Kerajaan Kalingga diduga berlokasi di sekitar Blora dan Cepu, Jawa Tengah. Kerajaan ini bercorak Buddha pada abad ke-7 M. Sumber sejarahnya berasal dari catatan Cina, tradisi lokal, dan naskah Carita Parahyangan. Kalingga terbagi menjadi dua setelah Ratu Shima, yaitu Kalingga Utara dan Selatan. Peninggalan bersejarahnya meliputi prasasti Tukmas, Sojomerto, serta candi
3. Asal-Usul Kerajaan Kalingga
Kalingga adalah kerajaan bercorak Budha di Jawa
Tengah sekitar abad ke-7 M. Nama “Kalingga” berasal
dari sebuah nama kerajaan yang terdapat di wilayah
India Selatan. Lokasinya masih diperdebatkan,
kemungkinan di sekitar Blora dan Cepu (Jawa Tengah).
Sumber sejarah kerajaan ini kebanyakan
diperoleh dari sumber Cina, tradisi atau kisah
setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang
disusun berabad-abad kemudian.
4. Asal-Mula Penyebutan Nama HoLing
Nama ini muncul ketika terjadi perubahan dengan
mulai meluasnya kekuasaan Wangsa Sailendra.
Sebelum perluasan ini, berita Cina dari Dinasti Sung
Awal (420-470 M) menyebut Jawa dengan sebutan
She-p’o, akan tetapi kemudian berita-berita Cina dari
Dinasti T’ang (618-906 M) menyebut Jawa dengan
sebutan Ho-ling sampai tahun 818. Namun
penyebutan Jawa dengan She-p’o kembali muncul
pada 820-856 Mk
5. Asal-Muasal Kerajaan Kalingga Berdasarkan
Berbagai Cerita
1) Menrut Catatna Cina Dinasti Tang (618 M – 906 M)
• Ho-ling atau disebut Jawa terletak di Lautan Selatan. Di sebelah
timurnya terletak Pulau Bali dan di sebelah barat terletak Pulau
Sumatera.
• Ibukota Ho-ling dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tonggak
kayu.
• Raja tinggal di suatu bangunan besar bertingkat, beratap daun
palem, dan singgasananya terbuat dari gading.
• Penduduk Kerajaan Ho-ling sudah pandai membuat minuman
keras dari bunga kelapa.
• Daerah Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula
badak dan gading gajah.
• Selain gading gajah dan cula, kerajaan ini menghasilkan banyak
barang tambang berupa perak dan emas.
6. 1) Menurut Catatan I-Tsing
Catatan I-Tsing (tahun 664/665 M) menyebutkan
bahwa pada abad ke-7 tanah Jawa telah menjadi salah
satu pusat pengetahuan agama Buddha Hinayana. Di Holing ada pendeta Cina bernama Hwining, yang
menerjemahkan salah satu kitab agama Buddha ke dalam
Bahasa Cina. Ia bekerjasama dengan pendeta Ho-Ling
bernama Janabadhra. Kitab terjemahan itu antara lain
memuat cerita tentang Nirwana, tetapi cerita ini berbeda
dengan cerita Nirwana dalam agama Buddha Hinayana.
7. 2) Cerita Lokal
Terdapat kisah yang berkembang di Jawa Tengah
utara mengenai seorang Maharani legendaris yang
menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kebenaran dengan
keras tanpa pandang bulu. Kisah legenda ini bercerita
mengenai Ratu Shima yang mendidik rakyatnya agar selalu
berlaku jujur dan menindak keras kejahatan pencurian. Ia
menerapkan hukuman yang keras yaitu pemotongan tangan
bagi siapa saja yang mencuri. Pada suatu ketika seorang
raja dari seberang lautan mendengar mengenai kemashuran
rakyat kerajaan Kalingga yang terkenal jujur dan taat hukum.
8. Untuk mengujinya ia meletakkan sekantung uang emas
di persimpangan jalan dekat pasar. Tak ada sorang pun rakyat
Kalingga yang berani menyentuh apalagi mengambil barang
yang bukan miliknya. Hingga tiga tahun kemudian kantung itu
disentuh oleh putra mahkota dengan kakinya. Ratu Shima demi
menjunjung hukum menjatuhkan hukuman mati kepada
putranya. Dewan menteri memohon agar Ratu mengampuni
kesalahan putranya. Karena kaki sang pangeranlah yang
menyentuh barang yang bukan miliknya, maka sang pangeran
dijatuhi hukuman dipotong kakinya
9. Gambar Naskah
Cerita Parahyangan
1) Cerita Parahyangan
Berdasarkan naskah Carita Parahyangan
yang berasal dari abad ke-16, putri Maharani
Shima, Parwati, menikah dengan putera mahkota
Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak, yang
kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh.
Maharani Shima memiliki cucu yang bernama
Sanaha yang menikah dengan raja ketiga dari
Kerajaan Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan
Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya
yang kelak menjadi raja Kerajaan Sundadan
Kerajaan Galuh (723-732 M).
10. Setelah Maharani Shima meninggal di tahun 732 M, Sanjaya
menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga
Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian
mendirikan Dinasti/Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram
Kuno.
Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya
dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias
Rakeyan Panaraban. Kemudian Raja Sanjaya menikahi
Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau
Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.
11. Dari cerita Parahyangan tersebut dapat
disimpulkan :
• Sepeninggal ratu Shima, Kalingga terbagi dua,
yaitu Kalingga Utara (dikenal dengan nama
Bumi Mataram) di bawah Sanaha (cucu ratu
Shima) dan Kalingga Selatan (Bumi Sambara di
bawah Dewasinga).
12. Kehidupan Politik Kerajaan Kalingga
• Kehidupan perekonomian masyarakat Kerajaan
Holing berkembang pesat.
• Masyarakat Kerajaan Holing telah mengenal
hubungan perdagangan. Mereka menjalin hubungan
perdagangan pada suatu tempat yang disebut
dengan pasar. Pada pasar itu, mereka mengadakan
hubungan perdagangan dengan teratur.
13. • Kegiatan ekonomi masyarakat lainnya diantaranya
bercocok tanam,menghasilkan kulit penyu, emas,
perak, cula badak dan gading.di Holing ada sumber air
asin yang dimanfaatkan untuk membuat garam.
• Hidup rakyat Holing tenteram, karena tidak ada
kejahatan dan kebohongan. Berkat kondisi itu rakyat
Ho-ling sangat memperhatikan pendidikan.Buktinya
rakyat Ho-ling sudah mengenal tulisan,selain tulisan
masyarakat Ho-ling juga telah mengenal Ilmu
perbintangan dan dimanfaat dalam bercocok tanam.
14. Kehidupan Sosial Kerajaan Kalingga
• Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Holing
sudah teratur rapi. Hal ini disebabkan karena
sistem pemerintahan yang keras dari Ratu
Sima. Di samping ini juga sangat adil dan
bijaksana dalam memutuskan suatu masalah.
Rakyat sangat menghormati dan mentaati
segala keputusan Ratu Sima.
16. Peninggalan Kerajaan Kalingga
1) Prasasti Tukmas
• Ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun
Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang di Jawa
Tengah.
• Bertuliskan huruf Pallawa yang berbahasa Sanskerta.
• Isi prasasti menceritakan tentang mata air yang bersih dan jernih.
Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan
Sungai Gangga di India.
• Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak,
kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang
keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.
18. 2) Prasasti Sojomerto
• Ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten
Batang, Jawa Tengah.
• Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuno
• Berasal dari sekitar abad ke-7 masehi.
• Bersifat keagamaan Siwais.
• Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta
Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama
Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs.
Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta
Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa
Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.
• Bahan prasasti ini adalah batu andesit dengan panjang 43 cm,
tebal 7 cm, dan tinggi 78 cm. Tulisannya terdiri dari 11 baris
yang sebagian barisnya rusak terkikis usia.
20. Candi Angin
• Candi Angin terdapat di desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara.
Karena letaknya yang tinggi tapi tidak roboh terkena angin, maka dinamakan
“Candi Angin”.
• Menurut para penelitian Candi Angin lebih tua dari pada Candi Borobudur.
Bahkan ada yang beranggapan kalau candi ini buatan manusia purba di
karenakan tidak terdapat ornamen-ornamen Hindu-Budha.
21.
22. Candi Bubrah, Jepara
• Candi Bubrah ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten
Jepara, Jawa Tengah.
• Candi Bubrah adalah salah satu candi Buddha yang berada di dalam
kompleks Taman Wisata Candi Prambanan, yaitu di antara Percandian Rara
Jonggrang dan Candi Sewu. Secara administratif, candi ini terletak di Dukuh
Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, KabupatenKlaten, Provinsi
Jawa Tengah.
• Dinamakan 'Bubrah' karena keadaan candi ini rusak (bubrah dalam bahasa
Jawa) sejak ditemukan. Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada abad ke-9
pada zaman Kerajaan Mataram Kuno, satu periode dengan Candi Sewu.
• Candi ini mempunyai ukuran 12 m x 12 m terbuat dari jenis batu andesit,
dengan sisa reruntuhan setinggi 2 meter saja. Saat ditemukan masih terdapat
beberapa arca Buddha, walaupun tidak utuh lagi.