahaya bencana banjir. Peraturan yang berkaitan dengan zonasi genangan air untuk larangan membanguan di areal-areal yang tergenang air, aturan tentang jenis-jenis
  • 26. penggunaan lahan yang diperbolehkan merupakan aturan-aturan yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah (pemberian IMB), swasta, maupun masyarakat secara konsisten. Peta zona genangan air sangat berguna baik bagi pemerintah daerah dan kontraktor karena peta ini merupakan rujukan dasar didalam pembuatan aturan-aturan yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur serta struktur bangunan yang harus dipenuhi. Perusahaan asuransi dapat memanfaatkan peta zona genangan air sebagai dasar dalam penilaian bangunan yang akan diasuransikan, khususnya untuk asuransi bencana banjir. Pemerintah bertanggungjawab atas pembuatan aturan-aturan yang berkaitan dengan persyaratan bangunan, seperti konstruksi dan tipe bangunan yang akan dibangun di wilayah banjir, baik untuk banjir yang sifatnya tahunan, 5 tahunan, 10 tahunan, dan seterusnya serta aturan-aturan yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan. Para kontraktor wajib memenuhi aturan-aturan yang telah dibuat dan ditetapkan terhadap persyaratan konstuksi bangunan. Sedangkan bagi perusahaan asuransi peta zona genangan banjir diperlukan guna kepentingan dalam penilaian dan besarnya tanggungan suatu bangunan yang akan diasuransikan, khususnya asuransi kerugian bencana alam (banjir). 3. Perencanaan Tata Guna Daerah Gempa Pada kenyataanya lokasi pemukiman di dunia kebanyakan berada di tempat yang rawan t erhadap bencana gempa bumi. Beberapa contoh dapat kita lihat antara lain adalah Negara jepang yang berada di zona subduksi antara lempeng pasifik dengan asia timur, Indonesia berada pada zona subduksi antara lempeng asia tenggara dengan samudra hindia, dan kota-kota seperti San Fransisco (USA), jayapura (papua) dan liwa (lampung barat, Sumatra) terletak pada zona sesar atau patahan aktif. Pemukiman dan kota-kota yang sudah terlanjur ada di lingkungan yang rawan bencana gempabumi wajib melakukan penataan ulang dalam penggunaan dan perencanaan lahan agar supaya apabila terjadi bencana dapat dihindari dan diminimalkan dampak yang mungkin terjadi.
  • 27. Untuk areal pemukiman yang berada di wilayah rawan gempa, maka respon terhadap perencanaan lahannya juga berbeda. Barangkali bencana yang paling mudah diatasi adalah dampak gempa bumi yang berupa rekahan tanah. Walaupun dalam hal ini terdapat kesulitan karena adanya berbagai factor yang sangat komplek seperti: 1. Interval kejadian yang tidak pasti Karena adanya interval diantara gempa utama disepanjang suatu patahan sehingga tidak berguna untuk data perencanaan. Tidak adanya data membuat hal ini sulit untuk melakukan penyesuaian perencanaan yang spesifik dan pembuatan peraturan yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan di sekitar dan di sepanjang suatu patahan serta mendapat dukungan politik untuk mendukung aturan tersebut. 2. Penetapan lebar zona patahan Di berbagai instansi, data tentang lebar suatu zona patahan dapat berbeda-beda. Tanpa suatu dasar yang pasti maka untuk memprediksi patahan mana yang berikutnya yang akan bergerak/ patah sangat sulit dilakukan, sehingga untuk membuat suatu penyesuaian rencana serta peraturan-peraturan yang berkaitan dengan lahan yang berkaitan dengan lahan yang harus diproteksi sangat sulit. 3. Bangunan yang sudah terlanjur ada Pembangunan yang dilaksanakan ditempat-tempat yang berdekatan dengan zona patahan dan disepanjang jalur patahan akan sulit dilarang dan untuk menyadarkan masyarakat agar tidak melakukan pembanguanan di tempat-tempat tersebut akan menjadi sia-sia, hal ini disebabkan karena pemerintah/ lembaga yang berwenang tidak memiliki data yang memadai dan akurat terhadap kemungkinan bencana yang mungkin terjadi. Berkaitan dengan ketidakpastian dan waktu terjadinya gempa, maka bencana gempa harus diposisikan dalam perhitungan dan pengambilan keputusan yang tepat didasarkan atas data-data yang
  • 28. tersedia. Oleh karena itu untuk bangunan-bangunan, seperti perumahan, rumah sakit, sekolahan dilarang dibangun di zona patahan. Untuk itu diperlukan suatu peraturan yang melarang warga masyarakat membangun bangunan di tempat-tempat yang berada di zona patahan aktif. 4. Perencanaan Tata Guna Daerah Gerakan Massa Tanah atau Batuan Perencanaan tata guna lahan di kawasan rawan gerakan tanah/ longsor lebih sulit dibandingkan dengan perencanaan pada lahan yang rawan longsor disebabkan dua factor yaitu: a. Alongsoran seringkali terjadi dengan jenis yang sangat komplek sehingga memerlukan pemetaan yang lebih rinci guna menentukan batas-batas yang tegas yang akan dipakai dalam perencanaan dan pembuatan laporan. b. Longsoran seringkali memiliki tingkat potensi perpindahan maas tanah/ batuan yang berbeda-beda. Penelitian yang lebih rinci perlu dilakukan untuk mengklasifikasikan tipe-tipe longsoran serta memperkirakan kapan longsoran tersebut akan terjadi. Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut diatas maka diperlukan suatu peta yang disebut dengan peta “Kestabilan Wilayah”. Peta kestabilan wilayah telah dikembangkan untuk membantu paar perencana dalam mengenal lokasi lahan yang tidak stabil (rawan longsor) dan digunakan untuk pertimbangan awal dalam proses perencanaan. Dengan peta kestabilan wilayah, dimungkinkan untuk menyiapkan rencana umum dari pemanfaatan lahan yang sesuai, terutama untuk lahan-lahan yang tidak stabil harus mempertimbangkan resiko yang dapat diterima serta biaya yang harus dikeluarkan guna menstabilkan longsoran atau mencegah instalasi yang ada.
  • 29. BAB III PROSEDUR PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif eksploratif, wawancara serta observasi. Menurut Suryabrata (1983), metode deskriptif eksploratif yaitu sebuah metode dengan tujuan untuk mendapatkan data dasar yang diperlukan sebagai pangkalan untuk penelitian lebih lanjut ataupun sebagai dasar untuk membuat keputusan. Metode wawancara yaitu metode yang dilakukan secara eksplisit untuk mengetahui informasi dari informan untuk mendapatkan data dalam bentuk data kualitatif.Metode wawancara dilakukan untuk lebih memperdalam mengenai informasi yang telah didapatkan melalui metode deskriptif eksploratif, sehingga dengan adanya metode wawancara dapat menambahkan informasi terhadap data yang didapat. Metode yang terakhir yang digunakan yaitu metode observasi dimana metode ini dilakukan untuk mendapatkan data primer dengan cara terjun langsung ke lapangan untuk melakukan penelitian. Melalui metode tersebut penulis akan menggali secara mendalam mengenai kebencanaan yang terjadi di Desa Bantarujeg Kabupaten Majalengka, fenomena longsor, kekeringan, banjir, gerakan tanah, gempa bumi, angin tornado (puyuh) serta fenomena fisik lainnya yang terjadi di lokasi kajian.
  • 30. Selain daripada mengetahui terdapat berbagai macam fenomena fisik yang secara alami terjadi melalui alam tersebut, tidak luput penerapan teknik konservasi pada lahan yang diterapkan masyarakat dan menilai kesesuaian teknik konservasi tersebut dengan karakteristik lahan serta menghubungkan penerapan teknik konservasi tersebut dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. B. Populasi dan Sampel 1. Populasi Sumaatmadja (1988:112) mengatakan bahwa “Keseluruhan gejala, individu, kasus dan masalah yang diteliti, yang ada di daerah penelitian menjadi objek penelitian geografi. Semua kasus, individu dan gejala yang ada di daerah penelitian disebut populasi penelitian atau universe”. Menurut Ridwan (2003:8) “Populasi merupakan objek atau subjek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian”. Populasi penelitian terdiri dari populasi wilayah dan populasi responden. Populasi wilayah adalah seluruh lahan yang telah mengalami longsoran, gempa, banjir, pergerakan tanah, erosi, kekeringan di Desa Bantarujeg Kabupaten Majalengka yang merupakan lahan yang rentan terhadap terjadinya erosi yang tinggi dan populasi responden adalah petani yang mengolah lahan tersebut. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lahan yang berada di Desa Bantarujeg Kabupaten Majalengka yaitu :
  • 31. Tabel 3.1 Penggunaan Lahan Sawah di Desa Bantarujeg No Wilayah Penggunaan Lahan Luas (ha) 1 Desa Bantarujeg Sawah Irigasi Setengah Teknis 65 Sawah Tadah Hujan 154 Jumlah 219 Luas Penggunaan Lahan Sawah (ha) 180 160 140 120 100 80 Luas (ha) 60 40 20 0 Sawah Irigasi Setengah Teknis Sawah Tadah Hujan Gambar 3.1 Grafik Penggunaan Lahan Sawah di Desa Bantarujeg
  • 32. Berdasarkan pada data diatas, populasi wilayah penelitian ini mempunyai luas 3,60 Km2, dengan dominasi penggunaan lahannya berupa sawah dan pemukiman. 2. Sampel Menurut Sumaatmadja (1988 : 112) “Sampel adalah bagian dari populasi (cuplikan contoh) yang mewakili kriteria bagian ini diambil dari keseluruhan sifat atau generalisasi yang ada pada populasi”. Berdasarkan masalah yang akan dibahas, maka dalam menentukan sampel penelitian ini digunakan teknik sampel wilayah (area probality sampling) yaitu teknik sampling yang dilakukan dengan mengambil wakil dari setiap wilayah yang terkena longsor, banjir, erosi, kekeringan, gerakan tanah serta gempa yang terdapat dalam kawasan populasi yang menjadi objek kajian dengan pendekatan satuan lahan yang merupakan hasil tumpangsusun peta kemiringan lereng dengan peta penggunaan lahan dan peta jenis tanah. Jadi satuan lahan yang sama diwakili oleh satu sampel secara acak (random). Sedangkan cara pengambilan sampel mengikuti sampel satuan lahan yang ditentukan dengan teknik aksidental. Kawasan yang rentan terhadap erosi, longsor, banjir di Desa Bantarujeg Kabupaten Majalengka. Sampel wilayah diambil berdasarkan kemiringan lereng sebanyak 4 sampel yang mewakili setiap daerah yang terkena banjir, longsor dan erosi berdasarkan bagian atas, tengah dan bawah. Sampel kedua adalah lokasi pembangunan waduk Jatigede.
  • 33. Satuan lahan yang telah ditentukan dapat dilihat sebarannya pada peta satuan lahan yang disajikan pada gambar 3.1 berikut ini :
  • 34. Gambar 3.2 Peta sampel pengamatan di Desa Bantarujeg
  • 35. Sedangkan untuk sampel respondennya menggunakan teknik pengambilan secara aksidental yaitu semua masyarakat yang ditemui pada saat penelitian dijadikan sampel.Sampling aksidental adalah teknik penentuan sampel berdasarkan faktor spontanitas, artinya siapa saja yang secara tidak sengaja bertemu dengan peneliti dan sesuai dengan karakteristiknya, maka orang tersebut dapat digunakan sebagai sampel (responden)”. C. Variabel Penelitian Menurut Rafi’i (1996 : 46), variable penelitian mengandung pengertian ukuran, sifat, ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok atau suatu yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain. Variabel penelitian dalam judul penelitian ini adalah terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variable bebas dan terikat.Variabel bebas terdiri dari karakteristik lahan dan respon masyarakat, karakteristik lahan meliputi tanah, topografi, erosi dan vegetasi, sedangkan respon masyarakat meliputi kegiatan pertanian dan pemahaman petani tentang lahan kritis. Variabel terikatnya adalah kekritisan lahan yang terbagi menjadi lahan potensial kritis, semi kritis dan lahan kritis, serta faktor dari teknik pertanian yang telah dipakai oleh masyarakat seperti Sistem tanam, pola tanam, jenis tanaman, pemeliharaan tanaman, teknik konservasi yang telah dilaksanakan oleh masyarakat
  • 36. terhadap lahan garapan. Untuk melihat hubungan antara ketiga faktor ini dapat dilihat pada table 3.2 dimana terdapat hubungan antara ketiga variable tersebut.Variabel bebas dapat mempengaruhi variable terikat dan variable bebas dapat berdiri sendiri.Variabel bebas terdiri dari variable fisik yang merupakan parameter tingkat kekritisan lahan, sedang variable terikatnya adalah tingkat kekritisan lahan yang diakibatkan oleh adanya erosi, longsor, pergerakan tanah, kekeringan serta fenomena fisik yang lainnya. Variabel Bebas (X) Variabel terikat (Y) Faktor Petani : Kegiatan Petani Pemahaman petani tentang lahan kritis Karakteristik Lahan Kemiringan lereng Kondisi tanah Teknik Konservasi yang Kondisi geologi dilakukan masyarakat Vegetasi untuk tetap menjaga kelestarian lahan dari kerentanan terhadap bahaya erosi, banjir, Teknik Pertanian longsor, pergerakan tanah dll. Sistem tanam Pola tanam Jenis tanaman Pemeliharaan tanaman Teknik konservasi
  • 37. Gambar 3.3 Varibel penelitian D. Teknik Pengumpulan Data 1. Observasi, yaitu teknik pengamatan secara langsung terhadap gejala, fenomena dan fakta yang ada di daerah penelitian. Alat yang digunakan yaitu pedoman observasi digunakan untuk mengamati karakteristik lahan dan teknik konservasi yang digunakan masyarakat terhadap fenomena alam yang terjadi seperti erosi, longsor, banjir serta lainnya. 2. Wawancara, yaitu peneliti menanyakan langsung kepada responden tanpa perantara di daerah penelitian dengan menggunakan pedoman berstruktur untuk mengamati kondisi masyarakat yang menetap di daerah kawasan rentan terhadap bencana. 3. Studi dokumentasi, yaitu penarikan data dari lembaga-lembaga yang terkait dengan penelitian ini. Teknik ini digunakan untuk melengkapi data yang berkaitan dengan penelitian baik berupa data statistik maupun peta- peta tematik serta foto-foto yang dibutuhkan dari lapangan. 4. Kajian Pustaka, yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan literatur seperti buku, jurnal, internet, dan lain-lain yang berhubungan
  • 38. dengan permasalahan yang sedang diteliti. Kajian pustaka digunakan untuk memperoleh referensi tentang iklim, tanah, geologi, geomorfologi, data kependudukan, luas kawasan longsor, dan lain-lain. E. Alat Pengumpulan Data Untuk memudahkan pengumpulan data maka diperlukan alat dan bahan sebagai berikut : 1. Peta dasar (base map) terdiri dari : a. Peta rupabumi lembar b. Peta rupabumi lembar c. Peta rupabumi lembar d. Peta rupabumi lembar e. Peta Geologi lembar 2. Kompas untuk menentukan lokasi penelitian 3. Klinometer atau busur derajat untukmengukur kemiringan lereng 4. Ceklist lapangan dan pedoman wawancara 5. Kamera digital Cannon 6. Bor tanah 7. Ph Tester 8. Alat tulis 9. Ring sample 10. GPS
  • 39. F. Teknik Analisa Data Data dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kuantitatif dan kualitatif.Teknik analisis kuantitatif digunakan untuk mengelola dan menginterpretasikan data yang berbentuk angka atau yang bersifat sistematis. Jenis analisis yang digunakan dalam penelitian Konservasi dan Rehabilitasi Lahan yang lebih menitikberatkan terhadap fenomena yang terjadi secara alami dan non alami seperti erosi, longsor, banjir, gerakan tanah serta fenomena yang lain yang dapat mengurangi manfaat dari lahan itu sendiri. Analisis yang pertama dilakukan secara kualitatif dimana analisis ini didasarkan terhadap data-data yang telah didapatkan di lapangan sesuai dengan objektifitas dari kajian.Analisis kualitatif dilakukan dengan berdasarkan terhadap data yang di dapat serta wawancara yang telah dilakukan. Analisis yang kedua dilakukan secara kuantitatif yaitu dengan menggunakan rumus USLE. Teknik atau langkah-langkah yang dilakukan penyusun dalam pengolahan data penelitian yang terkumpul adalah sebagai berikut : 1. Memeriksa kembali data yang diperoleh, baik data primer maupun data sekunder, hal ini dilakukan untuk menghindari kekurangan atau kesalahan yang terjadi dalam kajian. 2. Menghitung kemiringan lereng diperoleh dari informasi kontur yang terdapat pada peta rupabumi skala 1 : 25.000, perhitungan berlaku untuk
  • 40. setiap karvak, yang dilakukan pertama kali adalah membuat petak persegi ukuran 2x2 cm diatas peta, kedua membuat garis diagonal memotong kontur, ketiga menghitung jumlah kontur dan dikelaskan sesuai perhitungan, maka akan didapatkan besar kemiringan lereng untuk setiap karvak, kemudian besaran di klasifikasikan menurut kelas Jamulya (1993). Pada peta setiap yang memiliki kemiringan lereng sama dipisahkan dan dideliniasi dan diberikan keterangan hingga mendapatkan sebaran kelas kemiringan lereng yang dikehendaki. Perhitungan kemiringan lereng (s)tersebut menggunakan rumus : Keterangan : n = Jumlah kontur Ci = Interval Kontur s = Kemiringan lereng S = Skala a = Panjang lereng
  • 41. Peta Rupa Bumi Peta Peta kemiringan Penggunaan Lahan Peta Satuan Lereng Peta Sampel Penelitian Karakteristik Lahan Faktor Budaya Aktivitas Petani Masyarakat 1. Kemiringan 1. Cara pengolahan Lereng 1. Pendidikan lahan 2. Kondisi tanah 2. Kesadaran 2. Sistem tanam 3. Kondisi Geologi 3. Kemampuan 3. Pola tanam 4. Vegetasi 4. Jenis tanaman 5. Pemeliharaan tanaman 6. Teknik konservasi Analisis Kesimpul an Rekomend asi Gambar 3.4 Bagan Alur Penelitian
  • 42. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Wilayah a. Bantarujeg, Kabupaten Majalengka i. Kondisi Fisik Secara astronomis, Kecamatan Bantarujeg terletak pada 108o11’00” BT dan 108o24’00” BT sampai 6o57’00” LS dan 7o41’00” LS. Sedangkan secara administratif termasuk wilayah Kabupaten Majalengka. Sedangkan secaraadministratif KecamatanBantarujegtermasukwilayahKabupaten Majalengkadenganbataswilayahsebagaiberikut : a. SebelahutaraberbatasandenganKecamatanMaja b. SebelahtimurberbatasandenganKecamatanTalaga c. SebelahselatanberbatasandenganKecamatan Malausma d. SebelahbaratberbatasandenganKecamatanLemahsugih KecamatanBantarujegmemilikiwilayahseluas61,86Km2 yangterdiri dari22desa.Desayangmemilikiwilayahterluasadalah Desagununglarang,yaitu 11,12 Km2. Sedangkan yang mempunyai luas wilayah terkecil, yaitu Desa Cinambo1,97Km. Dengan luas yang dimiliki Kecamatan Bantarujeg berarti Kecamatan Bantarujeg hanya sekitar 5,14 % dari luas wilayah Kabupaten Majalengka (yaitu kurang lebih 1.204,24 Km2). Sedangkan daerah Plot yang berada di desa Batantarujeg berada pada Koordinat 108°13’30” BT dan 6°59’00” LS sampai 108°15’30“ BT dan 6°58’30“ LS. Secara administratif desa Bantarujeg memilikai batas wilayah sebagai berikut: a. SebelahutaraberbatasandenganDesa Babakansari b. SebelahtimurberbatasandenganDesa Wadon c. SebelahselatanberbatasandenganDesa Sirnagalih d. SebelahbaratberbatasandenganDesa Sukajadi
  • 43. Gambar 4.1 Peta administratif Kecamatan Banatrujeg
  • 44. Gambar 4.2 Peta plot kajian kelompok 6 Desa Bantarujeg 1. Iklim
  • 45. Tipe iklim pada Kecamatan Bantarujeg berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson (dalam Rafi’I, 1995:259) diperoleh data selama sepuluh tahun rata-rata curah hujan sebagai berikut : Tabel 4.1 Jumlah curah hujan bulanan kecamatan bantarujeg 1997 sampai 2006 Tabel 4.2 Bulan basah dan bulan kering selama 10 Tahun
  • 46. Dari data tersebut diketahui bahwa rata-rata jumlah curah hujan tahuanan selama 10 tahun yaitu 2342,3 mm/tahun. Jumlah bulan kering dimana bulan dengan curaqh hujan rata-rata dibawah 60 mm didapat rata-rata jumlah bulan keringnya yaitu 3,5 bulan dan jumlah bulan basah dimana curah hujan lebih dari 100 mm per bulan didapat rata-rata bulan basah yaitu 7,5 bulan. Dari rata-rata jumlah bulan basah dan bulan kering dalam jangka waktu 10 tahun diperoleh nilai Q = 46,67 % sebagai acuan untuk menentukkan tipe iklim menurut Schmidt Ferguson. Maka Kecamatan Bantarujeg berdasarkan nilai Q tersebut dikategorikan dengan tipe iklim C agak basah. Table 4.3 Nilai Q klasifikasi iklim Schmidt Ferguson Tipe Nilai(%) S A 0<Q<14.3 SangatBasah i B 14,3<Q<33,3 Basah f 33,3<Q<60 AgakBasah a C 60<Q<100 Sedang t 100<Q<167 AgakKering D 167<Q<300 Kering 300<Q<700 SangatKering E Q>700 EkstrimKering Namun berdasarkan kalsifikasi tipe iklim Junghuhn F sebagian besar Kecamatan Bantarujeg termasuk dalam zona iklim panas dengan ketinggianm 0 -700 mdpl dan sedikit dari G wilayahnya yang termasuk zona iklim sejuk dengan ketinggian 700 – 1500 m dpl, karena ketinggian Kecamtan Bantarujeg yaitu H 280 sampai 1134 m dpl.
  • 47. Gambar 4.3 Zonafikasi iklim Junghuun 2. Topografi dan Geomorfologi Ketinggian Kecamatan Bantarujeg yaitu dari 280 sampai 1134 m dpl. Kelas kemiringan lereng yaitu kelas II (3-8%) dengan criteria lahan yang landai atau berombak, kelas II (8-15%) dengan kriteria lahan agak miring atau bergelombang, Kelas IV (15-30%) dengan kriteria lahan miring dan berbukit. Namun kelerengan yang paling mendominasi pada Kecamatan Bantarujeg yaitu kelas II dengan persentase 54,12% atau sekitar 60,37 Km2 dari total luas wilayah Kecamatan Bantarujeg yaitu 111,56 Km2 . Namun pada penelitian di lokasi penelitian kelompok 6 yaitu di Desa Bantarujeg, berdasarkanhasilpenelitiandaritabeldiatasbahwakemiringanlereng yangpalingdominandiDesaBantarujegadalahkemiringanlerengI(data r)denganluas2,16Km2(60%).Adapunpetakemiringan lerengpada lokasi penelitian kelompok 6, disajikanpadagambar4.4 sebagai berikut :
  • 48. Gambar 4.4 Peta kemiringan lereng lokasi penelitian kelompok 6
  • 49. Gambar 4.5 Peta topografi lokasi penelitian kelompok 6 (Desa Bantarujeg) Bentukan lahan pada Kecamatan Bantarujeg merupakan bentukan asal struktural, namun pada perkembangannya kenampakan geomorfologi pada wilyah tersebut berupa bentukan lahan asal denudasional yang terjadi karena proses gradasi yang meliputi proses gradasi dan agradasi yang dalam jangka waktu lama dapat merubah lahan menjadi suatu dataran. Kondisi tersebut
  • 50. ditunjukkan oleh hilangnya lapisan permukaan akibat terjadi pelapukan dan pengikisan atau erosi kemudian terangkut ke tempat yang lebih rendah. Kecamatan Bantarujeg, Kabupaten Majalengka secara umum merupakan wilayah yang termasuk zona Bogor, perbukitan lipatan yang terbentuk dari batuan sedimen tersier laut dalam membentuk antiklinorium dan dibeberapa tempat mengalami patahan.Bukit sisa terdapat di Desa Bantarujeg, Desa Babakansari, dan Desa Cikidang dan D5 (paneplains) atau dataran nyaris terdapat disebelah selatan Desa Bantarujeg, Desa Cimangguhilir, Desa Desa sindanghurip, Desa Cipeundeuy, Desa Sukadana, Desa Ciranca, Desa Jagamulya, Desa Banyusari, Desa Malausna, Desa Buninagaradan Desa Cimuncang. 3. Geologi Berdasarkan peta geologi lembar Arjawinangun, satuan batuan di wilayah Kecamatan Bantarujeg dikelompokkan menjadi breksi hasil gunung api tua (Qvb), hasil gunung api tua tak teruaikan (Qvu), formasi kaliwungu (Tpk), formasi halang anggota atas (Tmhu), formasi halang anggota bawah (Tmhl), formasi cinambo anggota serpih (Tomcu), formasi cinambo anggota batupasir (Tomd). Satuan batuan yang paling dominan pada lokasi penelitian Kecamatan Bantarujeg, Kabupaten Majalengka adalah satuan batuan formasi halang anggota bawah (Tmhl) yaitu sekitar 29,23% dari total luas wilayah administratif Kecamatan Bantarujeg dan satuan batuan yang paling sedikit adalah satuan batuan formasi cinambo anggota pasir (Tomd), hanya sekitar 3,17% dari total luas wilayah administratif Kecamatan Bantarujeg. Satuan breksi hasil gunungapi tua (Qvb) terdiri dari breksi gunungapi dan endapan lahar. Breksi berwarna abu-abu tua yang keras, komponenya terdiri dari batuan beku andesit, basal dan massa dasar pasir tufa. Tanah pelapukannya berupa pasir lanau
  • 51. lempungan berwarna coklat kemerahan, bersifat urai, plastisitas sangat rendah, kesarangan sedang-tinggi, kandungan bahan organik rendah, pH asam-sangat asam, ketebalan 1,5-2,25 meter. Persebarannya meliputi bagian selatan Desa Sukadana, Werasari, Cipeundeuy, dan bagian selatan Desa Malausma. Satuan batuan hasil gunungapi tua tak teruraikan (Qvu) terdiri dari breksi gunungapi lahat dan lavayang bersifat andesit dan basal. Breksi berwarna abu-abu tua agak kekuningan keras, komponen batuan beku andesit, lemas terbuka, massa dasar pasir halus, lava berwarna abu-abu, keras dan kompak. Tanah pelapukannya berupa lanau lempungan berwarna coklat kemerahan bersifat urai teguh, plastisitas rendah, kesarangan sedang, kandungan bahan organik rendah, pH asam-sangat asam, dan ketebalnnya 2-3 meter. Persebarannya meliputi sekitar Desa Haurgeulis. Satuan batuan formasi kaliwungu (Tpk) terdiri dari batu lempung dengan sisipan batu pasir tufaan dan konglomerat. Batu lempung berwarna abu-abu tua bersifat keras. Tanah pelapukannya berupa lempung berwarna abu-abu agak kekuningan, lunak-teguh, plastisitas tinggi. Kesarangan rendah, kandungan bahan organik rendah, pH asam-sangat asam, dan ketebalan tanah 1,5-2,25 meter. Persebarannya meliputi Desa Wadowetan. Satuan batuan formasi halang anggota atas (Tmhu) terdiri dari batu pasir tufaan, lempung, dan konglomerat. Batu pasir merupakan bagian utama berwarna abu- abu kekuningan, berbutir halus dank eras. Tanah pelapukannya berupa pasir lanauan berwarna coklat kemerahan, bersifat urai, plastisitas rendah kesarangan sedang, kandungan bahan organik rendah, pH asam dengan ketebalan tanah 1-2 meter. Persebarannya meliputi Desa Bantarujeg, Salawangi, dan Babakansari. Satuan batuan formasi halang anggota bawah (Tmhl) terdiri dari breksi, tufa, lempung dan konglomerat. Breksi berwarna abu-abu, komparan andesit, keras, massa dasar
  • 52. pasir. Tanah pelapukannya berupa lanau lempungan berwarna coklat kekuningan, plastisitas rendah, kesarangan rendah, kandungan bahan organik rendah,pH asam-sangat asam dan ketebalan tanah 1,5-2 meter. Persebarannya meliputi Desa Cikidang, Gununglarang, Sindanghurip, Lebakwangi, Banyusari dan Malausma. Satuan batuan cinambo anggota serpih (Tomcu) terdiri dari batu lempung denga selingan batu pasir gampingan dan pasir tufaan. Batu lempung berwwarna abu-abu tua bersifat hancur bila kering. Tanah pelapukannya berupa lempung berwarna abu-abu tua bersifat lunak basah, plastisitas tinggi, kesarangan rendah, kandungan bahan organik rendah, pH asam- sangat asam dan ketebalan tanah 1,5-2,25 meter. Persebarannya meliputi Desa Sukamenak dan sebagian kecil di Desa Haurgeulis dan Cinambo. Satuan batuan formasi cinambo anggota batupasir (Tomd) terdiri dari batupasir, tufa, lempung, dan batu pasir gampingan. Satuan ini berwarna abu-abu kekuningan sampai abu-abu gelap, kompak, pada batu pasir mempunyai cirri pelapisan tebal dengan sisipan serpih dan lempung yang tipis dan padat berwarna kehitam-hitaman. Tanah pelapukannya berupa lempung lanauan berwarna coklat kemerahan, teguh, plastisitas sedang, kesarangan sedang, kandungan bahan organik rendah, pH asam dan ketebalan tanah 1,5-2 meter. Persebarannya meliputi Desa Haurgeulis dan Desa Sukamenak.
  • 53. Gambar 4.6 Peta geologi lokasi penelitian kelompok 6 (Desa Bantarujeg) 4. Tanah Jenis tanah yang tersebar pada Kecamatn Bantarujeg yaitu tanah litosol, latosol, dan podsolik merah kuning. Penyebaran jenis tanah yang mendominasi pada wilayah tersebut adalah tanah latosol dengan batas horizon tanah yang tidak begitu jelas yang terletak pada ketinggian 300-900 m dpl. Tanah latosol berwarna merah kekuningan, kandungan bahan organic 3-9%, pH tanah 4,5-6,5 yang tergolong asam sampai agak asam, dan tektur tanah liat, struktur remah dengan konsistensi gembur,
  • 54. permeabilitas tanah mudah samapi agak sukar. Tanah ini tersebar di daerah sebelah barat daya Desa Sukadana, sebelah selatan Desa Banyusari, sebelah timur Desa Ciranca, sebelah selatan Haurgeulis, sebelah barat Desa Sukamenak. Tanah litosol meliputi Desa Werasari, Malausma, Banyusari, Jagamulya, Buninagara, Ciranca, Sindanghurip, Cimangguhilir,Sukadana, Lebakwangi, Cipeundeuy, Wadowetan, Siliwangi, Salawangi, Cinambo, Cikidang. Tanah litosol mempunyai solum yang tipis dengan kandungan bahan organic yang rendah, tekstur tanah kasar yaitu berpasir dengan struktur berbutir lepas, pH dan permeabilitasnya bervariasi. Tanah podsolik merah kuning mempunya batas horizon yang nyata, struktur tanah gumpal dengan tekstur lempung berpasir hingga liat, pH anatar 4-5. Jenis tanah ini tersebar di sebelah selatan Desa Buninagara, Selatan Desa Banyusari, sebelah timur Desa Ciranca, sebelah selatan Haeurgeulis, sebelah utara Desa Sukamenak.
  • 55. Gambar 4.7 Peta tanah lokasi penelitian kelompok 6 (Desa Bantarujeg)
  • 56. Gambar 4.8 Horizon tanah di Desa Banatrujeg 5. Hidrologi Pola sungai pada Kecamatan Bantarujeg mempunyai pola dendritis dengan induk sungainya yaitu sungai Ci Lutung yang mengalir melalui Desa Salawangi, Desa Cikidang, Desa Wadowetan, Desa Bantarujeg, Desa Babakansari, Desa Gunung larang. Dari induk sungai Ci Lutung terdapat anak-anak sungai diantaranya Ci Hieum dan Ci Juray. Gambar 4.9 Sungai Ci Hieum 6. Penggunaan Lahan
  • 57. Terdapat lima jenis penggunaan lahan pada Kecamatan Bantarujeg yaitu sawah, tegalan, kebun campuran, hutan, serta pemukiman. Pemanfaatan lahan sebagian besar adalah untuk lahan pertanian. Pada sawah dan tegalan, tanaman yang ditanam berupa padi, jagung, kacang tanah, ubi jalar maupun ubi kayu. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.4 Penggunaan Lahan
  • 58. Gambar 4.10 Peta penggunaan lahan lokasi pegamatan kelompok 6 (Desa Bantarujeg)
  • 59. Gambar 4.11 Penggunaan lahan sawah di Desa Bantarujeg Gambar 4.12 Penggunaan lahan ladang di Desa Bantarujeg Gambar 4.12 Penggunaan lahan kebun campuran di Desa Bantarujeg
  • 60. ii. Kondisi Sosial 1. Jumlah Penduduk Jumlah penduduk di Kecamatan Bantarujeg berdasarkan tahun 2007 adalah 88.145 jiwa. Untuk lebih rinci dapat dilhat pada tabel di bawah ini : Tabel 4.5 Jumlah PendudukTahun 2007 Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa desa yang memiliki jumlah penduduk terbanyak pada tahun 2007 adalah Desa Buninagara dengan jumlah penduduk 5961 jiwa atau sekitar 6,7% dari total jumlah penduduk di Kecamatan Bantarujeg serta jumlah penduduk paling sedikit yaitu Desa Haurgeulis dengan jumlah penduduk sekitar 1344 jiwa atau 1,52% dari total jumlah penduduk di Kecamatan Bantarujeg.
  • 61. 2. Kepadatan Penduduk Kepadatan penduduk dibagi menjadi tiga yaitu kepadatan penduduk agraris, kepadatan penduduk fisiografis, dan kepoadatan penduduk kasar. Kepadatan penduduk agraris merupakan perbandingan antara jumlah petani dengan luas lahan pertanian. Kepadatan penduduk fisiografis merupakan perbandingan jumlah penduduk dengan luas lahan pertanian. Dan kepadatan penduduk kasar merupakan perbandingan jumlah penduduk dengan luas wilayahnya. Kepadatan penduduk agraris, fisiografis, serta kepadatan penduduk kasar pada Kecamatan Bantarujeg secara berurutan adalah adalah 261 jiwa/Km2, 996 jiwa/Km2, dan 790 jiwa/Km2. tingkatkepadatanpendudukdi suatu wilayahdikelompokkansebagaiberikut: 1. 0 -51orang/km2termasuktidakpadat 2. 51–250orang/km2termasukkurangpadat 3. 251–400orang/km2termasukpadat 4. >400orang/km2termasuksangatpadat Khusus untuk kepadatan penduduk kasar yang mempunyai nilai 790 jiwa/Km2 dikategorikan dalam kelompok kepadatan penduduk yang sangat padat. Tabel 4.6 Kepadatan penduduk per Desa di Kecamatan Bantarujeg tahun 2009 Jumlah KepadatanPendud No. NamaDesa Penduduk LuasWilayah (jiwa/Km2) uk (Jiwa) 2 1 Bantarujeg 3.628 (Km) 3,0 1178 2 Babakansari 4.497 7,4 8 608 3 Wadowetan 4.497 4,4 0 734 4 Gununglaran 4.201 10,0 7 419 5 Cikidang g 2.983 24,7 633 1
  • 62. 6 Haurgeulis 1.372 3,6 377 7 Cinambo 1.825 1,8 4 971 8 Sukamenak 3.342 6,2 8 531 9 Salawangi 3.767 4,5 9 835 10 Silihwangi 4.363 4,6 1 942 11 Cimangguhil 4.548 5,7 3 788 12 Sindanghuri ir 2.617 2,7 7 955 13 Cipeundeuy p 3.157 2,7 4 1161 Jumlah 88145 111,56 2 10132 3. Komposisi Penduduk Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2007 yaitu terdiri dari 50,19% laki-laki dan 49,81% perempuan. Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan yaitu 44,36% tingkat SD, 50,92% tingkat SMP, 4,014% tingkat SMA, 0,32% tingkat akademi/sederajat, dan 0,387% tingkat perguruan tinggi. Berdasarkan komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan tersebut menunjukkan tingkat pendidikan yang cukup baik, terutama pada pencapaian target wajib belajar 9 tahun. Komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian, didominasi oleh penduduk dengan mata pencaharaian sebagai petani dengan persentase 58% disusul dengan buruh sebesar 25,7%, serta lainnya. Tabel 4.7 Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin N JenisKelamin Jumlah(Jiwa) Persentase(%) 1. Laki-laki 2171 49.8 o 2. Perempuan 2186 4 50.1 150. Jumlah 435 7 100,00 9 194 81 9.81 49.8 b. Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang 149. i. Kondisi Fisik 81
  • 63. Waduk Jatigede merupakan waduk yang membendung sungai Ci Manuk, mulai dari Balubur Limbangan ke atas adalah sub DAS hulu yang dijadikan waduk Jatigede pada ketinggian sekitar 700 m dpl. Waduk Jatigede dikeliling oleh 12 gunung api dan beberapa diantaranya masih aktif. DAS bagian tengah berupa dataran yang lebih rendah yang meliputi penggal sungai Ci Manuk bagian tengah dengan dua anak sungai yaitu Ci Lutung dan Ci Peles. Sedangkan DAS bagian hilirnya terdiri dari dataran pantai. Rata-rata debit tahunan di hilir waduk Jatigede sekitar sebesar 62,9 m3/detik sedangkan di lokasi bendung rentang yaitu 137,3 m3/detik. Luas DAS Ci Manuk yang merupakan sungai yang akan dibendung dengan waduk Jatigede secara keseluruhan 2 mempunyai luas sekitar 3.600 Km dengan panjang sungai utama sekitar 230 Km. Batuan dasar utama alluvium, hasil gunung api, miosen fasies sedimen, plistosen, pliosen fasies gunung api dan eosen. Jenis tanah pada lokasi waduk jatigede bervariasi. Berikut adalah jenis tanah yang terdapat pada sekitar lokasi berdasarkan kepekaan terhadap erosi : a. Tidak peka erosi : alluvial, glei humus. b. Agak peka erosi : litosol, latosol c. Peka erosi : grumosol, andosol d. Sangat peka erosi : mediteranean coklat, mediteranean coklat kemerahan, regosol. Namun dari semua 60% jenis tanah pada lokasi kegiatan adalah latosol dengan kriteria agak peka terhadap erosi. Meskipun dijumlahkan dengan jenis tanah yang lain, tetap saja berada pada klasifikasi yang sama atau malah lebih tinggi/sangat peka erosi. Pemanfaatan air di waduk Jatigede berasal dari DAS Ci Manuk dengan luas DAS 3.584 Km2. Terdapat sekitar 31% lahan kritis. Curah hujan tahunan DAS Ci Manuk berkisar 2.800 mm, namun 78% dilimpaskan ke laut. Hal tersebut terjadi
  • 64. karena peresapan air ke tanah yang kurang, artinya pada daerah hulu sungai Ci Manuk telah terjadi penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan konservasi. Dari gambar di atas dapat kita perbandingan antara kawsan lindung dengan kawasan budidaya. Umumnya tanaman yang dibudidayakan berupa tanaman musiman yang kurang terhadap peresapan air serta intensitas pengolahan yang sangat tinggi. Selain itu juga lahan pertanian tersebut tidak diteras ataupun ada yang diteras tetapi kualitasnya buruk. Penggunaan lahan pada tahun 1991 berdasarkan data Bappeda provinsi Jawa Barat adalah hutan (22,7%), sawah (35,99%), lahan pertanian (29,76%), permukiman (6,55%), permukaan air (0,01%), lain-lain (4,93%). Gambar 4.14Lokasi pembangunan waduk Jatigede .
  • 65. Gambar 4.15 Penggunaan Lahan Hulu DAS Ci Manuk (foto satelit) Gambar 4.16 Peta Penggunaan Lahan Tahun 1991 (Bappeda Jabar)
  • 66. Berdasarkan hasil analisis dari foto satelit terdapat patahan atau sesar di sebelah timur lokasi waduk Jatigede. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini : ii. Kondisi Sosial Populasi penduduk yang berdomisili dalam DAS Ci Manuk berdasarkan data statistik Provinsi Jawa Barat tahun 2011 yaitu sebanyak 2.780.680 jiwa dengan kota-kota utama di Kabupaten Garut, Sumedang, Majalengka, dan Indramayu. Rencana kegiatan waduk Jatigede membutuhkan luas sekitar 4.892 Ha. Dari luas tersebut 3.696 Ha milik warga dan 3.200 Ha berupa lahan yang subur. Pada lokasi waduk Jatigede terdapat sekitar 28 situs budaya yang terancam hilang. Namun karena lokasi situs budaya tersebut akan dibangun waduk Jatigede maka dengan terpaksa situs budaya tersebut harus dipindahkan. B. Potensi Ancaman Bahaya Bencana a. Bantarujeg, Kabupaten Majalengka Potensi atau bahaya bencana pada lokasi penelitian di Desa Bantarujeg, Kecamatan Banatrujeg, Kabupaten Majalengka berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Dusun yaitu terdapat
  • 67. ancaman bahaya dari letusan gunung api, gempa bumi, banjir, pergerakan massa tanah, kekeringan, angin kencang, serta longsor. Menurutnya pernah terjadi sebuah bencana letusan gunung api galunggung yang berdampak pada lokasi penelitian. Bencana letusan gunung api galunggung yang berdampak pada lokasi penelitian berupan penyebaran abu vulkanik. Luas sebaran yang terkena dampak dari abu vulkanik tersebut hampir mengenai semua wilayah Kecamatan Bantarujeg. Seperti yang kita ketahui bahwa abu vulkanik mempunyai massa yang lebih ringan daripada material batuan hasil dari letusan gunung api sehingga luas sebarannya pun semakin luas karena terbawa oleh angin. Dampak dari penyebaran abu vulkanik dari letusan gunung api galunggung tersebut menghambat aktivitas perekonomian masyarakat terutama pada sektor pertanian yang terancam gagal panen karena abu vulkanik tersebut menutupi lahan pertanian. Selain itu, dampak lain dari penyebaran abu vulkanik juga merugikan kesehatan masyarakat terutama gangguan sistem pernapasan. Terdapat pula ancaman bahaya gempa bumi. Menurut Kepala Dusun, pernah terjadi gempa sebesar 2-3 skala ritcher dengan jarak sekitar 7,5 km dari pusat gempa. Ancaman bahaya gempa bumi pada lokasi penelitian disebabkan lokasi penelitian berdekatan dengan gunung api sehingga ketika terjadi aktivitas gunung api disekitar lokasi penelitian maka gempa vulkanik akan dirasakan oleh masyarakat sekitar. Selain ancaman bahaya gempa bumi yang berasal dari aktivitas gunung api, terdapat juga ancaman bahaya gempa bumi yang berasal dari pergerakan patahan baribis yang dimungkinkan menimbulkan gempa bumi dan berdampak pada lokasi penelitian jika sewaktu-waktu terjadi pergerakan pada patahan baribis. Ancaman bahaya gempa bumi lainnya disebabkan atau berasal dari aktivitas pertambangan batu andesit di daerah hulu, ketika terjadi aktivitas penambangan batu andesit dimungkin
  • 68. terjadi pergerakan atau pergeseran batuan sehingga menimbulkan ancaman bahaya gempa bumi yang berupa gempa runtuhan. Ancaman bahaya bencana lainnya adalah banjir. Seperti yang dijelaskan pada pembahasan di atas mengenai karakteristik wilayah Bantarujeg khususnya dalam hal iklim bahwa rata-rata curah hujan di Kecamatan Bantarujeg cukup tinggi dalam 10 tahun dari tahun 1997-2006 yaitu sebesar 2342,3 mm/tahun dan rata-rata bulan basahnya yaitu 7,5 bulan. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa ancaman bahaya banjir pada lokasi penelitian cukup besar. Faktor lain yang mendukung besarnya ancaman bahaya banjir adalah kondisi topografi yang bergelombang dan terdapat bentuk- bentuk lereng yang cekung maupun datar. Selain itu, faktor lainnya adalah sifat tanah yang mempunyai permeabilitas sedang sampai agak cepat, namun sifat tanah pada lokasi penelitian ketika terkena air maka permeabilitasnya semakin berkurang karena terkstur tanah yang lempung berpasir sampai liat yang gembur sehingga seolah- olah memadat tetapi mudah lepas dan air pun akan menggenang jika durasi hujan lama apalagi padalahan-lahan yang memiliki vegetasi yang tidak begitu rapat sehingga tenaga kinetis hujan dapat lebih memadatkan tanah, memperkecil laju infiltrasi, dan menggenankan air. Faktor utama penyebab banjir adalah meluapnya sungai Ci Hieum akibat penggunaan lahan di hulunya tidak baik sehingga laju limpasan air lebih besar daripada laju infiltrasinya. Jarak sungai Ci Hieum dengan pemukiman warga sekitar 500 meter. Luas sungai Ci Hieum yang tidak begitu luas atau dalam juga turut menjadi faktor penyebab banjir ketika limpasan air yang besar dari sungai Ci Hieum melewatinya dan meluap karena daya tampung yang kurang memadai. Menurut Kepala Dusun dampak bencana banjir pernah dialami dengan ketinggian banjir 50 cm dari permukaan tanah. Menurutnya ada 2 RT per dusun yang permanen terkena dampak banjir dan 10 hektar sawah.
  • 69. Ancaman bahaya bencana yang mempunyai potensi besar dalam memberikan dampak pada lokasi penelitian adalah ancaman gerakan massa tanah dan longsor. Seperti yang telah dijelaskan bahwa curah hujan pada lokasi penelitian cukup tinggi dan sifat tanah yang mudah lepas. Pergerakan tanah dapat dilihat dari indikator-indikator tertentu seperti yang ditemukan di lokasi penelitian yang berupa rumah yang retak-retak, tiang listrik yang miring, tanah yang longsor serta rusaknya tepi-tepi jalan. Jenis gerakan massa tanah pada lokasi penelitian berupa rayapan yang bergerak secara perlahan-lahan. Hal tersebut dikarenakan jenis batuannya yang sedimen yang mempunyai sifat lunak atau fleksibel. Ancaman bahaya bencana tersebut ditemukan pada lokasi penelitian terutama pada plot 3 dan plot 4. Potensi gerakan massa tanah dan longsor semakin besar mengingat curah hujan yang tinggi. Energi potensial dari gerakan massa tanah dan longsor tersebut akan semakin besar karena adanya penambahan massa tanah oleh air jika kita mengingat sifat tanah pada lokasi penelitian yang gembur dan mudah lepas serta permeabilitasnnya yang sedang sampai agak cepat serta kemiringan lereng pada yang agak miring dan topografi berbukit-bukit. Menurut Kepala Dusun pernah terjadi longsor namun di daerah Cibeuriy yang berdampak kerusakan pada 10 rumah warga.
  • 71. Gambar 4.18 Bukit terkikis/tererosi Bencana kekeringan pernah terjadi pada lokasi penelitian yaitu selama musim kemarau dengan luas sebaran dampak satu Kecamatan Bantarujeg. Dampak dari kekeringan tersebut adalah terancamnya gagal panen bagi sektor pertanian. Penggunaan lahan pertanian yang hanya mengandalkan air hujan dapat memperparah ancaman bahaya kekeringan ini. Saluran irigasi pernah dibuat namun pada akhirnya tidak berfungsi kembali dikarenakan saluran irigasi tersebut tertutupi atau rusak karena longsoran sehingga air tidak bisa mengairi sawah. Sedangkan untuk ancaman bahaya bencana sosial yaitu hilangnya budaya, menurunya etos kerja, serta banyaknya warga yang gulung tikar untuk industri rumah serta berkurangnya tanga kerja buruh tani. Hal tersebut berpotensi menjamurnya
  • 72. pengangguran apalagi jika kita melihat bahwa berdasarkan data komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan seperti yang telah dibahas yaitu dengan dominasi masyarakat dengan tingkat pendidikan SMP. Selain itu, berkurangnya buruh tani dan belum optimalnya mekanisasi pertanian untuk meningkatkan produktivitas pertanian dimungkinkan akan hilangnya budaya bertani dan berkurangnya lahan pertanian. Menurunya etos kerja serta dimungkinkannya menjamur pengangguran akan menyebabkan potensi konflik masyarakat semakin besar. Peta daerah rawan bencana di Desa Bantarujeg yang kami buat, dipertimbangkan besar kecilnya rawan bencana berdasarkan tingkat kemiringan, penggunaan lahan, pola pemukiman, sifat tanah, metode pertanian masyarakat setempat sehingga dibuat peta daerah rawan bencana Desa Bantarujeg seperti pada gambar di bawah ini :
  • 73. Gambar 4.19 Peta rawan bencana Desa Bantarujeg b. Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang Struktur batuan pada lokasi waduk Jatigede berupa lempung serpih yang mempunyai sifat mudah lepas. Hal tersebut dapat menjadi sebuah ancaman bahaya gerakan massa tanah maupun longsor jika terjadi hujan. Apabila waduk tersebut telah selesai dibangun atau dioperasikan, maka bukan tidak mungkin umur waduk tersebut akan berkurang atau waduk tersebut rusak karena terjadi gerakan massa tanah, dengan rusaknya waduk tersebut maka akan menimbulkan sebuah banjir dari air genangan waduk dan merugikan manusia serta fasilitas-fasilitas lainnya. Hal
  • 74. ancaman bahaya tersebut didukung oleh faktor curah hujan di DAS Ci Manuk yang tinggi seperti yang telah dibahas di atas. Energi potensial dari gerakan massa tanah akan semakin besar seiring penambahan massa tanah oleh air apalagi pada daerah yang bergelombang atau berbukit. Tidak hanya itu, laju sedimentasi yang besar pada sungai Ci Manuk juga dapat mengancam merusak bendungan dan menjadikan ancaman bahaya banjir. Ancaman bahaya lainnya adalah gempa bumi, baik itu yang berasal dari gunung api aktif maupun dari patahan yang berlokasi dekat dengan waduk Jatigede. Apabila terjadi gempa bumi, maka dikhawatirkan akan rusak atau bocor sehingga terjadi banjir atau bencana. Gempa lainnya mungkin saja terjadi ketika pembebanan air pada waduk yang akan mempengaruhi lapisan batuan di bawahnya dan terjadi gempa terutama karena penurunan tanah, jika mengingat struktur tanah dan batuannya yang labil. Ancaman bencana sosial terjadi terutama pada pembebasan lahan yaitu relokasi dan ganti rugi bagi warga yang terkena dampak dari pembangunan waduk Jatigede. Lokasi relokasi belum tentu sesuai dengan keinginan warga dan belum tentu memiliki sumber daya yang hampir sebanding dengan lokasi awal menjadi potensi timbulnya bencana sosial. Apabila lokasi yang baru lebih produktif maka akan sangat menguntungkan warga namun apabila lebih buruk maka warga akan mengalami kerugian. Masalah lain yang dihadapi adalah ketidaksesuaian rencana relokasi. Pemerintah tidak mengutamakan relokasi warga tetapi mendahulukan relokasi cagar budaya sehingga banyak warga yang mengadu pada DPRD setempat. Istilah relokasi sebenarnya tidak sesuai bagi budaya karena akan mengurangi nilai budaya maupun sejarahnya. Pada lokasi rencana kegiatan terdapat sekitar 28 situs budaya yang terancam hilang. Namun karena lokasi situs budaya tersebut akan dibangun waduk Jatigede maka dengan terpaksa situs budaya tersebut harus dipindahkan. Masalah ekonomi merupakan akar dari
  • 75. permasalahan sosial. Rencana kegiatan waduk Jatigede membutuhkan luas sekitar 4.892 Ha. Dari luas tersebut 3.696 Ha milik warga dan 3.200 Ha berupa lahan yang subur. Dengan adanya rencana kegiatan waduk Jatigede otomatis akan mengurangi tingkat perekonomian warga terutama saat berlangsung konstruksi. Hal tersebut akan berakar pada ancaman penurunan produksi beras yang ditaksir mengalami penurunan sekitar 80.000 ton per tahun. Berdasarkan masalah-masalah tersebut bencana sosial yang berpotensi terjadi apabila tidak segera diselesaikan adalah konflik secara vertikal yaitu antara pemerintah dan masyarakat yang pada akhirnya dapat menghambat rencana pembangunan waduk Jatigede
  • 76. Gambar 4.20 Peta daerah rawan bencana di lokasi penelitian waduk Jatigede C. Upaya Mitigasi Bencana a. Bantarujeg, Kabupaten Majalengka Upaya tindakan mitigasi dari pemerintah yaitu berupa tindakan preventif atau pencegahan. Namun dalam pelaksanaannya
  • 77. masih belum optimal. Upaya masih berupa himbauan dan pemberian tanda daerah rawan bencana. Hal tersebut dikarenakan belum terbentuknya lembaga yang mampu mengkoordinasikan dan mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai ancaman bahaya bencana serta tindakan siap siaga maupun hal yang dilakukan ketika terjadi bencana. Sebagian besar tingkat pendidikan masyarakat setempat tergolong cukup baik yaitu tingkat SMP namun hal tersebut belum menjamin adanya kesadaran mengenai ancaman bahaya bencana, akan tetapi berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat sekitar, masyarakat setidaknya tahu mengenai apa yang harus dilakukan ketika terjadi bencana. Namun kesadaran untuk mengurangi dampak bencana sendiri agaknya masih belum terpikirkan. Kegiatan sosialisasi atau penyuluhan tentang kebencanaan masih belum ada dari pihak pemerintah secara resmi namun dari tokoh masyarakat ada. Dampak dari bencana akan semakin besar karena tidak terdapatnya peringatan dini seperti jalur evakuasi ketika terjadi bencana. Kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah masih berupa himbauan. Terdapat pos-pos siaga bencana pada tingkat kecamatan dan kabupaten. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu lembaga atau apapun yang mampu mengkoordinasi dan mensosialisasikan mengenai ancaman bahaya bencana, penanggulangan serta hal-hal apa saja yang harus dilakukan kepada masyarakat ketika terjadi bencana sehingga menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai kebencanaan dan dapat mengurangi dampak kerugian dari bencana. b. Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang Terdapat suatu badan atau lembaga khusus yang dibentuk dalam mengangani mengenai penaggulangan dan mitigasi bencana yang dinamakan Badan Penanggulangan dan Mitigasi Bencana (BPMB). Upaya mitigasi bencana dari pemerintah sebagai akibat dari pembangunan waduk Jatigede, berupa upaya mitigasi secara
  • 78. struktural maupun non struktural. Mitigasi secara struktural dalam hal pencegahan gerakan massa tanah dan longsor adalah dengan teknik grouting. Grouting adalah salah satu perbaikan pondasi bendungan yang merupakan pekerjaan memasukan bahan yang masih dalam keadaan cair untuk perbaikan tanah, dengan cara tekanan, sehingga bahan tersebut akan mengisi semua retak-retak dan lubang-lubang, kemudian setelah mbeberapa saat bahan tersebut akan mengeras, dan menjadi satu kesatuan dengan tanah yang ada. Tujuan dari dilakukannya grouting adalah untuk memperkuat formasi dari lapisan tanah dan menjadikan lapisan tanah tersebut padat sehingga mampu untuk menahan beban bangunan yang direncanakan. untuk menahan aliran air, misalnya pada bangunan dam, agar air tidak mengalir melalui bawah bangunan dam. Air yang mengalir di bawah bangunan dam secara bertahun-tahun akan membawa partikel tanah, yang akan mengakibatkan terjadinya rongga-rongga di bawah bangunan, dan hal ini dapat membahayakan kestabilan dam tersebut, grouting pada dam ini biasa disebut tirai sementasi, guna tirai sementasi ini untuk menghambat laju air, sehingga aliran air semakin panjang, karena aliran semakin panjang maka air akan mengalami kehilangan energy, dan untuk menahan aliran air tanah agar tidak masuk ke dalam suatu kegiatan bangunan yang sedang berjaan.Untuk jenis grouting yang digunakan di Bendungan Jatigede dijelaskan sebagai berikut: 1. Grouting perlu dilakukan untuk menutup rekahan (crack) pada pondasi batuan dan harus meningkatkan kekedapan (water tightness). 2. Grouting tirai (curtain grouting) berfungsi sebagai zone kedap air dan diletakkan pada tengah impervious core atau dibagian hulu impervious facing (membrane).
  • 79. 3. Grouting selimut (blanket grouting) berfungsi menahan rembesan pada permukaan pondasi yang retak-retak. 4. Bila grouting tidak dapat dilakukan, dapat diganti dengan impervious blanket pada bagian hulu dan atau pembuatan drain dibagian hilir. Mitigasi secara struktural lainnya adalah dengan melakukan perbaikan kondisi hulu DAS Ci Manuk untuk mengurangi laju sedimentasi pada jangka panjang sehingga ancaman kerusakan bendungan dan bahaya banjir semakin berkurang. Seperti yang dijelaskan pada pembahasan di atas bahwa sekitar 28% daerah tangkapan air tergolong kritis. Upaya yang dilakukan dalam memperbaiki kerusakan hulu adalah dengan melakukan konservasi DAS secara intensif dan sinergis antara Kementrian Kehutanan, Kementrian Pertanian, Kementrian Pekerjaan Umum, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten terkait dengan nama Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN KPA). Disamping itu juga, dilaksanakan kegiatan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) dan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) di Jawa Barat. Untuk sementara waktu, sedimentasi pada waduk Jatigede dialihkan pada bendungan penampung sedimentasi. Mitigasi secara non struktural yang dilakukan berupa pemberian penyuluhan maupun peringatan dini apabila air pada bendungan telah melebihi kapasitasnya dalam menampung air. Peringatan dini apabila diprediksi akan terjadi bencana terutama kebcoran bendungan dilakukan melalui sirine-sirine yang memberitahukan kepada masyarakat agar waspada dan siap siaga. Selain itu, dicanangkan pula jalur-jalur evakuasi serta lokasi evakuasi ketika terjadi bencana. Sedangkan untuk mitigasi ancaman bencana sosial, hal yang dilakukan adalah pemberian
  • 80. ganti rugi lahan serta relokasi warga dan sosialisasi mengenai manfaat adanya waduk Jatigede.
  • 81. BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil dari pembahasan pada bab IV, maka dapat diambil sebuah kesimpulan sebagai berikut : a. Kondisi fisik wilayah lokasi pengamatan yaitu pada Desa Bantarujeg, Kecamatan Bantarujeg, Kabupaten Majalengka secara umum merupakan wilayah yang termasuk zona Bogor, perbukitan lipatan yang terbentuk dari batuan sedimen tersier laut dalam membentuk antiklinorium dan dibeberapa tempat mengalami patahan. Sifat tanahnya mudah lepas. Mempunyai rata-rata curah hujan tinggi yaitu 2342,3 mm/tahun dan beriklim C menurut klasifikasi Schmidt Fergusson. Kelas kemiringan lereng bervariasi dari II sampai IV dengan elevasi antara 280 sampai 1134 m dpl. Satuan yang paling mendominasi adalah formasi halang anggota bawah (Tmhl) dan jenis tanah yang mendominasi adalah tanah latosol. Pola sungai pada Kecamatan Bantarujeg mempunyai pola dendritis dengan induk sungainya yaitu sungai Ci Lutung. Terdapat lima jenis penggunaan lahan pada Kecamatan Bantarujeg yaitu sawah, tegalan, kebun campuran, hutan, serta pemukiman dengan dominasi sawah. Sedangkan untuk kondisi fisik secara umum di lokasi pembangunan waduk Jatigede merupakan yang membendung aliran sungai Ci Manuk pada elevasi sekitar 700 m dpl. Waduk Jatigede dikeliling oleh 12 gunung api dan beberapa diantaranya masih aktif.Intensitas curah hujan rata-rata pada DAS Ci Manuk tergolong tinggi yaitu sekitat 2.800 mm. Batuan dasar utama alluvium, hasil gunung api, miosen fasies sedimen, plistosen, pliosen fasies gunung api dan eosin dengan 60% jenis tanah pada lokasi kegiatan adalah latosol dengan kriteria agak peka terhadap erosi.Terdapat sekitar 31% lahan kritis. Menurut data Bappeda provinsi Jawa Barat penggunaan lahan di DAS Ci Manuk
  • 82. yaitu hutan (22,7%), sawah (35,99%), lahan pertanian (29,76%), permukiman (6,55%), permukaan air (0,01%), lain-lain (4,93%). b. Kondisi sosial wilayah lokasi pengamatan yaitu pada Desa Bantarujeg, Kecamatan Bantarujeg, Kabupaten Majalengka secara umum memiliki jumlah penduduk berdasarkan tahun 2007 adalah 88.145 jiwa dari 50,19% laki-laki dan 49,81% perempuan dengan penduduk terbanyak adalah di penduduk terbanyak pada tahun 2007 adalah Desa Buninagara dengan jumlah penduduk 5961 jiwa dan penduduk paling sedikit yaitu Desa Haurgeulis dengan jumlah penduduk sekitar 1344 jiwaterdiri.Kepadatan penduduk agraris, fisiografis, serta kepadatan penduduk kasar pada Kecamatan Bantarujeg secara berurutan adalah adalah 261 jiwa/Km2, 996 jiwa/Km2, dan 790 jiwa/Km2. Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan yang paling mendominasi adalah tingkat pendidikan SMP yaitu sebesar 50,92% dari total jumlah penduduk sedangkan menurut mata pencaharian sekitar 58% penduduk bekerja sebagai petani. Sedangkan pada lokasi pengamatan kedua yaitu di lokasi pembangunan waduk Jatigede, populasi penduduk yang berdomisili dalam DAS Ci Manuk berdasarkan data statistik Provinsi Jawa Barat tahun 2011 yaitu sebanyak 2.780.680 jiwa. Waduk Jatigede membutuhkan luas sekitar 4.892 Ha dari luas tersebut 3.696 Ha milik warga dan 3.200 Ha berupa lahan yang subur. Pada lokasi waduk Jatigede terdapat sekitar 28 situs budaya. c. Potensi atau ancaman bahaya bencana berdasarkan kondisi fisik maupun sosial di lokasi pengamatan Bantarujeg yaitu seperti banjir, gerakan massa tanah dan longsor, kekeringan, gempa bumi, serta bencana sosial yaitu berupa munculnya potensi konflik dikarenakan menurunnya etos kerja. Ancaman bahaya bencana gerakan massa tanah dan longsor dipengaruhi oleh sifat tanah yang labil serta mudah lepas dan topografi yang berbukit serta curah hujan yang tinggi dan bulan basah yang lebih banyak dari bulan keringnya. Ancaman bahaya gempa bumi dipengaruhi oleh faktor