1. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengadilan Agama sebagai salah satu dari empat lembaga peradilan yang
ada di Indonesia. semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, mempunyai wewenang baru sebagai bagian dari yurisdiksi
absolutnya, yaitu kewenangan untuk menerima, memeriksa dan mengadili
serta menyelesaikan sengketa dibidang ekonomi syari’ah.
Wewenang baru tersebut bisa dikatakan sebagai tantangan dan sekaligus
peluang bagi lembaga peradilan agama. Dikatakan sebagai tantangan karena
selama ini bagi Pengadilan Agama belum ada pengalaman apa pun dalam
menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syari’ah, sehingga kalau pun
sekiranya datang suatu perkara tentang sengketa ekonomi syari’ah , maka
bagi lembaga peradilan agama ini mesti mencari dan mempersiapkan diri
dengan seperangkat peraturan perundangan maupun norma hukum yang
terkait dengan persoalan ekonomi syari’ah.
Hukum Islam sebagai sebuah hukum yang hidup di Indonesia menghalami
perkembangan yang cukup berarti dalam masa kemerdekaan ini.
Perkembangan tersebut antara lain dapat dilihat dari kewenangan yang
dimiliki oleh Peradilan Agama (PA) sebagai peradilan Islam di Indonesia.
Dulunya, putusan PA murni berdasarkan fiqh para fuqaha', eksekusinya harus
2. 2
dikuatkan oleh Peradilan Umum, Para hakimnya hanya berpendidikan
Syari'ah tradisional dan tidak berpendidikan hukum, organisasinya tidak
berpuncak ke Mahkamah Agung, dan lain-lain. Sekarang keadaan sudah
berubah. Salah satu perubahan mendasar akhir-akhir ini adalah penambahan
kewenangan PA dalam Undang-Undang Peradilan Agama yang baru, antara
lain bidang ekonomi syari'ah.1
Persoalannya sampai saat ini belum ada aturan hukum positive yang secara
terperinci mengatur tentang acara penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah,
namun demikian bukan berarti tidak ada aturan hukumnya atau dengan kata
lain telah terjadi “kekosongan hukum” dalam persoalan ini. Karena pada
asasnya pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili 2
Oleh karena itu walau pun aturan formal yang berkenaan dengan penyelesaian
sengketa ekonomi syari’ah belum ada, pengadilan agama sebagai lembaga
yang diberi wewenang oleh negara untuk memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah sudah seharusnya mengerahkan
segenap potensinya untuk menjawab tantangan tersebut.
Untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan proses
penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah ini kiranya pengadilan agama harus
berani dan mampu menggali nilai-nilai maupun norma-norma hukum Islam,
1
Rifyal Ka'bah, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah Sebagai Sebuah Kewenangan Baru
Peradilan Agama, dalam Varia Peradilan . tahun ke XXI, NOMOR245 April, 2006,hal. 12.
2
Lihat pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
3. 3
baik yang terdapat dalam kitab Al-Qur’an, al-Sunnah maupun kitab-kitab fiqh
/ushul fiqh serta fatwa-fatwa Majelis Ulama’ yang dalam hal ini melalui
Dewan Syari’ah Nasional yang berkaitan dengan persoalan-persoalan
diseputar ekonomi syari’ah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan kepada latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan
pokok-pokok masalah sebagai berikut :
1. Mengapa sengketa ekonomi syari’ah mesti diselesaikan melalui Badan
Peradilan Agama ?
2. Bagaimana cara-cara dan proses penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah
di Pengadilan Agama ?
3. Pengadilan Agama mana yang paling berwenang menyelesaikan sengketa
ekonomi syari’ah (kompetnsi relative) ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian tentang sengketa ekonomi syari’ah dan penyelesaiannya di
Pengadilan Agama mengandung maksud dan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui lebih mendalam mengapa Pengadilan Agama lebih
berwenang dalam meyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah ?
2. Untuk menganalis lebih jelas bagaimana cara-cara dan proses
penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama.
4. 4
3. Untuk memperoleh informasi yang pasti tentang Pengadilan Agama
mana yang paling berwenang (kompetensi relatif) memeriksa, mengadili
dan menyelesaikan perkara sengketa ekonomi syari’ah.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian tentang penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di lingkungan
Pengadilan agama diharapkan memiliki manfaat tertentu.. Manfaat tersebut
sekurang-kurangnya meliputi dua aspek, yaitu:
1. Manfaat sosial (social value), yang diharapkan berguna untuk :
a. Memberi gambaran atau pedoman awal bagi lembaga Peradilan Agama
tentang bagaimana cara-cara dan proses penyelesaian sengketa ekonomi
syari’ah.
b. Memberi informasi kepada masyarakat muslim Indonesia pada
umumnya, khususnya para pelaku bisnis syari’ah tentang cara-cara
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah melalui pengadilan agama.
c. Memberi pedoman praktis kepada para praktisi hukum khususnya dalam
hal-hal yang berkaitan dengan proses penyelesaian sengketa ekonomi
syariah.
2. Manfaat akademik (academic value)
a. Diharapkan penulisan tesis tentang proses penyelesaian sengketa
ekonomi syari’ah di pengadilan agama ini dapat dijadikan sebagai
pemenuhan salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Studi
Islam pada Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia.
5. 5
b. Manfaat lain dari penulisan tesis ini diharapkan bisa menambah
khazanah keilmuan dalam bidang penyelesaian sengkerta ekonomi
syari’ah.
E. Telaah Pustaka
Dari penelusuran referensi yang ada tidak banyak dijumpai karya-karya
ilmiyah yang membahas persoalan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di
lingkungan Pengadilan Agama . Hal ini bisa dimaklumi karena persoalan ini
relatif masih baru. Namun demikian hal-hal yang masih ada relevansinya
dengan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah dapat dijumpai pada beberapa
karya ilmiyah, diantaranya adalah tulisan Dr. Dadan Muttaqien tentang
“Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah Di Luar Lembaga Peradilan”.
Dalam tulisan ini dijelaskan bahwa pada prinsipnya penyelesaian sengketa
ekonomi syari’ah di luar lembaga peradilan (non litigasi) ada dua cara yang
bisa ditempuh, yaitu melalui lembaga perdamaian (al-Shulh) dan melalui
lembaga arbitrase (al-Tahkim). 3
Di Indonesia, lembaga perdamaian telah diakui keberadaannya melalui
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaaian Sengketa. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa
negara memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah
3
Dadan Muttaqien, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah Di Luar Lembaga Peradilan,
dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun Ke XXIII NOMOR 266 Januari 2008 (Jakarta :
IKAHI, 2008) Hal. 60.
6. 6
sengketa bisnisnya di luar lembaga peradilan, baik melalui konsultasi,
mediasi, negosiasi, konsiliasi, atau penilaian para ahli.4
Sedangkan lembaga tahkim disini yang dimaksud adalah penyelesaian
sengketa ekonomi syari’ah melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional
(BASYARNAS ). Sebagai gambaran tentang peraturan dan prosedur Badan
Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) adalah sebagai berikut:
1. Penagajuan Permohonan
Proses arbitrase dimulai dengan didaftarkannya surat permohonan untuk
mengadakan arbitrase oleh Sekretaris dalam Register Badan Arbitrase
Syari’ah Nasional (BASYARNAS). Dalam surat permohonannya tersebut
harus memuat sekurang-kurangnya nama lengkap dan tempat tinggal atau
tempat kedudukan kedua belah pihak, suatu uraian singkat tentang
salinan naskah perjanjian Arbitrasenya dan suatu surat kuasa khusus jika
diajukan oleh kuasa hukum.
2. Selanjutnya, surat permohonan itu akan diperiksa oleh Badan Arbitrase
Syari’ah Nasional (BASYARNAS) , untuk menentukan apakah Badan
Arbitrase Nasional (BASYARNAS) berwenang memeriksa dan
memutuskan sengketa arbitrase yang dimohonkan tadi. Dalam hal
perjanjian atau klausula arbitrase dianggap tidak cukup kuat dijadikan
dasar kewenangan Badan Arbitrase Nasional (BASYARNAS) untuk
memeriksa sengketa yang diajukan, maka Badan Arbitrase Syari’ah
Nasional (BASYARNAS) akan meyatakan permohonan itu tidak dapat
diterima (niet outvankelijk verklaard) yang dituangkan dalam sebuah
4
Ibid.
7. 7
penetapan yang dikeluarkan oleh Badan Arbitrase Syari’ah Nasional
(BASYARNAS) sebelum pemeriksaan dimulai atau dapat pula dilakukan
oleh arbiter tunggal atau arbiter majelis yang ditunjuk dalam hal
pemeriksaan telah dimulai. Sebaliknya, jika perjanjian atau klausula
arbitrase dianggap telah mencukupi, maka Ketua Badan Arbitrase
Syari’ah Nasional (BASYARNAS) segera menetapkan dan menunjuk
arbiter tunggal atau majelis yang akan memeriksa dan memutus sengketa
berdasarkan berat ringannya sengketa. Arbiter yang ditunjuk tersebut
dapat dipilih dari arbiter atau menunjuk seorang ahli dalam bidang khusus
yang diperlukan untuk menjadi arbiter, karena pemeriksaanya memerlukan
suatu keahlian khusus. Dengan demikian susunan arbiter dapat pula
dalam bentuk tunggal atau majelis.
3. Arbiter yang ditunjuk memerintahkan untuk menyampaikan salinan surat
permohonan kepada Termohon disertai perintah untuk menanggapi
permohonan tersebut dan memberikan jawabannya secara tertulis
selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
diterimanya salinan surat permohonan dan surat panggilan. Segera setelah
diterimanya jawaban dari Termohon, atas perintah Arbiter tunggal atau
Ketua ArbiterMajelis, salinan dari jawaban tersebut diserahkan kepada
Pemohon dan bersamaan dengan itu memerintahkan kepada para pihak
untuk menghadap di muka sidang Arbitrase pada tanggal yang ditetapkan,
selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak
tanggal dikeluarkannya perintah itu, dengan pemberitahuan bahwa
8. 8
mereka boleh mewakilkan kepada kuasa hukumnya masing-masing
dengan surat kuasa khusus.
4. Pemeriksaan persidangan Arbitrase dialakukan di tempat kedudukan
Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS), kecuali ada
persetujuan dari kedua belah pihak, pemeriksaan dapat dilakukan di
tempat lain. Arbiter Tunggal atau Majelis dapat melakukan sidang
ditempat untuk memeriksa saksi, barang, atau benda dokumen yang
mempunyai hubungan dengan para pihak yang bersengketa. Putusan
harus diambil dan dijatuhkan di tempat kedudukan Badan Arbitrase
Syari’ah Nasional (BASYARNAS).
5. Selama proses dan pada setiap tahap pemeriksaan berlangsung Arbiter
tunggaal atau majelis harus memberi perlakuan dan kesempatan yang
sama sepenuhnya terhadap para pihak (equality before the law) untuk
membela dan mempertahankan kepentingan yang disengketekannya.
Arbiter tunggal atau Majelis , baik atas pendapat sendiri atau para pihak
dapat melakukan pemeriksaan dengan mendengar keterangan saksi,
termasuk saksi ahli dan pemeriksaan secara lisan di antara para pihak,
setiap bukti atau dokumen yang disampaikan salah satu pihak kepada
Arbiter Tunggal atau Majelis salinannya harus disampaikan kepada pihak
lawan. Namun, pemeriksaan dibolehkan secara lisan (oral hearing).
Tahap pemeriksaan dimulai dari jawab-menjawab (replik-duplik),
pembuktian dan putusan dilakukan berdasarkan kebijakan Arbiter
Tunggaal atau Majelis.
9. 9
6. Dalam jawabannya, atau paling lambat pada sidang pertama pemeriksaan,
Termohon dapat mengajukan suatu tuntutan balasan (reconventie).
Terhadap bantahan yang diajukan Termohon, Pemohon dapat mengajukan
jawaban (replik) yang dibarengi dengan tambahan tuntutan (Additional
Claim) asal hal itu mempunyai hubungan yang sangat erat langsung
dengan pokok yang disengketekan serta termasuk dalam Yurisdiksi
Badaan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS), baik tuntutan
konvensi, rekonvensi maupun addional Claim akan diperiksa dan diputus
oleh Arbiter atau maajelis terlebih dulu akan mengusahakan tercapainya
perdamaian. Apabila usaha tersebut berhasil, maka Arbiter Tunggal
akan membuat akta perdamaian dan mewajibkan kedua belah pihak untuk
memenuhi dan mentaati perdamaian tersebut masing-masing. Sebaliknya,
apabila perdamaian tidak berhasil, maka Arbiter Tunggal atau Majelis
akan meneruskan pemeriksaan sengketa yang dimohon. Dalam hal yang
diteruskan para pihak dipersilakan untuk memberikan argumentasi dan
pendirian masing-masing serta mengajukan bukti-bukti yang dianggap
perlu untuk mengatakannya. Seluruh pemeriksaan dilakukan secara
tertutup sesuai dengan saran arbitrase yang tertutup.
7. Arbiter tunggal atau Majelis akan menutup pemeriksaan sengketa
arbitrase dan menetapkan suatu hari sidang untuk mengucapkan putusan
yang diambil, bila menganggap pemeriksaan telah cukup, dengan tidak
menutup kemungkinan dapat membuka sekali lagi pemeriksaan (to open)
sebelum putusan dijatuhkan bila dianggap perlu.
10. 10
8. Putusan diambil dan diputuskan dalam suatu sidang yang dihadiri kedua
belah pihak. Bila para pihak telah dipanggil secara patut, tetapi jika tidak
ada yang hadir, maka putusan tetap diucapkan. Seluruh proses
pemeriksaan sampai diucapkannya putusan oleh Arbiter Tunggal atau
Majelis akan diselesaikan selambat-lambatnya sebelum jangka waktu 6
(enam) bulan habis, terhitung sejak dipanggilnya pertama kali para pihak
untuk menghadiri sidang pertama pemeriksaan.
9. Putusan Arbitrase tersebut harus memuat alasan-alasan, kecuali para
pihak menyetujui putusan tidak perlu membuat alasan. Arbiter Tunggal
atau Majelis harus memutus berdasar kepatutan dan keahlian sesuai
dengan ketentuaan hukum yang berlaku bagi perjanjiaan yang
menimbulkan sengketa dan disepakati para pihak. Putusannya bersifat
final dan mengikat para pihak yang bersengketa dan para pihak wajib
mentaati seta memenuhi secara suka rela seperti yang disebut di atas.
Apabila putusan tidak dipenuhi secara suka rela, maka putusan
dijalankan menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 637 RV dan Pasal
639 RV. 5
Walaupun putusan arbiter itu bersifat final , namun Peraturan Prosedur
Badan Arbitrase Syari’ah Nasional memberikan kemungkinan kepada
salah satu pihak untuk mengajukan secara tertulis, permintaan pembatalan
putusan (annulment of the award) arbitrase tersebut yang disampaikan
kepada sekretaris BASYARNAS dan tembusan kepada pihak lawan
sebagai pemberitahuan. Pengajuan pembatalan putusan paling lambat
5
Ibid, hal. 65.
11. 11
dalam waktu 60 (enam puluh) hari dari tanggal putusan diterima, kecuali
mengenai alasan penyelewengan dan hal itu berlaku paling lama dalam
waktu 3 (tiga) tahun sejak putusan dijatuhkan. Permintaan pembatalan
putusan hanya dapat dilakukan berdasarkan salah satu alasan sebagai
berikut:
a. Penunjukan Arbiter Tunggal atau Majelis tidak sesuai dengan
ketentuan,
b. Putusan melampaui batas kewenangan BASYARNAS,
c. Putusan melebihi yang diminta para pihak,
d. Terdapat penyelewengan diantara saalah salah seorang arbiter,
e. Putusan jauh menyimpang dari ketentuan pokok dan putusan tidak
memuat alasan-alasan yang menjadi landasan pengambilan putusan.6
Sementara itu dalam tulisan Dr. Rifyal Ka’bah yang berjudul”
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Sebagai Sebuah Kewenangan Baru
Peradilan Agama” yang termuat dalam Majalah Hukum Varia Peradilan tahun
Ke XXI Nomor 245 April 2006, lebih banyak mambahas tentang pengalaman
BASYARNAS dalam menyelesaian sengketa ekonomi syari’ah yang diajukan
kepadanya, dimana didalam menyelesaiakan sengketa ekonomi syari’ah
BASYARNAS menggunakan dua hukum yang berbeda, yakni hukum Islam
seperti yang diformulasikan oleh DSN (Dewan Syari’ah Nasional) dan pasal-
pasal dalam KUHPerdata. Hal ini dilakukan karena ketiadaan peraturan
6
Ibid.
12. 12
perUndang-Undangan tentang perbankan syari’ah secara khusus dan ekonomi
syari’ah secara umum.7
Selain kedua referensi di atas terdapat satu tesis MSI-UII Yogyakarta yang
disusun oleh Yususf Buchori dengan judul “Litigasi Sengketa Perbankan
Syari’ah Dalam Persektif Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama (Study Kasus Putusan Pada Pengadilan Agama Purbalingga)” , dalam
pembahasannya lebih terfokus kepada studi kasus pada sengketa perbankan
syari’ah yang diadili dan diselesaikan oleh pengadilan Agama Purbalinga,
bukan kepada penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah pada umumnya.
Sebaagaimana dalam salah satu kesimpulannya Yusuf Buchori menyatakan,
bahwa dalam menyelesaikan sengketa perbankan syari’ah terdapat dua
lapangan hukum (two level playing fields) , yaitu syari’ah level dan legal
level. Hal ini dikarenakan dalam praktek Bank Syari’ah dalam mengadakan
akad secara formal berpedoman kepada KHUPerdata (BW) dan secara
materiil atau substansinya berdasarkan prinsip syari’ah.8
Dari ketiga referensi di atas secara jelas belum ada yang membahas proses
penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah dilingkungan Peradilan Agama.
Oleh karena itu cukup alasan bagi diri Penyusun untuk menyusun tesis ini
dalam rangka untuk menambah khazanah keilmuan dalam hal penyelesaian
sengketa ekonomi syari’ah, khususnya bagi lembaga Pengadilan Agama.
7
Rifyal Ka'bah, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah …,hal. 20.
8
Yusuf Buchori, Litigasi Sengketa Perbankan Syari’ah Dalam Persektif Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama (Study Kasus Putusan Pada Pengadilan Agama Purbalingga)” , Tesis MSI-UII
Yogyakarta, 2007, hal. 148.
13. 13
F. Kerangka Teori
Ekonomi atau ilmu ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi atau ilmu
ekonomi konvensional yang berkembang di dunia dewasa ini, karena yang
pertama terikat kepada nilai-nilai Islam dan yang kedua memisahkan diri dari
agama semenjak negara-negara Barat berpegang kepada sekularisme dan
menjalankan politik sekularisasi.9 Sungguh pun demikian, tidak ada ekonomi
yang terpisah dari nilai atau tingkah laku manusia, tetapi pada ekonomi
konvensional, nilai yang digunakan adalah nilai duniawi semata (profane,
mundane).
Yang dimaksud dengan kata syari'ah dalam ekonomi syari'ah sebenarnya
adalah fiqh para fuqaha'. Hal itu karena salah satu pengertian syari'ah yang
berkembang dalam sejarah adalah fiqh dan bukan ayat-ayat dan/atau hadits-
hadits semata sebagai inti agama Islam atau ayat-ayat dan/atau hadts-hadits
hukum saja secara khusus. Pemakaian kata syari'ah sebagai fiqh tampak
secara khusus pada pencantuman syari'ah Islam sebagai sumber legislasi di
beberapa negara muslim (dan juga pada 7 kata dalam Piagam Jakarta),
perbankan syari'ah, asuransi syari'ah, ekonomi dan keuangan syari'ah secara
umum di Indonesia, serta Pengadilan Syari'ah (Mahkamah Syar'iyah) di
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Inilah yang diistilahkan dalam
bahasa Barat sebagai Islamic Law, de Mohammadan wet/recht, la loi
islamique, dan lain-lain.10
9
Khurshid Ahmad (ed), Studies in Islamic Economics , dalam Rifyal Ka'bah, Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syari’ah., hal. 12.
10
Rifyal Ka'bah,Hukum Islam di Indonesia, (Buletin Dahwah) DDII, DKI Jakarta, Mei 2006.
14. 14
Ada pun pengertian ekonomi Islam adalah merupakan suatu ilmu yang
mempelajari perilaku muslim (yang beriman) dalam suatu masyarakat Islam
yang mengikuti Al-Qur’an, hadits Nabi Muhammad SAW., ijma’ dan qiyas.11
Islam memang sebagai suatu sistem nilai yang sedemikian lengkap dan
menyeluruh dalam mengatur kehidupan umat manusia di dunia ini, tak
terkecuali di dalam persoalan perekonomian. Dalam hal ini Islam telah
mengatur bagaimana nilai-nilai yang terkandung di dalam sistem
perekonomian Islam tersebut. Untuk ini Muhammad Syafi'i Antonio dalam
bukunya Bank Syari'ah, dari Teori ke Praktek, telah menguraikan :12
1. Perekonomian masyarakat luas – bukan hanya masyarakat Muslim
– akan menjadi baik bila menggunakan kerangka kerja atau acuan norma-
norma Islami.
Banyak ayat Al-Qur'an yang menyerukan penggunaan kerangka kerja
perekonomian Islam, diantaranya adalah :
13
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik
yang Telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan
makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah Telah rezekikan
kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”
Semua ayat tersebut merupakan penentuan dasar pikiran dari pesan
Al-Qur'an dalam bidang ekonomi. Dari ayat-ayat tersebut dapat difahami
11
Pusat Komunikasi Ekonomi Syari’ah, Buku Saku Lembaga Bisnis Syari’ah , (Jakarta: PKES,
2006), hal.1
12
Muhammad Syafi'I Antonio, Bank Syari'ah, dari Teori ke Praktek, Cet.kesembilan (Jakarta:
Gema Insani, 2005)hal. 10.
13
Q.S. Al-Baqarah (2): 87-88.
15. 15
bahwa Islam mendorong penganutnya untukmenikmati karunia yang telah
diberikan oleh Allah. Karunia tersebut harus didayagunakan untuk
meningkatkan pertumbuhan ,baik materi maupun non materi.
Islam juga mendorong penganutnya berjuang untuk mendapatkan
materi/harta dengan berbagai cara, asalkan mengikuti rambu-rambu yang
telah ditetapkan.
Salah satu hadits Rasulullah SAW menegaskan :
االمســلمون على شروطـهم اال حرم حلال اواحل حـــرامـا
Artinya :"Kaum Muslimin (dalam kebebasan) sesuai dengan syarat dan kesepakatan
mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram."14
Rambu-rambu tersebut di antaranya: carilah yang halal lagi baik; tidak
menggunakan cara batil; tidak berlebih-lebihan/melampaui batas; tidak di
zhalimi maupun menzhalimi; menjauhkan diri dari unsur riba; maisir
(perjudian dan intended speculation); dan gharar (ketidak-jelasan dan
manipulatif ) serta tidak melupakan tanggung jawab sosial berupa zakat, infak
dan sedekah. Ini yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan
perekonomian konvensional yang menggunakan prinsip self interest
(kepentingan pribadi) sebagai dasar perumusan konsepnya.
2. Keadilan dan Persaudaraan Menyeluruh.
Islam bertujuan untuk membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang
solid. Dalam tatanan itu setiap individu diikat oleh persaudaraan dan kasih
14
H.R. At-Turmudzi, dalam kitab Subulus Salam,Syarah Bulughul Maram min Adillatil
Ahkam, Juz III, Jilid II, disusun oleh Imam Muhammad ibn Isma'il Al-Kahlaniy Al-Shan'aniy
(t.t.p., Dar al-Fikr, t.t.)hal. 59.
16. 16
sayang bagai satu keluarga. Sebuah persaudaraan yang universal dan tak
diikat batas geografis.
Keadilan dalam Islam memiliki implikasi sebagai berikut :
a. Keadilan Sosial;
b. Keadilan Ekonomi;
3. Keadilan Distribusi Pendapatan.
Kesenjangan pendapatan dan kekayaan alam yang ada dalam masyarakat,
berlawanan dengan semangat dan komitmen Islam terhadap persaudaraan dan
keadilan sosial-ekonomi. Kesenjangan harus diatasi dengan menggunakan
cara yang ditekankan Islam.
4. Kebebasan Individu dalam Konteks Kesejahteraan Sosial.
Konsep Islam amat jelas. Manusia dilahirkan merdeka. Karenanya tidak ada
seorang pun – bahkan negara mana pun – yang berhak mencabut kemerdekaan
tersebut dan membuat hidup manusia menjadi terikat. Dalam konsep ini setiap
individu berhak menggunakan kemerdekaannya tersebut sepanjang tetap berada
dalam kerangka norma-norma Islami. Dengan kata lain, sepanjang kebebasan
tersebut dapat dipertanggung-jawabkan, baik secara sosial maupun dihadapan
Allah.
Sedangkan yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” menurut Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah” perbuatan atau kegiatan usaha
yang dilakukan menurut prinsip syari’ah,” 15 antara lain meliputi :
15
Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pasal 49 huruf i.
17. 17
a.bank syari’ah;
b.asuransi syari’ah;
c.reasuransi syari’ah;
d.reksadana syari’ah;
e.lembaga keuangan mikro syari’ah;
f.obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g.sekuritas syari’ah;
h.pembiayaan syari’ah;
i.pegadaian syari’ah;
j.dana pensiun lembaga keuangan syari’ah;
k.bisnis syari’ah.
Menegenai sendi-sendi Islam, menurut catatan Abu A’la Al-Maududi
terdapat tujuh hal sebagai berikut :
a. Adanya prinsip perbedaan antara yang halal dan yang haram mengenai jalan-
jalan mencari kekayaan. Dalam hal ini Islam tidak membenarkan bagi
umatnya untuk mencari kekayaan semau-mau mereka, tetapi Islam
menegaskan perbedaan antara mereka dalam mencari penghidupan melalui
jalan-jalan yang sah dan yang tidak sah. Prinsip ini diterangkan oleh Allah
dalam firman-Nya :
16
16
Q.S. An-Nisa’ (4) : 29-30.
18. 18
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu 17; Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian
dengan melanggar hak dan aniaya, Maka kami kelak akan memasukkannya ke
dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
Ayat ini telah menetapkan dua perkara sebagai syarat bagi sahnya
perdagangan. Pertama, hendaklah perdagangan itu dilakukan dengan suka
sama suka diantara kedua belah pihak. Kedua, hendaklah keuntungan satu
pihak, tidak berdiri di atas dasar kerugian pihak yang lain. Maksudnya adalah
bahwa tiap-tiap orang yang merugikan orang lain untuk membela kepentingan
pribadinya, maka seolah-olah ia menumpahkan darahnya dan membukakan
jalan kebinasaan bagi dirinya akhir kesudahannya. Pencurian, penyuapan,
18
perjudian, jual beli secara gharar , penipuan, pemalsuan, membungakan
uang dan lain-lain jalan mencari kekayaan, apabila terdapat di dalamnya
kedua sebab ini menjadikan dia tidak sah. Dan jika hanya terdapat sebagian
syarat , misalnya “suka sama suka”, diantara kedua belah pihak, maka ia
masih membutuhkan satu syarat lagi, yaitu sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat :
Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri.”
b. Larangan menumpuk / mengumpulkan harta.
17
Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab
membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, Karena umat merupakan suatu kesatuan.
18
Jual beli secara gharar, artinya jual beli yang membawa kebinasaan (resiko), seperti tidak
diketahuinya ketentuan barang yang diperjual belikan, atau tidak diketahui harganya,banyaknya,
temponya kalau di sana ada tempo, atau tidak diketahui kepastian adanya barang itu dan
keselamatannya.
19. 19
Bahwa seyogyanya seseorang yang baik tidak mengumpulkan harta yang
didapatnya dengan jalan yang sah, karena yang demikian itu menghambat
perputaran kekayaan dan merusak keseimbangan dalam pembagiannya
dikalangan masyarakat ramai. Orang yang mengumpulkan harta dan tidak
membelanjakannya, tidak hanya mencampakkan dirinya ke dalam berbagai
penyakit moril saja, tetapi juga melakukan sesuatu kejahatan yang besar
terhadap masyarakat seluruhnya, dimana madharatnya dan keburukannya akan
kembali menimpa dirinya juga. Oleh karena itu Islam sangat mencela dan
memerangi sifat kebakhilan, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-
Qur’an:
19
Artinya :” Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan
kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi
mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka
bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. dan kepunyaan
Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Allah mengetahui apa
yang kamu kerjakan.”
c. Perintah untuk membelanjakan harta. Tetapi walaupun demikian Islam tidak
membenarkan umatnya membelanjakan hartanya dengan jalan boros, semata-
mata untuk memuaskan hawa nafsu. Akan tetapi didalam membelanjakan
harta tersebut haruslah didasari “fi sabilillah”. Hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT :
19
Q.S. Ali Imran (5): 180.
20. 20
20
Artinya : “…. dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "
yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir.”
21
Artinya : “ Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang
(miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau
meminta).”
22
Artinya : “ Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-
lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. dan apa
saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu
untuk kamu sendiri. dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan Karena
mencari keridhaan Allah. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan,
niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak
akan dianiaya (dirugikan).”
d. Zakat.
Kewajiban zakat dimaksudkan agar supaya kekayaan tidak dibiarkan
terkumpul disalah satu tempat dalam masyarakat.
e. Hukum Waris.
Yang dikehendaki dalam aturan ini adalah apabila seseorang meninggalkan
harta benda, maka harta bendanya tersebut dibagi-bagikan kepada sanak
kerabatnya yang terdekat, dan apabila tidak meninggalkan sanak kerabat
20
Q.S. Al-Baqarah (2) : 219.
21
Q.S. Al-Ma’arij (70) : 24-25.
22
Q.S. Al-Baqarah (2) : 272.
21. 21
semua harta peninggalannya harus diserahkan ke Baitul Mal kaum muslimin,
supaya dapat dinikmati manfaatnya oleh seluruh umat.
f. Pembagian rampasan perang.
Islam telah mengatur harta-harta yang diperoleh dari hasil rampasan perang,
secara lebih adil dan lebih bermanfaat bagi sesama pihak.
g. Perintah untuk berhemat dalam perbelanjaan.
Islam menghendaki, bahwa tidak seyogyanya seseorang membelanjakan
hartanya kecuali dalam batas-batas kemampuan ekonominya 23
Berangkat dari uraian di atas, dapat dimunculkan kerangka teori sebagai
berikut :“Bahwa ikatan antara kepentingan pribadi dan kepentingan
masyarakat adalah erat-semata-mata karena fitrah keduanya. Antara keduanya
harus ada keselarasan dan keserasian, bukan persaingan dan pertarungan.”24
Sementara itu, untuk menyelesaikan sengketa ekonomi/bisnis syari’ah pada
umumnya pihak penggugat menuntut ganti rugi dari pihak tergugat atas tidak
terpenuhinya “prestasi” yang telah disepakati bersama dalam suatu akad
perjanjian yang telah dibuat oleh mereka. Oleh karena itu disini perlu
dijelaskan beberapa teori ganti rugi (ta’wid, daman).
Berkaitan dengan hal tersebut definisi .daman mengandung makna-makna
sebagai berikut:
1. Objek wajib ̣ḍaman terletak pada zimmah (perjanjian). Kewajiban .daman
tidak akan gugur kecuali dengan memenuhi atau dibebaskan oleh pihak
23
Abu A’la Al-Maududi, Dasar-Dasar Ekonomi Islam dan Berbagai System Masa Kini,alih
bahasa Abdullah Suhaili, cet. Kedua (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1984) hal . 136
24
Ibid, hal. 13.
22. 22
yang berhak menerima ganti rugi tersebut. Pihak yang dirugikan
(mutadarrar) berhak mengadukan ke pengadilan untuk memaksa pihak
yang menyebabkan terjadinya kerugian (mutasabbib) agar memenuhi
kewajibannya. Hal ini berbeda dengan kewajiban yang bersifat moral atau
keagamaan di mana Syari’ hanya mendorong untuk memenuhinya tanpa
implikasi hukuman keduniaan atas pelenggaran itu. Hal ini termasuk
katagori khitab al-targib yang meliputi, dalam istilah kaum ushuli,
makruhat dan mandubat. Zimmah menurut bahasa adalah al-aqdu
(perjanjian). Menurut tradisi fuqaha’ zimmah adalah suatau sifat yang
menjadikan seseorang mempunyai kompetensi untuk menerima hak atau
melakukan kewajiban.
2. Hak yang dibebankan kepada seseorang berdasarkan .daman berbeda
dengan kewajiban seseorang berdasarkan ‘uqubah baik pada karakter
maupun tujuannya. Wajib karena .daman disyariatkan untuk melindungi
hak-hak individu. Pada saat yang sama ‘uqubah disyariatkan karena
adanya unsur pelanggaran (al-ta’addi) terhadap hak-hak Allah SWT.
Wajib pada .daman disyariatkan untuk mengganti atau menutupi (al-ajru)
kerugian yang terjadi pada seseorang. Sementara ‘uqubah ditetapkan
untuk menghukum pelaku agar jera dan tidak melakukan perbuatan itu
kembali (al-zajru).
3. Sebab-sebab .daman adalah adanya unsur al-ta’adi , yaitu melakukan
perbuatan terlarang dan atau tidak melakukan suatu kewajiban menurut
hukum. Ta’addi dapat terjadi karena melanggar perjanjian dalam akad
23. 23
yang semestinya harus dipenuhi. Misalnya, tempat penitipan barang (al-
muda) tidak memelihara barang sebagaimana mestinya, seorang al-ajir
(buruh upahan, orang sewaan) dengan al-musta’jir (penyewa) sama-sama
meyalahi akad. Ta’addi juga dapat terjadi karena melanggar hukum
syari’ah (mukhalafatu ahkam syari’ah) seperti pada kasus perusakan
barang (al-itlaf), perampasan(al-gash), maupun kelalaian atau penyia-
nyiaan barang secara sengaja (al-ihmal).
4. Ta’addi yang mewajibkan .daman benar-benar menimbulkan ..darar
(kerugian). Jika tidak menimbulkan kerugian, maka tidak ada .daman,
karena secara fatual tidak ada .darar yang harus digantirugikan. Itulah
sebabnya jika seorang pengendara yang lalai menabrak barang orang lain
tetapi tidak menimbulkan kerusakan, tidak diwajibkan untuk memberikan
.daman. Namun demikian, tedapat suatu perbuatan dengan sendirinya
mewajibkan .daman seperti al-gasbu (perampasan) . Menurut jumhur
ulama, pelaku perampasan harus mengganti manfaat barang yang
dirampas walaupun tidak memanfaatkannya. Ini adalah bagian dari adanya
asumsi bahwa kerugian akan selalu ada pada kasus-kasus perampasan.
Damikian pula diduga kuat akan terjadi kerugian (.darar) bagi seseorang
yang dibatasi kebebasannya atau seseorang yang ditahan secara ilegal
menurut fuqaha’ Hanabilah. Hal ini mirip dengan Strict Liability dalam
hukum Inggris. Pengecualian ini memperkuat kaidah bahwa al-.darar
syarthum liwujubi .daman (kerugian adalah syarat terhadap keharusan
ganti rugi).
24. 24
5. Antara ta’addi (pelanggaran) dengan .darar (kerugian) harus memiliki
hubungan kausalitas. Artinya, .darar dapat dinisbatkan kepada pelaku
pelanggaran secara langsung. Jika .darar dinisbatkan kepada sebab-sebab
lain, bukan perbuatan pelaku pelanggaran (muta’addi) sendiri, maka
.daman tidak dapat diberlakukan , karena seseorang tiadak dapat dibebani
tanggungjawab atas akibat perbuatan orang lain. Kaidah syariah mengenai
masalah ini adalah:
.غيره الزتزر وازرة وزر اخر ؛ ال يؤاخذ احد بجريرة
6. .darar harus bersifat umum sesuai dengan keumuman hadit Nabi: laa
.darara wa la .dirara (tidak boleh merugikan diri sendiri dan merugikan
orang lain). Tingkat .darar diukur berdasarkan ‘urf (kebiasaan) yang
berlaku. Hal ini sejalan dengan kaidah ushul: yajibu hamlu al-laf.zi ‘ala
ma’nahu al-muhaddah fi as-syar’i in wujida, wa illa wajaba hamluhu
‘ala ma’nahu al-‘urfi (suatu keharusan membawa kata kepada maknanya
yang definitif secara syara’ jika ditemukan, tetapi kalau tidak ada harus
dialihkan kepada makna definitif berdasarkan ‘urf). Karena Syari’ tidak
menetapkan makna .darar , sehingga ukurannya, baik kualitas maupun
kuantitas, mengaju kepada ‘urf. Dengan demikian, .darar yang diganti
rugi berkaitan dengan harta benda, manfaat harta benda, jiwa, dan hak-hak
yang berkaitan dengan keharta-bendaan jika selaras dengan ‘urf yang
berlaku di tengah masyarakat.
7. Kualitas dan kuantitas .daman harus seimbang dengan .darar. Hal ini
sejalan dengan filosofi .daman, yaitu untuk mengganti dan menutupi
25. 25
kerugian yang diderita pihak korban, bukan membuat pelakunya agar jera.
Kendati demikian, tujuan ini selalu ada dalam berbagai sanksi, walau
hanya bersifat konvensional.25
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Oleh karena penelitian ini bersifat penelitian pustaka ( Library Research),
maka metode yang dipergunakan untuk memperoleh data yang dikehendaki
adalah dengan jalan menggali/mengeksplorasi nilai-nilai maupun norma-
norma hukum Islam yang berkaitan dengan persoalan yang sedang diteliti,
baik yang terdapat di dalam kitab suci Al-Qur’an, kitab-kitab hadis, kitab-
kitab fiqh/ushul fiqh, peraturan perUndang-Undangan, fatwa Majelis Ulama
Indonesia maupun sumber-sumber lain yang berkaitan.
2. Jenis Penelitian
Dari segi kegunaan atau manfaatnya, penelitian ini lebih tepat
dikategorikan sebagai jenis penelitian terapan (Applied Research), yakni
jenis penelitian yang dilakukan dalam rangka menjawab kebutuhan dan
memecahkan masalah-masalah praktis, sehingga jenis penelitian ini dapat
juga di sebut dengan operational research (penelitian operasi) atau action
research (penelitian kerja).26
25
Asmuni Mth, Teori Ganti Rugi (.daman) Perspektif Hukum Islam, diktat kuliah pada program
Magister Studi Islam UII Yogyakarta. Hal. 8.
26
Supardi, Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis, Cet.1 (Yogyakrta: UII Press,2005)
,hal. 26
26. 26
3. Pendekatan
Sedangkan pendekatan yang dipakai dalam menjawab persoalan yang
telah dirumuskan adalah menggunakan pendekatan perUndang-Undangan
(statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) dan
sekiranya dalam proses penulisan tesis ini muncul kasus tentang sengketa
ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama, maka tidak menutup
kemungkinan juga akan dipergunakan pendekatan kasus (case approach).
Pendekatan Undang-Undang (statute approach) dilakukan dengan
menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan
praktis, pendekatan Undang-Undang ini akan membuka kesempatan bagi
peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu
Undang-Undang dengan Undang-Undang lainnya atau antara Undang-
Undang dengan Undang-Undang Dasar atau antara regulasi dan Undang-
Undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk
memecahkan suatu isu yang dihadapi. 27
Pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam
suatu ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide
yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum
27
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, cet. Ke-2 (Jakarta:
Kencana,2005), hal. 93
27. 27
dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman
akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan
sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam
memecahkan isu yang dihadapi.28
Sedangkan pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah
terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah
menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap. Kasus bisa berupa kasus yang terjadi di Indonesia maupun di
negara lain. Yang menjadi kajian pokok dalam pendekatan kasus adalah
ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk
sampai kepada suatu putusan. Baik untuk keperluan praktik maupuin
untuk kajian akademis, ractio decidendi atau reasonimg tersebut
merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu
hukum. Perlu dikekmukakan di sini bahwa pendekatan kasus tidak sama
dengan studi kasus (case study). Didalam pendekatan kasus (case
approach), beberapa kasus ditelaah untuk referensi bagi suatu isu hukum.
Studi kasus merupakan suatu studi terhadap kasus tertentu dari berbagi
aspek hukum, …29
4. Metode Analisis Data
Lebih lanjut untuk menganalisis data yang diperoleh dipergunakan
metode induktif, yakni berusaha mencari aturan-aturan, nilai-nilai maupun
28
Ibid, hal. 95
29
Ibid, hal. 94
28. 28
norma-norma hukum yang terdapat dalam pustaka yang terkait untuk
dirumuskan sebagai suatu kaidah hukum tertentu yang bisa diberlakukan
untuk menyelesaikan kasus sengketa ekonomi syari’ah di Pengadilan
Agama.
H. Sistematika Pembahasan
Untuk memperoleh gambaran awal tentang isi, pembahasan tesis ini
disusun berdasaarkan sisitematika sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan; dalam bab ini dibahas tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka dan
kerangka teori serta metode penelitian dan sisitematika pembahasan.
BAB II : Tinjauan Umum tantang Ekonomi Syariah; dalam bab ini
dibahas tentang konsep dan sistem ekonomi syari’ah, macam-macam aktivitas
ekonomi syari’ah, sumber-sumber hukum ekonomi syari’ah dan ragam
konflik ekonomi syari’ah, bab ini dimaksudkan untuk menjawab persoalan
hal-hal apa saja yang rawan terjadinya konflik atau sengketa dalam aktivitas
perekonomian yang berbasis syari'ah, serta prinsip-prinsip ekonomi syari’ah.
BAB III : Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah; dalam bab ini
dibahas tentang penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah dengan jalan
musyawarah, melalui badan arbitrase dan penyelesaian sengketa ekonomi
syari’ah melalui Badan Peradilan Agama. Dalam bab ini dimaksudkan untuk
menjelaskan dan menjawab persoalan bagaimana mestinya sengketa dibidang
perekonomian syari'ah tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan nilai-nilai
29. 29
yang Islami yang menjunjung tinggi rasa keadilan serta Pengadilan Agama
mana yang berwenang menyelesaikan sengketa dimaksud .
BAB IV : Analisis Data; Dalam bab ini dimaksudkan untuk menganalisis
data yang diperoleh sepanjang penelusuran pustaka yang relevan mapun dari
hasil wawancara dengan praktisi hukum yang berkompeten dalam
penyelesaian perkara sengketa ekonom syari'ah.
BAB V : Penutup; pada bab ini dideskripsikan kesimpulan penyusun
hasil analisis pembahasan dan saran/rekomendasi yang dipandang perlu.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG EKONOMI SYARI'AH
A. Konsep dan Sistem Ekonomi Syari'ah.
Gagalnya kapitalisme maupun sosialisme dalam menciptakan
kesejahteraan masyarakat, mengharuskan adanya pemecahan. Karena itu,
negara-negara muslim sangat membutuhkan suatu sistem yang lebih baik
yang mampu memberikan semua elemen berperan dalam rangka mencapai
kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia sejati. Sesuai dengan firman
Allah dalam Al-Qur’an :
30
.
Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila
Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu 31,
30
Q.S. Al-Anfal (8) : 24.
31
Maksudnya: menyeru kamu berperang untuk meninggikan kalimat Allah yang dapat
membinasakan musuh serta menghidupkan Islam dan muslimin. juga berarti menyeru kamu
kepada iman, petunjuk jihad dan segala yang ada hubungannya dengan kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat.
30. 30
Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya
32
dan Sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan “.
Sistem Ekonomi Islam yang dilandasi dan bersumber pada ketentuan Al-
Qur’an dan Sunnah berisi tentang nilai persaudaraan, rasa cinta, penghargaan
kepada waktu, dan kebersamaan. Adapun sistem ekonomi Islam meliputi
antara lain :
1.Mengakui hak milik individu sepanjang tidak merugikan masyarakat.
2. Individu mempunyai perbedaan yang dapat dikembangkan berdasarkan
potensi masing-masing.
3.Adanya jaminan sosial dari negara untuk masyarakat terutama dalam
pemenuhan kebutuihan pokok manusia .
4.Mencegah konsentrasi kekayaan pada sekelompok kecil orang yang
memiliki kekuasaan lebih.
5. Melarang praktek penimbunan barang sehingga mengganggu distribusi
dan stabilitas harga.
6. Melarang praktek asosial (mal-bisnis).33
B.Macam-Macam Aktivitas Ekonomi Syari’ah
Aktivitas ekonomi syari’ah atau ekonomi Islam sangatlah luas dan banyak
sebanyak aktivitas kehidupan manusia didalam memperoleh kesejahteraan
kehidupan di dunia ini, sebab menusia memang diperintahkan untuk
memenuhi kesejahteraannya di dunia ini tanpa melupakan kebahagiannya di
32
Maksudnya: Allah-lah yang menguasai hati manusia
33
Gita Danupranata, Ekonomi Islam, cetakan pertama (Yogyakarta : UPFE-UMY,2006) hal
26-27.
31. 31
akhirat kelak. Sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat Al-
Qoshosh ayat 77 :
Artinya :” Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Namun dalam hal ini akan dibatasi pada aktivitas-aktivitas ekonomi
syari’ah yang sudah populer dan melembaga di Indonesia, sebagaimana yang
tercantum didalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Untuk itu berikut ini akan diuraiakan beberapa aktivitas ekonomi syari’ah
yang berkembang di Indonesia , diantaranya :
1. Bank Syari’ah
a.Pengertian
Bank Islam atau bank syari’ah secara teknis mempunyai persamaan
pengertian. Para Pakar pebankan Islam memberikan beberapa definisi.
Menurut Karnaen A. Perwaatmadja, bank syari’ah adalah bank yang
beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, yakni bank dengan tata
cara dan operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam. Salah
satu unsur yang harus dijauhi dalam muamalah Islam adalah praktik-
praktik yang mengandung unsur riba.34
34
Karnaen A. Perwaatmadja, Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia, dalam Sofiniyah
Ghufron (Penyunting) Briefcase Book Edukasi Profesional Syari’ah, Konsep dan Implementasi
32. 32
Sedangkan Warkum Sumitro mengatakan bahwa bank Islam berarti
bank yang tata cara operasinya didasarkan pada tata cara bermuamalah
secara Islami, yakni mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan
hadits. Dalam operasionalisasinya, bank Islam harus mengikuti atau
berpedoman kepada praktik-praktik usaha yang dilakukan pada zaman
Rasulullah SAW, bentuk-bentuk yang sudah ada sebelumnya tetapi tidak
dilarang oleh Rasulullah bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijtihad
para ulama atau cendekiawan muslim yang tidak menyimpang dari
ketentuan Al-Qur’an dan hadits.35
Senada dengan pengertian di atas, Amin Azis juga berpendapat bahwa
bank Islam adalah lembaga perbankan yang menggunakan sistem dan
operasi berdasarkan syariah Islam. Hal ini berarti, operasional bank syari
’ah harus sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an maupun hadits, yaitu
menggunakan sistem bagi hasil dan imbalan lainnya sesuai dengan
syari’ah Islam.36
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan bank Islam adalah sebuah lembaga keuangan yang
berfungsi sebagai penghimpun dana dan menyalurkannya kepada
masyarakat. Di mana sistem, tata cara, dan mekanisme kegiatan usahanya
berdasarkan pada syariat Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadits.
Dalam Al-Qur’an, istilah bank tidak pernah disebutkan secara
eksplisit, tetapi menurut Arifin, jika yang dimaksud merujuk pada sesuatu
Bank Syari’ah, cet. 1, (Jakarta : Renaisan, 2005), hal.18.
35
Ibid, hal.19.
36
Ibid.
33. 33
yang memiliki unsur-unsur seperti struktur, manajemen, fungsi, hak dan
kewajiban, maka semua itu disebutkan dengan jelas seperti zakat,
shodaqoh, ghanimah, bai’, dan sebagainya., atau segala sesuatu yang
memiliki fungsi atau peran tertentu yang dilaksanakan dalam kegiatan
ekonomi.37
Sedangkan dilihat dari sisi ahlak, Al-Qu’an juga menyebutkan sebuah
konsep yang secara eksplisit disebutkan dalam bentuk kisah maupun
perintah. Konsep accountability merupakan contoh kongkrit yang tertera
dalam beberapa ayat, misalnya QS al-Baqarah(2):282-283,
37
Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari’ah, dalam Sofiniyah Ghufron
(Penyunting), Ibid, hal. 20.
34. 34
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah38 tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya,
maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.
Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya)
atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan
janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan
lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu ’amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang 39 (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”(Q.S. Surat Al-Baqarah: 282-283)
Konsep trust (amanah) dalam QS al-Baqarah (2): 283, dan masih
banyak ayat lain yang berkaitan dengan konsep keadilan, amar ma’ruf
nahi mungkar, menegakkan kebenaran, dan berlaku sabar dalam rangka
menjaga stabilitas lembaga tersebut.40
38
Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan
sebagainya.
39
barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.
40
Sofiniyah Ghufron (Penyunting), Konsep dan Implementasi Bank Syari’ah, cet. I (Jakarta:
Renaisan, 2005) hal.20.
35. 35
b.Prinsip-Prinsip Prilaku Bisnis Syari’ah
Untuk menyesuaikan dengan aturan dan norma-norma Islam, sudah
semestinya diterapkan dalam perilaku bisnis termasuk dalam hal ini
praktek perbankan Islam, lima prinsip sebagai berikut :
1). Tidak ada transaksi keuangan berbasis bunga (riba);
2). Pengenalan pajak religius atau pemberian sedekah, zakat;
3). Pelarangan produksi barang dan jasa yang bertentangan dengan sistem
nilai Islam (haram);
4). Penghindaran aktivitas ekonomi yang melibatkan maisir (judi) dan
gharar (ketidakpastian);
5). Penyediaan Takaful (asuransi Islam).41
2. Reksadana Syari’ah
a. Memahami Reksadana Syari’ah
Menurut Undang-Undang Pasar Modal Nomor8 Tahun 1995, Pasal 1
ayat 27, Reksadana adalah suatu wadah yang dipergunakan untuk
menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya
diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi yang telah
mendapat izin dari Bapepam. Reksadana dapat terdiri dari berbagai
macam instrumen surat berharga seperti saham, obligasi, instrumen
pasar uang, atau campuran dari instrumen-instrumen di atas.
41
Latifa M. Algaud dan Mervyn K. Lewis, Islamic Banking, diterjemahkan oleh Burhan
Wirasubrata dengan judul Perbankan Syari’ah, Prinsip, Praktek, Pospek, cet.II (Jakarta : PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2005), hal. 48.
36. 36
Dengan demikian, sebuah reksadana merupakan hubungan trilateral
karena melibatkan beberapa pihak yang terikat sebuah kontrak atau trust
deed secara legal. Mereka adalah pemilik modal, manajer investasi, dan
bank kustodian.
Manajer investasi biasanya berbentuk perusahaan yang kegiatan
usahanya mengelola portofolio efek. Perusahaan pengelola disebut
dengan fund management company. Di samping sebagai pengelola
investasi, fund management company juga menangani masalah-masalah
yang berhubungan dengan pemasaran dan adaministrasi dana. Portofolio
efek adalah kumpulan (kombinasi) sekuritas, atau surat berharga atau
efek, atau instrumen yang dikelola.
Reksadana Syari’ah (Islamic Investment Funds) dalam hal ini
memiliki pengertian yang sama dengan reksadana konvensional, hanya
saja cara pengelolaan dan kebijakan investasinya harus berdasarkan
pada syariat Islam, baik dari segi akad, pelaksanaan investasi, maupun
dari segi pembagian keuntungan.
Islamic Investment Fund merupakan lembaga intermediaris yang
membantu surplus unit melakukan penempatan dan untuk
diinvestasikan. Salah satu tujuan dari Reksadana Syari’ah adalah
memenuhi kebutuhan kelompok investor yang ingin memperoleh
pendapatan investasi dari sumber dan cara yang bersih dan dapat
dipertanggungjawabkan secara religius, serta sejalan dengan prinsip-
prinsip syari’ah.
37. 37
Dengan demikian, Reksadana Syari’ah adalah suatu wadah yang
-digunakan oleh masyarakat untuk berinvestasi secara kolektif, di mana
pengelolaan dan kebijakan investasinya mengacu pada syri’at Islam.
Reksadana merupakan jalan keluar bagi para pemodal kecil yang
ingin ikut serta dalam pasar modal dengan modal minimal yang relatif
kecil dan kemampuan menanggung resiko yang sedikit. Reksadana
memiliki andil yang amat besar dalam perekonomian nasional karena
dapat memobilisasi dana untuk pertumbuhan dan pengembangan
perusahaan-perusahaan nasional, baik BUMN maupun swasta. Di sisi
lain, reksadana memberikan keuntungan kepada masyarakat berupa
keamanan dan keuntungan materi yang meningkatkan kesejahteraan
material.
Dari sisi tujuan Reksadana Syari’ah dapat disejajarkan dengan Sosial
Responsible Investment (SRI) atau Etical Investment , Sosially Aware
Investment, dan Value-based investment. Tujuan utama Reksadana
Syari’ah bukan semata-mata mencari keuntungan, tetapi juga memiliki
tanggungjawab sosial terhadap lingkungan, komitmen terhadap nilai-
nilai yang diyakini tanpa harus mengabaikan keinginan investornya.
Oleh karena itu, Reksadana Syari’ah tidak boleh menginvestasikan
dananya pada bidang-bidang yang bertentangan dengan Syariat Islam,
misalnya saham-saham atau obligasi-obligasi dari perusahaan yang
pengelolaan dan produknya bertentangan dengan syariat islam; pabrik
makanan atau minuman yang mengandung alkohol, daging babi, rokok,
38. 38
tembakau, jasa keuangan konvensional, pornografi, pelacuran, serta
bisnis hiburan yang berbau maksiat.42
Menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Nomor 20/DSN-
MUI/IV/2001, Reksadana Syari’ah adalah :
“ Reksadana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip syari’ah
Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta
(shahibul maal/rabb al maal) dengan manajer investasi sebagai wakil
shahibul maal, maupun antara manajer investasi sebagai wakil
shahibul maal dengan pengguna investasi.”
b. Ciri-Ciri dan Mekanisme Operasional Reksadana Syari’ah
Ciri-Ciri Operasional Reksadana Syari’ah :
1). Mempunyai Dewan Syariah yang bertugas memberikan arahan
kegiatan Manajer Investasi (MI) agar senantiasa sesuai dengan
syariah Islam.
2). Hubungan antara investor dari perusahaan didasarkan pada sistem
mudharabah, di mana satu pihak menyediakan 100% modal
(investor), sedangkan satu pihak lagi sebagai pengelola (manajer
investasi).
3). Kegiatan usaha atau investasinya diarahkan pada hal-hal yang
tidak bertentangan dengan syariah Islam.
Mekanisme Operasional Reksadana Syari’ah
Perbedaan paling mendasar antara reksadana konvensional dan
reksadana syari’ah adalah terletak tada proses screening dalam
42
Sofiani Ghufron (Penyunting), Briefcase Book Edukasi Profesional Syari’ah, Investasi Halal
di Reksa Dana Syari’ah, cet.1 (Jakarta : Renaisan, 2005), hal. 16.
39. 39
mengkonstruksi portofolio. Filterisasi menurut prinsip syariah adalah
mengeluarkan saham-saham yang memiliki aktifitas haram seperti
riba, gharar, minuman keras, judi, daging babi, rokok dan lain
sebagainya. Di samping itu, proses filterisasi juga dilakukan dengan
cara membersihkan pendapatan yang dianggap diperoleh dari kegiatan
haram dan membersihkannya dengan cara charity.
Dalam mekanisme kerja yang terjadi di reksadana ada tiga pihak
yang terlibat dalam pengelolaan dan, yaitu:
1). Manajer investasi sebagai pengelola investasi. Manajer investasi
ini bertanggungjawab atas kegiatan investasi, yang meliputi
analisa dan pemilihan jenis investasi, mengambil keputusan-
keputusan investasi, memonitor pasar investasi, dan melakukan
tindakan-tindakan yang dibutuhkan untuk kepentingan investor,.
Manajer investasi (perusahaan pengelola) dapat berupa:
a). Perusahaan efek, dimana umumnya berbentuk devisi tersendiri
atau PT yang khusus menangani reksa dana.
b). Perusahaan yang secara khusus bergerak sebagai perusahaan
manajemen investasi (PMI) atau investment manajemen
company.
2). Bank kustodian adalah bagian dari kegiatan usaha suatu bank yang
bertindak sebagai penyimpan kekayaan (safe keeper) serta
administrator reksadana. Dana yang terkumpul dari sekian banyak
investor bukan merupakan bagian kekayaan manajer investasi
40. 40
maupun bank kustodian, tetapi milik para investor yang disimpan
atas nama reksadana dari bank kustodian. Baik manajer investasi
maupun bank kustodian yang akan melakukan kegiatan ini terlabih
dahulu harus mendapat ijin dari Bapepam.
3). Pelaku (perantara) di pasar modal (broker, underwriter) maupun
di pasar uang (bank) dan pengawas yang dilakukan oleh Bapepam.
c. Jenis dan Instrumen Investasi
Investasi hanya dapat dilakukan pada instrumen keuangan yang sesuai
dengan syari’ah Islam, yaitu :
1).Instrumen saham yang sudah melalui penawaran umum dan
pembagian deviden didasarkan atas tingkat laba usaha.
2).Penempatan dalam deposito pada Bank Umum Syari’ah.
3) Surat hutang jangka panjang dan jangka pendek yang sesuai dengan
prinsip syari’ah. 43
Berikut ini adalah kaidah-kaidah syari’ah yang telah dipenuhi dalam
instrumen saham :
1). Kaidah syar’iah untuk saham :
a). Bersifat musyarakah jika saham ditawarkan secara terbatas;
b). Bersifat mudharabah jika saham ditawarkan secara terbatas.
c).Tidak boleh ada perbedaan jenis saham karena resiko harus
ditanggung oleh semua pihak.
43
Ibid, hal.32.
41. 41
d).Seluruh keuntungan akan dibagi hasil, dan jika terjadi kerugian akan
dibagi rugi bila perusahaan dilikuidasi.
e). Investasi pada saham tidak dapat dicairkan kecuali setelah likuidasi.
2). Kaidah syari’ah untuk emiten :
a). Produk/jasa yang dihasilkan dikategorikan halal. Dalam hal ini, JII
(Jakarta Islamic Index) telah melakukan penyaringan terhadap
saham yang listing. Berdasarkan fatwa DSN, BEJ memilih emiten
yang unit usahanya sesuai dengan syari’ah.
b). Hasil usaha tidak mengandung unsur riba dan tidak bersifat zalim.
c). Tidak menempatkan investor dalam kondisi gharar atau maysir.
_ Memberi informasi yang transparan
_ Resiko usaha yang wajar dan memenuhi ketentuan.
_ Manajemen Islami
_ Menghormati HAM
_ Menjaga sumber daya alam dan lingkungan hidup.
3). Kaidah syariah untuk pasar perdana :
a). Semua akad harus berbasis pada transaksi yang riil (dengan
penyerahan) atas produk dan jasa yang halal dan bermanfaat.
b). Tidak boleh menertibkan efek hutang untuk membayar kembali
hutang.
c). Dana hasil penjualan efek yang diterbitkan akan dietrima oleh
perusahaan.
42. 42
d). Hasil investasi yang akan diterima pemodal merupakan fungsi dan
manfaat yang diterima emiten dari modal yang diperoleh dari dana
hasil penjualan efek dan tidak boleh semata-mata merupakan fungsi
dari waktu..
4). Kaidah syariah untuk pasar sekunder :
a). Semua efek harus berbasis pada transaksi riil (dengan penyerahan)
atas produk dan jasa yang halal.
b). Tidak boleh membeli efek hutang dengan dana dari hutang atau
menerbitkan surat hutang.
c). Tidak boleh membeli berdasarkan tren atau indek.
d). Tidak boleh memperjual belikan hasil yang diperoleh dari suatu efek
(misalnya kupon, dividen) walaupun efeknya sendiri dapat
diperjualbelikan.
e). Tidak boleh melakukan transaksi murabahah dengan menjadikan objek
transaksi sebagai jaminan.
f). Transaksi tidak menyesatkan, seperti penawaran palsu dan cornering
Salah satu faktor utama yang menyebabkan gerakan yang tidak stabil
dalam harga saham adalah spekulasi dalam pembayaran uang muka atau obral
saham dengan harga marjinal. Para spekulan mencari keuntungan perbedaan
harga dalam transaksi jangka pendek.
Spekulan berbeda kontras dengan investor. Tujuan investor yang sungguh-
sungguh adalah mencari jalan keluar dari tabungan saham yang mereka miliki
jika mereka benar-benar mau menjual di kemudian hari. Investor yang
43. 43
sesungguhnya tidak tertarik pada transaksi berjangka pendek dan tujuan
mereka, setidaknya saat pembelian, adalah memegang saham dalam jangka
panjang. Oleh karena itu, ada tiga hal yang mencirikan suatu inventasi di pasar
modal yaitu ;
a). Mengambil saham yang telah dibeli,
b) Melakukan pembayaran penuh,
c) Keinginan pada saat membeli untuk memegang saham dalam jangka waktu
yang tidak tertentu.44
3. Gadai Syari’ah
a. Rukun dan Syarat Transaksi Gadai
Setiap akad harus memenuhi syarat syah dan rukun yang telah ditetapkan
oleh para ulama fiqih. Walaupun terdapat perbedaan mengenai hal ini,
namun secara syarat syah dan rukun dalam menjalankan pegadaian sebagai
berikut:
Rukun Gadai :
1). Shigat adalah ucapan berupa ijab dan qabul.
2). Orang yang berakad, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan orang
yang menerima gadai (murtahin).
3). Harta / barang yang dijadikan jaminan (marhun).
4). Hutang (Marhun bih)
44
Sofiniyah Ghufron (Penyunting), Briefcase Book Edukasi Profesional Syari’ah, Sistem
Keuangan dan Investasi Syari’ah, cet.I,(Jakarta : Renaisan, 2005), hal. 33-36.
44. 44
Syarat Sah Gadai :
1). Shigat
Syarat shigat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan dengan
masa yang akan datang. Misalnya; rahin mensyaratkan apabila tenggang
waktu marhunbih habis dan marhunbih belum terbayar, maka rahin
dapat diperpanjang satu bulan. Kecuali jika syarat tersebut mendukung
kelancaran akad maka diperbolehkan seperti pihak murtahin minta agar
akad itu disaksikan oleh dua orang.
2). Orang yang berakad. Baik rahin maupun martahin harus cakap dalam
melakukan tindakan hukum, baligh dan berakal sehat, serta mampu
melakukan akad. Bahkan menurut ulama Hanafiyah, anak kecil yang
mumayyis dapat melakukan akad, karena ia dapat membedakan yang
baik dan yang buruk.
3). Marhun bih
a). Harus merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin.
b).Merupakan barang yang dapat dimanfaatkan, jika tidak dapat
dimanfaatkan, maka tidak syah.
c). Barang tersebut dapat dihitung jumlahnya.
4). Marhun
a). Harus berupa harta yang bisa dijual dan nilainya seimbang dengan
marhun bih.
b). Marhun harus mempunyai nilai dan dapat dimanfaatkan.
45. 45
c). Harus jelas dan spesifik.
d). Marhun itu secara sah dimiliki oleh rahin.
e). Merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat.
b. Hak dan Kewajiban pihak Penerima Gadai (Murtahin)
1). Hak Murtahin ( Penerima Gadai ) :
(a).Pemegang gadai berhak menjual marhun apabila rahin tidak dapat
memenuhi kewajibannya pada sat jatuh tempo. Hasil penjualan barang
gadai (marhun) dapat digunakan untuk melunasi pinjaman (marhun
bih) dan sisanya dikembalikan kepada rahin.
(b).Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah
dikeluarkan untuk menjaga keselamatan marhun.
(c).Selama pinjaman belum dilunasi, pemegang gadai berhak menahan
barang gadai yang diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin).
2.) Adapun kewajiban penerima gadai (murtahin) adalah :
(a) Penerima gadai bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya
barang gadai, apabila hal itu disebabkan oleh kelalaiannya.
(b) Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk
kepentingan sendiri.
(c) Penerima gadai wajib memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum
diadakan pelelangan barang gadai.
c. Hak dan Kewajiban Rahin (Pemberi Gadai)
46. 46
1). Hak pemberi gadai adalah:
(a). Pemberi gadai berhak mendapatkan kembali barang gadai, setelah ia
melunasi pinjaman.
(b). Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan dan
hilangnya barang gadai, apabila hal itu disebabkan kelalaian penerima
gadai.
(c). Pembari gadai berhak menerima sisa hasil penjualan barang gadai setelah
dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya.
(d). Pemberi gadai berhak meminta kembali barang gadai apabila penerima
gadai diketahui menyalahgunakan barang gadai.
2). Kewajiban pembari gadai:
(a) Pemberi gadai wajib melunasi pinjaman yang telah diterimanya dalam
tenggang waktu yang ditentukan, termasuk biaya-biaya yang ditentukan
oleh penerima gadai.
(b) Pemberi gadai wajib merelakan penjualan atas barang gadai miliknya,
apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak
dapat melunasi pinjamannya.
d. Akad Perjanjian Transaksi Gadai
Untuk mempermudah mekanisme perjanjian gadai antara rahin (pemberi
gadai) dan murtahin (penerima gadai), maka dapat menggunakan tiga akad
perjanjian, antara lain:
1). Akad Qard al-Hasan
47. 47
Akad ini biasanya dilakukan pada nasabah yang ingin menggadaikan
barangnya untuk tujuan konsumtif. Untuk itu, nasabah (rahin) dikenakan
biaya berupa upah / fee kepada pihak pegadaian (murtahin) karena telah
menjaga dan merawat barang gadaian (marhun).
Sebenarnya, dalam akad qard al-hasan tidak diperbolehkan memungut
biaya kecuali biaya administrasi. Namun demikian, ketentuan untuk biaya
administrasi pada pinjaman dengan cara:
• Harus dinyatakan dalam nominal, bukan persentase.
• Sifatnya harus jelas, nyata dan pasti serta terbatas pada
hal-hal yang mutlak diperlukan dalam kontrak.
Mekanisme pelaksanaan akad qard al-hasan:
(a). Barang gadai (marhun) berupa barang yang tidak dapat dimanfaatkan,
kecuali dengan jalan menjualnya dan berupa barang bergerak saja,
seperti emas, barang elektronik, dan sebagainya.
(b). Tidak ada pembagian bagi hasil, karena akad ini bersifat sosial. Tetap
diperkenankan menerima fee sebagai pengganti biaya administrasi
yang biasanya diberikan pihak pemberi gadai (rahin) kepada penerima
gadai.
.
2). Akad Mudharabah
Akad mudharabah adalah akad yang dilakukan oleh nasabah yang
menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha atau
pembiayaan yang bersifat produktif. Dengan akad ini, nasabah (rahin)
48. 48
akan memberikan bagi hasil berdasarkan keuntungan yang didapat
nasabah kepada pegadaian (marhum) sesuai dengan kesepakatan, sampai
modal yang dipinjam dilunasi.
Jika barang gadai (marhun) dapat dimanfaatkan, maka dapat
diadakan kesepakatan baru mengenai pemanfaatan barang gadai, dengan
jenis akad yang dapat disesuaikan dengan jenis barangnya. Jika pemilik
barang gadai tidak berniat memanfaatkan barang gadai tersebut, penerima
gadai dapat mengelola dan mengambil manfaat dari barang itu. Akan
tetapi hasilnya harus diserahkan kepada pemilik barang gadai sebagian.
Ketentuan akad mudharabah:
.(a). Jenis barang gadai dalam akad ini adalah semua jenis barang asal bisa
dimanfaatkan, baik berupa barang bergerak maupun barang tidak
bergerak. Seperti kendaraan bermotor, barang elektronik, tanah,
rumah, bangunan dan lain sebagainya.
(b). Keuntungan yang dibagikan kepada pemilik barang gadai adalah
keuntungan setelah dikurangi biaya pengelolaan. Adapun ketentuan
persentase nisbah bagi hasil sesuai dengan kesepakatan antara kedua
belah pihak.
3). Akad Ba’i Muqayyadah
Akad Ba’i Muqayyadah adalah akad yang dilakukan apabila nasabah
(rahin) ingin menggadaikan barangnya untuk keperluan produktif. Seperti
pembelian peralatan untuk modal kerja. Untuk memperoleh pinjaman,
nasabah harus menyerahkan barang sebagai jaminan berupa barang-
49. 49
barang yang dapat dimanfaatkan, baik oleh rahin maupun murtahin.
Dalam hal ini, nasabah dapat memberi keuntungan berupa mark up atas
barang yang dibelikan oleh murtahin. Atau dengan kata lain, murtahin
(pihak pegadaian) dapat memberikan barang yang dibutuhkan oleh
nasabah dengan akad jual beli, sehingga murtahin dapat mengambil
keuntungan berupa margin dari penjualan barang tersebut sesuai dengan
kesepakatan antara keduanya.
4). Akad Ijarah
Akad Ijarah adalah akad yang objeknya adalah penukaran manfaat
untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama
dengan menjual manfaat. Dalam kontrak ini ada kebolehan untuk
menggunakan manfaat atau jasa dengan ganti berupa kompensasi.
Dalam gadai syariah, penerima gadai (murtahin) dapat menyewakan
tempat penyimpanan barang (deposit box) kepada nasabahnya. Barang
titipan dapat berupa barang yang menghasilkan manfaat maupun tidak
menghasilkan manfaat. Pemilik yang menyewakan disebut muajjir
(pegadaian), sementara nasabah (penyewa) disebut mustajir, dan sesuatu
yang diambil manfaatnya disebut major, sedangkan kompensasi atau balas
jasa disebut ajron atau ujrah.45
4. Asuransi Syari’ah
a. Pengertian Asuransi Syari’ah
45
Sofiniyah Ghufron (Penyunting), Briefcase Book Edukasi Profesional Syari’ah, Mengatasi
Masalah Dengan Pegadaian Syari’ah, cet. I (Jakarta : Renaisan, 2005), hal. 31.
50. 50
Sebagaimana telah diterangkan pada bab terdahulu, dalam konsep
agama Islam terdapat suatu terminologi yang membedakan hubungan
manusia dengan Tuhan (hablum minallah) di satu sisi dan hubungan
manusia dengan sesamanya (hablum minannas) dan lingkungan sekitarnya
(hablum minal alam) di sisi lainnya. Hukum-hukum yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan seperti peribadatan misalnya adalah
bersifat limitatif (ta’abudi) artinya tidak dimungkinkan bagi manusia untuk
mengembangkannya. Sedangkan hukum-hukum yang mengatur hubungan
manusia dengan sesamanya dan lingkungan alam di sekitarnya adalah
bersifat terbuka, artinya Allah SWT dalam Al-qur’an hanya memberikan
aturan yang bersifat garis besarnya saja. Selebihnya adalah terbuka bagi
mujtahid untuk mengembangkan melalui pemikirannya.
Lapangan kehidupan ekonomi termasuk di dalamnya usaha
perasuransian, digolongkan di dalam hukum-hukum yang mengatur
hubungan manusia dengan sesamanya yang disebut dengan hukum
muamalah, oleh karena itu bersifat terbuka dalam pengembangannya.46
Pengertian kehidupan ekonomi dalam konteks perusahaan asuransi
menurut syari’ah atau asuransi Islam secara umum sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan asuransi konvensional. Di antara keduanya, baik asuransi
konvensional maupun asuransi syari’ah mempunyai persamaan yaitu
perusahaan asuransi hanya berfungsi sebagai fasilitator hubungan struktural
antara peserta penyetor premi (penanggung) dengan peserta penerima
46
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di
Indonesia , cetakan ke-4 (Jakarta : Kencana, 2007),hal. 135.
51. 51
pembayaran klaim (tertanggung). Secara umum asuransi Islam atau sering
diistilahkan dengan takaful dapat digambarkan sebagai asuransi yang prinsip
operasionalnya didasarkan pada syarat Islam dengan mengacu kepada Al-
Qur’an dan As-Sunnah.47
Dalam menerjemahkan istilah asuransi ke dalam konteks asuransi Islam
terdapat beberapa istilah, antara lain takaful (bahsa Arab), ta’min (bahasa
arab) dan Islamic insurance (bahasa Inggris). Istilah-istilah tersebut pada
dasarnya tidak berbeda satu sama lain yang mengandung makna
pertanggungan atau menanggung. Namun dalam prakteknya istilah yang
paling populer digunakan sebagai istilah lain dari asuransi dan juga paling
banyak digunakan di beberapa negara termasuk Indonesia adalah istilah
tafakul. Istilah tafakul ini pertama kali digunakan oleh Dar Al Mal Islami ,
sebuah perusahaan asuransi Islam di Genewa yang berdiri pada tahun
1983.48
Istilah tafakul dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar kafala-yakfulu-
takafala-yatakafalu-takaful yang berarti saling menanggung atau
menanggung bersama. Kata takaful tidak dijumpai dalam Al-Qur’an namun
demikian ada sejumlah kata yang seakar dengan kata takaful, seperti
misalnya dalam QS. Thaha (20) : 40 :
Artinya :"Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?" ِ
47
H.A. Dzajuli dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat (Sebuah
Pengenalan), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002) hal. 120.
48
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum...., hal. 136.
52. 52
Apabila kita memasukkan asuransi tafakul ke dalam lapangan kehidupan
muamalah, maka tafakul dalam pengertian muamalah mengandung arti yaitu
saling menanggung resiko di antara sesama manusia sehingga di antara satu
dengan lainnya menjadi penanggung atas resiko masing-masing. Dengan
demikian, gagasan mengenai asuransi tafakul berkaitan dengan unsur saling
menanggung resiko di antara para peserta asuransi, di mana peserta yang
satu menjadi penanggung peserta yang lainnya. Tanggung menanggung
resiko tersebut dilakukan atas dasar saling tolong-menolong dalam kebaikan
dengan cara masing-masing mengeluarkan dana yang ditujukan untuk
menanggung resiko tersebut. Perusahaan asuransi takaful hanya bertindak
sebagai fasilitator saling menanggung di antara para peserta asuransi. Hal
inilah salah satu yang membedakan antara asuransi tafakul dengan asuransi
konvensional, di mana dalam asuransi konvensional terjadi saling
menanggung antara perusahaan asuransi dengan peserta asuransi.
b. Prinsip-prinsip Asuransi Syari’ah
Prinsip utama dalam asuransi syari’ah adalah ta’awanu ‘ala al birr wa
al-taqwa (tolong –menolong kamu sekalian dalam kebaikan dan takwa)
dan al-ta’min (rasa aman). Prinsip ini menjadikan para anggota atau peserta
asuransi sebagai sebuah keluarga besar yang satu dengan yang lainnya
saling menjamin dan menanggung resiko. Hal ini disebabkan transaksi yang
dibuat dalam asuransi tafakul adalah akad takafuli (saling menanggung),
bukan akad tabaduli (saling menukar) yang selama ini digunakan oleh
53. 53
asuransi konvensional, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang
pertanggungan.
Para pakar ekonomi Islam mengemukakan bahwa asuransi syari’ah atau
asuransi tafakul ditegakkan atas tiga prinsip utama, yaitu:
1). Saling bertanggung jawab, yang berarti para peserta asuransi takaful
memiliki rasa tanggung jawab bersama untuk membantu dan menolong
peserta lain yang mengalami musibah atau kerugian dengan ikhlas,
karena memikul tanggung jawab dengan niat akhlas adalah ibadah.
Rasa tanggung jawab terhadap sesama merupakan kewajiban setiap
muslim. Rasa tanggung jawab ini tentu lahir dari sifat saling
menyayangi, mencintai, saling membantu dan merasa mementingkan
kebersamaan untuk mendapatkan kemakmuran bersama dalam
mewujudkan masyarakat yang beriman, bertakwa dan harmonis.
Dengan prinsip ini, maka asuransi tafakul merealisir perintah Allah
SWT dalam Al-Qur’an dan Rasulullah SAW dalam As-Sunnah tentang
kewajiban untuk tidak memerhatikan kepentingan diri sendiri semata
tetapi juga mesti mementingkan orang lain atau masyarakat.
2). Saling bekerjasama atau saling membantu, yang berarti di antara peserta
asuransi tafakul yang satu dengan yang lainnya saling bekerja sama dan
saling tolong menolong dalam mengatasi kesulitan yang dialami karena
sebab musibah yang diderita. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-
Maidah ayat 2 :
54. 54
Artinya :”... dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Dengan prinsip ini maka asuransi takaful merealisir perintah Allah
SWT dalam Al-Qur’an dan Rasulullah SAW dalam As-Sunnah tentang
kewajiban hidap bersama dan saling menolong di antara sesama unat
manusia.
3). Saling melindungi penderitaan satu sama lain, yang berarti bahwa para
peserta asuransi takaful akan berperan sebagai pelindung bagi musibah
yang di deritanya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Quraisy (106)
ayat 4:
Artinya :”Yang Telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan
mengamankan mereka dari ketakutan.”
Dengan begitu maka asuransi takaful merealisir perintah Allah SWT tentang
kewajiban saling melindungi di antara sesama warga masyarakat.
Karnaen A. Perwataatmadja mengemukakan prinsip-prinsip asuransi
takaful yang sama, namun beliau menambahkan satu prinsip dari prinsip yang
telah ada yakni prinsip menghindari unsur-unsur gharar, maisir dan riba.
Sehingga terdapat 4 prinsip asuransi syariah yaitu:
1. Saling bertanggung jawab;
2. Saling bekerja sama atau saling membantu;