Dalil-Dalil Syariah - Sumber-Sumber Hukum Islam

A
Anas WibowoOwner à Proheaven

Menurut aqidah Islam, hukum yang wajib dijalankan adalah hukum syariah, yakni hukum Allah, bukan hukum buatan manusia. Karena itu, dalil yang darinya digali hukum harus qath'i/ pasti bersumber dari wahyu.

Dalil-Dalil Syariah – Sumber-Sumber Hukum Islam
Menurut aqidah Islam, hukum yang wajib dijalankan adalah hukum syariah, yakni hukum Allah,
bukan hukum buatan manusia. Karena itu, dalil yang darinya digali hukum harus bersumber dari
wahyu.
Penetapan bahwa dalil yang darinya digali hukum itu benar-benar bersumber dari wahyu harus
dengan qath’i (definitif/ pasti), sebab ini termasuk bagian dari akidah, sementara akidah tidak
boleh diambil kecuali dari sesuatu yang memberi keyakinan.
Apabila sumber hukum sudah salah, maka seluruh hukum-hukum yang dihasilkannya menjadi
salah pula.
‫ا‬َ‫م‬ِ‫ب‬ۢ ٌ‫م‬ْ‫ي‬ِ‫ل‬َ‫ع‬ َ ‫ه‬‫ّٰللا‬ َّ‫ِن‬‫ا‬ ۗ‫ا‬ًٔ‫ْـ‬‫ي‬َ‫ش‬ ِ‫ق‬َ‫ح‬ْ‫ال‬ َ‫ن‬ِ‫م‬ ْ‫ي‬ِ‫ن‬ْ‫غ‬ُ‫ي‬ َ‫َّل‬ َّ‫ن‬َّ‫الظ‬ َّ‫ِن‬‫ا‬ ۗ‫ا‬ًّ‫ن‬َ‫ظ‬ َّ‫َِّل‬‫ا‬ ْ‫م‬ُ‫ه‬ُ‫ر‬َ‫ث‬ْ‫ك‬َ‫ا‬ ُ‫ع‬ِ‫ب‬َّ‫ت‬َ‫ي‬ ‫ا‬َ‫م‬ َ‫و‬
َ‫ن‬ ْ‫و‬ُ‫ل‬َ‫ع‬ْ‫ف‬َ‫ي‬
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan
itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka kerjakan.” (QS. (10) Yunus: 36)
Dalil-Dalil Syariah yang Diakui
Dalil, menurut pengertian bahasa, adalah sesuatu yang menunjukan pada sesuatu yang kongkrit
(hissi) atau yang abstrak (maknawi). Menurut ulama fikih, dalil adalah sesuatu yang di dalamnya
terdapat petunjuk. Menurut ulama ushul, dalil adalah sesuatu yang dengan penelaahan yang sahih
bisa menghantarkan pada pengetahuan atas mathlûb khabari (hukum suatu perkara yang sedang
dicari status hukumnya), atau sesuatu yang dijadikan hujjah bahwa perkara yang dibahas
adalah hukum syariah (Az-Zain, Ilmu Ushûlil Fiqh al-Muyassar, hlm. 297).
Adapun dalil-dalil hukum syariah yang diakui dan telah memenuhi kualifikasi qath’i, pasti
bersumber dari wahyu, ada empat: Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas.
1. Al-Qur’an
Dalil bahwa al-Qur’an berasal dari wahyu Allah SWT, baik redaksi maupun maknanya,
merupakan dalil yang qath’i (pasti).
Al-Qur’an adalah kalam (firman) Allah yang berupa mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad ‫ﷺ‬ dengan bahasa Arab, terdapat di antara dua ujung mushaf, disampaikan
secara mutawatir, membacanya adalah ibadah, dimulai dengan surat al-Fatihah dan ditutup
dengan surat an-Nas (An-Nikmah, Ulûmul Qur’ân, hlm. 8).
Kemukjizatan al-Qur’an juga menjadi dalil yang qath’i bahwa al-Qur’an merupakan kalam
(firman) Allah, bukan perkataan manusia.
‫ا‬ ْ‫و‬ُ‫ع‬ْ‫د‬‫ا‬ َ‫و‬ ۖ ٖ‫ه‬ِ‫ل‬ْ‫ث‬ِ‫م‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ٍ‫ة‬َ‫ر‬ ْ‫و‬ُ‫س‬ِ‫ب‬ ‫ا‬ ْ‫و‬ُ‫ت‬ْ‫أ‬َ‫ف‬ ‫َا‬‫ن‬ِ‫د‬ْ‫ب‬َ‫ع‬ ‫ى‬ٰ‫ل‬َ‫ع‬ ‫َا‬‫ن‬ْ‫ل‬َّ‫َز‬‫ن‬ ‫ا‬َّ‫م‬ِ‫م‬ ٍ‫ب‬ْ‫ي‬َ‫ر‬ ْ‫ي‬ِ‫ف‬ ْ‫م‬ُ‫ت‬ْ‫ن‬ُ‫ك‬ ْ‫ِن‬‫ا‬ َ‫و‬
َ‫ْن‬‫ي‬ِ‫ق‬ِ‫د‬ ٰ‫ص‬ ْ‫م‬ُ‫ت‬ْ‫ن‬ُ‫ك‬ ْ‫ِن‬‫ا‬ ِ ‫ه‬‫ّٰللا‬ ِ‫ن‬ ْ‫ُو‬‫د‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬َ‫ء‬ۤ‫ا‬َ‫د‬َ‫ه‬ُ‫ش‬
“(Dan) apabila kamu tetap dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada
hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an, dan ajaklah
penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. (2) Al-Baqarah:
23)
Al-Qur’an yang merupakan kalam (firman) Allah itu dengan pasti menyebutkan bahwa wahyu
telah diturunkan kepada Rasulullah ‫ﷺ‬ .
ْ‫ل‬ُ‫ق‬‫ي‬َ‫ا‬ٍ‫ء‬ْ‫ي‬َ‫ش‬ُ‫ر‬َ‫ب‬ْ‫ك‬َ‫ا‬‫ة‬َ‫د‬‫ا‬َ‫ه‬َ‫ش‬ِۗ‫ل‬ُ‫ق‬ُ ‫ه‬‫ّٰللا‬ٌۗۢ‫د‬ْ‫ي‬ِ‫ه‬َ‫ش‬ْ‫ي‬ِ‫ن‬ْ‫ي‬َ‫ب‬ْ‫م‬ُ‫ك‬َ‫ن‬ْ‫ي‬َ‫ب‬ َ‫و‬َۗ‫ي‬ ِ‫ح‬ ْ‫و‬ُ‫ا‬ َ‫و‬َّ‫ي‬َ‫ل‬ِ‫ا‬‫ا‬َ‫ذ‬ٰ‫ه‬ُ‫ن‬ٰ‫ا‬ ْ‫ر‬ُ‫ق‬ْ‫ال‬
ْ‫م‬ُ‫ك‬ َ‫ِر‬‫ذ‬ْ‫ن‬ُ ِ‫َّل‬ٖ‫ه‬ِ‫ب‬ْۢ‫ن‬َ‫م‬ َ‫و‬َ‫غ‬َ‫ل‬َ‫ب‬ْۗ‫م‬ُ‫ك‬َّ‫ن‬ِٕ‫ى‬َ‫ا‬َ‫ن‬ ْ‫ُو‬‫د‬َ‫ه‬ْ‫ش‬َ‫ت‬َ‫ل‬َّ‫ن‬َ‫ا‬َ‫ع‬َ‫م‬ِ ‫ه‬‫ّٰللا‬‫ة‬َ‫ه‬ِ‫ل‬ٰ‫ا‬ۗ‫ى‬ ٰ‫ر‬ْ‫خ‬ُ‫ا‬ْ‫ل‬ُ‫ق‬‫ا‬ َّ‫َّل‬ُ‫د‬َ‫ه‬ْ‫ش‬َ‫ا‬ْۚ‫ل‬ُ‫ق‬
َ‫ن‬ ْ‫و‬ُ‫ك‬ ِ‫ر‬ْ‫ش‬ُ‫ت‬ ‫ا‬َّ‫م‬ِ‫م‬ ٌ‫ء‬ ْۤ‫ي‬ ِ‫ر‬َ‫ب‬ ْ‫ي‬ِ‫ن‬َّ‫ن‬ِ‫ا‬ َّ‫و‬ ٌ‫د‬ ِ‫اح‬ َّ‫و‬ ٌ‫ه‬ٰ‫ِل‬‫ا‬ َ‫و‬ُ‫ه‬ ‫ا‬َ‫م‬َّ‫ن‬ِ‫ا‬
“Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah." Dia menjadi saksi
antara aku dan kamu. Dan al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi
peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur’an (kepadanya)...” (QS al-
An’am [6]: 19)
َ‫ن‬ ْ‫و‬ُ‫ر‬َ‫ذ‬ْ‫ن‬ُ‫ي‬ ‫ا‬َ‫م‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫ا‬ َ‫ء‬ۤ‫ا‬َ‫ع‬‫الد‬ ‫م‬‫الص‬ ُ‫ع‬َ‫م‬ْ‫س‬َ‫ي‬ َ‫َّل‬ َ‫و‬ ِۖ‫ي‬ْ‫ح‬ َ‫و‬ْ‫ال‬ِ‫ب‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬ُ‫ِر‬‫ذ‬ْ‫ن‬ُ‫ا‬ ‫ا‬‫ا‬َ‫م‬َّ‫ن‬ِ‫ا‬ ْ‫ل‬ُ‫ق‬
“Katakanlah (hai Muhammad): "Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan kepada kamu
sekalian dengan wahyu dan tiadalah orang-orang yang tuli mendengar seruan, apabila mereka
diberi peringatan.” (QS al-Anbiya’ [21]: 45)
Dua ayat ini dan yang lainnya merupakan dalil-dalil yang qath’i bahwa al-Qur’an disampaikan
melalui wahyu yang berasal dari Allah SWT (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 50).
Selain dari bahasanya, isi Al-Qur'an sekaligus menjadi hujjah atas kebenarannya. Misalnya
perihal akan menangnya kaum Muslimin memasuki Makkah dengan aman (QS. Al-Fath), juga
tentang akan menangnya pasukan Romawi atas Persia (QS. Ar-Ruum) dsb. Selain itu, isi Al-
Qur'an juga menunjukan tentang kejadian sejarah terdahulu yang sesuai dengan fakta, atau kisah
tentang sebagian iptek, misalnya penyerbukan oleh lebah, terkawinkannya bunga-bunga oleh
bantuan angin dsb, yang pada akhirnya terbukti kebenarannya. Semua itu menunjukan bahwa Al-
Qur'an memang bukan datang dari manusia, melainkan dari Allah SWT; Sang Pencipta dan
Pengatur alam semesta. Karenanya memang sudah menjadi kelayakan bahkan keharusan untuk
menjadikan Al-Qur'an sebagai landasan kehidupan dan hukum manusia.
2. As-Sunnah
As-Sunnah dan al-Hadits pengertiannya sama, yaitu perkataan, perbuatan dan ketetapan yang
datang dari Rasulullah ‫ﷺ‬ (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, I/178).
Kedudukan as-Sunnah sebagai dalil yang qath’i—yang merupakan dalil yang dibawa oleh
wahyu, yang maknanya dari Allah SWT, sementara redaksinya dari Rasulullah saw.—telah
disebutkan dengan tegas dan jelas di dalam beberapa ayat al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
‫ى‬َ‫و‬َ‫ه‬‫ْل‬‫ا‬ ‫ن‬َ‫ع‬ ‫ق‬‫ط‬‫ه‬‫ن‬َ‫ي‬ ‫ا‬َ‫م‬َ‫*و‬ ‫ى‬َ‫وح‬‫ي‬ ‫ي‬‫ه‬‫ح‬َ‫و‬ ‫ال‬‫إ‬ َ‫و‬‫ه‬ ‫ه‬‫ن‬‫إ‬
“Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS an-Najm [53] : 3-4)
ّ‫ِب‬َ‫ر‬ ‫ه‬‫ن‬‫م‬ ‫ي‬َ‫ل‬‫إ‬ ‫ى‬َ‫وح‬‫ي‬ ‫ا‬َ‫م‬ ‫ع‬‫يب‬‫ت‬َ‫أ‬ ‫ا‬َ‫ي‬‫َّن‬‫إ‬ ‫ه‬‫ل‬‫ق‬
Katakanlah, “Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku
kepadaku.” (QS al-A’raf [7]: 203)
‫اب‬َ‫ق‬‫ع‬‫ه‬‫ل‬‫ا‬ ‫يد‬‫د‬َ‫ش‬ َ‫ه‬‫ي‬‫ل‬‫ال‬ ‫ي‬‫ن‬‫إ‬ َ‫ه‬‫ي‬‫ل‬‫ال‬ ‫ا‬‫و‬‫يق‬‫ات‬َ‫و‬ ‫ا‬‫و‬‫ه‬َ‫ت‬‫ه‬‫ان‬َ‫ف‬ ‫ه‬‫ه‬‫ن‬َ‫ع‬ ‫ه‬‫م‬‫اك‬َ‫ه‬َ‫ن‬ ‫ا‬َ‫م‬َ‫و‬ ‫وه‬‫ذ‬‫خ‬َ‫ف‬ ‫ول‬‫س‬‫ي‬‫ر‬‫ال‬ ‫م‬‫اك‬َ‫ت‬‫آ‬ ‫ا‬َ‫م‬َ‫و‬
“Apa yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa yang dia larang atas kalian,
tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-
Nya.” (QS al-Hasyr [59]: 7)
Ayat-ayat ini dan yang lainnya menunjukkan dengan tegas dan jelas bahwa as-Sunnah yang
diucapkan Rasulullah ‫ﷺ‬ tidak lain adalah wahyu dari Allah SWT. Dengan tegas dan jelas pula
Allah SWT telah memerintahkan kita agar menaati apa saja yang Rasulullah perintahkan, dan
menjauhi apa yang beliau larang. Dalil bahwa as-Sunnah datang melalui wahyu adalah dalil
yang qath’i. Oleh karena itu, kedudukan as-Sunnah sebagai dalil ditetapkan berdasarkan nash
yang qath’i ats-tsubut qath’i ad-dilalah, yakni sumber dan maknanya pasti (An-Nabhani,
Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 50).
Al-Qur'an telah menegaskan bahwa selain dari Al-Qur'an, Rasulullah ‫ﷺ‬ juga menerima wahyu
yang lain, yaitu ‘Al-Hikmah’ yang pengertiannya sama dengan As-Sunnah, baik perkataan,
perbuatan, ataupun ketetapan (diamnya).
ِ‫ن‬ِ‫م‬ْ‫ؤ‬ُ‫م‬ْ‫ال‬ ‫ى‬َ‫ل‬َ‫ع‬ ُ ‫ه‬‫ّٰللا‬ َّ‫ن‬َ‫م‬ ْ‫د‬َ‫ق‬َ‫ل‬ٖ‫ه‬ِ‫ت‬ٰ‫ي‬ٰ‫ا‬ ْ‫م‬ِ‫ه‬ْ‫ي‬َ‫ل‬َ‫ع‬ ‫ا‬ ْ‫و‬ُ‫ل‬ْ‫ت‬َ‫ي‬ ْ‫م‬ِ‫ه‬ِ‫س‬ُ‫ف‬ْ‫ن‬َ‫ا‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ‫َّل‬ ْ‫و‬ُ‫س‬ َ‫ر‬ ْ‫م‬ِ‫ه‬ْ‫ي‬ِ‫ف‬ َ‫ث‬َ‫ع‬َ‫ب‬ ْ‫ذ‬ِ‫ا‬ َ‫ْن‬‫ي‬
ٍ‫ل‬ٰ‫ل‬َ‫ض‬ ْ‫ي‬ِ‫ف‬َ‫ل‬ ُ‫ل‬ْ‫ب‬َ‫ق‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ‫ا‬ ْ‫و‬ُ‫ن‬‫ا‬َ‫ك‬ ْ‫ِن‬‫ا‬ َ‫و‬ َۚ‫ة‬َ‫م‬ْ‫ك‬ ِ‫ح‬ْ‫ال‬ َ‫و‬ َ‫ب‬ٰ‫ت‬ِ‫ك‬ْ‫ال‬ ُ‫م‬ُ‫ه‬ُ‫م‬ِ‫ل‬َ‫ع‬ُ‫ي‬ َ‫و‬ ْ‫م‬ِ‫ه‬ْ‫ي‬ِ‫ك‬ َ‫ز‬ُ‫ي‬ َ‫و‬ٍ‫ْن‬‫ي‬ِ‫ب‬‫م‬
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus
di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka
ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan
Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar
dalam kesesatan yang nyata.” (QS Ali Imran: 164)
ُ‫م‬ُ‫ه‬ُ‫م‬ِ‫ل‬َ‫ع‬ُ‫ي‬ َ‫و‬ ْ‫م‬ِ‫ه‬ْ‫ي‬ِ‫ك‬َ‫ز‬ُ‫ي‬ َ‫و‬ ٖ‫ه‬ِ‫ت‬ٰ‫ي‬ٰ‫ا‬ ْ‫م‬ِ‫ه‬ْ‫ي‬َ‫ل‬َ‫ع‬ ‫ا‬ ْ‫و‬ُ‫ل‬ْ‫ت‬َ‫ي‬ ْ‫م‬ُ‫ه‬ْ‫ن‬ِ‫م‬ ‫َّل‬ ْ‫و‬ُ‫س‬ َ‫ر‬ َ‫ن‬ٖ‫ي‬ِ‫م‬ُ ْ‫اَّل‬ ‫ى‬ِ‫ف‬ َ‫ث‬َ‫ع‬َ‫ب‬ ْ‫ِي‬‫ذ‬َّ‫ال‬ َ‫و‬ُ‫ه‬
ْ‫ن‬ِ‫م‬ ‫ا‬ ْ‫و‬ُ‫ن‬‫ا‬َ‫ك‬ ْ‫ِن‬‫ا‬ َ‫و‬ َ‫ة‬َ‫م‬ْ‫ك‬ ِ‫ح‬ْ‫ال‬ َ‫و‬ َ‫ب‬ٰ‫ت‬ِ‫ك‬ْ‫ال‬ٍ‫ْن‬‫ي‬ِ‫ب‬‫م‬ ٍ‫ل‬ٰ‫ل‬َ‫ض‬ ْ‫ي‬ِ‫ف‬َ‫ل‬ ُ‫ل‬ْ‫ب‬َ‫ق‬
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab
dan Hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan
yang nyata.” (QS Al-Jumu’ah: 2)
‫ا‬‫ْر‬‫ي‬ِ‫ب‬َ‫خ‬ ‫ا‬‫ْف‬‫ي‬ِ‫ط‬َ‫ل‬ َ‫ان‬َ‫ك‬ َ ‫ه‬‫ّٰللا‬ َّ‫ِن‬‫ا‬ ِۗ‫ة‬َ‫م‬ْ‫ك‬ ِ‫ح‬ْ‫ال‬ َ‫و‬ ِ ‫ه‬‫ّٰللا‬ ِ‫ت‬ٰ‫ي‬ٰ‫ا‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ َّ‫ن‬ُ‫ك‬ِ‫ت‬ ْ‫و‬ُ‫ي‬ُ‫ب‬ ْ‫ي‬ِ‫ف‬ ‫ى‬ٰ‫ل‬ْ‫ت‬ُ‫ي‬ ‫ا‬َ‫م‬ َ‫ن‬ ْ‫ر‬ُ‫ك‬ْ‫ذ‬‫ا‬ َ‫و‬
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah
nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Ahzab: 34)
3. Ijmak Sahabat
Ijmak Shahabat adalah kesepakatan para Sahabat tentang hukum suatu perkara, bahwa
hukum tersebut merupakan hukum syariah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 52).
Arti Ijmak Sahabat ini bukan berarti kesepakatan atas pendapat pribadi Sahabat, melainkan
kesepakatan atas hukum tertentu bahwa ia merupakan hukum syariah. Sebab, pendapat Sahabat
bukan wahyu, dan masing-masing mereka tidak ma’shum (terpelihara) dari kesalahan.
Kesepakatan mereka atas hukum suatu perkara menunjukkan bahwa mereka mengetahui dalil,
lalu mereka bersepakat atas hukum tersebut, tetapi dalil hukum itu tidak mereka riwayatkan
Dengan kata lain, bahwa mereka tidak akan bersepakat kecuali atas perkara yang ada nash-nya
(Abu Zahra, Ushûl al-Fiqh, hlm. 198).
Adapun dalil yang membuktikan bahwa Ijmak Sahabat merupakan dalil hukum syariah yang
qath’i, bersumber dari wahyu, adalah:
Pertama: Allah SWT telah memuji mereka di dalam al-Qur’an dengan nash yang qath’i ats-
tsubut qath’i ad-dilâlah, yakni sumber dan maknanya pasti.
َ‫ي‬ ِ‫ض‬َّ‫ر‬ ٍ‫ان‬َ‫س‬ْ‫ِح‬‫ا‬ِ‫ب‬ ْ‫م‬ُ‫ه‬ ْ‫و‬ُ‫ع‬َ‫ب‬َّ‫ت‬‫ا‬ َ‫ْن‬‫ي‬ِ‫ذ‬َّ‫ال‬ َ‫و‬ ِ‫ار‬َ‫ص‬ْ‫ن‬َ ْ‫اَّل‬ َ‫و‬ َ‫ْن‬‫ي‬ ِ‫ر‬ ِ‫ج‬ ٰ‫ه‬ُ‫م‬ْ‫ال‬ َ‫ن‬ِ‫م‬ َ‫ن‬ ْ‫و‬ُ‫ل‬ َّ‫و‬َ ْ‫اَّل‬ َ‫ن‬ ْ‫و‬ُ‫ق‬ِ‫ب‬‫ه‬‫س‬‫ال‬ َ‫و‬
ْ‫م‬ُ‫ه‬ْ‫ن‬َ‫ع‬ ُ ‫ه‬‫ّٰللا‬ُ‫ر‬ ٰ‫ه‬ْ‫ن‬َ ْ‫اَّل‬ ‫ا‬َ‫ه‬َ‫ت‬ْ‫ح‬َ‫ت‬ ْ‫ي‬ ِ‫ر‬ْ‫ج‬َ‫ت‬ ٍ‫ت‬‫ه‬‫ن‬َ‫ج‬ ْ‫م‬ُ‫ه‬َ‫ل‬ َّ‫د‬َ‫ع‬َ‫ا‬ َ‫و‬ ُ‫ه‬ْ‫ن‬َ‫ع‬ ‫ا‬ ْ‫و‬ُ‫ض‬َ‫ر‬ َ‫و‬‫ا‬‫ا‬َ‫ه‬ْ‫ي‬ِ‫ف‬ َ‫ْن‬‫ي‬ِ‫د‬ِ‫ل‬ ٰ‫خ‬
ُ‫م‬ْ‫ي‬ِ‫ظ‬َ‫ع‬ْ‫ال‬ ُ‫ز‬ ْ‫و‬َ‫ف‬ْ‫ال‬ َ‫ك‬ِ‫ل‬ٰ‫ۗذ‬ ‫ا‬‫د‬َ‫ب‬َ‫ا‬
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin
dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang
besar.” (QS at-Taubah: 100)
Pujian Allah ini ditujukan kepada semua Sahabat. Karena itu, hukum yang disepakati oleh
mereka yang mendapat pujian dari Allah ini pasti benar. Sebab, mustahil mereka sepakat atas
sesuatu yang salah, karena hal itu bertentangan dengan pujian Allah kepada mereka.
Kedua: Sahabat adalah orang yang menjadi tempat kita mengambil agama ini. Merekalah yang
menyampaikan al-Qur’an kepada kita. Allah SWT telah berjanji untuk menjaga al-Qur’an.
َ‫ن‬ ْ‫و‬ُ‫ظ‬ِ‫ف‬ ٰ‫ح‬َ‫ل‬ ٗ‫ه‬َ‫ل‬ ‫ا‬َّ‫ن‬ِ‫ا‬ َ‫و‬ َ‫ر‬ْ‫ك‬ِ‫الذ‬ ‫َا‬‫ن‬ْ‫ل‬َّ‫َز‬‫ن‬ ُ‫ن‬ْ‫َح‬‫ن‬ ‫ا‬َّ‫ن‬ِ‫ا‬
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an dan sesungguhnya Kami benar-benar akan
menjaganya.” (QS al-Hijr [15]: 9)
ٍ‫د‬ْ‫ي‬ِ‫م‬َ‫ح‬ ٍ‫ْم‬‫ي‬ِ‫ك‬َ‫ح‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ٌ‫ل‬ْ‫ي‬ ِ‫ز‬ْ‫ن‬َ‫ت‬ۗ ٖ‫ه‬ِ‫ف‬ْ‫َل‬‫خ‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ َ‫َّل‬ َ‫و‬ ِ‫ه‬ْ‫ي‬َ‫د‬َ‫ي‬ ِ‫ْن‬‫ي‬َ‫ب‬ ْۢ‫ن‬ِ‫م‬ ُ‫ل‬ِ‫اط‬َ‫ب‬ْ‫ال‬ ِ‫ه‬ْ‫ي‬ِ‫ت‬ْ‫أ‬َ‫ي‬ َّ‫َّل‬
“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebathilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. [41]
Fushilat: 42)
Sahabat adalah orang yang membawanya kepada kita. Dengan demikian, janji Allah itu juga
menunjukkan jaminan-Nya kepada orang yang membawanya, yaitu para Sahabat. Selain itu,
mustahil mereka yang membawa agama dan al-Qur’an kepada kita sepakat melakukan kesalahan
dan kedustaan, karena secara logika hal ini mustahil terjadi. Sebab, jika terjadi maka hal itu
bertentangan dengan jaminan Allah melalui dalil yang qath’i. Dengan demikian, Ijmak Sahabat
merupakan dalil yang qath’i (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm.51).
Karena itu, hanya Ijmak Sahabat saja yang dapat dijadikan sebagai hujjah.
Imam Dawud berkata:
‫ه‬‫ط‬َ‫ق‬َ‫ف‬ ‫ة‬َ‫اب‬َ‫ح‬‫ي‬‫ص‬‫ال‬ ‫اع‬َ‫ه‬‫ْج‬‫إ‬ َ‫و‬‫ه‬ ‫ا‬َ‫ي‬‫َّن‬‫إ‬ ‫اع‬َ‫ه‬‫ْج‬‫اإل‬
Ijmak (yang diakui) tidak lain hanyalah Ijmak Sahabat saja (Asy-Syaukani, Irsyâdul Fukhûl,
hlm. 53).
Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullâh mengatakan:
‫ب‬‫اذ‬َ‫ك‬ َ‫و‬‫ه‬َ‫ف‬ َ‫اع‬َ‫ه‬‫ْج‬‫إل‬‫ه‬‫ا‬ ‫ى‬َ‫ع‬‫ي‬‫د‬‫ا‬ ‫ن‬َ‫م‬
Siapa saja yang mengklaim ada ijmak (setelah masa Sahabat) maka ia berdusta. (Al-Jauziyah,
A’lâm al-Muwaqqi’în, I/498).
4. Qiyas
Qiyas adalah menyertakan suatu perkara terhadap yang lainnya dalam hukum syariah karena
adanya kesamaan ‘illat (kondisi yang mengharuskan berlakunya hukum syariah tertentu) di
antara keduanya (Abu Rusytah, Taysîr al-Wushûl ila al-Ushûl Dirâsât fi Ushûl al-Fiqh, hlm. 85).
Dalil yang qath’i yang menunjukkan bahwa qiyas adalah hujjah dalam menentukan hukum
berangkat dari tempat yang menjadikan qiyas sebagai dalil syariah, dalam hal ini tidak lain
adalah nash itu sendiri yang menjadi rujukan qiyas. Sebab, ‘illat dalam qiyas tidak diambil
kecuali apabila nash telah menunjukkannya. Dengan demikian, menganggap qiyas sebagai
dalil syariah merupakan suatu keharusan.
Qiyas pada hakikatnya kembali pada nash itu sendiri. Oleh karena itu, qiyas dikatakan dengan
ma’qul an-nash (nash yang rasional). Atas dasar ini, qiyas ini dalilnya adalah nash itu sendiri
yang mengandung ‘illat, yakni kondisi yang mengharuskan berlakunya hukum syariah tertentu.
Jadi, apabila dalil ‘illat adalah al-Qur’an maka dalil qiyas ini juga al-Qur’an. Apabila
dalil ‘illat adalah as-Sunnah maka dalil qiyas ini juga adalah as-Sunnah. Apabila
dalil ‘illat adalah Ijmak Sahabat maka dalil qiyas ini adalah juga Ijmak Sahabat. Dengan
demikian, dalil qiyas adalah dalil yang qath’i, sama dengan dalil-dalil al-Qur’an, as-Sunnah, dan
Ijmak Sahabat. (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, III/320).
Contoh qiyas: mengadakan transaksi jual-beli tatkala adzan sholat Jum’at adalah haram.
ِ‫ة‬َ‫ع‬ُ‫م‬ُ‫ج‬ْ‫ال‬ ِ‫م‬ ْ‫َّو‬‫ي‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ِ‫ة‬‫و‬ٰ‫ل‬َّ‫ص‬‫ل‬ِ‫ل‬ َ‫ِي‬‫د‬ ْ‫و‬ُ‫ن‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫ا‬ ‫ا‬ ‫ا‬ْ‫و‬ُ‫ن‬َ‫م‬ٰ‫ا‬ َ‫ْن‬‫ي‬ِ‫ذ‬َّ‫ال‬ ‫ا‬َ‫ه‬‫ي‬َ‫ا‬‫ا‬ٰ‫ي‬ِ ‫ه‬‫ّٰللا‬ ِ‫ر‬ْ‫ك‬ِ‫ذ‬ ‫ى‬ٰ‫ِل‬‫ا‬ ‫ا‬ ْ‫و‬َ‫ع‬ْ‫س‬‫ا‬َ‫ف‬
َ‫ن‬ ْ‫و‬ُ‫م‬َ‫ل‬ْ‫ع‬َ‫ت‬ ْ‫م‬ُ‫ت‬ْ‫ن‬ُ‫ك‬ ْ‫ِن‬‫ا‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬َّ‫ل‬ ٌ‫ْر‬‫ي‬َ‫خ‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬ِ‫ل‬ٰ‫ذ‬ َۗ‫ع‬ْ‫ي‬َ‫ب‬ْ‫ال‬ ‫وا‬ُ‫ر‬َ‫ذ‬ َ‫و‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat pada hari Jum’ah, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (shalat) dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian
itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. (62) Al-Jumu’ah: 9)
‘Illat pada ayat di atas adalah lalai dari sholat Jum’at. Oleh karena itu, sewa-menyewa, transaksi
perdagangan, maupun perbuatan lainnya yang mempunyai kesamaan ‘illat, yaitu melalaikan dari
shalat Jum’at, maka perbuatan tersebut hukumnya di-qiyas-kan dengan perbuatan jual-beli, yaitu
haram.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.
Bacaan: Majalah al-Wa’ie edisi 123

Recommandé

Makalah ijaz alquranMakalah ijaz alquran
Makalah ijaz alquranjuniska efendi
12.6K vues14 diapositives
Daftar Pertanyaan Ushul FiqhDaftar Pertanyaan Ushul Fiqh
Daftar Pertanyaan Ushul FiqhSuya Yahya
214.7K vues8 diapositives
Islam sebagai way of lifeIslam sebagai way of life
Islam sebagai way of lifeRidwan Hidayat
57.5K vues20 diapositives

Contenu connexe

Tendances

Amar nahiAmar nahi
Amar nahiMarhamah Saleh
15.3K vues17 diapositives
Tauhid pptTauhid ppt
Tauhid pptNadia Tsalisa
9.8K vues27 diapositives
Sejarah peradaban islam 1Sejarah peradaban islam 1
Sejarah peradaban islam 1Chaerul Uman
27.9K vues11 diapositives
Macam-macam QaulanMacam-macam Qaulan
Macam-macam QaulanRatih Aini
39.8K vues14 diapositives

Tendances(20)

Amar nahiAmar nahi
Amar nahi
Marhamah Saleh15.3K vues
Tauhid pptTauhid ppt
Tauhid ppt
Nadia Tsalisa9.8K vues
Tasyri'  masa nabi Muhammad SawTasyri'  masa nabi Muhammad Saw
Tasyri' masa nabi Muhammad Saw
Marhamah Saleh31K vues
Sejarah peradaban islam 1Sejarah peradaban islam 1
Sejarah peradaban islam 1
Chaerul Uman27.9K vues
Macam-macam QaulanMacam-macam Qaulan
Macam-macam Qaulan
Ratih Aini39.8K vues
Pengertian qawaid fiqhiyyahPengertian qawaid fiqhiyyah
Pengertian qawaid fiqhiyyah
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta56.9K vues
Quran Sebagai sumber Ajaran IslamQuran Sebagai sumber Ajaran Islam
Quran Sebagai sumber Ajaran Islam
Marhamah Saleh17.4K vues
Aliran Jabariyah dan Aliran qadariyahAliran Jabariyah dan Aliran qadariyah
Aliran Jabariyah dan Aliran qadariyah
RezaQyu RezaQta31.4K vues
'urf, syar'u man qablana'urf, syar'u man qablana
'urf, syar'u man qablana
Marhamah Saleh4.4K vues
BUGHAT (Pemberontakan)BUGHAT (Pemberontakan)
BUGHAT (Pemberontakan)
Nasywa Alya Putri2.2K vues
PPT 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)PPT 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)
PPT 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)
Khusnul Kotimah11.5K vues
Al MutazilahAl Mutazilah
Al Mutazilah
free health service for the poor12.3K vues
Balaghoh (ma'ani, badi', bayan)Balaghoh (ma'ani, badi', bayan)
Balaghoh (ma'ani, badi', bayan)
Erta Erta47.3K vues
Sejarah turunnya al qur'anSejarah turunnya al qur'an
Sejarah turunnya al qur'an
Ratih Aini9.9K vues
Powerpoint AkhlakPowerpoint Akhlak
Powerpoint Akhlak
Dini Audi64.5K vues

Similaire à Dalil-Dalil Syariah - Sumber-Sumber Hukum Islam

Similaire à Dalil-Dalil Syariah - Sumber-Sumber Hukum Islam(20)

Keutamaan Membaca al Qur’anKeutamaan Membaca al Qur’an
Keutamaan Membaca al Qur’an
yahdi siradj4.5K vues
Alqur'an, Memahami Dan menghampiriAlqur'an, Memahami Dan menghampiri
Alqur'an, Memahami Dan menghampiri
Visnu Candra3.1K vues
Tafsir surat ali imran 1 15Tafsir surat ali imran 1 15
Tafsir surat ali imran 1 15
fathonisudirman180 vues
Sumber SyariahSumber Syariah
Sumber Syariah
m10ehebat11.1K vues
Funsi al-qur'an dan hadistFunsi al-qur'an dan hadist
Funsi al-qur'an dan hadist
Muhammad Rifalza1.2K vues
MANHAJ TALAQQI WAL ISTIDLAL.docxMANHAJ TALAQQI WAL ISTIDLAL.docx
MANHAJ TALAQQI WAL ISTIDLAL.docx
AshabulJawiyin844 vues
MANHAJ TALAQQI WAL ISTIDLAL.docxMANHAJ TALAQQI WAL ISTIDLAL.docx
MANHAJ TALAQQI WAL ISTIDLAL.docx
AshabulJawiyin69 vues
Iman kepada kitab kitab allahIman kepada kitab kitab allah
Iman kepada kitab kitab allah
Anin Shabrina8.3K vues
2. USHUL FIQIH AL QUR'AN.ppt2. USHUL FIQIH AL QUR'AN.ppt
2. USHUL FIQIH AL QUR'AN.ppt
ellyrahmawati915 vues
Ringkasan materi pai kelas 8 bab 2 iman kepada kitab allahRingkasan materi pai kelas 8 bab 2 iman kepada kitab allah
Ringkasan materi pai kelas 8 bab 2 iman kepada kitab allah
SMP Muhammaidyah Boarding School Tarakan40.7K vues
kls 10 pertemuan 3.pptkls 10 pertemuan 3.ppt
kls 10 pertemuan 3.ppt
MuhammadSahib16 vues
Adab terhadap Al-Qur'anAdab terhadap Al-Qur'an
Adab terhadap Al-Qur'an
ridwansyah2184.1K vues

Dalil-Dalil Syariah - Sumber-Sumber Hukum Islam

  • 1. Dalil-Dalil Syariah – Sumber-Sumber Hukum Islam Menurut aqidah Islam, hukum yang wajib dijalankan adalah hukum syariah, yakni hukum Allah, bukan hukum buatan manusia. Karena itu, dalil yang darinya digali hukum harus bersumber dari wahyu. Penetapan bahwa dalil yang darinya digali hukum itu benar-benar bersumber dari wahyu harus dengan qath’i (definitif/ pasti), sebab ini termasuk bagian dari akidah, sementara akidah tidak boleh diambil kecuali dari sesuatu yang memberi keyakinan. Apabila sumber hukum sudah salah, maka seluruh hukum-hukum yang dihasilkannya menjadi salah pula. ‫ا‬َ‫م‬ِ‫ب‬ۢ ٌ‫م‬ْ‫ي‬ِ‫ل‬َ‫ع‬ َ ‫ه‬‫ّٰللا‬ َّ‫ِن‬‫ا‬ ۗ‫ا‬ًٔ‫ْـ‬‫ي‬َ‫ش‬ ِ‫ق‬َ‫ح‬ْ‫ال‬ َ‫ن‬ِ‫م‬ ْ‫ي‬ِ‫ن‬ْ‫غ‬ُ‫ي‬ َ‫َّل‬ َّ‫ن‬َّ‫الظ‬ َّ‫ِن‬‫ا‬ ۗ‫ا‬ًّ‫ن‬َ‫ظ‬ َّ‫َِّل‬‫ا‬ ْ‫م‬ُ‫ه‬ُ‫ر‬َ‫ث‬ْ‫ك‬َ‫ا‬ ُ‫ع‬ِ‫ب‬َّ‫ت‬َ‫ي‬ ‫ا‬َ‫م‬ َ‫و‬ َ‫ن‬ ْ‫و‬ُ‫ل‬َ‫ع‬ْ‫ف‬َ‫ي‬ “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. (10) Yunus: 36) Dalil-Dalil Syariah yang Diakui Dalil, menurut pengertian bahasa, adalah sesuatu yang menunjukan pada sesuatu yang kongkrit (hissi) atau yang abstrak (maknawi). Menurut ulama fikih, dalil adalah sesuatu yang di dalamnya terdapat petunjuk. Menurut ulama ushul, dalil adalah sesuatu yang dengan penelaahan yang sahih bisa menghantarkan pada pengetahuan atas mathlûb khabari (hukum suatu perkara yang sedang dicari status hukumnya), atau sesuatu yang dijadikan hujjah bahwa perkara yang dibahas adalah hukum syariah (Az-Zain, Ilmu Ushûlil Fiqh al-Muyassar, hlm. 297). Adapun dalil-dalil hukum syariah yang diakui dan telah memenuhi kualifikasi qath’i, pasti bersumber dari wahyu, ada empat: Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas. 1. Al-Qur’an Dalil bahwa al-Qur’an berasal dari wahyu Allah SWT, baik redaksi maupun maknanya, merupakan dalil yang qath’i (pasti). Al-Qur’an adalah kalam (firman) Allah yang berupa mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ‫ﷺ‬ dengan bahasa Arab, terdapat di antara dua ujung mushaf, disampaikan
  • 2. secara mutawatir, membacanya adalah ibadah, dimulai dengan surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-Nas (An-Nikmah, Ulûmul Qur’ân, hlm. 8). Kemukjizatan al-Qur’an juga menjadi dalil yang qath’i bahwa al-Qur’an merupakan kalam (firman) Allah, bukan perkataan manusia. ‫ا‬ ْ‫و‬ُ‫ع‬ْ‫د‬‫ا‬ َ‫و‬ ۖ ٖ‫ه‬ِ‫ل‬ْ‫ث‬ِ‫م‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ٍ‫ة‬َ‫ر‬ ْ‫و‬ُ‫س‬ِ‫ب‬ ‫ا‬ ْ‫و‬ُ‫ت‬ْ‫أ‬َ‫ف‬ ‫َا‬‫ن‬ِ‫د‬ْ‫ب‬َ‫ع‬ ‫ى‬ٰ‫ل‬َ‫ع‬ ‫َا‬‫ن‬ْ‫ل‬َّ‫َز‬‫ن‬ ‫ا‬َّ‫م‬ِ‫م‬ ٍ‫ب‬ْ‫ي‬َ‫ر‬ ْ‫ي‬ِ‫ف‬ ْ‫م‬ُ‫ت‬ْ‫ن‬ُ‫ك‬ ْ‫ِن‬‫ا‬ َ‫و‬ َ‫ْن‬‫ي‬ِ‫ق‬ِ‫د‬ ٰ‫ص‬ ْ‫م‬ُ‫ت‬ْ‫ن‬ُ‫ك‬ ْ‫ِن‬‫ا‬ ِ ‫ه‬‫ّٰللا‬ ِ‫ن‬ ْ‫ُو‬‫د‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬َ‫ء‬ۤ‫ا‬َ‫د‬َ‫ه‬ُ‫ش‬ “(Dan) apabila kamu tetap dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. (2) Al-Baqarah: 23) Al-Qur’an yang merupakan kalam (firman) Allah itu dengan pasti menyebutkan bahwa wahyu telah diturunkan kepada Rasulullah ‫ﷺ‬ . ْ‫ل‬ُ‫ق‬‫ي‬َ‫ا‬ٍ‫ء‬ْ‫ي‬َ‫ش‬ُ‫ر‬َ‫ب‬ْ‫ك‬َ‫ا‬‫ة‬َ‫د‬‫ا‬َ‫ه‬َ‫ش‬ِۗ‫ل‬ُ‫ق‬ُ ‫ه‬‫ّٰللا‬ٌۗۢ‫د‬ْ‫ي‬ِ‫ه‬َ‫ش‬ْ‫ي‬ِ‫ن‬ْ‫ي‬َ‫ب‬ْ‫م‬ُ‫ك‬َ‫ن‬ْ‫ي‬َ‫ب‬ َ‫و‬َۗ‫ي‬ ِ‫ح‬ ْ‫و‬ُ‫ا‬ َ‫و‬َّ‫ي‬َ‫ل‬ِ‫ا‬‫ا‬َ‫ذ‬ٰ‫ه‬ُ‫ن‬ٰ‫ا‬ ْ‫ر‬ُ‫ق‬ْ‫ال‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬ َ‫ِر‬‫ذ‬ْ‫ن‬ُ ِ‫َّل‬ٖ‫ه‬ِ‫ب‬ْۢ‫ن‬َ‫م‬ َ‫و‬َ‫غ‬َ‫ل‬َ‫ب‬ْۗ‫م‬ُ‫ك‬َّ‫ن‬ِٕ‫ى‬َ‫ا‬َ‫ن‬ ْ‫ُو‬‫د‬َ‫ه‬ْ‫ش‬َ‫ت‬َ‫ل‬َّ‫ن‬َ‫ا‬َ‫ع‬َ‫م‬ِ ‫ه‬‫ّٰللا‬‫ة‬َ‫ه‬ِ‫ل‬ٰ‫ا‬ۗ‫ى‬ ٰ‫ر‬ْ‫خ‬ُ‫ا‬ْ‫ل‬ُ‫ق‬‫ا‬ َّ‫َّل‬ُ‫د‬َ‫ه‬ْ‫ش‬َ‫ا‬ْۚ‫ل‬ُ‫ق‬ َ‫ن‬ ْ‫و‬ُ‫ك‬ ِ‫ر‬ْ‫ش‬ُ‫ت‬ ‫ا‬َّ‫م‬ِ‫م‬ ٌ‫ء‬ ْۤ‫ي‬ ِ‫ر‬َ‫ب‬ ْ‫ي‬ِ‫ن‬َّ‫ن‬ِ‫ا‬ َّ‫و‬ ٌ‫د‬ ِ‫اح‬ َّ‫و‬ ٌ‫ه‬ٰ‫ِل‬‫ا‬ َ‫و‬ُ‫ه‬ ‫ا‬َ‫م‬َّ‫ن‬ِ‫ا‬ “Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah." Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur’an (kepadanya)...” (QS al- An’am [6]: 19) َ‫ن‬ ْ‫و‬ُ‫ر‬َ‫ذ‬ْ‫ن‬ُ‫ي‬ ‫ا‬َ‫م‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫ا‬ َ‫ء‬ۤ‫ا‬َ‫ع‬‫الد‬ ‫م‬‫الص‬ ُ‫ع‬َ‫م‬ْ‫س‬َ‫ي‬ َ‫َّل‬ َ‫و‬ ِۖ‫ي‬ْ‫ح‬ َ‫و‬ْ‫ال‬ِ‫ب‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬ُ‫ِر‬‫ذ‬ْ‫ن‬ُ‫ا‬ ‫ا‬‫ا‬َ‫م‬َّ‫ن‬ِ‫ا‬ ْ‫ل‬ُ‫ق‬ “Katakanlah (hai Muhammad): "Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu dan tiadalah orang-orang yang tuli mendengar seruan, apabila mereka diberi peringatan.” (QS al-Anbiya’ [21]: 45) Dua ayat ini dan yang lainnya merupakan dalil-dalil yang qath’i bahwa al-Qur’an disampaikan melalui wahyu yang berasal dari Allah SWT (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 50).
  • 3. Selain dari bahasanya, isi Al-Qur'an sekaligus menjadi hujjah atas kebenarannya. Misalnya perihal akan menangnya kaum Muslimin memasuki Makkah dengan aman (QS. Al-Fath), juga tentang akan menangnya pasukan Romawi atas Persia (QS. Ar-Ruum) dsb. Selain itu, isi Al- Qur'an juga menunjukan tentang kejadian sejarah terdahulu yang sesuai dengan fakta, atau kisah tentang sebagian iptek, misalnya penyerbukan oleh lebah, terkawinkannya bunga-bunga oleh bantuan angin dsb, yang pada akhirnya terbukti kebenarannya. Semua itu menunjukan bahwa Al- Qur'an memang bukan datang dari manusia, melainkan dari Allah SWT; Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta. Karenanya memang sudah menjadi kelayakan bahkan keharusan untuk menjadikan Al-Qur'an sebagai landasan kehidupan dan hukum manusia. 2. As-Sunnah As-Sunnah dan al-Hadits pengertiannya sama, yaitu perkataan, perbuatan dan ketetapan yang datang dari Rasulullah ‫ﷺ‬ (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, I/178). Kedudukan as-Sunnah sebagai dalil yang qath’i—yang merupakan dalil yang dibawa oleh wahyu, yang maknanya dari Allah SWT, sementara redaksinya dari Rasulullah saw.—telah disebutkan dengan tegas dan jelas di dalam beberapa ayat al-Qur’an. Allah SWT berfirman: ‫ى‬َ‫و‬َ‫ه‬‫ْل‬‫ا‬ ‫ن‬َ‫ع‬ ‫ق‬‫ط‬‫ه‬‫ن‬َ‫ي‬ ‫ا‬َ‫م‬َ‫*و‬ ‫ى‬َ‫وح‬‫ي‬ ‫ي‬‫ه‬‫ح‬َ‫و‬ ‫ال‬‫إ‬ َ‫و‬‫ه‬ ‫ه‬‫ن‬‫إ‬ “Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS an-Najm [53] : 3-4) ّ‫ِب‬َ‫ر‬ ‫ه‬‫ن‬‫م‬ ‫ي‬َ‫ل‬‫إ‬ ‫ى‬َ‫وح‬‫ي‬ ‫ا‬َ‫م‬ ‫ع‬‫يب‬‫ت‬َ‫أ‬ ‫ا‬َ‫ي‬‫َّن‬‫إ‬ ‫ه‬‫ل‬‫ق‬ Katakanlah, “Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku.” (QS al-A’raf [7]: 203) ‫اب‬َ‫ق‬‫ع‬‫ه‬‫ل‬‫ا‬ ‫يد‬‫د‬َ‫ش‬ َ‫ه‬‫ي‬‫ل‬‫ال‬ ‫ي‬‫ن‬‫إ‬ َ‫ه‬‫ي‬‫ل‬‫ال‬ ‫ا‬‫و‬‫يق‬‫ات‬َ‫و‬ ‫ا‬‫و‬‫ه‬َ‫ت‬‫ه‬‫ان‬َ‫ف‬ ‫ه‬‫ه‬‫ن‬َ‫ع‬ ‫ه‬‫م‬‫اك‬َ‫ه‬َ‫ن‬ ‫ا‬َ‫م‬َ‫و‬ ‫وه‬‫ذ‬‫خ‬َ‫ف‬ ‫ول‬‫س‬‫ي‬‫ر‬‫ال‬ ‫م‬‫اك‬َ‫ت‬‫آ‬ ‫ا‬َ‫م‬َ‫و‬ “Apa yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman- Nya.” (QS al-Hasyr [59]: 7) Ayat-ayat ini dan yang lainnya menunjukkan dengan tegas dan jelas bahwa as-Sunnah yang diucapkan Rasulullah ‫ﷺ‬ tidak lain adalah wahyu dari Allah SWT. Dengan tegas dan jelas pula
  • 4. Allah SWT telah memerintahkan kita agar menaati apa saja yang Rasulullah perintahkan, dan menjauhi apa yang beliau larang. Dalil bahwa as-Sunnah datang melalui wahyu adalah dalil yang qath’i. Oleh karena itu, kedudukan as-Sunnah sebagai dalil ditetapkan berdasarkan nash yang qath’i ats-tsubut qath’i ad-dilalah, yakni sumber dan maknanya pasti (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 50). Al-Qur'an telah menegaskan bahwa selain dari Al-Qur'an, Rasulullah ‫ﷺ‬ juga menerima wahyu yang lain, yaitu ‘Al-Hikmah’ yang pengertiannya sama dengan As-Sunnah, baik perkataan, perbuatan, ataupun ketetapan (diamnya). ِ‫ن‬ِ‫م‬ْ‫ؤ‬ُ‫م‬ْ‫ال‬ ‫ى‬َ‫ل‬َ‫ع‬ ُ ‫ه‬‫ّٰللا‬ َّ‫ن‬َ‫م‬ ْ‫د‬َ‫ق‬َ‫ل‬ٖ‫ه‬ِ‫ت‬ٰ‫ي‬ٰ‫ا‬ ْ‫م‬ِ‫ه‬ْ‫ي‬َ‫ل‬َ‫ع‬ ‫ا‬ ْ‫و‬ُ‫ل‬ْ‫ت‬َ‫ي‬ ْ‫م‬ِ‫ه‬ِ‫س‬ُ‫ف‬ْ‫ن‬َ‫ا‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ‫َّل‬ ْ‫و‬ُ‫س‬ َ‫ر‬ ْ‫م‬ِ‫ه‬ْ‫ي‬ِ‫ف‬ َ‫ث‬َ‫ع‬َ‫ب‬ ْ‫ذ‬ِ‫ا‬ َ‫ْن‬‫ي‬ ٍ‫ل‬ٰ‫ل‬َ‫ض‬ ْ‫ي‬ِ‫ف‬َ‫ل‬ ُ‫ل‬ْ‫ب‬َ‫ق‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ‫ا‬ ْ‫و‬ُ‫ن‬‫ا‬َ‫ك‬ ْ‫ِن‬‫ا‬ َ‫و‬ َۚ‫ة‬َ‫م‬ْ‫ك‬ ِ‫ح‬ْ‫ال‬ َ‫و‬ َ‫ب‬ٰ‫ت‬ِ‫ك‬ْ‫ال‬ ُ‫م‬ُ‫ه‬ُ‫م‬ِ‫ل‬َ‫ع‬ُ‫ي‬ َ‫و‬ ْ‫م‬ِ‫ه‬ْ‫ي‬ِ‫ك‬ َ‫ز‬ُ‫ي‬ َ‫و‬ٍ‫ْن‬‫ي‬ِ‫ب‬‫م‬ “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS Ali Imran: 164) ُ‫م‬ُ‫ه‬ُ‫م‬ِ‫ل‬َ‫ع‬ُ‫ي‬ َ‫و‬ ْ‫م‬ِ‫ه‬ْ‫ي‬ِ‫ك‬َ‫ز‬ُ‫ي‬ َ‫و‬ ٖ‫ه‬ِ‫ت‬ٰ‫ي‬ٰ‫ا‬ ْ‫م‬ِ‫ه‬ْ‫ي‬َ‫ل‬َ‫ع‬ ‫ا‬ ْ‫و‬ُ‫ل‬ْ‫ت‬َ‫ي‬ ْ‫م‬ُ‫ه‬ْ‫ن‬ِ‫م‬ ‫َّل‬ ْ‫و‬ُ‫س‬ َ‫ر‬ َ‫ن‬ٖ‫ي‬ِ‫م‬ُ ْ‫اَّل‬ ‫ى‬ِ‫ف‬ َ‫ث‬َ‫ع‬َ‫ب‬ ْ‫ِي‬‫ذ‬َّ‫ال‬ َ‫و‬ُ‫ه‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ‫ا‬ ْ‫و‬ُ‫ن‬‫ا‬َ‫ك‬ ْ‫ِن‬‫ا‬ َ‫و‬ َ‫ة‬َ‫م‬ْ‫ك‬ ِ‫ح‬ْ‫ال‬ َ‫و‬ َ‫ب‬ٰ‫ت‬ِ‫ك‬ْ‫ال‬ٍ‫ْن‬‫ي‬ِ‫ب‬‫م‬ ٍ‫ل‬ٰ‫ل‬َ‫ض‬ ْ‫ي‬ِ‫ف‬َ‫ل‬ ُ‫ل‬ْ‫ب‬َ‫ق‬ “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS Al-Jumu’ah: 2) ‫ا‬‫ْر‬‫ي‬ِ‫ب‬َ‫خ‬ ‫ا‬‫ْف‬‫ي‬ِ‫ط‬َ‫ل‬ َ‫ان‬َ‫ك‬ َ ‫ه‬‫ّٰللا‬ َّ‫ِن‬‫ا‬ ِۗ‫ة‬َ‫م‬ْ‫ك‬ ِ‫ح‬ْ‫ال‬ َ‫و‬ ِ ‫ه‬‫ّٰللا‬ ِ‫ت‬ٰ‫ي‬ٰ‫ا‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ َّ‫ن‬ُ‫ك‬ِ‫ت‬ ْ‫و‬ُ‫ي‬ُ‫ب‬ ْ‫ي‬ِ‫ف‬ ‫ى‬ٰ‫ل‬ْ‫ت‬ُ‫ي‬ ‫ا‬َ‫م‬ َ‫ن‬ ْ‫ر‬ُ‫ك‬ْ‫ذ‬‫ا‬ َ‫و‬ “Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Ahzab: 34) 3. Ijmak Sahabat Ijmak Shahabat adalah kesepakatan para Sahabat tentang hukum suatu perkara, bahwa hukum tersebut merupakan hukum syariah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 52).
  • 5. Arti Ijmak Sahabat ini bukan berarti kesepakatan atas pendapat pribadi Sahabat, melainkan kesepakatan atas hukum tertentu bahwa ia merupakan hukum syariah. Sebab, pendapat Sahabat bukan wahyu, dan masing-masing mereka tidak ma’shum (terpelihara) dari kesalahan. Kesepakatan mereka atas hukum suatu perkara menunjukkan bahwa mereka mengetahui dalil, lalu mereka bersepakat atas hukum tersebut, tetapi dalil hukum itu tidak mereka riwayatkan Dengan kata lain, bahwa mereka tidak akan bersepakat kecuali atas perkara yang ada nash-nya (Abu Zahra, Ushûl al-Fiqh, hlm. 198). Adapun dalil yang membuktikan bahwa Ijmak Sahabat merupakan dalil hukum syariah yang qath’i, bersumber dari wahyu, adalah: Pertama: Allah SWT telah memuji mereka di dalam al-Qur’an dengan nash yang qath’i ats- tsubut qath’i ad-dilâlah, yakni sumber dan maknanya pasti. َ‫ي‬ ِ‫ض‬َّ‫ر‬ ٍ‫ان‬َ‫س‬ْ‫ِح‬‫ا‬ِ‫ب‬ ْ‫م‬ُ‫ه‬ ْ‫و‬ُ‫ع‬َ‫ب‬َّ‫ت‬‫ا‬ َ‫ْن‬‫ي‬ِ‫ذ‬َّ‫ال‬ َ‫و‬ ِ‫ار‬َ‫ص‬ْ‫ن‬َ ْ‫اَّل‬ َ‫و‬ َ‫ْن‬‫ي‬ ِ‫ر‬ ِ‫ج‬ ٰ‫ه‬ُ‫م‬ْ‫ال‬ َ‫ن‬ِ‫م‬ َ‫ن‬ ْ‫و‬ُ‫ل‬ َّ‫و‬َ ْ‫اَّل‬ َ‫ن‬ ْ‫و‬ُ‫ق‬ِ‫ب‬‫ه‬‫س‬‫ال‬ َ‫و‬ ْ‫م‬ُ‫ه‬ْ‫ن‬َ‫ع‬ ُ ‫ه‬‫ّٰللا‬ُ‫ر‬ ٰ‫ه‬ْ‫ن‬َ ْ‫اَّل‬ ‫ا‬َ‫ه‬َ‫ت‬ْ‫ح‬َ‫ت‬ ْ‫ي‬ ِ‫ر‬ْ‫ج‬َ‫ت‬ ٍ‫ت‬‫ه‬‫ن‬َ‫ج‬ ْ‫م‬ُ‫ه‬َ‫ل‬ َّ‫د‬َ‫ع‬َ‫ا‬ َ‫و‬ ُ‫ه‬ْ‫ن‬َ‫ع‬ ‫ا‬ ْ‫و‬ُ‫ض‬َ‫ر‬ َ‫و‬‫ا‬‫ا‬َ‫ه‬ْ‫ي‬ِ‫ف‬ َ‫ْن‬‫ي‬ِ‫د‬ِ‫ل‬ ٰ‫خ‬ ُ‫م‬ْ‫ي‬ِ‫ظ‬َ‫ع‬ْ‫ال‬ ُ‫ز‬ ْ‫و‬َ‫ف‬ْ‫ال‬ َ‫ك‬ِ‫ل‬ٰ‫ۗذ‬ ‫ا‬‫د‬َ‫ب‬َ‫ا‬ “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS at-Taubah: 100) Pujian Allah ini ditujukan kepada semua Sahabat. Karena itu, hukum yang disepakati oleh mereka yang mendapat pujian dari Allah ini pasti benar. Sebab, mustahil mereka sepakat atas sesuatu yang salah, karena hal itu bertentangan dengan pujian Allah kepada mereka. Kedua: Sahabat adalah orang yang menjadi tempat kita mengambil agama ini. Merekalah yang menyampaikan al-Qur’an kepada kita. Allah SWT telah berjanji untuk menjaga al-Qur’an. َ‫ن‬ ْ‫و‬ُ‫ظ‬ِ‫ف‬ ٰ‫ح‬َ‫ل‬ ٗ‫ه‬َ‫ل‬ ‫ا‬َّ‫ن‬ِ‫ا‬ َ‫و‬ َ‫ر‬ْ‫ك‬ِ‫الذ‬ ‫َا‬‫ن‬ْ‫ل‬َّ‫َز‬‫ن‬ ُ‫ن‬ْ‫َح‬‫ن‬ ‫ا‬َّ‫ن‬ِ‫ا‬ “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya.” (QS al-Hijr [15]: 9) ٍ‫د‬ْ‫ي‬ِ‫م‬َ‫ح‬ ٍ‫ْم‬‫ي‬ِ‫ك‬َ‫ح‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ٌ‫ل‬ْ‫ي‬ ِ‫ز‬ْ‫ن‬َ‫ت‬ۗ ٖ‫ه‬ِ‫ف‬ْ‫َل‬‫خ‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ َ‫َّل‬ َ‫و‬ ِ‫ه‬ْ‫ي‬َ‫د‬َ‫ي‬ ِ‫ْن‬‫ي‬َ‫ب‬ ْۢ‫ن‬ِ‫م‬ ُ‫ل‬ِ‫اط‬َ‫ب‬ْ‫ال‬ ِ‫ه‬ْ‫ي‬ِ‫ت‬ْ‫أ‬َ‫ي‬ َّ‫َّل‬
  • 6. “Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebathilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. [41] Fushilat: 42) Sahabat adalah orang yang membawanya kepada kita. Dengan demikian, janji Allah itu juga menunjukkan jaminan-Nya kepada orang yang membawanya, yaitu para Sahabat. Selain itu, mustahil mereka yang membawa agama dan al-Qur’an kepada kita sepakat melakukan kesalahan dan kedustaan, karena secara logika hal ini mustahil terjadi. Sebab, jika terjadi maka hal itu bertentangan dengan jaminan Allah melalui dalil yang qath’i. Dengan demikian, Ijmak Sahabat merupakan dalil yang qath’i (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm.51). Karena itu, hanya Ijmak Sahabat saja yang dapat dijadikan sebagai hujjah. Imam Dawud berkata: ‫ه‬‫ط‬َ‫ق‬َ‫ف‬ ‫ة‬َ‫اب‬َ‫ح‬‫ي‬‫ص‬‫ال‬ ‫اع‬َ‫ه‬‫ْج‬‫إ‬ َ‫و‬‫ه‬ ‫ا‬َ‫ي‬‫َّن‬‫إ‬ ‫اع‬َ‫ه‬‫ْج‬‫اإل‬ Ijmak (yang diakui) tidak lain hanyalah Ijmak Sahabat saja (Asy-Syaukani, Irsyâdul Fukhûl, hlm. 53). Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullâh mengatakan: ‫ب‬‫اذ‬َ‫ك‬ َ‫و‬‫ه‬َ‫ف‬ َ‫اع‬َ‫ه‬‫ْج‬‫إل‬‫ه‬‫ا‬ ‫ى‬َ‫ع‬‫ي‬‫د‬‫ا‬ ‫ن‬َ‫م‬ Siapa saja yang mengklaim ada ijmak (setelah masa Sahabat) maka ia berdusta. (Al-Jauziyah, A’lâm al-Muwaqqi’în, I/498). 4. Qiyas Qiyas adalah menyertakan suatu perkara terhadap yang lainnya dalam hukum syariah karena adanya kesamaan ‘illat (kondisi yang mengharuskan berlakunya hukum syariah tertentu) di antara keduanya (Abu Rusytah, Taysîr al-Wushûl ila al-Ushûl Dirâsât fi Ushûl al-Fiqh, hlm. 85). Dalil yang qath’i yang menunjukkan bahwa qiyas adalah hujjah dalam menentukan hukum berangkat dari tempat yang menjadikan qiyas sebagai dalil syariah, dalam hal ini tidak lain adalah nash itu sendiri yang menjadi rujukan qiyas. Sebab, ‘illat dalam qiyas tidak diambil kecuali apabila nash telah menunjukkannya. Dengan demikian, menganggap qiyas sebagai dalil syariah merupakan suatu keharusan.
  • 7. Qiyas pada hakikatnya kembali pada nash itu sendiri. Oleh karena itu, qiyas dikatakan dengan ma’qul an-nash (nash yang rasional). Atas dasar ini, qiyas ini dalilnya adalah nash itu sendiri yang mengandung ‘illat, yakni kondisi yang mengharuskan berlakunya hukum syariah tertentu. Jadi, apabila dalil ‘illat adalah al-Qur’an maka dalil qiyas ini juga al-Qur’an. Apabila dalil ‘illat adalah as-Sunnah maka dalil qiyas ini juga adalah as-Sunnah. Apabila dalil ‘illat adalah Ijmak Sahabat maka dalil qiyas ini adalah juga Ijmak Sahabat. Dengan demikian, dalil qiyas adalah dalil yang qath’i, sama dengan dalil-dalil al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijmak Sahabat. (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, III/320). Contoh qiyas: mengadakan transaksi jual-beli tatkala adzan sholat Jum’at adalah haram. ِ‫ة‬َ‫ع‬ُ‫م‬ُ‫ج‬ْ‫ال‬ ِ‫م‬ ْ‫َّو‬‫ي‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ِ‫ة‬‫و‬ٰ‫ل‬َّ‫ص‬‫ل‬ِ‫ل‬ َ‫ِي‬‫د‬ ْ‫و‬ُ‫ن‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫ا‬ ‫ا‬ ‫ا‬ْ‫و‬ُ‫ن‬َ‫م‬ٰ‫ا‬ َ‫ْن‬‫ي‬ِ‫ذ‬َّ‫ال‬ ‫ا‬َ‫ه‬‫ي‬َ‫ا‬‫ا‬ٰ‫ي‬ِ ‫ه‬‫ّٰللا‬ ِ‫ر‬ْ‫ك‬ِ‫ذ‬ ‫ى‬ٰ‫ِل‬‫ا‬ ‫ا‬ ْ‫و‬َ‫ع‬ْ‫س‬‫ا‬َ‫ف‬ َ‫ن‬ ْ‫و‬ُ‫م‬َ‫ل‬ْ‫ع‬َ‫ت‬ ْ‫م‬ُ‫ت‬ْ‫ن‬ُ‫ك‬ ْ‫ِن‬‫ا‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬َّ‫ل‬ ٌ‫ْر‬‫ي‬َ‫خ‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬ِ‫ل‬ٰ‫ذ‬ َۗ‫ع‬ْ‫ي‬َ‫ب‬ْ‫ال‬ ‫وا‬ُ‫ر‬َ‫ذ‬ َ‫و‬ “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat pada hari Jum’ah, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (shalat) dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. (62) Al-Jumu’ah: 9) ‘Illat pada ayat di atas adalah lalai dari sholat Jum’at. Oleh karena itu, sewa-menyewa, transaksi perdagangan, maupun perbuatan lainnya yang mempunyai kesamaan ‘illat, yaitu melalaikan dari shalat Jum’at, maka perbuatan tersebut hukumnya di-qiyas-kan dengan perbuatan jual-beli, yaitu haram. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. Bacaan: Majalah al-Wa’ie edisi 123