Pernikahan dini memiliki berbagai dampak negatif secara hukum, biologis, dan psikologis. Secara hukum melanggar ketentuan umur minimal menikah. Secara biologis anak belum siap untuk hubungan seks dan kehamilan. Secara psikologis anak belum dewasa untuk menghadapi tanggung jawab pernikahan."
9. PENGERTIAN
pernikahan dini adalah sebuah bentuk
ikatan/pernikahan yang salah satu atau kedua
pasangan berusia di bawah 18 tahun atau
sedang mengikuti pendidikan di sekolah
menengah atas. Jadi sebuah pernikahan di
sebut pernikahan dini, jika kedua atau salah
satu pasangan masuk berusia di bawah 18
tahun (masih berusia remaja).
BACK
11. HUKUM PERNIKAHAN DINIMENURUT
ISLAM
Sebenarnya, dalam fikih atau hukum Islam tidak ada batasan minimal usia pernikahan. Jumhur atau
mayoritas ulama mengatakan bahwa wali atau orang tua boleh menikahkan anak perempuannya dalam
usia berapapun. Jadi pernikahan Syeh Puji syah secara fikih.
Namun karena pertimbangan maslahat, beberapa ulama memakruhkan praktik pernikahan usia dini.
Makruh artinya boleh dilakukan namun lebih baik ditinggalkan. Anak perempuan yang masih kecil belum
siap secara fisik maupun psikologis untuk memikul tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga, meskipun dia
sudah aqil baligh atau sudah melalui masa haid. Karena itu menikahkan anak perempuan yang masih kecil
dinilai tidak maslahat bahkan bisa menimbilkan mafsadah (kerusakan). Pertimbangan maslahat-mafsadah
ini juga diterima dalam madzab Syafii. Dasar dari itu semua adalah pernikahan Nabi Muhammad SAW dan
Siti Aisyah. Beberapa riwayat menyebutkan, Aisyah dinikahkan dengan Nabi pada usia 6 tahun, dan tinggal
bersama Nabi pada usia 9 tahun. Sementara waktu itu Nabi sudah berusia senja, sudah 50-an tahun.
{ }
“Dari Aisyah ra (menceritakan) bahwasannya Nabi SAW menikahinya pada saat beliau masih anak berumur
6 tahun dan Nabi SAW menggaulinya sebagai istri pada umur 9 tahun dan beliau tinggal bersama pada
umur 9 tahun pula” (Hadis Shohih Muttafaq ‘alaihi)
Al-Qur’an yaitu QS At-Thalaq : 4 dan QS. An-Nisa : ayat 3 dan 127
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika
kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya
Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
Namun hukum asal sunnah dapat berubah menjadi hukum lain, misalnya wajib atau haram, tergantung
keadaan orang yang melaksanakan hukum nikah. Jika seseorang tidak dapat menjaga kesucian (‘iffah) dan
akhlaknya kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya. Sebab, menjaga kesucian (‘iffah)
dan akhlak adalah wajib atas setiap muslim, dan jika ini tak dapat terwujud kecuali dengan menikah, maka
menikah menjadi wajib baginya. Bisa menjadi haram juga menikah jika ia menikah dengan alasan untuk
menyakiti istri atau karna harta atau yg membahayakan agama BACK
12. Hukum Pernikahan Dini Menurut
Negara:
1. UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak
wanita
sudah mencapai umur 16 tahun.
Pasal 6 (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat izin kedua orang tua.
2. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak
b. menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan;
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
3. UU No.21 tahun 2007 tentang PTPPO
Patut ditengarai adanya penjualan/pemindah tanganan antara kyai dan orang tua anak yang
mengharapkan imbalan tertentu dari perkawinan tersebut.
BACK
13. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
PERNIKAHAN DINI
1. Faktor Pendidikan.
Peran pendidikan anak-anak sangat mempunyai peran yang besar. Jika seorang anak putus sekolah
pada usia wajib sekolah, kemudian mengisi waktu dengan bekerja. Saat ini anak tersebut sudah
merasa cukup mandiri, sehingga merasa mampu untuk menghidupi diri sendiri.
Hal yang sama juga jika anak yang putus sekolah tersebut menganggur. Dalam kekosongan waktu
tanpa pekerjaan membuat mereka akhirnya melakukan hal-hal yang tidak produktif. Salah satunya
adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis, yang jika diluar kontrol membuat kehamilan di luar
nikah.
Disini, terasa betul makna dari wajib belajar 9 tahun. Jika asumsi kita anak masuk sekolah pada usia
6 tahun, maka saat wajib belajar 9 tahun terlewati, anak tersebut sudah berusia 15 tahun. Di
harapkan dengan wajib belajar 9 tahun (syukur jika di kemudian hari bertambah menjadi 12 tahun),
maka akan punya dampak yang cukup signifikan terhadap laju angka pernikahan dini.
2. Faktor Pemahaman Agama.
Ini kami sebut sebagai pemahaman agama, karena ini bukanlah sebagai doktrin. Ada sebagian dari
masyarakat kita yang memahami bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis, telah
terjadi pelanggaran agama. Dan sebagai orang tua wajib melindungi dan mencegahnya dengan
segera menikahkan anak-anak tersebut.
Lanjut..
14. LANJUTAN…
Saat mejelishakim menanyakan anak wanita yang belum berusia 16 tahun tersebut, anak tersebut pada dasarnya
tidak keberatan jika menunggu dampai usia 16 tahun yang tinggal beberapa bulan lagi. Tapi orang tua yang tetap
bersikukuh bahwa pernikahan harus segera dilaksanaka. Bahwa perbuatan anak yang saling sms dengan anak laki-
laki adalah merupakan “zina”. Dan sebagai orang tua sangat takut dengan azab membiarkan anak tetap berzina.
3. Faktor telah melakukan hubungan biologis.
Ada beberapa kasus, diajukannya pernikahan karena anak-anak telah melakukan hubungan biologis layaknya
suami istri. Dengan kondisi seperti ini, orang tua anak perempuan cenderung segera menikahkan anaknya, karena
menurut orang tua anak gadis ini, bahwa karena sudah tidak perawan lagi, dan hal ini menjadi aib.
Tanpa mengenyampingkan perasaan dan kegalauan orang tua, saya menganggap ini sebuah solusi yang
kemungkinan di kemudian hari akan menyesatkan anak-anak. Ibarat anak kita sudah melakukan suatu kesalahan
yang besar, bukan memperbaiki kesalahan tersebut, tetapi orang tua justru membawa anak pada suatu kondisi
yang rentan terhadap masalah. Karena sangat besar di kemudian hari perkawinan anak-anak tersebut akan
dipenuhi konflik.
4. Hamil sebelum menikah
Dalam beberapa kasus, walau pada dasarnya orang tua anak gadis ini tidak setuju dengan calon menantunya, tapi
karena kondisi kehamilan si gadis, maka dengan terpaksa orang tua menikahkan anak gadis tersebut.
Bahkan ada juga, justru anak gadis tersebut pada dasarnya tidak mencintai calon suaminya, tapi karena terlanjur
hamil, maka dengan sangat terpaksa mengajukan permohonan dispensasi kawin.
Ini semua tentu menjadi hal yang sangat dilematis. Baik bagi anak gadis, orang tua bahkan hakim yang
menyidangkan. Karena dengan kondisi seperti ini, jelas-jelas perkawinan yang akan dilaksanakan bukan lagi
sebagaimana perkawinan sebagaimana yang diamanatkan UU bahkan agama. Karena sudah terbayang di hadapan
mata, kelak rona perkawinan anak gadis ini kelak. Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan rasa cinta saja
kemungkinan di kemudian hari bias goyah,apalagi jika perkawinan tersebut didasarkan keterpaksaan
MENU
16. DAMPAK TERHADAP HUKUM
Adanya pelanggaran terhadap 3 Undang-undang di negara kita yaitu:
1. UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Pasal 6 (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
2. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak
b. menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan;
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
3. UU No.21 tahun 2007 tentang PTPPO
Patut ditengarai adanya penjualan/pemindah tanganan antara kyai dan orang tua anak
yang mengharapkan imbalan tertentu dari perkawinan tersebut.
Amanat Undang-undang tersebut di atas bertujuan melindungi anak, agar anak tetap
memperoleh haknya untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari perbuatan
kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
Sungguh disayangkan apabila ada orang atau orang tua melanggar undang-undang
tersebut. Pemahaman tentang undang-undang tersebut harus dilakukan untuk melindungi
anak dari perbuatan salah oleh orang dewasa dan orang tua. Sesuai dengan 12 area kritis
dari Beijing Platform of Action, tentang perlindungan terhadap anak perempuan.
BACK
17. DAMPAK BIOLOGIS
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan
sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika
sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan
yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan
jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan
dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan
(penggagahan) terhadap seorang anak.
Dokter spesialis obseteri dan ginekologi dr Deradjat Mucharram Sastraikarta Sp OG yang
berpraktek di klinik spesialis Tribrata Polri mengatakan pernikahan pada anak perempuan
berusia 9-12 tahun sangat tak lazim dan tidak pada tempatnya. ”Apa alasan ia menikah?
Sebaiknya jangan dulu berhubungan seks hingga anak itu matang fisik maupun psikologis”.
Kematangan fisik seorang anak tidak sama dengan kematangan psikologisnya sehingga
meskipun anak tersebut memiliki badan bongsor dan sudah menstruasi, secara mental ia
belum siap untuk berhubungan seks.
Kehamilan juga bisa saja terjadi pada anak usia 12 tahun. Namun psikologisnya belum siap
untuk mengandung dan melahirkan. Jika dilihat dari tinggi badan, wanita yang memiliki tinggi
dibawah 150 cm kemungkinan akan berpengaruh pada bayi yang dikandungnya. Posisi bayi
tidak akan lurus di dalam perut ibunya. Sel telur yang dimiliki anak juga diperkirakan belum
matang dan belum berkualitas sehingga bisa terjadi kelainan kromosom pada bayi.
BACK
18. DAMPAK PSIKOLOGIS
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan
menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak
akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak
mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak
untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya
serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
Menurut psikolog dibidang psikologi anak Rudangta Ariani Sembiring Psi, mengatakan
”sebenarnya banyak efek negatif dari pernikahan dini. Pada saat itu pengantinnya belum siap
untuk menghadapi tanggungjawab yang harus diemban seperti orang dewasa. Padahal kalau
menikah itu kedua belah pihak harus sudah cukup dewasa dan siap untuk menghadapi
permasalahan-permasalan baik ekonami, pasangan, maupun anak. Sementara itu mereka
yang menikah dini umumnya belum cukup mampu menyelesaikan permasalan secara matang
dan sebenarnya kalau kematangan psikologis tidak ditentukan batasan usia, karena ada juga
yang sudah berumur tapi masih seperti anak kecil. Atau ada juga yang masih muda tapi
pikirannya sudah dewasa”.
Kondisi kematangan psikologis ibu menjadi hal utama karena sangat berpengaruh terhadap
pola asuh anak di kemudian hari. ” yang namanya mendidik anak itu perlu pendewasaan diri
untuk dapat memahami anak. Karena kalau masik kenak-kanakan, maka mana bisa sang ibu
mengayomi anaknya. Yang ada hanya akan merasa terbebani karena satu sisi masih ingin
menikmati masa muda dan di sisi lain dia harus mengurusi keluarganya”.
BACK
19. DAMPAK SOSIAL
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor
sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang
bias gender, yang menempatkan perempuan
pada posisi yang rendah dan hanya dianggap
pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat
bertentangan dengan ajaran agama apapun
termasuk agama Islam yang sangat menghormati
perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini
hanya akan melestarikan budaya patriarki yang
bias gender yang akan melahirkan kekerasan
terhadap perempuan.
EXIT