Tulisan ini membahas perjalanan penulis menjadi pegawai negeri termuda di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi pada tahun 1980. Penulis menjelaskan bagaimana ia diterima melalui tes calon pegawai negeri dan ditempatkan di bagian penggandaan. Tulisan ini juga menyinggung masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sudah marak di birokrasi Indonesia sejak dini, termasuk di tempat penulis bekerja.
Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
Perjalanan Yang Belum Selesai (4)
1. Perjalanan yang belum selesai (4) Menjadi Pegawai Negeri termuda. KKN ria marak di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Kementrian lain secara meluas. Oleh: Muhammad Jusuf * Tepat pada tanggal 1 Juni 1980 berdasarkan surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang ketika itu dijabat Prof.Dr.Daoed Joesoef saya diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil dalam pangkat Juru Muda TK I golongan I/b dengan Nomor Pokok Induk Pegawai (NIP) 130782956. Golongan I B itu setara dengan ijasah Sekolah Menengah Pertama (SMP). Saya diangkat menjadi pegawai negeri sipil setelah mengalami masa percobaan atau masa calon Pegawai Negeri Sipil selama sekitar 9 bulan. Salah satu alasan mengapa saya menggunakan ijasah SMP, karena ketika saya mengajukan lamaran itu, ketika saya masih duduk di kelas tiga SMA, sekitar bulan Akhir 1978, sedangkan tes pegawai negeri sekitar awal bulan 1979, dan diterima dan mulai bekerja sekitar bulan Juni 1979, satu bulan setelah saya lulus SMU yang diperpanjang hingga enam bulan, yaitu sekitar bulan Mei 1979. Ketika itu, memang saya hanya ‘’iseng’’ melihat iklan salah satu Koran ibukota bahwa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tengah menerima lowongan calon pegawai negeri sipil. Lalu saya mengantar sendiri lowongan itu ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, karena disana juga ada pengumuman lowongan di depan dinding Bagian Kepegawaian, yang ketika itu Kepala Bagiannya dipimpin Drs.Zakir Boneh. Saya lantas dipanggil untuk mengikuti tes calon pegawai Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang dilakukan serentak, saya kebagian tes di Stadion Utama Senayan, kini bernama Stadion Bung Karno, atau lapangan Sepakbola senayan. Stadion ketika itu terasa seperti tengah menonton sepak bola, karena penuh dengan para peseerta. Beberapa bulan kemudian sesuai dengan petunjuk dan pengumuman yang ada, saya melihat hasil pengumuman lulus tidaknya saya menjadi pegawai negeri langsung di kantor Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di Pintu I Senayan. ‘’Syukur Alhamdulillah, saya lulus tahap pertama, dan diharuskan mengikuti tahap kedua, berupa wawancara dan tes praktek, yaitu tes mengetik’’. Bulan berikutnya, saya pun menghadiri tes wawancara, yang ketika itu dilakukan Pak Taslim Umar, yang sudah menjadi salah satu pimpinan di Direktorat itu. Seusai wawancara, saya langsung tes mengetik di ruang bagian ‘’penggandaan’’ yang ketika itu dipimpin Bapak Sudirman. Saya tidak mengira, ternyata, setelah saya dinyatakan lulus, kemudian saya memang ditempatkan dibagian ‘’penggandaan’’ bagian umum yang Kepala Bagiannya dipimpin CST Kansil, SH, yang ketika itu sudah ‘’nyambi’’ mengajar di berbagai perguruan tinggi , antara lain mengajar di Universitas Kristen Indonesia (UKI). Di bagian penggandaan ini, saya ditugaskan untuk menjadi spesialis ‘’mengetik’’, karena tugasnya hanya mengetik surat-surat yang konsepnya dikirim dari berbagai penjuru Direktorat, mulai dari Sekretariat, Direktorat Perguruan Tinggi Swasta, Direktorat Kemahasiswaan, Bagian Perencanaan, dan seluruh bagian lain, karena memang di bagian penggandaan inilah memang banyak tenaga ‘’pengetik’’ surat. Bagian ini juga merupakan bagian yang bertugas untuk menggandakan buku-buku, termasuk buku untuk pegangan para dosen di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Seperti saya sudah katakana di awal, salah satu pertimbangan saya melamar menjadi pegawai negeri sipil itu adalah, karena kondisi ekonomi keluarga saya yang ‘’pas-pasan’’. Dengan orang tua yang hanya berpangkat Peltu, dengan sepuluh orang anak, saya sudah membayangkan, akan sulit sekali bagi Ayah saya untuk membiayai seluruh anak-anaknya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Kakak saya saya, ketika itu, yang sudah lulus SMP, untuk menjadi perawat saja harus menunggu dua tahun kemudian, sebelum ayah saya memiliki uang baru dimasukkan ke Sekolah Perawat di RSPAD Gotot Subroto, Jakarta. Saya sendiri termasuk ‘’bangga’’, walaupun masuk di level rendah, dan mungkin menjadi pegawai negeri sipil yang termuda, karena masih berusia 18 tahun, dan masuk masa percabaan di usia awal 17 tahun. Setelah setahun saya bekerja menjadi pegawai negeri sipil dengan gaji golongan 1/b Rp 18,500 per bulan, ketika itu tergolong pas-pasan. Hanya cukup untuk transport dan makan siang sebulan. Tidak bias dan tidak cukup untuk keperluan di luar kebutuhan pokok itu. Saya kira, saya masuk di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mungkin karena di level bawah, I B, dan keterampilan mengetik saya yang tergolong bagus, cepat, karena saya sejak kelas ! SMA sudah mengikuti kursus ‘’mengetik’’ yang menggunakan 11 jari. Ketika itu, kursus mengetik ‘’Caraka College’’ kebetulan bersebelahan dengan gedung SMA II Pancasila, sehingga satu dua jam sebelum masuk sekolah SMA saya seminggu tiga kali bias mengikuti kursus itu dengan lancar. KKN Di usia saya, yang baru 18 tahun, tentu saja pengetahuan saya mengenai Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) belumlah tidak seluas seperti sekarang. Namun, ternyata saya telah menyadari, KKN itu telah menyeliputi seluruh birokrasi di Indonesia, tidak terkecuali di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Ini tergambar dan masih saya ingat, ketika harian Sinar Pagi dan beberapa harian Ibukota ketika itu menulis adanya kasus korupsi yang dilakukan oknum di Bagian Perencanaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Nilainya, tergolong besar, mencapai Rp 6 miliar, suatu angka yang ketika itu cukup besar. Pejabat yang menjadi ‘’tertuduh’’ ketika itu memang tidak sampai dilimpahkan ke pengadilan, hanya dipindahkan saya ke lingkungan di Universitas Indonesia. Saya pun masih ingat, ternyata tes masuk yang diikuti ribuan calon pegawai negeri sipil yang berlangsung di Stadion Utama Senayan ternyata bukan berarti mencerminkan bahwa tes telah berlangsung ‘’bersih’’ tanpa KKN. Bayangkan saja, di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, yang ketika itu Direktur Jenderalnya dipegang Bapak Prof.Dr.Donny Tisna Amidjaja, dan Menterinya Bapak Daoed Joesoef, KKN sudah merajalela. Ada anaknya menjadi pegawai negeri disitu, di saat bersamaan orang tuanya adalah pejabat nomor dua di Direktorat Jenderal ini, bahkan mantu dan saudara-saudara lainnya pun juga masuk. Ada pegawai, yang memang memiliki Paman yang sudah senior, dan kalau saya perhatian, hamper semua memiliki hubungan sanak saudara dan family. Itulah sebabnya, bila paman, Bapak, dan saudara mereka yang melakukan KKN, tentu saja pasti di dukung oleh keluarga mereka yang memang sudah ada di dalam, baik terlibat langsung maupun tidak, sehingga mereka ‘’aman’’ dan tidak bocor ke luar atas apa yang telah mereka lakukan. Korupsi ketika itu, mulai dari ‘’mark up dan upeti’’ proyek, perjalanan dinas fiktif, upeti dari penjual took, karena walau mereka menulis harga pembelian di kwitansi sesuai dengan jumlah yang dipertanggungjawabkan, namun atas jasanya membeli berbagai barang di tokonya, pemilik ‘’toko’’ memberikan ‘’upeti’’ kepada ‘’kepala proyek’’ atau pimpinan yang memiliki wewenang untuk melakukan pembelian. Saya menduga, suasana ber – KKN – ria ini juga ada di seluruh birokrasi dan di suluruh Departemen atau Kementrian di Indonesia, merata dari Sabang sampai Merauke, utamanya di kantor-kantor pusat. Itulah sebabnya, sampai President Soeharto ‘’turun’’, KKN ini masih sulit diberantas sampai ke akar-akarnya, sampai kini, mungkin. Bayangkan saya, kita yang tidak tahu apa-apa, kemudian ditawari oleh bagian keuangan atau bagian lain untuk menandatangani suatu kwitansi, tanpa kita sendiri tahu untuk apa kita menandatangani kwitansi itu, dengan janji, kalau kita mau bias memperoleh bagian antara 20% sampai 50% dari nilai ‘’kwitansi fiktif’’ yang kita telah tandatangani. Belum lagi, kalau kita bersedia menandatangani berbagai berkas perjalanan dinas, termasuk berbagai kwitansi, padahal perjalanan dinas ini kita sendiri belum pernah melakukannya. Tentu saja bagian yang ‘’memanipulasi’’ data ini, sudah berpengalaman dan lihai, sampai-sampai, mereka pun memiliki bukti bekas tiket pesawat atas nama kita, kalau kita bersedia menandatangani. Konon, kabarnya, mereka mendapatkan resi tiket asli itu dengan membelinya di berbagai biro perjalanan. Bukti tiket pesawat itu asli, tapi palsu, artinya, tiket dengan nomor yang sama dengan nama yang berbeda bias di jual ke calon penumpang lain yang memang membutuhkan untuk penerbangan itu. Begitu pula denan tiket pelayaran dan menggunakan Kereta Api. Saya perkirakan, manipulasi perjalanan dinas ‘’fiktif’’ ini, kalau dijumlahkan di seluruh Indonesia, jumlahnya bias miliaran rupiah, bahkan mencapai ratusan miliar. Kalau dijumlahkan dengan korupsi di bidang lain, berarti ‘’negara’’ telah dirugikan triliunan rupiah per tahunnya. Dan kalau itu telah berlangsung lebih 30 tahun, berarti, mungkin kini Indonesia, paling tidak sama makmurnya dengan Malaysia, yang sudah memiliki income per kapita yang jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Dana yang berhasil di korupsi itu, juga mungkin sudah berhasil menyatukan Pulau Papua, Kalimantan dan Sumatera dengan jalan raya antar propinsi yang mulus. Kita pun sudah sejak awal telah memiliki jembatan ‘’Suramadu’’ dan kemungkinan telah memiliki Jembatan yang menghubungkan Bali dan Pulau Jawa, serta Jempatan antara Jawa dan Sumatera melalui Selat Sunda.