Dokumen tersebut membahas sejarah perkembangan sistem perpajakan di Indonesia khususnya pajak penjualan dan pajak pertambahan nilai, mulai dari UU PPn 1951 hingga reformasi sistem perpajakan nasional 1983 yang mengganti PPn dengan PPN. Juga dibahas karakteristik, prinsip-prinsip dasar, dan metode perhitungan PPN.
4. anangmury@gmail.com
Pajak Pembangunan I (PPb I)
Mulanya sukarela
1 Juni 1947 resmi dipungut atas rumah makan
UU No 32 Tahun 1956 dilimpahkan ke Pemda
Pajak Peredaran 1950 (Ppe 1950)
Dikenakan atas penyerahan barang/jasa di Indonesia
Dikenakan tiap jalur distribusi
Satu tarif (single rate) 2,5%
Bersifat kumulatif
Pajak Penjualan (PPn 1951)
UU Darurat No 19 Tahun 1951, berlaku 1 Oktober 1951
Ditingkatkan jadi Undang-Undang dg UU No 35 tahun 1953
Single stage tax pada tingkat pabrikan (manufacturer’s sales tax)
Mengalami perluasan objek 18 jenis jasa
Mengalami perluasan objek umtuk impor
Pajak Pertambahan Nilai (PPN 1984)
5. anangmury@gmail.com
UU PPn 1951
Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951, Pajak
Penjualan berlaku di Indonesia sejak 1 Oktober 1951
Undang-undang ini dinamakan UU PPn 1951
Dengan Undang Undang Nomor 35 Tahun 1953, UU
Darurat tersebut ditetapkan menjadi Undang-undang
UU PPN 1984
dalam “Reformasi Sistem Perpajakan Nasional 1983” yang
lebih dikenal dengan sebutan “Tax Reform 1983”, diganti
dengan Pajak Pertambahan Nilai.
6. anangmury@gmail.com
UU PPn 1951 telah berulang kali diubah sehingga sulit dipahami
sehingga sulit dilaksanakan;
dalam pelaksanaannya UU PPn 1951 menimbulkan pengenaan
pajak berganda sehingga PPn menjadi tidak netral baik dalam
perdagangan di dalam negeri maupun internasional;
mengandung dualisme sistem pemungutan, yaitu bagi wajib pajak
yang mampu menyelenggarakan pembukuan menggunakan “self
assessment system” sedangkan bagi yang tidak mampu
menyelenggarakan pembukuan menggunakan “official
assessment system”.
variasi tarif yang cukup banyak, sampai 9 macam tarif,
menyulitkan tindakan pengawasan terhadap kepatuhan wajib
pajak.
Tidak mendorong ekspor
Tidak mengatasi penyelundupan
7. anangmury@gmail.com
Mencegah pengenaan pajak berganda
Netral dalam perdagangan dalam dan luar negeri
Membantu likuiditas pengusaha. PPN atas perolehan barang
modal dapat diperoleh kembali pada bulan perolehan, sesuai
dengan consumption type VAT dan indirect subtraction
method
Dari sudut pandang negara mendapat predikat money
maker karena konsumen selaku pemikul beban pajak tidak
merasa dibebani oleh pajak tersebut sehingga memudahkan
fiskus memungutnya
8. anangmury@gmail.com
Biaya administrasi tinggi bila dibandingkan dengan pajak
tidak langsung lainnya, baik dari administrasi fiskus maupun
WP
Menimbulkan dampak regresif, yaitu semakin tinggi tingkat
kemampuan konsumen, semakin ringan beban pajakyang
dipikul, sebaliknya semakin rendah tingkat kemampuan
konsumen, semakin berat beban pajakyang dipikul. Dampak
ini timbul dari konsekuensi karakteristik PPN sebagai pajak
objektif
PPN rawan penyelundupan. Akibat dari mekanisme
pengkreditan pajak masukan yg merupakan upaya
memperoleh kembali pajak yang sudah dibayar oleh
pengusaha
Menuntut pengawasan yang lebih tinggi
9. anangmury@gmail.com
Pajak Tidak Langsung
Pajak Objektif
Pajak atas konsumsi umum dalam negeri
Multi Stage Tax
Indirect Subtraction Method/Credit Method/Invoice
Method
Bersifat netral
Tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda
Menggunakan tarif tunggal
10. anangmury@gmail.com
Karakter PPN sebagai pajak tidak langsung ini menimbulkan
konsekuensi yuridis bahwa antara pemikul beban pajak
(destinataris pajak) dengan penanggung jawab atas penyetoran
pa-jak ke kas negara berada pada pihak-pihak yang berbeda.
Pemikul beban pajak ini berada pada pembeli Barang Kena Pajak
(BKP) atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP).
Sedangkan penang-gung jawab atas pelaporan/penyetoran pajak
ke kas negara adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang
bertindak selaku penjual BKP atau pengusaha JKP selaku
pengusaha yang me-nyerahkan JKP.
Oleh karena itu apabila terjadi penyimpangan pemungutan PPN,
fiskus akan meminta pertanggungjawaban kepada Penjual BKP
atau Pengusaha JKP tersebut, bukan kepada pembeli, walaupun
pembeli kemungkinan juga berstatus sebagai PKP
11. anangmury@gmail.com
Sebagai Pajak Tidak Langsung, pengertian Pajak
Pertambahan Nilai dapat dirumuskan berdasar dua sudut
pandang sebagai berikut:
Sudut pandang ilmu ekonomi, beban pajak dialihkan kepada pihak
lain, yaitu pihak yang akan mengkonsumsi barang atau jasa yang
menjadi obyek pajak.
Sudut pandang ilmu hukum, tanggung jawab pembayaran pajak
kepada kas negara tidak berada ditangan pihak yang memikul beban
pajak. Sudut pandang ilmu hukum ini membawa konsekuensi filosofis
bahwa :
▪ apabila pembeli atau penerima jasa telah membayar pajak yang
terutang kepada penjual atau pengusaha jasa, pada hakekatnya
sama dengan telah membayar pajak tersebut ke kas negara.
▪ dalam hal (PKP) penjual tidak memungut pajak dari pembeli
dengan alasan apapun, sepenuhnya menjadi tanggung jawab
penjual, bukan tanggung jawab pembeli.
12. anangmury@gmail.com
Timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh peristiwa atau
perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut
objek pajak.
Kondisi subjektif subjek pajak tidak ikut menentukan.
PPN tidak membedakan antara konsumen orang pribadi dengan
konsumen berbentuk badan, antara konsumen yang
berpenghasilan tinggi dengan yang berpenghasilan rendah.
Sepanjang mereka mengonsumsi barang atau jasa dari jenis yang
sama, mereka diperlakukan sama.
Sebagai pajak objektif PPN menimbulkan dampak regresive yaitu
semakin tinggi kemampuan konsumen semakin ringan beban
pajak yang dipikul, semakin rendah kemampuan konsumen,
semakin berat beban pajak yang dipikul. Untuk mengurangi
dampak regresif ini, terhadap konsumen yang mengonsumsi BKP
yang tergolong mewah dikenakan PPnBM di samping PPN.
13. anangmury@gmail.com
Pajak atas konsumsi mengandung makna
bahwa :
PPN bukan pajak atas kegiatan bisnis.
Pemikul beban pajak adalah konsumen.
14. anangmury@gmail.com
Sebagai pajak atas konsumsi sebenarnya tujuan akhir PPN
adalah mengenakan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi
(a tax on consumption expenditure) baik yang dilakukan
oleh perseorangan maupun oleh badan baik badan swasta
maupun badan Pemerintah dalam bentuk belanja barang
atau jasa yang dibebankan pada APBN/APBD.
Karena konsumen tidak semata mata mengonsumsi barang‑
tetapi juga mengonsumsi jasa, maka PPN selain dikenakan
atas konsumsi barang juga dikenakan atas konsumsi jasa.
15. anangmury@gmail.com
Spesifikasi “dalam negeri”, merupakan refleksi dari
prinsip destinasi (destination principle) yang diadopsi
dalam UU PPN 1984.
Sebagai pajak atas konsumsi umum dalam negeri,
PPN hanya dikenakan atas konsumsi BKP dan/atau
JKP yang dilakukan di dalam negeri. Oleh karena
itu, komoditi impor dike-nakan PPN dengan
persentase yang sama dengan produk domestik.
16. anangmury@gmail.com
Dalam kaitan dengan arus barang atau jasa
yang melintas batas wilayah negara (cross
border area), PPN mengenal dua prinsip
pemungutan, yaitu :
Prinsip tempat asal (origin principle);
Prinsip tempat tujuan (destination principle).
17. anangmury@gmail.com
Apabila dikehendaki ada sifat netral PPN dibidang
perdagangan internasional, maka prinsip yang
dianut adalah prinsip tempat tujuan (destination
principle).
Dalam prinsip ini, komoditi impor akan
menanggung beban pajak yang sama dengan
barang produksi dalam negeri. Karena kedua jenis
komoditi tersebut sama-sama dikonsumsi di dalam
negeri, maka akan dikenakan pajak dengan beban
yang sama.
18. anangmury@gmail.com
Karakteristik PPN sbg pajak konsumsi
menempatkan PPN pada posisi netral yaitu netral
baik atas pola konsumsi, pola produksi maupun pola
distribusi.
Netralitas PPN dibentuk oleh dua faktor yaitu :
PPN dikenakan baik atas konsumsi barang maupun jasa.
Dalam pemungutannya, PPN menganut prinsip tempat
tujuan (destination principle).
19. anangmury@gmail.com
Pasal 7 (UU No. 42 Tahun 2009)
(1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
(2) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c. ekspor Jasa Kena Pajak.
(3) Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5%
(lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
20. anangmury@gmail.com
Dalam conpsumtion type value added tax semua pembelian
yang digunakan untuk produksi yaitu pembelian BKP
termasuk barang modal dikurangkan dari penghitungan nilai
tambah.
Jadi dasar pengenaan pajaknya terbatas pada pembelian
untuk keperluan konsumsi.
Tidak terjadi pengenaan pajak lebih dari satu kali terhadap
barang modal, karena pembelian barang modal dikeluarkan
dari dasar pengenaan pajak.
Hal ini memberi sifat netral PPN terhadap pola produksi.
Pengusaha bebas memilih apakah mau menggunakan
sistem produksi padat modal atau padat karya, PPN tidak
akan ikut menentukan.
21. anangmury@gmail.com
PPN tipe konsumsi ini memiliki beberapa nilai positif, yaitu:
Membantu likuiditas perusahaan, karena seluruh Pajak Masukan atas
pembelian BKP ternmasuk Barang Modal yang digunakan dalam
proses produksi segera dapat dikreditkan.
Menunjang iklim investasi yang sehat.
Mendorong pengusaha secara berkala melakukan regenesari alat
produksi barang modal karena dikenakan pajak tidak lebih dari satu
kali.
Tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda (bersifat non
kumulasi).
22. anangmury@gmail.com
Indirect Subtraction Method adalah metode
penghitungan PPN yang akan disetor ke kas
negara dengan cara mengurangkan pajak
atas perolehan dengan pajak atas
penyerahan barang atau jasa
23. anangmury@gmail.com
Untuk menghitung PPN atas nilai tambah dapat dilakukan
melalui tiga metode yaitu :
Subtraction method (metode pengurangan secara langsung), yaitu
dengan cara mengalikan tarif PPN dengan selisih antara harga jual
dengan harga beli.
Indirect subtraction method (metode pengurangan secara tidak
langsung), yaitu dengan cara mengurangkan PPN yang dipungut oleh
penjual atau pengusaha jasa atas penyerahan barang atau jasa,
dengan PPN yang dibayar kepada penjual atau pengusaha jasa lain
atas perolehan barang atau jasa.
Addition method (metode penghitungan nilai tambah), yaitu
mengalikan tarif PPN dengan hasil penjumlahan unsur-unsur nilai
tambah.
24. anangmury@gmail.com
PPN
SISTIM PEMUNGUTAN
PPN atas
Nilai Tambah
HARGA BELI
BH BAKU = 500
BH PEMBANTU= 300
SUKU CADANG
DLL. = 200
-----------
JUMLAH = 1000
BIAYA
PENYUSUTAN = 50
BUNGA = 100
GAJI/UPAH = 300
MANAJEMEN = 150
LABA USAHA = 100
----------
JUMLAH = 700
HARGA JUAL
1700
Nilai Tambah
700
SUBTRACTION ADDITION
INDIRECT
SUBTRACTION/
CREDIT/INVOICE
25. METODE PENGHITUNGAN
(Calculation Method)
HARGA JUAL = 1.700
HARGA BELI = 1.000
DPP = 700
PPN 10% = 70
HARGA JUAL = 1.700
PPN = 10% x 1.700 = 170
HARGA BELI = 1.000
PPN = 10% x 1.000 = 100
PPN TERUTANG UNTUK
DISETOR KE KAS NEGARA = 70
PENYUSUTAN = 50
BUNGA = 20
SEWA = 80
GAJI/ UPAH = 300
MANAJEMEN = 150
LABA USAHA = 100
Juml ah = 700
PPN 10% = 70
SUBTRACTION METHOD
ADDITION METHOD
INDIRECT SUBTRACTION/
INVOICE/CREDIT METHOD
26. anangmury@gmail.com
Diantara tiga metode tersebut, UU PPN Indonesia menganut
“indirect subtraction method” (metode pengurangan tidak
langsung).
Untuk mendeteksi atau menguji kebenaran jumlah pajak
yang terutang atas perolehan dan jumlah pajak yang
terutang atas penyerahan tersebut diperlu-kan suatu
dokumen pendukung.
Dokumen ini dinamakan “tax invoice” (Faktur Pajak), oleh
karena itu metode ini dinamakan juga “Invoice Method”.
Oleh karena itu Faktur Pajak merupa-kan persyaratan
mutlak dalam indirect subtraction method.
27. anangmury@gmail.com
Dalam hukum pajak, kegiatan me-ngurangkan pajak dengan
pajak dinamakan “tax credit”, oleh karena itu metode ini
juga dina-makan “credit method” yaitu mengkreditkan pajak
yang dibayar kepada penjual atau pengusaha jasa yang
dinamakan “Pajak Masukan” (input tax) dengan pajak yang
dipungut dari pembeli atau penerima jasa yang dinamakan
“Pajak Keluaran” (output tax).
Dalam kalimat yang lebih sederhana dan populer adalah
mengreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran.
28. anangmury@gmail.com
Multi stage tax adalah karakteristik PPN yang
mempunyai makna PPN dikenakan pada setiap
mata rantai jalur produk-si maupun jalur distribusi.
Setiap penyerahan barang yang menjadi obyek
PPN mulai dari tingkat pabrikan (manufacturer)
kemudian ditingkat pedagang besar (wholesaler)
dalam berbagai bentuk atau nama sampai dengan
tingkat pedagang pengecer (retailer) dikenakan
PPN.
29. MULTI STAGE LEVY namun NON KUMULATIF
PABRIKAN
PEDAGANG BESAR
PEDAGANG ECERAN
KONSUMEN
BKP
BKP
BKP
HARGA JUAL =1.000.000
HARGA BELI =1.000.000
NILAI TAMBAH = 300.000
HARGA JUAL =1.300.000
HARGA BELI = 1.300.000
NILAI TAMBAH = 200.000
HARGA JUAL= 1.500.000
PPN 10%
100.000
PPN 10%
130.000
PPN 10%
150.000
PK =
100.000
PM = 130.000
BEBAN PAJAK
PPN =
30.000
PPN =
20.000
PPN =
100.000
KN
KN
KN
PK = 150.000
PK = 130.000
PM = 100.000
30. PERBANDINGAN PPn KUMULATIF& PPN NON KUMULATIF
PABRIKAN
PEDAGANG
BESAR
PEDAGANG
ECERAN
KONSUMEN
HARGA JUAL
1.000.000
HARGA BELI = 1.000.000
NILAI TAMBAH= 300.000
HARGA JUAL = 1.300.000
HARGA BELI = 1.300.000
NILAI TAMBAH = 200.000
HARGA JUAL= 1. 500.000
PPN
100.000
PPN
130.000
PPN
150.000
HARGA JUAL
1.000.000
HARGA BELI = 1.100.000
NILAI TAMBAH = 300.000
HARGA JUAL=1.400.000
HARGA BELI = 1.540.000
NILAI TAMBAH = 160.000
HARGA JUAL =1. 700.000
PPn
100.000
PPn
140.000
PPn
170.000
KAS NEGARA
PPN
30.000
KAS NEGARA
PPN
20.000
KUMULATIF NON KUMULATIF
Perbandingan antara
PPn kumulatif dg PPN non kumulatif
32. anangmury@gmail.com
PKP yg melakukan penyerahan BKPJKP) wajib memungut PPN
daripembeli/penerima BKP/JKP dg membuat FP.
PPN yg tercantum dlm FP merupakan PK (Out Put Tax) bagi PKP Penjual
BKP/JKP, yg sifatnya sbg pjk yg harus dibayar (hutang pjk).
Pada waktu PKP di atas melakukan pembelian/perolehan BKP/JKP yg
dikenakan PPN, PPN tersebut merupakan PM (Out Put Tax), yg sifatnya
sbg pajak yg dibayar di muka, sepanjang BKP/JKP yg dibeli tersebut
berhubungan langsung dengan kegiatan usahanya.
Untuk setiap masa pajak (setiap bulan), apabila jumlah PK lebih besar
dari pada PM, maka selisihnya harus disetor ke Kas Negara. Dan
sebaliknya, apabila jumlah PM lebih besar dari pada PK, maka selisih
tersebut dapat di kompensasi ke masa pajak berikutnya atau diminta
kembali (restitusi)
Pengusaha Kena Pajak di atas wajib menyampaikan Laporan
Perhitungan PPN setiap bulan (SPT Masa PPN) ke Kantor Pelayanan
Pajak
33. anangmury@gmail.com
Secara umum PPN yg terutang atas transaksi penyerahan
BKP/JKP dipungut oleh PKP Penjual. Dg demikian, pembeli
BKP/JKP yg bersangkutan wajib membayar kpd PKP Penjual sbsr
harga jual ditambah PPN yg terutang
Namun demikian, apabila yg bertindak sebagai pembeli BKP/JKP
tsb berstatus Pemungut PPN (Pembeli Khusus), PPN yg terutang
atas transaksi penyerahan BKP/JKP tidak dipungut oleh PKP
Penjual, malainkan disetor langsung ke kas negara oleh
Pemungut PPN tsb. Dg demikian, Pemungut PPN hanya
membayar kpd PKP Penjual sebesar harga jual, sedangkan PPN-
nya (10%) disetor langsung ke kas negara.
Pemungut PPN (Pembeli Khusus) terdiri dari ;
Bendahara Pemerintah
Kontraktor Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi
34. anangmury@gmail.com
UU Nomor 8 tahun 1983
dengan nama “UU PPN 1984”
Mulai berlaku 1
April 1985
Diubah dengan
UU Nomor 11 Tahun 1994
Mulai berlaku
1 Januari 1995
Diubah dengan
UU Nomor 18 Tahun 2000
Mulai berlaku
1 Januari 2001
Diubah dengan
UU Nomor 42 Tahun 2009
Mulai berlaku
1 April 2010
Pasal 20 UU No 8 Tahun 1983 "Undang-undang ini dapat disebut Undang-
undang Pajak Pertambahan Nilai 1984“
Pasal ini sampai UU No 42 Tahun 2009 tidak diubah sehingga masih
menggunakan istilah UU PPN 1984
35. anangmury@gmail.com
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Pengertian
Pasal 1A Ruang Lingkup Penyerahan Barang Kena Pajak
Pasal 2 Transaksi Hubungan Istimewa
BAB II PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA
PAJAK
Pasal 3 Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
36. anangmury@gmail.com
BAB IIA KEWAJIBAN MELAPORKAN
USAHA DAN KEWAJIBAN MEMUNGUT,
MENYETOR DAN MELAPORKAN PAJAK
YANG TERUTANG
Pasal 3A Pengusaha Kena Pajak, Pengusaha
Kecil, BKP tida berwujud dan JKP dari Luar
Daerah Pabean
37. anangmury@gmail.com
BAB III OBJEK PAJAK
Pasal 4 Obyek Pajak Pertambahan Nilai
Pasal 4A Jenis Barang dan Jasa Tidak Kena
Pajak
Pasal 5 Obyek PPnBM
Pasal 5A Retur Penjualan/Pembelian
Pasal 6 (dihapus)
38. anangmury@gmail.com
BAB IV TARIF PAJAK DAN CARA
MENGHITUNG PAJAK
Pasal 7 Tarif Pajak Pertambahan Nilai
Pasal 8 Tarif PPnBM
Pasal 8A Cara Menghitung PPN
Pasal 9 Pajak Masukan dan Pajak Keluaran
Pasal 10 Cara Menghitung PPnBM
39. anangmury@gmail.com
BAB V SAAT DAN TEMPAT TERUTANG DAN
LAPORAN PENGHITUNGAN PAJAK
Pasal 11 Saat Terutang Pajak
Pasal 12 Tempat Terutang Pajak
Pasal 13 Faktur Pajak
Pasal 14 Larangan Membuat Faktur Pajak
Pasal 15 ((dihapus)
Pasal 15a Jangka Waktu Penyetoran Pajak dan
Penyampaian SPT Masa
Pasal 16 ((dihapus)
40. anangmury@gmail.com
BAB V A KETENTUAM KHUSUS
Pasal 16A Pemungut PPN
Pasal 16B Fasilitas Pajak
Pasal 16C PPN Kegiatan Membangun Sendiri
Pasal 16D PPN atas Penyerahan Aktiva Yang Menurut
Tujuan semula Tidak Untuk Diperjualbelikan
Pasal 16E Permintaan Kembali PPN dan PPnBM
Pasal 16F Tanggung Jawab Renteng Pembayaran Pajak
41. anangmury@gmail.com
BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 17 Tata Cara Pemungutan (lex specialist)
BAB VII KETENTUAN PERALIHAN
Ketentuan peralihan
BAB VIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19 Ketentuan tentang peraturan pelaksanaan
Pasal 20 Nama UU PPN 1984
Pasal 21 Mulai Berlaku UU PPN
42. anangmury@gmail.com
Cari bukti di dalam pasal-pasal UU PPN yang
mendukung bahwa PPN di Indonesia memiliki
karakteristik :
Pajak Tidak Langsung
Pajak Objektif
Pajak atas konsumsi dalam negeri, menganut
destination principle
Multi stage tax
Indirect subtraction method
43. anangmury@gmail.com
Pajak Tidak Langsung
Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c
Pasal 3 A Pengusaha yang melakukan penyerahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a,
huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha
kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor,
dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
44. anangmury@gmail.com
Penyimpangan :
Pasal 4 ayat (1) huruf b, huruf d, huruf e
Pasal 3 A ayat (3) Orang pribadi atau badan yang
memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari
luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 4
ayat (1) huruf d dan/atau yang memanfaatkan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e wajib memungut, menyetor,
dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
yang penghitungan dan tata caranya diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
45. anangmury@gmail.com
Pasal 4
Faktor subjektif yang memikul beban pajak
bukan dalam arti yang bertanggung jawab
terhadap pembayaran ke negara
dalam pasal 4 tidak menyebut konsumen
46. anangmury@gmail.com
Pasal 4 ayat 1
huruf a penyerahan dalam daerah pabean
huruf c penyerahan dalam daerah pabean
47. anangmury@gmail.com
Pasal 4 ayat (1) huruf a, c, f, g,h
Pasal 1 angka 15 Pengusaha Kena Pajak
adalah Pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai
pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
48. anangmury@gmail.com
Pasal 9 ayat 2 Pajak Masukan dalam suatu
Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak
Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
Pasal 13