Dokumen tersebut membahas kerangka hukum perlindungan biodiversitas di Indonesia, mulai dari konvensi internasional seperti CBD hingga peraturan nasional. Ada tantangan dalam melindungi biodiversitas pangan karena perkembangan teknologi seperti bioteknologi modern yang menghasilkan organisme hasil rekayasa genetika. Protokol Cartagena diadopsi untuk mengatur keamanan hayati dari organisme tersebut.
1. TANTANGAN HUKUM DALAM
PERLINDUNGAN BIODIVERSITAS PANGAN INDONESIA1
Wahyu Yun Santosa2
A. Pendahuluan
Tahun 2010 dicanangkan sebagai Tahun Internasional Keanekaragaman Hayati
(International Year of Biodiversity) oleh PBB. Tema yang diusung adalah “Biodiversity is
Life, Biodiversity is Our Life”. Puncak semangat biodiversitas dunia ini ditandai dengan
pelaksanaan Conference of the Parties (COP) 10 Convention on Biodiversity (CBD) di
Nagoya, Japan pada bulan Oktober kemarin. Arah pencanangan Tahun Internasional
Biodiversitas ini ditujukan pada beberapa hal: (1) menekankan pentingnya biodiversitas
bagi kesejahteraan umat manusia, (2) merefleksikan pencapaian upaya-upaya dalam
menyelamatkan keanekaragaman hayati, serta (3) mendorong agar upaya tersebut
dilipatgandakan guna mengurangi laju kepunahan biodiversitas.
Salah satu poin penting yang berhasil dirumuskan pada pertemuan Nagoya
kemarin adalah Protocol Nagoya on Access and Benefit Sharing (Protocol ABS). Secara
konseptual, protokol ini dapat menjamin adilnya pembagian keuntungan bagi negara-
negara berkembang yang kaya akan keanekaragaman hayati, termasuk Indonesia di
dalamnya. Keadilan dalam pembagian keuntungan dalam pemanfaatan biodiversitas di
negara berkembang, terutama kita fokuskan pada Indonesia, kerap menjadi satu
problem klasik yang krusial. Dengan disepakatinya Protokol ABS, negara-negara
berkembang yang kaya biodiversitas akan mendapatkan keuntungan jika
keanekaragaman hayati yang mereka miliki digunakan, misalnya untuk kebutuhan
industri farmasi atau untuk dikembangkan oleh negara-negara maju. Selain itu, akses
negara-negara maju untuk memperoleh keanekaragaman hayati itu juga harus sesuai
dengan Protokol ABS.
Dengan adanya protokol ABS ini, memang, tersisip satu harapan atas dilema yang
selama ini selalu menghantui kekayaan hayati kita yang begitu melimpah. Sudah
menjadi rahasia publik, jikalau “cakar paten” kerap menjadi ancaman dalam pengelolaan
biodiversitas Indonesia. Sekian banyak kekayaan biotik kita raib dari genggaman ketika
suatu penelitian atas biodiversitas berujung pada penguasaan pihak asing melalui hak
1
Disampaikan dalam Seminar Nasional Lingkungan Hidup “Semangat Perjuangan dari Jogja, Kembalikan Indonesiaku
Hijau” 23 Desember 2010, Auditorium Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta.
2
Dosen Hukum Lingkungan FH UGM. Dapat dikontak pada wahyu.yuns@yahoo.com
1
2. paten. Maka sangatlah beralasan, jikalau Protokol ini diapresiasi sebagai hasil
perjuangan panjang negara berkembang yang kaya akan keanekaragaman hayati.
Meskipun demikian, pertanyaan lebih lanjut yang kiranya (seperti biasa) perlu
diajukan adalah what next?. Tentunya ini menjadi (sekali lagi) rutinitas di birokrasi kita
setiap terdapat perkembangan baru rejim hukum internasional, meskipun terkadang
tanpa pengharapan jelas. Rejim perubahan iklim bukti riil dari stagnansi yang terjadi
ketika pertanyaan “apa selanjutnya” tidak segera terjawab maupun berusaha dijawab.
Dalam perspektif legal, suatu kepastian hukum diperlukan untuk ikut menjawab
pertanyaan ini. Seperti misalnya mengenai ketiadaan pengaturan tentang pengelolaan
sumber daya genetik Indonesia.
Atas dasar latar belakang singkat tersebut, kiranya menjadi perlu untuk
mengangkat topik mengenai tantangan hukum (legal challenges) yang perlu untuk kita
diskusikan bersama dalam membicarakan potensi biodiversitas Indonesia, termasuk di
dalamnya biodiversitas kehutanan. Tantangan hukum yang perlu dijawab nantinya akan
meliputi level perlindungan hukum (protection), pengaturan secara normatif (regulation),
serta pertanggungjawaban hukum (liability) dalam kaitannya dengan perlindungan
biodiversitas Indonesia.
B. Kerangka Hukum dalam Perlindungan Biodiversitas
Upaya frameworking pengelolaan biodiversitas telah dilakukan baik pada di tingkat
lokal (nasional) maupun global (internasional). Di tingkat global, terdapat Konvensi PBB
mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nations Conventions on Biological Diversity
atau CBD), yang merupakan salah satu produk KTT Bumi (Earth Summit) 1992 di Rio de
Janeiro, Brazil. Konvensi ini mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 1994, melalui
ratifikasi dalam bentuk UU Nomor 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi
Keanekaragaman Hayati.
Undang-undang ini menggariskan tiga konsep dasar dalam pelaksanaan
konservasi yaitu: (1) konservasi keanekaragaman hayati, (2) pemanfaatan berkelanjutan
dari komponennya, dan (3) pembagian keuntungan yang adil dan merata dari
penggunaan sumber daya genetis, termasuk akses yang memadai serta alih teknologi,
dan melalui sumber pendanaan yang sesuai. Kesepakatan lain yang ditandatangani oleh
pemerintah di tingkat internasional misalnya: CITES (Konvensi Perdagangan
Internasional Spesies Flora dan Fauna Liar yang Terancam–Convention on International
Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna), yang diratifikasi melalui Keppres
2
3. No. 43 Tahun 1978, dan Konvensi Ramsar mengenai Lahan Basah yang diratifikasi
melalui Keppres No.48 Tahun 1991.
Di tingkat nasional, kebijakan mengenai pelestarian keanekaragaman hayati
adalah UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (UU KSDAH) yang mengatur konservasi ekosistem dan spesies terutama di
kawasan lindung. Namun demikian, perundangan ini belum dapat dikatakan
komprehensif karena cakupannya masih berbasis kehutanan dan pelestarian hanya di
kawasan lindung. Padahal di luar kawasan lindung banyak sekali eksosistem yang
mengalami ancaman yang setara. Panduan (guidelines) dalam pelaksanaan perlindungan
dan konservasi tersebut terdapat dalam dokumen Indonesia Biodiversity Strategy and
Action Plan (IBSAP) yang disusun BAPPENAS pada 2003.
Upaya lain dalam menjamin adanya kepastian hukum dalam pengelolaan
biodiversitas dilakukan pada tahun 2004 melalui ratifikasi Protokol Cartagena melalui UU
Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengesahan Cartagena Protocol on Biosafety to the
Convention on Biological Diversity (Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati atas
Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati.3 Pengesahan Protokol Cartagena ini, pada
satu membawa tahapan baru dalam kerangka hukum perlindungan biodiversitas di
Indonesia. Hal ini dikarenakan lingkup pengaturan yang ada dalam Protokol Cartagena
membahas mengenai protokol keamanan yang perlu diterapkan dalam pengelolaan
Organisme Hasil Modifikasi Genetika (OHMG). Ancaman terhadap biodiversitas dari
perkembangan bioteknologi ini menjadi nyata seiring majunya pencapaian teknologi,
terutama di negara-negara maju.
Indonesia mengadopsi Protokol tersebut sebagai hukum Nasional untuk dijabarkan
dalam kerangka peraturan dan kelembagaan sehingga dapat:4
1. Mengakses informasi mengenai OHMG;
2. Meningkatkan pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara
berkelanjutan;
3. Memperoleh manfaat secara optimal dari penggunaan bioteknologi moderen secara
aman yang tidak merugikan keanekaragaman hayati dan kesehatan manusia;
4. Memperkuat landasan pengawasan perpindahan lintas batas OHMG, mengingat
Indonesia memilki garis pantai terpanjang kedua di dunia yang berpotensi sebagai
tempat keluar dan masuknya OHMG secara illegal;
3
Pengesahan Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity. Press release Pada Rapat Paripurna
Dewan 16 Juli 2004.
4
Manfaat Indonesia Mengesahkan Protokol Cartagena, diunduh dari http://www.indonesiabch.org/beritadetail.php?
id=11#Manfaat
3
4. 5. Mempersiapkan kapasitas daerah untuk berperan aktif dalam melakukan
pengawasan dan pengambilan keputusan atas perpindahan lintas batas OHMG;
6. Mewujudkan kerja sama antar Negara di bidang tanggap darurat untuk
menanggulangi bahaya yang terjadi akibat perpindahan lintas batas OHMG yang
tidak disengaja;
7. Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia di bidang
keamanan hayati baik di pusat maupun di daerah;
8. Memperkuat koordinasi nasional dan daerah khususnya pemahaman secara lebih
komprehensif bagi seluruh lemabaga pemerintahan terkait terhadap lalu lintas OHMG
yang merugikan bagian atau komponen keanekaragaman hayati Indonesia.
Koordinasi juga mencakup perwakilan Republik Indonesia di luar negeri sebagai
bagian terdepan dan jembatan bagi lalu lintas informasi mengenai perkembagan
bioteknologi;
9. Menggalang kerja sama internasional untuk mencegah perdagangan illegal produk
OHMG.
Protokol Cartagena disusun berdasarkan prinsip pendekatan kehati-hatian
(precautionary approach) sebagaimana tercantum dalam prinsip ke 15 Deklarasi Rio
yang berarti bila terdapat ancaman serius atau kerusakan yang tidak dapat dipulihkan,
kekurangan ilmu pengetahuan seharusnya tidak dipakai sebagai alasan untuk mencegah
kerusakan lingkungan.5
Ruang lingkup Protokol meliputi perpindahan lintas batas, persinggahan,
penanganan dan pemanfaatan semua OHMG yang dapat mengakibatkan kerugian
terhadap konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati. Dalam
pengaturan Protokol, OHMG dikategorikan menjadi tiga jenis pemanfaatan yaitu OHMG
yang diintroduksikan ke lingkungan; OHMG yang ditujukan untuk pemanfaatan langsung
sebagai pangan atau pakan atau untuk pengolahan; dan OHMG untuk pemanfaatan
terbatas (penelitian).
Permasalahannya, adanya aturan-aturan tersebut tidak sepenuhnya diberlakukan
secara tegas, sehingga upaya konservasi dan pengelolaan keanekaragaman dan
kekayaan hayati secara berkesinambungan berjalan parsial, sektoral, serta setengah
hati. Berbagai kerusakan hutan terjadi; ilegal loging, kebakaran hutan, sindikat
penjualan hewan dilindungi, kerusakan ekosistem pesisir, ataupun kerusakan terumbu
karang yang dari tahun ke tahun semakin meningkat.
5
Report of the Compliance Committee under the Cartagena Protocol on Biosafety on the Work of its Sixth Meeting. Compliance
Committee under the Cartagena Protocol on Biosafety Sixth Meeting, 4-6 November 2009, Montreal.
4
5. Memprihatinkan memang, jika konservasi dan pelestarian sumber daya alam yang
merupakan tanggung jawab bersama baik pemerintah, swasta, akademisi, maupun
masyarakat hingga kini masih timpang pelaksanaannya sehingga menyebabkan
ancaman bagi sumber biodiversitas di Indonesia. Permasalahan ego sektoral pihak-pihak
yang terkait dengan aspek konservasi kerap dipersalahkan di dalam hal ini. Meskipun
tidak sepenuhnya tepat, namun sejatinya isu perlindungan hukum biodiversitas akan
bersinggungan dengan bermacam aspek. Setidaknya ketika kita membicarakan
biodiversitas, terdapat beberapa isu sosio-ekonomi yang memiliki keterkaitan erat. Aspek
tersebut di antaranya: isu pemerataan kemanfaatan (distribution of benefits), tenaga
kerja, pasar bebas (globalisasi), persaingan usaha, HaKI (property rights), public
opinion, serta isu etika, budaya dan agama.
C. Biodiversitas Pangan dan Aspek Perkembangan Teknologi
Perkembangan pesat dari bioteknologi, terutama di dalam bioteknologi modern
dan rekayasa genetika, memungkinkan kita untuk menghasilkan varietas baru yang
memiliki “kandungan” beragam dari organisme yang beragam pula sesuai keinginan
ataupun kebutuhan. Konsep ini pada mulanya tidak mungkin dilaksanakan dengan
metode perkembangbiakan yang tradisional. Pada satu sisi kita melihat celah terbukanya
penambahan karakter biodiversitas. Meskipun juga dari perkembangan teknologi ini kita
melihat bahwa aspek penyimpangan dan risikonya juga terbuka lebar.
Di dalam Protokol Cartagena, yang kemudian diratifikasi dalam UU No. 21 Tahun
2004, disebutkan bahwa produk dari bioteknologi modern disebut organisme hidup hasil
rekayasa atau living modified organisms (LMOs). Istilah ini berbeda dengan terminologi
yang lebih umum dan populer yaitu genetically modified organisms (GMOs) meskipun
secara umum konsepnya sama. Dari sinilah derivasi bentuk dari hasil bioteknologi
menjadi sangat beragam. Ada Di dalam dunia pertanian, sejak tahun 1997 dikenal istilah
produk bioteknologi pertanian hasil rekayasa genetika (Genetically Engineered
Agricultural Biotechnology Products – GEABPs), yang kemudian diubah menjadi Produk
Pertanian Rekayasa Genetika (Genetically Engineered Agricultural Products – GEAPs),
dan terakhir disebut Produk Rekayasa Genetika (Genetically Engineered Products –
GEPs).
Apabila diterapkan secara tepat, aplikasi bioteknologi modern pada bidang
pertanian memiliki potensi nyata dalam memberikan kontribusi untuk meningkatkan
produktivitas pertanian, mengurangi kemiskinan dan mewujudkan suatu
5
6. keamanan/ketahanan pangan. Namun demikian, terdapat beberapa perbedaan persepsi
mengenai dampak bioteknologi modern, terutama dalam hal dampak jangka panjangnya
bagi lingkungan, biodiversitas dan kesehatan masyarakat.
Prospek yang besar dari bioteknologi modern, dan pada sisi lain adanya
perbedaan persepsi atas keamanan produk tersebut telah menstimulasi perkembangan
peraturan dalam penilaian dan pengujian LMOs. Pada level internasional, the Convention
on Biological Diversity (CBD) mengatur masalah ini, yang dilanjutkan pada tahun 2000
dengan ditandatanganinya “Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on
Biological Diversity” di Montreal Canada.6
Protokol Cartagena mengatur transfer yang aman, penanganan, dan pemanfaatan
LMOs. Tujuan dari protokol ini sendiri untuk menjamin level perlindungan yang optimal
terkait dengan transfer yang aman, penanganan, dan pemanfaatan LMOs hasil
bioteknologi modern yang berpotensi akan dampak negatif terhadap konservasi dan
pemanfaatan biodersitas yang sustainable. Terlebih dalam hal memiliki dampak yang
signifikan terhadap kesehatan masyarakat ataupun permasalahan pencemaran yang
lintas batas.
D. Aspek Keamanan Pangan Nasional
Keamanan pangan merupakan syarat penting yang harus melekat pada pangan
yang hendak dikonsumsi oleh semua masyarakat Indonesia. Pangan yang bermutu dan
aman dapat dihasilkan dari dapur rumah tangga maupun dari industri pangan. Oleh
karena itu industri pangan adalah salah satu faktor penentu beredarnya pangan yang
memenuhi standar mutu dan keamanan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Keamanan pangan bukan hanya merupakan isu dunia tapi juga menyangkut kepedulian
individu. Jaminan akan keamanan pangan adalah merupakan hak asasi konsumen.
Pangan termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam kehidupan
manusia. Walaupun pangan itu menarik, nikmat, tinggi gizinya jika tidak aman
dikonsumsi, praktis tidak ada nilainya sama sekali.
Dalam permasalahan krisis bahan pangan yang kerap melanda Indonesia, tidak
ada salahnya kita kembali mempertanyakan tentang produk bioteknologi modern yang
masih menjadi polemik diantara para ilmuwan dengan masyarakat pada umumnya.
Apakah yang sebetulnya dipertentangkan, kenapa terdapat penolakan oleh sebagian
masyakat dan sebaliknya malah menerima bahkan ingin mengembangkannya lebih
6
Disebut “Cartagena” untuk mengutip tempat penandatanganan protokol ini oleh para Negara anggota CBD.
6
7. lanjut. Kelompok yang menerima terutama di kalangan ilmuwan berpendapat bahwa
bioteknologi dapat menjadi salah satu solusi di saat terjadinya krisis bahan pangan
seperti saat ini. Namun yang menolak lebih mengedepankan aspek keamanan produk
pangan tersebut.
Polemik yang berkepanjangan antara kelompok yang setuju dengan tidak setuju
terhadap produk bioteknologi modern diduga juga dipicu oleh banyaknya kepentingan
yang terlibat (politik, ekonomi, agama dan etika). Untuk menghadapi banyaknya
kepentingan tersebut di atas, maka sikap kehati-hatian dapat terus diupayakan. Selain
itu pertimbangan-pertimbangan mengenai ketersediaan sistem kebijakan dan perangkat
hukum yang efektif untuk melindungi masyarakat dan lingkungan dari pengaruh-
pengaruh yang buruk juga menjadi pertimbangan tersendiri.
Berbicara tentang produk bioteknologi, yang juga dikenal dengan produk
transgenik merupakan produk yang dihasilkan dari rekayasa genetika, dimana dalam
proses ini dimungkinkan terjadinya introduksi gen dari satu organisme ke organisme lain
yang berbeda spesies seperti gen dari bakteri, virus atau tanaman, sehingga kehadiran
teknologi ini memberikan wahana baru bagi pemulia tanaman untuk memperoleh
kelompok gen baru yang lebih luas sumbernya. Isolasi gen dari bakteri, jamur dan virus
telah berhasil dipindahkan ke tanaman untuk memperbaiki sifat tanaman menjadi tahan
cekaman biotik seperti serangga hama, penyakit atau terhadap herbisida.7
Untuk menjamin keamanan produk bioteknologi, prinsip kehati-hatian dalam
penggunaan produk tersebut baik sebagai bahan pangan, pakan atau untuk obat-obatan
harus bersumber pada persepsi risiko yang dapat diterima (acceptable risk). Dilihat dari
manfaat dan risiko produk bioteknologi yang beragam maka juga diperlukan kesediaan
untuk menerima resiko itu sendiri, oleh karena itu yang terpenting adalah mencari solusi
bagaimana prinsip kehati-hatian tersebut diterjemahkan ke dalam undang-undang,
kebijakan dan praktek pengelolaan manfaat dan risiko.
Jika kita ingin mengadopsi suatu teknologi baru tentu saja tidak mungkin tanpa
resiko sama sekali, pekerjaan yang sederhana saja pasti mengandung suatu resiko yang
terpenting dari semuanya itu adalah bagaimana menyikapi dan mengantisipasi risiko
yang muncul tersebut seminimal mungkin. Dalam hal inilah prinsip kehati-hatian
(precautionary approach) diperlukan sebelum produk bioteknologi itu dilepas ke
lingkungan atau dikonsumsi sebagai bahan makanan, obat atau pakan ternak.
Perangkat peraturan untuk pelepasan produk bioteknologi tanaman, ikan hewan
dan pakan saat ini telah dimiliki Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah
7
Watson. 1953, Op. Cit.
7
8. (PP) No 21 Tahun 2005. Indonesia menaruh perhatian terhadap bioteknologi melalui
dukungan pada peraturan produk rekayasa genetika tersebut diantaranya PP No.
21/2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika, selain itu Pedoman
Pengkajian Keamanan Pangan Produk Rekayasa Genetika yang dikeluarkan BPOM pada
2008.8 Peraturan ini merupakan peningkatan atau penyempurnaan dari peraturan yang
sebelumnya dari Keputusan Bersama Empat Menteri Tahun 1999 serta khusus dibuat
untuk mengatur produk bioteknologi di Indonesia.9 Peraturan Pemerintah ini dibuat atas
dasar pendekatan kehati-hatian dan mengacu pada Protokol Cartagena tentang
Keamanan Hayati. Protokol ini sebelumnya telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-
Undang No 21 Tahun 2004.
Salah satu badan pengimplementasi dari Protokol Cartagena adalah Balai Kliring
Keamanan Hayati (BKKH) yang merupakan perangkat dari KKH. BKKH ini merupakan
kewajiban suatu Negara yang telah meratifikasi Protokol Cartagena untuk
mendirikannya. Karena Indonesia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol sejak
Tahun 2004 melalui Undang-Undang No 21 Tahun 2004, maka kewajiban bagi Indonesia
untuk mendirikan BKKH sebagai wacana informasi publik dan pertukaran informasi
dalam bidang bioteknologi modern yang belum dicakup dalam protokol lain. BKKH
digunakan untuk memfasilitasi konsultasi publik terhadap hasil pengkajian TTKH.
Sehingga masukan dari masyarakat tersebut melalui BKKH akan dijadikan sebagai bahan
pertimbangan oleh TTKH dalam memberikan rekomendasi keamanan hayati produk
bioteknologi tersebut kepada pemerintah. Kehadiran BKKH ini sebagai wadah yang dapat
dijadikan wahana komunikasi antara pemangku kepentingan dengan Institusi terkait
serta mengelola dan menyajikan informasi kepada publik mengenai prosedur,
penerimaan permohonan, proses dan ringkasan hasil pengkajian seperti yang tercantum
dalam PP No 21 Tahun 2005 pasal 31.
Selain Protokol Cartagena, dalam rangka pengaturan keamanan hayati suatu
produk bioteknologi pertanian hasil rekayasa genetik, Departemen pertanian telah
pengeluarkan Keputusan Menteri No. 856/Kpts/HK.330/1997 tentang ketentuan
keamanan hayati Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik (PBPHRG).10
Keamanan hayati PBPHRG dimaksudkan bahwa PBPHRG bersangkutan tidak
mengganggu, merugikan dan/atau membahayakan kesehatan manusia,
keanekaragaman hayati, dan lingkungan. Untuk pelaksanaan SK Mentan tersebut
8
http://www.mediaindonesia.com/read/2009/12/04/109686/23/2/Adopsi-Bioteknologi-Perlu-Kemauan-Politik artikel tertanggal
4 Desember 2009. Diakses terakhir pada 12 Mei 2010.
9
http://www.indonesiabch.org/
10
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 17 Tahun 2007.
8
9. diperlukan pengujian PBPHRG secara cermat, mengikuti prosedur dan standar protokol
yang baku. Keamanan hayati PBPHRG perlu diuji secara bertahap di fasilitas uji terbatas
(biosafety containment) mulai dari tingkat labortorium, rumah kaca/kandang/kolam
hingga lapangan terbatas. Pedoman pengujian keamanan hayati PBPHRG ini ada yang
bersifat umum dan ada yang bersifat khusus, karena teknik pengujian yang berbeda
sesuai dengan jenisnya.
Oleh karena itu, pedoman ini terdiri dari lima seri, yaitu umum, tanaman, hewan,
ikan, dan jasad renik. Apabila hasil pengujian diberbagai tahapan tersebut tidak
menemukan faktor-faktor yang dapat menimbulkan bahaya dan kerugian bagi
masyarakat sera lingkungan, maka produksi dan adaptibilitas PPBPHRG dapat diuji lebih
lanjut. Hasil pengujian ini dilakukan melalui perbandingan kesamaan substansial dengan
produk pangan sejenis yang diolah secara tradisional tanpa menggunakan proses
bioteknologi. Perbandingan ini difokuskan pada:
a. Phenotypic dan genotypic character dari organisme;
b. Komposisi kimiawi dari produk baku dan produk olahan;
c. Efek biologis; dan
d. Penggunaan makanan.
Penerapan konsep kesamaan substansial ini pada hakekatnya bukan sebagai
evaluasi keamanan, tetapi lebih menunjukkan keamanan dari makanan baru
dibandingkan dengan makanan konvensional. Pendekatan ini khususnya dilakukan ketika
terdapat keberatan akan makanan bioteknologi yang asal organismenya seringkali
merupakan sumber makanan tradisional dan ini, atau makanan turunannya, dapat
digunakan sebagai pembanding.
Penerapan konsep kesamaan substansial memberikan jaminan tingkat
kepercayaan untuk keamanan dari makanan yang dihasilkan melalui bioteknologi bahwa
paling tidak setingkat dengan yang terdapat dalam produk yang dihasilkan melalui
pemeliharaan secara tradisional dimana mengurangi prosedur formal tetapi beberapa
parameter yang sama diujikan. Karenanya, di masa lampau, peternak/petanam telah
menolak varietas baru dengan perubahan yang signifikan dari induknya (fenotipnya)
atau dengan penyimpangan tingkat racun alaminya.
Rekayasa genetika akan menghasilkan produk yang mengandung gen baru,
karena itu sepertinya mereka tidak akan mempunyai kesamaan substansial dengan
organisme induknya. Sebuah pengecualian adalah rekayasa genetika modifikasi ragi
pengembang dimana gen yang bertanggungjawab terhadap formasi karbon dioksida
dipindahkan ke tempat dimana mereka dapat dikontrol dari yang sudah ada, dan lebih
9
10. kuat. Walaupun jika hasil rekayasa dan organisme induknya tidak mempunyai kesamaan
substansial, membandingkan mereka dapat mengungkapkan bahwa hasil rekayasa
mempunyai efek yang tidak diinginkan yang harus diperhatikan terhadap implikasi
keamanan pangannya.
Pengolahan organisme hasil rekayasa genetika (contoh ekstraksi minyak atau
perlakuan dengan suhu tinggi) dapat menghilangkan atau mendegradasi gen baru atau
produk itu sendiri. Hal ini juga memungkinkan bahwa gen baru ditujukan hanya sebagai
bagian dari organisme tidak digunakan sebagai makanan (misalnya kerontokan tanaman
dimana hanya biji-bijianya yang dikonsumsi). Dalam kasus tersebut sangat
memungkinkan untuk mendemonstrasikan kesamaan substansial antara makanan yang
dihasilkan melalui rekayasa genetika dengan yang dihasilkan dengan cara tradisional,
perlu dipertimbangkan perubahan-perubahan alami yang terjadi antara makanan
turunan dengan strains yang tidak direkayasa. Jika kesamaan substansial terhadap
makanan yang sudah ada dapat dibuktikan, tidak ada lagi masalah keamanan pangan
yang perlu dikhawatirkan.
E. Tantangan Hukum dalam Perlindungan Biodiversitas Pangan Indonesia
Tantangan hukum dalam perlindungan biodiversitas pangan bisa jadi akan sangat
beragam dan sekaligus multitafsir, baik pada saat menentukan hukum apa yang dapat
diterapkan, serta dalam hal menerapkan aturan tersebut pada sekumpulan fakta yang
ada terkait perkembangan teknologi pangan. Aspek legal dalam perlindungan
biodiversitas pangan setidaknya meliputi tiga aspek, yaitu: perlindungan hukum
(protection), peraturan hukumnya (regulation), dan pertanggung jawaban hukum
(liability).
Pada aspek pertama, yaitu perlindungan hukum (protection), upaya proteksi perlu
diberikan baik pada pengelola biodiversitas pangan (industri, swasta, NGOs, pemerintah)
maupun kepada pemanfaat/pengguna biodiversitas pangan.
Pada aspek ini, setidaknya proteksi dapat diterapkan dalam pengaturan mengenai
persaingan usaha, paten (HaKI), dan sekaligus perlindungan konsumen. Terkait dengan
persaingan usaha, pada dasarnya keberadaan hukum ditujukan untuk mengupayakan
secara optimal terciptanya persaingan usaha yang sehat (fair competition) dan efektif
pada suatu pasar tertentu, yang mendorong para pelaku usaha melakukan efisiensi agar
mampu bersaing dengan para pesaingnya. Persaingan usaha yang sehat merupakan
salah satu kunci sukses bagi sistem ekonomi pasar yang wajar, hal ini dapat
10
11. diimplementasikan dalam 2 (dua) hal yaitu melalui penegakan hukum persaingan, dan
kebijakan pemerintah yang kondusif terhadap perkembangan sektor ekonomi.
Perkembangan pada bioteknologi tanaman maupun pangan, baik dari segi harga
pemasaran, inovatif dan varietas tamanam tidak terhindarkan dari suatu persaingan.
Meski banyak perlindungan hukum yang telah diberikan oleh Pemerintah,namun masih
banyak celah yang dapat digunakan oleh para pelaku usaha ataupun para pemegang
hak tertentu untuk melakukan suatu penguasaan atas suatu bidang tertentu.
Hal tersebut dapat kita lihat pada pasal 50 huruf a dan b UU No.5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat yang memberikan
suatu pengecualian terhadap perbuatan dan perjanjian yang dapat menimbulkan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, yaitu perbuatan dan perjanjian yang
bertujuan untuk melaksanakan undang-undang, dan perjanjian yang berkaitan dengan
Hak Kekayaan Intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk
industry, rangkaian elektronik terpadu dan rahasia dagang serta perjanjian yang
berkaitan dengan waralaba.
Dalam kaitannya dengan paten, paten tidak dapat serta merta dikaitkan sebagai
bentuk monopoli. Hal ini disebabkan karena pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang larangan praktek monopoli dan persaingan tidak sehat, terdapat pengecualian
dalam Pasal 50 huruf b yaitu untuk “perjanjian yang berkaitan dengan hak atas
kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, disain produk
industri dan rahasia dagang serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba”.11
Paten merupakan cara untuk mengkomersialisasi hasil invensinya yang mana
berbeda berbeda dengan monopoli. Namun, analisis yang dilakukan pada penggunaan
rahasia dagang menunjukkan timbulnya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat dalam penggunaan hak paten. Ketentuan dalam Undang-Undang tentang
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU PUTS) ternyata justru membuka ruang
bagi terciptanya monopoli dan persaingan tidak sehat dalam penggunaan hak paten dan
rahasia dagang sebagai bentuk perlindungan invensi.
Dalam hal permasalahan yang tersebut sebelumnya, maka proteksi dalam hak
konsumen menjadi celah yang dapat diperkuat tersendiri. Hal ini perlu menjadi fokus
pembahasan tersendiri mengingat kerangka hukum yang selama ini tidaklah sebanding
dengan tantangan hukum yang mungkin timbul akibat penggunaan teknologi dalam
11
Pasal 50 huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Praktik Monopoli dan Larangan Persaingan Usaha Tidak
Sehat
11
12. biodiversitas pangan. Sebagai contoh, hingga saat ini belum ada pengaturan mengenai
kewajiban pencantuman ada tidaknya proses rekayasa teknologi dalam label makanan.
Kedua, dalam hal kerangka hukum yang ada (regulations). Sebagaimana telah
dipaparkan pada sub judul sebelumnya, Indonesia telah memiliki “a minimum set of
standard” dalam perlindungan biodiversitas, termasuk pangan. Peraturan tentang
kesehatan, lingkungan, pangan, eksport-import, maupun HaKI telah menjadi bukti
bahwa kerangka hukum untuk menjamin perlindungan telah ada. Permasalahan
sejatinya terletak pada delegasi kewenangan dan koordinasi antar pemegang
kewenangan tersebut. Seringkali tidak integralnya level koordinasi berpengaruh besar
dalam penafsiran peraturan dan implementasinya.
Ketiga, dalam kaitannya dengan aspek pertanggungjawaban hukum. Secara
mendasar pertanggungjawaban hukum telah termuat secara baik di dalam peraturan
perundang-undangan kita. Tidak hanya aspek pertanggungjawaban pidana (criminal
liability) dan perdata (civil liability) yang telah termuat dalam regulasi. Namun juga
aspek lebih berkembang, seperti tanggung jawab mutlak (strict liability), kewajiban akan
CSR (corporate social and environment liability), class action, legal standing, maupun
juga tanggungjawab pidana bagi korporasi (corporate liability).
F. Penutup
Indonesia memiliki kekayaan plasma nutfah yang melimpah, termasuk juga dalam
kaitannya dengan biodiversitas pangan. Pangan sebagai asupan pokok masyarakat,
menjadi sangat krusial bahasannya jika kita mempersandingkan pengelolaan
biodiversitas pangan dengan kerangka hukum yang ada. Beragamnya biodiversitas
pangan serta seabreg peraturan yang ada tidak menjadi jaminan bahwa pelestarian dan
perlindungan biodiversitas pangan telah terpenuhi.
Indonesia sekarang ini lebih seperti negara manufaktur karena mengimpor
berbagai macam produk, dan produk impor inilah yang dianggap lebih menunjang riset.
Hal in akan menjadi blunder bagi perlindungan biodiversitas pangan nasional jika tidak
segera dibenahi. Dalam artian bahwa penguasaan atas “hak kepemilikan” sudah
semestinya dipegang oleh Bangsa sendiri. Sayangnya, penguasaan paten atas
biodiversitas pangan (termasuk yang berasal dari Indonesia) masih banyak dipegang
oleh negara maju.
Pada akhirnya, masa depan perlindungan biodiversitas Indonesia, juga terletak
pada genggaman generasi muda yang saat ini sedang menggagas mengenai apa yang
12
13. dapat diberikan sebagai bagian dari semangat perjuangan cendekiawan muda Yogya
bagi Negeri. Pertama, janganlah gamang untuk meneliti dan memajukan potensi lokal
yang ada. Berjuta biodiversitas yang ada di Nusantara bukan “sajian” bagi bangsa asing
untuk disantap, melainkan potensi untuk dikembangkan dan digarap oleh kita bersama.
Kedua, perlunya interdisplinery dalam pemahaman konteks biodiversitas Indonesia dan
aspek perlindungannya. Maka, ketika membicarakan biodiversitas pangan, bukan berarti
hanya konsumsi satu pihak semata. Terlebih, efektivitas perlindungan biodiversitas
Indonesia tidak akan terjamin tanpa sinergi dan keterpaduan sekian banyak komponen
yang terkait.
G. Rujukan Bacaan
Boettiger, Sara and Karel Schubert, Agricultural Biotechnology and Developing Countries:
The Public Intellectual Property Resource for Agriculture (PIPRA) in Charles R.
McManis, 2007, Biodiversity and the Law: intellectual property, Biotechnology and
Traditional Knowledge Earthscan, U.K.
Hermansyah. 2008, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha, Yogyakarta, Kencana Prenada
Media Group,
HIVOS, 2002. The World as a Testing Ground Risks of Genetic Engineering in Agriculture.
Diterjemahkan oleh Ida Rohauli. 2005, Bumi Kita Menjadi Ladang Uji Coba (dengan
diperkaya materi perkembangan bioteknologi Indonesia). Konphalindo.
Krisnawati, Andriana. 2009, Perlindungan Hukum Varietas Baru Tanaman Dalam Perspektif
Hak Paten dan Pemuliaan Tanaman. Jakarta: Penerbit Grasindo.
Purwaningsih, Endang. 2005, Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights: Kajian
Hukum Terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten,
Ghalia Indonesia, Bogor.
Widayanti, Hesty dan Ika Krishnayanti (eds). 2003, Bioteknologi: Imperialisme Modal dan
Kejahatan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press.
13