Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Pembelajaran Matematika
1. Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing untuk
Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah
Matematis Siswa
Diah Dwi Santri
dwisantridiah@yahoo.co.id
Universitas Sriwijaya
Abstrak
Pada pembelajaran matematika, kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan
representasi menjadi sangat penting untuk diajarkan kepada siswa. Dengan pembelajaran
pemecahan masalah dan kemampuan representasi, peserta didik dapat mengembangkan cara
berfikir yang akan digunakan sebagai konsep dan belajar lebih dewasa sehingga peserta didik
itu lebih mandiri. Paper ini bertujuan memberikan pandangan tentang kemampuan representasi dan
pemecahan masalah matematis siswa pada pembelajaran matematika belum maksimal. Padahal pada
kurikulum dinyatakan bahwa tujuan mata pelajaran matematika adalah agar siswa mampu
memecahkan masalah dan mampu mempresentasikan/mengkomunikasikan gagasan matematis.
Faktanya kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan representasi matematis siswa merupakan
masalah yang krusial dalam pembelajaran matematika. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, perlu
adanya suatu metode pembelajaran yang inovatif dan dapat mengaktifkan siswa di dalam kelas. Salah
satu metode yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan metode penemuan terbimbing, dengan
metode penemuan terbimbing diketahui bahwa pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kritis
siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing lebih baik dalam
meningkatkan pemahaman konsep, kemampuan berpikir kritis dan mempresentasikan gagasan
matematis siswa level sekolah tinggi, sedang dan rendah. Selain itu sebagian besar siswa
menunjukkan sikap positif terhadap pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing.
Berdasarkan temuan para peneliti, maka pembelajaran matematika dengan metode penemuan
terbimbing sangat potensial diterapkan di lapangan dalam upaya meningkatkan kemampuan
representasi dan pemecahan masalah matematis siswa.
Kata Kunci: penemuan terbimbing, kemampuan representasi,pemecahan masalah
Pendahuluan
Dalam Kurikulum dinyatakan bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada
semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik kemampuan
berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama
(Depdiknas, 2006). Demikian pula tujuan yang diharapkan dalam pembelajaran matematika
oleh National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). NCTM (2000) menetapkan lima
standar kemampuan matematis yang harus dimiliki oleh siswa, yaitu kemampuan pemecahan
masalah (problem solving), kemampuan komunikasi (communication), kemampuan koneksi
(connection), kemampuan penalaran (reasoning), dan kemampuan representasi
(representation). Berdasarkan uraian tersebut, kemampuan representasi dan pemecahan
masalah termuat pada kemampuan standar menurut Depdiknas dan NCTM. Artinya, dua
kemampuan ini merupakan dua diantara kemampuan yang penting dikembangkan dan harus
2. dimiliki oleh siswa.
Berdasarkan tujuan matematika sebagai fokus utama, kemampuan berpikir pemecahan
masalah matematik dalam matematika itu adalah bagian yang sangat dasar dan sangat penting.
Namun, kenyataannya di lapangan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa di
Indonesia masih sangat rendah hal ini dapat dilihat dari hasil survei empat tahunan TIMSS
yang dikoordinasikan oleh IEA ( The International Association for the Evaluation of
Educational Achievement), salah satu indikator kognitif yang dinilai adalah kemampuan siswa
untuk memecahkan masalah non rutin. Pada keikutsertaan pertama kali tahun 1999 Indonesia
memperoleh nilai rata-rata 403 dan berada pada peringkat ke 34 dari 38 negara, tahun 2003
memperoleh nilai rata-rata 411 dan berada di peringkat ke 35 dari 46 negara, tahun 2007
memperoleh nilai rata-rata 397 dan berada diperingkat ke 36 dari 49 negara, dan tahun 2011
memperoleh nilai rata-rata 386 dan berada pada peringkat 38 dari 42 negara. Nilai standar rata-
rata yang ditetapkan oleh TIMSS adalah 500 hal ini artinya posisi Indonesia dalam setiap
keikutsertaannya selalu memperoleh nilai dibawah rata-rata yang telah ditetapkan
(Kemendikbud,2013).
Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa Indonesia juga dapat dilihat
dari hasil survei PISA (OECD,2010) tahun 2009 yang menunjukkan bahwa Indonesia
menempati peringkat ke 61 dari 65 negara yang disurvei dengan rata-rata kemampuan
matematika Indonesia yaitu 371 dari nilai standar rata-rata yang ditetapkan oleh PISA adalah
500. Pada survei tersebut salah satu Indikator kognitif yang dinilai adalah kemampuan
pemecahan masalah. Survey juga dilakukan oleh Suryadi tahun 2001 tentang “Current situation
on mathematics and science education in Bandung” yang disponsori oleh JICA, antara lain
menemukan bahwa kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematika merupakan
salah satu kegiatan yang dianggap penting baik oleh para guru maupun siswa di semua
tingkatan mulai dari Sekolah Dasar sampai SMA akan tetapi hal tersebut masih dianggap
sebagai bagian yang paling sulit dalam matematika baik bagi siswa dalam mempelajarinya
maupun guru yang mengajarkannya.
Berdasarkan fakta-fakta yang telah dikemukakan, hal ini menunjukkan bahwa
kompetensi matematik terutama kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan
representasi siswa masih rendah terbukti pada saat di lapangan masih sering dijumpai guru
matematika masih terbiasa pada kebiasaan mengajar konvensional.Hal ini sesuai hasil temuan
Wahyudin (1999) yaitu Guru pada umumnya mengajar dengan metode ceramah dan
3. ekspositori. Hal ini didukung oleh Ruseffendi (2006) yang menyatakan bahwa pada
umumnya siswa mempelajari matematika hanya diberi tahu oleh gurunya dan bukan melalui
kegiatan eksplorasi. Pada penelitiannya Henningsen dan Stein (1997) mengutarakan bahwa
untuk mengembangkan kemampuan matematis siswa maka pembelajaran harus menjadi
lingkungan dimana siswa mampu terlibat secara aktif dalam banyak kegiatan matematika
yang bermanfaat. Sebagaimana yang dikatakan Ruseffendi (2006:18) bahwa salah satu
kemampuan yang harus dimiliki guru matematika sekolah menengah adalah mampu
mendemonstrasikan dalam penerapan macam-macam metode dan teknik mengajar dalam
bidang studi yang diajarkan.
Metode pembelajaran yang dapat diterapkan adalah metode yang dapat memaksimalkan
dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan representasi
matematis siswa, salah satu adalah metode penemuan. Bruner (1960) menganggap bahwa
belajar dengan metode penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh
manusia. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang
menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna bagi siswa. Hal ini
senada dengan penelitian effendi (2012) bahwa metode penemuan terbimbing lebih baik
dalam meningkatan kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa.
Menurut Widdiharto (2006), kelebihan metode penemuan terbimbing adalah siswa dapat
berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang disajikan,menumbuhkan sekaligus menanamkan
sikap inquiry (mencari-temukan),mendukung kemampuan problem solving
siswa.memberikan wahana interaksi anatara siswa, maupun siswa dengan guru, dengan
demikian siswa juga terlatih untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan
benar,materi yang dipelajari dapat mencapai tingkat kemampuan yang tinggi dan tahan lama
membekas karena siswa dilibatkan dalam proses menemukannya. Kekurangan metode
penemuan ini juga dirumuskan oleh widdiharto (2006) yaitu Untuk materi tertentu, waktu
yang tersita lebih lama,dan tidak semua topik cocok disampaikan dengan metode ini.
Berdasarkan uraian yang dijelaskan diatas, maka penulis tertarik mengangkat judul yakni
“ Pembelajaran Matematika Dengan Metode Penemuan Terbimbing untuk
Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa
SMP”
Pembahasan
4. Menurut Polya (1956) menyatakan bahwa proses yang dapat dilakukan pada tiap langkah
pemecahan masalah melalui beberapa pertanyaan berikut yaitu pertama langkah memahami
masalah, kedua langkah merencanakan pemecahan (devising a plan), ketiga melaksanakan
perhitungan (carrying out the plan), dan memeriksa kembali proses dan hasil (looking break).
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa kemampuan
pemecahan masalah dalam adalah usaha atau cara siswa dalam menyelesaikan persoalan
dengan menggunakan langkah-langkah sistematis. Pemecahan masalah yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pemecahan masalah Polya yaitu memahami masalah,
merencanakan pemecahan, melakukan perhitungan dan memeriksa kembali hasil.
Siswa dan guru dalam pembelajaran matematika seharusnya senantiasa
berkomunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Matematika sering diidentikkan
dengan sesuatu yang abstrak, sehingga tidak semua pihak mampu menerjemahkan apa yang
sebenarnya ingin disampaikan dalam pembelajaran tersebut. Hal ini terlihat dari 70% ciri
khas komunikasi matematika berkaitan dengan representasi. Menurut Goldin (2002: 209)
representasi adalah suatu konfigurasi (bentuk atau susunan) yang dapat menggambarkan,
mewakili, atau melambangkan sesuatu dalam suatu cara. Representasi matematika yang
merupakan salah satu kompetensi adalah suatu aspek yang selalu hadir dalam pembelajaran
matematika. Kehadiran representasi dalam pembelajaran matematika akan memicu juga
timbulnya kemampuan untuk mengaitkan ide-ide matematika dalam berbagai topik ataupun
dengan situasi keseharian, ataupun memunculkan kemampuan siswa untuk bernalar serta
berkomunikasi. Artinya dengan beragam representasi yang siswa munculkan mereka
diharapkan dapat mengkomunikasikan gagasan atau strategi mereka kepada temannya saat
mereka berinteraksi di kelas.
Penggunaan representasi yang baik akan mampu mengaitkan informasi yang
dipelajari dengan kumpulan informasi yang sudah dimiliki siswa. Pemaknaan terhadap
hubungan yang mungkin terjadi di antara berbagai informasi yang melekat di sistem
representasi tersebut pada dasarnya merupakan upaya untuk memperoleh pemahaman. Oleh
karena itu, penggunaan representasi juga mempunyai sumbangan yang sangat besar bagi
terbentuknya pemahaman konsep. Sebaliknya, penggunaan representasi yang kurang dan
tidak memadai dapat membawa kepada kepicikan pemahaman siswa (As’ari, 2001: 85).
Untuk mendorong siswa yang memiliki kemampuan representasi dan sekaligus kemampuan
pemecahan masalah Matematika diperlukan metode pembelajaran Matematika yang tepat. Guru harus
memahami dan memilih metode,strategi,pendekatan dan model pembelajaran yang dapat
5. menumbuhkan kedua kompetensi Matematika tersebut. Menurut Jerome Bruner (1960), penemuan
adalah suatu proses. Proses penemuan dapat menjadi kemampuan umum melalui latihan
pemecahan masalah, praktek membentuk dan menguji. Herman Hudojo (2003: 123)
berpendapat bahwa metode penemuan merupakan suatu cara penyampaian topik-topik
matematika, sedemikian hingga proses belajar memungkinkan siswa menemukan sendiri
pola-pola atau strukturstruktur matematika melalui serentetan pengalaman-pengalaman
belajar lampau. Keterangan-keterangan yang harus dipelajari itu tidak disajikan di dalam
bentuk akhir, siswa diwajibkan melakukan aktivitas mental sebelum keterangan yang
dipelajari itu dapat dipahami.
Leslie, Rodger dan Janet (2004: 191) menyatakan bahwa “In a guided inquiry
approach the instructor provides the problem and encourages students to work out the
procedures to resolve it, in a guided inquiry plan, students are encouraged to resolve
problems either on their own or in groups.”
Berdasarkan pendapat di atas, di dalam metode pembelajaran terbimbing guru
menyediakan masalah dan mendorong siswa untuk menyelesaikan masalah biasanya yang
ada di prosedur. Guru bertindak sebagai penunjuk jalan, membantu siswa agar
mempergunakan konsep, idea-idea dan keterampilan yang telah dipelajari sebelumnya untuk
memperoleh pengetahuan yang baru. Bimbingan ini merupakan pengarahan yang dapat
berbentuk pertanyaan-pertanyaan baik secara lisan ataupun tulisan.
Kegiatan pembelajaran penemuan terbimbing menekankan pada pengalaman belajar
secara langsung melalui kegiatan penyelidikan, menemukan konsep dan kemudian
menerapkan konsep yang telah diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan kegiatan
belajar yang berorientasi pada keterampilan proses menekankan pada pengalaman belajar
langsung, keterlibatan siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran, dan penerapan konsep dalam
kehidupan sehari-hari. Siswa didorong untuk berpikir kritis, menganalisis sendiri, sehingga
dapat menemukan konsep atau prinsip umum berdasarkan bahan/data yang telah disediakan
guru. Proses pembelajaran yang demikian membawa dampak positif pada pengembangan
kreativitas berpikir siswa.
Menurut Joyce & Weil (1992: 199) keuntungan metode penemuan adalah akan
membantu siswa mengembangkan disiplin intelektual dan kebutuhan keterampilan untuk
membangkitkan rasa ingin tahu dan mencari jawaban dari keingintahuannya.
Kesimpulan
6. Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa
kemampuan representasi dan kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan yang
penting dikembangkan dan harus dimiliki siswa. Sedangkan faktanya di Indonesia
kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan representasi matematis siswa merupakan
masalah yang krusial dalam pembelajaran matematika. Untuk itu perlu adanya metode
pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan representasi dan kemampuan
pemecahan masalah. Berdasarkan penelitian dan pendapat ahli metode pembelajaran yang
cocok untuk meningkatkan kemampuan representasi dan kemampuan pemecahan masalah
adalah metode penemuan terbimbing, karena metode penemuan terbimbing adalah metode
dimana guru sebagai fasilitator dan pengarah sedangkan siswa aktif melakukan kegiatan
sesuai prosedur atau langkah kerja untuk mengembangkan rasa ingin tahunya. Oleh karena
itu penulis meyakini metode penemuan terbimbing efektif untuk meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah dan kemampuan representasi matematika siswa.
REFERENCES
7. As’ari, A.R. (2001). Representasi: Pentingnya dalam Pembelajaran Matematika. Dalam
Jurnal Matematika atau Pembelajarannya, FMIPA, Universitas Negeri Malang
Bruner, J.1960.The Process of Education.Cambridge.Mass: Harvard University Press.
Balitbang. (2011). Survei Internasional PISA. [Online]. Tersedia:
http://litbangkemdiknas.net/detail. phpid=215. [10 Januari 2012].
Depdiknas.2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Badan
Standar Nasional Pendidikan: Jakarta.
Goldin, G. A. 2002. Representation in Mathematical Learning and Problem Solving. In L.D
English (Ed) International Research in Mathematical Education IRME, 197-218. New
Jersey: Lawrence Erlbaum Associates
Henningsen, M. dan Stein, M.K. 1997 . Mathematical Task and Student Cognition:
Classroom- Based Factors that Support and Inhibit High-Level Mathematical Thinking
and Reasoning. Journal for Research in Mathematics Education. 28, (5), 524-49.
Herman Hudojo. (2003). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang:
Jurusan Pendidikan Matematika, FMIPA: Universitas Negeri Malang
Joyce, B. Weil, M. & Showers, B. (2004). Model of teaching. 7th ed. Boston: Allyn and
Bacon
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Survei Internasional TIMSS.
Jakarta: Kemdikbud.
Mullis, I., Martin, M.O. dan Foy, P. 2008. TIMSS 2007 International Mathematics Reports.
Chesnut Hills: Boston College.
National Council of Teachers of Mathematic (NCTM). 2000. Principle and Standards for
School Mathematics. NCTM.
OECD. 2010. Comparing Countries’ and Economies’ Performance. [Online].
Tersedia: www.oecd.org/pisa/46643496.pdf [30 Mei 2013]
Polya, G. 1956. How to Solve It. Zurich: Princenton Paperbacks.
Ruseffendi, E.T.2006. Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya
dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA (edisi revisi). Bandung :
Tarsito.
Trowbridge, Leslie W, Bybee, Rodger W, &Carlson Powell, Janet. (2004). Teaching
Secondary School Science: Strategies for Developing Scientific Literacy. United States:
Pearson Education
Wahyudin. 1999. Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam
Mata Pelajaran Matematika. Disertasi SPs UPI Bandung
Widdiharto,Rachmadi.2006.Model Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Penemuan
Terbimbing. Departemen Pendidikan Nasional : Yogyakarta