Manajemen kredit syariah bank muamalat memiliki beberapa perbedaan dengan bank konvensional, terutama dalam pemberian pembiayaan dan balas jasa. Bank syariah memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil seperti mudharabah dan murabahah, sedangkan bank konvensional memberikan pinjaman dengan bunga. Bank syariah juga hanya memberikan dan menerima balas jasa berdasarkan kesepakatan, tidak mengenal bunga seperti bank konvensional.
Tugas Eko 12,Amelia Puspita Sari,Ranti Pusriana,Bank,Lembaga Bukan Bank dan O...
MANAJEMEN KREDIT SYARIAH BANK MUAMALAT
1. MANAJEMEN KREDIT SYARIAH BANK MUAMALAT
Oleh:
Chairuddin Syah Nasution
Abstraksi
Persaingan usaha antar bank yang semakin tajam dewasa ini telah mendorong
munculnya berbagai jenis produk dan sistem usaha dalam berbagai keunggulan
kompetitif. Dalam situasi seperti ini Bank Umum (konvensional) akan menghadapi
persaingan baru dengan kehadiran lembaga keuangan ataupun bank non-
konvensional. Fenomena ini ditandai dengan pertumbuhan lembaga keuangan dan
bank muamalat dengan sistem syariah. Suatu hal yang sangat menarik, yang
membedakan antara manajemen bank muamalat dengan bank umum adalah
terletak pada pemberian balas jasa, baik yang diterima oleh bank maupun para
investor. Jika dilihat kenyataan di masyarakat, masih banyak terjadi kesimpang
siuran mengenai pemahaman tentang pengertian Lembaga Keuangan dengan Bank
Muamalat, walaupun sesungguhnya banyak persamaan diantara kedua jenis
lembaga tersebut. Hal ini diperkuat dengan Peratutan Pemerintah No. 70 Tahun
1992, tentang perubahan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) menjadi Bank
Umum. Bank Umum yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional, menurut
UU No. 7 Tahun 1992, dapat juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah. Di Indonesia, keberadaan Bank Muamalat sudah ada sejak pertengahan
tahun 1992, tepatnya setelah disyahkannya UU No. 7 Tahun 1992 sebagai dasar
hukum, yang kemudian dirubah menjadi UU No. 10 Tahun 1998. Pada dasarnya
Lembaga Keuangan Syariah atau Bank Muamalat merupakan badan usaha yang
bergerak dalam bidang keuangan, untuk memobilisasi dana masyarakat dan
memberikan pelayanan jasa perbankan lainnya berdasarkan prinsip-prinsip syariah
islam yang bersumber pada Al Qur’an dan Al Hadist. Suatu hal yang membedakan
antara Bank Islam dengan Bank Konvensional adalah penerapan sistem bagi hasil
yang menggantikan sistem bunga. Sistem ini merupakan terobosan terbaru dalam
dunia perbankan, bagi mereka yang tidak menginginkan adanya unsur riba pada
bunga. Disisi lain, kombinasi antara manajemen Bank Umum dengan Sistem
Keuangan Syariah, dapat diterapkan sebagai sarana untuk menyeimbangkan antara
dua kepentingan (lenders dan borrowers).
I. Pendahuluan
Perkembangan dunia perbankan telah terlihat kompleks, dengan
berbagai macam jenis produk dan sistem usaha dalam berbagai keunggulan
kompetitif. Kekomplekan ini telah menciptakan suatu sistem dan pesaing
baru dalam dunia perbankan, bukan hanya persaingan antar bank tetapi juga
antara bank dengan lembaga keuangan. Sebuah fenomena nyata yang telah
2. menuntut manajer keuangan bank untuk lebih antisipatif terhadap
perubahan yang terjadi dalam dunia perbankan.
Beberapa tahun yang lalu, pertumbuhan lembaga keuangan dan
bank muamalat dengan sistem syariah mulai bermunculan. Lembaga
keuangan ini sudah sejak lama berkembang di negara Arab Saudi, Kuwait,
Turki, Iran dan beberapa negara Timur Tengah lainnya. Perkembangan
selanjutnya merebak ke wilayah negara Eropa, seperti Swiss dan London,
serta wilayah Asia, seperti Malaysia dan Indonesia. Dunia perbankan
ternyata bukan berasal hanya dari dunia Barat sebagaimana selama ini kita
kenal dan pelajari, akan tetapi dunia perbankan juga berasal dari dunia
Timur. Suatu perkembangan yang boleh dikatakan sangat mengembirakan,
khususnya bagi umat Islam yang selama ini menginginkan investasi dan
pendanaan tanpa unsur riba.
Satu hal yang sangat menarik, yang membedakan antara
manajemen bank muamalat dengan bank umum (konvensional) adalah
terletak pada pembiayaan dan pemberian balas jasa, baik yang diterima
oleh bank maupun investor. Jika dilihat pada bank umum, pembiayaan
disebut loan, sementara di Bank Syariah disebut financing. Sedangkan balas
jasa yang diberikan atau diterima pada bank umum berupa bunga (interest
loan atau deposit) dalam prosentase pasti. Sementara pada bank muamalat
dengan sistem syariah, hanya memberi dan menerima balas jasa
berdasarkan perjanjian (akad) bagi hasil. Selanjutnya dalam perbankan
syariah dikenal istilah mudharabah, murabahah dan musyarakah untuk
program pembiayaan. Bank syari’ah akan memperoleh keuntungan berupa
bagi hasil, dari proyek yang dibiayai oleh bank tersebut. Apabila proyeknya
mandek, maka akan dicarikan solusi penyelesaian. Misalnya, dengan menjual
aset proyek. Uang penjualan aset proyek yang dibiayai Bank Syariah, akan
dibagi kepada bank dan nasabah sesuai penyertaan masing-masing pada
usaha tersebut. Lalu bagaimanakah dengan mekanisme manajemen kredit
3. Manajemen Kredit Syari’ah Bank Muamalat (Chaeruddin Syah Nasution)
yang dapat diberlakukan dalam bank muamalat, dimana dalam mekanisme
ini terjadi tarik-menarik kepentingan antara peminjam, bank dan investor.
Bagi peminjam dana (borrowers), hal ini merupakan kesempatan emas
dimana peminjam tidak terlalu terbebani atas bunga pinjaman tersebut.
Tetapi bagi kalangan investor (deposan atau penanam modal lainnya),
sistem perbankan ini kurang menjanjikan. Para investor (lenders)
menginginkan dana yang diinvestasikannya, memiliki pengembalian minimal
sesuai dengan harapan mereka. Sebaliknya, bank sebagai media perantara
(intermediasi) bisa mengalami kesulitan untuk menggalang dana
masyarakat. Kegiatan operasional bank dalam bentuk penyaluran kredit,
dapat terhambat jika mobilisasi dana tidak sesuai dengan jumlah permintaan
pendanaan.
Berdasarkan fenomena diatas, ingin diungkapkan disini bahwa ada
beberapa hal yang terkait antara mekanisme manajemen kredit bank
muamalat dan bank umum.
II. Bank Muamalat dan Lembaga Keuangan
Bank muamalat atau bank Islam adalah lembaga keuangan yang
usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lalu lintas pembayaran
serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-
prinsip syariah Islam. Kenyataan di masyarakat, mungkin terdapat
kesimpangsiuran mengenai pemahaman tentang pengertian lembaga
keuangan dengan bank muamalat. Lembaga keuangan dapat dikatakan
sebagai badan usaha yang kekayaannya terutama dalam bentuk asset
keuangan atau tagihan (claim) serta asset non finansial atau asset riil dan
memberikan pelayanan jasa dalam bentuk skim tabungan (depositori),
proteksi asuransi, program pensiun, dan penyediaan sistem pembayaran
melalui mekanisme transfer dana (Siamat:1999).
Jika dilihat dari dua pengertian diatas, antara lembaga keuangan
86
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN, Vol. 7, No.3 Sept. 2003
4. dengan bank muamalat memiliki persamaan yaitu sebagai badan usaha yang
bergerak dalam bidang pengelolaan keuangan dan pendanaan maupun
investasi. Pernyataan ini diperkuat oleh Peraturan Pemerintah No. 70 tahun
1992, tentang perubahan lembaga keuangan bukan bank (LKBB) menjadi
bank umum. Bank umum menurut UU No. 7 Tahun 1992, disamping
melakukan kegiatan usaha secara konvensional dapat juga melakukan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Pendiri lebih menyukai bentuk
lembaga keuangan, mungkin karena lapangan maupun orientasi usahanya
masih dalam lingkup yang kecil. Sedangkan pendirian sebuah bank,
memerlukan capital adequacy ratio (CAR) 8% berdasarkan rasio kecukupan
modal perbankan. Pada dasarnya lembaga keuangan, bank konvensional,
maupun bank Islam (bank Muamalat) merupakan bagian dari manajemen
keuangan modern.
Lembaga keuangan syariah maupun bank Muamalat, sebagai
lembaga keuangan Islam dan alternatif pengganti bank-bank konvensional
memiliki ciri-ciri keistimewaan sebagai berikut :
1. Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat antara pemegang
saham, pengelola bank dan nasabahnya.
2. Diterapkannya sistem bagi hasil sebagai pengganti bunga, sehingga
akan berdampak positif dalam menekan cost push inflation dan
persaingan antar bank.
3. Tersedianya fasilitas kredit kebaikan (Al-Qardhul Hasan) yang
diberikan secara Cuma-Cuma
4. Konsep (build in concept) dengan berorientasi pada kebersamaan :
a. Mendorong kegiatan investasi dan menghambat simpanan
yang tidak produktif melalui sistem operasi profit and loss
sharing.
b. Memerangi kemiskinan dengan membina golongan
ekonomi lemah dan tertindas, melalui bantuan hibah yang
5. Manajemen Kredit Syari’ah Bank Muamalat (Chaeruddin Syah Nasution)
dilakukan bank secara produktif.
c. Mengembangkan produksi, menggalakkan perdagangan
dan memperluas kesempatan kerja melalui kredit
pemilikan barang atau peralatan modal dengan
pembayaran tangguh dan pembayaran cicilan.
d. Meratakan pendapatan melalui sistem bagi hasil dan
kerugian, baik yang diberikan kepada bank itu sendiri
maupun kepada peminjam.
5. Penerapan sistem bagi hasil yang tidak membebani biaya diluar
kemampuan nasabah dan akan terjamin adanya “keterbukaan”.
6. Menciptakan alternatif kehidupan ekonomi yang berkeadilan dalam
kehidupan modern.
III. Fungsi dan Usaha Bank Muamalat
Di Indonesia, keberadaan bank muamalat sudah ada sejak
pertengahan tahun 1992, tepatnya setelah disahkannya UU No. 7 Tahun
1992 sebagai dasar hukum, yang kemudian dirubah menjadi UU No. 10
Tahun 1998. kebijakan perundangan ini diperkuat oleh Keputusan Menteri
Koperasi Pengusaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia No. 53/BH/KDK
13.32/1.2/XII/1998, pengesahan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi No.
165/PAD/KDK 13.32/1.2/V/1999,serta izin usaha dari Menteri Keuangan
untuk beroperasi dengan prinsip bagi hasil seperti bank perkreditan rakyat
(BPR) Syariah. Berdasarkan beberapa dasar hukum ini, bank muamalat
memiliki kesamaan fungsi demngan bank umum. Fungsi-fungsi bank umum
sebagaimana yang dimaksud antara lain (Siamat:1999) :
1. Menyediakan mekanisme dan alat pembayaran yang lebih efisien
dalam kegiatan ekonomi. Bank wajib menyediakan mekanisme dan
alat pembayaran yang lebih efisien kepada nasabahnya, seperti
penyediaan fasilitas kartu kredit, ATM, serta mekanisme jasa kliring
88
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN, Vol. 7, No.3 Sept. 2003
6. dan inkaso.
2. Menciptakan uang. Menciptakan uang yang dimaksud bukanlah
seperti fungsi pada bank Indonesia. Menciptakan uang dalam hal ini
adalah bagaimana bank muamalat dalam kegiatan operasionalnya
seperti bank konvensional, dapat memberikan perolehan hasil secara
maksimal. Perolehan hasil ini merupakan balas jasa (keuntungan)
yang diterima dalam bentuk uang, yang dapat digunakan kembali
untuk memperlancar kegiatan operasional bank atau disimpan
sebagai cadangan modal.
3. Menghimpun dana dan menyalurkannya kepada masyarakat.
Kegiatan menghimpun dana dapat dilakukan dengan cara
menawarkan jasa dalam bentuk tabungan, deposito berjangka, giro
maupun penerimaan dana sesuai dengan syariah Islam. Penyaluran
kembali dana ke masyarakat dapat dalam bentuk pemberian kredit
dan bentuk-bentuk pendanaan lainnya. Dalam penyaluran kembali
dana masyarakat, bank memperoleh balas jasa dalam bentuk bagi
hasil berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Tujuan dari
perputaran dana ini adalah sebagai perolehan hasil (profit) dan
mobilisasi dana dapat terus berjalan.
4. Menawarkan jasa-jasa keuangan lainnya. Jasa-jasa keuangan lainnya
yang dapat ditawarkan oleh bank muamalat, antara lain :
a. Transfer antar bank dalam kota atau luar negeri.
b. Kliring (clearing)
c. Inkaso
d. Safe deposit box
e. Bank card
f. Bank notes
g. Travelers cheque
h. Letter of credit (L/C)
7. Manajemen Kredit Syari’ah Bank Muamalat (Chaeruddin Syah Nasution)
i. Bank garansi
j. Jasa-jasa dipasar modal
k. Menerima setoran-setoran lain
Menurut Siamat (1999), kegiatan usaha bank yang dapat dilakukan
berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan, antara lain :
1. Menghimpun dana dari masyarakat. Penghimpunan atau mobilisasi
dana dapat melalui sarana tabungan, deposito berjangka dan giro.
2. Memberikan kredit. Kredit yang diberikan dapat dalam bentuk
pendanaan kegiatan ekonomi masyarakat mapun barang kebutuhan
konsumen.
3. Menerbitkan surat pengakuan utang.
4. Membeli, menjual atau menjamin atas resiko sendiri maupun untuk
kepentingan dan atas perintah nasabahnya:
a. Surat-surat wesel termasuk wesel yang disekap oleh bank.
b. Surat pengakuan utang.
c. Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan
pemerintah.
d. Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
e. Obligasi.
f. Surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu)
tahun.
g. Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu
sampai dengan 1 (satu) tahun.
5. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabah.
6. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan
dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana
komunikasi mapun dengan wesel.
7. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan
90
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN, Vol. 7, No.3 Sept. 2003
8. melakukan perhitungan dengan atau antara pihak ketiga.
8. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.
9. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain
berdasarkan suatu kontrak (custodian).
10. Melakukan penempatan dana dalam bentuk surat berharga yang
tidak tercatat di bursa efek.
11. Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian
dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank,
dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan
secepatnya.
12. Melakukan kegiatan anjak piutang (factoring) kartu kredit dan
kegiatan wali amanat (trustee).
13. menyediakan pembiayaan dengan prinsip bagi hasil.
14. Melakukan kegiatan lain, misalnya kegiatan transaksi dalam valuta
asing, melakukan penyertaan modal atau usaha lain di bidang
keuangan seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek,
dan asuransi, serta melakukan penyertaan modal sementara untuk
mengatasi akibat kegagalan kredit.
15. Kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang.
IV. Manajemen Kredit Syariah
Menurut UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah menjadi UU
No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan, disebutkan bahwa “kredit adalah
penyediaan uang tagihan atau yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjaman antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau
pembagian hasil keuntungan”. Menurut Siamat (1999), kredit ini dapat
9. Manajemen Kredit Syari’ah Bank Muamalat (Chaeruddin Syah Nasution)
digolongkan kedalam enam bentuk yaitu :
1. Penggolongan kredit berdasarkan jangka waktu (maturity), antara
lain :
a. Kredit jangka pendek (short-term loan).
b. Kredit jangka menengah (medium-term loan)
c. Kredit jangka panjang (long-term loan).
2. Penggolongan kredit berdasarkan barang jaminan (collateral), antara
lain :
a. Kredit dengan jaminan (secured loan).
b. Kredit dengan jaminan (unsecured loan).
3. Kredit berdasarkan segmen usaha, seperti otomotif, pharmasi, tekstil,
makanan, konstruksi dan sebagainya.
4. Penggolongan kredit berdasarkan tujuannya, antara lain :
a. kredit komersil (commercial loan), yaitu kredit yang
diberikan untuk memperlancar kegiatan usaha nasabah di
bidang perdagangan.
b. Kredit konsumtif (consumer loan), yaitu kredit yang
diberikan untuk memenuhi kebutuhan debitur yang
bersifat konsumtif.
c. Kredit produktif (productive loan), yaitu kredit yang
diberikan dalam rangka membiayai kebutuhan modal kerja
debitur sehingga dapat memperlancar produksi.
5. Penggolongan kredit menurut penggunaannya, antara lain :
a. Kredit modal kerja (working capital credit), yaitu kredit
yang diberikan oleh bank untuk menambah modal kerja
debitur.
b. Kredit investasi (Invesment credit), yaitu kredit yang
diberikan oleh bank kepada perusahaan untuk digunakan
melakukan investasi dengan membeli barang-barang
92
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN, Vol. 7, No.3 Sept. 2003
10. modal.
6. Kredit non kas (non cash loan), yaitu kredit yang diberikan kepada
nasabah yang hanya boleh ditarik apabila suatu transaksi yang telah
diperjanjikan telah direalisasikan atau efektif.
Dalam pendanaan kepada nasabah dalam bentuk pemberian kredit,
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan penilaian kredit,
oleh karena layak tidaknya kredit yang diberikan akan sangat mempengaruhi
stabilitas keuangan bank. Menurut Rahardja (1997), penilaian kredit harus
memenuhi criteria sebagai berikut :
1. Keamanan kredit (safety). Harus benar-benar diyakini bahwa kredit
tersebut dapat dilunasi kembali.
2. Terarahnya tujuan penggunaan kredit (suitability). Kredit akan
digunakan untuk tujuan yang sejalan dengan kepentingan
masyarakat atau setidaknya tidak bertentangan dengan peraturan
yang berlaku.
3. Menguntungkan (profitable). Kredit yang diberikan menguntungkan
bagi bank maupun bagi nasabah.
Menurut Sinungan (1993), metode lain yang dapat digunakan untuk
menentukan nilai kredit adalah dengan menggunakan formula 4P, yaitu : (1)
Personality ; (2) Purpose ; (3) Prospect; (4) Payment.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi resiko penilaian kredit
(Rahardja:1997), antara lain : (1) Character ; (2) Capacity ; (3) Capital ; (4)
Conditional ; (5) Collateral.
Risiko Bank Syariah sebetulnya lebih kecil dibanding bank
konvensional. Bank Syariah tidak akan mengalami negative spread, karena
dari dana yang dikucurkan untuk pembiayaan akan diperoleh pendapatan,
bukan bunga seperti di bank biasa. Sementara untuk deposan, Bank Syariah
tidak memberikan bunga melainkan sistem bagi hasil atau mudharabah.
11. Manajemen Kredit Syari’ah Bank Muamalat (Chaeruddin Syah Nasution)
Jika pendapatan dari kredit atau dalam Bank Syariah disebut
murabahah ditetapkan 10 persen, maka pada mudharabah (sistem bagi
hasil) akan ditetapkan angka lebih rendah. Selisihnya merupakan
pendapatan bank sebagai biaya jasa. Risiko Bank Syariah terhadap transaksi
foreign exchange juga rendah karena, pada Bank Syariah transaksi valas
hanya diizinkan dalam bentuk transaksi spot. Sementara forward dan swap
tidak diizinkan karena bersifat gambling. (Karim, 2003).
Aspek-aspek lainnya yang perlu diperhatikan dalam penilaian kredit,
yang menyangkut kegiatan usaha calon debitur (Siamat:1999), antara lain :
1. Aspek pemasaran. Menyangkut kemampuan daya beli masyarakat,
keadaan kompetisi, pangsa pasar, kualitas produksi dan lain
sebagainya.
2. Aspek teknis. Meliputi kelancaran produksi, kapasitas produksi,
mesin dan peralatan, ketersediaan dan kontinuitas bahan baku.
3. Aspek manajemen. Meliputi struktur dan susunan organisasi,
termasuk pengalaman anggota dan pola kepemimpinan manajemen.
4. Aspek yuridis. Meliputi status hukum badan usaha, kelengkapan izin
usaha dan legalitas barang jaminan.
5. Aspek sosial ekonomi. Meliputi keadaan keuangan perusahaan
debitur yang dibiayai.
Manajemen kredit bank syari’ah secara umum diterapkan dengan
berpegang teguh kepada syariah Islam (Al-Qur’an dan Al-Hadist).
Diharapkan lembaga keuangan maupun bank dengan sistem syariah dapat
menjaga kestabilan keuangan mereka (income stability). Selain itu, bank
syariah diharapkan dapat lebih memaksimalkan pelayanan mobilisasi dana
masyarakat dan memberikan jaminan keuangan dengan pasti. Di sisi lain,
penyaluran kembali dana masyarakat dalam bentuk pembiayaan, akan
berjalan normal sesuai dengan harapan dan tujuan bersama.
Permasalahan yang biasanya dialami oleh lembaga keuangan
94
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN, Vol. 7, No.3 Sept. 2003
12. syariah atau bank muamalat dalam kegiatan operasionalnya, antara lain :
1. Modal (capital).
2. Human resource activity (kegiatan operasional).
3. Operational management system (sistem manajemen keuangan).
4. Financial management system (sistem manajemen keuangan).
5. Loyality of credit (loyalitas kredit).
Karim (2003), mengemukakan bahwa pada sisi kredit, dalam aturan
syariah bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli
murabahah). Mekanisme seperti itu, akan mencegah kemungkinan dana
kredit digunakan untuk transaksi spekulasi, atau untuk jual beli valas. Jika
terjadi default, bank mudah mendapatkan dananya kembali karena ada aset
yang nilainya jelas berupa sejumlah kredit yang dikucurkan. Dalam Bank
Syariah, karakter nasabah (personal guarantee) lebih dinomorsatukan,
ketimbang cover guarantee berupa aset. Debitor yang dinilai tidak cacat
hukum dan kegiatan usahanya baik akan mendapat prioritas.
V. Hubungan Antara Kredit dengan Piutang
Piutang merupakan cadangan penerimaan yang mungkin diterima
oleh suatu badan usaha, dalam jumlah tertentu dan dalam jangka waktu
tertentu dimasa yang akan datang. Piutang lahir akibat adanya pendanaan
dalam bentuk pemberian kredit dan pemberian jasa lainnya, dimana
pembayaran dari penggunaan jasa tersebut dilakukan pada waktu tertentu,
misal harian, mingguan, bulanan atau periode waktu lainnya. Besarnya
piutang yang akan diterima badan usaha (bank atau lembaga keuangan),
ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pihak pemberi jasa (bank atau
lembaga keuangan) dan pihak pengguna jasa. Semakin besarnya kredit yang
diberikan, akan menambah besarnya resiko yang akan ditanggung badan
usaha.
Resiko kredit karena adanya piutang, dapat melalui prosentase
13. Manajemen Kredit Syari’ah Bank Muamalat (Chaeruddin Syah Nasution)
perbandingan antara jumlah kredit bermasalah dengan jumlah harta
keseluruhan (Sutojo:1997). Resiko lain yang dapat ditimbulkan oleh piutang
adalah pada penerimaan bersih (earning after taxes). Semakin besar jumlah
piutang dan jumlah piutang tak tertagih (bad debt) yang dimiliki badan
usaha, akan menyebabkan semakin kecil penerimaan bersih yang mampu
diperoleh badan usaha, baik lembaga keuangan maupun bank. Mengingat
bahwa piutang sangat berpengaruh terhadap kestabilan usaha, maka
piutang perlu dikelola dengan baik. Beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam manajemen piutang, antara lain :
1. Credit policy. Kebijakan kredit ini menyangkut bagaimana jangka
waktu penetapan piutang, besarnya piutang dan penetapan cara-cara
pembayaran oleh debitur.
2. Credit scoring. Hal ini berkaitan dengan penilaian kredit dan
pemberian ranking (pengelompok piutang).
3. Credit standard. Standar atau patokan terhadap pemberian ranking
dalam penilaian kredit bank.
VI. Menuju Bank Syari’ah 2011
Tak bisa dipungkiri perkembangan bank syari’ah memang cukup
pesat. Namun, perkembangan bank sistem bagi hasil ini harus dibarengi
dengan konsolidasi internal dan eksternal bank agar semakin tangguh dan
dipercaya masyarakat. Bank Indonesia sendiri sebagai pengawas perbankan
telah menentukan sasaran realistis untuk mewujudkan visi perbankan
syari’ah yang kompetitif, efisien dan memenuhi prinsip kehati-hatian. Berikut
ini sasaran pengembangan bank syari’ah hingga 2011:
1. Terpenuhinya prinsip syari’ah dalam opersional perbankan yang ditandai
dengan:
− Tersusunnya norma-norma keuangan syari’ah yang seragam
96
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN, Vol. 7, No.3 Sept. 2003
14. (standarisasi).
− Terwujudnya mekanisme kerja yang efisien bagi pengawasan prinsip
syari’ah dalam operasional perbankan (baik instrumen maupun badan
terkait).
− Rendahnya tingkat keluhan masyarakat dalam hal penerapan prinsip
syari’ah dalam setiap transaksi.
2. Diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam operasional perbankan syari’ah:
− Terwujudnya kerangka pengaturan dan pengawasan berbasis resiko
yang sesuai dengan karakteristiknya dan didukung oleh sumber daya
manusia yang handal.
− Diterapkannya konsep good corporate governance dalam operasi
perbankan syari’ah.
− Diterapkannya kebijakan exit dan entre yang efisien.
− Terwujudnya realtime supervision.
− Terwujudnya self regulatory system.
3. Terciptanya sistem perbankan syari’ah yang kompetitif dan efisien, yang
ditandai dengan:
− Terciptnya pemain-pemain yang mampu bersaing secara global.
− Terwujudnya aliansi strategis yang efektif.
− Terwujudnya mekanisme kerja sama dengan lembaga-lembaga
pendukung.
4. Terwujudnya stabilitas sistemik serta terealisasinya kemanfaatan bagi
masyarakat luas, yang ditandai dengan:
− Terwujudnya safety net yang menyatu dengan konsep operasional
perbankan yang berhati-hati.
− Terpenuhinya kebutuhan masyarakat yang menginginkan layanan
bank syari’ah di seluruh Indonesia dengan terget pangsa sebesar 5%
dari total aset perbankan nasional.
15. Manajemen Kredit Syari’ah Bank Muamalat (Chaeruddin Syah Nasution)
− Terwujudnya fungsi perbankan syari’ah yang kaafah dan dapat
melayani seluruh segmen masyarakat.
− Meningkatnya proporsi pola pembiayaan secara bagi hasil.
VII. Kesimpulan dan Saran
1. Lembaga keuangan syariah atau bank muamalat merupakan badan
usaha yang bergerak dalam bidang keuangan, untuk memobilisasi
dana masyarakat dan memberikan pelayanan jasa perbankan
lainnya berdasarkan prinsip-prinsip syariah Islam yang bersumber
pada Al-Qur’an dan Al-Hadist.
2. Satu hal yang membedakan antara bank Islam dengan bank
konvensional adalah penerapan sistem bagi hasil yang
menggantikan sistem bunga. Sistem ini merupakan terobosan
terbaru dalam dunia perbankan, bagi mereka yang tidak
menginginkan adanya unsur riba pada bunga.
3. Pendanaan dalam bentuk pemberian kredit pada pola bank Islam
maupun lembaga keuangan syariah, perlu mendapat perhatian
yang serius. Kredit macet dapat menyebabkan likuiditas, keamanan
dan penerimaan bank menjadi rendah dan bahkan dapat
mendatangkan kerugian yang cukup.
4. Kombinasi antara manajemen bank umum dengan sistem keuangan
syariah, dapat diterapkan sebagai sarana untuk menyeimbangkan
antara dua kepentingan (lenders borrowers).
5. Perlu dipersiapkan panduan pengelolaan risiko atau benchmarking
bagi bank-bank syari’ah di Indonesia dengan melakukan studi
banding ke negara-negara yang menjalankan sistem perbankan
Islam. Hal ini sangat diperlukan mengingat struktur aset dan kredit
bank syari’ah berbeda dengan bank biasa. Sementara Based Accord
98
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN, Vol. 7, No.3 Sept. 2003
16. II yang digunakan sebagai acuan bank konvensional tidak bisa
digunakan begitu saja oleh bank syari’ah.
17. Manajemen Kredit Syari’ah Bank Muamalat (Chaeruddin Syah Nasution)
VIII. Daftar Pustaka
Karim, Adi Warman. 2003. “Menimbang Risiko Kredit di Bank Syariah”.
Majalah Investor No.88 Tahun V. Jakarta.
Rahardja, Prathama. 1997. “Uang dan Perbankan”; Cetakan Ketiga, Penerbit
PT Rineka Cipta, Jakarta.
Siamat, Dahlan. 1999. “Manajemen Lembaga keuangan”; Edisi Kedua.
Jakarta.
Sinungan, Muchdarsyah. 1993. “Manajemen Dana Bank”; Edisi Kedua,
Cetakan Pertama, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.
Bank Indonesia. 2003.
10
0
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN, Vol. 7, No.3 Sept. 2003