SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  138
Télécharger pour lire hors ligne
SYAHWAT KEKUASAAN DI GARUT



                      Kata Pengantar

        Kabupaten Garut kerap disebut-sebut sebagai miniatur
politik di Jawa Barat. Tidak heran, jika banyak kalangan datang
berguru ke Garut. Dalam banyak hal Kabupaten Garut memang
unik dan menarik. Sebagai daerah yang berkatagori tertinggal,
ternyata sangat dinamis namun sarat intrik dan konflik
kepentingan.

        Penulis yang sejak tahun 1983 berprofesi sebagai
wartawan, banyak mencatat hiruk pikuknya dinamika
perpolitikan di wilayah Kabupaten Garut. Dari catatan secara
umum melalui penulusuran, dan catatan khusus karena penulis
sering masuk ke wilayah kekuasaan mencoba menuangkannya
dalam       sebuah     buku     yang     diberi        judul
“SYAHWAT KEKUASAAN DI GARUT”.

         Buku tersebut penulis berharap memberi gambaran,
bahwa betapa Kabupaten Garut yang unik dan menarik tidak
mau beranjak dari ketertinggalannya di satu sisi, namun di sisi
yang lain justru sangat berkembang pesat terutama dalam
berebut kekuasaan untuk menguasai jaringan pemerintahan,
politik dan hukum.

      Kemajuan dalam berebut kekuasaan memang tidak
berbanding lurus dengan upaya meningkatkan pembangunan
untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Energi dan ongkos politik


                              1
dihabiskan untuk merebut kekuasaan baik dalam jabatan politik,
penanganan masalah hukum maupun perebutan jabatan di
lingkungan birokrasi.

        Celakanya, ongkos politik dan tanpa disadari justru
diongkosi oleh rakyat dengan cara mengatur Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara rapih, teratur
dan lolos dari jamahan hukum.

       Tokoh wartawan senior H. Usep Romli, yang juga
sastrawan terkemuka sekaligus kiayi dalam tulisannya di Surat
Kabar Umum Garoet Pos menyebutkan, bahwa Garut adalah
tempat kursus politik. Sejumlah tokoh nasional dari berbagai
bidang berasal dari Garut baik di masa lampau maupun masa
sekarang.

       Sebut     saja   tokoh    masa      lampau    seperti
Prof. DR. KH. Anwar Musadad yang merintis berdirinya
Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung, KH. Yusuf Taudjiri,
ulama pejuang. Prof. DR. Ihromi, ahli bahasa Ibroni yang
kemudian pernah menjadi Ketua Dewan Gereja Indonesia (DGI).
Lalu ada Arudji Kartawinata, tokoh Partai Syarikat Islam
Indonesia dan pernah menduduki jabatan Ketua DPR-RI.

       H. Usep Romli mencatatkan, rumah tokoh partai
nasionalis Bubu Burhan Mustafa di Jalan Bank no. 14 dijadikan
tempat kurus politik, yang melahirkan politisi-politisi handal yang
berasal dari kalangan pendidikan, seperti Drs. Sopandi guru SPG
Negeri dan Jajang Kurniadi, guru SMP Negeri I Garut.



                                2
Dari kubu partai Islam, rumah KH. Anwar Musadad di
Jalan Ciledug, juga dijadikan tempat kursus politik. Salah satu
jebolannya adalah Omo Suntama, seorang guru SPG Negeri yang
kemudian aktif di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan
mengantarkan KH. Sulaeman Afif menjadi anggota DPR-MPR.
Faktanya, Kabupaten Garut memang tidak terbantahkan lagi
sebagai tempat kurus politik yang melahirkan politisi-politisi
handal. Tak heran, jika kemudian generasi sekarang
memunculkan nama Memo Hermawan dari PDIP dan
Dedi Suryadi dari PPP, tercatat sebagai politisi lokal yang cerdik
dan hebat.

       Tokoh masa sekarang ada Prof. Soleh Solahudin, yang
pernah menjadi Menteri Pertanian semasa presiden BJ.Habibie,
Burhanudin Abdullah, mantan Menko Ekuin semasa presiden
Gusdur yang kemudian menjadi Gubernur BI. (alm) Andung
Nitimiharja, mantan menteri Perindustrian era presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.

         Sederet tokoh lainnya yang mewarnai percaturan politik
di Indonesia berasal dari Garut. Di PDIP ada Jajang Kurniadi, di
PKB ada Prof. Cecep Syarifudin, di PPP ada Maksum Djaeladri, di
Partai Golkar ada Asep Ruhimat Sudjana. Kalau kemudian
H. Usep Romli menyebutnya sebagai tempat kursus politik,
memang Kabupaten Garut layak menyandang sebutan tersebut
karena hingga kini masih tetap menjadi tempat penggojlogan
politisi-politisi handal.

     Tanpa bermaksud menyudutkan siapa pun dan kelompok
manapun, semata-mata penulis hanya mengangkat ke


                                3
permukaan berdasarkan catatan dan pengalaman yang penulis
peroleh. Bahkan dalam hal ini penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih setinggi-tingginya kepada semua pihak yang
secara langsung maupun tidak langsung telah membantu
terselesaikannya buku ini.

       Kepada kedua anak saya tercinta, sahabat dan teman-
teman pers yang bertugas di Kabupaten Garut dari media cetak
dan elektronik terutama keluarga besar Surat Kabar Umum
Garoet Pos, penulis haturkan terima kasih atas dorongan moril
serta bantuannya dalam banyak hal sehingga memungkinkan
bagi penulis menyelesaikan buku ini.

       Di saat menyelesaikan buku ini, dalam waktu bersamaan
justru penulis menghadapi banyak masalah yang berkaitan
dengan berkecamuknya pendapat pro-kontra tentang penting
tidaknya buku ini diterbitkan. Alhamdulillah penulis diberi
kekuatan mental, kesabaran dan ketabahan serta kekihlasan
dalam menghadapinya sehingga tidak menjadi penghambat
untuk terus menyelesaikan buku ini.

       Hanya kepada Allah-lah, penulis memohon bimbingan
sekaligus berserah diri atas segala hal yang selama ini menjadi
bahagian dari perjalanan hidup. Hanya do’alah yang
memungkinkan semuanya bisa teratasi. Terima kasih ya Allah,
Engkau telah membimbing hamba yang tdak punya kekuatan
apa pun selain hanya karena Engkau ya Allah. (*)

Salam hormat dan salam hangat untuk semua

Garut, Mei 201     Penulis : MUSTAFA FATAH

                              4
Daftar Isi:

   1.    Profil Penulis
   2.    Jelang Tumbangnya Rezim Orde Baru
   3.    Babak Baru di Era Reformasi
   4.    Birokrat Orde Baru Kuasai Pemerintahan
   5.    Gugatan di Peradilan T.U.N
   6.    Tentara Kembali Rebut Pemerintahan
   7.     Bungalau 12
   8.     Bertindak dengan Hati
   9.    Memo dan Kepala SMK PGRI
   10.   Jabatan tidak Digenggam
   11.   Pejabat dan Dunia Hiburan
   12.   Media Massa dan Kejatuhan Agus Supriadi
   13.   Kalau Tidak, Ikut Mundur
   14.   Agus Tawari Iman jadi Sekda
   15.   Birokrat, Jaringan Politik dan Hukum
   16.   Politisi Rebut Pemerintahan
   17.   Wajah Wakil Rakyat (DPRD Garut)
   18.   Skandal Seks yang Di peti es kan
   19.   Anggota DPRD Diincar Penegak Hukum
   20.   Aktivis dan Proyek D.A.K Buku
   21.   Desakan P.A.W
   22.   Tebang Pilih Penanganan Hukum
   23.   Jabatan Sekda Dipolitisir
   24.   Jurus Perbup Jerat Hilman
   25.   Iman Putera Mahkota Bupati Momon
   26.   Terparkirnya Pejabat Birokrasi
   27.   Mafia Jabatan
   28.   Dua Sosok Politisi Cerdik

                           5
29.   Memo - Dedi tak Ambil Peluang
30.   Memo vs Hasanudin
31.   Manggungnya Independen
32.   Aceng-Diky tak Penuhi Syarat
33.   Aceng Fikri Orang Parpol
34.   Dana Pengamanan Pemilu 2009
35.   Pileg Syarat Pelanggaran
36.   Potret Suram Pembangunan di Garut
37.   Tiga Bupati tak Mampu Wujudkan G.O.R
38.   Kabupaten Garut Selatan
39.   Jelang Pemilukada 2013
40.   Kepercayaan Pusat
41.   Birokrat Sulit Diatur
42.   Pejabat Pemda Dibidik Penegak Hukum
43.   Bisnis CPNSD




                        6
Profil Penulis:

     Nama pemberian orang tua adalah Mustofa, namun
kemudian ditambah dengan nama kakek yang bernama
Muhammad Fatah sehingga dalam akta kelahiran tertulis
menjadi Mustafa Fatah.

       Lahir tanggal 24 Juli 1959 di desa Bojong Kecamatan
Bungbulang Kabupaten Garut. Setelah menamatkan sekolah
di SMP Negeri Bungbulang (sekarang SMP Negeri I
Bungbulang), melanjutkan ke SMEA Muhammadiyah di kota
Garut.

      Pilihan sekolah bertentangan dengan keiinginan orang
tua agar masuk ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Menjadi
guru bukan pilihan, tetapi sekolah ekonomi pun nyaris tanpa
tujuan yang jelas.

       Selepas SMEA berkeiinginan melanjutkan kuliah, namun
dalam waktu bersamaan harus berbarengan dengan kakak
yang     kebetulan lulus seleksi masuk ke IKIP Bandung
(sekarang UPI). Akhirnya mengalah untuk tidak melanjutkan
kuliah, karena keterbatasan orang tua dalam pembiayaannya,
dan lebih mendorong kakak agar kelak menjadi seorang guru
melanjutkan cita-cita ayah.

      Tahun 1983 ikut seleksi calon wartawan di Harian
Umum Mandala yang sedang naik daun karena maraknya
pemberitaan seputar kasus penembakan misterius (petrus)
terhadap orang-orang yang meresahkan masyarakat
(preman).

                           7
Tahun 1986 semasa bupati Garut H. Taufik Hidayat,
akibat berita yang selalu mengkritisi kebijakan bupati yang
merugikan rakyat akhirnya di persona non grata (diusir dari
wilayah Garut).

      Perseteruan dengan bupati sempat pula dimuat di
Majalah Tempo, dan pengusiran tidak jadi dilakukan.
Menjelang pergantian bupati dari Taufik Hidayat ke bupati
Momon Gandasasmita terjadilah islah (saling memaafkan).

      Tahun 1989 Harian Mandala diambil alih oleh Grup
Kompas, dan ketika dilakukan seleksi oleh manajemen
Kompas dinyatakan lolos dan terus bergabung hingga
berakhirnya pengambilalihan Harian Mandala oleh Kompas
tahun 1990.

      Tahun 1990-1992 lolos seleksi di Surat Kabar Surabaya
Minggu yang manajemennya diambil alih pengusaha sukses
Yakob Hendrawan beralamat di Jalan KH. Mas Mansyur
No. 55 Tanah Abang Jakarta Pusat.

      Tahun 1992 kembali lagi ke Garut membuka Perwakilan
Surat Kabar Sunda “Kudjang” setelah diajak oleh Alvertoeng,
mantan Pemimpin Redaksi salah satu surat kabar milik grup
Media Indonesia dan terjadilah kerjasama dengan pemerintah
daerah      Kabupaten         Garut      melalui     bupati
H. Momon Gandasasmita.

     Koran Kudjang ditinggalkan dan kembali lagi ke Koran
Mandala hingga akhirnya ke Surat kabar Harian Suara Publik



                           8
yang terbit di awal reformasi, milik Wakil Walikota Bandung
Enjang Darsono.

      Selain aktif di Suara Publik, sempat pula menjadi
deklarator Partai Amanat Nasional (PAN) Kabupaten Garut
bersama sejumlah tokoh dari Muhammadiyah.

      Turut mendeklarasikan Forum Pemuda Pelajar dan
Mahasiswa Garut (FPPMG) bersama Agustiana, yang
kemudian melahirkan sejumlah aktivis seperti Arif Rahman
Hidayat, SE.,Ak (mantan ketua STIE Yasa Anggana), Oim
Abdurohim (mantan anggota DPRD Garut/mantan calon wakil
bupati Garut 2008), Hasanudin (sekarang pengurus DPN
Refdem) dan lain-lain.

     Pada Pemilu pertama era reformasi, yaitu tahun 1999
maju menjadi calon anggota DPRD dari daerah pemilihan
Kecamatan Cisewu.

       Tahun 2001 mengundurkan diri dari PAN dalam posisi
sebagai salah satu sekretaris DPD Kabupaten Garut, karena
lebih memilih tetap menjadi wartawan yang sejak tahun 2000
lolos seleksi di Harian Metro Bandung (sekarang Tribun Jabar-
Grup Kompas).

      Tahun 2003 ikut seleksi calon Anggota KPU Garut dan
lolos ke 10 besar, namun gugur di lima besar. Tahun 2005
sampai sekarang menjadi Pemimpin Umum dan Pemimpin
Redaksi Surat Kabar Umum Garoet Pos.




                            9
Tahun 2008 ikut lagi seleksi calon anggota KPU dan
berhasil masuk lima besar yang ditetapkan oleh Tim Seleksi
dari KPU Propinsi Jawa Barat.

     Selain aktif di organisasi profesi yaitu Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI), juga aktif di organisasi
kemasyarakatan, antara lain Muhammadiyah, Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan di organisasi
sepak bola PSSI Pengcab Garut.

       Beberapa wartawan senior dan wartawan muda
dilahirkan melalui tangan penulis, seperti Tisna Wibawa
(wartawan Koran BOM/Majalah Cermin Harian), Ridwan, S.Pd,
Taofik Rahman, S.Sos, Yosep Nasrullah, S.Ag, Tata Ansori
(Garoet Pos), Asep Hamdani (Harian Radar/Ketua APDESI
Garut), Rommy Rusyana (mantan wartawan SINDO), Jamjam
Jamaludin (Harian Radar), Indra Prasasti (Trans TV), Deni
Muhammad Arif (Indosiar) dan lain-lain. (*).




                          10
Jelang Tumbangnya Rezim Orde Baru

      Tahun 1996 gerakan penumbangan rezim orde baru
semakin kencang. Kelompok pro-demokrasi bermunculan
dimana-mana termasuk di kabupaten Garut yang dimotori
mahasiswa dan aktivis.

       Para aktivis pro demokrasi dari kalangan kampus pada
tahun yang sama mendatangkan tokoh penentang orde baru,
yaitu DR. Ir. Sri Bintang Pamungkas, dosen Fakultas Teknik
Universitas Indonesia dalam kegiatan seminar ekonomi yang
digagas oleh SENAT Mahasiswa STIE Garut diketuai Hasanuddin
bekerjasama dengan PWI Perwakilan Garut.

      Kehadiran Sri Bintang Pamungkas ke Garut tidak
dihendaki oleh penguasa di Kabupaten Garut. Bahkan seluruh
pengelola gedung yang biasa menyewakan tempatnya
mendadak tidak mau memberikannya dengan berbagai alasan.

         Akhirnya seminar digelar di halaman gedung Korpri Jalan
Patriot Garut, dilanjutkan di Sekretariat PWI Garut Jalan
Pembangunan. Saat itu jumlah personil keamanan baik yang
terbuka maupun tertutup, justru lebih banyak ketimbang peserta
seminar yang kebanyakan berasal dari kalangan mahasiswa dan
aktivis.

      Tokoh ulama, politisi, sekaligus pemilik pondok pesantren
Darussalam Wanaraja KH. Cholid Taujiri mendaulat Sri Bintang
Pamungkas dan membawanya ke Pontrennya untuk bicara
panjang lebar dihadapan santri dan warga sekitarnya.



                              11
Kehadiran Sri Bintang Pamungkas, ternyata diikuti
aparat intelejen dari Jakarta karena setelah dari Garut
langsung terbang ke Jerman menghadiri seminar sekaligus
sebagai pembicara di sana. Sri Bintang Pamungkas, langsung
ditangkap penguasa orde baru dan dijebloskan ke penjara di
Jakarta, bahkan statusnya sebagai dosen PNS di Universitas
Indonesia dipecat/diberhentikan.

      Tidak lama berselang, tokoh gerakan pro demokrasi
Agustiana digelandang ke penjara di Tasikmalaya       atas
tuduhan sebagai dalang kerusuhan Tasikmalaya, dan sebelum
ditangkap sempat menggelar jumpa pers di sekretariat PWI
Garut. Sekretariat Forum Pemuda Pelajar (FPPMG) yang
dikomandani Agustiana beralamat di Jalan Ranggalawe
bersebelahan dengan tempat tinggal penulis.

       Pasukan keamanan dari TNI, Polisi dan Satuan Polisi
Pamongpraja lengkap dengan senjatanya mengepung
sekretariat FPPMG, dan Komandan Intelejen Kodim (Kasi
Intel- Lettu. Inf. Anan Taryana) berada di rumah penulis.

     Tembok pemerintah daerah Kabupaten Garut saat itu
memang sangat kuat dan kokoh. Salah satu tokoh kunci yang
membentengi pemda Garut adalah Letkol. Inf. Kohar
Somantri, mantan Kepala Staf Kodim 0611 Garut yang
diangkat sebagai Kepala Kantor Sosial Politik (Sospol) Pemda
Garut.

       Letkol. Inf. Kohar Somantri, selaku Kepala Kantor Sosial
Politik Pemda Garut sangat disegani dan ditakui oleh semua
kalangan. Dalam mengendalikan pemerintahan di lingkungan

                            12
pemda Garut, Kohar membentuk kekuatan yang waktu itu
dikenal dengan istilah MARKODOTOH         (Mardjuki, Kohar
Somantri, Dodi Soemartawijaya, Toto Rahmat). Mardjuki
adalah seorang Letkol TNI yang menjadi Kepala Dinas
Pekerjaan Umum Kabupaten (PUK), Kohar Somantri (Kepala
Sospol), Dodi Soemartawidjaya (Kepala Bagian Kepegawaian),
Toto Rahmat (Kepala Dispenda).

      Kalau sekarang di tubuh pemda Garut ada kelompok
geng, memang bukan hal baru karena sudah merupakan
tradisi (warisan) dari orang-orang yang memiliki pengaruh di
lingkungan pemda Garut. Tidak heran, kelompok tersebut
sangat dominan dalam penempatan sejumlah pejabat yang
loyal kepada kelompok geng dimaksud.

       Sekarang di lingkungan birokrasi pemda Garut dikenal
dengan geng-nya Iman Alirahman, dan itu tidak bisa
terbantahkan karena geng tersebut memiliki kekuatan yang
signifikan dalam berbagai hal. Bahkan sangat disadari oleh
Wowo Wibowo dan Hilman Faridz ketika naik menjadi Sekda
Garut.

     Wowo Wibowo tidak mampu bertahan lama menjadi
sekda, karena ia banyak melakukan penekanan terhadap
sejumlah pejabat di lingkungan pemda Garut yang merupakan
geng-nya Iman Alirahman.

    Kekuatan geng tersebut menyeret Wowo ke ranah
hukum, yang kemudian sempat mendekam di sel tahanan
Mapolda   Jabar  dengan   tuduhan   menyalahgunakan


                           13
wewenangnya menandatangani pencarian dana bantuan
sosial sebelum APBD Garut disahkan.

      Keluhan Wowo Wibowo mengemuka setelah ia dengan
kewenangannya pernah melakukan tindakan tegas kepada
beberapa pejabat padahal pejabat tersebut adalah geng-nya
Iman Alirahman. Sebut saja Kepala Bagian Umum waktu itu
Dadi Jakaria dan staf-stafnya.

     Tindakan tegas Wowo merupakan pemicu diungkitnya
persoalan dirinya saat menjadi Kepala BPKD yang dituduh
menggelontorkan dana bansos sebelum APBD disahkan.

     Wowo kemudian digelandang oleh Polda Jabar dan
sempat mendekam beberapa bulan lamanya di sel tahanan.
Penulis sendiri berkesempatan melayat Wowo di Polda,
namun ternyata sosok Wowo terlihat tegar, tenang dan penuh
keikhlasan menghadapinya.

      Hal yang sama dialami Hilman Faridz, sekda yang
menggantikan Wowo itu sempat menyampaikan keluhannya
kepada penulis, bahwa untuk beberapa hal ia tidak bisa
nyambung/sinergis dengan sejumlah pejabat di bawahnya.
Misalnya dengan Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat (BKD)
sewaktu dijabat Drs. H. Djadja Sudardja, M.Si.

    Menurut Hilman, setiap kebijakan yang diambilnya selalu
mendapat hambatan dan tantangan dari pejabat di bawahnya
yang memang gengnya Iman Alirahman. “Anda tahu sendiri di
tubuh birokrasi terpecah, ada yang memihak saya dan ada



                           14
juga yang memihak pa Iman”. Begitu dikeluhkan Hilman
Faridz. (*)



Babak Baru di Era Reformasi

      Akhirnya Mei 1998 tumbanglah rezim orde baru, dan di
Kabupaten Garut bertepatan dengan akan berakhirnya masa
jabatan bupati Drs. H. Toharudin Gani, yang diangkat menjadi
bupati hasil penunjukan dari pihak Gedung Sate,
menggantikan Momon Gandasasmita yang telah dua kali
menjabat bupati.

      DPRD Garut hasil pemilu 1997 atau pemilu terakhir era
rezim orde baru merupakan “DPRD transisisisi”, karena tahun
1999 digelar pemilu pertama masa reformasi. Tentu saja
anggota DPRD yang berjumlah 45 orang itu memanfaatkan
pemilihan bupati sebagai ajang mendulang uang dari para
calon bupati.

      Perebutan kekuasaan menjelang pemilihan bupati pun
terasa memanas, seluruh petinggi pemda Garut, yaitu bupati
Drs. H. Toharudin Gani, Wakil Bupati Mamad Suryana, dan
Sekretaris Daerah Iing Kosim maju mencalonkan diri sebagai
bupati.

      Dari luar pemda Garut muncul nama Dede Satibi, yang
masih menjabat Wakil Bupati Kabupaten Bekasi, Letkol. Pol
(sekarang AKBP) Dede Hidayat Jayalaksana, mantan Kapolres



                           15
Garut. Dan dari kalangan DPRD nama H. Rukman yang ketua
DPRD maju juga menjadi kandidat.

      Pertarungan sengit terjadi antara Dede Satibi dan Dede
Hidayat Jayalaksana. Anggota DPRD Garut yang akan
menentukan pilihannya menjadi terpecah. Kelompok aktivis,
dan tokok-tokoh ulama terpecah pula. Ada yang berada di
kubu Dede Jayalaksana dan ada di kubu Dede Satibi. Dede
Jayalaksana sangat dikenal luas di Garut, karena selain
pernah menjadi Kapolres Garut, perwira muda itu sebagai
sosok santun dan lebih mengedepankan pola kemitraan
dalam menangani masalah keamanan dan ketertiban di
wilayah Kabupaten Garut.

     Dede Hidayat Jayalaksana mendapat dukungan dari
tokoh-tokoh aktivis, seperti Toni Munawar, Gunadi dan aktivis
mahasiswa. Dari kalangan pengusaha ada H. Heri Sunardi
yang menguasai perkebunan Condong. Sedangkan tokoh
ulamanya ada KH. Uhom Hamdani, pemimpin pondok
Pesantren Sarohan Bayongbong dan tokoh Partai Persatuan
Pembangunan (PPP).

     Sementara Dede Satibi mendapat dukungan dari Dewan
Harian Daerah (DHD) Angkatan 45, Warga Indonesia Asal
Garut (WI-ASGAR), Angkatan 66 dan tokoh ulama yang
dimotori KH Abdul Halim, pemimpin pondok pesantren Al-
Bayyinah dan salah satu putera dari ulama besar KH. Anwar
Musadad.

    Pertarungan sengit terjadi antara kubu Dede Satibi dan
kubu Dede Jayalaksana. Disebut-sebut uang jago pun

                           16
mengalir ke kocek anggota DPRD, dan akhirnya Dede Satibi-
lah yang memenangkan pertarungan tersebut namun kubu
Dede Hidayat Jayalaksana tidak terima kekalahannya lalu
menyandera seluruh Anggota DPRD sekaligus menguasai
gedung wakil rakyat berhari-hari lamanya.

      Kemenangan Dede Satibi nyaris saja digagalkan, kalau
saja Dede Hidayat Jayalaksana tidak segera meyakinkan
pendukungnya untuk menerima hasil yang menyakitkannya
itu. Seorang tokoh ulama PPP sekaligus pimpinan Pondok
Pesantren Sarohan Bayongbong KH. Uhom Hamdani adalah
yang paling kecewa atas kekalahan Dede Hidayat
Jayalaksana. Kiayi yang dikenal berani itu pun kemudian
meninggal dengan membawa kekecewaan yang sangat
mendalam.

      Gelombang aksi tandingan dari kubu Dede Satibi
berdatangan ke gedung DPRD, yang sebelumnya dilakukan
serangkaian pertemuan di komplek pesantren Al-
Mussadadiyah.

      Penulis termasuk yang ikut dalam pertemuan itu, dan
diminta oleh peserta pertemuan masuk dalam penyusun
materi tuntutan yang akan disampaikan ke DPRD dan
berbagai pihak sebagai pemangku kepentingan.

     Dalam aksi tandingan dari kubu Dede Satibi, tampil KH
Abdul Halim sebagai penyampai orasi dan mendesak DPRD
Garut segera melantiknya karena sudah dinyatakan sebagai
pemenang.


                          17
Bupati terpilih Dede Satibi, memang tokoh birokrat
sejati karena malang melintang di pemda Garut hingga jadi
Mantri Polisi sebelum pindah ke Kabupaten Tangerang dan
Kabupaten Bekasi. Dalam mengendalikan pemerintahannya,
Dede Satibi tidak berkehendak didampingi Wakil Bupati
Mamad Suryana sebagai pesaing di pemilihan bupati.

     Dalam masa kepemimpinan Dede Satibi tidak
didampingi Wakil Bupati karena Mamad Suryana ditarik oleh
Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan menduduki jabatan
sebagai Kepala Dispenda Jawa Barat.

      Sementara Sekda Iing Kosim yang sebenarnya
didukung jajaran birokrasi dengan Korps Pegawai Negeri-nya
(KORPRI) gagal meraih kemenangan. Ia kemudian hengkang
dari Garut karena mendapat tawaran sebagai Wakil Bupati
Kabupaten Subang.

     Jabatan sekda Garut, akhirnya diisi pejabat karir dari
pemda Garut, yaitu Rahman Ruhendar yang waktu itu
menjabat Ketua Bappeda (sekarang namanya Kepala
Bappeda).

      Rahman Ruhendar tidak lama menjabat sekda keburu
meninggal dunia, dan Dede Satibi mengajak sohibnya
Rachmat Sudjana dari Kabupaten Sukabumi (Ketua Bappeda)
untuk mengisi jabatan sekda.

      Kekuasaan Dede Satibi dimasuki kakak kandungnya
H. Hafid, yang kemudian mumunculka kelompok/geng di
lingkungan pemda Garut yang berkepentingan dalam

                           18
mengatur jabatan dan proyek. Siapa dekat dengan kelompok
tersebut, maka jabatan dan proyek pun dapat diraihnya.

      Kepala Diparda, Hilman Faridz adalah salah satu
diantara yang masuk kelompok H Apit, makanya jabatannya
dipindahkan menjadi Ketua Bappeda yang ditinggalkan
Rachman Ruhendar. Kepala Diparda diisi oleh Iman Alirahman
yang semula Kepala Dinas Kebersihan.

      Iman Alirahman adalah pejabat muda yang kurang
disenangi bupati Dede Satibi, namun justru bagi Iman
Alirahman dijadikan pintu masuk untuk menjalin hubungan
dengan banyak kalangan. Salah satu yang mulai dekat
dengan Iman Alirahman adalah Ketua PHRI Garut Memo
Hermawan, Manager Hotel Augusta Garut.

     Geng yang dimotori kakak kandung bupati Dede Satibi
itu, semakin memperkuat posisi Asda III yang dipercayakan
kepada Drs. Yaya S. Permana dengan kewenangannya di
bidang keuangan dan kepegawaian. Penulis pun sempat
menitipkan anak dari keluarga miskin masuk menjadi Tenaga
Kerja Kontrak (TKK) tahun 2001, dan sekarang sudah
diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

      Yaya S. Permana, sebagai pejabat yang mengurusi
keuangan dibantu oleh Kepala Bagian Keuangan Ny. Farida
Susilawati, SH (sekarang Sekretaris DPRD) dengan staf-
stafnya antara lain Totong, SE.,M.Si (sekarang Kepala
DPPKA), Anton Heryanto (mantan Kabid Anggaran),
Dra. Aneu Hayati, M.Si (sekarang Kabid Perimbangan di
DPPKA).

                          19
Kendati Iman Alirahman kurang disenangani bupati
Dede Satibi namun Iman selalu menunjukan kinerjanya
dengan     baik,   terutama     dalam   mengelola   bidang
kepariwisataan. Iman juga mulai menyusun kekuatan di
lingkungan birokrasi dengan mncetak kader-kadernya, antara
lain Komar Mariyuana (terakhir Kadisdik), Arus Sukarna
(terakhir Asda I), Wawan Nurdin (sekarang Kepala
Perpustakaan Daerah), Farida Susilawati (Sekretaris DPRD),
Elka Nurhakimah (Sekarang Kepala Dinas Pendidikan) serta
sejumlah pejabat birokrat lainnya. (*).



Birokrat Orde Baru Kuasai Pemerintahan

       Selama kepemimpinan Bupati Garut Dede Satibi, tokoh
sentral di lingkungan pemda Garut terutama yang berkaitan
dengan masalah keuangan dipercayakan kepada Drs. Yaya S.
Permana, selaku Asisten Daerah (Asda) III bersama-sama
dengan Sekda Rahmat Sudjana. Sedangkan nama Iman
Alirahman sama sekali tidak memiliki akses atau jaringan
dalam mengatur kebijakan di pemerintah daerah.

       DPRD, di bawah kepemimpinan Ir. Iyos Somantri dan
Dedi Suryadi adalah politisi handal dan cerdik, sehingga
bupati dan jajarannya kerap tidak mampu membendung
keiinginan DPRD termasuk aliran dana APBD demi
kepentingan DPRD.

    Dede Satibi tidak kalah cerdiknya, jebakan-jekabakan
pun mulai dimainkan dan DPRD tidak menyadarinya yang

                          20
penting dana APBD mengalir ke koceknya. Siasat Dede Satibi
memang luar biasa cerdiknya karena ia berkeinginan maju
lagi diperiode kedua pada pemilihan bupati tahun 2003.

     Nama Iyos Somantri-Dedi Suryadi, disebut-sebut
sebagai pasangan paling berpeluang dalam pemilihan bupati,
dan itu menjadi batu sandungan bagi Dede Satibi. Akhirnya
melalui Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Garut KH Abdul
Halim mengendus dugaan penyimpangan dana APBD oleh
DPRD Garut yang kemudian dikenal dengan istilah APBD-Gate
hanya beberapa bulan menjelang pemilihan bupati.

       Iyos Somantri, selain sebagai Ketua DPRD juga Ketua
DPD Golkar Garut, dan Dedi Suryadi adalah Wakil Ketua DPRD
sekaligus Ketua DPC PPP. Dede Satibi sangat sadar, bahwa
untuk mengalahkan pasangan Iyos-Dedi di pemilihan bupati
sangat tidak mungkin apalagi yang akan memilihnya pun
anggota DPRD yang berjumlah 45 orang.

      Berkat peranan Ketua MUI yang melaporkan kasus
APBD Gate ke Kejaksaan, maka Iyos-Dedi ditetapkan sebagai
tersangka. Kedua tokoh yang sejak awal sudah dipersiapkan
maju sebagai pasangan calon menjadi berantakan, Iyos
bahkan terpental di konvensi partainya sendiri. Fraksi PPP di
DPRD terpecah belah, karena ketua Fraksinya Wawan Syafe’i
digaet oleh Dede Satibi sebagai pasangannya.

      Dedi Suryadi tidak patah arang, ia pun tak kalah sengit
dengan menggaet Sekda Rahmat Sudjana sebagai pasangan
wakil bupatinya. Kemudian muncul kuda hitam Letkol. Inf.
Agus Supriadi, yang berhasil memanfaatkan keterpurukan

                           21
Iyos Somantri akibat kasus APBD Gate dan Agus Supriadi
memenangkan konvensi Partai Golkar.

       Perebutan kekuasan di kabupaten Garut yang diawali
dari pemilihan bupati, memang sangat unik dan penuh intrik.
Dede Satibi yang terpental dari Partai Golkar, berkat kekuatan
keluarga besar Nahdatul Ulama (NU) berhasil menggunakan
PKB sebagai kendaraan politiknya untuk maju menjadi calon
bupati bersama Wawan Safe’i dari PPP.

       Untuk meyakinkan PKB agar menyerahkan partainya
sebagai tunggangan Dede Satibi, maka tokoh NU pun
mendatangkan KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) ke Pondok
Pesantren Al-Wasilah miliknya KH. Tantowi Djauhari.

       Hampir seluruh partai dengan Fraksi-nya di DPRD tidak
terhindar dari konflik. Golkar yang diincar Iyos dan Dede
Satibi ternyata jatuh ke Agus Supriadi, PKB yang mestinya
memajukan Ketua DPC-nya Ali Rohman malah diberikan
kepada Dede Satibi. PPP pecah, sebagian ke Dedi Suryadi,
sebagian lagi ke Wawan Syafe’i. PAN yang akan
menyandingkan Rudi Gunawan dengan Ate Tohi, tiba-tiba
Mahyar Suara protes. Hanya PDIP yang nyaris tanpa konflik
karena hanya menyalonkan Memo Hermawan selaku Ketua
DPC-nya.

       Majunya empat pasangan calon bupati tidak terlepas
dari peranan para “pemain” di luar gedung DPRD dan di luar
partai politik. Yang mengawinkan Dede Satibi-Wawan Syafe’i
adalah sejumlah Kiayi NU, yang mengawinkan Agus Supriadi-
Memo adalah mereka dari kalangan politisi dan kawan-kawan

                            22
dekatnya. Kemudian yang mengawinkan Rudi-Mahyar,
termasuk penulis ada di dalamnya melalui serangkaian
pertemuan di salah satu hotel di kawasan wisata Cipanas.

        Begitu  juga   yang    mengawinkan/memaketkan
pasangan Dedi Suryadi-Rahmat Sudjana, tidak terlepas dari
peranan kalangan tertentu yang kemudian dikenal dengan
istilah Tim Sukses. Maka empat pasangan resmi maju di
pemilihan bupati. Mereka adalah 1. Dede Satibi-Wawan
Syafei. 2. Rudi Gunawan-Mahyar Suara. 3. Agus Supriadi-
Memo Hermawan. 4. Dedi Suryadi-Rahmat Sudjana.

      Di putaran pertama, pasangan Dedi-Rahmat dan Rudi-
Mahyar harus terpental, dan hanya pasangan Dede Satibi-
Wawan Syafe’i dan Agus Supriadi-Memo Hermawan yang
masuk ke putaran kedua pasangan Agus Supriadi-Meo
Hermawan keluar sebagai pemenangnya dengan selisih suara
yang sangat tipis, yaitu hanya tiga suara saja.

       Kemenangan Agus Supriadi – Memo Hermawan lebih
ditentukan oleh solidnya suara PDIP yang pada saat akan
digelarnya pemilihan terlebih dahulu dilakukan pergantian
antar waktu (PAW) dua anggota Fraksi yang dianggap
mbalelo, yaitu Gunrana dan Wan Gunawan Husen, digantikan
oleh Dikdik Darmika dan Slamet Rianto.

      Secara matematis suara yang diperoleh Agus-Memo
berasal dari Fraksi Golkar 14 suara dan suara Fraksi PDIP 6
suara. Kemudian mendapat tambahan suara 4 dari Fraksi PPP
yang diawali dengan komitmen politik antara Dedi Suryadi


                           23
dan Memo Hermawan yang kemudian disetujui oleh Agus
Supriadi.

      Memang pemberian suara sifatnya rahasia, namun
dalam politik tidak selamanya 1 ditambah 1 menjadi 2, bisa
saja menjadi 1 atau 3. Akan halnya suara yang diperoleh
Agus-Memo, konon 6 dari PDIP, 13 dari Golkar karena satu
suara Golkar diberikan ke Dede Satibi, dan sisanya lima suara
dari Fraksi PPP yang jumlahnya 9 kursi dan 5 suara PPP
menjadi milik Dede Satibi.

     Kendati Dede Satibi kalah dalam pemilihan bupati,
namun menjelang akhir jabatannya ia sukses menggiring
kelompoknya duduk di kursi Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Kabupaten Garut.

      Diawali dengan penunjukan Tim Seleksi yng terdiri dari
Ketua MUI KH. Abdul Halim, Asda I Drs. Kusnaeni, M.Si.
Sekretaris PGRI Alit Burhanudin, S.Sos. KH. Deden dari unsur
ulama dan Prof. Ikeu Sartika dari unsur Perguruan Tinggi.

       Lima orang anggota KPU Garut ditetapkan oleh KPU
Jawa Barat, mereka adalah Aja Rowikarim, M.Ag yang tiada
lain adalah mahasiswanya KH. Abdul Halim, Lia Juliasih, S.IP
yang masih keluarga dari isterinya KH. Abdul Halim dan isteri
dari tokoh aktivis Garut Arif Rahman Hidayat, SE.,Ak.

      Kemudian H. Mohamad Iqbal Santoso, tokoh Persatuan
Islam (Persis), Ny. Hj. Yayah Hidayah, isteri dari KH. Deden
salah seorang dari Tim seleksi. Hanya Dadang Sudrajat, S.Pd
yang bukan bagian dari kelompok Dede Satibi, ia berasal dari

                           24
guru sukwan di kecamatan Bayongbong yang secara
kebetulan kakak kandungnya pejabat di KPU Garut. (*)



Gugatan di Peradilan TUN

      Sejumlah peserta seleksi calon anggota KPU menggugat
Tim seleksi yang telah meloloskan 10 orang calon ke KPU
Provinsi untuk menentukan lima anggota terpilih.

      Dimotori Hasanudin, yang terpental dalam seleksi calon
anggota KPU yang diawali dari ketidaksenangannya atas
sebuah pertanyaan oleh Ketua Tim Seleksi KH. Abdul Halim Lc
saat tes wawancara dengan meminta agar Hasanudin
membacakan Surat Al-Fatihah lengkap dengan terjemahnya.
Hasanudin sempat berdebat atas pertanyaan tersebut, dan
merasa ketidaklolosannya akibat dari perdebatan sengit
tersebut.

      Pucuk dicinta ulam tiba, Hasanudin menemukan
kejanggalan dalam keputusan Tim Seleksi yang meloloskan
Hj. Yayah Hidayah dan Undang Fadhita yang masih berstatus
Pegawai Negeri Sipil. Materi gugatan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara (Peratun) di Bandung salah satunya tentang
status calon anggota KPU yang belum mengambil person dari
PNS.

      Tim Seleksi bersama Sekretariat KPU Garut dibuat gerah
akibat gugatan Hasanudin dan kawan-kawan itu, karena



                           25
hampir setiap minggu harus mengikuti persidangan di
Bandung.

     Tidak ada putusan apa pun dalam gugatan tersebut,
karena masing-masing pihak mogok di tengah jalan. Akhirnya
perkara menjadi menggantung sedangkan lima anggota KPU
Garut yang ditetapkan oleh KPU Provinsi Jawa Barat
menjalankan tugas-tugasnya sebagai komisoner dengan
menyelenggarakan pemilihan umum Tahun 2004. (*)



Tentara Kembali Rebut Pemerintahan

      Kabupaten Garut memang lain dari yang lain.
umbangnya rezim orde baru telah memunculkan sikap anti
pati terhadap tentara. Dimana-mana tentara selalu dihujat,
tetapi di Garut sebaliknya. Hal itu terbukti ketika Letkol. Inf.
Agus Supriadi maju mencalonkan dirinya sebagai bupati Garut
justru disambut suka cita.

      Kehadiran Agus Supriadi mengembalikan ingatan warga
Garut akan keberhasilan Letkol. Kav. Taufik Hidayat yang
sukses membawa kabupaten Garut ke arah yang berubah.
Biarlah di tempat lain tentara itu dihujat, tapi toh untuk
kabupaten Garut masih memerlukan sosok tentara sebagai
bupatinya.

    Selain tekad keras Agus Supriadi sebagai putra daerah,
juga didukung kepiawaian Tim Suksesnya diawali
memenangkan pertarungan di konvensi partai Golkar untuk


                             26
mendapatkan kendaraan politik bagi Agus Supriadi supaya
bisa maju menjadi calon bupati dan kesuksesan
mengawinkannya dengan Ketua DPC PDIP Garut Memo
Hermawan.

       Letkol Inf. Agus Supriadi tampil memimpin Garut setelah
terpilih melalui pemilihan di DPRD tanggal 18 Nopember
2008. Diawal terpilihnya sempat tergonjang-ganjing oleh
persoalan hukum yang mendera wakil bupatinya Memo
Hermawan yang diduga menggunakan ijazah palsu.

       Suhu politik di Garut kembali memanas akibat
terkatung-katungnya penetapan bupati dan wakil bupati
terpilih. Gelombang demo nyaris tiap hari ke gedung DPRD
dari kubu Agus Supriadi-Memo Hermawan. Sedangkan kubu
Dede Satibi diam-diam mengamankan Kepala SMEA (SMK)
PGRI Garut Drs. Zaenal Arifin sebagai pihak yang dianggap
telah mengeluarkan keterangan ijazah bagi Memo Hermawan.

     Kepala SMK PGRI itu, selain berada di bawah
penguasaan Dede Satibi dan kubunya, seperti Kepala Dinas
Pendidikan Drs. Darjo Sukarja, Ketua PGRI Drs. H. Amin
Minadipura, Asda I Pemda Garut Drs. Kusnaeni. Seluruh
dokumen sekolah yang berkaitan dengan kepentingan Memo
diamankan oleh pihak Dinas Pendidikan.

      Yang tersisa menurut Zaenal Arifin hanya stempel
sekolah dan tiga lembar kertas ber-kop sekolahnya. Zaenal
sendiri selalu diawasi dan kerap diajak jalan-jalan oleh kubu
Dede Satibi ke Bandung dan Tasikmalaya. Sementara rumah
tinggal Zaenal Arifin secara bergiliran dijaga oleh aparat

                            27
keamanan. Keluarga Zaenal Arifin sendiri diungsikan kepada
orang tuanya di Kadungora.

     Peralihan kekuasaan dari Dede Satibi kepada Agus
Supriadi nyaris tidak berjalan mulus. Memo Hermawan selaku
Ketua DPC PDIP dengan kekuatan penuh kadernya, termasuk
kekuatan Satgas partainya yang terkenal pemberani siap
berdarah-darah kalau pimpinan partainya tidak dilantik
menjadi wakil bupati.

      Agus Supriadi sendiri tidak tinggal diam, dibantu oleh
jajaran Partai Golkar yang dikomandani oleh Drs. H. Ruhiyat
Prawira, M.Si terus berjuang agar kemenangannya segera
ditetapkan sekaligus dilantik setelah keluarnya Surat
Keputusan dari Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

     Karena rumitnya persoalan yang melilit Memo
Hermawan, maka orang-orang disekeliling Agus Supriadi
melakukan upaya agar yang dilantik cukup bupati saja.

      Kubu Memo, tentu saja tidak terima perlakuan tidak adil
itu apalagi pemilihan bupati satu paket dengan wakil
bupatinya. Masalah Memo tidak pernah berhenti terus dibawa
ke ranah hukum.

     Beberapa guru yang pernah mengajar di SMEA PGRI
dan teman-teman sekolah Memo tidak luput dari pemeriksaan
pihak kepolisian untuk dimintai keterangan sekitar kesahihan
Memo bersekolah di SMEA PGRI Garut.




                           28
Kasus Memo sangat melelahkan, begitu diungkapkan
Kepala SMEA PGRI Zaenal Arifin kepada penulis. Ia tidak
menyangka buntut dari pemilihan bupati akan menyeret
dirinya.

      Zaenal Arifin benar-benar menjadi “bintang” yang
diperebutkan oleh percaturan politik pasca pemilihan bupati.
Kubu Dede Satibi memanfaatkannya agar dapat membatalkan
hasil pemilihan. Namun sikap Zaenal Arifin yang pendiam
punya prinsip yang sangat kuat, yaitu ingin memberikan yang
terbaik bagi kepentingan kabupaten Garut sehingga lolos dari
kemungkinan terburuk. Misalnya terjadi huru-hara yang
meluluhlantahkan sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat.

      Kemenangan pasangan Agus-Memo mengakibatkan
terpecah belahnya birokrasi. Sebagian ada yang tetap berada
di kubu Dede Satibi karena masih menjabat bupati, sebagian
lagi ada yang berpihak kepada Agus-Memo.

     Kepala Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Achmad
Muttaqien dan Asda I Wawan Dermawan, dan Kepala Diparda
Iman Alirahman tegas menyatakan dirinya berada di kubu
Agus-Memo. Bahkan Iman Alirahman dalam berbagai
kesempatan breefing dengan bupati Dede Satibi tidak sedikit
pun menunjukan keberpihakan kepada atasannya yang masih
berkuasa itu.

     Sikap tegas Iman Alirahman semata-mata karena ia
adalah orangnya Memo Hermawan, dan memiliki target
merebut jabatan sekretaris daerah. Target serupa juga
menjadi incaran Achmad Muttaqien yang setia berada di

                           29
belakang Agus Supriadi. Ketika Agus-Memo dilantik menjadi
bupati dan wakil bupati, memang pilihan menduduki jabatan
sekda jatuh ke Achmad Muttaqien.

      Pertarungan kekuasaan sudah mulai diperlihatkan oleh
bupati Agus Supriadi dan Wakil Bupatinya Memo Hermawan
dari perebutan jabatan sekda. Memo kalah telak karena gagal
mengusung Iman Alirahman. Namun bukan Memo kalau tidak
mampu memainkan bidak-bidak catur politiknya. Maka melalui
peranan Iman-lah kemudian tanpa disadari oleh Agus Supriadi
bahwa sebenarnya ia sedang terancam.

     Ancaman itu terbukti ketika kemarahan dan kekesalan
Memo semakin memuncak, yang akhirnya meletuslah
gelombang demontrasi yang diawali oleh kehadiran Tim dari
Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penyelidikan di
pemda Garut bulan Juni 2007. (*)



Bungalau 12

      Ada apa dengan Bungalau No 12 Hotel Sumber Alam.
Terkesan seperti bercanda, padahal peristiwa politik yang
tidak mungkin bisa dilupakan oleh para pelakunya. Sebelum
terjadi sesuatu di Bungalau tersebut, penulis bersama sdr.
Daba Tabrani Zeboa, salah seorang aktivis di Garut sempat
mendatangi Memo Hermawan untuk sekedar diskusi berkaitan
dengan terkatung-katungnya pelantikan bupati dan wakil
bupati.



                           30
Melalui perbincangan santai antara Memo Hermawan-
Penulis dan Daba Tabrani di salah satu ruangan di Hotel
Augusta awal Desember 2003, terungkaplah pernyataan
Memo yang mengejutkan sekaligus miris. Kenapa tidak, waktu
itu Memo tegas menyatakan “bagi saya dilantik atau tidak
dilantik tidak jadi masalah tetapi kalau gedung DPRD, gedung
pemda dan pusat kota Garut hancur lebur saya siap
menanggung semua resiko hukuman mati sekali pun”.

     Penulis bertanya “sebenarnya apa yang menyebabkan
semua itu”. Dijawab oleh Memo, kuncinya ada di Kepala SMK
PGRI Zaeanal Arifin. Jika ada surat pernyataan yang dibuat
Kepala SMK PGRI maka pihak Departemen Dalam Negeri akan
segera memproses pengangkatan Agus-Memo sebagai bupati
dan wakil bupati Garut.

     Penulis dan Daba Tabrani Zeboa, tentu saja dibuat
kaget dan miris jika apa yang diungkapkan Memo menjadi
kenyataan. Penulis dan sdr. Daba kemudian berinisiatif
menghubungi Kepala SMK PGRI tanpa pamrih apa pun,
semata-mata demi penyelamatan Garut saja.

     Dalam pembicaraan di rumah pak Zaenal Arifin, di Jalan
Mustofa Kamil Tarogong dibahas kemungkinan-kemungkinan
terburuk yang bakal menimpa Garut. Salah satunya adalah
kehancuran infrastruktur yang sudah terbangun dengan baik,
seperti gedung DPRD, gedung Pemda dan pusat pertokoan di
kota Garut.

      Pak Zaenal terkaget-kaget dengan kemungkinan
tersebut, dia pun mengajak penulis dan Daba Tabrani

                           31
mengkonsultasikan apa yang dikehendaki oleh Memo kepada
kakaknya DR. Adang Hambali, dosen di Universitas Islam
Negeri (UIN) Bandung.

      DR. Adang Hambali bersedia datang ke Garut, dan
penulis mengatur pertemuan di Bungalau No.12 Hotel Sumber
Alam sekitar pertengahan Desember 2003. Di Bungalau
tersebut, ternyata DR. Adang Hambali sudah sangat paham
dengan kondisi kabupaten Garut dan dia pun menyatakan apa
yang diinginkan oleh Memo Hermawan tidak ada masalah
yang penting adiknya Zaenal Arifin siap membuat keterangan
dari sekolah yang dipimpinnya.

     Redaksional pernyataan dari Zaenal Arifin dibuat
masing-masing oleh penuis, Zaenal Arifin dan Memo
Hermawan sendiri. Isinya menyatakan bahwa benar Memo
Hermawan adalah lulusan SMK PGRI Garut. Waktu itu juga
Memo      melalui      telepon  gengangamnya      (HP)
mengkonsultasikan redaksional dengan Kepala Biro Otda
Pemprop Jabar Drs. Tjatja.

      Tjatja memandu Memo secara redaksional yang
dikehendaki sebagai persyaratan mempercepat SK dari
Mendagri. Kesimpulannya redaksional versi Tjatja-lah yang
terpakai dan penulis yang membuatnya di komputer milik
penulis. Kopinya di dalam disket karena waktu itu masih
jarang menggunakan flashdisk.

     Pertemuan di Bungalau No.12 berakhir tanpa ada
komitmen apa pun dengan Memo Hermawan jika yang
bersangkutan benar-benar dilantik menjadi wakil bupati. DR.

                           32
Adang Hambali, adiknya Zaenal Arifin, Penulis dan Daba
Tabrani semata-mata hanya ingin masalah di Garut cepat
selesai sehingga tidak terjadi tindakan yang merugikan
masyarakat.

     Tanggal 13 Januari 2004 ketika penulis sedang rapat di
kantor Redaksi Harian Metro Bandung (sekarang Tribun
Jabar), karena waktu itu penulis masih menjadi wartawan
Metro Bandung ditelepon oleh Memo agar pulang ke Garut
untuk menyelesaikan naskah pernyataan dari Kepala SMK
PGRI versi Tjatja.

     Menurut Memo, esok harinya tanggal 14 Januari 2004 ia
ditunggu oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah Depdagri
(sekarang Kemendagri) Oentarto Sindung Mawardi untuk
menyerahkan surat keterangan/pernyataan dari Kepala SMK
PGRI dalam kepentingan dikeluarkannya Surat Keputusan
Pengangkatan dirinya sebagai Wakil Bupati Garut.

      Tanggal 20 Januari 2004 SK Mendagri keluar, namun
dalam waktu hampir bersamaan Memo Hermawan dikabarkan
ditangkap pihak Polda Jabar atas tuduhan pemalsuan ijazah.
Perkembangan politik memang berjalan sangat cepat, Memo
pun dipulangkan dan hari Jum’at tanggal 23 Januari 2004
dilantiklah Agus Supriadi-Memo Hermawan oleh Gubernur
Jawa Barat Danny Setiawan.

      Memo Hermawan boleh dilantik bersama Agus Supriadi,
namun masalah hukum Memo terus berjalan. Nyaris setiap
saat Memo digoyang aksi demonstrasi agar penggunaan
ijazahnya yang diduga palsu terus diusut.

                           33
Setiap muncul aksi unjuk rasa, maka yang dibuat sibuk
dan menguras tenaga pikiran serta ongkos politik adalah
Iman Alirahman dan kawan-kawan. Anton Heryanto tampil
sebagai eksekutor karena memang memiliki otoritas dalam
penggunaan dana APBD.

     Memang sulit ditelusuri aliran dana dalam penanganan
kasus Memo, atau memang tidak ada niat dari aparat
penegak hukum menelusurinya. Padahal ketika Erlan Rivan
ditetapkan sebagai tersangka mulai terbuka aliran dana APBD
masuk kemana-mana. (*)



Bertindak dengan Hati

     Wajah boleh seram dan terkesan bengis, apalagi sehari-
harinya bergaul dengan tahanan dan narapidana di Lembaga
Pemsayarakatan (LP) Garut ternyata hatinya luluh juga. Itulah
Daba Tabrani Zeboa, blasteran ayah dari Pulau Nias Sumatera
Utara dan ibu dari Garut asli.

     Suara yang selalu keras dalam berbagai hal, terutama
jika berdialog atau diskusi, namun Kepeduliannya terhadap
kabupaten Garut sangat luar biasa. Ketika gonjang-ganjing
dan terkatung-katungnya pelantikan bupati dan wakil bupati
Garut terpilih (Agus Supriadi-Memo Hermawan) ia tidak
menginginkan suasana kabupaten Garut kacau balau apalagi
terjadi pertumpahan darah dan bakar-bakaran.




                           34
Seringkali pemikiran positif muncul dari benaknya,
termasuk mengajak penulis untuk menemui calon wakil bupati
terpilih Memo Hermawan karena tersiar kabar bahwa Memo
dengan kader PDIP-nya akan melakukan tindakan keras jika
Memo gagal dilantik sebagai wakil bupati.

     Kala   itu  Daba Tabrani        sempat     mengemukan
pendapatnya “ janganlah dari konflik politik melebar menjadi
kerusuhan yang tidak ada artinya, bahkan hanya akan
merugikan masyarakat. Semua aturan hukum dan politik
adalah produk manusia yang bisa diubah-ubah kecuali
Al-Qur’an”.

      Berangkat dari pemikiran itulah ia bersama penulis ingin
meyakinkan Memo Hermawan seputar kebenaran kabar yang
merebak di tengah-tengah masyarakat. Faktanya, terkatung-
katungnya pelantikan bupati dan wakil bupati terselesaikan
juga setelah melalui serangkaian pembicaraan antara Memo
Hermawan dengan Kepala SMK PGRI Zaenal Arifin yang
difasilitasi Daba Tabrani Zeboa dan penulis.

      Daba Tabrani memang bukan seorang aktivis yang selalu
“memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan”, karena toh
ia tidak “dibayar” oleh siapa pun semata-mata sebagai bentuk
kepedulian kepada Garut agar tidak mengalami kehancuran
hanya karena tidak dilantiknya pasangan calon bupati dan
wakil bupati terpilih. Semua tindakan harus dengan hati
bukan dengan perasaan. Jika dengan hati maka semua
persoalan akan terselesaikan dengan baik tanpa harus



                            35
menelan korban. Itulah yang menjadi pemicu Daba Tabrani
Zeboa mau menemui Memo Hermawan bersama penulis. (*).



Memo dan Kepala SMK PGRI

     Tanggal 23 Januari 2004 Agus Supriadi dan Memo
Hermawan resmi menjadi bupati dan wakil bupati Garut masa
bakti 2004-2009. Dua pemimpin berbeda latar belakang itu
harus mengendalikan pemerintahan dengan segudang
permasalahannya.

     Agus Supriadi dengan latar belakang militer, tentu saja
penerapan disiplin merupakan prioritas utamanya. Di satu sisi
harus mendisiplinkan jajarannya, namun di lain sisi bupati
Agus Supriadi membuat kebijakan yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip disiplin. Salah satunya adalah memberikan
kepercayaan penuh kepada Anton Heryanto, seorang
pelaksana pada Bagian Keuangan Sekretariat Daerah.

     Sekitar setahun perjalanan kepemimpinan Agus-Memo,
penulis tidak pernah berhubungan dengan kekuasaan
termasuk    dengan    Memo     Hermawan.    Penulis  pun
berkonsentrasi dengan profesi sebagai wartawan dan selalu
mengkritisi kebijakan bupati yang dianggap tidak sesuai
harapan rakyat.

     Anton Heryanto, dan Wawan Nurdin, yang dikenal
sebagai geng di jajaran birokrasi datang ke rumah penulis
dengan maksud akan mengislahkan penulis dengan Memo


                           36
karena tidak pernah ada hubungan lagi. Penulis pun dibawa
oleh mereka ke rumah dinas wakil bupati yang berada di
Jalan Sudirman (Depan Bekas Mapolwil Priangan, sekarang
Mapolres Garut).

     Waktu itu penulis minta kepada Anton Heryanto dan
Wawan Nurdin, jika ingin mempertemukan penulis dengan
Memo Hermawan harus menyertakan pula Kepala SMK PGRI
Zaenal Arifin.

     Alasan penulis, tidak ingin ada kesalahpahaman terlebih
suuzdon bahwa seakan-akan saya ada deal-dealan dengan
Memo Hermawan. Misalnya diberi fasilitas karena sudah
menjadi wakil bupati.

     Pertemuan di rumah dinas Wakil Bupati itu berlangsung
santai dan hangat, diselingi senda gurau nyaris tidak ada
batasan antara wakil bupati dengan rakyatnya.

     Ketika itu Memo berjanji akan membantu SMK PGRI,
yang memang tengah kesulitan dalam hal sarana serta
prasarana. Bahkan ruangan kelas pun tidak memadai,
termasuk sangat kurangnya guru berstatus PNS.

     Melalui Anton Heryanto, SMK PGRI mendapat bantuan
berupa pembangunan tiga unit ruang belajar. Sedangkan
penulis yang terlanjur memiliki ikatan bathin dengan Kepala
SMK PGRI serta Memo Hermawan menerima permintaan
Kepala SMK agar mau menjadi Ketua Komite Sekolah.




                           37
Beberapa karyawan pemda Garut yang merupakan
lulusan SMEA PGRI menggagas acara re-uni. Penulis masuk
dalam jajaran panitia re-uni, termasuk di dalamnya pejabat
Bank Jabar Drs. Yamin Abdul Latif dan Drs. Dedi (sekarang
Kabid PMG) di Dinas Pendidikan Garut.

     Secara politis Memo Hermawan mendapat pengakuan
yang luar biasa, karena didaulat menjadi Ketua Alumni SMEA
PGRI. Namun demikian tidak mematahkan persoalan
hukumnya karena kasusnya terus menggelinding kendati
belakangan dikabarkan sudah dihentikan perkaranya.

      Memang ada kekecewaan di diri penulis karena tidak
berhasil meyakinkan geng Memo di Pemda Garut agar
memberikan penghargaan kepada Zaenal Arifin, setidak-
tidaknya ia dipromosikan dalam jabatan sebagai Kepala SMK
Negeri atau dalam jabatan yang sama baik di SMP maupun di
SMA.

      Masalahnya, Zaenal Arifin adalah seoarang PNS yang
dari persyaratan sudah terpenuhi. Hanya saja, nasib Zaenal
Arifin tidak seperti yang lain. Hingga berakhirnya Memo
Hermawan dari jabatan Wakil Bupati, tetap saja Zaenal Arifin
menjadi Kepala SMK PGRI. Ironis, memang…..

     Dalam waktu bersamaan, sekitar di awal tahun 2005,
penulis dihubungi Sony MS, salah seorang wartawan yang
juga guru SMP namun sangat dekat hubungan secara
personalnya dengan Memo Hermawan dan Iman Alirahman.



                           38
Sony meminta kepada penulis menjadi pemimpin
Redaksi Surat Kabar Umum Garoet Pos. Di belakang Koran
Garoet Pos itu ada Memo Hermawan, Iman Alirahman, Anton
Heryanto dan Wawan Nurdin.

     Selain mengajak penulis, atas permintaan Memo
Hermawan, Iman Alirahman dan Wawan Nurdin, diajak pula
Asep Burhannudin (Ketua KNPI), Asep Irvan Setiawan (Ketua
PHRI) yang penulis ketahui ketika berkumpul di rumah makan
Copong dan turut hadir waktu itu Ajengan Mimih Haeruman,
seoarang aktivis yang merupakan tokoh kerusuhan
Tasikmalaya Tahun 1996.

     Kenapa Ketua KNPI harus dilibatkan?. Alasannya, karena
KNPI memiliki jaringan sampai ke pelosok pedasaan. Seluruh
Ketua KNPI tingkat kecamatan dilibatkan dalam mengelola
Surat Kabar Umum Garoet Pos baik sebagai distributor
maupun kontributor.

     Di awal berdirinya Surat Kabar Umum Garoet Pos,
jabatan Asep Burhannudin adalah Pemimpin Perusahaan,
sedangkan Asep Irvan Setiawan sebagai Direktur Utama
PT. Garut Cahaya Cemerlang, sebuah perusahaan yang
menerbitkan Surat Kabar Umum Garoet Pos.

     Penulis yang masih terikat sebagai wartawan Harian
Metro Bandung (sekarang Tribun Jabar-Grup Kompas) tidak
mampu menolak tawaran tersebut.

    Berlokasi di Jalan Pasundan 47, penulis resmi menjadi
Pemimpin Redaksi yang segala sarana serta fasilitas sudah

                           39
disediakan oleh Wawan Nurdin dan kawan-kawan termasuk
para pegawainya.

     Tanggal 17 Maret 2005, Surat Kabar Umum Groet Pos
resmi diterbitkan perdana dan lounchingnya di rumah makan
Adirasa dihadiri langsung oleh bupati Agus Supriadi dan wakil
bupati Memo Hermawan setelah mengikuti upacara Hari Jadi
Garut di lapangan Otto Iskadardinata (alun-alun Garut). (*)



Jabatan Tidak Digenggam

      Drs. Zaenal Arifin adalah seorang pribadi yang nyantri,
santun, dan lembut. Kelembutannya membuat orang lain
tidak akan menyangka kalau ia seoarang pahlawan dalam
pergolakan politik di kabupaten Garut.

       Ia dipercaya mengelola SMK (dulu SMEA) PGRI dalam
keadaan yang sangat memprihatinkan. Kenapa tidak, lokasi
sekolahnya saja diusir oleh sebuah Yayasan Gereja Pasundan
di Jalan Bratayudha.

      Zaenal Arifin memutar otaknya untuk menyelamatkan
anak didik, yang kemudian mendapatkan lokasi baru di Jalan
Karacak berupa tanah kosong bekas lahan pesawahan. Ia
pontang-panting membangun ruang belajar tanpa bantuan
dari pemerintah.

     Tidak terbetik dalam pikiran Zaenal Arifin, sekolah yang
dipimpinnya akan menjadi pusat perhatian publik pada akhir


                           40
tahun 2003 pasca pemilihan bupati Garut yang dimenangkan
pasangan Agus Supriadi-Memo Hermawan.

     Tandatangannya ternyata dipalsukan oleh seseorang
yang pernah bekerja sebagai pegawai Tata Usaha di SMEA
PGRI di masa jayanya. Pemalsu tandatangan tersebut
bernama Isur Suryana yang mendapat perintah dari Drs.
Duden Suherman, pejabat di Dinas Pendidikan Kabupaten
Garut yang tiada lain adalah sohibnya Memo Hermawan.

     Isur diperintahkan membuat Surat Keterangan dari SMK
PGRI untuk memenuhi persyaratan Memo Hermawan saat
akan maju menjadi calon wakil bupati Garut mendampingi
calon bupati Agus Supriadi. Entah apa yang mendorong Isur
sehingga berani memalsukan tandatangan Kepala SMK PGRI
Zaenal Arifin demi kepentingan Memo Hermawan.

      Isur Suryana dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri
Garut dalam proses persidangan yang sama sekali tidak
menyentuh Memo Hermawan dan Duden Suherman. Yang
pasti pengacaranya kecewa karena dua nama tersebut hanya
sebagai saksi saja.

      Zaenal Arifin, ternyata baru mengetahui tandatangannya
dipalsukan setelah pemilihan bupati yang tiba-tiba ia menjadi
“bintang” yang diperebutkan oleh kelompok yang bertikai
pasca pemilihan bupati.

    Kalau saja Zaenal Arifin konsisiten tidak mau
mengeluarkan Surat Keterangannya bagi kepentingan Memo
Hermawan, maka karir politik Memo sudah berakhir pada

                           41
tahun 2004 karena dipastikan hanya calon bupati terpilih saja
yang memperoleh Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri
yang berhak memimpin Kabupaten Garut.

      Pahlawan penyelamat kabupaten Garut itu hingga kini
masih tetap menjadi Kepala SMK PGRI, padahal ia
berkeinginan berkarir sebagai Kepala SMK atau SMP Negeri di
lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Garut.

     Boleh jadi karena Zaenal Arifin sebagai pribadi yang
mendapat jabatan tanpa harus melalui mafia jabatan atau
dengan cara tidak halal, misalnya mengeluarkan uang pelicin.
Padahal melalui penulis sudah disampaikannya kepada Memo
Hermawan ketika masih menjadi wakil bupati dan kepada
Iman Alirahman serta Wawan Nurdin yang dikenal ahli dalam
mengatur jabatan.

     Geng     Memo Hermawan, yang terdiri dari Iman
Alirahman, Wawan Nurdin, Komar Mariyuana, Jaja Sudarja,
Hengki Hermawan hanya butuh Zaenal Arifin dalam
memuluskan      perebutan     kekuasaan     saja,   sementara
pengorbanan seorang Zaenal Arifin sama sekali tidak
dihargainya padahal ia tidak meminta fasilitas apa pun kecuali
ingin berkarir menjadi Kepala SMK atau SMP Negeri saja. (*)



Pejabat dan Dunia Hiburan

    Pejabat dan wakil rakyat di kabupaten Garut identik
dengan dunia hiburan. Ketika tim dari Komisi Pemberantasan


                            42
Korupsi (KPK) tengah melakukan penggeledahan di kantor
Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Garut, yang waktu
itu Kepala BPKD-nya Komar Mariyuana, justru sejumlah
pejabat, wakil rakyat dan aktivis berkumpul di rumah makan
Copong.

     Penulis termasuk salah satu yang ikut hadir di rumah
makan tersebut hingga menjelang waktu Isya. Yang hadir
waktu itu sepakat melanjutkan pertemuannya di Hotel
Imperium Jalan Dr. Cipto Mangunkusumo Bandung. Penulis
berangkat belakangan menggunakan mobil kepunyaan
Hasanudin, salah seorang aktivis Garut.

      Di Hotel yang tersedia ruangan karaokean ternyata
sudah menunggu beberapa pejabat dan wakil rakyat, antara
lain Asda III Kuparman, anggota DPRD Lucky Lukmansyah,
Anton Heryanto, Wawan Nurdin dan sejumlah staf dari BPKD.

     Di ruang karaokean     sudah disiapkan wanita yang
berprofesi sebagai Pemandu Lagu (PL) secara berpasang-
pasangan. Penulis juga sudah disediakan dan satu ruangan
(room) bersama Wawan Nurdin dan Anton Heryanto.

     Malam itu dihabiskan hanya untuk bersenang-senang
dan dipastikan menguras kocek yang tidak sedikit. Yang pasti,
penulis meninggalkan hotel itu sekira jam 3.00 pagi.

      Kegiatan   serupa,     dilakukan   pula     menjelang
penangkapan Agus Supriadi oleh KPK. Beberapa pejabat dari
BPKD, Bawasda (Inspektorat) dan DPRD berkumpul lagi di
Hotel Golden Boutique Jalan Gunung Sahari Jakarta Pusat.

                           43
Penulis dimintai bantuan oleh Kepala Bawasda Hengki
Hermawan untuk meyakinkan isteri mudanya karena setiap
saat selalau meneleponnya. Sangat boleh jadi, isterinya itu
pencemburu sehingga selalu memantau aktivitas suaminya di
Jakarta.

     Demi keselamatan keluarga Hengki Hermawan, penulis
mau membantunnya dengan meyakinkan isterinya, bahwa
suaminya Hengki Hermawan belum bisa pulang cepat-cepat
ke Garut karena setiap hari harus memenuhi panggilan ke
kantor KPK di Jakarta.

     Aktivitas di Hotel Golden Boutique yang tarifnya cukup
mahal itu,      selain untuk memudahkan KPK melakukan
pemeriksaan      terhadap    sejumlah   pejabat   menjelang
penangkapan Agus Supriadi, selebihnya memang dijadikan
ajang hiburan. Kenapa tidak, di hotel tersebut tersedia
berbagai     fasilitas  hiburan    termasuk    wanita-wanita
penghiburnya, selain wanita lokal ada pula wanita asing
seperti dari China, Hongkong dan Korea. (*).



Media Massa dan Kejatuhan Agus Supriadi

      Sosok Agus Supriadi terbilang dekat dengan kalangan
pers. Ketika proses pencalonannya sebagai bupati Garut
selalu dikerubuti wartawan ketika ia dan keluarganya tinggal
di rumah kontrakan di Jalan Pajajaran Garut.




                           44
Kepemimpinan Agus Supriadi yang sarat kontroversi,
tentu saja menjadi buruan wartawan. Tidak heran, berita
tentang bupati Agus Supriadi selalu menghiasi halaman surat
kabar dan menjadi gunjingan di kalangan masyarakat.

      Keberanian Agus Supriadi semakin kentara ketika
mengancam akan menggergaji pipa kilang gas bumi Darajat
yang dikelola PT. Chevron Texaco Energi Indonesia (CTEI),
sebuah perusahaan asing milik Amerika Serikat sebelum
persoalan yang berkaitan dengan bagi hasil bagi pemerintah
daerah belum diselesaikan secara baik dan menguntungkan
bagi Kabupaten Garut.

      Gaya kepemimpinannya yang keras, tegas dan disiplin
membuat gerah para petinggi birokrasi di lingkungan pemda
Garut, apalagi tersiar kabar bahwa untuk mendapatkan
promosi jabatan harus menyetorkan sejumlah uang.

        Pejabat di lingkungan pemda Garut tidak bisa
menerima gaya kepemimpinan Agus Supriadi yang penuh
disiplin itu, karena mereka sudah terbiasa dipimpin bupati
yang berasal dari sipil selama tiga periode, yaitu periode
Momon Gandasasmita (1988-1993), Toharudin Gani (1993-
1998) dan Dede Satibi (1998-2003).

       Kendati tidak senang dengan gaya kepemimpinannya,
namun masalah jabatan tetap menjadi incarannya para
birokrat. Dalam kepemimpinan bupati Agus Supriadi,
keberadaan geng birokrasi tidak menonjol justru geng-geng
liar memanfaatkan nama bupati.


                           45
Geng liar itu kebanyakan dari kalangan luar yang
memang tidak terorganisir rapi seperti sehingga terkesan
seperti “calo jabatan” tidak seperti di era kepemimpinan
Dede Satibi dan kepemimpinan sekarang (bupati Aceng HM
Fikri).

        Kondisi pemerintahan seperti itu menimbulkan
prasangka buruk dari kalangan elit di Kabupaten Garut,
bahkan sering muncul menjadi berita panas di salah satu
stasiun radio lokal yang menampung aspirasi pendengarnya.

      Tentu saja gonjang-ganjing dari kabar yang memanas
itu menjadi buruan wartawan untuk diinvestigasi yang
kemudian munculah pemberitaan yang kerap membuat
banyak kalangan terutama kalangan elit tidak menyenangi
gaya kepemimpinan Agus Supriadi.

        Namun demikian, sosok Agus Supriadi tidak pernah
menekan apalagi menakut-nakuti wartawan kendati dirinya
berlatarbelakang tentara. Agus justru menempatkan
wartawan sebagai mitranya, dan melalui peranan Anton
Heryanto selalu mengeluarkan kocek APBD guna membantu
tugas-tugas wartawan.

        Ketika perseteruan elit, terutama yang dimotori wakil
bupati     Garut   Memo     Hermawan      maka    gelombang
ketidaksenangan terhadap Agus Supriadi semakin menguat.
Awal kejatuhannya dipicu ketika Kepala Bappeda Iman
Alirahman menyatakan mundur dari jabatanya yang kemudian
diikuti oleh Anton Heryanto, sebagai Kepala Bidang Anggaran


                           46
di Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) serta sejumlah
pejabat lainnya.

       Pengunduran diri Iman Alirahman dan kawan-kawan
membuat sejumlah surat kabar menempatkan berita tersebut
di halaman muka. Akibatnya, tidak lama berselang gelombang
aksi menurunkan Agus Supriadi nyaris tidak pernah berhenti
bahkan gedung pendopo pun sempat dikepung para
demonstran.

     Mundurnya Anton Heryanto, ternyata mendapat
dukungan dari seluruh Fraksi di DPRD Garut. Bahkan Fraksi
PKS yang kurang baik hubungannya dengan Anton Heryanto
mendadak menyatakan dukungannya.

      Tidak hanya kalangan DPRD, tokoh keras seperti Ketua
MUI Garut KH. Abdul Halim mendukung Anton Heryanto. Kiayi
galak itu selalu berkomunikasi dengan Anton pasca
mundurnya dari jabatan di Bagian Keuangan, padahal
sebelumnya tidak pernah terjalin hubungan dekat antara KH
Abdul Halim dengan Anton Heryanto.

     Ketika gelombang aksi semakin memanas, dalam waktu
bersamaan tim dari Komisi Pemberantasan Korupsi justru
tengah    melakukan   penyelidikan   dugaan    terjadinya
peyimpangan keuangan di pemda Garut.

     Para pejabat pemda Garut pun hampir dua pekan
berada di Jakarta, dan membooking beberapa kamar di hotel
Golden Boutique Jalan Gunung Sahari Jakarta Pusat.
Sejumlah anggota DPRD Garut pun kerap muncul di hotel

                          47
tersebut, bahkan Kepala Bawasda (Drs. Hengki Hermawan)
mengaku ketakutan dan tidak pernah lepas dari senjata api
yang dimilikinya untuk berjaga-jaga dari kemungkinan
terburuk yang menimpa dirinya.

      Keberadaan sejumlah pejabat pemda Garut di Jakarta
untuk memudahkan komunikasi dan pemeriksaan-pemriksaan
yang dilakukan pihak KPK. Yang lumayan lama berada di
Jakarta adalah para pejabat dari Badan Pengelola Keuangan
Daerah (BPKD) dan dari Bawasda (sekarang Inspektorat
Daerah).

      Akhirnya Agus Supriadi dipanggil KPK ke Jakarta
tanggal 27 Juli 2007, dan tidak pernah kembali lagi hingga
sekarang karena diganjar hukuman 10 tahun penjara oleh
Pengadilan Tindak Pidana korupsi (Tipikor).

      Ketika Agus Supriadi baru berada di tahanan Mapolres
Metro Jakarta Selatan sekitar dua pekan, seorang aktivis
Garut Hasanudin mengajak penulis mengunjungi Agus
Supriadi di tahanan.

      Sesampainya di Mapolres Metro Jakarta Selatan, penulis
tidak masuk dan hanya mengantarkan Hasanudin saja.
Selanjutnya Hasanudin tetap berada di Jakarta dan di
tempatkan di salah satu hotel bersama ajudan bupati Agus
Supriadi yaitu Bambang.

    Kiprah Hasanudin di Jakarta, ternyata di luar dugaan
mampu merubah kondisi yang dialami sejumlah pejabat di



                           48
lingkungan pemda Garut atas ancaman yang disebut-sebut
pernah diungkapkan Agus Supriadi.

      Hasanudin berhasil meluluhkan Agus Supriadi, diawali
dari   kedatangan    Wakil    Bupati    Memo     Hermawan
menjenguknya di tahanan. Sejak itu pula para pejabat pemda
Garut bergiliran mendatangi Agus Supriadi, sehingga saat itu
ruang tahanan yang dihuni Agus Supriadi sekaligus menjadi
tempat beraktivitas Agus Supriadi karena masih bersatatus
sebagai bupati, seperti menandatangani surat-surat atau
dokumen. (*)



Agus Supriadi Anggap Enteng Memo

      Bupati Garut Agus Supriadi yang tampil elegan sebagai
sosok perwira menengah TNI-AD sangat disegani oleh
kalangan birokrat, namun secara politis Agus Supriadi belum
teruji karena lebih banyak bertugas di pasukan tempur
ketimbang di teritorial.

     Ketika ia memasuki ranah politik dan harus berhadapan
dengan para politisi terutama wakil bupatinya Memo
Hermawan, kurang cermat menghitung kalkulasi politiknya
sehingga membiarkan Memo sekaligus memperlakukan
seperti “anak bawang”.

    Memo nyaris tidak diberi peran dalam mengelola
pemerintahan dan pembangunan, bahkan dalam banyak hal
Memo dibiarkan liar. Padahal Memo diam-diam menggalang


                           49
kekuatan di jajaran birokrasi yang dimotori oleh Iman
Alirahman dan Anton Heryanto serta Wawan Nurdin.

     Sejumlah pejabat di lingkungan pemda Garut banyak
yang mengakui kehebatan Memo walau pun Memo sering
disebut-sebut tidak jelas sekolahnya. Ir Widyana CES, jebolan
IPB dan pernah lama di lingkungan pemda Bekasi yang
kemudian beberapa kali menduduki jabatan eselon II di
pemda Garut,       adalah salah satunya yang mengakui
kecerdikan, kepintaran dan kehebatan Memo Hermawan.

     Memo memang bukan politisi yang jago pidato (orator),
melainkan jago dalam hal strategi. Ia piawai membangun
jaringan dengan berbagai kelompok, tidak heran jika
kelompok yang menyerangnya berkaitan dengan dugaan
penggunaan ijazah palsunya justru berbalik menjadi
pendukung Memo.

     Hal itu tidak disadari oleh Agus Supriadi, karena boleh
jadi Agus Supriadi tetap beranggapan bahwa Memo tidak
jelas sekolahnya dan tidak membahayakan dirinya, karena
memang orang bodoh. Kalau saja orang-orang dekat Agus
Supriadi, terutama staf ahlinya memberi masukan bagaimana
bahayanya seorang Memo Hermawan, maka dapat dipastikan
bupati Agus Supriadi tidak akan jatuh di tengah jalan.

      Staf ahli bupati saat itu dari kalangan politisi ada
Machyar Suara, dari akademisi ada Prof.DR. Ali Ramdani, dari
kalangan aktivis ada Usep Sobar. Bahkan satu lagi dari
kalanga aktivis yang tidak terstruktural yaitu Agustiana. Para
staf ahli itu tidak mungkin tidak memiliki referensi tentang

                            50
kecerdikan Memo dalam berpolitik, atau pura-pura tidak tahu
sehingga tidak dijadikan program dan strategi bahasan
bersama bupati Agus Supriadi. Atau sangat boleh jadi
membiarkan Memo dengan bola panasnya karena staf ahli
pun menghendaki agar bupati Agus Supriadi jatuh di tengah
jalan. (*).



Kalau Tidak Ikut Mundur

    “Kalau saja waktu itu saya tidak ikut mundur, saya jamin
pak Agus Supriadi tidak mungkin jatuh dari jabatannya
sebagai bupati.” Demikian diungkapkan Anton Heryanto
kepada penulis.

      Anton Heryanto yang saat itu tengah disibukan dengan
masalah keuangan, pada hari Jum’at (lupa tanggalnya) di
bulan Juli 2007 pagi hari datang Iman Alirahman ke ruangan
kerjanya.

      Iman bicara panjang lebar tentang situasi di
pemerintahan, salah satunya adalah bekerja seperti robot dan
sapi perahan oleh bupati Agus Supriadi. Iman menyampaikan
niatnya kepada Anton untuk mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai Kepala Bappeda pada Jum’at sore hari itu
yang kebetulan akan mengikuti breefing bersama bupati Agus
Supriadi.

     Betul juga, setelah breefing Iman kembali menemui
Anton di kantornya yang hanya berjarak beberapa meter saja


                           51
dari gedung Pendopo. Iman menyampaikan keputusannya
bahwa ia sudah mundur dari jabatan Kepala Bappeda
langsung disampaikan ke bupati.

     Anton menyatakan siap mengikuti langkah Iman, yaitu
mundur juga dari jabatannya dan akan menggelar jumpa pers
esok harinya (hari Sabtu).

     Sejumlah media massa sontak memuat pernyataan
Iman dan Anton yang mengundurkan dari jabatannya masing-
masing. Hari Senin di acara apel pagi, bupati Garut Agus
Supriadi sangat marah kepada Iman dan Anton yang
disampaikannya dalam pidato di depan peserta Apel. “Si Iman
dan si Anton adalah pengkhianat karena sudah mundur dari
jabatannya.”

     Situasi setelah mundurnya Iman dan Anton semakin
memanas. Wakil Bupati Memo Hermawan, yang memiliki
kedekatan secara personal dengan pejabat di Komisi
Pemberantasan Korupsi meminta saran bagaimana menyikapi
dugaan korupsi yang dilakukan bupati Agus Supriadi melalui
hubungan telepon selular yang dikeluarkan suaranya
(loudspeaker) disaksikan Anton Heryanto.

      Pejabat KPK menyarankan untuk mempercepat
penangkapan bupati Agus Supriadi adalah dengan cara
dilakukannya aksi unjuk rasa. Memo bersama Anton, Iman
dan pejabat pemda lainnya mengumpulkan sejumlah logistik
guna menggalang aksi unjuk rasa menuntut bupati Agus
Supriadi mundur.


                           52
Setelah gelombang aksi massa terus melakukan unjuk
rasa ke kantor pemda, gedung DPRD, alun-alun bahkan
mengepung gedung Pendopo sekaligus rumah dinas bupati,
maka akhirnya tanggal 27 Juli 2007 KPK memanggil bupati
Agus Supriadi ke Jakarta dan tidak kembali lagi (dilakukan
penahanan). (*)



Agus Tawari Iman jadi Sekda

      Bupati Agus Supriadi yang dikenal keras dan disiplin
ternyata memiliki catatan tersendiri terhadap birokrat
bawahannya yang mempunyai kemampuan dalam kinerjanya.
Salah satunya ia memuji kecerdasan Iman Alirahman yang
justru menjadi pemicu jatuhnya Agus Supriadi dari jabatannya
sebagai bupati.

     Ketika Agus Supriadi berada di sel tahanan Polres Metro
Jakarta Selatan atas peranan Hasanudin tiba-tiba antipati
terhadap Achmad Muttaqien, yang saat itu masih menjabat
sekretaris daerah.

      Bupati Agus Supriadi secara tegas akan segera
mencopot Achmad Muttaqien, namun ia masih kesulitan
mencari penggantinya sebagai pejabat pelaksana tugas (Plt)
sekda. Dengan berbagai pertimbangan yang sekaligus
didiskusikan dengan Hasanudin dan Ketua APDESI Asep
Hamdani menjatuhkan plihannya ke Iman Alirahman.




                           53
Melalui telepon genggam milik Ketua APDESI yang saat
itu berada bersama bupati Agus Supriadi di kamar
tahanannya menelpon penulis agar menghubungi Iman
Alirahman guna menyampaikan tawarannya mau menjadi
pejabat pelkasana tugas sekda Garut. Menurut Agus Supriadi,
nama Iman Alirahman sangat pantas menjadi sekda.

     Penulis lalu menemui Iman Alirahman di kantor Bappeda
menyampaikan pesan dan amanat dari bupati Agus Supriadi.
Kebetulan di ruang kerja Iman Alirahman sudah ada Wawan
Nurdin. Iman menyatakan akan piker-pikir dulu sekaligus
mengonsultasikannya dengan Wakil Bupati Memo Hermawan.

     Memo Hermawan yang kemungkinan sudah mendapat
laporan dari Iman Alirahman kemudian menelpon penulis
dengan menyatakan bahwa Iman Alirahman jangan mau
menerima tawaran dari bupati Agus Supriadi tersebut. Memo
mengkhawatirkan tawaran itu sebagai sebuah jebakan dari
Agus Supriadi, kendati Memo tidak menjelaskan secara rinci
bentuk dan akibat dari jebakan Agus Supriadi.

      Bupati  Agus Supriadi    akhirnya   secara    resmi
memberhentikan Achmad Muttaqien dari jabatan sekda,
sekaligus mengangkat Budiman sebagai pelaksana tugas
sekda. Waktu itu yang sudah merapat ke Agus Supriadi agar
mengangkatnya sebagai sekda antara lain Yaya.S Permana,
Wowo Wibowo dan Hilman Faridz.

     Agus Supriadi memang tidak sendirian dalam
menentukan pilihannya mengangkat Plt sekda, karena dari
kalangan aktivis selalu didampingi oleh Dadan, Deni Ramdani

                           54
dan Ujang Saeful (Ujang Geren) dengan kelompok Dabo-Ribo-
nya.

      Nama Ujang Geren adalah salah seorang aktivis yang
komitmennya dengan Agus Supriadi sangat tinggi. Ia
mempertaruhkan segala-galanya dalam membela Agus
Supriadi, bahkan selalu mengawal Agus Supriadi dalam setiap
persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

     Ketika Agus Supriadi mengusung Budiman sebagai Plt
Sekda, justru Kepala Badan Kepagawaian Daerah (BKD) Ara
Koswara menjadi tumbalnya karena dipecat oleh Memo
Hermawan. Padahal Ara Koswara salah satu pejabat pemda
Garut yang sangat setia membantu logistik bagi kepentingan
Agus Supriadi setelah mendekam di tahanan.

      Ara Koswara dipersalahkan mengangkat Tenaga Kerja
Kontrak (TKK) dengan imbalan uang pelicin. Padahal uang
pelican tersebut dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu
dengan menjual nama bupati. Sebut saja Hasanudin ikut
menitipkan beberapa orang TKK, dan penulis termasuk yang
menitipkan kakak sepupu yang berprofesi sebagai guru dan
perawat sebagai TKK melalui Hasanudin.

      Dari kasus pengangkatan TKK, Ara Koswara pernah
berurusan dengan aparat penegak hukum di Polres dan
Kejaksaan Negeri Garut. Hanya saja kasusnya tidak berlanjut,
dan Ara sendiri kini menjadi pejabat fungsional alias tidak
diberi jabatan apa pun setelah diberhentikan dari jabatannya
sebagai Kepala BKD. (*).


                           55
Birokrat, Jaringan Politik dan Hukum

     Naiknya Agus Supriadi dan Memo Hermawan sebagai
bupati dan wakil bupati tidak pernah lepas dari persoalan
hukum. Apalagi Memo Hermawan sejak awal memang sudah
bermasalah dengan hukum.

       Birokrasi yang secara de jure berada di bawah
kekuasaan bupati namun faktanya de facto berada di bawah
kendali Wakil Bupati Memo Hermawan dengan Iman
Alirahman sebagai motornya. Kuatnya dominasi Memo
dengan Iman Alirahman, semakin memperkuat kelompok
birokrasi yang di bawahnya ada nama Hengki Hermawan,
Anton Heryanto, Wawan Nurdin, Erlan Rivan, Kuparman dan
Komar Mariyuana.

       Setumpuk persoalan hukum yang melilit Memo dan
jajaran pejabat birokrasi lainnya selalu dapat diselesaikan
dengan menggunakan kekuatan politik. Kekuatan tersebut
tidak terlepas pula dari ajang perebutan kekuasaan, sehingga
ada kelompok yang diuntungkan secara hukum namun ada
pula kelompok yang justru jatuh karena hukum. Sebut saja
Ketua DPD Partai Golkar Garut, Drs. H. Ruhiyat Prawira MSi,
adalah bukti dari kekuatan politik yang tidak pernah mengenal
kompromi      ketika    sudah    berhadap-hadapan     dengan
kepentingan kekuasaan.

      Ketika Memo Hermawan naik menjadi Penjabat Bupati
Garut, saat itu pula peta perpolitikan Garut merubah 360
derajat. Anton Heryanto yang merupakan tokoh kunci dan
tokoh pada jamannya Agus Supriadi justru didepak dari

                           56
kelompok Memo-Iman. Bahkan Anton harus mengalami nasib
terburuk yaitu digelandang di Kejaksaan Negeri Garut hingga
ke persidangan di Pengadilan Negeri Garut.

      Korban berikutnya adalah sekda Garut Drs. Wowo
Wibowo, yang terpaksa selain dicopot dari jabatannya malah
sempat meringkuk di sel tahanan Mapolda Jawa Barat.
Beruntung Wowo Wibowo dinyatakan bebas oleh Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Garut.

       Jaringan birokrasi yang dimotori Memo Hermawan,
dengan tangan kanannya Iman Alirahman dan           Wawan
Nurdin terbukti sukses memuluskan pasangan Aceng HM
Fikri-Diky Candra terpilih menjadi bupati dan wakil bupati
Garut periode 2009-2014, dan mengantarkan Memo
Hermawan menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Barat. Iman
Alirahman sendiri dipercaya menjadi pejabat sementara sekda
Garut setelah ditinggalkan Wowo Wibowo.

      Sosok Wawan Nurdin sebagai birokrat memiliki jaringan
yang sangat luar biasa luasnya di institusi penegakan hukum,
yaitu di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Ia memiliki
kemampuan mengatur pejabat dan politisi yang tersandung
masalah hukum, sehingga kasusnya bisa terhenti atau
menggantung.

      Pejabat dan politisi yang dibantunya terdiri dari dua
kelompok, Pertama mereka yang memiliki dana kuat dan
merupakan kelompoknya, sehingga secara politis harus
mengikuti permainan Wawan Nurdin bersama kelompoknya.
Kedua, yaitu pejabat dan politisi yang hanya memiliki dana

                           57
namun bukan dari kelompoknya. Yang terkahir ini, jika sukses
lolos dari jeratan hokum maka secara otomatis harus tunduk
dan masuk kelompok Wawan Nurdin.

     Wawan Nurdin pernah bercerita kepada penulis tentang
masalah hukum yang dihadapi mantan Kasubbag Keuangan di
BPKD Erlan Rivan. Wawan Nurdin mau membantunya asal
ada uang tidak lebih dari satu milyar rupiah. Dana sebesar itu
tidak ada artinya dibandingkan dengan jabatan dan
kehormatan.

      Erlan ternyata meragukan kemampuan Wawan Nurdin,
akhirnya mencari jalan sendiri dan menurut Wawan Nurdin
dana yang dikeluarkan Erlan Rivan hingga diputus oleh
Pengadilan diperkirakan mencapai lebih dari dua milyar
rupiah, atau jauh lebih besar jika diurus oleh Wawan Nurdin.
(*).



Politisi Rebut Pemerintahan

       Lengsernya Wowo dari jabatan sekda, semula akan
memuluskan Iman Alirahman sebagai penggantinya. Namun
lagi-lagi sandiwara perebutan kekuasaan tidak terhindarkan.
Birokrat senior Hilman Faridz tiba-tiba menyodok dengan
mendapat dukungan dari banyak kalangan termasuk para
politisi.

    Kelompok Iman dengan kekuatan kekuatan politiknya
menyadari bahwa kekuatan Hilman semakin besar bahkan


                            58
disebut-sebut mendapat dukungan dari Gubernur Jawa barat
melalui jaringan partai tertentu.

       Jalan Hilman menuju jabatan sekda tak terelakan lagi,
namun kubu Iman tidak tinggal diam jauh-jauh hari sudah
dipersiapkan perangkat untuk menghentikan langkah Hilman,
yaitu dengan keluarnya Peraturan Bupati Garut No. 131
Tahun 2009 Tentang Pembatasan usia pensiun bagi pejabat
di lingkungan pemda Garut.

      Korban pertama dari Perbup tersebut, tentu saja adalah
Hilman Faridz. Ia hanya menjabat sebagai sekda selama
sembilan saja karena keburu terkena Peraturan Bupati.
Sedangkan dua pejabat pemda lainnya yaitu Kadisdik Komar
Mariyuana dan Asda I Arus Sukarna melenggang manis
karena mendapat perpanjangan sebelum Peraturan Bupati
diterbitkan.

     Politisi di Garut memang piawai dan cerdik dalam
merebut kekuasaan di pemerintahan. Politisi pendukung
Hilman harus diapresiasi karena mereka cerdik mengantarkan
Hilman kendati belum berkuasa secara penuh karena hanya
sembilan bulan.

     Politisi yang berada di belakang Iman Alirahman, juga
harus diapresiasi karena mereka tidak pernah memudar
semangatnya untuk menjadikan Iman sebagai penguasa di
pemerintahan. Iman Alirahman memang sangat dikehendaki
oleh bupati Aceng HM Fikri dan Wakil Bupati Diky Candra,
karena pemimpin muda itu akan merasakan nyaman
didampingi oleh sekdanya sekelas Iman Alirahman.

                           59
Sosok Iman Alirahman, memang sangat disegani selain
usianya relatif masih muda dibandingkan pejabat birokrasi
eselon II lainnya juga memiliki kemampuan luar biasa dalam
membangun jaringan baik jaringan politik maupun jaringan
hukum.

      Iman memiliki seseorang yang sangat dipercayainya,
yaitu Wawan Nurdin yang sudah bersahabat ketika Iman
menjadi Camat Bayongbong dan Wawan Nurdin waktu itu
menjadi Kepala Desa Bayongbong. Persahabatannya berlanjut
hingga Wawan Nurdin diangkat menjadi pegawai negeri sipil
(PNS) di lingkungan pemda Garut.

     Iman Alirahman dan Wawan Nurdin layaknya “gula dan
manis-nya” yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.
Sebagai uji coba, Wawan Nurdin sempat diangkat menjadi
Kepala Bidang Pemerintahan Desa di Badan Pemberdayaan
Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) menjelang
perhelatan akbar pemilihan umum (Pemilu) Legislatif dan
pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

      Jabatannya itu, justru sebagai sarana untuk
menggalang kepala desa menyukseskan calon anggota DPRD
Jawa Barat Bagus Wiwaha dan Mayjen (Purn) Yahya
Sacawinata untuk DPR dari partai Demokrat. Nama Yahya
Sacawinta, waktu itu disebut-sebut bakal menjadi Menteri
Dalam Negeri jika SBY terpilih kembali menjadi presiden RI.
Setelah pemilu selesai Wawan Nurdin kembali ke habitatnya,
yaitu menjadi pejabat fungsional (jafung) di Dinas
Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA).


                           60
Beberapa pergantian pejabat di lingkungan pemda
Garut dalam kepemimpinan bupati Aceng HM Fikri tidak
terlepas dari peranan Wawan Nurdin dalam menempatkan
sejumlah pejabat dari mulai eselon IV hingga eselon II.
Kongkritnya, Wawan Nurdin adalah sosok birokrat yang
sangat     cerdik     dalam    menjabarkan        sekaligus
mengaktualisasikan pola yang dirancang Iman Alirahman
dalam menguasai pemerintahan, politik dan hukum. (*)



Wajah Wakil Rakyat (DPRD Garut)

      Wakil rakyat di DPRD Kabupaten Garut pasca
tumbangnya rezim orde baru, memang          menjadi sangat
berkuasa. Jika periode pertama reformasi 1999-2004 yang
diketuai Ir. Iyos Somantri dan Dedi Suryadi sangat ditakuti
eksekutif. Apa yang diminta pimpinan DPRD tidak pernah ada
yang ditolaknya.

      Bupati Dede Satibi dengan sekdanya Rahmat Sudjana,
dan penguasa anggaran waktu itu Drs. Yaya S. Permana
sebagai Asda III mampu mengatur semua keiinginan dan
permintaan DPRD kendati pada akhirnya wakil rakyat
tersandung masalah hukum, menyusul terendusnya
penyimpangan dana APBD yang dikenal dengan APBD-gate.

     DPRD periode 2004-2009 semakin menguat setelah
Dedi Suryadi (PPP) naik menjadi Ketua DPRD mengalahkan
Kohar Somantri didukung oleh bupati Garut Agus Supriadi.
Dedi Suryadi sebagai politisi muda yang cerdik dan energik

                           61
diam-diam membangun jaringan dengan wakil bupati Garut
Memo Hermawan melalui peranan Iman Alirahman-Wawan
Nurdin-Anton Heryanto dari pihak birokrasi, diperkuat
Hasanudin dari kelompok aktivis yang dikenal dekat dengan
Dedi Suryadi.

      Kocek DPRD mengalir terus dari dana APBD baik yang
mengalir secara normatif berdasarkan ketentuan yang ada
maupun yang dilakukan “di belakang layar”, terutama dalam
memuluskan Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban
(LKPJ) yang selalu diselesaikan secara “adat” jika kemudian
diketahui ada yang tidak sesuai dengan kehendak DPRD.

      Memo Hermawan sebagai Wakil Bupati, dan Dedi
Suryadi sebagai Ketua DPRD adalah dua sosok politisi yang
tersandung masalah hukum. Jika kasus Memo masih terus
menggantung di Polda dan Kejaksaan Tinggi (jalan di
tempat), sementara kasus Dedi Suryadi sudah masuk ke
Mahkamah Agung.

      Berkat jaringan politik dan hukum yang dilakukan para
birokrat cerdik, maka kedua kasus tersebut pun dalam
terselesaikan “secara adat”. Memo hingga kini tetap “aman”
dan Dedi Suryadi sendiri justru dalam Putusan Peninjauan
Kembali (PK) di Mahkamah Agung dinyatakan bebas. Memo
akhirnya melenggang ke gedung DPRD propinsi sebagai
anggota periode 2009-2014, sedangkan Dedi Suryadi terhenti
melenggang ke Senayan (gedung DPR-RI) karena perolehan
suaranya tidak signifikan dalam pemilu legislatif tahun 2009.



                           62
Ahmad Bajuri diuntungkan oleh Peraturan Pemerintah
No. 16 Tahun 2010 sebagai implementasi dari UU No. 27
Tahun 2009 Bahwa yang berhak menjadi Ketua DPRD adalah
dari partai pemenang pemilu. Akhirnya Lucky Lukmansyah
harus rela di posisi sebagai Wakil Ketua DPRD.

      Golkar dan PDIP mendapat jatah pula untuk posisi wakil
Ketua, yaitu Drs H. Ruhiyat Prawira dan Dedi Hasan Bahtiar.
Penunjukan Dedi Hasan Bahtiar dari PDIP semata-mata
karena condongnya Memo terhadap Dedi Hasan, yang
sebelumnya Memo pun sempat meminta pendapat dan
pandangan kepada Penulis jika Dedi Hasan menjadi Wakil
Ketua DPRD.

       Pasca pemilu legislatif 2009 dengan kemenangan partai
Demokrat, maka berubah pula wajah DPRD Garut karena
politisi anak bawang Ahmad Bajuri tiba-tiba naik menjadi
Ketua DPRD padahal yang dikehendaki penguasa di
pemerintahan kabupaten Garut adalah politisi PPP. Bahkan
fungsionaris partai Demokrat, yaitu H. Gunadi BSc menggebu-
gebu memperjuangkan agar Ir. Lucky Lukmansyah Trenggana
sebagai Ketua DPRD.

      Penulis  sempat    dihubungi      H.   Gunadi untuk
memperjuangkan Lucky. Penulis, yang juga anggota KPU
menyampaikan pendapat kepada H. Gunadi bahwa Lucky
tidak mungkin bisa naik menjadi Ketua DPRD karena
mekanismenya sudah diatur oleh PP No. 16 Tahun 2010 dan
tidak ada mekanisme pemilihan pimpinan DPRD melainkan
penunjukan sesuai perolehan kursi hasil pemilu 2009


                           63
Wajah DPRD Garut periode 2009-2014 dari segi kualitas
jauh berbeda dengan periode sebelumnya yang memiliki
sejumlah anggota sekelas Dedi Suryadi, Kohar Somantri,
Haryono, Dikdik Darmika, Gaos Syamdani, Ali Rohman.

      Di periode 2009-2014 hampir semua pemain baru,
kecuali yang tersisa antara lain Lucky Lukmansyah, Ahmad
Bajuri, Dedi Hasan Bahtiar dan Yogi Yudawibawa. Semuanya
belum teruji sehingga bisa sekelas dengan wajah anggota
DPRD periode sebelumnya. Hanya Lucky Lukmansyah yang
lumayan teruji. Sedangkan Ahmad Bajuri masih harus banyak
belajar, sehingga ia tidak pernah bisa lepas dari ketiak
Wawan Nurdin dan Bagus Wiwaha.

     Wajah DPRD Garut sedikit tertolong dengan masuknya
mantan pejabat pemda Garut, H Sobirin dari partai Demokrat.
Sosok Sobirin memang cukup berpengalaman, maka tidak
heran jika ia diposisikan sebagai Ketua Komisi C yang salah
satunya membidangi masalah keuangan.

      Sobirin banyak terlibat di Panitia Anggaran (Panggar),
yang setidak-tidaknya bias mengimbangi pihak eksekutif yang
jago-jago dalam hal perhitungan anggaran.

      Dua anggota DPRD Garut terpilih dari Partai Golkar
(Agus Ridwan, SH) dan dari PAN (Usep Jumhur) memperoleh
kursinya dengan mengorbankan seniornya di partai masing-
masing.

      Agus Ridwan mendepak Ojo Sukmana di Daerah
Pemilihan Garut I berkat bantuan salah satu anggota Panitia

                           64
Pemilihan Kecamatan (PPK) Karangpawitan Asep Irvan yang
mengatur perolehan suara sehingga Agus Ridwan menyalip
perolehan suara Ojo Kusmana. Padahal faktanya suara Ojo
Kusmana jauh di atas suara yang diperoleh Agus Ridwan.

      Asep Irvan nyaris dipidanakan, namun penulis yang
juga anggota KPU menyarankan kepada Ketua KPU Garut Aja
Rowikarim, M.Ag sebaiknya Asep Irvan dipecat saja dari
anggota PPK Kecamatan Karangpawitan. Asep Irvan akhirnya
dipecat dan dalam pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden 2009 tidak lagi ikut serta dalam kegiatan kepemiluan
di PPK Kecamatan Karangpawitan.

      Sedangkan Usep Jumhur dari PAN merebut kursi DPRD
setelah calon terpilih urutan peraih suara terbanyak pertama
H. Gaos Syamdani meninggal dunia sebelum pelantikan
dilaksanakan. Mestinya pengganti H. Gaos Syamdani adalah
Hj. Tinnekeu, namun isteri mantan Ketua DPD PAN Garut H.
Sofwy Irvan itu dilaporkan ke Polres Garut dengan tuduhan
penggunaan ijazan palsu SMA-nya.

      Akhirnya Hj. Tinnekeu menyatakan mengundurkan diri
dari calon anggota DPRD dan belakangan sekaligus mundur
dari keanggotaannya sebagai kader Partai berlambang
matahari. Mundurnya Hj. Tinnekeu memuluskan Usep Jumhur
yang berada di posisi ketiga menjadi anggota DPRD Garut
periode 2009-2014, dan di internal PAN masa bakti Usep
Jumhur hanya 2,5 Tahun karena berikutnya akan diganti oleh
calon urutan ke 3 Haris.



                           65
Begitulah percaturan politik dalam merebut kekuasaan
menghalalkan segala cara, termasuk menari di atas
penderitaan temannya sendiri yang penting kekuasaan dapat
digenggamnya. ( *).



Skandal Seks yang Di peti es kan

      Adalah satu-satunya anggota DPRD Garut dari Partai
Gerinda, Hilman Yudiswara tersandung masalah pelecehan
seksual karena membawa gadis di bawah umur ke salah satu
hotel di kawasan wisata Cipanas.

      Hilman dilaporkan oleh orang tua gadis yang
dikencaninya ke polisi. Hilman pun ditetapkan sebagai
tersangka, namun kasusnya hingga kini lenyap ditelan bumi
(dipeti es kan).

      Dipetieskannya kasus Hilman berawal ketika Hilman
bersama ayahnya menemui penulis di kantor Redaksi Garoet
Pos. Mereka meminta bantuan penulis agar kasusnya dapat
diselesaikan tanpa harus berlanjut ke ranah hukum. Alasan
menemui penulis karena penulis salah satu anggota KPU.

      Penulis menyarankan agar menemui Hasanudin (aktivis)
yang diketahui penulis punya kedekatan khusus dengan
Kapolres Garut waktu itu       AKBP. Amur Candra dan
Kasatreskrim AKP. Oon Suhendar. Penulis kemudian
mempertemukan Hilman dan ayahnya dengan Hasanudin di
restoran Pujasega.


                          66
Selanjutnya Hasanudin bekerja untuk Hilman dengan
menggunakan lobi-lobi intensif di Polres Garut. Hasilnya,
kasus Hilman dipetieskan bahkan sekarang Hilman
melenggang menjadi Ketua DPC Partai Gerinda Kabupaten
Garut.

     Hasanudin sempat mengeluhkan kekecewaannya
kepada penulis setelah sukses membantu Hilman yang kasus
pidananya tidak berlanjut. Hilman dianggap politisi kemarin
sore yang tidak komit atas penyelesaian kasusnya. Bahkan
Hasanudin menyatakan politisi seperti Hilman tidak bisa
diandalkan.

      Hal yang sama dialami oleh Bendahara DPD PAN Garut,
Hj Tinekeu yang dilaporkan oleh kader PAN ke Polres dengan
dugaan menggunakan ijazah palsu dalam pencalonannya
sebagai anggota DPRD Garut pada Pemilu 2009.

      Hj. Tinekeu adalah calon anggota DPRD Garut dari
Daerah Pemilihan Garut 2 meliputi kecamatan Tarogong
Kaler, Tarogog Kidul, Banyuresmi, Samarang dan Pasirwangi.
Ia seharusnya menggantikan H. Gaos Syamdani yang
meninggal dunia sebelum pelaksanaan pelantikan anggota
DPRD Garut hasil pemilu 2009.

      Hj. Tinnekeu tidak dikehendaki menggantikan Gaos
Syamdani, maka didongkel-lah dugaan penggunaan ijazah
palsunya. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Garut kerja keras
menangani proses pergantian antar waktu (PAW), dan
anggota KPU Garut M. Iqbal Santoso dan pegawai di


                           67
Sekretariat KPU sempat diperiksa sebagai saksi setelah Hj.
Tinnekeu ditetapkan sebagai tersangka.

      Lagi-lagi istilah “politik itu kejam”, memang benar dan
dialami oleh Hj Tinnekeu yang harus menyatakan mundur dari
pencalonannya sebagai anggota DPRD Garut terpilih karena
ada deal politik tidak akan dilanjutkan perkaranya di
kepolisian.

     Terbukti sudah, setelah Hj Tinnekeu menyatakan
mundur lalu DPRD dan KPU memproses pergantian antar
waktu (PAW), kemudian keluarlah surat keputusan Gubernur
Jawa Barat yang menetapkan dan mengangkat Usep Jumhur
sebagai pengganti Hj Tinnekeu maka kasusnya di Polres Garut
hingga kini raib ditelan bumi alias dipeti es kan.(*)



Anggota DPRD Diincar Penegak Hukum

     Penegak hukum terutama dari Polres Garut mulai
mengincar dan membidik anggota DPRD, yang diduga
menerima aliran bantuan sosial (bansos) dan dana alokasi
khusus (DAK) di Dinas Pendidikan.

      Anggota Fraksi Partai Demokrat Ny. Euis Komariah
kepada penulis mengaku didatangani sejumlah anggota polisi
berseragam ke gedung DPRD Garut meminta keterangan
seputar aliran DAK dari Disdik, karena diduga sejumlah
anggota dewan mendapat jatah proyek yang didanai dari DAK
tersebut.


                           68
Anggota dewan yang satu ini terbilang vokal sehingga
meminta petugas dari kepolisian itu untuk tidak meminta
keterangannya di gedung DPRD melainkan secara resmi di
Markas Kepolisian Resort Garut dengan berita acara
pemeriksaan. Dengan begitu, menurut Ny. Euis Komariah bisa
leluasa berbicara apa adanya berkaitan data dan keterangan
yang dibutuhkan pihak kepolisian.

      Namun ternyata tidak ada kelanjutannya, dan masih
menurut Ny Euis Komariah yang biasa dipanggil dengan
panggilan “bunda” itu padahal dirinya sudah sangat siap.
Namun belakangan malah Ketua Komisi D, dr. Helmi Budiman
yang membidangi pendidikan dan kesehatan sudah dimintai
keterangannya.

      Dana Alokasi Khusus (DAK) di Dinas Pendidikan
memang sangat besar, selain ada proyek pengadaan buku,
ada juga proyek pembangunan dan rehabilitasi sekolah-
sekolah. Kabar yang merebak proyek-proyek tersebut sudah
ada yang memegang oleh pihak-pihak yang memiliki akses
termasuk di kalangan anggota DPRD.

      Karena menumpuknya proyek di Dinas Pendidikan
mengakibatkan bupati Garut Aceng HM Fikri mengalami
kesulitan mencari penggganti Kepala Dinas Pendidikan yang
ditinggalkan Komar Mariyuana setelah resmi pensiun.

     Kesulitan tersebut sangat boleh jadi berkaitan dengan
pengamanan proyek yang terlanjur sudah didistribusikan ke
banyak pihak, karena sangat sulit mencari figur Kepala Dinas


                           69
Pendidikan setangguh Komar Mariyuana yang dikenal dekat
dengan aparat penegak hukum.

      Kerja ekstra keras berpulang kepada sekda Garut Iman
Alirahman untuk mengamankan semua persoalan yang ada di
lingkungan pemda Garut, tidak terkecuali masalah yang
menumpuk di Dinas Pendidikan, termasuk yang melibatkan
anggota DPRD.

     Lagi-lagi Iman diuji kemampuannya, kepiawaian
menggalang jaringan dan kekuatan hukumnya agar semua
persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan baik seperti
motto Pegadaian “menyelesaikan masalah tanpa masalah”.
(*)



Aktivis dan Proyek D.A.K Buku

       Jika anggota DPRD bermain dalam proyek yang didanai
dari Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan sudah tidak aneh
lagi. Kalau seorang aktivis bermain dalam proyek yang sama,
memang aneh apalagi melibatkan pejabat penegakan hukum
untuk memuluskan perolehan proyeknya.

     Adalah   Direktur    Pusat   Informasi   dan    Studi
Pembangunan (PISP) Hasanudin, dengan menggaet Kepala
Satuan Reserse Polres Garut AKP. Oon Suhendar berhasil
melumpuhkan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Garut
Komar Mariyuana dan jajarannya sehingga proyek D.A.K buku



                           70
yang nilainya 1,8 milyar rupiah diraih oleh Hasanudin dengan
mengusung bendera PT. Mangle Panglipur.

      Hasanudin pernah bercerita kepada penulis bagaimana
kerasnya “berperang” melawan pesaing-pesaingnya dalam
memperebutkan proyek tersebut bahkan tangan kanan bupati
Garut Isur Suryana yang membawa pengusaha kuat harus
terpental oleh kepiawaian Hasanudin dengan gayanya yang
khas memanfaatkan ketakutan jajaran birikrat di Dinas
Pendidikan oleh pejabat di Polres Garut. Hasanudin mengaku
kecewa karena pengusaha dari Jakarta yang meminjam
bendera PT. Mangle Panglipur tidak konsisiten atas komitmen
yang disepakatinya menyangkut “komitmen fee” sebesar
sepuluh (10) persen dari nilai proyeknya.

      Dari fee yang diperoleh Hasanudin dialirkan ke
beberapa pihak, terutama ke pejabat di Polres Garut, pejabat
di Dinas Pendidikan, pejabat di pemda Garut yang terlibat
dalam panitia lelang, seperti Kepala Bagian Pengendalian
Pembangunan Heri Suherman, SE.

      Penulis sendiri kecipratan sebesar tiga juta rupiah,
karena saat itu Hasanudin tahu bahwa penulis sedang
kesulitan uang untuk membayar sewa kontrak kantor Redaksi
SKU Garoet Pos yang sudah habis masa kontraknya dan
pemiliknya hampir tiap hari mempertanyakan apakah akan
dilanjutkan atau tidak sewa kontraknya.

     Hasanudin yang kebetulan numpang aktivitasnya di
kantor penulis mengaku kewalahan menghadapi sejumlah


                           71
orang yang meminta bagian dari fee proyek buku DAK itu,
termasuk sejumlah wartawan. (*)



Desakan PAW

      DPRD Garut hasil pemilihan umum 2009 terus digoyang
kelompok masyarakat tertentu, menyusul beberapa anggota
DPRD yang bermasalah hukum, terutama tiga anggotanya
dari Fraksi partai Golkar, yaitu Wakil Ketua DPRD H. Ruhiyat
Prawira, Ketua Fraksi Rajab Prinaldi, dan Agus Ridwan.

      DPRD kerap didatangi kelompok masyarakat yang
mendesak agar tiga anggota DPRD tersebut diberhentikan
karena dianggap sudah tidak memenuhi syarat setelah
dinyatakan bersalah oleh pengadilan sebelum yang
bersangkutan dilantik menjadi wakil rakyat.

      Sekretaris DPRD Garut Ny. Farida Susilawati mengakui
berdatangannya kelompok masyarakat yang mendesak
dilakukannya pergantian antar waktu (PAW) anggota DPRD
itu. Hal yang sama dibenarkan oleh anggota Fraksi partai
Demokrat Ny. Euis Komariah. Bahkan menurut Ny. Euis
Komariah kelompok masyarakat yang mendesak PAW itu
menuding KPU menerima uang pengamanan dari anggota
DPRD yang bermasalah agar tidak di-PAW.

     Tentu saja KPU Garut tidak terima tuduhan yang
menyakitkan itu, karena bagi KPU tidak pernah menunda-
nunda Pergantian Antar Waktu (PAW) jika prosesnya


                           72
ditempuh berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

      Setahu penulis bahwa mekanisme PAW diawali dari
pengusulan partai politik ke DPRD untuk memproses
Pergantian Antar Waktu (PAW), yang surat dan dokumen-
dokumen lainnya ditandatangani oleh ketua dan sekretaris
partai bersangkutan. Selanjutnya DPRD mengusulkan ke KPU
agar melakukan verifikasi, dan pihak KPU membentuk
Kelompok Kerja PAW, dengan anggota pokjanya selain dari
KPU juga melibatkan unsur pemerintah daerah dan sekretariat
DPRD.

     Jika hasil verifikasi sudah terpenuhi maka KPU
mengajukan usulan ke Gubernur Jawa Barat untuk
menerbitkan    surat   keputusan  pemberhentian   dan
pengangkatan anggota DPR yang terkena pergantian antar
waktu (PAW).

     Kelompok penekan/pressur PAW ke DPRD Garut, diduga
kuat ada muatan-muatan politis tertentu tanpa memahami
prosedur yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan sehingga dengan arogan dan kejinya menuduh KPU
main mata dengan tuduhan menerima aliran dana dari
anggota DPRD yang bermasalah.

      KPU Garut baru menyelesaikan satu kali pergantian
antar waktu (PAW) dari Partai Amanat Nasional (PAN), itu pun
prosesnya memakan waktu cukup lama karena permasalahan
di internal partai cukup alot juga sehingga pemberkasan
bolak-balik antara KPU-DPRD dan PAN. (*).

                           73
Tebang Pilih Penanganan Hukum

      Penegakan hukum pasca tumbangnya rezim orde baru
memang semakin kencang terutama yang berhubungan
dengan pejabat dan wakil rakyat. Akan halnya di abupaten
Garut dimulai dengan diseretnya pimpinan DPRD Garut
periode 1999-2004, kemudian mnyusul bupati Garut H. Agus
Supriadi.

      Setelah itu berturut-turut mantan Kepala Dinas Pasar
Drs. Djohansyah Kustiaman, mantan Sekda Garut H. Achmad
Muttaqien, dan mantan Sekda Wowo Wibowo, mantan Kabag
Keuangan Kuparman, mantan pejabat di di BPKD Anton
Heryanto, Erlan Rivan, Enjang dan lain-lain.

      Dari pihak DPRD, tercatat nama mantan Wakil Ketua
Dikdik Darmika, Barman Sachyana (alm), Ofie Firmansyah, Ali
Rohman. Politisi sekaligus pengusaha H. Ruhiyat Prawira,
Rajab Pirnandi, Endang Suhendar, Agus Ridwan.

      Sedangkan mantan Kepala Dinas PU Bina Marga, Ir.
Deni Suherlan dan sejumlah pejabat di bawahnya, kemudian
mantan pejabat di Bagian keuangan Totong, SE.,M.Si dan
Dra. Aneu Hayati, M.Si yang sudah ditetapkan sebagai
tersangka sejak tahun 2004 hingga kini terus menggantung
bahkan Deni Suherlan diangkat menjadi Kepala Dinas
Bangunan dan Pemukiman (sekarang Dispertacip). Totong
dan Aneu Hayati justru saat ini menjadi Kepala DPPKA dan
Kepala Bidang Perimbangan di DPPKA.



                           74
Kepiawaian orang atau pihak yang menggantung kasus
tersebut memang luar biasa. Bayangkan saja, tersangka dari
kalangan pengusaha yaitu H. Ocad Rosadi yang sempat
berstatus tahanan kota setelah dijatuhi hukuman empat tahun
kini beada di sel tahanan.

     Hal yang sama juga dialami mantan bupati Garut
H. Agus Supriadi yang dijatuhi hukuman 10 tahun oleh
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Agus Supriadi
termasuk yang terkait kasus serupa bersama Ocad Rosadi,
Totong dan Aneu Hayati dalam aliran dana pembayaran
pembangunan pasar Cikajang.

      Penulis sempat berbincang-bincang dengan salah
seorang Jaksa di Kejaksaan Negeri Garut, kenapa Totong
digantung. Menurut Jaksa tersebut karena Totong adalah
pejabat yang berada pada jabatan panas. Maksudnya yaitu
jabatan yang mengelola keuangan daerah.

      Belakangan Kepala Dinas Bina Marga H. Atang
Subarzah, juga sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh
Polda Jabar, namun lagi-lagi prosesnya menggantung. Kesan
tebang pilih penanganan hukum tidak bisa dipungkiri lagi.
Faktanya, Memo Hermawan, Deni Suherlan, Totong, Aneu
Hayati, Ahmad Bajuri (Ketua DPRD), Atang Subarzah nyaris
tidak terusik lagi.

       Hal yang sama, diawal kepemimpinan bupati Aceng HM.
Fikri sempat berurusan dengan Polda Jabar dari dugaan
penerimaan penerimaan dana bantuan sosial untuk kegiatan
istigosah sewaktu bupati Agus Supriadi. Lagi-lagi penanganan

                           75
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah
Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah

Contenu connexe

Tendances

Komponen pasif 2 induktor dan trafo
Komponen pasif 2  induktor dan trafoKomponen pasif 2  induktor dan trafo
Komponen pasif 2 induktor dan trafoAgus Tri
 
1 konsep-akuntansi-biaya
1 konsep-akuntansi-biaya1 konsep-akuntansi-biaya
1 konsep-akuntansi-biayaNugroho Adi
 
akuntasi PPH potong pungut
akuntasi PPH potong pungutakuntasi PPH potong pungut
akuntasi PPH potong pungutAsep suryadi
 
Meet 1-Current Liabilities-DYP (1).pdf
Meet 1-Current Liabilities-DYP (1).pdfMeet 1-Current Liabilities-DYP (1).pdf
Meet 1-Current Liabilities-DYP (1).pdfMasnaAbdulBaqi
 
ppt kelompok 2.pptx
ppt kelompok 2.pptxppt kelompok 2.pptx
ppt kelompok 2.pptxVandyDp1
 
Energi tenaga air hidroelektrisitas
Energi tenaga air   hidroelektrisitasEnergi tenaga air   hidroelektrisitas
Energi tenaga air hidroelektrisitasMochammad Ridwan
 
Pengelolaan Keuangan Daerah
Pengelolaan Keuangan DaerahPengelolaan Keuangan Daerah
Pengelolaan Keuangan DaerahSujatmiko Wibowo
 
Alat ukur kumparan putar
Alat ukur kumparan putarAlat ukur kumparan putar
Alat ukur kumparan putarDwi Puspita
 
Gaya Elektrostatis kelas IX bab I
Gaya Elektrostatis kelas IX bab IGaya Elektrostatis kelas IX bab I
Gaya Elektrostatis kelas IX bab Inurul ikhsani
 
Draft perjanjian jual beli aset billingual clean
Draft perjanjian jual beli aset  billingual  cleanDraft perjanjian jual beli aset  billingual  clean
Draft perjanjian jual beli aset billingual cleanGLC
 
PPN Pemungutan PPN
 PPN   Pemungutan PPN PPN   Pemungutan PPN
PPN Pemungutan PPNkaromah95
 
Buku ast(yusreni warmi)
Buku ast(yusreni warmi)Buku ast(yusreni warmi)
Buku ast(yusreni warmi)Kevin Adit
 

Tendances (20)

Komponen pasif 2 induktor dan trafo
Komponen pasif 2  induktor dan trafoKomponen pasif 2  induktor dan trafo
Komponen pasif 2 induktor dan trafo
 
PLTA
PLTAPLTA
PLTA
 
1 konsep-akuntansi-biaya
1 konsep-akuntansi-biaya1 konsep-akuntansi-biaya
1 konsep-akuntansi-biaya
 
Indutansi
IndutansiIndutansi
Indutansi
 
Konsumsi
KonsumsiKonsumsi
Konsumsi
 
akuntasi PPH potong pungut
akuntasi PPH potong pungutakuntasi PPH potong pungut
akuntasi PPH potong pungut
 
Meet 1-Current Liabilities-DYP (1).pdf
Meet 1-Current Liabilities-DYP (1).pdfMeet 1-Current Liabilities-DYP (1).pdf
Meet 1-Current Liabilities-DYP (1).pdf
 
potensial listrik
potensial listrikpotensial listrik
potensial listrik
 
ppt kelompok 2.pptx
ppt kelompok 2.pptxppt kelompok 2.pptx
ppt kelompok 2.pptx
 
Energi tenaga air hidroelektrisitas
Energi tenaga air   hidroelektrisitasEnergi tenaga air   hidroelektrisitas
Energi tenaga air hidroelektrisitas
 
Pengelolaan Keuangan Daerah
Pengelolaan Keuangan DaerahPengelolaan Keuangan Daerah
Pengelolaan Keuangan Daerah
 
OPERASI SISTEM TENAGA LISTRIK
OPERASI SISTEM TENAGA LISTRIKOPERASI SISTEM TENAGA LISTRIK
OPERASI SISTEM TENAGA LISTRIK
 
Alat ukur kumparan putar
Alat ukur kumparan putarAlat ukur kumparan putar
Alat ukur kumparan putar
 
UMPTN Fisika 2000 Rayon A Kode 26
UMPTN Fisika 2000 Rayon A Kode 26UMPTN Fisika 2000 Rayon A Kode 26
UMPTN Fisika 2000 Rayon A Kode 26
 
Gaya Elektrostatis kelas IX bab I
Gaya Elektrostatis kelas IX bab IGaya Elektrostatis kelas IX bab I
Gaya Elektrostatis kelas IX bab I
 
Paper pemikiran ekonomi pra klasik
Paper pemikiran ekonomi pra klasikPaper pemikiran ekonomi pra klasik
Paper pemikiran ekonomi pra klasik
 
Draft perjanjian jual beli aset billingual clean
Draft perjanjian jual beli aset  billingual  cleanDraft perjanjian jual beli aset  billingual  clean
Draft perjanjian jual beli aset billingual clean
 
Soal 2 (blajar part 1)
Soal 2 (blajar part 1)Soal 2 (blajar part 1)
Soal 2 (blajar part 1)
 
PPN Pemungutan PPN
 PPN   Pemungutan PPN PPN   Pemungutan PPN
PPN Pemungutan PPN
 
Buku ast(yusreni warmi)
Buku ast(yusreni warmi)Buku ast(yusreni warmi)
Buku ast(yusreni warmi)
 

Similaire à Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah

Mencari Pemimpin untuk Masa Depan Jakarta
Mencari Pemimpin untuk Masa Depan JakartaMencari Pemimpin untuk Masa Depan Jakarta
Mencari Pemimpin untuk Masa Depan Jakartamusniumar
 
B J Habibie Detik Detik Yang Menentukan
B J  Habibie    Detik Detik Yang  MenentukanB J  Habibie    Detik Detik Yang  Menentukan
B J Habibie Detik Detik Yang Menentukansal655
 
Bj habibi detik-detik yang menentukan
Bj habibi   detik-detik yang menentukanBj habibi   detik-detik yang menentukan
Bj habibi detik-detik yang menentukanFrisca Maulida
 
Makalah sejarah 'megawati'
Makalah sejarah 'megawati'Makalah sejarah 'megawati'
Makalah sejarah 'megawati'slempack c
 
Factsheet 3 "Perempuan: Politik dan Pilgub Kaltim 2013"
Factsheet 3 "Perempuan: Politik dan Pilgub Kaltim 2013"Factsheet 3 "Perempuan: Politik dan Pilgub Kaltim 2013"
Factsheet 3 "Perempuan: Politik dan Pilgub Kaltim 2013"Pokja 30
 
HUD Magz. Majalah Permukiman, Perkotaan, Infrastruktur, Tata Ruang. Edisi 4 ...
HUD Magz. Majalah Permukiman,  Perkotaan, Infrastruktur, Tata Ruang. Edisi 4 ...HUD Magz. Majalah Permukiman,  Perkotaan, Infrastruktur, Tata Ruang. Edisi 4 ...
HUD Magz. Majalah Permukiman, Perkotaan, Infrastruktur, Tata Ruang. Edisi 4 ...Oswar Mungkasa
 
BANK SOAL SEJARAH INDONESIA KELAS XII
BANK SOAL SEJARAH INDONESIA KELAS XIIBANK SOAL SEJARAH INDONESIA KELAS XII
BANK SOAL SEJARAH INDONESIA KELAS XIIKusmiati
 
Two Step Flow Communication Theory
Two Step Flow Communication TheoryTwo Step Flow Communication Theory
Two Step Flow Communication Theorymankoma2012
 
PERAN PANCASILA DI ERA GLOBALISASI-1.pptx
PERAN PANCASILA DI ERA GLOBALISASI-1.pptxPERAN PANCASILA DI ERA GLOBALISASI-1.pptx
PERAN PANCASILA DI ERA GLOBALISASI-1.pptxMiftaqulMaarif
 
Bung hatta dalam kesederhanaan
Bung hatta dalam kesederhanaanBung hatta dalam kesederhanaan
Bung hatta dalam kesederhanaanYasirecin Yasir
 
Buletin so cinta edisi ii pdf_
Buletin so cinta edisi ii pdf_Buletin so cinta edisi ii pdf_
Buletin so cinta edisi ii pdf_Abas Djumadi
 
Metro tv - wawancara eksklusif sandiaga uno
Metro tv - wawancara eksklusif sandiaga unoMetro tv - wawancara eksklusif sandiaga uno
Metro tv - wawancara eksklusif sandiaga unoArdian Perdana Putra
 
Perjalanan seseorang bermasyarakat
Perjalanan seseorang bermasyarakatPerjalanan seseorang bermasyarakat
Perjalanan seseorang bermasyarakatAni Mahisarani
 

Similaire à Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah (20)

Selasar03
Selasar03Selasar03
Selasar03
 
Tugas akhir phb
Tugas akhir phbTugas akhir phb
Tugas akhir phb
 
Mencari Pemimpin untuk Masa Depan Jakarta
Mencari Pemimpin untuk Masa Depan JakartaMencari Pemimpin untuk Masa Depan Jakarta
Mencari Pemimpin untuk Masa Depan Jakarta
 
B J Habibie Detik Detik Yang Menentukan
B J  Habibie    Detik Detik Yang  MenentukanB J  Habibie    Detik Detik Yang  Menentukan
B J Habibie Detik Detik Yang Menentukan
 
Bj habibi detik-detik yang menentukan
Bj habibi   detik-detik yang menentukanBj habibi   detik-detik yang menentukan
Bj habibi detik-detik yang menentukan
 
Pendahuluan
PendahuluanPendahuluan
Pendahuluan
 
Makalah sejarah 'megawati'
Makalah sejarah 'megawati'Makalah sejarah 'megawati'
Makalah sejarah 'megawati'
 
Wanita dan kepemimpinannya
Wanita dan kepemimpinannyaWanita dan kepemimpinannya
Wanita dan kepemimpinannya
 
Factsheet 3 "Perempuan: Politik dan Pilgub Kaltim 2013"
Factsheet 3 "Perempuan: Politik dan Pilgub Kaltim 2013"Factsheet 3 "Perempuan: Politik dan Pilgub Kaltim 2013"
Factsheet 3 "Perempuan: Politik dan Pilgub Kaltim 2013"
 
HUD Magz. Majalah Permukiman, Perkotaan, Infrastruktur, Tata Ruang. Edisi 4 ...
HUD Magz. Majalah Permukiman,  Perkotaan, Infrastruktur, Tata Ruang. Edisi 4 ...HUD Magz. Majalah Permukiman,  Perkotaan, Infrastruktur, Tata Ruang. Edisi 4 ...
HUD Magz. Majalah Permukiman, Perkotaan, Infrastruktur, Tata Ruang. Edisi 4 ...
 
Pendidikan pancasila agil
Pendidikan pancasila agilPendidikan pancasila agil
Pendidikan pancasila agil
 
BANK SOAL SEJARAH INDONESIA KELAS XII
BANK SOAL SEJARAH INDONESIA KELAS XIIBANK SOAL SEJARAH INDONESIA KELAS XII
BANK SOAL SEJARAH INDONESIA KELAS XII
 
Two Step Flow Communication Theory
Two Step Flow Communication TheoryTwo Step Flow Communication Theory
Two Step Flow Communication Theory
 
PERAN PANCASILA DI ERA GLOBALISASI-1.pptx
PERAN PANCASILA DI ERA GLOBALISASI-1.pptxPERAN PANCASILA DI ERA GLOBALISASI-1.pptx
PERAN PANCASILA DI ERA GLOBALISASI-1.pptx
 
Selasar Edisi 06
Selasar Edisi 06Selasar Edisi 06
Selasar Edisi 06
 
Tu g as qo
Tu g as qoTu g as qo
Tu g as qo
 
Bung hatta dalam kesederhanaan
Bung hatta dalam kesederhanaanBung hatta dalam kesederhanaan
Bung hatta dalam kesederhanaan
 
Buletin so cinta edisi ii pdf_
Buletin so cinta edisi ii pdf_Buletin so cinta edisi ii pdf_
Buletin so cinta edisi ii pdf_
 
Metro tv - wawancara eksklusif sandiaga uno
Metro tv - wawancara eksklusif sandiaga unoMetro tv - wawancara eksklusif sandiaga uno
Metro tv - wawancara eksklusif sandiaga uno
 
Perjalanan seseorang bermasyarakat
Perjalanan seseorang bermasyarakatPerjalanan seseorang bermasyarakat
Perjalanan seseorang bermasyarakat
 

Syahwat kekuasaan di garut by mustafa fatah

  • 1. SYAHWAT KEKUASAAN DI GARUT Kata Pengantar Kabupaten Garut kerap disebut-sebut sebagai miniatur politik di Jawa Barat. Tidak heran, jika banyak kalangan datang berguru ke Garut. Dalam banyak hal Kabupaten Garut memang unik dan menarik. Sebagai daerah yang berkatagori tertinggal, ternyata sangat dinamis namun sarat intrik dan konflik kepentingan. Penulis yang sejak tahun 1983 berprofesi sebagai wartawan, banyak mencatat hiruk pikuknya dinamika perpolitikan di wilayah Kabupaten Garut. Dari catatan secara umum melalui penulusuran, dan catatan khusus karena penulis sering masuk ke wilayah kekuasaan mencoba menuangkannya dalam sebuah buku yang diberi judul “SYAHWAT KEKUASAAN DI GARUT”. Buku tersebut penulis berharap memberi gambaran, bahwa betapa Kabupaten Garut yang unik dan menarik tidak mau beranjak dari ketertinggalannya di satu sisi, namun di sisi yang lain justru sangat berkembang pesat terutama dalam berebut kekuasaan untuk menguasai jaringan pemerintahan, politik dan hukum. Kemajuan dalam berebut kekuasaan memang tidak berbanding lurus dengan upaya meningkatkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Energi dan ongkos politik 1
  • 2. dihabiskan untuk merebut kekuasaan baik dalam jabatan politik, penanganan masalah hukum maupun perebutan jabatan di lingkungan birokrasi. Celakanya, ongkos politik dan tanpa disadari justru diongkosi oleh rakyat dengan cara mengatur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara rapih, teratur dan lolos dari jamahan hukum. Tokoh wartawan senior H. Usep Romli, yang juga sastrawan terkemuka sekaligus kiayi dalam tulisannya di Surat Kabar Umum Garoet Pos menyebutkan, bahwa Garut adalah tempat kursus politik. Sejumlah tokoh nasional dari berbagai bidang berasal dari Garut baik di masa lampau maupun masa sekarang. Sebut saja tokoh masa lampau seperti Prof. DR. KH. Anwar Musadad yang merintis berdirinya Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung, KH. Yusuf Taudjiri, ulama pejuang. Prof. DR. Ihromi, ahli bahasa Ibroni yang kemudian pernah menjadi Ketua Dewan Gereja Indonesia (DGI). Lalu ada Arudji Kartawinata, tokoh Partai Syarikat Islam Indonesia dan pernah menduduki jabatan Ketua DPR-RI. H. Usep Romli mencatatkan, rumah tokoh partai nasionalis Bubu Burhan Mustafa di Jalan Bank no. 14 dijadikan tempat kurus politik, yang melahirkan politisi-politisi handal yang berasal dari kalangan pendidikan, seperti Drs. Sopandi guru SPG Negeri dan Jajang Kurniadi, guru SMP Negeri I Garut. 2
  • 3. Dari kubu partai Islam, rumah KH. Anwar Musadad di Jalan Ciledug, juga dijadikan tempat kursus politik. Salah satu jebolannya adalah Omo Suntama, seorang guru SPG Negeri yang kemudian aktif di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan mengantarkan KH. Sulaeman Afif menjadi anggota DPR-MPR. Faktanya, Kabupaten Garut memang tidak terbantahkan lagi sebagai tempat kurus politik yang melahirkan politisi-politisi handal. Tak heran, jika kemudian generasi sekarang memunculkan nama Memo Hermawan dari PDIP dan Dedi Suryadi dari PPP, tercatat sebagai politisi lokal yang cerdik dan hebat. Tokoh masa sekarang ada Prof. Soleh Solahudin, yang pernah menjadi Menteri Pertanian semasa presiden BJ.Habibie, Burhanudin Abdullah, mantan Menko Ekuin semasa presiden Gusdur yang kemudian menjadi Gubernur BI. (alm) Andung Nitimiharja, mantan menteri Perindustrian era presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sederet tokoh lainnya yang mewarnai percaturan politik di Indonesia berasal dari Garut. Di PDIP ada Jajang Kurniadi, di PKB ada Prof. Cecep Syarifudin, di PPP ada Maksum Djaeladri, di Partai Golkar ada Asep Ruhimat Sudjana. Kalau kemudian H. Usep Romli menyebutnya sebagai tempat kursus politik, memang Kabupaten Garut layak menyandang sebutan tersebut karena hingga kini masih tetap menjadi tempat penggojlogan politisi-politisi handal. Tanpa bermaksud menyudutkan siapa pun dan kelompok manapun, semata-mata penulis hanya mengangkat ke 3
  • 4. permukaan berdasarkan catatan dan pengalaman yang penulis peroleh. Bahkan dalam hal ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih setinggi-tingginya kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu terselesaikannya buku ini. Kepada kedua anak saya tercinta, sahabat dan teman- teman pers yang bertugas di Kabupaten Garut dari media cetak dan elektronik terutama keluarga besar Surat Kabar Umum Garoet Pos, penulis haturkan terima kasih atas dorongan moril serta bantuannya dalam banyak hal sehingga memungkinkan bagi penulis menyelesaikan buku ini. Di saat menyelesaikan buku ini, dalam waktu bersamaan justru penulis menghadapi banyak masalah yang berkaitan dengan berkecamuknya pendapat pro-kontra tentang penting tidaknya buku ini diterbitkan. Alhamdulillah penulis diberi kekuatan mental, kesabaran dan ketabahan serta kekihlasan dalam menghadapinya sehingga tidak menjadi penghambat untuk terus menyelesaikan buku ini. Hanya kepada Allah-lah, penulis memohon bimbingan sekaligus berserah diri atas segala hal yang selama ini menjadi bahagian dari perjalanan hidup. Hanya do’alah yang memungkinkan semuanya bisa teratasi. Terima kasih ya Allah, Engkau telah membimbing hamba yang tdak punya kekuatan apa pun selain hanya karena Engkau ya Allah. (*) Salam hormat dan salam hangat untuk semua Garut, Mei 201 Penulis : MUSTAFA FATAH 4
  • 5. Daftar Isi: 1. Profil Penulis 2. Jelang Tumbangnya Rezim Orde Baru 3. Babak Baru di Era Reformasi 4. Birokrat Orde Baru Kuasai Pemerintahan 5. Gugatan di Peradilan T.U.N 6. Tentara Kembali Rebut Pemerintahan 7. Bungalau 12 8. Bertindak dengan Hati 9. Memo dan Kepala SMK PGRI 10. Jabatan tidak Digenggam 11. Pejabat dan Dunia Hiburan 12. Media Massa dan Kejatuhan Agus Supriadi 13. Kalau Tidak, Ikut Mundur 14. Agus Tawari Iman jadi Sekda 15. Birokrat, Jaringan Politik dan Hukum 16. Politisi Rebut Pemerintahan 17. Wajah Wakil Rakyat (DPRD Garut) 18. Skandal Seks yang Di peti es kan 19. Anggota DPRD Diincar Penegak Hukum 20. Aktivis dan Proyek D.A.K Buku 21. Desakan P.A.W 22. Tebang Pilih Penanganan Hukum 23. Jabatan Sekda Dipolitisir 24. Jurus Perbup Jerat Hilman 25. Iman Putera Mahkota Bupati Momon 26. Terparkirnya Pejabat Birokrasi 27. Mafia Jabatan 28. Dua Sosok Politisi Cerdik 5
  • 6. 29. Memo - Dedi tak Ambil Peluang 30. Memo vs Hasanudin 31. Manggungnya Independen 32. Aceng-Diky tak Penuhi Syarat 33. Aceng Fikri Orang Parpol 34. Dana Pengamanan Pemilu 2009 35. Pileg Syarat Pelanggaran 36. Potret Suram Pembangunan di Garut 37. Tiga Bupati tak Mampu Wujudkan G.O.R 38. Kabupaten Garut Selatan 39. Jelang Pemilukada 2013 40. Kepercayaan Pusat 41. Birokrat Sulit Diatur 42. Pejabat Pemda Dibidik Penegak Hukum 43. Bisnis CPNSD 6
  • 7. Profil Penulis: Nama pemberian orang tua adalah Mustofa, namun kemudian ditambah dengan nama kakek yang bernama Muhammad Fatah sehingga dalam akta kelahiran tertulis menjadi Mustafa Fatah. Lahir tanggal 24 Juli 1959 di desa Bojong Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut. Setelah menamatkan sekolah di SMP Negeri Bungbulang (sekarang SMP Negeri I Bungbulang), melanjutkan ke SMEA Muhammadiyah di kota Garut. Pilihan sekolah bertentangan dengan keiinginan orang tua agar masuk ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Menjadi guru bukan pilihan, tetapi sekolah ekonomi pun nyaris tanpa tujuan yang jelas. Selepas SMEA berkeiinginan melanjutkan kuliah, namun dalam waktu bersamaan harus berbarengan dengan kakak yang kebetulan lulus seleksi masuk ke IKIP Bandung (sekarang UPI). Akhirnya mengalah untuk tidak melanjutkan kuliah, karena keterbatasan orang tua dalam pembiayaannya, dan lebih mendorong kakak agar kelak menjadi seorang guru melanjutkan cita-cita ayah. Tahun 1983 ikut seleksi calon wartawan di Harian Umum Mandala yang sedang naik daun karena maraknya pemberitaan seputar kasus penembakan misterius (petrus) terhadap orang-orang yang meresahkan masyarakat (preman). 7
  • 8. Tahun 1986 semasa bupati Garut H. Taufik Hidayat, akibat berita yang selalu mengkritisi kebijakan bupati yang merugikan rakyat akhirnya di persona non grata (diusir dari wilayah Garut). Perseteruan dengan bupati sempat pula dimuat di Majalah Tempo, dan pengusiran tidak jadi dilakukan. Menjelang pergantian bupati dari Taufik Hidayat ke bupati Momon Gandasasmita terjadilah islah (saling memaafkan). Tahun 1989 Harian Mandala diambil alih oleh Grup Kompas, dan ketika dilakukan seleksi oleh manajemen Kompas dinyatakan lolos dan terus bergabung hingga berakhirnya pengambilalihan Harian Mandala oleh Kompas tahun 1990. Tahun 1990-1992 lolos seleksi di Surat Kabar Surabaya Minggu yang manajemennya diambil alih pengusaha sukses Yakob Hendrawan beralamat di Jalan KH. Mas Mansyur No. 55 Tanah Abang Jakarta Pusat. Tahun 1992 kembali lagi ke Garut membuka Perwakilan Surat Kabar Sunda “Kudjang” setelah diajak oleh Alvertoeng, mantan Pemimpin Redaksi salah satu surat kabar milik grup Media Indonesia dan terjadilah kerjasama dengan pemerintah daerah Kabupaten Garut melalui bupati H. Momon Gandasasmita. Koran Kudjang ditinggalkan dan kembali lagi ke Koran Mandala hingga akhirnya ke Surat kabar Harian Suara Publik 8
  • 9. yang terbit di awal reformasi, milik Wakil Walikota Bandung Enjang Darsono. Selain aktif di Suara Publik, sempat pula menjadi deklarator Partai Amanat Nasional (PAN) Kabupaten Garut bersama sejumlah tokoh dari Muhammadiyah. Turut mendeklarasikan Forum Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Garut (FPPMG) bersama Agustiana, yang kemudian melahirkan sejumlah aktivis seperti Arif Rahman Hidayat, SE.,Ak (mantan ketua STIE Yasa Anggana), Oim Abdurohim (mantan anggota DPRD Garut/mantan calon wakil bupati Garut 2008), Hasanudin (sekarang pengurus DPN Refdem) dan lain-lain. Pada Pemilu pertama era reformasi, yaitu tahun 1999 maju menjadi calon anggota DPRD dari daerah pemilihan Kecamatan Cisewu. Tahun 2001 mengundurkan diri dari PAN dalam posisi sebagai salah satu sekretaris DPD Kabupaten Garut, karena lebih memilih tetap menjadi wartawan yang sejak tahun 2000 lolos seleksi di Harian Metro Bandung (sekarang Tribun Jabar- Grup Kompas). Tahun 2003 ikut seleksi calon Anggota KPU Garut dan lolos ke 10 besar, namun gugur di lima besar. Tahun 2005 sampai sekarang menjadi Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Surat Kabar Umum Garoet Pos. 9
  • 10. Tahun 2008 ikut lagi seleksi calon anggota KPU dan berhasil masuk lima besar yang ditetapkan oleh Tim Seleksi dari KPU Propinsi Jawa Barat. Selain aktif di organisasi profesi yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), juga aktif di organisasi kemasyarakatan, antara lain Muhammadiyah, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan di organisasi sepak bola PSSI Pengcab Garut. Beberapa wartawan senior dan wartawan muda dilahirkan melalui tangan penulis, seperti Tisna Wibawa (wartawan Koran BOM/Majalah Cermin Harian), Ridwan, S.Pd, Taofik Rahman, S.Sos, Yosep Nasrullah, S.Ag, Tata Ansori (Garoet Pos), Asep Hamdani (Harian Radar/Ketua APDESI Garut), Rommy Rusyana (mantan wartawan SINDO), Jamjam Jamaludin (Harian Radar), Indra Prasasti (Trans TV), Deni Muhammad Arif (Indosiar) dan lain-lain. (*). 10
  • 11. Jelang Tumbangnya Rezim Orde Baru Tahun 1996 gerakan penumbangan rezim orde baru semakin kencang. Kelompok pro-demokrasi bermunculan dimana-mana termasuk di kabupaten Garut yang dimotori mahasiswa dan aktivis. Para aktivis pro demokrasi dari kalangan kampus pada tahun yang sama mendatangkan tokoh penentang orde baru, yaitu DR. Ir. Sri Bintang Pamungkas, dosen Fakultas Teknik Universitas Indonesia dalam kegiatan seminar ekonomi yang digagas oleh SENAT Mahasiswa STIE Garut diketuai Hasanuddin bekerjasama dengan PWI Perwakilan Garut. Kehadiran Sri Bintang Pamungkas ke Garut tidak dihendaki oleh penguasa di Kabupaten Garut. Bahkan seluruh pengelola gedung yang biasa menyewakan tempatnya mendadak tidak mau memberikannya dengan berbagai alasan. Akhirnya seminar digelar di halaman gedung Korpri Jalan Patriot Garut, dilanjutkan di Sekretariat PWI Garut Jalan Pembangunan. Saat itu jumlah personil keamanan baik yang terbuka maupun tertutup, justru lebih banyak ketimbang peserta seminar yang kebanyakan berasal dari kalangan mahasiswa dan aktivis. Tokoh ulama, politisi, sekaligus pemilik pondok pesantren Darussalam Wanaraja KH. Cholid Taujiri mendaulat Sri Bintang Pamungkas dan membawanya ke Pontrennya untuk bicara panjang lebar dihadapan santri dan warga sekitarnya. 11
  • 12. Kehadiran Sri Bintang Pamungkas, ternyata diikuti aparat intelejen dari Jakarta karena setelah dari Garut langsung terbang ke Jerman menghadiri seminar sekaligus sebagai pembicara di sana. Sri Bintang Pamungkas, langsung ditangkap penguasa orde baru dan dijebloskan ke penjara di Jakarta, bahkan statusnya sebagai dosen PNS di Universitas Indonesia dipecat/diberhentikan. Tidak lama berselang, tokoh gerakan pro demokrasi Agustiana digelandang ke penjara di Tasikmalaya atas tuduhan sebagai dalang kerusuhan Tasikmalaya, dan sebelum ditangkap sempat menggelar jumpa pers di sekretariat PWI Garut. Sekretariat Forum Pemuda Pelajar (FPPMG) yang dikomandani Agustiana beralamat di Jalan Ranggalawe bersebelahan dengan tempat tinggal penulis. Pasukan keamanan dari TNI, Polisi dan Satuan Polisi Pamongpraja lengkap dengan senjatanya mengepung sekretariat FPPMG, dan Komandan Intelejen Kodim (Kasi Intel- Lettu. Inf. Anan Taryana) berada di rumah penulis. Tembok pemerintah daerah Kabupaten Garut saat itu memang sangat kuat dan kokoh. Salah satu tokoh kunci yang membentengi pemda Garut adalah Letkol. Inf. Kohar Somantri, mantan Kepala Staf Kodim 0611 Garut yang diangkat sebagai Kepala Kantor Sosial Politik (Sospol) Pemda Garut. Letkol. Inf. Kohar Somantri, selaku Kepala Kantor Sosial Politik Pemda Garut sangat disegani dan ditakui oleh semua kalangan. Dalam mengendalikan pemerintahan di lingkungan 12
  • 13. pemda Garut, Kohar membentuk kekuatan yang waktu itu dikenal dengan istilah MARKODOTOH (Mardjuki, Kohar Somantri, Dodi Soemartawijaya, Toto Rahmat). Mardjuki adalah seorang Letkol TNI yang menjadi Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten (PUK), Kohar Somantri (Kepala Sospol), Dodi Soemartawidjaya (Kepala Bagian Kepegawaian), Toto Rahmat (Kepala Dispenda). Kalau sekarang di tubuh pemda Garut ada kelompok geng, memang bukan hal baru karena sudah merupakan tradisi (warisan) dari orang-orang yang memiliki pengaruh di lingkungan pemda Garut. Tidak heran, kelompok tersebut sangat dominan dalam penempatan sejumlah pejabat yang loyal kepada kelompok geng dimaksud. Sekarang di lingkungan birokrasi pemda Garut dikenal dengan geng-nya Iman Alirahman, dan itu tidak bisa terbantahkan karena geng tersebut memiliki kekuatan yang signifikan dalam berbagai hal. Bahkan sangat disadari oleh Wowo Wibowo dan Hilman Faridz ketika naik menjadi Sekda Garut. Wowo Wibowo tidak mampu bertahan lama menjadi sekda, karena ia banyak melakukan penekanan terhadap sejumlah pejabat di lingkungan pemda Garut yang merupakan geng-nya Iman Alirahman. Kekuatan geng tersebut menyeret Wowo ke ranah hukum, yang kemudian sempat mendekam di sel tahanan Mapolda Jabar dengan tuduhan menyalahgunakan 13
  • 14. wewenangnya menandatangani pencarian dana bantuan sosial sebelum APBD Garut disahkan. Keluhan Wowo Wibowo mengemuka setelah ia dengan kewenangannya pernah melakukan tindakan tegas kepada beberapa pejabat padahal pejabat tersebut adalah geng-nya Iman Alirahman. Sebut saja Kepala Bagian Umum waktu itu Dadi Jakaria dan staf-stafnya. Tindakan tegas Wowo merupakan pemicu diungkitnya persoalan dirinya saat menjadi Kepala BPKD yang dituduh menggelontorkan dana bansos sebelum APBD disahkan. Wowo kemudian digelandang oleh Polda Jabar dan sempat mendekam beberapa bulan lamanya di sel tahanan. Penulis sendiri berkesempatan melayat Wowo di Polda, namun ternyata sosok Wowo terlihat tegar, tenang dan penuh keikhlasan menghadapinya. Hal yang sama dialami Hilman Faridz, sekda yang menggantikan Wowo itu sempat menyampaikan keluhannya kepada penulis, bahwa untuk beberapa hal ia tidak bisa nyambung/sinergis dengan sejumlah pejabat di bawahnya. Misalnya dengan Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat (BKD) sewaktu dijabat Drs. H. Djadja Sudardja, M.Si. Menurut Hilman, setiap kebijakan yang diambilnya selalu mendapat hambatan dan tantangan dari pejabat di bawahnya yang memang gengnya Iman Alirahman. “Anda tahu sendiri di tubuh birokrasi terpecah, ada yang memihak saya dan ada 14
  • 15. juga yang memihak pa Iman”. Begitu dikeluhkan Hilman Faridz. (*) Babak Baru di Era Reformasi Akhirnya Mei 1998 tumbanglah rezim orde baru, dan di Kabupaten Garut bertepatan dengan akan berakhirnya masa jabatan bupati Drs. H. Toharudin Gani, yang diangkat menjadi bupati hasil penunjukan dari pihak Gedung Sate, menggantikan Momon Gandasasmita yang telah dua kali menjabat bupati. DPRD Garut hasil pemilu 1997 atau pemilu terakhir era rezim orde baru merupakan “DPRD transisisisi”, karena tahun 1999 digelar pemilu pertama masa reformasi. Tentu saja anggota DPRD yang berjumlah 45 orang itu memanfaatkan pemilihan bupati sebagai ajang mendulang uang dari para calon bupati. Perebutan kekuasaan menjelang pemilihan bupati pun terasa memanas, seluruh petinggi pemda Garut, yaitu bupati Drs. H. Toharudin Gani, Wakil Bupati Mamad Suryana, dan Sekretaris Daerah Iing Kosim maju mencalonkan diri sebagai bupati. Dari luar pemda Garut muncul nama Dede Satibi, yang masih menjabat Wakil Bupati Kabupaten Bekasi, Letkol. Pol (sekarang AKBP) Dede Hidayat Jayalaksana, mantan Kapolres 15
  • 16. Garut. Dan dari kalangan DPRD nama H. Rukman yang ketua DPRD maju juga menjadi kandidat. Pertarungan sengit terjadi antara Dede Satibi dan Dede Hidayat Jayalaksana. Anggota DPRD Garut yang akan menentukan pilihannya menjadi terpecah. Kelompok aktivis, dan tokok-tokoh ulama terpecah pula. Ada yang berada di kubu Dede Jayalaksana dan ada di kubu Dede Satibi. Dede Jayalaksana sangat dikenal luas di Garut, karena selain pernah menjadi Kapolres Garut, perwira muda itu sebagai sosok santun dan lebih mengedepankan pola kemitraan dalam menangani masalah keamanan dan ketertiban di wilayah Kabupaten Garut. Dede Hidayat Jayalaksana mendapat dukungan dari tokoh-tokoh aktivis, seperti Toni Munawar, Gunadi dan aktivis mahasiswa. Dari kalangan pengusaha ada H. Heri Sunardi yang menguasai perkebunan Condong. Sedangkan tokoh ulamanya ada KH. Uhom Hamdani, pemimpin pondok Pesantren Sarohan Bayongbong dan tokoh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara Dede Satibi mendapat dukungan dari Dewan Harian Daerah (DHD) Angkatan 45, Warga Indonesia Asal Garut (WI-ASGAR), Angkatan 66 dan tokoh ulama yang dimotori KH Abdul Halim, pemimpin pondok pesantren Al- Bayyinah dan salah satu putera dari ulama besar KH. Anwar Musadad. Pertarungan sengit terjadi antara kubu Dede Satibi dan kubu Dede Jayalaksana. Disebut-sebut uang jago pun 16
  • 17. mengalir ke kocek anggota DPRD, dan akhirnya Dede Satibi- lah yang memenangkan pertarungan tersebut namun kubu Dede Hidayat Jayalaksana tidak terima kekalahannya lalu menyandera seluruh Anggota DPRD sekaligus menguasai gedung wakil rakyat berhari-hari lamanya. Kemenangan Dede Satibi nyaris saja digagalkan, kalau saja Dede Hidayat Jayalaksana tidak segera meyakinkan pendukungnya untuk menerima hasil yang menyakitkannya itu. Seorang tokoh ulama PPP sekaligus pimpinan Pondok Pesantren Sarohan Bayongbong KH. Uhom Hamdani adalah yang paling kecewa atas kekalahan Dede Hidayat Jayalaksana. Kiayi yang dikenal berani itu pun kemudian meninggal dengan membawa kekecewaan yang sangat mendalam. Gelombang aksi tandingan dari kubu Dede Satibi berdatangan ke gedung DPRD, yang sebelumnya dilakukan serangkaian pertemuan di komplek pesantren Al- Mussadadiyah. Penulis termasuk yang ikut dalam pertemuan itu, dan diminta oleh peserta pertemuan masuk dalam penyusun materi tuntutan yang akan disampaikan ke DPRD dan berbagai pihak sebagai pemangku kepentingan. Dalam aksi tandingan dari kubu Dede Satibi, tampil KH Abdul Halim sebagai penyampai orasi dan mendesak DPRD Garut segera melantiknya karena sudah dinyatakan sebagai pemenang. 17
  • 18. Bupati terpilih Dede Satibi, memang tokoh birokrat sejati karena malang melintang di pemda Garut hingga jadi Mantri Polisi sebelum pindah ke Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Bekasi. Dalam mengendalikan pemerintahannya, Dede Satibi tidak berkehendak didampingi Wakil Bupati Mamad Suryana sebagai pesaing di pemilihan bupati. Dalam masa kepemimpinan Dede Satibi tidak didampingi Wakil Bupati karena Mamad Suryana ditarik oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan menduduki jabatan sebagai Kepala Dispenda Jawa Barat. Sementara Sekda Iing Kosim yang sebenarnya didukung jajaran birokrasi dengan Korps Pegawai Negeri-nya (KORPRI) gagal meraih kemenangan. Ia kemudian hengkang dari Garut karena mendapat tawaran sebagai Wakil Bupati Kabupaten Subang. Jabatan sekda Garut, akhirnya diisi pejabat karir dari pemda Garut, yaitu Rahman Ruhendar yang waktu itu menjabat Ketua Bappeda (sekarang namanya Kepala Bappeda). Rahman Ruhendar tidak lama menjabat sekda keburu meninggal dunia, dan Dede Satibi mengajak sohibnya Rachmat Sudjana dari Kabupaten Sukabumi (Ketua Bappeda) untuk mengisi jabatan sekda. Kekuasaan Dede Satibi dimasuki kakak kandungnya H. Hafid, yang kemudian mumunculka kelompok/geng di lingkungan pemda Garut yang berkepentingan dalam 18
  • 19. mengatur jabatan dan proyek. Siapa dekat dengan kelompok tersebut, maka jabatan dan proyek pun dapat diraihnya. Kepala Diparda, Hilman Faridz adalah salah satu diantara yang masuk kelompok H Apit, makanya jabatannya dipindahkan menjadi Ketua Bappeda yang ditinggalkan Rachman Ruhendar. Kepala Diparda diisi oleh Iman Alirahman yang semula Kepala Dinas Kebersihan. Iman Alirahman adalah pejabat muda yang kurang disenangi bupati Dede Satibi, namun justru bagi Iman Alirahman dijadikan pintu masuk untuk menjalin hubungan dengan banyak kalangan. Salah satu yang mulai dekat dengan Iman Alirahman adalah Ketua PHRI Garut Memo Hermawan, Manager Hotel Augusta Garut. Geng yang dimotori kakak kandung bupati Dede Satibi itu, semakin memperkuat posisi Asda III yang dipercayakan kepada Drs. Yaya S. Permana dengan kewenangannya di bidang keuangan dan kepegawaian. Penulis pun sempat menitipkan anak dari keluarga miskin masuk menjadi Tenaga Kerja Kontrak (TKK) tahun 2001, dan sekarang sudah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Yaya S. Permana, sebagai pejabat yang mengurusi keuangan dibantu oleh Kepala Bagian Keuangan Ny. Farida Susilawati, SH (sekarang Sekretaris DPRD) dengan staf- stafnya antara lain Totong, SE.,M.Si (sekarang Kepala DPPKA), Anton Heryanto (mantan Kabid Anggaran), Dra. Aneu Hayati, M.Si (sekarang Kabid Perimbangan di DPPKA). 19
  • 20. Kendati Iman Alirahman kurang disenangani bupati Dede Satibi namun Iman selalu menunjukan kinerjanya dengan baik, terutama dalam mengelola bidang kepariwisataan. Iman juga mulai menyusun kekuatan di lingkungan birokrasi dengan mncetak kader-kadernya, antara lain Komar Mariyuana (terakhir Kadisdik), Arus Sukarna (terakhir Asda I), Wawan Nurdin (sekarang Kepala Perpustakaan Daerah), Farida Susilawati (Sekretaris DPRD), Elka Nurhakimah (Sekarang Kepala Dinas Pendidikan) serta sejumlah pejabat birokrat lainnya. (*). Birokrat Orde Baru Kuasai Pemerintahan Selama kepemimpinan Bupati Garut Dede Satibi, tokoh sentral di lingkungan pemda Garut terutama yang berkaitan dengan masalah keuangan dipercayakan kepada Drs. Yaya S. Permana, selaku Asisten Daerah (Asda) III bersama-sama dengan Sekda Rahmat Sudjana. Sedangkan nama Iman Alirahman sama sekali tidak memiliki akses atau jaringan dalam mengatur kebijakan di pemerintah daerah. DPRD, di bawah kepemimpinan Ir. Iyos Somantri dan Dedi Suryadi adalah politisi handal dan cerdik, sehingga bupati dan jajarannya kerap tidak mampu membendung keiinginan DPRD termasuk aliran dana APBD demi kepentingan DPRD. Dede Satibi tidak kalah cerdiknya, jebakan-jekabakan pun mulai dimainkan dan DPRD tidak menyadarinya yang 20
  • 21. penting dana APBD mengalir ke koceknya. Siasat Dede Satibi memang luar biasa cerdiknya karena ia berkeinginan maju lagi diperiode kedua pada pemilihan bupati tahun 2003. Nama Iyos Somantri-Dedi Suryadi, disebut-sebut sebagai pasangan paling berpeluang dalam pemilihan bupati, dan itu menjadi batu sandungan bagi Dede Satibi. Akhirnya melalui Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Garut KH Abdul Halim mengendus dugaan penyimpangan dana APBD oleh DPRD Garut yang kemudian dikenal dengan istilah APBD-Gate hanya beberapa bulan menjelang pemilihan bupati. Iyos Somantri, selain sebagai Ketua DPRD juga Ketua DPD Golkar Garut, dan Dedi Suryadi adalah Wakil Ketua DPRD sekaligus Ketua DPC PPP. Dede Satibi sangat sadar, bahwa untuk mengalahkan pasangan Iyos-Dedi di pemilihan bupati sangat tidak mungkin apalagi yang akan memilihnya pun anggota DPRD yang berjumlah 45 orang. Berkat peranan Ketua MUI yang melaporkan kasus APBD Gate ke Kejaksaan, maka Iyos-Dedi ditetapkan sebagai tersangka. Kedua tokoh yang sejak awal sudah dipersiapkan maju sebagai pasangan calon menjadi berantakan, Iyos bahkan terpental di konvensi partainya sendiri. Fraksi PPP di DPRD terpecah belah, karena ketua Fraksinya Wawan Syafe’i digaet oleh Dede Satibi sebagai pasangannya. Dedi Suryadi tidak patah arang, ia pun tak kalah sengit dengan menggaet Sekda Rahmat Sudjana sebagai pasangan wakil bupatinya. Kemudian muncul kuda hitam Letkol. Inf. Agus Supriadi, yang berhasil memanfaatkan keterpurukan 21
  • 22. Iyos Somantri akibat kasus APBD Gate dan Agus Supriadi memenangkan konvensi Partai Golkar. Perebutan kekuasan di kabupaten Garut yang diawali dari pemilihan bupati, memang sangat unik dan penuh intrik. Dede Satibi yang terpental dari Partai Golkar, berkat kekuatan keluarga besar Nahdatul Ulama (NU) berhasil menggunakan PKB sebagai kendaraan politiknya untuk maju menjadi calon bupati bersama Wawan Safe’i dari PPP. Untuk meyakinkan PKB agar menyerahkan partainya sebagai tunggangan Dede Satibi, maka tokoh NU pun mendatangkan KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) ke Pondok Pesantren Al-Wasilah miliknya KH. Tantowi Djauhari. Hampir seluruh partai dengan Fraksi-nya di DPRD tidak terhindar dari konflik. Golkar yang diincar Iyos dan Dede Satibi ternyata jatuh ke Agus Supriadi, PKB yang mestinya memajukan Ketua DPC-nya Ali Rohman malah diberikan kepada Dede Satibi. PPP pecah, sebagian ke Dedi Suryadi, sebagian lagi ke Wawan Syafe’i. PAN yang akan menyandingkan Rudi Gunawan dengan Ate Tohi, tiba-tiba Mahyar Suara protes. Hanya PDIP yang nyaris tanpa konflik karena hanya menyalonkan Memo Hermawan selaku Ketua DPC-nya. Majunya empat pasangan calon bupati tidak terlepas dari peranan para “pemain” di luar gedung DPRD dan di luar partai politik. Yang mengawinkan Dede Satibi-Wawan Syafe’i adalah sejumlah Kiayi NU, yang mengawinkan Agus Supriadi- Memo adalah mereka dari kalangan politisi dan kawan-kawan 22
  • 23. dekatnya. Kemudian yang mengawinkan Rudi-Mahyar, termasuk penulis ada di dalamnya melalui serangkaian pertemuan di salah satu hotel di kawasan wisata Cipanas. Begitu juga yang mengawinkan/memaketkan pasangan Dedi Suryadi-Rahmat Sudjana, tidak terlepas dari peranan kalangan tertentu yang kemudian dikenal dengan istilah Tim Sukses. Maka empat pasangan resmi maju di pemilihan bupati. Mereka adalah 1. Dede Satibi-Wawan Syafei. 2. Rudi Gunawan-Mahyar Suara. 3. Agus Supriadi- Memo Hermawan. 4. Dedi Suryadi-Rahmat Sudjana. Di putaran pertama, pasangan Dedi-Rahmat dan Rudi- Mahyar harus terpental, dan hanya pasangan Dede Satibi- Wawan Syafe’i dan Agus Supriadi-Memo Hermawan yang masuk ke putaran kedua pasangan Agus Supriadi-Meo Hermawan keluar sebagai pemenangnya dengan selisih suara yang sangat tipis, yaitu hanya tiga suara saja. Kemenangan Agus Supriadi – Memo Hermawan lebih ditentukan oleh solidnya suara PDIP yang pada saat akan digelarnya pemilihan terlebih dahulu dilakukan pergantian antar waktu (PAW) dua anggota Fraksi yang dianggap mbalelo, yaitu Gunrana dan Wan Gunawan Husen, digantikan oleh Dikdik Darmika dan Slamet Rianto. Secara matematis suara yang diperoleh Agus-Memo berasal dari Fraksi Golkar 14 suara dan suara Fraksi PDIP 6 suara. Kemudian mendapat tambahan suara 4 dari Fraksi PPP yang diawali dengan komitmen politik antara Dedi Suryadi 23
  • 24. dan Memo Hermawan yang kemudian disetujui oleh Agus Supriadi. Memang pemberian suara sifatnya rahasia, namun dalam politik tidak selamanya 1 ditambah 1 menjadi 2, bisa saja menjadi 1 atau 3. Akan halnya suara yang diperoleh Agus-Memo, konon 6 dari PDIP, 13 dari Golkar karena satu suara Golkar diberikan ke Dede Satibi, dan sisanya lima suara dari Fraksi PPP yang jumlahnya 9 kursi dan 5 suara PPP menjadi milik Dede Satibi. Kendati Dede Satibi kalah dalam pemilihan bupati, namun menjelang akhir jabatannya ia sukses menggiring kelompoknya duduk di kursi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Garut. Diawali dengan penunjukan Tim Seleksi yng terdiri dari Ketua MUI KH. Abdul Halim, Asda I Drs. Kusnaeni, M.Si. Sekretaris PGRI Alit Burhanudin, S.Sos. KH. Deden dari unsur ulama dan Prof. Ikeu Sartika dari unsur Perguruan Tinggi. Lima orang anggota KPU Garut ditetapkan oleh KPU Jawa Barat, mereka adalah Aja Rowikarim, M.Ag yang tiada lain adalah mahasiswanya KH. Abdul Halim, Lia Juliasih, S.IP yang masih keluarga dari isterinya KH. Abdul Halim dan isteri dari tokoh aktivis Garut Arif Rahman Hidayat, SE.,Ak. Kemudian H. Mohamad Iqbal Santoso, tokoh Persatuan Islam (Persis), Ny. Hj. Yayah Hidayah, isteri dari KH. Deden salah seorang dari Tim seleksi. Hanya Dadang Sudrajat, S.Pd yang bukan bagian dari kelompok Dede Satibi, ia berasal dari 24
  • 25. guru sukwan di kecamatan Bayongbong yang secara kebetulan kakak kandungnya pejabat di KPU Garut. (*) Gugatan di Peradilan TUN Sejumlah peserta seleksi calon anggota KPU menggugat Tim seleksi yang telah meloloskan 10 orang calon ke KPU Provinsi untuk menentukan lima anggota terpilih. Dimotori Hasanudin, yang terpental dalam seleksi calon anggota KPU yang diawali dari ketidaksenangannya atas sebuah pertanyaan oleh Ketua Tim Seleksi KH. Abdul Halim Lc saat tes wawancara dengan meminta agar Hasanudin membacakan Surat Al-Fatihah lengkap dengan terjemahnya. Hasanudin sempat berdebat atas pertanyaan tersebut, dan merasa ketidaklolosannya akibat dari perdebatan sengit tersebut. Pucuk dicinta ulam tiba, Hasanudin menemukan kejanggalan dalam keputusan Tim Seleksi yang meloloskan Hj. Yayah Hidayah dan Undang Fadhita yang masih berstatus Pegawai Negeri Sipil. Materi gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (Peratun) di Bandung salah satunya tentang status calon anggota KPU yang belum mengambil person dari PNS. Tim Seleksi bersama Sekretariat KPU Garut dibuat gerah akibat gugatan Hasanudin dan kawan-kawan itu, karena 25
  • 26. hampir setiap minggu harus mengikuti persidangan di Bandung. Tidak ada putusan apa pun dalam gugatan tersebut, karena masing-masing pihak mogok di tengah jalan. Akhirnya perkara menjadi menggantung sedangkan lima anggota KPU Garut yang ditetapkan oleh KPU Provinsi Jawa Barat menjalankan tugas-tugasnya sebagai komisoner dengan menyelenggarakan pemilihan umum Tahun 2004. (*) Tentara Kembali Rebut Pemerintahan Kabupaten Garut memang lain dari yang lain. umbangnya rezim orde baru telah memunculkan sikap anti pati terhadap tentara. Dimana-mana tentara selalu dihujat, tetapi di Garut sebaliknya. Hal itu terbukti ketika Letkol. Inf. Agus Supriadi maju mencalonkan dirinya sebagai bupati Garut justru disambut suka cita. Kehadiran Agus Supriadi mengembalikan ingatan warga Garut akan keberhasilan Letkol. Kav. Taufik Hidayat yang sukses membawa kabupaten Garut ke arah yang berubah. Biarlah di tempat lain tentara itu dihujat, tapi toh untuk kabupaten Garut masih memerlukan sosok tentara sebagai bupatinya. Selain tekad keras Agus Supriadi sebagai putra daerah, juga didukung kepiawaian Tim Suksesnya diawali memenangkan pertarungan di konvensi partai Golkar untuk 26
  • 27. mendapatkan kendaraan politik bagi Agus Supriadi supaya bisa maju menjadi calon bupati dan kesuksesan mengawinkannya dengan Ketua DPC PDIP Garut Memo Hermawan. Letkol Inf. Agus Supriadi tampil memimpin Garut setelah terpilih melalui pemilihan di DPRD tanggal 18 Nopember 2008. Diawal terpilihnya sempat tergonjang-ganjing oleh persoalan hukum yang mendera wakil bupatinya Memo Hermawan yang diduga menggunakan ijazah palsu. Suhu politik di Garut kembali memanas akibat terkatung-katungnya penetapan bupati dan wakil bupati terpilih. Gelombang demo nyaris tiap hari ke gedung DPRD dari kubu Agus Supriadi-Memo Hermawan. Sedangkan kubu Dede Satibi diam-diam mengamankan Kepala SMEA (SMK) PGRI Garut Drs. Zaenal Arifin sebagai pihak yang dianggap telah mengeluarkan keterangan ijazah bagi Memo Hermawan. Kepala SMK PGRI itu, selain berada di bawah penguasaan Dede Satibi dan kubunya, seperti Kepala Dinas Pendidikan Drs. Darjo Sukarja, Ketua PGRI Drs. H. Amin Minadipura, Asda I Pemda Garut Drs. Kusnaeni. Seluruh dokumen sekolah yang berkaitan dengan kepentingan Memo diamankan oleh pihak Dinas Pendidikan. Yang tersisa menurut Zaenal Arifin hanya stempel sekolah dan tiga lembar kertas ber-kop sekolahnya. Zaenal sendiri selalu diawasi dan kerap diajak jalan-jalan oleh kubu Dede Satibi ke Bandung dan Tasikmalaya. Sementara rumah tinggal Zaenal Arifin secara bergiliran dijaga oleh aparat 27
  • 28. keamanan. Keluarga Zaenal Arifin sendiri diungsikan kepada orang tuanya di Kadungora. Peralihan kekuasaan dari Dede Satibi kepada Agus Supriadi nyaris tidak berjalan mulus. Memo Hermawan selaku Ketua DPC PDIP dengan kekuatan penuh kadernya, termasuk kekuatan Satgas partainya yang terkenal pemberani siap berdarah-darah kalau pimpinan partainya tidak dilantik menjadi wakil bupati. Agus Supriadi sendiri tidak tinggal diam, dibantu oleh jajaran Partai Golkar yang dikomandani oleh Drs. H. Ruhiyat Prawira, M.Si terus berjuang agar kemenangannya segera ditetapkan sekaligus dilantik setelah keluarnya Surat Keputusan dari Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Karena rumitnya persoalan yang melilit Memo Hermawan, maka orang-orang disekeliling Agus Supriadi melakukan upaya agar yang dilantik cukup bupati saja. Kubu Memo, tentu saja tidak terima perlakuan tidak adil itu apalagi pemilihan bupati satu paket dengan wakil bupatinya. Masalah Memo tidak pernah berhenti terus dibawa ke ranah hukum. Beberapa guru yang pernah mengajar di SMEA PGRI dan teman-teman sekolah Memo tidak luput dari pemeriksaan pihak kepolisian untuk dimintai keterangan sekitar kesahihan Memo bersekolah di SMEA PGRI Garut. 28
  • 29. Kasus Memo sangat melelahkan, begitu diungkapkan Kepala SMEA PGRI Zaenal Arifin kepada penulis. Ia tidak menyangka buntut dari pemilihan bupati akan menyeret dirinya. Zaenal Arifin benar-benar menjadi “bintang” yang diperebutkan oleh percaturan politik pasca pemilihan bupati. Kubu Dede Satibi memanfaatkannya agar dapat membatalkan hasil pemilihan. Namun sikap Zaenal Arifin yang pendiam punya prinsip yang sangat kuat, yaitu ingin memberikan yang terbaik bagi kepentingan kabupaten Garut sehingga lolos dari kemungkinan terburuk. Misalnya terjadi huru-hara yang meluluhlantahkan sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat. Kemenangan pasangan Agus-Memo mengakibatkan terpecah belahnya birokrasi. Sebagian ada yang tetap berada di kubu Dede Satibi karena masih menjabat bupati, sebagian lagi ada yang berpihak kepada Agus-Memo. Kepala Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Achmad Muttaqien dan Asda I Wawan Dermawan, dan Kepala Diparda Iman Alirahman tegas menyatakan dirinya berada di kubu Agus-Memo. Bahkan Iman Alirahman dalam berbagai kesempatan breefing dengan bupati Dede Satibi tidak sedikit pun menunjukan keberpihakan kepada atasannya yang masih berkuasa itu. Sikap tegas Iman Alirahman semata-mata karena ia adalah orangnya Memo Hermawan, dan memiliki target merebut jabatan sekretaris daerah. Target serupa juga menjadi incaran Achmad Muttaqien yang setia berada di 29
  • 30. belakang Agus Supriadi. Ketika Agus-Memo dilantik menjadi bupati dan wakil bupati, memang pilihan menduduki jabatan sekda jatuh ke Achmad Muttaqien. Pertarungan kekuasaan sudah mulai diperlihatkan oleh bupati Agus Supriadi dan Wakil Bupatinya Memo Hermawan dari perebutan jabatan sekda. Memo kalah telak karena gagal mengusung Iman Alirahman. Namun bukan Memo kalau tidak mampu memainkan bidak-bidak catur politiknya. Maka melalui peranan Iman-lah kemudian tanpa disadari oleh Agus Supriadi bahwa sebenarnya ia sedang terancam. Ancaman itu terbukti ketika kemarahan dan kekesalan Memo semakin memuncak, yang akhirnya meletuslah gelombang demontrasi yang diawali oleh kehadiran Tim dari Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penyelidikan di pemda Garut bulan Juni 2007. (*) Bungalau 12 Ada apa dengan Bungalau No 12 Hotel Sumber Alam. Terkesan seperti bercanda, padahal peristiwa politik yang tidak mungkin bisa dilupakan oleh para pelakunya. Sebelum terjadi sesuatu di Bungalau tersebut, penulis bersama sdr. Daba Tabrani Zeboa, salah seorang aktivis di Garut sempat mendatangi Memo Hermawan untuk sekedar diskusi berkaitan dengan terkatung-katungnya pelantikan bupati dan wakil bupati. 30
  • 31. Melalui perbincangan santai antara Memo Hermawan- Penulis dan Daba Tabrani di salah satu ruangan di Hotel Augusta awal Desember 2003, terungkaplah pernyataan Memo yang mengejutkan sekaligus miris. Kenapa tidak, waktu itu Memo tegas menyatakan “bagi saya dilantik atau tidak dilantik tidak jadi masalah tetapi kalau gedung DPRD, gedung pemda dan pusat kota Garut hancur lebur saya siap menanggung semua resiko hukuman mati sekali pun”. Penulis bertanya “sebenarnya apa yang menyebabkan semua itu”. Dijawab oleh Memo, kuncinya ada di Kepala SMK PGRI Zaeanal Arifin. Jika ada surat pernyataan yang dibuat Kepala SMK PGRI maka pihak Departemen Dalam Negeri akan segera memproses pengangkatan Agus-Memo sebagai bupati dan wakil bupati Garut. Penulis dan Daba Tabrani Zeboa, tentu saja dibuat kaget dan miris jika apa yang diungkapkan Memo menjadi kenyataan. Penulis dan sdr. Daba kemudian berinisiatif menghubungi Kepala SMK PGRI tanpa pamrih apa pun, semata-mata demi penyelamatan Garut saja. Dalam pembicaraan di rumah pak Zaenal Arifin, di Jalan Mustofa Kamil Tarogong dibahas kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bakal menimpa Garut. Salah satunya adalah kehancuran infrastruktur yang sudah terbangun dengan baik, seperti gedung DPRD, gedung Pemda dan pusat pertokoan di kota Garut. Pak Zaenal terkaget-kaget dengan kemungkinan tersebut, dia pun mengajak penulis dan Daba Tabrani 31
  • 32. mengkonsultasikan apa yang dikehendaki oleh Memo kepada kakaknya DR. Adang Hambali, dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung. DR. Adang Hambali bersedia datang ke Garut, dan penulis mengatur pertemuan di Bungalau No.12 Hotel Sumber Alam sekitar pertengahan Desember 2003. Di Bungalau tersebut, ternyata DR. Adang Hambali sudah sangat paham dengan kondisi kabupaten Garut dan dia pun menyatakan apa yang diinginkan oleh Memo Hermawan tidak ada masalah yang penting adiknya Zaenal Arifin siap membuat keterangan dari sekolah yang dipimpinnya. Redaksional pernyataan dari Zaenal Arifin dibuat masing-masing oleh penuis, Zaenal Arifin dan Memo Hermawan sendiri. Isinya menyatakan bahwa benar Memo Hermawan adalah lulusan SMK PGRI Garut. Waktu itu juga Memo melalui telepon gengangamnya (HP) mengkonsultasikan redaksional dengan Kepala Biro Otda Pemprop Jabar Drs. Tjatja. Tjatja memandu Memo secara redaksional yang dikehendaki sebagai persyaratan mempercepat SK dari Mendagri. Kesimpulannya redaksional versi Tjatja-lah yang terpakai dan penulis yang membuatnya di komputer milik penulis. Kopinya di dalam disket karena waktu itu masih jarang menggunakan flashdisk. Pertemuan di Bungalau No.12 berakhir tanpa ada komitmen apa pun dengan Memo Hermawan jika yang bersangkutan benar-benar dilantik menjadi wakil bupati. DR. 32
  • 33. Adang Hambali, adiknya Zaenal Arifin, Penulis dan Daba Tabrani semata-mata hanya ingin masalah di Garut cepat selesai sehingga tidak terjadi tindakan yang merugikan masyarakat. Tanggal 13 Januari 2004 ketika penulis sedang rapat di kantor Redaksi Harian Metro Bandung (sekarang Tribun Jabar), karena waktu itu penulis masih menjadi wartawan Metro Bandung ditelepon oleh Memo agar pulang ke Garut untuk menyelesaikan naskah pernyataan dari Kepala SMK PGRI versi Tjatja. Menurut Memo, esok harinya tanggal 14 Januari 2004 ia ditunggu oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah Depdagri (sekarang Kemendagri) Oentarto Sindung Mawardi untuk menyerahkan surat keterangan/pernyataan dari Kepala SMK PGRI dalam kepentingan dikeluarkannya Surat Keputusan Pengangkatan dirinya sebagai Wakil Bupati Garut. Tanggal 20 Januari 2004 SK Mendagri keluar, namun dalam waktu hampir bersamaan Memo Hermawan dikabarkan ditangkap pihak Polda Jabar atas tuduhan pemalsuan ijazah. Perkembangan politik memang berjalan sangat cepat, Memo pun dipulangkan dan hari Jum’at tanggal 23 Januari 2004 dilantiklah Agus Supriadi-Memo Hermawan oleh Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan. Memo Hermawan boleh dilantik bersama Agus Supriadi, namun masalah hukum Memo terus berjalan. Nyaris setiap saat Memo digoyang aksi demonstrasi agar penggunaan ijazahnya yang diduga palsu terus diusut. 33
  • 34. Setiap muncul aksi unjuk rasa, maka yang dibuat sibuk dan menguras tenaga pikiran serta ongkos politik adalah Iman Alirahman dan kawan-kawan. Anton Heryanto tampil sebagai eksekutor karena memang memiliki otoritas dalam penggunaan dana APBD. Memang sulit ditelusuri aliran dana dalam penanganan kasus Memo, atau memang tidak ada niat dari aparat penegak hukum menelusurinya. Padahal ketika Erlan Rivan ditetapkan sebagai tersangka mulai terbuka aliran dana APBD masuk kemana-mana. (*) Bertindak dengan Hati Wajah boleh seram dan terkesan bengis, apalagi sehari- harinya bergaul dengan tahanan dan narapidana di Lembaga Pemsayarakatan (LP) Garut ternyata hatinya luluh juga. Itulah Daba Tabrani Zeboa, blasteran ayah dari Pulau Nias Sumatera Utara dan ibu dari Garut asli. Suara yang selalu keras dalam berbagai hal, terutama jika berdialog atau diskusi, namun Kepeduliannya terhadap kabupaten Garut sangat luar biasa. Ketika gonjang-ganjing dan terkatung-katungnya pelantikan bupati dan wakil bupati Garut terpilih (Agus Supriadi-Memo Hermawan) ia tidak menginginkan suasana kabupaten Garut kacau balau apalagi terjadi pertumpahan darah dan bakar-bakaran. 34
  • 35. Seringkali pemikiran positif muncul dari benaknya, termasuk mengajak penulis untuk menemui calon wakil bupati terpilih Memo Hermawan karena tersiar kabar bahwa Memo dengan kader PDIP-nya akan melakukan tindakan keras jika Memo gagal dilantik sebagai wakil bupati. Kala itu Daba Tabrani sempat mengemukan pendapatnya “ janganlah dari konflik politik melebar menjadi kerusuhan yang tidak ada artinya, bahkan hanya akan merugikan masyarakat. Semua aturan hukum dan politik adalah produk manusia yang bisa diubah-ubah kecuali Al-Qur’an”. Berangkat dari pemikiran itulah ia bersama penulis ingin meyakinkan Memo Hermawan seputar kebenaran kabar yang merebak di tengah-tengah masyarakat. Faktanya, terkatung- katungnya pelantikan bupati dan wakil bupati terselesaikan juga setelah melalui serangkaian pembicaraan antara Memo Hermawan dengan Kepala SMK PGRI Zaenal Arifin yang difasilitasi Daba Tabrani Zeboa dan penulis. Daba Tabrani memang bukan seorang aktivis yang selalu “memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan”, karena toh ia tidak “dibayar” oleh siapa pun semata-mata sebagai bentuk kepedulian kepada Garut agar tidak mengalami kehancuran hanya karena tidak dilantiknya pasangan calon bupati dan wakil bupati terpilih. Semua tindakan harus dengan hati bukan dengan perasaan. Jika dengan hati maka semua persoalan akan terselesaikan dengan baik tanpa harus 35
  • 36. menelan korban. Itulah yang menjadi pemicu Daba Tabrani Zeboa mau menemui Memo Hermawan bersama penulis. (*). Memo dan Kepala SMK PGRI Tanggal 23 Januari 2004 Agus Supriadi dan Memo Hermawan resmi menjadi bupati dan wakil bupati Garut masa bakti 2004-2009. Dua pemimpin berbeda latar belakang itu harus mengendalikan pemerintahan dengan segudang permasalahannya. Agus Supriadi dengan latar belakang militer, tentu saja penerapan disiplin merupakan prioritas utamanya. Di satu sisi harus mendisiplinkan jajarannya, namun di lain sisi bupati Agus Supriadi membuat kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip disiplin. Salah satunya adalah memberikan kepercayaan penuh kepada Anton Heryanto, seorang pelaksana pada Bagian Keuangan Sekretariat Daerah. Sekitar setahun perjalanan kepemimpinan Agus-Memo, penulis tidak pernah berhubungan dengan kekuasaan termasuk dengan Memo Hermawan. Penulis pun berkonsentrasi dengan profesi sebagai wartawan dan selalu mengkritisi kebijakan bupati yang dianggap tidak sesuai harapan rakyat. Anton Heryanto, dan Wawan Nurdin, yang dikenal sebagai geng di jajaran birokrasi datang ke rumah penulis dengan maksud akan mengislahkan penulis dengan Memo 36
  • 37. karena tidak pernah ada hubungan lagi. Penulis pun dibawa oleh mereka ke rumah dinas wakil bupati yang berada di Jalan Sudirman (Depan Bekas Mapolwil Priangan, sekarang Mapolres Garut). Waktu itu penulis minta kepada Anton Heryanto dan Wawan Nurdin, jika ingin mempertemukan penulis dengan Memo Hermawan harus menyertakan pula Kepala SMK PGRI Zaenal Arifin. Alasan penulis, tidak ingin ada kesalahpahaman terlebih suuzdon bahwa seakan-akan saya ada deal-dealan dengan Memo Hermawan. Misalnya diberi fasilitas karena sudah menjadi wakil bupati. Pertemuan di rumah dinas Wakil Bupati itu berlangsung santai dan hangat, diselingi senda gurau nyaris tidak ada batasan antara wakil bupati dengan rakyatnya. Ketika itu Memo berjanji akan membantu SMK PGRI, yang memang tengah kesulitan dalam hal sarana serta prasarana. Bahkan ruangan kelas pun tidak memadai, termasuk sangat kurangnya guru berstatus PNS. Melalui Anton Heryanto, SMK PGRI mendapat bantuan berupa pembangunan tiga unit ruang belajar. Sedangkan penulis yang terlanjur memiliki ikatan bathin dengan Kepala SMK PGRI serta Memo Hermawan menerima permintaan Kepala SMK agar mau menjadi Ketua Komite Sekolah. 37
  • 38. Beberapa karyawan pemda Garut yang merupakan lulusan SMEA PGRI menggagas acara re-uni. Penulis masuk dalam jajaran panitia re-uni, termasuk di dalamnya pejabat Bank Jabar Drs. Yamin Abdul Latif dan Drs. Dedi (sekarang Kabid PMG) di Dinas Pendidikan Garut. Secara politis Memo Hermawan mendapat pengakuan yang luar biasa, karena didaulat menjadi Ketua Alumni SMEA PGRI. Namun demikian tidak mematahkan persoalan hukumnya karena kasusnya terus menggelinding kendati belakangan dikabarkan sudah dihentikan perkaranya. Memang ada kekecewaan di diri penulis karena tidak berhasil meyakinkan geng Memo di Pemda Garut agar memberikan penghargaan kepada Zaenal Arifin, setidak- tidaknya ia dipromosikan dalam jabatan sebagai Kepala SMK Negeri atau dalam jabatan yang sama baik di SMP maupun di SMA. Masalahnya, Zaenal Arifin adalah seoarang PNS yang dari persyaratan sudah terpenuhi. Hanya saja, nasib Zaenal Arifin tidak seperti yang lain. Hingga berakhirnya Memo Hermawan dari jabatan Wakil Bupati, tetap saja Zaenal Arifin menjadi Kepala SMK PGRI. Ironis, memang….. Dalam waktu bersamaan, sekitar di awal tahun 2005, penulis dihubungi Sony MS, salah seorang wartawan yang juga guru SMP namun sangat dekat hubungan secara personalnya dengan Memo Hermawan dan Iman Alirahman. 38
  • 39. Sony meminta kepada penulis menjadi pemimpin Redaksi Surat Kabar Umum Garoet Pos. Di belakang Koran Garoet Pos itu ada Memo Hermawan, Iman Alirahman, Anton Heryanto dan Wawan Nurdin. Selain mengajak penulis, atas permintaan Memo Hermawan, Iman Alirahman dan Wawan Nurdin, diajak pula Asep Burhannudin (Ketua KNPI), Asep Irvan Setiawan (Ketua PHRI) yang penulis ketahui ketika berkumpul di rumah makan Copong dan turut hadir waktu itu Ajengan Mimih Haeruman, seoarang aktivis yang merupakan tokoh kerusuhan Tasikmalaya Tahun 1996. Kenapa Ketua KNPI harus dilibatkan?. Alasannya, karena KNPI memiliki jaringan sampai ke pelosok pedasaan. Seluruh Ketua KNPI tingkat kecamatan dilibatkan dalam mengelola Surat Kabar Umum Garoet Pos baik sebagai distributor maupun kontributor. Di awal berdirinya Surat Kabar Umum Garoet Pos, jabatan Asep Burhannudin adalah Pemimpin Perusahaan, sedangkan Asep Irvan Setiawan sebagai Direktur Utama PT. Garut Cahaya Cemerlang, sebuah perusahaan yang menerbitkan Surat Kabar Umum Garoet Pos. Penulis yang masih terikat sebagai wartawan Harian Metro Bandung (sekarang Tribun Jabar-Grup Kompas) tidak mampu menolak tawaran tersebut. Berlokasi di Jalan Pasundan 47, penulis resmi menjadi Pemimpin Redaksi yang segala sarana serta fasilitas sudah 39
  • 40. disediakan oleh Wawan Nurdin dan kawan-kawan termasuk para pegawainya. Tanggal 17 Maret 2005, Surat Kabar Umum Groet Pos resmi diterbitkan perdana dan lounchingnya di rumah makan Adirasa dihadiri langsung oleh bupati Agus Supriadi dan wakil bupati Memo Hermawan setelah mengikuti upacara Hari Jadi Garut di lapangan Otto Iskadardinata (alun-alun Garut). (*) Jabatan Tidak Digenggam Drs. Zaenal Arifin adalah seorang pribadi yang nyantri, santun, dan lembut. Kelembutannya membuat orang lain tidak akan menyangka kalau ia seoarang pahlawan dalam pergolakan politik di kabupaten Garut. Ia dipercaya mengelola SMK (dulu SMEA) PGRI dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Kenapa tidak, lokasi sekolahnya saja diusir oleh sebuah Yayasan Gereja Pasundan di Jalan Bratayudha. Zaenal Arifin memutar otaknya untuk menyelamatkan anak didik, yang kemudian mendapatkan lokasi baru di Jalan Karacak berupa tanah kosong bekas lahan pesawahan. Ia pontang-panting membangun ruang belajar tanpa bantuan dari pemerintah. Tidak terbetik dalam pikiran Zaenal Arifin, sekolah yang dipimpinnya akan menjadi pusat perhatian publik pada akhir 40
  • 41. tahun 2003 pasca pemilihan bupati Garut yang dimenangkan pasangan Agus Supriadi-Memo Hermawan. Tandatangannya ternyata dipalsukan oleh seseorang yang pernah bekerja sebagai pegawai Tata Usaha di SMEA PGRI di masa jayanya. Pemalsu tandatangan tersebut bernama Isur Suryana yang mendapat perintah dari Drs. Duden Suherman, pejabat di Dinas Pendidikan Kabupaten Garut yang tiada lain adalah sohibnya Memo Hermawan. Isur diperintahkan membuat Surat Keterangan dari SMK PGRI untuk memenuhi persyaratan Memo Hermawan saat akan maju menjadi calon wakil bupati Garut mendampingi calon bupati Agus Supriadi. Entah apa yang mendorong Isur sehingga berani memalsukan tandatangan Kepala SMK PGRI Zaenal Arifin demi kepentingan Memo Hermawan. Isur Suryana dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri Garut dalam proses persidangan yang sama sekali tidak menyentuh Memo Hermawan dan Duden Suherman. Yang pasti pengacaranya kecewa karena dua nama tersebut hanya sebagai saksi saja. Zaenal Arifin, ternyata baru mengetahui tandatangannya dipalsukan setelah pemilihan bupati yang tiba-tiba ia menjadi “bintang” yang diperebutkan oleh kelompok yang bertikai pasca pemilihan bupati. Kalau saja Zaenal Arifin konsisiten tidak mau mengeluarkan Surat Keterangannya bagi kepentingan Memo Hermawan, maka karir politik Memo sudah berakhir pada 41
  • 42. tahun 2004 karena dipastikan hanya calon bupati terpilih saja yang memperoleh Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri yang berhak memimpin Kabupaten Garut. Pahlawan penyelamat kabupaten Garut itu hingga kini masih tetap menjadi Kepala SMK PGRI, padahal ia berkeinginan berkarir sebagai Kepala SMK atau SMP Negeri di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Garut. Boleh jadi karena Zaenal Arifin sebagai pribadi yang mendapat jabatan tanpa harus melalui mafia jabatan atau dengan cara tidak halal, misalnya mengeluarkan uang pelicin. Padahal melalui penulis sudah disampaikannya kepada Memo Hermawan ketika masih menjadi wakil bupati dan kepada Iman Alirahman serta Wawan Nurdin yang dikenal ahli dalam mengatur jabatan. Geng Memo Hermawan, yang terdiri dari Iman Alirahman, Wawan Nurdin, Komar Mariyuana, Jaja Sudarja, Hengki Hermawan hanya butuh Zaenal Arifin dalam memuluskan perebutan kekuasaan saja, sementara pengorbanan seorang Zaenal Arifin sama sekali tidak dihargainya padahal ia tidak meminta fasilitas apa pun kecuali ingin berkarir menjadi Kepala SMK atau SMP Negeri saja. (*) Pejabat dan Dunia Hiburan Pejabat dan wakil rakyat di kabupaten Garut identik dengan dunia hiburan. Ketika tim dari Komisi Pemberantasan 42
  • 43. Korupsi (KPK) tengah melakukan penggeledahan di kantor Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Garut, yang waktu itu Kepala BPKD-nya Komar Mariyuana, justru sejumlah pejabat, wakil rakyat dan aktivis berkumpul di rumah makan Copong. Penulis termasuk salah satu yang ikut hadir di rumah makan tersebut hingga menjelang waktu Isya. Yang hadir waktu itu sepakat melanjutkan pertemuannya di Hotel Imperium Jalan Dr. Cipto Mangunkusumo Bandung. Penulis berangkat belakangan menggunakan mobil kepunyaan Hasanudin, salah seorang aktivis Garut. Di Hotel yang tersedia ruangan karaokean ternyata sudah menunggu beberapa pejabat dan wakil rakyat, antara lain Asda III Kuparman, anggota DPRD Lucky Lukmansyah, Anton Heryanto, Wawan Nurdin dan sejumlah staf dari BPKD. Di ruang karaokean sudah disiapkan wanita yang berprofesi sebagai Pemandu Lagu (PL) secara berpasang- pasangan. Penulis juga sudah disediakan dan satu ruangan (room) bersama Wawan Nurdin dan Anton Heryanto. Malam itu dihabiskan hanya untuk bersenang-senang dan dipastikan menguras kocek yang tidak sedikit. Yang pasti, penulis meninggalkan hotel itu sekira jam 3.00 pagi. Kegiatan serupa, dilakukan pula menjelang penangkapan Agus Supriadi oleh KPK. Beberapa pejabat dari BPKD, Bawasda (Inspektorat) dan DPRD berkumpul lagi di Hotel Golden Boutique Jalan Gunung Sahari Jakarta Pusat. 43
  • 44. Penulis dimintai bantuan oleh Kepala Bawasda Hengki Hermawan untuk meyakinkan isteri mudanya karena setiap saat selalau meneleponnya. Sangat boleh jadi, isterinya itu pencemburu sehingga selalu memantau aktivitas suaminya di Jakarta. Demi keselamatan keluarga Hengki Hermawan, penulis mau membantunnya dengan meyakinkan isterinya, bahwa suaminya Hengki Hermawan belum bisa pulang cepat-cepat ke Garut karena setiap hari harus memenuhi panggilan ke kantor KPK di Jakarta. Aktivitas di Hotel Golden Boutique yang tarifnya cukup mahal itu, selain untuk memudahkan KPK melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah pejabat menjelang penangkapan Agus Supriadi, selebihnya memang dijadikan ajang hiburan. Kenapa tidak, di hotel tersebut tersedia berbagai fasilitas hiburan termasuk wanita-wanita penghiburnya, selain wanita lokal ada pula wanita asing seperti dari China, Hongkong dan Korea. (*). Media Massa dan Kejatuhan Agus Supriadi Sosok Agus Supriadi terbilang dekat dengan kalangan pers. Ketika proses pencalonannya sebagai bupati Garut selalu dikerubuti wartawan ketika ia dan keluarganya tinggal di rumah kontrakan di Jalan Pajajaran Garut. 44
  • 45. Kepemimpinan Agus Supriadi yang sarat kontroversi, tentu saja menjadi buruan wartawan. Tidak heran, berita tentang bupati Agus Supriadi selalu menghiasi halaman surat kabar dan menjadi gunjingan di kalangan masyarakat. Keberanian Agus Supriadi semakin kentara ketika mengancam akan menggergaji pipa kilang gas bumi Darajat yang dikelola PT. Chevron Texaco Energi Indonesia (CTEI), sebuah perusahaan asing milik Amerika Serikat sebelum persoalan yang berkaitan dengan bagi hasil bagi pemerintah daerah belum diselesaikan secara baik dan menguntungkan bagi Kabupaten Garut. Gaya kepemimpinannya yang keras, tegas dan disiplin membuat gerah para petinggi birokrasi di lingkungan pemda Garut, apalagi tersiar kabar bahwa untuk mendapatkan promosi jabatan harus menyetorkan sejumlah uang. Pejabat di lingkungan pemda Garut tidak bisa menerima gaya kepemimpinan Agus Supriadi yang penuh disiplin itu, karena mereka sudah terbiasa dipimpin bupati yang berasal dari sipil selama tiga periode, yaitu periode Momon Gandasasmita (1988-1993), Toharudin Gani (1993- 1998) dan Dede Satibi (1998-2003). Kendati tidak senang dengan gaya kepemimpinannya, namun masalah jabatan tetap menjadi incarannya para birokrat. Dalam kepemimpinan bupati Agus Supriadi, keberadaan geng birokrasi tidak menonjol justru geng-geng liar memanfaatkan nama bupati. 45
  • 46. Geng liar itu kebanyakan dari kalangan luar yang memang tidak terorganisir rapi seperti sehingga terkesan seperti “calo jabatan” tidak seperti di era kepemimpinan Dede Satibi dan kepemimpinan sekarang (bupati Aceng HM Fikri). Kondisi pemerintahan seperti itu menimbulkan prasangka buruk dari kalangan elit di Kabupaten Garut, bahkan sering muncul menjadi berita panas di salah satu stasiun radio lokal yang menampung aspirasi pendengarnya. Tentu saja gonjang-ganjing dari kabar yang memanas itu menjadi buruan wartawan untuk diinvestigasi yang kemudian munculah pemberitaan yang kerap membuat banyak kalangan terutama kalangan elit tidak menyenangi gaya kepemimpinan Agus Supriadi. Namun demikian, sosok Agus Supriadi tidak pernah menekan apalagi menakut-nakuti wartawan kendati dirinya berlatarbelakang tentara. Agus justru menempatkan wartawan sebagai mitranya, dan melalui peranan Anton Heryanto selalu mengeluarkan kocek APBD guna membantu tugas-tugas wartawan. Ketika perseteruan elit, terutama yang dimotori wakil bupati Garut Memo Hermawan maka gelombang ketidaksenangan terhadap Agus Supriadi semakin menguat. Awal kejatuhannya dipicu ketika Kepala Bappeda Iman Alirahman menyatakan mundur dari jabatanya yang kemudian diikuti oleh Anton Heryanto, sebagai Kepala Bidang Anggaran 46
  • 47. di Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) serta sejumlah pejabat lainnya. Pengunduran diri Iman Alirahman dan kawan-kawan membuat sejumlah surat kabar menempatkan berita tersebut di halaman muka. Akibatnya, tidak lama berselang gelombang aksi menurunkan Agus Supriadi nyaris tidak pernah berhenti bahkan gedung pendopo pun sempat dikepung para demonstran. Mundurnya Anton Heryanto, ternyata mendapat dukungan dari seluruh Fraksi di DPRD Garut. Bahkan Fraksi PKS yang kurang baik hubungannya dengan Anton Heryanto mendadak menyatakan dukungannya. Tidak hanya kalangan DPRD, tokoh keras seperti Ketua MUI Garut KH. Abdul Halim mendukung Anton Heryanto. Kiayi galak itu selalu berkomunikasi dengan Anton pasca mundurnya dari jabatan di Bagian Keuangan, padahal sebelumnya tidak pernah terjalin hubungan dekat antara KH Abdul Halim dengan Anton Heryanto. Ketika gelombang aksi semakin memanas, dalam waktu bersamaan tim dari Komisi Pemberantasan Korupsi justru tengah melakukan penyelidikan dugaan terjadinya peyimpangan keuangan di pemda Garut. Para pejabat pemda Garut pun hampir dua pekan berada di Jakarta, dan membooking beberapa kamar di hotel Golden Boutique Jalan Gunung Sahari Jakarta Pusat. Sejumlah anggota DPRD Garut pun kerap muncul di hotel 47
  • 48. tersebut, bahkan Kepala Bawasda (Drs. Hengki Hermawan) mengaku ketakutan dan tidak pernah lepas dari senjata api yang dimilikinya untuk berjaga-jaga dari kemungkinan terburuk yang menimpa dirinya. Keberadaan sejumlah pejabat pemda Garut di Jakarta untuk memudahkan komunikasi dan pemeriksaan-pemriksaan yang dilakukan pihak KPK. Yang lumayan lama berada di Jakarta adalah para pejabat dari Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) dan dari Bawasda (sekarang Inspektorat Daerah). Akhirnya Agus Supriadi dipanggil KPK ke Jakarta tanggal 27 Juli 2007, dan tidak pernah kembali lagi hingga sekarang karena diganjar hukuman 10 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana korupsi (Tipikor). Ketika Agus Supriadi baru berada di tahanan Mapolres Metro Jakarta Selatan sekitar dua pekan, seorang aktivis Garut Hasanudin mengajak penulis mengunjungi Agus Supriadi di tahanan. Sesampainya di Mapolres Metro Jakarta Selatan, penulis tidak masuk dan hanya mengantarkan Hasanudin saja. Selanjutnya Hasanudin tetap berada di Jakarta dan di tempatkan di salah satu hotel bersama ajudan bupati Agus Supriadi yaitu Bambang. Kiprah Hasanudin di Jakarta, ternyata di luar dugaan mampu merubah kondisi yang dialami sejumlah pejabat di 48
  • 49. lingkungan pemda Garut atas ancaman yang disebut-sebut pernah diungkapkan Agus Supriadi. Hasanudin berhasil meluluhkan Agus Supriadi, diawali dari kedatangan Wakil Bupati Memo Hermawan menjenguknya di tahanan. Sejak itu pula para pejabat pemda Garut bergiliran mendatangi Agus Supriadi, sehingga saat itu ruang tahanan yang dihuni Agus Supriadi sekaligus menjadi tempat beraktivitas Agus Supriadi karena masih bersatatus sebagai bupati, seperti menandatangani surat-surat atau dokumen. (*) Agus Supriadi Anggap Enteng Memo Bupati Garut Agus Supriadi yang tampil elegan sebagai sosok perwira menengah TNI-AD sangat disegani oleh kalangan birokrat, namun secara politis Agus Supriadi belum teruji karena lebih banyak bertugas di pasukan tempur ketimbang di teritorial. Ketika ia memasuki ranah politik dan harus berhadapan dengan para politisi terutama wakil bupatinya Memo Hermawan, kurang cermat menghitung kalkulasi politiknya sehingga membiarkan Memo sekaligus memperlakukan seperti “anak bawang”. Memo nyaris tidak diberi peran dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan, bahkan dalam banyak hal Memo dibiarkan liar. Padahal Memo diam-diam menggalang 49
  • 50. kekuatan di jajaran birokrasi yang dimotori oleh Iman Alirahman dan Anton Heryanto serta Wawan Nurdin. Sejumlah pejabat di lingkungan pemda Garut banyak yang mengakui kehebatan Memo walau pun Memo sering disebut-sebut tidak jelas sekolahnya. Ir Widyana CES, jebolan IPB dan pernah lama di lingkungan pemda Bekasi yang kemudian beberapa kali menduduki jabatan eselon II di pemda Garut, adalah salah satunya yang mengakui kecerdikan, kepintaran dan kehebatan Memo Hermawan. Memo memang bukan politisi yang jago pidato (orator), melainkan jago dalam hal strategi. Ia piawai membangun jaringan dengan berbagai kelompok, tidak heran jika kelompok yang menyerangnya berkaitan dengan dugaan penggunaan ijazah palsunya justru berbalik menjadi pendukung Memo. Hal itu tidak disadari oleh Agus Supriadi, karena boleh jadi Agus Supriadi tetap beranggapan bahwa Memo tidak jelas sekolahnya dan tidak membahayakan dirinya, karena memang orang bodoh. Kalau saja orang-orang dekat Agus Supriadi, terutama staf ahlinya memberi masukan bagaimana bahayanya seorang Memo Hermawan, maka dapat dipastikan bupati Agus Supriadi tidak akan jatuh di tengah jalan. Staf ahli bupati saat itu dari kalangan politisi ada Machyar Suara, dari akademisi ada Prof.DR. Ali Ramdani, dari kalangan aktivis ada Usep Sobar. Bahkan satu lagi dari kalanga aktivis yang tidak terstruktural yaitu Agustiana. Para staf ahli itu tidak mungkin tidak memiliki referensi tentang 50
  • 51. kecerdikan Memo dalam berpolitik, atau pura-pura tidak tahu sehingga tidak dijadikan program dan strategi bahasan bersama bupati Agus Supriadi. Atau sangat boleh jadi membiarkan Memo dengan bola panasnya karena staf ahli pun menghendaki agar bupati Agus Supriadi jatuh di tengah jalan. (*). Kalau Tidak Ikut Mundur “Kalau saja waktu itu saya tidak ikut mundur, saya jamin pak Agus Supriadi tidak mungkin jatuh dari jabatannya sebagai bupati.” Demikian diungkapkan Anton Heryanto kepada penulis. Anton Heryanto yang saat itu tengah disibukan dengan masalah keuangan, pada hari Jum’at (lupa tanggalnya) di bulan Juli 2007 pagi hari datang Iman Alirahman ke ruangan kerjanya. Iman bicara panjang lebar tentang situasi di pemerintahan, salah satunya adalah bekerja seperti robot dan sapi perahan oleh bupati Agus Supriadi. Iman menyampaikan niatnya kepada Anton untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Kepala Bappeda pada Jum’at sore hari itu yang kebetulan akan mengikuti breefing bersama bupati Agus Supriadi. Betul juga, setelah breefing Iman kembali menemui Anton di kantornya yang hanya berjarak beberapa meter saja 51
  • 52. dari gedung Pendopo. Iman menyampaikan keputusannya bahwa ia sudah mundur dari jabatan Kepala Bappeda langsung disampaikan ke bupati. Anton menyatakan siap mengikuti langkah Iman, yaitu mundur juga dari jabatannya dan akan menggelar jumpa pers esok harinya (hari Sabtu). Sejumlah media massa sontak memuat pernyataan Iman dan Anton yang mengundurkan dari jabatannya masing- masing. Hari Senin di acara apel pagi, bupati Garut Agus Supriadi sangat marah kepada Iman dan Anton yang disampaikannya dalam pidato di depan peserta Apel. “Si Iman dan si Anton adalah pengkhianat karena sudah mundur dari jabatannya.” Situasi setelah mundurnya Iman dan Anton semakin memanas. Wakil Bupati Memo Hermawan, yang memiliki kedekatan secara personal dengan pejabat di Komisi Pemberantasan Korupsi meminta saran bagaimana menyikapi dugaan korupsi yang dilakukan bupati Agus Supriadi melalui hubungan telepon selular yang dikeluarkan suaranya (loudspeaker) disaksikan Anton Heryanto. Pejabat KPK menyarankan untuk mempercepat penangkapan bupati Agus Supriadi adalah dengan cara dilakukannya aksi unjuk rasa. Memo bersama Anton, Iman dan pejabat pemda lainnya mengumpulkan sejumlah logistik guna menggalang aksi unjuk rasa menuntut bupati Agus Supriadi mundur. 52
  • 53. Setelah gelombang aksi massa terus melakukan unjuk rasa ke kantor pemda, gedung DPRD, alun-alun bahkan mengepung gedung Pendopo sekaligus rumah dinas bupati, maka akhirnya tanggal 27 Juli 2007 KPK memanggil bupati Agus Supriadi ke Jakarta dan tidak kembali lagi (dilakukan penahanan). (*) Agus Tawari Iman jadi Sekda Bupati Agus Supriadi yang dikenal keras dan disiplin ternyata memiliki catatan tersendiri terhadap birokrat bawahannya yang mempunyai kemampuan dalam kinerjanya. Salah satunya ia memuji kecerdasan Iman Alirahman yang justru menjadi pemicu jatuhnya Agus Supriadi dari jabatannya sebagai bupati. Ketika Agus Supriadi berada di sel tahanan Polres Metro Jakarta Selatan atas peranan Hasanudin tiba-tiba antipati terhadap Achmad Muttaqien, yang saat itu masih menjabat sekretaris daerah. Bupati Agus Supriadi secara tegas akan segera mencopot Achmad Muttaqien, namun ia masih kesulitan mencari penggantinya sebagai pejabat pelaksana tugas (Plt) sekda. Dengan berbagai pertimbangan yang sekaligus didiskusikan dengan Hasanudin dan Ketua APDESI Asep Hamdani menjatuhkan plihannya ke Iman Alirahman. 53
  • 54. Melalui telepon genggam milik Ketua APDESI yang saat itu berada bersama bupati Agus Supriadi di kamar tahanannya menelpon penulis agar menghubungi Iman Alirahman guna menyampaikan tawarannya mau menjadi pejabat pelkasana tugas sekda Garut. Menurut Agus Supriadi, nama Iman Alirahman sangat pantas menjadi sekda. Penulis lalu menemui Iman Alirahman di kantor Bappeda menyampaikan pesan dan amanat dari bupati Agus Supriadi. Kebetulan di ruang kerja Iman Alirahman sudah ada Wawan Nurdin. Iman menyatakan akan piker-pikir dulu sekaligus mengonsultasikannya dengan Wakil Bupati Memo Hermawan. Memo Hermawan yang kemungkinan sudah mendapat laporan dari Iman Alirahman kemudian menelpon penulis dengan menyatakan bahwa Iman Alirahman jangan mau menerima tawaran dari bupati Agus Supriadi tersebut. Memo mengkhawatirkan tawaran itu sebagai sebuah jebakan dari Agus Supriadi, kendati Memo tidak menjelaskan secara rinci bentuk dan akibat dari jebakan Agus Supriadi. Bupati Agus Supriadi akhirnya secara resmi memberhentikan Achmad Muttaqien dari jabatan sekda, sekaligus mengangkat Budiman sebagai pelaksana tugas sekda. Waktu itu yang sudah merapat ke Agus Supriadi agar mengangkatnya sebagai sekda antara lain Yaya.S Permana, Wowo Wibowo dan Hilman Faridz. Agus Supriadi memang tidak sendirian dalam menentukan pilihannya mengangkat Plt sekda, karena dari kalangan aktivis selalu didampingi oleh Dadan, Deni Ramdani 54
  • 55. dan Ujang Saeful (Ujang Geren) dengan kelompok Dabo-Ribo- nya. Nama Ujang Geren adalah salah seorang aktivis yang komitmennya dengan Agus Supriadi sangat tinggi. Ia mempertaruhkan segala-galanya dalam membela Agus Supriadi, bahkan selalu mengawal Agus Supriadi dalam setiap persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Ketika Agus Supriadi mengusung Budiman sebagai Plt Sekda, justru Kepala Badan Kepagawaian Daerah (BKD) Ara Koswara menjadi tumbalnya karena dipecat oleh Memo Hermawan. Padahal Ara Koswara salah satu pejabat pemda Garut yang sangat setia membantu logistik bagi kepentingan Agus Supriadi setelah mendekam di tahanan. Ara Koswara dipersalahkan mengangkat Tenaga Kerja Kontrak (TKK) dengan imbalan uang pelicin. Padahal uang pelican tersebut dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu dengan menjual nama bupati. Sebut saja Hasanudin ikut menitipkan beberapa orang TKK, dan penulis termasuk yang menitipkan kakak sepupu yang berprofesi sebagai guru dan perawat sebagai TKK melalui Hasanudin. Dari kasus pengangkatan TKK, Ara Koswara pernah berurusan dengan aparat penegak hukum di Polres dan Kejaksaan Negeri Garut. Hanya saja kasusnya tidak berlanjut, dan Ara sendiri kini menjadi pejabat fungsional alias tidak diberi jabatan apa pun setelah diberhentikan dari jabatannya sebagai Kepala BKD. (*). 55
  • 56. Birokrat, Jaringan Politik dan Hukum Naiknya Agus Supriadi dan Memo Hermawan sebagai bupati dan wakil bupati tidak pernah lepas dari persoalan hukum. Apalagi Memo Hermawan sejak awal memang sudah bermasalah dengan hukum. Birokrasi yang secara de jure berada di bawah kekuasaan bupati namun faktanya de facto berada di bawah kendali Wakil Bupati Memo Hermawan dengan Iman Alirahman sebagai motornya. Kuatnya dominasi Memo dengan Iman Alirahman, semakin memperkuat kelompok birokrasi yang di bawahnya ada nama Hengki Hermawan, Anton Heryanto, Wawan Nurdin, Erlan Rivan, Kuparman dan Komar Mariyuana. Setumpuk persoalan hukum yang melilit Memo dan jajaran pejabat birokrasi lainnya selalu dapat diselesaikan dengan menggunakan kekuatan politik. Kekuatan tersebut tidak terlepas pula dari ajang perebutan kekuasaan, sehingga ada kelompok yang diuntungkan secara hukum namun ada pula kelompok yang justru jatuh karena hukum. Sebut saja Ketua DPD Partai Golkar Garut, Drs. H. Ruhiyat Prawira MSi, adalah bukti dari kekuatan politik yang tidak pernah mengenal kompromi ketika sudah berhadap-hadapan dengan kepentingan kekuasaan. Ketika Memo Hermawan naik menjadi Penjabat Bupati Garut, saat itu pula peta perpolitikan Garut merubah 360 derajat. Anton Heryanto yang merupakan tokoh kunci dan tokoh pada jamannya Agus Supriadi justru didepak dari 56
  • 57. kelompok Memo-Iman. Bahkan Anton harus mengalami nasib terburuk yaitu digelandang di Kejaksaan Negeri Garut hingga ke persidangan di Pengadilan Negeri Garut. Korban berikutnya adalah sekda Garut Drs. Wowo Wibowo, yang terpaksa selain dicopot dari jabatannya malah sempat meringkuk di sel tahanan Mapolda Jawa Barat. Beruntung Wowo Wibowo dinyatakan bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Garut. Jaringan birokrasi yang dimotori Memo Hermawan, dengan tangan kanannya Iman Alirahman dan Wawan Nurdin terbukti sukses memuluskan pasangan Aceng HM Fikri-Diky Candra terpilih menjadi bupati dan wakil bupati Garut periode 2009-2014, dan mengantarkan Memo Hermawan menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Barat. Iman Alirahman sendiri dipercaya menjadi pejabat sementara sekda Garut setelah ditinggalkan Wowo Wibowo. Sosok Wawan Nurdin sebagai birokrat memiliki jaringan yang sangat luar biasa luasnya di institusi penegakan hukum, yaitu di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Ia memiliki kemampuan mengatur pejabat dan politisi yang tersandung masalah hukum, sehingga kasusnya bisa terhenti atau menggantung. Pejabat dan politisi yang dibantunya terdiri dari dua kelompok, Pertama mereka yang memiliki dana kuat dan merupakan kelompoknya, sehingga secara politis harus mengikuti permainan Wawan Nurdin bersama kelompoknya. Kedua, yaitu pejabat dan politisi yang hanya memiliki dana 57
  • 58. namun bukan dari kelompoknya. Yang terkahir ini, jika sukses lolos dari jeratan hokum maka secara otomatis harus tunduk dan masuk kelompok Wawan Nurdin. Wawan Nurdin pernah bercerita kepada penulis tentang masalah hukum yang dihadapi mantan Kasubbag Keuangan di BPKD Erlan Rivan. Wawan Nurdin mau membantunya asal ada uang tidak lebih dari satu milyar rupiah. Dana sebesar itu tidak ada artinya dibandingkan dengan jabatan dan kehormatan. Erlan ternyata meragukan kemampuan Wawan Nurdin, akhirnya mencari jalan sendiri dan menurut Wawan Nurdin dana yang dikeluarkan Erlan Rivan hingga diputus oleh Pengadilan diperkirakan mencapai lebih dari dua milyar rupiah, atau jauh lebih besar jika diurus oleh Wawan Nurdin. (*). Politisi Rebut Pemerintahan Lengsernya Wowo dari jabatan sekda, semula akan memuluskan Iman Alirahman sebagai penggantinya. Namun lagi-lagi sandiwara perebutan kekuasaan tidak terhindarkan. Birokrat senior Hilman Faridz tiba-tiba menyodok dengan mendapat dukungan dari banyak kalangan termasuk para politisi. Kelompok Iman dengan kekuatan kekuatan politiknya menyadari bahwa kekuatan Hilman semakin besar bahkan 58
  • 59. disebut-sebut mendapat dukungan dari Gubernur Jawa barat melalui jaringan partai tertentu. Jalan Hilman menuju jabatan sekda tak terelakan lagi, namun kubu Iman tidak tinggal diam jauh-jauh hari sudah dipersiapkan perangkat untuk menghentikan langkah Hilman, yaitu dengan keluarnya Peraturan Bupati Garut No. 131 Tahun 2009 Tentang Pembatasan usia pensiun bagi pejabat di lingkungan pemda Garut. Korban pertama dari Perbup tersebut, tentu saja adalah Hilman Faridz. Ia hanya menjabat sebagai sekda selama sembilan saja karena keburu terkena Peraturan Bupati. Sedangkan dua pejabat pemda lainnya yaitu Kadisdik Komar Mariyuana dan Asda I Arus Sukarna melenggang manis karena mendapat perpanjangan sebelum Peraturan Bupati diterbitkan. Politisi di Garut memang piawai dan cerdik dalam merebut kekuasaan di pemerintahan. Politisi pendukung Hilman harus diapresiasi karena mereka cerdik mengantarkan Hilman kendati belum berkuasa secara penuh karena hanya sembilan bulan. Politisi yang berada di belakang Iman Alirahman, juga harus diapresiasi karena mereka tidak pernah memudar semangatnya untuk menjadikan Iman sebagai penguasa di pemerintahan. Iman Alirahman memang sangat dikehendaki oleh bupati Aceng HM Fikri dan Wakil Bupati Diky Candra, karena pemimpin muda itu akan merasakan nyaman didampingi oleh sekdanya sekelas Iman Alirahman. 59
  • 60. Sosok Iman Alirahman, memang sangat disegani selain usianya relatif masih muda dibandingkan pejabat birokrasi eselon II lainnya juga memiliki kemampuan luar biasa dalam membangun jaringan baik jaringan politik maupun jaringan hukum. Iman memiliki seseorang yang sangat dipercayainya, yaitu Wawan Nurdin yang sudah bersahabat ketika Iman menjadi Camat Bayongbong dan Wawan Nurdin waktu itu menjadi Kepala Desa Bayongbong. Persahabatannya berlanjut hingga Wawan Nurdin diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan pemda Garut. Iman Alirahman dan Wawan Nurdin layaknya “gula dan manis-nya” yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Sebagai uji coba, Wawan Nurdin sempat diangkat menjadi Kepala Bidang Pemerintahan Desa di Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) menjelang perhelatan akbar pemilihan umum (Pemilu) Legislatif dan pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Jabatannya itu, justru sebagai sarana untuk menggalang kepala desa menyukseskan calon anggota DPRD Jawa Barat Bagus Wiwaha dan Mayjen (Purn) Yahya Sacawinata untuk DPR dari partai Demokrat. Nama Yahya Sacawinta, waktu itu disebut-sebut bakal menjadi Menteri Dalam Negeri jika SBY terpilih kembali menjadi presiden RI. Setelah pemilu selesai Wawan Nurdin kembali ke habitatnya, yaitu menjadi pejabat fungsional (jafung) di Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA). 60
  • 61. Beberapa pergantian pejabat di lingkungan pemda Garut dalam kepemimpinan bupati Aceng HM Fikri tidak terlepas dari peranan Wawan Nurdin dalam menempatkan sejumlah pejabat dari mulai eselon IV hingga eselon II. Kongkritnya, Wawan Nurdin adalah sosok birokrat yang sangat cerdik dalam menjabarkan sekaligus mengaktualisasikan pola yang dirancang Iman Alirahman dalam menguasai pemerintahan, politik dan hukum. (*) Wajah Wakil Rakyat (DPRD Garut) Wakil rakyat di DPRD Kabupaten Garut pasca tumbangnya rezim orde baru, memang menjadi sangat berkuasa. Jika periode pertama reformasi 1999-2004 yang diketuai Ir. Iyos Somantri dan Dedi Suryadi sangat ditakuti eksekutif. Apa yang diminta pimpinan DPRD tidak pernah ada yang ditolaknya. Bupati Dede Satibi dengan sekdanya Rahmat Sudjana, dan penguasa anggaran waktu itu Drs. Yaya S. Permana sebagai Asda III mampu mengatur semua keiinginan dan permintaan DPRD kendati pada akhirnya wakil rakyat tersandung masalah hukum, menyusul terendusnya penyimpangan dana APBD yang dikenal dengan APBD-gate. DPRD periode 2004-2009 semakin menguat setelah Dedi Suryadi (PPP) naik menjadi Ketua DPRD mengalahkan Kohar Somantri didukung oleh bupati Garut Agus Supriadi. Dedi Suryadi sebagai politisi muda yang cerdik dan energik 61
  • 62. diam-diam membangun jaringan dengan wakil bupati Garut Memo Hermawan melalui peranan Iman Alirahman-Wawan Nurdin-Anton Heryanto dari pihak birokrasi, diperkuat Hasanudin dari kelompok aktivis yang dikenal dekat dengan Dedi Suryadi. Kocek DPRD mengalir terus dari dana APBD baik yang mengalir secara normatif berdasarkan ketentuan yang ada maupun yang dilakukan “di belakang layar”, terutama dalam memuluskan Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) yang selalu diselesaikan secara “adat” jika kemudian diketahui ada yang tidak sesuai dengan kehendak DPRD. Memo Hermawan sebagai Wakil Bupati, dan Dedi Suryadi sebagai Ketua DPRD adalah dua sosok politisi yang tersandung masalah hukum. Jika kasus Memo masih terus menggantung di Polda dan Kejaksaan Tinggi (jalan di tempat), sementara kasus Dedi Suryadi sudah masuk ke Mahkamah Agung. Berkat jaringan politik dan hukum yang dilakukan para birokrat cerdik, maka kedua kasus tersebut pun dalam terselesaikan “secara adat”. Memo hingga kini tetap “aman” dan Dedi Suryadi sendiri justru dalam Putusan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung dinyatakan bebas. Memo akhirnya melenggang ke gedung DPRD propinsi sebagai anggota periode 2009-2014, sedangkan Dedi Suryadi terhenti melenggang ke Senayan (gedung DPR-RI) karena perolehan suaranya tidak signifikan dalam pemilu legislatif tahun 2009. 62
  • 63. Ahmad Bajuri diuntungkan oleh Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2010 sebagai implementasi dari UU No. 27 Tahun 2009 Bahwa yang berhak menjadi Ketua DPRD adalah dari partai pemenang pemilu. Akhirnya Lucky Lukmansyah harus rela di posisi sebagai Wakil Ketua DPRD. Golkar dan PDIP mendapat jatah pula untuk posisi wakil Ketua, yaitu Drs H. Ruhiyat Prawira dan Dedi Hasan Bahtiar. Penunjukan Dedi Hasan Bahtiar dari PDIP semata-mata karena condongnya Memo terhadap Dedi Hasan, yang sebelumnya Memo pun sempat meminta pendapat dan pandangan kepada Penulis jika Dedi Hasan menjadi Wakil Ketua DPRD. Pasca pemilu legislatif 2009 dengan kemenangan partai Demokrat, maka berubah pula wajah DPRD Garut karena politisi anak bawang Ahmad Bajuri tiba-tiba naik menjadi Ketua DPRD padahal yang dikehendaki penguasa di pemerintahan kabupaten Garut adalah politisi PPP. Bahkan fungsionaris partai Demokrat, yaitu H. Gunadi BSc menggebu- gebu memperjuangkan agar Ir. Lucky Lukmansyah Trenggana sebagai Ketua DPRD. Penulis sempat dihubungi H. Gunadi untuk memperjuangkan Lucky. Penulis, yang juga anggota KPU menyampaikan pendapat kepada H. Gunadi bahwa Lucky tidak mungkin bisa naik menjadi Ketua DPRD karena mekanismenya sudah diatur oleh PP No. 16 Tahun 2010 dan tidak ada mekanisme pemilihan pimpinan DPRD melainkan penunjukan sesuai perolehan kursi hasil pemilu 2009 63
  • 64. Wajah DPRD Garut periode 2009-2014 dari segi kualitas jauh berbeda dengan periode sebelumnya yang memiliki sejumlah anggota sekelas Dedi Suryadi, Kohar Somantri, Haryono, Dikdik Darmika, Gaos Syamdani, Ali Rohman. Di periode 2009-2014 hampir semua pemain baru, kecuali yang tersisa antara lain Lucky Lukmansyah, Ahmad Bajuri, Dedi Hasan Bahtiar dan Yogi Yudawibawa. Semuanya belum teruji sehingga bisa sekelas dengan wajah anggota DPRD periode sebelumnya. Hanya Lucky Lukmansyah yang lumayan teruji. Sedangkan Ahmad Bajuri masih harus banyak belajar, sehingga ia tidak pernah bisa lepas dari ketiak Wawan Nurdin dan Bagus Wiwaha. Wajah DPRD Garut sedikit tertolong dengan masuknya mantan pejabat pemda Garut, H Sobirin dari partai Demokrat. Sosok Sobirin memang cukup berpengalaman, maka tidak heran jika ia diposisikan sebagai Ketua Komisi C yang salah satunya membidangi masalah keuangan. Sobirin banyak terlibat di Panitia Anggaran (Panggar), yang setidak-tidaknya bias mengimbangi pihak eksekutif yang jago-jago dalam hal perhitungan anggaran. Dua anggota DPRD Garut terpilih dari Partai Golkar (Agus Ridwan, SH) dan dari PAN (Usep Jumhur) memperoleh kursinya dengan mengorbankan seniornya di partai masing- masing. Agus Ridwan mendepak Ojo Sukmana di Daerah Pemilihan Garut I berkat bantuan salah satu anggota Panitia 64
  • 65. Pemilihan Kecamatan (PPK) Karangpawitan Asep Irvan yang mengatur perolehan suara sehingga Agus Ridwan menyalip perolehan suara Ojo Kusmana. Padahal faktanya suara Ojo Kusmana jauh di atas suara yang diperoleh Agus Ridwan. Asep Irvan nyaris dipidanakan, namun penulis yang juga anggota KPU menyarankan kepada Ketua KPU Garut Aja Rowikarim, M.Ag sebaiknya Asep Irvan dipecat saja dari anggota PPK Kecamatan Karangpawitan. Asep Irvan akhirnya dipecat dan dalam pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2009 tidak lagi ikut serta dalam kegiatan kepemiluan di PPK Kecamatan Karangpawitan. Sedangkan Usep Jumhur dari PAN merebut kursi DPRD setelah calon terpilih urutan peraih suara terbanyak pertama H. Gaos Syamdani meninggal dunia sebelum pelantikan dilaksanakan. Mestinya pengganti H. Gaos Syamdani adalah Hj. Tinnekeu, namun isteri mantan Ketua DPD PAN Garut H. Sofwy Irvan itu dilaporkan ke Polres Garut dengan tuduhan penggunaan ijazan palsu SMA-nya. Akhirnya Hj. Tinnekeu menyatakan mengundurkan diri dari calon anggota DPRD dan belakangan sekaligus mundur dari keanggotaannya sebagai kader Partai berlambang matahari. Mundurnya Hj. Tinnekeu memuluskan Usep Jumhur yang berada di posisi ketiga menjadi anggota DPRD Garut periode 2009-2014, dan di internal PAN masa bakti Usep Jumhur hanya 2,5 Tahun karena berikutnya akan diganti oleh calon urutan ke 3 Haris. 65
  • 66. Begitulah percaturan politik dalam merebut kekuasaan menghalalkan segala cara, termasuk menari di atas penderitaan temannya sendiri yang penting kekuasaan dapat digenggamnya. ( *). Skandal Seks yang Di peti es kan Adalah satu-satunya anggota DPRD Garut dari Partai Gerinda, Hilman Yudiswara tersandung masalah pelecehan seksual karena membawa gadis di bawah umur ke salah satu hotel di kawasan wisata Cipanas. Hilman dilaporkan oleh orang tua gadis yang dikencaninya ke polisi. Hilman pun ditetapkan sebagai tersangka, namun kasusnya hingga kini lenyap ditelan bumi (dipeti es kan). Dipetieskannya kasus Hilman berawal ketika Hilman bersama ayahnya menemui penulis di kantor Redaksi Garoet Pos. Mereka meminta bantuan penulis agar kasusnya dapat diselesaikan tanpa harus berlanjut ke ranah hukum. Alasan menemui penulis karena penulis salah satu anggota KPU. Penulis menyarankan agar menemui Hasanudin (aktivis) yang diketahui penulis punya kedekatan khusus dengan Kapolres Garut waktu itu AKBP. Amur Candra dan Kasatreskrim AKP. Oon Suhendar. Penulis kemudian mempertemukan Hilman dan ayahnya dengan Hasanudin di restoran Pujasega. 66
  • 67. Selanjutnya Hasanudin bekerja untuk Hilman dengan menggunakan lobi-lobi intensif di Polres Garut. Hasilnya, kasus Hilman dipetieskan bahkan sekarang Hilman melenggang menjadi Ketua DPC Partai Gerinda Kabupaten Garut. Hasanudin sempat mengeluhkan kekecewaannya kepada penulis setelah sukses membantu Hilman yang kasus pidananya tidak berlanjut. Hilman dianggap politisi kemarin sore yang tidak komit atas penyelesaian kasusnya. Bahkan Hasanudin menyatakan politisi seperti Hilman tidak bisa diandalkan. Hal yang sama dialami oleh Bendahara DPD PAN Garut, Hj Tinekeu yang dilaporkan oleh kader PAN ke Polres dengan dugaan menggunakan ijazah palsu dalam pencalonannya sebagai anggota DPRD Garut pada Pemilu 2009. Hj. Tinekeu adalah calon anggota DPRD Garut dari Daerah Pemilihan Garut 2 meliputi kecamatan Tarogong Kaler, Tarogog Kidul, Banyuresmi, Samarang dan Pasirwangi. Ia seharusnya menggantikan H. Gaos Syamdani yang meninggal dunia sebelum pelaksanaan pelantikan anggota DPRD Garut hasil pemilu 2009. Hj. Tinnekeu tidak dikehendaki menggantikan Gaos Syamdani, maka didongkel-lah dugaan penggunaan ijazah palsunya. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Garut kerja keras menangani proses pergantian antar waktu (PAW), dan anggota KPU Garut M. Iqbal Santoso dan pegawai di 67
  • 68. Sekretariat KPU sempat diperiksa sebagai saksi setelah Hj. Tinnekeu ditetapkan sebagai tersangka. Lagi-lagi istilah “politik itu kejam”, memang benar dan dialami oleh Hj Tinnekeu yang harus menyatakan mundur dari pencalonannya sebagai anggota DPRD Garut terpilih karena ada deal politik tidak akan dilanjutkan perkaranya di kepolisian. Terbukti sudah, setelah Hj Tinnekeu menyatakan mundur lalu DPRD dan KPU memproses pergantian antar waktu (PAW), kemudian keluarlah surat keputusan Gubernur Jawa Barat yang menetapkan dan mengangkat Usep Jumhur sebagai pengganti Hj Tinnekeu maka kasusnya di Polres Garut hingga kini raib ditelan bumi alias dipeti es kan.(*) Anggota DPRD Diincar Penegak Hukum Penegak hukum terutama dari Polres Garut mulai mengincar dan membidik anggota DPRD, yang diduga menerima aliran bantuan sosial (bansos) dan dana alokasi khusus (DAK) di Dinas Pendidikan. Anggota Fraksi Partai Demokrat Ny. Euis Komariah kepada penulis mengaku didatangani sejumlah anggota polisi berseragam ke gedung DPRD Garut meminta keterangan seputar aliran DAK dari Disdik, karena diduga sejumlah anggota dewan mendapat jatah proyek yang didanai dari DAK tersebut. 68
  • 69. Anggota dewan yang satu ini terbilang vokal sehingga meminta petugas dari kepolisian itu untuk tidak meminta keterangannya di gedung DPRD melainkan secara resmi di Markas Kepolisian Resort Garut dengan berita acara pemeriksaan. Dengan begitu, menurut Ny. Euis Komariah bisa leluasa berbicara apa adanya berkaitan data dan keterangan yang dibutuhkan pihak kepolisian. Namun ternyata tidak ada kelanjutannya, dan masih menurut Ny Euis Komariah yang biasa dipanggil dengan panggilan “bunda” itu padahal dirinya sudah sangat siap. Namun belakangan malah Ketua Komisi D, dr. Helmi Budiman yang membidangi pendidikan dan kesehatan sudah dimintai keterangannya. Dana Alokasi Khusus (DAK) di Dinas Pendidikan memang sangat besar, selain ada proyek pengadaan buku, ada juga proyek pembangunan dan rehabilitasi sekolah- sekolah. Kabar yang merebak proyek-proyek tersebut sudah ada yang memegang oleh pihak-pihak yang memiliki akses termasuk di kalangan anggota DPRD. Karena menumpuknya proyek di Dinas Pendidikan mengakibatkan bupati Garut Aceng HM Fikri mengalami kesulitan mencari penggganti Kepala Dinas Pendidikan yang ditinggalkan Komar Mariyuana setelah resmi pensiun. Kesulitan tersebut sangat boleh jadi berkaitan dengan pengamanan proyek yang terlanjur sudah didistribusikan ke banyak pihak, karena sangat sulit mencari figur Kepala Dinas 69
  • 70. Pendidikan setangguh Komar Mariyuana yang dikenal dekat dengan aparat penegak hukum. Kerja ekstra keras berpulang kepada sekda Garut Iman Alirahman untuk mengamankan semua persoalan yang ada di lingkungan pemda Garut, tidak terkecuali masalah yang menumpuk di Dinas Pendidikan, termasuk yang melibatkan anggota DPRD. Lagi-lagi Iman diuji kemampuannya, kepiawaian menggalang jaringan dan kekuatan hukumnya agar semua persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan baik seperti motto Pegadaian “menyelesaikan masalah tanpa masalah”. (*) Aktivis dan Proyek D.A.K Buku Jika anggota DPRD bermain dalam proyek yang didanai dari Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan sudah tidak aneh lagi. Kalau seorang aktivis bermain dalam proyek yang sama, memang aneh apalagi melibatkan pejabat penegakan hukum untuk memuluskan perolehan proyeknya. Adalah Direktur Pusat Informasi dan Studi Pembangunan (PISP) Hasanudin, dengan menggaet Kepala Satuan Reserse Polres Garut AKP. Oon Suhendar berhasil melumpuhkan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Garut Komar Mariyuana dan jajarannya sehingga proyek D.A.K buku 70
  • 71. yang nilainya 1,8 milyar rupiah diraih oleh Hasanudin dengan mengusung bendera PT. Mangle Panglipur. Hasanudin pernah bercerita kepada penulis bagaimana kerasnya “berperang” melawan pesaing-pesaingnya dalam memperebutkan proyek tersebut bahkan tangan kanan bupati Garut Isur Suryana yang membawa pengusaha kuat harus terpental oleh kepiawaian Hasanudin dengan gayanya yang khas memanfaatkan ketakutan jajaran birikrat di Dinas Pendidikan oleh pejabat di Polres Garut. Hasanudin mengaku kecewa karena pengusaha dari Jakarta yang meminjam bendera PT. Mangle Panglipur tidak konsisiten atas komitmen yang disepakatinya menyangkut “komitmen fee” sebesar sepuluh (10) persen dari nilai proyeknya. Dari fee yang diperoleh Hasanudin dialirkan ke beberapa pihak, terutama ke pejabat di Polres Garut, pejabat di Dinas Pendidikan, pejabat di pemda Garut yang terlibat dalam panitia lelang, seperti Kepala Bagian Pengendalian Pembangunan Heri Suherman, SE. Penulis sendiri kecipratan sebesar tiga juta rupiah, karena saat itu Hasanudin tahu bahwa penulis sedang kesulitan uang untuk membayar sewa kontrak kantor Redaksi SKU Garoet Pos yang sudah habis masa kontraknya dan pemiliknya hampir tiap hari mempertanyakan apakah akan dilanjutkan atau tidak sewa kontraknya. Hasanudin yang kebetulan numpang aktivitasnya di kantor penulis mengaku kewalahan menghadapi sejumlah 71
  • 72. orang yang meminta bagian dari fee proyek buku DAK itu, termasuk sejumlah wartawan. (*) Desakan PAW DPRD Garut hasil pemilihan umum 2009 terus digoyang kelompok masyarakat tertentu, menyusul beberapa anggota DPRD yang bermasalah hukum, terutama tiga anggotanya dari Fraksi partai Golkar, yaitu Wakil Ketua DPRD H. Ruhiyat Prawira, Ketua Fraksi Rajab Prinaldi, dan Agus Ridwan. DPRD kerap didatangi kelompok masyarakat yang mendesak agar tiga anggota DPRD tersebut diberhentikan karena dianggap sudah tidak memenuhi syarat setelah dinyatakan bersalah oleh pengadilan sebelum yang bersangkutan dilantik menjadi wakil rakyat. Sekretaris DPRD Garut Ny. Farida Susilawati mengakui berdatangannya kelompok masyarakat yang mendesak dilakukannya pergantian antar waktu (PAW) anggota DPRD itu. Hal yang sama dibenarkan oleh anggota Fraksi partai Demokrat Ny. Euis Komariah. Bahkan menurut Ny. Euis Komariah kelompok masyarakat yang mendesak PAW itu menuding KPU menerima uang pengamanan dari anggota DPRD yang bermasalah agar tidak di-PAW. Tentu saja KPU Garut tidak terima tuduhan yang menyakitkan itu, karena bagi KPU tidak pernah menunda- nunda Pergantian Antar Waktu (PAW) jika prosesnya 72
  • 73. ditempuh berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setahu penulis bahwa mekanisme PAW diawali dari pengusulan partai politik ke DPRD untuk memproses Pergantian Antar Waktu (PAW), yang surat dan dokumen- dokumen lainnya ditandatangani oleh ketua dan sekretaris partai bersangkutan. Selanjutnya DPRD mengusulkan ke KPU agar melakukan verifikasi, dan pihak KPU membentuk Kelompok Kerja PAW, dengan anggota pokjanya selain dari KPU juga melibatkan unsur pemerintah daerah dan sekretariat DPRD. Jika hasil verifikasi sudah terpenuhi maka KPU mengajukan usulan ke Gubernur Jawa Barat untuk menerbitkan surat keputusan pemberhentian dan pengangkatan anggota DPR yang terkena pergantian antar waktu (PAW). Kelompok penekan/pressur PAW ke DPRD Garut, diduga kuat ada muatan-muatan politis tertentu tanpa memahami prosedur yang diamanatkan oleh peraturan perundang- undangan sehingga dengan arogan dan kejinya menuduh KPU main mata dengan tuduhan menerima aliran dana dari anggota DPRD yang bermasalah. KPU Garut baru menyelesaikan satu kali pergantian antar waktu (PAW) dari Partai Amanat Nasional (PAN), itu pun prosesnya memakan waktu cukup lama karena permasalahan di internal partai cukup alot juga sehingga pemberkasan bolak-balik antara KPU-DPRD dan PAN. (*). 73
  • 74. Tebang Pilih Penanganan Hukum Penegakan hukum pasca tumbangnya rezim orde baru memang semakin kencang terutama yang berhubungan dengan pejabat dan wakil rakyat. Akan halnya di abupaten Garut dimulai dengan diseretnya pimpinan DPRD Garut periode 1999-2004, kemudian mnyusul bupati Garut H. Agus Supriadi. Setelah itu berturut-turut mantan Kepala Dinas Pasar Drs. Djohansyah Kustiaman, mantan Sekda Garut H. Achmad Muttaqien, dan mantan Sekda Wowo Wibowo, mantan Kabag Keuangan Kuparman, mantan pejabat di di BPKD Anton Heryanto, Erlan Rivan, Enjang dan lain-lain. Dari pihak DPRD, tercatat nama mantan Wakil Ketua Dikdik Darmika, Barman Sachyana (alm), Ofie Firmansyah, Ali Rohman. Politisi sekaligus pengusaha H. Ruhiyat Prawira, Rajab Pirnandi, Endang Suhendar, Agus Ridwan. Sedangkan mantan Kepala Dinas PU Bina Marga, Ir. Deni Suherlan dan sejumlah pejabat di bawahnya, kemudian mantan pejabat di Bagian keuangan Totong, SE.,M.Si dan Dra. Aneu Hayati, M.Si yang sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak tahun 2004 hingga kini terus menggantung bahkan Deni Suherlan diangkat menjadi Kepala Dinas Bangunan dan Pemukiman (sekarang Dispertacip). Totong dan Aneu Hayati justru saat ini menjadi Kepala DPPKA dan Kepala Bidang Perimbangan di DPPKA. 74
  • 75. Kepiawaian orang atau pihak yang menggantung kasus tersebut memang luar biasa. Bayangkan saja, tersangka dari kalangan pengusaha yaitu H. Ocad Rosadi yang sempat berstatus tahanan kota setelah dijatuhi hukuman empat tahun kini beada di sel tahanan. Hal yang sama juga dialami mantan bupati Garut H. Agus Supriadi yang dijatuhi hukuman 10 tahun oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Agus Supriadi termasuk yang terkait kasus serupa bersama Ocad Rosadi, Totong dan Aneu Hayati dalam aliran dana pembayaran pembangunan pasar Cikajang. Penulis sempat berbincang-bincang dengan salah seorang Jaksa di Kejaksaan Negeri Garut, kenapa Totong digantung. Menurut Jaksa tersebut karena Totong adalah pejabat yang berada pada jabatan panas. Maksudnya yaitu jabatan yang mengelola keuangan daerah. Belakangan Kepala Dinas Bina Marga H. Atang Subarzah, juga sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jabar, namun lagi-lagi prosesnya menggantung. Kesan tebang pilih penanganan hukum tidak bisa dipungkiri lagi. Faktanya, Memo Hermawan, Deni Suherlan, Totong, Aneu Hayati, Ahmad Bajuri (Ketua DPRD), Atang Subarzah nyaris tidak terusik lagi. Hal yang sama, diawal kepemimpinan bupati Aceng HM. Fikri sempat berurusan dengan Polda Jabar dari dugaan penerimaan penerimaan dana bantuan sosial untuk kegiatan istigosah sewaktu bupati Agus Supriadi. Lagi-lagi penanganan 75