B. Pengertian Polis Asuransi
Perjanjian asuransi yang telah terjadi harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis (pasal 255 KUHD). Polis ini merupakan satu-satunya alat bukti tertulis untuk membuktikan bahwa asuransi telah terjadi. Untuk mengatasi kesulitan jika terjadi sesuatu setelah perjanjian namun belum sempat dibuatkan polisnya atau walaupun sudah dibuatkan atau belum ditandatangi atau sudah di tandatangi tetapi belum diserahkan kepada tertanggung kemudian terjadi evenemen yang menimbulkan kerugian tertanggung. Pada pasal 257 KUHD memberi ketegasan, walaupun belum dibuatkan polis, asuransi sudah terjadi sejak tercapai kesepakatan antara tertanggung dan penanggung. Sehingga hak dan kewajiban tertanggung dan penanggung timbul sejak terjadi kesepakatan berdasarkan nota persetujuan. Bila bukti tertulis sudah ada barulah dapat digunakan alat bukti biasa yang diatur dalam hukum acara perdata. Ketentuan ini yang dimaksud oleh pasal 258 ayat (1) KUHD. Syarat-syarat khusus yang dimaksud dalam pasal 258 KUHD adalah mengenai esensi inti isi perjanjian yang telah dibuat itu, terutama mengenai realisasi hak dan kewajiban tertanggung dan penanggung seperti: penyebab timbul kerugian (evenemen); sifat kerugian yang menjadi beban penanggung; pembayaran premi oleh tertanggung; dan klausula-klausula tertentu.
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
Asuransi Hukum
1. MATERI HUKUM ASURANSI
Disusun oleh
Fenti Anita Sari
NIM : 17.02.51.0039
Fakultas Hukum
Universitas Stikubank Semarang
2. A. Perjanjian Asuransi
Dalam pasal 246 KUHD yang berisi tentang pengertian dari asuransi menyebutkan bahwa
perjanjian asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian timbal balik, artinya bahwa hak
dan kewajiban para pihak dalam perjanjian itu adalah seimbang. Artinya pihak pertama,
penanggung dan pihak kedua tertanggung, mempunyai kedudukan yang sama, hak dan
kewajiban yang seimbang
Asuransi sebagai suatu perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah
disyaratkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yaitu Pasal 1320
yaang berbunyi sebagai berikut:
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal”.
5. Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif, karena menyangkut
subjek atau pihak-pihak dalam perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan syarat
keempat disebut syarat objektif karena menyangkut objek dari perjanjian.
“sepakat meraka yang mengikatkan dirinya”, diperjelas oleh Pasal 1321 KUHD Perdata,
yang menetapkan:
“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
3. Selain itu juga harus tetap memenuhi beberapa pasal lainnya yang melindungi Pasal 1320,
antara lain pasal-pasal:
1. 1323 yang mensyaratkan tidak boleh ada paksaan.
2. 1328 yang mensyaratkan tidak boleh ada penipuan, dan sebagainya.
Selain syarat-syarat yang ditetapkan dalam KUH Perdata, perjanjian asuransi juga harus
memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam KUHD. Syarat yang diatur dalam KUHD
adalah kewajiban pemberitahuan yang diatur dalam Pasal 251 KUHD.
Berikut adalah syarat-syarat sahnya asuransi menurut KUH Perdata dan KUHD:
Kesepakatan (consensus)
Tertanggung dan penanggung sepakat mengadakan perjanjian asuransi. Kesepakatan
tersebut pada pokoknya meliputi:
1. Benda yang menjadi objek asuransi;
2. Pengalihan risiko dan pembayaran premi;
3. Evenemen dan ganti kerugian;
4. Syarat-syarat khusus asuransi;
5. Dibuat secara tertulis yang disebut polis.
Pengadaan perjanjian antara tertanggung dan penanggung dapat dilakukan secara
langsung maupun tidak langsung. Dilakukan secara langsung artinya kedua belah pihak
mengadakan perjanjian asuransi tanpa melalui perantara. Dilakukan secara tidak langsung
artinya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi melalui jasa pertantara.
Kesepakatan antara tertanggung dan penanggung dibuat secara bebas, artinya tidak berada
di bawah pengaruh, tekanan atau paksaan dari pihak tertentu. Kedua belah pihak sepakat
menentukan syarat-syarat perjanjian asuransi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Kewenangan (authority)
Kedua belah pihak tertanggung dan penanggung berwenang melakukan perbuatan hukum
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan berbuat tersebut ada yang
bersifat subjektif dan ada yang bersifat objektif. Kewenangan subjektif artinya kedua belah
pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada di bawah perwalian (trusteeship) atau
pemegang kuasa yang sah. Kewenangan objektif artinya tertanggung mempunyai hubungan
4. yang sah dengan benda objek asuransi karena benda tersebut adalah kekayaan miliknya
sendiri.
Objek tertentu (fixed object)
Objek tertentu dalam perjanjian asuransi adalah objek yang diasuransikan, dapat berupa
kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan, dapat pula berupa jiwa
manusia. Pengertian objek tertentu adalah bahwa identitas objek asuransi tertentu itu harus
jelas dan pasti.
Tertanggung sebagai pihak yang mengasuransikan objek asuransi harus mempunyai
hubungan langsung dan tidak langsung dengan objek asuransi tertentu. Mempunyai hubungan
langsung apabila tertanggung memiliki sendiri harta kekayaan atau jiwa yang menjadi objek
asuransi. Sedangkan mempunyai hubungan tidak langsung apabila tertanggung hanya
mempunyai kepentingan atas benda objek asuransi. tertanggung harus dapat membuktikan
bahwa dia adalah benar sebagai pemilik atau mempunyai kepentingan terhadap benda objek
asuransi.
Menurut ketentuan Pasal 299 KUHD, dianggap tidak mempunyai kepentingan adalah orang
yang mengasuransikan benda yang oleh undang-undang dilarang diperdagangkan dan kapal
yang mengangkut barang yang dilarang tersebut. Apabila diasuransikan juga, maka asuransi
tersebut batal.
Kausa yang halal (legal cause)
Kausa yang halal adalah dalam melakukan perjanjian asuransi, isi dari perjanjian tersebut
tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan tidak
bertentangan dengan kesusilaan.
5. B. Pengertian Polis Asuransi
Perjanjian asuransi yang telah terjadi harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang
disebut polis (pasal 255 KUHD). Polis ini merupakan satu-satunya alat bukti tertulis untuk
membuktikan bahwa asuransi telah terjadi. Untuk mengatasi kesulitan jika terjadi sesuatu
setelah perjanjian namun belum sempat dibuatkan polisnya atau walaupun sudah dibuatkan
atau belum ditandatangi atau sudah di tandatangi tetapi belum diserahkan kepada tertanggung
kemudian terjadi evenemen yang menimbulkan kerugian tertanggung. Pada pasal 257 KUHD
memberi ketegasan, walaupun belum dibuatkan polis, asuransi sudah terjadi sejak tercapai
kesepakatan antara tertanggung dan penanggung. Sehingga hak dan kewajiban tertanggung
dan penanggung timbul sejak terjadi kesepakatan berdasarkan nota persetujuan. Bila bukti
tertulis sudah ada barulah dapat digunakan alat bukti biasa yang diatur dalam hukum acara
perdata. Ketentuan ini yang dimaksud oleh pasal 258 ayat (1) KUHD. Syarat-syarat khusus
yang dimaksud dalam pasal 258 KUHD adalah mengenai esensi inti isi perjanjian yang telah
dibuat itu, terutama mengenai realisasi hak dan kewajiban tertanggung dan penanggung
seperti: penyebab timbul kerugian (evenemen); sifat kerugian yang menjadi beban
penanggung; pembayaran premi oleh tertanggung; dan klausula-klausula tertentu.
C. Berakhirnya Asuransi
Ada empat hal yang menyebabkan Perjanjian asuransi berakhir, antara lain sebagai berikut:
1. Karena Terjadi Evenemen
2. Karena Jangka Waktu Berakhir
3. Karena Asuransi Gugur
4. Karena Asuransi Dibatalkan
1. Karena Terjadi Evenemen
Dalam asuransi jiwa, satu-satunya evenemen yang menjadi beban penanggung adalah
meninggalnya tertanggung. Terhadap evenemen inilah diadakan asuransi jiwa antara
tertanggung dan penanggung. Apabila dalam jangka waktu yang diperjanjikan terjadi
peristiwa meninggalnya tertanggung, maka penanggung berkewajiban membayar uang
santunan kepada penikmat yang ditunjuk oleh tertanggung atau kepada ahli warisnya. Sejak
penanggung melunasi pembayaran uang santunan tersebut, sejak itu pula asuransi jiwa
berakhir.
6. Apa sebabnya asuransi jiwa berakhir sejak pelunasan uang santunan, bukan sejak
meninggalnya tertanggung (terjadi evenemen). Menurut hukum perjanjian, suatu perjanjian
yang dibuat oleh pihak-pihak berakhir apabila prestasi masing-masing pihak telah dipenuhi.
Karena asuransi jiwa adalah perjanjian, maka asuransi jiwa berakhir sejak penanggung
melunasi uang santunan sebagai akibat dan meninggalnya tertanggung. Dengan kata lain,
asuransi jiwa berakhir sejak terjadi evenemen yang diikuti dengan pelunasan klaim.
2. Karena Jangka Waktu Berakhir
Dalam asuransi jiwa tidak selalu evenemen yang menjadi beban penanggung itu terjadi
bahkan sampai berakhirnya jangka waktu asuransi. Apabila jangka waktu berlaku asuransi
jiwa itu habis tanpa terjadi evenemen, niaka beban risiko penanggung berakhir. Akan tetapi,
dalam perjanjian ditentukan bahwa penanggung akan mengembalikan sejumtah uang kepada
tertanggung apabila sampai jangka waktu asuransi habis tidak terjadi evenemen. Dengan kata
lain, asuransi jiwa berakhir sejak jangka waktu berlaku asuransi habis diikuti dengan
pengembalan sejumlah uang kepada tertanggung.
3. Karena Asuransi Gugur
4. Karena Asuransi Dibatalkan
Asuransi jiwa dapat berakhir karena pembatalan sebelum jangka waktu berakhir. Pembatalan
tersebut dapat terjadi karena tertanggung tidak melanjutkan pembayaran premi sesuai dengan
perjanjian atau karena permohonan tertanggung sendiri. Pembatalan asuransi jiwa dapat
terjadi sebelum premi mulai dibayar ataupun sesudah premi dibayar menurut jangka
waktunya. Apabila pembatalan sebelum premi dibayar, tidak ada masalah. Akan tetapi,
apabila pembatalan setelah premi dibayar sekali atau beberapa kali pembayaran (secara
bulanan), Karena asuransi jiwa didasarkan pada perjanjian, maka penyelesaiannya
bergantung juga pada kesepakatan pihak-pihak yang dicantumkan dalam polis.
D. Sifat Perjanjian Asuransi
Sebagai suatu perjanjian, asuransi mempunyai beberapa sifat, yaitu di antaranya:
1. Perjanjian asuransi merupakan perjanjian timbal balik (Wederkerige overeenkomst). Hal
itu disebabkan, dalam perjanjian asuransi masing-masing pihak mempunyai hak dan
kewajiban yang saling berhadapan.
2. Perjanjian asuransi merupakan perjanjian bersyarat (voorwaardelike overeenkomst),
karena kewajiban penanggung untuk memberikan penggantian kepada tertanggung
digantungkan kepada terjadinya peristiwa yang diperjanjikan. Apabila peristiwa
dimaksud tidak terjadi, kewajiban penanggung pun tidak timbul. Sebaliknya, jika
peristiwa terjadi tetapi tidak sesuai dengan yang disebut dalam perjanjian, penanggung
juga tidak diwajibkan untuk memberikan penggantian.
7. 3. Asuransi merupakan perjanjian untuk mengalihkan dan membagi risiko. Mengenai hal
ini, telah dijelaskan di muka.
4. Perjanjian asuransi merupakan perjanjian konsensual (Pasal 257 KUHD). Yang
dimaksudkan dengan perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian yang telah terbentuk
dengan adanya kata sepakat di antara para pihak. Perjanjian demikian, oleh Wery
(1984:8)
disebutkan sebagai perjanjian tanpa bentuk (zonder vorm).
5. Asuransi pada dasarnya hanya merupakan suatu perjanjian penggantian kerugian (Emmy
Pangaribuan Simanjuntak, 1980:22; Wery, 1984:27). Hal ini berarti bahwa penanggung
mengikatkan diri untuk memberikan ganti kerugian kepada tertanggung yang seimbang
dengan kerugian yang diderita tertanggung bersangkutan (prinsip indemnitas). Prinsip ini
hanya berlaku untuk asuransi jumlah.
6. Asuransi mempunyai sifat kepercayaan yang khusus. Saling percaya-memercayai di
antara para pihak memegang peranan yang besar untuk diadakannya perjanjian tersebut.
Hal demikian seperti diungkapkan oleh Wery (1984:8):
"Verzekering heeft een bijzonder vertrouwens karakter, het onderling vertrouwen tussen de
partijen speed een grote rol. "
7. Karena di dalam asuransi terdapat unsur "peristiwa yang belum pasti terjadi" (onzeker
voorval), oleh Pasal 1774 KUHPerdata, asuransi dikelompokkan sebagai perjanjian
untung-untungan (kansovereen-komst).
Pada umumnya, para sarjana berpendapat bahwa ditempatkannya asuransi dalam perjanjian
untung-untungan Pasal I774 KUHPerdata (yang sama dengan Pasal 1811 BW Nederland)
adalah tidak tepat (Wery, 1984:5; Burg, 1973:6 Dorhout Mess, 1980:1 10; Emmy
Pangaribuan Simanjuntak, 1980:7).