SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  35
Télécharger pour lire hors ligne
TUGAS
             EVALUASI PENENTUAN
KAWASAN EKONOMI KHUSUS (KEK) DI JAWA TENGAH - DIY



                      DOSEN:
       PROF. DR. MUDRAJAD KUNCORO, M.Soc.Sc.




                      OLEH:
                ABDUL AZIZ AHMAD
                     S3 – 1967




             UNIVERSITAS GAJAH MADA
                   YOGYAKARTA
                       2007
DAFTAR ISI

JUDUL
DAFTAR ISI

ABSTRACT..................................................................................................................................    1

PENDAHULUAN.........................................................................................................................          1

METODOLOGI ............................................................................................................................       3
    A. Aglomerasi dan Pusat pertumbuhan....................................................................................                   3
    B. Metode Analisis..................................................................................................................      4
          1. Tipologi Daerah .............................................................................................................    5
          2. Analisis Location Quotients (LQ)..................................................................................               5
          3. Analisis Spesialisasi Regional .......................................................................................           8
          4. Analisis Konvergensi.....................................................................................................        8
          5. Analisis Perbedaan Kinerja Kawasan Andalan dan Kawasan Bukan Andalan .............                                               9

HASIL ANALISIS........................................................................................................................       10
    A. Lokasi Wilayah KEKI Jawa Tengah dan Tipologi Daerah.................................................                                  10
    B. Sektor Unggulan Kabupaten/Kota.......................................................................................                 14
    C. Analisis Spesialisasi Regional.............................................................................................           18
    D. Analisis Konvergensi Wilayah............................................................................................              20
    E. Analisis Logistik..................................................................................................................   21

KESIMPULAN .............................................................................................................................     23

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................           25


LAMPIRAN




                                                                                                                                              1
EVALUASI PENENTUAN
             KAWASAN EKONOMI KHUSUS (KEK) DI JAWA TENGAH – DIY

                                        Abdul Aziz Ahmad



                                            ABSTRACT

        This research evaluates determination of Special Economic Region or Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK) in Central Java – Yogyakarta Province. In these provinces, the per capita income
shows convergence in 2000 to 2004. Despite the convergence value is categorically low, it is
adequate to shows that economic development in each regency and town in Central Java –
Yogyakarta run in proper way. It is so that the poor regencies/towns are growing faster than the
richer regencies/towns. It implies the right determination of KEK will stimulate each periphery
areas, especially poor regions, to increase their economic performance faster.
         On regional typology aspect, counted by economic growth and per capita income,
determination of KEK by Central Java Governor tends not to base by the factors. It is proofed by
Demak, Rembang and Blora Regency which enacted to be special economic region even these
regencies left behind other regions relatively.
         Nevertheless, Kendal Regency that planned to be basis of Central Java KEK has superiority
and keeps the potency in industrial sectors. But in regional typology, this area is classified by
advanced but suppressed region; high per capita income but low economic growth.
         Alternatively, Joglosemar triangle area has interesting note. The three towns: Yogyakarta,
Surakarta and Semarang Town, the typology area is advance and grow faster. These areas also have
better infrastructure than other regencies/towns. The development in Joglosemar corridor will have
positive agglomeration effect to contiguous areas.
         Last, logistic model shows that the determination of Central Java KEK that enacted by
province governor tends not to consider economic growth, per capita income and specialization
index factors. It is proofed by these factor are not significant to evaluate the proper of special and
non special economic region. Alternatively, if the factors is used to be an economic base to predict
special economic area, Joglosemar and the regions that have the typology classified by advance and
grow faster will be a better choice.

Keyworlds, KEK, regional typology, logistic model


PENDAHULUAN
       Satu program khusus untuk mendorong investasi yang diluncurkan pada awal tahun 2006
adalah upaya untuk mengembangkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Kawasan ini, selain
ditujukan untuk mendorong pertumbuhan wilayah, juga diharapkan dapat menarik penanaman modal
ke wilayah-wilayah itu. Dengan adanya Kawasan Ekonomi Khusus, diharapkan akan membuka
lapangan kerja baru bagi masyarakat di sekitarnya. Komitmen daerah untuk memangkas
birokrasinya, menghilangkan pungutan-pungutan yang membebani kegiatan usaha, menyediakan dan
mengamankan lahan yang sesuai serta dukungan penuh dari Pemerintah Daerah, merupakan kunci
keberhasilan Kawasan Ekonomi Khusus (Yudhoyono, 2006). Lebih lanjut, pembentukan KEKI
diharapkan akan mampu menyerap tenaga kerja langsung maupun tidak langsung, peningkatan
penerimaan devisa, meningkatkan keunggulan kompetitif produk ekspor, meningkatkan pemanfaatan

                                                                                                    1
sumber daya lokal, pelayanan dan kapital bagi peningkatan ekspor. KEKI diharapkan akan mampu
mendorong peningkatan kualitas SDM di kawasan tersebut.

         Sebagai upaya peningkatan investasi, ekspor dan percepatan pembangunan infrastruktur,
pemerintah telah mengeluarkan Inpres No. 3/2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi
dan SK Menko Perekonomian No. KEP-08/M.EKON/02/2006 (17 Februari 2006) tentang Paket
Kebijakan Infrastruktur. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi global, Indonesia perlu
memfokuskan peningkatan ekspor dan investasinya pada beberapa kawasan khusus. Kawasan khusus
inilah yang akan dikembangkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI).
         KEKI bukanlah konsep baru yang berlaku di Indonesia. KEKI merupakan kelanjutan
kebijakan program KAPET. Dulu sejumlah daerah masuk dalam KAPET. KAPET rata-rata berlokasi
di Kawasan Timur Indonesia yang Infrastrukturnya masih minim dan pemerintah belum mampu
mengembangkan infrastrukturnya, sehingga kesulitan mendapatkan investasi. Dengan KEKI yang
direkomendasikan, program diperkirakan lebih baik dari pada KAPET dan mampu berjalan karena
infrastruktur pendukungnya lebih siap. keberadaan KEKI diharapkan mendorong kegiatan ekspor,
meningkatkan investasi serta dapat menjadi pendorong pertumbuhan daerah sekitarnya (Anonim,
DPU, 2006).

         Sebagai tahap awal, KEK ini secara khusus diperuntukkan bagi pengembangan investasi di
Pulau Batam, Bintan dan Karimun (BBK). Dari KEK BBK tersebut, pemerintah menyatakan jika
model pengembangan ini berhasil, maka dapat dikembangkan KEK di provinsi lain yang memenuhi
persyaratan. Pembentukan KEK ini akan berbentuk kerja sama yang erat antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah serta partisipasi dunia usaha. KEK ini diharapkan akan merupakan simpul-simpul
dari pusat kegiatan ekonomi unggulan, yang didukung baik fasilitas pelayanan prima maupun
kapasitas prasarana yang berdaya saing internasional. Setiap pelaku usaha yang berlokasi di
dalamnya, akan memperoleh pelayanan dan fasilitas yang mutunya dapat bersaing dengan praktek-
praktek terbaik dari kawasan sejenis di Asia-Pasifik. Namun, pemerintah pusat menyatakan,
keberhasilan KEK pada akhirnya akan ditentukan oleh daerah itu sendiri dalam memangkas
birokrasi, memberi pelayanan prima, menjamin ketersediaan lahan dan menjamin kepastian hukum
(Anonim, 2006)

         Direktorat Jenderal Penataan Ruang mengusulkan pembentukan 12 Kawasan Ekonomi
Khusus. Ditjen Penataan Ruang yang dalam hal ini berperan sebagai Anggota Tim Pelaksana dalam
susunan Timnas KEKI yang dibentuk melalui SK Menko Perekonomian No. KEP-21/
M.EKON/03/2006 (24 Maret 2006) telah mengajukan kandidat KEKI untuk dikaji (Anonim, DPU,
2006).

         Disamping 12 Kawasan Ekonomi Khusus sebagai bahan kajian dari Ditjen Penataan Ruang,
terdapat berbagai usulan pendirian KEK untuk wilayah atau provinsi lain dari pihak pemerintah
daerah. Salah satunya adalah upaya pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang membahas penentuan

                                                                                               2
Kawasan Ekonomi Khusus. Pemerintah Provinsi ini mengusulkan dua wilayah yang potensial
menjadi kawasan ekonomi khusus. Pertama, Semarang-Kendal-Demak-Ungaran (Kabupaten
Semarang) dan kedua, Rembang-Blora. Pada akhirnya, keputusan penentuan KEKI di Jawa Tengah
mengerucut untuk usulan pertama saja dengan fokus pada wilayah Kendal. Titik berat pengembangan
di kawasan ini adalah pengembangan sektor industri. Beberapa pertimbangan dari pemerintah daerah
terkait dengan penetapan Kendal sebagai prioritas KEKI Jawa Tengah antara lain: KEKI di Kendal
akan menyerap tenaga kerja yang signifikan (Koran SINDO, 2007), terdapat beberapa investor yang
sudah dipastikan menanamkan modal di KEKI Kendal (Kompas, 2007) dan daerah Kendal adalah
daerah yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai KEK bagi industri otomotif, karena
tenaga kerja yang memadai dan infrastrukturnya mudah dibangun, serta lokasinya masih dalam
jangkauan industri komponen otomotif (Antara News, 2007)
       Terkait dengan upaya pengembangan kawasan ekonomi, khususnya di Jawa Tengah, topik
mengenai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Jawa Tengah menarik untuk dikaji. Meskipun terdapat
dorongan kuat dari pemerintah daerah, baik kabupaten maupun propinsi, untuk menentukan beberapa
daerah sebagai KEK, pemerintah pusat cenderung untuk tidak menerima pengajuan KEK dari
Propinsi Jawa Tengah. Hal ini terlihat pernyataan Sekretariat Wapres yang justru mengajukan usulan
agar lahan yang akan dikembangkan KEK di Jawa Tengah dibangun free trade zone terlebih dulu.
Alasannya, payung hukum yang mengatur keberadaan KEK belum siap (Kadin Jateng, 2007).
Meskipun demikian, upaya untuk mewujudkannya terlaksananya KEKI terus diupayakan oleh
BAPPEDA Jawa Tengah. Bappeda berupaya mengevaluasi peruntukan zona-zona di sekitar calon
lahan KEK. Pihak BAPPEDA menyatakan jika payung hukum berupa regulasi sudah keluar, maka
tinggal dilakukan penetapan Kendal sebagai salah satu KEK di Indonesia.
       Dari uraian di atas, penelitian ini berusaha untuk melakukan evaluasi ketepatan penentuan
daerah KEKI Jawa Tengah. Dengan posisi relatifnya yang sulit untuk dipisahkan dari daerah lain
(khususnya Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta), maka untuk melihat perekonomian daerah-
daerah di Jawa Tengah perlu pula melihat komparasi dengan daerah-daerah di DIY. Karena itu,
penelitian ini membatasi lingkup wilayah penelitian hanya pada wilayah Jawa bagian Tengah, yang
meliputi Propinsi Jawa Tengah dan DIY.



METODOLOGI

A. Aglomerasi dan Pusat Pertumbuhan
       Aglomerasi merujuk pada clustering perusahaan-perusahaan di lokasi tertentu di suatu
daerah perkotaan. Dampak dari kluster ekonomi adalah memunculkan kesempatan kerja baru di
daerah itu. Maoh dan Kanaroglou (2004) menyatakan bahwa klaster merupakan upaya vital dari
suatu daerah untuk menstimulasi pertumbuhan di area perkotaan. Manfaat dari ekonomi aglomerasi
dan peran dari pertumbuhan perkotaan pertama kali diperkenalkan oleh teori Marshall. Ia

                                                                                                3
memberikan argumentasi bahwa kegiatan ekonomi eksternal seperti pooling pasar tenaga kerja, input
sharing dan technological spillover yang mendorong level produktivitas suatu kota akan mendorong
pertumbuhan ekonomi. Maoh dan kanaroglou (2004) menunjukkan terdapat bukti-bukti empiris dari
Glaeser (1992), Hanson (1996) yang telah mendukung teori Marshal tersebut.

        Dorongan ekonomi yang tercipta jika perusahaan-perusahaan membentuk cluster di suatu
ruang wilayah, yang juga dikenal dengan ekonomi aglomerasi, merupakan syarat bertahannya dan
kesuksesan dari suatu perusahaan. Maoh mencatat alasan dari hal ini antara lain adalah adanya faktor
keanekaragaman spasial, skala ekonomi internal, skala ekonomi eksternal dan persaingan tak
sempurna.

        Aglomerasi suatu daerah juga menunjukkan hubungan sentripetal dan sentrifugal yang
bergerak secara simultan. Hal ini dinyatakan oleh Krugman yang mempelopori pendekatan New
Economic Geography (NEG). Pendekatan ini menjelaskan tensi struktur geografi ekonomi
dipengaruhi oleh kekuatan dari dua faktor yang berlawanan tersebut. Pendekatan NEG tidak hanya
berfokus pada konsentrasi industri tertentu di suatu daerah, tetapi juga meliputi pendekatan pada
struktur vertikal produksi yang juga akan memungkinkan meningkatkan atau menurunkan
konsentrasi industri (Dahl, 2001).
        Pentingnya aglomerasi terkait pula dengan meningkatnya pangsa penjualan yang dihasilkan
oleh perusahaan-perusahaan di suatu wilayah terhadap wilayah lainnya. Aglomerasi juga akan
memberikan keterkaitan penting antara daerah pusat (core) dengan daerah sekitar. Jika ukuran
perusahaan di wilayah core meningkat maka permintaan input faktor akan meningkat (Ottaviano dan
Puga, 1997). Terutama jika input tersebut dapat disediakan oleh daerah pusat atau daerah sekitar.
Salah satu faktor pendorongnya adalah biaya transportasi yang lebih rendah jika input diperoleh dari
wilayah yang relatif lebih dekat dengan pusat industri.

        Pembentukan kawasan ekonomi khusus di Jawa Tengah – DIY pada penelitian ini dilihat
sebagai proses pembentukan aglomerasi di wilayah tertentu. KEK di wilayah ini merupakan
perencanaan kebijakan untuk menentukan suatu daerah menjadi pusat ekonomi dengan fokus pada
sektor industri. Dampak adanya KEK ini bukan hanya akan memberikan manfaat positif bagi
perkembangan ekonomi daerah utama (KEK), tetapi juga akan memberikan stimulasi positif
meningkatnya aktivitas ekonomi daerah sekitar KEK. Daerah koridor KEK ini terutama
diproyeksikan sebagai daerah penyangga untuk menyediakan input bagi daerah kawasan khusus.



B. Metode Analisis

        Penelitian ini mengkaji potensi ekonomi kabupaten/kota di wilayah yang ditetapkan sebagai
kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di wilayah Jawa bagian tengah, yang meliputi Propinsi Jawa
Tengah (Jateng) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan menentukan sektor-sektor basis
(unggulan). Menurut Kuncoro (2004) penentuan basis ekonomi merupakan salah satu tugas yang

                                                                                                  4
perlu dilakukan pada tahap pertama dalam proses perencanaan pembangunan ekonomi daerah. Selain
penentuan sektor ekonomi basis, perlu pula digambarkan kondisi tipologi di wilayah tersebut,
penggunaan analisis spesialisasi regional untuk mengetahui tingkat spesialisasi antar daerah dan
melihat ketepatan penentuan kawasan andalan berdasar faktor-faktor ekonomi yang ada.



1. Tipologi Daerah
       Tipologi Daerah menunjukkan gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi di
setiap daerah. Tipologi utama pada penelitian ini membagi daerah berdasarkan dua indikator utama;
pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah. Axis ditentukan sebagai berikut:
sumbu vertikal menunjukkan rata-rata pertumbuhan ekonomi, sumbu horizontal menunjukkan
pendapatan per kapita daerah. Daerah yang diamati dibagi menjadi empat klasifikasi (tabel 1)
berikut: daerah cepat maju dan tumbuh (pertumbuhan ekonomi tinggi dan pendapatan per kapita
tinggi), daerah maju tapi tertekan (pendapatan tinggi tapi pertumbuhan rendah), daerah berkembang
cepat (pertumbuhan tinggi tapi pendapatan rendah) dan relatif tertinggal (pertumbuhan dan
pendapatan rendah) (Kuncoro, 2004).


                  Tabel 1. Tipologi Daerah Berdasarkan Pertumbuhan Ekonomi
                                    dan Pendapatan Per Kapita

                                                       PDRB per kapita
                                              (yi < y)                    (yi > y)
                                       Pendapatan per kapita      Pendapatan per kapita
                       (ri > r)       rendah dan pertumbuhan     tinggi dan pertumbuhan
     Pertumbuhan                          ekonomi tinggi             ekonomi tinggi
     Ekonomi                           Pendapatan per kapita       Pendapatan per kapita
                       (ri < r)       rendah dan pertumbuhan      tinggi dan pertumbuhan
                                          ekonomi rendah              ekonomi rendah
       Sumber: Kuncoro (2004)


2. Analisis Location Quotients (LQ)
       Untuk mengidentifikasi subsektor-subsektor unggulan atau ekonomi basis dari wilayah
Kabupaten/Kota di Propinsi Jateng dan DIY akan digunakan alat analisis Location Quotients.
Subsektor ungulan yang berkembang dengan baik tentunya akan memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan daerah
secara optimal (Kuncoro, 2004).

       Formula yang digunakan untuk analisis Location Quotient (SLQ) adalah sebagai berikut
(Wagner, 2000);




                                                                                               5
e si
                         ei
           LQ =
                  es
                         e
Dimana;
           es i = nilai produksi subsektor s pada daerah kabupaten/kota
           ei   = total PDRB kabupaten/kota
           es   = nilai produksi sektor s pada Propinsi Jateng/DIY
           e    = total PDRB Provinsi Jateng/DIY
Kriteria hasil penilaian yang diterapkan adalah sebagai berikut (Kuncoro, 2004):

    1. LQ > 1, berarti tingkat spesialisasi sub sektor tertentu pada tingkat daerah kabupaten/kota
           lebih besar dari sektor yang sama pada tingkat propinsi
    2. LQ < 1, berarti tingkat spesialisasi sub sektor tertentu pada tingkat daerah kabupaten/kota
           lebih kecil dari sektor yang sama pada tingkat propinsi
    3. LQ > 1, berarti tingkat spesialisasi sub sektor tertentu pada tingkat daerah kabupaten/kota
           sama dengan sektor yang sama pada tingkat propinsi
           Jika suatu subsektor ekonomi memiliki nilai LQ > 1 dapat dikatakan bahwa subsektor
tersebut merupakan subsektor ungulan dari daerah kota/kabupaten. Sebaliknya jika LQ < 1, subsektor
tersebut bukan merupakan subsektor ungulan.
           Formula LQ tersebut bersifat statis atau Static Location Quotients (SLQ) karena hanya
melihat satu periode atau titik waktu saja. Model ini lemah karena tidak mampu melihat perubahan
spesialisasi secara periodik. Model tidak dapat melihat apakah suatu sektor yang unggul pada tahun
ini masih tetap menjadi sektor unggulan pada tahun yang akan datang. Demikian pula, model tidak
mengakomodasi jika sektor yang belum unggul pada saat ini akan menjadi sektor unggulan di masa
yang akan datang. Pada analisis ini, nilai SLQ yang dipergunakan adalah rata-rata SLQ dari setiap
SLQ yang dihasilkan pada setiap periode tahun penelitian.

           Untuk lebih mempertajam hasil analisis LQ, analisis yang ditambahkan adalah penggunaan
model Dinamic Location Quotient (DLQ). Model DLQ lebih baik dari model SLQ karena mampu
melihat perubahan LQ antar dua rentang periode waktu. Adapun formula yang digunakan untuk
analisis Dynamic Location Quotient (DLQ) adalah sebagai berikut (Kuncoro, 2005):
                                           t
          ⎡ ( 1 + g ij ) / ( 1 + g j ) ⎤           IPPS ij
   DLQij= ⎢                            ⎥       =
          ⎣ ( 1 + Gi ) / (1 + G ) ⎦                IPPS i

dimana:
     DLQij = Indeks potensi sektor i di kabupaten/kota j
     gij        = Laju pertumbuhan nilai tambah sektor i di kabupaten/kota j
     gj         = Rata-rata laju pertumbuhan PDRB kabupaten/kota j

                                                                                                6
Gi       = Laju pertumbuhan nilai tambah sektor i di regional Jateng + DIY
     G        = Rata-rata laju pertumbuhan PBRB regional Jateng + DIY.
     t        = Selisih tahun akhir dan tahun awal
     IPPSij = Indeks Potensi Perkembangan sektor i di kabupaten/kota
     IPPSi = Indeks Potensi Perkembangan sektor i di regional Jateng + DIY

          Adapun rumus untuk menentukan laju pertumbuhan sektor ekonomi (Yuwono, 2000: 135)
adalah sebagai berikut:

          ⎡ E ijt ⎤    1/ t
    gij = ⎢        ⎥          -1
          ⎢ E ij 0 ⎥
          ⎣        ⎦

dimana:
     gij      = laju pertumbuhan nilai tambah sektor i di kabupaten/kota j
     Eijt     = adalah nilai tambah sektor i di kabupaten/kota j pada tahun akhir pengamatan
     Eij0     = adalah nilai tambah sektor i di kabupaten/kota j pada tahun awal pengamatan
     t        = adalah selisih tahun akhir dan tahun awal pengamatan.
          Untuk menentukan g j , Gi dan G dapat digunakan rumus yang sama dengan rumus di atas.
Perbedaannya, untuk mencari gj, data yang digunakan adalah PDRB kabupaten/kota; untuk mencari
Gi, data yang digunakan adalah nilai tambah sektor i di regional Jateng + DIY, sedangkan untuk
mencari G, data yang digunakan adalah PDRB regional Jateng + DIY. Interpretasi nilai DLQij adalah
   jika DLQij > 1 berarti potensi perkembangan sektor i kabupaten/kota j lebih cepat dibandingkan
          dengan potensi perkembangan sektor i di propinsi regional Jateng + DIY (sektor i tersebut
          berpotensi unggulan di kabupaten/kota j).
   Jika DLQij = 1, berarti potensi perkembangan sektor i di kabupaten/kota j sebanding dengan
          potensi perkembangan sektor i di regional Jateng + DIY.
   Jika DLQij < 1 berarti potensi perkembangan sektor i di kabupaten/kota j lebih rendah
          dibandingkan dengan potensi perkembangan sektor i di regional Jateng + DIY (sektor i
          tersebut tidak berpotensi unggulan ).

         Perolehan nilai SLQ dan DLQ dapat dibuat komparasi dalam tabel potensi sektor-sektor
ekonomi untuk setiap kabupaten/kota sebagaimana pada tabel 2, dimana;
   Kuadran (A) : sektor bukan unggulan yang tidak berpotensi unggulan
   Kuadran (B) : sektor bukan unggulan tetapi berpotensi unggulan
   Kuadran (C) : sektor unggulan yang tidak berpotensi unggulan
   Kuadran (D) : sektor unggulan yang berpotensi unggulan




                                                                                                 7
Tabel 2. Klasifikasi Sektoral atas Dasar Analisis Komparatif

                                                                                           DLQ
                                        Kriteria
                                                                           DLQi < 1                    DLQi > 1
                                               SLQi < 1                      A                           B
                            SLQ
                                               SLQi > 1                      C                           D
                Sumber: Kuncoro 2005, setelah dilakukan pivot pada tabel


3. Analisis Spesialisasi Regional

        Penggunaan alat analisis indeks spesialisasi regional adalah untuk mengetahui tingkat
spesialisasi antar daerah di Propinsi Jateng/DIY dengan menggunakan Indeks Krugman. Perumusan
Indeks Krugman adalah sebagai berikut (Kuncoro, 2004):

                     n       Eij
                    ∑
                                       Eik
          SI jk =                  −
                    i =1     Ej        Ek

Dimana:
        SIjk = Indeks Spesialisasi kabupaten j dan k
        Eij = PDRB sektor i pada Kabupaten j
        Ej     = PDRB total kabupaten j
        Eik = PDRB sektor i pada Kabupaten k
        Ek = PDRB total kabupaten k
        Kriteria pengukuran dari indeks spesialisasi Krugman adalah jika indeks spesialisasi regional
mendekati nol maka kedua daerah j dan k tidak memiliki spesialisasi, dan jika indeks spesialisasi
regional mendekati dua maka kedua daerah j dan k memiliki spesialisasi. Batas tengah antara angka
nol dan dua adalah nilai satu. Maka, jika nilai indeks spesialisasi lebih besar dari satu maka dapat
dianggap sektor tersebut memiliki tingkat spesialisasi yang tinggi. Untuk melihat tinggi rendahnya
tingkat spesialisasi suatu daerah terhadap daerah lainnya dipergunakan nilai rata-rata indeks
spesialisasi seluruh daerah sebagai pembanding.


4. Analisis Konvergensi
        Untuk melihat percepatan pertumbuhan ekonomi daerah-daerah diperlukan analisis
konvergensi. Pada penelitian ini, konvergensi yang dimaksudkan adalah percepatan pertumbuhan
pendapatan per kapita daerah-daerah kabupaten dan kota di Jawa Tengah – DIY.

        Capolupo (1998) membuat persamaan regresi yang didasarkan pada model regresi neoklasik
untuk mengukur tingkat konvergensi atau divergensi pada periode t0 sampai t0+T sebagai berikut:

          1                                     ⎛ 1 − e − βT   ⎞
            Ln ( y i ,t 0 +T / y i ,t 0 ) = α − ⎜
                                                ⎜
                                                               ⎟ Ln ( y i ,t 0 +T ) + γ X i ,t + μ
                                                               ⎟                                     i ,t
          T                                     ⎝ T            ⎠



                                                                                                                  8
Dimana tingkat pertumbuhan pendapatan rata-rata adalah fungsi dari pendapatan tahun awal. Vektor
X adalah variabel kondisional yang dapat terdiri dari rasio investasi, pertumbuhan penduduk, tingkat
pendidikan, variabel moneter dan fiskal ataupun variabel kondisional lainnya. Sedangkan vektor μ i,T
merupakan faktor gangguan acak.

        Estimasi β yang bernilai negatif menunjukkan jika perekonomian bermula dari kondisi di
bawah tingkat steady state, maka perekonomian tersebut akan cenderung maju lebih cepat daripada
perekonomian yang dekat dengan kondisi steady state dan akan menghasilkan konvergensi
pendapatan per kapita. Semakin besar nilai β (negatif) maka akan semakin cepat konvergensinya
(Hu, 2004).

        Karena penelitian ini semata-mata melihat besaran konvergensi atau divergensi dan tidak
untuk melihat kontrol desain untuk mengukur perbedaan preferensi dan teknologi pada kondisi
steady state, variabel kondisional X tidak dipergunakan. Maka, penelitian ini menggunakan model
konvergensi standar Barro (Togo, 2001):

          1                                     ⎛ 1 − e − βT   ⎞
            Ln ( y i ,t 0 +T / y i ,t 0 ) = α − ⎜
                                                ⎜ T
                                                               ⎟ Ln ( y i ,t 0 +T ) + μ
                                                               ⎟                          i ,t
          T                                     ⎝              ⎠

           ⎛ 1 − e − βT   ⎞
          −⎜
           ⎜ T
                          ⎟ merupakan besaran parameter hasil regresi b. Jika nilai parameter b dapat
                          ⎟
           ⎝              ⎠

                                                                                  ⎛ 1 − e − βT   ⎞
diketahui, maka nilai konvergensi β akan dapat diketahui. Dengan kata lain, b = − ⎜
                                                                                  ⎜ T
                                                                                                 ⎟
                                                                                                 ⎟
                                                                                  ⎝              ⎠



5. Analisis Perbedaan Kinerja Kawasan Andalan dan Kawasan Bukan Andalan
        Penelitian ini menerapkan model logistik regression sebagaimana dilakukan oleh Kuncoro
(2004) untuk melihat perbedaan kinerja perekonomian di kawasan andalan dan kawasan bukan
andalan. Pada penelitian ini, model logistik dipergunakan untuk menguantifikasi hubungan antara
probabilitas dua pilihan dengan beberapa karakteristik yang berbeda, yaitu probabilitas satu sebagai
kawasan andalan dan nol sebagai kawasan bukan andalan. Dengan penggunaan model ini, hasil dari
suatu kawasan dikategorikan sebagai kawasan unggulan (khusus) apakah sudah tepat atau tidak dapat
diketahui. Data yang dipergunakan akan menggunakan data panel yang meliputi 40 daerah
kabupaten/kota dengan periode waktu 5 tahun (2000 – 2004).
        Analisis model logistik dilakukan dengan menggunakan persamaan (Kuncoro, 2004):
        Prob [Y=0] = 1 / [ 1 + exp (b0 + b1 IS + b2 PERTUM + b3 PERKAP) ]
Dimana:
   Y               = Dummy variabel
   1               = Kawasan andalan

                                                                                                     9
0           = kawasan bukan andalan
   IS          = Spesialisasi Daerah
   PERTUM = Pertumbuhan PDRB
   PERKAP = PDRB per Kapita
        Kawasan andalan dalam analisis ini dibagi menjadi empat kategori (skenario). Dua kategori
adalah kawasan yang telah ditentukan sebagai kawasan ekonomi khusus oleh pemerintah daerah dan
dua kawasan yang menjadi alternatif pembentukan kawasan ekonomi andalan, yaitu:
Kategori 1 :    Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) 1 dan 2;
                Demak, Semarang, Kendal, Kota Semarang, Rembang, Blora
Kategori 2 :    Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) 1;
                Demak, Semarang, Kendal, Kota Semarang
Kategori 3 :    Pusat Pertumbuhan Joglosemar;
                Kota Yogyakarta, Kota Surakarta, Kota Semarang
Kategori 3:     Daerah yang berdasarkan hasil analisis tipologi daerah diidentifikasikan sebagai
                daerah cepat maju dan cepat tumbuh


HASIL ANALISIS
A. Lokasi Wilayah KEKI Jawa Tengah dan Tipologi Daerah

        Pemerintah Propinsi Jawa Tengah telah mengusulkan dua kawasan Ekonomi Khusus (KEK),
yaitu
    1. KEK 1: Semarang – Kendal – Demak – Ungaran (Kabupaten Semarang)
    2. KEK 2: Rembang – Blora
Dua KEK tersebut terletak di wilayah utara pulau Jawa bagian tengah. Posisi Relatif dari dua daerah
KEKI Jateng dapat digambarkan pada Gambar 1. KEKI 1 berada di wilayah Kota Semarang dan
Sekitarnya dan KEK 2 bagian timur laut Jawa Tengah (area lebih gelap).
        Selain penentuan dua KEK tersebut, perlu pula dilihat pentingnya bentuk kerja sama lain,
yaitu daerah pusat pertumbuhan Joglosemar. Kawasan JOGLOSEMAR merupakan daerah-daerah
pusat pertumbuhan utama di Jawa Tengah dan DIY. Daerah ini meliputi Kota Yogyakarta, Kota
Semarang dan Kota Surakarta (Solo). Pada gambar 1, koridor Joglosemar terhubung oleh garis tebal.
Peningkatan aglomerasi di koridor JOGLOSEMAR ini bersifat strategis karena akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi kawasan kabupaten sekitarnya.




                                                                                                10
U




         Gambar 1. Kawasan KEKI dan Koridor Joglosemar di Jawa Bagian Tengah


       Kawasan yang diperkirakan akan memperoleh imbas utama manfaat aglomerasi terutama
daerah yang terlintas jalur koridor Joglosemar, antara lain: Kabupaten Magelang, Kota Magelang,
Sleman, Klaten, Boyolali, Kota Salatiga dan kabupaten Semarang dan daerah sekitar koridor yaitu;
Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar dan Kendal.
       Untuk melihat kondisi perekonomian di wilayah Jawa Tengah DIY perlu dilihat tipologi
masing-masing daerah. Analisis tipologi daerah pada penelitian ini untuk menunjukkan sebaran nilai
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Tabel 3 menunjukkan daftar pendapatan perkapita
serta pertumbuhan ekonomi di lingkup wilayah Jateng DIY.
       Pada tabel 3 tersebut, rata-rata pendapatan per kapita kabupaten/kota Jateng DIY sebesar
Rp3.788.330,73 dan rata-rata pertumbuhan ekonominya sebesar 3,72%. Daerah dengan pertumbuhan
ekonomi tertinggi adalah Kota Tegal (6,79%) sementara daerah dengan pendapatan per kapita
tertinggi adalah Kota Semarang (Rp11.390.236,85).
       Jika antara pendapatan per kapita dengan pertumbuhan ekonomi dikaitkan, tipologi daerah
akan diperoleh dengan membagi tipologi tersebut berdasar 4 kuadran (Grafik 1);
    Kuadran 1: Daerah dengan pendapatan per kapita tinggi, pertumbuhan ekonomi tinggi
    Kuadran 2: Daerah dengan pendapatan per kapita rendah, pertumbuhan ekonomi tinggi
    Kuadran 3: Daerah dengan pendapatan per kapita rendah, pertumbuhan ekonomi rendah
    Kuadran 4: Daerah dengan pendapatan per kapita tinggi, pertumbuhan ekonomi rendah


                                                                                               11
Tabel 3. Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Per kapita
                      Kabupaten/Kota di Jateng DIY tahun 2000 - 2004

   No          Kab/Kota       Singkatan   Pertumbuhan Ekonomi       Pendapatan Perkapita
     1    Cilacap              Clc               5,51%                 Rp6.338.886,94
     2    Banyumas             Bms               3,70%                 Rp1.864.566,26
     3    Purbalingga          Pbg               3,48%                 Rp1.820.520,86
     4    Banjarnegara         Bjn               1,72%                 Rp2.400.768,63
     5    Kebumen              Kbm               2,80%                 Rp1.724.930,54
     6    Purworejo            Prj               3,64%                 Rp2.657.538,66
     7    Wonosobo             Wns               2,33%                 Rp1.879.439,20
     8    Magelang             Mgl               3,89%                 Rp2.569.232,47
     9    Boyolali             Byl               3,50%                 Rp3.301.313,08
    10    Klaten               Klt               4,29%                 Rp2.695.421,15
    11    Sukoharjo            Skh               3,82%                 Rp3.808.952,89
    12    Wonogiri             Wng               2,67%                 Rp2.048.961,16
    13    Karanganyar          Kra               4,11%                 Rp4.205.737,29
    14    Sragen               Sra               3,40%                 Rp2.415.290,66
    15    Grobogan             Grb               4,09%                 Rp1.516.826,67
    16    Blora                Blr               3,38%                 Rp2.080.844,66
    17    Rembang              Rmb               4,24%                 Rp2.574.707,26
    18    Pati                 Pat               2,71%                 Rp2.644.342,12
    19    Kudus                Kds               2,65%                Rp11.173.157,72
    20    Jepara               Jpr               3,87%                 Rp2.966.284,13
    21    Demak                Dmk               3,12%                 Rp2.397.660,75
    22    Semarang             Smg               3,23%                 Rp4.255.158,96
    23    Temanggung           Tmg               3,77%                 Rp2.864.189,98
    24    Kendal               Knd               2,96%                 Rp4.371.481,74
    25    Batang               Btg               2,06%                 Rp2.707.416,73
    26    Pekalongan           Pkl               2,93%                 Rp2.874.242,13
    27    Pemalang             Pml               3,52%                 Rp2.031.906,88
    28    Tegal                Tgl               4,94%                 Rp1.725.315,50
    29    Brebes               Brb               5,12%                 Rp2.198.020,35
    30    Kota Magelang        KMgl              3,43%                 Rp6.802.671,17
    31    Kota Surakarta       KSrk              5,04%                 Rp6.747.625,28
    32    Kota Salatiga        KSlt              4,19%                 Rp4.685.739,14
    33    Kota Semarang        KSmg              4,44%                Rp11.390.236,85
    34    Kota Pekalongan      KPkl              3,84%                 Rp5.446.102,47
    35    Kota Tegal           KTgl              5,90%                 Rp3.263.850,54
    36    Kulonprogo           Klp               3,82%                 Rp3.480.781,20
    37    Bantul               Bnt               4,25%                 Rp3.520.469,46
    38    Gunung Kidul         Gnk               3,22%                 Rp3.630.345,46
    39    Sleman               Slm               4,76%                 Rp4.725.662,38
    40    Kota Yogyakarta      Kygy              4,43%                 Rp9.726.629,72
          Rata-rata                             3,7198%                Rp3.788.330,73

         Grafik 1 menunjukkan sebagian besar daerah berada pada kuadran 3, atau daerah dengan
pendapatan per kapita rendah diiringi pertumbuhan ekonomi rendah (dari rata-rata Jateng DIY).
Seluruh daerah ini berbentuk kabupaten.




                                                                                           12
7%

                                     (2)                                                                    (1)
                            6%                            Ktgl
                                                                               Clc
                                                    Brb                          Ksrk
                                              Tgl
                            5%                                     Slm
                                                                                                    Kygy         Ksmg
      Pertumbuhan Ekonomi




                                                    Klt
                                                   Rmb Bnt
                                           Grb                 KraKslt
                                                   MglJpr Skh          Kpkl
                            4%               Bms Prj Tmg Klp
                                              Pml
                                             Pbg Srg     Byl                     Kmgl
                                               Blr
                                                Dmk        Gnk Smg
                                                      Pkl       Knd
                            3%              Kbm Pat
                                              Wng                                                                Kds
                                             Wns
                                                    Btg
                            2%                   Bjn


                            1%

                                     (3)                                                                    (4)
                            0%
                                 0                          4.000.000                   8.000.000                  12.000.000
                                           2.000.000                      6.000.000                 10.000.000
                                                                 Pendapatan Perkapita (Rp)

    Sumber: BPS, data diolah

                                      Grafik 1. Tipologi Daerah Berdasarkan Pendapatan Perkapita
                                             dan Pertumbuhan Ekonomi (tahun 2000 - 2004)

                       Pada wilayah penentuan KEKI 1, dua daerah tergolong klasifikasi maju tertekan (Kendal dan
kabupaten Semarang), satu daerah adalah cepat maju dan tumbuh (Kota Semarang) dan terdapat 1
daerah dengan klasifikasi daerah relatif tertinggal (Demak). Pada wilayah KEKI 2, Blora adalah
daerah dengan klasifikasi daerah relatif tertinggal sementara Rembang adalah daerah berkembang
cepat. Klasifikasi rinci untuk masing-masing daerah Jateng DIY disajikan pada tabel 4.
                                                      Tabel 4. Daerah Berdasar Klasifikasi Tipologinya

                                                                              Pendapatan per kapita
      Klasifikasi
                                                                 Rendah                                    Tinggi
                                                    Daerah berkembang cepat:     Daerah cepat maju cepat tumbuh:
                                                    Magelang, Klaten, Grobogan,  Cilacap, Sukoharjo, Karanganyar,
                                     Tinggi         Rembang, Jepara, Temanggung, Kota Surakarta, Kota Salatiga,
                                                    Tegal, Brebes, Kota Tegal,   Kota Semarang, Kota Pekalongan,
                                                    Kulonprogo, Bantul           Sleman, Kota Yogyakarta
Pertumbuhan                                 Daerah relatif tertinggal:     Daerah maju tertekan:
Ekonomi                                     Banyumas, Purbalingga,         Kudus, Semarang, Kendal,
                                            Banjarnegara, Kebumen,         Kota Magelang
                                     Rendah Purworejo, Wonosobo, Boyolali,
                                            Wonogiri, Sragen, Blora, Pati,
                                            Demak, Batang, Pekalongan,
                                            Pemalang, Gunung Kidul


                                                                                                                                13
Dilihat sisi tipologi daerah, wilayah KEKI 2 (Rembang dan Blora) cenderung ditentukan
oleh pemerintah daerah propinsi sebagai daerah kawasan ekonomi andalan bukan karena faktor
tingginya pendapatan per kapita dan tingginya pertumbuhan ekonomi. Karena dari dua determinan
ini, Rembang dan Blora kurang mendukung ditetapkan sebagai wilayah ekonomi khusus. Hal ini
mengingat tingginya pertumbuhan ekonomi serta pendapatan per kapita merupakan modal yang
penting bagi daerah untuk memperoleh perhatian bagi para investornya. Demikian pula penetapan
Demak sebagai wilayah tergabung pada KEKI 1. Daerah ini juga merupakan daerah yang relatif
tertinggal dibandingkan daerah kabupaten/kota lain di Jawa Tengah dan DIY.
       Sementara, penentuan Kota Semarang, Ungaran (Kabupaten Semarang) dan Kendal dari sisi
tipologi cenderung lebih diterima daripada penentuan daerah KEKI 2. Hal ini didukung tipologi kota
Semarang merupakan daerah dengan klasifikasi daerah cepat maju, meskipun Kabupaten Semarang
dan Kendal cenderung tertekan karena pertumbuhan ekonominya relatif rendah.
       Faktor pendukung penentuan ketiga daerah terakhir tersebut sebagai kawasan KEKI adalah
fasilitas yang disediakan oleh wilayah Semarang berupa keberadaan pelabuhan udara dan juga
terdapat pelabuhan laut yang memadai untuk kegiatan bongkar muat kapal besar. Dengan letaknya
yang strategis di kawasan Joglosemar koridor utara, kawasan ini mendukung percepatan
pertumbuhan ekonomi wilayah jika ditetapkan sebagai kawasan ekonomi khusus.



B. Sektor Unggulan Kabupaten/Kota
       Nilai Location Quotient (LQ) pada analisis KEKI penting untuk menentukan sektor apa yang
menjadi sektor unggulan di daerah-daerah yang ditentukan sebagai kawasan andalan. Nilai LQ yang
dipergunakan meliputi LQ Statis (SLQ) untuk melihat suatu sektor adalah sektor unggulan atau
bukan, dan LQ Dinamis (DLQ) untuk melihat bagaimana potensi dari suatu sektor apakah memiliki
potensi unggulan ataukah tidak berpotensi. Untuk kriteria sektor ekonomi adalah sektor unggulan
ditentukan memiliki nilai SLQ >1. Untuk kriteria suatu sektor ekonomi memiliki potensi unggulan
adalah sektor dengan nilai DLQ>1.
       Nilai SLQ dan DLQ rata-rata (tahun 2000 sampai 2004) disajikan pada tabel 5 dan 6.
Penentuan nilai LQ ini juga memasukkan daerah-daerah di DIY. Posisi relatif dari DIY yang berada
di Jawa bagian tengah di regional selatan dan adanya moda transportasi yang saling berkaitan dalam
jarak yang pendek menyebabkan aktivitas ekonomi masyarakat Jawa Tengah dan DIY relatif sulit
untuk dipisahkan.
       Dari hasil perhitungan SLQ dan DLQ tersebut, dapat dinyatakan untuk setiap daerah yang
diusulkan pemerintah daerah propinsi sebagai kawasan andalan (KEKI 1 dan 2), daerah yang
memiliki sektor ekonomi unggulan dan sekaligus memiliki potensi untuk tetap unggul adalah:




                                                                                               14
Demak             : Sektor pertanian
      Semarang          : Sektor industri pengolahan; serta sektor listrik gas dan air bersih
      Kendal            : Sektor industri pengolahan
      Kota Semarang : Sektor industri pengolahan
      Blora             : sektor pertanian; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
     Rembang            : sektor pertanian; sektor pengangkutan dan komunikasi
                        Tabel 5. Rata-rata SLQ Jateng – DIY, 2000 – 2004

                                                                   Sektor
Kawasan          Kabupaten
                           1                2        3       4        5       6        7          8       9
KEKI 1   Demak           2,063            0,219    0,693   0,558    0,464   0,730    0,461      0,542   0,751
         Semarang        0,676            0,137    1,981   1,001    0,242   0,782    0,414      0,702   0,832
         Kendal          1,005            0,446    1,666   1,960    0,314   0,753    0,451      0,490   0,821
         Kota Semarang   0,047            0,352    1,353   1,342    1,954   1,357    1,214      0,873   1,078
KEKI 2   Blora           2,099            2,938    0,519   0,546    0,642   0,585    0,526      1,392   0,650
         Rembang         2,239            2,440    0,196   0,506    0,643   0,759    1,143      0,628   0,780
Non KEKI Cilacap         1,001            1,718    0,516   0,594    0,378   2,028    0,512      0,598   0,441
         Banyumas        1,161            1,608    0,829   1,058    0,783   0,663    1,467      1,793   1,239
         Purbalingga     1,518            0,485    0,441   0,994    1,097   0,788    0,904      0,804   1,711
         Banjarnegara    1,628            0,541    0,609   0,446    1,191   0,540    0,939      1,069   1,505
         Kebumen         1,749            6,113    0,439   0,791    0,891   0,435    0,809      1,098   1,519
         Purworejo       1,587            2,434    0,370   0,607    1,066   0,702    1,012      0,942   1,665
         Wonosobo        2,133            0,752    0,485   0,879    0,856   0,495    1,185      1,094   0,748
         Magelang        1,414            2,422    0,790   0,548    0,990   0,669    1,067      0,568   1,369
         Boyolali        1,479            0,762    0,758   0,815    0,495   1,099    0,536      1,316   0,599
         Klaten          1,043            0,457    0,806   0,699    1,513   1,114    0,552      0,861   1,196
         Sukoharjo       0,983            1,150    1,305   1,194    0,918   0,869    0,957      0,756   0,789
         Wonogiri        2,301            0,838    0,156   0,667    0,652   0,541    1,817      0,791   0,948
         Karanganyar     0,654            0,963    2,217   1,272    0,523   0,482    0,601      0,465   0,828
         Sragen          1,556            1,308    0,782   1,223    0,520   0,722    0,854      0,742   1,226
         Grobogan        1,949            1,251    0,162   0,806    0,970   0,818    0,704      0,877   1,384
         Pati            1,585            0,862    0,810   1,149    0,644   0,833    0,539      1,122   0,823
         Kudus           0,185            0,010    2,391   0,407    0,184   1,208    0,387      0,553   0,220
         Jepara          1,035            0,509    1,181   0,691    0,746   0,908    1,127      1,088   0,810
         Temanggung      1,536            1,228    0,724   0,834    1,231   0,638    1,046      0,768   1,218
         Batang          1,185            2,359    1,215   0,729    0,898   0,710    0,527      0,573   1,117
         Pekalongan      0,893            1,118    1,170   0,845    1,043   0,808    0,813      0,977   1,365
         Pemalang        1,353            1,072    0,746   0,891    0,551   1,187    0,698      0,809   0,799
         Tegal           0,951            2,089    1,065   0,702    0,895   1,074    0,925      1,310   0,667
         Brebes          2,399            1,135    0,401   0,934    0,372   0,852    0,248      0,670   0,364
         Kota Magelang   0,143            0,000    0,151   2,944    3,362   0,278    3,709      2,161   3,477
         Kota Surakarta  0,004            0,052    1,222   2,541    2,440   1,019    1,987      1,983   1,075
         Kota Salatiga   0,268            0,657    0,814   4,947    0,976   0,723    4,405      1,394   1,615
         Bantul          0,672            0,000    0,873   1,066    1,692   1,103    1,461      1,649   1,045
         Gunung Kidul    0,703            0,000    0,607   2,698    1,558   0,937    2,866      2,015   1,052
         Sleman          1,188            1,130    0,676   0,645    0,911   0,687    1,848      1,055   1,639
         Kota Yogyakarta 1,075            1,204    0,845   0,870    1,693   0,759    1,314      1,136   1,193
Dimana: 1 = pertanian, 2 = pertambangan penggalaian, 3 = industri pengolahan, 4 = listrik gas air bersih,
        5 = bangunan, 6 = perdagangan hotel restoran, 7 = pengangkutan komunikasi, 8 = keuangan
        persewaan jasa perusahaan, 9 = jasa-jasa



                                                                                                         15
Tabel 6. Rata-rata DLQ Jateng – DIY, 2000 – 2004

                                                                    Sektor
Kawasan         Kabupaten
                           1                 2        3       4        5       6        7        8       9
KEKI 1   Demak           1,107             0,978    0,981   1,124    0,979   0,928    0,953    0,925   0,935
         Semarang        0,957             0,960    1,029   1,039    1,047   0,956    1,105    1,041   1,015
         Kendal          0,977             1,010    1,040   0,681    0,910   1,017    0,902    0,981   1,051
         Kota Semarang   0,964             1,035    1,005   0,991    0,922   0,918    1,025    0,957   1,134
KEKI 2   Blora           1,046             0,939    1,028   1,070    0,936   0,996    0,938    1,000   0,925
         Rembang         1,068             0,952    0,911   0,911    0,935   0,971    1,026    0,948   0,948
Non KEKI Cilacap         0,987             1,042    0,956   0,962    0,997   1,033    0,928    0,941   0,951
         Banyumas        0,948             1,053    1,077   1,006    0,999   1,008    0,943    1,033   0,992
         Purbalingga     1,024             0,989    1,023   1,032    0,998   1,009    0,929    1,035   0,959
         Banjarnegara    0,961             0,999    1,049   1,093    0,970   0,976    1,074    1,080   1,071
         Kebumen         1,008             1,050    1,002   1,033    0,988   1,071    0,998    0,986   0,961
         Purworejo       0,998             1,005    1,024   0,925    1,064   0,962    1,093    1,073   0,988
         Wonosobo        1,030             1,020    1,021   0,894    0,979   1,013    1,042    0,976   0,989
         Magelang        0,960             0,995    1,013   1,052    1,054   0,994    0,970    0,929   1,120
         Boyolali        1,041             0,996    0,926   1,375    0,993   0,995    0,983    1,000   1,129
         Klaten          0,947             1,106    1,028   1,084    1,135   0,963    0,967    0,934   1,105
         Sukoharjo       1,003             0,888    1,003   1,007    1,012   0,966    0,984    1,036   1,106
         Wonogiri        0,998             1,022    1,113   1,011    0,991   0,984    1,027    1,053   1,086
         Karanganyar     1,027             1,009    1,010   1,023    1,022   0,950    1,106    0,933   0,956
         Sragen          0,947             0,947    1,054   1,019    1,081   1,008    1,017    0,973   1,122
         Grobogan        1,042             0,994    0,998   0,944    0,976   0,998    0,986    1,003   0,950
         Pati            0,985             0,934    1,063   1,077    1,058   0,995    0,919    1,009   1,036
         Kudus           1,090             0,866    1,000   1,072    1,237   0,964    1,122    1,089   0,966
         Jepara          1,062             1,048    0,967   1,125    1,377   0,945    0,901    1,120   0,970
         Temanggung      1,060             0,962    1,020   0,989    1,005   1,005    0,988    0,945   0,897
         Batang          0,955             0,908    1,032   1,152    1,174   0,974    1,018    1,033   1,066
         Pekalongan      1,025             0,875    1,008   0,986    0,902   0,987    1,014    1,042   0,978
         Pemalang        0,971             1,081    0,964   1,184    0,892   1,067    1,025    1,065   1,046
         Tegal           0,856             1,342    1,121   0,907    1,025   1,003    0,973    1,244   0,842
         Brebes          1,077             0,989    1,017   0,906    0,997   0,973    0,969    0,903   0,966
         Kota Magelang   0,735             0,000    0,944   0,956    0,974   1,024    0,988    0,949   0,932
         Kota Surakarta  0,634             0,889    1,010   0,935    0,912   1,001    0,897    0,944   0,984
         Kota Salatiga   0,995             0,955    0,957   0,926    0,964   0,951    1,086    0,907   0,888
         Bantul          1,069             0,000    1,017   0,894    0,917   1,006    0,873    0,977   0,939
         Gunung Kidul    1,044             0,000    0,986   0,958    0,901   1,113    0,930    0,925   0,839
         Sleman          1,007             0,705    0,994   1,062    0,961   0,955    1,071    1,205   0,957
         Kota Yogyakarta 1,002             0,904    0,983   1,165    0,958   1,034    0,938    1,106   0,971
Dimana: 1 = pertanian, 2 = pertambangan penggalaian, 3 = industri pengolahan, dan seterusnya

        Untuk wilayah KEKI 1 dan 2, tabel 7 menunjukkan kriteria sektor-sektor yang merupakan
sektor unggulan dan berpotensi unggulan (kriteria D) dan kriteria lainnya. Dari tabel 7 ini dapat
dinilai bahwa untuk pengembangan kawasan dengan tujuan peningkatan nilai tambah sektor industri
pengolahan, maka seluruh daerah di wilayah KEKI 1, kecuali Demak, layak untuk ditetapkan sebagai
kawasan andalan. Ungaran (Semarang), Kendal dan Kota Semarang merupakan daerah yang
memiliki keunggulan di sektor industri pengolahan dan sekaligus memiliki potensi untuk tetap
unggul. Kelayakan tiga daerah KEKI dengan potensi industri ini ditunjang dengan potensi sektor



                                                                                                        16
tersier (modern) yang juga merupakan sektor unggulan di Kota Semarang, antara lain sektor
pengangkutan dan komunikasi, serta sektor jasa-jasa.

          Tabel 7. Klasifikasi sektor Ungulan - Berpotensi Unggulan di wilayah KEKI

                                                                  Sektor
Kawasan       Kabupaten
                                  1       2        3        4       5        6           7   8      9
KEKI 1       Demak                D       A        A        B       A        A           A   A      A
             Semarang             A       A        D        D       B        A           B   B      B
             Kendal               C       B        D        C       A        B           A   A      B
             Kota Semarang        A       B        D        C       C        C           D   A      D
KEKI 2       Blora                D       C        B        B       A        A           A   D      A
             Rembang              D       C        A        A       A        A           D   A      A
Dimana:
  1 = pertanian, 2 = pertambangan penggalaian, 3 = industri pengolahan, dan seterusnya
  A = SLQ <1 dan DLQ <1 (sektor bukan unggulan yang tidak berpotensi unggulan)
  B = SLQ <1 dan DLQ >1 (sektor bukan unggulan tetapi berpotensi unggulan)
  C = SLQ >1 dan DLQ <1 (sektor unggulan yang tidak berpotensi unggulan)
  D = SLQ >1 dan DLQ >1 (sektor unggulan yang berpotensi unggulan)


       Kabupaten Demak bersama dua daerah di KEKI 2 cenderung tidak tepat jika penentuan
kawasan andalan bertujuan meningkatkan nilai tambah dan manfaat aglomerasi di sektor industri
pengolahan. Sektor industri pengolahan di ketiga daerah tersebut dikategorikan sebagai sektor yang
bukan unggulan. Sektor ini tidak berpotensi unggulan di Rembang dan Demak, tetapi berpotensi
unggulan di Blora.
       Dilihat dari potensi unggulnya, ketiga daerah terakhir tersebut menunjukkan keunggulan dan
potensi unggul di sektor pertanian. Dengan demikian, jika pengembangan wilayah dengan penentuan
KEKI sebagai kawasan unggulan berbasis sektor pertanian maka kabupaten Demak, Blora dan
Rembang sudah tepat menjadi kawasan andalan.
         Sebagai perbandingan KEKI Jateng, disajikan tabel sektor unggulan dan potensi unggulan
untuk kawasan Joglosemar dan daerah yang teridentifikasi bertipologi cepat maju dan cepat tumbuh
(tabel 8). Untuk kawasan Joglosemar, Kota Yogyakarta tidak menunjukkan adanya unggulan dan
potensi unggulan pada sektor industri pengolahan. Tetapi, di kota ini, sektor-sektor tersier (sektor 4
sampai 7) memiliki keunggulan dan tetap berpotensi unggulan. Untuk kota Surakarta, daerah ini
unggulan dan berpotensi unggulan untuk basis sektor industri pengolahan dan 1 sektor tersier. Dari
sudut pandang pengembangan kawasan andalan, untuk tujuan pengembangan sektor industri
pengolahan, kota Surakarta dapat dipandang strategis untuk mendampingi Kota Semarang sebagai
wilayah andalan berbasis industri pengolahan, tetapi Kota Yogyakarta tidak tepat untuk basis ini.
         Satu-satunya daerah yang tergolong bertipologi cepat tumbuh dan cepat maju di daerah
bagian barat Jawa Tengah-DiY adalah kabupaten Cilacap. Selain kabupaten Cilacap dan Kota
Pekalongan, daerah-daerah menurut tipologi ini semunya terletak pada jalur dan sekitar koridor
Joglosemar. Cilacap dikategorikan unggul dan memiliki potensi tetap unggul di sektor pertambangan

                                                                                                    17
dan sektor perdagangan hotel dan restoran. Penentuan kawasan andalan di daerah ini yang didukung
semakin baiknya kinerja sektor perdagangan hotel restoran di Cilacap akan mendung percepatan
pertumbuhan daerah sekitar. Aglomerasi di daerah ini akan mengangkat perekonomian daerah sekitar
yang cenderung tertinggal (Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen) atau yang sering
disebut sebagai kawasan kerja sama Barlingkascakeb.


                     Tabel 8. Klasifikasi sektor Ungulan - Berpotensi Unggulan
      di kawasan Joglosemar dan Daerah dengan Klasifikasi Cepat Maju Cepat Tumbuh

                                                                      Sektor
   Kawasan            Kabupaten
                                         1       2       3       4      5        6       7   8   9
Joglosemar         Kota Yogyakarta       A       A       A       D      D        D       D   C   C
                   Kota Surakarta        A       A       D       C      C        D       C   C   C
                   Kota Semarang         A       B       D       C      C        C       D   A   D
Cepat Maju         Cilacap               C       D       A       A      A        D       A   A   A
Cepat Tumbuh       Sukoharjo             B       C       D       D      B        A       A   B   B
                   Karanganyar           B       B       D       D      B        A       B   A   A
                   Kota Surakarta        A       A       D       C      C        D       C   C   C
                   Kota Salatiga         A       A       A       C      A        A       D   C   C
                   Kota Semarang         A       B       D       C      C        C       D   A   D
                   Kota Pekalongan       B       -       B       C      C        D       C   C   C
                   Sleman                A       A       B       B      D        B       C   D   C
                   Kota Yogyakarta       A       A       A       D      D        D       D   C   C
Dimana:
  1 = pertanian, 2 = pertambangan penggalaian, 3 = industri pengolahan, dan seterusnya
  A = SLQ <1 dan DLQ <1 (sektor bukan unggulan yang tidak berpotensi unggulan)
  B = SLQ <1 dan DLQ >1 (sektor bukan unggulan tetapi berpotensi unggulan)
  C = SLQ >1 dan DLQ <1 (sektor unggulan yang tidak berpotensi unggulan)
  D = SLQ >1 dan DLQ >1 (sektor unggulan yang berpotensi unggulan)

        Tabel 8 juga menunjukkan koridor Joglosemar pada umumnya adalah daerah yang cepat
maju dan cepat tumbuh. Pembentukan kawasan ekonomi khusus di tiga pusat pertumbuhan
(Yogyakarta, Semarang dan Surakarta) akan mendorong percepatan perekonomian di wilayah ini dan
daerah-daerah sekitarnya. Tetapi, penentuan kawasan andalan di wilayah koridor Joglosemar perlu
mempertimbangkan perbedaan basis sektor ekonomi. Sukoharjo dan Karanganyar lebih tepat
menyertai Surakarta sebagai daerah khusus industri pengolahan. Kota Salatiga mendukung
aglomerasi Kota Semarang karena kemajuan di sektor transportasinya. Sleman mendukung
aglomerasi di Kota Yogyakarta dengan kemajuan sektor bangunan. Sementara, Kota Pekalongan
cenderung layak sebagai daerah penyangga kawasan utara Jawa Tengah dengan kemajuannya di
sektor perdagangan hotel dan restoran.



C. Analisis Spesialisasi Regional
        Analisis spesialisasi regional pada penentuan kawasan andalan di Jawa Tengah bertujuan
untuk melihat kecenderungan spesialisasi daerah, apakah di satu kabupaten/kota sumbangan sektor-
sektor ekonomi terhadap total PDRB terkonsentrasi pada satu atau beberapa sektor saja ataukah

                                                                                                 18
cenderung merata sumbangannya jika dibandingkan dengan konsentrasi ekonomi daerah lainnya.
Tabel 9 menunjukkan nilai indeks spesialisasi dalam rentang tahun 2000 sampai 2004, rata-rata IS
serta perubahan tahunan dalam ukuran rata-rata..


                Tabel 9. Indeks Spesialisasi Regional Jateng - DIY (2000 – 2004)

                                            Tahun                           Rata-       Perkem-
Kawasan Kabupaten/ Kota
                                2000 2001 2002 2003               2004      rata        bangan
KEKI 1     Demak                  0,51 0,52  0,53  0,54             0,55       0,53   meningkat
           Semarang               0,66 0,69  0,69  0,68             0,67       0,68   meningkat
           Kendal                 0,57 0,58   0,58 0,59             0,59       0,58   meningkat
           Kota Semarang          0,77 0,76  0,75  0,73             0,73       0,75   menurun
KEKI 2     Blora                  0,56 0,57  0,58  0,59             0,59       0,58   meningkat
           Rembang                0,60 0,62  0,63  0,63             0,64       0,62   meningkat
Non        Cilacap                0,70 0,70   0,73 0,75             0,76       0,73   meningkat
KEKI       Banyumas               0,44 0,45   0,45 0,45             0,45       0,45   meningkat
           Purbalingga            0,48 0,47   0,47 0,47             0,47       0,47   menurun
           Banjarnegara           0,48 0,47   0,47 0,47             0,48       0,48   menurun
           Kebumen                0,57 0,57  0,58  0,58             0,57       0,57   meningkat
           Purworejo              0,49 0,49  0,50  0,50             0,50       0,50   meningkat
           Wonosobo               0,57 0,56  0,56  0,57             0,58       0,57   menurun
           Magelang               0,43 0,43   0,43 0,44             0,45       0,44   meningkat
           Boyolali               0,48 0,48   0,48 0,48             0,48       0,48   menurun
           Klaten                 0,45 0,46   0,46 0,46             0,46       0,46   meningkat
           Sukoharjo              0,48 0,47  0,48  0,48             0,48       0,48   menurun
           Wonogiri               0,68 0,68  0,68  0,67             0,66       0,67   menurun
           Karanganyar            0,78 0,74   0,75 0,76             0,78       0,76   menurun
           Sragen                 0,43 0,43   0,43 0,43             0,43       0,43   menurun
           Grobogan               0,56 0,56  0,56  0,57             0,57       0,56   meningkat
           Pati                   0,43 0,43  0,44  0,44             0,44       0,44   meningkat
           Kudus                  0,99 0,98  0,98  0,98             0,97       0,98   menurun
           Jepara                 0,47 0,47   0,46 0,46             0,46       0,46   menurun
           Temanggung             0,43 0,43  0,43  0,43             0,43       0,43   meningkat
           Batang                 0,47 0,47   0,47 0,47             0,47       0,47   meningkat
           Pekalongan             0,47 0,47   0,47 0,46             0,46       0,47   menurun
           Pemalang               0,46 0,46  0,47  0,47             0,48       0,47   meningkat
           Tegal                  0,47 0,48  0,49  0,50             0,52       0,49   meningkat
           Brebes                 0,65 0,66   0,68 0,69             0,69       0,67   meningkat
           Kota Magelang          1,18 1,16   1,17 1,17             1,17       1,17   menurun
           Kota Surakarta         0,77 0,76   0,75 0,74             0,74       0,75   menurun
           Kota Salatiga          0,71 0,71   0,71 0,71             0,71       0,71   meningkat
           Kota Pekalongan        0,54 0,52   0,53 0,53             0,52       0,53   menurun
           Kota Tegal             0,59 0,56   0,57 0,59             0,58       0,58   meningkat
           Kulonprogo             0,45 0,45  0,45  0,46             0,46       0,46   meningkat
           Bantul                 0,44 0,43  0,43  0,43             0,43       0,43   menurun
           Gunung Kidul           0,50 0,50  0,50  0,50             0,49       0,50   meningkat
           Sleman                 0,52 0,52  0,52  0,52             0,52       0,52   menurun
           Kota Yogyakarta        0,84 0,83   0,83 0,83             0,83       0,83   menurun

         Tabel 9 memperlihatkan rata-rata spesialisasi daerah 1 dengan lainnya di hampir seluruh
daerah cenderung tidak menunjukkan adanya spesialisasi. Hal ini ditunjukkan dari nilai Spesialisasi
Krugman yang berada di bawah nilai 1. Hanya Kota Magelang yang memperlihatkan adanya
                                                                                                19
spesialisasi dengan nilai lebih dari 1. Meskipun demikian, terlihat beberapa daerah yang cenderung
mendekati nilai 1. Meskipun masih jauh dari nilai spesialisasi 2, nilai indeks yang mendekati 1 dapat
ditafsirkan spesialisasi sektor-sektor ekonomi di daerah ini cenderung lebih tinggi daripada daerah
lain. Daerah yang mendekati nilai ke arah spesialisasi ini antara lain Kota Semarang, Cilacap,
Karanganyar, Kudus, Kota Surakarta, Kota Salatiga dam Kota Yogyakarta, dimana masing-masing
daerah ini nilai ISnya lebih dari 0,70.
        Khusus untuk kawasan KEKI 1, hanya Kota Semarang yang memiliki indeks spesialisasi
relatif lebih tinggi dari daerah lain, meskipun nilai indeks ini cenderung menurun pada tempo 2000
sampai 2004. Nilai rata-rata indeks Kota Semarang ini sesuai dengan pangsa sektor ekonomi yang
mendominasi nilai PDRB. Sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan hotel restoran
merupakan sektor ekonomi utama yang total keduanya menyumbang PDRB Kota Semarang sebesar
67,04% pada tahun 2000 dan menurun menjadi 64,53% pada tahun 2004.
        Sementara Kendal yang difokuskan oleh pemerintah daerah sebagai daerah utama kawasan
ekonomi khusus cenderung menunjukkan tingkat spesialisasinya yang rendah yaitu sebesar 0,58,
meskipun cenderung terjadi peningkatan nilai IS. Di kabupaten ini, sektor tradisional masih cukup
memiliki peran penting. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB sepanjang tahun 2000 – 2004
sebesar 24,04% dan industri pengolahan menyumbang PDRB sebesar 40,38%.
        Demikian pula untuk daerah KEKI 2, sektor-sektor ekonomi di kabupaten Blora dan
Rembang cenderung tidak terspesialisasi. Kedua daerah ini menunjukkan rata-rata indeks spesialisasi
sebesar 0,58 dan 0,62. Terlebih lagi, kedua daerah ini masih mengandalkan sektor pertanian sebagai
sektor utama dimana sektor ini memberikan kontribusi bagi PDRB masih lebih dari 50%. Sementara,
industri pengolahan di Blora menyumbang PDRB sebesar 12,58% dan di Rembang sebesar 4,74%.
Jika daerah ini ditetapkan sebagai kawasan andalan dengan tujuan pengembangan ekonomi berbasis
sektor industri maka kedua daerah ini cenderung kurang layak. Dengan demikian, dari pembahasan
mengenai indeks spesialisasi dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah tidak melihat aspek
spesialisasi daerah sebagai pertimbangan utama dalam menentukan apakah suatu kawasan tepat
ditentukan sebagai kawasan andalan..


D. Analisis Konvergensi Wilayah
        Hasil analisis ini menunjukkan daerah-daerah kabupaten/kota di wilayah Jawa Tengah - DIY
cenderung menunjukkan adanya konvergensi ekonomi selama periode waktu 2000 sampai 2004.
Hasil regresi diperoleh nilai parameter b signifikan pada level probabilitas kesalahan sebesar 10%,
(tepatnya α = 7,77%);

        Ln Ya – Ln Y0 = – 0,0564 + 0,0057 Ln Y0




                                                                                                  20
Untuk mendapatkan nilai konvergensi atau divergensi Setelah nilai parameter b dimasukkan
                                             ⎛ 1 − e − βT   ⎞
ke persamaan konvergensi (divergensi); b = − ⎜
                                             ⎜ T
                                                            ⎟ , penghitungan nilai konvergensi absolut
                                                            ⎟
                                             ⎝              ⎠
(absolut convergence) dari parameter b tersebut sebesar –0,567%. Nilai β yang diperoleh bertanda
negatif yang berarti terjadi konvergensi. Adanya kondisi konvergensi ini menunjukkan pendapatan
per kapita daerah miskin tumbuh lebih cepat daripada daerah yang lebih kaya. Atau dengan kata lain
disparitas pendapatan per kapita antara daerah-daerah yang kaya dan miskin di Jawa Tengah – DIY
semakin menurun selama periode 2000 – 2004. Nilai β konvergensi ini relatif rendah karena kurang
dari 1% per tahunnya.
        Terkait dengan penentuan KEK Jateng DIY dengan kondisi konvergensi ini, meskipun
nilainya rendah, konvergensi ini menunjukkan jika suatu daerah dengan pertumbuhan pendapatan per
kapita yang tinggi ditentukan sebagai kawasan andalan maka akan memberikan peluang daerah-
daerah sekitarnya yang pertumbuhan pendapatan per kapitanya rendah akan memiliki kesempatan
untuk meningkatkan angka pertumbuhan pendapatan per kapitanya lebih cepat.
        Melihat peta wilayah dan tipologi daerah dimana daerah dengan pendapatan per kapita tinggi
cenderung berada di kawasan bagian timur laut (Koridor Kota Semarang dan Kota Surakarta),
penentuan KEK untuk wilayah selatan dan barat penting untuk dipikirkan. Pembentukan KEKI di
kawasan Jawa Tengah - DIY bagian barat (Cilacap dan sekitarnya) dan bagian selatan (Kota
Yogyakarta dan sekitarnya) akan mendorong perkembangan ekonomi di kawasan sekitar.
Peningkatan aktivitas ekonomi di kawasan ini akan mendorong proses konvergensi yang lebih besar
lagi.



E. Analisis Logistik
        Analisis logistik digunakan untuk membedakan kinerja kawasan andalan dan kawasan bukan
andalan. Untuk melihat ketepatan penempatan kawasan andalan, maka dibuat 4 kategori (skenario).
Masing-masing kategori bertujuan untuk melihat apakah variabel-variabel independen yang
dipergunakan mampu mempengaruhi keputusan penentuan KEK ataukah tidak. Kategori 1 dan 2
adalah pengujian untuk KEK dengan wilayah yang ditentukan oleh pemerintah daerah. Kategori 3
dan 4 adalah pengujian kawasan andalan dengan daerah alternatifnya (Joglosemar dan daerah cepat
maju cepat tumbuh).

        Pada kategori dengan menentukan KEKI 1 dan KEKI 2 sebagai kawasan andalan diperoleh
pengujian statistik Chi-Square yang tidak signifikan pada α = 5% maupun 10%. Dari uji ini dapat
dikatakan semua variabel penjelas tidak mampu membedakan kawasan andalan dan bukan andalan
(Tabel 10). Jika pengujian diteruskan untuk pembuatan model logistik, maka semua variabel penjelas




                                                                                                   21
tidak mampu menjelaskan perbedaan antara kawasan andalan dan bukan andalan. Hal ini terbukti
dari signifikansinya yang rendah dengan dan nilai Wald test yang rendah.


               Tabel 10. Parameter dan Tes Statistik 4 kategori Kawasan Andalan

                                                      Variabel tak Tergantung
                              Parameter
    Kategori Wilayah                           Indeks      Pertumbuhan Pendapatan         Konstanta
                               dan uji
                                             Spesialisasi    Ekonomi       Per Kapita
KEKI 1 dan KEKI 2             B                   0,7773          -4,4441    8,96E-08         -2,4125
                              Wald test           0,2370           0,0814       0,7549         6,5935
                              Sig. (prob)         0,6264           0,7754       0,3849         0,0102
KEKI 1                        B                  -2,5517         -11,4982    3,7E-07*         -1,9148
                              Wald test           1,1708           0,3163       8,0307         2,1920
                              Sig. (prob)         0,2792           0,5739       0,0046         0,1387
Joglosemar                    B                  -5,6795        69,8814*     1,1E-06*         -8,2538
                              Wald test           1,2873           7,1691      11,7813        10,4273
                              Sig. (prob)         0,2565           0,0074       0,0006         0,0012
Cepat maju dan tumbuh         B               -4,3528**         71,5929*     8,4E-07*         -5,1948
                              Wald test           4,4669          12,5866      26,0264        18,6633
                              Sig. (prob)         0,0346           0,0004       0,0000         0,0000
*) signifikan pada probabilitas 1%
**) signifikan pada probabilitas 5%
Pengujian chi-square dan Standar Error disajikan di Lampiran


         Jika digunakan kriteria kawasan andalan adalah meliputi wilayah pada KEKI 1, maka uji Chi
Square menunjukkan signifikansi yang cukup tinggi, pada α = 5%. Hal ini berarti terdapat paling
tidak satu variabel independen memiliki tingkat signifikansi yang secara statistik dapat diterima. Dari
hasil pengujian lebih lanjut, model logistik menunjukkan bahwa Pendapatan per kapita adalah satu-
satunya variabel independen yang memiliki makna signifikan dalam mempengaruhi penentuan
kawasan andalan. Uji statistik menunjukkan variabel ini mampu menjelaskan perbedaan kawasan
andalan dengan bukan dengan andalan pada probabilitas kesalahan 0,46%. Parameter yang bertanda
positif menunjukkan semakin tinggi pendapatan per kapita suatu daerah akan semakin
memungkinkan daerah tersebut ditentukan sebagai kawasan andalan.
         Pada alternatif ke tiga, kawasan andalan yang ditentukan adalah daerah utama koridor
Joglosemar, yaitu Kota Yogyakarta, Kota Surakarta dan Kota Semarang, diperoleh hasil Chi-square
yang signifikan. Model logistik menunjukkan variabel pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per
kapita mampu dengan baik secara statistik menunjukkan perbedaan kawasan andalan dan bukan
andalan. Parameter dari kedua variabel ini positif. Semakin tinggi pendapatan per kapita dan semakin
tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi maka akan semakin mendukung suatu daerah ditentukan
sebagai kawasan andalan. Tetapi pada model ini, variabel indeks spesialisasi tidak signifikan secara
statistik.



                                                                                                    22
Alternatif ke empat, kawasan andalan ditentukan berdasarkan analisis tipologi daerah yang
diidentifikasikan sebagai daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh. Terdapat 9 daerah yang
tergolong pada tipologi ini yaitu kabupaten Cilacap, Sukoharjo, Karanganyar, Kota Surakarta, Kota
Salatiga, Kota Semarang, Kota Pekalongan, Sleman dan Kota Yogyakarta. Hasil pengujian Chi-
Square menunjukkan signifikan. Hasil pengujian regresi logistik memperlihatkan seluruh variabel
independen mampu dengan baik secara statistik menunjukkan perbedaan kinerja kawasan andalan
dengan bukan andalan. Parameter pertumbuhan ekonomi dan pendapatan berkapita menunjukkan
tanda positif yang berarti semakin tinggi nilai kedua variabel ini akan semakin mendukung
kesempatan suatu daerah ditentukan sebagai kawasan andalan.

        Demikian pula, indeks spesialisasi menunjukkan parameter negatif (signifikan pada α = 5%).
Nilai IS yang negatif menunjukkan sektor-sektor ekonomi daerah semakin terspesialisasi atau
mengerucut pada satu sektor ekonomi. Sebaliknya, jika nilai parameter adalah positif maka terdapat
sifat homogenitas dari sektor-sektor ekonomi yang berarti spesialisasi cenderung tidak ada. Pada
model ini terlihat daerah-daerah di Jawa Tengah – DIY yang semakin terkonsentrasi atau
terspesialisasi sektor-sektor ekonominya maka akan semakin meningkatkan kesempatan daerah itu
untuk secara tepat ditentukan sebagai kawasan andalan. Sebagai perbandingan, dari statistik
deskriptif dapat diketahui rata-rata nilai spesialisasi indeks di daerah cepat maju cepat tumbuh
sebesar 0,674 sementara daerah-daerah dengan tipologi lain rata-rata ISnya sebesar 0,544.


KESIMPULAN

        Program kawasan pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) sebagai program untuk
mempercepat pembangunan daerah memperlihatkan berbagai kendala. Karena itu, pemerintah
menetapkan program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagai program lanjutan KAPET dengan
menentukan kawasan-kawasan andalan baru yang dinilai akan memiliki fungsi strategis bagi
perkembangan daerah setempat maupun untuk menggerakkan perekonomian daerah sekitarnya.
        Pengkajian mengenai penentuan kawasan andalan atau Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
menarik untuk dilakukan. Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah beserta daerah yang ditetapkan
sebagai daerah kawasan andalan berkeinginan agar pemerintah pusat menetapkan daerah tersebut
menjadi kawasan andalan. Meskipun pemerintah pusat telah menyarankan agar wilayah yang
ditetapkan oleh pemerintah daerah sebagai kawasan di Jawa Tengah terlebih dahulu ditetapkan
sebagai area perdagangan bebas (free trade zone), pemerintah pusat berkeinginan daerah tersebut
ditetapkan menjadi daerah ekonom khusus setelah aturan baku mengenai KEK disahkan. Tarik ulur
kepentingan pusat dengan daerah ini menarik untuk dikaji. Karena itu, penelitian ini mengevaluasi
penentuan KEK berdasarkan aspek-aspek ekonomi.
        KEK yang diusulkan oleh pemerintah Propinsi Jawa Tengah meliputi dua KEK: KEK
Semarang – Kendal – Demak – Ungaran (Kabupaten Semarang) dan KEK Rembang – Blora. Dari

                                                                                               23
posisinya, wilayah ini terletak di bagian utara Jawa bagian Tengah, dan relatif dekat dengan ibukota
propinsi sekaligus terhubung dengan jarak relatif dekat dengan transportasi ke pusat
pelabuhan/dermaga di Semarang. Titik berat dari KEK Jawa Tengah adalah penentuan wilayah
Kendal sebagai basis dari KEK.
        Dilihat dari sisi tipologi daerah berdasar pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per
kapitanya, penentuan kawasan KEKI cenderung bukan didasarkan pada dua faktor ini. Hal ini
terbukti dari kondisi Kabupaten Demak, Rembang dan Blora yang dikategorikan daerah relatif
tertinggal. Rendahnya pertumbuhan ekonomi disertai rendahnya pendapatan per kapita di daerah-
daerah ini tidak menjadi faktor pertimbangan penghambat bagi pemerintah daerah ketika
memasukkan daerah ini sebagai bagian dari kawasan andalan.
        Selain itu, tiga daerah tersebut dari sisi potensi ekonominya cenderung memiliki keunggulan
dan berpotensi tetap unggul di sektor pertanian, bukan pada sektor industri pengolahan. Jika
penentuan KEK didasarkan sebagai upaya pengembangan kawasan pertanian maka penentuan tiga
daerah tersebut sebagai kawasan andalan bisa dipahami. Tetapi jika kawasan andalan bertujuan untuk
pengembangan industri, maka tiga daerah tersebut tidak memiliki potensi unggulan sebagai daerah
industri.
        Sementara untuk kabupaten Kendal, daerah yang direncanakan sebagai basis KEK Jawa
Tengah ini memang memiliki keunggulan dan potensi unggulan di sektor industri pengolahan. Tetapi
kabupaten ini memperlihatkan tipologinya sebagai daerah maju yang tertekan; berpendapatan per
kapita relatif tinggi tetapi pertumbuhan ekonominya relatif rendah. Selain itu, kabupaten Kendal
sebagaimana sebagian besar kabupaten/kota lain di Jawa bagian tengah merupakan daerah dengan
indeks spesialisasi yang rendah. Sektor-sektor ekonomi di Kendal cenderung tidak berkonsentrasi
pada satu sektor saja. Meskipun sumbangan industri pengolahan menunjukkan porsi terbesar bagi
PRDB, tetapi pangsa sektor pertanian masih tetap tinggi. Meskipun demikian, jika dilihat dari posisi
relatifnya yang dekat dengan pelabuhan laut dan sarana prasarana Kota Semarang, maka Kendal
dapat menjadi alternatif prioritas sebagai kawasan andalan industri dengan syarat penyediaan lahan
untuk pengembangan industri.

        Alternatif penentuan kawasan Joglosemar sebagai kawasan andalan cenderung perlu
dicermati. Ketiga daerah ini merupakan daerah ekonomi utama di Jawa bagian Tengah. Dengan
didukung tipologi sebagai daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh, ketiga daerah ini memiliki
fasilitas pelabuhan udara dan prasarana ekonomi penting lainnya, terutama Semarang dengan fasilitas
pelabuhan lautnya. Pengembangan kawasan khusus Joglosemar akan memberikan manfaat
aglomerasi sepanjang koridornya.
        Hasil pengujian statistik dengan metode logistik menunjukkan bahwa penentuan kawasan
andalan sebagaimana direncanakan oleh pemerintah daerah cenderung tidak melihat faktor
pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita maupun kondisi spesialisasi wilayah. Hal ini terbukti

                                                                                                 24
bahwa ketiga faktor tersebut tidak signifikan ketika digunakan untuk mengevaluasi ketepatan
penentuan kawasan andalan dan bukan andalan.
       Alternatif lain dalam pengujian penentuan kawasan andalan adalah menentukan kawasan
andalan berdasarkan tipologinya. Jika kawasan ekonomi khusus ditetapkan berdasarkan tipologi
daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh, maka faktor pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi
dan indeks spesialisasi akan menjadi variabel yang layak untuk diperhitungkan dalam pemilihan
kawasan andalan dan bukan andalan.
       Penelitian ini masih menyisakan beberapa permasalahan yang perlu untuk lebih banyak
dikaji. Pertama, penelitian ini menyarankan adanya studi yang lebih khusus mengenai efek
aglomerasi di kawasan ekonomi khusus. Penelitian tersebut akan penting untuk melihat apakah
aglomerasi di kawasan khusus ini akan mampu memberikan manfaat positif bagi daerah yang relatif
jauh dari pusat pertumbuhan Jawa Tengah – DIY. Kedua, perlu dilihat secara spesifik bagaimana
model dan kriteria investasi yang tepat untuk kawasan khusus tersebut. Hal ini penting untuk
mempercepat pertumbuhan investasi kawasan yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi,
peningkatan permintaan input lokal dan tambahan lapangan kerja.



DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2006, Berita Penataan Ruang, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan
         Umum, Edisi 02 – Mei 2006, Jakarta.

         , 2006, Berita Penataan Ruang, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen
         Pekerjaan Umum, Edisi 04 – Juli 2006, Jakarta.
         , 2006, Keterangan Pemerintah tentang Kebijakan Pembangunan Daerah di Depan Sidang
         Paripurna DPD-RI, 23 Agustus 2006, Jakarta
         , Sambutan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas pada Rapat Pleno Dengan Gubernur,
         Musrenbangnas, 17 April 2006, Jakarta
         , 2006, Jawa Tengah Usulkan Dua KEK, KOMPAS 12 Agustus 2006.
         , 2006, Kendal Optimis KEKI Serap 30.000 Tenaga Kerja, KOMPAS 02 Maret 2007.
         , 2007, Pengusaha Malaysia Tertarik Investasi, Koran SINDO 15 Maret 2007.

         , 2007, Usulan Kendal jadi KEK Industri otomotif Masih Dikaji, Antara News, 19 juni 2007
         , 2007, Pengembangan KEK Kendal Mentah Lagi, www.kadinjateng.com dikutip dari
         www.suaramerdeka.com, Kamis, 20 September 2007 09:42 WIB.
Capulapo, Rosa, 1998, Convergence in Recent Growth Theories: A Survey, Jurnal of Economic
         Studies, Vol. 25 No. 6, 1998, MCB University Press


                                                                                              25
Dahl, Michel S., 2001. Overview of The Histories of Geographical Clustering and Agglomeration,
         prepared for the DRUID Winter Seminar in Korsor, Denmark,
Glaeser, E.L, Kallal, H.D, Scheinkman, J.A., Shleifer, A .,1992, Growth in Cities, The Journal of
         Political Economy 100.
Hanson, G.H, 1996, Agglomeration, Disersion, and The Pioneer Firm, The Journal of Political
         Economy, 39.
Hu, Albert Guangzhou, 2004, Technology Parks and Regional Economic Growth in China, the
         Fourth International Conference of the Chinese Economy, Clermont-Ferrand, France,
         October 23 - 24, 2003 and the NUS - Beijing University - Tsinghua University Workshop
         on the Chinese Economy, February 11-12, 2004,
Kuncoro, Mudrajad, 2004, Otonomi & Pembangunan Daerah, Reformasi, Perencanaan, Strategi,
         dan Peluang, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Kuncoro, Mudrajad, 2004, Metode Kuantitatif, Teori dan Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi, UPP
         AMP YKPN, Yogyakarta

Kuncoro, M., Widodo, T., Sulistyaningrum, E., 2005, Pembangunan Daerah kabupaten Sleman di
         Era Otonomi: Analisis Kebijakan dan Implikasinya Bagi Perencanaan jangka Panjang,
         Kerja sama Pusat Studi Ekonomi & Kebijakan Publik UGM dengan Lembaga Penyelidikan
         Ekonomio dan Masyarakat FE UI, Maret 2005

Ottaviano, Gianmarco IP. And Puga, Diego, 1997, Agglomeration in The Gloal Economy – A Survey
         of The ‘New Economic Geography’, Centre of Economic Performance, Discussion paper
         No 356, August 1997.
Renyansih, 2002, Pendekatan dan Program Pengembangan Kawasan, Bulletin Kawasan, Edisi 2 –
         2002, Publikasi Direktorat Pengembangan kawasan Khusus dan Tertinggal, Jakarta.

Rygbi, D and Essletzbichler, J, 2002, Agglomeration Economic and Productivity Difference in US
         Cities, Journal of Economic Geography, 2.
Togo, Ken, 2001, A Brief Survey on Regional Convergence in East Asian Economies, Musashi
         University Working Paper No. 5, June 2001

Wagner, 2000, Regional Economic Diversity: Action, Concept, or State of Confusion, The Journal of
         Regional Analysis and Policy (2000)30:2
Yudhoyono, Susilo Bambang, 2006, Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia Serta
         Keterangan Pemerintah Atas Rancangan Undang-Undang Tentang Anggaran Pendapatan
         Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2007 Beserta Nota Keuangannya Di Depan Rapat
         Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 16 Agustus 2006, Jakarta
Yuwono, P, 2000, Perencanaan dan Analisis Kebijakan Pembangunan, Edisi 1. Fakultas Ekonomi
         Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga

                                                                                              26
LAMPIRAN

1. DATA UNTUK ANALISIS LOGISTIK


                                         Pendapat-              kawasan Andalan = 1 , bukan andalan = 0
                                             an     Pertumbuh
        Sam-                             Per kapita     an    KEKI 1 dan KEKI      Joglo-     Cepat maju
Tahun    pel kabupaten/Kota      IS        (Rp)      Ekonomi      2        1       semar cepat tumbuh
 2000     1   Cilacap           0,6988    5.798.867     5,53%      0         0       0           1
          2   Banyumas          0,4431    1.779.894     4,19%      0         0       0           0
          3   Purbalingga       0,4756    1.731.727     2,73%      0         0       0           0
          4   Banjarnegara      0,4833    2.391.169     1,01%      0         0       0           0
          5   Kebumen           0,5730    1.667.848     4,17%      0         0       0           0
          6   Purworejo         0,4930    2.477.900     1,98%      0         0       0           0
          7   Wonosobo          0,5727    1.826.871     4,11%      0         0       0           0
          8   Magelang          0,4308    2.418.200     3,18%      0         0       0           0
          9   Boyolali          0,4844    3.050.224     1,69%      0         0       0           0
         10   Klaten            0,4541    2.501.435     3,55%      0         0       0           0
         11   Sukoharjo         0,4842    3.607.676     3,36%      0         0       0           1
         12   Wonogiri          0,6804    1.974.957     3,49%      0         0       0           0
         13   Karanganyar       0,7767    4.103.487     4,88%      0         0       0           1
         14   Sragen            0,4327    2.285.783     3,46%      0         0       0           0
         15   Grobogan          0,5563    1.426.967     4,95%      0         0       0           0
         16   Blora             0,5613    1.963.458     2,29%      1         0       0           0
         17   Rembang           0,5955    2.434.653     5,27%      1         0       0           0
         18   Pati              0,4350    2.517.588     0,58%      0         0       0           0
         19   Kudus             0,9908   10.744.942     2,00%      0         0       0           0
         20   Jepara            0,4712    2.877.813     4,61%      0         0       0           0
         21   Demak             0,5057    2.341.751     2,95%      1         1       0           0
         22   Semarang          0,6617    3.981.912     4,53%      1         1       0           0
         23   Temanggung        0,4285    2.712.922     4,07%      0         0       0           0
         24   Kendal            0,5744    4.154.559     2,46%      1         1       0           0
         25   Batang            0,4673    2.635.193     1,82%      0         0       0           0
         26   Pekalongan        0,4679    2.789.376     1,45%      0         0       0           0
         27   Pemalang          0,4585    1.928.583     3,63%      0         0       0           0
         28   Tegal             0,4684    1.600.550     4,93%      0         0       0           0
         29   Brebes            0,6546    2.047.917     4,73%      0         0       0           0
         30   Kota Magelang     1,1767    6.369.622     3,94%      0         0       0           0
         31   Kota Surakarta    0,7684    6.098.222     4,21%      0         0       1           1
         32   Kota Salatiga     0,7072    4.314.378     4,07%      0         0       0           1
         33   Kota Semarang     0,7705   10.836.130     4,75%      1         1       1           1
         34   Kota Pekalongan   0,5373    5.084.663     3,43%      0         0       0           1
         35   Kota Tegal        0,5850    2.935.567     4,90%      0         0       0           0
         36   Kulonprogo        0,4539    3.208.963     2,60%      0         0       0           0
         37   Bantul            0,4356    3.309.017     3,32%      0         0       0           0
         38   Gunung Kidul      0,4975    3.414.827     2,67%      0         0       0           0
         39   Sleman            0,5243    4.419.452     3,96%      0         0       0           1
         40   Kota Yogyakarta   0,8399    8.832.293     3,92%      0         0       1           1




                                                                                                  1
Pendapat-              kawasan Andalan = 1 , bukan andalan = 0
                                             an     Pertumbuh
        Sam-                             Per kapita     an    KEKI 1 dan KEKI      Joglo-     Cepat maju
Tahun    pel kabupaten/Kota      IS        (Rp)      Ekonomi      2        1       semar cepat tumbuh
 2001    41   Cilacap           0,7034    5.968.249      4,46%     0         0       0           1
         42   Banyumas          0,4482    1.802.772      2,22%     0         0       0           0
         43   Purbalingga       0,4696    1.765.807      2,96%     0         0       0           0
         44   Banjarnegara      0,4746    2.360.858     -0,11%     0         0       0           0
         45   Kebumen           0,5731    1.674.375      0,94%     0         0       0           0
         46   Purworejo         0,4943    2.553.410      3,54%     0         0       0           0
         47   Wonosobo          0,5630    1.854.589      1,01%     0         0       0           0
         48   Magelang          0,4310    2.464.827      2,68%     0         0       0           0
         49   Boyolali          0,4838    3.226.218      6,33%     0         0       0           0
         50   Klaten            0,4577    2.589.003      4,14%     0         0       0           0
         51   Sukoharjo         0,4747    3.713.844      4,20%     0         0       0           1
         52   Wonogiri          0,6782    1.987.103      1,22%     0         0       0           0
         53   Karanganyar       0,7392    3.967.871     -1,28%     0         0       0           1
         54   Sragen            0,4303    2.343.981      2,95%     0         0       0           0
         55   Grobogan          0,5595    1.472.313      4,16%     0         0       0           0
         56   Blora             0,5701    2.014.051      2,89%     1         0       0           0
         57   Rembang           0,6169    2.484.047      3,13%     1         0       0           0
         58   Pati              0,4344    2.593.015      3,94%     0         0       0           0
         59   Kudus             0,9826   11.048.968      3,88%     0         0       0           0
         60   Jepara            0,4657    2.922.149      3,20%     0         0       0           0
         61   Demak             0,5174    2.380.606      3,72%     1         1       0           0
         62   Semarang          0,6855    4.073.675      2,69%     1         1       0           0
         63   Temanggung        0,4320    2.772.724      3,19%     0         0       0           0
         64   Kendal            0,5828    4.265.435      3,38%     1         1       0           0
         65   Batang            0,4666    2.678.159      2,35%     0         0       0           0
         66   Pekalongan        0,4694    2.796.718      2,50%     0         0       0           0
         67   Pemalang          0,4636    1.970.976      2,87%     0         0       0           0
         68   Tegal             0,4783    1.646.830      3,72%     0         0       0           0
         69   Brebes            0,6648    2.096.031      6,15%     0         0       0           0
         70   Kota Magelang     1,1563    6.597.672      3,44%     0         0       0           0
         71   Kota Surakarta    0,7588    6.355.970      4,12%     0         0       1           1
         72   Kota Salatiga     0,7125    4.505.816      4,66%     0         0       0           1
         73   Kota Semarang     0,7634   10.934.597      2,73%     1         1       1           1
         74   Kota Pekalongan   0,5233    5.267.064      3,96%     0         0       0           1
         75   Kota Tegal        0,5559    3.153.861      8,06%     0         0       0           0
         76   Kulonprogo        0,4496    3.328.616      3,66%     0         0       0           0
         77   Bantul            0,4281    3.393.597      3,74%     0         0       0           0
         78   Gunung Kidul      0,5047    3.520.266      3,38%     0         0       0           0
         79   Sleman            0,5151    4.558.384      4,67%     0         0       0           1
         80   Kota Yogyakarta   0,8345    9.218.954      3,95%     0         0       1           1




                                                                                                  2
Analisis keki
Analisis keki
Analisis keki
Analisis keki
Analisis keki

Contenu connexe

Similaire à Analisis keki

STRATEGI PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN POTENSI PARIWISATA KAWASAN WADUK JEHEM KABUPA...
STRATEGI PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN POTENSI PARIWISATA KAWASAN WADUK JEHEM KABUPA...STRATEGI PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN POTENSI PARIWISATA KAWASAN WADUK JEHEM KABUPA...
STRATEGI PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN POTENSI PARIWISATA KAWASAN WADUK JEHEM KABUPA...deliadzanni
 
DAK Fisik 2023_PJJ_Agustus 23_Sent.pptx
DAK Fisik 2023_PJJ_Agustus 23_Sent.pptxDAK Fisik 2023_PJJ_Agustus 23_Sent.pptx
DAK Fisik 2023_PJJ_Agustus 23_Sent.pptxkiswanpurwanto
 
Analisis kesehatan kinerja keuangan badan usaha milik desa
Analisis kesehatan kinerja keuangan badan usaha milik desa  Analisis kesehatan kinerja keuangan badan usaha milik desa
Analisis kesehatan kinerja keuangan badan usaha milik desa Dodi Yudiardi
 
Proyeksi dan Perkembangan Sektor UMKM di Tahun 2008
Proyeksi dan Perkembangan Sektor UMKM di Tahun 2008Proyeksi dan Perkembangan Sektor UMKM di Tahun 2008
Proyeksi dan Perkembangan Sektor UMKM di Tahun 2008F W
 
Tugas Individu Analisis DAK.pptx
Tugas Individu Analisis DAK.pptxTugas Individu Analisis DAK.pptx
Tugas Individu Analisis DAK.pptxJhon425472
 
PROJECT WORK Ayiie 8246.docx
PROJECT WORK Ayiie 8246.docxPROJECT WORK Ayiie 8246.docx
PROJECT WORK Ayiie 8246.docxmas iwan
 
Panduan bos 2013
Panduan bos 2013Panduan bos 2013
Panduan bos 2013Abbyzayidha
 
Spirit Soekarno Mewujudkan Bengkulu Zero Poverty
Spirit Soekarno Mewujudkan Bengkulu Zero PovertySpirit Soekarno Mewujudkan Bengkulu Zero Poverty
Spirit Soekarno Mewujudkan Bengkulu Zero PovertyTri Widodo W. UTOMO
 
Arah-Kebijakan-Nasional-dan-Prioritas-JABAR-Rancangan-Awal-RKP-2018_V01.pptx
Arah-Kebijakan-Nasional-dan-Prioritas-JABAR-Rancangan-Awal-RKP-2018_V01.pptxArah-Kebijakan-Nasional-dan-Prioritas-JABAR-Rancangan-Awal-RKP-2018_V01.pptx
Arah-Kebijakan-Nasional-dan-Prioritas-JABAR-Rancangan-Awal-RKP-2018_V01.pptxDungtji
 
Juklak pnpm p2_kp_2007
Juklak pnpm p2_kp_2007Juklak pnpm p2_kp_2007
Juklak pnpm p2_kp_2007Ahmad Danil
 
SP - Pelantikan Pejabat Kemenkeu-final.pdf
SP - Pelantikan Pejabat Kemenkeu-final.pdfSP - Pelantikan Pejabat Kemenkeu-final.pdf
SP - Pelantikan Pejabat Kemenkeu-final.pdfCIkumparan
 
4.-Bappenas-_-Range-Final-KNAM-23.34_220329_Paparan-Kunci-MPPN-Musrenbang-Pro...
4.-Bappenas-_-Range-Final-KNAM-23.34_220329_Paparan-Kunci-MPPN-Musrenbang-Pro...4.-Bappenas-_-Range-Final-KNAM-23.34_220329_Paparan-Kunci-MPPN-Musrenbang-Pro...
4.-Bappenas-_-Range-Final-KNAM-23.34_220329_Paparan-Kunci-MPPN-Musrenbang-Pro...MuhammadAkielElhanie
 
sambutan menteri ppn sosialisasi dak 2022
sambutan menteri ppn sosialisasi dak 2022sambutan menteri ppn sosialisasi dak 2022
sambutan menteri ppn sosialisasi dak 2022BappedaLampungUtara
 
Laporan pendahuluan ppi kuala cangkoy
Laporan pendahuluan  ppi kuala cangkoyLaporan pendahuluan  ppi kuala cangkoy
Laporan pendahuluan ppi kuala cangkoysugiyanto67
 
Djpk kebijakan penganggaran di daerah terkait dktp da k_re_vptt
Djpk kebijakan penganggaran di daerah terkait dktp da k_re_vpttDjpk kebijakan penganggaran di daerah terkait dktp da k_re_vptt
Djpk kebijakan penganggaran di daerah terkait dktp da k_re_vpttObie Donk Ach
 

Similaire à Analisis keki (20)

STRATEGI PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN POTENSI PARIWISATA KAWASAN WADUK JEHEM KABUPA...
STRATEGI PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN POTENSI PARIWISATA KAWASAN WADUK JEHEM KABUPA...STRATEGI PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN POTENSI PARIWISATA KAWASAN WADUK JEHEM KABUPA...
STRATEGI PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN POTENSI PARIWISATA KAWASAN WADUK JEHEM KABUPA...
 
Pdrb penggunaan malteng 2012
Pdrb penggunaan malteng 2012Pdrb penggunaan malteng 2012
Pdrb penggunaan malteng 2012
 
DAK Fisik 2023_PJJ_Agustus 23_Sent.pptx
DAK Fisik 2023_PJJ_Agustus 23_Sent.pptxDAK Fisik 2023_PJJ_Agustus 23_Sent.pptx
DAK Fisik 2023_PJJ_Agustus 23_Sent.pptx
 
Bappenas
BappenasBappenas
Bappenas
 
Analisis kesehatan kinerja keuangan badan usaha milik desa
Analisis kesehatan kinerja keuangan badan usaha milik desa  Analisis kesehatan kinerja keuangan badan usaha milik desa
Analisis kesehatan kinerja keuangan badan usaha milik desa
 
Proyeksi dan Perkembangan Sektor UMKM di Tahun 2008
Proyeksi dan Perkembangan Sektor UMKM di Tahun 2008Proyeksi dan Perkembangan Sektor UMKM di Tahun 2008
Proyeksi dan Perkembangan Sektor UMKM di Tahun 2008
 
Tugas Individu Analisis DAK.pptx
Tugas Individu Analisis DAK.pptxTugas Individu Analisis DAK.pptx
Tugas Individu Analisis DAK.pptx
 
Buku i final
Buku i finalBuku i final
Buku i final
 
PROJECT WORK Ayiie 8246.docx
PROJECT WORK Ayiie 8246.docxPROJECT WORK Ayiie 8246.docx
PROJECT WORK Ayiie 8246.docx
 
Panduan bos 2013
Panduan bos 2013Panduan bos 2013
Panduan bos 2013
 
Spirit Soekarno Mewujudkan Bengkulu Zero Poverty
Spirit Soekarno Mewujudkan Bengkulu Zero PovertySpirit Soekarno Mewujudkan Bengkulu Zero Poverty
Spirit Soekarno Mewujudkan Bengkulu Zero Poverty
 
Arah-Kebijakan-Nasional-dan-Prioritas-JABAR-Rancangan-Awal-RKP-2018_V01.pptx
Arah-Kebijakan-Nasional-dan-Prioritas-JABAR-Rancangan-Awal-RKP-2018_V01.pptxArah-Kebijakan-Nasional-dan-Prioritas-JABAR-Rancangan-Awal-RKP-2018_V01.pptx
Arah-Kebijakan-Nasional-dan-Prioritas-JABAR-Rancangan-Awal-RKP-2018_V01.pptx
 
Juklak pnpm p2_kp_2007
Juklak pnpm p2_kp_2007Juklak pnpm p2_kp_2007
Juklak pnpm p2_kp_2007
 
Proposal Koperasi
Proposal KoperasiProposal Koperasi
Proposal Koperasi
 
SP - Pelantikan Pejabat Kemenkeu-final.pdf
SP - Pelantikan Pejabat Kemenkeu-final.pdfSP - Pelantikan Pejabat Kemenkeu-final.pdf
SP - Pelantikan Pejabat Kemenkeu-final.pdf
 
4.-Bappenas-_-Range-Final-KNAM-23.34_220329_Paparan-Kunci-MPPN-Musrenbang-Pro...
4.-Bappenas-_-Range-Final-KNAM-23.34_220329_Paparan-Kunci-MPPN-Musrenbang-Pro...4.-Bappenas-_-Range-Final-KNAM-23.34_220329_Paparan-Kunci-MPPN-Musrenbang-Pro...
4.-Bappenas-_-Range-Final-KNAM-23.34_220329_Paparan-Kunci-MPPN-Musrenbang-Pro...
 
sambutan menteri ppn sosialisasi dak 2022
sambutan menteri ppn sosialisasi dak 2022sambutan menteri ppn sosialisasi dak 2022
sambutan menteri ppn sosialisasi dak 2022
 
Makalah optimisasi
Makalah optimisasiMakalah optimisasi
Makalah optimisasi
 
Laporan pendahuluan ppi kuala cangkoy
Laporan pendahuluan  ppi kuala cangkoyLaporan pendahuluan  ppi kuala cangkoy
Laporan pendahuluan ppi kuala cangkoy
 
Djpk kebijakan penganggaran di daerah terkait dktp da k_re_vptt
Djpk kebijakan penganggaran di daerah terkait dktp da k_re_vpttDjpk kebijakan penganggaran di daerah terkait dktp da k_re_vptt
Djpk kebijakan penganggaran di daerah terkait dktp da k_re_vptt
 

Analisis keki

  • 1. TUGAS EVALUASI PENENTUAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS (KEK) DI JAWA TENGAH - DIY DOSEN: PROF. DR. MUDRAJAD KUNCORO, M.Soc.Sc. OLEH: ABDUL AZIZ AHMAD S3 – 1967 UNIVERSITAS GAJAH MADA YOGYAKARTA 2007
  • 2. DAFTAR ISI JUDUL DAFTAR ISI ABSTRACT.................................................................................................................................. 1 PENDAHULUAN......................................................................................................................... 1 METODOLOGI ............................................................................................................................ 3 A. Aglomerasi dan Pusat pertumbuhan.................................................................................... 3 B. Metode Analisis.................................................................................................................. 4 1. Tipologi Daerah ............................................................................................................. 5 2. Analisis Location Quotients (LQ).................................................................................. 5 3. Analisis Spesialisasi Regional ....................................................................................... 8 4. Analisis Konvergensi..................................................................................................... 8 5. Analisis Perbedaan Kinerja Kawasan Andalan dan Kawasan Bukan Andalan ............. 9 HASIL ANALISIS........................................................................................................................ 10 A. Lokasi Wilayah KEKI Jawa Tengah dan Tipologi Daerah................................................. 10 B. Sektor Unggulan Kabupaten/Kota....................................................................................... 14 C. Analisis Spesialisasi Regional............................................................................................. 18 D. Analisis Konvergensi Wilayah............................................................................................ 20 E. Analisis Logistik.................................................................................................................. 21 KESIMPULAN ............................................................................................................................. 23 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 25 LAMPIRAN 1
  • 3. EVALUASI PENENTUAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS (KEK) DI JAWA TENGAH – DIY Abdul Aziz Ahmad ABSTRACT This research evaluates determination of Special Economic Region or Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) in Central Java – Yogyakarta Province. In these provinces, the per capita income shows convergence in 2000 to 2004. Despite the convergence value is categorically low, it is adequate to shows that economic development in each regency and town in Central Java – Yogyakarta run in proper way. It is so that the poor regencies/towns are growing faster than the richer regencies/towns. It implies the right determination of KEK will stimulate each periphery areas, especially poor regions, to increase their economic performance faster. On regional typology aspect, counted by economic growth and per capita income, determination of KEK by Central Java Governor tends not to base by the factors. It is proofed by Demak, Rembang and Blora Regency which enacted to be special economic region even these regencies left behind other regions relatively. Nevertheless, Kendal Regency that planned to be basis of Central Java KEK has superiority and keeps the potency in industrial sectors. But in regional typology, this area is classified by advanced but suppressed region; high per capita income but low economic growth. Alternatively, Joglosemar triangle area has interesting note. The three towns: Yogyakarta, Surakarta and Semarang Town, the typology area is advance and grow faster. These areas also have better infrastructure than other regencies/towns. The development in Joglosemar corridor will have positive agglomeration effect to contiguous areas. Last, logistic model shows that the determination of Central Java KEK that enacted by province governor tends not to consider economic growth, per capita income and specialization index factors. It is proofed by these factor are not significant to evaluate the proper of special and non special economic region. Alternatively, if the factors is used to be an economic base to predict special economic area, Joglosemar and the regions that have the typology classified by advance and grow faster will be a better choice. Keyworlds, KEK, regional typology, logistic model PENDAHULUAN Satu program khusus untuk mendorong investasi yang diluncurkan pada awal tahun 2006 adalah upaya untuk mengembangkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Kawasan ini, selain ditujukan untuk mendorong pertumbuhan wilayah, juga diharapkan dapat menarik penanaman modal ke wilayah-wilayah itu. Dengan adanya Kawasan Ekonomi Khusus, diharapkan akan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat di sekitarnya. Komitmen daerah untuk memangkas birokrasinya, menghilangkan pungutan-pungutan yang membebani kegiatan usaha, menyediakan dan mengamankan lahan yang sesuai serta dukungan penuh dari Pemerintah Daerah, merupakan kunci keberhasilan Kawasan Ekonomi Khusus (Yudhoyono, 2006). Lebih lanjut, pembentukan KEKI diharapkan akan mampu menyerap tenaga kerja langsung maupun tidak langsung, peningkatan penerimaan devisa, meningkatkan keunggulan kompetitif produk ekspor, meningkatkan pemanfaatan 1
  • 4. sumber daya lokal, pelayanan dan kapital bagi peningkatan ekspor. KEKI diharapkan akan mampu mendorong peningkatan kualitas SDM di kawasan tersebut. Sebagai upaya peningkatan investasi, ekspor dan percepatan pembangunan infrastruktur, pemerintah telah mengeluarkan Inpres No. 3/2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi dan SK Menko Perekonomian No. KEP-08/M.EKON/02/2006 (17 Februari 2006) tentang Paket Kebijakan Infrastruktur. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi global, Indonesia perlu memfokuskan peningkatan ekspor dan investasinya pada beberapa kawasan khusus. Kawasan khusus inilah yang akan dikembangkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI). KEKI bukanlah konsep baru yang berlaku di Indonesia. KEKI merupakan kelanjutan kebijakan program KAPET. Dulu sejumlah daerah masuk dalam KAPET. KAPET rata-rata berlokasi di Kawasan Timur Indonesia yang Infrastrukturnya masih minim dan pemerintah belum mampu mengembangkan infrastrukturnya, sehingga kesulitan mendapatkan investasi. Dengan KEKI yang direkomendasikan, program diperkirakan lebih baik dari pada KAPET dan mampu berjalan karena infrastruktur pendukungnya lebih siap. keberadaan KEKI diharapkan mendorong kegiatan ekspor, meningkatkan investasi serta dapat menjadi pendorong pertumbuhan daerah sekitarnya (Anonim, DPU, 2006). Sebagai tahap awal, KEK ini secara khusus diperuntukkan bagi pengembangan investasi di Pulau Batam, Bintan dan Karimun (BBK). Dari KEK BBK tersebut, pemerintah menyatakan jika model pengembangan ini berhasil, maka dapat dikembangkan KEK di provinsi lain yang memenuhi persyaratan. Pembentukan KEK ini akan berbentuk kerja sama yang erat antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta partisipasi dunia usaha. KEK ini diharapkan akan merupakan simpul-simpul dari pusat kegiatan ekonomi unggulan, yang didukung baik fasilitas pelayanan prima maupun kapasitas prasarana yang berdaya saing internasional. Setiap pelaku usaha yang berlokasi di dalamnya, akan memperoleh pelayanan dan fasilitas yang mutunya dapat bersaing dengan praktek- praktek terbaik dari kawasan sejenis di Asia-Pasifik. Namun, pemerintah pusat menyatakan, keberhasilan KEK pada akhirnya akan ditentukan oleh daerah itu sendiri dalam memangkas birokrasi, memberi pelayanan prima, menjamin ketersediaan lahan dan menjamin kepastian hukum (Anonim, 2006) Direktorat Jenderal Penataan Ruang mengusulkan pembentukan 12 Kawasan Ekonomi Khusus. Ditjen Penataan Ruang yang dalam hal ini berperan sebagai Anggota Tim Pelaksana dalam susunan Timnas KEKI yang dibentuk melalui SK Menko Perekonomian No. KEP-21/ M.EKON/03/2006 (24 Maret 2006) telah mengajukan kandidat KEKI untuk dikaji (Anonim, DPU, 2006). Disamping 12 Kawasan Ekonomi Khusus sebagai bahan kajian dari Ditjen Penataan Ruang, terdapat berbagai usulan pendirian KEK untuk wilayah atau provinsi lain dari pihak pemerintah daerah. Salah satunya adalah upaya pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang membahas penentuan 2
  • 5. Kawasan Ekonomi Khusus. Pemerintah Provinsi ini mengusulkan dua wilayah yang potensial menjadi kawasan ekonomi khusus. Pertama, Semarang-Kendal-Demak-Ungaran (Kabupaten Semarang) dan kedua, Rembang-Blora. Pada akhirnya, keputusan penentuan KEKI di Jawa Tengah mengerucut untuk usulan pertama saja dengan fokus pada wilayah Kendal. Titik berat pengembangan di kawasan ini adalah pengembangan sektor industri. Beberapa pertimbangan dari pemerintah daerah terkait dengan penetapan Kendal sebagai prioritas KEKI Jawa Tengah antara lain: KEKI di Kendal akan menyerap tenaga kerja yang signifikan (Koran SINDO, 2007), terdapat beberapa investor yang sudah dipastikan menanamkan modal di KEKI Kendal (Kompas, 2007) dan daerah Kendal adalah daerah yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai KEK bagi industri otomotif, karena tenaga kerja yang memadai dan infrastrukturnya mudah dibangun, serta lokasinya masih dalam jangkauan industri komponen otomotif (Antara News, 2007) Terkait dengan upaya pengembangan kawasan ekonomi, khususnya di Jawa Tengah, topik mengenai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Jawa Tengah menarik untuk dikaji. Meskipun terdapat dorongan kuat dari pemerintah daerah, baik kabupaten maupun propinsi, untuk menentukan beberapa daerah sebagai KEK, pemerintah pusat cenderung untuk tidak menerima pengajuan KEK dari Propinsi Jawa Tengah. Hal ini terlihat pernyataan Sekretariat Wapres yang justru mengajukan usulan agar lahan yang akan dikembangkan KEK di Jawa Tengah dibangun free trade zone terlebih dulu. Alasannya, payung hukum yang mengatur keberadaan KEK belum siap (Kadin Jateng, 2007). Meskipun demikian, upaya untuk mewujudkannya terlaksananya KEKI terus diupayakan oleh BAPPEDA Jawa Tengah. Bappeda berupaya mengevaluasi peruntukan zona-zona di sekitar calon lahan KEK. Pihak BAPPEDA menyatakan jika payung hukum berupa regulasi sudah keluar, maka tinggal dilakukan penetapan Kendal sebagai salah satu KEK di Indonesia. Dari uraian di atas, penelitian ini berusaha untuk melakukan evaluasi ketepatan penentuan daerah KEKI Jawa Tengah. Dengan posisi relatifnya yang sulit untuk dipisahkan dari daerah lain (khususnya Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta), maka untuk melihat perekonomian daerah- daerah di Jawa Tengah perlu pula melihat komparasi dengan daerah-daerah di DIY. Karena itu, penelitian ini membatasi lingkup wilayah penelitian hanya pada wilayah Jawa bagian Tengah, yang meliputi Propinsi Jawa Tengah dan DIY. METODOLOGI A. Aglomerasi dan Pusat Pertumbuhan Aglomerasi merujuk pada clustering perusahaan-perusahaan di lokasi tertentu di suatu daerah perkotaan. Dampak dari kluster ekonomi adalah memunculkan kesempatan kerja baru di daerah itu. Maoh dan Kanaroglou (2004) menyatakan bahwa klaster merupakan upaya vital dari suatu daerah untuk menstimulasi pertumbuhan di area perkotaan. Manfaat dari ekonomi aglomerasi dan peran dari pertumbuhan perkotaan pertama kali diperkenalkan oleh teori Marshall. Ia 3
  • 6. memberikan argumentasi bahwa kegiatan ekonomi eksternal seperti pooling pasar tenaga kerja, input sharing dan technological spillover yang mendorong level produktivitas suatu kota akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Maoh dan kanaroglou (2004) menunjukkan terdapat bukti-bukti empiris dari Glaeser (1992), Hanson (1996) yang telah mendukung teori Marshal tersebut. Dorongan ekonomi yang tercipta jika perusahaan-perusahaan membentuk cluster di suatu ruang wilayah, yang juga dikenal dengan ekonomi aglomerasi, merupakan syarat bertahannya dan kesuksesan dari suatu perusahaan. Maoh mencatat alasan dari hal ini antara lain adalah adanya faktor keanekaragaman spasial, skala ekonomi internal, skala ekonomi eksternal dan persaingan tak sempurna. Aglomerasi suatu daerah juga menunjukkan hubungan sentripetal dan sentrifugal yang bergerak secara simultan. Hal ini dinyatakan oleh Krugman yang mempelopori pendekatan New Economic Geography (NEG). Pendekatan ini menjelaskan tensi struktur geografi ekonomi dipengaruhi oleh kekuatan dari dua faktor yang berlawanan tersebut. Pendekatan NEG tidak hanya berfokus pada konsentrasi industri tertentu di suatu daerah, tetapi juga meliputi pendekatan pada struktur vertikal produksi yang juga akan memungkinkan meningkatkan atau menurunkan konsentrasi industri (Dahl, 2001). Pentingnya aglomerasi terkait pula dengan meningkatnya pangsa penjualan yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan di suatu wilayah terhadap wilayah lainnya. Aglomerasi juga akan memberikan keterkaitan penting antara daerah pusat (core) dengan daerah sekitar. Jika ukuran perusahaan di wilayah core meningkat maka permintaan input faktor akan meningkat (Ottaviano dan Puga, 1997). Terutama jika input tersebut dapat disediakan oleh daerah pusat atau daerah sekitar. Salah satu faktor pendorongnya adalah biaya transportasi yang lebih rendah jika input diperoleh dari wilayah yang relatif lebih dekat dengan pusat industri. Pembentukan kawasan ekonomi khusus di Jawa Tengah – DIY pada penelitian ini dilihat sebagai proses pembentukan aglomerasi di wilayah tertentu. KEK di wilayah ini merupakan perencanaan kebijakan untuk menentukan suatu daerah menjadi pusat ekonomi dengan fokus pada sektor industri. Dampak adanya KEK ini bukan hanya akan memberikan manfaat positif bagi perkembangan ekonomi daerah utama (KEK), tetapi juga akan memberikan stimulasi positif meningkatnya aktivitas ekonomi daerah sekitar KEK. Daerah koridor KEK ini terutama diproyeksikan sebagai daerah penyangga untuk menyediakan input bagi daerah kawasan khusus. B. Metode Analisis Penelitian ini mengkaji potensi ekonomi kabupaten/kota di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di wilayah Jawa bagian tengah, yang meliputi Propinsi Jawa Tengah (Jateng) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan menentukan sektor-sektor basis (unggulan). Menurut Kuncoro (2004) penentuan basis ekonomi merupakan salah satu tugas yang 4
  • 7. perlu dilakukan pada tahap pertama dalam proses perencanaan pembangunan ekonomi daerah. Selain penentuan sektor ekonomi basis, perlu pula digambarkan kondisi tipologi di wilayah tersebut, penggunaan analisis spesialisasi regional untuk mengetahui tingkat spesialisasi antar daerah dan melihat ketepatan penentuan kawasan andalan berdasar faktor-faktor ekonomi yang ada. 1. Tipologi Daerah Tipologi Daerah menunjukkan gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi di setiap daerah. Tipologi utama pada penelitian ini membagi daerah berdasarkan dua indikator utama; pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah. Axis ditentukan sebagai berikut: sumbu vertikal menunjukkan rata-rata pertumbuhan ekonomi, sumbu horizontal menunjukkan pendapatan per kapita daerah. Daerah yang diamati dibagi menjadi empat klasifikasi (tabel 1) berikut: daerah cepat maju dan tumbuh (pertumbuhan ekonomi tinggi dan pendapatan per kapita tinggi), daerah maju tapi tertekan (pendapatan tinggi tapi pertumbuhan rendah), daerah berkembang cepat (pertumbuhan tinggi tapi pendapatan rendah) dan relatif tertinggal (pertumbuhan dan pendapatan rendah) (Kuncoro, 2004). Tabel 1. Tipologi Daerah Berdasarkan Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Per Kapita PDRB per kapita (yi < y) (yi > y) Pendapatan per kapita Pendapatan per kapita (ri > r) rendah dan pertumbuhan tinggi dan pertumbuhan Pertumbuhan ekonomi tinggi ekonomi tinggi Ekonomi Pendapatan per kapita Pendapatan per kapita (ri < r) rendah dan pertumbuhan tinggi dan pertumbuhan ekonomi rendah ekonomi rendah Sumber: Kuncoro (2004) 2. Analisis Location Quotients (LQ) Untuk mengidentifikasi subsektor-subsektor unggulan atau ekonomi basis dari wilayah Kabupaten/Kota di Propinsi Jateng dan DIY akan digunakan alat analisis Location Quotients. Subsektor ungulan yang berkembang dengan baik tentunya akan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan daerah secara optimal (Kuncoro, 2004). Formula yang digunakan untuk analisis Location Quotient (SLQ) adalah sebagai berikut (Wagner, 2000); 5
  • 8. e si ei LQ = es e Dimana; es i = nilai produksi subsektor s pada daerah kabupaten/kota ei = total PDRB kabupaten/kota es = nilai produksi sektor s pada Propinsi Jateng/DIY e = total PDRB Provinsi Jateng/DIY Kriteria hasil penilaian yang diterapkan adalah sebagai berikut (Kuncoro, 2004): 1. LQ > 1, berarti tingkat spesialisasi sub sektor tertentu pada tingkat daerah kabupaten/kota lebih besar dari sektor yang sama pada tingkat propinsi 2. LQ < 1, berarti tingkat spesialisasi sub sektor tertentu pada tingkat daerah kabupaten/kota lebih kecil dari sektor yang sama pada tingkat propinsi 3. LQ > 1, berarti tingkat spesialisasi sub sektor tertentu pada tingkat daerah kabupaten/kota sama dengan sektor yang sama pada tingkat propinsi Jika suatu subsektor ekonomi memiliki nilai LQ > 1 dapat dikatakan bahwa subsektor tersebut merupakan subsektor ungulan dari daerah kota/kabupaten. Sebaliknya jika LQ < 1, subsektor tersebut bukan merupakan subsektor ungulan. Formula LQ tersebut bersifat statis atau Static Location Quotients (SLQ) karena hanya melihat satu periode atau titik waktu saja. Model ini lemah karena tidak mampu melihat perubahan spesialisasi secara periodik. Model tidak dapat melihat apakah suatu sektor yang unggul pada tahun ini masih tetap menjadi sektor unggulan pada tahun yang akan datang. Demikian pula, model tidak mengakomodasi jika sektor yang belum unggul pada saat ini akan menjadi sektor unggulan di masa yang akan datang. Pada analisis ini, nilai SLQ yang dipergunakan adalah rata-rata SLQ dari setiap SLQ yang dihasilkan pada setiap periode tahun penelitian. Untuk lebih mempertajam hasil analisis LQ, analisis yang ditambahkan adalah penggunaan model Dinamic Location Quotient (DLQ). Model DLQ lebih baik dari model SLQ karena mampu melihat perubahan LQ antar dua rentang periode waktu. Adapun formula yang digunakan untuk analisis Dynamic Location Quotient (DLQ) adalah sebagai berikut (Kuncoro, 2005): t ⎡ ( 1 + g ij ) / ( 1 + g j ) ⎤ IPPS ij DLQij= ⎢ ⎥ = ⎣ ( 1 + Gi ) / (1 + G ) ⎦ IPPS i dimana: DLQij = Indeks potensi sektor i di kabupaten/kota j gij = Laju pertumbuhan nilai tambah sektor i di kabupaten/kota j gj = Rata-rata laju pertumbuhan PDRB kabupaten/kota j 6
  • 9. Gi = Laju pertumbuhan nilai tambah sektor i di regional Jateng + DIY G = Rata-rata laju pertumbuhan PBRB regional Jateng + DIY. t = Selisih tahun akhir dan tahun awal IPPSij = Indeks Potensi Perkembangan sektor i di kabupaten/kota IPPSi = Indeks Potensi Perkembangan sektor i di regional Jateng + DIY Adapun rumus untuk menentukan laju pertumbuhan sektor ekonomi (Yuwono, 2000: 135) adalah sebagai berikut: ⎡ E ijt ⎤ 1/ t gij = ⎢ ⎥ -1 ⎢ E ij 0 ⎥ ⎣ ⎦ dimana: gij = laju pertumbuhan nilai tambah sektor i di kabupaten/kota j Eijt = adalah nilai tambah sektor i di kabupaten/kota j pada tahun akhir pengamatan Eij0 = adalah nilai tambah sektor i di kabupaten/kota j pada tahun awal pengamatan t = adalah selisih tahun akhir dan tahun awal pengamatan. Untuk menentukan g j , Gi dan G dapat digunakan rumus yang sama dengan rumus di atas. Perbedaannya, untuk mencari gj, data yang digunakan adalah PDRB kabupaten/kota; untuk mencari Gi, data yang digunakan adalah nilai tambah sektor i di regional Jateng + DIY, sedangkan untuk mencari G, data yang digunakan adalah PDRB regional Jateng + DIY. Interpretasi nilai DLQij adalah jika DLQij > 1 berarti potensi perkembangan sektor i kabupaten/kota j lebih cepat dibandingkan dengan potensi perkembangan sektor i di propinsi regional Jateng + DIY (sektor i tersebut berpotensi unggulan di kabupaten/kota j). Jika DLQij = 1, berarti potensi perkembangan sektor i di kabupaten/kota j sebanding dengan potensi perkembangan sektor i di regional Jateng + DIY. Jika DLQij < 1 berarti potensi perkembangan sektor i di kabupaten/kota j lebih rendah dibandingkan dengan potensi perkembangan sektor i di regional Jateng + DIY (sektor i tersebut tidak berpotensi unggulan ). Perolehan nilai SLQ dan DLQ dapat dibuat komparasi dalam tabel potensi sektor-sektor ekonomi untuk setiap kabupaten/kota sebagaimana pada tabel 2, dimana; Kuadran (A) : sektor bukan unggulan yang tidak berpotensi unggulan Kuadran (B) : sektor bukan unggulan tetapi berpotensi unggulan Kuadran (C) : sektor unggulan yang tidak berpotensi unggulan Kuadran (D) : sektor unggulan yang berpotensi unggulan 7
  • 10. Tabel 2. Klasifikasi Sektoral atas Dasar Analisis Komparatif DLQ Kriteria DLQi < 1 DLQi > 1 SLQi < 1 A B SLQ SLQi > 1 C D Sumber: Kuncoro 2005, setelah dilakukan pivot pada tabel 3. Analisis Spesialisasi Regional Penggunaan alat analisis indeks spesialisasi regional adalah untuk mengetahui tingkat spesialisasi antar daerah di Propinsi Jateng/DIY dengan menggunakan Indeks Krugman. Perumusan Indeks Krugman adalah sebagai berikut (Kuncoro, 2004): n Eij ∑ Eik SI jk = − i =1 Ej Ek Dimana: SIjk = Indeks Spesialisasi kabupaten j dan k Eij = PDRB sektor i pada Kabupaten j Ej = PDRB total kabupaten j Eik = PDRB sektor i pada Kabupaten k Ek = PDRB total kabupaten k Kriteria pengukuran dari indeks spesialisasi Krugman adalah jika indeks spesialisasi regional mendekati nol maka kedua daerah j dan k tidak memiliki spesialisasi, dan jika indeks spesialisasi regional mendekati dua maka kedua daerah j dan k memiliki spesialisasi. Batas tengah antara angka nol dan dua adalah nilai satu. Maka, jika nilai indeks spesialisasi lebih besar dari satu maka dapat dianggap sektor tersebut memiliki tingkat spesialisasi yang tinggi. Untuk melihat tinggi rendahnya tingkat spesialisasi suatu daerah terhadap daerah lainnya dipergunakan nilai rata-rata indeks spesialisasi seluruh daerah sebagai pembanding. 4. Analisis Konvergensi Untuk melihat percepatan pertumbuhan ekonomi daerah-daerah diperlukan analisis konvergensi. Pada penelitian ini, konvergensi yang dimaksudkan adalah percepatan pertumbuhan pendapatan per kapita daerah-daerah kabupaten dan kota di Jawa Tengah – DIY. Capolupo (1998) membuat persamaan regresi yang didasarkan pada model regresi neoklasik untuk mengukur tingkat konvergensi atau divergensi pada periode t0 sampai t0+T sebagai berikut: 1 ⎛ 1 − e − βT ⎞ Ln ( y i ,t 0 +T / y i ,t 0 ) = α − ⎜ ⎜ ⎟ Ln ( y i ,t 0 +T ) + γ X i ,t + μ ⎟ i ,t T ⎝ T ⎠ 8
  • 11. Dimana tingkat pertumbuhan pendapatan rata-rata adalah fungsi dari pendapatan tahun awal. Vektor X adalah variabel kondisional yang dapat terdiri dari rasio investasi, pertumbuhan penduduk, tingkat pendidikan, variabel moneter dan fiskal ataupun variabel kondisional lainnya. Sedangkan vektor μ i,T merupakan faktor gangguan acak. Estimasi β yang bernilai negatif menunjukkan jika perekonomian bermula dari kondisi di bawah tingkat steady state, maka perekonomian tersebut akan cenderung maju lebih cepat daripada perekonomian yang dekat dengan kondisi steady state dan akan menghasilkan konvergensi pendapatan per kapita. Semakin besar nilai β (negatif) maka akan semakin cepat konvergensinya (Hu, 2004). Karena penelitian ini semata-mata melihat besaran konvergensi atau divergensi dan tidak untuk melihat kontrol desain untuk mengukur perbedaan preferensi dan teknologi pada kondisi steady state, variabel kondisional X tidak dipergunakan. Maka, penelitian ini menggunakan model konvergensi standar Barro (Togo, 2001): 1 ⎛ 1 − e − βT ⎞ Ln ( y i ,t 0 +T / y i ,t 0 ) = α − ⎜ ⎜ T ⎟ Ln ( y i ,t 0 +T ) + μ ⎟ i ,t T ⎝ ⎠ ⎛ 1 − e − βT ⎞ −⎜ ⎜ T ⎟ merupakan besaran parameter hasil regresi b. Jika nilai parameter b dapat ⎟ ⎝ ⎠ ⎛ 1 − e − βT ⎞ diketahui, maka nilai konvergensi β akan dapat diketahui. Dengan kata lain, b = − ⎜ ⎜ T ⎟ ⎟ ⎝ ⎠ 5. Analisis Perbedaan Kinerja Kawasan Andalan dan Kawasan Bukan Andalan Penelitian ini menerapkan model logistik regression sebagaimana dilakukan oleh Kuncoro (2004) untuk melihat perbedaan kinerja perekonomian di kawasan andalan dan kawasan bukan andalan. Pada penelitian ini, model logistik dipergunakan untuk menguantifikasi hubungan antara probabilitas dua pilihan dengan beberapa karakteristik yang berbeda, yaitu probabilitas satu sebagai kawasan andalan dan nol sebagai kawasan bukan andalan. Dengan penggunaan model ini, hasil dari suatu kawasan dikategorikan sebagai kawasan unggulan (khusus) apakah sudah tepat atau tidak dapat diketahui. Data yang dipergunakan akan menggunakan data panel yang meliputi 40 daerah kabupaten/kota dengan periode waktu 5 tahun (2000 – 2004). Analisis model logistik dilakukan dengan menggunakan persamaan (Kuncoro, 2004): Prob [Y=0] = 1 / [ 1 + exp (b0 + b1 IS + b2 PERTUM + b3 PERKAP) ] Dimana: Y = Dummy variabel 1 = Kawasan andalan 9
  • 12. 0 = kawasan bukan andalan IS = Spesialisasi Daerah PERTUM = Pertumbuhan PDRB PERKAP = PDRB per Kapita Kawasan andalan dalam analisis ini dibagi menjadi empat kategori (skenario). Dua kategori adalah kawasan yang telah ditentukan sebagai kawasan ekonomi khusus oleh pemerintah daerah dan dua kawasan yang menjadi alternatif pembentukan kawasan ekonomi andalan, yaitu: Kategori 1 : Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) 1 dan 2; Demak, Semarang, Kendal, Kota Semarang, Rembang, Blora Kategori 2 : Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) 1; Demak, Semarang, Kendal, Kota Semarang Kategori 3 : Pusat Pertumbuhan Joglosemar; Kota Yogyakarta, Kota Surakarta, Kota Semarang Kategori 3: Daerah yang berdasarkan hasil analisis tipologi daerah diidentifikasikan sebagai daerah cepat maju dan cepat tumbuh HASIL ANALISIS A. Lokasi Wilayah KEKI Jawa Tengah dan Tipologi Daerah Pemerintah Propinsi Jawa Tengah telah mengusulkan dua kawasan Ekonomi Khusus (KEK), yaitu 1. KEK 1: Semarang – Kendal – Demak – Ungaran (Kabupaten Semarang) 2. KEK 2: Rembang – Blora Dua KEK tersebut terletak di wilayah utara pulau Jawa bagian tengah. Posisi Relatif dari dua daerah KEKI Jateng dapat digambarkan pada Gambar 1. KEKI 1 berada di wilayah Kota Semarang dan Sekitarnya dan KEK 2 bagian timur laut Jawa Tengah (area lebih gelap). Selain penentuan dua KEK tersebut, perlu pula dilihat pentingnya bentuk kerja sama lain, yaitu daerah pusat pertumbuhan Joglosemar. Kawasan JOGLOSEMAR merupakan daerah-daerah pusat pertumbuhan utama di Jawa Tengah dan DIY. Daerah ini meliputi Kota Yogyakarta, Kota Semarang dan Kota Surakarta (Solo). Pada gambar 1, koridor Joglosemar terhubung oleh garis tebal. Peningkatan aglomerasi di koridor JOGLOSEMAR ini bersifat strategis karena akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi kawasan kabupaten sekitarnya. 10
  • 13. U Gambar 1. Kawasan KEKI dan Koridor Joglosemar di Jawa Bagian Tengah Kawasan yang diperkirakan akan memperoleh imbas utama manfaat aglomerasi terutama daerah yang terlintas jalur koridor Joglosemar, antara lain: Kabupaten Magelang, Kota Magelang, Sleman, Klaten, Boyolali, Kota Salatiga dan kabupaten Semarang dan daerah sekitar koridor yaitu; Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar dan Kendal. Untuk melihat kondisi perekonomian di wilayah Jawa Tengah DIY perlu dilihat tipologi masing-masing daerah. Analisis tipologi daerah pada penelitian ini untuk menunjukkan sebaran nilai pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Tabel 3 menunjukkan daftar pendapatan perkapita serta pertumbuhan ekonomi di lingkup wilayah Jateng DIY. Pada tabel 3 tersebut, rata-rata pendapatan per kapita kabupaten/kota Jateng DIY sebesar Rp3.788.330,73 dan rata-rata pertumbuhan ekonominya sebesar 3,72%. Daerah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi adalah Kota Tegal (6,79%) sementara daerah dengan pendapatan per kapita tertinggi adalah Kota Semarang (Rp11.390.236,85). Jika antara pendapatan per kapita dengan pertumbuhan ekonomi dikaitkan, tipologi daerah akan diperoleh dengan membagi tipologi tersebut berdasar 4 kuadran (Grafik 1); Kuadran 1: Daerah dengan pendapatan per kapita tinggi, pertumbuhan ekonomi tinggi Kuadran 2: Daerah dengan pendapatan per kapita rendah, pertumbuhan ekonomi tinggi Kuadran 3: Daerah dengan pendapatan per kapita rendah, pertumbuhan ekonomi rendah Kuadran 4: Daerah dengan pendapatan per kapita tinggi, pertumbuhan ekonomi rendah 11
  • 14. Tabel 3. Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Per kapita Kabupaten/Kota di Jateng DIY tahun 2000 - 2004 No Kab/Kota Singkatan Pertumbuhan Ekonomi Pendapatan Perkapita 1 Cilacap Clc 5,51% Rp6.338.886,94 2 Banyumas Bms 3,70% Rp1.864.566,26 3 Purbalingga Pbg 3,48% Rp1.820.520,86 4 Banjarnegara Bjn 1,72% Rp2.400.768,63 5 Kebumen Kbm 2,80% Rp1.724.930,54 6 Purworejo Prj 3,64% Rp2.657.538,66 7 Wonosobo Wns 2,33% Rp1.879.439,20 8 Magelang Mgl 3,89% Rp2.569.232,47 9 Boyolali Byl 3,50% Rp3.301.313,08 10 Klaten Klt 4,29% Rp2.695.421,15 11 Sukoharjo Skh 3,82% Rp3.808.952,89 12 Wonogiri Wng 2,67% Rp2.048.961,16 13 Karanganyar Kra 4,11% Rp4.205.737,29 14 Sragen Sra 3,40% Rp2.415.290,66 15 Grobogan Grb 4,09% Rp1.516.826,67 16 Blora Blr 3,38% Rp2.080.844,66 17 Rembang Rmb 4,24% Rp2.574.707,26 18 Pati Pat 2,71% Rp2.644.342,12 19 Kudus Kds 2,65% Rp11.173.157,72 20 Jepara Jpr 3,87% Rp2.966.284,13 21 Demak Dmk 3,12% Rp2.397.660,75 22 Semarang Smg 3,23% Rp4.255.158,96 23 Temanggung Tmg 3,77% Rp2.864.189,98 24 Kendal Knd 2,96% Rp4.371.481,74 25 Batang Btg 2,06% Rp2.707.416,73 26 Pekalongan Pkl 2,93% Rp2.874.242,13 27 Pemalang Pml 3,52% Rp2.031.906,88 28 Tegal Tgl 4,94% Rp1.725.315,50 29 Brebes Brb 5,12% Rp2.198.020,35 30 Kota Magelang KMgl 3,43% Rp6.802.671,17 31 Kota Surakarta KSrk 5,04% Rp6.747.625,28 32 Kota Salatiga KSlt 4,19% Rp4.685.739,14 33 Kota Semarang KSmg 4,44% Rp11.390.236,85 34 Kota Pekalongan KPkl 3,84% Rp5.446.102,47 35 Kota Tegal KTgl 5,90% Rp3.263.850,54 36 Kulonprogo Klp 3,82% Rp3.480.781,20 37 Bantul Bnt 4,25% Rp3.520.469,46 38 Gunung Kidul Gnk 3,22% Rp3.630.345,46 39 Sleman Slm 4,76% Rp4.725.662,38 40 Kota Yogyakarta Kygy 4,43% Rp9.726.629,72 Rata-rata 3,7198% Rp3.788.330,73 Grafik 1 menunjukkan sebagian besar daerah berada pada kuadran 3, atau daerah dengan pendapatan per kapita rendah diiringi pertumbuhan ekonomi rendah (dari rata-rata Jateng DIY). Seluruh daerah ini berbentuk kabupaten. 12
  • 15. 7% (2) (1) 6% Ktgl Clc Brb Ksrk Tgl 5% Slm Kygy Ksmg Pertumbuhan Ekonomi Klt Rmb Bnt Grb KraKslt MglJpr Skh Kpkl 4% Bms Prj Tmg Klp Pml Pbg Srg Byl Kmgl Blr Dmk Gnk Smg Pkl Knd 3% Kbm Pat Wng Kds Wns Btg 2% Bjn 1% (3) (4) 0% 0 4.000.000 8.000.000 12.000.000 2.000.000 6.000.000 10.000.000 Pendapatan Perkapita (Rp) Sumber: BPS, data diolah Grafik 1. Tipologi Daerah Berdasarkan Pendapatan Perkapita dan Pertumbuhan Ekonomi (tahun 2000 - 2004) Pada wilayah penentuan KEKI 1, dua daerah tergolong klasifikasi maju tertekan (Kendal dan kabupaten Semarang), satu daerah adalah cepat maju dan tumbuh (Kota Semarang) dan terdapat 1 daerah dengan klasifikasi daerah relatif tertinggal (Demak). Pada wilayah KEKI 2, Blora adalah daerah dengan klasifikasi daerah relatif tertinggal sementara Rembang adalah daerah berkembang cepat. Klasifikasi rinci untuk masing-masing daerah Jateng DIY disajikan pada tabel 4. Tabel 4. Daerah Berdasar Klasifikasi Tipologinya Pendapatan per kapita Klasifikasi Rendah Tinggi Daerah berkembang cepat: Daerah cepat maju cepat tumbuh: Magelang, Klaten, Grobogan, Cilacap, Sukoharjo, Karanganyar, Tinggi Rembang, Jepara, Temanggung, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Tegal, Brebes, Kota Tegal, Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kulonprogo, Bantul Sleman, Kota Yogyakarta Pertumbuhan Daerah relatif tertinggal: Daerah maju tertekan: Ekonomi Banyumas, Purbalingga, Kudus, Semarang, Kendal, Banjarnegara, Kebumen, Kota Magelang Rendah Purworejo, Wonosobo, Boyolali, Wonogiri, Sragen, Blora, Pati, Demak, Batang, Pekalongan, Pemalang, Gunung Kidul 13
  • 16. Dilihat sisi tipologi daerah, wilayah KEKI 2 (Rembang dan Blora) cenderung ditentukan oleh pemerintah daerah propinsi sebagai daerah kawasan ekonomi andalan bukan karena faktor tingginya pendapatan per kapita dan tingginya pertumbuhan ekonomi. Karena dari dua determinan ini, Rembang dan Blora kurang mendukung ditetapkan sebagai wilayah ekonomi khusus. Hal ini mengingat tingginya pertumbuhan ekonomi serta pendapatan per kapita merupakan modal yang penting bagi daerah untuk memperoleh perhatian bagi para investornya. Demikian pula penetapan Demak sebagai wilayah tergabung pada KEKI 1. Daerah ini juga merupakan daerah yang relatif tertinggal dibandingkan daerah kabupaten/kota lain di Jawa Tengah dan DIY. Sementara, penentuan Kota Semarang, Ungaran (Kabupaten Semarang) dan Kendal dari sisi tipologi cenderung lebih diterima daripada penentuan daerah KEKI 2. Hal ini didukung tipologi kota Semarang merupakan daerah dengan klasifikasi daerah cepat maju, meskipun Kabupaten Semarang dan Kendal cenderung tertekan karena pertumbuhan ekonominya relatif rendah. Faktor pendukung penentuan ketiga daerah terakhir tersebut sebagai kawasan KEKI adalah fasilitas yang disediakan oleh wilayah Semarang berupa keberadaan pelabuhan udara dan juga terdapat pelabuhan laut yang memadai untuk kegiatan bongkar muat kapal besar. Dengan letaknya yang strategis di kawasan Joglosemar koridor utara, kawasan ini mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi wilayah jika ditetapkan sebagai kawasan ekonomi khusus. B. Sektor Unggulan Kabupaten/Kota Nilai Location Quotient (LQ) pada analisis KEKI penting untuk menentukan sektor apa yang menjadi sektor unggulan di daerah-daerah yang ditentukan sebagai kawasan andalan. Nilai LQ yang dipergunakan meliputi LQ Statis (SLQ) untuk melihat suatu sektor adalah sektor unggulan atau bukan, dan LQ Dinamis (DLQ) untuk melihat bagaimana potensi dari suatu sektor apakah memiliki potensi unggulan ataukah tidak berpotensi. Untuk kriteria sektor ekonomi adalah sektor unggulan ditentukan memiliki nilai SLQ >1. Untuk kriteria suatu sektor ekonomi memiliki potensi unggulan adalah sektor dengan nilai DLQ>1. Nilai SLQ dan DLQ rata-rata (tahun 2000 sampai 2004) disajikan pada tabel 5 dan 6. Penentuan nilai LQ ini juga memasukkan daerah-daerah di DIY. Posisi relatif dari DIY yang berada di Jawa bagian tengah di regional selatan dan adanya moda transportasi yang saling berkaitan dalam jarak yang pendek menyebabkan aktivitas ekonomi masyarakat Jawa Tengah dan DIY relatif sulit untuk dipisahkan. Dari hasil perhitungan SLQ dan DLQ tersebut, dapat dinyatakan untuk setiap daerah yang diusulkan pemerintah daerah propinsi sebagai kawasan andalan (KEKI 1 dan 2), daerah yang memiliki sektor ekonomi unggulan dan sekaligus memiliki potensi untuk tetap unggul adalah: 14
  • 17. Demak : Sektor pertanian Semarang : Sektor industri pengolahan; serta sektor listrik gas dan air bersih Kendal : Sektor industri pengolahan Kota Semarang : Sektor industri pengolahan Blora : sektor pertanian; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Rembang : sektor pertanian; sektor pengangkutan dan komunikasi Tabel 5. Rata-rata SLQ Jateng – DIY, 2000 – 2004 Sektor Kawasan Kabupaten 1 2 3 4 5 6 7 8 9 KEKI 1 Demak 2,063 0,219 0,693 0,558 0,464 0,730 0,461 0,542 0,751 Semarang 0,676 0,137 1,981 1,001 0,242 0,782 0,414 0,702 0,832 Kendal 1,005 0,446 1,666 1,960 0,314 0,753 0,451 0,490 0,821 Kota Semarang 0,047 0,352 1,353 1,342 1,954 1,357 1,214 0,873 1,078 KEKI 2 Blora 2,099 2,938 0,519 0,546 0,642 0,585 0,526 1,392 0,650 Rembang 2,239 2,440 0,196 0,506 0,643 0,759 1,143 0,628 0,780 Non KEKI Cilacap 1,001 1,718 0,516 0,594 0,378 2,028 0,512 0,598 0,441 Banyumas 1,161 1,608 0,829 1,058 0,783 0,663 1,467 1,793 1,239 Purbalingga 1,518 0,485 0,441 0,994 1,097 0,788 0,904 0,804 1,711 Banjarnegara 1,628 0,541 0,609 0,446 1,191 0,540 0,939 1,069 1,505 Kebumen 1,749 6,113 0,439 0,791 0,891 0,435 0,809 1,098 1,519 Purworejo 1,587 2,434 0,370 0,607 1,066 0,702 1,012 0,942 1,665 Wonosobo 2,133 0,752 0,485 0,879 0,856 0,495 1,185 1,094 0,748 Magelang 1,414 2,422 0,790 0,548 0,990 0,669 1,067 0,568 1,369 Boyolali 1,479 0,762 0,758 0,815 0,495 1,099 0,536 1,316 0,599 Klaten 1,043 0,457 0,806 0,699 1,513 1,114 0,552 0,861 1,196 Sukoharjo 0,983 1,150 1,305 1,194 0,918 0,869 0,957 0,756 0,789 Wonogiri 2,301 0,838 0,156 0,667 0,652 0,541 1,817 0,791 0,948 Karanganyar 0,654 0,963 2,217 1,272 0,523 0,482 0,601 0,465 0,828 Sragen 1,556 1,308 0,782 1,223 0,520 0,722 0,854 0,742 1,226 Grobogan 1,949 1,251 0,162 0,806 0,970 0,818 0,704 0,877 1,384 Pati 1,585 0,862 0,810 1,149 0,644 0,833 0,539 1,122 0,823 Kudus 0,185 0,010 2,391 0,407 0,184 1,208 0,387 0,553 0,220 Jepara 1,035 0,509 1,181 0,691 0,746 0,908 1,127 1,088 0,810 Temanggung 1,536 1,228 0,724 0,834 1,231 0,638 1,046 0,768 1,218 Batang 1,185 2,359 1,215 0,729 0,898 0,710 0,527 0,573 1,117 Pekalongan 0,893 1,118 1,170 0,845 1,043 0,808 0,813 0,977 1,365 Pemalang 1,353 1,072 0,746 0,891 0,551 1,187 0,698 0,809 0,799 Tegal 0,951 2,089 1,065 0,702 0,895 1,074 0,925 1,310 0,667 Brebes 2,399 1,135 0,401 0,934 0,372 0,852 0,248 0,670 0,364 Kota Magelang 0,143 0,000 0,151 2,944 3,362 0,278 3,709 2,161 3,477 Kota Surakarta 0,004 0,052 1,222 2,541 2,440 1,019 1,987 1,983 1,075 Kota Salatiga 0,268 0,657 0,814 4,947 0,976 0,723 4,405 1,394 1,615 Bantul 0,672 0,000 0,873 1,066 1,692 1,103 1,461 1,649 1,045 Gunung Kidul 0,703 0,000 0,607 2,698 1,558 0,937 2,866 2,015 1,052 Sleman 1,188 1,130 0,676 0,645 0,911 0,687 1,848 1,055 1,639 Kota Yogyakarta 1,075 1,204 0,845 0,870 1,693 0,759 1,314 1,136 1,193 Dimana: 1 = pertanian, 2 = pertambangan penggalaian, 3 = industri pengolahan, 4 = listrik gas air bersih, 5 = bangunan, 6 = perdagangan hotel restoran, 7 = pengangkutan komunikasi, 8 = keuangan persewaan jasa perusahaan, 9 = jasa-jasa 15
  • 18. Tabel 6. Rata-rata DLQ Jateng – DIY, 2000 – 2004 Sektor Kawasan Kabupaten 1 2 3 4 5 6 7 8 9 KEKI 1 Demak 1,107 0,978 0,981 1,124 0,979 0,928 0,953 0,925 0,935 Semarang 0,957 0,960 1,029 1,039 1,047 0,956 1,105 1,041 1,015 Kendal 0,977 1,010 1,040 0,681 0,910 1,017 0,902 0,981 1,051 Kota Semarang 0,964 1,035 1,005 0,991 0,922 0,918 1,025 0,957 1,134 KEKI 2 Blora 1,046 0,939 1,028 1,070 0,936 0,996 0,938 1,000 0,925 Rembang 1,068 0,952 0,911 0,911 0,935 0,971 1,026 0,948 0,948 Non KEKI Cilacap 0,987 1,042 0,956 0,962 0,997 1,033 0,928 0,941 0,951 Banyumas 0,948 1,053 1,077 1,006 0,999 1,008 0,943 1,033 0,992 Purbalingga 1,024 0,989 1,023 1,032 0,998 1,009 0,929 1,035 0,959 Banjarnegara 0,961 0,999 1,049 1,093 0,970 0,976 1,074 1,080 1,071 Kebumen 1,008 1,050 1,002 1,033 0,988 1,071 0,998 0,986 0,961 Purworejo 0,998 1,005 1,024 0,925 1,064 0,962 1,093 1,073 0,988 Wonosobo 1,030 1,020 1,021 0,894 0,979 1,013 1,042 0,976 0,989 Magelang 0,960 0,995 1,013 1,052 1,054 0,994 0,970 0,929 1,120 Boyolali 1,041 0,996 0,926 1,375 0,993 0,995 0,983 1,000 1,129 Klaten 0,947 1,106 1,028 1,084 1,135 0,963 0,967 0,934 1,105 Sukoharjo 1,003 0,888 1,003 1,007 1,012 0,966 0,984 1,036 1,106 Wonogiri 0,998 1,022 1,113 1,011 0,991 0,984 1,027 1,053 1,086 Karanganyar 1,027 1,009 1,010 1,023 1,022 0,950 1,106 0,933 0,956 Sragen 0,947 0,947 1,054 1,019 1,081 1,008 1,017 0,973 1,122 Grobogan 1,042 0,994 0,998 0,944 0,976 0,998 0,986 1,003 0,950 Pati 0,985 0,934 1,063 1,077 1,058 0,995 0,919 1,009 1,036 Kudus 1,090 0,866 1,000 1,072 1,237 0,964 1,122 1,089 0,966 Jepara 1,062 1,048 0,967 1,125 1,377 0,945 0,901 1,120 0,970 Temanggung 1,060 0,962 1,020 0,989 1,005 1,005 0,988 0,945 0,897 Batang 0,955 0,908 1,032 1,152 1,174 0,974 1,018 1,033 1,066 Pekalongan 1,025 0,875 1,008 0,986 0,902 0,987 1,014 1,042 0,978 Pemalang 0,971 1,081 0,964 1,184 0,892 1,067 1,025 1,065 1,046 Tegal 0,856 1,342 1,121 0,907 1,025 1,003 0,973 1,244 0,842 Brebes 1,077 0,989 1,017 0,906 0,997 0,973 0,969 0,903 0,966 Kota Magelang 0,735 0,000 0,944 0,956 0,974 1,024 0,988 0,949 0,932 Kota Surakarta 0,634 0,889 1,010 0,935 0,912 1,001 0,897 0,944 0,984 Kota Salatiga 0,995 0,955 0,957 0,926 0,964 0,951 1,086 0,907 0,888 Bantul 1,069 0,000 1,017 0,894 0,917 1,006 0,873 0,977 0,939 Gunung Kidul 1,044 0,000 0,986 0,958 0,901 1,113 0,930 0,925 0,839 Sleman 1,007 0,705 0,994 1,062 0,961 0,955 1,071 1,205 0,957 Kota Yogyakarta 1,002 0,904 0,983 1,165 0,958 1,034 0,938 1,106 0,971 Dimana: 1 = pertanian, 2 = pertambangan penggalaian, 3 = industri pengolahan, dan seterusnya Untuk wilayah KEKI 1 dan 2, tabel 7 menunjukkan kriteria sektor-sektor yang merupakan sektor unggulan dan berpotensi unggulan (kriteria D) dan kriteria lainnya. Dari tabel 7 ini dapat dinilai bahwa untuk pengembangan kawasan dengan tujuan peningkatan nilai tambah sektor industri pengolahan, maka seluruh daerah di wilayah KEKI 1, kecuali Demak, layak untuk ditetapkan sebagai kawasan andalan. Ungaran (Semarang), Kendal dan Kota Semarang merupakan daerah yang memiliki keunggulan di sektor industri pengolahan dan sekaligus memiliki potensi untuk tetap unggul. Kelayakan tiga daerah KEKI dengan potensi industri ini ditunjang dengan potensi sektor 16
  • 19. tersier (modern) yang juga merupakan sektor unggulan di Kota Semarang, antara lain sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor jasa-jasa. Tabel 7. Klasifikasi sektor Ungulan - Berpotensi Unggulan di wilayah KEKI Sektor Kawasan Kabupaten 1 2 3 4 5 6 7 8 9 KEKI 1 Demak D A A B A A A A A Semarang A A D D B A B B B Kendal C B D C A B A A B Kota Semarang A B D C C C D A D KEKI 2 Blora D C B B A A A D A Rembang D C A A A A D A A Dimana: 1 = pertanian, 2 = pertambangan penggalaian, 3 = industri pengolahan, dan seterusnya A = SLQ <1 dan DLQ <1 (sektor bukan unggulan yang tidak berpotensi unggulan) B = SLQ <1 dan DLQ >1 (sektor bukan unggulan tetapi berpotensi unggulan) C = SLQ >1 dan DLQ <1 (sektor unggulan yang tidak berpotensi unggulan) D = SLQ >1 dan DLQ >1 (sektor unggulan yang berpotensi unggulan) Kabupaten Demak bersama dua daerah di KEKI 2 cenderung tidak tepat jika penentuan kawasan andalan bertujuan meningkatkan nilai tambah dan manfaat aglomerasi di sektor industri pengolahan. Sektor industri pengolahan di ketiga daerah tersebut dikategorikan sebagai sektor yang bukan unggulan. Sektor ini tidak berpotensi unggulan di Rembang dan Demak, tetapi berpotensi unggulan di Blora. Dilihat dari potensi unggulnya, ketiga daerah terakhir tersebut menunjukkan keunggulan dan potensi unggul di sektor pertanian. Dengan demikian, jika pengembangan wilayah dengan penentuan KEKI sebagai kawasan unggulan berbasis sektor pertanian maka kabupaten Demak, Blora dan Rembang sudah tepat menjadi kawasan andalan. Sebagai perbandingan KEKI Jateng, disajikan tabel sektor unggulan dan potensi unggulan untuk kawasan Joglosemar dan daerah yang teridentifikasi bertipologi cepat maju dan cepat tumbuh (tabel 8). Untuk kawasan Joglosemar, Kota Yogyakarta tidak menunjukkan adanya unggulan dan potensi unggulan pada sektor industri pengolahan. Tetapi, di kota ini, sektor-sektor tersier (sektor 4 sampai 7) memiliki keunggulan dan tetap berpotensi unggulan. Untuk kota Surakarta, daerah ini unggulan dan berpotensi unggulan untuk basis sektor industri pengolahan dan 1 sektor tersier. Dari sudut pandang pengembangan kawasan andalan, untuk tujuan pengembangan sektor industri pengolahan, kota Surakarta dapat dipandang strategis untuk mendampingi Kota Semarang sebagai wilayah andalan berbasis industri pengolahan, tetapi Kota Yogyakarta tidak tepat untuk basis ini. Satu-satunya daerah yang tergolong bertipologi cepat tumbuh dan cepat maju di daerah bagian barat Jawa Tengah-DiY adalah kabupaten Cilacap. Selain kabupaten Cilacap dan Kota Pekalongan, daerah-daerah menurut tipologi ini semunya terletak pada jalur dan sekitar koridor Joglosemar. Cilacap dikategorikan unggul dan memiliki potensi tetap unggul di sektor pertambangan 17
  • 20. dan sektor perdagangan hotel dan restoran. Penentuan kawasan andalan di daerah ini yang didukung semakin baiknya kinerja sektor perdagangan hotel restoran di Cilacap akan mendung percepatan pertumbuhan daerah sekitar. Aglomerasi di daerah ini akan mengangkat perekonomian daerah sekitar yang cenderung tertinggal (Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen) atau yang sering disebut sebagai kawasan kerja sama Barlingkascakeb. Tabel 8. Klasifikasi sektor Ungulan - Berpotensi Unggulan di kawasan Joglosemar dan Daerah dengan Klasifikasi Cepat Maju Cepat Tumbuh Sektor Kawasan Kabupaten 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Joglosemar Kota Yogyakarta A A A D D D D C C Kota Surakarta A A D C C D C C C Kota Semarang A B D C C C D A D Cepat Maju Cilacap C D A A A D A A A Cepat Tumbuh Sukoharjo B C D D B A A B B Karanganyar B B D D B A B A A Kota Surakarta A A D C C D C C C Kota Salatiga A A A C A A D C C Kota Semarang A B D C C C D A D Kota Pekalongan B - B C C D C C C Sleman A A B B D B C D C Kota Yogyakarta A A A D D D D C C Dimana: 1 = pertanian, 2 = pertambangan penggalaian, 3 = industri pengolahan, dan seterusnya A = SLQ <1 dan DLQ <1 (sektor bukan unggulan yang tidak berpotensi unggulan) B = SLQ <1 dan DLQ >1 (sektor bukan unggulan tetapi berpotensi unggulan) C = SLQ >1 dan DLQ <1 (sektor unggulan yang tidak berpotensi unggulan) D = SLQ >1 dan DLQ >1 (sektor unggulan yang berpotensi unggulan) Tabel 8 juga menunjukkan koridor Joglosemar pada umumnya adalah daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh. Pembentukan kawasan ekonomi khusus di tiga pusat pertumbuhan (Yogyakarta, Semarang dan Surakarta) akan mendorong percepatan perekonomian di wilayah ini dan daerah-daerah sekitarnya. Tetapi, penentuan kawasan andalan di wilayah koridor Joglosemar perlu mempertimbangkan perbedaan basis sektor ekonomi. Sukoharjo dan Karanganyar lebih tepat menyertai Surakarta sebagai daerah khusus industri pengolahan. Kota Salatiga mendukung aglomerasi Kota Semarang karena kemajuan di sektor transportasinya. Sleman mendukung aglomerasi di Kota Yogyakarta dengan kemajuan sektor bangunan. Sementara, Kota Pekalongan cenderung layak sebagai daerah penyangga kawasan utara Jawa Tengah dengan kemajuannya di sektor perdagangan hotel dan restoran. C. Analisis Spesialisasi Regional Analisis spesialisasi regional pada penentuan kawasan andalan di Jawa Tengah bertujuan untuk melihat kecenderungan spesialisasi daerah, apakah di satu kabupaten/kota sumbangan sektor- sektor ekonomi terhadap total PDRB terkonsentrasi pada satu atau beberapa sektor saja ataukah 18
  • 21. cenderung merata sumbangannya jika dibandingkan dengan konsentrasi ekonomi daerah lainnya. Tabel 9 menunjukkan nilai indeks spesialisasi dalam rentang tahun 2000 sampai 2004, rata-rata IS serta perubahan tahunan dalam ukuran rata-rata.. Tabel 9. Indeks Spesialisasi Regional Jateng - DIY (2000 – 2004) Tahun Rata- Perkem- Kawasan Kabupaten/ Kota 2000 2001 2002 2003 2004 rata bangan KEKI 1 Demak 0,51 0,52 0,53 0,54 0,55 0,53 meningkat Semarang 0,66 0,69 0,69 0,68 0,67 0,68 meningkat Kendal 0,57 0,58 0,58 0,59 0,59 0,58 meningkat Kota Semarang 0,77 0,76 0,75 0,73 0,73 0,75 menurun KEKI 2 Blora 0,56 0,57 0,58 0,59 0,59 0,58 meningkat Rembang 0,60 0,62 0,63 0,63 0,64 0,62 meningkat Non Cilacap 0,70 0,70 0,73 0,75 0,76 0,73 meningkat KEKI Banyumas 0,44 0,45 0,45 0,45 0,45 0,45 meningkat Purbalingga 0,48 0,47 0,47 0,47 0,47 0,47 menurun Banjarnegara 0,48 0,47 0,47 0,47 0,48 0,48 menurun Kebumen 0,57 0,57 0,58 0,58 0,57 0,57 meningkat Purworejo 0,49 0,49 0,50 0,50 0,50 0,50 meningkat Wonosobo 0,57 0,56 0,56 0,57 0,58 0,57 menurun Magelang 0,43 0,43 0,43 0,44 0,45 0,44 meningkat Boyolali 0,48 0,48 0,48 0,48 0,48 0,48 menurun Klaten 0,45 0,46 0,46 0,46 0,46 0,46 meningkat Sukoharjo 0,48 0,47 0,48 0,48 0,48 0,48 menurun Wonogiri 0,68 0,68 0,68 0,67 0,66 0,67 menurun Karanganyar 0,78 0,74 0,75 0,76 0,78 0,76 menurun Sragen 0,43 0,43 0,43 0,43 0,43 0,43 menurun Grobogan 0,56 0,56 0,56 0,57 0,57 0,56 meningkat Pati 0,43 0,43 0,44 0,44 0,44 0,44 meningkat Kudus 0,99 0,98 0,98 0,98 0,97 0,98 menurun Jepara 0,47 0,47 0,46 0,46 0,46 0,46 menurun Temanggung 0,43 0,43 0,43 0,43 0,43 0,43 meningkat Batang 0,47 0,47 0,47 0,47 0,47 0,47 meningkat Pekalongan 0,47 0,47 0,47 0,46 0,46 0,47 menurun Pemalang 0,46 0,46 0,47 0,47 0,48 0,47 meningkat Tegal 0,47 0,48 0,49 0,50 0,52 0,49 meningkat Brebes 0,65 0,66 0,68 0,69 0,69 0,67 meningkat Kota Magelang 1,18 1,16 1,17 1,17 1,17 1,17 menurun Kota Surakarta 0,77 0,76 0,75 0,74 0,74 0,75 menurun Kota Salatiga 0,71 0,71 0,71 0,71 0,71 0,71 meningkat Kota Pekalongan 0,54 0,52 0,53 0,53 0,52 0,53 menurun Kota Tegal 0,59 0,56 0,57 0,59 0,58 0,58 meningkat Kulonprogo 0,45 0,45 0,45 0,46 0,46 0,46 meningkat Bantul 0,44 0,43 0,43 0,43 0,43 0,43 menurun Gunung Kidul 0,50 0,50 0,50 0,50 0,49 0,50 meningkat Sleman 0,52 0,52 0,52 0,52 0,52 0,52 menurun Kota Yogyakarta 0,84 0,83 0,83 0,83 0,83 0,83 menurun Tabel 9 memperlihatkan rata-rata spesialisasi daerah 1 dengan lainnya di hampir seluruh daerah cenderung tidak menunjukkan adanya spesialisasi. Hal ini ditunjukkan dari nilai Spesialisasi Krugman yang berada di bawah nilai 1. Hanya Kota Magelang yang memperlihatkan adanya 19
  • 22. spesialisasi dengan nilai lebih dari 1. Meskipun demikian, terlihat beberapa daerah yang cenderung mendekati nilai 1. Meskipun masih jauh dari nilai spesialisasi 2, nilai indeks yang mendekati 1 dapat ditafsirkan spesialisasi sektor-sektor ekonomi di daerah ini cenderung lebih tinggi daripada daerah lain. Daerah yang mendekati nilai ke arah spesialisasi ini antara lain Kota Semarang, Cilacap, Karanganyar, Kudus, Kota Surakarta, Kota Salatiga dam Kota Yogyakarta, dimana masing-masing daerah ini nilai ISnya lebih dari 0,70. Khusus untuk kawasan KEKI 1, hanya Kota Semarang yang memiliki indeks spesialisasi relatif lebih tinggi dari daerah lain, meskipun nilai indeks ini cenderung menurun pada tempo 2000 sampai 2004. Nilai rata-rata indeks Kota Semarang ini sesuai dengan pangsa sektor ekonomi yang mendominasi nilai PDRB. Sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan hotel restoran merupakan sektor ekonomi utama yang total keduanya menyumbang PDRB Kota Semarang sebesar 67,04% pada tahun 2000 dan menurun menjadi 64,53% pada tahun 2004. Sementara Kendal yang difokuskan oleh pemerintah daerah sebagai daerah utama kawasan ekonomi khusus cenderung menunjukkan tingkat spesialisasinya yang rendah yaitu sebesar 0,58, meskipun cenderung terjadi peningkatan nilai IS. Di kabupaten ini, sektor tradisional masih cukup memiliki peran penting. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB sepanjang tahun 2000 – 2004 sebesar 24,04% dan industri pengolahan menyumbang PDRB sebesar 40,38%. Demikian pula untuk daerah KEKI 2, sektor-sektor ekonomi di kabupaten Blora dan Rembang cenderung tidak terspesialisasi. Kedua daerah ini menunjukkan rata-rata indeks spesialisasi sebesar 0,58 dan 0,62. Terlebih lagi, kedua daerah ini masih mengandalkan sektor pertanian sebagai sektor utama dimana sektor ini memberikan kontribusi bagi PDRB masih lebih dari 50%. Sementara, industri pengolahan di Blora menyumbang PDRB sebesar 12,58% dan di Rembang sebesar 4,74%. Jika daerah ini ditetapkan sebagai kawasan andalan dengan tujuan pengembangan ekonomi berbasis sektor industri maka kedua daerah ini cenderung kurang layak. Dengan demikian, dari pembahasan mengenai indeks spesialisasi dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah tidak melihat aspek spesialisasi daerah sebagai pertimbangan utama dalam menentukan apakah suatu kawasan tepat ditentukan sebagai kawasan andalan.. D. Analisis Konvergensi Wilayah Hasil analisis ini menunjukkan daerah-daerah kabupaten/kota di wilayah Jawa Tengah - DIY cenderung menunjukkan adanya konvergensi ekonomi selama periode waktu 2000 sampai 2004. Hasil regresi diperoleh nilai parameter b signifikan pada level probabilitas kesalahan sebesar 10%, (tepatnya α = 7,77%); Ln Ya – Ln Y0 = – 0,0564 + 0,0057 Ln Y0 20
  • 23. Untuk mendapatkan nilai konvergensi atau divergensi Setelah nilai parameter b dimasukkan ⎛ 1 − e − βT ⎞ ke persamaan konvergensi (divergensi); b = − ⎜ ⎜ T ⎟ , penghitungan nilai konvergensi absolut ⎟ ⎝ ⎠ (absolut convergence) dari parameter b tersebut sebesar –0,567%. Nilai β yang diperoleh bertanda negatif yang berarti terjadi konvergensi. Adanya kondisi konvergensi ini menunjukkan pendapatan per kapita daerah miskin tumbuh lebih cepat daripada daerah yang lebih kaya. Atau dengan kata lain disparitas pendapatan per kapita antara daerah-daerah yang kaya dan miskin di Jawa Tengah – DIY semakin menurun selama periode 2000 – 2004. Nilai β konvergensi ini relatif rendah karena kurang dari 1% per tahunnya. Terkait dengan penentuan KEK Jateng DIY dengan kondisi konvergensi ini, meskipun nilainya rendah, konvergensi ini menunjukkan jika suatu daerah dengan pertumbuhan pendapatan per kapita yang tinggi ditentukan sebagai kawasan andalan maka akan memberikan peluang daerah- daerah sekitarnya yang pertumbuhan pendapatan per kapitanya rendah akan memiliki kesempatan untuk meningkatkan angka pertumbuhan pendapatan per kapitanya lebih cepat. Melihat peta wilayah dan tipologi daerah dimana daerah dengan pendapatan per kapita tinggi cenderung berada di kawasan bagian timur laut (Koridor Kota Semarang dan Kota Surakarta), penentuan KEK untuk wilayah selatan dan barat penting untuk dipikirkan. Pembentukan KEKI di kawasan Jawa Tengah - DIY bagian barat (Cilacap dan sekitarnya) dan bagian selatan (Kota Yogyakarta dan sekitarnya) akan mendorong perkembangan ekonomi di kawasan sekitar. Peningkatan aktivitas ekonomi di kawasan ini akan mendorong proses konvergensi yang lebih besar lagi. E. Analisis Logistik Analisis logistik digunakan untuk membedakan kinerja kawasan andalan dan kawasan bukan andalan. Untuk melihat ketepatan penempatan kawasan andalan, maka dibuat 4 kategori (skenario). Masing-masing kategori bertujuan untuk melihat apakah variabel-variabel independen yang dipergunakan mampu mempengaruhi keputusan penentuan KEK ataukah tidak. Kategori 1 dan 2 adalah pengujian untuk KEK dengan wilayah yang ditentukan oleh pemerintah daerah. Kategori 3 dan 4 adalah pengujian kawasan andalan dengan daerah alternatifnya (Joglosemar dan daerah cepat maju cepat tumbuh). Pada kategori dengan menentukan KEKI 1 dan KEKI 2 sebagai kawasan andalan diperoleh pengujian statistik Chi-Square yang tidak signifikan pada α = 5% maupun 10%. Dari uji ini dapat dikatakan semua variabel penjelas tidak mampu membedakan kawasan andalan dan bukan andalan (Tabel 10). Jika pengujian diteruskan untuk pembuatan model logistik, maka semua variabel penjelas 21
  • 24. tidak mampu menjelaskan perbedaan antara kawasan andalan dan bukan andalan. Hal ini terbukti dari signifikansinya yang rendah dengan dan nilai Wald test yang rendah. Tabel 10. Parameter dan Tes Statistik 4 kategori Kawasan Andalan Variabel tak Tergantung Parameter Kategori Wilayah Indeks Pertumbuhan Pendapatan Konstanta dan uji Spesialisasi Ekonomi Per Kapita KEKI 1 dan KEKI 2 B 0,7773 -4,4441 8,96E-08 -2,4125 Wald test 0,2370 0,0814 0,7549 6,5935 Sig. (prob) 0,6264 0,7754 0,3849 0,0102 KEKI 1 B -2,5517 -11,4982 3,7E-07* -1,9148 Wald test 1,1708 0,3163 8,0307 2,1920 Sig. (prob) 0,2792 0,5739 0,0046 0,1387 Joglosemar B -5,6795 69,8814* 1,1E-06* -8,2538 Wald test 1,2873 7,1691 11,7813 10,4273 Sig. (prob) 0,2565 0,0074 0,0006 0,0012 Cepat maju dan tumbuh B -4,3528** 71,5929* 8,4E-07* -5,1948 Wald test 4,4669 12,5866 26,0264 18,6633 Sig. (prob) 0,0346 0,0004 0,0000 0,0000 *) signifikan pada probabilitas 1% **) signifikan pada probabilitas 5% Pengujian chi-square dan Standar Error disajikan di Lampiran Jika digunakan kriteria kawasan andalan adalah meliputi wilayah pada KEKI 1, maka uji Chi Square menunjukkan signifikansi yang cukup tinggi, pada α = 5%. Hal ini berarti terdapat paling tidak satu variabel independen memiliki tingkat signifikansi yang secara statistik dapat diterima. Dari hasil pengujian lebih lanjut, model logistik menunjukkan bahwa Pendapatan per kapita adalah satu- satunya variabel independen yang memiliki makna signifikan dalam mempengaruhi penentuan kawasan andalan. Uji statistik menunjukkan variabel ini mampu menjelaskan perbedaan kawasan andalan dengan bukan dengan andalan pada probabilitas kesalahan 0,46%. Parameter yang bertanda positif menunjukkan semakin tinggi pendapatan per kapita suatu daerah akan semakin memungkinkan daerah tersebut ditentukan sebagai kawasan andalan. Pada alternatif ke tiga, kawasan andalan yang ditentukan adalah daerah utama koridor Joglosemar, yaitu Kota Yogyakarta, Kota Surakarta dan Kota Semarang, diperoleh hasil Chi-square yang signifikan. Model logistik menunjukkan variabel pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita mampu dengan baik secara statistik menunjukkan perbedaan kawasan andalan dan bukan andalan. Parameter dari kedua variabel ini positif. Semakin tinggi pendapatan per kapita dan semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi maka akan semakin mendukung suatu daerah ditentukan sebagai kawasan andalan. Tetapi pada model ini, variabel indeks spesialisasi tidak signifikan secara statistik. 22
  • 25. Alternatif ke empat, kawasan andalan ditentukan berdasarkan analisis tipologi daerah yang diidentifikasikan sebagai daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh. Terdapat 9 daerah yang tergolong pada tipologi ini yaitu kabupaten Cilacap, Sukoharjo, Karanganyar, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Semarang, Kota Pekalongan, Sleman dan Kota Yogyakarta. Hasil pengujian Chi- Square menunjukkan signifikan. Hasil pengujian regresi logistik memperlihatkan seluruh variabel independen mampu dengan baik secara statistik menunjukkan perbedaan kinerja kawasan andalan dengan bukan andalan. Parameter pertumbuhan ekonomi dan pendapatan berkapita menunjukkan tanda positif yang berarti semakin tinggi nilai kedua variabel ini akan semakin mendukung kesempatan suatu daerah ditentukan sebagai kawasan andalan. Demikian pula, indeks spesialisasi menunjukkan parameter negatif (signifikan pada α = 5%). Nilai IS yang negatif menunjukkan sektor-sektor ekonomi daerah semakin terspesialisasi atau mengerucut pada satu sektor ekonomi. Sebaliknya, jika nilai parameter adalah positif maka terdapat sifat homogenitas dari sektor-sektor ekonomi yang berarti spesialisasi cenderung tidak ada. Pada model ini terlihat daerah-daerah di Jawa Tengah – DIY yang semakin terkonsentrasi atau terspesialisasi sektor-sektor ekonominya maka akan semakin meningkatkan kesempatan daerah itu untuk secara tepat ditentukan sebagai kawasan andalan. Sebagai perbandingan, dari statistik deskriptif dapat diketahui rata-rata nilai spesialisasi indeks di daerah cepat maju cepat tumbuh sebesar 0,674 sementara daerah-daerah dengan tipologi lain rata-rata ISnya sebesar 0,544. KESIMPULAN Program kawasan pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) sebagai program untuk mempercepat pembangunan daerah memperlihatkan berbagai kendala. Karena itu, pemerintah menetapkan program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagai program lanjutan KAPET dengan menentukan kawasan-kawasan andalan baru yang dinilai akan memiliki fungsi strategis bagi perkembangan daerah setempat maupun untuk menggerakkan perekonomian daerah sekitarnya. Pengkajian mengenai penentuan kawasan andalan atau Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) menarik untuk dilakukan. Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah beserta daerah yang ditetapkan sebagai daerah kawasan andalan berkeinginan agar pemerintah pusat menetapkan daerah tersebut menjadi kawasan andalan. Meskipun pemerintah pusat telah menyarankan agar wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah sebagai kawasan di Jawa Tengah terlebih dahulu ditetapkan sebagai area perdagangan bebas (free trade zone), pemerintah pusat berkeinginan daerah tersebut ditetapkan menjadi daerah ekonom khusus setelah aturan baku mengenai KEK disahkan. Tarik ulur kepentingan pusat dengan daerah ini menarik untuk dikaji. Karena itu, penelitian ini mengevaluasi penentuan KEK berdasarkan aspek-aspek ekonomi. KEK yang diusulkan oleh pemerintah Propinsi Jawa Tengah meliputi dua KEK: KEK Semarang – Kendal – Demak – Ungaran (Kabupaten Semarang) dan KEK Rembang – Blora. Dari 23
  • 26. posisinya, wilayah ini terletak di bagian utara Jawa bagian Tengah, dan relatif dekat dengan ibukota propinsi sekaligus terhubung dengan jarak relatif dekat dengan transportasi ke pusat pelabuhan/dermaga di Semarang. Titik berat dari KEK Jawa Tengah adalah penentuan wilayah Kendal sebagai basis dari KEK. Dilihat dari sisi tipologi daerah berdasar pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapitanya, penentuan kawasan KEKI cenderung bukan didasarkan pada dua faktor ini. Hal ini terbukti dari kondisi Kabupaten Demak, Rembang dan Blora yang dikategorikan daerah relatif tertinggal. Rendahnya pertumbuhan ekonomi disertai rendahnya pendapatan per kapita di daerah- daerah ini tidak menjadi faktor pertimbangan penghambat bagi pemerintah daerah ketika memasukkan daerah ini sebagai bagian dari kawasan andalan. Selain itu, tiga daerah tersebut dari sisi potensi ekonominya cenderung memiliki keunggulan dan berpotensi tetap unggul di sektor pertanian, bukan pada sektor industri pengolahan. Jika penentuan KEK didasarkan sebagai upaya pengembangan kawasan pertanian maka penentuan tiga daerah tersebut sebagai kawasan andalan bisa dipahami. Tetapi jika kawasan andalan bertujuan untuk pengembangan industri, maka tiga daerah tersebut tidak memiliki potensi unggulan sebagai daerah industri. Sementara untuk kabupaten Kendal, daerah yang direncanakan sebagai basis KEK Jawa Tengah ini memang memiliki keunggulan dan potensi unggulan di sektor industri pengolahan. Tetapi kabupaten ini memperlihatkan tipologinya sebagai daerah maju yang tertekan; berpendapatan per kapita relatif tinggi tetapi pertumbuhan ekonominya relatif rendah. Selain itu, kabupaten Kendal sebagaimana sebagian besar kabupaten/kota lain di Jawa bagian tengah merupakan daerah dengan indeks spesialisasi yang rendah. Sektor-sektor ekonomi di Kendal cenderung tidak berkonsentrasi pada satu sektor saja. Meskipun sumbangan industri pengolahan menunjukkan porsi terbesar bagi PRDB, tetapi pangsa sektor pertanian masih tetap tinggi. Meskipun demikian, jika dilihat dari posisi relatifnya yang dekat dengan pelabuhan laut dan sarana prasarana Kota Semarang, maka Kendal dapat menjadi alternatif prioritas sebagai kawasan andalan industri dengan syarat penyediaan lahan untuk pengembangan industri. Alternatif penentuan kawasan Joglosemar sebagai kawasan andalan cenderung perlu dicermati. Ketiga daerah ini merupakan daerah ekonomi utama di Jawa bagian Tengah. Dengan didukung tipologi sebagai daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh, ketiga daerah ini memiliki fasilitas pelabuhan udara dan prasarana ekonomi penting lainnya, terutama Semarang dengan fasilitas pelabuhan lautnya. Pengembangan kawasan khusus Joglosemar akan memberikan manfaat aglomerasi sepanjang koridornya. Hasil pengujian statistik dengan metode logistik menunjukkan bahwa penentuan kawasan andalan sebagaimana direncanakan oleh pemerintah daerah cenderung tidak melihat faktor pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita maupun kondisi spesialisasi wilayah. Hal ini terbukti 24
  • 27. bahwa ketiga faktor tersebut tidak signifikan ketika digunakan untuk mengevaluasi ketepatan penentuan kawasan andalan dan bukan andalan. Alternatif lain dalam pengujian penentuan kawasan andalan adalah menentukan kawasan andalan berdasarkan tipologinya. Jika kawasan ekonomi khusus ditetapkan berdasarkan tipologi daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh, maka faktor pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi dan indeks spesialisasi akan menjadi variabel yang layak untuk diperhitungkan dalam pemilihan kawasan andalan dan bukan andalan. Penelitian ini masih menyisakan beberapa permasalahan yang perlu untuk lebih banyak dikaji. Pertama, penelitian ini menyarankan adanya studi yang lebih khusus mengenai efek aglomerasi di kawasan ekonomi khusus. Penelitian tersebut akan penting untuk melihat apakah aglomerasi di kawasan khusus ini akan mampu memberikan manfaat positif bagi daerah yang relatif jauh dari pusat pertumbuhan Jawa Tengah – DIY. Kedua, perlu dilihat secara spesifik bagaimana model dan kriteria investasi yang tepat untuk kawasan khusus tersebut. Hal ini penting untuk mempercepat pertumbuhan investasi kawasan yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi, peningkatan permintaan input lokal dan tambahan lapangan kerja. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2006, Berita Penataan Ruang, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum, Edisi 02 – Mei 2006, Jakarta. , 2006, Berita Penataan Ruang, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum, Edisi 04 – Juli 2006, Jakarta. , 2006, Keterangan Pemerintah tentang Kebijakan Pembangunan Daerah di Depan Sidang Paripurna DPD-RI, 23 Agustus 2006, Jakarta , Sambutan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas pada Rapat Pleno Dengan Gubernur, Musrenbangnas, 17 April 2006, Jakarta , 2006, Jawa Tengah Usulkan Dua KEK, KOMPAS 12 Agustus 2006. , 2006, Kendal Optimis KEKI Serap 30.000 Tenaga Kerja, KOMPAS 02 Maret 2007. , 2007, Pengusaha Malaysia Tertarik Investasi, Koran SINDO 15 Maret 2007. , 2007, Usulan Kendal jadi KEK Industri otomotif Masih Dikaji, Antara News, 19 juni 2007 , 2007, Pengembangan KEK Kendal Mentah Lagi, www.kadinjateng.com dikutip dari www.suaramerdeka.com, Kamis, 20 September 2007 09:42 WIB. Capulapo, Rosa, 1998, Convergence in Recent Growth Theories: A Survey, Jurnal of Economic Studies, Vol. 25 No. 6, 1998, MCB University Press 25
  • 28. Dahl, Michel S., 2001. Overview of The Histories of Geographical Clustering and Agglomeration, prepared for the DRUID Winter Seminar in Korsor, Denmark, Glaeser, E.L, Kallal, H.D, Scheinkman, J.A., Shleifer, A .,1992, Growth in Cities, The Journal of Political Economy 100. Hanson, G.H, 1996, Agglomeration, Disersion, and The Pioneer Firm, The Journal of Political Economy, 39. Hu, Albert Guangzhou, 2004, Technology Parks and Regional Economic Growth in China, the Fourth International Conference of the Chinese Economy, Clermont-Ferrand, France, October 23 - 24, 2003 and the NUS - Beijing University - Tsinghua University Workshop on the Chinese Economy, February 11-12, 2004, Kuncoro, Mudrajad, 2004, Otonomi & Pembangunan Daerah, Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang, Penerbit Erlangga, Jakarta. Kuncoro, Mudrajad, 2004, Metode Kuantitatif, Teori dan Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi, UPP AMP YKPN, Yogyakarta Kuncoro, M., Widodo, T., Sulistyaningrum, E., 2005, Pembangunan Daerah kabupaten Sleman di Era Otonomi: Analisis Kebijakan dan Implikasinya Bagi Perencanaan jangka Panjang, Kerja sama Pusat Studi Ekonomi & Kebijakan Publik UGM dengan Lembaga Penyelidikan Ekonomio dan Masyarakat FE UI, Maret 2005 Ottaviano, Gianmarco IP. And Puga, Diego, 1997, Agglomeration in The Gloal Economy – A Survey of The ‘New Economic Geography’, Centre of Economic Performance, Discussion paper No 356, August 1997. Renyansih, 2002, Pendekatan dan Program Pengembangan Kawasan, Bulletin Kawasan, Edisi 2 – 2002, Publikasi Direktorat Pengembangan kawasan Khusus dan Tertinggal, Jakarta. Rygbi, D and Essletzbichler, J, 2002, Agglomeration Economic and Productivity Difference in US Cities, Journal of Economic Geography, 2. Togo, Ken, 2001, A Brief Survey on Regional Convergence in East Asian Economies, Musashi University Working Paper No. 5, June 2001 Wagner, 2000, Regional Economic Diversity: Action, Concept, or State of Confusion, The Journal of Regional Analysis and Policy (2000)30:2 Yudhoyono, Susilo Bambang, 2006, Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia Serta Keterangan Pemerintah Atas Rancangan Undang-Undang Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2007 Beserta Nota Keuangannya Di Depan Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 16 Agustus 2006, Jakarta Yuwono, P, 2000, Perencanaan dan Analisis Kebijakan Pembangunan, Edisi 1. Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga 26
  • 29. LAMPIRAN 1. DATA UNTUK ANALISIS LOGISTIK Pendapat- kawasan Andalan = 1 , bukan andalan = 0 an Pertumbuh Sam- Per kapita an KEKI 1 dan KEKI Joglo- Cepat maju Tahun pel kabupaten/Kota IS (Rp) Ekonomi 2 1 semar cepat tumbuh 2000 1 Cilacap 0,6988 5.798.867 5,53% 0 0 0 1 2 Banyumas 0,4431 1.779.894 4,19% 0 0 0 0 3 Purbalingga 0,4756 1.731.727 2,73% 0 0 0 0 4 Banjarnegara 0,4833 2.391.169 1,01% 0 0 0 0 5 Kebumen 0,5730 1.667.848 4,17% 0 0 0 0 6 Purworejo 0,4930 2.477.900 1,98% 0 0 0 0 7 Wonosobo 0,5727 1.826.871 4,11% 0 0 0 0 8 Magelang 0,4308 2.418.200 3,18% 0 0 0 0 9 Boyolali 0,4844 3.050.224 1,69% 0 0 0 0 10 Klaten 0,4541 2.501.435 3,55% 0 0 0 0 11 Sukoharjo 0,4842 3.607.676 3,36% 0 0 0 1 12 Wonogiri 0,6804 1.974.957 3,49% 0 0 0 0 13 Karanganyar 0,7767 4.103.487 4,88% 0 0 0 1 14 Sragen 0,4327 2.285.783 3,46% 0 0 0 0 15 Grobogan 0,5563 1.426.967 4,95% 0 0 0 0 16 Blora 0,5613 1.963.458 2,29% 1 0 0 0 17 Rembang 0,5955 2.434.653 5,27% 1 0 0 0 18 Pati 0,4350 2.517.588 0,58% 0 0 0 0 19 Kudus 0,9908 10.744.942 2,00% 0 0 0 0 20 Jepara 0,4712 2.877.813 4,61% 0 0 0 0 21 Demak 0,5057 2.341.751 2,95% 1 1 0 0 22 Semarang 0,6617 3.981.912 4,53% 1 1 0 0 23 Temanggung 0,4285 2.712.922 4,07% 0 0 0 0 24 Kendal 0,5744 4.154.559 2,46% 1 1 0 0 25 Batang 0,4673 2.635.193 1,82% 0 0 0 0 26 Pekalongan 0,4679 2.789.376 1,45% 0 0 0 0 27 Pemalang 0,4585 1.928.583 3,63% 0 0 0 0 28 Tegal 0,4684 1.600.550 4,93% 0 0 0 0 29 Brebes 0,6546 2.047.917 4,73% 0 0 0 0 30 Kota Magelang 1,1767 6.369.622 3,94% 0 0 0 0 31 Kota Surakarta 0,7684 6.098.222 4,21% 0 0 1 1 32 Kota Salatiga 0,7072 4.314.378 4,07% 0 0 0 1 33 Kota Semarang 0,7705 10.836.130 4,75% 1 1 1 1 34 Kota Pekalongan 0,5373 5.084.663 3,43% 0 0 0 1 35 Kota Tegal 0,5850 2.935.567 4,90% 0 0 0 0 36 Kulonprogo 0,4539 3.208.963 2,60% 0 0 0 0 37 Bantul 0,4356 3.309.017 3,32% 0 0 0 0 38 Gunung Kidul 0,4975 3.414.827 2,67% 0 0 0 0 39 Sleman 0,5243 4.419.452 3,96% 0 0 0 1 40 Kota Yogyakarta 0,8399 8.832.293 3,92% 0 0 1 1 1
  • 30. Pendapat- kawasan Andalan = 1 , bukan andalan = 0 an Pertumbuh Sam- Per kapita an KEKI 1 dan KEKI Joglo- Cepat maju Tahun pel kabupaten/Kota IS (Rp) Ekonomi 2 1 semar cepat tumbuh 2001 41 Cilacap 0,7034 5.968.249 4,46% 0 0 0 1 42 Banyumas 0,4482 1.802.772 2,22% 0 0 0 0 43 Purbalingga 0,4696 1.765.807 2,96% 0 0 0 0 44 Banjarnegara 0,4746 2.360.858 -0,11% 0 0 0 0 45 Kebumen 0,5731 1.674.375 0,94% 0 0 0 0 46 Purworejo 0,4943 2.553.410 3,54% 0 0 0 0 47 Wonosobo 0,5630 1.854.589 1,01% 0 0 0 0 48 Magelang 0,4310 2.464.827 2,68% 0 0 0 0 49 Boyolali 0,4838 3.226.218 6,33% 0 0 0 0 50 Klaten 0,4577 2.589.003 4,14% 0 0 0 0 51 Sukoharjo 0,4747 3.713.844 4,20% 0 0 0 1 52 Wonogiri 0,6782 1.987.103 1,22% 0 0 0 0 53 Karanganyar 0,7392 3.967.871 -1,28% 0 0 0 1 54 Sragen 0,4303 2.343.981 2,95% 0 0 0 0 55 Grobogan 0,5595 1.472.313 4,16% 0 0 0 0 56 Blora 0,5701 2.014.051 2,89% 1 0 0 0 57 Rembang 0,6169 2.484.047 3,13% 1 0 0 0 58 Pati 0,4344 2.593.015 3,94% 0 0 0 0 59 Kudus 0,9826 11.048.968 3,88% 0 0 0 0 60 Jepara 0,4657 2.922.149 3,20% 0 0 0 0 61 Demak 0,5174 2.380.606 3,72% 1 1 0 0 62 Semarang 0,6855 4.073.675 2,69% 1 1 0 0 63 Temanggung 0,4320 2.772.724 3,19% 0 0 0 0 64 Kendal 0,5828 4.265.435 3,38% 1 1 0 0 65 Batang 0,4666 2.678.159 2,35% 0 0 0 0 66 Pekalongan 0,4694 2.796.718 2,50% 0 0 0 0 67 Pemalang 0,4636 1.970.976 2,87% 0 0 0 0 68 Tegal 0,4783 1.646.830 3,72% 0 0 0 0 69 Brebes 0,6648 2.096.031 6,15% 0 0 0 0 70 Kota Magelang 1,1563 6.597.672 3,44% 0 0 0 0 71 Kota Surakarta 0,7588 6.355.970 4,12% 0 0 1 1 72 Kota Salatiga 0,7125 4.505.816 4,66% 0 0 0 1 73 Kota Semarang 0,7634 10.934.597 2,73% 1 1 1 1 74 Kota Pekalongan 0,5233 5.267.064 3,96% 0 0 0 1 75 Kota Tegal 0,5559 3.153.861 8,06% 0 0 0 0 76 Kulonprogo 0,4496 3.328.616 3,66% 0 0 0 0 77 Bantul 0,4281 3.393.597 3,74% 0 0 0 0 78 Gunung Kidul 0,5047 3.520.266 3,38% 0 0 0 0 79 Sleman 0,5151 4.558.384 4,67% 0 0 0 1 80 Kota Yogyakarta 0,8345 9.218.954 3,95% 0 0 1 1 2