Kasus korupsi mantan presiden Soeharto merupakan salah satu kasus yang rumit. Ia diduga melakukan korupsi melalui tujuh yayasannya dengan menggelapkan uang negara ratusan miliar rupiah. Kasus ini dihentikan oleh Jaksa Agung dengan alasan kondisi Soeharto, namun hakim membatalkan keputusan tersebut dan memerintahkan kasus dilanjutkan.
Contoh Surat Banding Pajak (zaka firma aditya/8111410061) fh UNNES
Penanggulangan Kasus Korupsi di Indonesia
1. 1
MAKALAH HUKUM PIDANA
“PENANGANAN KASUS KORUPSI DI INDONESIA”
Disusun dalam Rangka Memenuhi Tugas Hukum Pidana Semester II
Dosen Pengampu : Benny Sumardiana, SH
Di Susun Oleh:
ZAKA FIRMA ADITYA
8111410061
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011
2. 2
PENDAHULUAN
Korupsi di Indonesia benar-benar sangat sistemik, bahkan korupsi
yang terjadi sudah berubah menjadi vampir state karena hampir semua infra
dan supra struktur politik dan sistem ketatanegaraan sudah terkena penyakit
korupsi. Banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Transparancy International terhadap Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) di beberapa negara, Indonesia merupakan negara
dengan IPK terendah yang itu menunjukkan tingkat yang rendah, karena
semakin rendah nilai IPK maka tingkat korupsi yang terjadi semakin tinggi
dan begitu juga sebaliknya. Transparency International mengumumkan
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia untuk tahun 2008 adalah 2.6,
menempati urutan 126 dari 180 negara. Hasil survei Transparancy
International menunjukkan posisi korupsi di Indonesia sebagai berikut:
TAHUN
RANGKING DARI
ATAS
RANGKING DARI
BAWAH
IPK
2004 137 (dari 146) 9 2,0
2005 140 (dari 159) 22 2,2
2006 130 (dari 163) 33 2,4
2007 143 (dari 179) 36 2,3
2008 126 (dari 180) 54 2,6
Sikap pesimistis banyak ditampakkan oleh berbagai pihak jika
dikaitkan dengan aksi pemberantsan korupsi, mulai dari ketidakyakinan
rakyat atas komitmen pemerintah sampai kepada kekecewaan atas beberapa
putusan yang diambil pemerintah dalam penegakkan hukum
penanggulangan korupsi tersebut. Laporan yang diterbitkan oleh Mahkamah
Agung, misalnya, mengungkapkan bahwa dari 1.198 kasus korupsi yang
telah diperiksa sejak bulan Januari 2002 hinga bulan April 2004, kerugian
yang diderita negara telah mencapai 22 triliun rupiah. Dari jumlah tersebut
hanya 586 kasus yang akhirnya dapat dibawa ke pengadilan dan uang hasil
kejahatannya bisa dikembalikan kepada negara. Data dari Mahkamah
Agung di atas didukung pula oleh hasil riset Bozz-Allen dan Hamilton,
sebagaimana dikutip oleh Irwan, yang menunjukkan bahwa Indonesia pada
3. 3
tahun 1999 menduduki posisi paling parah dalam hal indeks good
governance, indeks korupsi dan indeks efisiensi peradilan dibandingkan
dengan beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Besarnya indeks good
governance Indonesia hanya sebesar 2,88. Angka tersebut jauh lebih rendah
jika dibandingkan dengan Singapura (8,93), Malaysia (7,72), Thailand
(4,89), dan Filipina (3,47).
Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara
ingin mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus,
maka akan terbiasa dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental
pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan
segala cara (the end justifies the means).
Kasus Korupsi Mantan Presiden Soeharto
Kasus dugaan korupsi Soeharto adalah salah satu kasus yang paling
rumit dalam pemecahannya. Kasus ini menyangkut penggunaan uang
Negara oleh 7 buah yayasan yang diketuainya, yaitu Yayasan Dana
Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial
(Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal
Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan,
Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden
Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk
menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas
setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi
fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua
tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999
Uang negara 400 miliar mengalir ke Yayasan Dana Mandiri antara
tahun 1996 dan 1998. Asalnya dari pos Dana Reboisasi Departemen
Kehutanan dan pos bantuan presiden. Dalam berkas kasus Soeharto,
4. 4
terungkap bahwa Haryono Suyono, yang saat itu Menteri Negara
Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional, mengalihkan dana itu untuk yayasan. Ketika itu, dia masih
menjadi wakil ketua di Dana Mandiri. Bambang Trihatmodjo, yang menjadi
bendahara yayasan ini, bersama Haryono, ternyata mengalirkan lagi dana
Rp 400 miliar yang telah masuk ke yayasan itu ke dua bank miliknya, Bank
Alfa dan Bank Andromeda, pada 1996-1997, dalam bentuk deposito.
Dari data dalam berkas Soeharto, Bob Hasan paling besar merugikan
keuangan negara, diduga mencapai Rp 3,3 triliun. Hal ini juga terungkap
dari pengakuan Ali Affandi, Sekretaris Yayasan Supersemar, ketika
diperiksa sebagai saksi kasus Soeharto. Dia membeberkan, Yayasan
Supersemar, Dakab, dan Dharmais memiliki saham di 27 perusahaan Grup
Nusamba milik Bob Hasan. Sebagian saham itu masih atas nama Bob Hasan
pribadi, bukan yayasan.
Hutomo Mandala Putra, putra bungsu Soeharto bersama bersama
Tinton Suprapto, pernah memanfaatkan nama Yayasan Supersemar untuk
mendapatkan lahan 144 hektare di Citeureup, Bogor, guna pembangunan
Sirkuit Sentul. Sebelumnya, Tommy dan Tinton berusaha menguasai tanah
itu lewat Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tapi gagal.
Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi
Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan
bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian
Penuntutan Perkara (SKP3) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya
menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada
tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental
terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006.
12 Juni 2006, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel)
mengabulkan permohonan praperadilan Soeharto yang diajukan oleh
berbagai organisasi. Dalam sidang putusan praperadilan, hakim Andi
5. 5
Samsan Nganro menyatakan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan
Perkara (SKP3) atas nama terdakwa HM Soeharto tanggal 11 Mei 2006
adalah tidak sah menurut hukum, dan menyatakan tuntutan terhadap HM
Soeharto tersebut dibuka dan dilanjutkan.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Penyelesaian kasus korupsi yang menimpa mantan
presiden Soeharto?
2. Pasal apa sajakah yang dapat di berikan terkait tindakn pidana
korupsi Soeharto?
3. Bagaimanakah dengan aparat penegak hokum yang menangani kasus
Soeharto?
6. 6
KAJIAN PUSTAKA
A. KORUPSI
1. Pengertian Korupsi
Istilah “korupsi” berasal dari bahasa latin, yaitu corruptio atau
corruptus. Dalam bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt, dalam
bahasa Perancis menjadi corruption, dan dalam bahasa Belanda menjadi
coruptie. Dalam bahasa Belanda, kata coruptie mengandung arti perbuatan
korup, penyuapan. Secara harfiah istilah tersebut berarti segala macam
perbuatan yang tidak baik, seperti kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian,
kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Dalam arti sosial
masyarakat mengasosiasikan korupsi sebagai penggelapan uang (milik
negara atau kantor) dan menerima suap dalam hubungannya dengan jabatan
atau pekerjaan. Centre for International Crime Prevention (CICP) salah satu
organ PBB yang berkedudukan di Wina secara luas mendefinisikan korupsi
sebagai “misuse of (publik) power for private gain”.
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku
individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk
keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi
merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi
keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara
dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya
denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri
sendiri.
Tindakan korupsi menurut perspektif keadilan atau pendekatan
hukum adalah mengambil bagian yang bukan menjadi haknya. Korupsi
adalah mengambil secara tidak jujur perbendaharaan milik publik atau
barang yang diadakan dari pajak yang dibayarkan masyarakat untuk
kepentingan memperkaya diri sendiri. Korupsi adalah tingkah laku yang
menyimpang dari tugas-tugas resmi suatu jabatan secara sengaja untuk
7. 7
memperoleh keuntungan berupa status, kekayaan atau uang untuk
perorangan, keluarga dekat atau kelompok sendiri.
2.Penyebab Korupsi
Menurut CICP, korupsi di dalamnya termasuk tindak pidana suap
(bribery), penggelapan (embezzlement), penipuan (fraud), pemerasan yang
terkait dengan jabatan (extortion), penyalahgunaan wewenang (abuse of
discretion), pemanfaatan kedudukan untuk kepentingan ilegal (exploiting a
conflict interests), nepotisme (nepotism), komisi yang diterima pejabat
publik dalam kaitan bisnis (illegal commision), dan kontribusi secara ilegal
untuk partai politik. Menurut Robert Klitgaard, korupsi (C=corruption) akan
terjadi ketika ada kekuasaan monopoli (M=monopoly power) yang dimiliki
oleh seorang pejabat, dan dia mempunyai wewenang untuk memutuskan
(D=discretion by official), serta tidak ada akuntabilitas (A=accountability).
Pendapat tersebut dirumuskannya dalam formula berikut:
C = M + D – A
Jadi, misalnya, jika ada seseorang memegang monopoli atas barang atau
jasa dan memiliki wewenang untuk memutuskan siapa yang berhak
mendapatkan barang atau jasa itu dan berapa banyak, dan tidak ada
akuntabilitas (dalam arti orang lain dapat menyaksikan apa yang diputuskan
oleh orang yang memegang wewenang itu), maka kemungkinan besar akan
ditemukan korupsi di situ. Tetapi apakah korupsi betul-betul terjadi ataukah
tidak, tergantung juga pada faktor subyektif pelakunya, karena reaksi orang
pada peluang untuk melakukan korupsi tidak sama. Namun demikian
penting untuk disadari bahwa semakin besar godaan untuk melakukan
korupsi, semakin banyak korupsi terjadi. Menurut Francisco Ramirez
Torres, godaan untuk melakukan korupsi ada ketika keuntungan atau
hasilnya besar, kemungkinan tertangkapnya kecil, dan hukumannya ringan.
Tindak pidana korupsi berbeda luas sebaran dan jenisnya. Menurut Robert
Klitgaard, korupsi ada yang dilakukan secara “free lance”, artinya pejabat
sendiri-sendiri atau dalam kelompok kecil, tetapi korupsi juga bisa mewabah
menjadi sistematis (berjamaah). Korupsi yang sama sekali tidak
8. 8
menghiraukan aturan main dan dilakukan secara sistematis, sering disebut
hypercorruption.
Apabila korupsi telah mencapai tingkat hypercorruption akan
membawa dampak yang mematikan. Korupsi jenis inilah yang justru sering
dijumpai dalam masyarakat. Korupsi sistematis menimbulkan kerugian
ekonomi karena mengacaukan insentif, kerugian politik karena meremehkan
lembaga-lembaga pemerintahan, dan kerugian sosial karena kekayaan dan
kekuasaan jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berhak. Bila korupsi
berkembang sedemikian rupa sehingga hak milik tidak lagi dihormati,
aturan hukum dianggap remeh, insentif untuk investasi menjadi kacau, maka
akibatnya, pembangunan ekonomi akan lumpuh. Dalam konteks yang lebih
luas, korupsi mampu meluluhlantakkan hampir semua aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara baik di ranah ekonomi, politik, hukum, sosial
budaya, dan bahkan agama (sebuah zona yang selama ini dianggap sakral
dan sarat dengan nuansa moral). Mengingat dampaknya yang begitu dasyat,
maka korupsi digolongkan ke dalam “extraordinary crime” memerlukan
“extraordinary measures” untuk memberantasnya.
Sementara itu Jack Bologne menganalisa penyebab korupsi ke dalam
4 (empat) kategori. Teori tersebut ia sebut dengan istilah GONE theory
yaitu:
1. Greeds. Seseorang melakukan korupsi karena dia serakah.
Mungkin secara ekonomis dirinya tergolong orang yang mampu,
tetapi tidak pernah merasa puas.
2. Opportunity. Ada kesempatan yang memungkinkan seseorang
untuk berlaku korup. Biasanya orang seperti ini memang sudah
ada niat untuk menyeleweng, apalagi ada kesempatan.
3. Needs. Kebutuhan akan hidup sehari-hari bisa memungkinkan
seseorang terseret ke perilaku korup. Ini berarti bahwa kondisi
seseorang yang bersangkutan memaksa untuk melakukan korupsi.
4. Exposes. Rendahnya pengungkapan dan penegakan hukum
terhadap perilaku korup bisa menjadi faktor kriminogen bagi
terjadinya korupsi yang lain.
9. 9
PEMBAHASAN
Kasus korupsi yang menimpa mantan presiden soeharto merupakan
kasus korupsi yang sangat rumit di pecahkan dan sekaligus mencerminkan
bahwa hukum di negeri ini masih tidak dapat di tegakan dengan baik. Hal
ini terbukti dengan adanya tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi di
antara para pejabat tinggi Negara. Apalagi jika yang di dakwa adalah
pejabat seperti soeharto yang pernah menjadi presiden RI selama hampir 32
tahun lamanya, tentu penanganan kasusnya dilakukan dengan sangat
bertele-tele dan sangat lama serta tidak jelas arahnya. Bukti konkritnya
adalah ketika jaksa Agung, Abdul Rahman Saleh pada 12 Mei 2006
mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat
Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) perkara mantan
presiden Soeharto dengan alasan karena kondisi fisik dan kesehatan mental
yang bersangkutan. Keputusan ini dirasa sangat aneh mengingat yang
menikmati uang hasil korupsi bukan hanya soeharto semata, tetapi juga
sanak saudaranya. Jikapun soeharto dalam kondisi yang lemah secara
mental dan fisik, bukankah masih tetap bisa dilanjutkan. Logis memang jika
karena kondisi fisik dan mental yang menyebabkan penghentian
persidangan, tetapi masih banyak yang patut di dakwa selain soeharto,
semisal Tommy Soeharto , Bob Hasan, Haryono Suyono dan masih banyak
lagi. Menurut hemat saya, Kasus Korupsi ini dilakukan secara kolektif yang
menyangkut lebih dari beberapa orang. Hal ini di ibaratkan seperti sebuah
gurita dimana soehartonya adalah sebagai kepala gutitanya dan sanak
saudaranya sebagai tangannya. Malah yang menikmati uang hasil korupsi
adalah sanak saudara dari Soeharto. Meskipun UU Tipikor keluar setelah
perbuatan dilakukan yakni dengan adanya UU No.31 Tahun 1999 tentang
Tipikor yang akhirnya di perbaharui dengan UU No.20 Tahun 2001,namun
UU Tipikor dapat berlaku surut (Asas Retroaktif), sehingga perbuatan yang
dilakukan jauh sebelum UU dikeluarkan akan tetap dapat dipidana.
10. 10
Permasalahan lain yang menyebabkan kasus ini menjadi kabur
adalah bahwa saat presiden Soeharto menngeluarkan Keppres Nomer 40
tahun 1995 yang menyebutkan bahwa setiap pengusaha harus
menyumbangkan 2 persen pendapatannya untuk 7 buah yayasan yang di
pimpinnya sendiri. Secara kasat mata, keppres tersebut memiliki kekuatan
hokum sebab presiden di perbolehkan mengeluarkan keputusan sepanjang di
setujui DPR dan untuk kemaslahatan umat, apalagi yayasan tersebut
bergerak di bidang social seperti pendidikan dan sebagainya, tentu hal itu di
pandang baik oleh masyarakat. Pada awal merebaknya kasus ini masyrakat
seakan di buat bingung oleh permasalahan yang sebenarnya terjadi, apalagi
kasus ini selalu diputar balikan oleh oknum-oknum yang berkepentingan,
seperti dengan penyuapan, pembunuhan, dan penculikan. Seperti yang
terjadi pada jaksa Arif yang disuap oleh Tomy Soeharto, yang akhirnya
menyebabkan Tommy saat itu menjadi orang paling di cari Polisi selama
beberapa tahun (Melanggar pasal 6 UU Tipikor). Kasus ini justru seperti
menghilang ditelan bumi sampai meninggalnya soeharto pada 12 Mei 2008
silam. Praktis kontroversi merebah lantaran kasus korupsi mantan presiden
soeharto belum selesai dan belum terdapat titik temu, tetapi yang terdakwa
yelah wafat. Lantas siapa yang patut menggantikan sebagai terdakwa?,
Seharusnya adalah anak-anaknya, sanak saudaranya, dan kerabat-kerabatnya
karena mereka juga ikut menikmati uang korupsi ini yang kebanyakan telah
mereka investasikan ke luar negeri (Pasal 10 UU No.20 Tahun 2001).
Sampai sekarang ini masih belum ada kelanjutan terkait kasus KKN
yang di lakukan soeharto selama menjabar sebagai RI 1 dulu. Kebanyakan
orang menganggap ketika yang terdakwa wafat, maka semuanya selesai atau
tidak perlu di usut lebih lanjut. Padahal tidak demikian, karena sekali lagi
masih banyak koloni dari soeharto yang ikut menikmati uang hasil korupsi,
dan masih bebas berkeliaran kesana kemari tanpa mampu tersentuh oleh
hukum. Tommy Soeharto yang pernah di pidana karena kasus serupa kini
telah bebas, ringan sekali hukuman yang di jatuhkan hakim terhadap anak
mantan pejabat yang telah merugikan negara sekian trilyun. Seharusnya
11. 11
kalau menilik pasal 6 UU No.20 Tahun 2001 tentang tindak pidan korupsi,
tommy dapat di Pidana selama kurang lebih 15 tahun lamanya, tetapi
keputusan hakim berkata lain.
Kemudian jika menurut pasal 38B UU No.20 Tahun 2011, maka
yang di dakwa wajib melaporkan harta kekayaan pribadinya. Namun
penyelidik lalai karena hanya mencatat harta yang ada di Indonesia saja,
sedangkan harta investasi yang ada di luar negeri (Bank Swiss) lolos dari
penyelidikan. Hal kecil semacam ini yang bisa mempengaruhi putusan
pengadilan.
Akhirnya sampai saat ini, kasus korupsi soeharto seperti telah hilang,
mereka-mereka yang ikut dalam korupsi kolektif tersebut dapat terlepas dari
jeratan pidana, pemerintah dan aparatur seperti telah capek menangani kasus
seperti ini dimana terjadi tarik ulur dan kaburnya barang bukti serta
penyelewengan tugas dari masing-masing aparat penegak hukum. Jika
aparat Negara dapat menjalankan tugasnya secara baik dan benar, Soeharto
beserta koloninya dan sanak saudaranya dapat di jatuhi pidana sangat berat
dan di jatuhi pasal berlapis. Karena sesungguhnya korupsi ini telah
dilakukan sekian tahun lamanya, dimana selama itu pula aparatur Negara di
bungkam secara rapat-rapat menggunakan uang.
Sebenarnya ada upaya untuk tetap melanjutkan proses penyelidikan
ini, apalagi dengan adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
terbentuk pada 2004 lalu. Namun KPK masih belum mampu mengusutnya
secara menyeluruh, karena sekali lagi dalam penanganan tindak pidana
korupsi selalu sejalan dengan adanya kasus penyuapan yang melibatkan
hakim dan jaksa, sehingga kasusnya menjadi kabur dan tidak jelas. Jika kita
kembali kepada UU No.20/2011 tentang Tindak Pidana Korupsi, setelah
dikeluarkannya SKP3 dimana keputusan telah final dimana Soeharto lolos
dari pidana dan sebagian koloninya telah mendapatkan hukuman, maka
Negara berhak menggugat kekayaan dari Soeharto yang belum
dikembalikan kepada Negara (Ketentuan Pasal 38 UU tipikor).
12. 12
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum pidana di Indonesia belum dapat di tegakkan dengan baik,
seperti penyelesaian kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) di Indonesia
yang masih jauh di bawah keadilan. Masih terdapat banyak tebang pilih
dalam penyelesaian kasus korupsi. Kasus KKN soeharto misalnya, meski
telah merugikan negara sangat besar, tetapi prosesnya menjadi kabur karena
dalam penyelidikannya terjadi penyuapan kepada aparat-aparat penegak
hukum baik Jaksa maupun hakim. Kalau pun dipidana seperti yang dialami
oleh puteranya, Tommy Soeharto, tetapi hukuman yang di berikan adalah
sangat ringan dibandingkan dengan kerugian yang dialami Negara yang
trilyunan besarnya. Seharusnya soeharto mampu dikenai pasal 38 UU No.20
tahun 2001 dimana kekayaan hasil korupsi dari soeharto masih belum
dikembalikan kepada Negara sepenuhnya.
Saran
Seharusnya para penegak hukum dapat menjalankan tugasnya
dengan penuh tanggung jawab, jujur, berdasarkan hati nurani dan
profesionalitas, dimana tidak perlu ada tebang pilih dalam memproses suatu
kasus karena sesungguhnya setiap orang adalah sama dimata hukum. Perlu
dalam menjalankan tugas dan fungsinya, para penegak hukum
memperhatikan kode etiknya masing-masing sehingga bias mencegah
adanya penyuapan. selain itu perlu juga adanya UU tipikor yang baru
menggantikan UU tipikor yang lama yang dirasa sudah tidak sesuai lagi
dengan kasus KKN di Indonesia sekarang ini dimana penjatuhan pidana
yang dilakukan adalah sangat ringan. Lembaga KPK harus bisa menjalankan
wewenangnya secara mutlak, tanpa harus adanya intervensi dari oknum
yang berkepentingan, sehingga penanganan kasus korupsi bisa di lakukan
dengan cepat dan adil, dengan hukuman yang seberat-beratnya bagi pelaku
korupsi.
13. 13
DAFTAR PUSTAKA
Arrifin, Donny. 2002. Korupsi di sektor pelayanan Publik dalam Basyaib,
H., dkk. (ed.) 2002, Mencuri Uang Rakyat: 16 kajian Korupsi di
Indonesia, Buku 2. Yayasan Aksara dan Patnership for Good
Governance Reform. Jakarta.
Baswir Revrisond. 1993. Ekonomi, Manusia dan Etika, Kumpulan Esai-esai
Terpilih. BPFE. Yogyakarta.
______________. 1996. Ekonomi Politik Kesenjangan, Konglomerasi, dan
Korupsi di Indonesia, dalam buku Pembangunan Ekonomi dan
Pemberdayaan Rakyat. BPFE. Yogyakarta.
Basyaib, H., Holloway R., dan Makarim NA. (ed.). 2002. Mencuri Uang
Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia, Buku 3. Yayasan Aksara
dan Patnership for Good Governance Reform. Jakarta.
Balck’s Law Dictionary cetakan ke-7
Fadjar, Mukti. 2002. Korupsi dan Penegakan Hukum dalam pengantar
Kurniawan, L, 2002, Menyingkap Korupsi di Daerah. Intrans.
Malang.
Jaya, Nyoman Serikat Putra. 2008. Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana
(Criminal Justice System). Program Magister Ilmu Hukum UNDIP.
Semarang
______________.2005. Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di
Indonesia. Badan Penerbit UNDIP. Semarang.
Kartono, Kartini. 1983. Pathologi Sosial. Edisi Baru. CV. Rajawali Press.
Jakarta.